MAKALAH KETUA PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT PADA ACARA PENYULUHAN HUKUM DI KEMENTERIAN PERTAHANAN R.I. HARI KAMIS,TANGGAL 22 MARET 2012 BERTEMPAT DI AULA KEJUANGAN GD. KAPTEN PIERE TENDEAN LT.9 JL. MERDEKA BARAT NO. 13-14 JAKARTA
PENYELESAIAN SENGKETA KELUARGA MELALUI PENGADILAN AGAMA Oleh:
Drs. H. Tata Sutayuga, S.H. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat Kelas I A
I.
Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
VISI: "Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung". MISI: 1. Meningkatkan kualitas pelayanan hukum 2. Meningkatkan profesionalisme aparatur Peradilan Agama. 3. Mewujudkan manajemen peradilan agama yang modern. II.
Kompetensi Absolut Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006 A. Kewenangan Umum Perubahan-perubahan penting dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, antara lain tentang tugas pokok Pengadilan Agama sebagaimana muatan Pasal 49 yang secara tegas menentukan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. b. c. d.
Perkawinan. Waris. Wasiat. Hibah. Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 1 dari 22 hal.
e. f. g. h. i.
Wakaf. Zakat. Infak. shadaqah; dan ekonomi syari’ah. Dalam penjelasan Pasal 49 huruf a bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari‟at Islam, antara lain: 1. Izin beristri lebih dari seorang. 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (duapuluh satu) tahun, dalam hal orang tua, wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat. 3. Dispensasi kawin. 4. Pencegahan Perkawinan. 5. Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 6. Pembatalan perkawinan. 7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri. 8. Perceraian karena talak. 9. Gugatan perceraian. 10. Penyelesaian harta bersama. 11. Mengenai penguasaan anak-anak. 12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya. 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri. 14. Putusan tentang sah dan tidaknya seorang anak. 15. Penentuan pencabutan kekuasaan orangtua. 16. Pencabutan kekuasaan wali. 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut. 18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya. 19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya. 20. Penetapan asal-usul seorang anak, dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Catatan: Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam diperlukan antara lain berdasar alasan: a. Adanya perbedaan pandangan antara hukum Islam dengan hukum lainnya mengenai status anak angkat, dalam hubungannya dengan nasab, hak kewarisan, mahram, dan lainnya. b. Keinginan yang sangat kuat di kalangan umat Islam dalam bidang Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 2 dari 22 hal.
pengangkatan anak mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran. 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan "ekonomi syari’ah" dalam penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah, antara lain meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
bank syari‟ah. lembaga keuangan mikro syari‟ah. asuransi syari‟ah. reasuransi syari‟ah. reksadana syari‟ah. obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah. sekuritas syari‟ah. pembiayaan syari‟ah. pegadaian syari‟ah. dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah; dan bisnis syari‟ah.
Dalam Penjelasan Pasal 50 Ayat (2) menentukan bahwa ketentuan
memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila obyek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Tugas-tugas lain yang diberikan kepada Pengadilan Agama antara lain ialah: 1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta {vide Pasal 52 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989}. 2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan (P3HP) di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam {Pasal 107 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989}. 3. Memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan (rukyat) hilal (awal bulan) Ramadhan dan Syawwal tahun Hijriyah (vide Pasal 52A UU No. 3 Tahun 2006). Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 3 dari 22 hal.
4. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, pelayanan riset, dan pengawasan.
B. Kewenangan Khusus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Pengadilan Agama Jakarta Pusat memiliki kewenangan khusus terkait dengan kompetensi relatif yang diatur dalam: Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 yang menentukan “Apabila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat”. Pasal 73 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989 yang menentukan bahwa "Jika Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat”. Dan
berdasarkan
Keputusan
Ketua
Mahkamah
Agung
RI
Nomor
084/KMA/SK/V/2011 Tentang Ijin Sidang Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah) Di Kantor Perwakilan Republik Indonesia, yang memutuskan memberi
ijin
kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat
untuk
melaksanakan sidang pengesahan perkawinan (itsbat nikah) di kantor Perwakilan Republik Indonesia bagi Warga Negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri.
III. Peran Peradilan Agama Pasca UU No. 7 Tahun 1989 Mengingat eksistensi, tugas, visi dan misi Pengadilan Agama yang strategis, maka lembaga Peradilan Agama pasca UU No. 7 Tahun 1989 dalam negara hukum Indonesia mempunyai peran yang sangat penting bagi masyarakat pencari keadilan khususnya dan umat Islam Indonesia, secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: Peranan yuridis formal. Peradilan Agama berperan sebagai pelaksana
penegak hukum Islam bagi umat Islam Indonesia dengan seadil-adilnya, Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 4 dari 22 hal.
sesuai dengan asas personalitas keIslaman. Hukum Islam merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Memantapkan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia dan sekaligus memperluas keyakinan beragama bagi masyarakat Indonesia. Dan memberikan edukasi melalui produk putusan. Peradilan Agama berperan sebagai pelayanan hukum, dalam artian memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Peradilan Agama mempunyai peran dan fungsi yang sangat dominan dalam memberikan solusi penyelesaian sengketa rumah tangga termasuk perkara perceraian dan kewarisan dengan pertimbangan kemashlahatan. Peradilan Agama juga sebagai pemberi informasi hukum Islam bagi umat Islam yang dapat mengaksesnya melalui internet. Berkaitan dengan hal itu, produk Pengadilan Agama (berupa putusan, penetapan dan akta perdamaian) agar dapat diterima oleh masyarakat, maka harus mencerminkan rasa keadilan dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dan mempunyai kepastian hukum serta bermanfaat dengan pertimbangannya secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Dan putusannya mengikat dan eksekutorial. IV. Sumber Hukum Acara dan Hukum Terapan Peradilan Agama A. Hukum Acara Peradilan Agama Sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama. Adapun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum Acara Peradilan Agama, antara lain sebagai berikut: 1. HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) Staatsblad 1941 No. 44. 2. RBg (Rechtsreglement voor de Buiten gewesten) Stb. 1927 – 227 3. Rv (Reglement of de Burgelijke Rechts vordering) Staatblad 52 Tahun 1847 4. KUH Perdata (BW / Burgerlijk Wetboek voor Indonesie). 5. UU No. 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan/Banding. 6. UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 7. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 5 dari 22 hal.
8. UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai. 9. UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 10. UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 11. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama Atas UU No. 7 Th 1989. 12. UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Th 1989. 13. UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. 14. PP No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Perkawinan. 15. PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai. 16. Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam (KHI). 17. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. 18. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. 19. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 084/KMA/SK/V/2011 Tentang Ijin Sidang Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah) Di Kantor Perwakilan Republik Indonesia. 20. Keputusan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Dan Sekretaris Mahkamah
Agung
020/SEK/SK/II/2011
RI
Nomor
Tentang
04/TUADA-AG/II/2011
Petunjuk
Pelaksanaan
dan
Nomor
Surat
Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2010 Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Lampiran B. 21. Hasil Rakernas MARI. 22. Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama. B. Hukum Terapan Peradilan Agama Sedangkan Hukum Terapan/Hukum Materil Peradilan Agama, antara lain sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 6 dari 22 hal.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 4. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. 5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 8. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama Atas UU Nomor 7 Tahun 1989. 10. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). 11. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 12. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. 13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. 14. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. 15. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. 16. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. 17. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2008 Tentang Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara. 18. Peraturan
Pemerintah
Nomor
57
Tahun
2008
Tentang
Pendirian
Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara Indonesia. 19. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam (KHI) Di Indonesia. 20. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). 21. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 7 dari 22 hal.
22. Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perkawafan Tanah Milik. 23. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim. 24. Kepmenag Nomor 411 Tahun 2000 tentang Penetapan Jumlah Uang Iwadh Dalam Rangkaian Shighat Taklik Bagi Umat Islam. 25. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK 08/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK 08/2008 Tentang Penerbitan Dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel Di Pasar Perdana Dalam Negeri. 26. Yurisprudensi. 27. Hasil Rakernas MARI. 28. Doktrin. V. Prosedur dan Proses Penyelesaian Perkara A. Prosedur Perkara Cerai Talak Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami) atau Kuasanya: 1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg. Jo. Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). b. Permohonan dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah tentang tatacara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R. Bg Jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). c. Surat permohonan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan
petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon. 2. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah: a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). b. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 8 dari 22 hal.
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon {Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006}. c. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon {Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989 telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006}. d. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). 3. Permohonan tersebut memuat: a. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan tempat kediaman/alamat tempat tinggal Pemohon dan Termohon. b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum). c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita). 4. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan {Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006}. 5. Membayar biaya perkara {Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo. Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006}. Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg. dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum). Proses Penyelesaian Perkara Cerai Talak: 1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar‟iah. 2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah untuk menghadiri sidang.
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 9 dari 22 hal.
3. a. Tahapan Persidangan 1) Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). 2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003). 3) Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a HIR/158 R.Bg.). 4) Pada saat penyampaian jawaban atau selambat-lambatnya sebelum pembuktian, Termohon dapat mengajukan rekonvensi (gugat balik) {Pasal 132b HIR/158 RBg, Buku II Edisi Revisi). b. Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah atas permohonan cerai talak sebagai berikut: 1) Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah tersebut. 2) Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah tersebut. 3) Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru. 4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka: a. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak. b. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak. c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 10 dari 22 hal.
didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). 5. Setelah ikrar talak diucapkan Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009). B. Prosedur dan Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Prosedur: Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (istri) atau Kuasanya: 1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah (Pasal 118 HIR, 142 R. Bg. Jo. Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah tentang tatacara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142 R. Bg Jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009). c. Surat gugatan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat. 2. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah: a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat {Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006}. b. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar‟iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 11 dari 22 hal.
c. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009). d. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989 telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Th. 2009). 3. Gugatan tersebut memuat: a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman/alamat tempat tinggal Pemohon dan Termohon. b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum). c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita). 4. Gugatan soal penguasaan/pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian berkekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). 5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R. Bg. Jo. Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 RBg). dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum). 6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah (Pasal 121, 124 dan 125 HIR/ 145 R.Bg.). C. Prosedur, Tatacara Dan Proses Penyelesaian Perkara 1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar‟iah.
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 12 dari 22 hal.
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah untuk menghadiri persidangan. 3. a. Tahapan Persidangan: 1) Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). 2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 01 Tahun 2008). 3) Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a HIR, 158 R.Bg). 4) Pada saat penyampaian jawaban atau selambat-lambatnya sebelum pembuktian, Tergugat dapat mengajukan rekonvensi (gugat balik) {Pasal 132b HIR/158 RBg, Buku II Edisi Revisi). b. Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah atas cerai gugat sebagai berikut: 1) Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah tersebut. 2) Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah tersebut. 3) Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru. 4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka Panitera Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iah memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak. Tata Cara Dan Proses Perkara CT, CG Dan Perkara Lainnya:
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 13 dari 22 hal.
1. Untuk perkara perceraian, Pemohon (suami) atau Penggugat (istri) mengajukan permohonan atau gugatan secara tertulis atau lisan ke Pengadilan Agama. 2. Untuk
perkara
lainnya,
Pemohon
atau
Penggugat
mengajukan
permohonan atau gugatan ke Pengadilan Agama. 3. Pengadilan
Agama
dapat
membantu
Pemohon
atau
Penggugat
merumuskan permohonan atau gugatan bagi yang tidak bisa baca/tulis. 4. Pemohon atau Penggugat pada saat pendftaran membawa fotokopi buku kutipan akta nikah, fotokopi KTP, fotokopi akta kelahiran anak, dan lainlain. 5. Pemohon atau Penggugat membayar panjar biaya perkara. 6. Bagi Pemohon atau Penggugat yang tidak mampu (miskin) dapat beracara secara cuma-cuma (prodeo), dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari Kelurahan setempat yang diketahui oleh Camat. PROSES PERSIDANGAN 1. Setelah
perkara didaftarkan, Pemohon
atau
Penggugat dan
pihak
Termohon atau Tergugat serta Turut Tergugat menunggu surat panggilan untuk menghadiri persidangan. 2. Tahapan Persidangan: 1. Upaya perdamaian, Mediasi. 2. Pembacaan permohonan atau gugatan 3. Jawaban Termohon atau Tergugat 4. Replik Pemohon atau Penggugat 5. Duplik Termohon atau Tergugat 6. Pembuktian (Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat) 7. Kesimpulan (Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat) 8. Musyawarah majelis 9. Pembacaan putusan/penetapan.
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 14 dari 22 hal.
3. Setelah perkara diputus, pihak yang tidak puas atas putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum (verzet, banding, dan peninjauan kembali) selambat-lambatnya 14 hari sejak perkara diputus atau diberitahukan. 4. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, untuk perkara permohonan talak, Pengadilan Agama: 1. Menetapkan hari sidang ikrar talak. 2. Memanggil Pemohon dan Termohon untuk menghadiri sidang ikrar talak; 3. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan berdasarkan alasan hukum yang sama. 5. Setelah pelaksanaan sidang ikrar talak, maka dapat dikeluarkan akta cerai. 6. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, untuk perkara cerai gugat, maka dapat dikeluarkan akta cerai. 7. Untuk perkara lainnya, setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka para pihak yang berperkara dapat meminta salinan putusan. 8. Apabila pihak yang kalah dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa, kemudian tidak mau menyerahkan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut. UPAYA HUKUM 1. Terhadap putusan Pengadilan Agama para pihak yang berperkara dapat mengajukan perlawanan dan/atau upaya hukum, yaitu dengan mengajukan verzet, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. 2. Permohonan verset dan banding diajukan ke Pengadilan Agama selambatlambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sehari setelah putusan dibacakan atau diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan. 3. Pihak yang mengajukan banding membayar biaya banding.
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 15 dari 22 hal.
4. Panitera memberitahukan adanya permohonan banding kepada pihak Terbanding dan Turut Terbanding. 5. Pihak Pembanding membuat memori banding dan pihak Terbanding mengajukan kontra memori banding. 6. Panitera memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memeriksa berkas banding (inzage) di Pengadilan Agama. 7. Berkas perkara banding dikirim ke Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya satu bulan sejak pengajuan permohonan banding. 8. Panitera
menyampaikan
salinan
putusan
kepada
para
pihak
yang
berperkara. 9. Apabila para pihak tidak menerima putusan banding, maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, yang prosedur dan tatacaranya hampir sama dengan prosedur dan tatacara pengajuan banding. 10. Apabila putusan banding atau kasasi telah berkekuatan hukum tetap (BHT), maka penyelesaiannya sama dengan penyelesaian putusan tingkat pertama sebagaimana pada angka 5 sampai dengan 8 pada proses persidangan. VI.
Pedoman Dan Tatacara Perceraian Bagi Anggota TNI, POLRI dan PNS di Pengadilan Agama
A. Peraturan Umum (Hukum Formil dan Hukum Materil): UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975. UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Th. 2009. HIR / RBg dan Rv. Kompilasi Hukum Islam (KHI). PERMA Nomor 01 Th. 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. B. Peraturan Khusus bagi Anggota TNI Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 16 dari 22 hal.
Peraturan Perkawinan,
Menteri
Pertahanan
Perceraian
Dan
Nomor Rujuk
23
Bagi
Tahun Pegawai
2008 Di
Tentang
Lingkungan
Departemen Pertahanan. Peraturan Panglima TNI Nomor: PERPANG/11/VII/2007 Tentang Tata cara Pernikahan, Perceraian Dan Rujuk Bagi TNI. C. Peraturan Khusus bagi Anggota POLRI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tatacara Pengajuan Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. D. Peraturan Khusus bagi PNS Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 48/SE/1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45 Tahun 1990. VII. Alasan-Alasan Mengajukan Gugatan Perceraian Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, yang menentukan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan berikut ini: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 17 dari 22 hal.
membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik talak. Yaitu sebagaimana tertera di buku nikah: Apabila suami meninggalkan istrinya 2 (dua) tahun berturut-turut lamanya tanpa alasan yang jelas. Atau apabila suami tidak memberikan nafkah wajib/nafkah lahir kepada istrinya selama 3 (tiga) bulan berturut-turut lamanya. Atau apabila suami melakukan kekejaman fisik/menyakiti jasmani istrinya. Atau apabila suami tidak memberikan nafkah batin kepada istrinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut lamanya. Kemudian istrinya tidak rela atas perbuatan suaminya, dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu diterima oleh Pengadilan, dan istri membayar uang iwadh sesuai ketentuan. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
VIII. Penyebab Perceraian, antara lain: Ekonomi. Krisis akhlak. Tidak tanggungjawab. KDRT. Dihukum (pidana). Gangguan pihak ketiga. Poligami tidak sehat. Cacat biologis. Tidak ada keharmonisan. IX. Akibat Perceraian 1. Hak-hak istri akibat perceraian dapat ditentukan kepada 2 faktor: Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 18 dari 22 hal.
a. Hak-hak istri, akibat perceraian atas kehendak istri: Istri berhak mendapatkan hak asuh (hak hadhanah) atas anak/anak-anaknya yang usianya belum mencapai tamyiz (12 tahun), sedangkan bagi anak yang sudah mumayyiz, berhak memilih/dapat
dihadirkan
ke
persidangan
untuk
didengar
keterangannya memilih ikut ibu atau ayahnya untuk mendapatkan pengasuhan (hadhanah). (Pasal 105 dan 156 huruf a Kompilasi Hukum Islam). Istri
berhak
mendapatkan
nafkah
anak
dari
ayahnya
jika
anak/anak-anak diasuh olenya sampai dengan anak/anak-anak tersebut dewasa atau mandiri. (berusia 21 tahun apabila sehat fisik dan mental atau telah menikah). (vide Pasal 149 huruf d Kompilasi Hukum Islam). Istri berhak mendapatkan ½ (seperdua) dari harta yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama). Dan suami juga dapat menggugat tentang harta bawaan/harta pribadi yang dikuasai oleh istrinya. Istri dapat menuntut hak-hak tersebut bersama-sama dengan gugatan cerai, atau dapat juga diajukan setelah terjadi perceraian. b. Hak-hak istri akibat talak atas kehendak suami adalah: Istri berhak mendapatkan mut’ah (kenang-kenangan dari mantan suami berupa benda ataupun uang) kecuali apabila si istri belum pernah digauli oleh suaminya. (qabla al-dukhul / belum tamkin
sempurna) berdasarkan fakta-fakta persidangan. (Pasal 149 huruf a jo. Pasal 158 huruf b dan Pasal 159 Kompilasi Hukum Islam). Istri dapat menuntut hak-hak tersebut dengan cara mengajukan gugatan balik (gugatan rekonvensi) ketika proses pemeriksaan perkara cerai berlangsung, atau dapat diajukan setelah terjadinya perceraian. Berdasarkan Pasal 149 huruf b jo. Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami kepada bekas isteri yang ditalak satu raj‟i,
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 19 dari 22 hal.
istri dapat menggugat-balik tentang tuntutan biaya nafkah, biaya kiswah (pakaian) dan biaya maskan (tempat tinggal) untuk selama masa iddah 3 (tiga) bulan kedepan sesuai dengan kemampuan
suami/Tergugat
rekonvensi,
sesuai
dengan
kelayakan/kepatutan berdasarkan „urf dan kebiasaan, Tergugat rekonvensi
sebagai
mantan
suami
dapat
dihukum
untuk
membayarkannya kepada Penggugat rekonvensi (istri) untuk selama masa iddah
(3
bulan) kedepan
selama Penggugat
rekonvensi/istri dalam kondisi tidak hamil. Dan juga dapat menuntut nafkah lampau (madhiyah) yang tidak diberikan oleh suami. Istri berhak mendapatkan hak asuh anak/anak-anak yang usianya belum mencapai usia mumayyiz (12 tahun), sedangkan bagi anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan pengasuhan (hadhanah) dari ayah atau ibunya. Istri berhak mendapatkan nafkah anak dari mantan suaminya jika anak-anak
diasuh
olehnya
hingga
anak-anak
tersebut
dewasa/mandiri. Istri berhak mendapatkan ½ (seperdua) dari tanda yang diperoleh selama perkawinan atau disebut dengan harta bersama. Dan istri juga dapat menggugat balik tentang harta bawaan/harta pribadi yang dikuasai oleh suaminya. Secara yuridis formal ketentuan tentang harta bersama telah diatur dalam pasal-pasal berikut ini: UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama: Penjelasan Pasal 49 Ayat (2) angka 10, Pasal 66 Ayat (4), Pasal 86 Ayat (1). UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Pasal 29, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36 Ayat (1) dan ayat (2, dan Pasal 37. PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 24 ayat (2).
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 20 dari 22 hal.
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pasal 1 huruf f, Pasal 85, Pasal 86 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 87 ayat (1) dan (2), Pasal 88 sampai dengan Pasal 97, Pasal 136 ayat (2), Pasal 157. KUH Perdata Pasal 119, Pasal 128-129 dan Pasal 139-154. 2. Bahwa salahsatu wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa dan menyelesaikan sengketa dalam bidang perkawinan bagi umat Islam. Dalam memeriksa perkara perceraian yang diajukan oleh suami, Pengadilan Agama memberikan kesempatan bagi istri yang akan menuntut haknya yaitu dengan mengajukan gugat balik (gugatan rekonvensi). Gugatan rekonvensi tersebut akan diputus bersama-sama dengan putusan perceraian yang diajukan suami. Dalam melaksanakan putusan tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Pusat menerapkan bahwa sebelum suami mengucapkan ikrar talak sebagai pelaksanaan dari putusan cerai, maka Pengadilan Agama terlebih dahulu memerintahkan suami untuk menyerahkan yang menjadi hak-hak istrinya akibat perceraian, kecuali jika hak-hak istri sudah menyangkut harta, maka Pengadilan Agama Jakarta Pusat akan melakukan eksekusi atas permohonan istri. Jika perceraian atas kehendak istri, maka Pengadilan Agama dapat menjalankan putusan melalui eksekusi dengan syarat harus ada permohonan eksekusi dari pihak istri. Dalam proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama, majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut dapat menggunakan hak ex officio (karena jabatannya) untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak istri tersebut. IX. Alternatif Dispute Resolution ( ADR ) /Alternatif penyelesaian sengketa Secara umum bentuk-bentuk penyelesaian sengketa, terdiri dari: Litigasi, Arbitrase, Mediasi, dan Negosiasi. Alternatif Dispute Resolution ( ADR ) yang dikenal adalah Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi/Perdamaian/Ishlah. Mediasi adalah salahsatu penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat. Dan sebelum mengajukan perkara ke Pengadilan Agama dianjurkan juga konsultasi ke Badan Penasihatan Pembinaan Dan Pelestarian Perkawinan (BP4).
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 21 dari 22 hal.
DAFTAR ISI Halaman I.
Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ----------------------
1
II.
Kompetensi Absolut Peradilan Agama --------------------------------
1
A. Kewenangan Umum --------------------------------------------------
1
B. Kewenangan Khusus -------------------------------------------------
4
III.
Peran Pengadilan Agama -----------------------------------------------
4
IV.
Sumber Hukum Acara Dan Hukum Terapan Peradilan Agama -----
5
A. Hukum Acara Peradilan Agama -------------------------------------- 5 B. Hukum Terapan Peradilan Agama ----------------------------------- 6 V. Prosedur Dan Proses Penyelesaian Perkara -------------------------------
8
A. Prosedur & Proses Penyelesaian Perkara Cerai Talak ----------------
8
B. Prosedur & Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat ---------------
11
C. Prosedur & Proses Penyelesaian Perkara Lainnya ---------------------- 13 VI. Pedoman Pengajuan Gugatan Perceraian bagi Anggota TNI, POLRI dan PNS -------------------------------------------------------------------------- 16 VII. Alasan-Alasan Mengajukan Gugatan Perceraian ------------------------
17
VIII. Penyebab Perceraian ------------------------------------------------------
18
IX. Akibat Perceraian ------------------------------------------------------------
19
X. Alternatif Dispute Resolution ( ADR ) --------------------------------------
21
Penyelesaian Sengketa Keluarga Melalui Pengadilan Agama Hal. 22 dari 22 hal.