BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan tujuan dan cara-cara mencapai tujuan. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah. Analisis kebijakan mempelajari apa yang dikerjakan oleh pemerintah, mengapa pemerintah melakukannya, dan apa akibat atau konsekuensi dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan umumnya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam mengkaji kebijakan, dalam bagian berikut disajikan pandangan dari Dye, Laswell, Easton, Simon, dan Lindblom. Dalam kerangka perspektif filsafat juga diketengahkan pandangan dari Machiavelli, Bacon, Popper, Hayek, Etzioni, dan Habermas. Tahap yang cukup penting dari proses kebijakan adalah implementasi kebijakan, karenanya dalam bagian ini juga dipaparkan konsep implementasi kebijakan, termasuk di dalamnya dibahas rekomendasi kebijakan yang dipandang baik dan dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dalam pembangunan ekonomi terdapat beberapa modal atau kapital yang dapat digunakan. Modal tersebut di antaranya modal manusia, modal ekonomi, modal kultural, modal spiritual, dan modal sosial. Seperti halnya kapital ekonomi, modal sosial juga dapat diperlakukan sebagai stok yang dapat diinvestasikan dan digandakan. Dalam bab ini dijelaskan pandangan modal sosial menurut Coleman, Putnam, Fukuyama, dan Bourdieu. Pandangan mereka sangat mewarnai alur disertasi ini, utamanya perspektif yang berkaitan dengan kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (networking). Dalam bagian berikut dibahas secara singkat tentang unsur43
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
unsur modal sosial tersebut dan bagian selanjutnya membahas jenis modal sosial, yaitu bonding social capital dan bridging social capital. Unit analisis penelitian ini adalah pedagang kaki lima (PKL), karenanya dalam bagian berikut dikemukakan konsep sektor informal dan pedagang kaki lima, termasuk di dalamnya pandangan tentang sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL), urbanisasi dan sektor informal, serta dinamika perkembangan sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL). Sebelum sampai pada kerangka berpikir penelitian sebagai road map penelitian, dalam bagian akhir dari bab ini dibahas konsep resistensi, yang memuat materi tentang apa yang menyebabkan terjadinya resistensi dan apa bentuk-bentuk dari resistensi. A. Tinjauan tentang Kebijakan Publik Pengaturan mengenai bagaimana PKL harus beraktivitas di kota, demikian pula mengapa pemerintah kota melakukan perencanaan terhadap kotanya agar terlihat tertib, rapi, indah, dan nyaman bagi warganya, merupakan bagian dari kebijakan publik yang disusun dan akan diimplementasikan. Dalam bagian berikut dijelaskan uraian tentang konsep kebijakan publik, khususnya berkaitan dengan proses, pendekatan, dan model yang digunakan. Kebijakan publik bukan merupakan konsep yang baru dikenal selama ini. Sudah banyak pakar yang melakukan kajian dan riset tentang kebijakan publik. Kata “publik” dalam kebijakan publik dapat dipahami ketika dikaitkan dengan istilah “privat”. Istilah publik dapat dirunut dari sejarah negara Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani Kuno mengekspresikan kata publik sebagai koinion dan privat disamakan dengan idion. Sementara bangsa Romawi Kuno menyebut publik dalam bahasa Romawi res-publica dan privat sebagai res-priva. Saxonhouse sebagaimana dikutip Parsons 44
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(2005:4) melakukan pemilahan antara kata publik dan privat sebagai berikut. Publik Polis Kebebasan Pria Kesetaraan Keabadiaan Terbuka
Privat Rumah tangga Keharusan (necessity) Wanita Kesenjangan Kesementaraan Tertutup
Pemilahan publik dan privat dalam konteks ruang, dalam praktik kehidupan tidaklah mudah. Saxonhouse (dalam Parsons 2005) menyadari bahwa batas-batas keduanya tidaklah absolut. Hubungan antara ruang publik dengan ruang privat sangat kompleks dan mencerminkan interdependensi. Kepentingan publik dan privat pun bisa saling bertentangan. Untuk memecahkan ketegangan antara kepentingan publik dan privat adalah dengan memasukkan gagasan pasar. Sebagaimana dikemukakan Habermas, bahwa pada awal abad 19, ruang publik yang berkembang di Inggris, berasal dari perbedaan antara kekuasaan publik dan dunia privat. Cara memaksimalkan kepentingan individu dan sekaligus mempromosikan kepentingan publik adalah dengan menggunakan kekuatan pasar (Parsons 2005). Berfungsinya kebebasan individu (konsep publik dalam telaah Saxonhouse di atas) dalam menentukan pilihan dapat memenuhi kepentingan individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik dan kesejahteraan publik. Dalam kaitan ini, peran negara dan politik adalah menciptakan kondisi di mana kepentingan publik dapat dijamin. Itulah sebabnya, pemerintah tidak boleh banyak mencampuri urusan individu. Kepentingan publik dalam hal ini akan terlayani dengan baik jika kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, tetapi tidak diatur dan dikendalikan oleh negara. Intervensi negara bisa dipahami 45
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
sejauh intervensi tersebut untuk menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia, namun tidak mencampuri keseimbangan alami yang muncul dari kepentingan diri. Untuk kepentingan kajian terhadap eksistensi pedagang kaki lima (PKL), dalam bagian berikut perlu diketengahkan dikotomi antara sektor publik dan sektor privat, karena hal ini juga berkaitan dengan posisi dan peran negara di dalamnya. Baber sebagaimana dikutip Parsons (2005) dari Masey, menyebutkan sepuluh ciri penting dari sektor publik, yaitu (1) sektor publik lebih kompleks dan mengemban tugas-tugas yang lebih mendua, (2) sektor publik lebih banyak problem dalam mengimplementasikan keputusan-keputusannya, (3) sektor publik memanfaatkan lebih banyak orang yang memiliki motivasi yang sangat beragam, (4) sektor publik lebih banyak memperhatikan usaha mempertahankan peluang dan kapasitas, (5) sektor publik lebih memperhatikan kompensasi atas kegagalan pasar, (6) sektor publik melakukan aktivitas yang lebih banyak mengandung signifikansi simbolik, (7) sektor publik lebih ketat dalam menjaga standar komitmen dan legalitas, (8) sektor publik mempunyai peluang yang lebih besar untuk merespon isu-isu keadilan dan kejujuran, (9) sektor publik harus beroperasi demi kepentingan publik, dan (10) sektor publik harus mempertahankan level dukungan publik minimal di atas level yang dibutuhkan dalam industri swasta. Sektor publik tidak selalu hanya mengejar keuntungan finansial. Sektor ini bisa mengejar keuntungan finansial, tetapi dapat juga mengutamakan kesejahteraan sosial. Jika yang dikejar adalah kesejahteraan sosial, maka sektor publik ini tergolong sektor nonprofit, yang ciri-cirinya adalah (1) sektor ini tidak mengejar keuntungan, (2) cenderung menjadi organisasi pelayanan, (3) ada batasan yang lebih besar dalam tujuan dan strategi yang mereka susun, (4) lebih tergantung kepada klien untuk mendapatkan sumberdaya finansialnya, (5) lebih didominasi oleh kelompok profesional, (6) akuntabilitasnya 46
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
berbeda dengan akuntabilitas organisasi privat atau provit, (7) manajemen puncak tidak mempunyai tanggung jawab yang sama atau imbalan finansial yang sama, (8) organisasi sektor publik bertanggung jawab kepada elektorat dan proses politik, dan (9) tradisi kontrol manajemennya kurang (Parsons 2005). Istilah kebijakan atau kebijaksanaan memiliki banyak makna. Hogwood dan Gunn, seperti dikutip Parsons (2005:15) menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yaitu sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas, sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan, sebagai proposal spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otorisasi formal, sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil (outcome), sebagai teori atau model, dan sebagai sebuah proses. Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik. Istilah kebijakan memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan kata kebijakan. Kebijaksanaan sebagai suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan caracara untuk mencapai tujuan-tujuan itu (Budiarjo 1992:12). Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dinginkan (Widodo 2007:13). Post, et al (1999) memaknai kebijakan publik sebagai rencana tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk mencapai tujuan yang lebih luas yang memengaruhi kehidupan penduduk negara secara substansial.
47
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Kebijakan memiliki arti umum dan spesifik. Dalam arti umum, kebijakan menunjuk pada jaringan keputusan atau sejumlah tindakan yang memberikan arah, koherensi, dan kontinuitas. Dalam kaitan ini, Greer and Paul Hoggett (1999) memaknai kebijakan sebagai sejumlah tindakan atau bukan tindakan yang lebih dari sekedar keputusan spesifik. Dalam arti spesifik, ide kebijakan berkaitan dengan cara atau alat (means) dan tujuan (ends), dengan fokus pada seleksi tujuan dan sarana untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Ide kebijakan di atas melibatkan apa yang disebut Easton sebagai alokasi nilai-nilai (the allocation of values) dan memiliki konsekuensi distribusional. Kebijakan dalam arti khusus, berkaitan dengan ruang publik. Kebijakan berada pada ruang hidup di luar kepentingan privat individu atau kelompok. Namun demikian, sebagaimana dicatat Ranson and Steward (dalam Greer and Paul Hoggett 1999), domain publik yang mewarnai kebijakan publik memiliki peran esensial dalam mengklarifikasi, menyatakan, dan mewujudkan tujuan-tujuan publik, yang juga menjadi tujuan para individu atau kelompok secara keseluruhan. Apa yang dikemukakan Budiardjo, Friedrich, serta Greer and Paul Hoggett mengenai konsep kebijakan terdapat kesamaan, yaitu mereka sama-sama memfokuskan diri pada suatu tindakan atau keputusan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan atau sasaran dimaksud tentunya adalah tujuan publik, bukan tujuan orang per orang atau kelompok tertentu. Ketika istilah kebijakan dan publik digabung menjadi satu, yaitu kebijakan publik, memiliki makna yang lebih luas daripada ketika diartikan secara sendiri-sendiri. Kebijakan publik merupakan salah satu komponen negara yang tidak boleh diabaikan. Menurut Nugroho (2009:11), negara tanpa komponen kebijakan publik dipandang gagal, karena kehidupan 48
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
bersama hanya diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja, yang bekerja seperti tiran, dengan tujuan untuk memuaskan kepentingan diri atau kelompok saja. Kebijakan publik, termasuk di dalamnya adalah tata kelola negara (governance), mengatur interaksi antara negara dengan rakyatnya. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana signifikansi kebijakan publik sebagai komponen negara. Sebagaimana dijelaskan Nugroho (2009), setiap pemegang kekuasaan pasti berkepentingan untuk mengendalikan negara, sekaligus juga mengelola negara. Mengelola berarti mengendalikan dengan menjadikannya lebih bernilai. Pemerintah suatu negara dalam mengelola negara, tidak hanya mengendalikan arah dan tujuan negara, tetapi juga mengelola negara agar lebih bernilai melalui apa yang disebut dengan kebijakan publik. Inilah tugas pemerintah atau negara sesungguhnya. Gambar berikut memperjelas ilustrasi di atas.
Mengelola
Mengendalikan
Memimpin
Gambar 1. Dimensi Tugas Negara Sumber: Nugroho (2009:12)
Kekuasaan yang dimiliki negara tidak dapat dipertahankan hanya dengan kekuatan paksa, tetapi juga memerlukan kebijakan (Parsons 2005). Negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah, tetapi tidak akan efektif tanpa ada 49
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
kebijakan publik yang dibuat. Sebagaimana dikatakan Santoso (2010:4), negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah dan karena kebijakan publik pada dasarnya merupakan kebijakan negara, maka kebijakan publik dimaknai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk memastikan tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh publik dapat tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya dipahami sebagai persoalan teknis administratif saja, tetapi juga dimengerti sebagai sebuah persoalan politik. Kebijakan publik berkaitan dengan penggunaan kekuasaan, oleh karenanya kebijakan publik berlangsung dalam latar (setting) kekuasaan tertentu. Dalam konteks ini, berarti ada pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Pedagang kaki lima (PKL) dalam perspektif kebijakan publik, berada pada posisi pihak yang seharusnya dilayani, sedangkan pemerintah kota Semarang beserta aparaturnya merupakan pihak yang sudah semestinya memberi pelayanan melalui kebijakan yang diambil. Sebagaimana dikatakan Ndraha (2003), pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai konsumen atas produk-produk pemerintah, dengan melakukan pelayanan publik dan pelayanan sipil. Pemerintah melakukan pelayanan publik, karena pemerintah merupakan badan publik yang diadakan tidak lain adalah untuk melayani kepentingan publik, sedangkan dalam hal layanan sipil, pemerintah setiap saat harus siap sedia memberikan layanan kepada setiap orang yang membutuhkan. Dalam realitasnya, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat yang melayani dan pemerintah sebagai pihak yang dilayani. Itulah sebabnya, dalam praktik pemerintahan acapkali menimbulkan abuse of power sehingga terciptanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
50
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sebagai pihak yang menguasai sumber daya politik, ekonomi, budaya, dan militer, pemerintah berada pada posisi superordinat, yakni pihak yang sangat berkuasa dalam mengatur dan mengendalikan warga masyarakat, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang kecil seperti halnya PKL. Dalam posisinya ini, pemerintah kota dengan segala kebijakannya harus ditaati dan dipatuhi oleh PKL. Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, merupakan salah satu wujud dari kebijakan pemerintah kota Semarang yang harus ditaati pedagang kaki lima. PKL sebagai pihak subordinat, harus siap diatur dan dikendalikan oleh pemerintah. Dalam konteks relasi kuasa, yang dikhawatirkan adalah jika kebijakan publik yang ditempuh Pemkot merupakan perencanaan yang cerdik (scheming), sebagaimana ditulis Marlowe (dalam Parsons 2005), yaitu menciptakan atau merekayasa sebuah ceritera yang masuk akal dalam rangka mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa. Perda nomor 11 tahun 2000 lebih bersifat mengatur PKL daripada membina dan memberdayakannya. Hal ini dapat dilihat dari judul peraturan daerah yang mengatur PKL, yaitu Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda yang ditetapkan pemerintah kota Semarang ini berbeda dengan Perda nomor 3 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang dikeluarkan pemerintah kota Surakarta. Perda nomor 3 tahun 2008 ini menunjukkan bagaimana pemerintah Surakarta berkewajiban mengelola PKL agar mereka dapat hidup sejahtera. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 3, yang menyatakan bahwa pengelolaan PKL bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum dan kebersihan lingkungan. Konsiderans Perda nomor 3 tahun 2008 juga menguatkan ketentuan pasal 3 tersebut. “ pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha perdagangan sektor
informal
yang
merupakan
perwujudan
hak
51
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
masyarakat dalam berusaha dan perlu diberi kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan PKL ini perlu dikelola, ditata, dan diberdayakan sedemikian rupa agar keberadaannya memberikan nilai tambah atau manfaat bagi pertumbuhan perekonomian dan masyarakat kota serta terciptanya lingkungan yang baik dan sehat”.
Substansi dari Perda nomor 3 tahun 2008 menunjukkan adanya keberpihakan kepada pedagang kaki lima. Hal ini diperlihatkan oleh pasal tentang hak PKL dan pemberdayaan terhadap PKL. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa untuk menjalankan kegiatan usahanya, pemegang izin penempatan PKL berhak: (1) mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha, (2) menggunakan tempat usaha sesuai dengan izin penempatan. Perda nomor 3 tahun 2008 mewajibkan walikota untuk memberikan pemberdayaan kepada PKL. Sesuai dengan ketentuan pasal 12 ayat (1), pemberdayaan terhadap PKL berupa: (a) bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, (b) pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, (3) bimbingan untuk memperoleh peningkatan permodalan, dan (4) peningkatan sarana dan prasarana PKL. Wujud pemberdayaan tersebut gayut dengan hak yang dimiliki oleh PKL. Hak untuk mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) tersebut, akan dapat dinikmati secara optimal, ketika PKL juga dibantu dalam manajemen usaha, pengembangan usaha, peningkatan permodalan dan peningkatan sarana prasarana. Ketentuan tentang pemberdayaan dalam Perda PKL yang dibuat pemerintah kota Surakarta tersebut tidak dijumpai dalam Perda PKL yang ditetapkan pemerintah kota Semarang.
52
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Perda nomor 11 tahun 2000 hanya mengatur 1 pasal tentang hak PKL, yaitu pada pasal 6, selebihnya mengatur masalah kewajiban, larangan, serta ketentuan pidana dan sanksi administrasi. Dalam pasal 6 tersebut, setiap PKL mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan perizinan, penyediaan lahan lokasi PKL, dan mendapatkan pengaturan dan pembinaan. Pasal tersebut belum menyentuh persoalan hakiki PKL, yaitu kenyamanan dan keamanan dalam berusaha. Perda nomor 11 tahun 2000 juga tidak mengatur tentang kewajiban pemberdayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah kota Semarang. Itulah sebabnya, dalam praktik kebijakan yang berkaitan dengan penataan PKL di Semarang, pihak eksekutor kebijakan hanya melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh Perda, tidak lebih dari itu. Kebijakan penataan PKL di Semarang lebih bersifat mengatur dan menertibkan, sehingga tidak jarang dalam implementasinya menggusur PKL tanpa adanya hak banding yang seharusnya dimiliki PKL. Realitas ini menyebabkan hubungan antara Pemkot dengan PKL menjadi tidak harmonis. Hal ini juga membawa implikasi pada ketaatan PKL terhadap Perda dan kebijakan pemerintah lainnya. Sementara itu, Perda nomor 3 tahun 2008 yang digunakan Pemkot Surakarta untuk mengelola PKL, yang di dalamnya ada ketentuan bahwa walikota berkewajiban memberdayakan PKL, membawa implikasi pada hubungan yang dekat antara Pemkot dengan pedagang kaki lima. Hubungan yang dekat tersebut dapat memengaruhi tingkat kepatuhan PKL terhadap Perda. Kebijakan berkaitan dengan apa yang dilakukan pemerintah. Dalam kaitan ini, Dye (2002:1) mengartikan kebijakan publik sebagai “whatever government choose to do or not to do”. Kebijakan publik merupakan sebuah pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dalam buku berjudul Public Policymaking, Anderson (2000) pun setuju dengan pandangan Dye tentang makna 53
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
kebijakan publik sebagai “apapun yang dipilih pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”. Sesuai dengan konsep kebijakan publik di atas, pemerintah dapat melakukan banyak hal, mulai dari mengelola konflik dalam masyarakat, mengorganisasikan masyarakat untuk berkonflik dengan masyarakat lain, mendistribusikan berbagai penghargaan atau hadiah dan layanan material kepada anggotaanggota masyarakat, hingga menarik uang dari masyarakat yang sering diwujudkan dalam bentuk pajak. Individu atau masyarakat mengharapkan pemerintah melakukan banyak hal untuknya. Semua kelompok masyarakat pasti menginginkan pemerintah dapat melayani kepentingan mereka dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Kebijakan publik harus didesain untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi ketidaknyamanan dan ketidaksenangan individu dan kelompok-kelompok masyarakat (Dye 2002). Sejalan dengan pandangan Dye tersebut, pemerintah kota Semarang suka atau tidak suka, melalui kebijakan yang diambil mestinya dapat mengatasi konflik penggunaan ruang publik yang selama ini banyak digunakan oleh para PKL dan melalui kebijakannya pula, semua warga kota Semarang harus dapat dibuat nyaman, aman, tenang dan senang, termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki lima (PKL). Kebijakan publik dalam pandangan Dye dan Anderson, bukan sekedar keputusan yang menghasilkan aktivitas-aktivitas yang terpisah. Sebagaimana dilihat Richard Rose, kebijakan dipandang sebagai serangkaian panjang aktivitas yang saling berhubungan (Anderson 2000). Makna kebijakan Dye maupun Anderson, tidak semata-mata berkaitan dengan apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan pemerintah, tetapi lebih dari itu, kebijakan menyangkut sejumlah aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik. Hal ini sejalan dengan apa yang 54
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
digagas Carl J. Friedrich tentang kebijakan publik. Menurut Friedrich (dalam Anderson 2000), kebijakan adalah sejumlah tindakan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang menyediakan rintangan sekaligus kesempatan di mana kebijakan yang diajukan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi usaha mencapai tujuan atau merealisasikan tujuan dan sasaran. Ide utama kebijakan memang terkait dengan sejumlah tindakan. Kebijakan sebagai tindakan, dalam pandangan Friedrich (dalam Anderson 2000), diarahkan untuk memenuhi sejumlah maksud dan tujuan, meskipun diakui bahwa tidak mudah untuk melihat maksud dan tujuan tindakan pemerintah. Hanya melalui pejabat-pejabat atau agen pemerintah, kebijakan publik dapat diketahui ke mana arahnya. Perkembangan masyarakat industri dengan bentuk-bentuk administrasinya, telah mengubah makna kebijakan tidak sekedar sebagai apa yang dilakukan oleh negara, tetapi juga memiliki kaitan dengan persoalan politik dan administrasi birokrasi. Gagasan kebijakan sebagai politik dijalankan oleh sebuah alat administrasi yang canggih, yang disebut dengan birokrasi. Mereka yang berkecimpung di ruang birokrasi dinamakan birokrat, sedangkan mereka yang berkutat pada arena politik disebut politisi. Birokrat memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai badan nonpolitis, sedangkan politisi mengklaim otoritasnya berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau platform mereka oleh elektorat (Parsons 2005). Para pelaksana kebijakan ini memiliki apa yang oleh David Easton (dalam Parsons 2005) disebut dengan otoritas atau kewenangan. Mengapa birokrat dan politisi memiliki otoritas tersebut? Jawabannya adalah sistem politik menentukan apa-apa yang dilakukan oleh para politisi dan urusan-urusan keseharian dalam sistem politik dilakukan oleh birokrat. Konstitusi dan Undang-undang pun 55
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
mengakui bahwa merekalah yang dipandang bertanggungjawab terhadap persoalan dan agenda kebijakan yang telah disusun. Dengan berkembangnya sistem kepartaian dan pemilu modern pada era masyarakat industri, maka diskursus kebijakan menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam kegiatan politik dan persaingan antara elit politik. Politisi diharapkan memiliki kebijakan sebagaimana halnya sebuah toko semestinya mempunyai barang dagangan. Dalam pandangan Schumpeter (dalam Parsons 2005), kebijakan atau pokok-pokok platform merupakan mata uang penting dalam perdagangan demokratik. Apa yang digagas Schumpeter ini berbeda dengan ide Lasswell tentang kebijakan. Lasswell tidak setuju jika kebijakan disamakan dengan politik. Menurut Laswell (dalam Parsons 2005), kebijakan harus bebas dari konotasi politik, sebab politik diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi. Terlepas dari persoalan apakah kebijakan berkaitan dengan politik atau tidak, kebijakan publik tetap merupakan sesuatu yang terniscaya dalam masyarakat modern. Kebijakan publik bisa melahirkan keuntungan atau pun kerugian, bisa menyebabkan kenikmatan, iritasi, dan rasa sakit dan dalam arti kolektif, memiliki konsekuensi penting terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan (Anderson 2000). Kebijakan melibatkan tiga komponen utama, yaitu society, political system, dan public policy itu sendiri. Ketiga komponen ini saling memengaruhi. Dalam studi tentang kebijakan publik di Amerika Serikat, Thomas R. Dye (2002:5) menggambarkan kaitan tiga komponen di atas seperti dalam gambar berikut.
56
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Society
Political System Institutions, Processes, Behaviors
A E Social and Economic Conditions
Public Policy
B F
C Public Policy
D Gambar 2. Studi Kebijakan: Penyebab dan Konsekuensinya.
Berdasarkan gambar di atas, kondisi sosial ekonomi masyarakat meliputi kesejahteraan dan pendapatan, inflasi, resesi, dan pengangguran, pencapaian pendidikan, kualitas lingkungan, kemiskinan, komposisi rasial, profil agama dan etnik, kesehatan dan usia hidup, ketidaksamaan dan diskriminasi. Kelembagaan, proses, dan perilaku dalam sistem politik mencakupi federalisme, pemisahan kekuasaan, sistem perimbangan kekuasaan, kepartaian, kelompok kepentingan, perilaku voting, birokrasi, struktur kekuasaan, serta kongres, Presiden, dan pengadilan. Kebijakan publik yang dihasilkan dari kondisi masyarakat yang direspon dan diolah dalam sistem politik, dapat berupa hak-hak sipil, kebijakan pendidikan, kebijakan kesejahteraan, kebijakan pemeliharaan kesehatan, keadilan kriminal, perpajakan, belanja dan defisit anggaran, kebijakan pertahanan, dan peraturan-peraturan. Garis panah yang ditunjukkan oleh garis A, B, C, D, E, dan F pada gambar di atas, menunjukkan adanya pengaruh atau dampak dari satu komponen terhadap komponen lainnya, misalnya garis A menggambarkan tentang pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap lembaga, proses, dan perilaku politik dan pemerintahan. Demikian pula, garis B menggambarkan pengaruh dari lembaga-lembaga politik dan 57
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pemerintah, proses, dan perilakunya terhadap kebijakan publik yang diambil. Segitiga kebijakan Dye dapat juga dipakai untuk memotret bagaimana kebijakan publik di Indonesia dirancang dan diimplementasikan. Di Indonesia, kebijakan publik yang ditetapkan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakatnya, baik berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan masyarakat, tingkat kemiskinan, kualitas hidupnya, maupun tingkat daya saingnya. Kelembagaan dan sistem politik Indonesia memengaruhi dan juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Kelembagaan tersebut sangat rumit, mencakupi sistem hukum, sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem kultural. Dalam kelembagaan ini turut bermain partai politik, pemerintah (pusat dan daerah), birokrasi, parlemen, dan organisasi. Mereka menentukan kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah. Output kebijakan bisa berupa UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau pun Peraturan Daerah, baik menyangkut bidang pendidikan, kesehatan, finansial, maupun bidang-bidang lain yang menyentuh kehidupan masyarakat atau publik. Partai politik dan birokrasi dinilai yang paling menonjol dalam menentukan suatu kebijakan publik. Partai Golkar pada masa Orde Baru, partai PDI-P pada masa pemerintahan Megawati, dan partai Demokrat pada masa pemerintahan SBY merupakan contoh dari partai politik yang secara dominan menentukan corak kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Umumnya dalam ide kebijakan publik, pemerintah berada pada posisi yang dominan. Artinya bahwa, kebijakan publik tidak akan berjalan tanpa peran pemerintah. Perda PKL yang dibuat pemerintah kota Semarang bersama DPRD juga lebih banyak melibatkan peran Pemkot Semarang. Naskah atau draft Raperda sudah disiapkan oleh Dinas Pasar kota Semarang. Pihak 58
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
PKL yang umumnya berpendidikan SMA ke bawah, tidak terlibat dalam penyusunan draft Perda yang mengatur kehidupan mereka. Mereka tinggal menerima saja apa yang sudah diputuskan oleh pemerintah kota bersama DPRD. Kalau pun ada perwakilan PKL yang diajak bicara, itu pun hanya perwakilan dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonsia (APKLI) Semarang, yang tidak mewakili sepenuhnya kepentingan pedagang kaki lima. Wacana tentang peran pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik, melalui agen-agennya, dapat ditelusuri dari paradigma Keynesian. Dunia penuh dengan ketidakpastian dan teka-teki. Masalah yang dihadapi hanya dapat dipecahkan melalui penerapan akal dan pengetahuan manusia. Pandangan ini membentuk latar belakang pertumbuhan pendekatan kebijakan. Pemetaan perkembangan ilmu kebijakan dapat dilakukan melalui keinginan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tata kelola yang mampu merumuskan problem dengan baik. Keinginan untuk memperoleh pendekatan yang lebih rasional untuk dapat menganalisis masalah sosial dan persoalan lainnya, terwujud dalam bentuk perkembangan kapasitas negara untuk mendapatkan dan menyimpan informasi, misalnya melalui riset-riset dan survei sosial. Ide bahwa pemerintah dapat memecahkan persoalan, setidaknya masalah ekonomi, dengan menentukan kebijakan, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial mulai membangun hubungan dengan ilmu politik dan pemerintahan (Parsons 2005). John Maynard Keynes sebagaimana dikutip Parsons (2005) meyakini bahwa jika pemerintah memiliki kemampuan dalam mengatasi persoalan, maka pemerintah harus mengakui perlunya kajian pendekatan pemerintahan yang lebih kaya dan berlandaskan teori. Keynes meramalkan bahwa di masa depan, kajian tersebut akan muncul berdasarkan ide-ide dari para 59
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
ekonom, bukan dari kepentingan politik yang menentukan pengambilan keputusan (Parsons 2005). Laswell (dalam Parsons 2005) menunjukkan bahwa kebijakan hanya dapat dipahami jika penjelasan tujuan-tujuan sosial diberikan berdasarkan bidang keilmuan. Kebijakan sebagai ilmu, menurut Laswell mencakupi (1) metode penelitian proses kebijakan, (2) hasil dari studi kebijakan, dan (3) hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan inteligensia di era kita sekarang (Parsons 2005). Pendek kata, kebijakan dalam kajian ilmiah Laswell, mengandung ciri khas, yaitu berorientasi pada problem, sehingga kebijakan sebagai ilmu harus bersifat kontekstual, multimetode, dan berorientasi problem. Dalam kaitan ini, Laswell mengibaratkan ilmuwan kebijakan seperti dokter sosial yang menyembuhkan dirinya sendiri, sembari belajar untuk menyembuhkan pemerintahan. Pemerintah dalam analisis kebijakan ini bertindak sebagai problem solver. Perumusan kebijakan berbasis teori atau ilmu politik, selain merujuk pada pandangan Laswell, dapat pula dikaji dari pandangan David Easton, Herbert Simon, dan Charles Lindblom. Ketiga-tiganya juga mengkaji kebijakan berdasarkan pendekatan rasional. Semua pengkaji kebijakan tersebut termasuk dalam kelompok pendekatan tahapan atau stagist. Easton misalnya, membuat model tahapan sederhana dari proses kebijakan publik, dimulai dari input, dimediasi melalui saluran input, yaitu kebijakan, dan diakhiri dengan output. Model tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
60
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sumber: Parsons (2005:26) Gambar 3. Proses Kebijakan sebagai Input dan Output
Pandangan Almond dan Powell tentang proses kebijakan tidak jauh berbeda dengan pendapat Easton, yang menjelaskan model sistem politik sebagai model yang terdiri dari tiga komponen atau fungsi, yaitu (1) fungsi input, berupa artikulasi kepentingan, (2) fungsi proses, yakni berupa agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan, dan keputusan kebijakan, serta (3) fungsi kebijakan (output), berupa ekstraksi, regulasi, dan distribusi. Kebijakan publik sebagai sebuah tahapan membawa ide, keyakinan, dan asumsi yang berbeda-beda. Latar (setting) institusional, orientasi akademik, kepentingan kebijakan, dan relasi terhadap proses kebijakan sangat beragam, maka kerangka teoritis yang digunakan para teoretisi berbeda-beda pula. Bobrow dan Dryzek mengemukakan lima kerangka analisis utama dalam kebijakan publik, yaitu ekonomi kesejahteraan, pilihan publik, struktur sosial, pengolahan informasi, dan filsafat politik (Parsons 2005). Perspektif ekonomi kesejahteraan merupakan turunan langsung dari utilitarianisme Mill dan Bentham (Parsons 2005). Analisis kebijakan dalam perspektif ini merupakan aplikasi teori dan model ekonomi kesejahteraan untuk meningkatkan rasionalitas dan efisiensi pembuatan keputusan.
61
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pilihan publik (public choice) sebagai perspektif kebijakan, diartikan sebagai ilmu ekonomi yang membahas pengambilan keputusan nonpasar atau aplikasi ilmu ekonomi pada ilmu politik. Pokok persoalan yang dikaji perspektif pilihan publik adalah negara, perilaku memilih, partai politik, dan birokrasi. Pendekatan pilihan publik juga memiliki kaitan erat dengan institusionalisme ekonomi atau kelembagaan baru, yang berhubungan dengan analisis pasar, perilaku organisasi, dan pembangunan dilihat dari sudut pandang pilihan rasional. Pendekatan struktur sosial memahami kebijakan publik dari sudut pandang teori sosiologi. Sosiologi berkontribusi dalam memahami kekuasaan dalam masyarakat, organisasi, institusi, dan yang lain. Kontribusi sosiologi cukup signifikan terhadap analisis kebijakan, utamanya adalah analisis problem sosial. Pendekatan daur hidup untuk problem sosial merupakan contoh dari model stagist untuk proses kebijakan. Pendekatan pengolahan informasi menganalisis tentang bagaimana individu dan organisasi memberikan penilaian, membuat pilihan, menangani informasi, dan memecahkan persoalan. Pendekatan yang dipakai di antaranya Psikologi Sosial, Ilmu Keputusan, Ilmu Informasi, dan Perilaku Organisasi. Filsafat banyak memberikan kontribusi terhadap analisis kebijakan publik. Beberapa filsuf yang pemikirannya memengaruhi kebijakan publik dan analisis kebijakan, di antaranya adalah Machiavelli, Bacon, Karl Popper, Hayek, Etzioni, dan Habermas. Sebagai seorang filsuf politik, Machiavelli (dalam Parsons 2005) mengkaitkan teori-teori pemerintahan dengan pengalamannya dalam politik aktual. Pihak penguasa, menurut Machiavelli harus memahami bagaimana kekuasaan bisa bekerja. Pemerintahan merupakan sebuah keterampilan. Studi pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan. 62
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Machiavelli tertarik pada seni keterampilan bernegara. Ia yakin bahwa dengan pemahaman yang cukup mengenai realitas politik dan kekuasaan, maka pembuat keputusan dapat menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki kemampuan lebih besar dalam mengatasi setiap persoalan yang dihadapi. Machiavelli tertarik pada pemanfaatan kebijakan untuk meraih tujuan yang dikejar oleh pemegang kekuasaan. Pandangan Machiavelli relevan dengan analisis kebijakan pada abad 20 karena adanya alasan Machiavellian, yakni keinginan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di pemerintahan dan bagaimana kinerja pemerintahan memenuhi janji-janjinya. Kriteria untuk menilai kesuksesan para elit yang bekerja di pemerintahan adalah kinerja dan hasil yang telah dicapai. Kebijakan dalam hal ini, merupakan strategi untuk mewujudkan tujuan. Dalam kaitan ini, tidak menjadi soal apakah kebijakan yang dibuat benar atau salah, yang terpenting adalah kebijakan mana yang menurut si pembuat paling bisa dilaksanakan. Bacon (dalam Parsons 2005) memiliki titik pandang yang berbeda dengan Machiavelli. Dalam hal kebijakan, Bacon mengusulkan gagasan jalan tengah (res mea), bahwa kebijakan yang baik sebagai implementasi pelaksanaan kekuasaan, memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan legitimasi dengan membangun dukungan dan persetujuan, ketimbang harus menciptakan permusuhan sebagaimana diyakini Machiavelli. Jika Machiavelli memandang kebijakan sebagai aktivitas untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan Bacon memahami kebijakan sebagai aktivitas untuk menjaga keseimbangan dan otoritas. Bacon memiliki diktum terkenal, yakni pengetahuan adalah kekuasaan. Kebijakan dalam hal ini dipahami Bacon sebagai penggunaan pengetahuan untuk tujuan pemerintahan. Sebagai 63
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
seorang politisi, Bacon berkeinginan agar kekuasaan dan pengetahuan dalam tatanan politik baru dapat digabungkan. Regenerasi dunia pengetahuan penting menurut Bacon, karenanya ia menyarankan kepada para pengelola negara agar kegiatan belajar dipandang sebagai tujuan praktis tertinggi mereka. Masyarakat yang baik harus diatur dengan tertib, religius, dan bersih, dan hal itu hanya bisa dilakukan jika masyarakat mengutamakan pembelajaran. Filsuf yang berseberangan pandangan dengan Bacon adalah Karl Popper. Kontribusi utama Popper (dalam Parsons 2005) terhadap filsafat kebijakan publik adalah (1) pada level metodologi, ia menentang validitas ide ilmu pengetahuan Baconian sebagai induksi, yakni observasi terhadap fakta-fakta sebagai dasar pendeduksian teori atau hukum umum, (2) sebuah metode kebijakan publik yang bertujuan membuat pengambilan keputusan politik mendekati pendekatan ilmiah untuk memecahkan masalah. Metode ilmiah, menurut Popper (dalam Parsons 2005), tidak terdiri dari proses pembuktian logis berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, melainkan lebih berada pada latar (setting) teori yang dapat difalsifikasi. Ia berpendapat bahwa masalah ada pada struktur pengetahuan dan dia menolak gagasan Baconian bahwa eksistensi fakta terpisah dari persepsi, nilai, teori, dan solusi. Kebijakan publik tidak semata-mata dipahami dalam kerangka ilmiah sebagaimana yang diyakini oleh para penganut paradigma positivistik. Hayek merupakan salah satu dari filsuf dari kelompok kanan baru yang mengkritik penggunaan paradigma positivistik dalam analisis kebijakan publik. Salah satu kontribusi penting dari Hayek terhadap studi kebijakan adalah apresiasinya terhadap politik ide dan pentingnya promosi ide melalui organisasi (Parsons 2005). Hayek bersama sejawatnya mendirikan think-thank pertama, yaitu Mont Pelerin Society pada tahun 1947, yang 64
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
menjadi sumber inspirasi bagi terbentuknya beberapa thinkthank lainnya, seperti Institute of Economic Affairs. Hayek menolak positivisme logis dari kelompok Vienna dan ia mengkritik gagasan yang menyatakan bahwa pengetahuan objektif eksis dan dapat berfungsi sebagai basis untuk mendeduksi hukum atau merencanakan masyarakat secara ilmiah. Pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga pendapat yang mengatakan bahwa negara, pemerintah atau birokrasi dapat menyatukan dan mengkoordinasikan semua informasi yang tidak terbatas dalam rangka membuat keputusan sosial dan mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu, merupakan pandangan yang keliru dan menyesatkan. Bagi Hayek, masyarakat bukan hasil dari desain manusia, tetapi merupakan tatanan spontan (Parsons 2005). Gagasan untuk membuat tatanan tersebut menjadi lebih baik melalui campur tangan penerapan teori kebijakan oleh pemerintah adalah sebuah gagasan yang secara epistemologis tidak tepat. Hayek (dalam Parsons 2005) percaya bahwa pemerintah atau pembuat kebijakan tidak dapat memecahkan masalah atau memperbaiki apa-apa yang muncul secara spontan dari interaksi antara individu bebas dengan pasar bebas. Itulah sebabnya, Hayek mengusulkan bahwa peran kebijakan publik harus terbatas pada bagaimana memastikan agar tatanan spontan dalam masyarakat dan perekonomian bisa berjalan tanpa campur tangan negara. Negara berfungsi untuk mempromosikan kebebasan personal dan pasar serta menegakkan aturan undang-undang untuk terwujudnya kemaslahatan semua individu. Apabila pembuatan kebijakan harus melibatkan negara, harus dijamin bahwa kebijakan tersebut tidak sampai menciptakan monopoli (Hayek dalam Parsons 2005)
65
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pada era 1990-an berkembang paradigma komunitarianisme. Etzioni merupakan salah satu pendukung utama paradigma tersebut. Etzioni (dalam Parsons 2005) menunjukkan jalan tengah antara penggunaan regulasi dan kontrol negara di satu pihak dengan penggunaan kekuatan pasar murni di pihak lainnya. Bagaimana negara mengambil peran dalam kehidupan masyarakat, berikut ini pandangan Etzioni. Menurut pandangan komunitarian, inti negara kesejahteraan yang kuat, tetapi terbatas harus dipertahankan. Tugas-tugas lain yang selama ini dilaksanakan negara harus diserahkan kepada individu, keluarga, dan komunitas. Dasar filosofisnya adalah kita perlu mengembangkan rasa tanggung jawab personal, sekaligus tanggung jawab bersama. Bagaimana kita melaksanakan aktivitas yang harus ditangani pada level masyarakat? Jawabannya adalah dengan menerapkan prinsip subsidiary. Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab untuk setiap situasi pertama-tama jatuh pada mereka yang paling dekat dengan persoalan. Hanya ketika solusinya tidak bisa ditemukan oleh individu, maka keluarga harus ikut terlibat. Jika keluarga tidak bisa mengatasinya, barulah komunitas lokal boleh terlibat. Jika memang persoalannya terlalu besar untuk komunitas, barulah negara diperbolehkan terlibat (Parsons 2005:54).
Paradigma kebijakan yang diusulkan Etzioni ini menunjukkan adanya garis tanggung jawab yang jelas, yaitu perorangan, keluarga, komunitas, dan masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan publik harus ditujukan untuk mempromosikan dan membangkitkan kembali institusi-institusi yang berdiri di antara individu dan negara, yaitu keluarga, organisasi relawan, sekolah, gereja, lingkungan rukun tetangga, dan komunitas. Pembuat kebijakan, menurut Etzioni, harus mau mengubah kebijakan dalam rangka memberi penekanan yang lebih besar kepada tanggung jawab personal ketimbang pada hak-hak personalnya. Nilai moral harus menjadi batu pijakan bagi kebijakan untuk mengatasi semakin luasnya fragmentasi masyarakat modern. 66
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Merujuk pada pandangan Etzioni ini, pemerintah kota Semarang dalam membuat kebijakan penataan PKL, seyogyanya lebih menitikberatkan pada pemberian rasa tanggung jawab kepada PKL untuk mengelola aktivitas ekonomi dan lingkungan di mana mereka berdagang. Pemberian tanggung jawab ini tidak cukup efektif kalau hanya diserahkan kepada individual PKL, tetapi lebih banyak diserahkan kepada asosiasi PKL di masingmasing lokasi PKL. Diyakini bahwa dengan pemberian otonomi tanggung jawab ini, diperkirakan PKL dapat menjalankan aktivitas ekonominya dengan baik dan dampak pengiringnya adalah ruang publik kota menjadi terawat, rapi, dan bersih karena adanya simbiosis mutualisme antara PKL dan pemerintah kota Semarang. Kebijakan publik sebagai upaya pemecahan masalah berdasarkan rasionalitas atau akal manusia dikritik oleh Habermas. Seperti halnya Hayek, Habermas (dalam Parsons 2005) mengakui adanya dominasi rasionalitas dalam memecahkan problem. Habermas memperkuat ide rasionalitas dalam analisis kebijakan, dengan mengusulkan konsep rasionalitas komunikatif. Habermas (dalam Parsons 2005) berpendapat bahwa “daripada meninggalkan nalar sebagai informing principle bagi masyarakat kontemporer, kita sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang terbentuk dalam pengertian subjek-objek yang terindividualisasikan ke konsep penalaran yang terbentuk dalam komunikasi intersubjektif”. Penalaran seperti itu, diperlukan ketika kehidupan bersama yang berbeda-beda dalam ruang dan waktu yang sama mendesak kita untuk mencari cara menemukan kesepakatan tentang bagaimana menangani persoalan kolektif (Habermas dalam Parsons 2005). Upaya membangun rasa memahami sebagai fokus aktivitas penalaran akan menggantikan filsafat kesadaran yang berorientasi subjek yang menurut Habermas telah mendominasi konsep barat tentang nalar sejak era 67
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pencerahan. Gagasan Habermas menimbulkan dampak luas bagi teori dan praktik kebijakan publik. Pada level teori misalnya, ide-idenya menyarankan perlunya perhatian yang lebih besar kepada bahasa, wacana, dan argumen. Dalam tataran praktis, teori Habermas, seperti situasi perbincangan yang ideal, mengajak para perumus kebijakan untuk mencari metode analisis baru dan proses institusional baru yang dapat mempromosikan pendekatan interkomunikatif guna merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik. Dalam teori kebijakan publik terdapat pendekatan dan model yang dapat digunakan baik untuk merumuskan maupun mengimplementasikan kebijakan publik. Sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa kerangka analisis kebijakan yang dominan adalah pengambilan keputusan yang rasional, namun pendekatan tahapan (stagist) atau siklus tetap menjadi basis untuk melakukan proses analisis kebijakan. Dye (2002) menawarkan beberapa model analisis kebijakan, yaitu
institutional model, process model, rational model, incremental model, group model, elite model, public choice model, dan game theory model. Model-model yang ditawarkan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Salah satu model kebijakan yang sering digunakan analis adalah rational model. Model rasional (rational model) adalah model kebijakan publik yang tujuannya ingin mencapai keuntungan sosial maksimum (Dye 2002:16). Dalam model ini, pemerintah memilih kebijakan yang dapat menghasilkan keuntungan bagi masyarakat melebihi biaya yang harus ditanggung masyarakat. Dalam model tersebut terdapat konsep kunci, yaitu keuntungan sosial maksimum. Konsep keuntungan sosial maksimum (maximum social gain) memiliki dua makna, yaitu (1) tidak ada kebijakan yang diadopsi jika biaya yang ditanggung melebihi keuntungan yang diperoleh, (2) di antara alternatif kebijakan, pengambil keputusan seharusnya 68
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Untuk menyeleksi kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus (1) mengetahui seluruh pilihan nilai-nilai masyarakat dan pertimbangan relatif mereka, (2) mengetahui seluruh alternatif kebijakan yang tersedia, (3) mengetahui seluruh konsekuensi dari masing-masing alternatif kebijakan, (4) mengkalkulasi rasio antara keuntungan dan biaya dari masing-masing alternatif kebijakan, (5) menyeleksi alternatif kebijakan yang paling efisien. Dye (2005) menjelaskan proses kebijakan berdasarkan model rasional seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Input all resources needed for pure rationality process
1.establishment of complete set of operational goals with weights
3.preparation of complete set of alternative policies
All data needed for pure rationality process
4. preparation of complete set of predictions of benefits and costs for each alternative
5.calculation of net expectation for each alternative
6.comparison of net expectations and identification of alternatives with highest net expectation
Output Pure rationality policy
2.establishment of complete inventory of other values and of resources with weights
Gambar 4. Model Rasional dari Sistem Keputusan
Suatu kebijakan publik pada prinsipnya berisi kepentingan publik, bukan kepentingan negara, pemerintah atau pun elit politik. Selama kebijakan publik memiliki nilai dan manfaat 69
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
bagi kepentingan publik, maka ia dapat disebut kebijakan publik. Dalam kebijakan publik terdapat tiga nilai pokok, yaitu (1) kebijakan publik bersifat cerdas, artinya mampu memecahkan masalah yang sesungguhnya dialami, (2) kebijakan bersifat bijaksana, artinya butir kebijakan yang telah ditetapkan tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar, dan (3) kebijakan publik memberikan harapan kepada seluruh masyarakat bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik daripada hari ini (Nugroho 2009:329). Secara teoretik, kebijakan yang ditetapkan pemerintah cenderung baik dan ideal, tetapi dalam implementasinya sering tidak sesuai dengan cita-cita yang dikandung dalam kebijakan tersebut. Sebaik-baiknya suatu perencanaan, jika pelaksanaan atau implementasinya tidak maksimal apalagi menyimpang dari perencanaan, maka kebijakan yang diambil juga dinilai tidak baik. Implementasi kebijakan merupakan kelanjutan dari politik dengan berbagai sarana (Dye 2002). Artinya bahwa, tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai keputusan politik harus dapat dicapai dengan berbagai tindakan yang melibatkan cara, strategi atau taktik tertentu. Dalam kalimat yang singkat, Anderson (2000) menjelaskan implementasi kebijakan sebagai “what happens after a bill becomes law”, artinya bahwa implementasi kebijakan berkaitan dengan apa yang terjadi setelah Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar memiliki dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2007). Menurut van Meter dan van Horn, sebagaimana dikutip Nawawi (2009), implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu, pejabat, atau kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Implementasi juga dimaknai sebagai suatu proses atau serangkaian keputusan dan tindakan yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh 70
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
lembaga legislatif dapat dijalankan (Winarno 2007). Tugas implementasi, menurut Grindle (1980) adalah membentuk suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan implementasi bukan sekedar kegiatan akhir dari suatu kebijakan, tetapi merupakan proses atau aktivitas yang dapat memastikan bahwa kebijakan atau keputusan yang telah ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Implementasi kebijakan bukan sekedar dilihat dari bagaimana pelaksanaan programnya, tetapi diukur dari bagaimana program tersebut dapat mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh kebijakan. Dalam kaitan ini, van Meter dan van Horn, sebagaimana diungkapkan kembali oleh Winarno (2007) menyarankan agar tujuan dan sasaran suatu kebijakan yang akan dilaksanakan harus dapat diidentifikasi dan diukur. Hal ini penting, karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil jika tujuan-tujuan yang ditetapkan tidak dapat diukur. Ukuran tujuan dan sasaran kebijakan dapat dilihat pada pernyataan dari pembuat kebijakan atau dalam dokumen regulasi yang ditetapkan. Untuk mengetahui bagaimana sasaran pembangunan pendidikan dapat dicapai atau telah dilaksanakan dengan baik, seorang analis kebijakan dapat mengkaji dokumen UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (4). Dalam pasal tersebut ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Jika ada suatu daerah provinsi atau kabupaten belum mencantumkan anggaran pendidikan sebesar 20%, berarti kebijakan pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
71
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Guna memahami kebijakan pemerintah dalam melakukan perlindungan tenaga kerja, utamanya anak-anak dan perempuan, seorang analis kebijakan harus mengkaji UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasalpasal yang dapat dikaji di antaranya pasal 68 sampai dengan 85. Pasal 68 misalnya, mengamanatkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Jika ada pengusaha mempekerjakan anak, maka ia dapat dikenai sanksi karena telah melanggar ketentuan undang-undang ketenagakerjaan. Namun demikian, pasal 69 Undang-undang ini memberi kelonggaran kepada pengusaha, bahwa ia dapat mempekerjakan anak yang berusia antara 13 hingga 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak. Dari dua contoh kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan dapat diimplementasikan dan dapat diukur jika sasaran dan tujuannya jelas. Jika tidak, maka inplementasi kebijakan wajib dipertanyakan. Masalah yang paling penting dalam implementasi kebijakan adalah bagaimana memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu (Jones 1991). Implementasi suatu program kebijakan dilakukan melalui tiga pilar, yaitu: (1) organisasi, yakni menyangkut pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit dan metode untuk membuat program dapat berjalan, (2) interpretasi, yakni menafsirkan agar program dapat menjadi rencana dan pengarahan yang tepat, dapat diterima dan dilaksanakan, (3) penerapan, yakni ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran dan lainnya yang disesuaikan dengan tujuan program (Jones sebagaimana dikutip Nawawi 2009).
72
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Berhasil tidaknya aktivitas implementasi kebijakan tergantung pada apa yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana. Kegiatan implementasi kebijakan yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana mencakupi berbagai jenis kegiatan, yaitu: (1) badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan tanggung jawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar, (2) badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta rencana dan desain program, (3) badan-badan harus mengorganisasikan kegitan-kegiatan mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja, (4) badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan kepada para pelanggan atau kelompokkelompok target (Winarno 2007). Pembuatan kebijakan publik tidak berakhir pada telah dirumuskannya hukum atau peraturan oleh lembaga yang berwenang. Implementasi kebijakan melibatkan seluruh aktivitas yang didesain untuk membawa kebijakan kepada lembaga legislatif untuk dijadikan undang-undang. Aktivitasaktivitas tersebut juga menciptakan organisasi baru, seperti departemen, agensi dan birokrasi. Organisasi-organisasi tersebut harus mampu menterjemahkan hukum dan undang-undang ke dalam peraturan dan regulasi yang operasional. Dalam rangka fungsi ini, organisasi harus mampu menetapkan personil, menyusun kontrak, menggunakan dana, dan melakukan tugas. Seluruh aktivitas tersebut melibatkan keputusan yang dibuat oleh birokrat. Dalam masyarakat yang makin kompleks permasalahan dan kebutuhannya, posisi birokrasi makin menonjol sebagai lembaga pengambilan 73
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam praktiknya, birokrasi melakukan tugas-tugas rutin dan dalam keadaan tertentu ia dapat melakukan diskresi atau mengambil suatu kebijaksanaan yang berbeda, yang menguntungkan kepentingan publik atau setidak-tidaknya tidak merugikan publik. Pada umumnya birokrat memiliki keyakinan kuat tentang nilai-nilai dalam program dan tugas-tugas mereka (Dye 2002). Para pejabat Environmental Protection Agency (EPA) memiliki komitmen yang kuat terhadap gerakan lingkungan, pejabatpejabat di CIA juga memiliki keyakinan yang kuat mengenai pentingnya kecerdasan yang bagus untuk keamanan nasional, dan pejabat-pejabat di Social Security Adminsitration (SSA) memiliki komitmen kuat untuk memelihara keuntungan dari sistem pengunduran diri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menciptakan Indonesia bersih dari korupsi. WALHI sangat berkepentingan terhadap terjaganya lingkungan hidup di Indonesia. Demikian pula, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) memiliki komitmen untuk memberdayakan pedagang kaki lima (PKL). Dalam kaitannya dengan eksistensi PKL di Semarang, Persatuan Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) memiliki komitmen dan kepedulian yang tinggi terhadap nasib dan masa depan PKL. Salah satu unsur yang harus diperhatikan para pelaksana kebijakan (birokrat) adalah komunikasi. Implementator kebijakan yang efektif harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat, sebelum keputusan dan perintah tersebut dapat diikuti. Dalam kaitan ini, komunikasi dipandang memegang peranan penting. Edwards (dalam Winarno 2007) mengusulkan tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi. 74
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Dalam hal transmisi, seorang pejabat yang akan mengimplementasikan keputusan hendaknya menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan perintah telah dikeluarkan. Dalam transmisi ini memang terdapat kendala yang harus diperhatikan dengan seksama oleh pelaksana kebijakan. Kendala itu di antaranya (1) adanya pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, (2) informasi melewati hierarkhi birokrasi yang berlapis-lapis, (3) penerimaan komunikasi juga dihambat oleh persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan-persyaratan kebijakan (Winarno 2007). Kebijakan yang baik tidak hanya mensyaratkan adanya petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan petunjuk-petunjuk teknis, tetapi juga ditentukan oleh adanya komunikasi kebijakan yang jelas. Acapkali instruksi yang diteruskan ke pelaksana sangat kabur, tidak jelas kapan pelaksanaannya serta cara bagaimana program dapat dilaksanakan. Ketidakjelasan komunikasi ini akan menyebabkan terjadinya interpretasi yang bermacammacam mengenai kebijakan yang akan ditindaklanjuti. Konsistensi merupakan faktor ketiga dari komunikasi kebijakan. Jika implementasi kebijakan berlangsung efektif, maka perintah atau instruksi pelaksanaannya harus konsisten. Perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana kebijakan bertindak longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan program kebijakan. Penafsiran yang keliru ini akan menyebabkan implementasi program tidak efektif, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat dicapai. Setiap kebijakan harus memiliki dampak atau konsekuensi yang diinginkan. Dampak atau konsekuensi adalah perubahan yang bisa diukur dalam masalah yang luas, berkaitan dengan program yang telah ditetapkan, berdasarkan undang-undang atau keputusan yudisial (Winarno 2007). Keputusan yang baik 75
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
sudah semestinya menghasilkan konsekuensi yang baik (Parsons 2005). Dalam realitasnya, tidak semua kebijakan memiliki dampak baik dan menguntungkan bagi pihak yang dikenai kebijakan. Kebijakan yang baik dapat dianalisis dari sejauhmana kebijakan tersebut memberi manfaat bagi mereka yang dikenai kebijakan tersebut. Dalam kaitan ini, Dunn (dalam Nugroho 2009) menyarankan lima prosedur umum dalam analisis kebijakan yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan. (1) Definisi, yaitu menghasilkan informasi mengenai kondisikondisi yang menimbulkan masalah kebijakan, (2) Prediksi, yakni menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu, (3) Preskripsi, yakni menyediakan informasi mengenai nilai konsekueksi alternatif di masa mendatang, (4) Deskripsi, yaitu menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari penerapan alternatif kebijakan, (5) Evaluasi, yaitu kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah. Dalam analisis kebijakan harus dapat dibuat rumusan masalahnya, peramalan masa depan kebijakan, dan rekomendasi kebijakan. Dalam hal yang terakhir, seorang analis kebijakan harus mampu menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dan alasan mengapa alternatif tersebut dipilih. Rekomendasi kebijakan yang baik memuat enam kriteria, yaitu: (1) Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan, (2) Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas yang dikehendaki,
76
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(3) Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menimbulkan masalah, (4) Perataan, berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat kebijakan, (5) Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target kebijakan, (6) Kelayakan, berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan tersebut tepat untuk suatu masyarakat. Siapapun menyadari bahwa konsekuensi dari tindakan kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, dan oleh karenanya pemantauan kebijakan merupakan suatu keharusan (Dunn 2003). Rekomendasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu hipotesis tentang hubungan antara tindakan dan hasil kebijakan. Jika tindakan A dilakukan pada waktu t¹, maka hasil O akan muncul pada t². Setiap hipotesis ini didasarkan pada pengalaman dan asumsi tentang sebab dan akibat, sehingga hipotesis tidak lebih dari sekadar suatu terkaan sampai ketika hipotesis tersebut diuji oleh pengalaman berikutnya. Pemantauan kebijakan penting bagi implementasi suatu kebijakan. Pemantauan ini penting karena memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik (Dunn 2003). Pemantauan kebijakan memiliki empat fungsi dalam pandangan analis kebijakan, yaitu: 1.
2.
Kepatuhan. Pemantauan berguna untuk menentukan, apakah tindakan administratur, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator dan pemerintah, Pemeriksaan. Pemantauan membantu menentukan, apakah sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran telah sampai kepada mereka, 77
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
3.
4.
Akuntansi. Monitoring menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakan sejumlah kebijakan dalam kurun waktu tertentu, Eksplanasi. Pemantauan dapat menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program bisa berbeda.
B. Tinjauan tentang Modal Sosial Sebelum konsep modal sosial tumbuh dan berkembang, yang lebih dahulu muncul dalam literatur ekonomi adalah konsep modal atau kapital. Modal (kapital) pada awalnya dipahami sebagai sejumlah uang atau faktor-faktor produksi yang dapat diakumulasi dan diinvestasikan, yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberi manfaat atau layanan produktif (Dasgupta dan Serageldin 1999; Field 2008). Modal atau kapital bukan sekedar uang. Menurut Adam Smith, kapital adalah sejumlah aset yang diakumulasikan untuk tujuan produktif (de Soto 2006). Modal (kapital) merupakan sebuah keajaiban yang akan meningkatkan produktivitas dan menciptakan nilai tambah. Modal (kapital) dalam ekonomi mempunyai fungsi yang sangat penting dalam proses produksi barang dan jasa dalam jangka panjang. Umumnya aktivitas ekonomi melibatkan tiga kapital penting, yaitu kapital finansial, kapital fisik, dan kapital manusia (Lawang 2005). Kapital personal, budaya, politik, dan sosial juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan ekonomi. Dari semua kapital tersebut, yang relevan dikaji dalam kaitannya dengan perlawanan atau resistensi PKL di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono adalah kapital atau modal sosial. Konsep modal sosial sudah lama dibicarakan oleh para ahli ekonomi, kira-kira pada abad 19 yang lalu (Castiglione, 78
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
et.al.2008:2). Istilah modal sosial itu sendiri baru muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1916 ketika Lyda Hudson Hanifan menulis tentang The Rural School Community Center. Perbincangan tentang modal sosial ini mengemuka, dikarenakan para ahli ekonomi menyadari bahwa untuk menggerakkan aktivitas ekonomi, tidak semata-mata bertumpu pada modal manusia, modal fisik, maupun modal finansial, tetapi ada jenis modal lain yang ternyata efektif dalam melumasi kegiatan ekonomi, bahkan dapat memperoleh hasil yang lebih baik daripada hanya mengandalkan modal manusia, fisik, dan finansial, yaitu modal sosial. Literatur tentang modal sosial cukup banyak, bahkan dapat dikatakan melimpah. Dari semua pandangan tentang modal sosial, sumber yang sering digunakan oleh para penulis dan peneliti modal sosial adalah Coleman, Putnam, Fukuyama dan Bourdieu. Penelitian disertasi ini juga mengacu pada pandangan keempat penulis tersebut. 1. Pandangan Coleman tentang Modal Sosial James Coleman seorang sosiolog Amerika banyak memberikan perhatian pada persoalan pendidikan. Coleman menggunakan konsep modal sosial dalam penelitiannya tentang pendidikan. Dalam penelitiannya, Coleman ingin melihat apakah terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa di sekolah. Salah satu temuannya adalah bahwa kelompok sebaya memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan prestasi anak. Dalam studinya tentang perbandingan prestasi sekolah swasta dan sekolah negeri, Coleman (dalam Field 2010) melaporkan bahwa prestasi siswa di sekolah swasta berafiliasi agama Katolik lebih baik daripada di sekolah negeri. Temuan lainnya adalah di sekolah-sekolah Katolik tersebut tingkat drop out dan membolos lebih rendah dibandingkan murid-murid yang bersekolah di negeri. Organisasi keagamaan, menurut 79
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Coleman (dalam Field 2010), ada di antara organisasi yang masih tersisa di dalam masyarakat, di luar keluarga dan lintas generasi. Organisasi tersebut ada di antara organisasi yang di dalamnya modal sosial komunitas dewasa tersedia bagi anakanak dan pemuda. Demikian pula, norma komunitas pada orangtua dan siswa berfungsi memperkuat harapan para guru. Komunitas ternyata menjadi sumber modal sosial yang dapat menetralisasi dampak dari tidak menguntungkannya kondisi sosial ekonomi dalam keluarga (Field 2010). Dalam serangkaian penelitian mengenai pendidikan pada masyarakat di perkampungan kumuh, Coleman sampai pada kesimpulan bahwa modal sosial tidak terbatas pada mereka yang kuat, tetapi juga memberikan manfaat riil bagi orang miskin dan orang yang terpinggirkan (Field 2010). Modal sosial merupakan sumber daya yang berisikan harapan akan reprositas, melibatkan jaringan yang lebih luas, yang hubunganhubungannya diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan nilai-nilai bersama. Coleman (2000) menemukan bahwa modal sosial, baik berupa harapan dan kewajiban, jaringan dan informasi, serta norma sosial, berpengaruh secara positif dalam menambah volume modal kemanusiaan baik dalam lingkup keluarga maupun komunitas. Intensitas relasi dalam keluarga dan di luar keluarga memperkuat modal sosial dan turut menciptakan modal manusia di masa depan. Dalam kaitan ini, Coleman (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut. Seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka.
80
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Konsep modal sosial yang dielaborasi dalam penelitian Coleman tersebut adalah relasi sosial. Menurut Coleman, relasi sosial menggambarkan suatu struktur sosial di mana individu bertindak sebagai sumber bagi individu lainnya (Castiglione, et al. 2008). Struktur sosial ini memfasilitasi semua tindakan individu atau aktor yang bekerjasama dalam struktur tersebut (Field 2010). Coleman dianggap sebagai pendorong utama di belakang lahirnya teori pilihan rasional dalam sosiologi kontemporer. Dalam teori pilihan rasional terdapat keyakinan bahwa semua perilaku berasal dari individu yang berusaha mengejar kepentingan mereka sendiri. Menurut Coleman (dalam Field 2010), perilaku individu sangat individualistik. Setiap orang secara otomatis melakukan hal-hal yang akan melayani kepentingan mereka sendiri, tanpa memperhitungkan nasib dan kepentingan orang lain. Atas dasar ini, Coleman memahami masyarakat sebagai sekumpulan sistem sosial perilaku individu. Dengan demikian, konsep modal sosial dipahami sebagai sarana untuk menjelaskan bagaimana orang berusaha bekerjasama. Coleman (dalam Field 2010) memberikan contoh yang sangat bagus mengenai bagaimana melihat kesejajaran antara kerjasama (modal sosial) dengan individualisme. Dalam game theory, Coleman sebagaimana dikutip kembali oleh Field (2010), memberikan contoh mengenai dilema tahanan. Dalam dilema tahanan ini, dua individu ditempatkan dalam sel yang terpisah, kemudian diberitahu bahwa orang pertama yang mengetahui akan memperoleh perlakuan yang baik. Dilemanya adalah apakah akan tetap diam, dengan harapan agar tidak ada bukti lainnya untuk membuktikan kesalahannya dan tidak menerima hukuman sama sekali jika pemain kedua bertindak serupa atau mengakui dan menerima pengurangan hukuman.
81
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Teori pilihan rasional meramalkan bahwa pilihan kedua akan dipilih, karena masing-masing tahanan mengetahui bahwa tahanan yang lain cenderung mengaku ketika dihadapkan pada pilihan yang sama. Dalam teori ekonomi, Coleman melihat bahwa majikan akan bertindak sebagai penumpang gelap (freerider) ketika harus membayar pelatihan ketimbang diharuskan berinvestasi pada keterampilan masa depan bagi karyawankaryawannya. Dalam hal ini, majikan dapat membuat kalkulasi bahwa merupakan kepentingan mereka untuk membayar pekerja yang telah dididik orang lain. Teori pilihan rasional meramalkan bahwa setiap individu akan menuruti kepentingan terbesar mereka, termasuk dalam kasus ini, perusahaan harus membayar deviden yang lebih besar dalam jangka panjang. Hal ini dilakukan demi kemajuan perusahaan yang ia miliki. Dari kedua kasus tersebut, tampak bahwa kerjasama seakanakan dapat berdampingan dengan kompetisi individual, tetapi sesungguhnya semua itu karena adanya kalkulasi mengenai keuntungan yang dapat diraih individu melalui aktivitas kerjasama. Hal ini mirip dengan peran invisible hand dari pasar, sebagaimana digagas Adam Smith. Konsep kerjasama dari Coleman tidak bertentangan dengan individualitas yang cenderung mengejar kepentingan sendiri, dikarenakan kerjasama yang tercipta melalui hubungan sosial telah membantu menciptakan kewajiban dan harapan para aktor, membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran informasi, dan menetapkan norma yang menopang bentukbentuk perilaku tertentu sambil menerapkan sanksi bagi caloncalon penumpang gelap (free rider). Namun demikian, Coleman (dalam Field 2010:41) mengakui bahwa para aktor individual tidak membangun modal sosial dengan mengadakan kerjasama dengan lainnya, tetapi modal sosial tersebut lahir sebagai konsekuensi yang tidak dikehendaki dari upaya mengejar kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, modal sosial tidak lahir karena aktor mengkalkulasikan pilihan untuk 82
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
berinvestasi di dalamnya, namun sebagai produk sampingan dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan lain. Dalam kaitan dengan penelitian tentang modal sosial pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang, ditemukan bahwa para PKL yang diteliti pada umumnya bersedia bekerjasama dengan PKL lainnya, dikarenakan adanya kepentingan yang sama agar mereka dapat bekerja dan mencari penghasilan untuk menghidupi keluarganya di lokasi yng selama ini mereka tempati. Mereka tetap bertahan di lokasi yang dilarang oleh pemerintah kota, dikarenakan dua hal. Pertama, mereka bertahan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kedua, mereka bertahan karena adanya perasaan bersatu dengan PKL lainnya di bawah perlindungan paguyuban dan organisasi lain yang mendukungnya. Coleman meyakini bahwa analisis tentang formasi modal sosial menyediakan suatu jalan tengah antara perspektif pilihan rasional yang memandang tindakan sosial sebagai hasil tindakan berbasis kepentingan diri yang bertujuan dari individu dan perspektif norma sosial yang menjelaskan perilaku sosial sebagai tergantung pada batasan-batasan eksternal yang dipaksakan oleh norma (Castiglione, et al. 2008; Field 2008). Pendek kata, modal sosial adalah cara mendamaikan tindakan individu dan struktur sosial. Tindakan yang mengarah pada terbentuknya modal sosial tersebut rasional, meskipun diakui bahwa individu tidak selalu bertindak secara rasional. Namun hampir sebagian besar tindakan individu bersifat rasional bertujuan, sebab dalam konteks sosial, ilmuwan sosial bertujuan memahami organisasi sosial yang berasal dari tindakan individu dan karena memahami tindakan seorang individu biasanya berarti melihat alasan di balik tindakan itu, maka tujuan teoritis dari ilmu sosial mestinya adalah memahami tindakan itu dengan cara yang menjadikannya rasional dari sudut pandang si pelaku (Coleman 83
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
2009). Dengan kata lain, apa yang biasanya dianggap irasional hanyalah karena si pengamat belum mengetahui sudut pandang si pelaku, yang bagi pelaku, tindakan yang diambil sudah rasional. 2. Pandangan Putnam tentang Modal Sosial Putnam (2000) terkenal dengan bukunya Bowling Alone. Buku tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana pemain bowling yang kesepian. Metafora ini tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan bahwa bangsa Amerika bepergian sendiri untuk bermain menyendiri, namun yang hendak dinyatakan adalah bahwa terdapat semakin sedikit kecenderungan untuk bermain dalam tim formal untuk berhadapan dengan lawan reguler dalam liga bowling yang terorganisasi dan lebih banyak lagi kecenderungan untuk bermain dengan sekelompok keluarga atau sahabat. Masyarakat yang terus menerus menonton televisi menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian terhadap orang lain. Berdasarkan penelitiannya di Italia utara dan selatan, Putnam (2000) menyimpulkan bahwa kinerja institusional di Italia utara relatif sukses dikarenakan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Di Italia utara, gilda-gilda yang otonom, dapat mengatur sendiri, menyumbang kematangan masyarakat sipil, yang pada gilirannya bermanfaat mendukung kebijakan dan program pemerintah Italia bagian utara. Dalam artikel berjudul Economic Growth and Social Capital in Italia, Helliwel and Putnam (2000) menunjukkan pula bahwa dukungan masyarakat sipil ditambah efektivitas institusi pemerintah daerah Italia utara memiliki tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada pemerintah Italia wilayah selatan. Modal sosial, seperti tingkat pendidikan, keterbukaan, dan 84
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
institusi yang efektif memberi kontribusi signifikan bagi kepuasan warga negara kepada pemerintah daerah. Menurut Helliwel (2006:38), kepuasan hidup (life satisfaction) berhubungan dengan berbagai jenis kepercayaan (trust) dan jaringan (networks) yang menelurkan kepercayaan. Kepuasan warga negara terhadap kinerja pemerintah Italia utara yang pada gilirannya memberi kemakmuran kepada mereka, menimbulkan kepercayaan (trust) yang tinggi kepada pemerintah. Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam memahami modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi (Field 2010:49). Dalam politik, modal sosial memberikan sumbangsih kepada tindakan kolektif dengan meningkatkan biaya potensial bagi pengkhianat politik, mendorong norma-norma reprositas, memfasilitasi aliran informasi, memasukkan informasi tentang reputasi para aktor, memasukkan keberhasilan upaya kolaborasi di masa lalu dan bertindak sebagai penguat bagi kerjasama di masa yang akan datang (Field 2010:50). Pandangan Putnam tentang modal sosial berbeda dengan pendapat Coleman. Jika Coleman lebih percaya akan pengaruh gereja dan keluarga sebagai bagian dari bonding social capital, Putnam hanya memberikan sedikit perhatian pada institusi gereja dan keluarga serta lebih percaya pada organisasi yang terkonstruksi secara longgar atau bridging social capital. Setelah mengkaji bagaimana modal sosial berpengaruh terhadap kesuksesan pemerintah di Italia utara, Putnam mengalihkan penelitiannya ke Amerika Serikat. Dalam telaahnya, Putnam melihat kemerosotan besar modal sosial di Amerika Serikat sejak tahun 1940-an, padahal sebelum ini, Amerika Serikat memiliki asosiasi-asosiasi politik yang 85
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
bermanfaat bagi perkembangan demokrasi. Sebagaimana dilihat oleh de Tocqueville (dalam Field 2010:48), melalui asosiasiasosiasi politik yang dimiliki oleh bangsa Amerika, warga Amerika terbiasa berkumpul dalam jumlah banyak, mereka berbicara dan mendengar satu sama lain, dan secara timbal balik bergerak untuk berbuat sesuatu. Kehidupan asosiasional ini merupakan landasan penting tatanan sosial dalam suatu sistem yang relatif terbuka. Tingginya tingkat keterlibatan warga mengajarkan orang bagaimana bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Pada tahun 1960-an, modal sosial Amerika semakin menurun dan Putnam menggambarkan Amerika pada masa itu sebagai telah terpecah satu sama lain dan terpisah dari komunitas. Bukti-bukti menurunnya modal sosial Amerika, di antaranya adalah persepsi orang Amerika tentang menurunnya kejujuran dan keterpercayaan, meningkatnya kecenderungan para pengemudi Amerika mengabaikan tanda berhenti di persimpangan jalan, dan tajamnya peningkatan laporan kejahatan. Putnam (2000) menunjukkan empat sebab utama dari merosotnya modal sosial di Amerika Serikat.
Pertama, begitu banyaknya kesibukan dan besarnya tekanan yang diasosiasikan dengan keluarga dengan dua karir telah mengurangi jumlah waktu dan sumber-sumber lain yang khususnya dapat digunakan perempuan untuk terlibat dalam komunitasnya.
Kedua, para penghuni kawasan luas metropolitan mengalami sesuatu yang disebutnya dengan begitu besarnya akibat buruk warga di kawasan pinggiran, karena mereka harus menghabiskan waktu untuk nongkrong, sehingga ikatan mereka cenderung terfragmentasi. Mobilitas urban dan pertumbuhan berlebih sebagai faktor yang memengaruhi hal tersebut. Hiburan elektronik berbasis rumah, yaitu televisi merupakan sebab utama ketiga dari merosotnya modal sosial. 86
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Penonton berat televisi hampir memutuskan hubungan kehidupan warga dan tidak banyak menghabiskan waktu dengan teman atau tetangga. Dampak lainnya adalah masyarakat yang terus menerus menonton televisi menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian terhadap orang lain. Penyebab keempat adalah terjadinya perubahan generasi. Putnam memandang bahwa orang yang lahir pada tahun 1920an menjadi anggota asosiasi hampir dua kali lebih banyak daripada anak cucu mereka yang lahir pada tahun 1960-an. Mereka yang lahir pada tahun 1960-an lebih sedikit yang berorientasi kepada warga. Dalam tahun 1990-an, Putnam mengubah definisinya tentang modal sosial. Menurut Putnam (dalam Field 2010:51; Suharto 2008), modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial, yaitu berupa jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Putnam membedakan dua bentuk modal sosial, yaitu modal sosial mengikat atau ekslusif dan modal sosial menjembatani atau inklusif (Field 2010:52). Modal sosial yang mengikat mendorong identitas ekslusif dan mempertahankan homogenitas. Modal sosial mengikat ini merupakan kapital yang baik untuk menopang reprositas spesifik dan mobilisasi solidaritas serta memperkuat identitas dan kesetiaan kelompok. Sebaliknya, modal sosial yang menjembatani cenderung menyatukan orang dari beragam ranah sosial. Hubungan yang menjembatani ini baik untuk menghubungkan aset eksternal dan untuk penyebaran informasi. Putnam (dalam Field 2010) sangat yakin akan kemujaraban modal sosial dalam mengkonstruksi tindakan kolektif. Namun sayangnya, ia terlalu yakin akan pengaruh modal sosial dan kurang memperhatikan peran aktor dalam struktur sosial, 87
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
utamanya aktor dominan. Demikian pula, karena landasan berpikirnya bertumpu pada aspek sosial dan ekonomi, maka ia kurang memperhatikan peran politik, khususnya peran yang dimainkan oleh negara. 3. Pandangan Fukuyama tentang Modal Sosial Fukuyama (1995) dalam artikelnya tentang Scale and Trust, menemukan bahwa kepercayaan merupakan modal sosial berharga yang menentukan keberhasilan perusahaan. Modal sosial dipahami Fukuyama sebagai kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas (Suharto 2008). Kepercayaan, menurut Fukuyama, dibangun dengan kejujuran, kesetiaan, dan kerjasama. Kepercayaan (modal sosial) ini ternyata tidak terbagi secara merata di masyarakat. Dalam masyarakat individualistik, kepercayaan berada pada asosiasi sukarela (misalnya di Amerika Serikat) yang menentukan berkembangnya perusahaan-perusahaan besar, sedangkan pada masyarakat tipe familistik (seperti di Korea, Taiwan, dan Hongkong), kepercayaan berada pada jalur keluarga, sehingga di sana berkembang perusahaan-perusahaan kecil berbasis keluarga. Dalam buku berjudul Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Fukuyama (2005) menemukan adanya kemunduran hierarki birokratis dalam bidang politik dan ekonomi seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Produksi berbasis industri pun mengalami transisi ke arah bentuk produksi berbasis informasi. Sistem kepemimpinan hierarkis mengalami erosi dan model jaringan yang bertandakan hubungan informal dan persekutuan antar organisasi, sebagaimana dapat disaksikan pada sistem keiretsu di Jepang, persekutuan perusahaan di Italia, dan hubungan Boeing dengan pemasoknya, dapat menutup kelemahan dari sistem hierarki. 88
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Pertukaran dalam model jaringan, menurut Fukuyama (2005) bersifat timbal balik, tidak semata-mata berdasarkan prinsip untung rugi. Hal ini terjadi karena pertukaran dalam jaringan berbasis norma bersama bersifat informal, tidak mengharapkan balasan langsung, tetapi mendambakan manfaat jangka panjang. Jaringan ini merupakan bagian penting dari modal sosial. Jaringan atau jejaring sosial, dalam pandangan Christakis dan Flower (2010) memuat dua aspek penting, yaitu: (1) ada hubungan, yakni siapa tersambung dengan siapa, (2) penularan (contagion), yang merujuk kepada apa saja yang mengalir sepanjang ikatan. Pada level individual, anggota jaringan akan memperoleh keuntungan, misalnya meningkatkan akses pada pertukaran informasi, penegakan kontrak, dan fokus pada visi dan tujuan kolektif (Beugelsdijk 2002). Dalam konteks demikian, modal sosial dipahami sebagai norma timbal balik dan jaringan atau asosiasi yang dapat mempromosikan tindakan kerjasama dan yang dapat digunakan sebagai sumberdaya sosial untuk manfaat yang saling menguntungkan (Woolcock 2000). 4. Pandangan Bourdieu tentang Modal Sosial Berbeda dengan Coleman, Putnam, dan Fukuyama, Pierre Bourdieu dalam penelitiannya di Aljazair pada tahun 1960-an menggambarkan perkembangan dinamis struktur sosial dan cara berpikir yang membentuk suatu habitus, yang menjadi jembatan antara agensi subjektif dan posisi objektif (Field 2010:21). Habitus merupakan wahana bagi kelompok untuk menggunakan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda, yang menandai dan membangun posisi mereka dalam struktur sosial. Bourdieu (dalam Field 2008) memasukkan modal budaya sebagai bagian dari modal sosial. Modal sosial ini merupakan 89
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
milik ekslusif elit yang didesain untuk mengamankan posisi dan status mereka. Atas dasar inilah, Bourdieu yakin bahwa tidak ada tempat bagi individu dan kelompok lain yang kurang istimewa (bukan elit) yang dapat memperoleh keuntungan dalam ikatan sosial mereka. Pendapat Bourdieu berbeda dengan pandangan Coleman. Coleman berkeyakinan bahwa modal sosial tidak terbatas pada mereka yang kuat (kelompok elit), tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh kelompok miskin dan komunitas marginal (Field 2008). Modal budaya sebagaimana dipahami Bourdieu, dimiliki orang atau kelompok bukan sekedar mencerminkan sumber daya modal finansial mereka, tetapi melalui keluarga dan pendidikan di sekolah, modal budaya pada batas-batas tertentu dapat beroperasi secara independen dari tekanan uang dan bahkan memberikan kompensasi ketika kekurangan uang sebagai bagian dari strategi individu atau kelompok untuk meraih kekuasaan dan status (Field 2010:22). Ketika mengkaji keanggotaan klub golf yang diyakininya sebagai pelumas dalam memperlancar jalannya roda bisnis, Bourdieu mulai mengenali apa itu modal sosial. Pada tahun 1973, yakni pada tahap awal dia mengkaji modal sosial, Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan bermanfaat yakni modal harga diri dan kehormatan, yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi-posisi yang penting secara sosial dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karir politik. Dalam pergulatannya dengan konsep modal sosial, akhirnya ia memperbaiki pandangannya tentang modal sosial. “Modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya yang terkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama, berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan” (Field 2010:23).
90
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Bourdieu (dalam Field 2010) meyakini bahwa modal merupakan akumulasi kerja. Modal tidak semata-mata dilihat dari aspek ekonomi, sebab dalam ekonomi motif utamanya adalah mencari laba, yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan diri. Modal budaya dan modal sosial harus diperlakukan sebagai aset yang merepresentasikan produk akumulasi kerja. Volume modal sosial yang dimiliki agen tergantung pada jumlah koneksi yang dapat dimobilisasi. Melalui koneksi, modal sosial dibarengi kehormatan dan harga diri dapat digunakan untuk memperoleh kepercayaan diri sebagai anggota kelompok masyarakat kelas atas atau bahkan dipakai untuk berkarir pada bidang politik. Ini berlaku bagi mereka yang memiliki ijazah dengan profesi tertentu, seperti pengacara atau dokter. Namun mereka yang mengandalkan kualifikasi ijazah tanpa ada koneksi, mereka hanya punya modal manusia, tetapi tidak memiliki modal budaya dan sosial. Bourdieu (dalam Field 2010) mengakui bahwa koneksi tidak berjalan dengan sendirinya, ia memerlukan kerja. Solidaritas dalam jaringan hanya mungkin terjadi ketika anggota di dalamnya meningkatkan laba, baik yang bersifat material maupun simbolik. Hal ini memerlukan strategi investasi, secara individual maupun kolektif, yang bertujuan untuk mentransformasikan hubungan-hubungan yang terus berlangsung, seperti hubungan di kampung atau tempat kerja atau dalam hubungan kekerabatan, menjadi hubungan sosial yang secara langsung dapat digunakan dalam jangka pendek atau pun jangka panjang. Sebagaimana dijelaskan Bourdieu (dalam Field 2010), modal sosial hanya dapat dimiliki oleh kaum elit, yang dirancang untuk mengamankan posisi relatif mereka. Pendidikan dan kekayaan misalnya, dapat digunakan oleh kelompok tertentu untuk menjaga status dan posisi mereka, serta dapat digunakan untuk melakukan kekerasan simbolis terhadap kelompok lainnya yang kurang atau tidak memiliki pendidikan dan 91
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
kekayaan. Dalam tulisan berjudul Kekerasan Simbolis dan Reproduksi Sosial, Bourdieu (dalam Jenkins 2004), percaya bahwa elit atau penguasa dapat menggunakan kekerasan simbolis, yaitu suatu pemaksaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok sedemikian rupa, sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah. Legitimasi dibangun untuk meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Dalam hal ini, kebudayaan dipakai sebagai sistem makna untuk memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan yang memberikan kontribusi kepada reproduksi sistematis mereka. Hal ini dilakukan melalui proses misrecognition, yaitu proses di mana relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara objektif, namun dalam bentuk yang menjadikan mereka (elit) absah di mata penganutnya. Penggunaan kekerasan simbolis pada prinsipnya merupakan tindakan pedagogis, berwujud pendidikan yang tersebar luas, pendidikan keluarga, dan pendidikan institusional. Ketika mereproduksi kebudayaan dalam segala kesemrawutannya, tindakan pedagogis juga mereproduksi relasi kekuasaan yang menjamin keberlangsungannya. Tindakan pedagogis ini mencerminkan kepentingan kelompok atau kelas dominan yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak merata antarkelompok atau antarkelas yang hidup dalam ruang sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial. Tindakan pedagogis memerlukan otoritas pedagogis sebagai prasyarat keberhasilan tindakan pedagogis. Otoritas ini merupakan kekuasaan arbitrer untuk bertindak tanpa disadari oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu yang legitimate. Tindakan pedagogis dihasilkan oleh kerja pedagogis, yaitu suatu proses indoktrinasi yang berlangsung cukup lama melalui apa yang oleh Bourdieu disebut dengan habitus. Kerja pedagogis ini merupakan pengganti kerja fisik dan koersi.
92
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Konsep kekerasan simbolik Bourdieu ini mirip dengan konsep hegemoni Gramsci. Konsep hegemoni menawarkan gagasan tentang bagaimana kekuasaan bisa diterima oleh pihak yang dikuasai (Sugiono 1999). Melalui hegemoni, pihak ruling class atau siapapun yang ingin memiliki kekuasaan menancapkan hegemoni melalui kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Konsep hegemoni ini berbeda dengan dominasi. Kekuasaan dalam dominasi ditopang oleh kekuatan fisik, sedangkan dalam hegemoni, kekuasaan kelompok atau elit diperoleh secara konsensual. Dari strateginya yang tidak mengandalkan kekuatan fisik dan koersi, maka dapat disimpulkan bahwa konsep hegemoni Gramsci tidak berbeda secara substansial dengan konsep kekerasan simbolis Bourdieu. Pemkot Semarang dan kebanyakan pemerintah daerah lainnya dalam melaksanakan pembangunan ditengarai menggunakan kekerasan simbolik (dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan bupati/walikota) untuk menjinakkan warganya. Kekerasan simbolis (Bourdieu) atau hegemoni (Gramsci) dilakukan dengan dalih untuk kepentingan pembangunan, yang pada gilirannya dapat memperteguh keabsahan kekuasaan para penguasa. 5. Unsur-unsur Modal Sosial Modal sosial memiliki unsur-unsur yang jika semuanya berfungsi akan memiliki manfaat besar dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Unsur-unsur modal sosial meliputi kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network). Kepercayaan atau trust (dalam bahasa Inggris) bisa bermakna sebagai kata benda dan kata kerja (Lawang 2005:45). Sebagai kata benda, trust berarti kepercayaan, keyakinan, atau rasa percaya; sedangkan sebagai kata kerja, trust berarti proses mempercayai sesuatu yang jelas sasarannya. Kepercayaan (trust) 93
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
antar manusia memiliki tiga komponen penting, yaitu (1) hubungan sosial antara dua orang atau lebih, (2) harapan yang akan terkandung dalam hubungan tersebut, yang jika direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak, (3) interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan tersebut terwujud (Lawang 2005:45-46). Hubungan sosial berlangsung melalui struktur sosial, mulai dari yang paling kecil (mikro) hingga yang paling besar (makro). Dalam hubungan sosial ini, harapan yang ada pada seseorang bisa berupa dari yang kurang mengharapkan dan sangat mengharapkan atau bisa berupa rumusan hipotetik, semakin kuat dan baik hubungan sosial semakin tinggi harapan yang ingin diperoleh. Harapan menunjuk pada sesuatu yang masih akan terjadi di masa yang akan datang, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang (Lawang 2005:46). Bagi seseorang, harapan berkaitan dengan sesuatu yang menjadi cita-cita untuk diwujudkan. A percaya kepada B dengan harapan ia akan memperoleh sesuatu yang berguna dirinya dan mungkin juga bagi B. Jika harapan tersebut hanya berguna bagi A saja, harapan tersebut bersifat unilateral. Orangtua (A) berharap agar anaknya (B) bisa menjadi “wong” (dalam bahasa Jawa, orang yang berhasil ketika sudah besar). Apabila anaknya (B) mengetahui bahwa itulah harapan orangtua dan bersikap dan bertindak sesuai dengan harapan orangtua, maka harapan tersebut berubah sifatnya menjadi bilateral atau saling mengharapkan. Selain komponen hubungan sosial dan harapan, aspek interaksi sosial merupakan bagian penting dari kepercayaan. Salah satu konsep yang memiliki kaitan erat dengan interaksi sosial adalah tindakan sosial. Tindakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh individu dalam mewujudkan sebuah kepercayaan atau harapan, yang sifatnya unilateral; sedangkan interaksi sosial merujuk pada apa yang dilakukan oleh kedua 94
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
belah pihak yang secara bersama-sama sadar dalam mewujudkan harapan dari masing-masing pihak terhadap satu sama lainnya (Lawang 2005:47). Dalam hubungan kepercayaan, terdapat dua pihak, yaitu pihak yang mempercayai atau trustor dan pihak yang dipercayai atau trustee. Kedua-duanya memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan mereka (Coleman 2009). Seorang pemberi kepercayaan (trustor) harus memutuskan apakah akan menaruh kepercayaan atau tidak dan juga trustee memiliki pilihan untuk memutuskan apakah akan menjaga kepercayaan atau akan mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Seorang pemberi kepercayaan (trustor) umumnya adalah agen rasional. Biasanya ia akan memberikan kepercayaan kepada penerima kepercayaan (trustee) ketika rasio peluang perolehan dengan peluang kekalahannya lebih besar daripada rasio jumlah potensi kerugian dengan jumlah potensi keuntungan.
Trustee yang menerima kepercayaan akan mengubah relasi asimetris menjadi relasi simetris, ketika ia merasakan ada keuntungan timbal balik yang dapat diperoleh dan diharapkan dari si trustor. Ketika penerima kepercayaan (trustee) melakukan tindakan yang jauh lebih menguntungkan daripada sekadar membalas kewajiban, maka penerima kepercayaan (trustee) telah menunaikan kewajiban dan sekaligus menciptakan kewajiban bagi pemberi kepercayaan (trustor). Kewajiban ini tercipta jika balasan kewajiban tersebut tidak hanya bernilai dan menguntungkan si pemberi kepercayaan (trustor), tetapi juga menuntut pengorbanan dari si penerima kepercayaan (trustee) melebihi nilai kebaikan awal yang diterimanya (Coleman 2009). Resiko merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari dalam hubungan kepercayaan. Dalam kaitannya dengan resiko, muncul suatu hipotesis bahwa semakin tinggi saling percaya antara mereka yang bekerjasama, semakin kurang resiko yang 95
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
ditanggung dan semakin kurang pula biaya (uang atau sosial) yang dikeluarkan. Dalam pandangan Mollering (sebagaimana dikutip Lawang 2005), konsep kepercayaan berkaitan dengan suatu keadaan yang mengharapkan orang lain bertindak dan bermaksud baik bagi kita. Demikian pula, Torsvik mengungkapkan bahwa dalam kepercayaan terkandung kecenderungan perilaku tertentu yang dapat mengurangi resiko yang muncul dari perilakunya (Lawang 2005). Fungsi kepercayaan menurut Torsvik adalah (1) sebagai aset, kalau A dan B saling percaya dan masing-masing dari mereka merasa yakin bahwa tak seorang pun dari antara mereka bertindak oportunistik, (2) kepercayaan ini berawal dari harapan saja. A berharap jika dia melakukan transaksi perdagangan dengan B, tidak akan merugikannya, karena dia yakin bahwa B tidak akan bertindak oportunistik, (3) dengan kondisi seperti ini, maka proses transaksi yang diharapkan A dari B tergantung pada resiko yang muncul dari perilaku B (Lawang 2005). Dari studi empirik yang dilakukan Beugelsdijk (2009:68) dilaporkan bahwa kepercayaan (trust) eksis dalam mempromosikan pertumbuhan dan berperan mengurangi biaya transaksi. Ini adalah trust dalam level makro. Kepercayaan (trust) seperti ini, menurut Beugelsdijk (2009:70) tergantung pada bagaimana janji dipelihara dan ditepati serta bagaimana pula dapat diperoleh informasi yang terpercaya. Pada level mikro, trust dipahami sebagai sifat-sifat individu atau karakteristik hubungan antar individu. Perusahaan-perusahaan misalnya, membangun trust berdasarkan norma keadilan dan kepercayaan berbasis pengetahuan dalam interaksi yang sedang berlangsung. Trust sebagaimana dipahami Beugelsdijk ini tidak hanya berlangsung di antara pengusaha yang memiliki kapital, tetapi juga pada pedagang kecil (PKL). Dalam berbagai aktivitas jual beli para 96
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
pedagang kecil, menjadi hal biasa ketika ada pedagang yang kehabisan stok barang, ia dapat mengambil (meminjam) barang pedagang lainnya untuk memenuhi kebutuhan pembeli. Pedagang batik di pasar Klewer Surakarta misalnya, ia dapat mengambil atau meminjam baju batik yang dibutuhkan pembeli ketika ia kehabisan stok. Barang atau uang akan dibayarkan setelah baju tersebut terjual. Dalam penelitian Handoyo, Eko Prasetyo, dan Siti Maesaroh (2009) tentang Peran Penguatan Modal Sosial Melalui Usaha Ekonomi Rakyat Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta ditemukan adanya kerjasama, berbagi informasi, dan saling percaya di antara pengrajin keris di Imogiri Yogyakarta. Dalam pembuatan keris, tidak ada pengrajin yang memonopoli semua komponen keris. Ada orang yang ahli dalam membuat keris atau “wilah”, ada yang pandai membuat pegangan, dan lainnya terampil dalam membuat wadah atau “warongko”. Adanya bantuan promosi melalui web, pesanan keris baik dari dalam maupun luar negeri menjadi bertambah. Bertambahnya pesanan ini mengharuskan pengrajin harus meningkatkan produksinya, tetapi karena satu kelompok pengrajin tudak mampu memenuhi seluruh permintaan tersebut, pengrajin yang kelebihan order akan meminta pengrajin lain untuk ikut memproduksi keris. Hal ini dilakukan atas dasar perasaan saling percaya di antara pengrajin. Aktivitas jual beli atau transaksi ekonomi ini tidak akan terjadi jika tidak ada trust atau perasaan saling percaya di antara para pedagang. Praktik ekonomi pedagang kecil ini berkaitan dengan nilai budaya Jawa yang selama ini “diugemi” (dipegang teguh), yaitu “tuno satak bati sanak”, artinya tidak memperoleh untung banyak tidak apa-apa, asalkan masih banyak saudara atau teman yang dapat dimintai bantuan ketika ada persoalan yang dihadapi.
97
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Herreros (2004) memandang trust sebagai konsep yang abstrak, lalu ia membahas konsep yang lebih konkrit, yaitu keputusan untuk percaya (decision to trust). Keputusan untuk percaya berhubungan dengan resiko. Individu biasanya dihadapkan pada keputusan untuk percaya atau tidak percaya. Berkaitan dengan konsep trust, Herreros (2004) mengemukakan konsep penting dari trust, yaitu keuntungan potensial (potential gains) dan biaya potensial (potential cost). Individu akan percaya orang lain jika ada kemungkinan memperoleh potensi keuntungan darinya, sebaliknya ia tidak menghargai kepercayaan tersebut apabila ia justru mendapatkan biaya potensial dari kepercayaan yang telah ia berikan kepada orang lain. Seseorang berani mengambil resiko jika keuntungan potensial lebih tinggi daripada biaya potensial yang dikeluarkan. Keputusan untuk percaya tersebut merupakan sesuatu yang rasional, karena keputusan tersebut mengkalkulasi antara keuntungan potensial dan biaya potensial. Herreros (2004) tidak memandang kepercayaan sebagai unsur atau bentuk modal sosial. Modal sosial merupakan kewajiban timbal balik dan informasi, yang kedua-duanya diperoleh dari keanggotaannya dalam jaringan sosial. Meskipun kepercayaan bukan bentuk dari modal sosial, tetapi kepercayaan dapat memainkan peran antara di antara anggota jaringan sosial dan membangkitkan modal sosial. Keanggotaan dalam jaringan sosial tersebut, menghasilkan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan. Simmel mengemukakan konsep yang berbeda tentang kepercayaan (trust). Menurut Simmel (dalam Lawang 2005:50), tanpa adanya saling percaya yang merata antara satu orang dengan orang lainnya, masyarakat itu sendiri akan disintegratif dan kepercayaan itu merupakan salah satu kekuatan sintetik yang paling penting dalam masyarakat. Kepercayaan menjadi basis bagi tindakan individu. Kepercayaan menurut Simmel 98
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(dalam Lawang 2005:50-51) memiliki tiga bentuk sebagai berikut. Uang yang bersifat material dan kredit merupakan bentuk pertama dari kepercayaan. Lembaga (A) percaya bahwa uang yang dipinjam B pasti akan dikembalikan dengan jaminan, artinya bahwa kepercayaan lembaga itu muncul karena tahu akan jaminan yang nilainya paling kurang sepadan dengan nilai pinjaman yang secara riskan sudah diperhitungkan. Kepercayaan seperti itu disebut sebagai kepercayaan berbasis pengetahuan, kepercayaan bersyarat, kepercayaan strategis, kepercayaan penuh perhitungan sama-sama untung dan adil atau kepercayaan materialistik. Kepercayaan tersebut menurut Simmel lebih tepat disebut sebagai kepercayaan moralistik. Bentuk kedua dari kepercayaan Simmel adalah confidence. Kepercayaan ini mengantarai pengetahuan dan ketidaktahuan seseorang. Menurut Simmel (dalam Lawang 2005:51), confidence bermakna percaya antar orang dengan dirinya sendiri, tetapi mungkin juga menyangkut percaya pada orang lain, tetapi dalam hubungan yang sangat rahasia (confidential). Bentuk kepercayaan yang ketiga menurut Simmel adalah apa yang disebut dengan masyarakat rahasia (secret society). Hubungan internal utama yang khas dalam masyarakat rahasia adalah kepercayaan timbal balik antara para anggotanya. Tujuan kerahasiaan adalah perlindungan. Dari semua tindakan perlindungan, yang paling mendasar adalah membuat seseorang itu tidak kelihatan. Masyarakat rahasia menurut Simmel, dalam kenyataannya terdiri atas elemen-elemen. Masing-masing elemen mungkin hidup dalam suatu bentuk interaksi yang intensif, tetapi hubungan tersebut pada dasarnya penuh dengan rahasia. Contoh yang paling jelas dari masyarakat rahasia adalah kelompok atau geng penipu, mafia, atau kelompok seks bebas, yang pada prinsipnya satu sama lain tidak saling mengetahui, tetapi keseluruhannya merupakan masyarakat penuh rahasia. 99
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Contoh lainnya adalah kerahasiaan nasabah Bank yang dijamin dan dilindungi oleh Bank yang bersangkutan. Kerahasiaan masyarakat seperti itu menjadi perlindungan tidak saja bagi individu yang merupakan anggota dari elemen-elemen itu, tetapi juga bagi elemen kelompok itu sendiri yang mengembangkan dan mungkin hidup dalam penuh kerahasiaan. Bukan individu yang disembunyikan, melainkan kelompok yang mereka bentuk, demikian kata Simmel. Kepercayaan tidak tumbuh dengan sendirinya. Ada mekanisme atau alasan-alasan mengapa kepercayaan muncul. Mengapa A percaya B? Lawang (2005:54) mengemukakan beberapa kemungkinan mengapa A bisa percaya kepada B.
Pertama, karena A mengenal B. Kepercayaan ini muncul berbasis pengetahuan (knowledge based trust). Mengenal tidak selalu menimbulkan kepercayaan. Kenal yang menghasilkan kepercayaan adalah kenal orang menurut penilaian si pengenal. Rumusan hipotetiknya adalah A mengenal B, lalu percaya, karena nilai A dianut oleh B. Ini artinya, mengenal berarti menilai orang menurut nilai si pengenal. Penilaian seperti itu masih bersifat sepihak, karena memang belum terjadi interaksi antar keduanya.
Kedua, mengenal orang berarti mengetahui semua data pribadi yang dapat diperoleh , baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Data pribadi tersebut dapat diperoleh dengan berbagai cara, bisa lewat facebook, twitter, blog pribadi, dan yang lain, namun data tersebut belum tentu akurat, bisa kurang lengkap atau bahkan manipulatif. Pengenalan seseorang terhadap lainnya bersifat terbatas. Seperti diungkapkan Simmel (dalam Lawang 2005), setiap individu tetap menjadi rahasia bagi orang lain. Namun demikian, untuk mengetahui lebih dekat tentang pribadi orang lain, yang paling baik adalah dengan mengetahui kehidupannya sehari-hari.
100
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Ketiga, kenal tentu ada batas-batas cakrawalanya. Keluarga adalah lingkaran yang paling dalam, menyusul persahabatan sebagai lingkaran luarnya, lapis luar berikutnya adalah orang yang dikenal secara sepintas, dan lingkaran terakhir adalah orang asing yang tidak dikenal. Keempat, proses kenal pasti bersifat personal, sehingga kepercayaan yang muncul dari proses ini bersifat personal pula.
Kelima, keputusan bahwa seseorang layak dipercaya dengan dasar yang terbatas, masih harus diuji melalui interaksi sosial. Berbagai alasan dan kemungkinan di atas berkaitan dengan bagaimana A percaya kepada B atau kepercayaan yang sifatnya linier. Untuk menjawab pertanyaan mengapa A dan B saling percaya atau kepercayaan timbal balik, Lawang (2005:55) mengemukakan enam jawaban berikut. (1) Keduanya saling kenal. Diakui bahwa tidak semua orang yang saling kenal, menghasilkan saling percaya, tetapi saling kenal adalah salah satu variabel penting dalam proses terjadinya saling percaya, yang oleh beberapa ahli disebut sebagai pelumas. (2) Keduanya memiliki nilai yang sama. Nilai yang sama muncul karena interaksi sosial yang dapat dilihat dalam hubungan persahabatan atau keluarga. Sosialisasi yang dilakukan masyarakat juga dapat menciptakan nilai bersama. (3) Keduanya memiliki kepentingan yang sama yang tanpa kehadiran salah satunya akan mendatangkan kegagalan. (4) Karena percaya saja. A percaya B, karena B percaya A. Kepercayaan seperti ini merupakan kepercayaan asumtif, yakni percaya karena percaya saja. Misalnya orang Jawa bertemu dengan orang Jawa di Papua, keduanya langsung percaya, karena keduanya dari suku yang sama, yaitu Jawa. Saling percaya ini oleh Uslaner (dalam Lawang 2005) disebut dengan generalized trust. 101
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
(5) Kepercayaan di antara keduanya akan timbul, kalau ekspektasi masing-masing terpenuhi. A memperoleh apa yang diharapkan dari B karena kepercayaan yang diberikan dan B memperoleh apa yang diharapkannya, karena pelaksanaan tugas kepercayaan. (6) Karena keduanya setia pada janji memenuhi kewajiban dan melaksanakan tugas serta setia pada nilai dan norma. Dalam hal ini, kesetiaan dan komitmen merupakan bagian dari saling percaya yang sangat fundamental. Saling percaya bukanlah sesuatu yang statis sifatnya. Pertanyaan yang muncul adalah untuk apa A dan B saling percaya? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Lawang (2005:56-57) mengutarakan tiga kemungkinan berikut.
Pertama, A dan B saling percaya adalah untuk meningkatkan percaya diri (self confidence). Kalau A percaya kepada B untuk melakukan sesuatu hal, dan B sungguh-sungguh memenuhi kewajibannya dan malah bertindak lebih, maka kepercayaan yang semula bersifat sepihak menjadi dua belah pihak. Hasilnya adalah A memanen hasil kepercayaan yang diberikan kepada B, sehingga dia lebih percaya diri lagi dan bahwa percaya kepada orang yang tepat tersebut merupakan suatu keputusan yang tepat. Sebaliknya, percaya diri B juga meningkat, karena dia membuktikan bahwa harapan A terhadapnya tidak sia-sia. Dengan demikian, kepercayaan yang bersifat unilateral berubah menjadi kepercayaan bilateral. Kedua, saling percaya juga dipakai untuk meningkatkan kerjasama, kebersamaan, sehingga rumusan A percaya B untuk melakukan X menjadi A percaya B untuk tujuan bersama. Ketiga, karena A dan B saling butuh. Kepercayaan yang diberikan A kepada B merupakan refleksi dari keterbatasan A yang tidak mungkin mampu melakukan semua dengan kekuatan sendiri. Kepercayaan seperti ini bersifat sosial antropologi. 102
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Setiap jenis interaksi dan kerjasama mensyaratkan adanya norma bersama (Sztompka 2004). Norma secara relatif bersifat stabil dan menentukan perilaku individu. Norma lahir dari proses sosialisasi yang terjadi dalam suatu struktur sosial. Norma (norm) berbeda dengan aturan (rule). Norma bersifat intrinsik, sedangkan aturan (rule) bersifat ekstrinsik. Norma terasimilasi dalam proses belajar sosial, sedangkan aturan (rule) mengandaikan adanya pihak yang mengontrol dan menginterpretasikan norma (Titov 2006). Aturan berkaitan dengan proses implementasi, ketika norma gagal berfungsi sebagai regulasi. Norma bersama dan simbol yang bermakna sama dapat digunakan seseorang dalam suatu struktur sosial untuk memprediksi perilaku orang lain dalam struktur tersebut. Norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan (Lawang 2005:70). Asumsinya adalah jika dalam pertukaran pertama, keduanya saling menguntungkan, akan muncul pertukaran kedua, dan seterusnya dengan harapan akan diperoleh keuntungan timbal balik. Jika pertukaran saling menguntungkan terjadi berulang-ulang dan bersifat tetap, maka akan muncul norma kewajiban sosial, yang membuat hubungan pertukaran saling menguntungkan keduanya dan dengan demikian, hubungan pertukaran terpelihara dengan baik. Norma juga bersifat resiprokal, dalam arti isi norma menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma resiprokal ini, akan berkurang keuntungannya, bahkan bisa juga ia terkena sanksi. Akhirnya, jaringan yang terbina lama dan mampu menjamin keuntungan kedua belah pihak, akan melahirkan norma keadilan. Norma merupakan bagian dari suatu kelembagaan, yakni suatu norma kaidah peraturan atau organisasi yang 103
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
memudahkan organisasi melakukan koordinasi dalam membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerjasama (Rintuh 2005:3). Kelembagaan memiliki tiga komponen, yaitu aturan formal, aturan informal, dan mekanisme penegakan. Kelembagaan memiliki tiga fungsi, yaitu (1) memberikan pedoman, bagaimana seseorang harus bersikap dan berperilaku dalam menghadapi masalah kehidupan, (2) menjaga keutuhan masyarakat, (3) memberikan pegangan kepada masyarakat untuk melakukan pengendalian sosial atau menjadi sistem pengawasan tingkah laku (Sukmana 2005:23). Selain sebagai pedoman tingkah bagi anggota suatu struktur sosial, norma atau kelembagaan juga menjadi aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia, meminimalisasi perilaku manusia yang menyimpang, menciptakan ketertiban, dan mengurangi ketidakpastian dalam melakukan pertukaran (North 1994:360). Jaringan (network) merupakan unsur modal sosial selain kepercayaan dan norma, yang berperan penting dalam membangun modal sosial. Jaringan dalam teori modal sosial memiliki enam makna (Lawang 2005:62).
Pertama, ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial tersebut diikat oleh kepercayaan dan kepercayaan tersebut dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.
Kedua, ada kerja antar simpul (orang atau kelompok), yang melalui media hubungan hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama. Ketiga, seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus), kerja yang terjalin antar simpul pasti kuat menahan beban bersama. 104
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Keempat, dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri. Jika salah satu simpul putus, maka akibatnya keseluruhan jaring tidak bisa berfungsi lagi, sampai simpul tersebut diperbaiki lagi. Kelima, media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan atau antara orang-orang yang berada dalam dan terhubung oleh jaringan, tidak dapat dipisahkan. Keenam, ikatan atau pengikat (simpul) dalam modal sosial merupakan norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya dipelihara dan dipertahankan. Jaringan terjadi dalam tiga bentuk, yaitu jaringan antar personal, jaringan antara individu dengan institusi, dan jaringan antar institusi (Lawang 2005). Jaringan mulanya terjadi antar personal. Meskipun orang membuka jaringan dengan organisasi atau sebuah yayasan, tetap saja yang berkomunikasi adalah orang yang mewakilinya, bukan organisasinya. Inilah yang dimaksud dengan jaringan antar personal. Jaringan antar personal memiliki beberapa bentuk.
Pertama, jaringan duaan (dyadic) tunggal, menunjuk pada jaringan yang terbentuk antara dua orang saja, tanpa ada jaringan lainnya. Jaringan ini membentuk struktur yang paling sederhana, yaitu struktur duaan. Gambar berikut adalah jaringan duaan tunggal. A
B
Gambar 5. Hubungan Jaringan Duaan
Kedua, jaringan duaan ganda, menunjuk pada jaringan yang terbentuk antara A dengan B, C, D, dan E; tanpa ada saling hubungan antara B, C, D, dan E. Seorang pengusaha restoran di Bali (A) membuka jaringan dengan pemasok sayur (B) dari Malang, dengan pemasok daging dari beberapa desa di Bali (C) 105
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dan beberapa pemandu wisata lokal (D dan E). Hubungan antara A dan jaringan duaan ganda tersebut dapat dilihat pada gambar berikut. B C
A
D E Gambar 6. Jaringan Duaan Ganda
Ketiga, jaringan duaan ganda berlapis, menunjuk pada hubungan antara A dengan beberapa satuan hubungan duaan ganda lainnya. Hubungan tersebut dinamakan hubungan berlapis, karena B, C, dan D masing-masing dapat mengembangkan hubungan duaannya sendiri. Mengacu pada contoh pengusaha restauran di Bali, maka pola hubungan yang terjadi menghasilkan (1) A menjadi pusat utama, yang saling tergantung secara langsung dengan B, C, dan D dan secara tidak langsung dengan B1, B3, D1, D3, C1, dan C3; (2) A menjadi utama, karena usaha restaurannya secara tidak langsung berjalan melalui B, C, dan D dan mendorong petani di Malang, di Bedugul, atau di tempat lainnya untuk menanam sayur dan memelihara ternak yang dibutuhkan untuk memasok sayuran; (3) A menjadi utama, karena B, C, dan D menjadi utama untuk hubungan duaannya di masing-masing tempat; (4) A menjadi sentral, tetapi sentralitas tersebut tidak membuatnya berkuasa, karena hubungan dengan B, C, dan D didasarkan pada hubungan pertukaran yang saling menguntungkan; (5) hubungan antara A dengan B, C, dan D menjadi hubungan duaan, sehingga tidak terjadi koalisi antara B, C, dan D untuk menghancurkan A; dan (6) B, C, dan D adalah pusat-pusat kecil yang berkembang karena A. Gambar berikut ini menunjukkan hubungan duaan ganda berlapis. 106
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Gambar 7. Hubungan Duaan Ganda berlapis
Keempat, secara matematis, jaringan tigaan, empatan, atau limaan dapat saja terbentuk. Jika ini terjadi, strukturnya menjadi lain dan lebih rumit. Meskipun institusi atau lembaga sering diwakili oleh orang, namun institusi tetap dipandang penting, sebab sebagaimana dikatakan Putnam, keanggotaan warga dalam beberapa institusi memungkinkannya mampu mengatasi berbagai masalah (Lawang 2005:67). Apa yang dilakukan institusi terhadap individu dan apa yang harus dikerjakan individu untuk institusi? Agama adalah salah satu contoh institusi yang berlaku bagi setiap orang. Orang bisa saja selesai dari kuliah, orang bisa berhenti berorganisasi, orang bisa berhenti bekerja atau pensiun, tetapi tidak ada orang yang berhenti dari beragama. Wujud agama yang paling menonjol adalah organisasinya, yakni bagaimana kehidupan beragama dikelola dan diatur menjadi sejumlah kegiatan riil. Misalnya, jika ada yang meninggal, orang diminta untuk memandikan, mengafani, menyolati, dan menguburkannya. Apabila di suatu kampung, belum ada masjid yang representatif, maka warga diminta untuk mencari dan mengumpulkan dana untuk membangun masjid yang layak untuk tempat beribadah. Institusi agama tanpa orang 107
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
tidak mungkin akan berfungsi. Demikian pula, dibangun sebuah masjid yang megah atau gereja yang besar, tetapi tidak ada jamaahnya, maka fungsi institusi agama tidak akan berjalan. Jadi, yang penting bukan gedung tempat beribadahnya, melainkan adalah orang-orang yang berdoa dan menjalankan ibadahnya di tempat ibadah tersebut. Atas dasar inilah, Putnam (2000) sampai pada kesimpulan bahwa jaringan yang terbentuk antara orang dan institusi, sesungguhnya merupakan jaringan hubungan antara orang dengan orang. Jaringan antar institusi sudah banyak terbentuk di Indonesia, misalnya jaringan masyarakat anti korupsi, yang mempertemukan elemen-elemen masyarakat yang peduli terhadap masa depan Indonesia yang bersih dari korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) merupakan contoh nyata dari jaringan anti korupsi, yang sering menjadi rujukan dan tempat memperoleh informasi bagi organisasi anti korupsi di daerah-daerah mengenai tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat atau oknum pemerintah. Dahulu pernah dibentuk sebuah Forum Demokrasi, yang merupakan forum kajian terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Forum ini diketuai oleh mantan Presiden Indonesia, yakni Gus Dur. Jaringan atau forum tersebut berbicara atas nama institusinya, tetapi memiliki visi dan misi yang sama. Dalam jaringan atau forum tersebut akan terbentuk modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) di antara anggota jaringan atau forum. Jaringan (network) ada yang bersifat positif, misalnya jaringan bisnis perhotelan dan ada juga yang bercorak negatif, misalnya jaringan perdagangan obat bius dan jaringan teroris. Jaringan juga ada yang bersifat tertutup, seperti jaringan mafia hukum dan jaringan teroris dan ada yang terbuka, seperti jaringan relawan anti perdagangan perempuan dan anak.
108
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Jaringan sosial umumnya memiliki fungsi ekonomi dan kesejahteraan sosial (Lawang 2005:68). Fungsi ekonomi jaringan terletak pada produktivitas, efisiensi, dan efektivitasnya yang tinggi; sedangkan fungsi kesejahteraan sosial menunjuk pada dampak partisipatif dan kebersamaan yang diperoleh dari suatu pertumbuhan ekonomi. Jaringan seperti ini termasuk unsur penting dari kapital atau modal sosial. Menjadi modal sosial, karena fungsinya positif bagi masyarakat. Sebagai pelumas kegiatan ekonomi, jaringan bersifat terbuka, yang memberi kesempatan kepada publik untuk menilai fungsinya yang mendukung kepentingan masyarakat. Jaringan klik dalam birokrasi yang tertutup yang di dalamnya sarat dengan aroma korupsi, tidak termasuk jaringan dalam modal sosial. Jaringan atau network dimasuki orang atau kelompok tentu saja memiliki fungsi yang beragam, tidak hanya semata-mata berkaitan dengan masalah ekonomi. Mengacu pada berbagai pandangan para ahli, Lawang (2005:69) mencatat ada tiga fungsi jaringan, yaitu fungsi informasi, fungsi akses, dan fungsi koordinasi. Fungsi informasi atau media informasi dari jaringan, memungkinkan setiap stakeholder dalam jaringan itu dapat mengetahui dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan masalah, peluang atau apa pun mengenai kegiatan usaha. Fungsi informasi ini disebut juga fungsi pelumas atau fungsi peluang. Fungsi akses menunjuk pada kesempatan yang dapat diberikan oleh adanya jaringan dengan orang lain, dengan menyediakan suatu barang atau jasa yang tidak dapat dipenuhi secara internal oleh organisasi. Fungsi koordinasi dari jaringan lebih banyak dijumpai dalam kegiatan-kegiatan informal, yang oleh Fukuyama, justru membantu mengatasi masalah kebuntuan yang disebabkan oleh keterbatasan birokrasi pemerintah (Lawang 2005:69). Fungsi koordinasi ini berkaitan dengan fungsi jaringan lainnya, seperti 109
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
informasi dan akses, sehingga modal sosial memiliki kontribusi yang signifikan utamanya dalam kegiatan ekonomi. Berdasarkan tesis Putnam, pada level individual, jaringan memiliki peran potensial sebagai sumber-sumber keuntungan dan batas-batas bagi tindakan individu (Beugelsdijk 2009:66). Pada jaringan tebal dari asosiasi dapat meningkatkan artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan, serta memberikan kontribusi membangun efektivitas kolaborasi sosial (Beugelsdijk 2009:72). Jaringan hubungan dan interaksi juga menyediakan berbagai keuntungan, seperti mendapatkan pekerjaan, memperoleh informasi, dan meningkatkan akses pada sumbersumber (Beugelsdijk 2009:74). 6. Jenis-jenis Modal Sosial Modal sosial memiliki tipologi yang memberikan karakter pada suatu kelompok atau komunitas. Ada dua tipe modal sosial, yang dalam realitasnya dapat diamati di suatu organisasi, kelompok, atau komunitas. Dua tipe modal sosial ini diduga melekat pada kelompok PKL yang akan diteliti. Pertama, adalah modal sosial terikat atau bonding social capital. Kedua, modal sosial yang menjembatani atau bridging social capital (Hasbullah 2006). Modal sosial terikat atau bonding social capital cenderung bersifat ekslusif dan berorientasi ke dalam (inward looking). Individu yang menjadi anggota kelompok cenderung homogen dan bersifat konservatif. Solidarity making lebih diutamakan daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma masyarakat. Kelompok yang lebih banyak memiliki modal sosial jenis bonding ini, para anggotanya terhubung secara kuat, positif, dan bersifat timbal balik (Oh, et.al. 2006). Ikatan hubungan yang negatif relatif kurang dan jaringan yang dibentuk cenderung sangat padat atau tebal. Kepercayaan yang 110
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
dibangun diantara anggota sangat kuat dan dalam kelompok seperti itu, jaringan pertukaran sosial tercipta dengan baik. Kelompok yang tertutup sangat kuat ini memiliki kelebihan, seperti kerjasama yang lebih besar, konformitas yang lebih besar untuk menyetujui norma bersama, berbagi informasi lebih besar, tetapi cenderung kurang terlibat dalam kaitannya dengan sesuatu yang berada di luar kelompok. Namun terlepas dari semua itu, kelompok bertipe bonding cenderung memiliki efektivitas yang lebih baik. Tipologi kelompok tertutup dengan modal sosial terikat ini tampak pada karakter PKL yang ada di kota Semarang. Dari hasil observasi awal, tampak bahwa kelompok PKL cenderung loyal dan solider dengan kelompoknya sendiri dan kurang perhatian atau pun terlibat dengan kelompok PKL lainnya. PKL terorganisasi atau resmi cenderung kurang apresiatif terhadap kelompok PKL tidak terorganisasi atau yang sering disebut PKL liar. Sebaliknya, PKL liar, juga memiliki persepsi yang tidak jauh berbeda dengan kelompok PKL terorganisasi. Meskipun tidak ada rivalitas diantara kelompok-kelompok PKL tersebut, tetapi jika ada PKL yang sedang digusur, PKL lain bukannya sedih dengan menunjukkan perasaan empati dan simpati, tetapi justru senang karena kompetitornya berkurang.
Bonding social capital ini mirip dengan thick trust, yaitu modal sosial yang terbentuk akibat adanya rasa percaya antarkelompok orang yang saling mengenal (Hasbullah 2006). Kelompok dengan bonding social capital sebagaimana dijumpai pada komunitas PKL Basudewo dan PKL Sampangan memiliki resistensi kuat terhadap perubahan, misalnya berkenaan dengan kebijakan relokasi. Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) merupakan bentuk modern dari suatu pengelompokan, grup, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip yang dianut didasarkan pada nilai-nilai universal, seperti persamaan, 111
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
kebebasan, kemajemukan, kemanusiaan, terbuka, dan mandiri (Hasbullah 2006). Mekanisme perantara dalam hubungan yang menjembatani ini memutus kesenjangan (gap) diantara anggota-anggota yang tidak terkoneksi. Lubang struktural (structural holes) dalam bridging social capital mengandaikan adanya tipe dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal (Oh, et.al. 2006). Dimensi pertama menunjukkan apakah individu secara vertikal terdiferensiasi, misalnya antara mereka yang berposisi sebagai pemimpin dan yang berkedudukan sebagai pengikut dan menunjukkan apakah individu secara horizontal terdiferensiasi, misalnya individu-individu yang memiliki fungsi yang berbeda di dalam kelompok atau subkelompok.
Kedua, dimensi yang berbeda antara hubungan dalam kelompok dan hubungan antar kelompok. Modal sosial yang menjembatani ini dalam realitasnya memberikan kontribusi besar bagi perkembangan, kemajuan, dan kekuatan masyarakat, misalnya terkontrolnya perbuatan korupsi, pekerjaan pemerintah makin efisien, penanggulangan kemiskinan makin efektif, kualitas hidup manusia makin meningkat, dan bangsa menjadi semakin kuat. Dalam konteks PKL, modal sosial yang menjembatani ini, sangat dibutuhkan tidak hanya dalam mengakses sumbersumber informasi terkait dengan masa depan mereka, tetapi juga memberikan jalur bagi PKL untuk memperkokoh daya tawar mereka ketika berhadapan dengan kekuasaan. 7. Manfaat Modal Sosial Sebagaimana sudah dijelaskan di depan bahwa dalam pembangunan ekonomi terdapat beragam jenis modal atau kapital yang dapat dimanfaatkan, di antaranya adalah modal fisik, modal personal, modal ekonomi, modal spiritual, modal 112
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
budaya, dan modal sosial. Seperti halnya modal ekonomi, modal sosial dapat dipandang sebagai stok yang dapat diperbanyak atau dilipatgandakan untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Coleman (2009) melihat bahwa modal fisik dan modal manusia (personal) dalam pemanfaatannya hanya menguntungkan diri sendiri, sedangkan modal sosial, seperti struktur sosial yang memungkinkan norma sosial dan sanksi efektif mengatur tingkah laku masyarakat, akan menguntungkan semua orang yang menjadi bagian dari struktur sosial tersebut. Selain yang telah diungkapkan Coleman, masih banyak literatur atau hasil-hasil penelitian yang menginformasikan tentang makna atau kontribusi modal sosial terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam uraian berikut dikemukakan beberapa hasil penelitian dan tulisan mengenai peran atau manfaat modal sosial. Castiglione, et al. (2008) dalam artikelnya berjudul “Social Capital’s Fortune: An Introduction” meyakini bahwa modal sosial dapat memengaruhi kehidupan politik, aktivitas ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Dalam aspek politik, modal sosial dapat mendorong partisipasi politik dan mengembangkan kinerja kelembagaan. Dalam bidang ekonomi, modal sosial dapat mengarahkan pembangunan, menggerakkan kerjasama di antara agen-agen ekonomi, dan mengurangi biaya transaksi. Dalam hal kesejahteraan sosial, modal sosial dapat memfasilitasi kohesi sosial, dukungan komunitas, dan kepuasan hidup. Fafchamps and Minten sebagaimana dikutip Grootaert and Thierry van Bastelaer (2002) dalam penelitian di Madagaskar menyimpulkan bahwa modal sosial dapat mengurangi biaya transaksi dan melalui sarana informal dapat memperoleh jaminan melawan resiko likuiditas. Dalam artikelnya tentang Peranan Social Capital dalam Pemberdayaan Masyarakat, Mawardi J. (2007) menyimpulkan bahwa modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang 113
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat, yang pada gilirannya mendorong berkembangnya dunia industri. Industri besar dan menengah yang dimiliki investor lokal maupun asing akan dapat tumbuh besar di tengah masyarakat yang memiliki tradisi yang mengedepankan nilai kejujuran, keterbukaan dan empati. Dalam penelitiannya tentang Peranan Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul, Suharjito dan Gunarto Eko Saputro (2008) menyimpulkan bahwa masyarakat Kasepuhan telah membangun dan memelihara aturan-aturan tentang pengelolaan sumberdaya kehutanan, dengan membuat zonasi, pelarangan, dan penegakan aturan tersebut. Dampaknya, masyarakat mematuhi aturan tersebut dan percaya bahwa aturan tersebut bermanfaat dalam mengelola sumberdaya hutan secara efektif. Warren, et al. (2001) dalam tulisannya percaya bahwa modal sosial memiliki peran dalam memerangi kemiskinan meskipun tidak secara langsung. Modal sosial mengacu pada seperangkat sumber daya yang melekat dalam hubungan saling percaya dan kerjasama antar orang. Aset sosial ini tidak mengurangi kemiskinan secara langsung, tetapi memengaruhi investasi dalam modal manusia dan sumber daya keuangan rumah tangga, yang pada gilirannya rumah tangga miskin dalam lingkungan ketetanggaan yang memiliki kepedulian terhadap sesama dapat bertahan hidup. Dalam risetnya di Amerika Serikat, Warren, et al. (2001) menemukan bahwa penyebab kemiskinan tidak terletak pada tatanan sosial yang lemah dari masyarakat miskin, tetapi justru terletak pada struktur ekonomi, politik, dan ras dari masyarakat Amerika yang diskriminatif. Di Appalachia dan delta Mississipi, ditemukan bahwa orang-orang kaya dari kelompok kulit putih mencegah masyarakat kulit hitam keluar dari kemiskinannya. 114
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Dalam skala luas, Warren, et al (2001) juga memiliki cukup bukti bahwa modal sosial berupa aset sosial dalam masyarakat dapat meningkatkan kesehatan, keamanan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, partisipasi politik, dan kualitas hidup penduduk dari masyarakat miskin. Jupp dan Kay sebagaimana dikutip oleh Bowen (2009) menjelaskan bahwa modal sosial merupakan perekat bagi kelompok, organisasi atau komunitas. Kelompok masyarakat miskin ditengarai memiliki keterbatasan akses terhadap jaringan sosial. Melalui kelompok atau organisasi yang memayungi mereka, kelompok masyarakat miskin dapat mengakses jaringan sosial yang memungkinkan mereka dapat bertahan hidup. Hal ini dapat dipahami, karena melalui jaringan sosial, organisasi dapat bergerak, mencapai tujuannya, dan mengatasi masalah yang mereka hadapi. Modal sosial, utamanya kohesi sosial yang timbul dari relasi sosial menjadi perhatian utama dari Komite Eropa untuk Kohesi Sosial. Dalam strategi untuk kohesi sosial yang direvisi konsepnya pada tahun 2004, komite ini berkeyakinan bahwa kohesi sosial merupakan kapasitas masyarakat untuk menjamin kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat, dapat meminimalisasi disparitas dan menghindari polarisasi (Hulse and Wendy Stone 2007). Kohesi sosial ini mendukung komunitas dari individu-individu bebas untuk mengejar tujuan bersama melalui cara-cara demokratis. Dari beberapa artikel dan hasil penelitian di atas, tampak bahwa modal sosial, baik unsur trust, norm, maupun networking jika dipelihara dengan baik, memiliki kontribusi terhadap pengembangan komunitas, misalnya dalam peningkatan kohesi sosial, maupun pembangunan ekonomi, sosial dan politik, seperti mendorong etos kewirausahaan, mengurangi kemiskinan, mengurangi biaya transaksi, meningkatkan kepedulian, dan meningkatkan partisipasi 115
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
politik. Pendek kata, modal sosial bermanfaat tidak saja bagi individu yang berada dalam struktur sosial, tetapi juga berguna bagi kelompok, komunitas, masyarakat, dan pemerintah.
C. Tinjauan tentang Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) Sebelum diuraikan tentang konsep resistensi PKL, berikut dijelaskan konsep tentang sektor informal dan pedagang kaki lima, yakni karakteristiknya, kaitan urbanisasi dan sektor informal, pandangan tentang sektor informal, dan dinamika pertumbuhan sektor informal atau Pedagang Kaki Lima (PKL). 1. Karakteristik Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima Eksistensi sektor informal merupakan sesuatu yang wajar sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan kota. Di tengah kemajuan ekonomi perkotaan yang mengandalkan sektor formal, kehadiran aktivitas ekonomi informal menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Sebagaimana dikatakan Williams and Jan Windebank (1998:29) bahwa dalam ekonomi maju terdapat pertumbuhan aktivitas ekonomi informal. Sektor informal ini merupakan bentuk baru dari eksploitasi kapitalisme maju atau tanggapan terhadap over-regulation oleh pasar. Untuk memberikan gambaran tentang eksistensi sektor informal dalam kaitannya dengan sektor formal, maka dalam penelitian ini dikemukakan perdebatan konsep mengenai sektor informal dan dari perdebatan itulah dipilih konsep yang dipandang relevan dengan karakteristik subjek yang diteliti. Tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa itu sektor informal. Sebagaimana diakui Mitter (1989), mendefinisikan sektor informal bukan hal yang mudah, karena para akademisi 116
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
dan pembuat kebijakan akan menggunakan konsep tersebut berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Ferman menyebut informal economy sebagai irregular economy, Guttmann senang dengan istilah subterranean economy, Simon memakai istilah the undeground economy, dan Abumere menggambarkannya sebagai invisible, hidden, shadow, non-
official, and imperfectly recorded in the official national acounting systems (Yusuff 2011). Meskipun banyak pendapat dan diakui sulit menentukan mana aktivitas ekonomi yang dapat dimasukkan ke dalam sektor formal dan mana pula kegiatan ekonomi yang dapat digolongkan ke dalam sektor informal, namun untuk memastikan arah penelitian, perlu ada konsep yang dipilih. Itulah sebabnya, dalam uraian berikut disajikan berbagai pandangan tentang sektor informal, termasuk ciri-ciri atau karakteristiknya. Sektor informal adalah sektor yang bukan pedesaan dan bukan pula perkotaan, bukan tradisional dan tidak juga modern, tetapi adalah sektor kegiatan transisional yang dibentuk oleh proses urbanisasi (Soetomo 2009:170). Sektor ini memiliki karakteristik, yaitu menekankan pada keuangan sendiri, modal kecil, skala kecil, dan produksi intensif dari tenaga kerja tidak terampil (Pratap and Erwan Quintin 2006:2). Dalam laporannya mengenai kegiatan sektor informal di Kenya pada tahun 1972, ILO menegaskan ekonomi informal sebagai a way of doing things, characterized by : (1)ease of
entry, (2) reliance on indigenous resources, (3) family ownership of resources, (4) small scale of operations, (5) labour intencive and adaptive technology, (6) skill acquired outside the formal school system, and (7) unregulated and competitive markes (Pellissery and Robert Walker 2007; Wells 2007). Sektor informal menurut kategori yang dibuat ILO tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu adanya titik masuk pada kesenangan, percaya pada sumberdaya asli atau lokal, kepemilikan sumberdaya keluarga, operasi dalam skala kecil, pekerja intensif 117
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dan teknologi yang adaptif, keterampilan yang diperoleh di luar sistem sekolah formal, serta pasar tidak teratur dan kompetitif. Castells and Portes (1989) mengartikan sektor informal sebagai proses menghasilkan pendapatan (income-generation) yang diatur oleh institusi-institusi masyarakat dalam lingkungan sosial dan hukum di mana aktivitas-aktivitas yang sama diatur. Aktivitas sektor informal ini merupakan aktivitas dinamis yang di dalamnya tidak hanya aspek ekonomi yang berperan, tetapi juga teori sosial terutama pertukaran juga memberi kontribusi dalam memahami kegiatan sektor informal ini. Aktivitas sektor informal ini memiliki sifat temporal atau sementara dan dalam pertumbuhannya bisa beralih menjadi sektor formal. The International Conference of Labor Statisticians (ICLS) pada tahun 1993 menghasilkan kesepakatan bahwa yang dimaksud sektor informal adalah pekerjaan dan produksi dalam skala kecil dan/atau perusahaan tidak terdaftar (Chen, et al 2005:38). Dalam konferensi ini, sektor informal dibagi dalam dua bentuk, yaitu informal self-employment dan informal wage employment. Termasuk ke dalam informal self-employment adalah employers in informal enterprises, own account workers in informal enterprises, and unpaid familyworkers; sedangkan yang tergolong dalam informal wage employment adalah
employees of informal enterprises, casual or day labourers, temporary or part-time workers, paid domestic workers, unregistered or undelared workers, and industrial outworkers (also called homeworkers). Sektor informal memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dari sektor formal. Todaro dan Abdullah, sebagaimana dikutip Hariyono (2007: 109) menyebutkan 8 ciri-ciri sektor informal.
Pertama, sebagian besar memiliki produksi yang berskala kecil, aktivitas-aktivitas jasa dimiliki oleh perorangan atau keluarga, dan menggunakan teknologi yang sederhana. 118
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Kedua, umumnya para pekerja bekerja sendiri dan sedikit yang memiliki pendidikan formal yang tinggi. Ketiga,
produktivitas pekerja dan penghasilannya cenderung lebih rendah daripada sektor formal.
Keempat, para pekerja sektor informal tidak dapat menikmati perlindungan, seperti yang diperoleh dari sektor formal dalam bentuk jaminan kelangsungan kerja, kondisi kerja yang layak, dan jaminan pensiun.
Kelima, kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah pendatang baru dari desa yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sektor formal.
Keenam, motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan penghasilan, yang bertujuan hanya untuk dapat hidup (survive), bukan untuk mendapatkan keuntungan dan hanya mengandalkan pada sumberdaya yang ada pada mereka untuk menciptakan pekerjaan. Ketujuh, mereka berupaya agar sebanyak mungkin anggota keluarga mereka ikut berperan serta dalam kegiatan yang mendatangkan penghasilan dan meskipun begitu mereka bekerja dalam waktu yang panjang.
Kedelapan, kebanyakan di antara mereka menempati gubuk-gubuk yang mereka buat sendiri di kawasan kumuh (slum area) dan pemukiman liar (schelter), yang umumnya kurang tersentuh oleh pelayanan jasa, seperti listrik, air, transportasi, serta jasa-jasa kesehatan dan pendidikan. Pandangan Hidayat sebagaimana dikemukakan kembali oleh Kuncoro (2010:139), menyebutkan 10 ciri-ciri sektor informal sebagai berikut. 1. Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, 119
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha, 3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja, 4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini, 5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu subsektor ke subsektor lainnya, 6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif, 7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil, 8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja, 9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one man enterprises dan kalau mempekerjakan buruh berasal dari keluarga, 10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi, 11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota atau desa yang berpenghasilan rendah, meskipun demikian kadang-kadang ada juga yang berasal dari kalangan berpenghasilan menengah. Ozveren (2005) menyebutkan enam ciri sektor informal, yaitu (1) tingkat kompetisinya rendah, (2) mudah dimasuki, (3) harga produk ditentukan oleh pasar, (4) berkonsentrasi pada barang-barang eceran dengan harga rendah, (5) proses produksi bertumpu secara intensif pada tenaga kerja, dan (6) produktivitas rendah. Dalam survey di Brazil, Henley (2006) menyebutkan tiga karakter dari sektor informal, yaitu (1) tidak adanya kontrak tenaga kerja terdaftar, (2) tidak adanya tunjangan pensiun, dan (3) aktivitasnya berskala mikro. 120
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Tidak semua aktivitas informal dapat dimasukkan ke dalam sektor informal. OECD (2002) mengemukakan tiga kriteria sektor informal.
Pertama, kerja berada di bawah unit bisnis formal dalam hal mana subjek mengelola, perlindungan legal, dan pengakuan dalam ekonomi formal dan di luar itu adalah kerja ekonomi informal.
Kedua, meskipun kerja di luar aktivitas ekonomi informal, namun hal itu tidak dikategorikan sebagai ekonomi informal jika ia memproduksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal. Aktivitas yang kedua ini dalam terminologi OECD (2002:37) disebut dengan non-observed economy atau ekonomi tak teramati. Termasuk dalam ekonomi tak teramati adalah sektor underground, ilegal, dan informal atau undertaken oleh rumahtangga untuk tujuan akhir mereka. Produksi underground biasanya menghindari standar legal, seperti upah minimum, jam kerja maksimum, keamanan atau standar kesehatan. Produksi ilegal menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dijual atau kepemilikannya dilarang oleh hukum atau aktivitas produksinya biasanya legal, tetapi menjadi ilegal ketika disediakan oleh produser-produser yang tidak berwenang. Sektor informal mewakili bagian penting dari ekonomi dan pasar kerja di banyak negara berkembang. Kebanyakan aktivitas sektor informal menyediakan barangbarang dan jasa-jasa dimana produksi dan distribusinya legal. Perusahaan sektor informal biasanya memilih untuk mengambil barang-barang yang tidak terdaftar dan tidak ada lisensi agar supaya dapat menghindari peraturan dan mengurangi biaya produksi (OECD 2002:39).
Ketiga, aktivitas domestik, seperti menjaga atau memelihara rumah (home-care) tidak dapat dikategorikan sebagai aktivitas ekonomi informal.
121
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Definisi dan konsep sektor informal yang dikemukakan para sarjana, peneliti, dan lembaga di atas beranekaragam dan berbeda-beda dari sudut pandang mereka. Yang menarik dari semua itu adalah konsep sektor informal tidak berkaitan dengan produksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal sebagaimana diungkapkan OECD. Penelitian ini sepakat dengan pandangan OECD, bahwa produksi barang-barang dan jasa ilegal atau melalui black market tidak termasuk sektor informal. Dari sejumlah konsep sektor informal di atas, sektor informal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi yang memiliki karakteristik, yaitu usaha milik sendiri, berbasis sumberdaya lokal, skala operasinya kecil, teknologinya sederhana dan adaptif, tidak terdaftar, jauh dari jangkauan atau kurang adanya perhatian dari pemerintah, dan pasar kompetitif. Dalam penelitian ini, tidak semua pekerja sektor informal diteliti. Karakteristik sektor informal cukup beragam, tidak hanya dilihat dari jenis usaha yang dijalankan, tetapi juga lokasi, mobilitas, dan pelakunya. Atas dasar alasan tersebut, pedagang kaki lima (PKL) dipilih sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Pertimbangan memilih pedagang kaki lima (PKL) sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut.
Pertama, PKL memiliki mobilitas yang cukup tinggi daripada sektor informal lainnya. Kedua, PKL ditengarai sering bermasalah dalam relasinya dengan pemerintah.
Ketiga, di antara pekerja sektor informal lainnya, PKL paling sering mengalami penertiban dan penggusuran. Pedagang kaki lima (PKL) acapkali dipandang sebagai permasalahan dalam penataan ruang publik. Permasalahan muncul karena, di satu pihak, pemerintah dalam kebijakannya acapkali menertibkan PKL disertai penggusuran demi menciptakan kota yang bersih, indah, dan rapi. Pada pihak lain, 122
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
karena desakan ekonomi dan ketidakberdayaan yang ada pada dirinya, PKL terpaksa harus bekerja di jalanan atau tempat terlarang lainnya demi menyambung hidupnya, sehingga sikapnya cenderung melawan (resisten) terhadap upaya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah. Pedagang kaki lima (PKL) memiliki sejarah yang unik. Asal usul PKL dapat ditelusuri pada zaman penjajahan Belanda. Dahulu Belanda membuat peraturan, bahwa setiap jalan raya yang dibangun harus menyediakan sarana untuk pejalan kaki atau trotoar, yang lebarnya adalah lima kaki. Saat Indonesia merdeka, trotoar untuk pejalan kaki dimanfaatkan oleh pedagang untuk berjualan, demikian pula emperan toko. Awalnya mereka disebut pedagang emperan, karena menempati emperan toko, tetapi lama-kelamaan dijuluki “pedagang kaki lima” karena trotoar yang berlebar lima kaki digunakan pula untuk berjualan (Permadi 2007). Istilah PKL juga dipakai untuk menyebut pedagang gerobak beroda, dimana jika ditambah dengan kaki pedagangnya, maka jumlah kakinya lima, sehingga dinamakan pedagang kaki lima. Akronim kaki lima dimaknai pula sebagai kanan kiri lintas manusia, maksudnya adalah PKL berada di jalur pejalan kaki (trotoar dan emperan toko), sehingga banyak orang berlalu lalang di samping kanan dan kiri PKL. Dalam perkembangannya, PKL tidak hanya menggunakan gerobak roda tiga atau berjualan di trotoar dan emperan toko, tetapi mereka juga berjualan menggunakan kios semi permanen atau tidak permanen, memakai lapak atau tanpa lapak, memakai dasaran seadanya, menjual barang, buah-buahan, sayuran, makanan, atau minuman yang biasanya tidak ada jaminan mutunya. Semula aktivitas PKL dibiarkan pemerintah dan tidak dipajaki, tetapi karena ada sisi positif (misalnya sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah) dan negatif (dipandang 123
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
mengganggu kebersihan, keindahan, dan keamanan kota), maka hampir semua pemerintah daerah di Indonesia membuat Perda untuk mengatur keberadaan PKL. Pedagang kaki lima atau PKL yang mudah diatur, dikendalikan, dan bisa diajak kerjasama (dikooptasi), diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat berjualan dengan aman. Mereka inilah yang ditarik retribusi dan mendapatkan perlindungan seperlunya dari pemerintah. Mereka disebut PKL terorganisasi atau lazim dinamakan PKL saja. Wijayaningsih (2002) menyebutnya sebagai PKL tertata. Sementara PKL yang dipandang sulit diatur, sering membangkang, tidak patuh kepada pemerintah daerah, melakukan perlawanan ketika ditertibkan; tidak dipajaki, dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari pemerintah, bahkan mereka sering mendapat perlakuan kasar dari aparat. Mereka ini dinamakan PKL liar. Wijayaningsih (2002) menamakannya PKL terbina. Tipologi dari PKL tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2. Tipologi Pedagang Kaki Lima (PKL) Tipe PKL Karakteristik PKL Memiliki organisasi PKL (terorganisasi) Ditarik retribusi atau iuran Tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar Mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman Mendapat perlindungan dari pemerintah Menjadi mitra pemerintah PKL liar Tidak memiliki organisasi atau jika memiliki hanya sekedar memenuhi formalitas (ada tetapi pasif) Tidak ditarik retribusi atau iuran Tidak tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar Tidak mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman Tidak mendapat perlindungan dari pemerintah Menjadi beban bagi pemerintah dan terkadang menjadi musuh pemerintah (Diolah dari berbagai sumber)
Istilah PKL terorganisasi dan PKL liar, sepertinya tampak rancu dengan istilah PKL yang merupakan bagian dari sektor informal. Secara teoretis, semua PKL merupakan bagian dari 124
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
sektor informal atau termasuk unit kegiatan ekonomi yang tidak resmi. Namun kenyataan di lapangan atau realitas objektif, menunjukkan adanya dua tipe PKL, yaitu PKL yang terorganisasi dan PKL tidak terorganisasi atau liar. PKL terorganisasi atau disebut PKL adalah PKL yang berada pada fase transisional dan oleh pemerintah diharapkan dapat dialihkan menjadi unit kegiatan sektor formal, sedangkan PKL liar, adalah PKL yang tidak terorganisasi atau jika terorganisasi sudah tidak aktif lagi, yang dalam realitasnya tetap eksis menjalankan aktivitas ekonomi, tidak bermaksud untuk beralih menjadi sektor formal, karena keterbatasan yang mereka miliki, dan biasanya jauh dari jangkauan perhatian pemerintah. PKL liar eksis dalam kegiatan ekonomi dan kebanyakan menempati ruang publik. Untuk memudahkan dan mengarahkan fokus analisis penelitian disertasi ini, istilah PKL liar relevan digunakan sebagai variabel dari penelitian ini. Istilah PKL terorganisasi dan PKL liar di atas, dimaknai dalam kaitannya dengan persoalan pengakuan (legitimasi) pemerintah, di mana PKL yang terorganisasi adalah PKL yang diakui oleh pemerintah dengan diberi legalisasi secukupnya, sedangkan PKL liar adalah PKL yang tidak diakui dan tidak memperoleh legalitas dari pemerintah. PKL liar, yang menjadi unit analisis penelitian adalah mereka yang menjalankan usaha atau bisnis warungan (nasi, mie ayam, rokok, dan lain-lain), menjual pakan burung, menjual bensin, menjual perkakas rumahtangga dan alat-alat pertanian, menjual VCD, menjual hand phone bekas, menjual onderdil sepeda motor dan sepeda bekas maupun baru, menjual mebel dari kayu sisa ekspor, reparasi radio, tape, dan alat-alat elektronik lainnya, bengkel sepeda dan sepeda motor, tukang las, dan sebagainya. Mereka menempati wilayah terlarang atau tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti di trotoar, badan jalan umum, tanah atau lahan kosong milik negara atau 125
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
masyarakat, lingkungan jalan masuk pasar tradisional dan modern, serta di tepi bantaran sungai. Para PKL yng diteliti ini menjalankan usaha di tempat terlarang, yakni di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Mereka berani berdagang di tempat terlarang tersebut, karena banyak di antaranya yang memiliki surat izin berdagang dari pemerintah kecamatan dan kelurahan. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa mereka bersikukuh tidak mau direlokasi. Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, yang secara fisik meratakan dan merapikan pinggiran sungai, termasuk lokasi yang digunakan oleh para PKL, menyebabkan banyak PKL yang pada akhirnya terpaksa bersedia pindah atau direlokasi ke tempat lain, meskipun banyak juga di antara mereka yang kembali pindah ke tempat semula. Kebandelan dan ketidakpatuhan dari PKL inilah yang membuat mereka disebut dengan PKL liar. Sifat dinamis, dalam arti PKL mudah berpindah tempat dan tidak selalu menempati wilayah yang sama dalam melakukan aktivitasnya, juga menjadi indikator mengapa mereka digolongkan ke dalam PKL liar. Di antara ketiga lokasi PKL yang diteliti, satu komunitas PKL sudah berpindah lokasi, yaitu PKL Basudewo. PKL Sampangan yang menempati wilayah dekat sungai Kaligarang, tetap berdagang di sebelah selatan lokasi yang sudah digusur. Meskipun demikian, ada kemungkinan mereka juga akan digusur kembali, mengingat pasar Sampangan yang lama telah dibongkar dan pada akhir Januari 2012 telah dipindah ke lokasi pasar Sampangan yang baru. Masa depan PKL Sampangan tidak jelas, mengingat proyek normalisasi sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat diperkirakan baru selesai pada tahun 2014. Meskipun sudah dilarang tidak boleh menempati area di tepi sungai Banjir Kanal Barat, hingga kini PKL liar masih nekat menjalankan aktivitas ekonomi di tempat tersebut; tetapi pada 126
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
saatnya mereka pun akan pindah jika pihak proyek normalisasi sungai merapikan tepi di kanan kiri sungai Banjir Kanal Barat. 2. Pandangan tentang Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima (PKL) Dalam penelitian ini, pertanyaan yang mengundang perdebatan panjang adalah apakah sektor informal merupakan transisi atau bersifat sementara, yang nantinya akan beralih menjadi sektor formal ataukah sektor informal tetap ada hidup berdampingan dengan sektor formal. Berikut ini dijelaskan pandangan atau pendekatan mengenai sektor informal, dalam kaitannya dengan sektor formal. Dalam konteks hubungan dengan sektor formal, terdapat dua kubu yang memiliki pandangan berbeda mengenai keberadaan sektor informal. Pandangan atau pendekatan pertama adalah The Benign Relationship. Pendekatan ini memahami sektor informal sebagai upaya angkatan kerja yang tidak tertampung dalam kegiatan produktif, sehingga menciptakan lapangan kerja sendiri untuk mendapatkan penghasilan (Mustafa 2008:31). Dalam pendekatan tersebut, sektor informal dipandang sebagai kegiatan yang perlu dikembangkan dengan mengintegrasikannya ke dalam sektor formal. Penganut pendekatan ini adalah ILO, Oshima, Sethuraman, Weeks, McGee, Webb, dan Mazumbar. Webb dan Mazumbar misalnya, meyakini bahwa sektor informal merupakan sumber dan potensi pertumbuhan ekonomi (Mustafa 2008:32). Sejalan dengan meningkatnya gerak pembangunan, kegiatan sektor informal dapat meningkat menjadi sektor formal. Pendekatan kedua, yaitu Subordination, meletakkan analisisnya pada skala makro (global), bahwa sektor informal merupakan subordinasi sektor formal (Mustafa 2008:32). 127
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Sektor informal ini merupakan bagian dari akumulasi skala dunia atau munculnya proses akumulasi modal dari negaranegara dunia ketiga kepada negara-negara dunia pertama. Hal ini terjadi karena struktur perekonomian dunia bersifat eksploitatif, dimana yang kuat mengeksploitasi yang lemah (Budiman 1995:41). Modernisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, menggambarkan adanya rantai eksploitasi (chain of exploitation) antara negara pusat dan pinggiran serta sebuah lukisan yang jelas antara negara maju dan belum maju (Crewe and Elizabeth Harrison 1998:27). Akibatnya, surplus dari negara-negara dunia ketiga beralih ke negara-negara industri maju. Eksistensi sektor informal ditengarai sebagai bentuk keterasingan ekonomi nasional yang tercipta karena tidak seimbangnya sistem ekonomi dunia. Penganut pendekatan subordination adalah Quijano, Nun, Santos, Bose, Gerry, Bienefeld dan Godfrey. Sebagaimana diyakini Quijano, Nun, dan Santos bahwa sektor informal berdiri sendiri dan terpisah dari kegiatan ekonomi perkotaan lainnya. Sektor informal memiliki kemandirian lebih tinggi dan dapat hidup berdampingan dengan sektor formal. Selaras dengan pendekatan kedua ini, Soeroso (1978:3) menyatakan bahwa sektor informal merupakan sektor ekonomi yang dinamis, efisien, dan menguntungkan secara ekonomi mengingat pelakupelakunya mempunyai potensi wiraswasta yang kreatif. Berkaitan dengan dua pendekatan berbeda tentang sektor informal di atas, Sasono (1982:10) mengemukakan pandangan dikotomis tentang sektor informal.
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa sektor informal memiliki hak penuh untuk hidup dan berkembang karena dapat membantu proses pembangunan dalam penyediaan lapangan kerja bagi mereka yang kurang berpendidikan dan keterampilan. 128
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa sektor informal tidak memiliki hak hidup karena hanya akan menghambat efisiensi pengembangan ekonomi dan pembangunan, terutama mengganggu ketertiban dan kebersihan kota. Tiadanya hak hidup bagi sektor informal ini barangkali berkaitan dengan kecilnya sumbangan penghasilan sektor informal kepada negara (Sookram and Watson 2008). Sookram and Watson (2008) mengajukan dua sudut pandang berkaitan dengan keberadaan sektor informal. Pandangan tradisional menyatakan sektor informal sebagai sumber pendapatan bagi kelompok miskin dan juga berkaitan dengan pekerja tidak produktif yang dikeluarkan dari sektor formal. Pandangan terbaru menyatakan bahwa sektor informal memiliki potensi untuk mencapai level produktivitas yang tinggi melalui karakter kewirausahaan yang dinamis dari perusahaan mikro. Mereka juga menemukan bahwa sektor informal tidak hanya menjadi mekanisme kelangsungan hidup (survival) bagi orang miskin, tetapi juga sarana bagi individuindividu terpelajar dan terampil untuk menghindari pajak penghasilan. Meskipun diakui bahwa sektor informal, utamanya PKL memiliki sisi positif, tetapi banyak juga yang memandangnya sebagai hal negatif. Bromley (2000) mencatat 15 alasan yang dijadikan argumen untuk menolak keberadaan PKL.
Pertama, pedagang kaki lima tidak menyebar rata di berbagai sudut kota, melainkan terkonsentrasi pada beberapa lokasi tertentu yang menimbulkan kemacetan lalu lintas dan mengganggu pejalan kaki.
Kedua, karena terkonsentrasi di lokasi tertentu, pedagang kaki lima menyebabkan kecelakaan lalu lintas, polusi udara, menghalangi polisi, pemadam kebakaran, ambulans, dan kendaraan bermotor darurat lainnya. 129
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Ketiga, pemanfaatan ruang pedestrian oleh pedagang kaki lima memang dapat mengurangi kebisingan jalan dan polusi, tetapi hal tersebut juga mengurangi jumlah rute kendaraan bermotor dan menciptakan problem bagi kendaraan darurat. Keempat, pedagang kaki lima mungkin menutup akses gedung-gedung yang penuh kerumunan, seperti gedung teater, stadion, toko serba ada, dan mengembangkan tragedi dalam kejadian-kejadian kebakaran, ledakan, penyebaran gas beracun atau histeria massa. Kelima, pedagang kaki lima sering mencegah bisnis tepi jalan dan para pembeli potensial yang berjalan ke arah konsentrasi aktivitas bisnis sementara di jalanan.
Keenam, pedagang kaki lima sering gagal atau tidak memberi kuitansi, jaminan harga, pajak, harga jual dan pajak pertambahan nilai bagi pelanggannya. Ketujuh, dikarenakan pedagang kaki lima dapat dengan mudah meninggalkan lokasi atau merelokasi bisnisnya, maka mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk menipu pelanggannya dan menghindari peraturan daripada pedagang eceran yang sudah mapan.
Kedelapan, pedagang makanan dan minuman jalanan memiliki problem kesehatan, karena barang dagangannya dengan mudah terkena sinar matahari dan polusi udara. Kesembilan, pedagang kaki lima tidak memiliki standar profesi, tidak memiliki komitmen, dan tidak bertanggung jawab daripada pedagang tepi jalanan, dan biasanya menolak memberi jaminan dan menukar barang yang jelek serta tidak menerima keluhan pelanggan dan layanan perbaikan.
Kesepuluh, aktivitas pedagang kaki lima sering berlawanan dengan peraturan tenaga kerja, misalnya mempekerjakan anak-
130
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
anak muda, sehingga rawan terkena kekerasan, penculikan, dan perbuatan buruk lainnya.
Kesebelas, minoritas kecil pedagang kaki lima terlibat dalam perdagangan ilegal dan buruk, seperti mucikari, pelacuran, dan narkotika.
Keduabelas, pedagang kaki lima memberi kontribusi bagi ekonomi underground dan transaksi yang tidak terdokumentasi, tidak hanya melalui penjualan tetapi juga penyuapan kepada polisi dan petugas pemerintah kota. Ketigabelas, melalui aktivitas dan kemacetan yang tercipta, pedagang kaki lima membantu menyediakan kesempatan bagi pencopet dan pencuri. Keempatbelas, pedagang kaki lima tidak sedap dipandang, sering menciptakan suara ribut (gaduh) dan pelanggannya sering meninggalkan sampah di jalanan.
Kelimabelas, dalam pandangan kelompok marxis ortodok, pedagang kaki lima dipandang sebagai lambang surplus tenaga kerja dan kekurangan pekerjaan, sehingga mempromosikan konsumsi yang berkelebihan dan mendukung kapitalisme rendah. Argumen kontra-PKL datang dari elit urban dan pengusaha besar, yang memandang PKL sebagai sumber ketidaktertiban, kemacetan, dan kriminal. Pemerintah kota pun tampaknya lebih condong berkolaborasi dengan para pengusaha (investor) untuk membangun kotanya agar lebih berkembang, maju, bersih, rapi, dan tertib, ketimbang mentoleransi keberadaan PKL yang umumnya dipandang tidak mendukung terwujudnya kota yang bersih, rapi, tertib, dan nyaman.
131
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
3. Dinamika Pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa pertumbuhan sektor ekonomi informal berjalan beriringan dengan kemajuan sektor formal. Pertumbuhan sektor informal di Indonesia pada tahun 2004 hingga 2008 bahkan mampu melampaui pertumbuhan sektor formal. Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997 juga turut mendorong percepatan pertumbuhan sektor informal. Percepatan pertumbuhan sektor ini dipicu oleh hilangnya kesempatan kerja sektor formal dan meningkatnya jumlah penduduk miskin perkotaan dan pedesaan. Remi dan Prijono Tjiptoherijanto (2002:6) mengacu data BPS, membandingkan jumlah penduduk miskin tahun 1996 dan tahun 1998, berturut-turut angkanya adalah 34,5 juta dan 36,5 juta penduduk. Ini artinya, dalam kurun waktu 2 tahun, jumlah penduduk miskin naik sebanyak 2 juta orang. Harvey (2009:89) menyajikan data penduduk miskin lebih tinggi daripada data Remi dan Prijono, yakni pada tahun 1997-1998 penduduk miskin meningkat tajam menjadi 79,4 juta jiwa dari tahun sebelumnya, sebagai akibat dari krisis ekonomi. Meningkatnya pengangguran di perkotaan sebagai dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami para pekerja sektor formal, menyebabkan mereka jatuh pada lubang kemiskinan dan jalur satu-satunya untuk bertahan hidup adalah sektor informal. Data berikut menunjukkan bahwa angka pengangguran terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 5,18 juta orang pada tahun 1997 menjadi 6,07 juta orang pada tahun 1998, dan berturut-turut meningkat menjadi 8,90 juta orang (1999), 8,44 juta orang (2000), 8,01 juta orang (2001), 9,13 juta orang (2002), 9,53 juta orang (2003), 10,25 juta orang (2004), dan 10,9 juta orang pada tahun 2005 (Samhadi 2006:33). Sektor informal menjadi katup penyelamat bagi para 132
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
penganggur agar tidak terjerembab lebih dalam ke lembah kemiskinan. Jumlah orang Indonesia yang bekerja di sektor informal dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun 1998 jumlah pekerja sektor informal adalah 57,3 juta orang dan 4 tahun berikutnya meningkat menjadi 63,8 juta (Brata 2008:1). Penduduk yang bekerja pada sektor informal pada tahun 2005 mencapai 61 juta orang atau 64 persen dari seluruh penduduk yang bekerja (Rachbini 2006). Angka tersebut meningkat dari waktu ke waktu, karena penyerapan tenaga kerja pada sektor formal tidak cukup signifikan. Dibandingkan dengan tahun lalu, angka tersebut sedikit lebih tinggi (tahun 2004 sebesar 63,2 persen). Berdasarkan data BPS (2006), jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 224 juta orang; 106,28 juta orang termasuk angkatan kerja produktif; 95,18 juta bekerja dan masih bekerja, sedangkan 11,1 juta orang tidak bekerja. Dari jumlah itu; 60,77 juta orang bekerja sebagai buruh, sekitar 63,85% diantaranya bekerja pada usaha ekonomi informal (Zen dan Restu Mahyuni (ed) 2007:41). Dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada sektor formal, jumlah pekerja sektor informal lebih banyak. Jumlah pekerja sektor informal dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bahkan sejak tahun 2004 jumlah pekerja sektor informal di Indonesia mengalami peningkatan luar biasa. Data perkembangan sektor informal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
133
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tabel 3. Jumlah Pekerja Sektor Formal dan Informal Tahun 2004, 2005, 2006, dan 2008 Tahun Jumlah Pekerja Jumlah Pekerja Angkatan Kerja Formal Informal Produktif 2004 2005 2006 2008
34,50 34,50 34,40 28,97
juta juta juta juta
59,20 60,60 60,70 73,53
juta juta juta juta
93,7 juta 94,9 juta 95,1 juta 102,5 juta
Sumber : BPS (2006, 2008)
Dari data di atas, terlihat bahwa perkembangan sektor informal yang paling signifikan terjadi pada tahun 2008. BPS menunjukkan bahwa dari 102,5 juta pekerja Indonesia, 73,53 juta orang atau 72% bekerja di sektor informal. Dibandingkan mereka yang bekerja pada sektor informal, jumlah orang yang bekerja pada sektor formal mengalami stagnasi, bahkan pada tahun 2006 jumlahnya turun dibandingkan tahun 2005 (turun 100.000 pekerja). Sementara itu, jumlah pekerja sektor informal mengalami peningkatan yang signifikan, dimana pada tahun yang sama (2006) jumlahnya naik 100.000 orang, dan tahun 2005 kenaikannya cukup tajam yaitu 1.400.000 orang dari tahun sebelumnya. Bahkan pada tahun 2008, jumlah pekerja sektor informal naik sangat tajam sebanyak 12,83 juta orang dari dua tahun sebelumnya. Faisal Basri dan Haris Munandar memiliki data perkembangan sektor informal yang tidak jauh berbeda dengan data BPS. Bedanya, Basri dan Munandar merinci komponen sektor informal ke dalam 5 komponen, yaitu bekerja sendiri, bekerja sendiri plus asisten tidak tetap, buruh musiman pertanian, buruh musiman nonpertanian, dan pekerja tanpa upah tetap. Seperti halnya data sektor informal yang diungkapkan BPS, jumlah penduduk yang menjalankan aktivitas ekonomi pada sektor informal sebagaimana dikemukakan Basri dan Munandar juga lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja sektor formal. Data 134
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
perkembangan sektor informal menurut Basri dan Munandar, selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4. Jumlah Penduduk Indonesia yang menekuni Sektor Formal dan Sektor Informal Status Jumlah Penduduk Indonesia (juta jiwa) Ketenagakerjaan 2005 2006 2007 Sektor Formal 28,65 29,67 30,92 Majikan 2,91 2,85 2,88 Pegawai Tetap 25,74 26,82 28,04 Sektor Informal 66,30 65,78 69,00 Bekerja sendiri 17,48 19,50 20,32 Bekerja sendiri plus 21,24 19,95 21,02 asisten tidak tetap Buruh musiman 4,95 5,54 5,92 pertanian Buruh musiman 4,09 4,62 4,46 nonpertanian Pekerja tanpa upah tetap 18,54 16,17 17,28 Jumlah total 94,95 95,46 99,93 Sumber: Basri dan Haris Munandar (2009:66).
Data tentang jumlah pekerja sektor informal tahun 2005 sebagaimana disajikan Basri dan Haris Munandar dalam tabel di atas memiliki selisih yang cukup tajam dibandingkan dengan data yang dimiliki BPS, yaitu 5,7 juta pekerja. Demikian pula, data tahun 2006, menunjukkan selisih 5,08 juta pekerja sektor informal. Data jumlah pekerja sektor informal yang dimiliki Basri dan Haris Munandar lebih banyak daripada data BPS, dapat dipahami karena Basri dan Haris Munandar memperoleh data dari berbagai sumber dan diolahnya sebagaimana tersaji dalam tabel 4. Dalam perkembangan selanjutnya, yakni pada tahun 2010, BPS (2010:39) melaporkan bahwa hingga bulan Pebruari 2010 sekitar 31,41 persen tenaga kerja bekerja pada kegiatan formal dan 68,59 persen bekerja pada kegiatan ekonomi sektor informal. Jumlah tenaga kerja yang bekerja (penduduk yang berusia 15 tahun ke atas) di sektor formal dan informal pada saat itu adalah 107.405.570 orang. Jika penduduk yang bekerja pada sektor informal sebanyak 68,59 persen dari 107.405.570 135
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
tenaga kerja, berarti mereka yang bekerja pada sektor informal sebanyak 73.669.480 orang atau 73,67 juta orang. Dibandingkan jumlah tenaga kerja sektor informal pada tahun 2008 (73,53 juta), pekerja yang bekerja pada sektor informal mengalami peningkatan sebanyak 0,14 juta atau 140.000 orang. Lapangan kerja utama yang mereka masuki adalah pertanian, industri, konstruksi, perdagangan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, jasa kemasyarakatan, dan lainnya. Mishra (2010) mengungkapkan data jumlah pekerja sektor informal tidak jauh berbeda dengan data pekerja serupa yang disajikan BPS, yaitu sebanyak 72,4 juta dari 108,2 juta tenaga kerja Indonesia. Dalam catatan Mishra (2010), jumlah pekerja sektor formal sebanyak 35,8 juta orang. Data pekerja sektor informal yang disajikan BPS 1,27 juta lebih tinggi daripada data Mishra. Barangkali masih ada lagi data jumlah pekerja sektor informal yang dikemukakan oleh perorangan atau lembaga. Perbedaan data bisa dipahami, mengingat sulitnya mendata pekerja sektor informal. Selain mobilitasnya tinggi, pekerjaan sektor informal cepat tumbuh dan mati, karena banyak di antara mereka yang menjalankan usaha atau bisnis di tempat-tempat yang sulit dideteksi dan dijangkau oleh pemerintah. Masih banyaknya jumlah pekerja sektor informal dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia, menunjukkan bahwa kinerja perekonomian Indonesia belum baik. Dominasi pekerjaan sektor informal di Indonesia, bukanlah kenyataan ekonomi dan sosial yang menggembirakan. Dalam pandangan Basri dan Munandar (2009), semakin kecil sektor informal dalam perekonomian dan semakin besar sektor formalnya, maka akan semakin baik perekonomian dari negara yang bersangkutan. Sektor informal bukan entitas ekonomi yang ideal, karena pada hakikatnya sektor informal merupakan sebuah entitas 136
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
yang muncul sekadar untuk bertahan hidup (survival economy) atau sesuatu yang bersifat darurat (Basri dan Munandar 2009). Apa yang dikemukakan Basri dan Munandar tentang status sektor informal tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. Memang yang paling ideal adalah jika seluruh struktur perekonomian Indonesia diisi oleh sektor formal, karena dengan demikian penghasilan negara dari pajak dapat digenjot lebih tinggi. Namun, dalam realitasnya, kemampuan negara dan masyarakat dalam menyediakan lapangan kerja untuk mengisi sektor formal sangat terbatas. Pengalaman Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan hal tersebut. Jumlah penduduk yang memilih bekerja sebagai pekerja sektor informal melebihi jumlah pekerja sektor formal. Selain itu, kualitas tenaga kerja Indonesia juga tidak memungkinkan mereka dapat mengisi seluruh pekerjaan sektor formal, karena berbagai keterbatasan, seperti rendahnya pendidikan, keterampilan kurang, modal yang dimiliki kecil, dan akses terhadap sumber daya rendah karena kemiskinan yang membelenggu mereka. Faktor-faktor tersebut membuat sektor informal hingga kini masih mendominasi struktur perekonomian Indonesia. Tidak seperti halnya dengan sektor formal yang menuntut kualifikasi pendidikan tertentu, misalnya serendah-rendahnya sarjana, sektor informal tidak mensyaratkan kualifikasi pendidikan dalam jenjang tertentu. Mereka yang terlibat dalam aktivitas ekonomi informal biasanya berpendidikan rendah dan yang paling banyak adalah SD, bahkan banyak diantaranya yang putus sekolah (drop-out). Tabel di bawah ini menginformasikan hal tersebut.
137
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tabel 5. Pekerja Sektor Informal dilihat dari Tingkat Pendidikan No Latarbelakang Pendidikan Jumlah Total Persentase (juta) 1. Tidak tamat SD 14,337 23,66 2. SD 28,026 46,12 3. SMP 12.031 19,80 4. SMA 5.939 9,78 5. Diploma/Akademi 0,166 0,27 6. Universitas 0,23 0,37 Jumlah 60,769 100 Sumber: Sakernas (2006)
Area bisnis yang dimasuki sektor informal beraneka macam, baik yang bergerak pada sektor pertanian, industri pengolahan, jasa, konsultasi, dan lain-lain. Jumlah angkatan kerja yang paling banyak ada pada sektor pertanian dan paling sedikit pada jasa konsultasi. Data selengkapnya dapat dicermati pada tabel di bawah ini. Tabel 6. Distribusi Angkatan Kerja Sektor Informal berdasarkan Wilayah Bisnis No. Sektor Jumlah Angkatan Kerja (dalam juta) 1. Pertanian 39,22 2. Industri Pengolahan 2,84 3. Pelayanan Jasa 10,09 4. Konsultasi 1,93 5. Lain-lain 6,68 Sumber : Zen dan Restu Mahyuni (ed) (2007:42)
Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan banyak pekerja sektor formal terlempar. Hal ini disebabkan banyak perusahaan dan pabrik harus melakukan rasionalisasi akibat melemahnya nilai rupiah terhadap dollar. Akibatnya, banyak pekerja yang diberhentikan, supaya mereka tetap bertahan hidup. Mereka yang terlempar dari pekerjaan sektor formal, dengan sebagian uang yang dipunyai, kemudian terjun bekerja dalam sektor ekonomi informal. Pasca krisis ekonomi tahun 1997, perkembangan sektor informal (PKL) berlangsung cukup pesat, tidak hanya di ibukota negara, tetapi juga di kota-kota besar di daerah, termasuk kota Surabaya. Menurut sebuah penelitian, tercatat 138
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
sekitar 700 ribu lebih PKL yang memenuhi sudut-sudut ruang kota Surabaya (Alisjahbana 2009:3). Jumlah PKL yang hampir menyentuh angka 1 juta tersebut merupakan potensi luar biasa bagi pembangunan ekonomi kota Surabaya, yang jika tidak ditangani dengan baik akan berubah menjadi malapetaka serius bagi stabilitas sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kota Surabaya. Peran ekonomi sektor informal sebagai penampung pekerja sektor formal juga terjadi di beberapa kota di negara-negara sedang berkembang lainnya. Sektor informal justru berfungsi seperti busa, yakni menyerap luberan para pekerja sektor formal yang terlempar dari sektor formal, terutama akibat dari krisis ekonomi, sebagaimana terjadi pada tahun 1997. Di Thailand misalnya, data statistik menunjukkan bahwa jumlah pekerja jalanan atau sektor informal berkembang secara subtansial setelah krisis finansial melanda Thailand pada tahun 1998 (Terravina 2006:2). 4. Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) Matsumoto (ed) (2009:442) mengartikan resistensi atau
resistance sebagai suatu proses menentang, melawan, atau bertahan dari sesuatu atau orang lain. Resistensi atau resistance diartikan sebagai suatu mekanisme penentangan yang disadari maupun tidak disadari untuk membuka material bawah sadar. Resistensi tersebut berkaitan dengan mekanisme pertahanan psikologis yang mendasar melawan dorongan-dorongan dari id yang mengancam ego (Bhatia 2009: 352). Chaplin (2005:431) mendefinisikan resistensi sebagai suatu oposisi sosial atau negativisme dalam mereaksi terhadap perintah, peraturan, dan kebijakan politik.
139
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Knowles dan Linn (2004:5) memahami konsep resistensi dari aspek motivasionalnya, yakni sebagai motivasi untuk melawan tekanan-tekanan terhadap perubahan. Lewin sebagaimana dikutip Gravenhorst (2003:4) memaknai resistensi sebagai reaksi individual terhadap rasa frustrasi karena adanya tekanan dari suatu kekuasaan yang kuat. Menurut McFarland (2004:1251), resistensi merupakan tipe perilaku nonkonformis yang mempertanyakan legitimasi dari suatu tertib sosial. Tindakan resistensi berusaha untuk mengubah tertib sosial dan berkembang menjadi proses yang lebih besar menyerupai suatu drama sosial. Drama sosial ini merupakan perubahan episode dari tindakan sosial yang seterusnya dapat meledak dari permukaan kehidupan sosial yang rutin dan halus. Melalui aktivitas resistensi, tertib sosial didekonstruksi dan direproduksi dari bentuk lama menjadi suatu bentuk baru. Watson memandang resistensi sebagai suatu reaksi alamiah dari individu untuk menciptakan situasi yang stabil (Gravenhorst (2003:5). Resistensi ini merupakan reaksi atau kekuatan melawan perubahan, sebagaimana dilihat Kotter, Schlesinger, Sathe dan Mullins (Gravenhorst (2003). Resistensi juga dipahami sebagai reaksi alamiah individu terhadap sesuatu yang secara signifikan mengancam status quo. Perubahan yang dipaksakan kepada individu dapat mengganggu harapan-harapan dan individu bisa kehilangan nilai-nilai tertentu (Gravenhorst (2003). Dalam skala yang lebih luas, resistensi dapat berubah menjadi pemberontakan (rebellion) dan revolusi. Jika resistensi sangat terorganisasi, sistemik, dan melibatkan banyak komponen masyarakat, maka resistensi dapat berubah menjadi pemberontakan (rebellion). Pemberontakan (rebellion) tidak ditujukan kepada pemerintah lokal, tetapi ia sebagai perlawanan 140
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
terbuka terhadap kekuasaan, khususnya yang dilakukan oleh kekuatan bersenjata melawan pemerintah (pusat) yang sah dan establish. Pemberontakan dapat menjadi suatu revolusi ketika para pemberontak berhasil melakukan atau mencapai tujuannya. Revolusi Amerika (1775-1783), revolusi Perancis (1789-1795) dan revolusi Rusia (1917) merupakan contoh dari sebuah perlawanan dan pemberontakan yang menghasilkan suatu revolusi. Resistensi yang dilakukan PKL tidak dapat dikategorikan sebagai pemberontakan, karena sifatnya hanya lokal, ditujukan kepada pemerintah kota, dan tidak dimaksudkan untuk merebut kekuasaan yang sah. Dari berbagai pandangan tersebut, resistensi dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai suatu sikap menentang perubahan dan sebagai suatu perilaku nonkonformis yang mengubah suatu tertib sosial. Dalam disertasi ini, resistensi dipahami sebagai suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang, dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan posisi status quo mereka yang selama ini sudah dapat menikmati aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang oleh PKL sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup mereka, yang belum tentu memberi jaminan dengan kepindahannya di tempat baru, mereka akan menikmati hidup lebih baik. Inilah yang menyebabkan para PKL bersikap resisten ketika ditertibkan, digusur, dan dipindahkan. Resistensi sejatinya merupakan tindakan menolak untuk tunduk, patuh dan memenuhi perintah atau peraturan yang ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang. PKL menolak untuk tidak patuh dan tidak tunduk kepada perintah relokasi dari Pemkot bisa dipandang sebagai resistensi negatif, karena tidak patuh terhadap Perda yang mengatur pedagang kaki lima. Namun pada sisi lain, resistensi yang diperlihatkan 141
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
para PKL di tiga lokasi dapat juga berkonotasi positif, karena penolakan dan perlawanan mereka diduga dapat memengaruhi cara pandang dan kebijakan Pemkot dalam menata PKL di kota Semarang. Gerakan perlawanan Perancis selama Perang Dunia Kedua, merupakan contoh resistensi yang berkonotasi positif dan romantik, karena tindakan pemberontak berjuang melawan kekuasaan tirani. Resistensi pemberontak Perancis ini lebih cocok disebut “Resistance Fighters” atau “Freedom Fighters” daripada pemberontakan atau rebellion. Resistensi atau perlawanan seseorang atau kelompok berkaitan dengan sikap,
tindakan, dan respon terhadap
perubahan. Perubahan bisa membuat orang atau kelompok cemas dan hilang harapan (hopeless) yang menurut persepsinya bisa mengancam kelangsungan hidupnya. Seperti halnya yang dialami pedagang kaki lima di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono ketika ditertibkan, digusur, dan direlokasi, respon mereka
bermacam-macam.
Ada
yang
bisa
beradaptasi
(adaptation) dengan bersedia pindah ke gedung PKL Kokrosono, meskipun jumlahnya tidak banyak; ada yang bisa menerima
(acceptance) keputusan dan kebijakan Pemkot untuk pindah atau sama sekali tidak bekerja sebagai PKL; ada yang kaget
(shock), sehingga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah; dan ada pula yang bersikap defensif (defensive), yakni bertahan di lokasi untuk melakukan pembelaan diri dengan melawan kebijakan yang ditempuh Pemkot. Dari empat respon PKL terhadap kebijakan relokasi, sikap yang terakhir, yaitu defensif yang paling dominan diperlihatkan PKL. Visualisasi dari respon
142
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
PKL terhadap kebijakan relokasi dapat dilihat pada gambar berikut.
Adaptation
Shock
1
2
3
4
Acceptance
Defensive
Gambar 8. Respon PKL terhadap Kebijakan Relokasi
D. Kerangka Berpikir Dari uraian kajian teori di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah, terutama dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan lebih berorientasi kepada neoliberalisme. Paradigma tersebut jelas bertentangan dengan isi pembukaan UUD 1945, terutama dalam kaitannya dengan
fungsi pemerintah sebagai pihak yang bertanggung
jawab dalam memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah negara Indonesia yang telah terintegrasi ke dalam kapitalisme internasional, dalam kegiatan pembangunan nasional lebih mengutamakan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi. Dalam praktik kebijakannya, pemerintah mengambil berkolaborasi
strategi dengan
memacu
peningkatan
investor
atau
lebih banyak investasi produsen
dan yang 143
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
sumbangannya besar (well-endowed producer) yang dapat membantu
upaya
negara
mencapai
tujuannya.
Tidak
mengherankan jika kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat diikuti oleh pemerintah daerah dengan lebih banyak mendorong dan menciptakan iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhan sektor formal daripada perkembangan sektor informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL). Mereka yang bekerja pada sektor formal, utamanya para investor dan produsen well-endowed yang mendapatkan perhatian besar dari pemerintah daerah. Sementara itu, para pengusaha
atau
pekerja
sektor
informal,
yang
dinilai
sumbangannya kecil baik untuk GNP, GDP, maupun PAD kurang mendapatkan dukungan yang memadai. Kebijakan daerah melalui berbagai peraturan yang diterbitkan cenderung tidak memihak pada kepentingan para pekerja sektor informal, sehingga para pekerja sektor informal khususnya PKL tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Dalam
kenyataannya,
menempuh
kebijakan
pemerintah yang
daerah
cenderung
menyebabkan
terjadinya
domestifikasi atau penjinakan terhadap para pekerja sektor informal, khususnya PKL liar. Tidak jarang cara kekerasan, baik simbolis
maupun
langsung,
dipakai
pemerintah
untuk
menertibkan para PKL liar. Para PKL yang banyak menggantungkan hidupnya dengan bekerja pada sektor informal tidak tinggal diam. Mereka melakukan
perlawanan
(resistensi)
terhadap
pemerintah.
Perlawanan ini diduga tidak dapat dilakukan sendiri secara individual, sebab dalam kenyataannya para PKL yang umumnya 144
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
tidak terdidik (un-educated) dan tidak terampil (un-skill) tidak memiliki sumberdaya kekuasaan. Dalam relasinya dengan pemerintah, posisi PKL lemah. Diduga ada suatu modal sosial, yang lahir dari interaksi sosial dalam struktur sosial yang dikembangkan oleh PKL yang terbangun melalui bonding
social capital dan bridging social capital, yang mendorong para PKL bertindak kolektif
melakukan perlawanan terhadap
pemerintah. Perlawanan (resistensi) yang dilakukan PKL adalah perlawanan
rakyat kecil, yang tujuannya adalah untuk
menyambung hidup atau mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival). Gambar berikut memperjelas bagaimana kerangka berpikir dari penelitian ini. Kebijakan Pemerintah
Domestifikasi
Kekerasan Simbolik dan Langsung
Survival PKL
PKL liar Resisten terhadap Kebijakan Modal Sosial
Gambar 9. Kerangka Berpikir Penelitian
145
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
E. Rangkuman Sektor informal merupakan sektor ekonomi yang eksis tidak hanya pada masa krisis ekonomi, tetapi juga berlanjut terus menjadi bagian dari kehidupan ekonomi nasional. Pandangan bahwa sektor informal merupakan transisi menuju sektor formal tidak selamanya benar, karena dalam kenyataan di negara-negara berkembang, sektor ini tumbuh dan berkembang seperti busa penyerap tenaga kerja yang berasal dari pedesaan atau pun pekerja urban, yang karena keterbatasannya tidak mungkin diserap seluruhnya oleh sektor formal. Pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu jenis dari pekerja sektor informal merupakan fenomena riil dari keberadaan sektor informal yang tidak bisa dilihat semata-mata sebagai pekerja transisional, yang nantinya diharapkan menjadi pengusaha sektor formal. Mereka kebanyakan berpendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, modal kecil, teknologi yang digunakan rendah, pekerjaan sering ditangani sendiri atau dibantu oleh keluarganya, dan tidak memiliki akses terhadap lahan atau kredit. Banyak di antara mereka menjadi PKL sebagai satu-satunya harapan untuk menggantungkan hidup. Ada di antara mereka yang sukses secara ekonomi dan mungkin bisa beralih pada pekerjaan sektor formal, namun jumlahnya tidak banyak. Keterbatasan pemerintah untuk menyediakan lahan strategis bagi kelangsungan hidup PKL merupakan salah satu kendala mengapa banyak PKL yang menempati ruang publik yang sesungguhnya tidak boleh digunakan untuk berdagang. Pemerintah kota Semarang, seperti halnya pemerintah daerah lainnya, menghadapi dilema berkaitan dengan keberadaan PKL. Di satu sisi, pemerintah harus dapat menyediakan akses dan fasilitas yang dapat menarik investor, yakni dengan membangun kota yang dapat dilihat indah, asri, bersih, nyaman, dan aman untuk iklim usaha; tetapi di sisi lain 146
BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
banyak PKL menjalankan aktivitas ekonomi di area atau ruangruang publik, seperti di trotoar, di taman, di tepi jalan dekat sungai, dan ruang publik lainnya, sehingga menyebabkan jalan dan ruang publik di kota menjadi semrawut, kotor, tidak asri, tidak tertib, dan tidak terjamin keamanannya. Dilema ini berkaitan dengan sikap yang harus diambil, apakah harus pro investor yang dalam jangka pendek dapat meningkatkan pendapatan daerah, yakni dengan menertibkan PKL atau membiarkan PKL menjalankan aktivitas ekonominya, tetapi tidak menjamin upaya mewujudkan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa. Kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah, umumnya berasal dari problem nyata yang dihadapi masyarakat dan tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan pelayanan sekaligus kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana pandangan Hayek, kebijakan yang ditetapkan pemerintah diharapkan dapat memastikan tatanan masyarakat dan perekonomian dapat berjalan tanpa banyak campur tangan dari negara atau pemerintah. Terlalu banyak mengatur keberadaan PKL tentu saja tidak menguntungkan pemerintah kota Semarang, tetapi tidak mengatur sama sekali, pemerintah bisa kehilangan potensi investasi dan pemasukan pendapatan bagi daerah. Kebijakan yang ditempuh pemerintah kota Semarang utamanya dalam menangani PKL tidak utuh, bahkan tidak mendasarkan pada pedoman yang jelas, sehingga ada kesan tambal sulam atau bersifat reaktif. Dalam perspektif Machiavelli, kebijakan yang diambil pemerintah kota Semarang cenderung hanya untuk meraih tujuan yang dikehendaki pemegang kekuasaan, yaitu mengejar investasi agar Semarang dalam waktu dekat setara dengan kota-kota metropolitan lainnya. Strategi jangka pendek, yaitu dengan melakukan penertiban dan penggusuran terhadap PKL tidak membuat mereka akomodatif dan patuh memenuhi keinginan 147
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pemerintah, tetapi justru menimbulkan perlawanan (resistensi) di kalangan mereka. Resistensi PKL terhadap kebijakan relokasi yang disertai penggusuran merupakan tindakan kolektif, yang hanya terjadi ketika mereka memiliki perasaan bersatu, senasib dalam suka dan duka, serta diorganisasikan untuk melakukan tindakan bersama menentang kebijakan pemerintah. Para PKL yang sudah lama menempati lokasi berdagang, seperti halnya PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono telah menyatu dengan lahan tempat mereka bekerja. Muncullah identitas bersama, yakni PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono, yang tidak mudah dilepaskan dari kehidupan mereka, sehingga memindahkan mereka ke tempat lain merupakan kesulitan tersendiri bagi pemerintah. Interaksi sosial yang berlangsung lama menjadikan PKL seperti sebuah keluarga dengan keintiman hubungan di antara mereka. Relasi sosial yang sudah terbangun lama, dengan nilainilai kebersamaan, serta jaringan sosial yang dibangun oleh organisasi atau pun tokoh-tokoh kunci PKL, menguatkan adanya bonding social capital sekaligus terbangunnya jaringan interaksi dengan organisasi lainnya atau menampakkan adanya bridging social capital. Modal sosial inilah yang ditengarai menjadi faktor penguat resistensi PKL terhadap kebijakan pemerintah.
148