Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Evaluasi Terhadap Strategi Komunikasi dan Kebijakan Publik Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Baturaja Kabupaten OKU Oleh: Isnawijayani Abstract At this time, Indonesia is experiencing the atmosphere of the thirst for peace. The thirst is caused by the pressures of life that always come every day, and the pressure demanded the settlement immediately. Moreover, the mass media in Indonesia is more often to show scenes of violence in many conflicts, which a negative effect. Violence seems to be an acceptable thing, and violence becomes a way to solve the problem. This is caused by the perpetrators of violence do not get enough social sanction. Keywords: Communication strategy, public policy, empathy, violence
Pendahuluan Apa yang terjadi secara umum pada masyarakat Indonesia, tentu tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Kota Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan. Mungkin saja hal ini disebabkan masalah kehidupan yang sudah tidak tertanggung lagi. Jika seseorang merasa tersinggung atau tidak senang, membuat orang dari semua tingkatan, kaya ataupun miskin cepat marah secara emosional. Sementara dunia menghendaki kompetisi yang nyata dapat terlihat. Semua orang tidak ingin terpuruk, maka menghadapi semua itu kalau kesenangan rutinitas harus diganggu, tidaklah heran dengan mudah orang akan memaki, meneror, mengintimidasi, mengajak berkelahi bahkan memukul orang atau apapun yang dekat dengannya. Disinilah diperlukan empati, komunikasi dari hati ke hati (human communication) yang dilakukan seorang pemimpin pemerintah atau bupati sebagai kepala pemerintahan di tingkat kabupaten. Jika bupati sebagai wakil pemerintah menghendaki agar pedagang kecil dengan modal yang pas, harus dipindahkan, tentu tahu apa yang dirasakan. Betapa bingung mengahadapi kenyataannya itu. Karena bingungnya maka yang nampak adalah perilaku marah, frustasi, depresi, dan berujung pada perilaku merusak orang lain atau diri sendiri. Untuk itu sebetulnya masyarakat memerlukan pencerahan dari pemerintah atau pemimpin dalam hal ini bupati. Bupati harus segera memberi langkah cepat menghadapi bahaya yang membuat orang terpuruk. Disisi lain kota harus tertata dengan rapi, bersih dan asri. Keadaan kota adalah cerminan dari pemerintah dan siapa yang menjadi pemimpinnya. Tidak mudah untuk memberi pemahaman dengan cepat kepada masyarakat untuk suatu perubahan. Berkali-kali alasan itu harus dikemukakan. Orang akan mulai berpikir untuk pindah, jika banyak informasi manfaat dan keuntungan yang akan didapatkan jika itu dilakukan. Berkali-kali alasan itu harus diterpakan, maka informasi harus sering diberikan, biasanya setelah itu orang akan mengikuti. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam
Guru Besar Ilmu Komunikasi, Dosen PNSD Kopertis Wilayah II DPK FISIP Universitas Baturaja
46
Isnawijayani; 46 - 53
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
memindahkan Pedagang Kaki Lima (PKL) dari Pasar Atas dan ke Pasar Induk Batu Kuning Baturaja. Dalam konteks ini diperlukan model dan strategi komunikasi yang efektif agar tujuan penertiban dan pemindahan itu tercapai sesuai dengan yang diharapakan, tanpa melahirkan masalah atau bahkan konflik yang berkepanjangan. Strategi Komunikasi yang Mesti Dilakukan Pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, telah memiliki rencana strategis jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Salah satunya adalah membuat bersih dan indah kawasan perkotaan. Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini bupati sebagai pemimpin, biasanya dipandang masyarakat sebagai orang yang tepat untuk mengadukan permasalahan hidupnya dan akan merasa bangga jika “disentuh” langsung, bertatap muka, mengajak berbicara, menanyakan keinginannya, dan memberi jalan keluar. Apa yang dikatakan seorang bupati akan sangat bermakna bagi masyarakatnya. Manusia pada dasarnya tidak terlepas dari kebutuhan mendasar hidupnya yaitu: 1) kebutuhan fisiologis (fhsiolocal needs): kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia seperti makan, minum, pakaian dan pemuasan seksual; 2) kebutuhan rasa aman (safety needs): kebutuhan akan keamanan, baik kebutuhan akan keamanan jiwa, maupun kebutuhan akan keamanan harta; 3) kebutuhan sosial (social needs): kebutuhan akan perasaan diterima, dihargai dan dihormati oleh orang, kebutuhan akan perasaan maju atau berprestasi, dan kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation); 4) kebutuhan akan penghargaan (esteems needs): kebutuhan harga diri dan pandangan baik dari orang lain maupun terhadap diri sesorang itu, dan; 5) kebutuhan akan kepuasan diri (self actualization needs): kebutuhan untuk mewujudkan diri yaitu kebutuhan menilai diri dan kepuasan yang didapat dari pekerjaan. Oleh karena itu, jika kebutuhan ini salah satunya mulai terpenuhi maka proses komunikasi yang dilangsungkan akan berjalan lancar. Cara lain agar para PKL mau dipindahkan dari Pasar Atas Kota Baturaja ke Pasar Induk di Batukuning, yaitu dengan cara kelompok PKL dan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dapat diundang ke rumah kabupaten. Diajak berbicara sambil dijamu, makan malam, siang atau dengan hiburan musik dan sejenisnya. Sebagai masyarakat kecil hatinya mulai terikat dan merasa senang. Setelah itu dari perlakuan tersebut diyakini akan muncul dukungan bagi bupati. Rasa bahagia dihargai oleh bupati membuat mereka pasti menceritakan pengalaman yang menyenangkan ini kepada pedagang yang lain. Pedagang kaki lima yang belum merasakan, ingin juga mencoba diajak makan sebagai media sambung rasa dengan bupati sebagai kepala daerah. Untuk membuktikan rasa bangga terhadap bupati, selanjutnya acara makan bersama dibuka secara umum bagi pedagang. Sebelum atau sedang atau sesudah makan bupati mulai berpidato dengan dibantu tayangan rencana pembangunan, terutama pembangunan di kawasan Pasar Induk dan rencana ke bagian mana pedagang itu akan dipindahkan. Pertemuan dengan makan bersama masih harus dilanjutkan untuk menanamkan prinsip “tak kenal maka tak sayang”. Bupati harus menyapa dengan penuh simpati dan empati, lebih dekat dengan para pedagang. Jika memungkinkan, misalnya mereka diajak ngobrol saat antri makan atau pada saat makan. Selesai makan, dengan hati yang senang akan lebih senang lagi per kelompok diajak foto bersama.
47
Isnawijayani; 46 - 53
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Seksi dokumentasi dan publikasi humas, siap melaksanakan tugas itu, jika perlu foto dapat langsung dibagikan, dengan “printer” yang sudah disiapkan. Dalam menghadapi pedagang yang memiliki keinginan yang berbeda-beda, bupati sebagai representasi dari pemerintah Kabupaten OKU, secara internal ada tim yang akan diturunkan untuk melihat secara langsung keadaan Pasar Atas (lama) dimaksud. Tim itu terdiri dari perwakilan DPRD, Dinas Pasar, Dinas Perhubungan, Dinas Infokom, LSM, Dinas Tata Kota, dan dinas/instansi terkait lainnya. terkait. Perlu dibiasakan kepala dinas langsung yang turun. Sehingga saat memberikan laporan dan memberikan kebijakan dapat langsung dilakukan. Survei lapangan dapat dilakukan 2-3 kali untuk melihat perilaku nyata pedagang. Setelah itu sekali lagi mengundang makan bersama, Pak Bupati sudah siap dengan menerangkan fasilitas Pasar Induk dengan fasilitas yang membuat mereka tenang berdagang, dan diberikan secara gratis. Gratis yang diucapkan, tapi sebetulnya mereka membayar, yang terdiri dari, misalnya: a) kios-kios dengan ukuran 2 x 3 m; b) tempat parkir; c) fasilitas MCK; d) kantin; e) mesjid; f) kantor pasar; g) bank pasar, dan; h) fasilitas lain yang diperlukan untuk komunitas pedagang. Setelah terdata jumlah pedagang yang akan dipindahkan, maka pemerintah harus menyiapkan tempatnya, agar pasar tertata. Disarankan agar mereka pindah secara gratis menempati kios-kios itu. Oleh karena itu pemerintah daerah menyiapkan modal yang besar. Pelayanan yang diberikanpun harus prima, mereka hanya mengumpulkan KTP untuk proses kepemilikan. Lalu apakah dana besar yang dikeluarkan oleh pemerintah akan sia-sia? Pak Bupati dapat minta Tim Ekonomi untuk menyiapkannya. Strategi komunikasi keuangan (sebagai contoh), dapat melakukan pada cara retribusi yang dilakukan: a) kebiasaan di Pasar Atas, pedagang tidak terdata. Di Pasar Induk, dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikumpulkan pedagang terdata dengan jenis dagangannya; b) retribusi di Pasar Atas dibayar kalau hari itu berdagang. Kalau tidak, maka tentu tidak membayar retribusi; c) besarnya retribusi lama hanya ratusan rupiah (Rp 200-Rp 400), uang yang masuk tidak tetap, bisa naik dan turun; d) pada pasar yang baru harus digunakan manajemen baru. Retribusi dinaikkan menjadi 10 kali lipat, artinya Rp.2000 – Rp.4000. Setiap hari wajib bayar, berdagang atau tidak berdagang, dan; e) jika cara ini di-manage dengan baik, maka modal yang dikeluarkan pemerintah akan kembali dalam beberapa tahun. Pemindahan ini setiap langkah yang dilakukan, memerlukan publikasi di media. Radio dan suratkabar yang ada harus mendukung proses kegiatan ini. Dengan harapan semua pedagang dan masyarakat umum mendukung program pemerintah melalui bupati. Maka mereka semakin cinta dan sayang sertang mendukung apa yang diprogramkan bupati. Komunikasi dan koordinasi harus berlangsung terus-menerus yang dimotori bupati. Karena tugas utama pemerintah yang diwujudkan dengan instansi yang di dalam terdiri dari pegawai negeri sipil adalah memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Peranan dan tugas pegawai pemerintah selalu berubah sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat yang berkembang. Arah pembangunan nasional Indonesia sesuai dengan tujuan negara yaitu meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, berarti dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan rakyat terutama dalam kegiatan pelayanan. Agar lebih fokus dalam melakukan treatment pemindahan tersebut, pihak terkait bersama pemerintah daerah (jika diperlukan) dapat melakukan studi banding ke daerah (kab/kota) yang sudah berhasil mengatasi masalah sejenis dengan damai dan sukses, tanpa melahirkan konflik berkepanjangan.
48
Isnawijayani; 46 - 53
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Kebijakan Publik: Relokasi PKL Setelah melakukan beberapa kali sosialisasi dan menyampaikan peraturan pemerintah daerah tentang pemindahan pasar, harapannya para Pedagang Kaki Lima (PKL) bersedia pindah ke Pasar Induk. Proses pemindahan ini beberapa kali diiringi dengan demo yang kurang puas akan proses pemindahan. Dalam proses pemindahannya Pemerintah Kabupaten OKU mensiagakan 364 orang personil gabungan pihak TNI/Polres OKU, Polisi Pamong Praja, Dinas Pasar dan dinas terkait lainnya, siap mengamankan proses relokasi PKL. Penjagaan diperketat dan selalu dimonitoring hingga satu bulan. Pemindahan PKL yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga kebersihan dan keindahan Kota Baturaja menjadi kebijakan publik yang harus dilaksanakan oleh masyarakat Kota Baturaja. Menurut Chandler dan Plano (dalam T. Keban, 2004:56), kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah. Sedangkan menurut Nugroho (2005:54), kebijakan publik merupakan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan atau yang tidak dikerjakan. Senada dengan hal tersebut menurut James E. Anderson seperti dikutip oleh Islamy (2003:17), kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan terentu yang dipahami dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini keputusan pemerintah Kabupaten OKU untuk memindahkan PKL suatau ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten agar PKL mau pindah ke tempat yang baru. Unsur penting dalam kebijakan publik pemindahan PKL pasar adalah: pertama, tujuan agar PKL dapat tertata. Kedua, langkah untuk mencapai tujuan diperlukan strategi pelaksanaan dan, ketiga, input atau masukan untuk pelaksanaan dilakukan dengan menerima masukan dari masyarakat. Pengertian kebijakan mempunyai implikasi sebagai berikut: a) bentuk awal dari kebijakan adalah penetapan tindakan pemerintah; b) kebijakan tidak cukup dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata; c) kebijakan merupakan sesuatu yang dilakukan maupun tidak oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu, dan; d) kebijakan negara harus selalu ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Seringkali kebijakan dikaitkan dengan politik seperti pendapat Carl Friedrich dalam Wahab (1997:3), yang menyatakan kebijakan adalah suatu tindakan yang menuju suatu tujuan yang diusulkan oleh seseorang, sekelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu untuk mengatasi hambatan-hambatan yang ada serta mencari peluang untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Pendapat tersebut benar sebab pada kenyataannya PKL yang ditemui mengatakan bahwa mereka tidak mau atau enggan pindah karena ketika bupati dalam proses pencalonan berjanji sampai kapanpun PKL boleh berdagang di pasar lama. Dalam proses mengeluarkan suatu kebijakan publik ada empat tahap yang harus dilalui (Dunn 2004:24), yaitu: a) penyusunan agenda (agenda setting); b) formulasi kebijakan (policy formulation); c) implementasi kebijakan (policy implementation), dan; d) penilaian kebijakan (policy assesment). Dalam penyusunan agenda kebijakan publik yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan masalah publik yang akan dicarikan jalan keluarnya. Ternyata janji tidak harus ditepati sebab dalam perkembangan jika suatu tempat sudah tidak dapat menampung 49
Isnawijayani; 46 - 53
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
banyaknya PKL, akan menempati trotoar dan pinggir jalan raya. Pada pagi hari lalulintas terganggu dan jalan macet. Pada sore dan malam hari banyak sampah menumpuk, lama tidak diangkut menimbulkan bau yang tidak sedap. Pada dasarnya permasalahan ditemukan melalui suatu proses problem structuring. Menurut Cobb dan Elder dalam Islamy (2003:84), ada tiga syarat suatu permasalah dapat diamggap sebagai masalah publik, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a) masalah tersebut harus mendapat perhatian atau menimbulkan kesadaran dalam masyarakat; b) ada pendapat dari masyarakat bahwa perlu dilakukan tindakan untuk memecahakan masalah, 3) Adanya persepsi dari masyarakat bahwa masalah tersebut merupakan tanggungjawab pemerintah untuk menyelesaikannya. Sebagian masyarakat menyadari akan masalah kebersihan dan kerapian tata kota, namun bagi PKL hal ini bukanlah permasalahan yang besar. Semuanya menjadi tanggungjawab pemerintah untuk membenahinya. Pada tahap formulasi kebijakan dirumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Peramalan tentang masalah yang ada digunakan pada tahap ini, dengan melihat atau mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan juga untuk mengenali kendala-kendala yang muncul dalam pencapaian tujuan. Ternyata para PKL pada waktu yang ditentukan mengikuti aturan pindah ke tempat yang baru. Pasar lama dijaga oleh aparat keamanan selama 24 jam. Pasar kemudian mulai dibersihkan, sampah-sampah dibuang, selokan dibersihkan dan pasar nampak rapi. Apalagi setelah dibersihkan dinding-dinding pembatas di cat dengan warna yang cerah. Jika malam melewati pasar lama sudah terasa rapi tapi bau masih ada. Dalam pengamatan sebagian masyarakat mengatakan merasa kehilangan dan harus berjalan jauh atau memerlukan biaya lagi untuk membeli bahan-bahan atau barang yang dijual PKL, seperti buah-buahan, getuk, putir, pisang goreng, Apem, dan makanan-makanan lain yang harganya lebih murah dari harga toko. Pemantauan dilakukan pada implementasi kebijakan, dengan dilakukan pemantauan dapat membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan hambatan dalam implementasi kebijakan. Penilaian kebijakan merupakan penilaian dalam semua proses implementasi apakah sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan pada saat ini evaluasi sudah dapat dilakukan. Penerapan e-government merupakan suatu bentuk dari kebijakan publik maka proses evaluasi dilakukan setelah dilaksanakan pembangunan e-government. Setelah pasar tidak dijaga secara ketat, lambat laun PKL satu persatu mulai lagi kembali berdagang di Pasar Lama. Lama kelamaan pasar lama penuh lagi dengan PKL. Pagi hari jalan menjadi terganggu, dan kini berjalan di pasar lama menjadi tambah tidak sedap lagi. Evaluasi Kebijakan Publik. Menurut Nugroho (2003:183), evalusi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Sedangkan menurut Parsons (2005:547), evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik dan targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai. Lebih lanjut menurut Nugroho (2003:184), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan mencakup tiga makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan publik, evaluasi inplementasi kebijakan dan evaluasi lingkungan kebijakan. Selanjutnya Wibawa dkk. (1994:73), menyebutkan bahwa evaluasi kebijakan bersifat deskriptif sekaligus analitis. Kebijakan publik bertujuan untuk mengetahui empat proses yaitu: 1) proses pembuatan kebijakan, terkesan tidak memperhitungkan kepentingan masyarakat; 2) 50
Isnawijayani; 46 - 53
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
proses implementasi belum memberikan komunikasi yang bermakna dan dari hati kehati, PKL dan masyarakat pengguna hanya diberikan komunikasi bermedia dengan spanduk dan peraturan. Komunikasi tatap muka dilakukan aparat tanpa pimpinan daerah; 3) konsekuansi kebijakan pemerintah baru memberikan pasar yang baru yaitu di Pasar Induk, tanpa fasilitas seperti dalam strategi yang diharapkan, dan; 4) efektivitas dampak kebijakan. Evaluasi kebijakan publik pada prinsipnya merupakan tindakan pengawasan dan monitoring serta kontrol terhadap kebijakan publik yang dihasilkan sehingga dapat diketahui apakah tujuan dari kebijakan dapat tercapai serta dapat mengetahui penyebab kegagalan jika tidak tercapai. Lebih lanjut Wibawa dkk. (1994:10), fungsi evaluasi ada empat yaitu: 1) eksplanasi; 2) kepatuhan; 3) auditing, dan; 4) akunting. Dengan keempat fungsi tersebut dapat dipahami arti pentingnya evaluasi demi baiknya proses kebijakan publik secara keseluruhan. Tujuan dari fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Eksplanasi; dengan melakukan evaluasi dapat dilihat mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari program yang dikaji, potensial untuk dicapai dan bagaimana mencapainya, juga dapat mengetahui masalah yang ada; 2) Kepatuhan; melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh pelaku baik birokrasi maupun lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan; 3) Auditing; untuk dapat mengetahui apakah output benar-benar sampai ketangan kelompok sasaran yang dimaksud oleh pembuat kebijakan, dan; 4) Akunting; dapat diketahui apakah akibat atau dampak baik secara sosial maupun ekonomi dari kebijakan tersebut. Evaluasi kebijakan seringkali terpaku hanya untuk memebicarakan efisiensi anggaran dan efektifitas suatu program saja.Pada dasarnya ada tiga macam evaluasi kebijakan publik menurut Putra (2003:97), yaitu: 1) evaluasi administrasi, 2) evaluasi yudisial dan 3) evaluasi politik. Evaluasi administrasi dilakukan didalam ruang lingkup pemerintah. Evaluasi ini lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan aspek financial dan prosedur kebijakan publik. Sedangkan evaluasi yudisial adalah evaluasi yang dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah hukum. Menjadi fokus utama evaluasi ini adalah pelanggaran-pelanggaran hukum yang ada pada suatu kebijakan publik. Evaluasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik merupakan evaluasi politik akan tetapi evaluasi ini juga dapat dilakukan oleh masyarakat. Evaluasi ini dititik beratkan pada pertimbangan-pertimbangan politik pada suatu kebijakan publik. Di dalam evaluasi kebijakan publik ada tiga pendekatan yang berfungsi untuk memantau (Dunn, 2003:612), yaitu: evaluasi semu, evaluasi formal dan evaluasi keputusan teoritis. Evaluasi semu (pseudo evaluation) dengan menggunakan metode deskriptif untuk menghasilakan informasi yang valid tentang hasil kebijakan. Asumsi utama dari asumsi semu adalah ukuran atau manfaat yang dapat terbukti dengan sendirinya tanpa menimbulkan kontroversial. Dalam evaluasi formal (formal evaluation) juga digunakan metode deskriptik untuk menghasilkan informasi yang valid dan terpercaya mengenai suatu kebijakan. Asumsi utama dari nevaluasi ini adalah tujuan dan sasran suatu kebijakan. Menurut Singarimbun dan Sofian Effendi (1995:5), ada dua macam evaluasi formal yaitu: 1) evaluasi sumantif yang meliputi usaha untuk memantau pencapaian target dan tujuan formal setelah suatu kebijakan diterapkan untuk jangka waktu tertentu, dan; 2) evaluasi formatif yang meliputi usaha terus menerus untuk memantau pencapaian tujuan dan target. Sedangkan evaluasi pada keputusan teoritis (decision-theoritic evaluation) digunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggung jawabkan dan 51
Isnawijayani; 46 - 53
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
valid. Evaluasi keputusan teoritis merupakan suatu cara untuk mengatasi kekurangan dari kedua evaluasi di atas. Menurut Edward A. Suchman dalam Nogroho (2004:199), langkah-langkah evaluasi kebijakan publik adalah: 1) mengidentifikasi tujuan dari program yang akan dievaluasi; 2) analisis terhadap masalah; 3) deskripsi dan standarisasi kegiatan; 4) pengukuran pada tingkat perubahan yang terjadi; 5) menentukan apakah perubahan yang diamati merupakaan akibat vdari kegiatan tersebut atau bukan, dan; 6) menentukan indikator suatu dampak. Alasan evaluasi kebijakan diperlukan tentu saja untuk keperluan jangka panjang dan untuk kepentingan dan keberlanjutan (sustainable) suatu program, evaluasi sangat doperlukan. Dengan evaluasi, kebijakan-kebijakan kedepan akan lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Berikut ini diberikan beberapa argumen perlunya evaluasi, yaitu: 1. Untuk mengetahui tingkat efektifitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuannnya; 2. Mengetahui suatu kebijakan apakah berhasil atau gagal. Dengan melihat tingkat efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal; 3. Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kinerja suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk suatu pertanggungjawaban pemerintah kepada publik selaku pemilik dana dan mengambil manfaat dari kebijakan dan program pemerintah; 4. Menunjukkan pada stakeholders manfaat suatu kebijakan. Apabila tidak dilakukan evaluasi pada suatu kebijakan, pada stakeholders, terutama kelompok sasaran tidak mengetahui secara pasti manfaat dari sebuah kebijakan dan program, dan; 5. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya, evaluasi kebijakan bermanfaat untuk memeberikan masukan bagi proses pengambilan kebijakan yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sebaliknya dari hasil evaluasi diharapkan dapat ditetapkan kebijakan yang lebih baik. Dengan dilaksanakan evaluasi kebijakan dalam penerapan e-government dan pengembangan daerah, maka diharapkan memberikan masukan dan arah kebijakan yang jelas dalam proses pembuatan keputusan dimasa yang akan datang. Khususnya pada bidang pembangunan e-goverment dan pengembanganya di Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, memindahkan Pedagang Kaki Lima (PKL) dari Pasar Atas dan Pasar Baru ke Pasar Induk Batu Kuning tanpa konflik diperlukan keseriusan untuk melaksanakan strategi komunikasinya. Kedua; Bupati Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), memerlukan modal yang besar karena harus memberikan gratis tempat yang baru. Ketiga, komunikasi, informasi, dan kordinasi dilakukan dengan mengundang makan bersama beberapa kali dibantu dengan tayangan, dokumentasi dan publikasi. Keempat, tim yang dibentuk harus solid yang terdiri dari dinas terkait, unsur pengurus dan LSM. Kelima, diperlukan Manajemen pengelolaan, fasilitas, tempat, restribusi agar modal tidak hilang, tetapi kembali yang memerlukan waktu, dan keenam, menjaga kominikasi, informasi, koordinasi.
52
Isnawijayani; 46 - 53
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
DAFTRA PUSTAKA
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Malayu Hasibuan, Malayu. 1996. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: CV Haji Masagung McLuhan, Marshal. 1999. Understanding Media, The Extension of Man. London: The MIT Press McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga Mulyana, Deddy, 1999. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Miller, Katherine. 2005. Communication Theories, Perspectives, Processes, and Contexts, Mcgraw-Hill International Edition Rachmitie, Atie. 2009. Sistem dan Kebijakan Komunikasi Penyiaran di Indonesia. Bandung: Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Psikologi Komuniksi. Bandung: Remaja Rosda Karya
53
Isnawijayani; 46 - 53