FAKTA SOSIAL PADA TRADISI TAHLILAN DALAM MASYARAKAT ISLAM JAWA DI KELURAHAN GEDONG KECAMATAN PASAR REBO KOTA JAKARTA TIMUR Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Dinar Risprabowo NIM 1110015000046
JURUSAN PENDIDIKAN IPS FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437/2016
i
ii
ABSTRAK Dinar Risprabowo (NIM: 111001500046) Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur. Skripsi, Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Tradisi tahlilan merupakan tradisi masyarakat Islam Jawa yang sampai saat ini masih bertahan bahkan di wilayah perkotaan. Penulis melakukan penelitian terkait perkembangan tradisi tersebut di Kelurahan Gedong, Jakarta Timur. Senada dengan pemikiran sosiolog Emile Durkheim tentang fakta sosial, tradisi tahlilan mengarahkan keseimbangan pada masarakat Gedong tersebut. Akhirnya peneliti pun menyingkap berbagai fakta setelah melakukan tinjauan dengan perspektif Durkheim. Metode yang digunakan dalam peneltian adalah deskriptif kualitatif dengan realitas sosial tradisi tahlilan di kelurahan Gedong sebagai objek serta masyarakat Islam Jawa sebagai subjeknya. Prosedur pengumpulan data yang digunakan ialah dokumenter, observasi, dan wawancara. Selanjutnya pada tahap pengolahan data penulis menggunakan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Temuan data mengenai kondisi Kelurahan Gedong dan data penduduk. Selanjutnya, hasil pengamatan untuk memvalidasi beberapa data penduduk, kondisi sosial budaya, dan mengikuti langsung kegiatan tahlilan. Dari validasi data tersebut dengan ditambah wawancara ditemukan proses dan pelaksaan tradisi tahlilan. Terakhir, proses triangulasi untuk menggabungkan keseluruhan hasil temuan untuk menemukan kesamaannya. Tradisi tahlilan merupakan ritual dalam lingkup kecil masyarakat dengan melantunkan bacaan khusus tahlil yang dimaksudkan untuk mengirimkan doa bagi orang yang telah meninggal serta menenangkan keluarga yang ditinggalkan. Siklus ritual ini merupakan tradisi slametan masyarakat Jawa yang telah terasimilasi dengan nilai-nilai Islam. Sampai saat ini pandangan masyarakat terhadap tahlilan masih variatif. Dalam perspektif fakta sosial Emile Durkehim, pemahaman terhadap tradisi tahlilan oleh masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong telah menjadi anggapan. Anggapan ini menyebabakan sebuah konsekuensi lahirnya tindakan, yakni pelaksanaan tradisi tahlilan. Hal ini berawal dari proses sosialisasi individu yang terbentuk sebelumnya. Sehingga pemahaman terhadap pentingnya tradisi tahlilan tersebut tertanam seiring proses sosialisasi individu tersebut berjalan. Kata kunci: fakta sosial Durkheim, masyarakat Islam Jawa, tradisi tahlilan.
iv
ABSTRACT Dinar Risprabowo (NIM: 111001500046) Social Facts on ‘Tahlilan’ tradition in the Islamic Javanese Society in the village of Gedong, Pasar Rebo-East Jakarta. ‘Skripsi’ of Social Science Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syaif Hidayaullah State Islamic University Jakarta, 2016. ‘Tahlilan’ tradition is one of traditions of Islamic Javanese society which still survive even in urban areas. The author was conducted research related to the development of this tradition in the Village of Gedong, East Jakarta. In line with the theory of sociologist Emile Durkheim on social facts, ‘tahlilan’ tradition brings out the balance on citizens of Gedong Village. Finally, the researcher also discovered some facts after conducting a review with Durkheim's perspective. The method used in this research was qualitative descriptive within social reality of ‘tahlilan’ tradition in the village of Gedong as the object and Islamic Javanese Society as the subject. Data collection procedures used are documentary, observation and interviews. Furthermore, at the phase of processing the data, the author used data reduction, data display, and conclusion. Research findings abaout of Gedong Village and population data. Furthermore, the observations result are used to validate some inhabitants, their socio-cultural conditions, and then directly follow ‘tahlilan’ activities. From the validation of the data with the added interviews found the process and implementation ‘tahlilan’ tradition. Finally, the triangulation process combines the overall findings to find common ground ‘Tahlilan’ tradition is a ritual within the scope of a small community with a particular reading for doing tahlilan intended to send a prayer for those who have died as well as soothe the bereaved family. This ritual cycle is a tradition ‘slametan’ of Javanese society that has been assimilated by the values of Islam. Until now, the public's view about ‘tahlilan’ is still varied. In the perspective of Durkheim’s social facts, the understanding of ‘tahlilan’ tradition of Islamic Javanese Society in Gedong Village has been transformed as an assumption. It is causing a consequent the emergence of actions, the implementation of ‘tahlilan’ tradition. It begins from individual socialization process which had happened before. Hence, an understanding of the importance of ‘tahlilan’ tradition was embedded along individual socialization process had been running. Keywords: Durkheim’s social facts, tahlilan tradition, the Islamic Javanese Society
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Tiada ucap syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT dengan segala kemahaannya. Dengan rahmat-Nya dapat menyelesaikan salah satu Tri Dharma mahasiswa yaitu penelitian. Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai revolusi mental umat manusia yang sesugguhnya. Penelitian ini berupa hasil skripsi dengan judul Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur. Kesadaran individu sebagai kekurangan telah disadarkan sepenuhnya oleh yang memiliki kemampuan dan pengetahuan. Seperti bisikan yang menghayutkan untuk menyampaikan motivasi misi penyelesain penelitian ini. Sang pembisik tersebut ialah bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak. Izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Iwan Purwanto, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen penasehat akademik. Selama menempuh menimba ilmu di jurusan ini telah memberikan arahan dan motivasi juga dukungan. 3. Drs. Syarifulloh, M. Si. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen pembimbing skripsi. Ucapan terimakasih atas segala bimbingan, saran, pengarahan, ilmu, dan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. 4. Dra. Zahara, M. Ed. selaku dosen pembimbing skripsi. Ucapan terimakasih atas segala bimbingan, saran, pengarahan, ilmu, dan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
vi
vii
5. Seluruh Civitas Akademika Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai tempat proses pembelajaran yang berarti dan tak tergantikan. 6. Untuk Ayah yang selalu dengan sabar mendidik hingga kini. Lalu, untuk Mama semoga menjadi kabar terindah yang tersampaikan di surga, bahwa anakmu sedikit lagi akan menjadi Sarjana Pendidikan. 7. Untuk adik yang selalu mengganggu waktu senggang dikala penulisan skripsi ini tak kunjung berimajinasi. 8. Teman-teman HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat angkatan 2010 yang telah berbagi waktu berkader bersama. Terutama Kanda Aceng Fuad yang berbaik hati meminjamkan koleksi bukunya untuk refrensi skripsi ini. 9. Teman-teman Anak Tongkrong Kopma (ATK) adalah perkumpulan mahasiswa jurusan IPS angkatan 2010 yang kegiatannya mengisi sela waktu kosong dalam perkuliahan. 10. Teman-teman pengurus organisasi Ekskutif ditingkat jurusan dan fakultas yang berperan bersama menggerakan roda organisasi. 11. Kawan-kawan pengurus HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat periode 2012-2013 dan periode 2013-2014 sebagai tempat berproses bersama. 12. Teman-teman pengurus Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2013-2014 yang berperan bersama mewujudkan dasar perundangundangan mahasiswa dimasa transisi. 13. Kawan-kawan di Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI) HMI sebagai tempat berkader profesionalitas bersama.
viii
14. Karyawan-karyawan bimbingan belajar Ganesha Operation unit Jati Kramat yang sering tanding play stastion. 15. Teman-teman yang bertemu dan berproses bersama di PILKADA DKI Jakrta 2012, Kalimatan Barat 2012, Kabupaten Lampung Selatan 2015, dan PILEG Dapil Kalimatan Tengah 2014. Semoga dapat dipertemukan kembali, dan bertukar ide politik bersama-sama. 16. Teman-teman alumni SMA yang masih berjumpa dikala suntuk. Khususnya Yusuf Fadhilah yang ikut membantu proses pengumpulan data peneltian ini. 17. Pihak Instansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khusunya PTSP Kota Administrasi Jakarta Timur dan Kelurahan Gedong yang membantu izin penelitian, serta proses pengumpulan data. 18. Seluruh masyarakat Kelurahan Gedong yang terlibat dalam proses pengumpulan data. Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dari skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu sosiologi dan antropologi. Billahi Taufiq Wal Hidayah Wassalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh Jakarta,
Penulis
September 2016
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ..............................................
i
LEMBAR PENGESAHAAN BIMBINGAN SKRIPSI ..............................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
ABSTRACT .....................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................
5
C. Fokus Penelitian ...................................................................................
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................
7
BAB II KAJIAN TEORITIS .........................................................................
9
A. Fakta Sosial ..........................................................................................
9
1. Aspek Bahasa ..................................................................................
9
2. Aspek Filsafat ..................................................................................
10
3. Aspek Paradigma Sosiologi .............................................................
11
4. Pemikiran Emile Durkheim .............................................................
18
ix
x
B. Masyarakat Islam Jawa ........................................................................
24
1. Pengertian Masyarakat ....................................................................
24
2. Masyarakat Islam Hawa ..................................................................
26
3. Tradisi Agama Islam Jawa ..............................................................
28
C. Tahlilan ................................................................................................
33
1. Pengertian Tahlilan ..........................................................................
33
2. Sejarah Tahlilan ...............................................................................
34
3. Pelaksanaan Tahlilan .......................................................................
37
D. Hasil Penelitian Relevan ......................................................................
38
E. Kerangka Berfikir.................................................................................
43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................
46
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................
46
B. Prosedur Pengumpulan Data ................................................................
48
C. Pemeriksaan Keabsahan Data ..............................................................
52
D. Teknik Analisa Data .............................................................................
54
BAB IV PEMBAHASAN...............................................................................
56
A. Kondisi Kelurhan Gedong....................................................................
56
B. Kondisi Sosial Budaya .........................................................................
60
C. Tahlilan pada Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong ..............
62
D. Pemahaman Tahlilan di Masyarkat Islam Jawa Kelurahan Gedong ....
66
E. Fakta Sosial Tradisi Tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong ...........................................................................
71
BAB V PENUTUP ..........................................................................................
76
A. Kesimpulan ..........................................................................................
67
B. Saran .....................................................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
78
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Hasil penelitian relevan 1................................................................
39
Tabel 2.2: Hasil penelitian relevan 2................................................................
40
Tabel 2.3: Hasil penelitian relevan 3................................................................
41
Tabel 2.4: Hasil penelitian relevan 4................................................................
42
Tabel 2.5: Hasil penelitian relevan 5................................................................
43
Tabel 3.1: Kegiatan Penelitian .........................................................................
46
Tabel 4.1: Jumlah kepala keluarga tiap RW ....................................................
57
Tabel 4.2: Jumlah berdasarkan umur ...............................................................
58
Tabel 4.3: Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan & pekerjaan ................
59
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Bimbingan Skripsi .............................................................
81
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian .............................................
82
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian....................................................................
83
Lampiran 4 Pedoman Dokumentasi ...............................................................
84
Lampiran 5 Stastitik Penduduk Tingkat Kelurahan .......................................
85
Lampiran 6 Surat Keterangan Kematian ........................................................
89
Lampiran 7 Laporan Hasil Kegiatan Pembinaan Kelurahan Gedong ............
93
Lampiran 8 Temuan Dokumentasi .................................................................
146
Lampiran 9 Validasi Dokumentasi.................................................................
149
Lampiran 10 Pedoman Observasi ..................................................................
152
Lampiran 11 Hasil Observasi .........................................................................
153
Lampiran 12 Foto-foto Observasi ..................................................................
158
Lampiran 13 Pedoman Wawancara ...............................................................
160
Lampiran 14 Penetapan Informan ..................................................................
161
Lampiran 15 Transkip Wawancara ................................................................
163
Lampiran 16 Foto-foto Informan ...................................................................
178
Lampiran 17 Surat Keterangan Penelitian .....................................................
181
Lampiran 18 Lembar Uji Referensi ...............................................................
182
Lampiran 19 Biodata Penulis .........................................................................
195
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Posisi strategis negara Indonesia telah membawa perkembangan manusia yang menempati wilayah ini. Secara wilayah merupakan negara kepulauan yang tersebar. Dengan tersebarnya wilayah menimbulkan keberagaman suku, klan, etnis, dan agama telah membawa dinamika masing-masing daerah. Keberagaman budaya seluruhnya merupakan bentuk yang lahir dari kemajemukan masyarakat. Banyaknya keanekaragaman budaya di Indonesia memberikan gambaran bahwa setiap suku yang ada memiliki identitas dan kekhasan yang menunjukkan perbedaan-perbedaan dari setiap suku. Perbedaan sebagai alat pemersatu. Mengenai hal tersebut masyarakat akan saling menghargai yang satu dengan yang lainnya. Salah satu yang terlihat tentang dinamika perkembangan agama (sistem kepercayaan) telah menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan. Bentuk agama (sistem kepercayaan) secara luas telah dikatahui bersama. Secara singkat perkembangan Indonesia mengenal agama dari memuja roh-roh nenek moyang (animisme) atau memuja sesuatu benda (dinamisme), hingga agama yang dikenal pada umumnya. Peranan kepercayaan dalam membentuk kebudayaan sebagai integrasi masyarakat. Dalam perkembangan tersebut akhirnya timbul pemahaman sebagai keteraturan hidup. Dengan perkembangan budaya masyarakat yang melahirkan gagasan, serta penerimaan sebagai kesatuan berupa anggapan benar. Anggapan benar dari bagian agama ini menjadikan pemahaman bagi masyarakat. Demikian pemahaman tersendiri bagi masyarakat telah menjadi bagian hidup sebagai pedomannya
1
2
Dalam pemahaman orang Jawa bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan waktu tertentu masih berada disekeliling keluarganya.1 Waktu kondisi Jawa menerima ajaran agama Hindu, didalam kitab ajaran tersebut mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewadewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang).2 Maka dapat dikatakan pandangan hidup orang Jawa memiliki persamaan dengan kitab tersebut pada perkembangan agama Hindu di Jawa. Demikian bentuk kebudayaan tentang penghormatan terhadap orang yang telah mati menjadi bagian tradisi bagi orang Jawa. Penyebaran Islam di Jawa semenjak abad ke-13 M ternyata tidak menggangu budaya asli animisme-dinamisme.3 Proses masuknya Islam yang dikenal umumnya disebarkan oleh para wali. Dalam proses persebaran Islam memungkikan tidak terlalu memaksa. Hal ini dilakukan agar tradisi yang lama sudah berkembang digunakan sebagai media penyebaran. Bahkan, tradisi lama tidak dihilangkan begitu saja, tetapi ajaran Islam masuk didalam tradisi tersebut untuk perlahan diubahnya. Dalam proses penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan tentang berbagai macam cara yang ditempuh agar nilai-nilai Islam diserap menjadi budaya Jawa. Pertama, Islamisasi Kultur Jawa yaitu dalam pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar bercorak Islam. Kedua, Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya menginternalisasikan nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Melalui cara pertama Islamisasi dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol keislaman nampak secara nyata dalam budaya Jawa, sedangkan cara kedua, meskipun istilahistilah, dan nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai dikadungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam men-Jawa. Beberapa kenyataan menunjukan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah pada polarisasi Islam KeJawaan atau Jawa yang keislaman sehingga muncul Islam Jawa atau Islam Kejawen.4
1
Yana MH, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Absolut, 2010), h. 56. ___, “Sejarah Lahirnya Tahlilan dalam Upacara Kematian.” Artikel ini diakses pada 11 Januari 2016 dari http://www.infoislamdaily.blogspot.com/2013/07/sejarah-lahirnya-tahlilandalam-upacara.html 3 ___, “Islam dan Budaya Jawa” dalam Ibtihadj Musyarof (Ed), Islam Jawa (Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006), h. 38. 4 Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 119-120. 2
2
3
Mengenai perkembangan penyebaran Islam dengan kultural sebenarnnya merupakan bentuk adaptasi. Pemaksaaan bukan merupakan Jawaban agar terdapat penerimaan. Memahami adapatasi dan penerimaan menjadikan suatu tradisi yang perlu disisipi nilai-nilai Islam. Demikian salah satu tradisi berkumpul di rumah duka merupakan hal yang berubah cara-caranya. Doa kepada orang yang meninggal dunia merupakan ajaran menurut ajaran Islam, sedangkan penentuan hari-hari sebagai saat upacara kirim doa lebih diwarnai oleh warisan budaya pra-Islam.5 Perkembangan tradisi penghormatan roh merupakan proses pada saat agama hindu dan awal Islam di Jawa. Ditinjau pendekatan
proses
penyebaran
pendekatan
Jawanisasi
Islam
dalam
perkembangan tersebut. Fakta bahwa nilai-nilai Islam ternyata mengalami internalisasi. Perkembangan tradisi tahlilan saling berkaitan pada tiap masa dimasyarakat Islam Jawa. Awal mula dari pandangan hidup pada perkembangan animisme dan dinamisme. Selanjutnya dalam penerimaan Hindu-Budha, dan terakhir sebagai transisi penerimaan masuknya Islam. Bahkan, hingga kini masih dapat ditemui tradisi tahlilan dalam masyarakat sekarang telah menjadi kebudayaan. Bentuk kebudayaan mengenai akulturasi dalam masyarakat Islam Jawa telah menjadi fakta tradisi tahlilan. Penerimaan bagi sesama individu masyarakat Islam Jawa akan tradisi tersebut. Hal ini ditandai sesuatu yang dapat diterima ataupun tidak sepenuhnya. Bahkan, terjadinya penerimaan itu seperti keteraturan yang berjalan dengan sendirinya. Seolah-olah bagi individu masyarakat tersebut telah tergerak dan tidak dapat menyadari keberadaaannya bagi yang menerima tradisi tahlilan. Keberadaaan dapat dikatakan sesuatu yang ada atau kehadiran. Dalam konteks sosiologi, keberadaan ialah sesuatu yang ada dalam masyarakat atau realitas sosial. Sesuatu yang tidak dapat dikatakan kebaikan ataupun keburukan, tetapi merupakan kenyataan. Sehubungan dengan pengaruh besar Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 128. 5
3
4
yang dimainkan oleh faktor rutin dalam perilaku sosial. Selanjunya, orang mendapat kesan bahwa realitas sosial mempunyai suatu kenyataan yang dari luar menekan atas individu dan mengatur kelakuannya. Dikatakan oleh Durkheim bahwa realitas sosial terdiri dari “fakta“ atau “benda” sosial. Orang takut akan reaksi negative atau hukumannya, kalau mereka tidak menyesuaikan diri.6 Kondisi realitas sosial dengan masyarakat tanpa menyesuaikan diri akan membuat ketakutan tersendiri. Tidaklah heran proses penyesuaian terhadap kondisi yang ada merupakan keharusan. Secara bentuk apapun sebenarnya pemaksaan bagi diri individu masyarakat. Ada kekuatan yang mengatur atau mengarahkan individu agar sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat. Dengan arti bahwa kondisi yang ada memaksa individu untuk menyesuaikannya. Sudah menjadi tradisi kaum Muslim Jawa khususnya, dan sebagai efek transmigrasi, maka budaya 7 hari dan 40 hari menyebar keberbagai wilayah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa wilayah lain, kalau ada anggota keluarga yang meninggal, maka banyak tetangga dekat, dan jauh yang bersilahturahmi. Dalam silahturahmi tersebut, sering saudara atau tetangga yang jauh menginap, bahkan sampai 7 hari. Disela-sela selama 7 hari tersebut diadakan dzikir, tahlil, dan juga shadaqahan yang pahalanya diperuntukan bagi si mayat. Selama 7 malam penuh, sambil agak dikhususkan terutama malam ke-3, dan ke-7 kematian. Kemudian pada alam ke-40, ke-100, dan ke-1000 mereka kembali berkumpul untuk menyelenggarakan lagi acarra “kiriman,” dalam bentuk berkirim doa, dan pahala bacaan serta shadaqahan bagi si mati.7 Kehidupan masyarakat Islam Jawa yang tersebar diberbagai pelosok dengan membawa tradisi, telah menjadi bentuk penerimaan tersendiri bagi masyarakat sekitarnnya. Kesamaan tradisi yang sama telah menyesuaikan perkembangannya. Perkembangan tradisi tahlilan dapat ditemui dengan
6 K.J. Veeger, Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1985), h. 142. 7 Muhammad Sholikhin, Ritual Kematian Islam Jawa: Pengaruh Tradisi Lokal Indonesia dalam Ritual Kematian Islam, (Yogyakarta: Narasi. 2010) Cet.1, h. 216-217.
4
5
mudah. Menandakan penyebaran tradisi ini menempatkan posisinya bagi masyarakat. Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur Provinsi DKI Jakarta terdapat tradisi tahlilan dimasyarakat Islam Jawa. Sebagai bentuk kehadiran bagi masyarakat untuk menyesuikan diri terhadap sesuatu yang ada, maka telah mengantarkan sebuah pemaksaan (coercion). Dari tradisi tersebut yang tidak sengaja telah menggerakan individu masyarakat untuk menjalaninya. Ditambah lagi kondisi masyarakat ditempat ini yang heterogen. Tradisi tahlilan yang telah membentuk pada masayarakat Jawa telah menjadi perubahan. Tetapi, perkembangannya kini masih terjaga. Dengan pertimbangan bahwa fakta sosial sebenarnya merupakan kekuatan yang mengatur individu, maka tradisi tahlilan yang bergerak ini sebenarnya telah memaksa tiap individu. ketahanan bentuk tradisi tahlilan sebenarnya dipandang masih utuh atau terkikis. Perkembangan tradisi yang utuh memang nampak sulit. Kekuatan proses persebaran tradisi hingga masih dapat diterima kini mengikis bentuk secara tidak langsung. Sebuah perbedaan menjadikan utuhnya tradisi tahlilan ini memiliki bentuknya masing-masing. Bentuk tradisi masa lampau ini dengan sekarang, khususnya kehidupan masyarakat Kelurahan kampung Gedong ini. Untuk itu penulis merasa penting mengulas tradisi tahlilan di masyarakat Kelurahan gedong dengan konteks fakta sosial. Dari kesimpulan tersebut, maka penulis mengambil judul dalam penelitian ini yaitu “Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur.”
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1. Perkembangan tiap masa-masa kepercayaan pada masyarakat Islam Jawa telah menimbulkan bertahannya tradisi tahlilan hingga kini yang dapat dilihat keterkaitan perpaduan tradisi dan agama. 5
6
2. Bertahannya tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa menjadikan adanya suatu penerimaan dan penyesuaian kebudayaan yang dapat terlihat diterima begitu saja tanpa pertimbangan. 3. Penerimaan dan penyesuaian kebudayaan terhadap tradisi tahlilan dalam bentuk berbeda-beda yang mengarahkan pemahaman diterima beragam dan tidak menerima akan membiarkan. 4. Sesuatu keberadaan yaitu tradisi tahlilan dimasyarakat memiliki pengaruh realitas sosial terhadap kenyataan yang dari luar menekan atas individu, dan mengatur kelakuannya.
C. Fokus Penelitian Secara umum fokus peneltian ini adalah mengenai fakta sosial pada tradisi tahlilan dalam masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur. Agar penelitian ini tidak meluas, maka penulis memfokuskan penelitian tradisi tahlilan kirim doa kepada orang yang telah wafat. Adapun fokus penelitian sebagai berikut: 1. Kondisi tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong. 2. Pemahaman tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong. 3. Fakta sosial Durkheim memandang bertahannya tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum untuk mengetahui kondisi dan pemahaman yang terjadi tentang tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong. adapun tujuan hal lainnya:
6
7
a. Tujuan akademik Penelitian ini bertujuan juga untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta b. Tujuan terapan Penelitian ini bertujuan agar dapat masyarakat menjadi toleransi terhadap pemahaman tradisi tahlilan dalam masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur.
2. Manfaat Penelitian Pada penelitian ini memberikan deskriptif tentang suatu objek yang mempengaruhi lingkungan. Suatu objek ini adalah tradisi tahlilan yang masih pada dimensi kehidupan masyarakat Islam Jawa di Keluarahan Gedong. Teori sebelumnnya dalam menganalisis suatu objek mengarah pada penyesuaian dengan permasalahan yang ada. Demikian lebih lanjut mengenai manfaat secara teoritik dan praktis dijelaskan sebagai berikut. Dalam manfaat teoritik, bagi peneliti dapat mengembangkan ilmuilmu untuk menambah pengetahuan diperoleh dari hasil penelitian. Bagi Institusi, sebagai informasi atas kondisi sosial-budaya mengenai tradisi tahlilan dimasyarakat yang heterogen. Dan terakhir, bagi masyarakat dapat dijadikan informasi ilmu-ilmu sosial. Dalam manfaat pendidikan, bagi pendidikan agama sebagai pembelajaran berbuat baik kepada seseorang yang sudah ditinggalkan. Dari hal ini mengetahui perlunya saling mendoakan kepada orang lain dan mengingatkan kematian. Dalam pendidikan sosiologi dan antropologi, untuk sosiologi mempelajari relasi hubungan manusia yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dalam perlunya mengetahui proses interaksi sosial. Untuk antroplogi, dapat dilihat kencenderungan manusia melakukan ritual. Hal ini dapat dilihat dalam perlunya mengetahui proses hubungan manusia dan agama.
7
8
Dalam manfaat praktis, bagi Penelitian dapat mengetahui tradisi tahlilan sebagai arah tolerasi keragaman ditengah masyarakat.. Bagi Institusi dapat menjadi referensi untuk mengetahui deksripsi tentang tradisi tahlilan. Dan terakhir, bagi masyarakat dapat dijadikan tambahan pengetahuan, pendalaman keyakinan untuk tetap melaksanakan dan melestarikan tradisi tahlilan dalam keragaman.
8
9
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Fakta Sosial Dalam perkembangan ilmu suatu istilah tidak terlepas dari berbagai aspek yang akan ditinjau. Mengenai istilah fakta sosial dalam perkembangnnya memiliki aspek tinjaunnya. Adapun berbagai tinjauan tentang fakta sosial sebagai berikut. 1. Aspek Bahasa Mengenai fakta sosial terdiri dari dua suku kata, yaitu “fakta” dan “sosial.” Masih terdapat berbagai tafsir dalam mendefinisikan fakta.1 Demikian
mengenai
perkembangan
istilah
fakta
sosial
terdapat
pemahamaan tersendiri. Khususnya dalam perkembangan ilmu sekarang, tetapi fokus pada disiplin sosiologi menjadi hal utama. Di dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English yang dikutip oleh Dadang Supardan, yang dimaksud fakta adalah sebagai berikut: a. Sesuatu yang digunakan untuk mengacu pada situasi tertentu atau khusus. b. Kualitas atau sifat yang aktual (nyata) atau dibuat atas dasar fakta-fakta. c. Kenyataan; keyataan fisik atau pengalaman praktis sebagaimana dibedakan dengan imajinasi, spekulasi, atau teori. d. Sesuatu hal yang dikenal sebagai yang benar-benar ada dan terjadi, terutama yang dapat dibuktikan oleh evidensi (bukti) yang benar atau dinyatakan benar-benar terjadi. e. Hal yang terjadi dibuktikan oleh hal-hal yang benar, bukan oleh berbagai hal yang telah ditemukan. f. Suatu penegasan, pernyataan atau informasi yang berisi atau berarti mengandung sesuatu yang memiliki kenyataan objektif, dalam arti luas realitas objektif.2
1 Dadan Supardan, Pengantar Ilmu Sosial sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Edisi I, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011) Cet.3, h.49. 2 Ibid., h. 49.
9
10
Dari penjelasan diatas, situasi kondisi sesuai kenyataan yang terjadi pada sesuatu dikatakan fakta. Mengenai fakta merupakan suatu yang ada dari kenyataan yang terjadi. Kaitannya tentang objek adalah perlunya analisa kenyataan yang terjadi pada objek yang dimaksud. Selanjutnya, kata sosial berarti segala sesuatu yang mengenai masyarakat; peduli terhadap kepentingan umum.1 Mengarahkan sosial pada objek dapat diartikan segala sesuatu mengenai masyarakat. Apapun yang terjadi dalam masyarakat sebenarnya adalah arti dari sosial. Demikian konteks mengenai masyarakat ialah sesuatu apa yang terjadi didalamnya. Disimpulkan dari kata “fakta” dan “sosial,” bahwa fakta merupakan suatu yang ada dari kenyataan yang terjadi. Sedangkan, sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat. Maka fakta sosial adalah suatu kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Demikian suatu kenyataan yang ada dan terjadi didalam masyarakat merupakan bagian dari fakta sosial. 2. Aspek Filsfat Pandangan filsafat mengenai fakta sosial, perkembangan teroi-teori sosiologi pada dasaranya tidak dapat dipisahkan dari konstruk filosofis metodologi yang mendasarinya. Dalam proses ini, tidak asing lagi kita menemukan perdebatan filosofis disana-sini.2 Dalam perkembangan fakta sosial masih terdapat penafsiran, bila mengacu dari aspek bahasa tadi. Tidaklah heran, perkembangan filsafat ditemukan perbedaannya. Perkembangan dinamika berfikir manusia yang dinamis akan menimbulkan penafisran dan perbedaan gagasan. Suatu hasil fikir manusia dalam bentuk filosofi atau dalam aktfiitasnya sedang berfilsafat. Berfikir
1
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006) Cet. 1, h.444. Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi: dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, (Jakarta: RaJawali Pers, 2010) h.3. 2
11
dinamis telah menempatkan perkembangan ilmu itu sendiri, khususnya perkembangan ilmu sosial. Secara historis, filosofi ilmu sosial yang paling awal muncul dalam perkembangan teori-teori sosiologi adalah aliran positivistik. Dikatakan positivistik karena berlandaskan pada filsafat positivisme, dan inilah roh sosiologi saintifik. Dinamakan saintifik karena cabang ilmu sosial, sosiologi memenuhi prosedur ilmiah yakni empiris, objektif, rasional, sistematis dan terukur.3 Sebagai awal perkembangan sosiologi, filosofi positivistik merupakan prosedur yang ilmiah. Terlihat dari prosedur ilmiah, bahwa sosiologi dapat dikatakan sebagai ilmu. Filosofi positivistik merupakan bagian dari prodsedur ilmiah. Sebagaimana suatu
ilmu tersebut dapat
dikatakan ilmu atau tidak. Maka dari itu awal perkembangan sosiologi dan peran penting filosofi positivistik menjadi pijakan mendasar. Selain Comte, sosiolog Prancis David Emile Durkheim menguraikan satu versi dari positivisme dalam karyanya yang berjudul The Rules of The Sosiological Method (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurutnya, objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social fact).4 Ungkapan mengenai fakta sosial dalam karya tersebut menjadikan aliran positivisme. Dari segi filsafat ilmu sosial mengenai fakta sosial merupakan bagian dari aliran positivisme yang merupakan awal perkembangan sosiologi. Hal terungkapnya fakta sosial yang diungkap oleh Durkheim. Secara sederhana fakta sosial merupakan aturan yang menggerakan individu. memungkikan dari segi filosofi terdapat pandangan lainnya mengenai fakta sosial dalam perkembangannya. 3. Aspek Paradigma Sosiologi Sebelum mengulas fakta sosial dalam paradigma sosiologi, ada baiknya memahami tentang paradigma terlebih dahulu. Menurut Thomas Khun
3 4
Ibid., h.4. Ibid., h.8.
12
dibuku The Structure of Scientific Revolution (1962) dalam karya J. Karel Veeger, dan dikutip I. B. Wirawan, “paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan (sosial) tertentu.”5 Dalam perkembangannya mengenai paradigma, ternyata karya Thomas Khun memberi suatu cara yang bermanfaat terhadap sosiolog dalam mempelajari disiplin ilmu sosiologi. Penerimaan perkembangan karya tersebut dalam sosiologi selama kurang lebih dua dekade terakhir ini.6 Paradigma merupakan padangan yang mendasar dari pokok persoalan atau masalah. Misal, analogi masalah pertengkaran individu, hal yang mendasar perlu dipisahkan adalah masing-masing dari individu, selanjutnya diselesaikan masalah penyebab pertengkaran. Bukan, hal yang sebaliknya dari analogi tersebut. Paradigma diposisikan paling mendasar sebagai ketepatan penyelesaian masalah. Dari ilmu sosiologi mengenai paradigma adalah hal-hal yang mendasar sebagai pokok penyelesaian masalah dalam sosiologi. Pengaruh paradigma ilmu sosiologi mengalami dinamika. Gagasan paradigma dalam suatu keilmuaan khususnya disiplin ilmu sosiologi mengalami perkembangan. Kontradiksi dari karya Thomas Kuhn sebenarnya, dalam buku The Structure of Scientific Revolution (1962) yang dikutip Riyanto, “Ilmu Sosial merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang diragukan kesatuan paradigmannya.”7 Dinamika paradigma terlihat pula dalam perkembangan pemikiran filsafat sosial yang belum integritas, dan masih menemui perdebatan pada ulasan sebelumnya. Kemungkinan dengan berbagai gagasan yang mengarahkan pada kontribusi sosiologi memiliki keragaman.
5
I.B. Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial dan Perilaku Sosial), Edisi 1, (Jakarta: Kencana, 2012) Cet. 1, h.1. 6 Farida Hanum, “Konsep, Materi dan Pembelajaran Sosiologi,” Makalah ini disampaikan dalam seminar regional: Pembelajaran dan Pendidikan Karakter Mapel Sosiologi, Aula FISIP Universitas Negeri Sebelas Maret, Semarang, 27 September 2011, h. 6. tidak dipublikasikan. 7 Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspesktif Metateori Pemikiran, (Jakarta: LP3ES, 2009) h. 1.
13
Tidak dapat dipungkiri perkembangan paradigma sosiologi mendapatkan posisinya tersendiri dalam memahaminya. Menurut Ritzer, “paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuawan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (dicipline).”8 Sedangkan, menurut Mansour Fakih yang dikutip oleh Jurdi, “paradigma diartikan sebagai suatu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar atau pijakan suatu teori, selain itu dapat diartikan sebagai konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang digunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran.”9 Dapat disimpulkan mengenai paradigma adalah pandangan sesuatu yang mendasar dari ilmu untuk sebagai pinjakan. Permasalahan yang ada haruslah sesuai penyelesaian masalahnya. Maka dari itu masalah dalam penyelesaian yang membutuhkan ilmu haruslah memiliki dasar sebagai pijakannya. Demikian pentingnya paradigma dalam menyelesaikan masalah agar sesuai penyelesaiannya. Berbagai macam-macam paradigma timbul dari perbedaan pandangan terhadap mempelajari sosiologi.10 Sebuah realitas keberagaman hasil pemikiran merupakan sebuah keniscayaan, tetapi bertujuan guna perkembangan sosiologi. Dinamika perbedaan penerimaan paradigma dan perbedaan gagasan tersebut tidak menjadi ulasan yang berkepanjangannya. Melainkan kategori teori-teori yang telah berkembang menjadi klasifikasi dalam paradigma sosiologi. Klasifikasi paradigma sosiologi menurut William Purdue dalam Sociological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology (1986) yang
8
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pegetahuan Berparadigma Ganda, Terj. dari Sociology: a Multiparadigm Science oleh Alimandan (Jakarta: CV RaJawail, 1985) Cet. 1, h. 8. 9 Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Nusantara: Memahami Sosiologi Integralistik, Edisi Pertama (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013) Cet. 1., h. 33. 10 Upe, op. cit., h.52.
14
dikutip oleh Riyanto, tiga paradgima purdue: order, prular, dan conflict.11 Pemaparan dari pandangan paradigma tersebut. Paradigma Order mengarah pada masayarakat yang teratur, dengan asumsi bahwa individu merupakan mahkluk yang mencari ketenangan. Selanjutnya Purdue mengasosiasikan bahwa positivisme bagian paradigma ini dengan para pemikirnya yaitu: Comte, Durkheim, dan Persons. Paradigma Plural mengarah pada masyarakat terbentuk dari kerja sama yang rasional, dan menguntungkan antara sesama manusia. Paradigma Confilct melihat masyarakat sebagai kondisi yang rentan konflik, dan kesenjangan.12 Dalam paradigma sosiologi Purdue merupakan bagaimana masalah masyarakat dilihat dari pandangan tersendiri. Terlihat dari pemilahan pandangan dalam klasifikasinya. Paradigma order melihat masyarakat sebagai kesatuan yang mencari keteraturan. Bahwa manusia memiliki egonya, bila tidak memiliki keteraturan maka akan kacau. Maka dari itu pada paradigma ini menginginkan mengatur manusia untuk ketenangan hidup ialah Jawabannya. Selanjutnya, paradigma plural bahwa manusia saling bekerja sama yang rasional, dan menguntungkan diantara manusia. Tidak selalu kondisi manusia memiliki egonya harus diatur. Ada rasa tujuan bersama untuk saling menguntungkan, menandakan bahwa tiap manusia didalam masyarakat dapat saling memahami. Maka dari itu pada paradigma ini menginginkan manusia untuk dapat dipahami mendalam. Terakhir, paradigma conflict memadang masyarakat sebagai kesatuan sosial yang rentan dengan konflik dan kesenjangan. Pertemuan relasi kerja sama antara manusia dan kondisi keteraturan yang memaksa membuat adanya kesenjangan. Menandakan bertemunya tujuan yang sama tidaklah selalu salam dalam merealisasikannya. Memungkinkan perbedaaan individu
11 12
Riyanto, op. cit., h. 15. Ibid., h. 16.
15
dalam saling memahami berbeda. Sama halnya bila keteraturan yang memaksa manusia menjadi ketidaknyamaan baginya. Maka dari itu paradigma ini menginginkan adanya korelasi keseluruhan antara keteraturan yang sesuai dengan pemahamaan manusia dalam masyarakat. Mengenai paradigma sosiologi Purdue salah satunya paradigma order dalam
klasfikasinya
terdapat
karakater
positivisme.
Pada
ulasan
perkembangan filsafat sosial memiliki kesamaan gagasannya, yaitu aliran positivsme. Bahkan dari salah satu tokoh pada paradigma order terdapat Durkheim. Memungkikan gagasan pemikiran fakta sosial memiliki relasi yang sama, sehingga diklasifikasikan pada paradigma order. Riyanto menyatakan, “bahwa pemikir Durkheim dipandang sebagai seorang yang positivis karena memandang masyarakat sebagai fakta sosial yang sui generis dan koersif.”13 Mengenai istilah sui generis dijelaskan sebagai berikut, “meaning they are "sui generis," peculiar in their characteristics: they are the effect or creation of human activities, actions or agency but they are not intended; they are not the product of conscious intentions - they are the unanticipated consequence of human behavior/agency.”14 Dengan arti, berarti mereka "sui generis," aneh dalam karakteristik mereka: mereka adalah efek atau penciptaan aktivitas manusia, tindakan atau instansi tetapi mereka tidak dimaksudkan; mereka bukan produk dari niat sadar - mereka adalah konsekuensi tak terduga dari perilaku manusia / lembaga. kesimpulan dari paradigma sosiologi purdue memposisikan Durkheim dalam pardigma order. Mengenai fakta sosial adalah bagian dari posistivistik yang memiliki arti tersendiri bagi durkheim. Bagi durkheim
13
Riyanto, op.cit., h. 16. ____,”Social Facts - Agency/Structure - Social Types,” artikel ini diakses pada 6 april 2016 dari (http://www.colorado.edu/Sociology/gimenez/soc.5001/durk1.html) 14
16
fakta sosial memiliki pandangan sui generis tetang keunikan masyarakat yang diciptakan oleh masyarakat sendiri dan bersifatnya memaksa (corecion). Klasifikasi paradigma sosiologi menurut Ritzer, “menilai bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma (multiple paradigm).”15 Dalam pandangan ini, Ritzer mengklasifikasi beragam pergulatan perkembangan sosiologi. Keberagaman pergulatan tersebut terbagi atas beberapa paradigma. Pertama, paradigma fakta sosial, dengan penjelasan sebagai berikut pada bagian pertama, eksemplar yang menjadi landasannya terdapat pada buku karya Durkheim The Rules of Sociological Method (1895) dan Sucide (1897). Dari landasan mengarahkan sosiologi terpisah dari pengaruh filsafat dan sosiologi mendapatkan lapangan penyelidikannya. Maka konsep yang digagas olehnya yakni fakta sosial (social fact). Bagian kedua, mengenai pokok persoalan adalah fakta-fakta sosial, Secara garis besarnya fakta sosial terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial. Bagian ketiga, mengenai teori-teori paradigma ini: teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Bagian keempat, mengenai metode cenderung mempergunakan metode kuisoner dan interview. Walaupun kedua metode tersebut sebenarnya bukan monopoli paradigma ini.16 Kedua, paradigma definisi sosial, dengan penjelasan sebagai berikut pada bagian pertama, exmplar paradigma ini karya Weber mengenai analisannya tentang tindakan sosial (social action). Bagian kedua, mengenai pokok persoalan sebagai ilmu untuk menafsirkan dan memahami (interprtative understanding). Bagian ketiga, mengenai
teori-teori
paradigma ini: teori aksi (action theory), interaksionisme simbolik (simbolik
15 16
Ritzer, op.cit, h. 11. Ibid., h. 15-39.
17
interaksionism), dan fenomenologi (Phenomology). Bagian Keempat, mengenai metode mempergunakan observasi.17 Ketiga, paradigma perilaku sosial, dengan penjelasan sebagai berikut pada bagian pertama, mengenai exemplar paradigma ini melalui karya B.F. Skiner
mencoba
menjermahkan
prinsip-prinsip
psikologi
aliran
behaviorisme dalam sosiologi. Bagian Kedua, mengenai pokok persoalan paradigma perilaku sosial memusatkan perhatian kepada antar hubungan antara individu dan lingkungannya. Bagian Ketiga, mengenai teori-teori: Behavioral Sociology dan Exchange Theory. Bagian keempat, metode yang dipergunakan kuisoner, interview, dan observasi. Namun, lebih banyak menggunakan metode eksperimen.18 Dalam paradigma sosiologi Ritzer yang mengklasifikasi secara berbagai bagian pada tiap paradigmanya. Perbedaan-perbedaan pada tiap bagian terlihat jelas dalam paradigma ini. Perbedaan ini tidak menjadi hal yang bertentang, melainkan menjadi hal yang melengkapi dalam penyelesaian masalah sosiologi. Mengenai paradigma sosilogi Ritzer, paradigma fakta sosial menempatkan Durkheim dalam posisi terpenting timbulnya paradigma ini. Cara Durkheim untuk memisahkan sosiologi dari pengaruh filsafat dengan adanya fakta sosial. Dalam pandangan filsafat Durkheim pula termasuk seorang positivistik yang sudah dijelaskan sebelumnya. Demikian posisi fakta sosial dalam paradigma sosiologi yang ada memiliki hal yang sama, walaupun berbeda dalam istilah paradigmanya. Dalam paradigma sosiologi, bahwa fakta sosial memperlihatkan salah satu tokoh yang sama, yaitu Emile Durkheim. Seorang penggagas yang beraliran filsafat positivistik dengan fakta sosialnya dalam memandang masyarakat. Mengenai fakta sosial merupakan “sui generis” atau hal yang unik dalam istilah yang digunakan durkheim, hal unik yang dimaksud
17 18
Ibid., h. 43-74. Ibid., h. 81-94.
18
bagaimana manusia menciptkan sesuatu dan menjadikan penciptaan tersebut. Demikian aspek paradigma sosiologi mengenai fakta sosial yang berhubung dalam konteks aliran filsafat positivistik sebagai dasarnnya. 4. Pemikiran Emile Durkheim Sebelum membahas pemikiran Emile Durkheim, ada perlunya mengulas biografi tokoh ini. Dengan nama lengkap David Emile Durkheim, lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal ibu kota bagian Vosges, Lorraine, Perancis bagian Timur dari keluarga Yahudi. Durkheim telah dipersiapakan sebagai pengganti ayahnya yang merupakan seorang Rabi. Namun, pengaruh dari guru wanita katholik yang mengarahkan jauh dirinya. Bahkan, perkembangan intelektualnya membuat dirinya cenderung agnotis. Transformasi sosial Eropa pada tahun 1870 di Perancis, menimbulkan kegoncangan politik di Perancis. Pengalaman ini menjadikan Durkheim perihatin, karena ia melihat dan merasakan terjadinya dekadensi moral.19 Perkenalan dengan pemikiran Aguste Comte, serta perkembangan pemikiran sosiologi Durkehim dibimbing langsung oleh Boutroux (ahli filsafat). Meski pandai di sekolahnya, nilai rata-ratanya tidak secemerlang kecerdasannya. Hal ini disebabkan ia bosan dengan serba aturan yang diterapkan sekolahnya karena dirasakan menghambat pencarian ilmiahnya. Setelah studinya selesai, ia mengajar diberbagai Lycee (sekolah setingkat menengah atas) dan menetap setahun di Jerman untuk mempelajari situasi pemikiran disana. Jabatan akademis sebagai pengajar Filsafat diberbagai provinsi, membuat ia sangat tertarik pada filsafat, tetapi perhatian besar terhadap politik dan sosial tidak pernah telepas dari keprihatinan masyarakat. Pada tahun 1887 ia mengajar di Universitas Bordeaux dan diangkat menjadi profesor dalam ilmu-ilmu sosial dan pedagogi. Kemudian tahun 1902, mengganti guru besar dalam bidang pedagogi di Sorbonne dan
19
46.
Fuad Ardlin, Waktu Sosial Emile Durkheim, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013) Cet.1, h.45-
19
diangkat secara definitif sebagai guru besar. Peristiwa-peristiwa krisis sosial-politik di Perancis semakin mempertebal keyakinan akan pentingnya konsensus sosial.20 Bukunya yang pertama, yang rupa-rupanya merupakan disertasinya, adalah mengenai masalah pembagian kerja dalam masyarakat, dan berjudul De La Division du Travail Social (1893). Karya pentingnya yang kedua adalah mengenai masalah aturan-aturan metode sosiologi yang berjudul le Règle de la Méthode Sociologique (1895), sedangkan karya yang ketiga mengenai gejala bunuh diri yang berjudul Le Suicide.21 Pecahnya perang Dunia 1 mengehentikan aktivitas kelompok studi l’Anne Sociologique. Banyak diantara anggota kelompok studi yang dipanggil masuk dinas tentara, dimana banyak diantara mereka gugur, termasuk anak Durkheim, Andre Durkheim. Kurang dari satu tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1917, E. Durkheim sendiri meninggal dunia.22 Dijelaskan kembali, pada tahun 1916, ia mulai sakit-sakitan, namun selama periode tersebut ia mulai menyusun tulisan-tulisannya yang masih berupa manuskrip secara teratur. Kelak, murid-murid menerbitkan tulisan tersebut.23 Perkembangan pendidikan Emile Durkheim yang agnostik dan pengalaman
perihatinnya
terhadap
kondisi
sosial-politik
Perancis
menjadikan dia sebagai akademisi. Hidupnya penuh dengan berbagi keilmuaan filsafat dan sosial, bahkan hingga dalam akhir hidupnya, telah terjadi pengumpulan manuskrip karyanya. Selanjutnya mengenai salah satu gagagasannya yang mempengarhui perkembangan ilmu Sosiologi, yaitu mengenai konsep fakta sosial. Memahami konsep fakta sosial perlu mengetahui landasan realitas (kenyataan). Realitas dalam sosiologi merupakan masyarakat itu sendiri.
20
Ibid., h. 47-48. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1987) Cet. 2, h. 85. 22 Ibid., h. 87. 23 Ardlin, op.cit., h. 49. 21
20
Manusia yang merupakan bagian dari masyarakat dengan memiliki tingkah laku. Dalam The Rules of Sociological Method (1966) yang dikutip Ardilin: Realitas objektif yang dimaksud Durkheim merupakan kenyataan yang berada dalam kehidupan bersama sekelompok manusia dan tidak terdapat hanya satu individu. Realitas tersebut tidak disamakan dengan gejala biologis atau gejala psikologis. Gejala tersebut merupakan gejala khas kehidupan bersama manusia, sebuah gejala yang terlepas dari diri tiap individu. Durkehim menggambarkan fenomena objektif kehidupan sosial dalam perilaku sehari-hari. Apabila seseorang memenuhi tanggung Jawab sebagai laki-laki, suami, atau warga negara. Apabila sesesorang bertindak berdasarkan hukum, adat, kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan sosial.24 Secara sekilias individu sebenarnya dibebaskan memilih tindakannya. Tetapi, sadarkah mengapa tiap individu hanya melakukan tindakan tertentu. selanjutnya,
untuk melakukan hal tersebut ada rasa takut akan
konsekuensinya. Kondisi tersebut memaksa individu terhadap pemaksaan penyesuaian untuk lingkungan sosial. Memahami fenomena keseharian, Durkheim berpendapat bahwa terdapat “sesuatu” yang berpengaruh atas kehidupan kolektif yang dapat dijadikan fokus kajian sosiologi.25 Sesuatu yang dimaksudkan Durkheim disebut fakta sosial. Fakta sosial merupakan sifat yang umum ada dalam setiap bentuk kehidupan bersama.26 Kehidupan masyarakat dengan kebersamaan atau kolektifitas sebenarnya terdapat sesuatu (fakta sosial). Maka dari itu fakta sosial dan koletifitas merupakan satu bagian dalam masyarakat. Kenyataan dalam masyarakat sebagai realitas objektif durkheim adalah melihat kondisi pemaksaan individu terhadap penyesuaian lingkungan sosial. Pemaksaan individu yang sebarnnya bebas memilih tindaknya, namun terdapat rasa ketakutan akan konsekuensinya. Hal ini terlihat adanya
24
Ibid., h. 54. Ibid., h. 54. 26 Ibid., h. 55. 25
21
“sesuatu” (fakta sosial) dalam kolekstifitas dari masing-masing individu dalam bertindak. Fakta sosial yang didefinisikan Durkheim dalam The Rules of Sociological Method (1966) yang dikutip oleh Ardilin, adalah: Social fact is every way of acting fixed or not, capable of exercing on individual an external consttaint: or again, every way of acting which is general through a given society, while at the same time existing in its own righ independent of its individual manifestastion. Dengan arti, fakta sosial merupakan setiap cara bertindak, baik yang ditentukan maupun tidak, memiliki kemampuan untuk menguasi individu dengan tekanan yang berasal dari luar, atau setiap cara bertindak yang bersifat umum pada masyarakat tertentu, namun pada saat yang sama (fakta sosial), mandiri serta bebas dari individu.27 Kehidupan sosial yang terjadi dimasyarakat dengan berbegai bentuk nilai dan norma yang berkembang telah melahirkan cara-cara bertindak. Diperhatikan seksama tiap individu seolah-olah dalam bertindak adalah kewajiban dari dirinya sendiri. hal tersebut yang dilakukan individu terlihat subjektif, karena individu merasa tidakan yang dilakukan atas kebebasan dirinya dalam bertindak. Tetapi, terlihat subjektif dalam melakukan tindakan sebenaranya adalah objektif. Sebenarnya cara tindakan bebas dilakukan oleh individu dapat dibentuk melalui sosialiasi. Sosialiasi sebagai pembentuk cara-cara individu bertindak tidak terlepas dari penyesuaian lingkungan sosial. Bila dalam penerimaan sosialisasi dalam lingkungan tidak sesuai, dapat mengarahkan pada subbudaya menyimpang bagi individu. Realitas objektif lingkungan sosial terdapat diagama sebagai kenyataan tetap. Keyakinan agama disekitar masyarakat dalam bentuk tradisi mudah diterima sebagai warisan, tanpa perlu dipertanyakan kembali. Kini terlihat berbagai bentuk tradisi keagamaan yang tetap lestari, tanpa perlu mengembangkan pertentangan kebenarnnya.
27
Ibid., h. 55-56.
22
Durkheim mengacu kepada fakta sosial dengan istilah latin “sui generis” yang berarti unik. Dia menggunakan istilah itu untuk mengklaim bahwa fakta-fakta sosial mempunyai karakter unik tersendiri yang tidak dapat direduksi sebagai kesadaran individual.28 Istilah “sui generis” ini telah dibahas sebelumnya, seperti ketidaksengajaan sesuatu hal yang terbentuk dan sesuatu hal tersebut diterima. Terdapat sesuatu hal tersebut sebenarnya memiliki pengaruh bagi tiap individu. Adapun cara mengindentifkasi fakta sosial diantarnya, pertama, fakta sosial bersifat kolektif. sebagai contoh adalah bahasa, bahasa Indonesia sebagai realitas yang mengatur setiap orang berkomunikasi. Tetapi, tidak ada paksaan bagi masyarakat Indonesia untuk menggunakan bahasa lainnya. Maka dari itu fakta sosial bukan milik individu, namum miliki bersama kelompok sosial. Kedua, fakta sosial bersifat eksternal. Artinya keberadaan fakta sosial tidak bergantung pada kesadaraan individu perorangan. Sebagai contoh adat istiadat tetap ada walaupun sesorang belum dilahirkan, telah dilahirkan, mengalami kehidupan dan meninggal. Saat sesorang tersebut mengalami kehidupan, kebiasaan yang diatur oleh adat istiadat telah mengaturnya. Ketiga, fakta sosial mempunyai ciri koersif. Fakta sosial tak mungkin diterima secara kolektif apa bila tidak mempunyai sifat mengontrol kesadaran individu. kemampuan untuk memaksa sesorang untuk berpikir, bertindak dan berperasaan tertntu. Bila, fakta sosial tidak dipathui akan menerima hukuman.29 Durkheim membedakan antara dua tipe luas fakta-fakta sosial material dan nonmaterial. Mengenai fakta-fakta sosial material, seperti gaya-gaya arsitektur, bentuk-bentuk teknologi, dan kode-kode legal, lebih mudah dimengerti dari keduanya karena dapat diamati secara langsung. jelaslah, hal-hal seperti hukum bersifat eksternal bagi individu dan bersifat memaksa 28 George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembanga Terakhir Posmodern, Terj. dari Eighth Edition Sociological Theory oleh Saut Pasaribu, Rh. Widada, & Eka Adi Nugraha (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2012), h. 132. 29 Ardlin, op.cit., h. 57-58.
23
bagi mereka.30 Dalam wujud material sebenarnya diamati oleh indera manusia karena memiliki bentuk fisik. Maka dari itu, saat menemui bentuk fakta sosial tersebut memaksa bagi individu, sebagai contoh disekitar kita yang dapat diamati secara fisik adalah norma hukum tertulis ataupun adat istiadat dalam menjalankan tradisi. Mengenai fakta-fakta sosial nonmaterial, dalam bentuk ini bersifat intersubjektif, dalam arti terdapat kesadaran individu-individu. sebagai contohnya norma, moral, kepercayaan, pola pikir, perasaan yang melekat dalam kesadaran kolektif dan mempengaruhi tindakan.31 Kebebasan tindakan dalam melakukan sesuatu sebenarnya dibatasi oleh kesadaran bersama di masyarakat. Dari konteks inilah sebenarnya dapat dimaksudkan kesadaran individu. Ada sebuah pemaknaan konseskuensi diri yang telah membawa individu dalam melakukan sesuatu hal. Bila diperhatikan seksama fakta sosial material dan nonmaterial terdapat korelasinya yang saling melengkapi. Bentuk material biasanya diikuti pula dengan non-material. Adanya bentuk kekuatan yang diluar individu dan memaksa indivudu telah memaknai kesadaran bersama dalam melakukan tindakan. Sebagai contohnya: menjalankan bentuk tradisi keagamaan dimaknai bentuk bersyukur. Dalam The Rules of Sociological Method (1966) yang dikutip oleh Ardilin, “the first most fudamental rule: consider social fact as things.” Dengan arti, aturan pertama yang paling dasar adalah: anggaplah fakta sosial sebagai benda.32 Fakta sosial sebenarnya adalah “sesuatu hal” dalam masyarakat yang memiliki kekuatan memaksa individu untuk berpikir menurut garis-gairs dan bertindak menurut cara-cara tertentu. Bahkan, pengaruhnya tidak terbatas satu atau beberapa individu, melainkan kepada sebagaian besar dari warga masyarakat yang bersangkutan. Misalnya tradisi 30
Ritzer, op.cit., h. 134. Ardlin, op.cit., h. 59. 32 Ibid., h. 55. 31
24
yang sudah diiterima pada kalangan masyarakat, bila tidak dilakukan sesuai ketentuannya mendapat hal-hal yang perlu dikonsekuensikan. Fakta-fakta sosial dapat dijelaskan hanya dengan fakta sosial lainnya.33 Maka dalam menganlisa fakta sosial yang merupakan “sesuatu hal” didalam masyarakat, haruslah mencari fakta sosial lainnya sebagai penjelasan. Artinya fakta sosial sebenarnya memilki korelasi yang berkaitan dengan lainnya. Dengan cara indentifikasi fakta sosial ataupun pembedaaan fakta sosial, secara keselurhan berkaitan.
B. Masyarakat Islam Jawa 1. Pengertian Masyarakat Sifat masyarakat sebagai makhluk sosial budaya membuat terciptanya berbagai wujud kolektif manusia yang berbeda cirinya, sehingga penyebutan terhadap kesatuan-kesatuan tersebut juga berbedabeda. Istilah yang paling sering digunakan untuk menyebut sekelompok manusia adalah masyarakat, meskipun sebenarnya tidak semua kelompok masyarakat dapat dikategorikan sebagai masyarakat. Diperlukan adanya karakteristik tertentu sehingga kelompok manusia dapat disebut sebagai masyarakat. Masyarakat secara epistemologi, diungkap oleh Koentjarningrat yang dikutip oleh Basrowi, “mengenai Istilah “masyarakat” berasal dari kata Arab “syaraka” yang berarti “ikut serta;berpartisipasi,” sedangkan dari kata-kata Arab “musyaraka” berarti “saling bergaul.” Dalam bahasa inggris dipakai istilah “society” yang berasal dari kata Latin “socius”, berarti “kawan.”“34 Masyarakat secara terminologi diuangkap oleh para ahli: a. Mac Iver dan Page yang mengatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama 33 34
Ibid. Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005) Cet.1, h. 37.
25
antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebabasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. b. Ralp Linton mengatakan masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kestuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. c. Selo soemardjan menyatakan bahwa masyarkat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.35 Secara konvensional hingga abad ke-20 yang lalu para ahli masih sepakat mendefinisikan masyarakat sebagai “Suatu kesatuan sosial yang berisikan sejumlah orang, menempati suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, menyandang suatu kebudayaan, dan biasanya memiliki suatu bahasa.”36 Dalam perkembangan mengenal masyarakat, perbedaan dalam mendefinisi telah mengarahkan kesepakatan yang telah diungkap tersebut. Batasan-batasan definisi masyarakat yang diungkap juga telah membatasi masyarakat sebagai kesatuan sosial itu sendiri. Dapat disimpulkan peranan penting saling mengenal berbagai anggota masyarakat dalam kesadaran kelompoknnya. Dengan berbagai bentuk kelompok masyarakat dari kecil hingga besar dan berkaitan erat dengan keteraturan. Dalam keteraturan yang erat memiliki ikatan dimasing-masing anggotannya. Maka dari itu yang dikatakan masyarakat adalah mengenal satu sama lain yang terbentuk dalam kelompokkelompok dam memiliki ikatan dimasing anggota-anggotannya. Unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
35 Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Ke Empat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992) Cet. 16., h. 26. 36 Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya, (Institut Antropologi Indonesia, 2011), Cet.1, h. 143.
26
a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi, secara teoritis angka minimnya adalah dua orang yang hidup bersama. b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, umpamanya kursi, meja, dansebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesankesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia dalam kelompok tersebut. c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.37 Dapat disimpulkan dari beberapa unsur tersebut, kondisi masyarakat yang
meliputi
berbagai
individu
telah
didapatkan
bentuk
kebersamaannya. Dengan kondisi bercampur baur secara sadar sebagai kesatuan yang saling memahami. Dari hal inilah terbentuknya sistem dalam masyarakat. Sebagai bentuk keberlangsung kehidupan itu sendiri. Demikian hal tersebut sebenarnya dapat dirasakan oleh masing-masing individu yang bermasyarkat. 2. Masyarakat Islam Jawa Sebenarnya yang dimaksudkan masyarakat Islam Jawa adalah masyarakat Jawa yang meyakini kepercayaan agama Islam. Mengenai
37
Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 19.
27
masyarakat Jawa dipastikan penduduk yang bertempat tinggal di Pulau Jawa Indonesia. Secara geografis istilah pulau Jawa memiliki namannya bagi bangsa lain ataupun penduduk aslinya. Bahkan istilah arti Jawa sendiri. Dijelaskan oleh Raffles: Bangsa Eropa yang dikenal penduduk Eropa dengan nama Jawa atau Jawa besar atau biasa disebut oleh penduduknya dengan nama tana (Tanah) Jawa atau Nusa (Pulau) Jawa, adalah bagian terbesar dari apa yang disebut ahli geografi sebagai kepulauan sunda. Selanjutnya, apa yang menyebabkan pulau ini diberi nama Jawa tidak diketahui dengan pasti. Ada satu cerita yang beredar tentang para pendatang pertama dari India, yang menemukan biji-bijian yang diberi nama Jawawut, yang dikenal penduduk awal pada periode itu.38 Pulau Jawa sudah dikenal oleh penduduknnya sendiri, yang memberikan istilah mengenai pulau yang didiaminya dengan nama tana Jawa atau nusa Jawa. Namun dalam istilah nama Jawa sendiri dari cerita yang beredar sesuai kutipan diatas menganambil nama tumbuhan Jawawut. Memungkinkan nama Jawa tersebut berasal dari nama tumbuhan tersebut. Masyarakat Jawa yang dimaksud adalah mereka yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan yang masih menjalankan nilai-nilai budaya baik kebiasaan perilaku maupun seremonialnya.39 Sekumpulan orang-orang atau kelompok yang berperilaku menggunakan bahasa Jawa dikata sebagai orang Jawa. Bahkan dalam mempraktekan budaya-budaya tidak terlepas dari nilai-nilai Jawa itu sendiri. Suku bangsa Jawa yang dimaksud adalah mereka yang memiliki asal daerah dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
38
Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Terj. dari The History of Java oleh Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, & Idda Qoryati Mahbubah (Yogyakarta: Narasi, 2008) Cet.1, h.1. 39 Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa: Penelitian, Pebandingan, dan Pemaknaan Budaya, (Yogyakarta: Center of Academic Publisher Service, 2015) Cet. 1, h. 164.
28
Sedangkan suku asli Jawa Barat adalah sunda. Maka Kebanyakan dari daerah Jawa Barat tidak mengganggap dirinya termasuk dalam wilayah Jawa.40 maka dari itu orang Jawa secara asal mula menduduki pulau Jawa merupakan wilayah yang telah disebutkan. Demikian dapat dikatakan masyarakat Jawa adalah yang berasal dari tempat tinggal diwilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
Jawa Timur dan
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Terlepas masyarakat Jawa tidak berasal pada daerah tersebut, tetapi masih
menggunakan
bahasa
Jawa
sebagai
bahasa
ibu
dan
melestarikannya, dapat diakui sebagai masyarakat Jawa. karena mengingat masyarakat Jawa tidak hanya tersebar diluar wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yoyakarta, dan Jawa Timur. Bahkan masyakarakat Jawa dapat ditemui diluar di Indonesia, seperti dinegara Suriname benua Amerika Selatan. 3. Tradisi Agama Islam Jawa Dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia
tentu dengan
mengandalkan kemampuannya sendiri untuk menjadikan alam sebagai obyek yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup itulah menimbulkan ide, bila penerimaan ide tersebut telah menjadi kebutuhan yang diterima dan menjadi perkembangan kebudayaan yang secara terus menerus. Demikian dapat dipahami sebagai tradisi, adapun mengenai tradisi dalam memahaminya. Secara epistemologi. tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Selain itu, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.41 Sesuatu anggapan yang telah ada dan
40
Ibid., h. 168. ____,”Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,” diakses pada 7 april 2016 dari (http://kbbi.web.id/tradisi ) 41
29
dianggap benar, lalu dilanjutkan secara terus menerus merupakan arti tradisi itu. Maka tradisi itu anggapan benar yang diwarisikan selanjutnya. Demikian sekilas arti tradisi dari aspek bahasa secara umum. Secara terminologi, menurut Shils yang dikutip Piötr Sztompka, “tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan darimasa lalu ke masa kini.”42 Selanjutnya menurut Funk dan Wagnalls yang dikutip oleh Muhaimin, “tradisi di maknai sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengatahuan yang telah diwariskan secara turun-temurun termasuk cara penyampaian doktrin dan praktek tersebut.”43 Dapat disimpulkan mengenai tradisi adalah pewarisan dari masa lalu tentang sesuatu praktek atau doktrin dengan bentuk yang sama. Dapat dikatakan suatu warisan masa lalu yang harus dijalankan, tanpa harus mempertanyakan kembali. Masyarakat Islam Jawa merupakan masyarakat Jawa yang meyakini kepercayaan agama Islam. Dimana nanti masyarakat Islam Jawa dalam menjalankan kepercayaan terdapat cara-cara tersendiri atau bentuk budaya yang terlihat. Bahkan masyarakat Jawa memang menyakini kepercayaan terhadap religus dan bertuhan. Dalam buku Manusia Jawa (1984) karya Hardjowirago dan buku Kebudayaan Jawa (1984) karya Koentjaraningrat yang dikutip oleh Darori Amin, menjelaskan: Salah satu sifat dari masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka. Dan, Keberagamaan ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti hindu, budha, Islam, Katholik, dan Protestan di Jawa. Namun, dengan pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dengan keberagamaan rata-rata 42 Piötr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The Sociology of Social Change oleh Alimandan (Jakarta: Prenada Media Group, 2007) Cet.3, h. 70. 43 Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, (Ciputat: PT. Logos wacana ilmu, 2001), Cet. 2., h. 11.
30
masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya.44 Demikian dapat dikatakan masyarakat Islam Jawa memang ditemui cara-cara tersendiri atau bentuk budaya yang terlihat. Dengan bagaimana awalnya rasa religius dan bertuhan dengan mudahnya dapat diterima pada masyarakat ini. Bahkan dalan menjalankan kepercayaan mungkin sebagaian ada yang benar bersungguh-sungguh ataupun memang tidak bersungguh. Dalam menjalani kepercayaan yang bersungguh-sungguh ataupun memang tidak bersungguh-sungguh dalam masyarakat Islam Jawa memiliki kebudayaannya sendiri. memungkinkan kebudayaan dalam menjalani kepercayaan dimasyarakat tersebut memiliki sesuatu hal. Mengenai
masyarakat
Islam
Jawa
tidak
terlepas
dengan
kepercayaan. Bentuk menjalani kepercayaan yang sungguh ataupun memang
tidak
sungguh-sunggh
terlihat
dalam
kebudayaannya.
Dijelaskan oleh Raffles: Orang-orang yang tidak terpelajar sering percaya pada takhayul, dan orang Jawa masih mempercayai hal ini. Mereka mudah terkesan, dan ini membuat mereka gampang terpedaya. Mereka percaya pada khyalankhayalan yang dikembangkan dari anggapan. Mereka mudah mempercayai petanda, nujum, ramalan, dan dukun. Mereka juga mudah menjadi korban fanatisema agama, dan memuja tanpa keberatan sama sekali kepada yang mereka anggap kekuatan supranatural. Paham Islam tidak dapat membebaskan mereka dari takhayul dan ketaatan yang telah dipuja dulu. Sehingga penduduk Jawa menggabungkan kepercayaan dua sistem agama.45 Dapat ditarik kesimpulan kondisi sebelum masyarakat Jawa menerima Islam sebagai kepercayaan agama, telah ada bentuk kepecayaan sebelum terhadap hal-hal yang memudahkan mereka terkesan, terpedaya, khayalan-khayalan, dan takhayul. Bahkan saat Islam
44 Darori Amin, “Sinkritisme dalam Masyarakat Jawa” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 85. 45 Raffles, op.cit., h.155.
31
masuk tidak mampu menghilangkan, melainkan menggabungkan kepercayaan terdahulu dengan kepercayaan Islam. Dari hal ini memungkinkan bentuk kepercayaan terdahulu sebelum masuknya Islam, seperti tradisi, bentuk ritus, ritual, dan lainnya. Bila, memang terjadi penggabungan kepercayaan. Karena memang kedua konsep
kepercayaan
terdahulu
dan
kepercayaan
Islam
saling
bertentangan. Tetapi tidak dapat dipungkiri bertemu suatu kepercayaan telah membuka toleransi yang awalnya bertentangan. Kenyataan saling penerimaan tersebut mengarahkan pada sinkritisme agama. Menurut Simuh dalam karyannya Mistik Islam Kejawen Raden Ngebehi Ranggawarsita (1988) yang dikutip oleh Darori Amin: Sinkritesme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak dipersoalkan benar salahnya sesuatu agama, yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknnya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya, dan dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte, bahkan agama.46 Perpaduan kepercayaan secara sinkritisme akan membentuk sesuatu baru. Yang sebenarnya mengarah pada saling mempertahankan dengan cara dipadukan. Dapat dikatakan bentukan perpaduan itu membentuk akulturasi budaya didalamnya. Dengan mewarisi bentuk-bentuk wujud kebudayaan (ide, aktifitas, dan artefak) sebagai hasil akulturasi. Demikian dengan adanya sinkritisme telah membentuk tradisi wujud kebudayaan tersebut. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, mahkluk-mahkluk halus, dewa-dewa) tertentu. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan Darori Amin, “Sinkritisme dalam Masyarakat Jawa” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 88. 46
32
sebutan kenduren atau slametan.47 keanekaragamaan tradisi masyarakat Islam Jawa dalam bentuk sinkrtisme sangatlah beragam. Banyak bentukan tradisi masyarakat Islam Jawa khususnya yang berkaitan mengenai ritual. Dapat diketahui bentukan ritual yang disisipi nilai Islam, hingga memiliki khas tersendiri ritual yang terdahulu. Transformasi tradisi dalam kepercayaan lama mengalami perubahan dengan disisipi nilai Islam. Hal ini mungkin dilakukan untuk agar penerimaan Islam dapat diterima dengan baik. Bahkan bentuk-bentuk ritual yang masih ditemui menjadi bentuk tradisi dalam masyarakat Islam Jawa. Bentuk-bentuk tradisi masyarakat Islam Jawa yang berupa ritual dalam pelaksanaan upacara, yang mungkin lebih dikenal dengan siklus slametan. Dijelaskan oleh Geertz: a. Upacara tingkeban atau mitoni, dilakukan saat janin berusia tujuh bulan dalam kandungan ibu. b. Upacara kelahiran, dilakukan pada saat pemberian nama pada anak dan pemotongan rambut, pada waktu bayi berumur tujuh hari. Dalam tradisi Islam dinamakan aqiqah yang orang Jawa sebuh kekah. c. Upacara sunatan, dilakukan pada saat anak laiki-laki dikhitan. d. Upacara perkawinan, dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki berumah tangga. Upacara ini memiliki khas dengan pelaksanaan aturan dalam Islam, yakni aqah nikah. Bahkan, dalam sesudah aqah nikah terdapat bentuk lainnya, seperti ngunduh manten atau resepsi pengantin. e. Upacara Kematian, setelah melakukan penguburan terdapat slametan dengan kirim doa dengan didahului bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil, dan shalawatan yang secara keseluruhan rangkaian bacaan itu disebut tahlil. Dalam pelaksanaannya sepekan dari hari penguburannya dikatakan mitung dina (tujuh hari), Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 131. 47
33
selanjutnya pelaksanaaan matang puluh (40 hari), nyatus (100 hari), mendhak sepisan (satu tahun), mendhak pindo (dua tahun), dan nyewu (tiga tahun). f. Upacara-upcara
tahunan,
berbagai
macam
upacara
yang
diselenggarakan tahunan, dan dalam pelaksanaannya dilaksanakan secara besar-besaran seperti: mauludan atau sekaten atau grebeg maulud (memperingati lahirnya Nabi Muhammad), rajeban atau mi’radan (memperingati isra mi’raj), ruwah (memperingati nifsu syaban), nyadran (mengunjungi makam sepekan sebelum bulan ramadhan), syawalan (tujuh hari setelah idul fitri), dan terakhir grebeg besar (menyongsong perayaan Idul Adha).48 Salah satunya tradisi upcara kematian berupa slametan untuk mengirim doa setelah melakukan penguburan jenazah. Untuk memahmi mengenai tradisi upacara ini yang lebih dikenal tahlilan. Memang dalam perkembangan dewasa ini, tahlilan masih ditemui. Memang sebagian besar masih orang-orang Jawa yang menjalani tradisi ini.
C. Tahlilan 1. Pengertian Tahlilan Sebelum memahami tahlilan, perlunya memahami tentang tahlil. Tahlil secara bahasa berasal dari sighat mashdar dari kata “hallala” (yuhallilu, tahlilan) yang bisa berarti membaca kalimat la ilaha illallah. Selanjutnya, tahlilan (istilah Islam-Jawa, yang dalam bahasa Indonesia yang benar adalah “bertahlil”) adalah menggunakan atau memakai bacaan tahlil tersebut untuk maksud tertentu.49 Bacaan tahlil dengan maksud tertentu sebenarnya digunakan berbagai hal, salah satunya
48 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin dari The Religion of Java (Jakarta, PT Dunia Pustaka, 1983) Cet. 2, h. 3-18. 49 Muhammad Sholikhin, Ritual Kematian Islam Jawa: Pengaruh Tradisi Lokal Indonesia dalam Ritual Kematian Islam, (Yogyakarta: Narasi. 2010) Cet.1, h. 151.
34
sebagai kirim doa untuk orang yang telah wafat. Biasanya dalam upacara kematian orang Jawa, slametan dengan bacaan tahlil ini digunakan sebagai pengirim doa bagi yang telah wafat. Bentuk adanya upacara kematian dalam pengirim doa yang bersisipi Islam telah menjadi bagian dari tradisi keagamaan ini. 2. Sejarah Tahlilan Dalam perkembangan tahlilan sebagai tradisi yang telah lama terjadi. Sebenarnya merupakan bentuk upacara selamatan terhadap penghormatan roh nenek moyang. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena masyarakat Jawa pernah menerima keyakinan animisme, seperti yang kita kenal adanya animisme dan dinamisme Indonesia sebelum masuknya agama-agama. Hingga dalam perkembangan sekarang ternyata tahlilan telah melewati masa-masa panjang sejarah sebagai bentuk penerimaa masyarakat. Maka dari itu perlunya mengenal sejarah tahlilan itu sendiri. Upacara selamatan dan pertunjukan tarian-tarian tradsional serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa tindakan keagamaan orang Jawa peninggalan zaman animisme yag terus dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi saat ini.50 Tidak dapat dipungkiri sebelum masuknya agama, orang-orang Jawa telah memiliki keyakinan yang dituangkan dalam bentuk upacara maupun tarian-tarian. Pelaksanaan upacara ini dimaksudkan agar terhindar dari kejatahan roh-roh. Dalam perjalanan kebudayaaan pastinya ditemukan pengurangan perbedaaan agar mencapai keberlanjutan. Dalam perkembangan masuknya agama hindu di Jawa. Salah satu ajaran agama Hindu yang terdapat dalam kitab brahmana. Sebuah kitab yang mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk
Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h.7. 50
35
menghormati orang yang telah mati (nenek moyang).51 Pada ajaranajaran tersebut memiliki kesamaan saat Jawa masih animisme, maka dari itu penyesuaian terhadap bentuk upacara-upacara terdahulu mudah diterima. Terlihat sinkritisme budaya sebelumnya mengantarkan hal yang sama, tetapi berbeda cara dalam menerapkannya. Upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati terdapat aturannya dalam ajaran hindu yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil. Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Somayajna dan Hafiryayajna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang, dengan empat bagian yaitu: Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Salah satunya upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, menjelma lahir kembali ke dunia dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya.52 Diperkuat oleh Hamka, “upacara kumpul-kumpul untuk selamatan orang mati pada hari tertentu menirukan agama hindu.”53 Terlihat adanya kesamaan-kesamaan keyakinan masa lalu dan perkembangan hindu, memastikan perkembangan upacara kematian ini telah mendapat penerimaan bagi masyarakat Jawa. Selanjutnya,
bagaimana kondisi
perkembangan Jawa terhadap masuknya agama Islam. Islamisasi di Indonesia, termasuk di Jawa, lebih bersifat kontinuitas apa yang sudah ada dan bukannya perubahan dalam kepercayaan dan praktek keagamaan lokal.54 Masuknya Islam di Jawa tidak serta merta
___, “Sejarah Lahirnya Tahlilan dalam Upacara Kematian.” Artikel ini diakses pada 15 Mei 2016 dari (http://www.infoislamdaily.blogspot.com/2013/07/sejarah-lahirnya-tahlilan-dalamupacara.html?m=1 ) 52 ___, “Sejarah Lahirnya Tahlilan dalam Upacara Kematian.” Artikel ini diakses pada 15 Mei 2016 dari http://www.infoislamdaily.blogspot.com/2013/07/sejarah-lahirnya-tahlilan-dalamupacara.html?m=1 53 Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat, Tasawuf, Tahlilan, dan Maulidan. (Solo: WIP, 2016) Cet.1, h.125. 54 Darori Amin, “Sinkritisme dalam Masyarakat Jawa” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 95. 51
36
merubah kondisi agama sebelumnya, cara-cara dalam praktek keagama tetap dilanjutkan. Salah satunya mungkin upacara kematian yang telah mendapat penerima di masyarakat Jawa pra-Islam. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, mahkluk-mahkluk halus, dewa-dewa) tertentu. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau slametan.55 Terlihat keberlanjutan Islam dalam mengislamkan Jawa ternyata terlihat akomodatif. Maka tidak heran bentuk tradisi keagamaan Islam Jawa masih terlihat pengaruhpengaruhnya. Islamisasi berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah tradisi yang selama ini mereka lakukan. Perubahan terdahap masuknya Islam yang melanjutkan bentuk cara-cara keagamaan yang lama menjadi sebenarnya menjadi jembatan atau media. Ajaranajaran yang sebelumnya diterima luwes memudahakan penerimaan Islam bagi masyarakat. Maka tidak heran, sisipan nilai-nilai Islam dalam tradisi keagamaan sebelum dapat ditemui seperti sebutan slametan. Pada tahun 1926 hasil muktamarnya di Makasar Nahdatul Ulama salah satunya “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat.” Keputusan ini berdampak pada acara keagamaan perlu diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian.56 Ternyata hasil dari keputusan organisasi Islam tersebut berdampak pada perkembangan slametan yang bernilai islami dan menjadi penerimaan keseluruhan.
Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 131. 56 ___, “Sejarah Lahirnya Tahlilan dalam Upacara Kematian.” Artikel ini diakses pada 15 Mei 2016 dari http://www.infoislamdaily.blogspot.com/2013/07/sejarah-lahirnya-tahlilan-dalamupacara.html?m=1 55
37
Hadirin yang kumpul dirumah duka pada hari-hari tertentu itu membaca bacaan-bacaan tertentu dipimpin oleh imam upacara. Rangkaian bacaan itu disebut tahlil, karena ada bacaan la ilaha ilallah. Hingga upacara selamatan orang mati itu sendiri di masyarakat disebut tahlilan.57 Dalam perkembangan ini, sebenarnya perubahan tradisi slametan telah mengalami pergeseran istilah dan cara mempraktekannya. Yang awal mulanya bentuk tradisi pra-Islam dikenal sebagai Pinda Pierre Yajna, hingga disisipi nilai Islam dikenal dengan slametan kematian, dan sekarang tetap menjadi bagian dari tradisi keagamaan Islam dikenal dengan tahlilan. 3. Pelaksanaan Tahlilan Didalam upacara slametan ini pokokanya adalah pembacaan doa (donga) yang dipimpin oleh orang yang dipandanag memiliki pengetahuan tetang Islam, apakah modin, kaum, lebe atau kiai. Selain itu, terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan bagi para peserta slametan, serta makanan yang dibawa pulang ke ruma masing-masing peserta slametan yang disebut berkat. Makanan-makanan itu disediakan oleh penyelenggara upacara atau sering disebut shahibul hajat.58 Memahami tahlilan adalah serangkaian kegiatan berupa pengiriman doa terhadap orang yang meninggal. Dalam acara ini diikuti oleh keluarga, saudara, dan tetangga terdekat. Mengenai acara ini pengiriman
doa
dengan
rangkaian
bacaan
tahlil
merupakan
kelengkapan acara. Hingga selesainya acaranya terdapat tanda terima kasih. Hingga pelaksanaa tahlilan terjadi pada hari-hari tertentu setelah orang meninggal, dengan maksud untuk pengiriman doa. Hal ini diperjelas dalam rangkaian pelaksannnya, sebelum pembacaan tahlil sebagai puncak, terlebih dahulu dibaca berbagai ayat al-qur’an dan berbagai kalimat thayyibah (seperti hamdalah, takbir, shalawat, tasbih dan sejenisnya) untuk menambah rasa pendekatan diri
57
Jaiz, op. cit., h.125. Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual” dalam Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 131. 58
38
kepada Allah sebelum berdoa dan bertawajjuh dengan bacaan tahlil.59 Sebelum masuk pada acara inti, yaitu tahlil, biasanya diantarkan kalimat-kalimat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Lalu, bacaan alqur’an sebagai pengantarnnya. Pada umumya bacaan al-qur’an yang ditemui adalah bacaan surat yasin. Dalam rangkaian-rangkaian doa itu dipimpin oleh imam upcara yang memiliki pengetahuan lebih dalam agama. Imam tersebut disebutnya sebagai modin atau lebe dalam masyarakat Islam Jawa. Setelah ritual tahlilan selesai, pada umunya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman untuk Jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat buah tangan dalam bentuk makanan matang. Hidangan dan pemberian ini dimaksudkan sebagai shadaqah, yang pahalnya dihadiahkan (ditransfer) kepada orang yang sudah meninggal untuk didoakan tersebut, selain sebagai bentuk ungkapan rasa cinta dan kasih sayang dan silahturahmi rohani.60 Tanda terima kasih atas pengiriman doa yaitu menghidangkan makanan dan minuman. Biasanya yang dihidangkan makanan yang ringan, dan yang dibawa pulang makanan berat. Bentuk makana yang dibawa pulang ini umumnya dikatakan berkat karena sudah didoakan
D. Hasil Peneltian Relevan 1. Tradisi Tahlilan di Perkotaan dalam Arus Modernisasi: Studi Kasus Masyarakat Gandaria Selatan-Cilandak Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini, masyarakat Gandaria Selatan tradisi tahlilan merupakan suatu kegiatan agama yang sudah lama dilakukan di masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan di Gandaria Selatan. Tahlilan juga merupakan salah satu alat mediasi yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai 59 60
Sholikhin, op. cit., h. 154. Ibid.
39
sebagai media komunikasi keagamaan baik interaksi dan integrasi masyarakat di Gandaria Selatan. Tahlilan pada malam Jum’at ataupun ketika ada salah satu masyarakat yang meninggal dunia meruapakan suatu tradisi yang memiliki dimensi ketuhanan yang mampu memberikan siraman rohani, ketenangan, kesejukan hati. Dari keseimpulan tersebut, maka dapat dilihat hasil penelitian relevan dari perbedaan dan persamaan: Tabel 2.1: Hasil penelitian relevan 1 Perbedaan bahwa
tahlilan
sebagai
digunakan tahlilan memiliki kekuatan untuk
mediasi
menintegrasikan
Persamaan
yang mengatur
tatanan
dikalangan
masyarakat masyarakat.
dan kekuatan kejiwaan agama. Sedangkan, bahwa
penulis
melihat
pemahaman
tahlilan
sebagai bentuk kekuatan yang memaksa
individu
dalam
kalangan masyarakat
2. Tradisi Tahlilan di Perkotaan dalam Arus Modernisasi: Studi Kasus Masyarakat Gandaria Selatan-Cilandak Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini, masyarakat Gandaria Selatan tradisi tahlilan merupakan suatu kegiatan agama yang sudah lama dilakukan di masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan di Gandaria Selatan. Tahlilan juga merupakan salah satu alat mediasi yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan baik interaksi dan integrasi masyarakat di Gandaria Selatan. Tahlilan pada malam Jum’at ataupun ketika ada salah satu masyarakat yang meninggal dunia meruapakan
40
suatu tradisi yang memiliki dimensi ketuhanan yang mampu memberikan siraman rohani, ketenangan, kesejukan hati.61 Dari keseimpulan tersebut, maka dapat dilihat hasil penelitian relevan dari perbedaan dan persamaan: Tabel 2.2: Hasil penelitian relevan 2 Perbedaan bahwa
tahlilan
sebagai
digunakan tahlilan memiliki kekuatan untuk
mediasi
menintegrasikan
Persamaan
yang mengatur
tatanan
dikalangan
masyarakat masyarakat.
dan kekuatan kejiwaan agama. Sedangkan, bahwa
penulis
melihat
pemahaman
tahlilan
sebagai bentuk kekuatan yang memaksa
individu
dalam
kalangan masyarakat
3. Tradisi Tahlil Masyarakat Kabupaten Cirebon (Menguak Sejarah dan Konsep Tradisi Tahlil pada Masyarakat Desa Tegalgubuglor Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon) Berdasarkan hasil penelitian ini, sikap berlebihan dalam memberikan hidangan yang mengakibatkan perlakuan masyarakat berbeda dalam menyikapi tradisi tahlil kepada orang kaya dengan orang miskin. Begitu dengan tradisi tawasul (ngalap berkah) yang menurut pandangan orang wahabisme dinilai sebagai sikap yang menuhankan orang yang sudah meninggal atau syirik atas pribadi dan jama’ah yang menyebabkan kehancuran di dunia dan keabadian di dalam neraka. Tahlilan adalah masalah khilafiyah yang tidak boleh diperdebatkan 61 Syamsul Bahri, “Tradisi Tahlilan di Perkotaan dalam Arus Modernisasi: Studi Kasus Masyarakat Gandaria Selatan-Cilandak,” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, 2008, h. lxx-lxxi, tidak dipublikasikan.
41
secara mendalam cukup dijadikan sebagai wacana keislaman untuk para santri-santri dan masyarakat tegalgubuglor, mereka yang menolak tahlilan mempunyai dasar tersendiri dan mereka yang pro tahlil juga mempunyai argementasi sendiri.62 Dari keseimpulan tersebut, maka dapat dilihat hasil penelitian relevan dari perbedaan dan persamaan: Tabel 2.3: Hasil penelitian relevan 3 Perbedaan Dalam
tahlilan
Persamaan terdapat pemahaman
tahlilan
terhadap
penganggapan yang berbeda status ekonomi merupakan bentuk dikalangan
status
masyarakat
dan
ekonomi sikap
masyarakat.
Mengenai
berbeda pemahaman merupakan sesuatu
keyakinan
kekuatan yang memaksa individu dalam
masyarakat.
Sehingga
sesuatu kekuatan tersebut menjadi penyikapan masyarakat terhadap tahlilan itu sendiri.
4. Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio-Kultural) Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, motivasi yang berbeda dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di masyarakat desa Tegalangus. Motivasi lebih terdapat pada tahlilan orang yang meninggal untuk hadir dan mengikutinya. Selain itu, tradisi tahlilan di desa Tegalangus memiliki nilai positif dan negatif bagi masyarakatnya. Nilai positif tahlilan sebagai media silaturahmi, solidaritas sosial dan
62 Zakaria, “Tradisi Tahlil Masyarakat Kabupaten Cirebon (Menguak Sejarah dan Konsep Tradisi Tahlil pada Masyarakat Desa Tegalgubuglor Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon),” Skripsi pada IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Cirebon, 2012, h.i., tidak dipublikasikan.
42
menambah pengetahuan agama yang disampaikan dalam ceramah. Sedangkan, nilai negatif tahlilan membentuk kebiasaan masyarakat dalam jamuan tahlilan dan dijadikan ranah politik.63 Dari keseimpulan tersebut, maka dapat dilihat hasil penelitian relevan dari perbedaan dan persamaan: Tabel 2.4: Hasil penelitian relevan 4 Perbedaan
Persamaan
bahwa motivasi tahlilan yang nilai-nilai tahlilan pada perilaku berbeda-beda dan nilai-nilai solidaritas tahlilan
dalam
Sedangkan,
sosial
sebenarnya
masyarakat. timbul dari sesutu kekuatan yang
penulis
melihat memaksa
individu
dalam
tahlilan sebagai kekuatan yang masyarakat. memaksa
individu
dalam
kalangan masyarakat.
5. Perubahan Sosial Tahlilan Selamatan Kematian di Dusun Kamijoro, Desa Sedangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul Berdasarkan hasil penelitian ini, terjadi perubahan makna tradisi Tahlilan kematian merupakan anggapan yang tidak sakral, hanya sebagai bentuk hubungan baik dengan tetangga sekitar. Selanjtnya, berkembanganya dua pemahaman dalam menyikapi tradisi tersebut menjadikan bentuk toleransi, dan sarana silahturahmi. Terakhir,
63 Muhammad Iqbal Fauzi, “Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio-Kultural),” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, 2014, h. Iv. tidak dipublikasikan.
43
dampak positif bagi masyarakat meningkatkan kerukunan antar tetangga.64 Dari keseimpulan tersebut, maka dapat dilihat hasil penelitian relevan dari perbedaan dan persamaan: Tabel 2.4: Hasil penelitian relevan 4 Perbedaan terdapat
perubahan
tahlilan
Persamaan makna tahlilan tidak
memiliki sakral
penerimaan
pemahaman
sebagai
bentuk
masyarakat
yang
sebenarnya timbul dari sesuatu kekuataan. sesuatu
Yang kekuatan
dimaksud tersebut
sebenarnya menjadi pemahaman masyarakat terhadap tahlilan itu sendiri.
E. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teoritis diatas, Keberadaan masyarakat Islam Jawa yang menduduki hampir diseluruh wilayah Indonesia dengan persebaranya tidak terlepas dari tradisi. Tradisi yang dimiliki seperti tradisi keagamaan Islam Jawa. Mengenai tradisi keagamaaan tersebut, yaitu tradisi tahlilan. Sebagai bentuk penerimaan dimasyarakat, tahlilan tidak dapat dilepas begitu saja bagi masyarakat Islam Jawa. kebebasan tindakan individu adalah subjektif, namun melakukan tindakan sebenarnya adalah objektif. Hal ini dapat terlihat, cara tindakan yang sebenarnya bebas dilakukan oleh individu sebenarnya dapat dibentuk melalui 64 Dhani Pandu Widuri, “Perubahan Sosial Tahlilan Selamatan Kematian di Dusun Kamijoro, Desa Sedangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul,” Skripsi pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2015, tidak dipublikasikan.
44
sosialiasi. Sosialisasi membentu pemahaman terhadap masyarakat. Fakta sosial yang merupakan “sesuatu hal” dalam masyarakat. Hal tersebut dapat diidentifikasi dengan sifat kolektif, eksternal, dan koersif di dalam masyarakat. Bahkan, dalam pembedaan fakta sosial dapat dilihat secara material dan non material. Bentuk tradisi tahlilan dalam masyarakat Islam Jawa seolah seperti “sesuatu hal” dalam kehidupan masyarakat. Akan mengalami konsekuensi bila tidak menjalankan tradisi tersebut. Terbentuk dari cara tindakan yang sebenarnya bebas dilakukan oleh individu sebenarnya dapat dibentuk melalui sosialiasi. Proses pembentukan tradisi tersampaikan melalui proses sosialiasi. Telaah pemahaman tahlilan merupakan anggapan berupa “sesuatu hal” yang dipengaruhi. “Sesuatu hal” tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh “sesuatu hal lainnya,” bahkan “sesuatu hal lainnya” dipengaruhi oleh “sesuatu hal lainnya”, hingga tidak dtemui titik yang asal darimana pengaruhnya. Inilah yang dinamakan bahwa fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya. Secara identifikasi sebenarnya fakta sosial bersifat eksternal, dan bereksistensi diluar individu. Adapun skema dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
45
Kerangka Berfikir & Skema: Masyarakat Islam Jawa
Tradisi Agama Islam
Proses Sosialisasi
Siklus Slametan
Tradisi Tahlilan
Pemahaman
Masyarakat Islam Jawa Di Kelurahan Gedong
Tradisi Tahlilan
Analisa Fakta Sosial Durkheim
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Permasalahan terkait diteliti menggunakan pendekatan kualitatif pada tempat atau lokasi penelitian dilangsungkan. Objek dari penelitian ini adalah realitas sosial yang ada di dalam masyarakat Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur. Untuk waktu dalam peneltian ini dilakukan pada tahun 2016. Adapun waktu kegiatan penelitian selama ini sebagai berikut: Tabel 3.1: Kegiatan penelitian Bulan No.
Kegiatan Penelitian 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Agustus 2 3 4
September 1 2 3 4
Proposal penelitian Permohonan izin Mendapatkan izin Dokumentasi Obervasi non partisipan Obervasi partisipan Proses wawancara keabsahan data Teknik analisa data penyusunan laporan Adapun rician waktu kegiatan penelitian dalam tabel sebagai berikut:
46
47
1. Proposal penelitian, dilaksanakan pada minggu pertama bulan agustus. 2. Permohonan izin, dilaksanakan pada minggu kedua bulan agustus dengan kegiatan: a. Membuat surat izin penelitian dari FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 agustus 2016. b. Mengajukan permohonan dengan PTSP Kota Administrasi Jakarta Timur untuk permohonan izin penelitian pada 18 agustus 2016. Dengan berkas surat izin penelitian dari FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Proposal Penlitian.. 3. Mendapatkan izin, diaksanakan pada minggu ketiga bulan agustus dengan kegiatan: a. Mendapatkan surut izin penlitian dari PTSP Kota Administrasi Jakarta Timur pada 22 agutus 2016. b. Menyampaikan permohonan izin kepada kelurahan gedong dengan berkas surat izin penelitian dari PTSP Kota Administrasi Jakarta pada 22 agustus 2016. 4. Dokumentasi, dilaksanakan pada minggu ketiga bulan agustus dengan kegiatan sesuai pedoman dokumentasi. 5. Obervasi non partisipan, dilaksanakan pada minggu ketiga saat dokumenetasi diperoleh dan mengamati kondisi lapangan. 6. Obervasi partisipan, dilaksanakan pada minggu keempat agustus september dengan mengikuti tahlilan berdasarkan temuan dokumentasi berupa informasi tanggal kematian diperhitungkan pada hari ke-40 tanggal kematiaannya. Kunjungan yang dilakukan pada pada tanggal 20 agustus 2016 dikediaman rumah Haris Nugrahardi dan 22 agustus 2017 dikediaman Feni Musriyani.
48
7. Proses wawancara, dilaksanakan pada minggu keempat saat observasi non partisipan dilakukan untuk memvalidasi dokumentasi yang ditemukan. 8. keabsahan data, dilaksanakan pada minggu pertama september. 9. Teknik analisa data, dilaksanakan pada minggu kedua september. 10. penyusunan laporan, dilaksanakan pada minggu ketiga dan keempat september.
B. Prosedur Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menentukan, mengumpulkan, dan menafsirkan data. Sedangkan, instrumen pengumpulan
data
dilapangan
pada
penelitian
ini
menggunakan
dokumenter, observasi, dan wawancara. Sebelum menjelaskan cara pengumpulan dan pengolahaan data, ada baiknya mengetahui data itu sendiri. Menurut Idrus, “Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai semua hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian, tidak semua informasi atau keterangan merupakan data penelitian. Data hanyalah sebagaian informasi saja, yakni hanya hal-hal yang berkaitan dengan penelitian saja.”1 Maka dari itu keterangan (informasi) yang berkaitan dalam penelitian itu perlu dilakukan, dengan harap sumber data yang diperoleh sesuai. Data yang dikumpulkan sebagai data utama dalam penelitian kualitatif ini dikumpulkan oleh peneliti sendiri dengan dibantu oleh orang lain. Datadata yang dikumpulkan peneliti adalah informasi-informasi tentang tradisi tahlilan dalam masyarakat Islam Jawa yang bertempat tinggal di wilayah Kelurahan gedong. Dalam penelitian ini proses pengambilan dan 1
61.
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Edisi kedua (Jakarta: Erlangga, 2009), h.
49
pengumpulan data diperoleh sebelumnya mendapatkan izin dari pihak yang terkait terlebih dahulu. Sebagai langkah awal penelitian. Data merupakan sumber yang paling penting dalam suatu penelitian. Melalui data, peneliti dapat mengungkap sekaligus menemukan JawabanJawaban permasalahan dari objek dan kajian penelitian. Sumber data terbagi dua, yaitu: 1. Data primer, data yang diperoleh oleh peneliti merupakan hasil dari pengumpulan informasi-informasi yang dilakukan secara langsung melalui wawancara kepada pihak terkait. 2. Data sekunder, data yang digunakan sebagai penunjang berlangsungnya penelitian yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung dari pihak-pihak yang berkaitan dengan objek kajian penulisan skripsi ini. Populasi dalam penelitian kualitatif menurut Spardley yang dikutip Sugiyono, “dinamakan situation social atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.”2 Selanjutnya dalam pengambilan sampel, teknik sampling yang digunakan purposive sampling, mengenai hal tersebut adalah teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu.3 Kondisi situasi sosial dalam peneltian ini merupakan sebuah objek dan subjek yang perlu diketahui. Hal ini diguanakan penelitian sebagai pencarian sumber data. Dalam pencarian data menggunakan pertimbangan tertentu. Dengan pertimbangan peneltian ini hanya mencari sumber data tetang masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong dan menelurusi perkembangan tradisi tahlilannya. Menurut Bungin, “dokumenter adalah informasi yang disimpan atau didokumentasikan sebagai bahan dokumenter. Secara detil bahan
2 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods), (Badung: Alfabeta, 2011) Cet.1., h. 297. 3 Ibid., h. 301.
50
dokumenter terbagai berbagai macam, yaitu: autobiografi, surat-surat pribadi, buku, catattan harian, memorial, kliping, dokumen pemerintah maupun swasta, cerita roman, cerita rakyat, film, mikrofilm, dan sebagainya.”4 Teknik ini digunakan peneliti untuk memperoleh data atau informasi mengenai pada instasi yang terkait, serta catatan-catatan penting yang berkaiatan dengan topik pembahasan. Menurut Idrus, “Obervasi atau pengamatan merupakan aktivitas pencataatn fenomenan yang dilakukan secara sistematis. Pengamatan dilakukan secara terlibat (partisipatif) ataupun partisipatif.”5 Kondisi sosial yang mengarah pada perilaku manusia terhadap gejala yang ada menjadi realita. Realita tersebut adalah suasana tradisi tahlilan yang berada dalam wilayah yang telah dibatasi. Maka dari itu dalam pengumpulan data diperlukan obeservasi sebagai tindak lanjutnya. Dalam proses pelaksanaannya, observasi dapat dibedakan menjadi participant observation (observasi berperan serta) dan non-participant observation (observasi tidak berperan serta).
Dalam prosesnya nanti
menggunakan oservasi partisipasi dan non partisipasi. Selain mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan mempertimbangkan apa yang dirasakan masyarakat sebagai pengamatan juga. Berperan serta yang dilakuakan terhadap tradisi tahlilan ini saat sebelum penelitian ini dilakukan, pernah dilakukan penliti sebelumnya. Mendapatkan informasi-informasi yang diketahui dari warga sebagai pengamatan. Selain sebagai data yang digunakan, proses obeservasi juga digunakan untuk mengecek hasil temuan dokumentasi untuk pengambilan sampel. Menurut Stainback yang dikutip Sugiyono, “jadi mengenai wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang
4 M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif untuk Studi Sosiologi, Kebijakan Publik, Komunikasi, Manajemen, dan Pemasaran Edisi 1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013) Cet.1, h. 154. 5 Idrus, op. cit., h. 101.
51
partisipan dalam menginterprestasikan situasi fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa dtemukan melalui observasi.”6 Dalam menemukan sumber data, hal yang digunakan dengan cara wawancara. Wawancara akan lebih mendalam dalam mengetahui situasi fenomena yang ada, dibanding observasi yang sekedar mengamati. Dengan pertimbangan tertentu sebagai sumber data, maka dipilihlah informan orang-orang Jawa yang beragama Islam yang bertempat tinggal di Kelurahan Gedong. Menurut Esterberg yang dikutip Sugiyono, mengemukan macam wawancara yaitu terstruktur, semistruktur, dan tidak terstruktur. sebagai penjelasan dari macam wawancara adalah sebagai berikut: Pertama, mengenai wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti informasi apa yang telah diperoleh. Kedua, wawancara semistruktur termasuk kategori in-depth interview dengan tujuan menemukan masalah yang terbuka. Terakhir, wawancara tidak tersturktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara.7 Dalam hal ini peneliti menggunakan macam wawancara terstruktur. Memahami informasi yang dicari sebenarnya diketahui sepenuhnya oleh informan. Dengan Jawaban berupa ide atau pendapat yang diungkapkan oleh informan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Menurut Patton dan Melleong yang dikutip sugiyono, disimpulkan terdapat enam golongan jenis pertanyaan yang saling berkaitan yaitu: pertama, pertanyaan yang berkaitan pengalaman merupakan pengalaman yang telah dialami oleh informan atau subjek yang diteliti. Kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat meruapakan berkaitan tentang pendapat dari informan. Ketiga, pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan merupakan bentuk hal yang tidak langsung, karena dilihat secara afektif. Keempat, 6 7
pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan merupakan
Sugiyono, op.cit., h. 316. Ibid., h.317-319.
52
mengungkapan pengetahuan informan dari suatu kasus atau peristiwa yang mungkin diketahui. Kelima, pertanyaan yang berkenaan dengan indera merupakan ungkapan informasi yang berkaitan dengan panca indera atas suatu peristiwa. Dan terakhir, pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi untuk mengungkapkan latar belakang informan.8 Dari
penggolangan
pertanyaan
tersebut,
peneliti
mencoba
menggabungkan hal keselurhannya sebagai bentuk keterkaitan guna wawancara yang mendalam. Pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kepada keterbukaan. Peneliti juga menggunakan alat wawancara dengan perekam suara dan kamera. Sebagai bentuk kearsipan data hasil wawancara ditranskip. Selanjutnya, fungsi perekam suara dan kamera dalam wawancara sebagai keabsahan data. Menurut Sugiyono, “triangulasi diartikan sebagi teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.”9 Dari pengumpulan data dan sumber data yang dikerjakan, terakhir akan digabungkan keselurhannya. Hal ini digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Dengan pertimbangan untuk memahami keterkaitan ataupun kontradiksi.
C. Pemeriksaan Keabsahan Data Mengenai uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility
(validitas
internal), transferability
(validitas
eksternal),
dependendability (realiabilitas) dan comformability (objektifitas).10 Dari uji tersebut sebenarnya memastikan kembali atas data-data sesuai dengan kondisi yang ditelilti. Temuan data haruslah mendekati kondisi yang sesungguhnya pada lapangan. Namun, kondisi realitas tidaklah bersifat 8
Ibid., h.320-324. Ibid., h. 327. 10 Ibid., h. 364. 9
53
sama, melainkan berbagai macam yang sebenarnya saling melengkapi. Adapun penjelasan uji keabsahan data sebagai berikut: 1. Uji kredibilitas (crebebelity) sebagai berikut: a. perpanjangan pengamatan, kondisi bagaimana pengamatan yang telah dilakukan harus dicek kembali. Hal ini dilakukan agar penelitian lebih mendalam untuk dapat informasi yang diketahui. b. Meningkatkan ketekunan, melakukan pengamatan secara cermat dan berkesinambungan. Dengan maksud mendapat urutan peristiwa dipahami secara pasti dan sistematis. c. Triangulasi, pengujian kredibilitas ini sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Triangulasi terbagi atas: 1.) Triangulasi sumber, untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber. 2.) Triangulasi teknik, untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik berbeda. 3.) Triangulasi waktu, waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. d. Analisis kasus negatif, mencari data yang bertentangan dengan data yang telah ditemukan. e. Menggunakan bahan referensi, data-data yang telah ditemukan perlu diperkuat dalam mencarinya. Seperti, saat data-data interaksi sosial dilakukan, perlu adanya bukti adanya dokumentasi foto. f. Mengadakan member check, merupakan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.11 2. Pengujian transferability, merupakan validitas eksternal dalam
11
Ibid. h. 365-372.
54
penelitian kualitatif. Bahkan peneliti, tidak dapat menjamin validitas eksteranl ini. Maka dari itu, dengan cara orang lain memahami hasil penelitian sehingga memungkinkan untuk mendapatkan hasil penelitian yang terperinci sebenarnya.12. 3. Pengujian dependability, dalam penelitian kualitatif, dependability disebut reliabilitas. Suatu penelitian yang reliabel adalah apabila orang lain dapat mengulangi atau mereplikasi proses penelitian tersebut. Secara sederhana merupakan bentuk auditing terhadap hasil keseluruhan penelitian.13 4. Pengujian Comfirmability, mengenai penelitian kualitatif disebut dengan objektivitas penelitian. Penelitian dikatan objektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Dalam penelitian kualitatfi, uji
comfirmability
mirip
dengan
uji
dependability,
sehingga
pengujiaannya dapat dilakukan bersama.14
D. Teknik Analisa Data Menurut Huberman yang dikutitp Sugiyono, “mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktiftas dalam anlisis data yaitu data reduction, data display, dan conclucion drawing/verification.”15 Dari hal ini peneliti akan melakukan analisa tersebut atas hasil data yang telah diolah. Data reduction merupakan bentuk mereduksi data yang diperoleh dari lapangan dengan jumlah yang cukup banyak. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya, dan membuang yang tidak perlu. 16 Data yang diolah dalam penelitian kualitatif adalah diklasifikasi atau
12
Ibid., h. 373. Ibid., h.374. 14 Ibid., h. 374. 15 Ibid., h. 334-335. 16 Ibid., h. 336. 13
55
dikategorikan atas dasar tema yang sesuai fokus penelitian.17 Fokus peneltian yang digunakan penulis ini mengungkap tentang fakta sosial pada tradisi tahlilan dalam masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong. Maka dari itu reduksi data lebih diarahkan pada suatu penjelasan fakta sosial yang dijelaskan oleh fakta sosial lainnya. Hal ini dilakukan agar menemukan keutuhan suatu fakta sosial pada tradisi tahlilan tersebut. Data Display merupakan bentuk penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar katergori, flowchart dan sejenisnya.18 Selanjutnya, menurut Miles dan Hubrman yang dikutip Sugiyono menyatakan, “yang paling penting sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.”19 Dari hasil reduksi data yang telah diklasifikasi, selanjutnya peneliti menyajikan data yang sesuai untuk menjawab rumusan masalah dengan sifat naratif. Naratif hal ini menghubungkan data yang diperloleh pada pendekatan konteks fakta sosial dari hasil reduksi data sebagai analisa. Menurut Miles dan Huberman yang dikutip Sugiyono, Conclucion drawing/verification penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti yang valid, maka kesimpulan yang dikemukan merupakan kesimpulan yang kredibel.20 Dari hasil penyajian data akan dikeseimpulkan. Bila, pada tahap ini hasil pengumpulan data belum mendekati valid, maka terus berulang mencari hingga titik jenuh. Karena pada tahap kesimpulan ini, fakta sosial pada tradisi tahlilan sudah mulai terlihat pada penjelasan akhir.
Emy Susanti Hendrarso, “Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar” dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan Edisi Revisi xviii, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet.6, h. 173. 18 Ibid., h. 339. 19 Ibid. 20 Ibid., h. 343. 17
BAB IV PEMBAHASAN
A. Kondisi Kelurahan Gedong Sebagai objek penelitian dan relaitas sosialnya sebagai subjek penelitian, maka mengenai wilayah ini dideskripsikan. Kelurahan gedong adalah salah satu dari lima Kelurahan di wilayah Kecamatan Pasar Rebo kota Administrasi Jakarta Timur dengan batasan wilayah berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1251 tahun 1986 perihal pembagian wilayah. Luas wilayah Kelurahan Gedong adalah 263,4 Ha Adapun batas wilayah Kelurahan Gedong sebagai berikut: 1. Utara
: Kelurahan Tengah, Kelurahan Batu Ampar, dan Kelurahan Bale Kambang
2. Selatan
: Kelurahan Cijantung
3. Barat
: Kali Ciliwung
4. Timur
: Kali Baru
Berdasarkan statistik penduduk tingkat Kelurahan bulan juli tahun 2016 Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Adminstrasi Jakarta Timur terbagi atas warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing WNA. Untuk WNI dengan jenis kelamin laki-laki 20485 jiwa dan jenis kelamin perempuan 20026 jiwa, sedangkan WNI dengan jenis kelamin laki-laki 5 jiwa dan jenis kelamin perempuan 5 jiwa. Jadi jumlah keselurhan penduduk Kelurahan gedong pada bulan juli 40521 jiwa. Adapun berbagai rician kependudukan berdasarkan kepala keluarga (KK) di Kelurahan Gedong sebagai berikut:
56
57
Tabel 4.2: Jumlah Kepala Keluarga tiap RW NO RW
Jumlah Penduduk Jumlah
Jumlah KK
Lk.
Pr.
Jumlah Lk.
Pr.
Jumlah
RT 1
001
10
1516
1476
2992
726
172
898
2
002
10
2059
2018
4077
1035
198
1233
3
003
14
2885
2735
5620
1438
439
1877
4
004
17
1405
1448
2853
733
164
897
5
005
6
817
734
1551
232
150
382
6
006
7
833
939
1772
408
154
562
7
007
3
292
276
568
92
60
152
8
008
10
2398
2242
4640
1201
236
1437
9
009
11
2257
2215
4472
1154
235
1389
10
010
12
2423
2412
4835
1247
265
1512
11
011
8
1350
1281
2631
672
159
831
12
012
9
2255
2252
4507
1174
243
1417
40521
10112
Jumlah
117
20490 20031
2475
12587
Sumber: Data Statistika Kependudukan & Laporan Hasil Kegiatan Pembinaan milik Kelurahan Gedong pada akhir bulan Juli 2016. Klasifikasi pekerja yang akan melihat produktifitas penduduk. Berdasarkan Undang-undangan Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 untuk usia dibawah 15 dan usia diatas 65 tahun dianggap bukan tenaga kerja. Untuk usia 15-64 tahun dikatakan tenaga kerja. Maka dari itu perlu mengetahui kondisi umur penduduk. Adapun data penduduk yang dilihat berdasarkan umur sebagai berikut:
58
Tabel 4.1: Jumlah penduduk menurut umur No Strata
WNI
WNA
Jumlah
Umur
Seluruhnya Lk.
Pr.
Jumlah
Lk.
Pr.
Jumlah
3
6
3250
1
3733
1
0-4
1737
1507
3244
3
2
5-9
1912
1820
3732
1
3
10-14
1837
1780
3617
4
15-19
1531
1503
3034
5
20-24
1485
1486
2971
2971
6
25-29
1537
1632
3169
3169
7
30-34
1913
1865
3778
8
35-39
1899
1850
3749
9
40-41
1683
1763
3446
10
45-49
1526
1418
2944
2944
11
50-54
1191
1132
2323
2323
12
55-59
847
853
1700
1700
13
60-64
628
632
1260
1260
14
65-69
355
352
707
707
15
70-74
218
222
440
440
16
>75
186
211
397
397
jumlah
20485 20026
40511
3617 1
1
1
3035
1
3779 3749
1
1
5
5
3447
10
40521
Sumber: Data Statistika Kependudukan & Laporan Hasil Kegiatan Pembinaan milik Kelurahan Gedong pada akhir bulan Juli 2016. Dari tabel tersebut, usia tenaga kerja lebih mendominasi. Tidak dipungkiri memang kondisi kota didominasi pada oleh tenaga kerja yang mengarah produktifitas penduduk. Kondis produktifitas hanya melihat usia saja, dalam hal ini perkuat dengan kondisi data pada kenyataannya. Maka dari itu kenyataan pekerjaan penduduk perlu diketahui. Adapun data
59
kependudukan berdasarkan pendidikan dan pekerjaan di Kelurahan Gedong sebagai berikut: Table 4.3: Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan & pekerjaan Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah Penduduk 20490 20031 40521 10112 2475 12587 Jumlah Kepala Keluarga Pendidikan Tertinggi 3003 2995 5998 Tidak sekolah 2010 2078 4088 belum tamat SD 1629 1683 3312 Tamat SD 2314 2296 4610 Tamat SLTP 7865 7726 15591 Tamat SLTA 3678 3253 6931 Tamat Akademik/P.T. Pekerjaan Tani 5201 3583 8784 Kary. Swasta/Pemerintah/ABRI 1898 1643 3541 Pedagang Nelayan Buruh Tani 1709 1592 3301 Pensiunan 1450 1450 Pertukangan 1694 2386 4080 Pengangguran 1107 892 1999 Fakir Misikin 7425 9934 17359 Lain-lain Drop Out (Putus Sekolah) Tidak Sekolah Dari SD Dari SLTP Dari SLTA Dari Akademik/P.T. Sumber: Data Statistika Kependudukan & Laporan Hasil Kegiatan Pembinaan Pendidikan Pekerjaan
milik Kelurahan Gedong pada akhir bulan Juli 2016. Dari data tabel tersebut, terlihat kondisi nyata pekerjaan juga mendominasi. Keterkaitan umur tenanga kerja yang mendominasi pada
60
tabel berdasarkan umur dan banyaknya pekerja dari tabel berdasarkan pendidikan dan pekerjakaan menandakan penduduk keluarahan gedong produktifitas. Dapat disimpulkan kondisi kota memang lebih didominasi produktifitas penduduk.
B. Kondisi Sosial Budaya di Kelurahan Gedong Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur merupakan masyarakat yang masih mejaga tradisi-tradisi. Salah satunya tradisi slametan. Hal tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap siklus kehidupan yang dijalani. Bentuk kegiatan dengan mengajak masyarakat lainnya untuk berdoa bersama yang bertujuan mengaharapkan sesuatu. Ataupun, memohon doa saja atas bentuk ucapan rasa syukur yang diterima. Dalam bentuk doa bersama tersebut biasanya seperti mengadakan kirim doa-doa. Berbagai kegiatan kirim doa ini dimaksudkan mengharapkan sesuatu. Seperti kegiatan mitoni sebagai tanda syukur bayi yang sedang mengandung, dan setelah ada kelahiran bayi diadakan aqiqah yang dikenal biasanya kekahan biasanya ada yang mengadakan doa bersama, atau sekedar membagikan makan dan memohon doanya. Biasanya ditemui resepsi sunatan dan pernikahan. Resepsi sunatan dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Sedangkan resepsi pernikahan merupakan bentuk syukur atas muda-mudi yang telah sah menjalani rumah tangga. Pada kedua kegiatan tersebut mengundang tetangga lainnya untuk hadir, memohon doa restu, dan dijamu makanan. Bahkan, sebelum resepsi itu didakan biasanya mengadakan doa bersama untuk mengharapakan kelacaran dari kegiatan. Bila resepsi dirasa berat, bagi masyarakat Islam Jawa biaanya mengharapakn doa saja dari tetangga sekitar. Biasanya dengan mengirim makan ketetangga, dan memohon doanya. Saat kematian datang, setelah melakukan penguburan terdapat doa bersama dengan maksud megirim doa yang lebih dikenal tahlilan. Dasar pelaksanaannya di waktu hari meninggalnya, yang pertama telung dina (tiga
61
hari berturut-turut), dilanjut mitung dina (hari ke tujuh), selanjutnya pelaksanaaan matang puluh (hari ke 40), dan nyatus (hari ke 100). Kegiatan doa bersama yang tahunan, seperti: mauludan yang lebih dikenal memperingati lahirnya Nabi Muhammad, mi’radan yang lebih dikenal memperingati isra mi’raj, dan memperingati nifsu syaban. Pada ketiga kegiatan
tersebut
biasanya
ditemui
pada
masjid-masjid
dalam
pelaksanaanya. Biasanya dengan mengadakan doa bersama untuk mengharapkan sesuatu. Selanjutnya kegiatan yang bersifat pribadi untuk mendoakan keluarga yang sudah mendahului. yaitu nyadran berupa mengunjungi makam sepekan sebelum bulan ramadhan dengan maksud mendoakan dan melakukan bersih-bersih makam. Dari bentuk doa bersama yang telah ditemukan, perbedaan-perbedaan dan persamaan yang terlihat dengan masyarakat pribumi yaitu betawi memiliki cara tersendiri. Bagi persamaan yang ada, dari keseluruhan kegiatan doa bersama yang dilakukan masyarakat Jawa memang sama. Pada pengamatan yang lebih di tahlilan terdapat beberapa pebedaaan. Pada tahlilannya dalam penetuan dasar hari pelaksaannya pada saat hari pemakamannya, bukan pada saat hari meninggalnya. Istilah yang berkembang dengan nama turun tana. Dalam saat pelaksanan dimasyarakat Jawa terdapat telung dina (tiga hari berturut-turut), mitung dina (hari ke tujuh), matang puluh (hari ke 40), dan nyatus (hari ke 100). Sedangkan di betawi tiga hari berturut-turut), hari ke tujuh, hari ke empat belas (dikenal dengan istilah dua kali nujuh), hari ke 40, hari ke 100, dan setahun (haul). Pada tahllan betawi selain istilah tunun tana sebagai penghitung penetapan tahlil. Ternyata juga terdapat tahlilan turun tana. Sebenarnya tahlilan turun tana ini dilakukan setelah pemakaman sebelum dzuhur. Sebagai tanda terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu memakamkan jenazah. Daripada selesai pemakaman sekedar kumpulkumpul saja, lebih baik mengirmkan doa, dan dijamu makan-makan. Namun sangat jarang ditemui sekarang ini tahlilan turun tana. selanjutnya dalam tahlilan hari ke empat belas (dua kali nujuh). Biasanya para tamu
62
tahlil diberi berkat ketupat. Hal tersebut didasarkan karena istilah ketupat yaitu satu empat, yang artinya empat belas.
C. Tahlilan pada Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Epistemologi Tahlilan sebenarnya diambil dari kata tahlil. Tahlil secara bahasa berasal dari sighat mashdar dari kata “hallala” (yuhallilu, tahlilan) yang bisa berarti membaca kalimat la ilaha illallah. Selanjutnya, tahlilan (istilah Islam-Jawa, yang dalam bahasa Indonesia yang benar adalah “bertahlil”) adalah menggunakan atau memakai bacaan tahlil tersebut untuk maksud tertentu.1 Pemahaman mengenai tahlilan yang dikenal umumnya adalah mengirim doa bagi orang yang meninggal di masyarakat Islam Jawa. Menurut Nasrudin, “Tahlilan itu mengirim doa bagi yang sudah meninggal, dan menghibur bagi orang yang masih hidup.”2 Dapat diartikan selain mengirimkan doa kepada orang yang sudah ditinggalkan, menghibur orang yang masih hidup merupakan cara bentuk kepada keluarga yang ditinggalkan agara tidak berlarut-larut bersedih. Cara hal yang dilakukan dengan datang bersilahturami untuk niat mengirim doa. Dapat disimpulkan tahlilan merupakan kirim doa bagi orang yang meninggal yang didalamnya terdapat bacaan tahlil dan sekligus untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan. Mengenai tahlilan dalam kondisi sosial budaya merupakan realita tradisi didalam masyarakat Islam Jawa, khususnya di Kelurahan Gedong ini. Pemaknaan untuk memahminya telah menjadikan suatu cara bagi masyarakat. Maka dari itu memahmi tahlilan tidak sekedar sebuah pembatasan definisi. Namun realita pelaku-pelaku sosial (subjek) dalam kondisi disuatu tempat (objek) memiliki hal lainnya yang dapat dilihat dari proses pelaksanaan tahlilan.
1 Muhammad Sholikhin, Ritual Kematian Islam Jawa: Pengaruh Tradisi Lokal Indonesia dalam Ritual Kematian Islam, (Yogyakarta: Narasi. 2010) Cet.1, h. 151. 2 Hasil wawancara dengan H. Mohammad Nasrudin di Masjid An-Nuriah pada 23 Agustus 2016 pukul 20.30
63
Dasar perhitungan hari penentuannya tahlilan, menurut Nasrudin “itu ada mulai turun tanah,3 ada juga yang saat meninggal untuk hitungannya. Biasanya kalau untuk orang Jawa pas meninggalnya, kalau betawi pas turun tanahnya. Misalnya kalau meninggalnya sekarang, maka tahlilannya sekarang. Kalau lain dari Jawa pas kalau meninggalnya sekarang, kalau belum dimakamkan besok, berarti mulainya besok.”4 Diperkuat oleh Musriyani, “pada saat pas meninggalnya orang tua, pada saat malam itu sampai malam ketujuh, lanjut keempat puluh hari, sampai keseratus hari.”5 Senada dengan Nugrahardi, “Kalau dikami biasanya pada malam pertama meninggal.”6 Dapat disimpulkan dasar penentuan hari pertama tahlilan itu bagi masyarakat Islam Jawa pada saat hari meninggalnya, bukan saat dimakamkan. Sebagai penjelasannya misal, orang Islam Jawa yang meninggal ditanggal 1 Juli, dimakamkan 2 Juli, dalam pelaksanaan hari pertama tahlilannya pada tanggal 1 Juli. Maka dari dasar hitungan tersebut, pelaksaanan tahlilan dimulai pada hari-hari pertama, kedua, ketiga, yang lebih dikenal dengan telung dina. Selanjutnya pada hari yang ke tujuh dikenalnya mitung dina. Berjalan pada hari ke 40 (matang puluh), hingga hari yang ke 100 (nyatus). Dalam hitungan hari yang setahun (mindak sepisan) masih jarang ditemui. Kondisi kini telah mengarahkan perbedaan dalam waktu pelaksanaan pada umumnya. Pada umumnya hal yang masih menjaga tradisi ini didaerah-daerah pemukiman menengah bawah dan menengah. Namun, untuk di dearah-daerah pemukiman mewah (elit) atau perumahan dinas biasanya hanya melaksakan tiga hari berturut-turut. Sangat jarang sekali
Kata “turun tanah” yang dimaksud, saat jenazah telah dimasukan kedalam liang lahat. Hasil wawancara dengan H. Mohammad Nasrudin di Masjid An-Nuriah pada 23 Agustus 2016 pukul 20.30 5 Hasil wawancara dengan Feni Musriyani di rumah informan pada 24 Agustus 2016 pukul 18.00 6 Hasil wawancara dengan Harris Nugrahardi di rumah informan pada 24 Agustus 2016 pukul 20.30 3 4
64
hingga malam ke tujuh dan seterus. Terlihat dari perebedaan waktu yang dilaksanakan menjadi pergesaran dalam memahami tradisi tahlilan. Dalam pelaksanaan tahlilan sering diadakan setelah sholat isya (ba’da Isya). Berkisar pada waktu pelaksanaan sekitar 30 menit ataupun 45 menit. Namun, tergantung penyelenggara tahlilan ada hal yang perlu disampaikan atau tidak. Misal dalam pelaksanaan tersebut disisipi kultum. Pada umunya di tahlilan masyarakat Islam Jawa cukup pembacaan doa-doa pembuka, surat yasin, dan tahlil. diperkuat oleh Nasrudin, “di Jawa hanya membaca surat yasin, tahlil, dan doa saja.”7 Untuk peserta tahlilan diisi oleh laki-laki dari berbagai masyarakat (tetangga) sekitar, sanak saudara, dan/atau hanya jamaah masjid. Peserta tahlilan terlihat heterogen, tidak batasi hanya keluarga atau primordial tersendiri. Sebelum tahlilan dilaksanakan, hal yang paling penting menentukan pemimpin tahlilan. Setelah itu peserta tahlilan diundang, biasanya dengan datang rumah kerumah, dan sekaligus mengundang jamaah masjid. Bahkan, terkadang hanya mengundang jamaah masjid saja. Saat acara tahlilan dimulai umumnya membaca doa pembuka, seperti surat al-fatihah. Selanjutnya, menyebut nama orang yang akan dikirim doa. Terakhir pembacaan surat yasin, setelah itu ditutup doa penutup. Mengenai doa penutup diisi dengan tahlil, dan dzikir menyebut nama Allah. Dijelaskan lengkap oleh Sukardi mengenai kegiatan rangkaian doa-doa tahlil sebagai berikut: Acara kegiatannya itu, biasannya kita mulai dengan kalimat-kalimat kirim shalawat, kirim fatehah ke Nabi Muhammad, ke Malaikat, kemudian kirim doa untuk arwah yang sudah meninggal, ditambah juga kepada doa kepada arwah leluruh. Mulai dengan membaca surat al-ikhlâs, kemudian surat alfalaq, an-nâs, ditambah lagi dengan surat al-baqarah dari ayat satu sampai ulâ’ika ‘alâ hudam mir rabbihim, ayat kursi, ditambah dengan sholawat, dan setelah itu doa.8
7 Hasil wawancara dengan H. Mohammad Nasrudin di Masjid An-Nuriah pada 23 Agustus 2016 pukul 20.30 8 Hasil wawancara dengan Agung Sukardi di Musholla Al-Ikhlas pada 26 Agustus 2016 pukul 20.30
65
Untuk kesimpulannya mengenai rangkaian bacaan sebenarnya yang pertama mengirimkan doa pembuka yaitu surat al fatihah kepada Nabi Muhammad SAW, malaikat-malaikat, orang meninggal yang dimaksud, dan para leluhur. Dilanjutkan dengan surat-surat al-qur’an seperti al-ikhlâs, alfalaq, an-nâs, potongan ayat 1 sampai 5 dan potongan ayat 255 (ayat kursi) dari surat al baqarah, bacaan sholawat, dan doa. Untuk doa-doa pembacaan surat yasin, tahlil, dan doa penutup. Demikian rangkaian bacaan-bacaan pada tahlilan dimasyarakat Islam Jawa Diakhir tahlilan biasanya para peserta disajikan kue-kue jajanan pasar, minuman, dan rokok. Hal tersebut memang menjadi bentuk jamuan para tamu atau peserta tahlil. Seperti ungkapan Musriyani, “untuk jamuannya untuk para tamu yang datang.”9 Setelah santai sejenak dengan suguhan tersebut, biasanya diselingi obrolan-obrolan para perserta tahlilan. Menurut Darmiyanto, “kalau sudah selesai doa (tahlil), kita dapat berkat.”10 Sebagai tanda terima kasih berupa berkat. Istilah berkat merupakan makanan tanda terima kasih yang sudah diberkahi dari penyelnggara tahlilan. Diperkuat oleh Mohammad Nasrudin, “merasa bersyukur karena telah didoakan, maka menyediakan konsumsi sebagai rasa gembira. Sebagai bentuk shodaqoh yang pahalanya untuk almarhum, yang istilah berkat (mbreg diangkat).”11 Mengenai berkat, menurut Sutriono, “kita mendapatkan berkat, berupa makanan, kue atau bingkisan lainnya, ya sarung, alat sholat.”12 Namun, berkat juga yang ditemukan berupa bahanbahan sembako sebagai bingkisan.
9
Hasil wawancara dengan Feni Musriyani di rumah informan pada 24 Agustus 2016 pukul
18.00 10
Hasil wawancara dengan Restu Darmiyanto di rumah informan pada 28 Agustus 2016 pukul
14.30 11 Hasil wawancara dengan H. Mohammad Nasrudin di Masjid An-Nuriah pada 23 Agustus 2016 pukul 20.30 12 Hasil wawancara dengan Hari Sutriono di rumah informan pada 26 Agustus 2016 pukul 19.00
66
Dalam pembagian berkat, hal pemberian tanda terima kasih berlebih terjadi pada pemimpin tahlil. pemberian tersebut selain berkat yang lebih dan amplop bersi uang. Memang hal ini tidak dianggap berlebihan karena telah menyanggup permohonan dari tuan rumah. Pemberian berkat yang berbeda juga diterima oleh saudara dari tuan rumah. Terakhir, untuk para tamu yang berasal dari tetangga dan/atau jemaah mendapatkan berkat yang sesuai saja.
D. Pemahaman Tahlilan di Masyarkat Islam Jawa Kelurahan Gedong Mengenai pemahaman tahlilan yang dilihat dari perilaku dan pemaknaan. Perlunya melakukan tradisi ini tersampaikan melalui sosialisasi. Terlihat secara kondisi dalam memahami tahlilan di masyarakat Islam Jawa adanya melanjutkan tradisi ini. Dari perilaku yang terlihat sebenarnya kebiasaan sebagai niat mendoakan tetangga yang ditinggalkan, sekaligus bersilahturahmi antara tetangga dan penyelenggara tahlilan. Makna untuk memberikan rasa penghormatan terakhir yang disampaikan melalui mengirim doa. Bahkan, sebagai rasa mengenang bagi masyarakat yang telah mendahuluinya. Perasaan mengenang sosok orang yang ditinggal tersalurakan melalui pertemuan silahturahmi dengan niat mendoakan. Dari perilaku dan pemakaan, selanjutnya dari bentuk sosialisasi. Yang dapat dilihat dari sosilasi sebagai bentuk penanaman tradisi tahlilan untuk dilanjutkan. Dari sini pengaruh sosilasai primer dan sekunder yang terdapat di masyarakat Islam Jawa. Mengenai sosialisasi yang terdapat dikeluarga, sedangkan sosialisasi sekunder yang terdapat diluar keluarga. Sebagai contoh sosialisasi sekunder seperti teman, masyarakat, pendidikan formal ataupun non formal, dan media masa.
67
Bagi pelaksana tahlilan dalam sosialasi primer mengarahkan untuk mengerjakan. Seperti pemahaman yang disampaikan oleh orang tua terhadap tahlilan, dan diungkap oleh Musriyani, “orang tua ngajarin, itu ajaran Islam saja, yang sunnah.”13 Dari pemahaman sosilasi primer ini, terlihat bahwa sebagai bentuk anjuran pengerjaan saja. Tidak ada rasa bertanya-tanya mengenai benar atau salah. Hal ini bentuk doktrin atas pelaksanaan tradisi tahlilan perlu dilaksanakan. Dari
segi
sosialisasi
sekunder
pemamhaman
tahlilan
hanya
mengarahkan pada ajakan-ajakan. Seperti diungkap oleh Sutriono, “sebagai pengingat saja, jadi misalkan udah diundang, ntar tetangga mengingatkan saja untuk ikut.”14 Dari sosialisasi sekunder mengenai pemahaman tradisi tahlilan hanya terlihat ajakan-ajakan. Akan kurang baik, bila ajakan tahlilan dari masyarakat dihiraukan begitu saja. Namun bila ada kebutuhan yang mendesak, menjadikan sebagai pertimbangan atas ajakan tersebut. Mengenai pertimbangan dari tradisi tahlil memiliki pemahaman tersendiri. Pertimbangan perlunya mengikuti dan tidak mengikuti tahlilan. Bagi pelaksana tahlilan merupakan hal yang wajib untuk mengadakan tahlilan. Menurut Musriyani, “salah satunya ajuran agama Islam. Sedih ya, misalkan ngak ngikutin tahlilan. Jadi ya sebagai anak sih berusaha memberi yang terbaik aja. Penghormatan terakhir aja untuk orang tua.”15 Selanjutnya menurut Nugrahardi, “untuk mendoakan orang tua yang sudah meninggal.”16 Bagi pelaksana tahlilan, pertimbangan tahlilan merupakan wajib dalam norma yang dianggapnya. Terdapat kekuatan rasa ketakutan, bila tidak
13
Hasil wawancara dengan Feni Musriyani di rumah informan pada 24 Agustus 2016 pukul
18.00 14
Hasil wawancara dengan Hari Sutriono di rumah informan pada 26 Agustus 2016 pukul
19.00 15
Hasil wawancara dengan Feni Musriyani di rumah informan pada 24 Agustus 2016 pukul
18.00 16
20.30
Hasil wawancara dengan Harris Nugrahardi di rumah informan pada 24 Agustus 2016 pukul
68
mengerjakan tradisi tahlil ini. Dari rasa ketakutan tidak melaksanakan dari pemahaman yang diterima. Hingga rasa individu yang tidak berbakti terhadap penghormatan terakhir kepada orang tua.. Pertimbangan tahlilan bagi tokoh masyarakat Islam. Menurut Nasrudin, “karena memang pemahaman kami, orang yang sudah meninggal dunia perlu dibantu dengan doa. Merasa ikut berdosa, karena kami tidak membantu mengirim doa untuk orang yang sudah meninggal.17 Hal yang moderat diungkap oleh Sukardi, “saya fleksibel, tapi saya ambil positifnya, daripada saya bicara yang tidak-tidak, ngobrol-ngobrol yang tidak ada manfaatnya, dan tahlilan pun isinya al-qur’an dan hadis. Tentu hal itu akan menjadi lebih baik, kemudian dalam bermasyarakat itu juga baik, kita bisa silahturahmi.”18 Dalam pandangan tokoh masyarakat Islam Jawa, perlu membantu dalam mendoakan orang yang telah meninggal dan lebih banyak hal positif. Hal tersebut merupakan pertimbangan perlunya mengikuti tahlilan. Pertimbangan tidak mengikuti tahlilan akan ada rasa berdosa. Namun hal yang berbeda, tidak mengikuti tahlilan hal yang biasa saja, namun diambil positifnya saja. Maka dari itu pertimbangan pemahaman tidak mengikuti tahlilan sebenarnya dirasa kurang baik. Pertimbangan tahlilan bagi yang mengikuti tahlilan saja. Menurut Sutriono, “Ya jujur, karena bagi saya atas rasa ketidak enakan, karena kita kan masyarakat ya tetangga dekat, kalau kita ngak datang ya kan ngak enak. Ya kembali lagi ke Jawaban yang barusan, karena ketidak enakan. Bilamana udah diundang, Cuma kita tidak datang, ya tidak enak saja gitu.”19 Selanjutnya
menurut Darmiyanto, “Selama saya bisa, ya saya ikut. Istilahnya agar bisa
17
Hasil wawancara dengan H. Mohammad Nasrudin di Masjid An-Nuriah pada 23 Agustus 2016 pukul 20.30 18 Hasil wawancara dengan Agung Sukardi di Musholla Al-Ikhlas pada 26 Agustus 2016 pukul 20.30 19 Hasil wawancara dengan Hari Sutriono di rumah informan pada 26 Agustus 2016 pukul 19.00
69
saling berinteraksi dengan masyarakat lain juga. Ya jujur ya mas, saya merasa bersalah”20 Sebenarnya ada rasa ketidak enakan didalam kondisi masyarakat Islam Jawa. Hal ini terlihat, bila mereka diajak atau diundangan merasa perlu hadir sebagai bentuk dekat dengan masyarakat. Maka dari itu rasa kepedulian terhadap tradisi tahlilan ini merupakan pertimbangan pemahaman yang perlu diikuti. Walaupun memiliki pertimbangan yang mendesak, namun lebih baik hadir untuk memenuhi ajakan atau undangan tahlilan. Adapun temuan data yang telah dijelaskan mengarah pada simpulan dalam bentuk kerangka sebagai berikut:
20
14.30
Hasil wawancara dengan Restu Darmiyanto di rumah informan pada 28 Agustus 2016 pukul
70
Kerangka temuan data: Masyarakat Islam Jawa Di Kelurahan Gedong
Siklus Slametan
Tradisi Tahlilan
Pemahaman & Pemaknaan Tahlilan
Proses Tahlilan
mengakui dan tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan. Hadir dengan pertimbangan keadaan.
kirim doa bagi orang yang sudah meninggal, bacaan tahlil, dan menghibur keluarga yang ditinggalkan.
memiliki eksistensi yang terjaga dengan proses sosialisasi.
Dasar perhitungan pelaksanaan disaat hari meninggalnya. Mengundang tamu & dimulai saat ba’da isya.
pertimbangan kurang baik, bila tidak mengikuti. prosesnya dimaknai dengan rasa ikhlas dengan niat mendoakan.
Rangkaian bacaan doa pembuka, sholawat, surat yasin, doa tahlil, dan doa penutup. Terakhir disajikan berkat untuk para tamu.
71
E. Fakta Sosial Tradisi Tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Tradisi
tahlilan
didalam
masyarakat
Islam
Jawa
merupakan
keberadaaan yang dikatakan sesuatu yang ada. Dalam konteks ini sesuatu yang ada dalam masyarakat merupakan realitas sosial. Hal ini yang tidak dapat dikatakan kebaikan ataupun keburukan, tetapi benar adanya (fakta) dan memungkinkan diikuti oleh seluruh masyarakat. Sehubungan dengan pengaruh besar yang dimainkan oleh faktor rutin dalam perilaku sosial, orang mendapat kesan bahwa realitas sosial mempunyai suatu faktualitas atau kenyataan, yang dari luar menekan atas individu dan mengatur kelakuannya. Realitas dalam sosiologi merupakan masyarakat itu sendiri. Manusia yang merupakan bagian dari masyarakat dengan memiliki tingkah laku. Dari berbagai macam proses tingkah laku mengarahkan penerimaan, pertimbangan, dan keberlanjutan. Sebenarnya akan memaksa masyarakat sendiri atas nilai dan norma yang dibentuk dari proses tingkah laku. Penerimaan yang memaksa ini mengarahkan keseimbangan di tatanan masyrakat, maka dari itu sesuatu budaya diterima secara berlanjut. Bagi individu sebenarnya bebas memilih tindakannya. Tetapi, sadarkah mengapa tiap individu melakukan tindakan tertentu didasari rasa takut akan konsekuensinya. Mengenai kondisi tersebut memaksa individu untuk penyesuaian dilingkungan sosial. Kenyataan dalam masyarakat sebagai realitas objektif adalah melihat kondisi pemaksaan individu terhadap penyesuaian lingkungan sosial. Pemaksaan individu yang sebarnnya bebas memilih tindaknya, namun terdapat rasa ketakutan akan konsekuensinya. Hal ini terlihat adanya “sesuatu” (fakta sosial) dalam kolekstifitas dari masing-masing individu dalam bertindak. Masyarakat dengan macam-macam bentuk nilai dan norma yang berkembang telah melahirkan cara-cara bertindak. Diperhatikan seksama, tiap individu seolah-olah dalam bertindak adalah kewajiban dari dirinya sendiri. Memang dilakukan individu terlihat subjektif, karena individu
72
merasa tidakan yang dilakukan atas kebebasan dirinya dalam bertindak. Tetapi, terlihat subjektif dalam melakukan tindakan sebenaranya adalah objektif. Hal ini dapat terlihat, cara tindakan yang sebenarnya bebas dilakukan oleh individu sebenarnya dibentuk melalui sosialiasi. Durkheim berpendapat bahwa terdapat “sesuatu” yang berpengaruh atas kehidupan kolektif yang dapat dijadikan fokus kajian sosiologi.21 Sesuatu yang dimaksudkan Durkheim disebut fakta sosial. Fakta sosial seperti ketidaksengajaan “sesuatu hal” yang terbentuk, dan “sesuatu hal” tersebut diterima. Maka dari itu terdapat “sesuatu hal” tersebut sebenarnya memiliki pengaruh bagi tiap individu. selanjutnya mengenai fakta sosial dapat di identifikasi berupa kolektif, eksternal, dan koersif. Selanjutnya tipe fakta sosial silihat secara material dan non material. Mengidentifikasi fakta sosial dalam tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong. Yang pertama kolektif, sebagai contoh adalah tradisi tahlilan, tradisi tahlilan sebagai realitas yang mengatur setiap orang islam Jawa melakukan kegiatan ini. Tetapi, tidak ada paksaan bagi orang Islam Jawa untuk melakukan. Terlihat mengalami pergeseran perbedaan dalam waktu pelaksanaan pada umumnya. Pada umumnya hal yang masih menjaga tradisi ini didaerah-daerah pemukiman menengah bawah dan menengah. Namun, untuk di dearah-daerah pemukiman mewah (elit) atau perumahan dinas biasanya hanya melaksakan tiga hari berturutturut. Namun, tradisi tahlilan masih menjadi kolektif kelompok sosial. Selanjutnya pemahaman tidak menghadiri tahlilan karena kebutuhan mendesak, namun individu tersebut merasa bersalah. Pertimbangan ajakan tahlilan dapat ditolak, bila ditemui kebutuhan yang mendesak individu. Pemahaman tradisi tahlilan yang diakui, namun memiliki pertimbangan bagi individu. Maka dari itu fakta sosial bukan milik individu, namum miliki bersama kelompok sosial. Karena memiliki anggapan tersendiri bagi pemahaman tradisi tahlilan tersebut. 21
54
Fuad Ardlin, Waktu Sosial Emile Durkheim, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013) Cet.1. h.
73
Kedua, fakta sosial bersifat eksternal. Artinya keberadaan fakta sosial tidak bergantung pada kesadaraan individu perorangan. Sebagai contoh tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong tetap ada walaupun sesorang belum dilahirkan, telah dilahirkan, mengalami kehidupan dan meninggal. Saat sesorang tersebut mengalami kehidupan, kebiasaan yang diatur oleh tradisi telah mengaturnya. Hal ini lebih terelihat dalam pemahaman tahlilan dimasyarakat yang timbul dari sosialisasi. Penanaman sosialisasi ini mengarahkan konsekensi terhadap tradisi yang perlu dilanjutkan. Hal ini bagaimana kekuatan sosialisai primer yang terjadi dikeluarga dan kekuatan sosilasi sekunder diluar keluarga. Dari pemahaman sosilasi primer ini, terlihat bahwa sebagai bentuk anjuran pengerjaan saja. Tidak ada rasa bertanya-tanya mengenai benar atau salah. Hal ini bentuk doktrin atas pelaksanaan tradisi tahlilan perlu dilaksanakan. Dari kondisi lingkungan yang perlu penyesuaian terhadap tradisi tahlilan di masyarakat Islam Jawa. Hal yang dilihat bagi keluarga pelaksana tahlilan ini sebenarnya ada rasa kurang hormat, bila tidak melakukan kegiatan ini. kekuatan untuk mengadakan tahlilan sebagai rasa penghormatan tersendiri bagi individu. Kekuatan emosi rasa berbakti terhadap orang tua yang telah meninggal akan mengarahkan keluarga yang berduka untuk melakukan kirim doa dalam bentuk penyelanggaraan tahlilan. Selanjutnya pemahaman yang didapat dari sosialisasi sekunder berupa ajakan-ajakan. Terasa kurang baik, bila ajakan tahlilan dari masyarakat dihiraukan. Ketiga, fakta sosial mempunyai ciri koersif. Fakta sosial tak mungkin diterima secara kolektif apa bila tidak mempunyai sifat mengontrol kesadaran individu. kemampuan untuk memaksa sesorang untuk berpikir, bertindak dan berperasaan tertntu. Bila, fakta sosial tidak dipathui akan menerima hukuman. Pemahaman mendoakan orang yang telah meninggal merupakan pertimbangan perlunya mengikuti tahlilan. Pertimbangan tidak mengikuti tahlilan akan ada rasa berdosa. Namun tidak mengarah pada kewajiban, hanya perasaan merasa berdosa bila tidak membantu mendoakan
74
orang yang telah meninggal. Maka dari itu pertimbangan pemahaman tidak mengikuti tahlilan sebenarnya dirasa ada hal yang kurang baik. Pemahaman ada rasa “ketidak enakan” didalam kondisi masyarakat Islam Jawa. Misal, mereka diajak atau diundangan merasa perlu hadir sebagai bentuk dekat dengan masyarakat. Kepedulian terhadap tradisi tahlilan ini adalah pertimbangan pemahaman yang perlu diikuti. Walaupun memiliki pertimbangan yang mendesak, namun lebih baik hadir untuk memenuhi ajakan atau undangan tahlilan. Fakta sosial material dan nonmaterial terdapat korelasinya yang saling melengkapi. Bentuk material biasanya diikuti pula dengan non-material. Adanya bentuk kekuatan yang diluar individu dan memaksa indivudu telah memaknai kesadaran bersama dalam melakukan tindakan. Contohnya, menjalankan tradisi tahlilan dimaknai dengan rasa ikhlas dengan niat mendoakan. Dianalisa dari fakta sosial dengan contoh tersebut, hal material dapat dilihat dari kepatuhan perilaku mengikuti pemahaman tahlilan dan hal dalam tahlilan ialah mendoakan yang sudah meninggal. Selanjutnya, fakta sosial non material hal material dapat diketahui dari dipenjelasan fakta sosial material sebelumnya dengan ditambahkan perilaku rasa ikhlas mendoakan. Bila, tidak ada rasa ikhlas mendoakan dikatakan fakta sosial material. Fakta sosial sebenarnya adalah “sesuatu hal” dalam masyarakat yang memiliki kekuatan memaksa individu untuk berpikir menurut garis-gairs dan bertindak menurut cara-cara tertentu. Bahkan, pengaruhnya tidak terbatas satu atau beberapa individu, melainkan kepada sebagaian besar dari warga masyarakat yang bersangkutan. Misalnya tradisi yang sudah diiterima pada kalangan masyarakat, bila tidak dilakukan sesuai ketentuannya mendapat hal-hal yang perlu dikonsekuensikan. Tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong seperti “sesuatu hal.” Mengenai “Sesuatu hal” tersebut adalah cerminan konsekuensi bila tidak menjalankan tradisi tahlilan akan beranggapan sesuatu bagi individu. Anggapan-anggapan masyarakat yang tidak nampak
75
terasa berdampak negatif bagi individu yang tidak melakukannya. Anggapan yang berkembang seperti pemahaman terhadap tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong merupakan fakta sosial itu sendiri. Mengenai “sesuatu hal” tersebut sebenarnya adalah anggapan yang terbangun dari pemahaman masyarakat. Pemahaman yang terbentuk, dan pemahaman tersebut diterima. Maka dari itu terdapat pemahaman yang sebenarnya memiliki pengaruh menjadi bagi tiap individu. Pemahaman ini dilihat sebagai fakta sosial yang di identifikasi dari kolektif, eksternal, dan koersif. Dan, tipe fakta sosial secara material dan non material. Bahwa anggapan yang berasal dari pemahaman tradisi tahlilan pada masyarakat Islam Jawa di Kelurahan gedong merupakan fakta sosial. Deskripsi mengenai pemahaman tradisi tahlilan sebenarnya berasal dari sosialsasi individu yang terbentuk.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Masayarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur merupakan masyarakat yang masih mejaga tradisi slametan. Dalam tradisi slametan terdapat tradisi tahlilan untuk mendokan orang yang telah meninggal. Realitas sosial pada tradisi tahlilan timbul pemahaman masyarakat yang terbentuk dari sosialiasi. Pemahaman ini menjadi keteraturan dilingkungan sosial
sebagai kenyataan dalam masyarakat.
Fakta sosial (anggapan) dalam tradisi tahlilan mengarahkan individu untuk melakukan tindakan yang didasari rasa takut akan konsekuensinya. Konsekuensi yang didapat, bila diterima, dianggap sesuai dengan norma masyarakat. Bila tidak diterima, dianggap tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat. Keterkaitan terhadap teori fakta sosial Durkheim berupa analisis identifikasi (kolektif, eksternal, dan koersif) dan analisis tipe (material dan non material).
B. Saran Adapun beberapa saran yang dapat digunakan kepada pihak terkait: 1. Bagi peneliti, perlu adanya penelitian tentang hal lainnya dari slametan, karena hanya salah satu bagian slametan dalam penelitian ini yaitu tradisi tahlilan. 2. Bagi masyarakat Islam di Kelurahan Gedong, saling toleransi terhadap perbedaan pemahaman tradisi tahlilan. 3. Bagi masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong, melaksanakan dan mempertimbangkan tradisi tahlilan sebagai kegiatan yang positif untuk berkumpul sekaligus memanjatkan doa agar lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
76
77
4. Bagi pengurus-pengurus DKM se-Kelurahan gedong, dalam melayani penyelenggaraan tahlilan dapat sekaligus memberikan pembelajaran Islam kepada peserta tahlilan. 5. Bagi organisasi keagamaan di Kelurahan Gedong, adanya tradisi tahlilan tidak perlu dijadikan perdebatan dalam masyarakat. 6. Bagi pembelajaran sosiologi dan antropologi, sebagai pembelajaran tentang hubungan sesama manusia yang terlihat dalam interaksi sosial, menyikapi tradisi dalam kota, dan kencedrungan manusia terhadap agama.
DAFTAR PUSTAKA
AG, Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon. (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, Cet.2, 2001. Amin, Darori (Ed). Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2002. Ardlin, Fuad. Waktu Sosial Emile Durkheim. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2013. Bahri, Syamsul. “Tradisi Tahlilan di Perkotaan dalam Arus Modernisasi: Studi Kasus Masyarakat Gandaria Selatan-Cilandak.” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tangerang Selatan. 2008, tidak dipublikasikan. Basrowi. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia, Cet.1, 2005. Bungin, M. Burhan. Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif untuk Studi Sosiologi, Kebijakan Publik, Komunikasi, Manajemen, dan Pemasaran Edisi 1. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, Cet.1, 2013. Darmiyanto, Restu. Wawancara. Jakarta, 28 Agustus 2016. Endraswara, Endraswara. Etnologi Jawa: Penelitian. Pebandingan. dan Pemaknaan Budaya. Yogyakarta: Center of Academic Publisher Service, Cet.1. 2015. Fauzi, Muhammad Iqbal. “Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio-Kultural).” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tangerang Selatan. 2014, tidak dipublikasikan. Geertz, Clifford. Abangan. Santri. Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terj. Aswab Mahasin dari The Religion of Java. Jakarta: PT Dunia Pustaka, Cet.2, 1983 Hanum, Farida. “Konsep. Materi dan Pembelajaran Sosiologi.” Makalah ini disampaikan dalam seminar regional: Pembelajaran dan Pendidikan Karakter Mapel Sosiologi. Aula FISIP Universitas Negeri Sebelas Maret. Semarang. 27 September 2011. tidak dipublikasikan. Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial Edisi kedua Jakarta: Erlangga, 2009 Jaiz, Hartono Ahmad. Tarekat, Tasawuf, Tahlilan. dan Maulidan. Solo: WIP, Cet.1, 2016.
78
79
Jurdi, Syarifuddin. Sosiologi Nusantara: Memahami Sosiologi Integralistik. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, Cet.1, 2013. Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press, Cet.2, 1987. MH, Yana. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Absolut, 2010. Musyarof, Ibtihadj (Ed). Islam Jawa. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006. Musriyani, Feni. Wawancara. Jakarta, 24 Agustus 2016. Nugrahardi, Harris. Wawancara. Jakarta, 24 Agustus 2016. Nasrudin, Mohammad. Wawancara. Jakarta, 23 Agustus 2016. Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pegetahuan Berparadigma Ganda. Terj. dari Sociology: a Multiparadigm Science oleh Alimandan. Jakarta: CV RaJawail, Cet.1, 1985. ------------------. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Posmodern. Terj. dari Eighth Edition Sociological Theory oleh Saut Pasaribu. Rh. Widada & Eka Adi Nugraha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2012. Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Terj. dari The History of Java oleh Eko Prasetyaningrum. Nuryati Agustin. & Idda Qoryati Mahbubah (Yogyakarta: Narasi, Cet.1, 2008. Ranjabar, Jacobus. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2013 Riyanto, Geger. Peter L. Berger: Perspesktif Metateori Pemikiran. Jakarta: LP3ES. 2009. Saifuddin, Ahmad Fedyani. Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya. Institut Antropologi Indonesia, Cet.1, 2011 Sholikhin, Muhammad. Ritual Kematian Islam Jawa: Pengaruh Tradisi Lokal Indonesia dalam Ritual Kematian Islam. Yogyakarta: Narasi, Cet.1, 2010. Soekamto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru ke Empat. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. 16., 1992. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods), Badung: Alfabeta, Cet.1, 2011. Sukardi, Agung. Wawancara. Jakarta, 26 Agustus 2016.
80
Supardan, Dadan. Pengantar Ilmu Sosial sebuah Kajian Pendekatan Struktural Edisi I. Jakarta: Bumi Aksara, Cet.3. 2011. Sutriono, Hari. Wawancara. Jakarta, 26 Agustus 2016. Suyanto, Bagong., dan Sutinah (Ed.). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan Edisi Revisi xviii. Jakarta: Kencana, Cet. 6, 2011. Sztompka, Piötr. Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The Sociology of Social Change oleh Alimandan. Jakarta: Prenada Media Group, Cet.3, 2007. Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Gitamedia Press, Cet.1, 2006 Upe, Ambo. Tradisi Aliran dalam Sosiologi: dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta: RaJawali Pers, 2010. Veeger, K.J. Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas hubungan individumasyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1985. Widuri, Dhani Pandu. “Perubahan Sosial Tahlilan Selamatan Kematian di Dusun Kamijoro, Desa Sedangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul.” Skripsi pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta, 2015,
tidak
dipublikasikan. Wirawan, I.B. Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial. Definisi Sosial dan Perilaku Sosial) Edisi 1. Jakarta: Kencana, Cet.1, 2012. Zakaria. “Tradisi Tahlil Masyarakat Kabupaten Cirebon (Menguak Sejarah dan Konsep Tradisi Tahlil pada Masyarakat Desa Tegalgubuglor Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon).” Skripsi pada IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Cirebon, 2012, tidak dipublikasikan. ____.”Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.” http://kbbi.web.id/tradisi, 2016. ____.
“Sejarah
Lahirnya
Tahlilan
dalam
Upacara
Kematian.”
http://www.infoislamdaily.blogspot.com/2013/07/sejarah-lahirnya-tahlilandalam-upacara.html?m=1, 2016. ____.”Social
Facts
-
Agency/Structure
-
Social
Types.”
http://www.colorado.edu/Sociology/gimenez/soc.5001/durk1.html, 2016.
81
Lampiran 1
82
Lampiran 2
83
Lampiran 3
84
Lampiran 4
Pedoman Dokumentasi Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur 1. Jumlah penduduk 2. Jumlah penduduk menurut agama 3. Identitas lengkap data kematian penduduk 4. Kondisi geografis 5. Profil Daerah
85
Lampiran 5
86
Lampiran 5
87
Lampiran 5
88
Lampiran 5
89
Lampiran 6
90
Lampiran 6
91
Lampiran 6
92
Lampiran 6
93
Lampiran 7
94
Lampiran 7
95
Lampiran 7
96
Lampiran 7
97
Lampiran 7
98
Lampiran 7
99
Lampiran 7
100
Lampiran 7
101
Lampiran 7
102
Lampiran 7
103
Lampiran 7
104
Lampiran 7
105
Lampiran 7
106
Lampiran 7
107
Lampiran 7
108
Lampiran 7
109
Lampiran 7
110
Lampiran 7
111
Lampiran 7
112
Lampiran 7
113
Lampiran 7
114
Lampiran 7
115
Lampiran 7
116
Lampiran 7
117
Lampiran 7
118
Lampiran 7
119
Lampiran 7
120
Lampiran 7
121
Lampiran 7
122
Lampiran 7
123
Lampiran 7
124
Lampiran 7
125
Lampiran 7
126
Lampiran 7
127
Lampiran 7
128
Lampiran 7
129
Lampiran 7
130
Lampiran 7
131
Lampiran 7
132
Lampiran 7
133
Lampiran 7
134
Lampiran 7
135
Lampiran 7
136
Lampiran 7
137
Lampiran 7
138
Lampiran 7
139
Lampiran 7
140
Lampiran 7
141
Lampiran 7
142
Lampiran 7
143
Lampiran 7
144
Lampiran 7
145
Lampiran 7
146
Lampiran 8
Temuan Dokumentasi Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur 1. Jumlah penduduk Berdasarkan statistik penduduk tingkat Kelurahan bulan juli tahun 2016 Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Adminstrasi Jakarta Timur terbagi atas warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing WNA. Untuk WNI dengan jenis kelamin laki-laki 20485 jiwa dan jenis kelamin perempuan 20026 jiwa, sedangkan WNI dengan jenis kelamin laki-laki 5 jiwa dan jenis kelamin perempuan 5 jiwa. Jadi jumlah keselurhan penduduk Kelurahan gedong pada bulan juli 40521 jiwa.
2. Jumlah penduduk menurut agama Berdasarkan laporan hasil kegiatan pembinaan pemerintah Kelurahan di provinsi DKI Jakarta bulan juli 2016 milik Kelurahan gedong, tercatat sebagai berikut: agama Islam 32956 (88,63 %), agama Kristen Protestan 2298 (8,18 %), agama Kristen Katholik 1656 (4,45 %), agama Hindu 73 (0,20 %), dan agama Budha 201 (0,54 %).
3. Identitas lengkap data kematian penduduk Untuk data ini berdasarkan catatan statistik penduduk Kelurahan gedong bulan juli surat keterangan kematian yang kelur, berdasarkan tanggal kematian dibulan juli ada 15 jiwa dan berdasarkan tanggal kematian sebelum bulan juli ada 1 jiwa. Namun, untuk identitas lengkap data kematian berupa surat keterangan kematian hanya dipilih yang beragama Islam dan bersuku Jawa. Pemilihan surat tersebut ini berdasarkan tempat kelahiran jenazah, dan nanti akan dicek kembali saat dilapangan. Terakhir, kolom pelapor dan saksi akan dicek kembali saat dilapangan sebagai data
147
Lampiran 8
kelurga terdekat atau hanya tetangga saja. Adapun beberapa surat keterangan kematian yang diperoleh sebagai berikut. -
No. Surat 3175051001-PKM-12072016-0002 Menerangkan jenazah Salbiyah dengan Kepala Keluarga Supirman, yang lahir 17 Agustus 1951 di Bayumas dan meninggal pada 8 Juli 2016 pukul 23.50. Dijelaskan pelapor oleh Tri Ernawati diperkuat saksi I oleh Dian Chaerany dan saksi II oleh Agus Hermansyah.
-
No. Surat 3175051001-PKM-13072016-003 Menerangkan jenazah Sahri dengan nama Kepala Keluarga Sahri, yang lahir 20 Februari 1951 di Tegal dan meninggal pada 12 Juli 2016 pukul 19.00. Dijelaskan pelapor oleh Aryanti Muspitasari, diperkuat saksi I Ragil Bagus Siswanto, dan saksi II oleh Feni Musriyani.
-
No. Surat 3175051001-PKM-1372016-0002 Menerangkan Ashari Ardi dengan nama KK Ashari Ardi, yang lahir 27 Desember 1937 di Malang dan meninggal pada 13 Juli 2016 pukul 02.06. Dijelaskan pelapor oleh Harris Nugrahardi, diperkuat saksi I oleh Moch. Rosyid dan saksi II oleh Anthony Rahardi.
-
No. Surat 3175051001-PKM-02082016-002 Menerangkan Rukiyah dengan nama KK Sumiartono, yang lahir 12 September 1942 di Cilacap dan meninggal pada 25 Juli 2016 pukul 08.20. Dijelaskan pelapor oleh Ayu Nining Rukmiarsih, diperkuat saksi I oleh Kukun Kurniadi Siswandi dan saksi II oleh Aldrin Suryo Buwono.
4. Kondisi geografis Berdasarkan laporan hasil kegiatan pembinaan pemerintah Kelurahan di provinsi DKI Jakarta bulan juli 2016 milik Kelurahan gedong. Kelurahan gedong adalah salah satu dari lima Kelurahan di wilayah Kecamatan Pasar Rebo kota Administrasi Jakarta Timur dengan batasan wilayah berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1251 tahun 1986 perihal pembagian wilayah. Adapun batas wilayah Kelurahan Gedong sebagai berikut: -
Utara
: Kelurahan Tengah, Kelurahan Batu Ampar, dan Kelurahan
Bale Kambang
148
Lampiran 8
-
Selatan
: Kelurahan Cijantung
-
Barat
: Kali Ciliwung
-
Timur
: Kali Baru
Luas wilayah Kelurahan Gedong adalah 263,4 Ha.
5. Profil Daerah Terlampir pada laporan hasil kegiatan pembinaan pemerintah Kelurahan di provinsi DKI Jakarta bulan juli 2016 milik Kelurahan gedong
149
Lampiran 9
Validasi Dokumentasi Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur Dari data dokumentasi mengenai identitas lengkap data kematian penduduk yang diperoleh, lalu dicek kembali berdasarkan informasi dari masyarakat, maka hasilnya sebagai berikut: a. No. Surat 3175051001-PKM-12072016-0002 Menerangkan jenazah Salbiyah dengan KK Supirman, yang lahir 17 Agustus 1951 di Bayumas. Berdasarkan keterangan yang didapat dari ketua RW 001 Bapak Nandang, menyatakan bahwa keluarga dari Supirman benar bersuku Jawa, namun tidak melaksanakan tahlilan. b. No. Surat 3175051001-PKM-13072016-003 Menerangkan jenazah Sahri dengan nama KK Sahri, yang lahir 20 Februari 1951 di Tegal. Berdasrkan keterangan warga RT 004 dan sekretaris RT 004 di RW 003 bahwa benar keluarga almarhum Sahri bersuku Jawa, Aryanti Muspitasari, Ragil Bagus Siswanto, dan Feni Musriyani merupakan anakanak dari Sahri. c. No. Surat 3175051001-PKM-1372016-0002 Menerangkan Ashari Ardi dengan nama KK Ashari Ardi, yang lahir 27 Desember 1937 di Malang. Berdasarkan keterangan RT 002 bahwa keluarga dari Ashari Ardi benar bersuku Jawa dan Harris Nugrahardi merupakan anaknya. d. No. Surat 3175051001-PKM-02082016-002 Menerangkan Rukiyah dengan nama KK Sumiartono, yang lahir 12 September 1942 di Cilacap. Berdasarkan keterangan warga Ayu Nining Rukmiarsih merupakan anak dari Rukiyah, dan bersuku Jawa.
Saat
dikomfirmasi untuk ditemui memang benar bersuku Jawa, namun kurang sependapat mengenai tahlilan.
150
Lampiran 9
Dari data dokumentasi Berdasarkan Berdasarkan laporan hasil kegiatan pembinaan pemerintah Kelurahan di provinsi DKI Jakarta bulan juli 2016 milik Kelurahan gedong yang diperoleh, salah satunya mengenai ketua pengurus Masjid seKelurahan Gedong.dengan pertimbangan fokus dalam penelitian ini menitikan pada tokoh-tokoh masyarakat Islam Jawa. Selanjutnya pembenahan data yang sebenarnya ditemukan dilapangan. Maka data tersebut dilengkapi dan dicek kembali dilapangan berdasarkan keterangan dari masyarakat ataupun bertemu langsung dengan pihak yang bersangkutan, maka hasilnya sebagai berikut: 1. Masjid Al-Barkah, dengan ketua pengurus A. Mawardi yang berasal dari suku Betawi. 2. Masjid Al-Fitrah, dengan ketua pengurus H. Nurdin yang berasal dari suku Betawi. 3. Masjid Al-Khoirot, dengan ketua pengurus Sudiyar yang berasal dari suku Jawa. 4. Masjid An-Nurriah, dengan ketua pengurus H. Moh. Nasrudin Ibrahim yang berasal dari Suku Jawa 5. Masjid Nurul Ihsan, dengan ketua pengurus Ust. Rozak yang berasal dari suku Betawi 6. Masjid Al-Hikmah, dengan ketua pengurus H. Syarial Makgalatung yang berasal dari suku Makassar 7. Masjid At Taqwa, dengan ketua pengurus Bambang Suryanto berasal dari suku Jawa 8. Masjid Roudotus Solihin, dengan ketua pengurus Zaenal Abidin yang berasal dari Palembang 9. Masjid Jami Al-Mujahiddin, dengan ketua pengurus Ust. Agung Sukardi yang berasal dari Suku Jawa 10. Masjid Jami Al-Fitroh, dengan ketua pengurus Ahmad Nurdin yang berasal dari Suku Betawi 11. Masjid Baitussolihin, dengan ketua pengurus H. Edi Marwoto yang berasal dari Suku Jawa
151
Lampiran 9
12. Masjid Uswatun Hasanah, dengan ketua pengurus Darwis Satiri yang berasal dari Suku Betawi 13. Masjid Al-Ahyar, dengan ketua pengurus H. Basri S.B. yang berasal dari suku Betawi 14. Masjid Al-Hijrah PP Plaza, dengan ketua pengurus Indaryanto yang berasal dari suku Jawa 15. Masjid An-Nur, dengan ketua pengurus Slamet yang berasal dari suku Jawa 16. Masjid Baiturahman, dengan ketua pengurus H. Muh. Nur yang berasal dari Suku Betawi 17. Masjid Al Istiqomah, dengan ketua pengurus H. Marta yang berasal dari suku Betawi Dari data tersebut yang sesuai ditemukan dilapangan, bahwa hanya terdapat 17 masjid di Kelurahan Gedong. Dengan ketua pengurus Masjid yang berasal dari suku Betawi terdapat di 8 masjid, dari suku Jawa terdapat di 7 Masjid, dan dari suku lainnya terdapat di 2 Masjid.
152
Lampiran 10
Pedoman Observasi Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur 1. Kondisi masyarakat secara sosial-budaya 2. Pelaksanaan kegiataan tahlilan 3. Perilaku masyarakat terhadap kegiatan tahlilan 4. Pemaknaan masyarakat terhadap kegiatan tahlilan
153
Lampiran 11
Hasil Observasi Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur 1. Kondisi masyarakat secara sosial-budaya Masayarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur merupakan masyarakat yang masih mejaga tradisi-tradisi. Salah satunya tradisi slametan. Hal tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap siklus kehidupan yang dijalani. Bentuk kegiatan dengan mengajak masyarakat lainnya untuk berdoa bersama yang bertujuan mengaharapkan sesuatu. Ataupun, memohon doa saja atas bentuk ucapan rasa syukur yang diterima. Dalam bentuk doa bersama tersebut biasanya seperti mengadakan kirim doa-doa. Berbagai kegiatan kirim doa ini dimaksudkan mengharapkan sesuatu. Seperti kegiatan mitoni sebagai tanda syukur bayi yang sedang mengandung, dan setelah ada kelahiran bayi diadakan aqiqah yang dikenal biasanya kekahan biasanya ada yang mengadakan doa bersama, atau sekedar membagikan makan dan memohon doanya. Biasanya ditemui resepsi sunatan dan pernikahan. Resepsi sunatan dilakukan pada saat anak laiki-laki dikhitan. Sedangkan resepsi pernikahan merupakan bentuk syukur atas muda-mudi yang telah sah menjalani rumah tangga. Pada kedua kegiatan tersebut mengundang tetangga lainnya untuk hadir, memohon doa restu, dan dijamu makanan. Bahkan, sebelum resepsi itu didakan biasanya mengadakan doa bersama untuk mengharapakan kelacaran dari kegiatan. Bila resepsi dirasa berat, bagi masyarakat Islam Jawa biaanya mengharapakn doa saja dari tetangga sekitar. Biasanya dengan mengirim makan ke tetangga, dan memohon doanya. Saat kematian datang, setelah melakukan penguburan terdapat doa bersama dengan maksud megirim doa yang lebih dikenal tahlilan. Dasar
154
Lampiran 11
pelaksanaannya di waktu hari meninggalnya, yang pertama telung dina (tiga hari berturut-turut), dilanjut mitung dina (hari ke tujuh), selanjutnya pelaksanaaan matang puluh (hari ke 40), dan nyatus (hari ke 100). Kegiatan doa bersama yang tahunan, seperti: mauludan yang lebih dikenal memperingati lahirnya Nabi Muhammad, mi’radan yang lebih dikenal memperingati isra mi’raj), dan memperingati nifsu syaban. Pada ketiga kegiatan
tersebut
biasanya
ditemui
pada
masjid-masjid
dalam
pelaksanaanya. Biasanya dengan mengadakan doa bersama untuk mengharapkan sesuatu. Selanjutnya kegiatan yang bersifat pribadi untuk mendoakan keluarga yang sudah mendahului. yaitu nyadran berupa mengunjungi makam sepekan sebelum bulan ramadhan dengan maksud mendoakan dan melakukan bersih-bersih makam. Dari bentuk doa bersama yang telah ditemukan, perbedaan-perbedaan dan persamaan yang terlihat dengan masyarakat pribumi yaitu betawi memiliki cara tersendiri. Bagi persamaan yang ada, dari keseluruhan kegiatan doa bersama yang dilakukan masyarakat Jawa memang sama. Pada pengamatan yang lebih di tahlilan terdapat beberapa pebedaaan. Pada tahlilannya dalam penetuan dasar hari pelaksaannya pada saat hari pemakamannya, bukan pada saat hari meninggalnya. Istilah yang berkembang dengan nama turun tana. Dalam saat pelaksanan dimasyarakat Jawa terdapat telung dina (tiga hari berturut-turut), mitung dina (hari ke tujuh), matang puluh (hari ke 40), dan nyatus (hari ke 100). Sedangkan di betawi tiga hari berturut-turut), hari ke tujuh, hari ke empat belas (dikenal dengan istilah dua kali nujuh), hari ke 40, hari ke 100, dan setahun (haul). Pada tahllan betawi selain istilah tunun tana sebagai penghitung penetapan tahlil. Ternyata juga terdapat tahlilan turun tana. Sebenarnya tahlilan turun tana ini dilakukan setelah pemakaman sebelum dzuhur. Sebagai tanda terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu memakamkan jenazah. Daripada selesai pemakaman sekedar kumpul-kumpul saja, lebih baik mengirmkan doa, dan dijamu makan-makan. Namun sangat jarang ditemui sekarang ini tahlilan turun tana. selanjutnya dalam tahlilan hari ke
155
Lampiran 11
empat belas (dua kali nujuh). Biasanya para tamu tahlil diberi berkat ketupat. Hal ini didasarkan karena istilah ketupat yaitu satu empat, yang artinya empat belas.
2. Pelaksanaan kegiataan tahlilan Kegiatan tahilan dalam masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong masih dapat dijumpai. Tahlilan berharap adanya kirim doa terhadap orang yang telah meninggalkan keluarga dari penyelenggara. Dasar perhitungan hari penentuannya, saat tanggal kematiannya. Jadi bila orang yang meninggal ditanggal 1 Juli, dimakamkan 2 Juli, dalam pelaksanaan hari pertama tahlilannya pada tanggal 1 Juli. Secara umum pelaksaanan tahlilan pada hari-hari pertama, kedua, ketiga, lebih dikenal dengan telung dina. Selanjutnya pada hari yang ke tujuh dikenalnya mitung dina. Berjalan pada hari ke 40 (matang puluh), hingga hari yang ke 100 (nyatus). Dalam hitungan hari yang setahun (mindak sepisan) masih jarang ditemui. Dalam pelaksanaan waktu lebih sering diadakan setelah sholat isya (ba’da Isya). Berkisar pada waktu pelaksanaan sekitar 30 menit ataupun 45 menit. Namun, tergantung penyelenggara tahlilan ada hal yang perlu disampaikan atau tidak. Misal dalam pelaksanaan tersebut disisipi kultum. Pada umunya di tahlilan masyarakat Islam Jawa cukup pembacaan doa pembukaan, doa yasin, dan doa tahlil. Perbedaan dalam waktu pelaksanaan pada umumnya. Di dearah-daerah pemukiman mewah biasanya hanya melaksakan tiga hari berturut-turut. Jarang sekali hingga malam ke tujuh dan seterus. Terlihat pergesaran dalam memahami tradisi tahlil ini. Biasanya peserta tahlilan diisi oleh laki-laki dari berbagai masyarakat (tetangga) sekitar, sanak saudara, dan/atau hanya jamaah masjid. Peserta tahlilan terlihat heterogen, tidak batasi hanya keluarga atau primordial tersendiri. Sebelum tahlilan dilaksanakan, hal yang paling penting menentukan pemimpin tahlilan. Setelah itu peserta tahlilan diundang,
156
Lampiran 11
biasanya dengan datang rumah kerumah, dan sekaligus mengundang jamaah masjid. Bahkan, terkadang hanya mengundang jamaah masjid saja. Saat acara tahlilan dimulai umumnya membaca doa pembuka, seperti surat al-fatihah. Selanjutnya, menyebut nama orang yang akan dikirim doa. Terakhir pembacaan surat yasin, setelah itu ditutup doa penutup. Mengenai doa penutup diisi dengan doa tahlil, dan dzikir menyebut nama Allah. Sebagai akhir tahlilan biasanya para peserta disungguhkan kue-kue jajanan pasar, minuman, dan rokok. Setelah santai sejenak dengan suguhan tersebut, biasanya diselingi obrolan-obrolan. Setelah itu pembagian tanda terima kasih berupa berkat. Istilah berkat merupakan makanan tanda terima kasih yang sudah diberkahi dari penyelnggara tahlilan. Namun, berkat juga yang ditemukan berupa bahan-bahan sembako sebagai bingkisan. Bahkan pemberiaan berkat ditemukan tambahan kenang-kenangan seperti sajadah, sarung dan buku yasin. Dalam pembagian berkat, hal pemberian tanda terima kasih berlebih terjadi pada pemimpin tahlil. pemberian tersebut selain berkat yang lebih dan amplop bersi uang. Memang hal ini tidak dianggap berlebihan karena telah menyanggup permohonan dari tuan rumah. Pemberian berkat yang berbeda juga diterima oleh saudara dari tuan rumah. Terakhir, untuk para tamu yang berasal dari tetangga dan/atau jemaah mendapatkan berkat yang sesuai saja.
3. Perilaku masyarakat terhadap kegiatan tahlilan Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong sangat menjunjung tradisi tahlilan. Masyarakat Kelurahan gedong secara umum membiasakan hal tersebut sebagai niat mendoakan tetangga yang ditinggalkan, sekaligus bersilahturahmi antara tetangga dan penyelenggara tahlilan.
4. Pemaknaan masyarakat terhadap kegiatan tahlilan Tahlilan bagi masyarakat Islam Jawa di Kelurahan gedong memiliki makna untuk memberikan rasa penghormatan terakhir yang disampaikan melalui mengirim doa. Bahkan, sebagai rasa mengenang bagi masyarakat yang telah
157
Lampiran 11
mendahuluinya. Perasaan mengenang sosok orang yang ditinggal tersalurakan melalui pertemuan silahturahmi dengan niat mendoakan.
158
Lampiran 12
Foto-foto Observasi Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur
Observasi Partisipan dalam kegiatan tahlilan kediaman Feni Musriyani tanggal 22 Agustus 2016
Observasi Partisipan, dalam kegiatan tahlilan kediaman Feni Musriyani tanggal 22 Agustus 2016
159
Lampiran 12
Observasi Partisipan, dalam kegiatan tahlilan kediaman Haris Nugrahardi tanggal 20 Agustus 2016
Observasi Partisipan, dalam kegiatan tahlilan kediaman Haris Nugrahardi tanggal 20 Agustus 2016
160
Lampiran 13
Pedoman Wawancara Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur A. Latar Belakang Informan Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Agama
:
Asal Suku Jawa
:
Profesi
:
Tempat
:
Waktu
:
Hari
:
B. Pertanyaan Wawancara 1. Berapa lama anda sudah menetap di Kelurahan gedong ? 2. Apa yang anda ketahui dari tahilan ? 3. Kapan kegiatan tahlilan dilaksanakan? 4. Bagaimana orang tua anda memberi pemahaman tentang tahlilan ? 5. Bagaimana teman atau masyarakat sekitar (tetangga) memberi pemahaman tentang tahlilan ? 6. Bagaimana kegiatan tahlilan berlangsung ? 7. Mengapa anda mengikuti tahlilan ? 8. Bagaimana perasaan anda, bila tidak mengikuti tahlilan ?
161
Lampiran 14
Penetapan Informan Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur berdasarkan informasi hasil temuan dokumentasi yang dicek kembali dengan keterangan masyarakat. Maka peneliti menetapkan pihak wawancara sebagai berikut: 1. Menetapkan Feni Musriyani sebagai informan, dengan pertimbangan berdasarkan surat keterangan kematian No: 3175051001-PKM-13720160003 merupakan saksi atas meninggalnya Sahri di tanggal 12 Juli 2016. Selanjutnya informasi deri keterangan warga bahwa Feni Musriyani merupakan anak dari alm. Sahri, dan pada tanggal 22 Agustus 2016 membantu pelaksanaan Tahlilan 40 harian alm. Sahri. terakhir, merupakan masyarakat Islam Jawa, orang yang telah berduka, dan membantu penyelenggara tahlilan. 2. Menetapkan Harris Nugrahardi sebagai informan, dengan pertimbangan berdasarkan surat keterangan kematian No: 3175051001-PKM-130720160002 merupakan pelapor atas meninggalnya Ashari Ardi pada tanggal 13 Juli 2016. Selanutnya informasi dari keterangan warga bahwa Hariris Nugrahardi merupakan anak dari alm. Ashari Ardi, dan pada tanggal 20 Agustus 2016 sebagai penyelenggara pelaksanaan Tahlilan 40 harian alm. Ashari Ardi. Ada perbedaan penyelenggaraan yang harusnya jatuh pada 23 agustus 2016, tetapi dimajukan. Alasan yang dikeutahui, tanggalnya dimajukan agar banyak peserta tahlilan yang hadir . Terakhir, Nugrahardi merupakan masyarakat Islam Jawa, orang yang telah berduka, dan membantu penyelenggara tahlilan. 3. Menetapakan H. Moh. Nasrudin Ibrahmin sebagai informan, dengan pertimbangan sebagai ketua pengurus Masjid An-Nurriah, tokoh agama,
162
Lampiran 14
dan orang Jawa. Terakhir, merupakan masyarakat Islam Jawa, orang yang memiliki pengaruh, dan sering memimpin penyelenggaraan tahlilan. 4. Menetapakan Ust. Agung Sukardi sebagai informan, dengan pertimbangan sebagai ketua pengurus Masjid Jami Al-Mujahiddin, tokoh agama, dan orang Jawa. Terakhir, merupakan masyarakat Islam Jawa dan orang yang memiliki pengaruh 5. Menetapkan Hari Sutriono sebagai informan, dengan pertimbangan merupakan masyarakat Islam Jawa, dan pernah mengikuti tahlilan. 6. Menetapkan Restu Darmiyanto sebagai informan, dengan pertimbangan masyarakat Islam Jawa, dan pernah mengikuti tahlilan.
163
Lampiran 15
Transkip Wawancara Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur A. Latar Belakang Informan Nama
: H. Mohammad Nasrudin
Umur
: 57 tahun
Jenis Kelamin
: Lak-laki
Agama
: Islam
Asal Suku Jawa
: Kebumen
Profesi
: Pensiunan
Tempat
: Masjid An-Nuriah
Waktu
: 20.30 WIB
Hari
: Selasa, 23 Agustus 2016
B. Pertanyaan Wawancara 1. Berapa lama anda sudah menetap di Kelurahan gedong ? Sudah dari tahun 1997, kira-kira sudah 18 tahun 2. Apa yang anda ketahui dari tahilan ? Tahlilan itu mengirim doa bagi sudah meninggal, dan menghibur bagi orang yang masih hidup. Jadi orang yang habis ditinggal salah satu keluargannya, dia sedih. Nah kita, selain mendoakan, kita silahturahmi ketempat beliau untuk menghibur, guna agar tidak bersedih karena ditinggalkan oleh keluarganya. 3. Kapan kegiatan tahlilan dilaksanakan? Disini ada dua versi, itu ada mulai turun tanah, ada yang mulai meninggal untuk itungannya. Ada yang menghitung mulai meninggalnya, ada yang menghitung mulai dimakamkannya, jadi tinggal pakai yang mana. Tapi, biasanya kalau untuk orang Jawa pas meninggalnya, kalau betawi pas
164
Lampiran 15
turun tanahnya. Misalnya kalau meninggalnya sekarang, maka tahlilannya sekarang. Kalau lain dari Jawa pas kalau meninggalnya sekarang, kalau belum dimakamkan besok, berarti mulainya besok. 4. Bagaimana orang tua anda memberi pemahaman tentang tahlilan ? Diajarkan untuk mendoakan orang yang meninggal, dan menghibur bagi orang yang masih hidup yang ditinggalkan oleh beliau. 5. Bagaimana teman atau masyarakat sekitar (tetangga) memberi pemahaman tentang tahlilan ? Meminta tolong untuk mengaji ditempat saya (keluarga dari orang yang meninggal) 6. Bagaimana kegiatan tahlilan berlangsung ? Sesi acara, sambutan pembukaan dari shohibul bait,
shohibul bait
memberi kepecayaan kepada yang memimpin doa, membaaca yasin, baca tahlil, ada yang diselangi riwayat maulud nabi.tapi kalau diJawa hanya membaca yasin, tahlil, dan doa saja. Karena sudah selesai, tetapi tuan rumah tidak merasa dibebani, melaikan merasa bersyukur karena telah didoakan, maka menyediakan konsumsi sebagai rasa gembira. Sebagai bentuk shodaqoh yang pahalanya untuk almarhum, yang istilah berkat (mbreg diangkat) hehehehe. Dan hal itu tidak membebankan, seikhlasnya, dan seadanya 7. Mengapa anda mengikuti tahlilan ? Karena memang pemahaman kami, orang yang sudah meninggal dunia perlu dibantu dengan doa, apa lagi pas malam pertama, bisa dibanyangkan didalam kubur sendirian, belum tahu wilayah, dan belum ada penyesuaian. Orang yang meninggalkan bagaikan buih dalam tengah laut, jadi masih terombang ambing kesana kemari. Untuk menenangkan hal itu perlu kirim doa dan shodaqoh. Doa dari kita, shodaqoh dari shohibul bait, itupun tidak memberatkan. 8. Bagaimana perasaan anda, bila tidak mengikuti tahlilan ? Merasa ikut berdosa, karena kami tidak membantu mengirim doa untuk orang yang sudah meninggal. Sangat-sangat merasa bersalah dan
165
Lampiran 15
berdosa, karena memang untuk mendoakan, dan harapan kami berhadap khusnul khotimah, dan tetap berprasangka baik.
166
Lampiran 15
Transkip Wawancara Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur C. Latar Belakang Informan Nama
: Feni Musriyani
Umur
: 27 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Asal Suku Jawa
: Tegal
Profesi
: Karyawan Swasta
Tempat
: Rumah Informan
Waktu
: 18.00 WIB
Hari
: Rabu, 24 Agustus 2016
D. Pertanyaan Wawancara 9. Berapa lama anda sudah menetap di Kelurahan gedong ? 27 tahun 10. Apa yang anda ketahui dari tahilan ? Yang saya tahu tentang tahlilan, ya ajaran Islam, sunnah-nya untuk mengenang orang tua yang sudah tidak ada, saya menghormatinya dengan cara tahlilan atau mengadakan acara tahlilan. 11. Kapan kegiatan tahlilan dilaksanakan? Biasanya pada saat pas meninggalnya orang tua, pada saat malam itu sampai malam ketujuh, lanjut keempat puluh hari, sampai keseratus hari. 12. Bagaimana orang tua anda memberi pemahaman tentang tahlilan ? Orang tua ngajarin, itu ajaran Islam saja, yang sunnah 13. Bagaimana teman atau masyarakat sekitar (tetangga) memberi pemahaman tentang tahlilan ?
167
Lampiran 15
Sejauh ini positif saja sih mas, mereka datang. Sebagai umat Islam kirimin al-fatihah, yasin. ya yang kita anut percaya untuk doa itu semoga dapat disampaikan sampai yang tertuju. 14. Bagaimana kegiatan tahlilan berlangsung ? Ya kita mengundang guru ngajinya, nanti untuk beberapa orangnya juga, persiapan untuk jamuannya untuk para tamu yang datang. Setelah itu, kalau memang kita mampu, ya biasanya kalau empat puluh hari itu mengasih buku yasin atau ngak sajadah, atau semacamnya lah sebagai bentuk pemberkatan. 15. Mengapa anda mengikuti tahlilan ? Salah satunya ajuran agama Islam 16. Bagaimana perasaan anda, bila tidak mengikuti tahlilan ? Sedih ya, misalkan ngak ngikutin tahlilan. Jadi ya sebagai anak sih berusaha memberi yang terbaik aja. Penghormatan terakhir aja untuk orang tua
168
Lampiran 15
Transkip Wawancara Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur A. Latar Belakang Informan Nama
: Harris Nugrahardi
Umur
: 27 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Asal Suku Jawa
: Malang
Profesi
: Karyawan Swasta
Tempat
: Rumah Informan
Waktu
: 20.00 WIB
Hari
: Rabu, 24 Agustus 2016
B. Pertanyaan Wawancara 1. Berapa lama anda sudah menetap di Kelurahan gedong ? 3 tahun. 2. Apa yang anda ketahui dari tahilan ? Ya biasanya sih, hanya untuk mendoakan orang tua yang sudah meninggal. 3. Kapan kegiatan tahlilan dilaksanakan? Kalau dikami biasanya pada malam pertama meninggal, hingga malam ketiga, terus hari ketujuh, dan hari keempat puluh. 4. Bagaimana orang tua anda memberi pemahaman tentang tahlilan ? Ya kurang lebih, sudah diajak oleh yang sepuh-sepuh. 5. Bagaimana teman atau masyarakat sekitar (tetangga) memberi pemahaman tentang tahlilan ? Kurang lebih sama, budayanya tidak jauh beda kok. 6. Bagaimana kegiatan tahlilan berlangsung ? Biasanya habis isya, terus yasinan, dan baca doa
169
Lampiran 15
7. Mengapa anda mengikuti tahlilan ? Ya namanya untuk mendoakan orang tua. 8. Bagaimana perasaan anda, bila tidak mengikuti tahlilan ? Ya sebenarnya untuk mendoakan bisa kapan saja, mungkin moment saja untuk tahlilan.
170
Lampiran 15
Transkip Wawancara Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur A. Latar Belakang Informan Nama
: Hari Sutriono
Umur
: 24 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Asal Suku Jawa
: Yogyakarta
Profesi
: Karyawan Swasta
Tempat
: Rumah Informan
Waktu
: 19.00
Hari
: 26 Agustus 2016
B. Pertanyaan Wawancara
1. Berapa lama anda sudah menetap di Kelurahan gedong ? Dari lahir, dan besar disini, kira-kira sudah 24 tahun 2. Apa yang anda ketahui dari tahilan ? Tahlilan buat saya ya cermony atau adat dimasyarakat kita untuk medoakan orang-orang yang sudah tidak ada, khususnya orang Jawa. 3. Kapan kegiatan tahlilan dilaksanakan? Kegiatan tahlilan biasanya dilaksanakan saat hari H orang itu meninggal, biasanya pas waktu setelah sholat isya. Atau tiga hari setelah dia meninggal, kalau waktu tepatnya rata-rata pas ba’da isya mas. 4. Bagaimana orang tua anda memberi pemahaman tentang tahlilan ?
171
Lampiran 15
Atas ajakan saja mas, udah gitu, misalkan dulu kalau orang tua saya tidak bisa datang karena ada undangan lain, ya paling kita disuruh mewakilin aja gitu. 5. Bagaimana teman atau masyarakat sekitar (tetangga) memberi pemahaman tentang tahlilan ? Sebagai pengingat saja, jadi misalkan udah diundang, ntar tetangga mengingatkan saja untuk ikut. 6. Bagaimana kegiatan tahlilan berlangsung ? Paling baca surat yasin, tahlil, tahmid, tasbih, biasanya sih gitu. Paling final-nya kita mendapatkan berkat, berupa makanan, kue atau bingkisan lainnya, ya sarung, alat sholat, kalau sudah sampai seratus hari biasanya dapat surat yasin juga berupa bentuknya buku yang kecil-kecil itu. 7. Mengapa anda mengikuti tahlilan ?
Ya jujur, karena bagi saya atas rasa ketidak enakan, karena kita kan masyarakat ya tetangga dekat, kalau kita ngak datang ya kan ngak enak. 8. Bagaimana perasaan anda, bila tidak mengikuti tahlilan ? Ya kembali lagi ke Jawaban yang barusan, karena ketidak enakan. Bilamana udah diundang, Cuma kita tidak datang, ya tidak enak saja gitu.
172
Lampiran 15
Transkip Wawancara Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur A. Latar Belakang Informan Nama
: Agung Sukardi
Umur
: 42 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Asal Suku Jawa
: Semarang
Profesi
: Guru SD
Tempat
: Mushola Al-Ikhlas
Waktu
: 20.30 WIB
Hari
: 26 Agustus 2016
B. Pertanyaan Wawancara
1. Berapa lama anda sudah menetap di Kelurahan gedong ? Sejak bujang dari tahun 1995 2. Apa yang anda ketahui dari tahilan ? Berkaitan dengan tahlilan, yang ada itu ada di Indonesia. Tahlilan bila diartikan berakar dari suku kata bahasa arab, dari kalimat la illaha illallah. Dimana kalimat la illaha illallah itu, adalah kalimat taqorub untuk mendekatkan diri kepada Allah, mentauhidkan tentang masalah ketuhanan, ketuhanan disini adalah Allah Subahanuwatala. Nah, dalildalilnya banyak, ala bi’dzkrillahi ta’minal qulluh, disuruh berzikri agar hatimu tenang dan tentram. Dengan kalimat zikir tersebut, beberapa kalimat zikir diambil dari al-qur’an dan hadis yang diramu, kemudian dijadikan sesuatu, yang dinamakan tahlilan. Jadi temanya tahlilan, tapi isinya kaitanya dari al-qur’an. Kalau dari konteks Jawa, tahlilan itu
173
Lampiran 15
memang sejarahnya dari wali-wali, kalau yang melegenda itu wali sanga. diantaranya sunan bonang yang meramu beberapa kalimatkalimat, dimana kalimat tersebut untuk dibaca bersama-sama, dalam rangka mentauhidkan, kedua keimanan, ketiga dengan tahlilan tersebut bisa menjadi salah satu media untuk dekat kepada khaliq. 3. Kapan kegiatan tahlilan dilaksanakan? Kegiatan tahlilan dilaksanakan itu, bisa yang sifatnya temporer, bisa yang sifatnya kontiniu (rutinitas). Kalau yang temporer, kalau ada yang maunya slametan, ada yang terkena musibah, ada yang ingin mempunyai suatu hajat atau keinginan. Kalau yang rutinitas, seperti setelah sholat lima waktu. 4. Bagaimana orang tua anda memberi pemahaman tentang tahlilan ? Kalau orang tua berkaitan mengenai tahlilan, kebetulan mereka itu awam, kebetulan saja juga banyak belajar. Memang sejak saya dari kecil, saya sudah dididik dan diarahkan oleh orang tua untuk belajar agama. Saya ingat betul, dirumah ramai dengan anak-anak, karena orang tua itu manggil ustadz untuk pengajian. Salah satu kegiatannya diisi dengan yasinan, dan tahlilan. 5. Bagaimana teman atau masyarakat sekitar (tetangga) memberi pemahaman tentang tahlilan ? Ada yang memang saklek tidak menerima, tapi hal ini dilihat dari cara berfikir. Karena rasullallah tidak mengajarkan kumpul bareng berjamaah tahlilan. Tapi dari qiyas-an tadi alâ bidzkrillahi ta minal qulluh ada sebagian ulama membaca bersama-sama, daripada kita tidak ngapa-ngapain, daripada kita cuma kumpul-kumpul saja tidak ada manfaat, mending kita membaca bersama-sama, kita berzikir bersamasama. Tapi, menyikapinya harus dewasa, yaitu dewasa dalam beragama itu perlu, dan dewasa juga menyikapi perbedaan. Sepanjang itu tidak masalah prinsipil, itu tidak masalah. Prinsipil itu apa ? itu yang wajib, seperti sepaham. Tetapi bila tidak prisipil, seperti tahlil atau masalah yang sunnah-sunah. Silahkan pada keyakinan masing-masing.
174
Lampiran 15
6. Bagaimana kegiatan tahlilan berlangsung ? Kalau untuk orang yang meninggal, biasanya ada hari yang pertama, kedua, ketiga, ketujuh, kemudian keempat puluh, dan keseratus. Walaupun, hal tersebut bukan ajaran dari rasullallah. Karena memang diisi oleh kalimat-kalimat seperti itu (zikir), hingga ulama mengatakan bahwa itu baik, monggo silahkan. Itu dulu sebagai pendekatan wali, yang informasinya konon oleh sunan bonang. Dengan kondisi masyarakat hindu di Indonesia pada saat itu, kan Islam yang masuk belakangan ke Indonesia, Hindu-Budha duluan. Tapi, bagaimana caranya meramu untuk merangkul mereka (masyarakat hindu-budha Indonesia terdahulu) apa yang ada dikehidupan mereka dapat ditarik menjadi Islam, dan bisa diolah dan dikemas sebagai tuntunan ajaran agama Islam, seperti itu. itu yang konteks dari acara kematian. Kalau untuk acara kegiatannya itu, biasannya kita mulai dengan kalimatkalimat kirim tawasul, kirim fatehah ke Nabi Muhammad, ke Malaikat, kemudian kirim arwah yang sudah meninggal, ditambah juga kepada arwah leluruh dibaca fatehah. Mulai dengan membaca surat al-ikhlâs, kemudian surat al-falaq, an-nâs, ditambah lagi dengan surat al-baqarah dari ayat satu sampai ulâ’ika ‘alâ hudam mir rabbihim, ayat kursi, ditambah dengan sholawat, dan setelah itu doa. 7. Mengapa anda mengikuti tahlilan ?
Kalau menurut saya, mengikuti tahlilan itu tidak prinsipil. Jadi saya fleksibel, tapi saya ambil positifnya, daripada saya bicara yang tidaktidak, ngobrol-ngobrol yang tidak ada manfaatnya, dan tahlilan pun isinya al-qur’an dan hadis. Tentu hal itu akan menjadi lebih baik, kemudian dalam bermasyarakat itu juga baik, kita bisa silahturahmi. Tapi dikatakan dalam suatu lingkup tersebut tidak terdapat tahlilan, sayapun ngak masalah. Kenapa ? karena hal itu tidak prinsipil. 8. Bagaimana perasaan anda, bila tidak mengikuti tahlilan ?
Saya katakan tidak masalah, tapi disisi lain bahwa kita dianjurkan untuk selalu taqorub, kemudian untuk tahlilan dalam ma’jelis, acara-acara, itu
175
Lampiran 15
juga baik. karena sebagai salah satu media silahturahmi, kemudian dengan kita tahlilan juga sebenarnya membantu mendoakan yang punya hajat atau yang kena musibah. Itu juga sebenarnya amal sholeh, jadi tidak ada buruknya, baik semua.
176
Lampiran 15
Transkip Wawancara Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur A. Latar Belakang Informan Nama
: Restu Darmiyanto
Umur
: 39 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Asal Suku Jawa
: Wonogiri
Profesi
: Wirausaha
Tempat
: Rumah Informan
Waktu
: 14.00 WIB
Hari
: 28 Agustus 2016
B. Pertanyaan Wawancara
1. Berapa lama anda sudah menetap di Kelurahan gedong ? Kira-kira dari tahun 1998 2. Apa yang anda ketahui dari tahilan ? Setahu saya ya mas, tahlilan itu, kita itu berdoa bersama untuk orang yang sudah meninggal, jadi kita mengirimkan doa, untuk orang yang sudah ditinggalkan itu. 3. Kapan kegiatan tahlilan dilaksanakan? Setahu saya ya mas, pada malam pertama, malam ketiga, malam tujuh harian, sama empat puluh harian. 4. Bagaimana orang tua anda memberi pemahaman tentang tahlilan ? Ya orang tua, kita tahu tahlilan itu adat, sudah dari zaman nenek moyang kita berlaku, dan orang tua menjelaskan berdoa bersama untuk orang yang meninggal.
177
Lampiran 15
5. Bagaimana teman atau masyarakat sekitar (tetangga) memberi pemahaman tentang tahlilan ? Jadi kalau lagi ada tahlilan, biasanya saya diajak, misalkan ada tahlilan nih, orang suka ke rumah, “kita tahlilan yuk nanti ba’da isya.” Jadi seperti itu mas. 6. Bagaimana kegiatan tahlilan berlangsung ? Biasanya dipimpin oleh ustad setempat, biasanya kita membaca yasin, setelah itu doa-doa tahlil yang biasanya dilakukan oleh ustad. Sama kalau sudah selesai doa, kita dapat berkat. 7. Mengapa anda mengikuti tahlilan ?
Ya saya disini karena pendatang ya mas, untuk menghargai tradisi disekitar lingkungan. Selama saya bisa, ya saya ikut. Istilahnya agar bisa saling berinteraksi dengan masyarakat lain juga. 8. Bagaimana perasaan anda, bila tidak mengikuti tahlilan ?
Ya jujur ya mas, saya merasa bersalah. Soalnya sesama tetangga saling menolong, ya saling gimana gitu ya. Intinya ngak enak gitu mas, apa lagi tetangga.
178
Lampiran 16
Foto Informan Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur
Dokumentasi wawancara dengan Feni Musriyani di kediamannya, 24 Agustus 2016 pukul 18.00 WIB.
Dokumentasi wawancara dengan Harris Nugrahardi di kediamannya, 24 Agustus 2016 pukul 20.00 WIB.
179
Lampiran 16
Dokumentasi wawancara dengan H. Mohammad Nasrudin di Masjid an-Nuriah, 23 Agustus 2016 pukul 20.30 WIB.
Dokumentasi wawancara dengan Ust. Agung Sukardi di Mushola Al-Ikhlas, 26 Agustus 2016 pukul 20.30.
180
Lampiran 16
Dokumentasi wawancara dengan Hari Sutriono di kediamannya, 23 Agustus 2016 pukul 19.00 WIB.
Dokumentasi wawancara dengan Restu Darmiyanto di kediamannya, 28 Agustus 2016 pukul 14.00 WIB.
181
Lampiran 17
182
Lampiran 18
183
Lampiran 18
184
Lampiran 18
185
Lampiran 18
186
Lampiran 18
187
Lampiran 18
188
Lampiran 18
189
Lampiran 18
190
Lampiran 18
191
Lampiran 18
192
Lampiran 18
193
Lampiran 18
194
Lampiran 18
195
Lampiran 19
BIODATA PENULIS Dinar Risprabowo merupakan anak dari pasangan Sunardi dan (alm.) Siti Sumarsih, S.Pd. yang lahir di Jakatra pada 25 Januri 1992. Anak pertama dari dua bersaudara, dengan adik kandungan bernama Didik Aprihadi. Bertempat tinggal di Jalan Waru no. 63 A Pasar Rebo Kota Jakarta Timur. Sebagai mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan IPS angkatan 2010. Selama proses pembelajaran tidak hanya dibangku kuliah saja, melainkan aktif diorganisasi mahasiswa, dan berprofesi. Keaktifan organisasi ekstenal kampus hanya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), selanjutnya organisasi intenal kampus diberbagai tingkatan eksekutif, dan tingkat legislatif Universitas. Terakhir, berprofesi temporer di lembaga konsultan politik dan keseharian mengajar di lembaga pendidikan non-formal. Penulis menyelesaikan pendidikannya di SDS Kartika XI-1 Cijantung tahun 19982004, SMPN 223 Jakarta tahun 2004-2007, dan SMAN 104 Jakarta 2007-2010. Terakhir penulis sedang untuk menempuh gelar sarjana pendidikan, dengan karya nyata sebuah skripsi dengan judul Fakta Sosial pada Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat Islam Jawa di Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Kota Jakarta Timur.