KEBIJAKAN TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) : DOMINASI STRUKTURAL DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Ainul Hayat*)
Abstraction : Has strategic location location in trade centres. this as cloister tradesman activity the fertile indicator so that accesses to location then be defended to whatever the sanction from orderliness apparatus. the problem, not orderly. this can show different importance dualism. one government side and a large part society wishes for publisher existence and in other side, cloister tradesman wishes for existence chances relatively free in use place at downtown to do the effort activity. the importance lays in structure and economy system. the economy system stills to go on in dualistic, between sector modern that can grow and traditional sector permanent in a state of subsistent. opinion formal hit economy dualism reflects traditional sector and modern, be two systems apart with has the history self. hence, economy system dualistic, contain dichotomy between modern-traditional, between village and town, between sector formal-informal, bations is blooming, so that such matter that be obstacle. in conventional economy development theory, the obstacle is said formed “devil circle”. the base, in poverty later on can evoke productivity and low society income. the theory, end in simple conclusion; poor bations can not bloom the economy for want of capital. Theory conclusion that's, be policies elite group thinking existence base and intellectual, with the history new stage that concentrates self in development efforts economy. All the national effort area subordination to economy development. Keyword : system, democratization, capital employed
Pendahuluan Perebutan ruang kota yang memiliki letak lokasi strategis pada pusatpusat perdagangan di kawasan kota, merupakan salah satu indikator penyebab tumbuh suburnya kegiatan bagi pedagang kaki lima. Jika dilihat, penggunaan ruang kota bagi sebagian pedagang kaki lima yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kota, dapat merugikan pihak-pihak lain. Namun kesalahan yang terjadi tidak dapat dilimpahkan hanya kepada pedagang kaki lima semata, mengingat tampat-tempat keramaian yang senantiasa dikunjungi dan dilalui oleh banyak orang sedemikian pentingnya bagi usaha informal khususnya
30
pedagang kaki lima, sehingga akses-akses ke lokasi tersebut akan terus dipertahankan apapun sanksinya dari aparat ketertiban. Saat ini, banyak kota di Indonesia yang belum mampu “menangani” masalah-masalah umum yang sering ditimbulkan oleh pedagang kaki lima. Mereka masih sering dibingungkan oleh semakin banyaknya dan tidak tertibnya pedagang kaki lima. Keberadaan pedagang kaki lima di lapangan selalu berhadapan dengan penggunaan fasilitas umum yang “terganggu” secara fungsional dan estetika, disamping masih banyak hal implikasi keberadaan pedagang kaki lima seperti kemacetan, keindahan dan kebersihan di sekitar lokasi tempat mereka berjualan. Dengan melihat kondisi yang demikian, seringkali muncul dualisme kepentingan yang berbeda, dimana pada satu sisi pemerintah dan sebagian besar masyarakat menghendaki adanya penertiban dalam penggunaan ruang bagi pedagang kaki lima. Sementara pada sisi yang lain, para pedagang kaki lima menghendaki adanya kesempatan secara relatif bebas dalam menggunakan tempat di pusat kota untuk melakukan kegiatan usahanya. Dalam hal ini, seringkali pemerintah kota/kabupaten mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan pedagang kaki lima seperti menertibkan dengan tindakan represif atau memindahkan lokasi pedagang kaki lima ke tempat-tempat tertentu yang dianggap tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota sehingga kesan kotor dan semrawut dapat dikurangi. Tetapi hal ini sering ditentang oleh para pedagang kaki lima karena tempat-tempat yang disediakan oleh pemerintah daerah tersebut dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat keramaian. Hal inilah yang menyebabkan para pedagang kaki lima meninggalkan tempat tersebut dan kembali berjualan secara liar di pusat keramaian kota. Memang dalam satu sisi, pemerintah ingin mengurangi tingkat pengangguran warganya, tapi di sisi lain kota yang biasanya indah dan rapi, akan menjadi kotor dan kumuh dengan tidak mau “diaturnya” pedagang kaki lima. Kenapa ini bisa terjadi ? Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia masih mengalami kejadian yang serba sulit dalam menata perekonomian ke depan. Pada masa sebelum kemerdekaan, ekonomi Indonesia telah dibentuk menjadi sistem ekonomi kolonial yang sangat disploitatif. Persoalannya adalah, apakah sesudah mencapai kemerdekaan, politik Indonesia telah berhasil membongkar struktur ekonomi kolonial yang kapitalis itu?. Usaha-usaha untuk membentuk ekonomi nasional, sudah tentu telah dilakukan, setidak-tidaknya secara formal, misalnya dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Meskipun kekuatan ekonomi asing memang telah dicabut dari bumi Indonesia pada saat nasionalisasi dilakukan, namun struktur dan sistem ekonomi kolonial masih tetap berlanjut, misalnya masih berlangsungnya sistem ekonomi yang dualistis, antara sektor modern yang bisa tumbuh dan sektor tradisional yang tetap dalam keadaan subsisten. Mengenai dualisme ekonomi ini terdapat perbedaan antara pandangan Boeke dengan pandangan kaum Marxist yang mengembangkan teori dominasi dependensi. Pandangan formal mengenai
31
dualisme ekonomi mengatakan bahwa sektor tradisional dan modern itu merupakan dua sistem yang terpisah serta mempunyai sejarahnya sendiri. Untuk bisa maju, maka sistem ekonomi subsisten harus dirubah dan berintegrasi dengan sistem ekonomi modern. Penganut teori dominasidependensi berpandangan lain dan mengatakan bahwa justru keterbelakangan ekonomi yang terjadi pada masyarakat kolonial disebabkan karena penetrasi sistem ekonomi kapitalis dunia yang memasuki bagian-bagian yang paling terpencilpun juga di negara-negara jajahan yang kini disebut dunia terbelakang (Hettne dan Blomstrom, 1984:18) dan (Sukirno,1990:162-163). Selanjutnya, Rahardjo (1990:198) menambahkan bahwa selain mewarisi sistem ekonomi yang dualistis, yaitu mengandung dikotomi antara moderntradisional, antara desa-kota, antara sektor formal-informal, negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, mengalami hambatan struktural ketika akan membangun ekonominya secara independen. Dalam teori pembangunan ekonomi yang konvensional, dikatakan bahwa hambatanhambatan pembangunan itu berbentuk “lingkaran setan”, berpangkal pada kemiskinan selanjutnya menimbulkan produktivitas yang rendah dan pendapatan masyarakat yang rendah. Teori itu berakhir pada kesimpulan yang sederhana; negara-negara miskin tidak bisa berkembang ekonominya karena kekurangan modal. Kesimpulan teori itulah yang menjadi pangkal pemikiran kelompok elit politik dan intelektual pada tahun 1966, ketika Indonesia memulai tahap baru sejarahnya memusatkan diri pada upaya pembangunan ekonomi. Segala usaha nasional di semua bidang disubordinasikan kepada pembangunan ekonomi. Garis besar haluan politik negara itu masih tetap berlangsung hingga sekarang. Cara berpikir yang dianut selama lebih dari tigapuluh tahun terakhir di Indonesia, sebenarnya cukup rasional dan sederhana. Setelah mengalami masa yang penuh dengan kegoncangan politik selama dua dasawarsa lebih, maka pemerintah Orde Baru yang muncul pada tahun 1966, menginginkan terbentuknya suatu pemerintahan yang stabil sehingga bisa melaksanakan pembangunan nasional secara berencana, terutama memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat. Pemerintahan baru itu yakin, bahwa pembangunan ekonomilah yang harus diutamakan, karena dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan negara, maka berbagai bidang kehidupan lainnya akan bisa diperbaiki. Kehidupan politik juga akan bisa diarahkan menuju ke proses demokratisasi apabila pendapatan masyarakat meningkat sehingga bisa memecahkan persoalan ekonomi sehari-hari, taraf pendidikan masyarakat berkembang secara kualitatif maupun kuantitatif dan komunikasi antara kelompok-kelompok masyarakat meluas sehingga menciptakan saling pengertian dan saling menghargai. Kesemuanya itu merupakan dasar dan prasyarat bagi kehidupan yang lebih demokratis (Djojohadikusumo, 1994:160). Akan tetapi untuk bisa membangun ekonomi yang bisa mencapai beberapa target utama dalam skala prioritas, yaitu mengendalikan inflasi, memenuhi kebutuhan pangan dan sandang, meningkatkan penghasilan devisa, memperbaiki prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan produksi serta
32
pengembangan perangkat kelembagaan, diperlukan tiga faktor utama; modal dan teknologi beserta sistem perangkat lunaknya. Ketiga faktor itu langka di Indonesia dan negara-negara miskin. Faktor yang ada dan melimpah di Indonesia adalah sumber kekayaan alam serta tenaga kerja yang murah namun berpendidikan rendah. Sejak tahun 1967, pemerintah Indonesia mengundang modal asing dan mencari kredit luar negeri dengan “menjual” dan “mempertaruhkan” kekayaan alam dan buruh murahnya. Dengan kredit luar negeri dan modal asing tersebut, pemerintah memberi kesempatan untuk mengembangkan sektor industri pertanian, kehutanan, perkebunan dan sebagainya. Sebagaimana telah diungkapkan Rostow (dalam Budiman, 2000:26-27), negara-negara yang kini tergolong maju, sebenarnya telah terlebih dahulu mengalami proses perkembangan yang cukup lama sebelum sampai ke tahap siap lepas landas. Negara-negara yang baru merdeka, termasuk Indonesia, umumnya ingin mencapai tahap itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apabila negara-negara maju terlebih dahulu menempuh perkembangan bisnis yang lama untuk melakukan akumulasi kapital, sebagai dasar dari pertumbuhan jangka panjang yang mantap, maka Indonesia pada tahun 1967 mengambil keputusan untuk melakukan jalan pintas, yaitu dengan mengundang modal asing dan memperoleh kredit luar negeri. Sedangkan negara sosialis semacam RRC menempuh jalan yang berbeda, yaitu mengumpulkan modal sedikit demi sedikit dan membentuk prasarana sosial dengan memobilisasikan tenaga kerja secara besar-besaran, sambil memenuhi kebutuhan pokok rakyat terlebih dahulu. Di Indonesia, melalui jalan pintas itu, peningkatan produksi dengan cepat dapat dimulai. Produksi beras dengan cepat dapat ditingkatkan dengan Revolusi Hijau. Industri-industri besar dapat segera dibangun oleh sektor bisnis modern. Prasarana dapat segera diadakan di mana-mana dengan dana yang melimpah, terutama berkat hasil eksploitasi minyak yang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan asing serta hasil pinjaman dan bantuan luar negeri. Angka GNP sudah tentu meningkat cepat dan tinggi. Secara sepintas dapat ditangkap kesan bahwa usaha-usaha pembangunan di Indonesia bukannya tidak menghasilkan sesuatu. Bahkan berbagai angka statistik menimbulkan kesan yang meyakinkan. Apalagi apabila angka-angka itu dibandingkan dengan angka-angka dari sesama negara sedang berkembang lainnya. Tapi kesan itu memang perlu diuji lebih lanjut dalam perspektif lain dengan pertanyaan sebagai berikut: (a) dengan cara bagaimana pembangunan dilaksanakan; (b) apa sebenarnya hasil pembangunan, dan akhirnya (c) bagaimana dampaknya terhadap struktur masyarakat ?. Pembangunan di Indonesia nampaknya sangat dipengaruhi oleh pemilik dana internasional. Rencana pembangunan, kebijaksanaan ekonomi-keuangan dan proyek-proyek, walaupun disusun oleh badan perencana pusat bersama dengan departemen pelaksanaan dan pemerintah daerah, namun polanya cukup banyak dipengaruhi oleh badan-badan pemilik dana internasional
33
maupun agen-agen pembangunan negara kapitalis seperti IMF, World Bank, ADB dan sebagainya. Sudah tentu rencana-rencana pembangunan itu disusun berdasarkan teori-teori ekonomi dan pembangunan yang konvensional yang pada dasarnya bercorak kapitalis, dalam arti memberi jalan pada ekspansi TNC dan penanaman modal asing, mendorong perdagangan bebas agar suplai bahan mentah dan energi ke negara-negara industri serta pemasaran barangbarang konsumsi maupun bahan baku industri substitusi impor dan barangbarang modal ke negara-negara sedang berkembang tidak terhambat kelancarannya. Apabila ternyata, suatu kebijakan pemerintah negara sedang berkembang bertentangan dengan kepentingan negara-negara maju, maka pasti akan muncul laporan-laporan yang negatif, serta kritik-kritik dari pers, lembaga-lembaga ilmiah, konsultan maupun sarjana-sarjana yang membawa kepentingan-kepentingan negara-negara maju. Todaro 1999:96-97) menambahkan, rencana-rencana, kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh negara-negara berkembang penerima kredit atau bantuan teknis, tentunya diarahkan untuk memberi kemungkinan pada perkembangan kapitalisme modern yang lebih maju dan lebih “sophisticated”. Bentuk-bentuk kapitalisme yang lebih maju itu antara lain adalah: pendirian industri di tempat bahan mentah dan energi; ekspor teknologi melalui impor industri keluarga (anak perusahaan) yang didirikan di negara-negara sedang berkembang; menjual modal ke negara-negara sedang berkembang, tapi kalau bisa dananya ditarik dari pasar uang dan modal negeri dimana bank atau lembaga keuangan itu beroperasi; melemparkan industriindustri yang sarat polusi atau industri yang membutuhkan tenaga kerja murah; mendirikan industri di wilayah export processing zone atau di daerah pemasarannya; ekspor jasa atau pendirian industri jasa yang padat keahlian; melakukan pekerjaan-pekerjaan pemborongan di negara-negara kaya minyak dengan mempergunakan tenaga-tenaga murah dari negara-negara sedang berkembang, dan sebagainya. Apakah sebenarnya yang dihasilkan oleh pembangunan yang terjadi di Indonesia di balik angka pertumbuhan GNP yang tinggi itu?. Di sini dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memang tinggi, tapi sifatnya tidak merata dan dikelabui oleh angka pertumbuhan sektor modern. Industri memang berkembang pesat, namun yang besar-besar itu dimiliki oleh orang yang dekat dengan pusat kekuasaan dan orang asing atau kelompok-kelompok etnis tertentu yang sejak masa penjajahan memang telah memiliki hak-hak dan kesempatan istimewa. Produksi pangan secara total memang naik; tapi hasilnya terutama hanya dinikmati oleh petani kaya dan elite desa. Sebagian besar penduduk pedesaan masih hidup dibawah garis kemiskinan. Sumbersumber alam memang dapat digali, tapi itu semua tidak dapat diekspor dalam bentuk olahan sehingga dapat memberi lapangan pekerjaan; yang memperoleh keuntungan adalah negara asing serta kalangan elit yang memperoleh fasilitas. Lagi pula sumber-sumber alam itu kini telah rusak dan terancam kelestariannya. Anggaran pemerintah memang terus naik, tapi sumbernya masih bergantung pada dana kredit luar negeri serta hasil eksplorasi minyak
34
yang dalam waktu singkat akan habis. Modal luar negeri memang masuk, tapi aliran kapital yang keluar juga besar. Setiap dollar yang ditanamkan telah menghasilkan 2- 3 kali lebih besar penghasilan yang dikirim ke luar negeri. Tingkat pendidikan juga maju, tapi sarjana-sarjana yang dihasilkan, sebagian masuk birokrasi yang melayani pertumbuhan kapitalis serta masuk ke dunia bisnis modern. Kemampuan administrasi pembangunan memang makin meningkat secara formal, tapi kebocoran, manipulasi dan korupsi yang membudaya juga makin berkembang (Djojohadikusumo,1994:166-167). Gambaran mengenai hasil dan dampak pembangunan tersebut di atas memberi kesimpulan kepada kita, bahwa pembangunan yang berlangsung di Asia Tenggara khususnya Indonesia mendapat dorongan dari luar, sedangkan kegiatan yang efisien dan produktif terutama dilakukan oleh orang asing yang didukung lapisan elit dan kelompok-kelompok tertentu (seperti keturunan China) yang mendapatkan fasilitas dan hak-hak serta kesempatan-kesempatan yang istimewa dibandingkan dengan etnis pribumi yang lain Demikian juga yang terjadi dalam bidang sektor informal, proses yang terjadi bukanlah ecodevelopment, melainkan pembangunan yang merupakan bagian dari sistem kapitalisme dan ekonomi dunia, yang dipimpin dan didominasi oleh elite modern yang terdiri dari elite metropolitan, elite primer di tingkat nasional dan elite sekunder di tingkat daerah (Evers dan Heiko Schrader, 1994:9-10). Karena ekonomi Indonesia telah bergabung dengan ekonomi kapitalis dunia, maka proses pembangunan di Indonesia juga tergantung pada bekerjanya ekonomi dunia. Inflasi, resesi atau krisis yang dialami oleh negara-negara maju, akan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi di Indonesia. Bagaimana sebenarnya persepsi, kesadaran, dan sikap elit Indonesia dewasa ini terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya? Sebagian dari mereka sadar akan proses yang terjadi dan menganggap kesemuanya itu sebagai sesuatu yang wajar saja. Prinsip yang mereka anut adalah bahwa setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama. Mereka yang bekerja keras dan berhasil, memiliki hak untuk menikmati apa yang dapat mereka capai dan miliki. Sebagian dari mereka tentu sadar akan kewajiban-kewajiban sosial dan juga melaksanakannya. Sebagian dari mereka ternyata tidak atau kurang sadar akan apa yang terjadi. Mereka tidak mengetahui bahwa kemiskinan tidak saja terjadi karena faktor inertia, melainkan juga karena struktur sosial yang tidak memungkinkan golongan miskin bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki nasibnya. Mereka juga tidak sadar, betapa sistem kapitalisme internasional itu telah menguasai perkembangan ekonomi di Indonesia dan mengeruk keuntungan dari daerah-daerah pinggiran ke pusat-pusat metropolis. Mereka juga tidak sadar bahwa operasi kapitalisme internasional itu telah merusak dan mengancam kelestarian sumber-sumber alam. Mereka juga tidak begitu menyadari pengaruh pola pembangunan ini terhadap struktur nilai dan kelangsungan hidup kebudayaan tradisional (Wilber and Jameson, 1992:117). Penghargaan pada materi sudah makin menjadi kewajaran. Pengabdian sosial bahkan bisa merupakan “bisnis” yang menguntungkan. Pembicaraan
35
mengenai kemiskinan dan kesengsaraan rakyat dapat dilakukan secara santai di hotel-hotel mewah. Patriotisme, pengorbanan, atau perjuangan yang fanatik apalagi berdasarkan agama, sudah bisa menjadi bahan tertawaan. Imbangan dalam penghargaan antara nilai-nilai kebendaan dan rohaniah sudah goyah dan mengalami pergeseran. Bahkan perbuatan korupsi sudah dianggap wajar. Sementara itu kenyataan struktural yang ada, sudah terjalin dengan kekuasaaan. Atau kekuasaan sudah menjadi bagian dari sistem ekonomi. Kekuasaan sudah menjadi komoditi yang diperdagangkan. Siapa yang bisa membeli, merekalah yang memiliki kekuasaan. Setiap gagasan untuk melakukan perubahan akan berhadapan dengan kekuasaan. Sementara itu, sebagian dari kaum elit sudah tidak lagi sensitif dengan penggunaan kekuasaan, karena kekuasaan itu juga telah membela kepentingannya. Sebab itu perlawanan moral sudah ditaklukkan oleh perubahan pola dan sikap hidup orang yang bersangkutan sendiri. Setiap gagasan perubahan pada tingkat pimpinan nasional juga harus berhadapan dengan kekuasaan yang terbentuk dalam sistem kapitalisme internasional yang sering tidak nampak, tapi selalu terasakan. Rezim politik yang represif, bisa mendapatkan dukungan dari negara-negara maju, asal rezim itu melindungi kepentingan dunia kapitalis. Karena itu gagasan pembangunan alternatif di Indonesia atau di manapun juga, selalu berhadapan dengan kekuatan sistem kapitalis internasional. Struktur dominasi, termasuk dominasi ekonomi, seringkali sulit dibuktikan berdasarkan suatu kerangka dan metodologi ilmiah. Namun dominasi itu dapat sangat dirasakan apabila kita secara langsung ingin berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Apabila kita sekarang ini mendiskusikan sesuatu pola alternatif dan menjumpai betapa sulitnya menyusun suatu konsep yang fisibel dan realistis, maka kita akan merasakan adanya kehadiran struktur yang dominan itu. Untuk mengawali sebuah langkah perubahan, Abdul Wahab (2002:159) mengatakan bahwa negara harus rela berbagi peran, berbagi kekuasaan (sharing of power), dan bekerjasama (yang saling menguntungkan) dengan kekuatankekuatan sosial otonom dalam masyarakat. Dengan demikian negara dipandang bukan sebagai institusi penyerimpung olah krida masyarakat, melainkan sebagai institusi pemberdaya masyarakat (enabling institution). Dari basis pemikiran seperti ini muncullah konsep sinergi dalam kebijakan publik. Sebagai sebuah cara pandang dalam melihat negara, maka sejauh mengenai posisi dan peran negara, makna dari semua itu ialah bahwa negara tak lagi memainkan peran yang dominan. Berbeda dengan kondisi di masa lampau, kini negara semakin tipis pengaruh kekuasaannya, meski tidak lantas dengan sendirinya kehilangan berbagai simbol eksistensi dan peran sentralnya. Pada derajat tertentu konsep sinergi dalam kebijakan publik boleh disebut sebagai reaksi terhadap pemikiran yang berhasrat menafikan peran pihak lain atau saling meniadakan keberadaan pihak lain dan dikembangkan atas dasar pendekatan Zero–Sum ame yang cenderung anarkis. Konsep sinergi justru muncul dari adanya kebutuhan untuk membangun masyarakat atas
36
dasar kerjasama yang saling menguntungkan dan kesejajaran serta dilandasi oleh pemikiran yang rasional, terbuka dan demokratis (Gaffar, 1999: 193-195). Segala aktifitas pembangunan dan kebijakan publik yang melahirkannya, dianggap sebagai langkah sosial kolektif. Oleh karena itu, pembangunan merupakan suatu proses yang harus bersifat diskursif dan dialogis, bukan direduksi sebagai persoalan teknokratis yang mau tak mau, lantas menjadi sekedar dianggap sebagai domain dan urusan para birokrat dan politisi semata Adanya otonomi daerah- terlebih yang mencita-citakan terciptanya sebuah pemerintahan daerah yang demokratis- akan mengharuskan berubahnya paradigma yang dipakai dalam menjalankan birokrasi dan administrasi publiknya. Perubahan paradigma yang dimaksud juga dalam proses pembuatan kebijakan publiknya, terutama yang terkait langsung dengan penyusunan perencanaan pembangunan daerah tersebut. Secara kongkrit, itu berarti bahwa dalam sebuah konteks sosial politik yang makin demokratis, pembangunan daerah dan hasil-hasilnya harus bisa bersifat inklusif dalam artian mampu menjadikan dirinya “milik” semua segmen masyarakat, tanpa kecuali. Agar bisa memenuhi tuntutan seperti itu, pemerintah daerah dituntut menjadi institusi pemerintahan modern yang terbuka, yaitu dengan kesediaan membuka dirinya bagi partisipasi pihak lain di luar pemerintahan dalam proses pembuatan kebijakan demi meningkatkan kualitas kebijakan publiknya. Dengan kata lain, dengan adanya otonomi daerah yang landasan berpikirnya mengacu pada good governance, maka pembangunan daerah dan strategi apapun yang ingin ditempuh daerah untuk mewujudkannya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab elit politik, elit birokrasi dan eksponen penting dari masyarakat daerah itu sendiri. Oleh karena itu, istilah “menertibkan” dengan cara menghapus sektor informal (PKL) berarti mematikan nafkah sejumlah besar masyarakat yang bergerak di sektor informal di tengah situasi pengangguran yang terus meningkat. Selayaknya kebijakan yang ada sekarang ini diimbangi dengan kebijakan ekonomi yang berpihak pada ekonomi rakyat yang mana menyangkut kepentingan masyarakat banyak yang pemilikan asetnya kecil, pendidikannya rendah, aksesnya terhadap berbagai sumber kapital, informasi dan teknologi kecil. Dan idealnya ada keterpaduan antara kepentingan dari berbagai pihak yang dapat terakomodasikan guna mewujudkan implementasi suatu kebijakan yang saling menguntungkan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin, 1999, Ekonomi Politik Pembangunan: Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan Di Tengah Krisis Moneter, Malang: Danar Wijaya. Abdul Wahab, Solichin, Fadillah P & Saiful A., 2002, Masa Depan Otonomi Daerah (kajian sosial, ekonomi, dan politik untuk menciptakan sinergi dalam pembangunan daerah), Surabaya:Penerbit SIC Budiman, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta:
Djojohadikusumo, Sumitro, 1994, Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta: LP3ES Evers, Hans Dieter and Schrader, Heiko, 1994, The Moral Economy Of Trade; Ethnicity And Developing Markets, First Published 1994 by Routledge 11 New Fetter Lane, London EC4P 4EE Gaffar, Afan, 1999, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta:Pustaka pelajar Hettne, Bjorn and Blomstrom, Magnus, 1984, Development Theory In Transition (The Dependency Debate and Beyond: Third World Responses), Zed Books Ltd., 57 Caledonian Road, London NI 9 BU Rahardja, M. Dawam, 1990, Esei - Esei Ekonomi Politik, Jakarta:LP3ES Sukirno, Sadono, 1990, Ekonomi Pembangunan (proses, masalah, dan dasar kebijaksanaan), Jakarta:Bima Grafika Todaro, Michael P., 1999, 6)Jakarta:Erlangga
Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (edisi
Wilber, Charles K. and P. Jameson, Kenneth, 1992, The Political Economy Of Development and Under-Development (fifth edition), McGrawHill, Inc.
38