409
F AKTOR-F AKTOR YANG MEMPENGARUHI MENGAPA BANYAK ORANG MENYELESAlKAN MASALAH KEWARISAN MELALUI PENGADILAN AGAMA
_ _ _ _ _ _ _ _ Oleh : Mura P. Hutagalung - - - - - - _ - - J Pengantar Peradilan Agama dalam bentuk yang kita kenal sekarang ini sebetulnya sudah ada sejak Islam menginjakkan kaki di bumi Indonesia ini. Dengan demikian jauh sebelum Belanda ke Indonesia, Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah merupakan suatu kenyataan dalam masyarakat. Bagi penduduk yang telah memeluk agama Islam ketika itu sudah mempraktekkan ajaran agama Islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Apabila mereka menemui persoalan mengenai hukum perkawinan, pembagian pusaka, sah atau tidaknya suatu wakaf, pelaksanaan suatu wasit, apakah boleh dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Islam, mereka selalu meminta keputusan atau fatwa dari para ulama. •
Dalam kepustakaan Hukum Adat juga diperoleh petunjuk bahwa Pengadilan Agama memang telah ada sebelum orang Portugis dan Belanda datang ke Indonesia. Sehingga dengan demikian nampaknya Pengadilan Agarna sudah cukup tua usianya. Ia timbul bersama-sarna dengan perkembangan kelompok masyarakat ketika itu dan kemudian memperoleh bentukbentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam seperti Aceh, Demak, Banten, Mataram dan lain-Iainnya. Kewenangan Pengadilan Agama juga ketika itu tidak hanya terbatas untuk mengurus perkara-perkara yang berhubungan dengan hak pribadi
semata-mata (AI Ahwalusy Syahsiyah) atau lebih sempit dari itu (NTR = Nikah , Talak, Rujuk), tetapi juga Hukum Perdata dalam arti luas dan juga Hukum Pidana (Jinayah). Tegasnya Peradilan Agama berfungsi sebagai Peradilan Umum bagi ummat Islam pada waktu itu. Akan tetapi kemudian sejarahpun berubah, dimana tercatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam pun jatuh satu demi satu. Kekuasaan pun beralih dari pribumi kepada kaum kolonialis yang membaw!l 'JUla alat-alat dan peradilannya. Pada mulanya pemerintah Kompeni, Inggeris, maupun Belanda tidak memperhatikan urusan penyelesaian sengketa antara penduduk pribumi terutama Peradilan Agama. Nampaknya mereka lebih mementingkan keperluan golongannya sendiri seperti apa yang pernah dinasehatkan oleh Sn ouck-Hurgronye dala·m tulisannya yang berjudul 'Nederland en de Islam ' bahwa semestinya Pemerintah. Hindia Belanda tidak perlu turut campur dengan urusan Pengadilan Agama itu. Na.mun kemudian, setelah kekuasaan mereka bertambah kuat, dibuatlah semacam pemisahan dari lembaga-Iembaga peradilan terse but. Peradilan keduniaan atau sekuler (weredlijke rechtspraak) pelaksaanannya diserahkan kepada Pengadilan-pengadilan Gubernemen, sedangkan Pengadilan Agarna terpaksa dibiarkan bertahan hidup ,
.
410 berhubung Pemerintah kolonial belum mampu untuk merubahnya atau menghapuskannya sarna sekali. Baru setelah tahun 1820, Pemerintah Hindia Belanda mulai ikut campur tangan dalam soal Pengadilan Agama yaitu dengan dikeluarkannya Instruksi kepada Bupati-Bupati (Regenten Instructie). Pasal 13 instruksi terse but menyebutkan bahwa perselisihan mengenai pembagian waris di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada ummat Islam. Kemudian dalam S. 1835 No. 58 dinyatakan lebih tegas tentang wewenang "Peradilan Agama" di Jawa dan Madura sebagai berikut: ....... jika diantara orang Jawa dengan orang Madura terdapat perselisihan tentang perkara perkawinan atau pe.mbagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut Hukum Syarat' Islam maka yang menjatuhkan keputusan dalam hal ini hendaknya betulbetul Ahli Agama Islam, akan tetapi segala persengketaan dari hal pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi karena keputusan itu harus dibawa kemuka pengadilan biasa; pengadilan itulah yang akan menyelesaikan perkara itu dengan mengingat keputusan ahli agama dan supaya keputusan itu dijalankan. Selanjutnya Regenten Instructie 1820 terse but maupun S. 1835 No. 58 kemudian mendapat perubahan pada tahun 1854, hanya disebutkan bahwa penyerahan penyelesaian perkara itu kepada Alim Ulama/ Ahli Agama Islam yang dalam Bahasa Belanda disebut dengan priesters yaitu para penghulu serta pejabat-pejabat agama lainnya yang pada waktu itu menjadi pembantu Bupati, dan belum mengatur adanya Badan Peradilan Agama itu sendiri sampai keluarnya S. 1882 No. 152.
Staatsblad 1882 No.1 52. Dalam usaha menertibkan Peradilan
Hukum dan Pembangunan ~
Agarna, kemudian dikeluatkan sebuah 1{eputusan ~aja Belanda No. 24 tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam S. 1882 : 152 Keputusan Raja Belanda ini memuat tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, yang dalam bahasa Belanda disebut: Bepaling betreffende de Priesterraden op java en Madoera, dan untuk memudahkan orang membacanya selalu disebut S. 1882 : 152 Akantetapi keputusan ini baru dinyatakan berlaku sejak 1 Agustus 1882 yang termuat dalarn S. 1882: 153. Dengan demikian, Pengadilan Agama sebagai suatu Badan Peradilan yang diakui untuk pertama kalinya lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882, yang berarti kini badan terse but telah berusia lebih dari satu abad. Materi dari keputusan Raja Belanda ini terdiri dari 7 pasal, tetapi belum dijelaskan ten tang fungsi dan kekuasaan Pengadilan Agama secara jelas dan tuntas. Sehingga dengan demikian kekuasa •
an Pengadilan Agama ketika itu masih seperti apa yang tercantum dalam S. 1835 No. 58. Disamping itu walaupun dalam se butannya pengadilan ini dibentuk oleh Pemerintah namun kenyataannya sarna sekali tidak memperoleh kedudukan yang sarna dengan Pengadilan Gubernemen (Landraad) . Namun demikian tedepas dari kekurangannya itu, adanya pengakuan terhadap eksistensi Pengadilan Agama sudah dapat dianggap ada suatu kemajuan dibandingkan dengan pada masamasa sebelumnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, sebetulnya lahirnya S. 1882 No. 152 itu juga dipengaruhi oleh pemikiran dari L. w.e. Van df?n Berg yang terkenal dengan teorinya "reCf'ptio in complexu" Menurut teori ini, hukum bagi orang Indonesia mengikuti agamanya, yang beragama Hindu menurut Hukum Hindu, yang beragama Islam menurut Hu•
110
'n""
,
342
j
,,
• •
,
,
"" ,=
411
Pengadilan Agama
kum Islam dan yang Kristen menurut Hukum Kristen. 1) •
•
Pendapat demikian itu sebenarnya telah dikemukakan juga oleh Salomon Keyzer, seorang sarjana yang sebelumnya dan yang telah berjasa menterjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Belanda dan menulis ten tang Islam di Jawa. Sedangkan Van den Bergjuga telah menulis buku tentang Hukum Islam menurut mazhab Hanafi cI.an Syafi'i. Kemudian disusul pula dengan. tvlisannya yang lain mengenai Hukum Keluarga dan Hukum Kewarisan. Islam di Jawa dan Madura . Ia mengusahakan pula agar hukum perkawinan dan kewarisan Islam dilaksanakan oleh hakim-hahm Belanda dengan btl.ntuM Penghulu atau Qadi Jslam. Untuk mewujudkan gagllsannYtI. itu, ia. menterjemllhklln buku Fat-hu al-Qarih dan Minhaj at Talihin daTi bahasa Arab ke dalam bahasa Perane!s agar dapat dipergunakan o!eh pejabat.-pejabat pemerintah Hi.ndia Belanda yang akan menjalankan tugasnya di kaIangan ummat Islam di Indonesia. Teon reeeptio in eomplexu ini mendapat keeaman pedas dari Snouck. Hurgronye yang kemudian dikembangkan oleh Van Vollenhoven dan ter Haar. Menurut Snouck Hurgronye pembentukan Pengadilan Agama itu adaliih kesalahan yangpatut disesalkan, se bab seharusnya Peradilan Agama ini tidak perlu diurusi dan dibiarkan berjalan liar tanpa ada bantuan dan eampur tangan pemerintah, sehingga keputusan-keputusannya tidak perlu memperoleh kekuatan undang-undang. Sebab sesuai dengan pendapat J.J. van de Velde bahwa dengan adanya Priester Raad ini justru menambah kesulitan bagi Pemerintah dalam mengatur tatahukum . Memang pada waktu itu Pe-
merintah Belanda sedang dilanda arus untuk melaksanakan ide kodifikasi y ang su dah dilaksanakan di Negeri Be landa seiak tahun 1838. Berdasarkan azas konkordansi kodifikasi hukum terse but hendak dilaksanakan pula di Hindia Belanda, akan tetapi karena mendapat kritik pedas dari para jurist Belanda sendiri sehingga ide kodifikasi terse but menemui jalan buntu. Teori dari Snouek Hurgronye ini terkenal dengan nama teori resepsi. Teori ini bertentangan sekali dengan apa yang perniih dikemukakan oleh Van den Berg. Menurut Snouek Hurgronye, hukum yang berlaku bagi orang Islam di Indonesia ketika itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat. Kedalam Hukum Adat ini memang telah masuk pengaruh Hukum Islam, akan tetapi hukum Islam itu baru berlaku kalau sudiih diterima oleh Hukum Adat., sehingga dengan demikian hukum Adatlah yang menentukan ada tidaknya Hukum Islam itu. Teori Resepsi ini kemudian mendapat penjelasan dalam perundang-undangan yaitu dalam pasal 134 ayat (2) IS (Indische Staatregelmgj yang berbunyi sebagai berikut:
HAkan tetapi sekedar tidak diatur secora lain dengan ordonansi, maka perkara Hukum Sipi! antara sesama orang-orang Islam haru~ lah diepriksa oleh Hakim Agama ialah apablla Hukum Adat bagi mereka itu menghendakinya". Menurut Prof. Hazairin, teori resepsi ini kemudian telah menjadi darah daging bagi para jurist Indonesia .yan~ dididik pada zaman kolonia! baik di Batavia (Jakarta) maupun di Leiden. ~ Begitu kuatnya pengaruh teori resepsi ini dalam perundang-undangan dapat terlihat dari usaha-usaha yang dilakukan oleh para pengikut Snouck Hurgronye seperti ter Haar yang mengusul.
.
-.
1) Dr. Soekanro, Meninjau Hukum Adat In · donesia, hal. 51.
2) Hazairin, Hukum K.eKeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta 1962, hal. 4. September 1 983
412
Hukum dan Pembangunan .
kan penghapusan kekuasaan Pengadilan Agama terse but atas perkara warisan dan lain-lain, dengan alasan menghilangkan proses peradilan kembar (dualisme dalam bidang peradilan) disam ping banyak memakan waktu dan biaya. Lalu kemudian keluarlah Keputusan Gubernur Jenderal No. 9 tanggal 19 Februari 1937 yang termuat dalam S. 1937 - No. 116 yang dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 April 1937. Peraturan ini memuat ten tang perubahan kekuasaan Pengadilan Agama di mana disebutkan di dalam pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Pengadilan Agama hanya sematamata berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselisihan hukum antara suami isteri yang beragama Islam, begitu pula perkaraperkara lain ten tang Nikah, Talak, dan Ruju' serta soal-soal perceraian lain yang harus diputus oleh Hakim Agama, menyatakan perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik sudah berlaku, dengan pengertian bahwa dalam perkaraperkara terse, but hal-hal mengenai tuntutan pembayaran uang atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang hakim biasa kecuali dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami isteri yang sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan Agarna. Dengan melihat perumusan terse but jelaslah bahwa sejak saat itu wewenang Pengadilan Agama atas perkara warisan nafkah, dan hadhanah :serta yang lainnya telah dicabut serta dialihkan menjadi wewenang dari hakim biasa, yakni hakim dari pengadilan landraad yang biasanya memutus dan memeriksa perkara terse but menurut hukum adat setempat.
Oleh karen a peraturan yang demikian itu diartikan sebagai upaya untuk mem persempit wewenang Pengadilan Agarna sehingga cukup mendapat tan tangan dan kecaman yang keras dari para warga masyarakat. Tindakan terse but mereka anggap sebagai sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan pendian dan cita-cita ummat Islam Indonesia yang menginginkan berlakunya hukum Islam itu secara utuh dan ditaati oleh para muslim. Demikianlah latar belakang mengapa Pengadilan Agama kehilangan kewenangannya mengadili masalah kewarisan bagi ummat Islam hingga sekarang.
Masalah Kewarisan Bagi Ummat Islam. Kalau Hukum Kewarisan Islam dibicarakan biasanya mencakup ten tang segala se'suatu yang berhubungan dengan harta peninggalan seperti misalnya harta apa yang diwariskan; siapa yang meninggalkan warisan; adakah orang-orang yang berhak tampil sebagai ahli-waris; berapa bagian mereka masing-masing dan seterusnya. Sehubungan dengan masalah kewarisan ini, apabila peristiwa kewarisan tim bul didalam masyarakat sebenarnya banyak aspek yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan seperti aspek hukum , aspek ekonomi , adat istiadat, aspek agama dan lain sebagainya. Akan tetapi perlu dicatat bahwa hampir diseluruh Indonesia (kecuali didaerah Kristen dan Hindu Bali), apabila masalah warisan itu timbul, biasanya selalu ditafsirkan secara sederhana: Hukum manakah yang akan diperlakukan terhadap masalah kewarisan terse but ? Apakah hukum Adat ataukah hukum Islam? sebetulnya kunci jawaban atas pertanyaan tersebut terletak dari sudut manakah kita melihat. Apabila kita tanyakan kepada seorang Muslim yang
•
413
Pengadilan Agama
nya para pendukung Hukum Adat pun saleh dan taat maka dengan segera dapat menyatakan bahwa Hukum Keakan kita menerima pendapat yang warisan Islam yang menolak pengganmenyatakan bahwa karena mayoritas tian ahli waris dirasakan se bagai sependuduk Indonesia beragama Islam tentu saja Hukum Islam lah yang lebih suatu yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. tepat untuk diperlakukan dan bukan Untuk menjawab tantangan terse but, hukum adat. Karena Hukum Islam mempunyak keunggulan dalam keseraProf. Hazairin telah mencoba mengegaman maupun ketepatan dibandingmukakan bahwa Hukum Islam juga sebenarnya mengenal sistim penggankan dengan hukum adat. Dari segi ini tian ahli waris (plaatsvervulling). Hahukum Islam dianggap lebih menjamin nya sayang pendapat beliau ini belum kepastian hukum. Dan apabila ketentuan-ketentuan hijab didalam Al Qur'an . banyak dianut oleh para Hakim Agarna di seluruh Indonesia. dianggap sebagai suatu kelemahan sebenarnya dapat diatasi dengan adanya Apabila kita lihat di dalam praktek hibah dan wasiat. seperti di Jakarta misalnya pernah ber Sebaliknya banyak pemimpin-pekern bang dua teori yang menjelaskan mimpin Indonesia yang berorientasi tentang posisi hukum kewarisan Islam non Islam. Oleh karenanya mereka deini. Teori pertama dikemukakan oleh ngan penuh keyakinan akan menyataProf. Mr. Dr. Supomo yang menyatakan bahwa Hukum Adat lah yang menkan bahwa di Betawi (Jakarta) tidak cerminkan rasa keadilan rakyat yang berlaku Hukum Islam, karena Hukum sebenarnya dan hanya disana-sini HuIslam telah menjadi kenyataan dalam kum Islam diterima dan dianggap sebamasyarakat Betawi yang beragama Isgai Hukum Adat. Para pendukung Hulam. Dalam rangka menguji kedua teori kum Adat dapat menunjukkan bahwa Hukum Kewarisan Islam ditolak di Miterse but telah p,;rnah dilakukan penelitian yang difokuskan kepada pilihan nangkabau walaupun penduduknya lem baga peradilan dalam penyelesaian : hampir seratus persen beragama Islam. masalah kewarisan bagi orang-orang IsMereka memang menerima Islam dalam di Jakarta pada tahun 1976. Dari lam keseluruhan segi-segi yang penting 1081 kasus yang diajukan ke Pengadilkecuali masalah kewarisan. SelanjutPerincian jumlah kasus penyelesaian kewarisan di masing-masing Pengadilan selama tahun 1976 tersebut dapat dilihat dalam daftar sebagai berikut: J umlah kasus Wilayah 1.
2. 3.
Jakarta Utara dan Jakarta Timur Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Jakarta Pusat
Jumlah seluruh Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Pengadilan Negeri
Pengadilan Agama
23
110
13 11
555 369
47
1034 September 1983
414
Hukum dan Pembangunan
an di Jakarta Raya ternyata bahwa 1034 kasus (96,65%) diselesaikan oleh Pengadilan Agama, sedangkan Pengadilan Negeri hanya menyelesaikan 45 3 ' kasus (4,35%). ) Dari data yang tertera dalam daftar terse but dapat kita simpulkan bahwa ada kecencterungan bagi orangorang Islam di Jalcarta untuk memi1ih Pengadilan Agama untuk menyelesaikan masalah kewarisan mereka. Di samping itu dapat digambarkan peranan dari Pengadilan Agama untuk menyelesaikan masalah kewarisan di DKI Jakarta cukup besar. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh DANIELS. LEV bahwa Pengadilan Agama bahkan menerima perkara warisan yang lebih banyak dari Pengadjlan Negeri. Data yang lain dapat kita peroleh dari hasil penelitlan yang dilakukan oleh Badan f'~mbinaan rtukum NaslOnal bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1977-1978 dan tahun 1978-1979. Lokasi penelitian yang dipilih adalah di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Barat, Banjaunasin (Kalimantan Barat) dan Ujung Pandang (Sulawesi Selatan), dengan responden terdiri dari para hakim/panitera Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, penduduk asli dan tokoh masyarakat. Dari penelitian terse but diperoleh hasil terutama di bidang hukum kewarisan bahwa umumnya masyarakat yang diteliti itu (91,35% dan 82,9%) menghendaki agar hukum kewarisan Islam diperlakukan terhadap mereka. Dan apabila terjadi sengketa mengenai kewarisan, mereka Dun menghendaki agar Pengadilan Aga"•
•
3) Penelitian tersebut dilakukan oleh Ny . Habibah Daud SH, Stat Pengajar pada FH-UI dan FIS-UI Jakarta, yang dimu· at dalam Mimbar Ulama Tahun ke VI No. 58 hal. 8-12.
malah yang menyelesaikan masalah terse but (77,16% dan 68,3 %).4) Dari data terse but dapatlah disimpUlkan bahwa norma-norma Hukum Islam khususnya mengenai kewarisan tetap berlaku dan diterima masyarakat sebagai hukum yang hidup (the living law J. Hal ini adalah suatu kenyataan yang sukar untuk disangkal. Hanya sayang keputusan Pengadilan Agama yang menyangkut penyelesaian masalah kewarisan terse but tidak merupakan suatu putusan hukum yang mempunyai akibat hukum dan memiliki sanksi yang tegas dan nyata. Ia telah kehilangan kekuasaannya sejak tahun 1937, namun Pengadilan Agama di Jawa masih tetap menyelesaikan perkara-perkara dengan sangat mengesankan. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dapat meliputi berbagai masalah penyelesaian yang di monon oleh yang berkepentingan. Fatwa-fatwa terse but tidak hanya mengenai siapa ahli waris dan berapa bagian mereka masing-masing tetapi juga bantuan pelaksanaan pembagian warisan , tersebut . bagian derni bagian. Hibah dan Wasiat dapat juga diselesaikan denl!an bantuan hakim Pengadilan Agarna. Hal ini semua berjalan dengan oaik, walaupun secara fonnal dia tidak mempunyai kewenangan hukum melakukan tindakan terse but. Akan tetapi melalui bantuan hukum terse but Pengadilan Agama telah mampu benarbenar dapat menyelesaikan masalah kewarisan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Dengan melihat kenyataan terse but 4) Lihat laporan Penelitian Kaidah·kaidah
Hukum Islam yang berlaku dewasa ini sebagai hukum positip dalam masyarakat Indonesia, 1978-1979, hal. 40 dan 44.
415
Pengadilan Agama
rnaka rnuncul suatu pertanyaan: Faktor-faktor apa saja yang rnendorong dan rnernpengaruhi sehingga tim bul suatu kecenderungan dari urnrnat Islam untuk rnenyelesaikan rnasalah kewarisan rnereka di Pengadilan Agarna? Sebab rnenurut Daniel Lev, bahwa kebanyakan Pengadilan Agarna selalu rnenyisihkan satu atau dua hari dalarn serninggu khusus untuk rnerneriksa rnasalah-rnasalah kewarisan. Bahkan Pengadilan Agarna jauh lebih banyak rnenerima perkara kewarisan dari Pengadilan Negeri sendiri. Menurut pengarnatan Daniel Lev, Faktor-faktor yang rnernpengaruhi. adanya kecenderungan-kecenderungan terse but adalah sebagai berikut: 5) 1. Meningkatnya suatu perselisihan (sengketa) di dalarn Pengadilan Agarna, biasanya tidak ditandai dengan adanya peru bah an dalam acara dengan tiba-tiba dan rnenjengkelkan. Ini kebalikan dari suasana di Pengadilan Sipil,'nirnana rnasyarakat tingkat rendahan sering rnengalarni sernacarn "kejutan kultural" cUsebabkan forrnalitas-foI'malitas prosedur yang ketat dalam Hukum Acara Peradilan Sipil; walaupun banyak hakim-hakim Sipil yang mencoba menghindarkannya. 2. Para hakim Pengadilan Agama dianggap lebih /amiliair oleh kebanyakan masyarakat desa atau kampung-kampung di kota. Biasanya yang menghadap di Pengadilan ini adalah orang-orang miskin yang berasal dari golongan bawahan dan pada umumnya adalah golongan wanitao Dan jarang sekali terjadi orangorang kaya, at au dari kalangan atas yang mau menghadap ke Pengadil5) Lillat Daniel S. Lev. "Islamic Courts in Indonesia" diterjemalzkan olell H. Zaini A Ilmad Nnelz dalam jlldlll : Peradilan A!(ama Islam di Indonesia . (Jakarta : In· termasa. 1979) Iral. 157. 255.
an Agama, kalaupun ada rnungkin disertai seorang Pengacara. 3. Dalam perasaan sebagian besar yang berperkara di Pengadilan Agama jarang dianggap rnenakutkan. Dalam sikap maupun cara-cara penyelesaian perkara. Pengadilan Agama nampak sederhana, lebih bersifat informal kalau tidak dianggap rnudah dan enak, tetapi setidak-tidaknya tidak bersifat rnemaksa. 4. Dalarn keadaan nOllual, sidang-5i. dang Pengadilan Agama diadakan paling sedikit dua kali dan dikebanyakan ternpat, terutarna di J awa disediakan satu hari istimewa untuk rnendengar persoalan-persoalan kewarisan. Perkaraperkara tersebut jarang memakan waktu lebih dati satu bulan, bahkan ke banyakan dapat diselesaikan dalam sekali sidang atau paling banyak dua atau tiga kali, sehingga Pengadilan Agama tidak pemah diganggu oleh perkara-perkara tunggakan. 5. Para Hakim Agama lebih banyak rnelakukan peranannya sebagai penegak nilai-nilai moral, pendidikan dan agama. la lebih mendasarkan pada permainan dalam semua masalah kewarisan oleh karena hal itu sebagai suatu kewajiban dalam agama. 6. Dilihat dari segi pembuktiannya sudah sejak lama fatwa waris diterima oleh notaris dan para hakim sipil sebagai suatu pernbuktian yang sah atas hak milik dan tuntutannya. Ini adalah suatu perkembangan kebiasaan yang murni yang tidak berdasarkan peraturan tetapi atas kegunaannya dalam kondisi-kondisi sosial yang menganggap bukti-bukti tertulis apapun mernpunyai nilai bagi pengadilan. •
•
September 1983
•
416
• HUkum dan Pembangunan
7. Dalam hal antara hakim agama dan
hakim sipil terjalin hubungan yang baik, maka sering kali para hakim sipil justru menganjurkan para penghadap untuk memohon advis kepada Pengadilan Agama sebelum perkaranya diputus dalam sidang Pengadilan Negeri. Mungkin masih banyak faktor lain yang ikut mempengaruhinya yang ti· dak dicantumkan dalam tulisan ini, akan tetapi memerlukan penelitian yang lebih CelInat dan lebih mendalam dalam tulisan yang singkat ini. Hanya saja kita dapat menarik suatu gambaran dari faktor-faktor terse but bahwa Pengadilan Agama mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan Pengadilan Negeri. Ia jauh lebih informal, kekeluargaan serta tidak menakutkan. Hakim-hakim agama lebih bergaya sederhana dan bukan seperti pejabat-pejabat tinggi yang "angker". Mereka biasanya berasal dari daerah di mana mereka bertugas dan berbicara dengan logat daerahnya. Hal ini sangat membantu dalam mewujudkan peradilan yang sederhana, murah dan cepat seperti yang dikehendaki oleh Un dangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970.
Penutup Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka tidak berlebihan kiranya bila muncul pendapat yang
menghendaki agar" kewenangan mengadili perkara kewarisan bagi ummat Islam dikembalikan kepada Pengadilan Agama. Hal ini memang sudah diperdebatkan sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, akan tetapi sampai sekarang tuntutan terse but belum memperoleh hasil. Hal terse but mungkin disebabkan karena masih banyak yang perlu dibenahi secara menyeluruh, tuntas dan terarah. Untuk itu masih diperlukan banyak sekali persiapan-persiapan sebelum wewe nang itu diperluas. Peradilan Agama misalnya harus dilengkapi dengan tenaga-tenaga yang cukup terdidik yang memiliki pengetahuan hukum yang luas baik umum maupun agama. Faktor ini perlu mendapat perhatian khusus agar tidak terulang kasus KUHAP yang memberikan kewenangan kepada Polisi sebagai penyidik tunggal padahal personalnya belum cukup dan belum siap. Inilah yang merupakan salah satu faktor mengapa peradilan yang sederhana, cepat dan murah itu belum terwujud. Semua hal itu banyak tergantung kepada Departemen Agama sebagai instansi tertinggi yang paling bertanggung jawab dan Perguruan-perguruan Tinggi Islam yang menyediakan tenaga terse but sebelum mencoba untuk menetapkan kern bali wewenang Pengadilan Agama atas perkara waris dan se bagainya .
•
Kita seharusnya hidup menurut apa yang kit a sanggupi dan bukan menurut apa yang kita maui. (Peribahasa Latin)
•