FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI PADA LANSIA USIA PERTENGAHAN DI DESA BELANG MALUM KECAMATAN SIDIKALANG KABUPETEN DAIRI TAHUN 2014 Susi1, Hiswani2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
ABSTRACT Hypertension is a degenerative disease that shown the rising of diastole and/or sistoles blood presur and attack the elder. Hypertension be a health concern because would lead to complications in target organs and make dying World Health Organizatio identified that hypertension as the first causes of cardiovascular mortality 20 until 50% of the mortality. Hypertension kills nearly 8 million people annually worldwide and nearly 1.5 million people every year in Southeast Asia. Hypertension is associated with several factors, obesity, physical activity, smoking habit, the habit of eating natrium.,and family history. To determine factors associated with hypertension in Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun in 2014, conducted research using cross sectional design. 100 samples were taken by simple random sampling methodh. Univariate data were analyzed descriptively and bivariate data were analyzed using the chi square test with 95% CI. Based on the results obtained proportion prevalence of hypertension 44,00%, the highest proportion of hypertension respondents is male group (64.86%), workers (45,26%), Academik/College education (75.00%), nutritional status obesity (61.10%), insufficient physical activity (63.63%), the habit of smoking (64.51%), eating salt ≤ 3 time /week (55.26%), and family history (53.33%).The results of bivariate analyzes, in general there is a significant association between gender (p = 0.001), nutritional status (p = 0.010), physical activity (p = 0.036), and smoking habit (p = 0.006). And there was no significant relationship betwee, level of education, the habit of eating natrium, and family history with incident hypertension. The elderly routinely check the blood pressure , balancereduce the nutritional status by controll the food consumtion or have the sport routinity, add the physical activity by old-age gymnastics, reduce or stop the smooking habit as a risk factor for hypertension. Parties are expected to influence elderly to want participating in the activities of Posyandu elderly and the worker of Posyandu to held the Health Promotion of the risk of Hypertension, and how the way to prevent the hypertension in elderly. Keywords: Hypertension, Elderly, Risk factors
1
Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014.
Pendahuluan Indikator keberhasilan pembangunan suatu bangsa terlihat dalam peningkatan taraf hidup dan Usia Harapan Hidup (UHH), namun peningkatan UHH ini sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan Kesehatan karena terjadinya transisi epidemiologik akibat meningkatnya angka kesakitan oleh penyakit degeneratif.1 Permasalahan warga lanjut usia semakin kompleks.2 Dalam pendekatan kelompok, para lansia menunjukkan kecenderungan prevalensi yang cukup signifikan dalam kaitan gangguangangguan yang bersifat kronis dan degeneratif.3 Angka kesakitan lansia berusia 60 tahun keatas pada tahun 2012 sebesar 26,93% dari total penduduk lansia. Keluhan kesehatan lansia dari 10 penyakit terbesar yang paling tinggi adalah keluhan yang merupakan efek dari penyakit kronis seperti hipertensi (5,17%), Katarak (4,75%), penyakit jantung iskemik (2,84%) , dan lain-lain.4 Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah diastole dan sistole melebihi nilai normal yakni ≥140 mmHg dan atau ≥90 mmHg. World Health Organization telah mengidentifikasi hipertensi, atau tekanan darah tinggi, sebagai penyebab utama mortalitas kardiovaskuler yang menyebabkan 20-50% dari seluruh kematian.5
Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1.
2.
3.
1.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional hipertensi adalah 31,7%. Selain itu hasil Riskesdas juga menunjukkan hipertensi menduduki peringkat ketiga penyebab kematian utama untuk semua kelompok umur di Indonesia dengan Case Fatality Rate (CFR) 6,8%.6 Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 Sumatera Utara, dari 10 jenis penyakit tidak menular diketahui bahwa prevalensi hipertensi menduduki peringkat tertinggi keempat dengan proporsi 5,8% setelah persendian, jantung, dan gangguan mental.7
2.
3.
Perumusan masalah dalam penelitian ini yakni belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia usia pertengahan di
4.
2
Untuk mengetahui proporsi prevalensi hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014. Untuk mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, status gizi melalui IMT (Indeks Massa Tubuh), aktifitas fisik, kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi garam pada ikan asin, dan riwayat hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014 Untuk mengetahui hubungan antara kejadian hipertensi dengan jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, status gizi, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi garam, dan riwayat hipertensi di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014.. Manfaat penelitian ini adalah: Sebagai bahan informasi tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi instansi terkait dalam rangka meningkatkan upaya kesehatan baik preventif maupun kuratif khususnya untuk penyakit hipertensi lansia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan referensi dalam proses belajar mengajar dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan bagi mahasiswa/mahasiswi kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Kesehatan Masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan meningkatkan pengetahuan bagi penulis dalam meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014.
Berdasarkan table 1. dapat diketahui bahwa proporsi kejadian hipertensi pada lansia usia pertengahan (45-60 tahun) di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 adalah 44%.
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat analitik, dengan menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi pada tahun 2014. .Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia berusia 45 – 60 tahun yang terdaftar sebagai penduduk di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi tahun 2014 berjumlah 221 orang. Perhitungan sampel dengan menggunakan rumus besar sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi.8 : n ≤ Zα2 PQ d2 Dengan menggunakan rumus tersebut diketahui jumlah sampel minimum 97, dan peneliti mengambil jumlah sampel 100 orang. hal ini sesuai dengan pernyataan Frankel dan Wallen yang menyatakan bahwa, jumlah sampel untuk penelitian deskriptif atau analitik yang menggunakan wawancara atau survei disarankan untuk mengambil jumlah sampel minimal 100 atau lebih sesuai dengan kemampuan peneliti. Besar sampel dapat diambil lebih tinggi dari jumlah sampel minimum.13 Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling.8 Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari hasil wawancara menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden. sedangkan data sekunder diperoleh dari Kantor Kepala Desa Belang Malum. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chi-square 95% CI.
Tabel 2 Distribusi Proporsi Lansia Usia Pertengahan (45-60 Tahun) Penduduk Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2014 Berdasarkan Sosiodemografi Sosiodemografi
Frekuensi
Proporsi (%)
Usia 45-50 tahun 42 42 51-55 tahun 23 23 56-60 tahun 35 35 Jenis Kelamin Laki-laki 37 37 Perempuan 63 63 Pekerjaan Bekerja 95 95 Tidak Bekerja 5 5 Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD/Tamat 32 32 SD/Sederajat Tamat SLTP/Sederajat 22 22 Tamat SLTA/Sederajat 42 42 Tamat Akademi/PT 4 4 100 100 Jumlah Berdasarkan tabel 2. di atas dapat diketahui bahwa proporsi Lansia usia pertengahan (45-60 tahun) di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 berdasarkan kategori usia, lebih banyak ditemukan pada kelompok umur 45-50 tahun yaitu 42 orang (42%), kelompok umur 5155 tahun ada 23 oran (23%) dan kelompok 56-60 tahun ada 35 orang (35%), berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak ditemukan pada perempuan yaitu 63 orang (63%), sedangkan pada laki-laki yaitu 37 orang (37%).
Hasil dan Pembahasan Analisis Univariat Penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang lansia usia 45-60 tahun di Desa Belang Malum tahun 2014, diperoleh proporsi prevalensi hipertensi. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.1.
Proporsi Lansia usia pertengahan (45- 60 tahun) di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 berdasarkan status pekerjaan, paling banyak ditemukan pada lansia yang berkerja, yaitu 95 orang (95%), dan yang paling sedikit adalah tidak bekerja yakni 5 orang (5 %).
Tabel 1 Distribusi Proporsi Hipertensi Responden di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Kejadian Frekuensi Proporsi (%) Hipertensi Hipertensi 44 44 Tidak Hipertensi 56 56 Jumlah 100 100
Proporsi Lansia di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, paling banyak ditemukan pada Lansia yang berpendidikan terakhir SMA 3
sedangkan pada kelompok yang merokok ≥ 10 batang perhari yakni 31orang (31%).
yaitu 42 orang (42 %), kemudian SD, dan SMP masing-masing yaitu 32 orang (32%), 22 orang (22%), sedangkan yang paling sedikit adalah Akademi/ PT yaitu 4 orang (4 %).
Tabel 6 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Garam Pada Ikan Asin di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014
Tabel 3 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Status Gizi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Status Gizi (IMT) Frekuensi Proporsi (%) Obesitas 36 36 Tidak Obesitas 64 64 Jumlah 100 100 Berdasarkan tabel 3. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan status gizi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, status gizi tidak obesitas yaitu 64 orang (64%), dan yang paling sedikit adalah status gizi obesitas yaitu 36 orang (36%).
Konsumsi Garam Frekuensi Proporsi (%) ≤ 3 kali/minggu 38 38 > 3 kali/ minggu 62 62 Jumlah 100 100 Berdasarkan table 6. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan kebiasaan konsumsi garam, khususnya yang terkandung dalam ikan asin di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, lebih banyak ditemukan pada lansia yang kebiasaan konsumsi garam pada ikan asin tinggi (> 3 kali seminggu), yaitu 62 orang (62%), sedangkan pada kelompok yang konsumsi garam yang terkandung pada ikan asin yang rendah (≤ 3 kali seminggu) yakni 38 orang (38%).
Tabel 4 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Aktivitas Fisik Frekuensi Proporsi (%) Tidak Cukup 22 22 Cukup 78 78 Jumlah 100 100 Berdasarkan tabel 4. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan aktivitas fisik di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, lebih banyak ditemukan pada lansia yang aktivitas fisiknya cukup yaitu 78 orang (78%), sedangkan pada kelompok yang aktivitas fisiknya tidak cukup yakni 22 orang (22%).
Tabel 7 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Riwayat Hipertensi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Riwayat Hipertensi Frekuensi Proporsi (%) Ada 30 30 Tidak ada 70 70 Jumlah 100 100 Berdasarkan tabel 7. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan Riwayat Hipertensi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, lebih banyak ditemukan pada Lansia yang tidak memiliki riwayat hipertensi, yaitu 70 orang (70%), sedangkan pada yang memiliki riwayat hipertensi yakni 30 orang (30%).
Tabel 5 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Kebiasaan Merokok
Frekuensi
Proporsi (%)
Analisis Bivariat Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 8
< 10 batang/hari 69 69 ≥ 10 batang/hari 31 31 Jumlah 100 100 Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan kebiasaan merokok di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, lebih banyak ditemukan pada lansia yang kebiasaan merokoknya <10 batang perhari atau tidak merokok, yaitu 69 orang (69%),
Tabel 8 Tabulasi Silang Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di 4
Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014
sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji chisquare.
Jumlah X2/p RP (CI=
Pada penelitian Manik (2011) pada Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, ditemukan proporsi hipertensi pada kelompok yang bekerja adalah 33,3% dan pada kelompok yang pensiunan/ tidak bekerja adalah 24,20%. Hasil uji secara statistik menggunakan chi-square diperoleh nilai p=0,347 artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dan kejadian hipertensi.10
Jenis Kelamin
Hipertensi
Tidak Hipertensi
f
%
f
%
f
%
Laki-laki Perempuan
24 20
64,86 31,75
13 43
35,14 68,25
37 63
100 10,38/ 100 0,001
95 %) 2,043 (1,325 – 3,150)
Berdasarkan tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada laki-laki yaitu 64,86% dan terendah pada perempuan yaitu 31,75%. Kejadian hipertensi pada laki-laki adalah lebih tinggi dari pada perempuan.
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 10.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,001 (nilai p < 0,05) artinya terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Ratio Prevalance hipertensi pada kelompok lakilaki dan perempuan adalah 2,043 (95% CI=1,3253,150). Artinya kelompok laki-laki lebih berisiko 2,043 kali dari pada kelompok perempuan.
Tabel 10 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014
Hal ini sesuai dengan penelitian Siringoringo di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir (2013) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan hipertensi (p=0,737).9
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD/ Tamat SD/ sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/ sederajat Tamat Akademi/ Perguruan Tinggi
Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9 Tabulasi Silang Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 Status Pekerjaan Bekerja Pensiunan/ Tidak Bekerja
Hipertensi
Tidak Hipertensi
f 43 1
f % f 52 54,70 95 4 80,00 5
% 45,30 20,00
Jumlah
Hipertensi
Tidak Hipertensi f %
f
%
12
37,5
20
10
45,45
19 3
Jumlah f
%
62,5
32
100
12
54,55
22
100
45,24
23
54,76
42
100
75,00
1
25,00
4
100
X2/p
2,154/ 0,541
Berdasarkan table 10 di atas dapat diketahui proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok tamat Akademi/Perguruan Tinggi yaitu 75% dan terendah pada kelompok tidak tamat SD/tamat SD/sederajat yaitu 37,50%. Oleh karena terdapat nilai cell yang memiliki expected count lebih dari 0% maka tidak dapat dilanjutkan dengan uji chi-square.
X2/p
RP (CI= % 95 %) 100 1,230 2,263 100 / (0,3870,267 13,246)
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Yulia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Sering Medan Tembung (2011) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, menunjukkan bahwa tidak terdapat
Berdasarkan tabel.9 dapat dilihat bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok bekerja yaitu 45,3% dan terendah pada kelompok yang tidak bekerja yaitu 20%. Karena ada cell yang memiliki nlai expected count diatas 0%, 5
hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan hipertensi (p=0,688).11
Tabel 12 Tabulasi Silang Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014
Hubungan status gizi dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 11
Aktivitas Hipertensi Tidak Hipertensi Fisik f % f % Tidak 14 63,63 8 36,37 Cukup Cukup 30 38,50 48 61,50
Tabel 11 Tabulasi Silang Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Status Gizi
RP Tidak Jumlah X2/p (CI= Hipertensi 95 %) % f % f % 61,10 14 38,90 33 100 6,684/ 1,778 0,010 (1,16034,40 42 65,60 67 100 2,725)
Hipertensi
f Obesitas 22 22 Tidak Obesitas
Jumlah X2/p
RP (CI= 95%)
f % 22 100 4,414/ 1,655 0,036
78 100
(1,0842,525)
Berdasarkan tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok aktivitas ringan yaitu 63,63% dan terendah pada kelompok aktivitas berat yaitu 38,50%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,036 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang aktivitas fisiknya tidak cukup dan cukup adalah 0,539 (95% CI=0,356-0,817), artinya lansia dengan aktivitas tidak cukup lebih berisiko 0,539 kali dari pada lansia dengan aktivitas fisik cukup.
Berdasarkan tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok status gizi obesitas yaitu 61,10% dan terendah pada kelompok status gizi tidak obesitas yaitu 34,40%. Hasil uji secara statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,010 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang obesitas dengan lansia yang tidak obesitas adalah 1,778 (95% CI=1,160-2,725), artinya lansia yang mengalami obesitas lebih berisiko 1,178 kali dari pada lansia yang tidak obesitas.
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Djauhar,dkk di Pusling Desa Klumpit UPT Puskesmas Gribig Kabupaten Kudus (2013) dengan menggunakan desain penelitian case control study, proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok aktivitas fisik tidak cukup yaitu 83,33%. Hasil analisis diperoleh nilai p=0,014 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi. 14 Hubungan kebiasaan merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 13
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Yulia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Sering Medan Tembung (2011) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian hipertensi (p=0,000).11 Hubungan aktivitas fisik dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 12
6
Tabel 13 Tabulasi Silang Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Kebiasaan Hipertensi Merokok f % 24 34,78 <10 batang per hari 20 64,51 ≥10 batang per hari
Tidak Jumlah X2/p Hipertensi
Tabel 14 Tabulasi Silang Hubungan Kebiasaan Konsumsi Garam dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014
RP (CI=95 %)
f % f % 43 65,22 69 100 7,675/ 0,539 0,006 (0,356 – 0,817) 2 35,49 31 100
Hipertensi
≤3 kali/minggu > 3 kali/
21 55,26
17
44,74 38
23 37,10
39
62,90 62
minggu
f
%
Tidak Hipertensi f %
Jumlah
Kebiasaan Konsumsi Garam
f
%
X2/ p
RP (95% CI)
100 3,156 1,490 / (0,967 100 0,076 – 2,295)
Berdasarkan tabel 14 di atas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang kebiasaan konsumsi garamnya ≤ 3 kali/minggu adalah 55,26%, dan pada kelompok yang kebiasaan konsumsi garamnya > 3 kali/minggu adalah 37,10%.
Berdasarkan tabel 13 di atas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok ≥ 10 batang perhari yaitu 64,51% dan terendah pada kelompok yang tidak memiliki kebiasaan merokok (< 10 batang per hari) yaitu 34,78%.
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,076 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi garam dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok kebiasaan konsumsi garamnya ≤ 3 kali/minggu dan > 3 kali/minggu adalah 1,490 (95% CI=0,967-2,295).
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,006 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok ≥ 10batang perhari dengan tidak memiliki kebiasaan merokok (<10 batang perhari ) adalah 0,539 (95% CI=0,356-0,817), artinya lansia dengan kebiasaan merokok ≥ 10batang perhari lebih berisiko 0,593 kali dari pada lansia yang tidak memiliki kebiasaan merokok (<10 batang perhari ).
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Berdasarkan hasil penelitian Siringo-ringo (2013), menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi garam dengan kejadian hipertensi (p=0,074). 9
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Djauhar,dkk di Desa Klumpit Kabupaten Kudus ditemukan proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok adalah 67,75% dan pada kelompok yang tidak memiliki kebiasaan merokok adalah 42,10%. Berdasarkan hasil penelitian yang sama, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaaan merokok dengan kejadian hipertensi (p=0,003).12
Hubungan riwayat hipertensi pada keluarga dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 15
Hubungan kebiasaan konsumsi garam dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 14
7
gizi obesitas (61,10%), aktivitas fisik tidak cukup (63,63%), memiliki kebiasaan merokok ≥ 10 batang perhari (64,51%), konsumsi garam yang terkandung dalam ikan asin ≤ 3 kali/minggu (55,26%), dan memiliki riwayat hipertensi pada keluarga (53,33%).
Tabel 15 Tabulasi Silang Hubungan Riwayat Hipertensi Pada Keluarga dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Riwayat Hipertensi Hipertensi
Ada Tidak Ada
f 16
% 53,33
Tidak Hipertensi f % 14 46,67
28
40,00
42
60,00
Jumlah f 30
% 100
70
100
X2/p
RP (95% CI)
1,515/ 1,333 0,218 (0,8582,072)
Berdasarkan tabel 15 di atas dapat diketahui bahwa bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki riwayat hipertensi adalah 53,33%, dan pada kelompok yang tidak memiliki riwayat hipertensi adalah 40%.
c. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 (p=0,001 ; χ2=10,38 RP=2,043 (95% CI= 1,325 – 3,150) d. Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014. (p=0,010 ; χ2=6,684 RP=1,778 (95% CI= 1,160-2,725)
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,218 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi pada keluarga dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang memiliki riwayat hipertensi pada keluarga dan yang tidak memiliki riwayat hipertensi pada keluarga adalah 1,333 (95% CI=0,858-2,072).
e. Terdapat hubungan yang bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014. (p=0,036 ; χ2=4,414 RP=1,655 (95% CI= 1,084-2,525) f. Terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014. (p=0,006 ; χ2=7,675 RP=0,539 (95% CI= 0,356 – 0,817)
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Siringo-ringo di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir (2013) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, ditemukan proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok yang memiliki riwayat keluarga 84% dan yang terendah pada kelompok yang tidak memiliki riwayat keluarga yaitu 53,49 %, dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi (p=0,000).9
g. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 (p=0,477).
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi prevalens kejadian hipertensi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 adalah 44%.
h. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi garam pada ikan asin dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 (p=0,076).
b. Proporsi Lansia usia pertengahan yang mengalami hipertensi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 yang tertinggi pada kelompok jenis kelamin Laki-laki (64,86%), status pekerjaan bekerja (45,26%), pendidikan tamat Akademi/ Perguruan Tinggi (75%), status
i. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 (p=0,218). 8
2. Saran a. Diharapkan kepada seluruh Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum agar rutin memeriksa tekanan darah menyeimbangkan status gizi dengan mengontrol makanan, melakukan olahraga/aktivitas fisik dengan mengikuti senam lansia, mengurangi konsumsi rokok, karena hal tersebut merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi. b. Diharapkan kepada pihak kader posyandu untuk mengadakan kegiatan promosi kesehatan tentang faktor risiko dan upaya pencegahan penyakit hipertensi pada lansia.
Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Sering Medan Tembung Tahun 2010. Skripsi Mahasiswa FKM USU. Medan 12. Djauhar,dkk. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di Pusling Desa Klumpit UPT Puskesmas Gribig Kabupaten Kudus.STIKES Muhamadiyah Kudus. 13. Frankel,dan Wallen. 1993. How To Design and Evaluate Research in Education. New York. McGraw-Hill Inc. 14. Anggraini,dkk. 2013. Faktor--Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien Yang Berobat Di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari Sampai Juni 2008.Universitas Riau. Riau
Daftar Pustaka 1. Maryam, R. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika, Jakarta 2. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu penyakit Dalam. 2003. Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin. FK UI, Jakarta 3. Tamher, S. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta 4. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Gambaran Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta 5. Wikipedia.Hipertensi.http://id.wikipedia.org/wiki/T ekanan_darah_tinggi. Diakses pada 14 Agustus 2014 6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007. Jakarta 7. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2009. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2008. Medan 8. Cochran. W. G, 1991. Teknik Penarikan Sampel Edisi Ketiga. UI Press. Jakarta 9. Siringo-ringo, M. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013. Skripsi Mahasiswa FKM USU 10. Manik, M. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat Pematang Siantar Tahun 2011. Skripsi Mahasiswa FKM USU 11. Yulia. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Lansia di Posyandu 9
FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI PADA LANSIA USIA PERTENGAHAN DI DESA BELANG MALUM KECAMATAN SIDIKALANG KABUPETEN DAIRI TAHUN 2014 Susi1, Hiswani2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
ABSTRACT Hypertension is a degenerative disease that shown the rising of diastole and/or sistoles blood presur and attack the elder. Hypertension be a health concern because would lead to complications in target organs and make dying World Health Organizatio identified that hypertension as the first causes of cardiovascular mortality 20 until 50% of the mortality. Hypertension kills nearly 8 million people annually worldwide and nearly 1.5 million people every year in Southeast Asia. Hypertension is associated with several factors, obesity, physical activity, smoking habit, the habit of eating natrium.,and family history. To determine factors associated with hypertension in Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun in 2014, conducted research using cross sectional design. 100 samples were taken by simple random sampling methodh. Univariate data were analyzed descriptively and bivariate data were analyzed using the chi square test with 95% CI. Based on the results obtained proportion prevalence of hypertension 44,00%, the highest proportion of hypertension respondents is male group (64.86%), workers (45,26%), Academik/College education (75.00%), nutritional status obesity (61.10%), insufficient physical activity (63.63%), the habit of smoking (64.51%), eating salt ≤ 3 time /week (55.26%), and family history (53.33%).The results of bivariate analyzes, in general there is a significant association between gender (p = 0.001), nutritional status (p = 0.010), physical activity (p = 0.036), and smoking habit (p = 0.006). And there was no significant relationship betwee, level of education, the habit of eating natrium, and family history with incident hypertension. The elderly routinely check the blood pressure , balancereduce the nutritional status by controll the food consumtion or have the sport routinity, add the physical activity by old-age gymnastics, reduce or stop the smooking habit as a risk factor for hypertension. Parties are expected to influence elderly to want participating in the activities of Posyandu elderly and the worker of Posyandu to held the Health Promotion of the risk of Hypertension, and how the way to prevent the hypertension in elderly. Keywords: Hypertension, Elderly, Risk factors
1
Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014.
Pendahuluan Indikator keberhasilan pembangunan suatu bangsa terlihat dalam peningkatan taraf hidup dan Usia Harapan Hidup (UHH), namun peningkatan UHH ini sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan Kesehatan karena terjadinya transisi epidemiologik akibat meningkatnya angka kesakitan oleh penyakit degeneratif.1 Permasalahan warga lanjut usia semakin kompleks.2 Dalam pendekatan kelompok, para lansia menunjukkan kecenderungan prevalensi yang cukup signifikan dalam kaitan gangguangangguan yang bersifat kronis dan degeneratif.3 Angka kesakitan lansia berusia 60 tahun keatas pada tahun 2012 sebesar 26,93% dari total penduduk lansia. Keluhan kesehatan lansia dari 10 penyakit terbesar yang paling tinggi adalah keluhan yang merupakan efek dari penyakit kronis seperti hipertensi (5,17%), Katarak (4,75%), penyakit jantung iskemik (2,84%) , dan lain-lain.4 Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah diastole dan sistole melebihi nilai normal yakni ≥140 mmHg dan atau ≥90 mmHg. World Health Organization telah mengidentifikasi hipertensi, atau tekanan darah tinggi, sebagai penyebab utama mortalitas kardiovaskuler yang menyebabkan 20-50% dari seluruh kematian.5
Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1.
2.
3.
1.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional hipertensi adalah 31,7%. Selain itu hasil Riskesdas juga menunjukkan hipertensi menduduki peringkat ketiga penyebab kematian utama untuk semua kelompok umur di Indonesia dengan Case Fatality Rate (CFR) 6,8%.6 Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 Sumatera Utara, dari 10 jenis penyakit tidak menular diketahui bahwa prevalensi hipertensi menduduki peringkat tertinggi keempat dengan proporsi 5,8% setelah persendian, jantung, dan gangguan mental.7
2.
3.
Perumusan masalah dalam penelitian ini yakni belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia usia pertengahan di
4.
2
Untuk mengetahui proporsi prevalensi hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014. Untuk mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, status gizi melalui IMT (Indeks Massa Tubuh), aktifitas fisik, kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi garam pada ikan asin, dan riwayat hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014 Untuk mengetahui hubungan antara kejadian hipertensi dengan jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, status gizi, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi garam, dan riwayat hipertensi di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014.. Manfaat penelitian ini adalah: Sebagai bahan informasi tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi instansi terkait dalam rangka meningkatkan upaya kesehatan baik preventif maupun kuratif khususnya untuk penyakit hipertensi lansia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan referensi dalam proses belajar mengajar dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan bagi mahasiswa/mahasiswi kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Kesehatan Masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan meningkatkan pengetahuan bagi penulis dalam meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia usia pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014.
Berdasarkan table 1. dapat diketahui bahwa proporsi kejadian hipertensi pada lansia usia pertengahan (45-60 tahun) di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 adalah 44%.
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat analitik, dengan menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi pada tahun 2014. .Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia berusia 45 – 60 tahun yang terdaftar sebagai penduduk di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi tahun 2014 berjumlah 221 orang. Perhitungan sampel dengan menggunakan rumus besar sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi.8 : n ≤ Zα2 PQ d2 Dengan menggunakan rumus tersebut diketahui jumlah sampel minimum 97, dan peneliti mengambil jumlah sampel 100 orang. hal ini sesuai dengan pernyataan Frankel dan Wallen yang menyatakan bahwa, jumlah sampel untuk penelitian deskriptif atau analitik yang menggunakan wawancara atau survei disarankan untuk mengambil jumlah sampel minimal 100 atau lebih sesuai dengan kemampuan peneliti. Besar sampel dapat diambil lebih tinggi dari jumlah sampel minimum.13 Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling.8 Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari hasil wawancara menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden. sedangkan data sekunder diperoleh dari Kantor Kepala Desa Belang Malum. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chi-square 95% CI.
Tabel 2 Distribusi Proporsi Lansia Usia Pertengahan (45-60 Tahun) Penduduk Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun 2014 Berdasarkan Sosiodemografi Sosiodemografi
Frekuensi
Proporsi (%)
Usia 45-50 tahun 42 42 51-55 tahun 23 23 56-60 tahun 35 35 Jenis Kelamin Laki-laki 37 37 Perempuan 63 63 Pekerjaan Bekerja 95 95 Tidak Bekerja 5 5 Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD/Tamat 32 32 SD/Sederajat Tamat SLTP/Sederajat 22 22 Tamat SLTA/Sederajat 42 42 Tamat Akademi/PT 4 4 100 100 Jumlah Berdasarkan tabel 2. di atas dapat diketahui bahwa proporsi Lansia usia pertengahan (45-60 tahun) di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 berdasarkan kategori usia, lebih banyak ditemukan pada kelompok umur 45-50 tahun yaitu 42 orang (42%), kelompok umur 5155 tahun ada 23 oran (23%) dan kelompok 56-60 tahun ada 35 orang (35%), berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak ditemukan pada perempuan yaitu 63 orang (63%), sedangkan pada laki-laki yaitu 37 orang (37%).
Hasil dan Pembahasan Analisis Univariat Penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang lansia usia 45-60 tahun di Desa Belang Malum tahun 2014, diperoleh proporsi prevalensi hipertensi. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.1.
Proporsi Lansia usia pertengahan (45- 60 tahun) di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 berdasarkan status pekerjaan, paling banyak ditemukan pada lansia yang berkerja, yaitu 95 orang (95%), dan yang paling sedikit adalah tidak bekerja yakni 5 orang (5 %).
Tabel 1 Distribusi Proporsi Hipertensi Responden di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Kejadian Frekuensi Proporsi (%) Hipertensi Hipertensi 44 44 Tidak Hipertensi 56 56 Jumlah 100 100
Proporsi Lansia di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, paling banyak ditemukan pada Lansia yang berpendidikan terakhir SMA 3
sedangkan pada kelompok yang merokok ≥ 10 batang perhari yakni 31orang (31%).
yaitu 42 orang (42 %), kemudian SD, dan SMP masing-masing yaitu 32 orang (32%), 22 orang (22%), sedangkan yang paling sedikit adalah Akademi/ PT yaitu 4 orang (4 %).
Tabel 6 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Garam Pada Ikan Asin di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014
Tabel 3 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Status Gizi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Status Gizi (IMT) Frekuensi Proporsi (%) Obesitas 36 36 Tidak Obesitas 64 64 Jumlah 100 100 Berdasarkan tabel 3. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan status gizi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, status gizi tidak obesitas yaitu 64 orang (64%), dan yang paling sedikit adalah status gizi obesitas yaitu 36 orang (36%).
Konsumsi Garam Frekuensi Proporsi (%) ≤ 3 kali/minggu 38 38 > 3 kali/ minggu 62 62 Jumlah 100 100 Berdasarkan table 6. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan kebiasaan konsumsi garam, khususnya yang terkandung dalam ikan asin di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, lebih banyak ditemukan pada lansia yang kebiasaan konsumsi garam pada ikan asin tinggi (> 3 kali seminggu), yaitu 62 orang (62%), sedangkan pada kelompok yang konsumsi garam yang terkandung pada ikan asin yang rendah (≤ 3 kali seminggu) yakni 38 orang (38%).
Tabel 4 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Aktivitas Fisik Frekuensi Proporsi (%) Tidak Cukup 22 22 Cukup 78 78 Jumlah 100 100 Berdasarkan tabel 4. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan aktivitas fisik di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, lebih banyak ditemukan pada lansia yang aktivitas fisiknya cukup yaitu 78 orang (78%), sedangkan pada kelompok yang aktivitas fisiknya tidak cukup yakni 22 orang (22%).
Tabel 7 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Riwayat Hipertensi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Riwayat Hipertensi Frekuensi Proporsi (%) Ada 30 30 Tidak ada 70 70 Jumlah 100 100 Berdasarkan tabel 7. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan Riwayat Hipertensi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, lebih banyak ditemukan pada Lansia yang tidak memiliki riwayat hipertensi, yaitu 70 orang (70%), sedangkan pada yang memiliki riwayat hipertensi yakni 30 orang (30%).
Tabel 5 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Kebiasaan Merokok
Frekuensi
Proporsi (%)
Analisis Bivariat Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 8
< 10 batang/hari 69 69 ≥ 10 batang/hari 31 31 Jumlah 100 100 Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa proporsi responden berdasarkan kebiasaan merokok di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014, lebih banyak ditemukan pada lansia yang kebiasaan merokoknya <10 batang perhari atau tidak merokok, yaitu 69 orang (69%),
Tabel 8 Tabulasi Silang Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di 4
Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014
sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan uji chisquare.
Jumlah X2/p RP (CI=
Pada penelitian Manik (2011) pada Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, ditemukan proporsi hipertensi pada kelompok yang bekerja adalah 33,3% dan pada kelompok yang pensiunan/ tidak bekerja adalah 24,20%. Hasil uji secara statistik menggunakan chi-square diperoleh nilai p=0,347 artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dan kejadian hipertensi.10
Jenis Kelamin
Hipertensi
Tidak Hipertensi
f
%
f
%
f
%
Laki-laki Perempuan
24 20
64,86 31,75
13 43
35,14 68,25
37 63
100 10,38/ 100 0,001
95 %) 2,043 (1,325 – 3,150)
Berdasarkan tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada laki-laki yaitu 64,86% dan terendah pada perempuan yaitu 31,75%. Kejadian hipertensi pada laki-laki adalah lebih tinggi dari pada perempuan.
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 10.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,001 (nilai p < 0,05) artinya terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Ratio Prevalance hipertensi pada kelompok lakilaki dan perempuan adalah 2,043 (95% CI=1,3253,150). Artinya kelompok laki-laki lebih berisiko 2,043 kali dari pada kelompok perempuan.
Tabel 10 Tabulasi Silang Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014
Hal ini sesuai dengan penelitian Siringoringo di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir (2013) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan hipertensi (p=0,737).9
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD/ Tamat SD/ sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/ sederajat Tamat Akademi/ Perguruan Tinggi
Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9 Tabulasi Silang Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 Status Pekerjaan Bekerja Pensiunan/ Tidak Bekerja
Hipertensi
Tidak Hipertensi
f 43 1
f % f 52 54,70 95 4 80,00 5
% 45,30 20,00
Jumlah
Hipertensi
Tidak Hipertensi f %
f
%
12
37,5
20
10
45,45
19 3
Jumlah f
%
62,5
32
100
12
54,55
22
100
45,24
23
54,76
42
100
75,00
1
25,00
4
100
X2/p
2,154/ 0,541
Berdasarkan table 10 di atas dapat diketahui proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok tamat Akademi/Perguruan Tinggi yaitu 75% dan terendah pada kelompok tidak tamat SD/tamat SD/sederajat yaitu 37,50%. Oleh karena terdapat nilai cell yang memiliki expected count lebih dari 0% maka tidak dapat dilanjutkan dengan uji chi-square.
X2/p
RP (CI= % 95 %) 100 1,230 2,263 100 / (0,3870,267 13,246)
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Yulia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Sering Medan Tembung (2011) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, menunjukkan bahwa tidak terdapat
Berdasarkan tabel.9 dapat dilihat bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok bekerja yaitu 45,3% dan terendah pada kelompok yang tidak bekerja yaitu 20%. Karena ada cell yang memiliki nlai expected count diatas 0%, 5
hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan hipertensi (p=0,688).11
Tabel 12 Tabulasi Silang Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014
Hubungan status gizi dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 11
Aktivitas Hipertensi Tidak Hipertensi Fisik f % f % Tidak 14 63,63 8 36,37 Cukup Cukup 30 38,50 48 61,50
Tabel 11 Tabulasi Silang Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Status Gizi
RP Tidak Jumlah X2/p (CI= Hipertensi 95 %) % f % f % 61,10 14 38,90 33 100 6,684/ 1,778 0,010 (1,16034,40 42 65,60 67 100 2,725)
Hipertensi
f Obesitas 22 22 Tidak Obesitas
Jumlah X2/p
RP (CI= 95%)
f % 22 100 4,414/ 1,655 0,036
78 100
(1,0842,525)
Berdasarkan tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok aktivitas ringan yaitu 63,63% dan terendah pada kelompok aktivitas berat yaitu 38,50%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,036 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang aktivitas fisiknya tidak cukup dan cukup adalah 0,539 (95% CI=0,356-0,817), artinya lansia dengan aktivitas tidak cukup lebih berisiko 0,539 kali dari pada lansia dengan aktivitas fisik cukup.
Berdasarkan tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok status gizi obesitas yaitu 61,10% dan terendah pada kelompok status gizi tidak obesitas yaitu 34,40%. Hasil uji secara statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,010 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang obesitas dengan lansia yang tidak obesitas adalah 1,778 (95% CI=1,160-2,725), artinya lansia yang mengalami obesitas lebih berisiko 1,178 kali dari pada lansia yang tidak obesitas.
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Djauhar,dkk di Pusling Desa Klumpit UPT Puskesmas Gribig Kabupaten Kudus (2013) dengan menggunakan desain penelitian case control study, proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok aktivitas fisik tidak cukup yaitu 83,33%. Hasil analisis diperoleh nilai p=0,014 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi. 14 Hubungan kebiasaan merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 13
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Yulia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Sering Medan Tembung (2011) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian hipertensi (p=0,000).11 Hubungan aktivitas fisik dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 12
6
Tabel 13 Tabulasi Silang Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Kebiasaan Hipertensi Merokok f % 24 34,78 <10 batang per hari 20 64,51 ≥10 batang per hari
Tidak Jumlah X2/p Hipertensi
Tabel 14 Tabulasi Silang Hubungan Kebiasaan Konsumsi Garam dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014
RP (CI=95 %)
f % f % 43 65,22 69 100 7,675/ 0,539 0,006 (0,356 – 0,817) 2 35,49 31 100
Hipertensi
≤3 kali/minggu > 3 kali/
21 55,26
17
44,74 38
23 37,10
39
62,90 62
minggu
f
%
Tidak Hipertensi f %
Jumlah
Kebiasaan Konsumsi Garam
f
%
X2/ p
RP (95% CI)
100 3,156 1,490 / (0,967 100 0,076 – 2,295)
Berdasarkan tabel 14 di atas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang kebiasaan konsumsi garamnya ≤ 3 kali/minggu adalah 55,26%, dan pada kelompok yang kebiasaan konsumsi garamnya > 3 kali/minggu adalah 37,10%.
Berdasarkan tabel 13 di atas dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok ≥ 10 batang perhari yaitu 64,51% dan terendah pada kelompok yang tidak memiliki kebiasaan merokok (< 10 batang per hari) yaitu 34,78%.
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,076 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi garam dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok kebiasaan konsumsi garamnya ≤ 3 kali/minggu dan > 3 kali/minggu adalah 1,490 (95% CI=0,967-2,295).
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,006 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok ≥ 10batang perhari dengan tidak memiliki kebiasaan merokok (<10 batang perhari ) adalah 0,539 (95% CI=0,356-0,817), artinya lansia dengan kebiasaan merokok ≥ 10batang perhari lebih berisiko 0,593 kali dari pada lansia yang tidak memiliki kebiasaan merokok (<10 batang perhari ).
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Berdasarkan hasil penelitian Siringo-ringo (2013), menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi garam dengan kejadian hipertensi (p=0,074). 9
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Djauhar,dkk di Desa Klumpit Kabupaten Kudus ditemukan proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok adalah 67,75% dan pada kelompok yang tidak memiliki kebiasaan merokok adalah 42,10%. Berdasarkan hasil penelitian yang sama, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaaan merokok dengan kejadian hipertensi (p=0,003).12
Hubungan riwayat hipertensi pada keluarga dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 15
Hubungan kebiasaan konsumsi garam dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 14
7
gizi obesitas (61,10%), aktivitas fisik tidak cukup (63,63%), memiliki kebiasaan merokok ≥ 10 batang perhari (64,51%), konsumsi garam yang terkandung dalam ikan asin ≤ 3 kali/minggu (55,26%), dan memiliki riwayat hipertensi pada keluarga (53,33%).
Tabel 15 Tabulasi Silang Hubungan Riwayat Hipertensi Pada Keluarga dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 Riwayat Hipertensi Hipertensi
Ada Tidak Ada
f 16
% 53,33
Tidak Hipertensi f % 14 46,67
28
40,00
42
60,00
Jumlah f 30
% 100
70
100
X2/p
RP (95% CI)
1,515/ 1,333 0,218 (0,8582,072)
Berdasarkan tabel 15 di atas dapat diketahui bahwa bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki riwayat hipertensi adalah 53,33%, dan pada kelompok yang tidak memiliki riwayat hipertensi adalah 40%.
c. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 (p=0,001 ; χ2=10,38 RP=2,043 (95% CI= 1,325 – 3,150) d. Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014. (p=0,010 ; χ2=6,684 RP=1,778 (95% CI= 1,160-2,725)
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,218 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi pada keluarga dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang memiliki riwayat hipertensi pada keluarga dan yang tidak memiliki riwayat hipertensi pada keluarga adalah 1,333 (95% CI=0,858-2,072).
e. Terdapat hubungan yang bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014. (p=0,036 ; χ2=4,414 RP=1,655 (95% CI= 1,084-2,525) f. Terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014. (p=0,006 ; χ2=7,675 RP=0,539 (95% CI= 0,356 – 0,817)
Dan hal ini sejalan dengan penelitian Siringo-ringo di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir (2013) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, ditemukan proporsi hipertensi tertinggi pada kelompok yang memiliki riwayat keluarga 84% dan yang terendah pada kelompok yang tidak memiliki riwayat keluarga yaitu 53,49 %, dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi (p=0,000).9
g. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 (p=0,477).
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi prevalens kejadian hipertensi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 adalah 44%.
h. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi garam pada ikan asin dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 (p=0,076).
b. Proporsi Lansia usia pertengahan yang mengalami hipertensi di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi tahun 2014 yang tertinggi pada kelompok jenis kelamin Laki-laki (64,86%), status pekerjaan bekerja (45,26%), pendidikan tamat Akademi/ Perguruan Tinggi (75%), status
i. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014 (p=0,218). 8
2. Saran a. Diharapkan kepada seluruh Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum agar rutin memeriksa tekanan darah menyeimbangkan status gizi dengan mengontrol makanan, melakukan olahraga/aktivitas fisik dengan mengikuti senam lansia, mengurangi konsumsi rokok, karena hal tersebut merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi. b. Diharapkan kepada pihak kader posyandu untuk mengadakan kegiatan promosi kesehatan tentang faktor risiko dan upaya pencegahan penyakit hipertensi pada lansia.
Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Sering Medan Tembung Tahun 2010. Skripsi Mahasiswa FKM USU. Medan 12. Djauhar,dkk. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di Pusling Desa Klumpit UPT Puskesmas Gribig Kabupaten Kudus.STIKES Muhamadiyah Kudus. 13. Frankel,dan Wallen. 1993. How To Design and Evaluate Research in Education. New York. McGraw-Hill Inc. 14. Anggraini,dkk. 2013. Faktor--Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien Yang Berobat Di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari Sampai Juni 2008.Universitas Riau. Riau
Daftar Pustaka 1. Maryam, R. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika, Jakarta 2. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu penyakit Dalam. 2003. Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin. FK UI, Jakarta 3. Tamher, S. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta 4. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Gambaran Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta 5. Wikipedia.Hipertensi.http://id.wikipedia.org/wiki/T ekanan_darah_tinggi. Diakses pada 14 Agustus 2014 6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007. Jakarta 7. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2009. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2008. Medan 8. Cochran. W. G, 1991. Teknik Penarikan Sampel Edisi Ketiga. UI Press. Jakarta 9. Siringo-ringo, M. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013. Skripsi Mahasiswa FKM USU 10. Manik, M. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat Pematang Siantar Tahun 2011. Skripsi Mahasiswa FKM USU 11. Yulia. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Lansia di Posyandu 9
GAMBARAN STATUS GIZI DAN PENYAKIT INFEKSI PADA ANAK BALITA (12-59 BULAN) DI POSKO PENGUNGSIAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO TAHUN 2014 (DESCRIPTION OF NUTRITIONAL STATUS AND INFECTIOUS DISEASES OF CHILDREN UNDER FIVE (12-59 MONTHS) ON POST EVACUATION OF SINABUNG ERUPTION KARO DISTRICT 2014 Tasya Arida Wijaya1, Zulhaida Lubis2, Albiner Siagian,3 1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU ABSTRACT
The limited of food availability makes children under five group needs special attention while in the evacuation in order to avoid malnutrition and infectious diseases. Purpose of this research is to know the description nutritional status and infectious diseases to children under five (12-59 months) and to look description of adequacy energy and protein consumption to children under five (12-59 months) in the UKA post evacuation II eruption of Sinabung Mountain in 2014. This is a descriptive research with cross sectional design. Sampling using simple random sampling method and obtained sampel as many as 58 children under five. The results of this research showed nutritional status of children under five based on weight/age experiencing malnutrition as many as 9 children or 15.5%. Based on the lengt/age short children 's nutritional status showed as many as 18 children (31.0 %), and as many as 15 children (25.9 %) is very short. Meanwhile, according to weight-for-length there are 4 children or by 6.9 % underweight. Good Energy sufficient level of children under five is 31 children (53,4%), average sufficient level is 27children (46,6%). For good protein sufficient level is 33 children (56,9%). And for average Protein sufficient level is 25 children (43,1%). All of children under five in the evacuation exposed to infectious diseases, including 54 children (93.1 %), respiratory tract infection , 40 children (69 %) experienced diarrhea (41.4 %) or as many as 24 children and 48 children with measles (82.2 %) experience itching. From these results it is expected to Karo’s Government, Karo’s health department, and officer of UKA II that more attention to the provision of a variety of types of food that can meet energy and protein needs to be processed into the daily diet in the post evacuation especially those under five children, improvement of sanitary facilities, SPAL, and trash.
Keywords : refugee, under five children, infectious disease, nutritional status
PENDAHULUAN Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis menjadikannya sebagai daerah yang rawan bencana. Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan 1
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (BNPB, 2012). Bencana yang disebabkan faktor alam dapat berupa banjir, gunung meletus, longsor, tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan dan angin puting beliung. Kondisi bencana menyebabkan masyarakat yang berada di sekitar wilayah bencana harus mengungsi, mencari tempat yang lebih aman. Perpindahan tersebut menjadikan masyarakat akan tinggal di tempat yang memiliki segala keterbatasan, baik dari segi sandang, pangan maupun papan. Ketersediaan pangan yang terbatas sangat berdampak kepada kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak balita yang merupakan kelompok usia rentan. Kekurangan gizi terutama pada anak balita mempengaruhi resiko kematian, kesakitan, pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan (Sianipar, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan UNICEF terhadap pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur tahun 2002 menunjukkan bahwa 24% balita dikategorikan kurus, 8% diantaranya sangat kurus sedangkan hasil survei cepat yang dilakukan pada 13 kabupaten pasca tsunami di Propinsi NAD (Februari-Maret 2005) menunjukkan prevalensi anak gizi kurang 41,5%, anak kurus 11,2%, anak pendek 36,75% (Depkes RI, 2007). Dampak kerusuhan yang menyebabkan masyarakat mengungsi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat sebesar 17,5% anak balita pengungsi mengalami gizi buruk (Tjuanda, 2001). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sianipar (2001) di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur dari 258 anak balita yang menjadi sampel diperoleh proporsi KEP 26,4% menurut BB/TB dan 41,1% menurut BB/U.
Tempat pengungsian juga memiliki lingkungan yang kotor serta keterbatasan air bersih dan pelayanan kesehatan yang menyebabkan tingginya angka penyakit infeksi pada balita. Data WHO 2001 menyebutkan bahwa 51% angka kematian balita disebabkan oleh pneumonia, diare, campak dan malaria serta lebih separuhnya yakni 54% erat hubungannya dengan masalah gizi (Depkes RI, 2007). Besar kemungkinan terjadinya masalah gizi pada balita dikarenakan mereka sudah berada sejak Oktober 2013 silam di kondisi pengungsian dan apabila tidak mendapatkan penanganan serius akan terjadi kelaparan tak kentara atau kelaparan tersembunyi (hidden hunger), tubuhnya tampak normal tetapi sebenarnya sedang mengalami kekurangan gizi mikro (vitamin dan mineral). Dampak bencana tersebut mengakibatkan terjadinya kedaruratan di segala bidang termasuk kedaruratan situasi masalah kesehatan dan gizi. Masalah gizi yang biasa terjadi adalah kurang gizi pada bayi dan balita, bantuan makanan sering terlambat, tidak berkesinambungan dan terbatasnya ketersediaan pangan lokal juga dapat memperburuk kondisi yang ada. Survei awal yang dilakukan pada April 2014 bertempat di posko pengungsian UKA (Universitas Karo) II, tempat ini merupakan bekas Universitas Karo yang sudah tidak dipakai karena tidak lagi menjalani proses belajar mengajar sedangkan angka II menunjukkan ada beberapa posko pengungsian yang bertempat di Universitas Karo tersebut dan ini adalah posko yang kedua di Universitas Karo. Alasan pemilihan tempat ini dikarenakan jumlah balita terbanyak berada di posko UKA II yakni berjumlah 136 orang balita dan juga apabila ditinjau dari segi lingkungan dan air bersih tempat ini hanya memiliki 3 kamar mandi dan 6 toilet yang masih layak digunakan 2
selebihnya sudah tidak dapat digunakan lagi, jumlah ini tidak sebanding dengan banyaknya pengungsi yang tinggal di sini yakni 1.225 jiwa. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana status gizi dan penyakit infeksi pada anak balita (12-59 bulan) yang berada di posko pengungsian UKA II erupsi Gunung Sinabung Kabupaten Karo tahun 2014. Manfaat dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan untuk perencanaan program perbaikan status gizi dan penyakit infeksi pada balita (12-59 bulan) pascapengungsian kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Karo. METODE Jenis penelitian adalah deskriptif dengan design cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh anak balita yang berada di posko pengungsian UKA II, yaitu sebanyak 136 balita. Sampel yaitu sebanyak 58 balita. Data yang dikumpulkan meliputi penyakit infeksi yang diderita balita, konsumsi energi dan protein, serta status gizi balita yang dianalisis secara univariat untuk melihat distribusi frekuensi. Pengumpulan data primer berupa status gizi seperti berat badan dan tinggi badan yang diperoleh melalui pengukuran langsung menggunakan metode antropometri dengan menggunakan dacin atau timbangan injak dan mikrotoise atau alat pengukur panjang badan. Data untuk mengetahui konsumsi makanan diperoleh dengan metode food recall 24 jam yang dilakukan sebanyak satu kali oleh peneliti. Penentuan recall yang hanya dilakukan satu kali disebabkan karena tidak banyak variasi menu makanan yang disajikan setiap harinya. Sedangkan untuk
penyakit infeksi, dilakukan wawancara langsung dengan ibu balita mengenai gangguan kesehatan yang dialami balita sebulan terakhir untuk penyakit infeksi saluran pernafasan, diare, dan gatal-gatal serta selama tinggal di posko pengungsian UKA II erupsi Gunung Sinabung untuk penyakit campak melalui kuesioner. Pengmpulan data sekunder yaitu data geografis Kabupaten Karo, data yang diperoleh dari catatan posko pengungsian UKA II erupsi Gunung Sinabung yang berupa identitas balita. HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Karo berada di antara 2o50`3o19` Lintang Utara dan 97o551-98o38` Bujur Timur dengan luas 2127,25 Km2 atau 2,97 persen dari luas Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo terletak pada jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi (BPS Kabupaten Karo, 2012). Salah satu dari gunung berapi tersebut, yaitu Gunung Sinabung, beberapa bulan lalu mengalami erupsi dan mengakibatkan lebih dari 33.000 orang mengungsi. Masyarakat yang terpaksa meninggalkan desanya untuk mengungsi tersebar di berbagai kawasan di atas radius 7 KM dari kaki Gunung Sinabung dan terdapat 42 titik pengungsian (BNPB, 2014). Sampai penelitian ini dilakukan masih terdapat 18 titik pengungsian dengan jumlah 7.572 jiwa sedangkan selebihnya sudah dipulangkan ke desa semula ataupun direlokasi ke tempat lain (BNPB, 2014). Posko pengungsian yang memiliki balita terbanyak adalah Posko UKA II yakni sebanyak 136 balita. Desa yang menetap di posko ini berasal dari Desa Kuta Rayat, Kuta Gugung, Sigarang-Garang, Kuta Tengah yang terdiri dari berbagai suku 3
bangsa dan agama. Untuk suku bangsa mayoritas adalah suku Batak Karo sedangkan untuk agama yakni Agama Kristen. Pengolahan makanan di posko UKA II dilakukan di dapur umum yang terdapat di dalam posko, dapur umum ini hanya menggunakan tenda dan tidak memiliki pintu serta berlantaikan batako. Pelayanan kesehatan di posko ini sudah tidak ada lagi sejak Bulan Juli 2014 padahal sebelumnya pada survei pendahuluan yang dilakukan di Bulan April 2014 masih terdapat posko kesehatan. Sehingga banyak masyarakat yang tinggal di posko ini harus mencari pelayanan kesehatan di tempat lain misalnya ke rumah sakit, puskesmas setempat atau ke tenaga medis seperti bidan tetapi ada juga yang membeli obat sendiri di warung terdekat. Sanitasi dan higine lingkungan posko sangat tidak memadai hal ini dapat dilihat dari SPAL, WC, kamar mandi, dan tempat pembuangan sampah yang ada di posko. SPAL yang ada tidak memiliki tutup sehingga bersifat terbuka. WC yang tersedia sudah banyak yang tidak dapat dipakai lagi, dari 10 WC yang tersedia hanya 6 yang dapat digunakan hal ini dikarenakan WC tersebut tersumbat. Kamar mandi yang bisa digunakan hanya 4 buah, hal ini dikarenakan di dalam kamar mandi sudah banyak terdapat tumpukan sampah. Tempat pembuangan sampah di posko ini terdapat 1 buah tempat sampah besar yang susah dibesihkan dan dalam keadaan tidak tertutup selebihnya ada beberapa yang kecil berupa keranjang sampah, tetapi masih banyak sampah yang berserakan di halaman posko pengungsian. Penyediaan air bersih dipasok melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU), setiap harinya
dilakukan 4-6 kali menggunakan tangki air berkapasitas 4.000 L. Tabel 1. Distribusi Karekteristik Ibu Berdasarkan Variable Umur dan Pendidikan Karekteristik Ibu Umur (tahun) ≤ 20 20-29 30-39 40-49 Jumlah Pendidikan Tidak Ada SD SMP SMA/SMK Jumlah
Frekuensi N
%
3 27 25 3 58
5,2 46,6 43,1 5,2 100,0
22 7 14 15 58
37,9 12,1 24,1 25,9 100,0
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa disitribusi umur ibu yang terbanyak berada pada kelompok 20-29 yakni sebanyak 27 orang (46,6%), sedangkan untuk pendidikan ibu sebanyak 22 orang (37,9%) tidak berpendidikan hal ini dikarenakan mereka hidup di pegunungan yang memiliki akses yang sangat sulit untuk pendidikan dan pada umumnya bersuku bangsa Nias. Tabel
No
2. Distribusi Karekteristik Balita Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin dan Usia Variabel N
1
2
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah Usia (Bulan) 12-24 24-59 Jumlah
Frekuensi %
24 34 58
41,4 58,6 100,0
17 41 58
29,3 70,7 100,0
Tabel 2 di atas dapat dilihat jumlah sampel terbanyak menurut jenis kelamin yakni 34 orang (58,6%) adalah perempuan. Sedangkan jumlah sampel terbanyak menurut usia balita yakni 41 orang (70,7%) adalah pada usia 24-59 bulan.
4
Status Gizi Balita Berdasarkan kegiatan pengukuran berat badan dan tinggi badan balita, maka akan dilihat status gizi balita pada tabel dibawah ini. Tabel 3. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat Badan Menurut Umur Normal Kurang Sangat Kurang Jumlah
Frekuensi N % 49 84,5 9 15,5 0 0 58 100,0
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat diketahui distribusi status gizi balita berdasarkan Berat Badan menurut Umur (BB/U) yaitu sebanyak 9 balita (15,5%) memiliki berat badan kurang, hal ini sudah jelas berkaitan dengan penyediaan makanan yang miskin zat gizi serta penyakit infeksi yang terjadi pada balita karena indikator penentuan status gizi berdasarkan BB/U merupakan indikator masalah gizi yang timbul masa kini (saat itu juga). Tabel 4. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Tinggi Badan Menurut Umur Lebih dari Normal Normal Pendek Sangat Pendek Jumlah
Frekuensi N % 0 0 25 43,1 18 31,0 15 25,9 58 100,0
Dari Tabel 4 di atas dapat diketahui distribusi status gizi balita berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yaitu balita pendek sebanyak 18 balita (31,0%), serta sebanyak 15 balita (25,9%) sangat pendek, indikator pengukuran TB/U menunjukkan dampak masalah gizi dimasa lalu, baik diakibatkan karena Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) atau diakibatkan status gizi kurang sebelum adanya pengungsian. Tabel 5. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat Badan menurut Tinggi Badan Sangat Gemuk Gemuk Resiko Gemuk Normal Kurus Jumlah
Frekuensi N % 3 5,2 5 8,6 5 8,6 41 70,7 4 6,9 58 100,0
Dari Tabel 5 di atas dapat diketahui distribusi status gizi balita berdasarkan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) yakni balita sangat gemuk sebanyak 3 orang (5,2%), balita gemuk sebanyak 5 orang (8,6%), balita yang memiliki resiko gemuk sebanyak 5 orang (8,6%), sedangkan yang kurus 4 orang (6,9%). Dalam keadaan normal pertambahan berat badan dengan tinggi badan selalu berjalan secara linier. Kecukupan Energi dan Protein Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 58 balita melalui wawancara kepada ibu balita dengan menggunakan formulir food recall 24 jam, diketahui jumlah konsumsi energi dan protein balita. Tabel 6. Distribusi Kecukupan Energi Balita Kecukupan Energi Baik Sedang Kurang Defisit Jumlah
N 31 27 0 0 58
Frekuensi % 53,4 46,6 0 0 100,0
Dapat diketahui dari Tabel 6 di atas bahwa tingkat kecukupan energi pada balita yang terbanyak adalah baik yakni 31 balita (53,4%), dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan yakni anak balita 5
usia 1-3 tahun dianjurkan mengkonsumsi energi sebasar 1125 kkal sedangkan anak balita usia 4-6 tahun dianjurkan mengkonsumsi energi sebesar 1600 kkal perharinya. Asupan konsumsi energi terbanyak berasal dari susu formula, biskuit, serta jajanan yang berasal dari bantuan pemerintah maupun sukarelawan yang mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan tubuh bukan dari pemberian makanan yang berasal dari dapur umum. Tabel 7. Distribusi Kecukupan Protein Balita Kecukupan Protein Baik Sedang Kurang Defisit Jumlah
N 33 25 0 0 58
Frekuensi % 56,9 43,1 0 0 100,0
Pada Tabel 7, Kecukupan protein pada balita menunjukkan tingkat kecukupan baik sebanyak 33 balita (56,9%), sama halnya dengan kecukupan energi, kecukupan protein juga bersumberkan terbanyak dari susu formula, biskuit dan jajanan. Ketentuan konsumsi protein perharinya untuk anak balita usia 1-3 tahun dianjurkan mengkonsumsi protein sebesar 26 g sedangkan anak balita usia 4-6 tahun dianjurkan mengkonsumsi protein sebesar 35 g. Penyakit Infeksi Anak Balita Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 58 balita melalui wawancara kepada ibu balita dengan menggunakan formulir penyakit infeksi, maka diketahui jenis dan rata-rata penyakit infeksi anak balita.
Tabel 8. Distribusi Penyakit Infeksi pada Balita Penyakit Infeksi Infeksi Saluran Pernafasan Ya Tidak Jumlah Diare Ya Tidak Jumlah Gatal-Gatal Ya Tidak Jumlah Campak Ya Tidak Jumlah
Frekuensi N % 54 4 58
93,1 6,9 100,0
40 18 58
69,0 31,0 100,0
48 10 58
82,2 17,2 100,0
24 34 58
41,1 58,6 100,0
Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa semua balita mengalami penyakit infeksi tetapi hanya sebagian balita yang terkena penyakit infeksi secara keseluruhan karena pada pengukuran penyakit infeksi diberikan ketentuan apabila balita terkena satu saja penyakit infeksi, maka balita tersebut dikatakan sudah terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi kulit terbagi menjadi gatal-gatal dan campak. Penyakit infeksi yang terbanyak jumlah balitanya adalah infeksi saluran pernafasan yakni sebanyak 54 orang (93,1%), padatnya jumlah penduduk yang tinggal di dalam satu ruangan posko pengungsian menjadikan infeksi saluran pernafasan menular dengan cepat. Memang tidak menutup kemungkinan untuk penyakit infeksi yang lain, tetapi juga infeksi saluran pernafasan dipengaruhi dengan udara Kabupaten Karo yang bersuhu dingin. Keterkaitan Status Gizi dengan Penyakit Infeksi Dalam hal ini ternyata faktor-faktor pendukung terjadinya penyakit infeksi lebih berperan dibandingkan dengan status gizi balita pada saat dilakukannya penelitian ini. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan 6
status gizi yang tidak baik dapat memperparah penyakit infeksi yang dialami balita. Balita yang terkena penyakit infeksi sebagian besar memiliki status gizi normal, inilah yang perlu diperhatikan karena status gizi yang normal bisa berubah menjadi status gizi kurang atau sangat kurang apabila balita tersebut tidak mendapatkan pengobatan terhadap penyakit infeksinya terlebih dahulu. Penyakit infeksi termasuk didalamnya infeksi saluran pernafasan dan diare selalu dapat memperburuk keadaan gizi melalui ganguan masukan makanan dan akibat kehilangan zat-zat esensial didalam tubuh, dampak dari penyakit infeksi terhadap pertumbuhan seperti menurunnya berat badan, hal ini disebabkan karena penurunan nafsu makan penderita infeksi hingga intake zat gizi dan energi kurang dari kebutuhan. Pada infeksi kulit dibagi menjadi dua yakni gatal-gatal dan campak, untuk komplikasi yang terjadi pada campak salah satunya adalah diare. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mustafa, 2013 di wilayah kerja Puskesmas Tilote yakni tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dan penyakit infeksi. Tabel 9. Distribusi Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan berdasarkan Status Gizi (BB/U) Status (BB/U)
Gizi
Normal Kurang Sangat Kurang
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Ya Tidak N % N % 46 93,9 3 6,1 8 88,9 1 11,1 0 0 0 0
Jumlah
N 49 9 0
% 100,0 100,0 0
Berdasarkan Tabel 9 diatas, dapat diketahui bahwa balita yang mengalami penyakit infeksi saluran pernafasan yang terbanyak adalah balita yang memiliki status gizi normal bukan balita yang memiliki status
gizi kurang, hal ini membuktikan kondisi lingkungan lebih berpengaruh Tabel 10. Distribusi Diare berdasarkan Status Gizi (BB/U) Status (BB/U)
Gizi
Diare Ya
Normal Kurang Sangat Kurang
N 32 8 0
% 65,3 88,9 0
Jumlah Tidak N % 17 34,7 1 11,1 0 0
N 49 9 0
% 100,0 100,0 0
Dari hasil Tabel 10 dapat dilihat bahwa balita yang terkena diare terbanyak terdapat pada balita yang berstatus gizi normal. Dengan kata lain, di posko ini ternyata status gizi tidak berperan secara keseluruhan pada balita yang mengalami penyakit infeksi saluran pencernaan karena masih ada faktor pendukung lain seperti dari keadaan lingkungan sekitar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosari (2013) tentang penyakit infeksi mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian diare di Kelurahan Lubuk Buaya. Padahal kejadian diare lebih banyak terdapat pada balita yang memiliki status gizi kurang yakni sebanyak 18,9% dibandingkan balita yang memiliki status gizi normal. Penelitian yang dilakukan oleh Indriyasti (2007) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dan kejadian terjadinya diare. Tabel 11. Distribusi Gatal-Gatal Status Gizi (BB/U) Status (BB/U)
Gizi
Normal Kurang Sangat Kurang
Gatal-Gatal Tidak % N % 79,6 10 20,4 100,0 0 0 0 0 0
berdasarkan Jumlah
Ya N 39 9 0
N 49 9 0
% 100,0 100,0 0
Pada Tabel 11. diatas dapat diketahui bahwa balita terbanyak yang terkena gatal-gatal yang disebabkan oleh gigitan serangga dan 7
memiliki status gizi normal yakni 39 balita (79,6%), hal ini disebabkan karena mereka beristirahat ditempat yang seadanya dengan beralaskan tikar ataupun kasur jika ada, serta ruangan yang penuh dengan barang-barang untuk tempat peristirahatan nyamuk. Tabel 12. Distribusi Campak berdasarkan Status Gizi (BB/U) Status (BB/U)
Gizi
Normal Kurang Sangat Kurang
Campak Tidak % N % 36,7 31 63,3 66,7 3 33,3 0 0 0
Jumlah
Ya N 18 6 0
N 49 9 0
% 100,0 100,0 0
Dari Tabel 12 ternyata hanya 18 balita (36,7%) yang mengalami campak selama berada di posko, balita tersebut juga memiliki status gizi baik. Pemberian Kapsul Vitamin A pada saat awal pengungsian menjadikan imunitas balita meningkat sehingga untuk penyebaran penyakit campak lebih banyak balita yang tidak terkena. Penanganan Gizi Balita saat Bencana di Posko UKA II Penanganan gizi pada balita saat bencana di Posko Pengungsian UKA II tergolong baik dan sesuai prosedur, karena untuk penangan awal saat terjadinya pengungsian, seluruh balita sudah diberikan kapsul Vitamin A oleh tenaga kesehatan yang berada di posko kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan sistem imun balita, pemberian ASI tetap dijalankan untuk anak yang masih dibawah usia 2 tahun, MP-ASI yang sudah difortifikasi dengan zat mikro juga diberikan seperti biskuit bayi. Akan tetapi, disamping balita tersebut diberikan ASI ternyata diberikan pula susu formula sebagai selingan dengan menggunakan dot susu, padahal dalam anjurannya sebaiknya menghindari pemberian susu dan makanan lain yang penyajiannya menggunakan air karena dapat dengan mudah membuat balita terkena diare akibat dari kontaminasi air dan penyimpanan
yang tidak higienis terhadap dot susu. Kontaminasi air juga diakibatkan karena air yang digunakan untuk mencampur susu formula bukan air kemasan yang dianjurkan oleh Kemenkes RI, tetapi air masak yang diperoleh dari dapur umum yang terdapat di posko pengungsian. Penggunaan air tersebut disebabkan karena tidak tersediannya air dalam kemasan di posko ini, dapat diasumsikan bahwa ketidaktersediaan air kemasan dipengaruhi oleh lama tinggal masyarakat dan minimnya bantuan untuk pasokan air dalam kemasan. Penyajian menu makanan untuk anak balita bisa dikatakan minim, karena dapur umum tidak menyiapkan menu khusus untuk anak balita sehingga anak balita hanya mengkonsumsi makanan yang juga dikonsumsi orang dewasa. Padahal menu untuk orang dewasa didasari oleh ketersediaan bantuan yang diperoleh posko yang menyebabkan konsumsi makanan yang tidak beragam dan terbatas seperti kurangnya konsumsi ikan segar, buah, daging dan sebagainya yang merupakan sumber zat gizi guna pertumbuhan dan perkembangan balita. KESIMPULAN 1. Status gizi balita di posko UKA II secara umum normal walaupun masih ada beberapa balita yang berstatus gizi kurang yakni 9 balita (15,5%). 2. Semua balita terkena penyakit infeksi, diantaranya balita yang terkena infeksi saluran pernafasan 93,1%, balita yang terkena diare 69%, balita yang terkena infeksi kulit berupa gatal-gatal 82,2% sedangkan yang terkena campak 41,4%. 3. Penyakit infeksi yang menjangkit balita di posko pengungsian ini tidak hanya disebabkan oleh status gizi tetapi ada beberapa faktor pendukung lain yakni kondisi higine dan sanitasi lingkungan, keterbatasan penyedian air bersih,
8
fasilitas MCK serta tingginya jumlah penduduk. 4. Tingkat kecukupan energi pada balita adalah baik 31 (53,4%) dan tingkat kecukupan sedang 27 (46,6%) 5. Kecukupan protein pada balita menunjukkan tingkat kecukupan terbanyak adalah baik yakni 33 (56,9%) selebihnya sedang 25 (43,1%). SARAN 1. Perhatian terhadap penyediaan jenis pangan beragam yang dapat memenuhi kebutuhan energi dan protein yang akan diolah menjadi makanan seharihari di posko pengungsian terkhususnya untuk balita. 2. Perbaikan fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus), SPAL (Saluran Pembuangan Air Limbah) serta pembenahan tempattempat sampah. DAFTAR PUSTAKA
Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Skripsi : FK UNAND. Padang. Sianipar, L. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kurang Energi dan Protein pada Balita Pengungsi di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur 1999 (Analisi Data Rapid Nutritional Assesment Tahun 1999). Tesis UI, Jakarta. Silalahi, EL. 2012. Analisis Koordinasi Lintas Sektor Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Terhadap Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo 2010. Program Pasca Sarjana FKM USU, Medan. Tjuanda, D. 2001. Analisis Pelaksanaan Kegiatan Pemulihan Status Gizi Buruk Balita Pengungsi Sambas di Therapeutic Feeding Center Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soedarso Kota Pontianak Kalimantan Barat Tahun 2000. Tesis UI, Jakarta.
BNPB, 2012. Kumpulan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta. Depkes RI. 2007. Pedoman Pemberian Makanan Bayi dan Anak dalam Situasi Darurat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta. Indriyasti, S. 2007. Hubungan Kejadian Penyakit Diare Terhadap Status Gizi Balita di Puskesmas Karawaci Baru Kota Tangerang. Skripsi : Universitas Indonusa Esa Unggul. Jakarta. Mustafa, Y. 2013. Analisis Faktor Determinan Kejadian Masalah Gizi pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tilote Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo Tahun 2013. UNHAS. Rosary, A. 2013. Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Lubuk
9
HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE PADA ANAK USIA 12-24 BULAN DI PUSKESMAS TERJUN KECAMATAN MEDAN MARELAN TAHUN 2014 Henny Oktaviani Srg1,Rahayu Lubis2,Jemadi2 1
Mahasiswi Departemen Epiemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
ABSTRACT Diarrhea is a global problem with the high rates of morbidity and mortality in children in the world. To achieve optimal growth and protect infant from disease like diarrhea mother should give an exclusive breastfeeding to the infant.The purpose of this research was to determine the associated between exclusive breastfeeding with the incidence of diarrheain children aged 12-24 months at Puskesmas Terjun, Medan Marelan in 2014. Method of research conducted is cross sectional analytic approach.,This sample is 105 children aged 12-24 months.The independent variable is the Exclusive Breastfeeding and the dependent variable is the incidence of diarrhea. The sampling technique used in this study was accidental sampling. The research instrument was a questionnaire. Analysis of data through two stages, univariate data were analyzed descriptively and bivarate data were analyzedusing chi square test with 95% confidence interval (CI). The study results were obtained proportion of diarrhea in Puskesmas Terjun is as much as 61%. The highest proportion of children who have a mother with age <35 years old is 63,8%, a high education level (65,7%), not working mothers (51,4%), low knowledge (76,2%), children <18 months (54,3%), male gender (55,2%), PMT (supplementary feeding) ≤6 months (73,3%), complete immunization (81,9%), and not exclusive breastfeeding (73,3%). Bivariate results indicate a significant association between maternal education level (p = 0,003), occupation (p = 0,001) level of knowledge (p = 0,014), PMT (p = 0,001), the completeness of immunization (p = 0,022) and breastfeeding exclusive (p = 0,001) with the incidence of diarrhea. It is recommended to mothers in Puskesmas Terjun, Medan Marelan to give the infants exclusive breastfeeding until 6 months old to reduce morbidity and mortality due to diarrhea. Keywords: Characteristics,Exclusive breastfeeding, Diarrhea Pendahuluan Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan derajat kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian anak di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia, dimana setiap tahun 1,5 juta
balita meninggal dunia akibat diare. Meskipun mortalitas dari diare dapat diturunkan dengan program rehidrasi/terapi cairan namun angka kesakitannya masih tetap tinggi.1 Berdasarkan survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011, proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6 – 11 bulan yaitu sebesar 21,65% lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar
14,43%, kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%. Hal ini merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan terutama diare yang umumnya diderita oleh bayi dan balita dapat menjadi penyumbang kematian terbesar. Faktor hygiene dan sanitasi lingkungan, kesadaran orang tua untuk berperilaku hidup bersih dan sehat serta pemberian ASI menjadi faktor yang penting dalam menurunkan angka kesakitan diare pada bayi.2 Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, insiden penyakit diare pada balita adalah 10,2%, CFR Kejadian Luar Biasa (KLB) diare di Indonesia pada tahun 2011 adalah 0,29% meningkat menjadi 2,06% di tahun 2012 lalu mengalami penurunan di tahun 2013 menjadi 1,08%. Di Sumatera Utara, CFR diare untuk tahun 2012 adalah 1,22% , sedangkan di tahun 2013 meningkat menjadi 11,76%. Proporsi kasus diare yang ditangani di Sumatera Utara adalah 41,34%, sedangkan sisanya 58,66% tidak mendapatkan penanganan.3 Berdasarkan Depkes, diare adalah buang air besar dengan ditandai meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari disertai dengan konsistensi tinja yang lembek-cair dengan atau tanpa lendir dan darah selama 1 minggu. Apabila pada diare pengeluaran cairan melebihi pemasukan maka akan terjadi dehidrasi. Bayi memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita dehidrasi dibandingkan orang dewasa, hal ini disebabkan karena per kilogram berat tubuhnya mengekskresikan volume air yang lebih besar dari pada orang dewasa atau kehilangan air yang lebih besar secara proporsional.4 Air Susu Ibu adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan bayi sampai umur 6 bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini. Air Susu Ibu bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu formula atau cairan lain
yang disiapkan dengan air atau bahanbahan dapat terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain dapat menghindari anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare. Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Cakupan persentase bayi yang diberi ASI Eksklusif dari tahun 20042012 cenderung menurun secara signifikan, hanya pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 10,33% dibandingkan tahun 2007. Pencapaian pada tahun 2012 sebesar 20,33% merupakan pencapaian terendah selama kurun waktu 2004 - 2012. Pada tahun 2013, persentase pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan adalah 41,3%.5 Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni, bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian diare pada bayi, tidak diberikannya ASI eksklusif pada bayi menyebabkan ibu memberikan makanan tambahan, dan ini sangat mempengaruhi pencernaan pada tubuh bayi yang pada hakikatnya pencernaan bayi belum siap untuk menerima makanan selain ASI hingga usia 6 bulan, sehingga bayi rentan mengalami diare.6 Perumusan masalah dalam penelitian ini adalahMasih tingginya angka kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan dengan pemberian ASI Eksklusif yang rendah di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan.Tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan tahun 2014. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan dari bulan Februari – Januari 2015. Sampel penelitian ini adalah 105
anak yang berusia 12-24 bulan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian diare dan variabel independen adalah karakteristik Ibu (pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pengetahuan), karakteristik anak (usia, jenis kelamin, kelengkapan imunisasi, dan pemberian makanan tambahan). Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara langsung terhadap ibu yang menjadi responden dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari tempat dilakukan penelitian yaitu Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis Univariat Proporsi kejadian diare pada anak di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan tahun 2014 adalah sebanyak 64 anak (61,0%) yang menderita diare, sedangkan proporsi anak yang tidak diare ada sebanyak 41 anak (39,0%). Distribusi Proporsi Karakteristik Ibu dan Anak di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi Proporsi Karakteristik Ibu dan Anak di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2014 f Karakteristik Ibu % Umur (Tahun) <35 tahun 67 63,8 ≥ 35 tahun 38 36,2 Tingkat Pendidikan Tinggi(SMA, Akademi,S1/S2/S3) 69 65,7 Rendah (Tidak tamat SD, tamat SD, 34,3 SMP) 36 Pekerjaan Bekerja (PNS, pegawai swasta, 51 48,6 wiraswasta, petani,) Tidak bekerja 54 51,4 Pengetahuan Baik 25 23,8 Kurang 80 76,2 Karakteristik Anak F % Umur (Bulan) <18 bulan ≥18 bulan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan PMT Baik (Memberikan makanan tambahan pada usia >6) Tidak baik
57 48
54,3 45,7
58 47
55,2 44,8
28
26,7 77
73,3
(Memberikan makanan tambahan pada usia ≤6 bulan) Kelengkapan Imunisasi Lengkap Tidak Lengkap Pada tabel 1. dapat diketahui bahwa proporsi karakteristik Ibu berdasarkan umur, paling banyak ditemukan pada golongan umur <35 tahun yaitu 67 orang (63,8%) dan ≥35 tahun yaitu sebanyak 38 orang (36,2%). Proporsi responden berdasarkan tingkat pendidikan, tertinggi adalah Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi (SMA, Akademik, S1/S2/S2) yaitu sebanyak 69 orang (65,7%), sedangkan untuk tingkat pendidikan rendah (tidak tamat SD, tamat SD, SMP) adalah 36 orang (34,3%). Proporsi responden berdasarkan pekerjaan di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan tahun 2014 ditemukan bahwa Ibu yang bekerja (PNS, pegawai swasta, wiraswasta, petani,) ada sebanyak 51 orang (48,6%), sedangkan ibu yang tidak bekerja ada sebanyak 54 orang (51,4%). Proporsi responden berdasarkan tingkat pengetahuan di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan tahun 2014 ditemukan bahwa Ibu dengan pengetahuan yang baik ada sebanyak 25 orang (23,8%), sedangkan ibu dengan pengetahuan kurang ada sebanyak 80 orang (76,2%).
86 19
81,9 18,1 Proporsi karakteristik anak berdasarkan umur (bulan) ditemukan bahwa anak dengan umur <18 bulan memiliki proporsi tertinggi yaitu sebanyak 57 anak (54,3%), anak ≥18 bulan sebanyak 48 anak (45,7%). Proporsi karakteristik anak berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa anak berjenis kelamin Laki-laki memiliki proporsi tertinggi yaitu sebanyak 58 anak (55,2%) dan perempuan sebanyak 47 anak (44,8%). Proporsi karakteristik anak berdasarkan pemberian makanan tambahan (PMT) ditemukan bahwa anak yang diberi PMT ≤6 bulan (tidak baik) memiliki proporsi tertinggi yaitu sebanyak 77 anak (73,3%), dan anak yang diberi PMT >6 bulan (baik) ada sebanyak 28 anak (26,7%). Proporsi karakteristik anak berdasarkan kelengkapan imunisasi ditemukan bahwa anak dengan imunisasi lengkap memiliki proporsi tertinggi yaitu sebanyak 86 anak (81,9%) sedangkan anak yang tidak imunisasi secara lengkap ada sebanyak 19 anak (18,1%).
Analisis Bivariat Hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan Tabel 2. Distribusi Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Diare Pada Anak Usia 12-24 Bulan di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2014 Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja
Diare F 45 19
% 88,2 35,2
Tidak diare f % 6 11,8 35 64,8
Dari Tabel 2. di atas dapat diketahui bahwa, dari 51 orang responden yang bekerja, sebanyak 45 orang anaknya (88,2%) menderita diare dan 6 orang anaknya (11,8%) tidak menderita diare, sedangkan dari 54 orang responden yang tidak bekerja memiliki 19 orang anak (35,2%) menderita diare dan 35 orang anak (64,8%) tidak menderita diare.
Jumlah f 51 54
% 100 100
χ2
P
RP(CI=95 %)
31,014
0,001
2,508 (1,722– 3,651)
Berdasarkan hasil analisis statistik uji Chi Square diperoleh nilai p=0,001 (p<0,05) yang berarti ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan. Diperoleh nilai Ratio prevalence sebesar 2,508 (95% CI=1,722-3,651), berarti pekerjaan (Ibu) merupakan faktor resiko kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan.
Sejalan dengan penelitian Setyanto (2006) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita umur 6-24 bulan di rawat inap di Puskesmas Wirosari I Kabupaten Grobongan dengan hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu (p=0,024) dengan kejadian diare.7 Pekerjaan orang tua, terutama ibu mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak. Ibu yang baik dapat menjaga dan dan melakukan tugas dirumah,
memperhatikan anak, baik makanan atau kesehatan, membina dan membimbing anak. Ibu yang bekerja biasanya kurang cepat memberikan penanganan terhadap anak yang sakit (diare) karena kesibukan dari pekerjaannya. Selain itu, seorang ibu yang bekerja juga akan sedikit mempunyai kesempatan untuk memberikan ASI eksklusif kepada anaknya sehingga anak tidak mendapat cukup ASI (gizi) yang dapat berdampak pada kesehatannya, sehingga tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan mudah terkena diare.8
Hubungan Pemberian Makanan Tambahan dengan Kejadian Diare Pada Anak Usia 12-24 Bulan Tabel 3. Hubungan Pemberian Tambahan Makanan dengan Kejadian Diare Pada Anak Usia 12-24 Bulan di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2014 Pemberian Makanan Tambahan Tidak Baik (≤6 bulan) Baik (>6 bulan)
f % 62 80,5
Tidak diare f % 15 19,5
f 77
% 100
2
26
28
100
Diare
7,1
92,9
Dari Tabel 3. di atas dapat diketahui bahwa pada variabel pemberian makanan tambahan (PMT), dari 77 orang anak yang diberikan makanan tambahan ≤6 bulan sebanyak 62 anak (80,5%) menderita diare dan 15 anak (19,5%) tidak menderita diare, sedangkan dari 28 orang anak yang diberikan makanan tambahan >6 bulan, sebanyak 2 anak (7,1%) diantaranya menderita diare dan sebanyak 26 anak (92,9%) tidak menderita diare. Berdasarkan hasil analisis statistik uji Chi Square diperoleh nilai p=0,001 (p<0,05) yang berarti ada hubungan yang bermakna antara pemberian makanan tambahan (PMT) dengan kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan. Diperoleh nilai
Jumlah
χ2
46,450
p
0,001
RP(CI=95 %)
11,273 (2,952– 43,051)
Ratio prevalence sebesar 11,273 (95% CI=2,952-43,051), berarti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) merupakan faktor resiko kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan. Makanan pendamping ASI (MPASI) saat ini kebanyakan diberikan pada saat usia dini. Selain adanya faktor pengetahuan ibu yang rendah, hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan pada masyarakat sehingga pemberian makanan tambahan dilakukan pada terlalu dini. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia penyebab utama kematian pada balita adalah diare, yaitu sebesar 25,2%. Salah satu faktor risikonya adalah pemberian MP-ASI dini.1
Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Diare Pada Anak Usia 12-24 Bulan
Tabel 4. Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Diare Pada Anak Usia 12-24 Bulan di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2014 Pemberian ASI Eklsusif Tidak ASI Eksklusif ASI Eksklusif
Diare f 62 2
% 80,5 7,1
Tidak diare f % 15 19,5 26 92,9
Dari Tabel 4. di atas dapat diketahui bahwa pada variabel pemberian ASI Eksklusif, dari 77 orang anak yang tidak ASI eksklusif sebanyak 62 anak (80,5%) menderita diare dan 15 anak (19,5%) tidak menderita diare, sedangkan dari 28 orang anak yang diberikan ASI eksklusif sebanyak 2 orang anak (7,1%) diantaranya menderita diare dan sebanyak 26 anak (92,9%) tidak menderita diare, sedangkan Berdasarkan hasil analisis statistik uji Chi Square diperoleh nilai p=0,001 (p<0,05) yang berarti ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan. Diperoleh nilai Ratio prevalence sebesar 11,273 (95% CI=2,952-43,051), berarti pemberian ASI eksklusif merupakan faktor resiko terhadap kejadian diare pada anak usia 12-24 bulan. Sejalan dengan penelitian Wahyuni dan Imelda (2013) dengan hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi dengan nilai p=0,002 (p<0.05).6 Pemberian ASI Ekslusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain, walaupun hanya air putih sampai bayi berumur 6 bulan, kemudian setelah 6 bulan bayi dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberi ASI sampai berumur dua tahun.10 Bayi yang baru lahir tidak memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik seperti orang dewasa. Tubuh bayi belum mampu untuk melawan bakteri atau virus penyebab penyakit. Pada umumnya, tubuh bayi dilindungi oleh antibodi yang diterima melalui air susu ibu. Bayi yang diberi ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4
Jumlah f 77 28
% 100 100
χ2
p
RP(CI=95 %)
46,450
0,001
11,273 (2,952– 43,051)
kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu formula.2 Kesimpulan dan Saran Kesimpulan a. Distribusi proporsi berdasarkan karakteristik Ibu di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan tahun 2014 tertinggi yaitu umur <35 tahun (63,8%), tingkat pendidikan tinggi (65,7%), bekerja (63,8%), dan pengetahuan baik (70,5%). Berdasarkan karakteristik Anak di Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan tahun 2014 tertinggi yaitu umur <18 bulan (54,3%), jenis kelamin laki-laki (55,2%), PMT ≤6 bulan (73,3%), dan imunisasi lengkap (81,9%). tidak ASI eksklusif (73,3%), dan anak yang mengalami diare (61,0%). b. Untuk menghindari terjadinya diare pada anak, maka Ibu harus memberikan makanan tambahan (PMT) setelah bayi berusia > 6 bulan, memberikan imunisasi dasar lengkap, dan memberikan ASI secara eksklusif. Saran a. Bagi ibu-ibu di wilayah kerja Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan harus memberikan ASI eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan. b. Disarankan kepada pihak Puskesmas Terjun Kecamatan Medan Marelan agar melakukan penyuluhan terhadap ibu untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang pentingnya pemberian ASI Eksklusif dan kolostrum, manfaat pemberian oralit dan zink untuk penanganan diare pada anak, akibat
pemberian susu formula pada anak <6 bulan, pemberian imunisasi dasar lengkap, dan pemberian makanan tambahan setelah bayi berusia 6 bulan untuk mencegah dan menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat diare. Daftar Pustaka 1. Depkes RI. 2009.Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta. 2. Kemenkes RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Tersedia dari URL: http://www.depkes.go.id/downloads/ Buletin%20Diare_Final.pdf . 3. Depkes RI. 2013.Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan: Jakarta.
4. Depkes RI. 2013.Data dan Informasi Tahun 2013. Jakarta. 5. Dinas Kesehatan Kota. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. Medan. 6. Wahyuni, S dan Imelda. 2013. Hubungan Pengetahuan, Sikap Ibu dan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Kota, Desa Paya Bujuk Blang Pase Tahun 2013. Skripsi. 7. Setyanto.2006.Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita umur 6-24 bulan di rawat inap di Puskesmas Wirosari I Kabupaten Grobongan di Kecamatan Blang Pidie Aceh Barat Daya.Skripsi.Universitas Muhammadiyah Semarang.URL:http://digilib.unimus.a c.id diakses:06-Februari-2008 8. Pudjiadi, S.2000.Ilmu Gizi Klinis pada Anak. FKUI. Jakarta 9. Hardi,amin dkk.2012.Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada batita di Puskesmas Barang Lompo Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin.Makassar.URL:http://repo sitory.unhas.ac.id/bitstream/handle/123
456789/4666/Jurnal%20Fix%20Amin %20Rahman%20Hardi%20%28K1110 7156%29.pdf?sequence=1 10. Roesli, Utami. 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Komputindo
Jakarta:
PT
Elex
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS PANYABUNGANJAE KABUPATENMANDAILING NATAL TAHUN 2014 Lenni Marlina1,Sorimuda Sarumpaet2,Rasmaliah2 1
Mahasiswi Departemen Epiemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
ABSTRACT Acute Respiratory Infection (ARI) is acute infection on upper and lower part of respiratory tract caused by virus,fungus and bacteria. Based on data of World Health Organization (WHO) in 2005 the proportion of neonate mortality caused by the respiratory infection is 19 – 25 %. The objective of this research is to study factor related to incidence of ARI on baby or neonate at the area Health Center of Panyabungan Jae Mandailing Natal Regency in 2014. This research is observational study using cross sectional approach. The sample of this research is purposive sampling for 100 person. The data was analyzed by descrivtive study and tested by Chi Square test with 95% CL. The result of research indicates that proportion of patien with ARI is 61 %, the higher on the rage of age group ≥ 12 - < 36 month old ( 58), female for 52 %, a good nutrition status for 94 %, status with exclusive breast milk 39 %, status of complete immunization for 71 %. The result of statistic analysis indicates that is a significant correlation between immunization status (p=0,001, RP;1,819; 95% CL 1,393-2,734),, ventilation (p=0,003, RP;1,633 95% CL 1,256-2,123), occupation density (p<0,001, RP; 2,124; 95% CL 1,4613,087), burnt anti-mosquito (p<0,001, RP; 1,976; 95% CL 1,545-2,529), and smoking(p<0,001,RP; 2,339; 95%CL 1,743-3,138) with incident of ARI. It is suggested to the health staff to increase the knowledge of society about the importance of immunization and of health house. Keywords: ARI, Immunization status, Ventilation, Occupation density, BurntAntimusquito, Smoker
Pendahuluan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA akan menyerang host apabila ketahanan tubuh (immunologi) menurun. Bayi di bawah lima tahun adalah kelompok
yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit.1 Berdasarkan Data World Health Organization (WHO) tahun 2005 menyatakan bahwa proporsi kematian balita karena saluran pernafasan di dunia adalah 19-26%. Pada tahun 2007 diperkirakan terdapat 1,8 juta kematian
akibat pneumonia atau sekitar 20% dari total 9 juta kematian pada anak.2 MenurutWHO memperkirakan insidensi ISPA di negara berkembang 0,29% (151 juta jiwa) dan negara industri 0,05% (5 juta jiwa).3 Secara global, tingkat kematian balita mengalami penurunan sebesar 41% dari tingkat estimasi 87 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 51 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2011.Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menempati urutan pertama penyakit yang diderita pada kelompok bayi dan balita di Indonesia.4 Menurut data Riskesdas tahun 2013,Period Prevalence ISPA tertinggi di lima provinsi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2007 (25,5%).5 Data profil Kesehatan Sumatera Utara tahun 2012, menunjukkan bahwa cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita masih rendah, dari 148.431 perkiraan kasus balita yang menderita pneumonia yang ditemukan dan ditangani hanya 17.433 balita atau 11,74%.8 Sementara proporsi pneumonia terhadap ISPA pada balita di Kabupaten Mandailing Natal sebesar 0,81%.6 Berdasarkan laporan bulanan P2 ISPA Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2013 menyatakan bahwa proporsi penderita ISPA pada anak balita adalah 56,02%. Penyakit ISPA juga merupakan urutan pertama dari sepuluh penyakit terbesar yang ada di wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal.7 Perumusan masalah dalampenelitian ini adalahbelum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalahUntuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain crossectional.Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal dari bulan Maret sampai Desember 2014.Sampel penelitian ini adalah sebagian anak balita yang tinggal di Desa Pidoli Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal di wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.Atas pertimbangan waktu, biaya, dan tenaga peneliti, maka diambillah desa Pidoli Lombang.Pemilihan desa ini didasarkan karena kejadian ISPA pada anak balita tinggi berdasarkan laporan P2 ISPA di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Kabupaten Mandailing Natal. Variabel depanden dalam penelitian ini adalah kejadiaan ISPA pada balita dan variabel independen adalah faktor anak balita (umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir, status ASI eksklusif, status imunisasi); faktor ibu (pendidikan, pekerjaan); faktor lingkungan rumah (ventilasi rumah, kepadatan hunian ruang tidur, pemakaian obat nyamuk, bahan bakar untuk memasak, keberadaan perokok). Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.Data primer diperoleh secara langsung dari responden yaitu ibu anak balita secara langsung dan hasil pengamatan melalui observasi dan pengukuran, sedangkan data sekunder diperoleh dari Profil Puskesmas Panyabungan Jae tahun 2014.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis Univariat Proporsi prevalens kejadian ISPApada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 adalah 61 orang (61%), dan yang tidak ISPA adalah 39 orang (39%). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, menunjukkan bahwa proporsi ISPA pada anak balita di Indonesia sebesar 5 %.50 Distribusi proporsi responden berdasarkan faktoranak balita di wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1.Distribusi Proporsi Berdasarkan Faktor Balita (Umur, Jenis Kelamain, Status Gizi, Status ASI eksklusif, Status Imunisasi di Wilayah KerjaPuskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014 Karakteristik f % Umur (Bulan) ≥ 12 - < 36 >36 - ≤ 60 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Status Gizi Tidak Baik Baik Status ASI eksklusif Tidak Ya Status Imunisasi Tidak Lengkap Lengkap
58 42
58 42
52 48
52 48
6 94
6 94
61 39
61 39
29 71
29 71
Pada tabel 1dapat diketahui bahwa proporsi anak balita di Wilayah Puskesmas
Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 berdasarkan umur, paling banyak ditemukan pada golongan umur ≥ 12 - < 36 bulan yaitu 58 orang (58%), kemudian pada golongan umur > 36 - ≤ 60 bulan yaitu 42 orang (42%). Proporsi anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu 52 orang (52%), sedangkan pada laki-laki yaitu 38 orang (38%). Proporsi anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 berdasarkan status gizi, paling banyak status gizi baik yaitu 94 orang (94%), kemudian status gizi tidak baik yaitu 6 orang (6%). Proporsi anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 berdasarkan status ASI eksklusif, paling banyak tidak mendapatkan ASI eksklusif yaitu 61 orang (61%), kemudian mendapatkan ASI eksklusif yaitu 39 orang (39%). Proporsi anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 berdasarkan status imunisasi, paling banyak imunisasi lengkap yaitu 71 orang (71%), kemudian tidak lengkap yaitu 29 orang (29%). Distribusi proporsi responden berdasarkan faktor ibudi wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2.Distribusi Proporsi Berdasarkan Faktor Ibu (Pendidikan dan Pekerjaan) di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014 Karakteristik f % Pendidikan Rendah 34 34 Tinggi 66 66
Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja
27 73
27 73
lebih banyak ditemukan pendidikan tinggiyaitu 66 orang (66%), sedangkan yang rendah yaitu 34 orang (34%). Proporsi berdasarkan pekerjaan ibu di Wilayah Kerjapuskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014, berdasarkan pekerjaan ibu, lebih banyak ditemukan tidak bekerja yaitu 73 orang (73%), sedangkan yang bekerja yaitu 27 orang (27%). Distribusi proporsi respondenberdasarkan faktor lingkungan rumah di wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3.Distribusi Proporsi Berdasarkan Faktor Lingkungan Rumah (ventilasi, kepadatan hunian ruang tidur, pemakaian anti nyamuk bakar, bahan bakar untukmasak, keberadaan perokok)di Wilayah Kerja Pada tabel 3dapat diketahui bahwa proporsi berdasarkan ventilasi rumah di Wilayah Kerja puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014, lebih banyak ditemukan ventilasi baikyaitu 77 orang (77%), sedangkan yang tidak baikyaitu 23 orang (23%). Proporsi berdasarkan kepadatan hunian di wilayah kerja puskesmas ditemukan tidak menggunakan anti nyamuk bakar yaitu 74 orang (74%), sedangkan yang menggunakan anti nyamuk bakaryaitu 26 orang (26%). Proporsi berdasarkan bahan bakar untuk masak di puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014, lebih banyak ditemukan menggunakan gas/elpiji yaitu 90 orang
Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa proporsi berdasarkan pendidikan di Wilayah Kerja puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014, Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014 Karakteristik f % Ventilasi Rumah Baik Tidak Baik Kepadatan Hunian Padat Tidak Padat Pemakaian Anti Nyamuk Bakar Ya Tidak Bahan Bakar Untuk Masak Kayu bakar/minyak tanah Gas/elpiji Keberadaan Perokok Ada Tidak Ada
77 23
77 23
51 49
51 49
26 74
26 74
10 90
10 90
35 65
35 65
Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014, lebih banyak ditemukan hunian padat yaitu 51 orang (51%), sedangkan yang tidak padatyaitu 49 orang (49%). Proporsi berdasarkan pemakaian anti nyamuk bakar di wilayah kerja puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014, lebih banyak (90%), sedangkan yang menggunakan kayu bakar/minyak tanahyaitu 10 orang (10%). Proporsi berdasarkan keberadaan perokok di wilayah kerja puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014, lebih banyak ditemukan tidak ada perokok yaitu 65 orang (65%), sedangkan yang ada perokok yaitu 35 orang (35%)
Analisis Bivariat Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA Tabel 4.Hubungan Status Imunisasidengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di WilayahKerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014 ISPA Tidak ISPA Jumlah Status RP X2 P Imunisasi f (95% CI) % f % f % Tidak 26 89,7 3 10,3 29 100 1,819 14,098 0,001 Lengkap (1,393-2,734) Lengkap 35 49,3 36 50,7 71 100 Padatabel2dapat dilihat bahwaproporsi ISPA tertinggi pada statusimunisasi tidak lengkap yaitu 89,7%, dan yang terendah pada imunisasi lengkap yaitu 49,3% Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square(α = 0,05) diperoleh nilai p< 0,001 (p< 0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%,hal ini berarti ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan ISPA pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. Diperoleh RP sebesar 1,819 dengan 95% CL (1,3932,374).Artinya status imunisasi merupakan faktor resiko timbulnya penyakit ISPA.Imunisasi berguna untuk memberikan kekebalan untuk melindungi anak dari serangan penyakit menular. Imunisasi yang paling efektif mencegah penyakit ISPA
yaituimunisasi campak dan DPT. Balita yang terserang campak akan mendapatkan kekebalan alami terhadap pneumonia. Kematian karena ISPA sebagian besar berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi misal difteri, pertusis dan campak. Imunisasi lengkap berguna untuk mengurangi mortalitas ISPA , sehingga balita yang mempunyai status imunisasi lengkap jika terkena ISPA maka diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat.8 Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Gulo di Kabupaten Nias tahun 2008 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa adea hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p=0,007 (p<0,05).9
Hubungan Ventilasidengan Kejadian ISPA Tabel 3.Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di WilayahKerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014 ISPA Tidak ISPA Jumlah RP Ventilasi X2 P (95% CI) f % f % f % TiTidak Baik 20 87,0 3 13,0 23 100 1,633 8,459 0,003 BBaik 41 53,2 36 46,8 77 100 (1,256-2,123) 0,05) diperoleh nilai p = 0,003 (p< 0,05) Pada tabel 3dapat dilihat bahwa dengan tingkat kepercayaan 95%, hal ini proporsi ISPA tertinggi pada ventilasi yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tidak baik yaitu 87%, dan yang terendah ventilasi dengan ISPA pada anak balita di pada ventilasi baik yaitu 53,2%. Sedangkan wilayah kerja puskesmas Panyabungan Jae proporsi tidak ISPA tertinggi pada Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. ventilasi baik yaitu 46,8% dan terendah Diperoleh RP sebesar 1,633 dengan 95% pada ventilasi tidak baik yaitu 13%. CI (1,256-2,123). Artinya ventilasi Berdasarkan hasil analisis statistik merupakan faktor resiko timbulnya dengan menggunakan uji chi square(α = penyakit ISPA pada anak balita di Wilayah
kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar karbon dioksida yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10 % dari luas lantai.10 Berdasarkan hasil penelitian Sulistyowati di Kabupaten Trenggalek
tahun 2010 didapatkan bahwa proporsi anak balita penderita pneumonia yang memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 57,8%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia dengan ventilasi (p = 0,042). Nilai OR 1,9 (95% CI: 1,0-3,4), artinya anak balita kemungkinan menderita pneumonia 1,9 kali pada balita yang memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.11
Hubungan Kepadatan Hunian Ruang Tidur dengan Kejadian ISPA Tabel 4. Hubungan Kepadatan Hunian Ruang Tidur dengan ISPA pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014. ISPA Tidak ISPA Jumlah Kepadatan RP X2 P Hunian (95% CI) f % f % f % Padat 42 82,4 9 17,6 51 100 19,948 0,001 2,124 Tidak Padat 19 38,8 30 61,2 49 100 (1,461-3,087) Pada tabel 4dapat dilihat bahwa proporsi ISPA tertinggi pada hunian ruang tidur yang padat yaitu 82,4%, dan yang terendah pada hunian ruang tidur tidak padat yaitu 38,8%. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square(α = 0,05) diperoleh nilai p< 0,001 (p< 0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%,hal ini berarti ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian ruang tidurdengan ISPA pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. Diperoleh RP sebesar 2,124 dengan 95% CI (1,461-3,087). Artinya kepadatan hunian ruang tidur merupakan faktor resiko timbulnya penyakit ISPA
Berdasarkan KepMenkes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akanmempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran 12 pernafasan seperti ISPA . Hal ini sejalan dengan penelitian Taisir tahun 2005 yang menunjukkan ada hubungan antara status kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA di Kelurahan Lhok Bengkuang tahun 2005 ( p=0,004 ).13
Hubungan Pemakaian Anti Nyamuk Bakardengan Kejadian ISPA Tabel 5. Hubungan Pemakaian Anti Nyamuk Bakardengan ISPA pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014. Tidak Pemakaian ISPA Jumlah RP ISPA Anti X2 P (95% CI) Nyamuk f % f % f % Ya 25 96,2 1 3,8 26 100 18,251 1,976 0,001 Tidak 36 48,6 38 51,4 74 100 (1,545-2,529) Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa proporsi ISPA tertinggi yang memakai anti nyamuk bakar yaitu 96,2%, dan yang terendah tidak memakai anti nyamuk bakar yaitu 48,6%. Sedangkan proporsi tidak ISPA tertinggi yang tidak memakai anti nyamuk bakar yaitu 51,4% dan terendah yang memakai anti nyamuk bakar yaitu 3,8%. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square(α = 0,05) diperoleh nilai p< 0,001 (p< 0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%, hal ini berarti ada hubungan yang bermakna antara pemakaian anti nyamuk bakar dengan ISPA pada anak balita di wilayah kerja
puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. Diperoleh RP sebesar 2,124 dengan 95% CI (1,461-3,087). Artinya pemakaian anti nyamuk merupakan faktor resiko timbulnya penyakit ISPA .Hal ini kemungkinan karena sebagian besar dari penduduk di kabupaten Mandailing Natal menggunakan jenis anti nyamuk bakar pada malam hari. Hal ini sejalan dengan penelitian Vinna Mairuhu tahun 2011 yang menunjukkan ada hubungan antara penggunaan obat nyamuk dengan kejadian ISPA pada Pulau Barrang Lompo.14
Hubungan Keberadaan Perokokdengan Kejadian ISPA Tabel 6. Hubungan Keberadaan Perokok dengan ISPA pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014. ISPA Tidak ISPA Jumlah Keberadaa RP X2 P Perokok (95% CI) f % f % f % Ada 34 97,1 1 2,9 35 100 2,339 29,567 0,001 Tidak Ada 27 41,5 38 58,5 65 100 (1,743-3,138) anak balita di wilayah kerja puskesmas Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing proporsi ISPA tertinggi yang ada perokok Natal tahun 2014. yaitu 97,1%, dan yang terendah tidak ada Diperoleh RP sebesar 2,124 dengan perokok yaitu 41,5%. Sedangkan proporsi 95% CI (1,461-3,087). Artinya keberadaan tidak ISPA tertinggi yang tidak ada perokok merupakan factor resiko timbulnya perokok yaitu 58,5% dan terendah yang ada penyakit ISPA pada anak balita di wilayah perokok yaitu 2,9%. kerja Puskesmas Panyabungan Jae Berdasarkan hasil analisis statistik Kabupaten Mandailing Natal. dengan menggunakan uji chi square(α = Anak yang orang tuanya merokok 0,05) diperoleh nilai p< 0,001 (p< 0,05) akan mudah menderita penyakit gangguan dengan tingkat kepercayaan 95%,hal ini pernapasan. Sebagian besar sering (45,7%) berarti ada hubungan yang bermakna antara merokok di dalam rumah sehingga keberadaan perokok dengan ISPA pada penghuni rumah terutama balita terpapar
asap rokok. Hal ini disebabkan karena anggota keluarga biasanya merokok dalam rumah pada saat bersantai bersama keluarga, misalnya sambil nonton TV atau setelah selesai makan dengan anggota keluarga lainnya.15 Hal ini sejalan dengan penelitian Karlinda dan Warni tahun 2012 di Bengkulu, ada hubungan yangt bermakna antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita.16 Kesimpulan dan Saran Kesimpulan a. ProporsiISPApada anak balita di puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014 sebesar 61%. b. Proporsi berdasarkan faktor balita di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014tertinggi pada umur ≥12 - ≤ 35bulan yaitu 58orang (58%), jenis kelamin laki-laki 52%, Status gizi baik 94%, Status tidak ASIEkslusif 61%, dan Status Imunisasi lengkap 71%. c. Proporsi berdasarkan faktor ibu di puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014tertinggi pada pendidikan yang tinggi yaitu 66% dan yang bekerja sebanyak 73%. d. Proporsi berdasarkan faktor lingkungan di puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014tertinggi adalah dengan ventilasi baik yaitu 77%, padat hunian tidur yaitu 51%, memakai anti nyamuk bakar 74%, menggunakan gas/elpiji untuk memasak 90%, dan keberadaaan perokok di rumah 65%. e. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, status gizi, ASI Ekslusif, pendidikan ibu, pekarjaan ibu, dan menggunakan gas/elpiji untuk memasak dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada anak balita di wilayah kerja Puskesms Panyabungan Jae KabupatenMandailing Natal tahun 2014
f. Terdapat hubungan yang bermakna antara Status imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada anak balita di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. g. Terdapat hubungan yang bermakna antara Ventilasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada anak balita di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. h. Terdapat hubungan yang bermakna antara Kepadatan hunian dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada anak balita di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. i. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian anti nyamuk bakar dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada anak balita di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. j. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara bahan bakar untuk masak dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada anak balita di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Nataldan tahun 2014. k. Terdapat hubungan yang bermakna antara keberadaan perokok dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada anak balita di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. Saran a. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk usaha peningkatan derajat kesehatan dengan pencegahan primer seperti ; Melakukan penyuluhan dengan tujuan untuk merubah sikap dan prilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan
seimbang pada, serta penyuluhan kesehatan lingkungan rumah dan penyuluhan bahaya rokok. Meningkatkan Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah b. Diharapkan kepada masyarakat agar memperhatikan kesehatan lingkungan rumah terutama yang berhubungan dengan kualitas udara dalam rumah, dengan memperhatikan pemakaian obat anti nyamuk yang tepat serta tidak merokok di dalam rumah. Daftar Pustaka 1. Depkes RI, 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. 2. Depkes RI, 2007, Profil Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan tahun 2006. 3. Probowo, Sony, 2012, Penyakit yang Paling Umum pada Anak, Majalah Kesehatan, (Online)http://majalahkesehatan.com/pe nyakit-yang-paling-umum-pada-anakbag-1/ Diakses 27 Agustus 2014. 4. WHO, 2012, Under - Five Mortality, (Online) http://www.who.int/gho/child_ health/mortality/mortality_under_five_t ext/en/index.html Diakses 27 Agustus 2014. 5. Depkes RI, 2007, Riskesdas 2007, Jakarta: Depkes RI (Online) http://www.ppid. depkes.go.id/index.php?option=com_do cman&task=doc_download&gid=53&It emid=87 Diakses 27 Agustus 2014. 6. Kementerian Kesehatan RI, Pneumonia Balita, Buletin Jendela Epidemiologi,Volume 3 September 2010. 7. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013, Riset Kesehatan Dasar, Jakarta. 8. Achmadi, Umar Fahmi.Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2008.
9.
Gulo, R. R,Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada Balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias Tahun 2008,Skripsi FKM USU Medan, 2009. 10. Mukono, J. H,Pencemaran Udara dan Pengaruhnya TerhadapGangguan Saluran Pernafasan, Airlangga University Press, Surabaya, 1997 11. Sulistyowati, R, 2010, Hubungan Antara Rumah Tangga Sehat dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Kabupaten Trenggalek,Tesis MagisterKedokteran Universitas Sebelas Maret,Surakarta. 12. KepMenkes RI No. 829/Menkes/SK/VIII/1999,Peraturan Rumah Sehat, Jakarta. 13. Taisir,Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA pada Balita, di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan Tahun 2005,Skripsi FKM USU, Medan, 2005. 14. Mairuhu,V. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Pulau Barrang Lompo Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar. Universitas Hasanuddin Makassar, 2012. 15. Nastiti N, Bambang Supriyatno, dkk. Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2008. 16. Karlinda, Tri dan Warni Susilawati. Hubungan Keberadaan Anggota Keluarga Yang Merokok Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Indah Kota Bengkulu Tahun 2010. Jurnal Akademi Kesehatan Sapta Bakti Bengkulu, 2012.
1
GAMBARAN PERILAKU IBU RUMAH TANGGA DALAM PENGGUNAAN GARAM BERIODIUM DI DESA BANGUN I KECAMATAN PARBULUAN KABUPATEN DAIRI TAHUN 2014 Martha V Sihombing1, Albiner Siagian2, Etti Sudaryati 3 1
Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 2,3 Departemen Gizi Kesehatan MasyarakatFakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan, 20155, Indonesia. Email :
[email protected] ABSTRACT Iodine Definiency Disorders (IDD) is one of serious health problem for its influences to the survive and quality of human resources the risk of IDD to anyone is begin since in the pregnancy up to the adult that cause cretin, abortion for pregnant woman, stillbirth, mental retardation, growth disorder and intelligence disorder and the famous risk is goiter that influence the living quality of patient. The objective of this research is to study the behavior of housewife in using iodized salt in Desa Bangun I sub-district of Parbuluan, Regency of Dairi. This research is descriptive study with cross sectional method, and technique of sampling is done proportional allocation. The number of population in this research is 424 persons and sample for 81 persons. The result of research indicates that the knowledge of mother about the using of iodized salt is in good category for 61 persons (75,3%). The attitude of respondent also in good category for 39 persons (48.1%). As well as the action in enough level for 57 persons (70,4%) Based on the result it is suggested that the housewife still use iodized salt and improve the using of iodized salt in cooking process. Keywords : Behavior of housewife, Iodized salt, IDD
PENDAHULUAN Masalah gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius, mengingat dampaknya sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. GAKI merupakan sekumpulan gejala yang ditimbulkan akibat tubuh mengalami kekurangan iodium dalam jangka waktu yang lama (Adriani, 2012). Resiko terjadinya GAKI pada seseorang sebenarnya dapat dimulai dari masa kehamilan hingga orang dewasa seperti kretin, keguguran pada ibu hamil, bayi lahir mati, keterbelakangan mental, gangguan pertumbuhan syaraf penggerak, gangguan bicara, gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan serta resiko yang paling dikenal masyarakat yaitu pembesaran kelenjar gondok yang sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Supariasa, 2008). Gangguan Akibat Kekurangan Iodium bukan salah satu masalah gizi di Indonesia saja
namun juga menjadi masalah gizi didunia. Menurut WHO pada tahun 2003, secara global terdapat sekitar 54 negara yang menjadikan kekurangan iodium sebagai masalah kesehatan masyarakat, dimana 40 negara dengan defisiensi iodium tingkat ringan dan 14 negara dengan defisiensi iodium tingkat sedang dan berat. Selain itu, terdapat hampir 2 miliar penduduk dunia yang mengalami kekurangan iodium (WHO, 2004). Berdasarkan kategori endesimitas, dari 15 kecamatan di Kabupaten Dairi diketahui 2 kecamatan termasuk dalam kategori endemis berat yaitu, Kecamatan Siempat Nempu, dengan prevalensi TGR sebesar 33,9% dan Kecamatan Parbuluan dengan prevalensi TGR sebesar 36,2%, satu Kecamatan endemis sembilan Kecamatan endemis ringan, dan dua Kecamatan non endemis (Depkes RI, 2003). Hasil penelitian Gema (2007), diketahui prevalensi TGR pada anak SD di kabupaten
2
Dairi sebesar 29,2%, diantaranya 24,7% grade 1 dan 4,5% grade 2, prevalensi tertinggi terdapat pada kecamatan Parbuluan sebesar 35,6% (endemik berat), dan prevalensi terendah Kecamatan Silahisabungan 4,8% (endemik ringan). Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan masih rendahnya asupan iodium dalam keluarga yang kemungkinan terjadi karena rendahnya pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pengetahuan ibu dalam penggunaan garam beriodium. Berdasarkan survei yang dilakukan penulis di Desa Bangun I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi, garam yang dikonsumsi oleh masyarakat sudah mengandung iodium yang berkisar antara 30-80 ppm yang diketahui melalui test iodine pada garam. Pada umumnya masyarakat menggunakan garam yang berbentuk kasar dan hanya sebagian kecil yang menggunakan garam halus, dengan merek garam beriodium yang tersedia adalah garam cap jangkar dan refina. Hasil survey pendahuluan yang dilakukan penulis masih ada 1 orang ibu yang menderita gondok dan dari 7 orang ibu rumah tangga yang penulis wawancarai ada 1 orang ibu rumah tangga yang belum pernah mendengar garam beriodium dan 5 orang ibu HASIL PENELITIAN Tabel 1 Karakteristik Ibu
Karakteristik ibu dalam penelitian ini Variabel
Frekuen si
Persentas e
20-44 tahun 45-59 tahun > 59 tahun Pendidikan Tidak sekolah Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Akademi/PT Pekerjaan Petani Buruh tani PNS/ABRI Pegawai swasta Pedagang/wirasw ata IRT Total
53 20 8
65,4 24,7 9,9
2 28 21 25 5
2,5 34,6 25,9 30,9 6,2
54 7 6 5 8
66,7 8,6 7,4 6,2 9,9
1 81
1,2 100.0
rumah tangga yang tidak mengetahui cara penggunaan garam beriodium yang tepat. Berdasarkan hal tersebut diatas penulis ingin mengetahui gambaran perilaku ibu rumah tangga dalam penggunaan garam beriodium dan kualitas garam di Desa Bangun I yang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2014. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah “ bagaimana perilaku ibu rumah tangga dalam penggunaan garam beriodium dan kualitas garam di Desa Bangun I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2014”. Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran perilaku ibu rumah tangga dalam penggunaan garam beriodium dan kualitas garam di Desa Bangun I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2014. Manfaat penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan dalam upaya program penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) dan dapat menjadi referensi khususnya penelitian yang berhubungan dengan perilaku ibu rumah tangga dalam penggunaan garam beriodium. meliputi umur, pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh umur ibu yang paling banyak tergolong dalam usia produktif yaitu umur 20-44 tahun sebanyak 53 orang (65,45%). Jumlah ibu berdasarkan tingkat pendidikan ada yang tidak sekolah sebanyak 2 orang (2,5%), dan dilihat dari jenis pekerjaan terdapat 54 orang (66,7%) yang bekerja sebagai petani.
Umur
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada umumnya responden memiliki pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 75,3%.
3
2.1. Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Umur Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
Frekuensi 61 14 6 81
Persentase 75,3 17,3 7,4 100.0
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden paling banyak adalah responden dengan tingkat pengetahuan yang baik dan berumur antara 20-44 tahun sebanyak 51,9 %. berikut adalah tabel gambaran pengetahuan ibu berdasarkan umur. Tabel 3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Umur
Umur 20-44 tahun 45-59 tahun > 59 tahun Total
Pengetahuan Cukup n % 9 11,1 4 4,9 1 1,2 14 17,2
Baik n 42 14 5 61
% 51,9 17,3 6,2 75,3
Kurang n % 2 2,5 2 2,5 2 2,5 6 7,5
Total n 53 20 8 81
% 65,4 24,7 9,9 100.0
2.2 Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pendidikan Responden yang tidak sekolah memiliki sedangkan responden yang tamat SLTP masih pengetahuan yang baik tentang garam ada dengan pengetahuan kurang sebanyak 2 beriodium yaitu sebanyak 2 orang (2,5%), orang (2,5%). Tabel 3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pendidikan Pengetahuan Pendidikan
Baik
Total
Cukup n % 0 0
Kurang n % 0 0
n 2
% 2,5
4,9
28
34,6
Tidak sekolah
n 2
% 2,5
Tamat SD
16
19,8
8
9,9
4
Tamat SLTP
14
17,3
5
6,2
2
2,5
21
25,9
Tamat SLTA
24
29,6
1
1,2
0
0
25
30,9
Akademi/PT
5
6,2
0
0
0
0
5
6,2
61
75,3
14
17,3
6
7,4
81
100.0
Total
2.3 Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pekerjaan Berdasarkan hasil penelitian diketahui memiliki pekerjaan sebagai petani, yaitu bahwa responden yang paling banyak adalah sebanyak48,1% responden dengan pengetahuan yang baik dan Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pekerjaan Pengetahuan Pekerjaan -
Petani
Baik n % 39 48.1
-
Buruh tani
7
8.6
0
0
0
-
PNS/ABRI
5
6.2
1
1.2
0
-
Pegawai swasta
3
3.7
1
1.2
-
Pedagang/wiraswata
6
7.4
1
1.2
-
IRT Total
3. Gambaran Sikap Ibu Tentang Garam BeriodiumBerdasarkan Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan dan Tindakan Dari hasil penelitian diketahui bahwa responden yang paling banyak adalah
Cukup n % 11 13.6
Kurang n % 4 4.9
Total n 54
% 66.7
0
7
8.6
0
6
7.4
1
1.2
5
6.2
1
1.2
8
9.9
1
1.2
0
0
0
0
1
1.2
61
75.3
14
17.3
6
7.4
81
100.0
responden dengan kategori sikap baik yaitu sebanyak 48,1% kemudian responden dengan kategori sikap kurang sebanyak 37,0% dan paling sedikit adalah responden kategori sikap cukup yaitu sebanyak 14,8%.
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Tentang Garam Beriodium
4 Sikap
Frekuensi
Persentase
-
Baik Cukup
39 12
48.1 14.8
-
Kurang
30
37.0
81
100.0
Total
3.1 Gambaran Sikap Ibu Tentang Garam baik adalah berumur antara 20-44 tahun Beriodium Berdasarkan Umur sebanyak 32,1%. berikut adalah tabel gambaran Berdasarkan tabel diketahui bahwa sikap berdasarkan umur. responden paling banyak dengan sikap yang Tabel 6 Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Umur Sikap Umur
Baik
Total
20-44 tahun
n 26
% 32,1
Cukup n % 8 9,9
45-59 tahun
9
11,1
3
3,7
8
9,9
20
24,7
> 59 tahun
4
4,9
1
1,2
3
3,7
8
9,9
39
48,1
12
14,8
30
37,0
81
100,0
Total
Kurang n % 19 23,5
n 53
% 65,4
3.2.Gambaran Sikap Ibu Tentang Garam responden yang memikili pendidikan Beriodium Berdasarkan Pendidikan Akademi/PT 3 orang (3,7%) responden Responden dengan sikap yang baik memiliki sikap kurang tentang penggunaan memiliki pendidikan SD dan SLTA yaitu garam beriodium. sebanyak 13 orang (33,3%), dan dari 5 orang Tabel 7 Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pendidikan Pendidikan
-
Sikap Cukup
Baik n 1 13 10 13 2 39
Tidak sekolah Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Akademi/PT Total
% 1,2 33,3 12,3 33,3 5,1 48,1
n 0 5 4 3 0 12
Total
Kurang n % 1 1,2 10 12,3 7 8,6 9 30,0 3 3,7 30 37,0
% 0 6,2 4,9 25,0 0 14.8
n 2 28 21 25 5 81
% 2,5 34,6 25,9 30,9 6,2 100,0
3.3.Gambaran Sikap Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pekerjaan Berdasarkan hasil penelitian diketahui memiliki pekerjaan sebagai petani, yaitu bahwa responden yang paling banyak adalah sebanyak 25,9%. responden dengan sikap yang baik dan Tabel 8 Distribusi Frekuensi Sikap Tentang Garam Beriodium Ibu Berdasarkan Pekerjaan Sikap Pekerjaan
Baik
Total
Petani
n 21
% 25.9
Cukup n % 10 12.3
Buruh tani
6
7.4
0
0
1
1.2
7
8.6
PNS/ABRI
5
6.2
0
0
1
1.2
6
7.43
Pegawai swasta
3
3.7
2
2.5
0
0
5
6.2
Pedagang/wiraswata
4
4.9
0
0
4
4.9
8
9.9
IRT
0
0
0
0
1
1.2
1
1.2
39
48.1
12
14.8
30
37.0
81
100.0
Total
Kurang n % 23 28.4
n 54
% 66.7
3.4 Gambaran Sikap Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pengetahuan Berdasarkan hasil tabulasi silang diatas dapat pengetahuan baik, ternyata ada 20 orang dilihat bahwa dari 61 orang yang memiliki (66,7%) yang memiliki sikap kurang. Tabel 9 Tabulasi Silang Sikap Ibu Berdasarkan Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium Pengetahuan n
Baik %
n
Sikap Cukup %
n
Kurang %
Total n
%
5 Baik Cukup Kurang Total
32 7 0 39
39,5 8,6 0 48.1
9 1 2 12
11,1 1,2 2,5 14.8
20 6 4 30
24,7 7,4 4,9 37.0
61 14 6 81
75.3 17.3 7.4 100.0
3.5 Gambaran Sikap Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Tindakan Berdasarkan hasil penelitian diketahui memiliki tindakan yang cukup, yaitu sebanyak bahwa responden paling banyak adalah 39,5%. responden dengan sikap yang baik dan Tabel 10 Tabulasi Silang Sikap Ibu Berdasarkan Tindakan Ibu Tentang Garam Beriodium Tindakan
Sikap Cukup n % 2 2,5 7 8,6 3 3,7 12 14,8
Baik n 6 32 1 39
Baik Cukup Kurang Total
% 7,4 39,5 1,2 48,1
Kurang n % 3 3,7 18 22,2 9 11,1 30 37.0
Total n 11 57 13 81
% 13,6 70,4 16,0 100,0
3.6 Gambaran Tindakan Responden Berdasarkan Umur,Pendidikan, Pekerjaan dan Pengetahuan Dari hasil penelitian diketahui bahwa responden dengan kategori tindakan cukup responden yang paling banyak adalah yaitu sebanyak 70,37% . Tabel 11 Distribusi Frekuensi Tindakan Ibu Dalam Penggunaan Garam Beriodium Tindakan Baik Cukup Kurang Total
Frekuensi 11 57 13 81
Persentase 13,58 70,37 16,05 100.0
4.1 Gambaran Tindakan Ibu Dalam Penggunaan Garam Beriodium Berdasarkan Umur Para responden yang lebih banyak memiliki memilki umur antara 20-44 tahun yaitu tindakan yang cukup adalah responden yang sebanyak 36 orang (44,4%). Tabel 12 Distribusi Frekuensi Tindakan Ibu Dalam Penggunaan Garam Beriodium Berdasarkan Umur Tindakan Baik Cukup n % n % 5 6,2 36 44,4 3 3,7 16 19,8 3 3,7 5 6,2 11 13,6 57 70,4
Umur 20-44 tahun 45-59 tahun > 59 tahun Total
Kurang n % 12 14,8 1 1,2 0 0 13 16
Total n 53 20 8 81
% 65,4 24,7 9,9 100.0
4.2.Gambaran Tindakan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pendidikan Berdasarkan pendidikan responden (24,7%), sedangkan dari 5 orang responden diketahui bahwa responden dengan tindakan yang tamat Akademi/PT tidak ada yang yang cukup paling banyak pada responden memiliki tindakan yang baik. yang tamat SD yaitu sebanyak 20 orang Tabel 13 Distribusi Frekuensi Tindakan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pendidikan Pendidikan -
Tidak sekolah
Baik n 0
% 0
Tindakan Cukup n % 2 2,5
Kurang n % 0 0
Total n 2
% 2,5
6 -
6 3 2 0 11
Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Akademi/PT Total
7,4 3,7 2,5 0 13,6
20 12 19 4 57
24,7 14,8 23,5 4,9 70,4
2 6 4 1 13
2,5 7,4 4,9 1.2 16
28 21 25 5 81
34,6 25,9 30,9 6,1 100.0
4.3.Gambaran Tindakan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pekerjaan Berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa baik dan memiliki pekerjaan sebagai petani responden lebih banyak dengan tindakan yang yaitu sebanyak 40 orang (49,9%). Tabel 14 Distribusi Frekuensi Tindakan Ibu Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan -
Baik n % 10 12,3 0 0 0 0 0 0 1 1.2 0 0 11 13,5
Petani Buruh tani PNS/ABRI Pegawai swasta Pedagang/wiraswata IRT Total
Tindakan Cukup n % 36 44.4 6 7,4 5 6.2 4 4,9 5 6.2 1 1,2 57 70,4
Kurang n % 8 9.9 1 1.2 1 1,2 1 1.2 2 2.5 0 0 13 16,0
Total n 54 7 6 5 8 1 81
% 66.7 8.6 7.4 6.2 9.9 1.2 100.0
4.4 Gambaran Tindakan Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Pengetahuan Tabel 15 Tabulasi Silang Tindakan Ibu Berdasarkan Pengetahuan Ibu Tentang Garam Beriodium
Baik Cukup Kurang
n 8 43 10
% 9,9 53,1 12,3
Pengetahuan Cukup n % 3 3,7 10 12,3 1 1,1
Total
61
75,3
14
Tindakan
Baik
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui bahwa responden paling banyak adalah responden dengan tindakan yang baik dan memiliki sikap yang baik, yaitu sebanyak 73,1%. PEMBAHASAN 1 Karakteristik Responden Karakteristik ibu dalam penelitian ini terdiri dari umur, pendidikan dan pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki usia 20-44 tahun sebanyak 53 orang (65,4%), sedangkan sebagian kecil responden memilki usia >59 tahun sebanyak 8 orang (9,9%). Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya ibu yang menjadi responden untuk penelitian ini masih pada usia produktif dan mampu untuk melaksanakan tugasnya dalam menggunakan garam beriodium. Tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah berpendidikan SD yaitu 34,6 % dan yang terkecil tidak sekolah sebanyak 2,5%. Menurut Sudijono (2006), pendidikan adalah
17.3
Total
Kurang n % 0 0 4 4,9 2 2,5
n 11 57 13
% 13,6 70,4 16,0
6
81
100.0
7,4
suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Para ibu rumah tangga yang menjadi responden memiliki pekerjaan yang berbedabeda, pekerjaan ibu yang paling banyak adalah bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 54 orang (66,7%). 2. Pengetahuan Ibu tentang Garam Beriodium Berdasarkan Umur, Pendidikan dan Pekerjaan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tabel 4.3 diperoleh bahwa tingkat pengetahuan ibu dalam penggunaan garam beriodium masih ada 7,4% ibu yang tingkat pengetahuannya berada pada kategori kurang. Tingkat pengetahuan yang kurang ini dapat dikaitkan dengan umur ibu yang berada >59 tahun, dimana para ibu tidak mendapatkan informasi tentang garam beriodium bahkan ada yang tidak pernah mendengar tentang garam beriodium.
7
Akan tetapi secara keseluruhan pengetahuan ibu rumah tangga 75,3% sudah termasuk kategori baik. Hal ini kemungkinan dikarenakan ibu-ibu tersebut pernah mengikuti penyuluhan diposyandu yang dilakukan oleh bidan tentang bahaya kekurangan iodium, sehingga ibu-ibu mendapat tambahan pengetahuan dan informasi. Informasi yang disampaikan secara jelas dan ringkas serta mudah dipahami akan membuat sasaran mempunyai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan secara efektif. Tingkat pengetahuan responden yang baik paling banyak diantara umur 20-44 tahun yaitu tingkat usia yang menunjukkan bahwa mereka mempunyai sifat ingin tahu hal-hal baru dengan mencari informasi melalui media elektronik maupun pelayanan kesehatan. Tingkat pendidikan pada penelitian ini sebagian besar tamat SLTA yaitu 24 orang (29,6%) dan tamat SD sebanyak 16 orang (19,8%). Tingkat pendidikan formal merupakan faktor yang ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap informasi gizi dan kesehatan sehingga pengetahuan gizi dan kesehatan akan baik. Pengetahuan seseorang tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal saja tetapi juga dapat diperoleh dari pendidikan non formal. Pendidikan nonformal biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, kerabat dekat dan sebagainya. Dalam penelitian ini, pendidikan nonformal banyak diperoleh dari petugas kesehatan dan kerabat dekat. Pekerjaan ibu rumah tangga dalam penelitian ini dengan pengetahuan baik memiliki pekerjaan sebagai petani. Pekerjaan sebagai petani tidak menutup kemungkinan untuk memiliki pengetahuan yang baik, karena pengetahuan yang baik tidak selalu di tentukan oleh pekerjaan. Para petani bisa mendapatkan berbagai informasi melalui media massa seperti tv, radio, majalah, petugas kesehatan, keluarga maupun teman. Pengetahuan yang baik tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku sehingga dengan pengetahuan baik belum tentu menjamin ibu menggunakan garam beriodium secara tepat.
3 Sikap Ibu Tentang Garam Beriodium Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan dan Tindakan Dari hasil penelitian untuk sikap ibu berada dalam kategori baik yaitu sebanyak 48,1%. Jika dilihat dari umur sikap yang baik paling banyak pada responden yang berumur antara 20-44 tahun, dan sikap yang baik berdasarkan pendidikan lebih banyak pada responden dengan pendidikan SD dan tamat SLTA berdasarkan pekerjaan lebih banyak pada responden yang bekerja sebagai petani. Hal ini sudah menggambarkan bahwa sikap responden tentang manfaat dan kegunaan garam beriodium sudah baik. Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Atika (2012) yang menunjukkan lebih dari setengah (56,76%) responden memiliki sikap kurang tentang penggunaan garam beriodium. Hal ini disebabkan karena sebagian besar responden juga memiliki pengetahuan kurang tentang penggunaan garam beriodium. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tabel 4.13 menunjukkan bahwa sikap responden dalam menggunakan garam beriodium kategori baik lebih banyak ditemukan pada responden yang memiliki pengetahuan dengan kategori baik juga yaitu sebanyak 32 orang (39,5%). Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.14 dapat diketahui bahwa ibu yang memiliki sikap yang baik sebanyak 39 orang (48,1%). Namun besarnya sikap yang baik tidak diikuti oleh tindakan yang baik yang hanya mencapai 11 orang (13,58%), sementara ibu yang memiliki tindakan yang cukup sebanyak 57 orang (70,37%). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Setiani (2011), dimana sikap yang baik dalam penggunaan garam beriodium diikuti dengan tindakan ibu dalam penggunaan garam beriodium sebesar 77,4%. 4 Tindakan Ibu Berdasarkan Umur, Pendidikan dan Pekerjaan dan Pengetahuan Tentang Garam Beriodium Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.17 diketahui bahwa ibu memiliki tindakan paling banyak pada kategori cukup yaitu 57 orang (70,37%). Dari hasil penelitian didapat bahwa setiap ibu rumah tangga selalu menggunakan garam pada setiap pengolahan makanan yang akan disajikan kepada keluarga.
8
Hal ini karena garam sangat berperan dalam menentukan cita rasa dari suatu masakan, sehingga garam sudah menjadi kebutuhan pokok bagi manusia. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kualitas iodium pada garam di rumah tangga antara lain adalah penggunaan dan penyimpanan garam oleh ibu rumah tangga, walaupun garam yang dibeli mengandung iodium cukup tetapi pengelolaan dan penyimpanan oleh ibu rumah tangga yang kurang baik dapat menyebabkan kandungan iodium dalam garam berkurang bahkan bisa hilang (BPS-UNICEF, 1995). Dari hasil penelitian diketahui bahwa cara penyimpanan garam beriodium oleh ibu rumah tangga sebagian besar adalah kurang tepat, kebanyakan ibu masih tetap menggunakan kantong garam sebagai wadah penyimpanan dan hanya sebagian kecil yang menyimpan garam pada wadah yang kedap air (dari kaca, tabung yang terbuat dari plastik). Tempat penyimpanan garam sudah terhindar dari panas namun cara pengambilan garam beriodium dari wadah masih lebih banyak ibu rumah tangga menggunakan tangan tanpa menggunakan alat seperti sendok. Dari hasil penelitian ini secara umum dilihat dari cara penyimpanan garam 69,14% responden sudah baik. Dalam pengolahan makanan cara penggunaan garam sebagian besar masih salah yaitu pada awal/waktu persiapan (38,06%) maupun pada saat proses pemasakan (23,64%). Cara ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan oleh ibu rumah tangga dengan pemberian garam pada proses pemasakan lebih praktis. Kemudian dari cita rasa yang didapatkan tidak ada perbedaan antara pembubuhan garam sebelum atau sesudah proses pemasakan. Menurut WHO/UNICEF/ICCIDD (1996) cara pengolahan bahan makanan yang dimasak dengan menggunakan garam beriodium ternyata berpengaruh pada kadar iodiumnya seperti menggoreng akan kehilangan 20% iodium, memanggang akan kehilangan iodium sebesar 23% dan merebus kehilangan iodium lebih besar yaitu 58%. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.18 dapat dilihat bahwa ibu yang tamat SD memiliki tindakan kategori cukup dalam penggunaan garam beriodium yaitu sebanyak
20 orang (24,7%), dan yang memiliki pendidikan tamat SLTA memiliki tindakan kategori cukup yaitu sebanyak 19 orang (23,5%). Hal ini menunjukkan bahwa ibu rumah tangga yang berpendidikan tinggi maupun yang berpendidikan rendah memiliki tindakan dalam kategori cukup dalam penggunaan garam beriodium. Berdasarkan tabel 4.20, tindakan ibu berdasarkan pengetahuan dapat diketahui bahwa ibu yang mempunyai pengetahuan baik tidak didukung dengan tindakan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan ibu yang mengatakan bahwa kandungan iodium yang baik terdapat pada garam beriodium yang berbentuk halus sebanyak 66 orang (81,5%), akan tetapi dalam kenyataannya hanya 8 orang (9,88%) ibu yang menggunakan garam beriodium dalam bentuk halus. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Tri Etnawati (2011) dimana ibu rumah tangga lebih memilih garam beriodium yang berbentuk kasar dibandingkan garam beriodium yang halus. Hal ini dapat terjadi karena garam beriodium yang berbentuk kasar lebih mudah digunakan terutama untuk menggiling bumbu, memiliki harga yang murah dibandingkan garam halus dan cukup banyak tersedia di warung terdekat. Dalam pengolahan makanan cara penggunaan garam beriodium sebagian besar tindakan ibu masih salah yaitu pada awal/waktu persiapan maupun pada saat proses pemasakan. Cara ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan oleh ibu rumah tangga dengan pemberian garam pada saat proses pemasakan lebih praktis dibanding sesudah proses pemasakan. Sebaiknya ibu membubuhkan garam beriodium pada saat masakan sudah diangkat dari tungku/api. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ayani (2003) yang mengatakan bahwa dari 86 orang ibu rumah tangga hanya 1 orang (1,2%) yang menggunakan garam setelah makanan matang dan 57 orang (66,3%) menggunakan garam pada awal/waktu persiapan. 5 Kualitas Garam Beriodium Hasil yang diperoleh bahwa kualitas garam yang dikonsumi ibu rumah tangga, seluruhnya mengandung iodium. Kualitas garam hasil iodine tes mengandung iodium yaitu melalui perubahan warna yang terjadi.
9
Warna ungu muda pada garam beriodium yang berbentuk kasar, dan warna ungu tua pada garam halus. Jenis garam yang dikonsumsi adalah 90,12% garam kasar dan hanya 9,88% yang menggunakan garam halus, dan merek dagang yang beredar di desa Bangun I antara lain merek jangkar dan refina. KESIMPULAN DAN SARAN 1.Kesimpulan 1. Tingkat pengetahuan ibu rumah tangga tentang garam beriodium di Desa Bangun I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi pada umumnya sudah baik. Salah satu penyebab baiknya tingkat pengetahuan ibu rumah tangga adalah adanya informasi yang diterima oleh ibu rumah tangga tentang garam beriodium melalui berbagai sumber seperti penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan maupun kader posyandu. 2. Sikap ibu rumah tangga tentang garam beriodium di Desa Bangun I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi sebagian besar termasuk dalam kategori baik. Walaupun sebagian besar ibu rumah tangga sudah memiliki sikap yang baik tetapi masih ada ibu rumah tangga yang tidak setuju dengan cara penggunaan garam beriodium. 3. Tindakan ibu rumah tangga tentang garam beriodium di Desa Bangun I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi sebagian besar termasuk dalam kategori cukup. Dari cara penggunaan garam beriodium ibu rumah tangga masih banyak yang salah yaitu memasukkan garam pada tahap awal/persiapan dan memasukkan garam pada saat proses memasak. Cara ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan oleh ibu rumah tangga dengan pemberian garam pada saat proses pemasakan lebih praktis dibanding sesudah proses pemasakan. 4. Seluruh ibu rumah tangga di Desa Bangun I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi sudah menggunakan garam beriodium. 2 Saran Bagi ibu rumah tangga diharapkan dapat memperbaiki tindakan dalam penggunaan garam beriodium yaitu memasukkan garam pada saat masakan mau dihidangkan guna menghindari kerusakan iodium.
Daftar Pustaka Adriani, S. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Atika. 2012. Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Tentang GAKI Dengan Kadar Iodium Garam Konsumsi Pada Keluarga Petani Garam. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran UNDIP. Ayani.
2003. Tinjauan Konsumsi dan Pengelolaan Garam Beriodium Dalam Rumah Tangga di Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Skripsi. FKM USU.
Depkes RI. 2003. Bantuan Teknis Untuk Studi Evaluasi Proyek Intensifikasi Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Gema. 2007. Pengaruh Karakteristik Ibu dan Pola Konsumsi Garam Pangan Keluarga Terhadap Status GAKI Anak SD di Kabupaten Dairi. Hartati. 2013. Hubungan Pengetahuan Terhadap Perilaku Ibu Rumah Tangga Dalam Penggunaan Garam Beriodium di Desa Sengo Selatan Kecamatan Belova Kabupaten Luwu. Notoatmodjo. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Setiani. 2011. Hubungan Faktor Perbedaan Individual dan Ketersediaan Garam di Warung Dengan Perilaku Ibu Rumah Tangga Dalam Penggunaan Garam Beriodium di Kabupaten Purworejo. Jawa Tengah; Balai Penelitian GAKI. Soekarti,S. 2006. Gambaran Karakteristik Garam Beriodium, Penyimpanan, Tempat Membeli Garam dan Jumlah Konsumsi Pada Keluarga Miskin di Kecamatan Kalideres. Jakarta Barat.
10
Tri Etnawati. 2011. Tingkat Konsumsi Garam Beriodium dan Kaitannya Dengan
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium Ibu Hamil. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
POLA MAKAN DAN STATUS GIZI KELUARGA ETNIS TIONGHOA KELURAHAN ASAM KUMBANG KECAMATN MEDAN SELAYANG TAHUN 2014 (DESCRIPTION OF FOOD AVAILABLE, ENERGY AND PROTEIN ADEQUACY, AND NUTRITIONAL STATUS OF PREGNANT WOMEN POST EVACUATION OF SINABUNG ERUPTION KARO DISTRICT 2014 Susianita Pangaribuan1, Evawany Y Aritonang2, M. Arifin Siregar3 1 Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU Email:
[email protected] ABSTRACT Food consumption pattern of Tionghoa ethnic is affected by cultur factor that has existed among generations. The family in choose the daily food menu. This study is a descriptive survey in order to the food consumption pattern and nutritional status of the ethnic Tionghoa family at kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang. The population in this study are all ethnic Tionghoa family at Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang that is 104 families. The sample is a portion of the population that is 51 Families. Data collection forms using diet Food List and Food Frequency. Nutritional status data obtained by weighing and measuring the height The results showed that every day ( always ) ethnic Tionghoa families eat rice, meat and vegetables but fruits not every day. Good energy consumption of ethnic Tionghoa families can see from 78.4 % consume adequate energy ( ≥AKEK ) and for protein consumption 96.1 % consume adequate protein (≥AKPK). Father to be a priority in the distribution of food. ethnic Tionghoa families food with high value is pork. Ethnic Tionghoa families Food tabo is beef. Nutritional status of the family are in the normal category Based on this research, it is expected distribution of food in the family based on nutritional needs, important to have menu cycle so that the food well-organized terms kind of food, frequency of food and the amount of food nor variation of food.
Keywords: food consumption patterns, Tionghoa ethnic, nutritional status
PENDAHULUAN Keadaan gizi seseorang berkaitan erat dengan pola makan. Pola makan yang baik biasanya diiringi dengan tingkat keadaan gizi yang baik, atau apabila baik konsumsi makan seseorang maka akan baik pula status gizinya selama seseorang tersebut tidak memiliki faktor-faktor lain yang merugikan seperti penyakit infeksi (Suhardjo, 1986). Pola makan secara umum dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Kebudayaan menuntun orang dalam berperilaku dan memenuhi kebutuhan dasar biologisnya, termasuk kebutuhan terhadap pangan. Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan, bagaimana
pengolahan, persiapan, dan penyajian, serta untuk siapa, dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi (Sulistyoningsih, 2011). Beragam budaya yang ada maka beragam juga jenis makanan yang tersedia dan beragam juga kebiasaan makannya. Fungsi budaya adalah untuk menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara yang teruji untuk memenuhi keperluan manusia seperti kebutuhan pangan (Suhardjo, 1986). Persediaan makanan yang cukup atau melimpah untuk mencukupi kebutuhan gizi tidak banyak manfaatnya apabila jenis-jenis makanan yang tersedia tidak cocok dengan 1
pola kebiasaan individu dalam memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial, dan budaya (Suhardjo, 1996). Kebiasaan makan keluarga dipengaruhi oleh suku/etnis dari mana keluarga tersebut berasal. Setiap suku bangsa mengembangkan cara turun-temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan dan menyajikan makanan. Adat dan tradisi merupakan dasar perilaku dalam beberapa hal berbeda diantara suku yang satu dengan suku yang lain. Suku Melayu memiliki kecenderungan menyukai makanan yang manis-manis sedangkan suku Minang umumnya menyukai makanan yang pedas dan bersantan (Febrianti, 2003) Penyediaan makanan dalam keluarga sangat berpengaruh pada perilaku dan daya beli masyarakat serta pola konsumsi dan kebiasaan makan, dimana pola konsumsi dan kebiasaan makan dalam keluarga memberi dampak pada distribusi makanan antar anggota keluarga. Tidak sedikit keluarga yang menerapkan pendistribusian makanan yang didasarkan pada status hubungan keluarga bukan berdasarkan pertimbangan gizi yang diperlukan oleh tubuh (Sediaoetama, 1993). Dalam masyarakat ada aturan dimana ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga, Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh suatu budaya, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi makanan yang tidak baik (mal-nutrition) diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1986). Para antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantanganpantangan dan tahayul-tahayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan (Anderson, 1986). Adanya kepercayaan suku Batak Toba apabila mengonsumsi otak hewan yang disembelih menyebabkan rambutnya akan cepat ubanan (Syahril, 2002). Dalam masyarakat dikenal istilah nilai sosial terhadap berbagai jenis makanan dan bahan makanan, karena itu masyarakat akan
mengkonsumsi bahan makanan dan makanan tertentu yang mempunyai nilai dan dianggap sesuai dengan tingkat naluri pangan yang terdapat pada masyarakat tersebut. Seringkali nilai sosial ini tidak sesuai dengan gizi makanan. Makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi diberi nilai sosial rendah dan sebaliknya. Misalnya, beras pecah kulit mempunyai nilai gizi tinggi tetapi dianggap mempunyai nilai sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan giling sempurna (Moehji, 1985). Pengaruh kebiasaan dan kebudayaan yang ada membatasi masyarakat dalam mengonsumsi makanan. Upaya penganekaragaman pangan diharapkan dapat merubah kebiasaan makan ataupun pola makan yang ada dalam masyarakat. Perubahan ini diharapkan agar susunan menu makanan sehari-hari memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan, serta ketergantungan akan satu jenis makanan lambat laun dapat berubah. (Moehji, 1985). Makanan yang beraneka ragam dijamin dapat memberikan manfaat yang besar terhadap kesehatan, sebab zat gizi tertentu yang tidak terkandung dalam satu jenis bahan makanan akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari bahan makanan yang lain. Demikian juga sebaliknya, masing-masing bahan makanan dalam susunan aneka ragam menu seimbang akan saling melengkapi. Kesimpulannya makanan beragam menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang (Soeharjo,1986). Pola makan keluarga yang baik akan menghasilkan status gizi keluarga yang baik pula. Status gizi keluarga dapat dikatakan baik bila anggota keluarga yang termasuk dalam kelompok rentan gizi (bayi, balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil/menyusui dan lansia) tidak bermasalah dengan status gizinya. Kelompok rentan gizi dipergunakan sebagai acuan status gizi keluarga karena kelompok rentan gizi adalah kelompok rawan yang perlu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan kelompok-kelompok lainnya (Husaini, 1996). Pada tahun 2012 perusahan Unilever melakukan penelitian mengenai seberapa besar masyarakat peduli tentang apa yang 2
mereka makan saat diluar rumah yang dilakukan pada 7 negara (UK, USA, German, China, Brazil, Rusia, Turki). Hasil penelitian dimuat dalam jurnal World Menu Report menuliskan bahwa China adalah negara teratas yang penduduknya memikirkan keamanan dari makanan, apakah makanan diproses secara higienis dan kandungan nutrisi dalam makanan. Dari seluruh bangsa di dunia, Cina adalah negara yang paling banyak memiliki jenis makanan yang khas. Bagi mereka memasak tidak hanya sekedar membuat masakan, melainkan sebuah seni, mulai berbagai macam teknik pengolahan hingga cara penyajiannya (Suryanto, 1996). Indonesia memiliki berbagai etnis, salah satunya adalah etnis Tionghoa. Yang dibagi dalam beberapa subsuku, seperti Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton. Seperti kita ketahui perayaan budaya etnis Tionghoa yang sudah diakui sebagai hari libur nasional, salah satunya adalah perayaan Tahun Baru Imlek. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) pada tahun 2012 Kota Medan banyaknya etnis Tionghoa yang berdomisili di Kota Medan sebanyak 328.170 jiwa sedangkan jumlah penduduk keseluruhan Kota Medan sebanyak 2.117.224 jiwa. Dari data dapat diketahui bahwa 15,5 % dari penduduk Kota Medan adalah etnis Tionghoa. Masyarakat etnis Tionghoa dikenal dengan kemahirannya memasak dan memiliki keanekaragaman makanannya. Tidak sedikit makanan khas etnis Tionghoa yang dikonsumsi pula oleh etnis lain seperti bakpao, dimsum, kwetiau, cap cay, ifu mie, dan lain-lain. Sedikit banyak jenis makanan penduduk Tionghoa mempengaruhi jenis makanan dari penduduk etnis lain. Berdasarkan survei awal, saya melihat adanya perbedaan etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang dengan di daerah lainnya. etnis Tionghoa yang berada di Kelurahan Asam Kumbang memiliki kecenderungan mengalami kegemukan pada kaum ibu rumah tangganya. Berdasarkan keadaan yang telah disebutkan di atas, penulis tertarik untuk mengamati pola makan keluarga pada etnis Tionghoa di Kecamatan Asam Kumbang Kelurahan Medan Selayang
Manfaat dari penelitian ini yaitu Agar masyarakat mengetahui gambaran pola makan Etnis Tionghoa dan status gizi keluarga etnis Tionghoa, sebagai masukan apabila ada kelemahan dan kelebihan dari pola makan etnis Tionghoa METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan desain cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh Keluarga etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang sebanyak 104 KK. sampel pada penelitian ini berjumlah 51 KK dengan sasaran utama Ibu Rumah Tangga karena ibu rumah tangga yang mengatur penyelenggaraan makan keluarga dan sekaligus jadi responden Data yang dikumpulkan meliputi jenis makanan, jumlah makanan, frekuensi makan, distribusi makanan, nilai tinggi dan nilai rendah makanan, tabu makanan dan status gizi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelurahan Asam Kumbang terletak di Kecamatan Medan Selayang Kota Medan terdiri dari 10 Lingkungan. Jumlah Penduduk Asam Kumbang sebanyak 21.585 jiwa dengan jumlah keluarga 5249 jiwa.Luas Kelurahan Asam Kumbang adalah 400 Ha.
3
Tabel 1. Karateristik Responden pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Karateristik Umur <25 25-35 >35 Total Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana Total Pekerjaan Pegawai/kary awan swasta Wiraswasta IRT Total Agama Protestan Katholik Islam Budha Hindu Total Jumlah Anggota Keluarga ≤4 5-6 >6 Total Penggolongan Usia Bayi Balita Anak sekolah Remaja Dewasa Lansia Total
n
(%)
0 8 43 51
0,0 15,7 84,3 100,0
9 16 23 3 0
17,6 31,4 45,1 5,9 0,0
51
100,0
1
2,0
15 35
29,4 68,6
51
100,0
2 2 0 47 0 51
3,9 3,9 0,0 92,2 0,0 100,0
22 27 2 51
43,1 52,9 3,9 100,0
1 8 40 59 132 2
4 3,3 16,5 24,4 54,5 0,8
242
100,0
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa mayoritas umur responden berada pada kelompok umur lebih besar dari 35 tahun sebanyak 43 orang (84,3%) dan sebanyak 23 orang (45,1%) tingkat pendidikan responden adalah SMA. Sementara pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga yakni sebanyak 35 orang (68,6%). Sebanyak 47 orang responden (92,2%) menganut agama Budha dan sebanyak 27 responden (52,9%) jumlah anggota keluarganya 5-6 orang.
4
Tabel 2
No 1 2 3 4 5
Distribusi Jenis Makanan dan Frekuensi Makan Sumber Karbohidrat pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014
Sumber Karbohidrat
Frekuensi Makan KadangSering Jarang kadang n % n % n % 0 0,0 0 0,0 0 0,0 9 17,6 29 56,9 12 23,5 9 17,6 21 41,2 12 23,5 1 2,0 12 23,5 25 49,0 1 2,0 14 27,5 18 35,3
Selalu n 51 1 1 0 0
Nasi Mie Roti Singkong Jagung
% 100,0 2,0 2,0 0,0 0,0
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa seluruh keluarga etnis Tionghoa (100%) mengkonsumsi nasi dan mie sebagai sumber karbohidrat. Frekuensi seluruh keluarga etnis Tionghoa (100%) dalam mengonsumsi nasi adalah selalu (1-3 x/hari) dan sebanyak 29 Tabel 3
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jumlah Tidak Pernah n % 0 0,0 0 0,0 8 15,7 13 25,5 18 35,3
n
%
51 51 51 51 51
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
keluarga (56,9%) mengonsumsi mie dengan frekuensi (1-3 x/minggu). Kebudayaan etnis Tionghoa, kegemaran dan ketersediaan yang menjadikan mie sebagai salah satu sumber karbohidrat pengganti nasi yang paling digemari tetapi tidak dapat menggantikan posisi nasi.
Distribusi Jenis Makanan dan Frekuensi Makan Lauk Pauk pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014
Jenis Lauk Pauk Daging Ayam Daging Sapi Daging Babi Mujair Senangin Kembung Bawal Dencis Udang Cumi Kepiting Tahu Tempe Telur
Selalu
Sering
n
%
n
%
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 44
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 86,3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 17 7
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 19,6 33,3 13,7
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa semua keluarga mengkonsumsi jenis lauk pauk tahu, tempe dan telur dikarenakan harganya yang relatif murah. Sedangkan jenis lauk yang tidak dikonsumsi etnis Tionghoa adalah
Frekuensi Makan KadangJarang kadang n % n % 34 0 17 27 24 11 26 16 6 8 0 41 33 0
66,7 0,0 33,3 52,9 47,1 21,6 51,0 31,4 11,8 15,7 0,0 80,4 64,7 0,0
170 0 20 15 18 23 13 20 16 15 0 0 1 0
33,3 0,0 39,2 29,4 35,3 45,1 25,5 39,2 31,4 29,4 0,0 0,0 2,0 0,0
Jumlah Tidak Pernah n %
n
%
0 51 14 9 9 17 12 15 29 28 51 0 0 0
51 51 51 51 51 51 51 51 51 51 51 51 51 51
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
0,0 100,0 27,5 17,6 17,6 33,3 23,5 29,4 56,9 54,9 100,0 0,0 0,0 0,0
daging sapi karena makanan pantangan bagi agama Budha.
5
Tabel 4 Distribusi Jenis Makanan dan Frekuensi Makan Sayuran pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Sayuran
Wortel Kentang Sawi Kol Brokoli Bayam Peleng Kangkung Buncis
Selalu
Sering
n
%
n
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,0 0 0,0 0,0 0 0,0 0,0 0 0,0 0,0 0 0,0 0,0 0 0,0 0,0 4 7,8 0,0 2 3,9 0,0 13 25,5 0,0 0 0,0
%
Frekuensi Makan KadangJarang kadang n % n % 31 21 15 12 23 29 12 14 10
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa seluruh keluarga mengkonsumsi jenis sayuran wortel dan kentang. Kebanyakan keluarga Tabel 5
60,8 41,2 29,4 23,5 45,1 56,9 23,5 27,5 19,6
20 30 24 25 11 9 10 10 20
39,2 58,8 47,1 49,0 21,6 17,6 19,6 19,6 39,2
Jumlah Tidak Pernah n %
n
0 0 12 14 17 9 27 14 21
51 51 51 51 51 51 51 51 51
0,0 0,0 23,5 27.5 33,3 17,6 52,9 27,5 41,2
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jeruk Pisang Jambu biji Jambu air Peer Mangga Apel Pepaya Semangka
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
etnis Tionghoa menggunakan jenis sayuran wortel dan kentang sebagai bahan dalam pembuatan sup dan tumisan.
Distribusi Jenis Makanan dan Frekuensi Makan Buah pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 Frekuensi Makan
Jenis Buah
%
Selalu n 0 0 0 0 0 0 0 0 0
% 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Sering n 22 14 0 0 0 0 0 0 0
% 43,1 27,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Kadang-kadang n 21 17 2 0 13 14 24 7 6
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa sebanyak 48 keluarga (94,1 %) mengkonumsi jenis buah jeruk dengan jumlah 22 keluarga (43,1%) mengonsumsi jeruk dengan frekuensi sering. Banyak keluarga etnis Tionghoa mengonsumsi jeruk dikarenakan semua anggota keluarga menyukai buah jeruk selain itu adanya anggapan bahwa warna
% 41,2 33,3 3,9 0,0 25,5 27,5 47,1 13,7 11,8
Jumlah
Jarang n 5 4 14 6 24 27 21 25 28
% 9,8 7,8 27,5 11,8 47,1 52,9 41,2 49,0 54,9
Tidak Pernah n 3 16 35 45 14 10 6 19 17
% 5,9 31,4 68,6 88,2 27,5 19,6 11,8 37,3 33,3
n
%
51 51 51 51 51 51 51 51 51
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
kuning pada jeruk seperti warna emas yang melambangkan kemakmuran.
5
Tabel
NO
6. Distribusi Konsumsi Energi/Keluarga/Hari Keluarga Etnis Keluarga di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 Konsumsi Energi Keluarga/ha ri
n
Tabel 8 Distribusi Berdasarkan Jenis Makanan Tradisional pada Kelurga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014
%
Makanan n % Tadisional 1 Bak Chang 27 52,9 2 Kimci Bak 4 7,8 1 40 78. 3 Chun Kien 12 23,5 Cukup (≥ 2 4 4 Khau Bak 8 15,7 AKEK) 11 Total 51 100,0 Tidak Cukup 21. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat (< AKEK) 6 bahwa 27 keluarga (53,7%) yang sering Total 100 100,0 51 mengonsumsi makanan tradisional Bak Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat Chang. bahwa 40 keluarga (78,4%) yang mengonsumsi energi melebihi angka Tabel 9 Distribusi Berdasarkan kecukupan energi keluarga (AKEK). Etnis Prioritas dalam Pembagian Tionghoa cenderung mengonsumsi makanan Makanan pada Kelurga Etnis dalam jumlah yang banyak sehingga asupan Tionghoa di Kelurahan Asam energi juga besar. Kumbang Kecamatan Medan Tabel 7 Distribusi Konsumsi Protein/Keluarga/Hari Keluarga Etnis Keluarga di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 NO Konsumsi n % Energi Keluarga/hari 1 Cukup (≥ 49 96.1 2 AKPK) 2 3.9 Tidak Cukup (< AKPK) Total 100,0 51 Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa 49 keluarga (96,1%) yang mengonsumsi protein melebihi angka kecukupan protein keluarga (AKPK). Sumbangan protein paling besar berasal dari ikan, keluarga etnis Tionghoa cukup dalam mengonsumsi ikan sehingga asupan protein dapat terpenuhi.
NO
Selayang Tahun 2014 NO
1 2 3
Prioritas Distribusi Makanan Ayah Anak Semua sama Total
n
%
33 12 6 51
64,7 23,5 11,8 100,0
Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat bahwa 33 keluarga (64,7%) yang memprioritaskan pembagian makanan pada ayah hal ini dikarenakan ayah adalah orang yang paling tua dalam keluarga dan sebagai kepala keluarga yang mencari nafka. Ada 12 keluarga ( 23,5%) yang memprioritaskan distribusi makanan pada anak dengan alasan agar anak mendapat asupan gizi yang lebih baik.
6
Tabel 10
Distribusi Berdasarkan Penyedia Makanan pada Kelurga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 NO Menyiapkan n % Makanan 1 Ibu 47 92,2 2 Anak 3 5,9 3 Pembantu 1 2,0 Total 51 100,0
Tabel 12 Distribusi Berdasarkan Frekuensi Makan Bersama pada Kelurga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 NO Frekuensi n % Makan Bersama 1 1 Kali 16 59,3 2 2 Kali 11 40,7 3 3 Kali 0 0,0 Total 27 100,0
Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa sebanyak 47 keluarga (92,2) penyiapan makanan dilakukan oleh ibu dikarenakan merasa sudah kewajibannya menyiapkan makanan dan anggota keluarga lain memiliki kesibukan diluar rumah.
Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa 16 keluarga (59,3%) yang melakukan kegiatan makan bersama dalam keluarga sebanyak 1 kali yaitu pada saat makan pagi. Sedangkan sebanyak 11 keluarga (40,7%) yang melakukan kegiatan makan bersama sebanyak 2 kali yaitu pada saat pagi dan malam hari. Tabel 13 Distribusi Berdasarkan Jenis Makanan Yang Mempunyai Nilai Tinggi Pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 NO Nilai Tinggi n % Makanan 1 Ada 43 84,3 2 Tidak 8 15,7 Total 51 100,0 Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat bahwa sebanyak 43 keluarga (84,3%) mengatakan adanya makanan yang bernilai tinggi. Jenis makanan nilai tinggi ini dilihat dari segi sosial budayanya. Tabel 14 Distribusi Berdasarkan Jenis Makanan Yang Mempunyai Nilai Tinggi Pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 NO Nilai Tinggi n % Makanan 1 Daging Babi 18 41,8 2 Daging Ayam 13 30,2 3 Daging Bebek 2 4,75 4 Ikan 10 23,25 Total 43 100,0
Tabel 11
Distribusi Berdasarkan Kegiatan Makan Bersama pada Kelurga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 n % NO Kegiatan Makan Bersama 1 Ya 27 52,9 2 Tidak 24 47,1 Total 51 100,0 Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa 27 Keluarga (52,9%) melakukan kegiatan makan bersama dalam keluarga dikarenakan sudah terbiasa. Sedangkan sebanyak 24 keluarga (47,1%) tidak melakukan kegiatan makan bersama dalam keluarga karena memiliki kesibukan (aktivitas) yang berbeda tiap anggota keluarga.
7
Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat bahwa 21 keluarga (41,2%) berasumsi bahwa daging babi adalah jenis makanan yang mempunyai nilai tinggi karena etnis Tionghoa menganggap daging babi adalah simbol kemakmuran. Jenis Makanan yang mempunyai Nilai Rendah Seluruh keluarga etnis Tionghoa beranggapan bahwa tidak adanya jenis makanan yang mempunyai nilai rendah. Etnis Tionghoa mengangap setiap makanan bermanfaat dan mempunyai makna tersendiri yang patut untuk di syukuri. Tabel 15 Distribusi Berdasarkan Tabu Makanan Pada Keluarga Etnis Tionghoa Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 NO Tabu n % Makanan 1 Ada 45 88,2 2 Tidak 6 11,8 Total 51 100,0 Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa sebanyak 45 keluarga (88,2%) mengatakan adanya makanan pantangan yaitu daging sapi dikarenakan alasan perintah agama. Status Gizi Status gizi keluarga yang baik adalah manifestasi dari pola makan yang baik. Status gizi keluarga dapat dikatakan baik bila anggota keluarga yang termasuk dalam kelompok rentan gizi Tabel 16 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Rentan Gizi pada Kelurga Etnis Tionghoa di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2014 NO Kelompok n % Rentan Gizi 1 Bayi 1 2,0 2 Balita 8 15,7 3 Anak sekolah 22 43,1 4 Remaja 20 39,2 Total 51 100,0
Dari Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 51 keluarga, terdapat 1 keluarga (2,0%) yang indikator status gizi keluarganya dilihat dari status gizi bayi. Ada 8 keluarga (15,7%) yang indikator status gizi keluarganya dilihat dari status gizi balita. Sebanyak 22 keluarga (43,1%) yang status gizi keluarganya dilihat dari status gizi anak usia sekolah dan sebanyak 20 keluarga (39,2%) yang status gizi keluarganya dilihat dari remaja. Kesimpulan 1. Jenis makanan etnis Tionghoa: - Jenis sumber karbohidrat yang dikonsumsi semua keluarga etnis Tionghoa adalah nasi dan mie - Jenis lauk yang dikonsumsi semua keluarga etnis Tionghoa adalah tahu, tempe dan telur - Jenis sayuran yang dikonsumsi semua keluarga etnis Tionghoa adalah wortel dan kentang - Jenis buah yang dikonsumsi semua keluarga etnis Tionghoa adalah jeruk 2. Frekuensi makan etnis Tionghoa: - Frekuensi makanan pokok yang selalu dikonsumsi etnis Tionghoa adalah nasi - Frekuensi lauk pauk yang selalu dikonsumsi etnis Tionhoa adalah telur - Frekuensi sayuran yang sering dikonsumsi etnis Tionghoa adalah kangkung - Frekuensi buah yang sering dikonsumsi Etnis Tionghoa adalah jeruk 3. Jumlah Makan etnis Tionghoa mencukupi standar Angka Kecukupan Energi Keluarga (AKEK) dan Angka Kecukupan Protein Keluarga (AKPK) 4. Pendistribusian makanan memprioritaskan pada Ayah 5. Adanya nilai Tinggi Makanan pada keluarga Etnis Tionghoa yaitu daging babi tetapi untuk makanan dengan nilai rendah tidak ada 6. Masih adanya makanan pantangan Etnis Tionghoa yaitu daging sapi dengan alasan larangan dari agama, 8
yang sebagian besar etnis Tionghoa beragama Budha. Saran 1. Agar pendistribusian makanan pada keluarga memprioritas pada anggota keluarga yang lebih membutuhkan dari segi kebutuhan asupan zat gizi. 2. Perlu adanya siklus menu sehingga penyelenggaraan makanan dalam keluarga lebih teratur dari segi jenis, frekuensi dan jumlah maupun variasi makanan yang disajikan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Suryanto, Markus. 1996. Mengenal Adat Istiadat Tionghoa. Jakarta: Pelkrindo Syahhril. Muhammad, 2002, ‘Pola Makan Keluarga Pada Suku Batak Toba dan Suku Jawa di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2002’, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, MedaN
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Foster. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Bahri, Syamsul, 2003, ‘Pola Makan Vegetarian dan Non Vegetarian Pada Kelompok Maitreya Indonesia di Medan’ , Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan Bloomfield, Frena. 2010.Chinese Beliefs Mendalami Pola-Pola Berpikir Orang Cina. Surabaya: Penerbit Liris Febrianti, Nelva, 2003, ‘Tinjauan Pola Makan dan Penyakit pada Suku Melayu dan Minang di Pekanbaru tahun 2003’, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan Fitri, R. 2013. Deskripsi Pola Makan Penderita Maag Pada Mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Keluarga Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang, skripsi. Padang : Universitas Negeri Padang. Ihroni, T.O. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Moehji, Sjahmien. 1985. Ilmu Gizi. Jakarta: Bhratara Karya Aksara Pasaribu, Winda Sofiani, 2011, ‘Fungsi dan Makna Makanan Tradisional Pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoa’ ,Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan Ramadhani, 2004, ‘Pola Makan dan Status Gizi pada anak Vegetarian di Medan Tahun 2004’ ,Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan Sajogyo. 1994. Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota. 9
HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MAKAN PAGI DAN STATUS GIZI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA ANAK DI SD NEGERI 096132 PARAPAT KECAMATAN GIRSANG SIPANGAN BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2014 Bethesda Simbolon1, Albiner Siagian2, Arifin Siregar2 1
Mahasiswi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected] Abstract
Breakfast is very beneficial for elementary school children to maintain endurance, so they can have an activity or study well, helping to focus and easily to understand the lesson, as well as to help provide the nutrients. The purpose of this study is to analyze the correlation between breakfast habbits and nutritional status with academic achievement of elementary school children in SD Negeri 096132 Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun 2014. This study is a descriptive survey using Cross sectional study design. Data were collected by interviewing students using questionnaire and a 24-hour food recall. Childrend’s learning achievement data obtained from the value of the monthly report cards of childrens. Nutritional status of children was measured by using body mass index for age (BMI/Age). The chi-square test result showed that there is no correlation between breakfast habbits with learning achievement of childrens (p=0,055), there is no correlation between breakfast habbits with nutritional status of childrens (p=0,056). There was a significant correlation between nutritional status of childrens with learning achievement (p=0,012). The correlation of nutritional status and academic achievement is an indicator of how important to have an attention to the nutritional status of children to increase the ability of brain and body. Based on the results of the study suggested to the parent’s of children to give more attention to their child nutrition covering the quantity, quality and nutritional value which is contained in food material. If children have a good nutrition it will form a good nutritional status and be able to compete in the world of education. And for the school, it have to monitoring the types of food or snacks which is provided in school cafeteria, so that children will receive a good donation of nutrition from food that eat by them. Keyword
: breakfast, nutritional status and learning achievement
Pendahuluan Usia dini sering kali disebut sebagai usia emas “golden period”. Pada masa ini, orang dewasa disekitar anak-anak, harus memiliki kepekaan untuk dapat mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mengoptimalkan potensi anak-anak ini
adalah dengan memberikan stimulasi dan juga asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan anak. Asupan gizi memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang anak. Ketika kebutuhan gizi anak terpenuhi dengan baik, diharapkan anak juga tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Kesehatan bagi anak sekolah tidak terlepas dari pengertian kesehatan pada umumnya. Anak yang sehat akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal dan wajar, yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya dan memiliki kemampuan sesuai standar kemampuan anak pada usianya (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Kualitas sumberdaya manusia yang baik akan membantu menciptakan negara yang makmur, sumberdaya manusia yang berkualitas tidak diperoleh dengan sendirinya tanpa adanya sebuah usaha untuk menghasilkan sumberdaya tersebut. Pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas dimulai sejak dalam kandungan hingga tahap-tahap emasnya. Pemenuhan zat gizi yang baik akan membantu meningkatkan pertumbuhan anak kearah yang lebih baik. Asupan zat gizi yang baik akan membantu kerja otak lebih optimal. Untuk anak sekolah pemenuhan zat gizi memerlukan jumlah yang tinggi karena aktifitas anak yang padat disekolah dan kebiasaan bermain anak. Untuk pemenuhan kebutuhan zat gizi pada anak bisa dibantu dengan menerapkan kebiasaan makan pagi pada anak sebelum anak berangkat ke sekolah. Makan pagi bermanfaat untuk memberikan tenaga bagi anak untuk membantu kerja otak sehingga anak dapat menerima pelajaran dengan baik dari gurunya. Makan pagi akan membantu anak lebih berkonsentrasi, menghindari adanya perasaan mengantuk pada anak, anak akan merasa gembira dan bersemangat setelah semalaman berpuasa atau tidak mengkonsumsi apapun yang menyebabkan penurunan kadar glukosa yang merupakan suplai energi. Saat asupan zat gizi anak terpenuhi, kemampuan berkonsentrasi anak akan baik di sekolah sehingga prestasi anak disekolah akan baik pula (Khomsan, 2004). Kelompok anak sekolah (7-13 tahun) merupakan kelompok yang rentan gizi, kelompok masyarakat yang paling mudah
menderita kelainan gizi, bila masyarakat terkena kekurangan penyediaan bahan makanan. Pada umumnya kelompok ini berhubungan dengan proses pertumbuhan yang relatif pesat, yang memerlukan zatzat gizi dalam jumlah relatif besar (Sediaoetama, 2004). Perkembangan anak meliputi seluruh perubahan, baik perubahan fisik, perkembangan kognitif, emosi, maupun perkembangan psikososial yang terjadi dalam usia anak (infancy toddlerhood) di usia 0-3 tahun, early childhood usia 3-6 tahun dan middle childhood usia 6-12 tahun) (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan A. G. Soemantri (1976), mengemukakan bahwa konsentrasi belajar dipengaruhi oleh keadaan gizi, anemia gizi, daya tahan tubuh, infeksi akibat investasi cacing, fasilitas, stimulus latihan bimbingan, dan sosial ekonomi. Secara Nasional, penduduk Indonesia yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari angka kecukupan energi bagi orang Indonesia) adalah sebanyak 40,7%. Masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (713 tahun). Rata-rata kecukupan konsumsi energi anak usia sekolah (7-13 tahun) berkisar antara 71,6% - 89,1%, dan sebanyak 44,4% anak mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (Riskesdas, 2010). Menurut hasil Riskesdas Provinsi Sumatera Utara tahun 2007, Kabupaten Simalungun masuk pada lima kabupaten dengan prevalensi kekurusan tertinggi pada anak laki-laki yaitu 17,8%. Sedangkan untuk prevalensi berat badan lebih pada anak, Kabupaten Simalungun masih masuk pada lima kabupaten dengan prevalensi berat badan lebih, pada anak laki-laki 19,1%, sedangkan untuk anak perempuan 14,7%. Berdasarkan WHO, untuk Provinsi Sumatera Utara prevalensi kekurusan adalah 12,4% pada laki-laki dan 9,7% pada perempuan. Sedangkan prevalensi berat badan lebih pada laki-laki
14,9% dan perempuan 11,8%. Berdasarkan standar WHO, untuk Provinsi Sumatera Utara prevalensi kekurusan adalah 12,4% pada laki-laki dan 9,7% pada perempuan. Sedangkan prevalensi berat badan lebih pada laki-laki 14,9% dan 11,8% pada perempuan (Riskesdas, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sibuea (2002) di SD Negeri di Medan, bahwa ada sekitar 57,50% anak Indonesia tidak sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Hal ini menjadi perhatian penuh, karena sarapan akan memberikan kontribusi penting dalam pemenuhan kebutuhan beberapa zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, seperti energi, protein, vitamin, lemak dan mineral. Ketersediaan sarapan yang bermutu mampu meningkatkan kapasitas belajar sehingga lebih mudah menerima pelajaran. Selain itu, hal ini juga berpengaruh pada status gizi, ternyata dari SD yang diteliti diketahui prevalensi anak SD yang mengalami status gizi kurang kalori adalah 50%, kurang protein 55%, dan kurang Vitamin A 40%. Sementara itu status gizi kurang yang dihitung berdasarkan berat badan, prevalensinya lebih tinggi lagi yaitu 62,5% (Anonim, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Rosalynn (2001) di SD Negeri di Kelurahan Harjosari kecamatan Medan Denai menemukan bahwa sebanyak 40,91% anak tidak sarapan pagi. Dari hasil yang diperoleh didapat bahwa 21,2% dengan indeks prestasi kurang, 57,6% dengan indeks prestasi sedang dan 21,2% dengan indeks prestasi baik. SD Negeri 096132 Parapat adalah salah satu sekolah yang mana muridnya berasal dari desa-desa kecil yang cukup jauh dengan keadaan ekonomi orang tua siswa yang minim. Hal ini membuat peluang terjadinya status gizi kurang terkait ketersediaan dan keterjangkauan makanan. Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti di SD Negeri 096132 Parapat, 40% anak memiliki tubuh yang kurus dan jika dilihat dari indeks prestasinya terdapat 10% indeks prestasi
kurang, 60% indeks prestasi sedang dan 30% indeks prestasi baik. Uraian di atas melatar belakangi penelitian ini. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara kebiasaan makan pagi dan status gizi dengan prestasi belajar pada anak di SD N.096132 Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi makan anak, status gizi anak, prestasi belajar anak, dan kontribusi energi dan protein anak di SD N.096132 Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Tahun 2014. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan kebiasaan makan pagi dan status gizi dengan prestasi belajar pada pada anak di SD Negeri No.096132 Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun. Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 096132 Parapat dari Agustus hingga November 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas V dan VI di SD Negeri 096132 Parapat dengan total 69 orang siswa dengan menggunakan Metode Total Sampling dimana semua jumlah populasi dijadikan sebagai sampel yaitu seluruh siswa kelas V dan VI SD Negeri 096132 Parapat. Data primer diperoleh dari pengukuran tinggi badan dan berat badan secara langsung terhadap anak dan hasil wawancara langsung dengan tatap muka tentang kebiasaan makan pagi dengan anak sebagai responden dengan menggunakan kuesioner. Pada kebiasaan makan pagi anak dilakukan food recall 24 jam untuk makan pagi anak saja yang dilakukan selama 3 hari. Data sekunder yang meliputi gambaran umum sekolah dan hasil prestasi belajar
murid diperoleh dari raport bulanan siswa yang diperoleh dari dokumen sekolah sebagai lokasi penelitian. Analisa data dalam penelitian ini dengan menggunakan Analisis Univariat dan Analisis Bivariat. Analisis Univariat yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal variable-variabel independen dan dependen dalam bentuk distribusi frekuensi dan Analisi Bivariat untuk mengetahui hubungan variable kebiasaan makan pagi dengan prestasi belajar, kebiasaan makan pagi dengan status gizi dan hubungan status gizi dengan prestasi belajar, dengan menggunakan uji Chi Square. Hasil Penelitian dan Pembahasan Distribusi karakteristik responden di SD Negeri 096132 Parapat Tahun 2014, dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1.
No
1 2
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
Distribusi Karakteristik Responden di SD Negeri 096132 Parapat Tahun 2014
Karakteristik Responden
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Usia Anak 9 Tahun 10 Tahun 11 Tahun 12 Tahun Total Pekerjaan Ayah PNS Karyawan Wiraswasta Petani Total Pekerjaan Ibu PNS Karyawan Wiraswasta Petani Total
n
%
32 37 69
46,4 53,6 100,0
11 39 16 3 69
15,9 56,5 23,2 4,3 100,0
kemungkinan masuk sekolah dasar pada usia 6 tahun dan umur 5 tahun, hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah anak yang berumur 10 tahun. Untuk pekerjaan ayah responden sebagian besar adalah wiraswasta yaitu sebanyak 46,4%. 4,4% lainnya, sebagian ayah responden tidak bekerja dan telah meninggal dunia. Pekerjaan wiraswasta yang dimaksud antara lain adalah berdagang, usaha penjual souvenir di sekitaran lokasi tempat wisata karena Parapat merupakan salah satu daerah tujuan wisata, beternak ikan/keramba dengan memanfaatkan Danau Toba sebagai lahan untuk memelihara ikan, supir angkutan umum, penjahit dan supir kapal pariwisata. Pekerjaan ibu responden yang paling banyak adalah sebagai petani yaitu sebanyak 37,7%. Sebagian besar para ibu adalah petani yang bekerja diladang para majikan tanah, mereka akan mulai berangkat secara bergerombol pada pukul 9 pagi dan pulang pada pukul 4 sore harinya. 21,8% ibu responden adalah hanya sebagai ibu rumah tangga dan ada yang telah meninggal dunia. Distribusi kebiasaan makan pagi anak diperoleh dari kuesioner yang di isi oleh anak kelas IV dan kelas VI. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi Kebiasaan Makan Pagi Anak di SD Negeri 096132 Parapat No
4 7 32 23 66
5,8 10,1 46,4 33,3 95,6
3 3 22 26 54
4,3 4,3 31,9 37,7 78,2
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa bahwa usia responden terbanyak adalah umur 10 tahun (56,5%) dari data ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anak
1 2
Frekuensi Makan Pagi Anak Selalu makan pagi Kadang-kadang
Tidak pernah makan pagi 3 Total
Jumlah n % 23 33,3 27 39,1 19 69
27,5 100,0
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa kebiasaan makan pagi anak yang tidak pernah makan pagi adalah 27,5%. Hasil yang diperoleh ini masih jauh dari yang di inginkan karena hal ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kebiasaan makan pagi pada anak sekolah. Jarak yang jauh atau bahkan orang tua yang tidak sempat menyediakan makan pagi untuk anak
adalah hal yang mungkin menyebabkan anak jarang makan pagi. Makan pagi haruslah menjadi suatu kebiasaan yang harus selalu diajarkan bagi anak sekolah agar kebutuhan energi untuk aktivitasnya dapat terpenuhi (Khomsan, 2003). Distribusi jumlah jenis makanan yang dikonsumsi anak yang paling banyak adalah dengan kategori baik yaitu sebanyak 74,5% dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Distribusi Jumlah Jenis Makanan yang dikonsumsi Anak di SD Negeri 096132 Parapat
No
Jenis Makanan
Jumlah n % Lengkap 1 27 39,1 Tidak Lengkap 2 23 33,4 Total 50 72,5 Jumlah jenis makanan yang dikonsumsi anak adalah meliputi makanan pokok, lauk-pauk, sayur-sayuran, buahbuahan, susu atau bahkan makanan lainnya. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa jumlah jenis makanan yang dikonsumsi anak yang paling banyak adalah dengan kategori lengkap yaitu sebanyak 39,1%. Dari wawancara dengan responden, biasanya pagi hari anak disediakan makanan berupa nasi putih, telur, tempe, sayuran dan teh manis atau bahkan ditambah dengan kerupuk udang. 27,5% anak yang tidak sarapan pagi tidak dilakukan wawancara untuk jumlah jenis makan pagi yang dikonsumsi oleh anak. Jenis makanan yang bervariasi akan memberi sumbangan zat gizi yang baik bagi pertumbuhan anak sekolah, karena zat gizi yang dibutuhkan anak sekolah tidak hanya berasal dari satu jenis makanan saja, karena kebutuhan anak akan zat gizi pada masa sekolah dasar sangat tinggi karena aktivitas anak yang tinggi selama disekolah maupun diluar jam sekolah misalnya bermain. Pada prinsipnya anak sekolah harus mengkonsumsi menu gizi seimbang yang terdiri dari semua zat gizi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air (Nirmala Devi, 2012).
Prestasi Belajar anak diperoleh dari nilai raport anak yang diperoleh dari data sekolah. Prestasi Belajar anak yang paling banyak adalah dengan kategori baik sebesar 79,7%. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4. Tabel
No
4.
Distribusi Prestasi Belajar Anak berdasarkan Nilai Raport di SD Negeri 096132 Parapat
Prestasi Belajar
Sangat Baik 1 Baik 2 Cukup 3 Kurang 4 Total
Jumlah n % 3 4,3 55 79,7 11 15,9 0 0 69 100,0
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, setelah di rata-ratakan maka prestasi belajar anak yang paling banyak adalah dengan kategori baik yaitu 79,7%. Minimnya anak yang memiliki indeks prestasi dengan kategori sangat baik seharusnya menjadi perhatian bagi orang tua dan pihak sekolah, peningkatan mutu pengajaran dan pengawasan dari orang tua akan membantu meningkatkan prestasi belajar pada anak. Distribusi status gizi responden berdasarkan indikator IMT/U pada anak di SD Negeri 096132 Parapat dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5.
No
Distribusi Status Gizi Responden berdasarkan Indikator IMT/U pada Anak di SD Negeri 096132 Parapat Status Gizi
Normal 1 Kurus 2 Sangat Kurus 3 Total
N 48 20 1 69
Jumlah % 69,6 29,0 1,4 100,0
Pada tabel 5 diperoleh hasil bahwa status gizi anak dengan kategori kurus adalah 29,0%, hal ini menjadi perhatian khusus. Karena status gizi anak dengan kategori kurus merupakan indikator bahwa anak kurang memperoleh asupan zat gizi yang cukup untuk pertumbuhannya.
Status gizi seorang anak secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tingkat kecerdasan, pertumbuhan dan perkembangan serta produktivitas anak, karena aktifitas dan kreatifitas anak menjadi menurun (Nirwana, 2012). Distribusi Tingkat kecukupan energi anak sekolah dengan asupan lebih besar dari 525 kkal adalah 30,4%. Untuk tingkat kecukupan protein anak sekolah dengan asupan lebih besar dari 15 gram sebesar 26,1%. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Sumbangan Konsumsi Energi dan Protein Anak di SD Negeri 096132 Parapat No
1 2
1 2
Jumlah pada makan pagi
Energi < 525 Kkal > 525 Kkal Total Protein < 15 gram >15 gram Total
n
%
29 21 50
42,1 30,4 72,5
32 18 50
46,4 26,1 72,5
Pada tabel 6 ini dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi dengan jumlah lebih besar dari 525 Kkal adalah 30,4% dan tingkat kecukupan protein dengan jumlah lebih besar dari 15 gram adalah 26,1%. Jumlah Energi dan protein adalah jumlah asupan energi dan protein anak yang dikonsumsi anak sebelum berangkat kesekolah saat diadakan penelitian. Jumlah energi dan protein ini dilihat dengan menggunakan food recall 24 jam dilakukan selama 3 hari yang kemudian di olah dengan menggunakan Nutrisurvey 2007. Energi adalah kemampuan melakukan usaha dan disebut juga tenaga. Energi dalam tubuh berfungsi untuk aktivitas jasmani, berpikir, pertumbuhan, dan pembuangan sisa makanan. Karbohidrat adalah sumber energi utama bagi manusia, yang harus dikonsumsi 50-60% dari energi total. Protein juga diperlukan dalam pengaturan pengangkutan zat gizi, protein juga diperlukan untuk pembentukan zat imun untuk melawan infeksi tubuh.
Protein diperoleh dari hewani dan nabati, konsumsi daging yang relatif rendah juga mempengaruhi nilai asupan protein pada anak, makanan olahan susu juga turut berperan menyumbangkan kebutuhan protein pada anak. Kurang energi-protein pada masa anak akan menurunkan IQ, menyebabkan kemampuan geometrik rendah, dan anak tidak bisa berkonsentrasi secara maksimal (Nirmala Devi, 2012). Distribusi frekuensi kebiasaan makan pagi yang dihubungkan dengan indeks prestasi pada anak. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Tabulasi Silang Kebiasaan Makan Pagi dengan Prestasi Belajar Anak di SD Negeri 096132 Parapat Kebiasaan Makan Pagi
Sangat Baik n %
Prestasi Belajar Baik
Jumlah
Cukup
n
%
n
%
n
%
Selalu makan pagi
2
8,7
21
91,3
0
0
23
100,0
Kadang-kadang
1
3,7
21
77,8
5
18,5
27
100,0
Tidak pernah makan pagi
0
0
13
68,4
6
31,6
19
100,0
Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa hasil yang paling banyak adalah responden dengan prestasi belajar baik dan selalu makan pagi adalah sebanyak 91,3% dan responden dengan prestasi belajar baik dan kadang-kadang makan pagi adalah sebanyak 77,8%. Frekuensi yang paling sedikit adalah responden dengan prestasi belajar sangat baik dan kadang-kadang makan pagi 3,7%. Setelah dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji chi Square diperoleh hasil dengan nilai p= 0,055, yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan pagi dengan indeks prestasi. Jika jumlah anak yang selalu makan pagi tinggi dan prestasi belajar anak juga tinggi maka kemungkinan ada hubungan antara kebiasaan makan pagi pada anak dengan prestasi belajar pada anak. Menurut penelitian Rosalynn (2001) bahwa kebiasaan makan pagi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan indeks prestasi pada anak sekolah dasar. Hal yang senada juga disampaikan dalam penelitian Sri Minatun (2011), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara makan pagi dengan prestasi belajar pada anak sekolah dasar. Hal yang mungkin menyebabkan ini adalah kegiatan anak diluar jam sekolah dalam mengikuti pendidikan informal yaitu berupa les mata pelajaran yang diajarkan disekolah diluar jam sekolah dan pendidikan di dalam keluarga yang dibantu oleh orang tua anak atau asupan zat gizi anak yang baik. Pada tabel 8. dapat dilihat distribusi frekuensi kebiasaan makan pagi yang dihubungkan dengan status gizi pada anak. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8. Tabulasi Silang Kebiasaan Makan Pagi dengan Status Gizi Anak di SD Negeri 096132 Parapat Status Gizi Kurus
Selalumakan pagi
% 87,0
n 3
% 13,0
Sangat Kurus n % 0 0
Jumlah
N 20
N 23
100,0
Kadang-kadang
19
70,4
8
29,6
0
0
27
100,0
Tidak pernah makan pagi
9
47,4
9
47,4
1
5,3
19
100,0
Kebiasaan Makan Pagi
Normal
%
Pada tabel dapat bahwa hasil yang paling banyak adalah responden dengan status gizi normal dan selalu makan pagi sebanyak 87,0%. Untuk status gizi anak dengan kategori kurus dan tidak makan pagi sebanyak 47,4%. Setelah dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji chi Square maka diperoleh hasil dengan nilai p=0,056, yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan pagi dengan status gizi. Akan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan pagi pada anak dengan status gizi jika jumlah anak yang selalu makan pagi jumlahnya tinggi dengan status gizi yang baik pula. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tinneke P (2008), dari hasil penelitiannya diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan pagi dengan status gizi. Distribusi frekuensi status gizi yang dihubungkan dengan indeks prestasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Prestasi Belajar Anak di SD Negeri 096132 Parapat Tahun 2014 Prestasi Belajar Status Gizi
Jumlah
Normal
Sangat Baik n % 3 6,3
n 42
% 87,5
N 3
% 6,3
n 48
% 100,0
Kurus
0
0
12
60,0
8
40,0
20
100,0
Sangat Kurus
0
0
1
100
0
0
1
100,0
Baik
Cukup
Pada tabel 9 Dari penelitian diperoleh hasil bahwa frekuensi yang paling besar adalah responden dengan prestasi belajar baik dan status gizi normal sebanyak 87,5%, status gizi anak yang baik akan membantu peningkatan kualitas belajar pada anak. Kemampuan anak dalam belajar akan meningkat dan menghasilkan prestasi yang memuaskan di sekolah. 40,0% anak memiliki prestasi cukup dan jika dilihat dari status gizi anak adalah kurus hal ini juga merupakan hal yang perlu diperhatikan karena kemungkinan kemampuan akademik anak berkurang karena pemenuhan gizi anak yang tidak baik sehingga penyerapan pelajaran disekolah menjadi tidak maksimal. Dari data yang diperoleh dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji chi Square yang kemudian diperoleh hasil dengan nilai p=0,012 (p<0,05) yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan indeks prestasi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar adalah gizi yang baik. Menurut Moeloek (1999), asupan gizi yang baik berperan penting di dalam mencapai pertumbuhan badan yang optimal. Pertumbuhan badan yang optimal ini mencakup pula pertumbuhan otak yang sangat menentukan kecerdasan seseorang (Muliadi, 2007). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Florencio (1990) di Filipina, prestasi akademik dan mental siswa dengan status gizi yang baik secara signifikan lebih tinggi daripada siswa dengan status gizi yang kurang baik, bahkan ketika pendapatan keluarga, kualitas sekolah, kemampuan guru, atau
kemampuan mental dikontrol (Levinger, 1992). Jika status gizi anak baik maka kemampuan akademik anak akan baik juga, asupan zat gizi yang baik yang dikonsumsi anak akan membantu kerja otak lebih efektif dalam hal penyerapan pelajaran disekolah maupun diluar sekolah. Status gizi anak sekolah yang baik akan menghasilkan derajat kesehatan yang baik pula. Sebaliknya status gizi yang buruk menghasilkan derajat kesehatan yang buruk, mudah terserang penyakit, dan tingkat kecerdasan yang kurang sehingga prestasi anak di sekolah juga kurang (Nirmala Devi, 2012). Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Sebagian besar anak-anak dengan prestasi baik di SD Negeri 096132 Parapat adalah anak-anak dengan kebiasaan selalu makan pagi (91,3%). b. Anak-anak di SD Negeri 096132 Parapat dengan status gizi normal adalah anak-anak dengan kebiasaan selalu makan pagi (87,0%). c. Prestasi belajar anak di SD Negeri 096132 Parapat sebagian besar dengan prestasi baik adalah anak-anak dengan status gizi normal (87,5%). 1. Saran a. Kebiasaan makan pagi anak yang masih rendah dan status gizi anak yang masih memprihatinkan sebaiknya menjadi perhatian ekstra bagi para orang tua murid. Orang tua hendaknya lebih memperhatikan pola makan anak, jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak dan kandungan zat gizinya, agar kebutuhan zat gizi anak terpenuhi dan perbaikan status gizi anak lebih cepat dapat ditanggulangi. b.Perlu dilakukan kerjasama lintas sektoral yang dikoordinir oleh Dinas Kesehatan melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) bekerjasama dengan pihak sekolah berupa penyampaian pesan-pesan mengenai gizi seimbang dalam upaya peningkatan pertumbuhan
dan prestasi belajar anak serta dilaksanakannya pemantauan jenis jajanan yang ada dikantin sekolah agar anak terhindar dari zat-zat yang ada pada jajanan yang tidak baik untuk tumbuh kembang anak. Daftar Pustaka Anonim. 2007. Masalah Gizi pada Anak SekolahDasar.http://sagizi.blogspo t.com /2007/06/masalah-gizi-padaanak-sekolah-dasar. html ? m=1. Diakses tanggal 15 Agustus 2014 Adriani M, Wirjatmadi B. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Prenada Media Group, Jakarta Depkes. 2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Sumatera Utara 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Depkes. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Khomsan, A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Levinger. B. 1992. Learning: Trends. Education Education Inc. (EDC)
Nutrition, Health and Current Issues and International Basic Programs. USA: Development Center,
Muliadi. 2007. Peranan Gizi yang Berkualitas dalam Mencegah Malnutrisi pada Anak Sekolah Dasar. UNM. Jurnal Samudra Ilmu, Volume 2 Nomor 2. www.lipi.go.id Diakses 20 Oktober 2014
Minatun, S. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas IV dan V MIN 02 Cempaka Putih Ciputat Timur Tahun Ajaran 2010/2011 [Skripsi]. Jakarta: FK UINSH Nirmala, D. 2012. Gizi Anak Sekolah. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. Sianipar, R. 2001. Hubungan Kebiasaan Makan Pagi dengan Indeks Prestasi pada Murid SD Negeri No. 060925 Kelurahan Harjosari Kecamatan Medan Amplas Tahun 2001 [Skripsi]. Medan: FKM USU Sediaoetama, AD. 2004. Ilmu Gizi Jilid I. Dian Rakyat, Jakarta. Sibuea, P. 2002. Perbaikan Gizi Anak Sekolah sebagai Investasi SDM. http://perpustakaan.bappenas.go.id/ lontar/file?file=digital/blob/F394/P erbaikan%20Gizi%Anak%20Sekol ah%20sebagai%20Investasi%20SD M.htm. Diakses tanggal 8 Agustus 2014 Tinneke P. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Kurang pada Siswa Sekolah Dasar di 3 Kecamatan Kabupaten Kampar Tahun 2007 [Skripsi]. Jakarta: FKM UI
ANALISIS BAHAYA DAN IDENTIFIKASI TITIK KRITIS PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PEMBUATAN TAHU CINA DAN TAHU SUMEDANG DI KELURAHAN SARI REJO KECAMATAN MEDAN POLONIA
1
Rosalyn Sitinjak¹, Albiner Siagian², Jumirah³ Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU ABSTRACT
Food secure is an important condition for food that will be consumed by society. Food insecurity can be happen on food processing process call critical point which is if uncontrolled can endanger society. This research is observational survey with purpose to analize hazards and to know critical points in the making of Chinese Tofu and Sumedang Tofu at Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. Data collecting done by observation and documentation Tofu making process. The research result showing the existence of physic contamination such as sand and rotten soybean on Chinese Tofu and just rotten soybean found on Sumedang Tofu. Both of soybean soaking water containing E.coli. Undiscovered E.coli and also Salmonella on tofu. Curd material which is sulphate calcium exceed dose for making Chinese Tofu. Heavy metal (lead, copper, arsenic) at both of the tofu not exceed secure perimeter yet. Formalin positive at both of the tofu. Critical points at the making of Chinese Tofu are on soybean soaking, curd and printing. Critical point found for Sumedang Tofu processing process on soybean soaking. Base of the observational result, producer expecting to using chemical material accords measuring, do not use harmfull chemical material. Utilizing clean water in production process and paying attention to equipment hygiene that is utilized and material those are utilized may not contaminate product that be endanger consumer. Keywords: hazard analysis, critical point, Chinese Tofu, Sumedang Tofu, household food industry PENDAHULUAN Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak azasi setiap warga masyarakat sehingga harus tersedia dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, bergizi, beragam dengan harga yang terjangkau oleh kemampuan daya beli masyarakat. Keamanan pangan merupakan syarat penting pada pangan yang hendak dikonsumsi oleh masyarakat. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri rumah tangga. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu faktor penentu
beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu program pengawasan, pengendalian, dan prosedur pengaturan yang dirancang untuk menjaga agar makanan tidak tercemar sebelum disajikan (Arisman, 2009). Sistem HACCP terutama diterapkan dalam industri makanan besar, tetapi WHO telah membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan hingga ke tingkat rumah
tangga. Sistem HACCP bukan merupakan jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan.(Sara dan Wallace, 2004). Keselamatan dan kesehatan masyarakat harus dilindungi terhadap pangan yang tidak memenuhi syarat dan terhadap kerugian sebagai akibat produksi, peredaran dan perdagangan pangan yang tidak benar. Cara produksi dan peredaran pangan yang tidak benar dapat merugikan dan membahayakan bagi kesehatan. (Cahyadi, 2008). Dalam pengolahan bahan makanan, banyak cara yang dilakukan produsen untuk mendapatkan produk akhir yang menarik dengan daya simpan yang tinggi, yaitu dengan menggunakan bahan tambahan makanan. Bahan tambahan sangat membantu proses pengolahan makanan selama kadarnya tidak melebihi kadar yang dapat ditolerir oleh tubuh (Irianto dan Kusno, 2004). Tahu merupakan makanan hasil olahan kedelai yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia mulai dari masyarakat kelas atas menengah dan bawah karena rasanya enak, mudah dibuat, harganya murah, tinggi protein, dan dapat diolah menjadi berbagai bentuk masakan seperti cemilan, bahkan tidak sedikit masyarakat yang membuat tahu menjadi lauk sehari-hari. Tahu berasal dari Cina. Nama tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) yang secara harafiah berarti kedelai yang difermentasi (Sarwono, 2005). Proses pembuatan tahu secara sederhana terdiri dari perendaman kedelai kering yang sudah disortasi dengan menggunakan air bersih selama 4 sampai 12 jam, pengupasan, perendaman dengan air bersih selama 45 menit, penggilingan, perebusan selama 30 menit, penyaringan bubur kedelai, pendidihan susu kedelai, penggumpalan dengan bahan penggumpal dan pencetakan tahu. Tahap pencucian, perebusan, penggilingan, penggumpalan
biji kedelai harus menggunakan air bersih dan tidak tercemar bakteri patogen seperti E.coli. Penambahan bahan pengawet seperti formalin dan boraks tidak diperbolehkan karena akan membahayakan konsumen (Suprapti, 2005). Hingga sekarang ini sudah semakin banyak industri rumah tangga yang memproduksi tahu.. Di kota Medan sendiri terdapat 42 unit industri rumah tangga pembuatan tahu. Jenis tahu yang paling umum diproduksi yaitu tahu cina, tahu sumedang mentah dan tahu sumedang goreng ( Giska, dkk. 2013) Salah satu daerah penghasil tahu di kota Medan yaitu Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia. Disini ada beberapa industri rumah tangga pembuatan tahu yang menggunakan teknologi sederhana dalam proses pembuatannya. Produk pangan yang diolah menggunakan teknologi sederhana biasanya memiliki masa layak konsumsi yang lebih singkat dibandingkan produk pangan yang diolah dengan teknologi tinggi karena adanya perbedaan standar keamanan. Survei awal yang dilakukan pada kedua industri pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang ini memperlihatkan bahwa sarana industri tidak mempunyai sekat/dinding ke arah luar. Mengingat lokasi ini terletak di dekat jalan yang ramai dilewati kendaraan warga, kendaraan pengantar kedelai dan pengangkut tahu, kemungkinan proses pengolahan dan produk tercemar debu dan asap. Selain itu bak-bak perendaman kedelai dan penampungan bubur kedelai terlihat hitam dan berlumut yang memungkinkan adanya bahaya fisik pada produk tahu. Mesinmesin penggiling yang berkarat bisa saja terkikis dan menyebabkan tahu tercemar logam berat. Di sekitar industri pembuatan Tahu Sumedang juga terlihat sampah berserakan dan lalat beterbangan yang bisa memindahkan kuman penyakit ke produk tahu. Selain kebersihan alat, kebersihan pekerja juga sangat mempengaruhi kualitas suatu produk. Para pekerja di
industri ini terutama yang bertugas mencetak tahu tidak menggunakan pakaian sehingga memungkinkan tahu yang dicetak terkontaminasi keringat pekerja. Sehubungan dengan kondisi di atas peneliti tertarik untuk meneliti proses pembuatan tahu di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia untuk melihat kemungkinan adanya titik kritis seperti bahaya mikrobiologi pada tahap perendaman dan pencetakan, bahaya fisik pada bubur kedelai dan pada proses penggilingan, serta bahaya kimia pada proses penggumpalan tahu. Adapun yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah pada proses pembuatan tahu, tahap mana saja yang dianggap sebagai titik kritis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik kritis pada proses pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang, untuk mengetahui bahaya kimia (formalin, logam berat dan kadar bahan penggumpal CaSO4), untuk mengetahui bahaya mikrobiologis pada air rendaman kedelai dan pada tahu, serta untuk mengetahui bahaya fisik yang terdapat pada tahu hasil produksi Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Cina dan Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi yang dapat mendukung ilmu pengetahuan terutama dalam hal keamanan pangan. METODE PENELITIAN Penelitian survei ini bersifat deskriptif yaitu mengetahui gambaran proses pembuatan tahu dan hasil analisis bahaya fisik, bahaya kimia dan bahaya biologis pada Tahu Cina dan Tahu Sumedang yang di produksi di industri rumah tangga di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. Penelitian ini dilakukan di dua industri rumah tangga yang memproduksi Tahu Cina dan yang memproduksi Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia. Sampel dari lokasi penelitian kemudian
dibawa ke laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan (BARISTAND) untuk diperiksa bahaya mikrobiologis dan kimianya. Untuk pemeriksaan bahaya fisik dilakukan di laboratorium Gizi FKM USU. Objek penelitian adalah Tahu Cina dan Tahu Sumedang yang diproduksi di Kelurahan Sari Rejo. Data primer diperoleh dengan observasi langsung dan dokumentasi proses pembuatan Tahu Cina dan proses pembuatan Tahu Sumedang. Pada setiap tahapan proses pembuatan tahu akan digunakan form pohon keputusan (decision tree). Data sekunder meliputi gambaran umum wilayah Kelurahan Sari Rejo dan informasi yang relevan dengan penelitian ini. Analisa data diolah secara manual, disajikan dalam bentuk tabel dan dinarasikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Industri rumah tangga pembuatan tahu yang menjadi lokasi penelitian yaitu 1 industri Tahu Sumedang yang berada di Jalan Ayahanda dan 1 indutri Tahu Cina yang berada di Jalan Langgar. Industri rumah tangga pembuatan Tahu Cina mempunyai luas kira-kira 9x6 meter, Industri ini menggunakan tiga mesin penggiling kedelai dan tiga mesin perebusan bubur kedelai serta satu alat penyaring. Industri Tahu Sumedang mempunyai luas bangunan 7x7 meter, dengan satu alat penggiling kedelai, dua kuali perebusan dan dua alat penyaring. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahaya Fisik pada Tahu Produk Bahaya fisik Tahu Cina Pasir Tahu Sumedang Dari tabel di atas, ditemukan bahaya fisik berupa pasir pada Tahu Cina. Hal ini disebabkan karena pada proses pembuatan Tahu Cina tidak ada pencucian kedelai sebelum diproses sehingga didapati pasir pada produk.
Tabel4.5 Tabel 4.2 Pemeriksaan Formalin pada Tahu Produk Hasil Tahu Cina Positif Tahu Sumedang Positif Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa kedua jenis tahu yang menjadi sampel positif mengandung formalin. Pada kenyataannya, formalin sebagai bahan pengawet dilarang ditambahkan pada makanan karena sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Tabel 4.3 Pemeriksaan Logam Berat pada Tahu (mg/kg) Produk
Tahu Cina Tahu Sumedang
Baku mutu Timbal
Hasil uji
Baku mutu Tembaga
Hasil uji
Baku mutu Arsen
Hasil uji
Maks.
<0,02
Maks.
2,41
Maks.
0,03
2,0
<0,02
30
3,23
1,0
0,03
Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi pada Tahu
E.coli
Salmonella
Sampel
Baku mutu
Satuan
Hasil uji
Baku mutu
Satuan
Hasil Uji
Tahu Cina
0
0
0
0
0
0
MPN/ 100ml MPN/ 100ml
0
Tahu Sumedang
MPN/ 100ml MPN/ 100ml
0
Tabel 4.5 di atas menunjukkan tidak ada pertumbuhan E.coli maupun Salmonella untuk kedua jenis tahu. E.coli yang terdapat pada air perendaman mati saat proses perebusan dengan suhu yang tinggi sehingga tidak ditemukan lagi pada produk. Tabel 4.6 Hasil Analisis Bahaya pada Proses Pembuatan Tahu Cina di Industri Rumah Tangga Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia Proses pembuatan Tahu
Bahaya M/K/F F
Jenis bahaya Ranting,
Sumber bahaya Terikut dari kedelai,
Cara pencegahan Melakukan sortasi,
M
E.coli
Air
Menggunak an kaporit pada air
Perendaman
Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa cemaran logam berat yaitu timbal, tembaga dan arsen pada kedua jenis tahu belum melewati baku mutu yang sudah ditetapkan.
Penggilingan
K
Logam berat
Mesin penggiling
Membersihk an alat penggiling
Perebusan
K
Logam berat
Pipa untuk menyalurka n uap
Mengganti pipa secara rutin
Tabel 4.4 Pemeriksaan Mikrobiologi pada Air Perendaman Kedelai
Penyaringan
Penggumpalan
K
CaSO4
Bahanpeng gumpal
Penggunaan bahan penggumpal tidak sesuai
Pencetakan
M
Keringat pekerja,
Pekerja
E.coli Sampel
Baku
Salmonella Satuan
mutu
1. 2.
10/ 100ml 10/ 100ml
MPN/ 100ml MPN/ 100ml
Hasil
Baku
uji
mutu
16000
0
16000
0
Satuan
Hasil uji
Col/ ml Col/ ml
0 0
Keterangan. 1: air perendaman kedelai Tahu Cina 2:air perendaman kedelai Tahu Sumedang
Dari tabel di atas kedua air perendaman kedelai negatif untuk pemeriksaan Salmonella. Sedangkan untuk keberadaan E.coli kedua air perendaman sama-sama mengandung E.coli dengan jumlah 16000/100ml. Hal ini menunjukkan bahwa air yang digunakan sangat tercemar.
Keterangan.
M= mikrobiologi ; K = kimia ; F = fisik
Pekerja memakai pakaian
Tabel 4.7 Hasil Analisis Bahaya pada Proses Pembuatan Tahu Sumedang di Industri Rumah Tangga Kelurahan Sari Rejo Proses pembuatan Tahu
Jenis Bahaya
Sumber bahaya
Cara pencegahan
F
Ranting, lumut
kedelai, ember perendaman
Sortasi, membersihka n ember
M
E.coli
M
E.coli
Air
Penggunaan air bersih
K
Logam berat
Mesin penggiling
Mengganti alat penggiling
K
Logam berat
Wadah perebusan dan pipa untuk menyalurka n uap
Membersihka n wadah perebusan, Penggantian pipa secara rutin
Kedelai
Melakukan sortasi kedelai, Penggunaan kain saring berpori-pori rapat
Dari wadah tempat bahan penggumpal
Membersihka n tabung wadah penggumpal
Pekerja
Memakai pakaian
Bahaya
M/K/F
Perendaman Air Penggunaan air bersih
Penggilingan
Perebusan
Penyaringan
F
Butiran kecoklat an
Penggumpalan
F
Lumut
M
Keringat
Pencetakan Pemotongan
Perendaman
Keterangan.
M= mikrobiologi ; K = kimia ; F = fisik
Analisis Bahaya Bahaya Fisik Hasil pemeriksaan pada Tahu Cina yang diproduksi di Industri Rumah Tangga di Kelurahan Sari Rejo menunjukkan adanya bahaya fisik yaitu pasir dan cemaran kedelai hitam. Bahaya fisik berupa pasir tidak bisa hilang pada proses pemasakan, dan bisa melukai mulut saat mengonsumsi tahu, sedangkan cemaran berupa kedelai hitam hanya membuat produk terlihat tidak bersih saja. Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan yaitu sortasi kedelai dan pada tahap penyaringan. Adanya cemaran fisik diakibatkan oleh proses penyaringan yang
kurang benar oleh pekerja juga pori-pori kain saring yang terlalu besar. Untuk itu pekerja harus berhati-hati saat menyaring sari kedelai, juga penggantian karing saring dengan pori-pori yang lebih kecil. Bahaya fisik juga bisa berasal dari debu atau kotoran yang menempel di langit-langit, karena dari hasil pengamatan langit-langit kedua industri terlihat kotor. Sarang laba-laba maupun debu yang menempel bisa jatuh kapan saja selama proses produksi. Debu dari sekitar lokasi juga bisa mengotori proses maupun tahu yang sudah jadi. Bahaya Kimia 1. Formalin Hasil pemeriksaan di laboratorium menunjukkan bahwa kedua jenis tahu yaitu Tahu Cina dan Tahu Sumedang positif mengandung formalin. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Nungki Nurul pada tahun 2006 di Industri Rumah Tangga pembuatan tahu di Plamongansari, Semarang menunjukkan hasil negatif untuk formalin. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 711/MenKes/Per/IX/1988 bahwa salah satu pengawet yang dilarang ditambahkan ke dalam makanan yaitu formalin. Formalin merupakan larutan yang digunakan sebagai desinfektan. Selain itu juga digunakan pada industri tekstil untuk mencegah bahan menjadi kusut dan meningkatkan ketahanan bahan tenunan. Dalam bidang farmasi formalin digunakan sebagai obat penyakit kutil. Formalin dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa sakit disertai radang. Hal ini karena sifatnya yang merupakan iritan kuat. Formalin juga dapat menyebabkan muntah dan diare. 2. Batu Tahu ( Kalsium Sulfat) Dari hasil pemeriksaan di laboratorium menunjukkan terdapat 1,02 gr b/b kalsium sulfat atau jika dikonversi terdapat 1,02 gram kalsium sulfat dalam
100 gram larutan bubur kedelai. Pada dasarnya dosis batu tahu (kalsium sulfat) yang diperbolehkan yaitu 1 gram per 1 liter sari kedelai atau setara dengan 1 gram per 1000 gram larutan ( 0,1 gram per 100 gram larutan bubur kedelai). Hal ini menunjukkan penggunaan bahan penggumpal yang berlebihan dalam proses penggumpalan tahu, bahkan 10 kali lipat dari takaran yang dianjurkan. Ada dua jenis bahan pengeras makanan yang umum digunakan yaitu bahan aluminium sulfat beserta turunan kimianya (aluminium ammonium sulfat ataupun aluminium natrium sulfat) dan segala jenis turunan kimia dari garam kalsium seperti kalsium karbonat, kalsium sulfat, kalsium laktat dan kalsium klorida. Garam kalsium dinilai memiliki banyak kadar kalsium yang secara langsung akan menyebabkan menumpuknya kalsium dalam darah yang menyebabkan fungsi saraf memburuk, kinerja tubuh menurun, kerusakan ginjal dan terjadinya penggumpalan pada aliran darah dan cairan dalam tubuh. Untuk menghindari dampak buruk seperti yang diungkapkan di atas, maka produsen perlu memahami takaran penggunaan bahan penggumpal. Setelah itu, produsen memakai alat takar seperti sendok atau cangkir yang pas untuk menambahkan bubuk kalsium sulfat ke dalam bubur tahu. 3. Logam berat Jenis logam berat yang diperiksa pada tahu yaitu timbal (Pb), tembaga (Cu) dan Arsen (As). Timbal (Pb) merupakan salah satu formulasi penyambung pipa yang mengakibatkan air untuk rumah tangga mempunyai banyak kemungkinan kontak dengan Pb. Tembaga juga dipakai pada proses pembuatan pipa ledeng sama seperti timbal. Jadi saat proses perebusan, pipa uap yang dipakai dan setiap hari kontak dengan bubur kedelai menyebakan menumpuknya sisa-sisa bubur kedelai pada pipa sehingga menimbulkan karat dan mencemari produk. Cemaran tembaga juga bisa berasal dari proses penggilingan,
dimana alat penggiling yang digunakan sudah rusak Meskipun kandungan logam berat (timbal, tembaga, arsen) pada kedua jenis tahu masih berada di bawah baku mutu, konsumsi tahu setiap hari bisa membuat menumpuknya logam berat ini di dalam tubuh. Ditambah dengan konsumsi makanan lain setip hari yang tidak bisa dijamin keamanannya dalam hal logam berat, bisa memperparah akumulasi logam berat yang bisa membahayakan kesehatan. Bahaya Mikrobiologis Pada umumnya, bakteri E.coli dapat ditemukan dalam usus besar manusia karena merupakan flora normal. E.coli dapat menguntungkan manusia dengan mencegah bakteri lain di dalam usus. E.coli menjadi patogen jika berada di luar usus yaitu yang keluar bersama tinja. Bakteri ini bisa mencemari makanan, minuman maupun sumber air, yang bilamana masuk ke dalam tubuh akan membahayakan kesehatan. Hasil pemeriksaan mikrobiologi pada air perendaman kedelai untuk pembuatan Tahu Cina dan air perendaman kedelai untuk pembuatan Tahu Sumedang menunjukkan hasil positif untuk keberadaan bakteri E.coli dan hasil negatif untuk keberadaan Salmonella pada kedua air perendaman. Air yang kontak langsung dengan pangan harus memenuhi persyaratan air minum yaitu keberadaan E.coli maksimal 0/100 ml air. Dari hasil analisa, kedua air perendaman mengandung E.coli sebanyak 16000/100 ml air. Menurut Depkes RI 2001 berdasarkan standar mutu bakteriologis air, jumlah bakteri (MPN/100 ml) 5000– 50000 merupakan kategori polusi berat yang memerlukan penanganan khusus. Sumber air yang digunakan untuk proses produksi Tahu Cina dan Tahu Sumedang sama-sama menggunakan air sumur. Tingginya cemaran E.coli kemungkinan besar disebabkan terkontaminasinya sumber air oleh kotoran manusia/ tinja melalui septic tank yang
jaraknya berdekatan dengan sumber air (sumur) sehingga menyebabkan merembesnya kotoran. Selain itu kebersihan pekerja, ember yang kurang bersih yang digunakan juga bisa menjadi penyebab keberadaan e.coli. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu melakukan strerilisasi air untuk mengurangi bakteri seperti penaburan kaporit pada air sumur. Kaporit menjadi salah satu alternatif desinfektan yang dapat digunakan karena murah, mudah didapatkan, serta mudah cara penggunaannya. Kaporit bekerja dengan cara melepaskan zat klorin yang mampu mengurangi pertumbuhan mikroorganisme. Ember yang digunakan saat kegiatan produksi jangan diletakkan sembarangan di tanah atau di tempat kotor. Selain itu, pekerja juga harus membersihkan tangan dengan sabun setelah dari kamar mandi untuk mengurangi kontaminasi E.coli terhadap air yang digunakan. Hasil pemeriksaan mikrobiologi untuk Tahu Cina dan Tahu Sumedang menunjukkan hasil negatif untuk keberadaan bakteri E. coli dan Salmonella. E.coli yang ditemukan pada air rendaman kedelai, saat proses perebusan dengan suhu yang tinggi mengakibatkan E.coli mati. Lokasi industri yang kurang bersih, seperti banyaknya sampah berserakan maupun tumpukan kayu bisa memicu lalat beterbangan dan memindahkan kuman penyakit. Hal ini bisa dikendalikan dengan membersihkan lingkungan sekitar pabrik, membuat tempat sampah sehingga sampah bisa dikumpul di satu tempat, juga tidak membuang sampah sembarangan. Identifikasi Titik Kritis Titik Kritis pada Pembuatan Tahu Cina Dari hasil pemeriksaan laboratorium dan pengamatan di lokasi penelitian, yang menjadi titik kritis untuk proses pembuatan Tahu Cina adalah pada tahap perendaman kedelai, penggumpalan dan pencetakan.
1) Tahap perendaman kedelai Tahap perendaman menjadi titik kritis karena dari hasil pemeriksaan di laboratorium air perendaman kedelai mengandung E.coli dalam jumlah yang tidak sedikit. Selain itu lumut dari bak perendaman kedelai bisa saja terikut saat kedelai diambil untuk digiling. Dinding bak perendaman kedelai yang tidak diplester juga bisa menjadi sumber terikutnya pasir ke produk yang dihasilkan. Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membersihkan bak untuk mengurangi cemaran fisik. 2) Tahap penggumpalan Tahap penggumpalan menjadi titik kritis pada proses pembuatan Tahu Cina karena bahan penggumpal yang digunakan tidak sesuai takaran. Kalsium sulfat yang berlebihan akan menumpuk di dalam darah dan menyebabkan kerusakan syaraf dan kerusakan ginjal. Penggunaan drum plastik sebagai wadah pengumpal juga berbahaya karena proses penggumpalan dilakukan saat bubur kedelai dalam keadaan panas. Drum plastik dalam keadaan panas bisa terkikis atau lepas dan terikut ke bubur tahu. 3) Pencetakan tahu Tahap pencetakan pada Tahu Cina menjadi titik kritis karena pada tahap ini pekerja tidak memakai pakaian dan dalam kondisi berkeringat oleh karena suhu lingkungan kerja yang panas, juga tangan pekerja yang kontak langsung dengan pangan tanpa menggunaan sarung. Keringat bisa mengenai tahu dan menjadi tempat bertumbuhnya jamur maupun bakteri. Karyawan seharusnya mengenakan pakaian kerja/celemek lengkap dengan penutup kepala, sarung tangan untuk menghindari kontaminasi dari pekerja. Titik Kritis pada Pembuatan Tahu Sumedang Yang menjadi titik kritis untuk proses pembuatan Tahu Sumedang adalah pada tahap perendaman kedelai, pemotongan tahu dan perendaman tahu yang sudah jadi
1)
Tahap perendaman kedelai Tahap perendaman kedelai pembuatan Tahu Sumedang menjadi titik kritis karena dari hasil pemeriksaan di laboratorium air perendaman kedelai mengandung bakteri E.coli. jeregenjeregen perendaman yang digunakan untuk perendaman juga dipenuhi lumut dan kondisi jeregen yang berwarna kekuningan akibat sudah usang juga menjadi penyebab timbulnya bahaya. Pencegahan yang dapat dilakukan misalnya mencuci jeregen dengan menggunakan sabuk pembersih dan jangan hanya disiram saja. 2) Tahap pemotongan tahu Tahap pemotongan pada pembuatan Tahu Sumedang menjadi titik kritis karena pada tahap ini digunakan alat pemotong yang kurang bersih, tangan pekerja yang tidak memakai pelindung bersentuhan langsung dengan tahu kemungkinan bisa mencemari produk. Petugas pemotong tahu yang mengenakan pakaian tanpa lengan berpotensi membuat jatuhnya keringat ke produk. Pencegahan yang bisa dilakukan yaitu membersihkan dan mengeringkan alat pemotong setelah selesai digunakan, pekerja supaya memakai pakaian berlengan /celemek yang bisa menghindari jatuhnya keringat pada tahu yang sedang dipotong. 3) Tahap perendaman tahu yang sudah jadi Tahap perendaman merupakan titik kritis karena pada tahap ini bakteri bisa secara cepat tumbuh pada air perendaman. Juga tahu yang telah siap dipotong dipindahkan ke ember perendaman oleh pekerja tanpa menggunakan sarung tangan sehingga bisa terjadi kontaminasi. Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu petugas pemotong tahu menggunakan sarung tangan untuk memindahkan tahu ke dalam ember perendaman.
Titik Kendali Kritis Titik kendali kritis adalah suatu langkah pengendalian untuk mencegah atau mengurangi bahaya sampai pada tingkat aman. Pada proses pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang titik kendali kritis yang ada yaitu pada tahap perebusan dan penyaringan. 1. Tahap perebusan Tahap perebusan pada proses pembuatan tahu bertujuan untuk mengurangi bau langu pada susu kedelai, menambah keawetan produk akhir dan merubah sifat protein kedelai sehingga mudah dikoagulasikan. Pada tahap ini juga bakteri E.coli yang ditemukan pada air yang digunakan pada proses sebelumnya mati karena proses perebusan dengan suhu tinggi. 2. Tahap penyaringan Tahap penyaringan berfungsi untuk memisahkan ampas dari sari kedelai yang akan digumpalkan. Selain itu, tahap ini berfungsi untuk menyaring cemaran fisik yang terikut pada proses pengolahan. KESIMPULAN 1. Titik kritis pada pembuatan Tahu Cina adalah pada tahap perendaman kedelai, tahap penggumpalan, dan tahap pencetakan tahu. Pada pembuatan Tahu Sumedang titik kritis yaitu pada tahap perendaman kedelai, pemotongan tahu dan perendaman tahu yang sudah jadi. 2. Bahaya kimia yang ditemukan yaitu formalin pada Tahu Cina dan Tahu Sumedang. Kandungan logam berat (timbal, tembaga, arsen) masih di bawah batas aman untuk kedua jenis tahu. 3. Bahaya mikrobiologis yang ditemukan pada kedua air perendaman kedelai yaitu bakteri E.coli, sedangkan pada produk tidak ditemukan bakteri E.coli maupun Salmonella.
4. Bahaya fisik yang ditemukan yaitu pada Tahu Cina berupa pasir dan kedelai hitam, sedangkan pada Tahu Sumedang yaitu kedelai hitam. SARAN 1. Diharapkan kepada produsen Tahu Cina dan Tahu Sumedang untuk tidak menggunakan bahan kimia berbahaya dan produsen Tahu Cina supaya menggunakan bahan penggumpal sesuai takaran. 2. Produsen menggunakan air bersih untuk proses pembuatan Tahu agar tidak membahayakan konsumen. 3. Agar produsen memperhatikan kebersihan peralatan dan jangka waktu penggunaan mesin-mesin produksi. 4. Diharapkan kepada pihak Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih menggiatkan pembinaan terhadap industri rumah tangga dalam hal penggunaan formalin. DAFTAR PUSTAKA Aeni, Nungki Nurul. 2006. Penetapan Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) pada Tahu yang Diproduksi di Industri Rumah Tangga Plamongansari Pedurungan, Kota Semarang. Skrispi Fakutas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang. Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi “Keracunan Makanan.” Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Cahyadi, Wisnu. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT Bumi Aksara: Jakarta. Giska, dkk. 2013. Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pemasaran Usaha Industri Tahu di Kota Medan. Jurnal Agribisnis vol.2 no.1 tahun 2013. Medan.
Irianto, Kus dan Kusno Waluyo. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Yrama Widya: Bandung. Mortimore, Sara dan Carol Wallace. 2004. HACCP: Sekilas Pandang. EGC: Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan RI no.711/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Sarwono, Pieter Saragih. 2005. Membuat Aneka Tahu. Penebar Swadaya: Depok. Suprapti, Lies. 2005. Teknologi Pengolahan Pangan Pembuatan Tahu. Kanisius: Yogyakarta.
HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOPOSURUNG KECAMATAN BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR TAHUN 2014 (THE CORRELATION BETWEEN NUTRITIONAL STATUS AND IMMUNIZATION STATUS WITH ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) INCIDENT IN CHILDREN IN SOPOSURUNG PUBLIC HEALTH CENTRE BALIGE SUBDISTRICT TOBA SAMOSIR REGENCY 2014 ) Purnama Sinaga1, Zulhaida Lubis2, Mhd Arifin Siregar 3 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU
1
ABSTRACT Children are the most vulnerable groups affected by ARI. And in Soposurung the number of children are affected by ARI is increase every year.The aim of this study was to investigate the relationship between nutritional status and immunization status with acute incidence of respiratory infection in infants, to analyze the relationship between exclusive breastfeeding, vitamin A with ARI in infants in Soposurung Public Health 2014. This type of research is an observational cross-sectional approach. The sample in this study was a toddler as many as 61 people (15 children is ARI and 46 children are not ARI) are taken by using ProbabilitySampling types Alocated Proportional Sampling. The data were analyzed using Chi-Square statistical test with CI = 95% (α = 0.05), which indicates that there is no significant relationship between nutritional status (W/ A, H/ A and W / H) with ARI in infants (ρ = 0.642; ρ = 0.177 and ρ = 0.377). There is also no significant relationship between exclusive breastfeeding and nutritional status (W / A) ρ = 0.641; nutritional status (H/ A) ρ = 0.693 and for the nutritional status (W/ H) ρ = 0.192. There is a significant association between vitamin A nutritional status (H/ A) ρ = 0.044 and nutritional status (W/ H) ρ = 0.037. However, there is no significant relationship between immunization status with ARI in infants ρ = 0.404. From this study suggested improving the nutritional status can be improved further, socialization importance of exclusive breastfeeding in infants and setting a good diet early in toddlers. Keywords: Nutritional status, immunization status, exclusive breastfeeding, vitamine A, Acute Respiratory Infections (ARI). PENDAHULUAN Salah satu tujuan pembangunan millenium yang dicanangkan oleh masyarakat dunia atau yang sering disebut Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian anak usia di bawah lima tahun pada rentang waktu antara 1990-2015. Kemudian ditegaskan kembali bahwa tujuan dari MDGs yang belum tercapai secara merata khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia adalah menurunkan sepertiga kematian oleh Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (Setiyanto, 2008).
Di Indonesia, penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira- kira 1 dari 4 kematian yang terjadi (Depkes, 2002). Kejadian ISPA pada balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan buruk. Hal ini disebabkan karena umumnya ISPA pada anak balita merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal sistem kekebalannya jika dibandingkan pada orang dewasa. ISPA akan menyerang host apabila ketahanan tubuh 1
menurun. Bayi dibawah lima tahun adalah kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit (Probowo, 2012). Secara global, tingkat kematian balita mengalami penurunan sebesar 41%, dari tingkat estimasi 87 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 51 kematian per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2011, WHO memperkirakan insidensi ISPA di negara berkembang sebesar 0,29% (151 juta jiwa) dan negara maju 0,05% (5 juta jiwa) (WHO, 2012). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Di Sumatera Utara, Periode Prevalence ISPA adalah sebesar 10,9% (Kemenkes, 2013). Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa prevalensi penyakit ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia < 6 bulan (4,5%), 6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan (8,0%) (Djaja ,2001). Menurut Riskesdas 2007, prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,5% dan ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Dari angka- angka di rumah sakit Indonesia didapat bahwa 40%70% anak yang berobat ke rumah sakit adalah penderita ISPA (Depkes, 1985). Sebanyak 4060% kunjungan pasien ISPA berobat ke puskesmas dan 15-30% berkunjung ke bagian rawat jalan dan rawat inap. Selama satu tahun frekuensi kejadia ISPA ada 3-6 kali (Depkes RI, 2000). Berdasarkan data WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 ISPA adalah penyebab kematian balita paling banyak di dunia dan juga di Indonesia. Dari tahun ke tahun, prevalensi ISPA di Indonesia tetap tinggi sekitar 21,6% di daerah perkotaan. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan jumlah balita penderita ISPA dari tahun 2000 hingga 2003 cenderung menetap di angka yang sama meski pemerintah telah mencanangkan program pemberantasan ISPA.
Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga yang saat ini berkembang menjadi kota metropolitan, tidak terlepas dari masalah ISPA. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 menunjukkan jumlah kasus ISPA tiga kabupaten/kota tertinggi secara berturut-turut adalah Kabupaten Simalungun yaitu 32,44%, disusul dengan Kota Medan sebesar 25,50% dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 21,53% (Dinkes Provsu, 2013). Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat ISPA berat. Paling sering kematian terjadi akibat infeksi telah mencapai paru- paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau pneumonia. Sebagian besar keadaan ini terjadi karena ISPA ringan yang diabaikan. Seringkali penyakit dimulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru. Jika penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak tidak mendapat pengobatan serta perawatan yang tepat, maka anak tersebut dapat meninggal (Depkes, 2002). Berdasarkan Hasil Analisis Antroprometri Balita pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2003, diperkirakan 27,5% balita di Indonesia mengalami gangguan gizi kurang. Hasil Susenas tahun 2005 menunjukkan prevalensi gizi kurang di Sumatera Utara adalah 18,2%. Dari hasil laporan Riskesdas bahwa prevalensi status gizi anak balita di Provinsi Sumatera Utara tahun 2007 adalah 8,40% balita gizi buruk dan sebanyak 14,30% balita gizi kurang. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir tahun 2005- 2009, status gizi balita (gizi buruk) adalah masing- masing 0,57%, 0,60%, 1,74%, 1,02% dan 1,05% (DinKes Tobasa, 2009). Kasus meninggal dunia pada gizi buruk umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti ISPA, diare, TB, campak dan malaria. Mengingat tingginya angka kematian dan kesakitan serta banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan kasus ISPA, maka pemerintah berusaha menurunkan angka kematian dan kesakitan. Cara yang 2
dilakukan yaitu dengan pengobatan kasus secara standar dan upaya penekanan pada pentingnya usaha pencegahan dengan cara imunisasi serta kerja sama lintas sektoral bagi pengurangan faktor risiko (BBLR dan gizi kurang/buruk). Kemenkes RI juga menetapkan 10 program prioritas masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat guna mencapai tujuan Indonesia Sehat 2015, dimana salah satunya adalah Program Pencegahan Penyakit Menular (P3M), termasuk penyakit ISPA. Hasil penelitian mengenai Pola Penyakit Anak Balita Penderita Gizi Buruk, menyebutkan penyakit ISPA merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan (71,5%) (Suwarti, 2005). Sampai tahun 2009, ISPA masih menduduki peringkat pertama sepuluh besar penyakit di Kabupaten Toba Samosir yaitu sebanyak 5.973 jiwa. Data prevalensi ISPA pada balita di Kabupaten Toba Samosir tahun 2008 sebanyak 261 balita. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Malang, didapat kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan kejadian ISPA (Sri Andarini, Asmika, Ani Noviani, 2005). Puskesmas Soposurung merupakan salah satu puskesmas yang berada di Kabupaten Toba Samosir dan berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Soposurung sebagai bagian dari survei pendahuluan yang peneliti lakukan, terdapat peningkatan jumlah kejadian ISPA pada balita yang cukup signifikan. Tahun 2012 dari 250 balita yang berkunjung ke Puskesmas Soposurung terdapat 62 balita yang mengalami ISPA, untuk tahun 2013 dari 284 balita yang datang berkunjung terdapat 80 balita yang mengalami ISPA dan untuk tahun 2014 data yang digunakan masih per Juni 2014 yaitu didapat sebanyak 41 balita yang mengalami ISPA dari 165 balita yang datang berkunjung ke Puskesmas Soposurung. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung tahun 2014.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung tahun 2014. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah informasi di bidang kesehatan bagi pihak- pihak yang terkait khususnya pengelola program dalam rangka usaha menurunkan atau mencegah kejadian ISPA pada balita dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam menurunkan atau mencegah kejadian ISPA pada balita yang nantinya diharapkan akan meningkatkan sumber daya manusia; dan sebagai bahan masukan atau referensi bagi peneliti selanjutnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menyelesaikan penelitian selanjutnya. METODE Penelitian ini bersifat observasional dengan pendekatan crosssectional yaitu mempelajari dinamika korelasi dan asosiasi antara variabel independen (status gizi balita) dengan variabel dependen (kejadian ISPA pada balita) di wilayah kerja Puskesmas Soposurung yang diteliti pada saat yang bersamaan (point time approach). Penelitian ini dilaksanakan di Desa Soposurung wilayah kerja Puskesmas Soposurung Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir. Pilihan lokasi ini didasarkan pada masih tingginya kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung yaitu terdapat 41 balita yang menderita ISPA (dari 165 balita) dan daerahnya yang mudah dijangkau dan belum pernah ada penelitian serupa terkait tentang kejadian ISPA pada balita. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-59 bulan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Soposurung Kecamatan Balige Kecamatan Toba Samosir tahun 2014 sebanyak 165 balita. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi yaitu sebanyak 61 balita. Untuk teknik penarikan sampel, teknik sampling yang digunakan adalah teknik probability sampling jenis alokasi proporsional sampling yaitu teknik 3
pengambilan sampel anggota populasi yang dilakukan untuk memperhatikan strata yang ada di dalam populasi tersebut. Teknik sampling ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel, bila populasi berstrata secara proporsional (15 balita yang menderita ISPA dan 46 balita yang tidak menderita ISPA). Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung kepada responden (ibu balita) dan observasi. Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik ibu balita (umur, pekerjaan, pendidikan, penghasilan), karakteristik balita (umur, jenis kelamin) status gizi (BB/U, TB/U, BB/TB), pemberian ASI, pemberian vitamin A, status imunisasi balita, dan frekuensi kejadian ISPA pada balita. Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Soposurung. Data yang diperoleh berupa gambaran umum wilayah penelitian, profil puskesmas, data balita yang menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Soposurung dan data-data lain yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Puskesmas Soposurung merupakan puskesmas yang berada di Kecamatan Balige dengan luas wilayah 4.769 km. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Soposurung sebanyak 7.972 jiwa. Tabel 1. Distribusi Karakteristik Balita Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Jumlah No. Umur Balita n % 1. 2.
6-36 bulan 37-60 bulan Total
38 23 61
62,3 37,7 100,0
Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa distribusi balita berdasarkan umur lebih banyak pada kelompok umur 6-36 bulan yaitu sebanyak 38 orang (62,3%). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil distribusi karakteristik balita berdasarkan jenis kelamin:
Tabel 2. Distribusi Karakteristik Balita Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Jenis Kelamin Jumlah No. n % Balita 1. Laki-laki 37 60,7 2. Perempuan 24 39,3 Total 61 100,0 Dari Tabel 2 di atas didapat bahwa distribusi balita berdasarkan jenis kelamin lebih banyak pada balita yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 37 orang (60,7%). Tabel 3. Distribusi Karakteristik Ibu Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Jumlah No. Umur Ibu n % 1. 20-25 4 6,6 tahun 2. 26-30 20 32,8 tahun 3. 31-35 23 37,7 tahun 4. 36-40 14 23,0 tahun Total 61 100,0 Dari Tabel .3 di atas dapat dilihat bahwa distribusi ibu berdasarkan umur ibu lebih banyak berada pada kelompok umur 31-35 tahun yaitu sebanyak 23 orang (37,7%), dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil distribusi karakteristik ibu berdasarkan pendidikan: Tabel 4. Distribusi Karakteristik Ibu Berdasarkan Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Jumlah No. Pendidikan n % 1.
SMA
36
59,0
2.
D-III
7
11,5
3.
S1
18
29,5
61
100,0
Total
Dari Tabel 4 di atas didapat bahwa distribusi ibu berdasarkan pendidikan ibu lebih banyak berada lulusan tingkat SMA yaitu sebanyak 4
36 orang (59,0%). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil distribusi karakteristik ibu berdasarkan pengetahuan ibu tentang tanda dan gejala ISPA: Tabel 5. Distribusi Karakteristik Ibu Berdasarkan Pengetahuan Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Jumlah Pengetahuan No. n % Ibu 1. Tahu 28 45,9 tanda/gejala ISPA 2. Tidak tahu 33 54,1 Total 61 100,0 Dari Tabel.5 di atas didapat bahwa distribusi ibu berdasarkan pengetahuan ibu tentang tanda dan gejala ISPA lebih banyak pada kelompok ibu yang tidak mengetahui tanda dan gejala ISPA yaitu sebanyak 33 orang (54,1%). Distribusi gambaran status gizi pada balita dalam penelitian ini adalah berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U), indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil distribusi gambaran status gizi balita berdasarkan indikator BB/U: Tabel 6. Distribusi Status Gizi Balita (BB/U) di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Jumlah No. BB/U n % 1. 2.
Kurang Normal Total
5 56 61
8,2 91,8 100,0
Dari Tabel .6 di atas dapat dilihat bahwa distribusi balita berdasarkan BB/U lebih banyak pada indikator status gizi normal yaitu sebanyak 56 orang (91,8%) dan lebih sedikit pada indikator status gizi kurang yaitu sebanyak 5 orang (8,2%).
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil distribusi gambaran status gizi balita berdasarkan indikator TB/U: Tabel 7. Distribusi Status Gizi Balita (TB/U) di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung No. 1.
TB/U
Jumlah n % 38 62,3
Sangat pendek 2. Pendek 9 14,8 3. Normal 13 21,3 4. Sangat Tinggi 1 1,6 Total 61 100,0 Dari Tabel 7 di atas didapat bahwa distribusi balita berdasarkan TB/U lebih banyak pada indikator status gizi sangat pendek yaitu sebanyak 38 orang (62,3%) dan lebih sedikit pada indikator status gizi sangat tinggi yaitu sebanyak 1 orang (1,6%). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil distribusi gambaran status gizi balita berdasarkan indikator BB/TB: Tabel 8. Distribusi Status Gizi Balita (BB/TB) di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Jumlah n No. BB/TB % 1. Normal 16 26,2 2. Gemuk 25 41,0 3. Obesitas 20 32,8 Total 61 100,0 Dari Tabel 8 di atas didapat bahwa distribusi balita berdasarkan BB/TB lebih banyak pada indikator status gizi gemuk yaitu sebanyak 25 orang (41,0%) dan lebih sedikit pada indikator status gizi normal yaitu sebanyak 16 orang (26,2%). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan distribusi gambaran kejadian ISPA pada balita:
5
Tabel 9. Distribusi Balita Berdasarkan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung No. 1. 2.
Kejadian ISPA Ya Tidak Total
Jumlah n % 15 24,6 46 75,4 61 100,0
Dari Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa distribusi balita berdasarkan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Soposurung yaitu sebanyak 15 orang (24,6%) yang mengalami ISPA dan 46 orang (75,4%) yang tidak mengalami ISPA. Berikut adalah tabel yang menunjukkan hasil distribusi gambaran pemberian ASI Eksklusif: Tabel 10. Distribusi Balita Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung No.
ASI Eksklusif
Jumlah n % 1. Ya (0-6 bulan) 26 42,6 2. Tidak (<6 bulan) 35 57,4 Total 61 100,0 Dari Tabel 10 di atas dapat dilihat bahwa distribusi balita berdasarkan pemberian ASI eksklusif lebih banyak pada balita yang tidak mendapat ASI eksklusif yaitu sebanyak 35 orang (57,4%). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan distribusi gambaran pemberian vitamin A pada balita: Tabel 11. Distribusi Balita Berdasarkan Pemberian Vitamin A di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung No. Vitamin A
Jumlah n % 1. Ada 48 78,7 2. Tidak ada 13 21,3 Total 61 100,0 Dari Tabel 11.di atas didapat bahwa distribusi balita berdasarkan pemberian Vitamin A lebih banyak pada balita yang ada mengkonsumsi Vitamin A (dalam 6 bulan terakhir) yaitu sebanyak 48 orang (78,7%). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil
distribusi gambaran status imunisasi pada balita: Tabel 12. Distribusi Balita Berdasarkan Status Imunisasi A di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung No.
Status Imunisasi
Jumlah n % 1. Lengkap 56 91,8 2. Tidak Lengkap 5 8,2 Total 61 100,0 Dari Tabel 12 di atas didapat bahwa distribusi balita berdasarkan status imunisasi lebih banyak pada balita yang status imunisasinya sudah lengkap yaitu sebanyak 56 orang (91,8%). Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Hasil tabulasi silang antara status gizi (indikator BB/U) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 13 di bawah ini: Tabel 13. Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Status Gizi (BB/U) Di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Kejadian ISPA Total No BB/U
1. 2.
Kurang Normal
Ya n
%
Tidak n %
n
1 14
20 25
4 42
5 100 56 100
80 75
%
(ρ- value = 0,642; CI 95%) Hasil tabulasi silang antara status gizi (indikator TB/U) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
6
Tabel 14. Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Status Gizi (TB/U) Di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Total
No Kejadian ISPA TB/U
Ya Tidak n % n % n % 11 28,9 27 71,1 38 100
1. 2. 3. 4.
Sangat Pendek Pendek 1 11,1 8 88,9 9 100 Normal 2 15,4 11 84,6 13 100 Sangat Tinggi 1 100 0 0 1 100 (ρ- value = 0,177; CI 95%) Hasil tabulasi silang antara status gizi (indikator BB/TB) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 15. Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Status Gizi (BB/TB) Di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Total
No Kejadian ISPA BB/TB
Ya Tidak n % n % n % 1. Normal 6 37,5 10 62,5 16 100 2. Gemuk 5 20 20 80 25 100 3. Obesitas 4 20 16 80 20 100 (ρ- value = 0,377; CI 95%) Dapat disimpulkan dari hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi- Square diperoleh ρ= 0,642; 0,177 dan 0,377 (ρ>0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita. Hubungan Status Imunisasi Kejadian ISPA Pada Balita
Dengan
Hasil tabulasi silang antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 16. Distribusi Status Imunisasi Berdasarkan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Status N Imunisasi o
Kejadian ISPA
1
Ya n % 13 23, 2 2 40
2
Lengkap Tidak Lengkap
Total
Tidak n % 43 76, 8 3 60
n % 56 100 5
100
Dari Tabel 16 di atas dapat dilihat bahwa distribusi balita yang menderita ISPA berdasarkan status imunisasi lebih banyak pada balita yang status imunisasinya lengkap yaitu sebanyak 13 orang (23,2%). Dan dari hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh ρ= 0,404 (ρ>0,05), yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Hubungan Pemberian Vitamin A Dengan Status Gizi Pada Balita Hasil tabulasi silang antara pemberian vitamin A dengan status gizi (TB/U) pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung tahun 2014 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 17. Distribusi Pemberian Vitamin A Berdasarkan Status Gizi (TB/U) Di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Total
No Vitamin A TB/U
1.
Ya Tidak n % n % n % 29 76,3 9 23,7 38 100
Sangat Pendek 2. Pendek 6 66,6 3 3. Normal 13 100 0 4. Sangat Tinggi 0 0 1 (ρ- value = 0,044; CI 95%)
33,4 9 100 0 13 100 100
1
100
Dari hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh ρ= 0,044 (ρ<0,05), yang berarti ada hubungan 7
yang bermakna antara pemberian vitamin A dengan status gizi pada balita. KESIMPULAN 1. Status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung tahun 2014 berdasarkan BB/U sebesar 91,8% normal ; berdasarkan TB/U sebesar 62,3% sangat pendek dan berdasarkan BB/TB sebesar 41,0% gemuk. 2. Status gizi balita yang diukur berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB tidak berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung tahun 2014. 3. Cakupan pemberian ASI eksklusif pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung tahun 2014 adalah sebesar 42,6%, cakupan pemberian vitamin A pada balita adalah sebesar 78,7% dan cakupan status imunisasi balita adalah sebesar 91,8%. 5. Pemberian ASI eksklusif pada balita dan status imunisasi tidak berhubungan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung tahun 2014. 6. Pemberian vitamin A berhubungan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung tahun 2014. SARAN Diharapkan kepada ibu balita yang ada di wilayah keja Puskesmas Soposurung agar mengetahui cara memperbaiki status gizi balita ke arah yang lebih baik lagi. Dan perbaikan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Soposurung perlu diperhatikan oleh semua pihak terkhusus kepada para tenaga kesehatan di Puskesmas Soposurung untuk tetap memberikan intervensi/penyuluhan kepada ibu balita mengenai perbaikan status gizi pada balita. DAFTAR PUSTAKA Depkes RI. Hubungan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dengan morbiditas (Keluhan ISPA dan
Diare).Diunduh dari http://digilib.litbang.depkes.go.id/go .php?id=jkpkbppk-gdl-res-2003muluki2c-2040-ispa&q=ispa. Diakses tanggal 27 Juni 2014. Depkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 Tentang Klasifikasi Status Gizi Anak bawah Lima Tahun (Balita). Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2004. Diunduh dari : http://bankdata.depkes.go.id/data%2 0intranet/ProfilKes/2004/Profil2004. pdf. Diakses tanggal 27 Juni 2014. Depkes RI. 2006. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk di Indonesia Tahun 2005. Jakarta. Ditjen Binkesmas Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Depkes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 1992. Dinas Kesehatan Toba Samosir. Profil Kesehatan Kabupaten Toba Samosir; 2009 Djaja, 2001, Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, Jakarta, Balai Penerbit FK UI. Hatriyanti, 2007, Gawat Darurat Dibidang Pulmonologi .Simposium Gawat Darurat Pada Anak. Surabaya. Puskesmas Soposurung. Rekapitulasi Laporan Bulanan Penderita ISPA. Soposurung; 2011-2014 Probowo, S. 2012 Penyakit Yang Paling Umum Pada Anak. Majalah Kesehatan. (Online)http://majalahkesehatan.com/ penyakit-yang-paling-umum-padaanak-bag-1/Diakses 11 Juli 2014 Ranuh, IG. G, Pendekatan Risiko Tinggi Dalam Pengelolaan Pelayanan Kesehatan Anak. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak. FKUNAIR 1980. Setiyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Pusat Penerbitan Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.h.2867. 8
Sri Andarini , Asmika, 2005, Hubungan Antara Status Gizi dan Tingkat Konsumsi Energi Protein dengan Frekuensi Kejadian ISPA, Malang. Diakses tanggal 15 Desember 2014. Suwarti, 2005, Masalah Batuk pada Anak. Continuing Education Anak. FKUNAIR. WHO. Penanggulangan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang, Pedoman untuk Dokter dan Petugas Kesehatan Senior. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2012
9
GAMBARAN POLA KONSUMSI ANAK STUNTING DI SDN 064994 KELURAHAN TANAH ENAM RATUS KECAMATAN MEDAN MARELAN Lisda Oktari1, Ernawati Nasution2, Fitri Ardiani2 1 Mahasiswa Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Dosen Departeman Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, 20155 Email :
[email protected] Abstract The children who experience obstacles into growth caused lack of the adequate food intake and infectious diseases, so that exacerbate malnutrition of children. This condition more difficult to cope growth disorders that finally likely occurrence of stunted. This research aims to know description the consumption pattern of child stunting in SDN 064994 Medan Marelan. Types of study is an observational of cross sectional study design. This study doing by calculating energy sufficiency, protein, calcium, phosphorus, magnesium, zinc, vitamin A and vitamin C by using 24 hours food recall method. This sample of research is all students stunting as many as 67 people. The results of this study to show that the consumption pattern of child stunting in SDN 064994 according to the amount of food based on the adequacy of macro nutrients such as energy sufficiency is 68,7% deficient category, protein sufficiency is 47,8% good category, and to the adequacy of micro nutrients such as calcium sufficiency is 80,6%, phosphorus is 53,7%, zinc is 98,5% and vitamin C is 80,6% medium category, while magnesium is 62,7% and vitamin A is 50,7% sufficient category. By the type of food consumed an average of 3 types per day and most of the child stunting consume rice as staple food, fish and eggs as a side dish, spinach, kale and mustard greens as a vegetable. From the results of the study suggested the school in cooperate with the primary health care that gives nutritional education school children and to cafeteria that provide healthy snacks and to students stunting to consume vegetables and fruits every day to be able to catch up growth.
Keywords : Consumption Pattern, Stunting, Elementary School
PENDAHULUAN Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada masa balita dan kurangnya konsumsi gizi yang seimbang dalam makanannya sehari-hari sehingga tidak adanya pencapaian pertumbuhan yang sempurna pada masa berikutnya. Anak yang menderita kekurangan gizi akan mengakibatkan daya
tangkapnya berkurang, penurunan konsentrasi belajar, anak tidak aktif bergerak, lemah daya tahan tubuhnya, dan pertumbuhan fisik tidak optimal sehingga postur tubuh anak cendrung pendek. Stunting merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan optimal yang disebabkan oleh keadaan gizi kurang yang berlangsung dalam waktu yang lama.
Status stunting dihitung dengan menggunakan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-19 tahun yaitu dengan menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing anak (UNICEF, 2012). Prevalensi stunting dibeberapa Negara di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Amerika Tengah dan Kaniba berkisar antara 30-50%. Prevalensi stunting pada anak- anak berusia dibawah lima tahun di Guatemala mengalami peningkatan di tahun 1998 prevalensi stunting 53,1% dan pada tahun 2002 menjadi 54,3%. Begitu juga dengan Haiti mengalami peningkatan dari tahun 2000 prevalensi stunting 28,3% menjadi 29,7% pada tahun 2006, dan Peru terjadi penurunan di tahun 1996 yaitu 31,6%, prevalensi stunting di Peru masih berada dikisaran 30% pada tahun 2005, sedangkan prevalensi stunting di Asia tahun 2007 adalah 30,6% (UNSCN, 2008). Berdasarkan Riskesdas tahun 2010 prevalensi stunting di Sumatera Utara sebesar 43,2% dengan kategori sangat pendek sebesar 20,6% dan pendek sebesar 22,6% (Depkes, 2010). Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi sangat pendek sebesar 30-39% dan serius bila prevalensi pendek >40% (WHO, 2010). Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional termasuk Sumatera Utara yang berada pada urutan kedelapan dan termasuk kategori serius (Depkes RI, 2013). Anak sekolah dasar baik laki-laki dan perempuan sedang mengalami masa pertumbuhan adalah modal dasar dan asset yang sangat berharga bagi pembangunan bangsa di masa depan. Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah. Hal ini merupakan indikator kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya umur, dan gambaran ini ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan (Devi, 2012). Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan perkembangan, energi, berpikir, beraktivitas fisik, dan daya tahan
tubuh. Zat gizi yang dibutuhkan anak sekolah adalah seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak, serta zat gizi mikro seperti vitamin, dan mineral. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat terutama penambahan tinggi badan (Cakrawati dan Mustika, 2011). Pada rentang usia 10-12 tahun kebutuhan kalsium, seng, dan fosfor mulai mulai meningkat dan merupakan angka tertinggi sepanjang kehidupan. Hal ini disebabkan pada usia 10-18 tahun adalah masa pertumbuhan tinggi badan yang begitu pesat dan pembentuk masa tulang atau kepadatan tulang, untuk itu dibutuhkan nutrisi yang cukup pada rentang usia tersebut ( Almatsier, 2001). Berdasarkan penelitian Setijowati (2005), bahwa rendahnya TB/U dikarenakan rendahnya asupan kalori dan protein yang tentunya ditunjang dengan rendahnya konsumsi yodium dan seng, akibatnya berpengaruh terhadap tinggi badan selain perlu suplementasi double micronutrien (yodium dan seng) juga perlu diperhatikan status gizi awalnya (cukup atau tidaknya konsumsi kalori dan protein). Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran pola konsumsi anak stunting di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi, jenis, dan jumlah makanan berdasarkan kecukupan zat gizi makro (energi dan protein), dan kecukupan zat gizi mikro (kalsium, fosfor, magnesium, seng, vitamin A dan vitamin C) anak stunting di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat observasional. Objek penelitian adalah pola konsumsi anak stunting. Penelitian dilaksanakan di SDN 064994 Medan Marelan dari Februari sampai Desember 2014. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh siswa stunting kelas IV, V, dan VI yang diukur berdasarkan penjaringan indeks antropometri TB/U di SDN 064994 Medan Marelan. Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan alat bantu komputer. Data yang telah selesai dikumpulkan kemudian akan diolah menggunakan aplikasi komputer dan akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi kemudian dapat dianalisis secara deskriptif. Data primer seperti pola konsumsi diperoleh dari hasil wawancara menggunakan form food recall 24 jam dan food frequency dan tinggi badan siswa dilakukan dengan mengukur TB/U. Sedangkan data sekunder berupa jumlah keseluruhan siswa dan identitas siswa yang diperoleh dari catatan pihak SDN 064994 Medan Marelan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik anak stunting di SDN 064994 Medan Marelan dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1. Karakteristik Anak Stunting di SDN 064994 No
1. 2. 3.
1. 2.
1. 2. 3. 4. 5.
1. 2. 3.
Karakteristik Anak Stunting Umur 7-9 tahun 10-12 tahun 13-15 tahun Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Pekerjaan Orangtua Karyawan Swasta PNS Wiraswasta TNI/POLRI BUMN Total Pendapatan Orangtua <1.000.000 1.000.000-3.000.000 >3.000.000 Total
n
%
14 51 2
20,9 76,1 3,0
67
100,0
42 25 67
62,7 37,3 100,0
7 3 55 1 1
10,4 4,5 82,1 1,5 1,5
67
100,0
18 45 4 67
26,9 67,2 6,0 100,0
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa anak stunting yang terbanyak terletak pada rentang usia 10-12 tahun sebesar 76,1% dengan jenis kelamin laki-laki yang lebih mendominasi sebesar 62,7%. Rata-rata pekerjaan orangtua anak stunting yaitu wiraswasta sebesar 82,1% yang berpendapatan rata-rata 1.000.0003.000.000 per bulannya sebesar 67,2%. Tabel 2. Distribusi Anak Stunting di SDN 064994 Stunting Jumlah Persentase Pendek 55 82,1 Sangat 12 17,9 Pendek Total 67 100,0 Dari tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa status stunting pendek dan sangat pendek di SDN 064994 yaitu 82,1% dan 17,9% tergolong tinggi karena menurut Riskesdas 2010 prevalensi pendek dan sangat pendek hanya 22,6% dan 20,6%. Tabel 3. Distribusi Jenis Makanan Anak Stunting di SDN 064994 Jenis Jumlah Persentase Makanan Baik 10 14,9 Sedang 36 53,7 Tidak Baik 21 31,3 Total 67 100,0 Berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi makanan anak stunting di SDN 064994 setiap kali makan mengonsumsi 3 jenis makanan dalam sehari, yaitu terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, dan sayur. Umumnya anak stunting mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok daging hanya sedikit dikonsumsi, dikarenakan faktor ekonomi dan anak stunting lebih banyak mengonsumsi ikan segar dan telur sebagai lauk hewani, dan sayuran yang sering dikonsumsi anak stunting adalah sayur bayam, kangkung, dan daun singkong. Untuk buah sebagian besar siswa jarang mengonsumsi buah, hal
ini dikarenakan anak lebih senang jajan jajanan ringan dibanding makan buah. Umumnya jajanan yang sering dikonsumsi anak adalah bakso dan chiki. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi dan jumlah anak yang tergolong sering mengonsumsi jajanan tersebut. Jajanan ini sering dikonsumsi anak dikarenakan baik di sekolah maupun di sekitar rumah terdapat penjual bakso dan chiki sehingga anak sering mengonsumsinya. Tabel 4. Distribusi Kecukupan Energi, Protein, Kalsium, Fosfor, Magnesium, Seng, Vitamin A dan Vitamin C Anak Stunting di SDN 064994 No 1
2
3
4
5
6
7
8
Kecukupan Zat Gizi Energi Baik Sedang Kurang Defisit Total Protein Baik Sedang Kurang Defisit Total Kalsium Cukup Kurang Total Fosfor Cukup Kurang Total Magnesium Cukup Kurang Total Seng Cukup Kurang Total Vitamin A Cukup Kurang Total Vitamin C Cukup Kurang Total
Jumlah
Persentase
3 5 13 46 67
4,5 7,5 19,4 68,7 100,0
32 14 6 15 67
47,8 20,9 9,0 22,4 100,0
13 54 67
19,4 80,6 100,0
31 36 67
46,3 53,7 100,0
42 25 67
62,7 37,3 100,0
1 66 67
1,5 98,5 100,0
34 33 67
50,7 49,3 100,0
13 54 67
19,4 80,6 100,0
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada umumnya asupan energi, kalsium, seng dan vitamin C dikonsumsi
dalam jumlah sedikit sehingga kurang memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah dianjurkan. Sedangkan asupan fosfor, magnesium, dan vitamin A dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh lebih dari setengah anak stunting, bahkan jumlah asupan protein siswa stunting tergolong baik, hampir setengah dari anak stunting yang jumlah konsumsi proteinnya tergolong baik. Tabel 5. Tabulasi Silang Kecukupan Energi Berdasarkan Kategori Stunting Kecukupan Energi Kategori Stunting Pendek Sangat Pendek
Baik
Sedang
Kurang
Defisit
n 3
% 5,5
n 4
% 7,3
n % 11 20,0
n 37
% 67,3
n 55
Total % 100,0
0
0,0
1
8,3
2 16,7
9
75,0
12
100,0
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak pendek mengalami defisit kecukupan energi sebanyak 37 anak (67,3%). Sama hal dengan anak pendek bahwa hampir seluruh anak sangat pendek mengalami defisit energi (75,0 %). Hal ini dapat diakibatkan oleh makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh anak stunting baik di rumah maupun dari luar rumah seperti jajanan belum bisa mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan dalam sehari. Kebiasaan anak yang tidak sarapan pagi, jumlah asupan makanan pokok yang kurang dan frekuensi makan makanan pokok yang dikonsumsi hanya dua kali juga mengakibatkan kebutuhan energi anak belum tercukupi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jumirah, dkk (2007) pada anak sekolah dasar di Desa Namo Gajah Kecamatan Medan Tuntungan bahwa dalam penelitian tersebut anak yang sangat pendek umumnya mempunyai konsumsi energi yang kurang dan defisit, sementara anak-anak yang status gizinya normal (tidak pendek) menunjukkan konsumsi energi yang bervariasi dari tingkat konsumsi energi baik sampai defisit.
Tabel 6. Tabulasi Silang Kecukupan Protein Berdasarkan Kategori Stunting Kategori Stunting
Baik
Kecukupan Protein Kuran Sedang Defisit g n % n % n %
Total
n
%
n
Pendek
29
52,7 9
16,4
5
9,1
12
21,8 55
100,0
Sangat Pendek
3
25,0 5
41,7
1
8,3
3
25,0 12
100,0
Tabel 7. Tabulasi Silang Kecukupan Kalsium Berdasarkan Kategori Stunting Kategori Stunting
%
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata anak pendek kecukupan proteinnya sudah baik yaitu sebanyak 29 anak (52,7%). Pada kategori sangat pendek kecukupan proteinnya bervariasi terdapat sebanyak 5 anak (41,7%) kecukupan proteinnya tergolong sedang. Konsumsi protein anak stunting lebih baik dibanding konsumsi energi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa anak stunting di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus ratarata konsumsi ikan dalam seminggu sebanyak 4-6 kali sehari. Hal ini disebabkan daerah tempat tinggal mereka yang dekat dengan pesisir sehingga tidak sulit untuk mendapatkan ikan dan ikan selalu tersedia di pasar yang mudah dijangkau oleh setiap keluarga, bahkan ada beberapa murid yang hampir setiap harinya salah satu anggota keluarga membawa pulang ikan segar dari pasar ataupun dari tempat pelelangan ikan yang bekerja sebagai buruh. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Jumirah, dkk (2007) pada anak sekolah dasar di Desa Namo Gajah Kecamatan Medan Tuntungan bahwa ternyata anak-anak yang mempunyai tinggi badan normal ada yang mengalami asupan protein yang defisit pada saat ini. Bahkan sebaliknya anak-anak yang tinggi badannya pendek ternyata saat ini mempunyai asupan protein yang baik.
Pendek Sangat Pendek
Kecukupan Kalsium Kurang Cukup Total n % n % n % 44 80,0 11 20,0 55 100,0 10
83,3
2
16,7 12
100,0
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata anak pendek dan sangat pendek memiliki tingkat kecukupan kalsium tergolong kurang terlihat dari persentase anak pendek yang kurang kalsium sebesar 80,0% dan anak sangat pendek sebesar 83,3%. Hal ini dapat diakibatkan dari frekuensi konsumsi makanan yang kaya akan kalsium seperti udang kering, teri kering, tahu dan sayuran seperti bayam, sawi, daun melinjo, daun katuk, dan daun singkong serta susu bubuk dan susu kental manis yang hanya sebagian kecil anak stunting yang mengonsumsi makanan tersebut yang sangat berguna untuk pertumbuhan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Solia (2014) hubungan pola konsumsi dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun di SDN 173538 Balige bahwa dari 60 anak, terdapat 48,3 % mengalami defisit kalsium, 6,7 % anak mengalami kurang kalsium, 6,7 % anak kecukupan kalsium sedang dan 38,3 % anak kecukupan kalsium baik yang berarti bahwa erat hubungan antara kecukupan kalsium dengan pertumbuhan tinggi badan anak. Tabel 8. Tabulasi Silang Kecukupan Fosfor Berdasarkan Kategori Stunting Kecukupan Fosfor Kategori Stunting
Kurang
Cukup
Total
n
%
n
%
n
%
Pendek
30
54,5
25
45,5
55
100,0
Sangat Pendek
6
50,0
6
50,0
12
100,0
Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian dari anak stunting baik anak pendek maupun anak sangat pendek memiliki kecukupan fosfor yang tergolong kurang dan sebagian lagi tergolong cukup. Hal ini terlihat dari presentasenya yaitu sebesar 54,5% pada anak pendek dan 50,0% untuk anak sangat pendek. Hal ini disebabkan pada umumnya anak stunting mengonsumsi makanan sumber fosfor dalam jumlah kecil dan kurang menyukai makanan yang mengandung fosfor seperti teri kering, tahu, kacang-kacangan, sayuran seperti kentang, bayam, daun singkong, dan wotel, pada buah-buahan seperti pisang ambon. Tabel 9. Tabulasi Silang Kecukupan Magnesium Berdasarkan Kategori Stunting Kategori Stunting
Kecukupan Magnesium Kurang Cukup Total n % n % n %
Pendek
19
34,5
36
65,6
55
100,0
Sangat Pendek
6
50,0
6
50,0
12
100,0
Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak pendek memiliki kecukupan magnesium yang cukup sebanyak 36 anak (65,6 %) dan anak sangat pendek kecukupan magnesiumnya sebagian kurang dan sebagiannya lagi cukup yaitu sebanyak 6 orang (50,0 %). Dari hasil wawancara pada anak stunting didapatkan sebagian besar anak jarang mengonsumsi sayuran terlihat dari konsumsi sayur perminggu yang hanya 1-3 kali perminggu dan 4-6 kali perminggu dan hanya dikonsumsi dalam jumlah sedikit bahkan ada beberapa anak stunting yang tidak makan sayur dengan alasan tidak suka makan sayur, sehingga asupan magnesium sehari-hari tidak tercukupi.
Tabel 10. Tabulasi Silang Kecukupan Seng Berdasarkan Kategori Stunting Kategori Stunting
Kurang n %
Kecukupan Seng Cukup Total n % n %
Pendek
54
98,2
1
1,8
55
100,0
Sangat Pendek
12
100,0
0
0,0
12
100,0
Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa hampir seluruh anak stunting baik pada anak pendek maupun anak sangat pendek dengan kecukupan seng yang kurang yaitu sebesar 98,2 % atau sebanyak 54 anak pendek dan untuk anak sangat pendek sebesar 100,0 % atau seluruh anak sangat pendek memiliki kecukupan seng kurang. Hal ini disebabkan konsumsi lauk pauk yang mengandung seng jarang dikonsumsi seperti daging, ayam, seafood dan susu. Jika hal ini berkepanjangan terus maka dapat memperparah proses pertumbuhannya. Berdasarkan penelitian Mardewi (2014) tentang kadar seng rendah sebagai faktor risiko perawakan pendek pada anak bahwa rata-rata kadar seng serum pada anak dengan perawakan pendek lebih rendah dibandingkan anak dengan perawakan normal. Tabel 11. Tabulasi Silang Kecukupan Vitamin A Berdasarkan Kategori Stunting Kecukupan Vitamin A Kategori Stunting
Kurang
Cukup
Total
n
%
n
%
n
%
Pendek
25
45,5
30
54,5
55
100,0
Sangat Pendek
8
66,7
4
33,3
12
100,0
Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak pendek kecukupan vitamin A tergolong cukup yaitu sebesar 54,5 % atau sebanyak 30 anak dan anak sangat pendek sebagian besar kecukupan vitamin A tergolong kurang sebesar 66,7 % atau sebanyak 8 anak.
Tabel 12. Tabulasi Silang Kecukupan Vitamin C Berdasarkan Kategori Stunting Kecukupan Vitamin C Kategori Stunting Pendek Sangat Pendek
Kurang n
%
43 11
Cukup
Total
n
%
n
%
78,2
12
21,8
55
100,0
91,7
1
8,3
12
100,0
sebesar 68,7% tergolong defisit, dan kecukupan protein sebesar 47,8% tergolong baik. 3. Kecukupan zat gizi mikro anak stunting yaitu kalsium sebesar 80,6%, fosfor sebesar 53,7%, seng sebesar 98,5% dan vitamin C sebesar 80,6% tergolong kurang, sementara kecukupan magnesium sebesar 62,7% dan vitamin A sebesar 50,7% kategori cukup.
Berdasarkan tabel 12 terlihat bahwa sebagian besar anak pendek mempunyai kecukupan vitamin C yang tergolong kurang sebesar 78,2 % atau sebanyak 43 anak dan hampir seluruh anak sangat pendek memiliki kecukupan vitamin C kurang yaitu sebesar 91,7 % atau sebanyak 11 orang. Kekurangan dalam konsumsi kecukupan vitamin A dan vitamin C disebabkan kesadaran oleh anak stunting untuk membiasakan makan sayur dan buah setiap kali makan. Konsumsi buah pada umumnya dikonsumsi hanya 1-3 kali dalam seminggu dengan jumlah yang sedikit dibandingkan dengan yang diajurkan. Sama halnya dengan buah sayuran juga dikonsumsi dalam jumlah sedikit, biasanya sayuran yang dikonsumsi juga dipilih sesuai selera anak dan yang sering dikonsumsi antara lain, bayam, kangkung daun ubi dengan frekuensi makan 4-6 kali dalam seminggu.
2. Saran 1. Pihak sekolah bekerjasama dengan petugas puskesmas agar memberikan penyuluhan gizi anak sekolah serta kepada pihak kantin agar menyediakan jajanan sehat. 2. Kepada siswa/i stunting agar mengonsumsi lauk pauk seperti ikan teri, tempe, dan tahu, dan sayuran seperti bayam, kangkung, daun singkong, sawi, daun katuk, wortel, kentang, kacang panjang, kembang kol, dan brokoli dan kacang-kacangan seperti, kacang hijau, kacang kedelai, kacang tanah dan buah-buahan seperti pisang, jeruk, mangga rambutan, jambu biji, papaya, nenas, semangka, dan mangga setiap hari guna tercukupinya zat gizi khususnya untuk pertumbuhan tulang agar dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan 1. Pola konsumsi anak stunting di SDN 064994 Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan menurut jenis makanan masih belum beraneka ragam, dapat diketahui dari kurangnya variasi menu setiap kali makan. Sedangkan untuk frekuensi makan masih cenderung mengonsumsi makanan makanan pokok, lauk pauk, dan sayuran, sementara buah dan susu masih sangat kurang dikonsumsi. 2. Kecukupan zat gizi makro anak stunting yaitu kecukupan energi
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Penerbit PT Granmedia Pustaka Utama. Cakrawati dan Mustika. 2011. Bahan Pangan, Gizi, dan Kesehatan. Bandung : Alfabeta. Depkes RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Devi, N. 2012. Gizi Anak Sekolah. Jakarta: Kompas. Jumirah, Zulhaida, dan Evawany. 2008. Status Gizi dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Anak Sekolah Dasar di Desa Namo Gajah, Kecamatan Medan Tuntungan. Medan : FKM USU. Mardewi, K. 2014. Kadar Seng Serum Rendah Sebagai Faktor Risiko Perawakan Pendek Pada Anak. Tesis. Denpasar : Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik. Universitas Udayana. Setijowati, N. 2005. Hubungan Kadar Seng Serum dengan Tinggi Badan Anak Sekolah Dasar Penderita GAKY. Malang. Universitas Brawijaya. Solia, R. 2014. Hubungan Pola Konsumsi Makanan dan Konsumsi Susu dengan Tinggi Badan Anak Usia 6-12 Tahun di SDN 173538 Balige. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. UNICEF Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. http://www.unicef.org/indonesia/id /A6__B_Ringkasan_Kajian_Gizi.pdf. Diakses tanggal 16 Juli 2014. UNSCN. 2008. 6 th Report on The World Nutrition Situation. Geneva : SCN.
HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DENGAN KASUS BALITA GIZI BURUK PADA KELUARGA PETANI KARET DI WILAYAH BINAAN WAHANA VISI INDONESIA AREA DEVELOPMENT PROGRAM KABUPATEN NIAS TAHUN 2013 1
Henrika Hetti Gulo1, Evawany2, Jumirah3 Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara 2,3 Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected] ABSTRACT
Nutrition have important part in human life cycle. The low Index Of Human Development in Indonesia is influenced by the nutrition status and public health. It can be seen from the high infant mortality rates, and children under five, and also maternal mortality. This research aims to know the relations between characteristics family with sever malnutrition case of children under five at rubber farmer family in the region's of Wahana Visi Indonesia Area Development Program in Nias in 2013. This research is observational by using case control design. Populations are all children under five, which sever malnutrition and those who not malnutrition in three distric in Kabupaten Nias which is the region’s of WVI ADP NIAS. Data analysis by using chi-square to find Odds Ratio (OR). The result that there is a meaningful relation between mother’s knowledge with children under five malnutrition cases (p=0,003;OR=9,100), family income with children under five malnutrition (p=0,000;OR=0,037). Variable of mother education and children’s amount in family do not show any meaningful relation with children under five malnutrition cases. WVI ADP Nias and the health center is expected, especially in Kabupaten Nias to improve health education, counseling about land use in order to maintain the availability of food and provide health counseling, especially to mothers of malnourished children on the importance of keeping nutrition for children stay healthy as well as its effects and consequences when children are not getting enough nutrition. Keyword : Mother characteristic, family economy social level, children under five nutritional status. PENDAHULUAN Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk. Hal ini terlihat dari masih tingginya angka
kematian bayi, balita serta angka kematian ibu. Gizi kurang juga sangat berdampak pada tingkat kecerdasan anak. Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek dan mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan anak balita. Anak dengan kecerdasan rendah ini dikhawatirkan akan menjadi beban pada masa akan datang. Selain itu gizi juga memiliki hubungan erat dengan kematian anak di bawah 5 tahun. Berdasarkan data yang dilansir dalam Jurnal Lancet tahun 2013, sebanyak 44,7% kematian bayi dan balita disebabkan karena berat bayi lahir rendah (BBLR), kegagalan pemberian ASI, anak balita stunting (pendek), kurus (gizi kurang dan gizi buruk), dan kekurangan vitamin A, mineral dan zink (Kemenkes RI, 2014). Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas banyak faktor yang harus diperhatikan antara lain faktor gizi, kesehatan, pendidikan, informasi, teknologi dan jasa pelayanan lainnya. Dari sekian banyak faktor tersebut unsur gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi hingga gizi buruk akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang mengakibatkan seseorang sulit menerima pendidikan apalagi menguasai informasi dan teknologi. Beragam masalah yang dijumpai diberbagai negara berkembang, yaitu kurang energi protein, kurang vitamin A, kurang yodium, anemia gizi besi dan gizi lebih (Almatsier, 2002). Masalah gizi ini merupakan kombinasi dari berbagai faktor, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan kurangnya asupan makan, baik secara kuantitas (jumlah konsumsi makanan kurang dari yang dibutuhkan tubuh), maupun secara kualitas (kurangnya asupan makanan bergizi, yaitu makanan yang
mengandung sekelompok zat yang esensial bagi kehidupan dan kesehatan). Secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh yang kurang memadai. Sebagai pokok masalah di masyarakat adalah rendahnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, serta tingkat pendapatan masyarakat (Depkes, 2005). Faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi pada anak balita, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang yang pada akhirnya dapat berdampak pada kematian. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang. Kesemuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, dan juga pekerjaan ibu (Adisasmito, 2007). Faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi pada anak balita, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang yang pada akhirnya dapat berdampak pada kematian. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang. Kesemuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang
pengasuhan anak yang baik, dan juga pekerjaan ibu (Adisasmito, 2007). Dari berbagai hasil penelitian diperoleh bahwa yang mempengaruhi status gizi anak adalah faktor sosial ekonomi keluarga yang berdampak pada pola makan dan kecukupan gizi, faktor lingkungan (sosial budaya) yang mendukung pentingnya kesehatan anak dan pendidikan. Pendidikan yang baik berdampak pada pola konsumsi makan anak dalam pemilihan makanan, selain itu masyarakat masih mengkonsumsi menu makanan kurang seimbang dan beranekaragam. Di samping itu, asumsi masyarakat salah dalam penyediaan makanan sehari-hari, dimana dengan terpenuhinya makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah sudahlah baik, tanpa memperhatikan kuantitas dan kualitas makanan tersebut apakah sudah memenuhi kebutuhan perorangan atau anggota keluarga. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 terdapat 17,9% balita kekurangan gizi. Sedangkan tahun 2013 prevalensi balita kekurangan gizi meningkat menjadi 19,6%. Untuk Provinsi Sumatera Utara memiliki prevalensi berat badan kurang di atas angka prevalensi nasional yaitu 21,3%, dimana gizi buruk 7,8% dan gizi kurang 13,5%. Dengan angka sebesar 21,3% prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Sumatera Utara masih termasuk dalam kategori tinggi. Pada Profil Kesehatan Sumatera Utara tahun 2012, dari 1.141.496 balita yang ditimbang, terdapat 42.190 (3,70%) balita yang menderita gizi kurang dan yang menderita gizi buruk ada sebanyak 1.208 (0,11%).
Data dari Profil Kesehatan Kabupaten Nias Tahun 2011 terdapat persentase balita gizi buruk di Kabupaten Nias tahun 2011 sebanyak 31 (0,36%) dan balita gizi kurang sebanyak 23,09% dari 13.260 balita. Berdasarkan data baseline hasil survei Wahana Visi Indonesia Area Development Program Nias tahun 2013 pada keluarga petani karet di tiga Kecamatan yang merupakan wilayah binaan WVI ADP Nias Kabupaten Nias dari 165 anak balita yang diteliti, jika dilihat dari indeks berat badan menurut umur (BB/U) ditemukan sebanyak 49 anak balita yang mengalami kekurangan gizi (yang tergolong dalam BB kurang 31 orang/18,8% dan anak balita yang tergolong dalam BB sangat kurang berjumlah 18 orang/10,9%). Dengan angka sebesar 29,7% prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Nias masih termasuk dalam kategori tinggi (standar WHO : 5-9% rendah, 10-19% medium, 20-39% tinggi, >40% sangat tinggi). Perumusan pada masalah ini adalah untuk mengetahui hubungan hubungan karakteristik keluarga dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Nias tahun 2013. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui hubungan karakteristik keluarga dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah binaan WVI ADP di Kabupaten Nias tahun 2013. Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Nias tahun 2013.
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Nias tahun 2013. Mengetahui hubungan jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Nias tahun 2013. Mengetahui tingkat pendapatan keluarga dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Nias tahun 2013. Manfaat Penelitian ini adalah untuk menambah wawasan penulis tentang hubungan karakteristik ibu dan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet. Sebagai bahan masukan terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan balita gizi buruk di wilayah kerja binaan WVI ADP Nias di Kabupaten Nias. Sebagai bahan informasi bagi WVI ADP Nias di Kabupaten Nias tentang
kasus balita gizi buruk pada keluarga petani. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan bersifat analitik observational dengan menggunakan desain kasus kontrol. Penelitian dilakukan di Kecamatan Hiliserangkai Kabupaten Nias. Penelitian dilakukan dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014. Populasi penelitian adalah seluruh balita yang menderita gizi buruk dan yang tidak menderita gizi buruk di Kecamatan Hiliserangkai Kabupaten Nias. Besar sampel sama dengan populasi (Total Sampling). Data univariat dianalisis secara deskriptif dan data bivariat dianalisis dengan uji Chi-square.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Anak Balita Yang Menjadi Sampel Kasus Dan Kontrol Tabel 1. Distribusi Anak Balita Berdasarkan Jenis Kelami No.
Jenis Kelamin
1.
Laki-Laki
2.
Perempuan Total
Tabel 1. menunjukkan bahwa anak balita dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada jenis kelamin laki-laki. Penduduk dengan jenis kelamin perempuan
Kasus n 7 11 18
% 38,9 61,1 100,0
Kontrol n 7 11 18
% 38,9 61,1 100,0
yakni sebanyak 11 orang (61,1%) sedangkan penduduk dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 7 orang (38,9%).
Tabel 2. Distribusi Anak Balita Berdasarkan Kelompok Umur No. 1. 2. 3. 4.
Umur Responden 12-23 bulan 24-35 bulan 36-47 bulan 48-59 bulan Total
Kasus
Kontrol
N 4 3 7 4 18
% 22,2 16,7 38,9 22,2 100,0
Tabel 2. menunjukkan bahwa prevalensi balita gizi buruk lebih banyak berada pada kelompok umur
N 5 5 5 3 18
% 27,8 27,8 27,8 16,7 100,0
36-47 bulan (38,9%), dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.
Tabel 3. Distribusi Anak Balita Berdasarkan Kelompok Umur Ibu Balita No. 1. 2. 3.
Umur Responden 21-31 tahun 32-42 tahun 43-53 tahun Total
Kasus n 10 6 2 18
Kontrol % 55,6 33,3 11,1 100,0
Tabel 3. menunjukkan bahwa kelompok umur ibu yang memiliki prevalensi balita gizi buruk lebih banyak berada pada umur 21-31 tahun (55,6%) jika dibandingkan dengan kelompok umur rentang 32 hingga 53 tahun. Demikian juga halnya dengan kelompok umur ibu yang menjadi
n 12 5 1 18
% 66,7 27,8 5,6 100,0
sampel kontrol lebih banyak berada pada umur 21-31 tahun. Umur ibu paling rendah yang memiliki prevalensi balita gizi buruk adalah 21 tahun dan umur paling tinggi adalah 52 tahun. Sedangkan umur ibu yang memiliki balita normal paling rendah adalah 21 tahun dan paling tinggi 43 tahun.
Tabel 4. Distribusi Anak Balita Berdasarkan Pendidikan Ibu Kasus No. 1. 2. 3. 4.
Kontrol
Pendidikan Ibu Tidak Sekolah/Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Total
Tabel 4. menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu balita gizi buruk lebih
n 1 15 0 2 18
% 5,6 83,3 0 11,1 100,0
n 4 10 4 0 18
rendah dibandingkan pendidikan ibu balita
% 22,2 55,6 22,2 0 100,0
tingkat normal.
Prevalensi terbesar tingkat pendidikan ibu balita gizi buruk adalah Tamat SD (83,3%), demikian halnya dengan prevalensi terbesar
tingkat pendidikan ibu yang memiliki balita normal adalah tamat SD (55,6%).
Tabel 5. Distribusi Anak Balita Berdasarkan Pengetahuan Ibu No. 1. 2.
Pengetahuan Gizi Ibu Kurang Baik Baik Total
Tabel 5. menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu balita gizi buruk lebih rendah dibandingkan tingkat pengetahuan ibu balita normal. Pada balita gizi buruk, jumlah ibu yang
Kasus
Kontrol
n 14 4
% 77,8 22,2
n 5 13
% 27,8 72,2
18
100,0
18
100,0
memiliki pengetahuan yang kurang baik sebanyak 77,8% sedangkan pada kelompok balita normal jumlah ibu yang memiliki pengetahuan yang kurang baik hanya 27,8%.
Tabel 6. Distribusi Anak Balita Berdasarkan Jumlah Anak Dalam Keluarga No. 1. 2.
Jumlah Anak Cukup Banyak Total
Tabel 6. menunjukkan bahwa jumlah anak dalam keluarga yang memiliki anak lebih dari 2 lebih banyak pada keluarga yang memiliki balita gizi buruk yaitu sebanyak 66,7% sedangkan pada kelompok balita
Kasus n 6 12 18
Kontrol % 33,3 66,7 100,0
n 7 11 18
% 38,9 61,1 100,0
normal yang memiliki anak lebih dari 2 sebanyak 61,1%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah anak dalam keluarga tidak terjadi perbedaan yang jauh antara balita gizi buruk dengan balita normal.
Tabel 7. Distribusi Anak Balita Berdasarkan Pendapatan Keluarga No. 1. 2.
Pendapatan Keluarga Rendah Tinggi Total
Kasus n 17 1 18
% 94,4 5,6 100,0
Kontrol n % 7 38,9 11 61,1 18 100,0
Tabel 7. menunjukkan bahwa pendapatan keluarga balita gizi buruk mayoritas berada rendah (94,4%)
sedangkan pendapatan keluarga pada balita normal sebesar (38,9%) yang berada pada pendapatan rendah.
Tabel 8. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kasus Balita Gizi Buruk
No. 1. 2.
Kasus
Pendidikan Ibu Baik Rendah
Total
Kontrol
n 2
% 11,1
n 4
% 22,2
16
88,9
14
77,8
18
100,0
18
100,0
Berdasarkan tabel di atas tentang pendidikan ibu balita yang terpilih sebagai sampel menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu balita gizi buruk dan balita normal mayoritas rendah (tidak sekolah/tamat SD). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kasus balita gizi buruk dengan p-value 0,371
X2/ (p -value)
0,800/ (0,371)
OR/ (CI 95%)
0,438/ (0,0692,762)
sehingga tingkat pendidikan ibu tidak berhubungan dengan kasus balita gizi buruk. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2013) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi buruk pada anak balita.
Tabel 9. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kasus Balita Gizi Buruk Kasus No. 1. 2.
Kontrol
Pengetahuan Ibu Baik Kurang Total
n 4 14
% 22,2 77,8
n 13 5
% 72,2 27,8
18
100,0
18
100,0
Berdasarkan tabel di atas tentang pengetahuan ibu balita yang terpilih sebagai sampel menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu balita gizi buruk lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat pengetahuan ibu balita normal. Pada balita gizi buruk, jumlah ibu yang memiliki pengetahuan yang kurang baik
X2/ (p -value) 9,028/ (0,003)
OR/ (CI 95%) 9,100/ (1,99841,445)
sebanyak (77,8%) sedangkan pada kelompok balita normal jumlah ibu yang memiliki pengetahuan yang kurang baik hanya (27,8%). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kasus balita gizi buruk dengan p-value 0,003 dan nilai OR sebesar 9,100. Hal ini berarti bahwa
balita yang mengalami gizi buruk
berisiko 9 kali lebih besar berasal
memiliki pengetahuan yang kurang baik dibandingkan balita yang berasal dari ibu yang memiliki pengetahuan yang baik.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fadhillah (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi balita.
Tabel 10. Hubungan Jumlah Anak Dalam Keluarga dengan Kasus Balita Gizi Buruk No.
1. 2.
Jumlah Anak
Cukup Banyak Total
Kasus
Kontrol
n 6 12
% 33,3 66,7
n 7 11
% 38,9 61,1
18
100,0
18
100,0
Berdasarkan tabel di atas tentang jumlah anak dalam keluarga balita yang terpilih sebagai sampel menunjukkan bahwa jumlah anak dalam keluarga balita gizi buruk dengan balita normal mayoritas banyak (>2 anak). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah anak dalam keluarga dengan kejadian balita gizi
X2/ (p -value) 0,120/ (0,729)
OR/ (CI 95%) 0,786/ (0,2013,071)
buruk dengan p-value 0,729 sehingga jumlah anak dalam keluarga tidak berhubungan dengan kasus balita gizi buruk. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Ucu) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah anak dalam keluarga dengan kasus gizi buruk pada balita.
Tabel 11. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Kasus Balita Gizi Buruk No. Pendapatan Keluarga
Kasus
Kontrol
1.
Tinggi
n 1
% 5,6
n 11
% 61,1
2.
Rendah
17
94,4
7
38,9
18
100,0
18
100,0
Total
Berdasarkan tabel di atas tentang pendapatan keluarga balita yang terpilih sebagai sampel menunjukkan bahwa pendapatan keluarga balita
X2/ (p -value) 12,500/ (0,000)
OR/ (CI 95%) 0,037/ (0,004-0,348)
gizi buruk mayoritas rendah (94,4%) sedangkan pendapatan keluarga balita normal hanya (38,9%) yang berada rendah. Dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kasus gizi buruk dengan p-value 0,000 dan nilai OR sebesar 0,037. Hal ini berati bahwa kasus balita gizi buruk berisiko lebih besar berasal dari keluarga dengan pendapatan rendah (< Rp 1.750.000) dibandingkan dengan balita yang KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Tingkat pendidikan ibu tidak berhubungan dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah binaan WVI ADP Nias Kecamatan Hiliserangkai Kabupaten Nias karena seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding dengan orang yang berpendidikan yang lebih tinggi karena sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi bukan mustahil pengetian tentang gizinya akan lebih baik. 2. Pengetahuan ibu berhubungan dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah binaan WVI ADP Nias Kecamatan Hiliserangkai Kabupaten Nias. Balita yang mengalami gizi buruk berisiko 9 kali lebih besar berasal dari ibu yang memiliki pengetahuan yang kurang baik dibandingkan balita yang berasal dari ibu yang memiliki pengetahuan yang baik (OR = 9,100).
berasal dari keluarga dengan pendapatan tinggi (≥ Rp 1.750.000). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh hartati (2013) yang menunjukkan bahwa balita dengan status gizi tidak normal berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah.
3. Jumlah anak dalam keluarga tidak berhubungan dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah binaan WVI ADP Nias kecamatan Hiliserangkai Kabupaten Nias. Hal ini disebabkan karena jumlah anak dalam keluarga yang terpilih sebagai sampel menunjukkan bahwa kebanyakan balita baik yang mengalami gizi buruk maupun balita normal memiliki jumlah anak lebih dari dua orang. Tidak ada perbedaan yang signifikan tentang jumlah anak dalam keluarga antara balita yang mengalami gizi (66,7%) dengan balita normal (61,1%). 4. Pendapatan keluarga berhubungan dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet di wilayah binaan WVI ADP Nias Kecamatan Hiliserangkai Kabupaten Nias. Balita yang mengalami gizi buruk lebih banyak berasal dari keluarga dengan pendapatan dibawah UMP yaitu sebanyak (94,4%) dengan OR = 0,037.
SARAN Bagi pihak WVI ADP Nias dan pihak Puskesmas khususnya di Kabupaten Nias agar lebih meningkatkan penyuluhan kesehatan, penyuluhan tentang pemanfaatan lahan agar mempertahankan ketersediaan pangan di setiap rumah
tangga, dan memberikan konseling kesehatan terutama kepada ibu yang memiliki balita gizi buruk mengenai pentingnya menjaga gizi anak agar anak tetap sehat serta akibat yang terjadi bila anak tidak mendapatkan gizi yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, Wiku. 2007. Sistem Kesehatan. Jakarta : Rajagrafindo Persada. Almatsier, Sunita, Susirah Soetardjo, Moesijanti Soekatri. 2002. Prinsip Dasar Imu Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Depkes RI. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005- 2009. Jakarta. Depkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta. Fadhillah. 2011. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita Di Pemukiman Lubuk Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar tahun 2011. Hartati. 2013. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Balita Di Puskesmas Perembeu Kecamatan Kawai XVI Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013. Kemenkes RI. 2014. Menkes Optimis Gizi Buruk Teratasi tahun 2015. Jakarta. Ucu Suhendri. 2009. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Anak Balita Di Puskesmas Sepatan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang.
Wulandari dan Wikarnati. Hubungan karakteristik Ibu Dan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kasus Gizi Buruk Pada Balita Di Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalang. Skripsi.
KERAGAMAN MAKANAN DAN KADAR GULA DARAH, KOLESTEROL SERTA ASAM URAT ANTARA KELOMPOK VEGAN DAN NON VEGETARIAN DI MAHA VIHARA MAITREYA CEMARA ASRI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN DELI SERDANG TAHUN 2014 Karlina Listra Peni1; M.Arifin Siregar2; Fitri Ardiani2 1 Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Departemen Gizi Kesehatan Mayarakat FKM USU, Medan, 20155, Indonesia Email :
[email protected] Abstrack Until now this degenerate disease like Diabetes, Hipercholesterolemia, Gout has been the cause of death in the world. This pattern of food is the most important key to ensure the health, one of them is vegetarian. From a check was commited to 6 of 10 people for a non vegetarian is the level of cholesterol and uric acid are high. The purpose of this research was to tell the diversity of food, blood sugar, cholesterol, and uric acid between the vegans and non vegetarian in Maha Vihara Maitreya Cemara Asri District Percut Sei Tuan Deli Serdang 2014. The kind of this research is observational in the study of latitude (cross sectional study). The population is vegans and non vegetarian. And collecting samples of purposive sampling with the number of samples are 30 people each group. Gathering data was done in an interview with food frequency method and to check a blood sugar, cholesterol and uric acid. The research shows that there’s a difference diet, vegans and non vegetarian, the average blood sugar respondents, which is 98,3 (sd 5,8) and in the non vegetarian average blood sugar 144,2 (sd 51,3); the average levels of cholesterol respondents, which is 142,9 (sd 27,3) and on the non vegetarian average cholesterol 222,0 (sd 32,7); the average levels of uric acid respondents, which is 4,8 (sd 0,7) and in the non vegetarian, average urric acid 6,2 (sd 1,5). Suggested vegans to maintain a diet and exercise to stay stablelike of blood sugar, cholesterol and uric acid, and for non vegetarian is expected to increase food vegetable like vegetables and fruit instead of animal food, other than that to do exercise regularly to keep health and avoid disease and degenerative.
Keywords: Diversity of food, Blood sugar, Cholesterol, Uric acid, Vegans, Non Vegetarian
1
Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penderita diabetes ke 4 terbanyak di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000 di Indonesia terdapat 8,4 juta penderita diabetes dan diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Soegondo dkk, 2009). Untuk kolesterol sendiri, di Indonesia pada tahun 2006, penyakit jantung yang diperoleh dari kadar kolesterol yang tinggi merupakan penyebab kematian pertama, dengan angka mortalitas 14% (Riskesdas, 2007). Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Makanan dapat membantu dalam mendapatkan energi, membantu pertumbuhan badan dan otak. Setiap makanan mempunyai kandungan gizi yang berbeda. Protein, karbohidrat, lemak dan lain-lain adalah salah satu contoh gizi yang akan kita dapatkan dari makanan. Back to Nature atau kembali ke alam merupakan salah satu upaya manusia untuk menyelaraskan diri dengan kehidupan alam. Makanan alami untuk kebutuhan manusia tidak akan menghalangi menikmati hidup bahagia dan selaras dengan alam. Oleh karena itu pengetahuan tentang gizi menjadi penting bagi kita guna mempertahankan derajat kesehatan yang lebih optimal. Pengaturan pola makanan bukan rahasia lagi sebagai salah satu kunci terpenting untuk menjamin kesehatan. Oleh karena itu, tidaklah heran jika saat ini semakin banyak ditemukan berbagai konsep alternatif tentang healthy food misalnya berupa diet berdasarkan golongan darah, jus kombinasi, herbal dan juga vegetarian (Meyni, 2010).
Pendahuluan Perkembangan zaman dan era globalisasi yang terjadi saat ini membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan. Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu menyebabkan perubahan dalam gaya hidup, terutama pada pola makan. Indonesia saat ini mengalami permasalahan beban ganda dalam menghadapi masalah gizi. Dimana ketika permasalahan gizi kurang belum teratasi, muncul permasalahan baru yaitu permasalahan gizi lebih. Gizi kurang banyak dihubungkan dengan penyakit-penyakit infeksi, sedangkan gizi lebih sering dianggap sebagai sinyal awal dan munculnya keluhan penyakit-penyakit degeneratif/non infeksi yang sekarang ini banyak terjadi di Indonesia. Tingginya prevalensi penyakit degeneratif menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas di Indonesia (Hanan, 2005). Hingga saat ini penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia. Hampir 17 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun akibat epidemi global penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan. (WHO, 2002). Penyakit degeneratif mencakup penyakit diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, asam urat, dan lain-lain. Pada tahun 2003 WHO (World Health Organization) mengatakan prevalensi diabetes di dunia diperkirakan 194 juta, jumlah ini akan diperkirakan menjadi 335 juta ditahun 2025 sebagai konsekuensi dari harapan hidup yang lebih lama, gaya hidup santai dan perubahan pola makan penduduk (WHO, 2003). 2
Menurut American Institute for Cancer Research, banyak orang ingin beralih ke pola makan vegetarian. Akan tetapi beberapa dari mereka khawatir tentang kekurangan protein dan gizi. Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa protein nabati merupakan protein yang berkualitas tinggi dan dengan mengonsumsi beraneka ragam makanan nabati adalah salah satu hal terbaik yang dapat dilakukan untuk kesehatan. Tetapi kebanyakan tumbuh-tumbuhan kekurangan satu atau dua asam amino. Untuk menyiasatinya dengan melakukan kombinasi antara dua protein yang berbeda pada asam amino yang akan menghasilkan protein komplementari. Selain itu untuk memenuhi kecukupan vitamin B12 dapat diperoleh dari susu kedelai dan ragi atau dengan suplemen vitamin B12 (Adriani,2012). Menurut Dwyer (1988) dan Kahn (1983) pada Arundhana (2012), bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa vegetarian memiliki inisiden yang lebih rendah terhadap penyakit diabetes, hipertensi, jantung, dan batu empedu dibanding yang bukan vegetarian. Hal ini dikarenakan pada kelompok vegetarian dalam penelitian tersebut memiliki IMT yang lebih rendah dibandingkan semi vegetarian dan non-vegetarian. Selain itu penelitian oleh Seventh-day Adventist juga menyebutkan bahwa tingkat kematian akibat penyakit kronik seperti penyakit diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, kanker, dan obesitas pada vegetarian lebih rendah dibandingkan pada nonvegetarian. Data-data menunjukkan bahwa orang dengan pola makan vegetarian
umumnya lebih sehat dan berumur panjang dibanding mereka yang non vegetarian. Sebagai contohnya, penelitian pada tahun 2009 di bulan Maret oleh The American Dietetic Association seperti yang dikutip dari Ltaminsyah (2009), pada lebih dari 500.000 orang-orang yang berusia 5071 tahun di Amerika dan didapati bahwa orang-orang dewasa yang mengonsumsi paling banyak daging merah lebih berkemungkinan untuk meninggal dalam waktu 10 tahun lebih cepat daripada mereka yang paling sedikit mengonsumsi daging merah, kebanyakan karena penyakit kardiovaskular dan kanker. Penelitian mengenai perbedaan kadar gula darah, kolesterol dan asam urat pada masyarakat dengan pola makan vegetarian dan non vegetarian belum pernah dilakukan. Dengan mengetahui kadar gula darah, kolesterol maupun asam urat, masyarakat diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya penyakit degeneratif yang antara lain diabetes mellitus, kolesterol dan asam urat baik pada vegetarian maupun non vegetarian. .Di Perumahan Cemara Asri sendiri terdapat Maha Vihara Maitreya yang berada di bawah naungan Keluarga Vegetarian Maitreya Indonesia (KVMI). KVMI merupakan perkumpulan vegetarian aliran Maitreya yang tersebar di Indonesia. Walaupun aliran Maitreya sangat menganjurkan pola makan vegetarian pada umatnya, namun pola makan vegetarian merupakan pilihan masingmasing individu tanpa ada tekanan atau paksaan, sehingga masih ada yang menjalankan pola makan non vegetarian. Selain itu banyaknya 3
ditemukan makanan siap saji di sepanjang Perumahan Cemara Asri memudahkan masyarakat untuk mengonsumsi makanan tersebut yang berpeluang terhadap penyakit degeneratif. Berdasarkan survey awal, ditemukan sejumlah orang yang mengalami keluhan diabetes mellitus, dan kematian akibat jantung koroner. Selain itu, dari pemeriksaan yang dilakukan terhadap 6 dari 10 orang non vegetarian terdapat angka kadar kolesterol dan asam urat yang tinggi. Semakin banyaknya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit degeneratif, khususnya diabetes mellitus, kolesterol dan asam urat, maka penulis berminat untuk mengetahui keragaman makanan dan kadar gula darah, kolesterol serta asam urat antara kelompok vegan dan non vegetarian di Maha Vihara Maitreya Cemara Asri Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang tahun 2014.
Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang. Alasan pemilihan lokasi karena pada tempat ini khususnya di Maha Vihara Maitreya terdapat kelompok vegetarian IVS (Indonesia Vegetarian Society). Selain itu banyaknya ditemukan makanan siap saji di sepanjang Komplek Perumahan Cemara Asri yang diduga memicu timbulnya penyakit degeneratif. Untuk melihatperbedaan kadar glukosa darah, kolesterol dan asam urat pada kelompok tersebut ditentukan pembanding yaitu kelompok non vegetarian di Perumahan Cemara Asri. Waktu penelitian ini dimulai sejak bulan Agustus 2014 pada saat dimulainya survey lokasi sampai dengan Desember 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh vegetarian yang ada di Maha Vihara Maitreya Cemara Asri Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang dan sebagai populasi pembanding adalah penduduk yang bukan vegetarian yang tinggal di Maha Vihara Maitreya Cemara Asri Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yang termasuk ke dalam teknik non probably sampling (Dahlan, 2010). Dengan teknik purposive sampling, penulis mengambil semua subjek yang baru dan akan diteliti sampai jumlah subjek terpenuhi. Alasan dalam pengambilan teknik ini adalah karena tidak ditemukannya sampling frame pada populasi yang akan diteliti. Berdasarkan perhitungan sampel diperoleh besar sampel untuk penelitian ini adalah 30 orang dengan perbandingan besar sampel kelompok vegan dan kelompok non vegetarian adalah 1:1 sehingga besar sampel
Tujuan Untuk mengetahui keragaman makanan dan kadar gula darah, kolesterol serta asam urat antara kelompok vegan dan non vegetarian di Maha Vihara Maitreya Cemara Asri Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang tahun 2014. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional study), untuk mengetahui keragaman makanan dan kadar gula darah, kolesterol serta asam urat terhadap kelompok vegetarian dan non vegetarian (Kasjono dan Yasril, 2009). Penelitian ini dilakukan di Maha Vihara Maitreya Cemara Asri 4
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Vegan dan Non Vegetarian Berdasarkan Kadar Kolesterol
kelompok vegan adalah 30 orang vegetarian dan besar sampel kelompok pembanding adalah 30 orang non vegetarian. Besar sampel secara keseluruhan adalah 60 orang.
No. Kadar Kolesterol
1 2 Total
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian tentang perbedaan kadar gula darah, kolesterol dan asam urat responden menurut kelompok vegetarian dan bukan vegetarian dapat diperlihatkan dalam tabel berikut :
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Vegan dan Non Vegetarian Berdasarkan Kadar Gula Darah
1 2 Total
Normal Tidak Normal
Vegan f % 30 100,0 0 0,0 30 100,0
f % 30 100,0 0 0,0 30 100,0
Hasil penelitian dari 30 responden vegan dan 30 responden non vegetarian menunjukkan kadar kolesterol normal pada kelompok vegetarian yaitu sebanyak 30 orang (100,0%) dan 18 orang (60,0%) pada kelompok non vegetarian. Sedangkan kadar kolesterol tidak normal pada vegetarian adalah 0 orang (0,0%) dan 12 orang (40,0%) pada non vegetarian.
1. Kadar Gula darah Responden Penelitian.
No. Kadar Gula Darah
Normal Tidak Normal
Non Vegetarian f % 26 86,7 4 13,3 30 100,0
Vegan
3. Asam Urat Penelitian.
Non Vegetarian f % 26 86,7 4 13,3 30 100,0
Responden
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Vegan dan Non Vegetarian Berdasarkan Kadar Asam Urat
Hasil penelitian dari 30 responden vegan dan 30 responden non vegetarian menunjukkan kadar gula darah normal pada kelompok vegetarian yaitu sebanyak 30 orang (100,0%) dan 26 orang (86,7%) pada kelompok non vegetarian. Sedangkan kadar gula darah tidak normal pada vegetarian adalah 0 orang (0,0%) dan 4 orang (13,3%) pada non vegetarian.
No. Kadar Asam Urat 1 2 Total
Normal Tidak Normal
Vegan f % 30 100,0 0 0,0 30 100,0
Non Vegetarian f % 19 63,3 11 36,7 30 100,0
Hasil penelitian dari 30 responden Vegan dan 30 responden non vegetarian menunjukkan kadar asam urat normal pada kelompok vegetarian yaitu sebanyak 30 orang (100,0%) dan 19 orang (63,3%) pada kelompok non vegetarian. Sedangkan kadar asam urat tidak normal pada vegetarian adalah 0 orang (0,0%) dan 11 orang (36,7%) pada non vegetarian.
2. Kolesterol Responden Penelitian.
5
4. Perbedaan Kadar Gula Darah, Kolesterol dan Asam Urat.
Mean Variabel Kadar Gula Darah Kadar Kolesterol Kadar Asam urat
Vegan 98,3 142,9 4,8
Non Vegetarian 144,2 222,0 6,2
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar gula darah responden vegan yaitu 98,3 dengan SD 5,8 sedangkan pada kelompok non vegetarian rata-rata gula darah 144,2 dengan SD 51,3. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,000 yang artinya p < 0,05 berarti ada perbedaan secara signifikan kadar gula darah antara kelompok vegetarian dengan kelompok non vegetarian. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar kolesterol responden vegetarian yaitu 142,9 dengan SD 27,3 sedangkan pada kelompok non vegetarian rata-rata kolesterol 222,0 dengan SD 32,7. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,000 yang artinya p < 0,05 berarti ada perbedaan secara signifikan kadar kolesterol antara kelompok vegetarian dengan kelompok non vegetarian. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar asam urat responden vegetarian yaitu 4,8 dengan SD 0,7 sedangkan pada kelompok non vegetarian rata-rata asam urat 6,2 dengan SD 1,5. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,000 yang artinya p < 0,05 berarti ada perbedaan secara signifikan kadar asam urat antara kelompok vegetarian dengan kelompok non vegetarian.
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Perbedaan Kadar Gula Darah, Kolesterol dan Asam Urat Antara Kelompok Vegan dan Kelompok Non Vegetarian SD pVegan Non value Vegetarian 5,8 51,3 0,000 27,3 32,7 0,000 0,7 1,5 0,000
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar gula darah responden vegetarian yaitu 98,3 dengan SD 5,8 sedangkan pada kelompok non vegetarian rata-rata gula darah 144,2 dengan SD 51,3. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,000 yang artinya p < 0,05 berarti ada perbedaan secara signifikan kadar gula darah antara kelompok vegetarian dengan kelompok non vegeterian. Menurut American Dietetic Association (ADA) terhadap wanita dengan berat badan berlebih mendapatkan hasil bahwa konsumsi buah dan sayuran dapat menurunkan risiko terjadinya Diabetes tipe 2. Selain itu, menurut penelitian Pritikin Longevity Center dan Dr. James Anderson dari Diabetes Clinic, Loma Linda University, risiko menderita Diabetes Mellitus pada non vegetarian 4 kali lipat dibanding vegetarian. Ketika diberikan diet vegetarian yang rendah lemak pada penderita Diabetes Mellitus, 50-75 % mampu lepas insulin dalam waktu kurang dari 4 minggu, dan 85-95 % mampu lepas pil. Demikian juga diungkapkan oleh American Diabetes Association, bahwa diet vegan yang rendah lemak menyebabkan penurunan berat badan lebih besar dan pengendalian glukosa darah (Emma, 2001).
6
Pola makan vegetarian menyebabkan penurunan kadar gula darah dan juga menjaga kestabilan berat badan. Dengan kata lain, dengan menjaga pola makan yaitu banyak mengonsumsi buah dan sayur, dapat memperkecil risiko terjadinya penyakit Diabetes Mellitus. Selain itu makanan yang dikonsumsi kelompok vegetarian lebih murah dibanding dengan makanan hewani seperti daging sapi, unggas dan ikan. Sayur-sayuran dan buah-buahan dapat lebih mudah dijangkau dan lebih murah selain itu dapat juga ditanam dipekarangan rumah sehingga dari segi ekonomi jauh lebih hemat (Yuliarti, 2009). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar kolesterol responden vegetarian yaitu 142,9 dengan SD 27,3 sedangkan pada kelompok non vegetarian rata-rata gula darah 222,0 dengan SD 32,7. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,000 yang artinya p < 0,05 berarti ada perbedaan secara signifikan kadar kolesterol antara kelompok vegetarian dengan kelompok non vegeterian. Suatu studi cross sectional yang dilakukan oleh Simone Grigoletto De Biase, dan kawankawan (2005) dari Universitas Katolik Sao Paulo, Brazil, seperti dikutip dari Raharjo (2014) dengan menggunakan 68 orang responden, 34 orang vegetarian dan 34 non vegetarian menyimpulkan bahwa kelompok vegetarian mempunyai kadar LDL kolesterol yang paling rendah secara signifikan dibandingkan dengan non vegetarian. Pola makan vegetarian merupakan pola makan yang dianggap sebagai pola makan yang sehat sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit kronis (Dewell, 2008).
Frasser (2003) menyatakan bahwa kelompok vegetarian mempunyai total kolesterol dan LDLkolesterol yang rendah, serta tekanan darah yang juga lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang bukan vegetarian. Menurut American Dietetic Association (ADA) dan Dietitians of Canada, bahwa diet vegetarian juga menunjukkan kadar kolesterol darah dan tekanan darah yang lebih rendah, kejadian hipertensi, diabetes tipe 2 dan kanker prostat dan kolon yang lebih rendah dibanding dengan yang bukan vegetarian. Dalam laporan kepada The British Medical Journal, Dr. CR Sirtori mengambil kesimpulan bahwa orang-orang dengan tipe kolesterol tinggi, kadara kolesterolnya akan menurun apabila mengganti protein hewani menjadi protein nabati, misalnya protein kacang kedelai, sebab mengandung asam metionin yang berpengaruh terhadap penurunan kadar kolesterol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar kolesterol pada vegetarian lebih rendah dan stabil daripada kadar kolesterol non vegetarian. Dengan mengonsumsi makanan nabati dapat memperkecil risiko meningkatnya kadar kolesterol dan terjadinya penyakit jantung koroner. Kata kunci pertama adalah mengetahui kadar kolesterol darah. Jika kolesterol darah tinggi maka alihkan makanan hewani yang berkolesterol tinggi menjadi makanan nabati. Pemberian diet vegetarian dapat menurunkan kadar LDLkolesterol. Selain itu, pemberian diet vegetarian dapat menurunkaninsiden terjadinya obesitas dan juga dapat menurunkan insiden aterosklerosis sehingga juga dapat menurunkan 7
morbiditas maupun mortalitas pada penyakit kardiovaskuler (Bangun, 2003). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar asam urat responden vegetarian yaitu 4,84 dengan SD 0,741, sedangkan pada kelompok non vegetarian rata-rata gula darah 6,18 dengan SD 1,542. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,000 yang artinya p < 0,05 berarti ada perbedaan secara signifikan kadar asam urat antara kelompok vegetarian dengan kelompok non vegeterian. Penelitian oleh Rhoswita tahun 2003 menyebutkan, asupan diet vegetarian seimbang dengan protein hewani dan konten purin disertai asupan cairan yang cukup dengan buah-buahan dan sayuran setelah diteliti dapat mengurangi risiko terserang asam urat dibandingkan dengan orang yang memakan segala jenis makanan. Penelitian Breslau yang melakukan uji coba pada 15 subjek selama 12 hari mengonsumsi makanan tinggi protein nabati dan protein hewani. Hasilnya, terdapat peningkatan ekskresi asam urat dan peningkatan risiko formasi batu asam urat pada kelompok dengan konsumsi protein hewani tinggi. Risiko asam urat pada vegetarian lebih rendah daripada non vegetarian. Salah satu indikator tinggi rendahnya asam urat dapat dilihat dari formasi kristal atau batu asam urat. Pada prinsipnya, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Untuk menjaga agar kadar asam urat darah tetap dalam batas normal, disarankan konsumsi makanan dan minuman yang tidak banyak mengandung purin. Tetapi jika sudah terlanjur mengalami penyakit ini, langkah terpenting adalah
semaksimal mungkin mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang kaya akan zat purin. Makanan rendah purin dapat ditemukan pada sayursayuran maupun buah-buahan, sehingga orang-orang dengan diet vegetarian lebih rendah kadar asam uratnya dibanding dengan yang bukan vegetarian (Chindy 2009). Orang-orang yang tergabung dalam kelompok vegetarian sebagian besar yaitu sebanyak 60,0% (18 orang) memilih untuk menjadi vegetarian dikarenakan atas kesadaran akan pentingnya kesehatan sesuai dengan tabel 4.3. Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa orang-orang dengan pola makan non vegetarian mengetahui mengenai pola makan vegetarian sebesar 90,0% (27 orang). Akan tetapi keinginan untuk menjadi vegetarian masih rendah dengan melihat jawaban responden yang mengatakan belum tertarik untuk menjadi vegetarian. Tinggi rendahnya kadar gula darah, kolesterol maupun asam urat merupakan salah satu tanda untuk mengetahui sejauh mana kesehatan seseorang. Banyak hal-hal yang mendasari tinggi rendahnya kadar gula darah, kolesterol maupun asam urat tersebut, antara lain pola makan, gaya hidup, dan olahraga. Berdasarkan penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa pola makan vegetarian ternyata menghasiilkan kadar gula darah, kolesterol dan asam urat yang lebih rendah dibandingkan dengan non vegetarian. Demikian juga dengan penelitian yang telah penulis lakukan. Selain itu, gaya hidup dan olahraga juga mengambil peranan penting dalam stabilnya kadar gula darah, kolesterol dan asam urat tersebut.
8
Olahraga yang rutin dilakukan berdampak baik bagi kesehatan jantung, kesehatan fisik dan menjaga agar makanan yang dikonsumsi tidak menjadi timbunan lemak. Sesuai dengan tabel 4.4 mengenai olahraga secara rutin dilakukan atau tidak, lebih dari setengah responden non vegetarian mengaku tidak melakukannya secara rutin. Hal ini berdampak kepada kadar gula darah, kolesterol dan asam urat nya menjadi lebih tinggi dibanding dengan kelopok vegetarian. Selain dari makanan yang dikonsumsi ada yang berasal dari kelompok hewani, olahraga yang tidak rutin dilakukan, akan memicu terjadinya penyakit kronis dikemudian hari.
rutinitas olahraga kelompok vegetarian lebih rutin dilakukan daripada non vegetarian. 3. Terdapat perbedaan kadar kolesterol pada kelompok vegetarian dan non vegetarian. Hal ini dikarenakan vegetarian hanya mengonsumsi makanan dari sumber nabati yang banyak mengandung kolesterol baik, sedangkan non vegetarian mengonsumsi baik makanan nabati maupun hewani dan juga makanan siap saji (junk food) yang banyak mengandung kolesterol jahat. 4. Terdapat perbedaan kadar asam urat antara kelompok vegetarian dengan non vegetarian. Hal ini sejalan dengan kadar kolesterol dalam tubuh. Jika kadar kolesterol tinggi dapat memicu tingginya kadar asam urat. Asam urat pada vegetarian baik karena sumber makanan hanya dari sumber nabati, sedangkan pada non vegetarian lebih tinggi karena banyak mengonsumsi sumber hewani seperti makanan laut
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Pola makan vegetarian telah beraneka ragam dan terencana dengan baik yang dapat dilihat dari jumlah dan jenis bahan makanan, dimana para vegetarian telah mengonsumsi empat atau lebih makanan nabati sedangkan pola makan non vegetarian masih kurang beraneka ragam. 2. Terdapat perbedaan kadar gula darah pada kelompok vegetarian dengan non vegetarian. Hal ini disebabkan pola makan vegetarian lebih terjaga dari sumber makanan yang menyebabkan meningkatnya kadar gula darah, yaitu hanya mengonsumsi makanan nabati sedangkan non vegetarian lebih banyak mengonsumsi makanan yang mengandung glukosa tinggi dan makanan siap saji. Selain itu
Saran 1. Bagi kelompok vegan diharapkan tetap menjaga pola makan dan olahraga agar kadar gula darah, kolesterol dan asam urat tetap dalam batas normal. 2. Bagi kelompok non vegetarian agar dapat mempertimbangkan pola makan vegetarian untuk dilakukan sebagai pola makan sehari-hari yang bermanfaat untuk mencegah terjadinya penyakit degeneratif.
9
3. Bagi kelompok non vegetarian yang belum ingin menjalani pola makan vegetarian, diharapkan untuk memperbanyak makan makanan nabati seperti sayur dan buah disamping makanan hewani lainnya. 4. Bagi kelompok non vegetarian diharapkan untuk melakukan olahraga secara rutin untuk menjaga kesehatan dan menghindari penyakit degeneratif.
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Rhoswita A. 2003. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Diet Pada Penderita Asam Urat di Puskesmas Mandiraja I Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Yuliarti. N. 2009. The Vegetarian Way Panjang Umur, Sehat & Cerdas. Yogyakarta: ANDI.
Daftar Pustaka Adriani M, Wirjatmadi B. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana. Bangun A. 2003. Vegetarian Pola Hidup Sehat Berpantang Daging. Jakarta: Agromedia Pustaka Chindy T. 2009. Veggie versus Asam Urat. http://onlyoneearth.wordopress. com Akses tanggal 25 September 2014. Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007. Emma S. 2001. Buah dan Sayur Untuk Terapi. Jakarta : Penebar Swadaya. Meyni F. 2009. Vegetarian Suatu Kajian Kebiasaan Makan Pada Umat Buddha Maitreya. Skripsi Departemen Antropolgi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Raharjo L. 2014. Pengaruh Diet Vegan Terhadap Kadar LDLKolesterol Darah. Jurnal Departemen Biokimia
10
PERILAKU IBU DALAM PENYIAPAN BEKAL MAKANAN DAN SUMBANGANNYA TERHADAP KECUKUPAN GIZI ANAK TK AISYIYAH BUSTHANUL ATHFAL TANJUNG SARI MEDAN TAHUN 2014 Hardianti Meliala1 ; Albiner Siagian2 ; Ernawati Nasution2 1 Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Departermen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Medan, 20155, Indonesia Email :
[email protected] ABSTRACT Preschool children have a habit to bring food every day to school. Food supplies children are generally pepared the mother of the house. Preparation of food supplies seen from the type, variety, and quantity of food. The purpose of this study is to find out the behavior of mother in the preparation of their food supplies and contribution to a child’s nutritional adequacy TK Aisyiyah Busthabul Athfal Tanjung Sari Medan in 2014. This study is a descriptive survey. The data of mothers behavior that is knowledge and attitudes which conducted by using questionnaires and interview mother preparing food supplies based on the type and amount of energy and protein consumption is obtained by food weighing their food brought to school children. The results showed that most of the mothers have a good knowledge about 88% and the mother who has a good attitude about 84% in the preparation of food supplies to children. All mother (100%) to prepare the food for children to school every day. Types of food supplies of child which is already prepared by the mothers usually a biscuit about (30%). The amount of contribution intake (52%) energy and (54%) protein in the child’s food supplies still not fill the nutritional needs of children yet. The average of contribution for food supplies of child toward the rate of nutritional adequacy provide energy contribution about 209,5 ccal (13,1%) and the protein about 5,02 g (14,3%). It is recommended to mothers to concern for the nutritional content of food given to child’s such as snack especially for the food that contain energy and protein and suggested the school to provide guidance for parents to not give or prepare their food such as snack foods to be consumed by children during recess at school. Keywords: maternal behavior, food supplies, preschooler. Pendahuluan Taman kanak – kanak (TK) merupakan awal dari pengenalan anak dengan suatu lingkungan sosial yang ada di masyarakat umum di luar keluarga. Seorang anak usia TK sedang mengalami masa tumbuh kembang yang relatif pesat. Pada masa ini, proses perubahan fisik, emosi dan sosial anak berlangsung dengan cepat. Proses ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor dari diri anak sendiri dan lingkungan. Dalam hal ini, konsumsi pangan pada usia ini masih merupakan golongan konsumen pasif, yaitu belum dapat mengambil dan memilih makanan sendiri sesuai dengan kebutuhannya sehingga pada usia ini anak sangat rentan terhadap berbagai masalah apabila kondisinya kurang gizi (Santoso, 2004).
1
Berbagai masalah kesehatan dijumpai dikalangan anak prasekolah/TK, diantaranya kurangnya pertumbuhan fisik secara optimal. Salah satu faktor yang sangat menentukan yaitu faktor gizi. Kurang gizi pada masa ini akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan badan, mental, kecerdasan, dan mudah terserang penyakit infeksi. Di samping kurang gizi, ditemukan juga masalah kesehatan pada anak yang disebabkan gizi lebih yang dapat menyebabkan kegemukan dan anak beresiko menderita penyakit degeneratif seperti penyakit hipertensi, penyakit jantung dan lain sebagainya (Santoso, 2009). Pada anak prasekolah usia (3-6 tahun) sudah memiliki kebiasaan membawa bekal makanan kesekolah. Kebiasaan membawa bekal makanan ke sekolah tidak terlepas dari peran ibu dalam penentuan jumlah, jenis dan keanekaragaman makanan. Ibu akan menyediakan bekal makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi anak dan untuk menghindari anak agar tidak jajan makanan sembarangan yang belum tentu sehat dimana makanan jajanan anak sekolah sangat beresiko terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang banyak menganggu kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Februhartanty dan Iswaranti, 2004). Dan juga untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang tidak sempat sarapan pagi. Ibu selalu menyediakan sarapan pagi bagi keluarganya. Namun kadang pagi hari menjadi sangat sulit untuk anak dibangunkan pagi dan buru- buru bersiap kesekolah agar anak tidak terlambat. Sehingga anak tidak sempat untuk sarapan pagi atau anak hanya sekedar minum susu di pagi hari sebagai sarapannya. Kebiasaan tidak sarapan pagi pada anak akan menyebabkan lambung kosong dan kadar gula darah berkurang sehingga menyebakan badan lemas, mengantuk, sulit menerima pelajaran, serta turunnya gairah belajar dan kemampuan merespons
(Irianto, 2006). Padahal sarapan pagi sangat penting untuk memenuhi kecukupan energi yang diperlukan pertama dalam melakukan aktivitas dan juga sangat berpengaruh bagi perkembangan dan proses belajar anak terutama disekolah (Moehji, 2003). Berdasarkan hasil survei awal di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Tanjung Sari Medan, kebanyakan anak tidak sarapan dari rumah namun ibu hanya meyiapkan bekal makanan anak berupa mie hun atau mie goreng tanpa lauk maupun sayur, membawa bekal makanan berupa snack atau jajanan seperti biscuit, kerupuk, wafer, permen, chiki-chiki, dan ada seorang anak yang setiap harinya dibekali jajanan oleh ibunya karena anak tidak suka mengkonsumsi nasi atau sejenisnya. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang perilaku ibu dalam penyiapan bekal makanan dan sumbangannya terhadap kecukupan gizi anak di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Tanjung Sari di Medan. Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perilaku ibu dalam penyiapan bekal makanan dan sumbangannya terhadap kecukupan gizi anak TK Aisyiyah Bustanul Athfal Tanjung Sari Medan. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku ibu dalam penyiapan bekal makanan dan sumbangannya terhadap kecukupan gizi anak di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Tanjung Sari Medan. Penelitian di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Tanjung Sari Medan ini dilakukan pada bulan Agustus 2014 sampai dengan November 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang anaknya bersekolah di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Medan yang berjumlah 50 orang. 2
Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling yang berjumlah 50 orang. Data primer diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner terdiri dari pengetahuan dan sikap ibu dan mengamati jenis bekal makanan dan menimbang jumlah bekal makanan terhadap penyiapan bekal makanan anak yang dibawa kesekolah sedangkan data sekunder meliputi data jumlah anak yang bersekolah di TK Aisyiyah Bustanul Athfal yang diperoleh dari bagian administrasi. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Ibu Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak berumur 4-6 tahun di TK Aisyiyah Busthanul Athfal Tanjung Sari Medan sebanyak 50 orang. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.
No 1 2
1 2 3 4
1 2 3 4 5 6
Distribusi Karakteristik Ibu di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014
Karakteristik Responden Umur 26-36 tahun 37-47 tahun Total Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Pegawai Swasta Wiraswasta Pegawai negeri/BUMN Total Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Akademi (D1-D3) Perguruan Tinggi (S1) Total
f
%
42 8 50
84 16 100
18 9 14 9 50
36 18 28 18 100
0 0 4 18 10 18 50
0 0 8 36 20 36 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa umur ibu terbanyak pada golongan umur 26-36 tahun yaitu 42 orang (84%). Pekerjaan ibu sebagian besar adalah ibu rumah tangga yaitu 18 orang (36%). Dimana ibu lebih memiliki waktu yang lebih banyak untuk membuat dan menyiapkan bekal makanan anak untuk dibawa kesekolah dari pada ibu yang bekerja. Pendidikan ibu terbanyak adalah SMA yaitu 18 orang (36,0%) dan Perguruan tinggi (S1) yaitu 18 orang
(36,0%). Dimana tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap dan tindakan gizi. Perubahan sikap dan tindakan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pengetahuan Ibu Distribusi kategori tingkat pengetahuan ibu dalam penyiapan bekal makanan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.
No 1 2 3
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Penyiapan bekal Makanan Anak di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014
Pengetahuan Baik Sedang Kurang Total
f 44 6 0 50
% 88 12 0 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui responden memiliki pengetahuan tentang penyiapan bekal makanan yang baik yaitu 44 orang (88%) dan 6 orang (12%) memiliki kategori sedang, tidak ada responden yang berpengetahuan kurang. Hal ini berhubungan dengan penelitan Rahmaningtyas (2014) menyatakan bahwa sebagian besar ibu memiliki pengetahuan baik (78,6%) dalam memberikan asupan energi pada bekal anak sekolah. Sikap Ibu Distribusi kategori tingkat pengetahuan Ibu dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3.
No 1 2 3
Distribusi Frekuensi Sikap Responden tentang Penyiapan bekal Makanan Anak di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014 Sikap
Baik Sedang Kurang Total
f 42 8 0 50
% 84 16 0 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden memiliki sikap tentang penyiapan bekal makanan yang baik yaitu 42 orang (84%) dan 8 orang (16%) memiliki kategori sedang, tidak ada responden yang berpengetahuan kurang. 3
Jenis Bekal Makanan Penyiapan bekal makanan adalah segala tindakan ibu dalam menyediakan bekal makanan dilihat dari jenis dan jumlah bekal makanan anak. Jenis bekal makanan anak diperoleh dari pengamatan langsung selama 3 hari berturut-turut. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.
No 1
2
Distribusi Frekuensi Jenis Bekal Makanan yang dibawa Anak Selama 3 hari di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014
Jenis bekal makanan Makanan a.Nasi, lauk pauk b.Nasi, lauk pauk, sayur c.Nasi goreng d.Mie e.Roti f.Biskuit g.Wafer h.Chiki i.Bakso Minuman a.Air putih b.Susu Total
f
%
11 2 2 3 4 15 3 9 1
22 4 4 6 8 30 6 18 2
43 7 50
86 14 100
Berdasarkan hasil pengamatan langsung selama 3 hari memperlihatkan bahwa ibu memberikan bekal makanan paling banyak berupa biscuit sebesar (30%). Biskuit adalah makanan jajanan yang populer sebagai makanan jajanan kemudahan untuk mengakses, rasa enak dan harga terjangkau menjadi penyebab mengapa biskuit menjadi pilihan ibu sebagai bekal makanan yang populer dibawakan oleh ibu sebagai bekal makanan anak saat istirahat sekolah. Bekal makanan kedua tertinggi adalah nasi dan lauk pauk yaitu sebesar 22%. Jenis lauk pauk yang disiapkan oleh ibu untuk bekal makanan anak kesekolah yaitu telur, daging ayam, tempe dan ikan.Minuman yang disiapkan oleh ibu paling banyak adalah air putih yaitu sebesar (86%). Bekal makanan yang disiapkan oleh ibu biasanya sesuai dengan kemauan anak, dimana anak tidak suka dengan bekal makanan seperti nasi, lauk pauk dan diberi sayur. Anak lebih suka dibekali dengan bekal makanan jajanan karena kebanyakan teman-teman mereka disekolah membawa makanan jajanan.
Anak yang membawa bekal makanan nasi dan lauk pauk sebagian tidak mengkonsumsi bekal makanannya namun meminta makanan temannya untuk dimakan saat istirahat disekolah. Hal ini yang menyebabkan orang tua lebih sering memyiapkan bekal makanan berupa makanan jajanan yang praktis berbasis karbohidrat kepada anak. Jumlah Energi dan Protein pada Bekal Makanan. Jumlah makanan terdiri dari Energi dan Protein yang didapatkan melalui penimbangan (food weighing) selama 3 hari yaitu hari sabtu, hari senin dan hari selasa. Distribusi berdasarkan jumlah bekal makanan yaitu energi dan protein pada bekal makanan yang dibawa anak kesekolah selama 3 hari dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5.
No 1 2
Distribusi Bekal Makanan Menurut Rata-rata Jumlah Energi dan Protein pada Bekal Makanan anak selama 3 hari di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014
Zat Gizi Bekal Makanan Kandungan energy Kandungan protein
Jumlah Kalori 209,5 kkal 5,02 gram
% AKG 13,1 14,3
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa rata-raja jumlah energy pada bekal makanan anak selama 3 hari sebesar 209,5 kkal (13,1% AKG) dan ratarata jumlah protein pada bekal makanan anak sebesar 5,02 gram (14,3% AKG). Tinggi rendahnya sumbangan energi dan protein berhubungan erat dengan ragam dan jumlah bekal makanan yang dikonsumsi. Makin banyak jumlah dan ragam bekal makanan yang dikonsumsi maka makin tinggi sumbangan energi dan protein terhadap kecukupan yang dianjurkan. Menurut Tarwotjo (1998) Kebutuhan gizi yang dianjurkan pada bekal makanan anak yaitu sebesar 150-200 kkal dan 4-5 gram (10-13 % AKG).
4
Pengetahuan Ibu terhadap Jumlah Energi dan Protein Bekal Makanan. Berikut tabulasi silang pengetahuan ibu terhadap jumlah energy dan protein pada bekal makanan yang disiapkan oleh ibu dari rumah untuk dibawa anak kesekolah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6.
Tabulasi Silang Pengetahuan Ibu terhadap Jumlah Energi pada Bekal Makanan Anak di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014
N o Pengetahuan
1 Baik 2 Sedang
< 150 kkal f 22 4
% 50 66,7
Jumlah zat gizi Energi 150>200 kkal Total 200 kkal f % f % f % 1 2,3 21 47,7 44 100 0 0 2 33,3 6 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa ibu yang memiliki pengetahuan baik lebih banyak menyiapkan bekal makanan yang memiliki kontribusi atau sumbangan dibawah 150 kkal sebesar 22 orang (50%).Bekal yang disiapkan oleh ibu kandungan energi dan protein rendah karena terdapat 18 % ibu memberikan bekal makanan berupa makanan jajanan seperti chiki-chiki yang miskin akan kandungan energi dan protein. Sehingga rasa kenyang terpenuhi, namun kebutuhan energi dan protein serta zat gizi lainnya tidak terpenuhi. Penelitian ini sependapat dengan penelitian Hermina (2002) yang menunjukkan bahwa (100%) anak-anak membawa bekal makanan berupa chikichiki kesekolah. Makanan tersebut mungkin karena makanan kesukaan anak sehingga ibu menyiapkan makanan tersebut sebagai bekal makanan anak kesekolah. Padahal makanan tersebut bagi anak balita dan anak prasekolah dapat berdampak negatif terhadap kesehatan dan pola kebiasaan makan anak. Tabel 7.
N o
Tabulasi Silang Pengetahuan Ibu terhadap Jumlah Protein pada Bekal Makanan Anak di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014
Pengetahua n
Jumlah zat gizi Protein 4-5 gram >5 gram
< 4 gram
1
Baik
f 22
2
Sedang
5
% 50
F 3
% 6,8
83,3
1
16,7
f 1 9 0
Total
% 43,2
F 44
% 100
0
6
100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui adalah ibu yang memiliki pengetahuan baik lebih banyak menyiapkan bekal makanan yang memberikan kontribusi atau sumbangan dibawah 4 gram yaitu sebesar 22 orang (50%). Sikap Ibu terhadap Jumlah Energi dan Protein pada Bekal Makanan Berikut tabulasi silang sikap ibu terhadap jumlah energi dan protein pada bekal makanan yang disiapkan oleh ibu dari rumah untuk dibawa anak kesekolah dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 8.
N o
Sikap
1 2
Baik Sedang
Tabulasi Silang Sikap Ibu terhadap Jumlah Energi pada Bekal Makanan Anak di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014 < 150 kkal f 23 3
% 54,8 37,5
Jumlah zat gizi Energi 150-200 >200 kkal kkal f % f % 1 2,4 18 42,8 0 0 5 62,5
Total f 42 8
% 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa ibu yang memiliki sikap baik terhadap penyiapan bekal makanan anak lebih banyak memberikan kontribusi atau sumbangan dibawah 150 kkal yaitu sebesar 23 orang ( 54,8%). Tabel 9.
N o
1 2
Sikap
Baik Sedang
Tabulasi Silang Sikap Ibu terhadap Jumlah Protein pada Bekal Makanan Anak di TK Aisyiyah Busthanul Atfhal Tanjung Sari Medan Tahun 2014 < 4 gram f 22 5
% 52,4 62,5
Jumlah zat gizi Protein 4-5 >5 gram gram f % f % 4 9,5 16 38,1 0 0 3 37,5
Total f 42 8
% 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa ibu yang memiliki sikap baik terhadap penyiapan bekal makanan anak lebih banyak memberikan kontribusi atau sumbangan dibawah 4 gram yaitu sebesar 22 orang (52,4%). Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Pada umumnya ibu sudah memiliki pengetahuan baik (88%), sikap ibu baik (84%), namun pada tindakan dalam penyiapan bekal makanan 5
anak dapat dikatakan masih belum baik karena masih banyak bekal makanan anak yang belum mencukupi kebutuhan gizi terutama kebutuhan energi dan proteinnya. 2. Jenis bekal makanan yang paling banyak disiapkan oleh ibu adalah biscuit sebesar 30%. 3. Sumbangan bekal makanan untuk asupan energi sebesar 13,1% dan protein sebesar 14,3% pada bekal makanan anak terhadap kecukupan gizi.
Irianto, 2006. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Andi Offiset, Yogyakarta. Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi: Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta:Bhratara Niaga Media. Rahmaningtyas, 2014. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu Dengan Asupan Bekal Anak Sekolah Dan Status Gizi Anak di Taman KanakKanak di Depok. Skripsi. Jakarta Barat: Fakultas Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul.
Saran 1. Diharapkan kepada ibu untuk memperhatikan kandungan gizi yang diberikan pada bekal makanan anak terutama kandungan nilai protein dan energinya. 2. Diharapkan kepada ibu untuk membiasakan anak sarapan pagi setiap hari sebelum berangkat kesekolah meskipun anak sudah membawa bekal makanan. 3. Kepada pihak sekolah disarankan agar memberikan pengarahan kepada orang tua agar tidak memberikan atau menyiapkan bekal makanan berupa makanan jajajanan kesekolah untuk dikonsumsi anak saat istirahat disekolah.
Santoso, Soegoeng dan Anne Lies Ranti, 2004. Kesehatan dan Gizi, Jakarta, Rineka Cipta. Santoso, Soegoeng dan Anne Lies Ranti, 2009. Kesehatan dan Gizi, Jakarta, Rineka Cipta. Tarwotjo, CS. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Jakarta: PT.Grasindo.
Daftar Pustaka Februhartanty, J dan Iswaranti. 2004. Amankah Makanan Jajanan Anak Sekolah di Indonesia. http://www.gizi.net. 2 Februari 2012. Hermina, S.Hidayat, T.Mujiyanto. 2002. Kecenderungan Konsumsi Makanan Modern pada Anak Prasekolah di Taman KanakKanak. Journal Kesehatan.
6
HUBUNGAN POLA MAKAN DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN POLA MENSTRUASI PADA MAHASISWI JURUSAN OLAHRAGA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN TAHUN 2014 Devi Eni Pohan1 , Ernawati Nasution2, Evawany Y Aritonang3 1
Mahasiswi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, 20155 Email :
[email protected]
ABSTRACT Irregular menstrual cycle is an imbalanced hormone impact in women reproductive system. While imbalance of energy relates to estrogen reduction, disturbance of metabolism, and oligomenore as well as polimenore. Excessive physical activity also affects the menstrual cycle. The purpose of this research is to determine the relation between dietary habit and physical activity with menstrual pattern for student majoring sports in State University of Medan 2014. This is descriptive research using cross sectional design research. The population of this research is student of PJKR UNIMED of 2012, 2013, and 2014 batch. Technique of sampling is using proportional simple random sampling which involves 58 sampels (23 sampels of first grade, 20 sampels of third grade and 15 sampels of fifth grade). Dietary habits, menstrual pattern, and physical activity data gained after doing interview by using questionare. to measure dietary habits using food recall and food frequency questionare. Then data analized by using Chi Square test. The research results showed that student dietary habit of is at good category (56,9%). Student physical activity is at medium category (53,4%). Student menstrual cycle is irregular (51,7%). Based on Chi Square test, it is known that there is correlation between dietary habit (quantity) with menstrual blood volume (p=0,003). While there is no correlation between dietary habits and physical activity with menstrual cycle, long menstruation, and menstrual blood volume. It is recommended that student maintan their dietary habit and reproductive health as well by applying their diet in accordance with Guideline for Balanced Nutrition (GBN). Keyword : dietary habits, physical activity, menstrual pattern
tidak hanya bertanggung jawab untuk berprestasi akademik, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin pemeliharaan fungsi alat reproduksi yang antara lain adalah menstruasi, kehamilan, dan seksualitas (Gibs, 2008).
PENDAHULUAN Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi, serta prosesnya. Siswi usia pubertas 1
Wanita yang telah mencapai usia baligh, secara normal akan mendapatkan menstruasi setiap bulannya. Akan tetapi kondisinya belum tentu sama antara wanita satu dengan yang lainnya. Beberapa dari mereka mengalami kondisi yang normal. Namun, sebagian yang lain memiliki masalah-masalah seputar menstruasi yang cukup mengganggu aktivitasnya (Jones, 2005). Haid atau menstruasi yang tidak teratur merupakan proses tidak seimbangnya hormon pada sistem reproduksi wanita dimana antara hormon estrogen dan progesteron harus dalam komposisi yang sesuai. Siklus haid yang normal terjadi setiap 21-35 hari sekali, dengan lama haid berkisar 3-7 hari. Jumlah darah haid normal berkisar 30-40 mL. Menurut hitungan para ahli, perempuan akan mengalami 500 kali haid selama hidupnya (Ellya, 2010). Sebagian besar perempuan Indonesia berusia 10-59 tahun mengalami haid yang teratur sebanyak 68% dan 13,7% mengalami haid yang tidak teratur dalam 1 tahun terakhir. Berdasarkan Riskesdas (2010) menyatakan persentase perempuan usia 10-59 tahun di Sumatera Utara yang mengalami haid tidak teratur sebanyak 11,6%. Alasan haid tidak teratur pada perempuan usia 10-59 tahun di Sumatera Utara adalah 0,4% karena sakit, 2,7% masalah KB, 3,7% menopause, 4,5% lain-lain, dan 7,2% tidak mengetahui alasannya. Umumya olahraga/ latihan dianggap sebagai salah satu penyebab amenorrhoea hipotalamus. Meningkatnya tingkat estrogen terkait dengan amenorrhoea sehingga meningkatkan resiko patah tulang (fraktur), osteoporosis, dan kesuburan. Atlit dengan latihan
intensif sebelum mengalami pubertas khususnya senam dan penari balet adalah kelompok risiko tinggi mengalami amenorrhoea primer atau atlit dengan stress cenderung lebih tinggi mengalami amenorrhoea (Fatmah, 2011). Sementara kaum remaja dan dewasa banyak yang menjalankan diet karena khawatir dengan penampilannya, sementara pada periode ini mereka membutuhkan nutrisi yang sedikit lebih tinggi. Bila gizi tidak terpenuhi maka akan berisiko mengalami defisiensi. Pola makan mereka cenderung menghindari makanan yang mengandung energi tinggi (Ellya, 2010). Berdasarkan Riskesdas (2010) menyatakan bahwa di Provinsi Sumatera Utara, persentase penduduk yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal adalah sebanyak (43,4%) dan penduduk yang mengonsumsi protein di bawah minimal adalah sebanyak (21,4%). Sementara persentase remaja usia 1618 tahun yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal sebanyak (51,5%) dan konsumsi protein di bawah kebutuhan minimal sebanyak (21,2%). Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan terdapat 3 jurusan yaitu PJKR (Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi), PKO (Pendidikan Kepelatihan Olahraga), dan IKOR ( Ilmu Keolahragaan) dimana pada fakultas ini sebagian besar kuliah berlangsung di luar ruangan atau di lapangan. Sesuai dengan kurikulum di FIK dari 150 sks terdapat 90 sks pada mata kuliah keilmuan dan keterampilan. Pada penelitian ini penulis akan melakukan penelitian kepada mahasiswi jurusan PJKR dan PKO 2
dikarenakan setelah melakukan survei awal dan melihat jadwal mata kuliah, aktivitas yang lebih berat terdapat pada kedua jurusan tersebut sedangkan jurusan IKOR memiliki mata kuliah yang sebagian besar hanya berupa teori. Aktivitas fisik pada mahasiswi jurusan olahraga tergolong kepada aktivitas jasmani yang berat dikarenakan selain mendapat mata kuliah secara teori mereka juga menjalani mata kuliah praktek. Mata kuliah sebagian besar berlangsung di lapangan atau di luar ruangan. Mata kuliah sebagai berikut : sepak bola, volly, basket, pencak silat, permainan kecil, renang, atletik, senam ( lantai dan aerobik), bulu tangkis dll. Setelah melakukan survei awal terdapat 3 dari 5 orang mahasiswi jurusan PJKR yang mengalami siklus menstruasi tidak teratur yaitu polimenorrhea dan amenorrhea. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti hubungan pola makan dan aktivitas fisik dengan pola menstruasi mahasiswi jurusan olahraga Universitas Negeri Medan tahun 2014. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan pola makan dan aktivitas fisik dengan pola menstruasi pada mahasiswi jurusan PJKR Universitas Negeri Medan tahun 2014. Manfaat penelitian ini bagi Fakultas Ilmu Keolahragaan UNIMED, sebagai informasi dan bahan acuan untuk memperhatikan kesehatan mahasiswi dengan cara membatasi aktivitas fisik agar tidak terjadi gangguan menstruasi.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian cross sectional (potong lintang). Lokasi penelitian ini dilaksanakan di FIK UNIMED pada tanggal 20-28 November 2014. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswi jurusan PJKR tahun 2014 yang berjumlah 133 orang. Sampel pada penelitian ini berjumlah 58 orang (15 orang dari TA 2012, 20 orang dari TA 2013 dan 23 orang dari TA 2014. Teknik pengambilan sampel adalah proporsional simple random sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan yang berkaitan dengan pola siklus menstruasi, aktivitas fisik, dan riwayat kesehatan. Sedangkan untuk mengetahui pola makan menggunakan metode food recall dan food frequency. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisis dengan menggunakan Uji Chi Square. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan pola makan dan aktivitas fisik dengan pola menstruasi pada mahasiswi jurusan olahraga Universitas Negeri Medan tahun 2014 yang telah dianalisis dengan menggunakan Uji Chi Square dapat dilihat pada tabel di bawah ini Hubungan Pola Makan dengan Pola Menstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 Hubungan Pola Makan yang jumlah, jenis dan frekuensi dengan Pola Menstruasi yang meliputi siklus, lama dan volume darah dapat dilihat pada tabel di bawah ini 3
Tabel 1 Hasil Tabulasi Silang antara Pola Makan dengan SiklusMenstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014. No
No Pola Makan
Siklus Menstruasi Normal n
%
Total
P-value
Terganggu n
%
n
%
45,5
33
100,0
1
Baik
18
54,5
15
2
Kurang
10
41,7
14
58,3
24
100,0
3
Lebih
0
0
1
100,0
1
100,0
Tabel 1 menunjukkan hasil analisis bahwa mahasiswi dengan pola makan pada kategori kurang, lebih banyak mengalami siklus menstruasi yang terganggu yaitu sebanyak 14 orang (58,3%) dan mahasiswi dengan pola makan pada kategori baik cenderung mengalami siklus menstruasi yang normal yaitu sebanyak 18 orang (54,5%) dan mahasiswi dengan pola makan lebih cenderung mengalami siklus menstruasi yang terganggu (100%). Berdasarkan Uji Chi Square diperoleh nilai p - value sebesar 0,392 (nilai p - value > 0,05) hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan siklus menstruasi mahasiswi.
Tabel 2 No
0,392
Hasil penelitian di atas sesuai dengan pendapat Sayogo (2006) yang mengatakan ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi kurang. Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat kesehatan masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, risiko melahirkan bayi dengan BBLR, dan penurunan kesegaran jasmani. Dan asupan makanan pada masa remaja sebaiknya mengandung jumlah zatzat gizi yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Sebagai contoh remaja putri membutuhkan makanan dengan kandungan zat besi yang tinggi terlebih bagi remaja putri yang mengalami menstruasi setiap bulan.
Hasil Tabulasi Silang antara Frekuensi Makan dengan Siklus Menstruasi Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 Frekuensi Makan
1
Sering
2
Tidak sering
Siklus Menstruasi Normal n 28
Terganggu n 30
% 48,3
0
Total
0
0
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa frekuensi makan mahasiswi berada pada kategori sering sebanyak 58 orang (100,0%)
% 51,7
n 58
% 100,0
0
0
0
yaitu mahasiswi makan pagi, siang dan malam dan 30 orang (51,7%) diantaranya mengalami siklus menstruasi yang terganggu.
4
Tabel 3 Hasil Tabulasi Silang antara Jenis Bahan Makanan dengan Siklus Menstruasi No
Jenis Bahan Makanan
Siklus Menstruasi
1
Baik
Normal n % 17 40,5
2
Tidak baik
11
Total
Terganggu n % 25 59,5
68,8
5
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa mahasiswi yang mengonsumsi jenis bahan makanan yang baik atau lebih dari 4 jenis per hari lebih banyak mengalami siklus menstruasi yang terganggu sebanyak 25 orang (59,5%).
31,2
p-value
n 42
% 100,0
16
100,0
0,054
Berdasarkan uji Chi Square dapat diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis bahan makanan dengan siklus menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p=0,054.
Tabel 4 Hasil Tabulasi Silang antara Pola Makan dengan Lama Menstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 No
Pola Makan
Lama Menstruasi Normal
No n
%
Total
Tidak normal n %
P-value
n
%
27,3
33
100,0
8
33,3
24
100,0
0
0
1
100,0
1
Baik
24
72,7
9
2
Kurang
16
66,7
3
Lebih
1
100,0
0,716
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa pola makan mahasiswi pada kategori baik sebagian besar mengalami lama menstruasi yang normal sebanyak 24 orang (72,7%). Berdasarkan Uji Chi Square dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan lama menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p-value 0,716. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lama menstruasi wanita. Menurut Dewi (2012), lamanya perdarahan menstruasi ditentukan oleh daya penyembuhan luka atau daya regenerasi. Daya regenerasi berkurang pada infeksi, mioma, polip, dan karsinoma. Variasi kadar hormon seks yang diduga berhubungan dengan pola lama menstruasi, sebagian hormon siklus menstruasi mempengaruhi proliferasi dan shedding dari lapisan endometrium dari rahim. Selama fase folikuler, sel endometrium berkembang biak di bawah pengaruh estrogen, namun setelah ovulasi, sekresi progesteron merangsang perubahan morfologis tambahan dalam endometrium. Setelah siklus ovulasi, menstruasi yang paling sering akibat dari penarikan progesteron, yang menginduksi peristiwa yang melibatkan vasokonstriksi, perubahan sitokin dalam endometrium, dan kematian sel. Berdasarkan penelitian di atas diketahui bahwa lama hari menstruasi juga dipengaruhi oleh daya regenerasi dan variasi hormon seks sehingga wanita mengalami perdarahan dalam waktu yang bervariasi. Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab tidak adanya hubungan yang signifikan antara pola makan dengan lama menstruasi pada mahasiswi. 5
Tabel 5 Hasil Tabulasi Silang antara Frekuensi Makan dengan Lama Menstruasi Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 No
Frekuensi Makan
1
Sering
2
Tidak sering
Lama Menstruasi Normal n 41 0
Tdk Normal n % 17 29,3
% 70,7 0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi makan mahasiswi lebih banyak pada kategori sering
Total
0
0
n 58
% 100,0
0
0
mengalami lama menstruasi yang normal sebanyak 41 orang (70,7%).
Tabel 6 Hasil Tabulasi Silang antara Jenis Bahan Makan dengan Lama Menstruasi pada Mahasisei Jurusan Olahraga tahun 2014 No
Jenis Bahan Makanan
Lama Menstruasi
1
Baik
Normal % 31 73,8
2
Tidak baik
10
n
Total
Tdk Normal n % 11 26,2
62,5
6
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa mahasiswi yang mengonsumsi jenis bahan makanan yang baik atau lebih dari 4 jenis per hari lebih banyak mengalami lama menstruasi yang normal sebanyak 31 orang (73,8%). Berdasarkan uji Chi Square dapat diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis bahan makanan dengan lama menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p=0,398..
37,5
n
p-value
42
% 100,0
16
100,0
0.398
Pola makan sangat berpengaruh pada kesehatan tubuh begitu pula pada sistem reproduksi wanita. Semakin baik pola makan seseorang maka akan semakin baik pula kesehatannya. Hasil penelitian menunjukkan jika pola makan baik (mengonsumsi makanan diatas kebutuhan minimal) makan akan mengalami lama menstruasi yang normal (3-7 hari) per periode menstruasi.
Tabel 7 Hasil Tabulasi Silang antara Pola Makan dengan Volume Darah Menstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 No
NoPola Makan
1
Baik
2
Kurang
3
Lebih
Volume Darah Menstruasi Normal Banyak n % n
Total
P-value
%
n
%
8
24,2
25
75,8
33
100,0
16
66,7
8
33,3
24
100,0
1
100,0
0
0
1
100,0
Tabel 7 menunjukkan bahwa pola makan mahasiswi pada kategori baik sebagian besar volume darah menstruasinya banyak sebanyak (75,8%). Hal ini disebabkan asupan zat gizi yang baik semasa menstruasi menjadikan darah yang keluar semakin banyak. Berdasarkan Uji
0,003
Chi Square dapat diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan volume darah menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p-value = 0,003. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2013) yang mengatakan bahwa tidak terdapat 6
hubungan yang signifikan konsumsi makanan yang mengandung fitoestrogen dengan siklus
menstruasi dan volume darah menstruasi dengan nilai p- value 0,445 dan 0,600.
Tabel 8 Hasil Tabulasi Silang antara Frekuensi Makan dengan Volume Darah Menstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 No
1 2
Frekuensi Makan
Volume Darah Menstruasi Normal Banyak n % n % 25 43,1 33 56,9 0 0 0 0
Sering Tidak sering
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi makan mahasiswi lebih banyak pada kategori sering mengalami volume darah menstruasi Tabel 9 No
Total n
% 58 0
100,0 0
yang banyak sebanyak 33 orang (56,9%).
Hasil Tabulasi Silang antara Jenis Bahan Makan dengan Volume Darah Menstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 Jenis Bahan Makanan
1
Baik
2
Tidak baik
Volume Darah Menstruasi Normal n % 21 50,0 4
25,0
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa mahasiswi yang mengonsumsi jenis bahan makanan yang baik atau lebih dari 4 jenis per hari lebih banyak mengalami volume darah menstruasi yang normal sebanyak 21 orang (50,0%). Berdasarkan uji Chi Square dapat diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis bahan makanan dengan volume darah menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p=0,086. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa mahasiswi yang mengonsumsi jenis bahan makanan yang baik atau lebih dari 4 jenis per hari lebih banyak mengalami volume darah menstruasi yang normal sebanyak 50,0%. Berdasarkan Uji
Total
p-value
Banyak n % 21 50,0
n 42
% 100,0
12
16
100,0
75,0
0,086
Chi Square dapat diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis bahan makanan dengan volume darah menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p=0,086. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi makan mahasiswi lebih banyak pada kategori sering mengalami volume darah menstruasi yang banyak sebanyak 56,9%. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Pola Menstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 Hasil tabulasi silang antara variabel aktivitas fisik dengan pola menstruasi yang meliputi siklus, lama dan voulume darah menstruasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini
7
Tabel 10 Hasil Tabulasi Silang antara Aktivitas Fisik dengan Siklus Mentruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 No
Aktivitas Fisik
Siklus Menstruasi Normal n
Total
Terganggu n %
%
P-value
n
%
1
Sedang
16
51,6
15
48,4
31
100,0
2
Berat
12
44,4
15
55,6
27
100,0
Tabel 10 menunjukkan hasil analisis bahwa mahasiswi dengan aktivitas fisik berat, lebih banyak mengalami siklus menstruasi yang terganggu yaitu sebanyak 15 orang (55,6%) dan mahasiswi dengan aktivitas fisik yang sedang cenderung mengalami siklus menstruasi yang normal yaitu sebanyak 16 orang (51,6%). Berdasarkan Uji Chi Square diperoleh nilai p- value (0,586) hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan siklus menstruasi pada mahasiswi jurusan olahraga FIK UNIMED. Hasil tabulasi silang antara aktiftas fisik dengan siklus menstruasi diketahui bahwa mahasiswi dengan aktivitas fisik berat (nilai PAL 2,00-2,40) lebih
0,586
banyak mengalami siklus menstruasi yang terganggu (55,6%) dan mahasiswi dengan aktivitas fisik yang sedang (nilai PAL 1,70-1,99) cenderung mengalami siklus menstruasi yang normal 51,6%. Hasil penelitian menunjukkan gambaran aktivitas fisik mahasiswi jurusan olahraga berada pada kategori sedang dan berat. Aktivitas fisik mahasiswi pada kategori sedang sebanyak 53,4% dan kategori berat 46,6%. Hasil penelitian diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rima (2010) dimana tidak ada hubungan yang signifikan antara perbedaan distribusi kejadian haid tidak teratur berdasarkan jenis olahraga rutin (p=0,100).
Tabel 11 Hasil Tabulasi Silang antara Aktivitas Fisik dengan Lama Menstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 No
Aktivitas Fisik
Lama Menstruasi Normal n
1 2
%
Total
Tidak normal n %
P-value
n
%
Sedang
20
64,5
11
35,5
31
100,0
Berat
21
77,8
6
22,2
27
100,0
Tabel 11 menunjukkan bahwa aktivitas fisik mahasiswi pada kategori berat lsebagian besar mengalami lama menstruasi yang normal sebanyak 21 orang (77,8%). Berdasarkan Uji Chi Square menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan lama
0,268
menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p-value = 0,268. Hal ini menyatakan bahwa aktivitas fisik tidak berpengaruh besar pada lama menstruasi seseorang. Lama menstruasi normal adalah 3-7 hari selama periode menstruasi. Aktivitas fisik yang berat lebih berpengaruh kepada gangguan menstruasi seperti sindrom 8
pramenstruasi dan dismenore (kram perut menjelang dan pada saat menstruasi). Aktivitas fisik yang berlebih juga menyebabkan stress, dimana stress merupakan salah satu faktor penyebab gangguan siklus menstruasi.
Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian mahasiswi jurusan olahraga di FIK UNIMED yang menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswi mengalami dismenore sebanyak 87,9%.
Tabel 12 Hasil Tabulasi Silang antara Aktivitas Fisik dengan Volume Darah Menstruasi pada Mahasiswi Jurusan Olahraga tahun 2014 No
Aktivitas Fisik
Volume Darah Menstruasi Normal n
%
Banyak n
Total
P-value
%
n
%
1
Sedang
14
45,2
17
54,8
31
100,0
2
Berat
11
40,7
16
59,3
27
100,0
Tabel 12 menunjukkan bahwa aktivitas fisik mahasiswi pada kategori berat lebih banyak mengeluarkan darah pada saat menstruasi sebanyak 16 orang (59,3%). Berdasarkan Uji Chi Square menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan volume darah menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p-value = 0,735. Aktivitas fisik yang berlebih dapat memicu terjadinya stress. Oleh karena itu semakin berat aktivitas fisik maka akan berpengaruh pada tingkat stress karena kelelahan dan menjadikan volume darah yang keluar semakin banyak. Hasil penelitian di atas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur’aini (2011) yang mengatakan terdapat hubungan yang bermakna antara stress karena kelelahan dengan siklus menstruasi dengan nilai p-value 0,017 dan penelitian yang dilakukan oleh Toduho (2014) terdapat hubungan yang signifikan antara stress psikologik dengan siklus menstruasi pada siswi kelas 1 di SMA Negeri 3 Tidore Kepulauan dengan nilai pvalue 0,000.
0,735
KESIMPULAN 1. Mahasiswi dengan pola makan yang baik mengalami siklus menstruasi yang normal, lama menstruasi yang normal dan volume darah menstruasi yang banyak. 2. Mahasiswi dengan aktivitas fisik sedang dan berat mengalami siklus menstruasi yang normal, lama menstruasi normal dan volume darah menstruasi yang banyak. 3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola makan dengan pola menstruasi yang meliputi siklus menstruasi dan lama menstruasi. Terdapat hubungan antara pola makan dengan volume darah menstruasi pada mahasiswi jurusan olahraga Universitas Negeri Medan tahun 2014 hal ini disebabkan oleh aktivitas fisik yang berat. SARAN 1. Bagi mahasiswi diharapkan lebih memerhatikan pola makannya dengan cara menerapkan pola makan sesuai dengan Pedoman Gizi 9
2.
Seimbang seperti banyak mengonsumsi sayuran dan cukup buah-buahan, membiasakan mengonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi, membiasakan minum air putih yang cukup dan aman dan melakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal. Bagi mahasiswi dianjrkan untuk mengonsumsi jenis makanan yang mengandung zat gizi sumber energi yaitu karbohidrat, protein, vitamin dan mineral serta kecukupan air. Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk mahasiswi jurusan olahraga seperti a). Karbohidrat kompleks : tepung, mie, kentang, beras, buah-buahan segar. b). Protein : daging, telur, susu, kerang, kepiting. c). Vitamin dan Mineral : susu, hati, daging, sereal, keju, sayuran hijau, coklat dll
Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: CV Trans Info Media. FAO/WHO/UNU. (2001). Human energy requirements. WHO Technical Report Series, no. 724. Geneva: World Health Organization. Fatmah. (2011). Gizi Kebugaran dan Olahraga. Bandung: Penerbit CV Lubuk Agung. Gibbs RS and Kartan BY. (2008). Danforth's Obstetrics And Gynecology 10th Ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins.. Jones, DL. (2005). Setiap Wanita. Penerbit Delapratasa Publishing. Nur’aini. (2011). Hubungan antara Tingkat Stress dengan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi Asrama Universitas Andalas Padang tahun 2011. Padang: Skripsi Prodi Ilmu Keperawatan FK Andalas. Riskesdas. (2010). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Sayogo, S. (2006). Gizi Remaja Putri. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Toduho, S. (2014). Hubungan Stress Psikologik dengan Siklus Menstruasi pada Siswi Kelas 1 di SMA Negeri 3 Tidore Kepulauan. Manado : Jurnal FK Universitas Sam Ratulangi
DAFTAR PUSTAKA Asmarani, R. (2010). Pengaruh Olahraga terhadap Siklus Haid Atlit. Semarang: Artikel Penelitian FK Undip. Budiarto, E. (2001). Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Dewi, N. S. (2012). Biologi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Utama. Ellya, ES. (2010). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: CV Trans Info Media. Ellya ES, Pusmaika R dan Rismalinda. (2010). 10
HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN DAN ZAT BESI DENGAN STATUS ANEMIA PADA IBU HAMIL DI DESA NAGA TIMBUL KECAMATAN TANJUNG MORAWAKABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2014 Eliani Sinaga1, Zulhaidah Lubis2, Albiner Siagian2 1
Mahasiswi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Jl.Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155, email:
[email protected] Abstract
Anemia of pregnant women in Desa Naga Timbul is the effect of iron deficiency that relates with protein intake. There are some factors that affect anemia they are the less of protein intake, iron deficiency, lack of vitamin C, and absorption nuisance of intestine. Iron absorption is affected by some factors such as animal protein and vitamin C. The research is conducted in cross sectional design. The sample is 40 pregnant women. The objective of study is to find the relationship between protein intake and iron intake with anemia status of pregnant women in Desa Naga Timbul Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang in 2014. The hemoglobin measurement is done by using Cyanmethemoglobin method and by using Spektrofotometer. Protein intake and iron intake are measured by food recall method in 24 hours twice in different days.. The relationship between protein intake and iron intake with anemia status is analyzed by Chi Square test. The result of the research shows that the less of protein intake category is 60.0 %, iron deficiency category is 72.5% and anemia is 55%. It shows that there is a significant relationship between protein intake and anemia status of pregnant women. The relationship between iron intake and anemia status of pregnant women is also significant. Based on the research, the pregnant women are expected to set up their time of eating better, to mull over the kinds of food that they consume and the nutrients of their foods in order to fulfill their needs of nutrients. In order to fulfill their needs of protein and iron, the families are expected to use their house environment for instance raise chicken and fish, plant vegetable around their house. Keywords: Protein intake, Nutritional anemia, Pregnant women Pendahuluan Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia yang berakibat buruk bagi penderita terutama golongan rawan gizi yaitu anak balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja terutama yang berpenghasilan rendah (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008,
diketahui bahwa prevalensi anemia defisiensi besi di Asia >75%, di Indonesia kasus anemia gizi mencapai 63,5%. Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2010, angka anemia pada ibu hamil sebesar 40,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa anemia cukup tinggi di Indonesia. Diperkirakan jika pada tahun 2012–2015 prevalensi anemia masih tetap diatas 40%, maka akan terjadi kematian ibu sebanyak 18 ribu per tahun yang 1
disebabkan perdarahan setelah melahirkan. Kondisi ini akan menyebabkan 3-7 % ibu meninggal karena penyebab tak langsung yaitu anemia. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal (Pearce, 2010). Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2010, angka anemia pada ibu hamil sebesar 40,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa anemia cukup tinggi di Indonesia. Diperkirakan jika pada tahun 2012–2015 prevalensi anemia masih tetap diatas 40%, maka akan terjadi kematian ibu sebanyak 18 ribu per tahun yang disebabkan perdarahan setelah melahirkan. Kondisi ini akan menyebabkan 3-7 % ibu meninggal karena penyebab tak langsung yaitu anemia. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal (Pearce, 2010). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) terdapat 37,1% ibu hamil anemia yaitu ibu hamil dengan kadar Hb kurang dari 11,0 gr/dl dengan proporsi yang hampir sama antara di kawasan perkotaan (36,4%) dan pedesaan (37,8%). Tingginya kejadian anemia ini erat kaitannya dengan faktor kurang asupan makanan bergizi saat ibu hamil dan kurangnya kesadaran dalam mengkonsumsi tablet zat besi. Menurut data profil kesehatan Kabupaten Deli Serdang untuk Puskesmas Tanjung Morawa, cakupan ibu hamil yang mendapat 90 tablet zat besi di Puskesmas Tanjung Morawa pada tahun 2010 sekitar 91,43%, pada tahun 2011 sekitar 86,41% dan pada tahun 2012 mengalami sedikit penurunan menjadi 72,33%. Angka ini sebelumnya sudah memenuhi target yang diharapkan namun pada tahun 2012 mengalami sedikit penurunan. Berdasarkan hasil survei awal yang telah dilakukan di Bidan Desa di Desa Naga Timbul Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang yaitu terdapat 40 ibu hamil. Sebanyak 12 ibu hamil yang berkunjung, masih ditemukan 8 ibu (67%)
yang mengalami gejala anemia dengan tanda-tanda lemah, letih, lesu, pucat, mata berkunang-kunang dari posisi duduk pada saat berdiri. Pada umumnya masyarakat didasari oleh berbagai faktor yaitu ibu hamil masih ada yang belum memanfaatkan fasilitas sarana kesehatan untuk memperoleh tablet tambah darah, jarak pelayanan kesehatan yang terlalu jauh sehingga harus menggunakan kenderaan. Hal lainnya adalah masyarakat Desa Naga Timbul pada umumnya bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan dimana pendapatan keluarga masih terbatas sehingga mempengaruhi daya beli dalam ketersediaan pangan yang beragam dalam keluarga. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka saya tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan asupan protein dan zat besi dengan status anemia pada ibu hamil di Desa Naga Timbul Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan asupan protein dan zat besi dengan status asupan protein dan zat besi dengan status anemiapada ibu hamil diDesaNnaga Timbul Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang tahun 2014 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status anemia pada ibu hamil, untuk menganalisis asupan protein (hewani dan nabati) pada ibu hamil dan untuk menganalisisasupan zat besi pada ibu hamil di Desa Naga Timbul Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014. Manfaat penelitian ini adalah menjadi informasi bagi bidan Desa Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Desa Naga Timbul guna meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya penanganan anemia pada ibu hamil dan sebagai bahan dalam membuat kebijakan penanggulangan anemia pada ibu hamil di masa yang akan datang.
2
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain Cross Sectional study.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang bertempat tinggal di Desa Naga Timbul Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014.Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi sebanyak 40 orang ibu hamil. Metode Pengumpulan data dalam penelitiana adalah data primer meliputi data konsumsi makan ibu hamil dengan menggunakan food recall 24 jam, kemudian untuk mengukur hemoglobin ibu hamil dilakukan dengan metode Cyanmethemoglobin menggunakan alat Spektofotometer. Hasil Penelitian dan Pembahasan Distribusi karakteristik ibu hamil berdasarkan usia kehamilan (trimester) di desa Naga Timbul tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1.Distribusi Ibu Hamil Berdasarkan Usia Kehamilan (Trisemester) di Desa Naga Timbul Tahun 2014 Usia kehamilan N (%) (trisemester) I (Pertama) 11 27.5 II (Kedua) 13 32.5 III (Ketiga) 16 40.0 Total 40 100.0
Pada tabel 1dapat diketahui bahwa usia kehamilan ibu yang paling dominan adalah pada trisemester III (ketiga), yaitu sebanyak 16 orang (40.0%), kemudian ibu dengan usia kehamilan kategori trisemester II (kedua), yaitu sebanyak 13 orang (32.5%). Dan paling sedikit adalah ibu dengan usia kehamilan kategori trisemester I (pertama), yaitu sebanyak 11 orang (27.5%). Hal ini disebabkan kebutuhan zat besi pada trisemester II dan III meningkat pesat untuk janin, plasenta dan penambahan volume darah ibu. Kebutuhan zat besi selama trisemester I relatif kecil yaitu 0,8 mg per hari, namun meningkat dengan pesat selama trisemester II dan III sehingga 6,2 mg per
hari. Sebagian dari peningkatan ini dapat dipenuhi oleh simpanan zat besi dan peningkatan aditif.Zat besi yang diserap dari makanan sangat sedikit, maka suplemen zat besi sangat dibutuhkan pada masa kehamilan (DeMaeyer, 1995). Tabel 2. DistribusiAsupan Protein pada Ibu Hamil di Desa Naga Timbul Tahun 2014 Asupan Protein N (%) - Kurang 24 60.0 - Baik 16 40.0 Total 40 100.0
Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa distribusi asupan protein pada ibu hamilyang paling besar adalah kategori kurang, yaitu sebanyak 24 orang (60.0%).Kemudian ibu hamil dengan kategori baik, yaitu sebanyak 16 orang (40.0%). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2008rata-rata kebutuhan proteinperhari untuk wanitadewasa umur 19-49 tahun minimum protein sebesar 50 gram, ditambah untuk ibu hamil 12 gram jadi kebutuhan protein untuk ibu hamil sebesar 62 gramperhari (Supariasa, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil banyak mengkonsumsi ikan kering, tahu/tempe dan sangat sedikit ikan segar atau daging. Mengkonsumsi makanan yang tinggi protein sudah seharusnya diutamakan pada saat hamil, karena protein sangat penting untuk kelangsungan pertumbuhan janin agar sempurna.Untuk mendapatkan penambahan protein saat hamil dapat dilakukan dengan mengkonsumsi makanan sumber protein seperti susu, daging dan ayam tidak berlemak, ikan, telur. Hal lain yang mungkin berkontribusi menyebabkan rendahnya asupan proteinibu hamil adalah rendahnya pendapatan keluarga ibu hamil, rendahnya ketersediaan pangan dan rendahnya pengetahuan ibu hamil tentang bahan makanan yang mengandung protein.Untuk memenuhi kebutuhan protein dan zat besi dihimbau kepada keluarga agar memanfaatkan pekarangan rumah misalnya memelihara ikan, beternak 3
ayam, dan menanam sayuran disekitar rumah. Tabel 3.Distribusi Asupan Zat Besi Pada Ibu Hamil di Desa Naga Timbul Tahun 2014 Asupan Zat Besi - Kurang - Cukup Total
N 29 11 40
(%) 72,5 27,5 100,0
Pada tabel 3 dapat diketahui bahwa distribusi asupan zat besi pada ibu hamil yang paling tinggi adalah kategori kurang, yaitu sebanyak 29 orang (72,5%). Kemudian asupan zat besi pada ibu hamil dengan kategori cukup sebanyak 12 orang (27,5%). Rata-rataasupan zat besi pada ibu hamil yang diperoleh adalah sebesar 16,28 mg, ini belum sesuai dengan rata-rata Angka Kecukupan Gizi untuk wanita hamil umur 19-49 tahun sebesar 26 mg per hari.Konsumsi zat besi padaibu hamil dilihat dari hasil penelitian masih di bawah standar, dimana ibu hamil hanya mengkonsumsi makanan sumber zat besi non hem seperti sayuran, sedangkan untuk makanan sumber zat besi hem hanya 1-2 kali seminggu. Dari hasil wawancara dengan ibu hamil didapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari ibu hamil pada saat istirahat bekerja disawah selalu mengkonsumsi teh dan sanck pada saat yang bersamaan. Kemungkinan akan rendah asupan zat besi pada ibu hamil juga dapat diakibatkan karena tanin yang terdapat dalam teh dikhawatirkan dapat menghambat absorpsi zat besi. Tabel 4.Distribusi Status Anemia Pada Ibu Hamil di Desa Naga Timbul Tahun 2014 Status anemia N (%) - Normal 18 45,0 - Anemia ringan 9 22,5 - Anemia sedang 11 27,5 - Anemiaberat 2 5,0 Total 40 100.0
Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa status anemia pada ibu hamil dengan
kategori anemia sedang adalah 27,5%, dan anemia berat sebanyak (5,0%). Hal ini disebabkan karena kurangnya asaupan zat besi dari makanan sehari, dimana ibu hamil bekerja sebagai petani yang kemungkinan harus menghabiskan waktunya untuk bekerja seharian tanpa memperhatikan makanan yang dikonsumsi terutama zat besi.Dilihat dari rata-rata pendapatan keluarga per bulan ibu hamil juga merupakan kategori miskin dan tingkat pendidikan ibu hamil juga rendah. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa anemia pada ibu hamil sebagian besar karena ibu hamil tidak mengkonsumsi tablet tambah darah secara rutin. Dalam hal ini pemerintah telah mengupayakan pemberian tablet tambah darah secara gratis. Kartamihardja (2008) dalam penelitiannya tentang anemia defisiensi besi menyimpulkan anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh buruknya penyerapan zat besi dalam makanan. Tabel 5. Tabulasi silang Asupan Protein dengan Status Anemia pada Ibu Hamil di Desa Naga Timbul Tahun 2014 Asupan Protein
Kurang Baik Total
Anemia N 20 2 23
% 83,3 12.5 57.5
Status Anemia Tidak Total Anemia N % n % 4 16,7 24 100.0 14 87.5 16 100.0 18 42.5 40 100.0
Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan uji chi Square maka diperoleh hasil dengan nilai p=0,001 (p< 0,005), ada hubungan yang signifikan antara asupan protein pada ibu hamil dengan status anemia karena jika ibu hamil mengkonsumsi makanan yang bervariasi dalam jumlah yang banyak maka status anemia akan baik pula. Hasil penelitian yang dilakukan Tristiyanti (2006), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat protein dengan kadar Hb. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa pangan sumber protein yang dikonsumsi ibu hamil baik yang anemia maupun tidak 4
P 0.001
anemia umumnya merupakan sumber protein nabati. Penelitian lain yang dilakukan Ika Ratna Sari (2012) mengatakan status gizi pada ibu hamil trisemster III sangat mengikat kebutuhan zat besi terpenuhi sehingga tidak terjadi anemia selama kehamilan. Hal ini sesuai dengan teori Notoadmodjo (2010) yang menyatakan rendahnya asupan protein pada ibu hamil berpengaruh pada rendahnya penghasilan keluarga sehingga tidak mampu membeli pangan/makanan yang bergizi sehingga apabila penghasilan keluarga cukup dapat meningkatkan status gizi ibu hamil.
tablet tambah darah pada setiap ibu hamil melalui sarana pelayanan kesehatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan Cardoso dkk (2012) mengenai faktor-faktor yang terkait dengan anemia pada pada ibu hamil di Amazonian, yang menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya anemia pada ibu hamil yaitu kurangnya asupan zat besi yang dikonsumsi. Penelitian lain yang dilakukan Abdul Salam (2013) pada ibu hamil di Kabupaten Gowa menyatakan bahwa sebanyak 50% pola konsumsi merupakan faktor yang dominan pengaruhnya terhadap anemia defisiensi besi pada ibu hamil.
Tabel 6. Tabulasi Silang Asupan Zat Besi dengan Status Anemia pada Ibu Hamil di Desa Naga Timbul Tahun 2014
Tabel 7. Tabulasi Silang Usia Kehamilan dengan Status Anemia pada Ibu Hamil di Desa Naga Timbul Tahun 2014
Asupan Zat Besi
Kurang Cukup Total
Anemia N 19 3 22
% 65,5 27,3 55,0
Status Anemia Tidak Total Anemia N % N % 10 34,5 29 100.0 8 72,7 11 100.0 18 45,0 40 100.0
Usia kehamilan (trisemester) P 0.04
Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan uji chi Square maka diperoleh hasil dengan nilai p=0,04, ada hubungan yang bermakna antara asupan zat besi pada ibu hamildengan status anemia karenaibu hamil yang mengkonsumsi makan dalam jumlah yangbanyakmaka status anemia akan baik pula. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat signifikan hubungan asupan zat besi dengan status anemia bukan berarti asupan zat besi merupakan penyebab terjadinya anemia pada kehamilan. Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan anemia yaitu Jarak kelahiran, usia kehamilan, kurangnya absorbsi diusus dan adanya makanan penghambat penyerapan dalam usus. Untuk mengatasi masalah anemia pada kehamilan, sebenarnya Pemerintah sudah melaksanakan program untuk pencegahan yaitu dengan memberikan
Trisemester I Trisemester II Trisemester III Total
Anemia N 1 8 13 22
% 18,2 65,5 81,8 55,0
Status Anemia Tidak Total Anemia N % n % 10 81,8 11 100,0 5 38,5 13 100,0 3 18,2 16 100,0 18 45,0 40 100,0
Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan uji chi Square maka diperoleh hasil dengan nilaip=0,04, ada hubungan yang bermakna antara usia kehamilan pada ibu hamil dengan status anemia . Hal ini sejalan dengan penelitian I Ketut Labir (2011), mengatakan ibu yang mengalami anemia pada trisemester I beresiko 10,29 kali melahirkan dengan BBLR sedangkan ibu yang mengalami anemia pada trisemester II kehamilan beresiko sebesar 16 kali lebih banyak melahirkan BBLR. Ibu hamil yang terdeteksi mengalami anemia baik di trisemster I, II, dan III kehamilan, lebih sering melakukan ANC sehingga dampak anemia pada kehamilan dapat dicegah.
5
p
0,04
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Asupan protein dan zat besi pada ibu hamil di Desa Naga Timbul masih dalam kategori kurang, dimana asupan protein 60% dan zat besi sebesar 72.5%, terdapat 55% ibu hamil di Desa Naga Timbul mengalami anemia meliputi : anemia ringan 22.5%, anemia sedang 27.5%, dan anemia berat 5%.dan terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan status anemia pada ibu hamil di Desa Naga Timbul Tahun 2014 dan anemia 55% serta asupan zat besi dengan status anemia pada ibu hamil dimana asupan zat besi 72.5% dan anemia 55%. 2. Saran a. Disarankan kepada ibu hamil agar mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD) untuk menyeimbangkan konsumsi zat besi pada saat hamil untuk mencegah perdarahan atau anemia pada saat melahirkan. Bagi petugas kesehatan di Desa Naga Timbul, agar selalu memberikan penyuluhan bagi ibu hamil mengenai pentingnya mengkonsumsi makanan yang mengandung protein dan zat besi yang tinggi dalam masa kehamilan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi ibu hamil agar mengkonsumsi makanan yang beragam dan bergizi untuk meningkatkan status gizi pada janin dan ibu pada saat melahirkan. Daftar Pustaka Cardoso, M, dkk, 2012.Underlying Factors Associated with Anemia in Amazonian: A Population-Based, Cross Sectional Study. Managers: De Maeyer, 1995. Pereventing Controlling Iron Deficiency Anemia Trough Primary Health Care. A for Health Administrator and Programmer. Kartamihardja, E. 2008.Anemia Defisiensi Besi, Vol. 1, No. 2, Juli 2008 (online)(http://fk.uwks.ac.id/archie ve/jurnal/vol1.no2./ (anemia
defisiensi besi.pdf) diakses pada 16 desember 2014. Labir I Ketut, 2011.Anemia Ibu Hamil Trisemester I dan II meningkatkan resiko kejadian berat badan lahir rendah RSUD Wangaya Denpasar, In KESMAS Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Makassar.4 (6).Diakses tanggal 27 Januari 2015. Notoadmodjo, Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: RinekaCipta. Price Sylvia, A dan Wilson Lorraine, M. 2005.Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013). Anemia. Supariasa, IDN, Bakri B, Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Salam, Abdul, 2013. Hubungan Pola Konsumsi dengan Status Anemia Pada Ibu Hamil di Kabupaten Gowa Tahun 2013.In KESMAS Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.4 (6).Diakses tanggal 17 Desember 2014. Suharno D, 1993. Gizi Kerja Pada Masyarakat Kerja Informal dalam Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Tristiyanti, 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Anemia Pada Ibu Hamil di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat S1, Institut Pertanian Bogor, diakses 17 Desember 2014 WHO. 2008. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention And Control. Geneva.
6
HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PERTUMBUHAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH DI SD NEGERI NO.142442 KOTA PADANGSIDIMPUAN 2014 Ade Irma Harahap1 : Evawany Y Aritonang2 : Jumirah3 1 Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Medan, 2015, Indonesia Email :
[email protected] ABSTRACT
The phase of school age is the most important in the next physical formation of kid. Physical qualities reflected from physical growth. Physical growth change will certainly seemed at the time of kid entered the age of school. The purpose of the research is to know the corelation between the food consumption patterns and social economic of the family with the growth of new kid entered the age of school in elementary school padangsidimpuan no.142442. The type of research is descriptive using a cross sectional design. The population is all students in the first class of elementary school padang sidimpuan no.142442 . The sample as many as 54 of students taken with the technique of proportional sample. Data about the consumption of food obtained through interviews directly to students who assisted by their mothers. Data of the height of kid measured with microtoise. The growth of new kid entered school based with z-score height by age. Furthermore, to prove the hypothesis the chi-square test is used. The research showed 51,9 percent had height with short category, 40,7 percent normal and 7,4 percent kids were tall category. The analysis bivariat with chi-square test showing that there are significan relationship between the level of family income(p = 0,037), kinds of food (p = 0,038), the level of energy suffiency (p = 0,027) and the level of zinc suffiency (p = 0,044) with the growth of the new kid enter the school. There was not correlation with the variable of the level of mother’s educational, the level of mother’s occupation, the level of vitamin A sufficiency, the level of iodium sufficiency, the level of calcium sufficiency and the level of iron sufficiency with the growth of the new kid entered the school. It is hoped the mothers provide multiform food being for kids. Additionally, mothers should be pay attention to the level of nutrient sufficiency that will be consumed for a kid. Key words: Food consumption pattern, social economic of the family, the growth of new kid in school. Pendahuluan tampak pada saat anak memasuki usia sekolah, dimana pertumbuhan fisik usia sekolah merupakan refleksi keadaan gizi pada masa bayi dan balita. Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). TBABS dapat merupakan salah satu indikator status gizi dan kesehatan
Masa usia sekolah merupakan masa terpenting dalam pembentukan fisik anak selanjutnya. Oleh karena itu anak usia sekolah perlu mendapat perhatian secara seksama, pembinaan dan pengawasan yang sedini mungkin agar menghasilkan kualitas fisik, mental dan sosial yang baik. Kualitas fisik dapat tercermin dari pertumbuhan fisik, perubahan pertumbuhan fisik akan jelas 1
masyarakat suatu daerah, yang erat pula hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat di daerah yang bersangkutan (Desmita, 2005). Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan. Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh anak pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009). Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang yang berimplikasi pada kondisi pertumbuhan adalah tingkat sosial ekonomi yang terdiri dari pendapatan keluarga, pendidikan dan pekerjaan orang tua serta budaya dan lain-lain (Notoatmodjo, 2007). Menurut Soejtiningsih (2004) pekerjaan atau pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, jumlah saudara, serta budaya mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Salah satu ukuran standar ekonomi keluarga adalah tingkat pendapatan total yang diterima keluarga atau jumlah pengeluaran totalnya, meliputi pengeluaran atas pangan dan non pangan (Suhardjo, 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak adalah faktor genetis, faktor makanan dan keadaan status sosial ekonomi keluarga. Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orangtuanya
dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Faktor makanan berhubungan dengan keseimbangan konsumsi gizi dengan kecukupan gizi dan pola konsumsi pangan anak tersebut. Beberapa faktor gizi yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi badan yaitu kalori, protein, Iodium dan zat gizi mikro seperti vitamin A, zink (zn). Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu dan faktor sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan, pekerjaan serta pendapatan (Baliwati, 2004). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 untuk daerah Sumatera Utara, prevalensi anak yang pendek pada anak umur 6-12 tahun sebesar 43,2% yang terdiri dari 20,6% sangat pendek dan 22,6% pendek. Sedangkan hasil RISKESDAS tahun 2013, prevalensi anak yang pendek pada umur 512 tahun sebesar 40% yang terdiri dari 19,9% sangat pendek dan 20,1%pendek. Berdasarkan survei pendahuluan di SD Negeri No.142442 kota Padangsidimpuan. Survei yang dilakukan kepada 15 murid sebagai data awal menunjukkan 9 orang anak di kategorikan pendek, 2 orang anak tinggi dan 4 orang anak yang tinggi badannya normal, dan rata – rata pekerjaan orangtua murid adalah wiraswasta dan bertani serta rata – rata pendidikan terakhir orangtua siswa adalah SMA, sedangkan untuk penghasilan keluarga ± Rp.1.500.000 perbulan. Maka dengan ini penulis ingin mengetahui hubungan konsumsi pangan dan status sosial ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di SD Negeri NO.142442 Kota Padangsidimpuan Tahun 2014. Untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah dasar di SD Negeri NO.142442 Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.
2
menggunakan proporsional sampel sebanyak 54 siswa. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada ibu murid dan hasil pengukuran antropometri yaitu tinggi badan anak baru masuk sekolah. Data primer tersebut terdiri dari tinggi badan anak, jenis makananan yang dikonsumsi anak, frekuensi makan anak, jumlah zat gizi yang didapat dari makanan, tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, tingkat pendapatan keluarga. Sedangkan data sekunder meliputi data jumlah anak yang bersekolah di SD Negeri No.142442 kota Padangsidimpuan, beserta nama dan alamat anak tersebut yang diperoleh dari kepala sekolah.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif yaitu menggambarkan hubungan pola konsumsi pangan dan status ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah dasar sekaligus menganalisa hubungan variabel-variabel yang diteliti. Desain/rancangan penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang (cross sectional). Penelitian di SD Negeri No.142442 Kota padangsidimpuan ini dilaksanakan pada bulan oktober 2014 sampai dengan desember 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh murid kelas satu SD Negeri No.1424442 Kota Padangsidimpuan yang berjumlah 115 siswa. Teknik pengambilan sampel
Hasil dan Pembahasan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Pertumbuhan Anak. Berdasarkan tabel dibawah ini, memiliki anak kategori pendek yaitu dapat diketahui bahwa ibu yang memiliki sebesar 9 siswa (16,6%). tingkat pengetahuan SD lebih banyak Tabel 1
Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan
Tingkat pendidikan Ibu
1. SD 2. SMP 3. SMA 4. PT
TB/U Pendek
Normal
Tinggi
Total
n 9 8 8 3
n 1 8 9 4
n 2 1 0 1
n 12 17 17 8
% 75,0 47,0 47,0 37,5
% 8,3 47,0 53,0 50,0
Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan pertumbuhan tinggi badan anak baru masuk sekolah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
% 16,7 6,0 0 12,5
P Value % 100 100 100 100
0,189
penelitian yang dilakukan oleh yunida (2005) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak.
Status Pekerjaan ibu dengan Pertumbuhan Anak Berdasarkan tabel dibawah ini, ibu tidak bekerja memiliki anak kategori lebih banyak ibu dengan status pekerjaan pendek yaitu sebanyak 18 siswa (33,3%). Tabel 2
Hubungan Status Pekerjaan ibu Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan
status pekerjaan ibu 1. Bekerja 2. Tdk bekerja
TB/U Pendek n 10 18
% 37,0 66,5
Normal n 15 7
% 55,5 26,0
Tinggi n % 2 7,5 2 7,5
3
Total n 27 27
P Value % 100 100
0,074
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,074 yang memiliki arti p > α, sehingga status pekerjaan ibu tidak berhubungan dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Devi
(2013) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak (BB/U, TB/U dan BB/TB) di TK Salono Pontianak 2013.
Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Pertumbuhan Anak Berdasarkan tabel dibawah ini, memiliki anak kategori pendek yaitu 16 dapat diketahui lebih banyak responden siswa (29,7%) dan normal sebanyak 19 dengan tingkat pendapatan keluarga tinggi siswa (35,1%). Tabel 3 Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan tingkat pendapatan keluarga 1. Rendah 2. Tinggi
Pendek n % 12 66,6 16 44,4
Normal n % 3 16,7 19 52,8
TB/U Tinggi n % 3 16,7 1 2,8
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,037 yang memiliki arti p < α, sehingga tingkat pendapatan
Total n 18 36
p value % 100 100
0,037
keluarga berhubungan dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah.
Hubungan jenis makanan dengan pertumbuhan anak Berdasarkan tabel dibawah ini, beragam dan memiliki tinggi badan dapat diketahui lebih banyak anak kategori pendek sebanyak 25 mengonsumsi jenis makanan tidak siswa(46,3%). Tabel 4
Hubungan Jenis Makan dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan TB/U
Jenis makanan 1. Beragam 2. Tdk beragam
Pendek n % 3 33,3 25 55,5
Normal n % 4 44,4 18 40,8
Tinggi % 22,3 4,5
n 2 2
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,038 yang memiliki arti p < α, artinya bahwa jenis makan
n 9 45
Total % 100 100
P Value 0,038
berhubungan dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah.
Hubungan jumlah zat gizi dengan pertumbuhan anak Tingkat kecukupan enrgi dengan pertumbuhan
Berdasarkan tabel dibawah ini, dapat diketahui sebagian besar anak tingkat kecukupan energi defisit dengan tinggi
badan kategori pendek yaitu sebanyak 24 siswa (44,4%).
Tabel 5 Hubungan Tingkat Kecukupan Energi Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD
Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan tingkat kecukupan energi 1.baik 2. kurang 3. sedang 4. defisit
P Value
TB/U n 1 2 1 24
Pendek % 50,0 66,7 7,7 66,7
n 1 1 11 9
Normal % 50,0 33,3 84,6 23,0
n 0 0 1 3
4
Tinggi % 0 0 7,7 8,3
Total n 2 3 12 36
% 100 100 100 100
0,027
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,027 yang memiliki arti p < α, sehingga energi berhubungan dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nanik
(2005) yang dilakukan pada anak sekolah dasar menyatakan bahwa ada hubungan masukan energi terhadap TB/U anak sekolah dasar, dikarenakan rendahnya masukan kalori/ energi.
Kecukupan protein dengan pertumbuhan Berdasarkan tabel dibawah ini, dapat tinggi badan kategori pendek sebanyak 13 diketahui lebih banyak siswa dengan siswa (24,0). tingkat kecukupan protein baik memiliki Tabel 6 Hubungan Hubungan Tingkat Kecukupan Protein Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan tingkat kecukupan protein 1.baik 2. kurang 3. sedang 4. defisit
P Value
TB/U n 13 7 7 24
Pendek % 43,3 70,0 63,6 33,3
n 14 3 4 1
Normal % 46,7 30,0 36,4 33,3
n 3 0 0 1
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,390 yang memiliki arti p > α, sehingga protein tidak berhubungan dengan tingkat tinggi badan anak baru masuk sekolah.
Tinggi % 10,0 0 0 33,4
n 30 10 11 26
Total % 100 100 100 100
0,390
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Rahayuningtias (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara asupan protein dengan status gizi lebih.
Kecukupan Vitamin A dengan pertumbuhan Berdasarkan tabel dibawah, dapat tinggi badan pendek sebanyak 20 siswa diketahui lebih banyak tingkat kecukupan (37,0%). Vitamin A anak kurang baik memiliki Tabel 7 Hubungan Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin A Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan tingkat kecukupan Vitamin A
TB/U n
1.krg baik 2. baik
20 8
Pendek % 60,6 38,0
n 11 10
Normal % 33,4 47,7
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,239 yang memiliki arti p > α, sehingga vitamin A tidak berhubungan dengan tingkat tinggi badan anak baru masuk sekolah. Hasil
n
Tinggi %
n
2 3
6,0 14,3
33 21
Total % 100 100
P Value
0,239
penelitian sejalan dengan penelitian Muchlisa (2013) yang dilakukan kepada remaja putri menyatakan ada hubungan yang signifikan antara asupan vitamin A dengan status gizi remaja putri.
Kecukupan Iodium dengan Pertumbuhan Anak Berdasarkan tabel dibawah ini, dapat kecukupan Iodiumnya kurang baik yaitu diketahui lebih banyak siswa tingkat sebanyak 26 siswa (48,2%).
5
Tabel 8 Hubungan Hubungan Tingkat Kecukupan Iodium Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan tingkat kecukupan iodium
P Value
TB/U Pendek
1.krg baik 2. baik
Normal
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
26 2
53,0 40,0
19 2
38,8 40,0
4 1
8,2 20,0
49 5
100 100
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,658 yang memiliki arti p > α, sehingga Iodium tidak berhubungan dengan tingkat tinggi badan anak baru masuk sekolah. Hasil
0,658
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amelia (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan anara asupan Iodium dengan status gizi.
Kecukupan Kalsium dengan Pertumbuhan Anak Berdasarkan tabel dibawah ini, memiliki tinggi badan pendek yaitu dapat diketahui lebih banyak siswa sebanyak 25 (46,3%). tingkat kecukupan Kalsium kurang baik Tabel 9
Hubungan Hubungan Tingkat Kecukupan Kalsium Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan
tingkat kecukupan kalsium 1.krg baik 2. baik
P Value
TB/U Pendek n % 25 52,0 3 50,0
n 19 2
Normal % 39,6 33,3
n 4 1
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,795 yang memiliki arti p > α, sehingga kalsium
Tinggi % 8,4 16,7
n 48 6
Total % 100 100
0,795
tidak berhubungan dengan tingkat tinggi badan anak baru masuk sekolah.
Kecukupan Zat Besi dengan Pertumbuhan Anak Berdasarkan tabel dibawah ini, memiliki tinggi badan pendek yaitu dapat diketahui lebih banyak siswa sebanyak 25 siswa (46,3%). tingkat kecukupan zat besi kurang baik Tabel 10 Hubungan Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan tingkat kecukupan zat besi 1.krg baik 2. baik
TB/U n 25 3
Pendek % 51,0 60,0
n 19 2
Normal % 38,8 40,0
n 5 0
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,747 yang memiliki arti p > α, sehingga Zat Besi tidak berhubungan dengan tingkat tinggi badan anak baru masuk sekolah. Hasil
Tinggi % 10,2 0
n 49 5
Total % 100 100
P Value 0,795
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amelia (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan anara asupan Zat Besi dengan status gizi.
6
Kecukupan Seng Dengan Pertumbuhan Anak Berdasarkan tabel dibawah ini, dapat diketahui bahwa tingkat kecukupan Seng siswa kurang baik memiliki tinggi Tabel 11
Hubungan Hubungan Tingkat Kecukupan Seng Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan
tingkat kecukupan seng
1.krg baik 2. baik
badan pendek yaitu sebanyak 17 siswa (31,5%).
TB/U Pendek
Normal
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
17 11
60,7 42,3
11 10
39,3 38,5
0 5
0 19,2
28 26
100 100
P Value 0,044
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,044 yang memiliki arti p < α, sehingga Seng berhubungan dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah. Penelitian ini
seajalan dengan penelitian Nanik (2005) dan Amelia (2013) yang menyatakan bahwa rendahnya asupan seng akan mempengaruhi tinggi badan anak sekolah dasar.
Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan 1. Pertumbuhan abak baru masuk sekolah sebagian besar pendek, ini terjadi disebabkan tidak beragamnya asupoan zat gizi yang dikonsumsi anak. 2. Tingkat kecukupan energi anak defisit karena kurangnya
konsumsi makanan sumber energi seperti nasi. Dan tingktat kecukupan seng anak kurang karena kurangnya konsumsi makanan yang mengandung seng seperti daging, sayuran hijau dan kacang – kacangan.
Saran 1.
Diharapkan agar para ibu menyediakan makanan yang beraneka ragam untuk anak.
2.
Diharapkan agar para ibu memperhatikan tingkat kecukupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi anak .
Baliwati Y.F,2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit Swadaya. Depkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta
Daftar Pustaka Amelia, R. 2013. Hubungan Asupan Energi Dan Zat Gizi Dengan Status Gizi Santri Putri Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Makasar Sulawesi Selatan Tahun 2013. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin Makassar. Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muchlisa. 2013. Hubugan Asupan Zat Gizi Dengan Status Gizi Pada Remaja Putri Di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas 7
Hasanuddin Makasar Tahun 2013. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar Nanik, S. 2005. Hubungan Kadar Seng Serum Dengan Tinggi Badan Anak Sekolah Dasar Penderita GAKY. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 1 April 2005.
Yunida, E. 2005. Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Berat Badan Dan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah Di SD Negeri No.060834 Kota Medan Tahun 2005. Skripsi. Program Studi S1. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Suhardjo. 1986. Pangan Gizi dan Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
8
HUBUNGAN ASUPAN NATRIUM DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI DI UPT PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA BINJAI TAHUN 2014 Enita Rizka Wahyuni Nst1, Arifin Siregar2, Zulhaida Lubis2 1
Mahasiswi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU 2 Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected] ABSTRACT
The excessive sodium intake can increase the blood pressure. Intake sodium will be directly absorbed into blood vessels. This causes sodium level in the blood increases. Sodium has water holding trait, that cause the blood volume increase. Consuming of high sodium continuously causes hypertension. The purpose of this study is to know the relationship of sodium intake with hypertension in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai years 2014. Types of research using a cross-sectional study design. Total population as many as 180 of elderly and uses as a sample 0f 63 elderly. The sampling technique with purposive sampling. Measurements on the incidence of hypertension using a sphygmomanometer is done by nurses. The collecting of data on food consumption of the elderly in panti werdha obtained by food weighing and recording food from outside the panti werdha using a recall. The content of sodium in diet was analyzes using software nutrisurvey. The relationship of sodium intake with the occurrence of hypertension was analyzed by Chi-square test. The results of this study show that sodium intake into more sufficient category (66.7%) did not suffer hypertension and sodium intake into over category (70%) suffer hypertension, and obtained p=0,005 means there is significant relationship between sodium intake with the occurrence of hypertension in the elderly in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai years 2014. From the results of this research suggested nutritionist to more better maintain and supervise the food consumed elderly. It suggested for elderly to limit salt intake and reducing the sodium content of foods high in order to keep blood pressure normal. Keywords: Sodium Intake, Hypertension, Elderly
Pendahuluan Meningkatnya taraf hidup masyarakat dan tuntutan hidup serba cepat terutama di negara maju dan kota-kota besar membawa perubahan pada pola hidup individu. Perubahan tersebut membawa pada perubahan pola makan dan pola penyakit yang ada, terutama pada penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup seseorang.
Pola makan dengan konsumsi tinggi lemak, tinggi protein, tinggi garam tetapi rendah serat membawa konsekuensi terhadap berkembangnya penyakit degeneratif yang salah satunya adalah hipertensi. Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah secara tidak wajar dan terusmenerus karena rusaknya salah satu atau beberapa faktor yang berperan 1
mempertahankan tekanan darah tetap normal (Jain Ritu, 2011). Pada umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Hipertensi ditemukan sebanyak 60-70% pada populasi berusia di atas 65 tahun. Lansia yang berumur di atas 80 tahun sering mengalami hipertensi persisten, dengan tekanan sistolik menetap di atas 160 mmHg. Jenis hipertensi yang khas sering ditemukan pada lansia adalah isolated systolic hypertension (ISH), di mana tekanan sistoliknya saja yang tinggi ≥140 mmHg namun tekanan diastolik tetap normal < 90 mmHg (JNC VII, 2003). Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH), terdapat 600 juta penderita hipertensi diseluruh dunia, dan 3 juta diantaranya meninggal setiap tahunnya (Rahajeng dan Tuminah). Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7 % atau 1 dari 3 orang dewasa mengalami hipertensi, sebanyak 76,1% tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi. Prevalensi hipertensi diperkirakan akan terus meningkat, dan diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29% orang dewasa di seluruh dunia menderita hipertensi (Depkes, 2013). Hasil Riskesdas 2007 menunjukan bahwa prevalensi hipertensi di Sumatera Utara yaitu sebesar 26,3% (Depkes, 2007). Sedangkan menurut hasil Riskesdas 2013 prevalensi hipertensi di Sumatera Utara sebesar 24,7%. Dan prevalensi hipertensi berdasarkan umur untuk usia 55-64 tahun sebesar 45,9%, 65-74 tahun sebesar 57,6% sedangkan untuk usia lebih dari 75 tahun memiliki resiko sebesar 63,8%. (Depkes, 2013). Berkembangnya hipertensi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain, kelebihan berat badan, kurang berolahraga, mengkonsumsi makanan yang berkadar garam tinggi, kurang mengkonsumsi buah dan sayuran segar, dan terlalu banyak minum alkohol (Palmer, 2005). Dalam kenyataannya, konsumsi garam masyarakat Indonesia masih
terbilang tinggi, yaitu tiga kali lebih besar dari angka anjuran maksimal 6 gram perhari. Itulah salah satu penyebab angka hipertensi di Indonesia meningkat setiap tahunnya (Khasanah, 2012). Menurut muchtady dkk dalam Siagian (1999), konsumsi garam yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan ion-ion dalam cairan tubuh. Dalam menjaga proses keseimbangan ion-ion dalam cairan tubuh, perbandingan antara kalium dan natrium harus 1:1 untuk mencegah terjadinya hipertensi. Hasil Penelitian Mulyati dkk, (2011), menunjukan mengkonsumsi Natrium dalam jumlah yang tinggi adalah 5,6 kali lebih besar terkena hipertensi dibandingkan dengan yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah yang rendah. Natrium memiliki hubungan yang sebanding dengan timbulnya hipertensi. Semakin banyak jumlah natrium di dalam tubuh, maka akan terjadi peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Meskipun demikian, reaksi seseorang terhadap jumlah natrium di dalam tubuh berbeda-beda. Hasil penelitian Mamoto fifi dkk, (2013), terdapat hubungan yang bermakna antara asupan natrium dengan kejadian hipertensi di Puskesmas Tumaratas uji hubungan ini menunjukan OR sebesar 4,063, ini berarti bahwa responden yang mengkonsumsi asupan natrium lebih memiliki peluang 4,063 kali lebih besar menderita hipertensi dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi natrium cukup. Mengkonsumsi makanan yang tinggi natrium dapat meningkatkan tekanan darah. Natrium yang masuk ke dalam tubuh akan langsung diserap ke dalam pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kadar natrium dalam darah meningkat. Natrium mempunyai sifat menahan air, sehingga menyebabkan volume darah menjadi naik. Mengkonsumsi natrium secara terusmenerus dapat menyebabkan hipertensi
2
hingga komplikasi seperti stroke, gagal jantung, kerusakan ginjal dan angina. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan asupan natrium dengan kejadian hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai”. Tujuan penelitian ini adalah Menganalisis hubungan antara asupan natrium dengan kejadian hipertensi pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis rancangan penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di UPT Pelayanan Sosial Usia Lanjut (Panti Werdha) Binjai pada bulan November 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah 180 orang dan yang dijadikan sampel sebanyak 63 orang. Data primer meliputi karakteristik lansia, asupan natrium, dan kejadian hipertensi. Data karakteristik lansia meliputi umur, jenis kelamin, suku, dan riwayat penyakit diperoleh melalui wawancara dengan responden dengan bantuan formulir isian data penelitian. Data asupan natrium diperoleh dari makanan. Data asupan antrium lansia diperoleh dari makanan yang dikonsumsi lansia selama satu hari. Makanan yang dikonsumsi dari dapur diperoleh denngan penimbangan berat makanan yang dikonsumsi lansia. Penimbangan makanan dilakukan untuk makan pagi, siang dan malam hari. Kemudian dicatat kedalam formulir food weighing. Sedangkan makanan selingan yang dikonsumsi lansia dari luar panti diperoleh dengan melakukan recall dalam setiap kali penimbangan. Kemudian makanan yang dikonsumsi lanjut usia dianalisis dengan menggunakan software nutrisurvey versi Indonesia untuk mengatahui asupan natrium lanjut usia selama satu hari. Pengukuran asupan natrium lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai dilakukan selama dua hari tidak
berturutData kejadian hipertensi diperoleh melalui pemeriksaan tekanan darah pada lansia dengan menggunakan alat tensimeter. Hasil Penelitian dan Pembahasan Distribusi karakteristik lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1.Karakteristik Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2014. No 1.
2.
3.
4.
Karakteristik Lansia Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Umur (tahun) 55-64 60-74 ≥75 Total Suku Batak Jawa Padang Aceh Total Riwayat Penyakit Tidak ada Hipertensi Rematik Diabetes Maag TB Paru Total
n
%
31 32 63
49,2 50,8 100,0
11 33 19 63
17,5 52,4 30,2 100,0
31 25 5 2 63
49,2 39,7 7,9 3,2 100,0
13 30 9 2 6 3 63
20,6 47,6 14,3 3,2 9,5 4,8 100,0
Pada tabel 1 diatas diketahui bahwa jenis kelamin lansia paling dominan adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 32 orang (50,8%). Umur lansia yang paling dominan pada penelitian ini adalah lansia yang berumur 65-74 tahun, yaitu sebanyak 33 orang (52,4%). Suku lansia paling dominan adalah lansia yang bersuku batak, yaitu sebanyak 31 orang (49,2%). Riwayat penyakit lansia paling dominan 3
adalah lansia yang menderita hipertensi sebanyak 30 orang (47,6%). Tabel 2. Distribusi Kejadian Hipertensi Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2014 Kejadian Hipertensi Tidak Hipertensi Hipertensi Total
n
%
31 32 63
49,2 50,8 100,0
Pada tabel 2 diatas diketahui bahwa lansia dalam penelitian ini yang memiliki kejadian hipertensi dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg sebanyak 32 orang (50,8%). Dan tidak hipertensi dengan tekanan darah <140/90 mmHg sebanyak 31 orang (49,2%). Tabel 3. Distribusi Asupan Natrium Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2014 Asupan Natrium Cukup Lebih Total
n
%
33 30 63
52,4 47,6 100,0
Pada tabel 3 diatas diketahui bahwa lansia dengan asupan natrium dalam kategori cukup (<2400 mgNa) sebanyak 33 orang (52,4%) dan lansia dengan asupan natrium dalam kategori lebih (>2400 mgNa) sebanyak 30 orang (47,6%).
Tabel 4. Tabulasi Silang Jenis Kelamin dengan Kejadian Hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2014 Kejadian Hipertensi Jenis Kelamin
Laki-laki Perempu an
Tidak Hipertens i
Hipertensi
Total
n
%
n
%
n
%
11
35,5
20
64,5
31
100,0
20
62,5
12
37,5
32
100,0
p
0,045
Pada tabel 4 diatas diketahui bahwa jenis kelamin laki-laki dan wanita memiliki persentase yang sama terhadap kejadian hipertensi. Akan tetapi jenis kelamin laki-laki 64,5% cenderung menderita hipertensi. Hasil tabulasi silang antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi didapat nilai p sebesar 0,045 (p<0,05) artinya jenis kelamin berhubungan dengan kejadian hipertensi. Hal ini disebabkan karena gaya hidup lansia laki-laki yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kejadian hipertensi, seperti kebiasaan merokok pada kebanyakan lansia yang berjenis kelamin laki-laki, stress, konsumsi kopi, dan makan tidak terkontrol. Menurut Irza (2009) pada dasarnya prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Pada wanita premenopouse wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormone estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini akan terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita 45-55 tahun. Oleh karena itu ketika wanita sudah monopuse akan sama beresikonya untuk terkena penyakit hipertensi dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Napitupulu (2014), di menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan hipertensi dengan nilai p=0,001 (<0,05) artinya terdapat hubungan yang 4
bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Dan nilai OR 2,043 artinya jenis kelamin laki-laki lebih beresiko 2.043 kali lebih beresiko terkena hipertensi dibanding kan jenis kelamin perempuan.
Tabel
6.
Tabulasi Silang Asupan Natrium dengan Kejadian Hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2014 Status Hipertensi
Tabel 5. Tabulasi Silang Umur dengan Kejadian Hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2014 Kejadian Hipertensi Umur (thn) 55-64 65-74 ≥75
Tidak Hipertensi
Hipertensi
n
%
n
%
n
%
6 14 11
54,5 42,4 57,9
5 19 8
45,5 57,6 42,1
11 33 19
100,0 100,0 100,0
Total
p
0,520
Pada tabel 5 diatas diketahui bahwa kejadian hipertensi pada lansia memiliki rentang umur yang sama yaitu 65-74 tahun. Hasil tabulasi silang antara umur dengan kejadian hipertensi didapat nilai p sebesar 0,520 (p>0,05) artinya umur tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi. Menurut Rahayu (2012) peningkatan kejadian hipertensi yang dipengaruhi oleh bertambahnya umur terjadi secara alami sebagai proses menua dan didukung oleh beberapa faktor eksternal. Hal ini berkaitan dengan perubahan struktur dan fungsi kardiovaskular. Seiring dengan bertambahya umur, dinding vertrikel kiri dan katub jantung menebal serta elastisitas pembuluh darah menurun. Atherosclorosis meningkat, terutama pada individu dengan gaya hidup tidak sehat. Kondisi inilah yang menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik berdampak pada peningkatan tekanan darah. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth (2011) tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian hipertensi pada kelompok umur > 60 tahun dengan nilai p 0,570 (>0,05).
Asupan Natrium
Cukup Lebih
Tidak Hipertensi
Hipertensi
n
%
n
%
n
%
6 9
54,5 30,0
5 21
45,5 70,0
11 32
100,0 100,0
Total
p
0,005
Pada tabel 6 diatas diketahui bahwa asupan natrium lansia baik dalam kategori cukup dan lebih memiliki persentase yang hampir sama terhadap kejadian hipertensi. Dengan rata-rata asupan natrium lansia sebesar 1856,42 mgNa . Asupan natrium lebih 70% cenderung menyebabkan hipertensi. Hasil tabulasi silang antara asupan natrium dengan kejadian hipertensi didapat nilai p sebesar 0,005 (p<0,05) artinya asupan natrium memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi. Untuk mengukur asupan natrium didalam tubuh terhadap kejadian hipertensi dilakukan pemeriksaan tekanan darah. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan pada waktu sore hari. Karena ketika sore hari lanjut usia sudah beristirahat disetiap wisma masing-masing. Sehingga pemeriksaan tekanan darah menjadi lebih optimal. Rata-rata tekanan darah lansia yaitu 140/90 mmHg atau disebut juga hipertensi tingkat ringan. Untuk mengetahui asupan natrium lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2014 dilakukan penimbangan makanan pagi, siang dan malam hari. Penimbangan makanan dilakukan selama dua hari tidak berturut. Sedangkan untuk makanan selingan yang dikonsumsi lansia dari luar panti dilakukan recall kepada lansia dengan menanyakan makanan apa saja yang dikonsumsi lansia setiap kali penimbangan makanan. Asupan natrium yang berlebih menyebabkan hipertensi dikarenakan lansia menambah garam ke dalam 5
makanan dan membeli makanan dari luar panti atau memasak makanan sendiri. Hal ini disebabkan karena tidak cukupnya atau kurang selera makan lansia terhadap makanan yang diberikan oleh panti. Panti membuat siklus menu 7 harian yang menyebabkan lansia bosan dengan menu yang sama setiap minggunya. Makanan selingan seperti buah-buahan juga dibagikan kepada lansia setiap seminggu sekali. Adapun jenis makanan yang tinggi akan kandungan natrium yang dikonsumsi oleh lansia yang disediakan dari panti adalah ikan teri, susu, sayur sawi, tahu, tempe, nasi goreng, indomi dan garam. Makanan yang dikonsumsi lansia dari luar panti yang tinggi akan kandungan natriumnya adalah gorengan, lontong, nasi gurih, roti coklat, keripik. Asupan natrium yang berlebih namun tidak menyebabkan hipertensi pada lansia hal ini disebabkan karena lansia tersebut lebih banyak melakukan aktifitas fisik sehingga cenderung menurunkan tekanan darahnya. Asupan natrium yang cukup namun menyebabkan hipertensi pada lansia hal ini disebabkan karena pada dasarnya lansia sudah memiliki riwayat penyakit hipertensi. Asupan natrium yang dianjurkan untuk penderita hipertensi yaitu <1200 mgNa. Akan tetapi asupan natrium lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai yang penderita hipertensi selalu ≥1200 mgNa sehingga menyebabkan tekanan darah penderita selalu diatas 140/90 mmHg. Asupan natrium yang terus-menerus tinggi menyebabkan tekanan darah juga ikut tinggi. Dan jika tekanan darah terusmenerus tinggi menyebabkan terjadinya hipertensi dan dapat memicu terjadinya komplikasi pada lansia seperti gagal jantung, perdarahan otak, kerusakan pada retina mata, gagal ginjal dan angina. Adapun yang menyebabkan panti tidak mampu untuk membedakan menu antara penyakit tertentu disebabkan karena kurangnya anggaran dari pemerintah sehingga diet yang disajikan tidak optimal.
Pengaruh asupan natrium terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium didalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya, cairan intraseluler ditarik keluar, sehingga cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya cairan ekstraseluler tersebut meningkatkan volume darah. Disamping itu, konsumsi garam dalam jumlah yang tinggi dapat mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang semangkin sempit akibatnya dapat menyebabkan hipertensi (Anggraini, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mamoto,dkk (2013) di Puskesmas Tumaratas Kecamatan Langowan Barat Kabupaten Minahasa menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan natrium dengan kejadian hipertensi dengan nilai p 0,003 (nilai <0,05). Dengan nilai OR 4,063 artinya asupan natrium lebih dari 2400 mgNa lebih beresiko 4,063 kali lebih beresiko terkena hipertensi dibandingkan asupan natrium kurang dari 2400 mgNa. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Syarifuddin (2012), dari 100 lansia hanya 21 orang yang asupan natriumnya lebih sehingga didapatkan nilai p dari uji chi-square 1,000 artinya tidak terdapat hubungan antara lansia yang mengkonsumsi asupan natrium lebih dengan kejadian hipertensi. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Lansia yang berada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai ada 50,8% yang menderita hipertensi, lebih banyak terjadi pada lansia yang berjenis kelamin laki-laki (64,5% ) dengan rentang umur 65-74 tahun sebesar (57,6%).
6
b. Asupan natrium lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai dengan kategori lebih sebesar 70% yang mengalami hipertensi. Ada hubungan yang signifikan antara asupan natrium dengan kejadian hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2014 2. Saran a. Diharapkan ahli gizi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai lebih menjaga dan mengawasi makanan yang dikonsumsi lansia dengan melakukan pemantauan kesetiap wisma lansia. b. Diharapkan kepada lanjut usia untuk membatasi asupan garam dan mengurangi makanan tinggi kandungan natriumnya agar tekanan darah tetap normal. Daftar Pustaka Chobanian. 2003. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Jurnal The JNC 7 Report. Diakses tanggal 05 Agustus 2014. Departemen Kesehatan RI. 2013. Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. Elisabeth, Margareth. 2012. Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat Pematang Siantar. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Irza, Sukraini 2009. Analisis Faktor Resiko Hipertensi pada Masyarakat Nagari BungoTanjung Sumatera Barat 2009. Skripsi. Universitas
Sumatera Utara Diakses tanggal 03 Desember 2014. Napitupulu, Susi. 2014. Faktor-Faktor yang Behubungan dengan Hipertensi Pada Lansia Usia Pertengahan di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Diakses tanggal 20 Desember 2014 Palmer, Anna, Bryan William, Elizabeth Yasmine, Rina Astikawati, dan Amalia Safitri. 2005. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Rahayu, Hesti. 2012. Faktor Resiko Hipertensi Pada Masyarakat RW 01 Srengseng Sawah Kecmatan Jagakarsa Kota Jakarta Selatan. Skripsi. Universitas Indonesia. Diakses tanggal 03 Desember 2014. Riskesdas. 2007. Laporan Nasional Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Mamoto, Fifi; Grace D. Kandou; dan Victor D. Pijoh. 2013. Hubungan Antara Asupan Natrium dan Obesitas dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien Poliklinik Umum Di Puskesmas Tumaratas Kecamatan Langowan Barat Kabupaten Minahasa. Diakses tanggal 05 Agustus 2014. Mulyati; Aminuddin; dan Syaifuddin. 2011. Hubungan Pola Konsumsi Natrium dan Kalium Serta Aktifitas Fisik Dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makasar. Jurnal Media Gizi Masyarakat Indonesia. Diakses tanggal 03 Agustus 2014.
7
FAKTOR RISIKO KEJADIAN PERSALINAN PREMATUR DI RSUD DR. PIRNGADI KOTA MEDAN TAHUN 2010-2013 Fransiska1, Sori Muda2, Rasmaliah2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
ABSTRACT Preterm birth is the birth of a baby of less than 37 weeks gestational age (between 2037 weeks). Preterm birth is the leading cause of newborn and the second leading cause of death after pneumonia in children under five years. According to the WHO (World Health Organization), every year, an estimated 15 million babies are born preterm, and this number is rising. This study aimed to determine the risk factors of preterm birth at Pirngadi General Hospital Medan in 2012-2013. This is an observational study with case control methode. Sample consisted of 50 women with preterm birth ( cases) and 50 women with aterm birth (control). The variables analyzed are education, employment, parity, history of abortion, pregnancy spacing, completeness of ANC (antenatal care), anemia, hypertension, and nutritional status. Data was analyzed with bivariate analysis by using the chi-square. The result showed that significant risk factors for preterm birth were history of abortion (OR=3,5; 95% CI:1,152-10,633), pregnancy spacing (OR=6,7; 95% CI:1,416-32,367), anemia (OR=4,9; 95% CI:1,503-16,157), nutritional status (OR=7,9; 95% CI:0,943-67,456). Education, employment, parity, frequency of antenatal care, and hypertension were not significant risk factors for preterm birth. Health care workers are expected to improve counseling for pregnant women about the importance of prenatal and to provide antenatal care services according to the standard. Pregnant women should be expected to know the risks of preterm factors as early as possible to prevent and reduce the incidence of preterm birth. Pirngadi General Hospital Pirngadi expected to make the complete and correct recording and reporting. Keywords :Preterm Birth, Risk Factors, Pirngadi General Hospital Medan Pendahuluan Upaya untuk memperbaiki kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak telah menjadi prioritas utama dari pemerintah, bahkan sebelum Millenium Development Goal's 2015 ditetapkan. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator utama derajat kesehatan suatu negara. AKB menjadi indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak karena merupakan cerminan dari status kesehatan anak.1,2
Pada tahun 2012 AKB di Amerika adalah 6 per 1.000 kelahiran hidup (KH), Inggris 4 per 1.000 KH, Australia 4 per 1.000, Jerman 3 per 1.000 KH, dan Jepang 2 per 1.000 KH.3 AKB di negara-negara ASEAN tahun 2007 terendah adalah Singapura yaitu 3 per 1.000 KH, Brunei Darussalam 7 per 1.000 KH, Malaysia 9 per 1.000 KH, Thailand 16 per 1.000 KH, Vietnam 16 per 1.000 KH, Filipina 25 per 1.000 KH, Kamboja 67 per 1.000 KH,
Myanmar 75 per 1.000 KH, dan Laos 70 per 1.000 KH.4 Sebagai perbandingannya, AKB di Indonesia walaupun masih jauh dari angka target MDGs yaitu AKB tahun 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup tetapi berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tercatat mengalami penurunan yaitu dari sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 menjadi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, dan terakhir menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup tahun 2012. Namun angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tetap tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Angka Kematian Neonatal (AKN) di Indonesia tahun 2012 sebesar 19/1.000 KH. Kematian neonatal menyumbang lebih dari setengahnya kematian bayi (59,4%), sedangkan jika dibandingkan dengan angka kematian balita, kematian neonatal menyumbang (47,5%).5 Menurut laporan WHO setiap tahunnya diperkirakan 15 juta bayi lahir prematur dan jumlah ini terus meningkat. Lebih dari 1 juta bayi meninggal setiap tahun akibat komplikasi kelahiran prematur. Kelahiran prematur merupakan penyebab utama kematian neonatal dan penyebab utama kedua kematian setelah pneumonia pada anak di bawah lima tahun. Lebih dari 60% dari kelahiran prematur berada di negara berpenghasilan rendah yaitu dari Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan. Tetapi kelahiran prematur juga masalah bagi beberapa negara berpenghasilan tinggi, termasuk Amerika Serikat dan Brazil.7 Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kejadian persalinan prematur telah meningkat dari 9,5% dari tahun 1980, 11% pada tahun 2000 menjadi 11,55% pada tahun 2012.8 Angka kelahiran prematur di Inggris pada tahun 2009 yaitu 7,9%, tahun 2010 7,1%, dan 7,2% pada tahun 2011.9 Berdasarkan perkiraan prevalensi dilaporkan sepuluh negara dengan angka persalinan prematur tertinggi pada tahun 2010 yaitu Malawi 18,1%,
Comoros 16,7%, Kongo 16.7%, Zimbabwe 16,6%, Equatorial Guinea 16,5%, Mozambik 16,4%, Gabon 16.3%, Pakistan 15,8%, Indonesia 15,5%, dan Mauritania 15,4%.10 Angka kejadian persalinan prematur di Indonesia belum dapat dipastikan, namun berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2013 proporsi BBLR mencapai 10,2%, meskipun angka BBLR tidak mutlak mewakili angka kejadian persalinan prematur.11 Di Rumah Sakit Santa Elisabet Medan pada tahun 2004 – 2008 angka kelahiran prematur sebanyak 211 dari 2502 persalinan (proporsi 8,4%).12 Bayi kurang bulan, terutama dengan usia kehamilan <32 minggu, mempunyai risiko kematian 70 kali lebih tinggi karena kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim akibat ketidakmatangan sistem organ tubuh seperti paru, jantung, ginjal, dan hati.13 Janin atau bayi baru lahir yang beratnya jauh di bawah normal mempunyai risiko yang meningkat untuk mati, atau bila dia mampu hidup mempunyai risiko untuk mendapat gangguan fisik maupun intelektual.14 Usia kehamilan dan berat badan lahir rendah adalah faktor risiko utama bagi kematian neonatal. Bayi prematur, karena tumbuh kembang organ vitalnya, menyebabkan ia masih belum mampu untuk hidup di luar kandungan sehingga sering mengalami kegagalan adaptasi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.15 RSUD Dr. Pirngadi merupakan rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah kota Medan, dan merupakan rumah sakit rujukan bagi masyarakat Kota Medan. Hasil survey pendahuluan di RSUD Dr. Pirngadi Medan diperoleh jumlah ibu bersalin yang mengalami persalinan prematur pada tahun 2013-2014 sebanyak 55 persalinan. Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor risiko kejadian prematur di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Perumusan Masalah Belum diketahui faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian prematur pada ibu di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2012-2013. Tujuan Penelitian Mengetahui faktor risiko kejadian prematur pada ibu di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2012-2013. Manfaat Penelitian Memberikan tambahan referensi tentang faktor risiko kejadian prematur pada ibu bersalin, serta sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan metodologi penelitian, memberikan masukan untuk materi perkuliahan dan dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan persalinan prematur, serta menambah pengetahuan masyarakat tentang faktor risiko persalinan prematur. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi kasus kontrol. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober tahun 2014. Populasi adalah seluruh ibu bersalin dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi tahun 2012-2013. Sampel adalah ibu bersalin dirawat inap. Penghitungan besar sampel ditentukan dengan memperhatikan Odds Ratio (OR) hasil beberapa penelitian sebelumnya. Dengan perbandingan kasus kontrol adalah 1:1 maka jumlah sampel dalam masing-masing kelompok adalah 50. Sampel dalam penelitian ini melakukan matching umur. Pengambilan sampel pada penelitian ini ditentukan secara purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sumber data yang adalah data sekunder yang diperoleh dari bagian rekam medik RSUD Dr. Pirngadi Medan. Data univariat dianalisis secara deskriptif dan data bivariat dianalisis
dengan Chi-Square dan perhitungan Odd Ratio (OR). Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Faktor Risiko Pada Ibu Yang Memiliki Bayi Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012-2013 No 1
2
3
Karakteristik Pendidikan Rendah Tinggi Total Pekerjaan Bekerja IRT Total Paritas Paritas >1
4
5
Paritas ≤1 Total Riwayat Abortus Ada Tidak ada Total Jarak Kehamilan (tahun) <2 ≥2 Total
6
7
8
9
Antenatal Care Tidak Lengkap Lengkap Total Kadar Hb Anemia Tidak Anemia Total Tekanan Darah Hipertensi Tidak Hipertensi Total Status Gizi Tidak Baik Baik Total
Kasus
Kontrol
n
%
n
%
12 38 50
24 76 100
15 35 50
30 70 100
11 39
22 78
10 40
20 80
50
100
50
100
20 30
40 60
29 21
58 42
50
100
50
100
14 36 50
28 72 100
5 45 50
10 90 100
11 39
22 78
2 48
4 96
50
100
50
100
36 14 50
72 28 100
33 17 50
66 34 100
15 35 50
30 70 100
4 46 50
8 92 100
4 46 50
8 92 100
2 48 50
4 96 100
7 43 50
14 86 100
1 49 50
2 98 100
Dari tabel 1 diketahui bahwa dari 50 kasus ibu yang melahirkan prematur, proporsi yang lebih besar terjadi pada ibu yang memiliki pendidikan tinggi sebanyak 38 orang (76%) dan pendidikan rendah sebanyak 12 orang (24%). Pada kontrol terdapat ibu yang memiliki pendidikan tinggi sebanyak 35 orang (70%) dan pendidikan rendah sebanyak 15 orang (30%). Pada kasus terdapat 39 orang (78%) yang tidak bekerja (IRT) dan 11
orang (22%) bekerja. Pada kontrol terdapat ibu yang tidak bekerja (IRT) 40 orang (80%) dan yang bekerja sebanyak 10 orang (20%). Ibu yang memiliki paritas kurang dari atau sama dengan satu pada kelompok kasus sebanyak 30 orang (60%) dan paritas lebih dari satu sebanyak 20 orang (40%). Sedangkan pada kelompok kontrol, ibu yang memiliki paritas lebih dari satu sebanyak 29 orang (58%) dan paritas kurang dari atau sama dengan satu sebanyak 21 orang (42%). Pada kasus terdapat 36 orang (72%) yang tidak memiliki riwayat abortus dan 14 orang (28%) memiliki riwayat abotus. Pada kontrol terdapat 45 orang (90%) yang tidak memiliki riwayat abortus dan 5 orang (10%) memiliki riwayat abotus. Pada kasus terdapat 39 orang (78%) yang memiliki jarak kehamilan 2 tahun atau lebih dan 11 orang (22%) memiliki jarak kehamilan kurang dari dua tahun. Pada kontrol terdapat 48 orang (96%) yang memiliki jarak kehamilan 2 tahun atau lebih dan 2 orang (4%) memiliki jarak kehamilan kurang dari dua tahun. Ibu yang melakukan antenatal care (ANC) tidak lengkap pada kelompok kasus sebanyak 36 orang (72%) dan 14 orang (28%) melakukan ANC lengkap. Sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang melakukan ANC lengkap sebanyak 28 orang 17 orang (34%) dan yang melakukan ANC tidak lengkap sebanyak 14 orang (28%). Ibu yang tidak anemia pada kelompok kasus sebanyak 35 orang (70%) dan ibu yang anemia sebanyak 15 orang (30%). Sedangkan pada kelompok kontrol, ibu tidak anemia sebanyak 46 orang (92%) dan ibu yang anemia 4 orang (8%). Ibu yang tidak hipertensi pada kelompok kasus sebanyak 46 orang (92%) dan ibu yang hipertensi sebanyak 4 orang (8%). Sedangkan pada kelompok kontrol, ibu tidak hipertensi sebanyak 48 orang (96%) dan ibu yang hipetensi 2 orang (4%).
Pada kasus terdapat 43 orang (86%) yang memiliki status gizi baik dan 7 orang (14%) status gizi tidak baik. Pada kontrol terdapat 49 orang (98%) yang memiliki status gizi baik dan 1 orang (2%) dengan status gizi tidak baik. Tabel 2. Hasil Analisis Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Pendidikan Kasus Kontrol Pendidikan Rendah Pendidikan Tinggi Total p =0,499 OR =0,737 95% CI =0,333-1,789
n 12 38 50
% 24 76 100
n 15 35 50
% 30 70 100
Berdasarkan tabel 2 pada kasus terdapat 38 orang (76%) memiliki pendidikan tinggi dan pendidikan rendah sebanyak 12 orang (24%). Pada kontrol terdapat ibu yang memiliki pendidikan tinggi sebanyak 35 orang (70%) dan pendidikan rendah sebanyak 15 orang (30%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,499 (p>0,05) berati tidak ada pengaruh yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian persalinan prematur. Tabel 3. Hasil Analisis Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Pekerjaan Kasus Kontrol n % n % Bekerja 11 22 10 20 IRT 39 78 40 80 Total 50 100 50 100 p =0,806 OR =1,128 95% CI =0,431-2,956
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 3 proporsi kasus yang bekerja adalah 11 orang (22%) dan kontrol 10 orang (20%). Sedangkan yang tidak bekerja pada kasus sebanyak 39 orang (78%) dan kontrol 40 orang (80%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,806 (p>0,05) berati tidak ada pengaruh yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian persalinan prematur.
Tabel 4. Hasil Analisis Pengaruh Paritas Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Paritas Kasus Kontrol n % n % Paritas >1 20 40 29 58 Paritas ≤1 30 60 21 42 Total 50 100 50 100 p =0,072 OR =0,483 95% CI =0,218-1,071
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 4 proporsi kasus yang memiliki paritas lebih dari satu adalah 20 orang (40%) dan kontrol 29 orang (58%). Sedangkan yang memiliki paritas kurang atau sama dengan satu pada kasus sebanyak 30 orang (60%) dan kontrol 21 orang (42%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,072 (p>0,05) berati tidak ada pengaruh yang bermakna antara paritas dengan kejadian persalinan prematur. Tabel 5. Hasil Analisis Pengaruh Riwayat Abortus Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Riwayat Abortus Kasus Kontrol Ada Tidak ada Total p =0,022 OR =3,500 95% CI =1,152-10,633
n 14 36 50
% 28 72 100
n 5 45 50
% 10 90 100
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 5 proporsi kasus yang memiliki riwayat abortus adalah 14 orang (28%) dan kontrol 5 orang (10%). Sedangkan kasus yang tidak memiliki riwayat abortus sebanyak 36 orang (72%) dan kontrol 45 orang (90%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,022 berati ada pengaruh yang bermakna antara riwayat abortus dengan kejadian persalinan prematur. Nilai OR=3,500 menunjukkan ibu yang mengalami persalinan prematur memiliki peluang 3,5 kali memiliki riwayat abortus dibandingkan dengan ibu yang mengalami persalinan matur.
Tabel 6. Hasil Analisis Pengaruh Jarak Kehamilan Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Jarak Kehamilan Kasus Kontrol
< 2 tahun ≥2 tahun Total p =0,007 OR =6,769 95% CI =1,416-32,367
n 11 39 50
% 22 78 100
n 2 48 50
% 4 96 100
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 6 proporsi kasus yang memiliki jarak kehamilan kurang dari dua tahun adalah 11 orang (22%) dan kontrol 2 orang (4%). Sedangkan kasus yang memiliki jarak kehamilan dua tahun atau lebih sebanyak 39 orang (78%) dan kontrol 48 orang (96%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,007 berati ada pengaruh yang bermakna antara jarak kehamilan dengan kejadian persalinan prematur. Nilai OR=6,769 menunjukkan ibu yang mengalami persalinan prematur memiliki peluang 6,7 kali memiliki jarak kehamilan kurang dari dua tahun dibandingkan dengan ibu yang mengalami persalinan matur. Tabel 7. Hasil Analisis Pengaruh Kelengkapan ANC Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Kelengkapan ANC Kasus Kontrol Tidak Lengkap Lengkap Total p =0,517 OR =1,329 95% CI =0,566 - 3,101
n 36 14 50
% 72 28 100
n 33 17 50
% 66 34 100
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 7 proporsi kasus yang kunjungan ANC tidak lengkap sebanyak 36 orang (72%) dan kontrol 33 orang (66%). Sedangkan kasus yang melakukan ANC lengkap sebanyak 14 orang (28%) dan kontrol 17 orang (34%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,517 berati tidak ada pengaruh yang bermakna antara kunjungan ANC dengan kejadian persalinan prematur.
Tabel 8. Hasil Analisis Pengaruh Anemia Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Kadar Hb Kasus Kontrol
Anemia Tidak Anemia Total p =0,005 OR =4,929 95% CI =1,503-16,157
n 15 35 50
% 30 70 100
n 4 46 50
% 8 92 100
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 8 proporsi kasus yang anemia adalah 15 orang (30%) dan kontrol 4 orang (8%). Sedangkan kasus yang tidak anemia sebanyak 35 orang (70%) dan kontrol 46 orang (92%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,005 berati ada pengaruh yang bermakna antara anemia dengan kejadian persalinan prematur. Nilai OR=4,929 menunjukkan ibu yang mengalami persalinan prematur memiliki peluang 4,9 kali anemia dibandingkan dengan ibu yang mengalami persalinan matur. Tabel 9. Hasil Analisis Pengaruh Hipertensi Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Tekanan Darah Kasus Kontrol
Hiperetensi Tidak Hipertensi Total p =0,400 OR =2,087 95% CI =0,365-11,948
n 4 46 50
% 8 92 100
n 2 48 50
% 4 96 100
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 9 proporsi kasus yang hipertensi adalah 4 orang (8%) dan kontrol 2 orang (4%). Sedangkan kasus yang tidak hipertensi sebanyak 46 orang (92%) dan kontrol 48 orang (92%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,400 berati tidak ada pengaruh yang bermakna antara hipertensi dengan kejadian persalinan prematur.
Tabel 10. Hasil Analisis Pengaruh Status Gizi Terhadap Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012-2013 Status Gizi Kasus Kontrol n % n % Tidak Baik 7 14 1 2 Baik 43 86 49 98 Total 50 100 50 100 p =0,0207 OR =7,977 95% CI =0,943-67,456
Dari hasil analisis yang terdapat pada tabel 10 proporsi kasus yang status gizi tidak baik adalah 7 orang (14%) dan kontrol sebanyak 1 orang (2%). Sedangkan kasus yang status gizi baik sebanyak 44 orang (88%) dan kontrol 49 orang (98%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,027 berati ada pengaruh yang bermakna antara status gizi dengan kejadian persalinan prematur. Nilai OR=7,977 menunjukkan ibu yang mengalami persalinan prematur memiliki peluang 7,9 kali memiliki status gizi tidak baik dibandingkan dengan ibu yang mengalami persalinan matur. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan a. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan dengan kejadian persalinan prematur. b. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pekerjaan dengan kejadian persalinan prematur. c. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara paritas dengan kejadian persalinan prematur. d. Terdapat pengaruh yang signifikan antara riwayat abortus dengan kejadian persalinan. e. Terdapat pengaruh yang signifikan antara jarak kehamilan dengan kejadian persalinan prematur. f. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kelengkapan ANC dengan kejadian persalinan prematur.
g.
h.
i.
Terdapat pengaruh yang signifikan antara anemia dengan kejadian persalinan prematur. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara hipertensi dengan kejadian persalinan prematur. Terdapat pengaruh yang signifikan antara status gizi dengan kejadian persalinan prematur.
Saran a. Kepada petugas kesehatan di rumah sakit agar lebih meningkatkan penyuluhan bagi ibu hamil tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan dan diharapkan dalam antenatal care memberikan pelayanan yang sesuai standar yang ditentukan untuk mendeteksi secara dini kesehatan ibu dan janin dalam kandungan serta pencegahan dan pengendalian kejadian persalinan prematur. b. Kepada ibu hamil perlu mengetahui faktor risko prematur sedini mungkin sejak perencanaan kehamilan melalui pengkajian riwayat kesehatan ibu hamil, pemeriksaan laboratorium, antenatal care, dan identifikasi kehamilan risiko tinggi untuk mencegah dan mengurangi kejadian persalinan prematur. c. Kepada pihak rumah sakit agar dapat membuat pencatatan dan pelaporan secara lengkap dan benar, sehingga data-data yang berhubungan dengan keadaan pasien dapat diperoleh secara cepat dan lengkap.
Daftar Pustaka 1. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM. Seminar Kontoversi SDKI 2012 dan Stategi Penurunan Kematian Ibu dan Bayi. http://kebijakankesehatanindonesia.ne t/component/content/article/22.html.
2. Alimul, A. Aziz, 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Bidan. Salemba Medika. Jakarta. 3. Worl Bank, 2014. Infant Mortality Rate. data.worldbank.org/indicator 4. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, 2008. Peta Kesehatan Indonesia 2008. http://www.depkes.go.id/downloads/p ublikasi/Peta%20Kesehatan%20Indon e ia%202008.pdf 5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Kemenkes RI. Jakarta. 6. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2013. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Medan. 7. WHO, 2013. Media Center: Preterm Bird. www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs363/en/ 8. National Vital Statistics Report, 2013. Births: Final Data for 2012. US Department of Health and Human Services Centers for Diseases Control and Prevention. 9.
Office for National Statistics, 2013. Gestation-Specific Infant Mortality in England and Wales 2011. Cardiff ONS. http://www.ons.gov.uk/ons/publicati ons/re-referencetables.html?edition=tcm%3A77320891
10. Blencowe, Hannah, dkk. 2012. National, Regional, and Worldwide Estimates of Preterm Birth Rates in the Year 2010 with Time Trends Since 1990 for Selected Countries: A Systematic Analysis and Implications. The Lancet Journal.Volume 379. http://www.thelancet.com/journals/la ncet/article/ PIIS01406736%2812%29604/fulltext
11..
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar Kesehatan Tahun 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
12. Simamora, Intan, 2009. Karakter Ibu yang Melahirkan Bayi Prematur di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2004-2008. Skripsi FKM USU. 13. Himpunan Kedokteran Fetomarernal POGI, 2005. Panduan Pengelolaan Persalinan Preterm Nasional. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. Surabaya. 14. Grand Pritchard & MacDonald. 1991. Obstetric William. Edisi XVIII. Airlangga University Press. Surabaya. 15. Lissauer, Tom, 2013. Selayang Neonatologi. Edisi II. PT. Indeks. Jakarta.