EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG DAN BANGUNAN DALAM NERACA DAERAH
TESIS Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Magister Sains Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
Heri Adi Prabowo NIM. S4307019
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
36
EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG DAN BANGUNAN DALAM NERACA DAERAH
RINGKASAN TESIS
Disusun oleh: Heri Adi Prabowo NIM. S4307019
Telah disetujui Pembimbing Pada tanggal : ........................................... Pembimbing I
Pembimbing II
DR. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak
Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak
NIP. 19680401 199303 2 001
NIP. 19750218 200012 1 001
Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Akuntansi
Dr. Bandi, M.Si., Ak. NIP. 19641120 199103 1 002
37
EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG DAN BANGUNAN DALAM NERACA DAERAH
Disusun oleh: Heri Adi Prabowo NIM. S4307019
Telah disetujui Tim Penguji Pada tanggal 18 Januari 2010
Ketua Tim Penguji : Dr. Payamta, M.Si., Ak. CPA
.............................
Sekretaris
: Dr. Bandi, M.Si., Ak.
.............................
Anggota
: Dr. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak.
.............................
Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak. .............................
Mengetahui : Direktur PPs UNS
Ketua Program Studi Magister Akuntansi
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. NIP. 19570820 198503 1 004
Dr. Bandi, M.Si., Ak. NIP. 19641120 199103 1 002
38
PERNYATAAN
PERNYATAAN
Nama
:
Heri Adi Prabowo
NIM
:
S4307019
Program Studi
:
Magister Akuntansi
Konsentrasi
:
Sektor Publik
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Evaluasi Perlakuan Akuntansi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung Dan Bangunan Dalam Neraca Daerah” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh atas tesis tersebut.
Surakarta, Yang menyatakan,
Heri Adi Prabowo
39
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha penyayang lagi maha pengasih karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul berjudul “Evaluasi Perlakuan Akuntansi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung Dan Bangunan Dalam Neraca Daerah. Pengelolaan aset tetap pemerintah daerah menjadi issue utama yang mendasari penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi yang terjadi di daerah. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Asian Development Bank melalui State Audit Reform Sector Development Project (STAR–SDP) sebagai pemberi beasiswa kepada peneliti dalam menyelesaikan pendidikan Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta, Ibu DR. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak. sebagai Pembimbing I (satu)/Utama dan Bapak Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak. sebagai Pembimbing II (dua) dan selaku Ketua Program Studi Magister Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan motivasi, nasihat, petunjuk dan bimbingan sangat berharga selama proses penelitian sampai dengan penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Tim Penguji yang diketuai oleh Bapak Dr. Payamta,M.Si.,Ak. CPA., Ak dan Sekretaris Penguji Bapak Dr. Bandi, M.Si., Ak yang banyak memberikan masukan konstruktif bagi
40
penyempurnaan tesis ini. Terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada Rektor dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta jajarannya yang telah menerima dan memberikan kesempatan pada penulis untuk menimba ilmu di kampus tercinta ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Bupati Sragen dan Inspektur Inspektorat Kabupaten Sragen atas ijin dan perkenan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan jenjang S-2 di Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus melakukan penelitian di Pemerintah Kabupaten Sragen. Terima kasih juga kepada Bupati Karanganyar dan Bupati Sukoharjo beserta jajarannya atas ijin yang diberikan untuk melakukan penelitian. Terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses perkuliahan, penelitian sampai dengan penulisan tesis yang mohon maaf tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih kepada Ayahanda (Alm) FX. Suharso dan Ibunda F.Wahyuni, atas semangat dan doanya dalam penyelesaian tesis dan studi penulis. Secara khusus disampaikan terima kasih kepada istri tercinta Tri Supraptini,S.Kep atas pengertian, pengorbanan dan kesabaran selama penulis menyelesaikan studi serta buah hatiku Carissa Shofiyah Prabowo yang memberi motivasi dalam hidupku,. Penulis menyadari, bahwa tiada gading yang tak retak sehingga apa yang penulis lakukan masih belumlah sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu kritik dan saran penyempurnaan selanjutnya penulis sangat hargai. Diharapkan apa yang penulis lakukan dapat bermanfaat dalam memacu perkembangan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
41
melalui Laporan Keuangan Daerah (LKD) khususnya pada penyajian aset gedung dan bangunan. Surakarta,
Januari 2010
Penulis
42
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
1
A
Latar Belakang ......................................................................................
1
B
Permasalahan .........................................................................................
8
C
Tujuan Penelitian ...................................................................................
9
D
Manfaat Penelitian .................................................................................
9
E
Sistematika Penulisan ............................................................................
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
11
A
Kapitalisasi ............................................................................................
11
1. Kapitalisasi Pada Sektor Swasta (Private)/Perusahaan ....................
11
2. Kapitalisasi Pada Sektor Publik/Pemerintahan ................................
14
B
Belanja Daerah ......................................................................................
17
C
Aset ........................................................................................................
22
D
Aset Tetap Gedung dan Bangunan ........................................................
26
1. Pengakuan Gedung dan Bangunan ...................................................
27
2. Pengukuran Gedung dan Bangunan .................................................
28
3. Pengungkapan Gedung dan Bangunan .............................................
29
BAB III METODA PENELITIAN ............................................................
30
A
Pendekatan Penelitian ............................................................................
30
B
Metoda Pengumpulan Data ...................................................................
31
C
Analisa Data ..........................................................................................
34
D
Tahap-tahap Penelitian ..........................................................................
35
BAB IV ANALISA DATA .........................................................................
51
A
Kabupaten Sragen ..................................................................................
36
1. Gambaran Umum .............................................................................
36
2. Proses Penelitian ..............................................................................
37
43
3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan ..................................................................................
38
4. Prosedur Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung dan Bangunan .....................................................................
40
5. Akuntansi Belanja Daerah ................................................................
42
6. Kapitalisasi Belanja Daerah .............................................................
43
7. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian
B
Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah ..................................
47
Kabupaten Karanganyar ........................................................................
49
1. Gambaran Umum .............................................................................
49
2. Proses Penelitian ..............................................................................
50
3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan ............................................................
51
4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung & Bangunan ...............................................................
53
5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian
C
Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah ..................................
53
Kabupaten Sukoharjo ............................................................................
54
1. Gambaran Umum .............................................................................
54
2. Proses Penelitian ..............................................................................
55
3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan ..................................................................................
55
44
4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung & Bangunan ...............................................................
57
5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah ..................................
58
Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian .............................................
58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
61
A
Kesimpulan ............................................................................................
61
B
Keterbatasan Penelitian .........................................................................
63
C
Saran-Saran ...........................................................................................
64
D
Implikasi Manajerial ..............................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
66
D
45
DAFTAR TABEL
Tabel II.1
Penggolongan Belanja Menurut PP No. 24 Tahun 2005 Permendagri No. 13 Tahun 2006 ..........................................
Tabel II.2
Pencatatan Aset Gedung Dalam Neraca Berdasarkan KMK No. 18/KMK.018/1999 .........................................................
Tabel IV.1
51
Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemerintah Kabupaten
Karanganyar
Tahun
Anggaran
2008
................................................................................................ Tabel IV.7
46
Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Karanganyar Tahun Anggaran 2008 ...........................................................
Tabel IV.6
39
Tabulasi Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemkab Sragen dengan PMK No. 91/PMK.05/2007 ......................................
Tabel IV.5
39
Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008 ..
Tabel IV.4
39
Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008 ...............................................
Tabel IV.3
27
Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008 ......................................................................
Tabel IV.2
18
52
Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung Bangunan Pemkab Karanganyar Tahun Anggaran 2008 .......................................................................................
Tabel IV.8
52
Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 ......................................................................
56
46
Tabel IV.9
Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 .........................................
Tabel IV.10
56
Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran
Tabel IV.11
2008 .......................................................................................
57
Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian .............................
60
47
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen
Yang
Mengatur
Tentang
Belanja
................................................................................................ Lampiran 2
69
Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen
Yang
Mengatur
Tentang
Aset
................................................................................................
72
Lampiran 3
Daftar isian kuesioner yang diedarkan ……………………..
74
Lampiran 4
Ijin penelitian di 3 Kabupaten ( Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo) …………..
81
48
INTISARI Pengelolaan aset tetap milik pemerintah masih menemui banyak kendala baik dalam pengakuan, penilaian maupun pelaporannya. Kondisi tersebut berdampak pada tidak terpenuhinya kriteria kewajaran dalam penyajian akun aset tetap dalam Laporan Keuangan Daerah (LKD). Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang prosedur/proses pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan di Pemerintahan Daerah dan dapat memberikan evaluasi terhadap kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan apakah telah sesuai dengan standar yang ada. Pendekatan deskriptif (descriptive research) digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan penelitian yang berusaha menggambarkan kondisi dan fenomena yang terjadi di lapangan tentang fokus penelitian seobjektif mungkin. Hasil analisis dan pembahasan menghasilkan kesimpulan bahwa prosedur kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan pada Pemerintah Daerah pada prinsipnya tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundangundangan yang ada, sehingga tidak terdapat keseragaman pada implementasi di lapangan, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kapitalisasi (KMK No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah) belum mengatur secara spesifik tentang prosedur kapitalisasi dan belum ada pemahaman dari Pemerintahan Daerah objek penelitian (Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD) sehingga terjadi kecenderungan (Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD) tidak menerapkan kapitalisasi khususnya kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan.
Kata Kunci : Kapitalisasi, Aset, Biaya, Laporan Keuangan Daerah, Regulasi
49
ABSTRACT
The managing of the state-owned fixed assets still meets constraints in terms of asset acknowledgment, asset evaluation, and asset statement. Such a condition causes the naturalness criteria in the account presentation of the fixedassets in the local financial statement to become unfulfilled. This research is expected to describe the procedure or process of the capitalization of expenditures, which can be acknowledged as the building assets in the local government, and to evaluate whether or not the former capitalization of expenditures has complied with the prevailing standards. This research is a descriptive one. It tries to describe the condition and phenomena of the research objects taking place in the field as tangible as possible. Based on the results of the analysis a conclusion is drawn that the procedure of the capitalization of expenditures, which is acknowledged as the building assets in the local government has not principally been regulated specifically in the prevailing regulations and laws. As a result, there is not any uniformity in the implementation of the capitalization of the expenditures in the field, and the Decree of the Ministry of Finance, Number: 01/KM.12/2001 regarding Guidelines for Government-Owned Assets in the Government Accounting System, has not specifically regulated the procedure of the capitalization of expenditures. In addition, the local governments (Local General Treasuries and SKPD treasuries), which became the objects of this research, have not understood the procedure of the capitalization of expenditures. As a consequence, both the Local General treasuries and the SKPD treasuries tend not to implement the capitalization, particularly the capitalization of expenditures, which is acknowledged as the building assets.
Keywords : Capitalization, asset, expenditures, local government’s financial statement, regulation BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wujud aset tetap pada dasarnya adalah barang-barang fisik yang dimiliki oleh suatu entitas untuk memperlancar operasional entititas
50
dalam kegiatan normalnya dan mempunyai masa manfaat atau umur ekonomis lebih dari satu tahun. Aset tetap pemerintah merupakan salah elemen penting dalam menunjang operasional pemerintahan. Aset tetap tersebut dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah dalam rangka untuk menjalankan roda pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan. Diperlukan perhatian dan kebijakan khusus dalam pengelolaan
aset
tetap
pemerintah
sehingga
peruntukan,
pemanfaatan, dan penggunaannya tepat sasaran serta pelaporannya dapat memenuhi kriteria kewajaran sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku. Laporan Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) selama 4 (empat) tahun dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 menyatakan opini disclaimer yang salah satu penyebab dikeluarkannya opini tersebut adalah adanya aset/kekayaan negara khususnya Barang Milik Negara (BMN) belum diinventarisasi dan dinilai pada kondisi wajar, sehingga kevalidan dan keakuratan data masih perlu di cross check lagi. Pengelolaan dan pelaporan aset di tingkat pusat maupun daerah masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan sampai saat ini aset. hal ini dapat dilihat dari 1) hasil audit BPK RI terhadap Neraca Keuangan Pemerintah tahun 2004 menemukan 5 (lima) indikasi penilaian beberapa aset yang dibuat dibawah nilai sebenarnya atau understated yang menyebabkan sisi
51
ekuitas pada neraca menjadi negatif sekitar Rp. 500 triliun, 2) pernyataan
Auditor
Keuangan
Negara
BPK-RI Soekoyo
yang
menyatakan bahwa masih terdapat beberapa aset negara yang dinilai sebesar Rp. 1,- (satu rupiah), hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar aset negara tersebut tercatat terlebih dahulu dan untuk penentuan nilai yang akurat akan dilakukan kemudian (Kompas, 8/6/2004), 3) pernyataan Ketua BPK-RI Anwar Nasution yang menyatakan bahwa dari hasil audit BPK RI terhadap Neraca Keuangan Pemerintah tahun 2007 terdapat aset senilai Rp. l7,06 triliun di daerah yang rawan terhadap korupsi yang diakibatkan oleh pengelolaan aset yang belum tepat (Pelita, 4/5/2007). Disyahkannya
peraturan
perundang-undangan
tentang
desentralisasi yaitu Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berimplikasi pada banyak hal yang harus disesuaikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Salah satu perubahan tersebut adalah reformasi pengelolaan keuangan daerah dengan diterapkannya desentralisasi pengelolaan keuangan daerah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Perubahan-perubahan lain yang terjadi antara lain dapat dilihat pada 1) struktur APBD yang semula tersusun atas elemen pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan berubah menjadi elemen pendapatan, belanja administrasi umum dan
52
belanja operasional, berdasarkan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diubah menjadi pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah, 2) konsep anggaran berimbang berubah menjadi konsep anggaran surplus/defisit, dan 3) laporan pertanggungjawaban APBD yang sebelumnya berbentuk Laporan Perhitungan APBD diganti dengan Laporan Keuangan Daerah (LKD) yang terdiri atas Neraca, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Bentuk Laporan Keuangan Daerah (LKD) hampir sama dengan laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan swasta pada umumnya. Neraca daerah yang merupakan salah satu bentuk Laporan Keuangan Daerah adalah laporan untuk menunjukkan posisi keuangan berupa aset, hutang dan kekayaan pada suatu tanggal tertentu. Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa komponen aset merupakan hal yang paling sulit dalam pengelolaan maupun pelaporannya. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan aset tersebut salah satunya adalah
kapitalisasi
aset,
Badan
Pemeriksa
Keuangan
dan
Pembangunan (BPKP) dalam paparannya pada Bimbingan Teknis (Bimtek) Review LKD di Kabupaten Sragen tanggal 2 Pebruari 2009 menyatakan bahwa: Rata-rata di pemerintahan daerah belum melaksanakan pengkapitalisasian belanja yang dapat menambah nilai aset
53
(diakui sebagai aset) sehingga nilai aset yang disajikan belum menyatakan nilai yang sebenarnya terutama untuk aset gedung dan bangunan. Selain itu juga penentuan atau pengklasifikasian elemen-elemen biaya yang dapat dimasukkan dalam masingmasing pos rekening yang membentuk nilai nominal pos rekening tersebut belum menyatakan bahwa semua elemen-elemen biaya yang harus dilaporkan telah dimasukkan dalam jumlah tersebut. Kapitalisasi belanja dalam arti yang sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap belanja yang dapat menambah nilai suatu aset. Kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset tetap dapat disebabkan antara lain oleh biaya yang dialokasikan untuk perbaikan, rehabilitasi, dan perawatan suatu aset. Kondisi dilapangan menunjukan seringkali nilai rehabilitasi cukup besar, apalagi jika dilihat kenyataan bahwa SD Inpres yang didirikan tahun 1980-an baru direhabilitasi setelah 20 (dua puluh) tahun kemudian, tentunya memerlukan biaya yang cukup besar untuk melaksanakannya. Sebagaimana dalam akuntansi komersial, pengalokasian belanja yang menambah masa manfaat aset dimasukkan sebagai penambah nilai aset tersebut. Namun dalam praktik di lapangan pada sektor publik (pemerintahan) hal ini menambah keruwetan bagi pelaksana pencatatan. Mereka harus memastikan, aset yang mana yang diperbaiki.
Penentuan
gedung
sekolah
yang
akan
diperbaiki,
nampaknya tidak sulit dilakukan namun dalam kenyataannya cukup membuat permasalahan tersendiri bagi pelaksana di lapangan, hal ini dapat kita lihat dari kasus-kasus yang berkaitan dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sektor Pendidikan yang sebagian besar diperuntukkan
54
untuk pembangunan dan perbaikan gedung sekolah menemui banyak permasalahan
dalam
pelaksanaannya
yang
berujung
pada
penyelesaian di pengadilan. Contoh nyata, seorang Kepala Sekolah di Kabupaten Sragen diadukan oleh pihak Komite Sekolah ke pengadilan terkait dengan tuduhan telah melakukan mark up atas proyek rehabilitasi sekolah yang dananya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Sektor Pendidikan senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Belum lagi permasalahan pengelolaan gedung sekolah yang diperbaiki berkaitan dengan pengukuran, pengakuan dan pelaporan nilai dari gedung sekolah tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut penelitian berkaitan dengan kapitalisasi belanja menjadi sangat penting untuk dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang implementasi kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset pada akuntansi pemerintahan daerah. Penelitian terdahulu berkaitan dengan aset pemerintah antara lain telah dilakukan oleh Abdullah dan Halim (2006) yang menyatakan alokasi untuk belanja modal berasosiasi positif terhadap belanja pemeliharaan untuk konteks pemerintahaan daerah di Indonesia setelah otonomi daerah dilaksanakan. Besaran belanja modal berasosiasi
dengan
pendapatan
daerah yang
bersumber
dari
pemerintah pusat, tapi tidak dengan pendapatan sendiri. Dewi (2006) menyatakan proses pengelolaan belanja dengan menggunakan metoda Activity-Based Costing (ABC) dapat mendeteksi adanya biaya-
55
biaya yang tidak menambah nilai bagi terlaksananya program unit kerja/dinas/instansi sehingga pemotongan biaya atas biaya-biaya tersebut dapat
menambah
efisiensi
kinerja
pemerintah
dalam
memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Wirjolukito (2008), dalam penelitiannya menyatakan untuk mempertahankan konsep kapitalisasi, PSAK No. 26 perlu ditambah beberapa item pengungkapan selain yang sudah ada sekarang untuk membendung terjadinya asimetri informasi,
antara
penyaji
dan
pengguna
laporan
keuangan.
Pendekatan teoritis yang terstruktur dipandang kurang tepat, karena adanya gap yang lebar antara teori dan praktek di lapangan. Akan tetapi jika tidak dan ingin mengadopsi standar internasional, yang tentu saja banyak keuntungannya, maka IAS No.23 merupakan suatu alternatif yang cukup baik dan direkomendasikan, Subronto (2009) yang menyatakan Neraca Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen per 31 Desember 2007 belum menyajikan secara wajar nilai aset tanah dalam rekening aset tetapnya, hal ini dapat dilihat dari belum sesuainya penyajian aset tanah Neraca Daerah Pemerintah Sragen per 31 Desember 2007 dengan Standar Akuntansi Pemerintahan berkaitan dengan klasifikasi aset tanah, pengakuan aset tanah dan pengukuran/penilaian aset tanah serta belum terpenuhinya penyajian wajar asersi aset tanah berkaitan dengan hak dan kewajiban, penilaian dan penyajian aset tanah.
56
Penelitian dilakukan terfokus pada implementasi belanja yang dinyatakan dalam Daftar Penggunaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) yang dapat diakui (dikapitalisasi) sebagai penambah nilai aset khususnya pada aset gedung dan bangunan dengan alasan untuk memperoleh gambaran tentang prosedur kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset yang diterapkan pada Pemerintah Daerah serta memberikan evaluasi untuk mengidentifikasi adanya perbedaan penerapan kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset dengan standar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kontribusi terhadap kualitas pelaporan aset khususnya aset gedung dan bangunan yang memenuhi kriteria wajar menjadi motivasi dalam penelitian ini. Lokasi Pemerintah
penelitian Kabupaten
adalah
Pemerintah
Sukoharjo,
dan
Kabupaten
Pemerintah
Sragen,
Kabupaten
Karanganyar dengan pertimbangan:
a. Pemerintah
Kabupaten
Sragen,
Pemerintah
Kabupaten
Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar telah membuat Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005. b. Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Pemerintah Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan Pemerintah
Kabupaten
Karanganyar
telah
direviu
oleh
57
Inspektorat Daerah masing-masing daerah dan sedang dalam proses audit oleh BPK RI. Hasil Audit BPK RI terhadap LKD Pemerintahan Daerah Tahun Anggaran 2007 menyatakan opini Wajar (Pemerintah Kabupaten Karanganyar), Wajar Dengan Perkecualian (Pemerintah Kabupaten Sragen), dan Disclaimer (Kabupaten Sukoharjo). Berdasarkan alasan-alasan di atas, Pemerintah Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar dipilih menjadi lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa dari tiga lokasi penelitian tersebut cukup mewakili Laporan Keuangan Daerah (LKD) Pemerintahan Daerah yang ada saat ini.
B. Permasalahan Berdasarkan pada latar belakang di atas maka penelitian difokuskan pada prosedur/proses dalam melakukan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan serta mengevaluasi elemen-elemen dalam belanja yang dapat dikapitalisasi ke dalam aset gedung dan bangunan telah sesuai dengan standar yang ada. Cakupan penelitian dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu:
58
1. Ruang lingkup persoalan diteliti yaitu persoalan prosedur/proses yang ditempuh dalam melakukan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan serta evaluasi terhadap elemen-elemen dalam belanja yang dapat dikapitalisasi ke dalam aset gedung dan bangunan disesuaikan dengan standar yang ada. 2. Ruang lingkup subjek dalam penelitian adalah belanja daerah, dan 3. Ruang
lingkup
Kabupaten
wilayah/lokasi
Sragen,
penelitian
Pemerintah
adalah
Kabupaten
Pemerintah
Sukoharjo,
dan
Pemerintah Kabupaten Karanganyar. Permasalahan dalam penelitian ini diwujudkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana prosedur/proses pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan yang dilakukan di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo? 2. Apakah kapitalisasi belanja yang diakui sebagai aset gedung dan bangunan di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo telah sesuai dengan standar yang ada?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
59
1. Memberikan gambaran tentang prosedur/proses pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan di Pemerintahan Daerah. 2. Memberikan evaluasi terhadap kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan apakah telah sesuai dengan standar yang ada.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, yaitu sebagai berikut: 1. Pemerintah
Daerah,
bahwa
melalui
penelitian
ini
dapat
meningkatkan kualitas penyajian rekening aset dalam Laporan Keuangan Daerah (LKD) yang memenuhi kriteria wajar, khususnya untuk aset gedung dan bangunan. 2. Akademisi, bahwa penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang kapitalisasi aset dalam akuntansi pemerintahan khususnya kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan dalam neraca daerah.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hasil penelitian terbagi atas 5 (lima) bagian atau bab yang terdeskripsi antara lain atas: BAB II
: PENDAHULUAN
60
Menguraikan latar belakang penelitian, ide-ide dasar, isue utama yang mendasari penelitian, tujuandan manfaat penelitian. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Memuat kajian terhadap literatur-literatur yang dipergunakan sebagai dasar teori dalam penelitian.
BAB III : METODA PENELITIAN Menguraikan metoda penelitian yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam melakukan penelitian. BAB IV : ANALISIS DATA Mendeskrisikan kondisi yang terjadi di lapangan berkaitan dengan fokus penelitian serta evaluasi terhadap kondisi yang ada. BAB V : KESIMPULAN, KETERBATASAN, SARAN DAN IMPLIKASI Memuat kesimpulan atas kondisi yang terjadi di lapangan, saran-saran
untuk
peneliti
berikutnya
dan
implikasi
manajerial dari penelitian yang dilakukan.
BAB II LANDASAN TEORI
61
A. Kapitalisasi 1. Kapitalisasi Pada Sektor Swasta (Private)/Perusahaan Alokasi biaya yang tepat harus dilaksanakan diantara berbagai pos aktiva dan beban karena akan mempengaruhi perhitungan
laba
perusahaaan
untuk
serangkaian
periode
akuntansi. Segala pengeluaran perusahaan akan dicatat sebagai biaya (expense), namun sebenarnya beberapa jenis pengeluaran perusahaan
harus
dikapitalisasi.
Kapitalisasi
(capitalization)
dilakukan apabila pengeluaran yang terjadi dianggap mempunyai future benefit, manfaat masa depan, manfaat yang tidak habis dalam periode pelaporan yang bersangkutan. Sebagai contoh pengeluaran tersebut misalnya pembelian aktiva tetap dimana penggolongan terhadap aktiva dibatasi oleh jumlah pengeluaran minimal, misalnya di atas Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan dibatasi oleh masa manfaat minimal, misalnya lebih dari 1 (satu) tahun manfaat. Kapitalisasi aktiva tetap pada umumnya akan diikuti dengan alokasi pembebanan biaya dengan menggunakan perhitungan depresiasi. Jadi secara prinsip, kapitalisasi tidak menghilangkan pengakuan biaya, hanya membagi beban sesuai dengan masa manfaat
dan tidak membebankannya
sekaligus
pada saat
pembelian. Secara periodik pembebanan biaya tersebut harus
62
tetap dikonversi untuk menambah (kapitalisasi) atau mengurangi (depresiasi) nilai aktiva tetap bersangkutan. Hung, et al. (2005) mendeskripsikan kapitalisisasi sebagai berikut: The capitalized cost of an asset is the total present values of its full net costs that an asset spends over its life. We show the total present value of equivalent annual costs (EAC) equals the capitalized cost of an asset that could be replaced for infinite periods. Berdasarkan definisi diatas, kapitalisasi merupakan biaya yang dikeluarkan terhadap suatu aset yang menjadi nilai tambah bagi aset tersebut di masa sekarang dan menambah masa hidup/masa manfaat aset tersebut. Nilai total sekarang dari aset yang dilaporkan merupakan penggabungan dari biaya-biaya yang dikeluarkan selama satu periode akuntansi atau 1 (satu) tahun. Duffy (2002) menyatakan: Capitalized assets represent funds spent on a particular project that are considered an investment in that project. As long as there is a reasonable belief that the project will generate revenue, there is value associated with the project. As long as there is value associated with the project, expenses can be capitalized up to the reasonable value of the project. This allows companies to track but not allocate costs associated with projects that have multi-year start-up cycles before revenue will be generated. It also allows companies to match expenses with revenues as the revenues are produced. Duffy (2002) mengaitkan kapitalisasi aset dengan investasi, kapitalisasi didefinisikan sebagai sejumlah dana yang dibelanjakan terhadap suatu proyek (aset) tertentu dengan mempertimbangkan adanya investasi dalam proyek (aset) tersebut. Sepanjang terdapat
63
keyakinan bahwa proyek akan menghasilkan pendapatan dan terdapat nilai yang dapat dihubungkan dengan proyek (aset) tersebut maka biaya kapitalisasi layak dilakukan. Edu, et al. (2009) membahas kapitalisasi dihubungkan dengan bunga pinjaman, dalam hal ini biaya yang dikeluarkan terhadap suatu aset menggunakan dana pinjaman dan tidak berupa uang tunai. Dalam kegiatan simpan pinjam biasanya akan terdapat bunga pinjaman dalam pelunasan pinjaman tersebut. Menurut Edu, et al. (2009) bunga pinjaman tersebut dimasukkan dalam nilai aset sekarang, sebagai dinyatakan berikut: Capitalization of interest, from the financial stand-point, refers to the cost associated with the borrowing of funds, or obtaining a loan in order to finance the acquisition of certain fixed assets. The focal point of this paper is an examination of the nature of the costs of fixed assets that can be capitalized Consequently, discussions revolve around the meaning of capitalization of interest or borrowing costs; steps that are involved in the computation of capitalization of interest costs; the arguments in favour and against interest costs capitalization. Technical difficulties or problems that confront an organization‘s policy on capitalization of interest costs such as the identification of the amount of financing costs that should be capitalized are also discussed. The paper concludes that there are finely balanced arguments in favour and against capitalisation. Furthermore, enterprises should be allowed to decide whether or not to capitalize their borrowing costs on fixed assets that take a substantial period of time to bring into service; and the requirements that are applicable to those enterprises that do not capitalize borrowing costs are aimed at ensuring that a consistent capitalization policy is adopted within the enterprise. Again, through disclosure the impact of capitalization on the results and financial position of the enterprise are understood; and that there is comparability between enterprises capitalizing interest costs
64
Biaya yang dikapitalisasi sebagai harga perolehan untuk aktiva tetap gedung adalah harga beli, biaya perbaikan sebelum gedung itu dipakai, komisi pembelian, bea balik nama, pajak-pajak yang menjadi tanggungan pembeli pada waktu pembelian. Apabila gedung itu dibuat sendiri maka harga perolehan gedung terdiri dari biaya-biaya pengurusan
pembuatan izin
gedung,
bangunan,
biaya
perencanaan,
pajak-pajak
selama
biaya masa
pembangunan gedung, bunga selam pembuatan gedung, asuransi selama masa pembangunan. Alat-alat perlengkapan gedung seperti tangga berjalan, lift dan lain-lain dicatat tersendiri dalam rekening alat-alat gedung dan akan didepresiasi selama umur alatalat tersebut. Wichita Falls Public Schools Administrative Regulation USA dalam modulnya mendeskripsikan kriteria kapitalisasi untuk tanah dan bangunan sebagai berikut: Land and Buildings: 1. Acquisitions of land and buildings will be capitalized as fixed assets regardless of cost. 2. New construction to existing buildings will be capitalized regardless of cost. Remodeling which increases the useful life of the building or substantially changes the use of the building will be capitalized as an addition to the building cost. Exceptions to this rule must be documented in the permanent file for the property. 3. Building improvements and major repairs not meeting the criteria in 2 above, but for which the cost is $100,000 or greater, will be capitalized as an addition to the building cost. Exceptions to this rule must be documented in the permanent file for the property.
65
Hal penting yang perlu
dicermati
dalam deskripsi kriteria
kapitalisasi untuk tanah dan bangunan di atas adalah dalam melakukan kapitalisasi: 1) mengabaikan sumber pembiayaan tersebut
diperoleh,
2)
biaya
penambahan
konstruksi
baru
(rehabilitasi) terhadap bangunan dikapitalisasi ke dalam nilai bangunan tersebut dan manambah
masa
penggunaan, 3)
penambahan konstruksi baru (rehabilitasi) tersebut bernilai $ 100,000 (seratus ribu dollar Amerika) atau lebih.
2. Kapitalisasi Pada Sektor Publik/Pemerintahan Definisi
kapitalisasi
berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan Republik Indonesia (KMK RI) No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah Pasal 1 adalah sebagai berikut: Kapitalisasi adalah penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memperoleh aset tetap hingga siap pakai, untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi, dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka menambah nilai-nilai aset tersebut. Standar Akuntansi Pemerintahan PSAP 07-8 mengatur kapitalisasi sebagai berikut: 50. Pengeluaran setelah perolehan awal suatu aset tetap yang memperpanjang masa manfaat atau yang kemungkinan besar memberi manfaat ekonomik di masa yang akan datang dalam bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan
66
standar kinerja, harus ditambahkan pada nilai tercatat aset yang bersangkutan. 51. Kapitalisasi biaya dimaksud pada paragraf 50 harus ditetapkan dalam kebijakan akuntansi suatu entitas berupa kriteria seperti pada paragraph dan/atau suatu batasan jumlah biaya (capitalization thresholds) tertentu untuk dapat digunakan dalam penentuan apakah suatu pengeluaran harus dikapitalisasi atau tidak. 52. Dikarenakan organisasi pemerintah sangatlah beragam dalam jumlah dan penggunan aset tetap, maka suatu batasan jumlah biaya kapitalisasi (capitalization thresholds) tidak dapat diseragamkan untuk seluruh entitas yang ada. Masing-masing entitas harus menetapkan batasan jumlah tersebut dengan mempertimbangkan kondisi keuangan dan operasionalnya. Bila telah terbentuk maka batasan jumlah biaya kapitalisasi (capitalization thresholds) harus diterapkan secara konsisten dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Lebih lanjut, kapitalisasi juga diatur dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 239 yang menyatakan bahwa kebijakan kapitalisasi aset merupakan pengakuan terhadap jumlah kas/setara kas dan nilai wajar imbalan lainnya yang dibayarkan sebagai penambah nilai aset tetap. Pemeliharaan terhadap aset tetap yang bersifat rutin dan berkala tidak dapat dikapitalisasi. Rehabilitasi yang bersifat sedang dan berat dikapitalisasi apabila memenuhi salah satu kriteria menambah volume, menambah kapasitas, meningkatkan fungsi, meningkatkan efisiensi dan/atau menambah masa manfaat. Pengeluaran-pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang dapat
dikapitalisasi
diatur
dalam
Pasal
3
KMK
RI
No.
01/KM.12/2001 yaitu:
67
a. pembangunan gedung dan bangunan meliputi: 1) pembangunan gedung dan bangunan yang dilaksanakan melalui kontrak berupa pengeluaran nilai kontrak, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, jasa konsultan, biaya pengosongan dan pembongkaran bangunan lama; 2) pembangunan yang dilaksanakan secara swakelola berupa biaya langsung dan tidak langsung sampai siap pakai meliputi biaya bahan baku, upah tenaga kerja, sewa peralatan, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, biaya pengosongan dan pembongkaran bangunan lama; Batasan nilai nominal rupiah yang dapat dikapitalisasi untuk gedung dan bangunan dinyatakan dalam Pasal 6 KMK RI No. 01/KM.12/2001 yaitu: (1)
(2)
(3)
Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap adalah pengeluaran pengadaan baru dan penambahan nilai aset tetap dari hasil pengembangan, reklasifikasi, renovasi, dan restorasi. Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap meliputi: a. pengeluaran untuk per satuan peralatan dan mesin, dan alat olah raga yang sama dengan atau lebih dari Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah); dan b. pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang sama dengan atau lebih dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan terhadap pengeluaran untuk tanah, jalan/irigasi/jaringan, dan aset tetap lainnya berupa koleksi perpustakaan dan barang bercorak kesenian.
B. Belanja Daerah Definisi belanja menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 adalah sebagai berikut: Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah
68
Definisi lain dari belanja menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 adalah sebagai berikut belanja ialah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Kedua definisi tersebut di atas menjelaskan bahwa transaksi belanja akan menurunkan ekuitas dana pemerintah daerah. Kedua peraturan
yang
mengklasifikasikan
mengatur belanja
penatusahaan dengan
belanja
tersebut,
yang
berbeda.
klasifikasi
Perbedaan dimaksud semata-mata karena ada hal lain yang ingin dicakup dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006. Sebagaimana diketahui Permendagri No. 13 Tahun 2006 merupakan pedoman pengelolaan perencanaan,
keuangan daerah, penganggaran,
yang
mencakup
mengenai
penatausahaan, akuntansi
dan
pertanggungjawaban. Sebagai instrumen penganggaran, beberapa informasi diperlukan, di antaranya informasi pengendalian yang dikaitkan dengan konsep anggaran berbasis kinerja.
Tabel II.1 Penggolongan Belanja Menurut PP No. 24 Tahun 2005 Permendagri No. 13 Tahun 2006 PP No. 24 Tahun 2005 Belanja Operasi:
Permendagri No. 13 Tahun 2006 Belanja Tidak Langsung:
69
a. Belanja pegawai
a. Belanja pegawai
b. Belanja barang
b. Belanja bunga
c. Bunga
c. Belanja subsidi
d. Subsidi
d. Belanja hibah
e. Hibah
e. Belanja bantuan sosial
f. Bantuan sosial
f. Belanja bagi hasil kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa
Belanja Modal:
g. Belanja bantuan keuangan
a. Belanja tanah b. Belanja
peralatan
dan
Provinsi/Kabupaten/Kota
mesin c. Belanja
gedung
dan
Belanja jalan, irigasi, dan jaringan
Belanja Langsung: a. Belanja pegawai
e. Belanja aset tetap lainnya f. Belanja aset lainnya
Konsep
dan Pemerintah Desa h. Belanja tidak terduga
bangunan d.
kepada
anggaran
b. Belanja barang dan jasa c. Belanja modal
berbasis
kinerja
menghendaki
adanya
keterkaitan antara output/hasil dari suatu program/kegiatan dikaitkan dengan input yang digunakan. Dalam bahasa keuangan, input tersebut tercermin dari belanja yang dikeluarkan untuk membiayai suatu program ataupun kegiatan. Oleh karena itu untuk tujuan dimaksud dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 terdapat pengelompokan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan program dan kegiatan, sedangkan Belanja Tidak Langsung merupakan
70
belanja yang tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program/kegiatan. Selanjutnya, untuk keperluan penyajian Laporan Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, Permendagri No. 13 Tahun 2006 telah mengamanatkan bahwa penyajian laporan keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel II.1. Kewenangan Satuan Kerja (Satker) dalam transaksi belanja meliputi Belanja Tidak Langsung, yaitu belanja pegawai, dan Belanja
Langsung,
yaitu
belanja
pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal. Campo dan Tommasi (1991) dalam Buletin Teknis (Bultek) SAP No. 04 menyatakan bahwa pengklasifikasian belanja sangat penting dalam rangka untuk untuk memberikan kerangka dasar baik untuk pengambilan keputusan maupun untuk akuntabilitas. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, mengklasifikasikan belanja menurut organisasi, fungsi, dan ekonomi. Pengklasifikasian belanja tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penganggaran dan pelaporan. Untuk tujuan manajemen anggaran, klasifikasi menurut jenis belanja sangat penting untuk digunakan dalam pengendalian anggaran (budgetary control) dan monitoring. PSAP No. 02 Paragraf 34 menetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi, dan fungsi. Klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi belanja operasi, belanja modal dan belanja lain-lain/tak terduga.
71
Belanja operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah pemerintah,
dalam
sedangkan
rangka belanja
menyelenggarakan modal
adalah
operasional
belanja
yang
dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal. Belanja operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain/tak terduga. Klasifikasi belanja menurut fungsinya terbagi atas
belanja
pelayanan
umum,
pertahanan,
ketertiban dan ketentraman, ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, perumahan dan pemukiman, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. Pengklasifikasian ini mengikuti pola Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF). Klasifikasi belanja menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 27 terbagi atas: 1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, dan kegiatan, serta jenis belanja; 2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah; 3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari: (a) klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial pemerintahan daerah, dan (b) klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara. Pengklasifikasi belanja sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut:
72
1. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. 2. Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Terdapat perbedaan pengklasifikasian belanja antara PP No. 24 Tahun 2005 dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 dimana dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi pertahanan dan agama karena kedua fungsi tersebut adalah kewenangan pemerintahan pusat dan tidak didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Pengklasifikasian belanja berdasarkan kriteria apakah suatu belanja
mempunyai
kaitan/hubungan
langsung
dengan
program/kegiatan atau tidak, terbagi atas 1) belanja langsung seperti belanja honorarium, belanja barang dan belanja modal dan 2) belanja tidak langsung seperti misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan sebagainya. Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan
untuk
mendukung
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja daerah dapat dikategorikan ke dalam belanja aparatur dan belanja
73
publik. Belanja publik merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat. Meskipun demikian, seiring perubahan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pengelolaan keuangan daerah sejak pemberlakuan Kepmendagri No. 29 Tahun 2003 yang selanjutnya diganti dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan diubah dengan Permendagri 59 Tahun 2007 kategorisasi belanja daerah selalu mengalami perubahan nama. Kebijakan pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk meningkatkan
fungsi
mengupayakan
pelayanan
peningkatan
porsi
kepada belanja
masyarakat,
dengan
pembangunan
dan
melakukan efisiensi pada belanja aparatur.
C. Aset Aset tetap merupakan elemen pendukung penting dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya
setiap
tahun
diadakan
pengadaan,
rehabilitasi
dan
pemeliharaan aset tetap oleh pemerintahan daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak
74
jangka panjang secara finansial. Definisi aset tetap atau aktiva tetap berdasarkan PSAK No. 16: Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi entitas, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal entitas dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Syaiful (2007) mendefinisikan aset sebagai sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya, sedangkan aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Bastian (2001: 131) menyatakan aset tetap sebagai berikut: Aset tetap adalah aktiva berujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi entitas pemerintah, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal entitas pemerintah dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Standar Akuntansi Pemerintahan dalam PSAP 07-1 mendefinisikan aset: Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu
75
dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan sejarah dan budaya. Lampiran II Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 2005 menyatakan aset sebagai berikut: 60. Unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dana. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut: (a) Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. (b) Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. (c) Ekuitas Dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah. 61. Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi aset tersebut untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi pemerintah. 62. Aset diklasifikasikan ke dalam aset lancar dan nonlancar. Suatu aset diklasifikasikan sebagai aset lancar jika diharapkan segera untuk dapat direalisasikan atau dimiliki untuk dipakai atau dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan. Aset yang tidak dapat dimasukkan dalam kriteria tersebut diklasifikasikan sebagai aset nonlancar. 63. Aset lancar meliputi kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang, dan persediaan. 64. Aset nonlancar mencakup aset yang bersifat jangka panjang, dan aset tak berwujud yang digunakan baik langsung maupun
76
tidak langsung untuk kegiatan pemerintah atau yang digunakan masyarakat umum. Aset nonlancar diklasifikasikan menjadi investasi jangka panjang, aset tetap, dana cadangan, dan aset lainnya. 65. Investasi jangka panjang merupakan investasi yang diadakan dengan maksud untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan manfaat sosial dalam jangka waktu lebih dari satu periode akuntansi. Investasi jangka panjang meliputi investasi non permanen dan permanen. Investasi nonpermanen antara lain investasi dalam Surat Utang Negara, penyertaan modal dalam proyek pembangunan, dan investasi non permanen lainnya. Investasi permanen antara lain penyertaan modal pemerintah dan investasi permanen lainnya. 66. Aset tetap meliputi tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset tetap lainnya, dan konstruksi dalam pengerjaan. Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD. Secara singkat, berikut pengertian dan implikasi kedua sumber aset ini: 1. Aset yang bersumber
dari
pelaksanaan APBD
merupakan
output/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Namun, pengakuan besarnya nilai aset tidak sama dengan besaran anggaran belanja modal. Penafsiran atas Permendagri No.13/2006 memang memungkinkan kita menyataan bahwa besaran belanja modal sama dengan besaran penambahan aset di neraca. Hal ini kurang pas jika neraca dipandang dari konsep akuntansi, karena penilaian suatu aset haruslah sebesar nilai perolehannya (konsep full cost). Artinya, seluruh biaya yang dikeluarkan sampai aset tersebut siap digunakan (ready to use)
77
haruslah dihitung sebagai kos aset bersangkutan. Dalam konsep anggaran kinerja, biaya yang dikeluarkan adalah semua biaya yang menjadi masukan (input) dalam pelaksanaan kegiatan yang menghasilkan aset ini. Dengan demikian, termasuk di dalamnya belanja pegawai dan belanja barang & jasa, selain dari belanja modal tentunya. Jadi, kos untuk aset adalah seluruh pengeluaran untuk mencapai outcome. 2. Aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini, pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja pegawai dan belanja barang & jasa. Pemda sering menerima aset dari pihak lain, seperti lembaga donor dan masyarakat. Saat ini, beberapa daerah menerima penambahan aset yang cukup signifikan dari pihak lain, seperti di Aceh, Sumut, dan DIY. Di Aceh, ALGAP dan LGSP memberikan sumbangan peralatan kerja seperti komputer jinjing, jaringan internet, dan printer. Belum lagi pembangunan gedung untuk perkantoran dari NGO asing.
D. Aset Tetap Gedung dan Bangunan Bastian (2001:131-132) mengklasifikasikan aset berdasarkan kesamaan dalam sifat atau fungsinya dalam aktivitas operasi entitas, berikut adalah klasifikasi aset tetap yang digunakan: tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset
78
tetap lainnya; dan konstruksi dalam pengerjaan. Karena aktiva memiliki wujud maka seringkali aktiva tetap disebut aktiva tetap berwujud (tangible fixed assets). Aset gedung dan bangunan untuk sektor
publik/pemerintahan
diatur
dalam
Standar
Akuntansi
Pemerintahan PSAP 07-3 menyatakan bahwa gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Termasuk dalam kategori gedung dan bangunan adalah BMN yang berupa bangunan gedung, bangunan menara, rambu-rambu, serta tugu titik kontrol. Menurut Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Republik Indonesia No.
01/KM.12/2001
tentang
Pedoman
Kapitalisasi
Barang
Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintahan, gedung dan bangunan yang harus dibukukan dalam Buku Inventaris Intrakomptabel dan dilaporkan dalam neraca adalah: 1) Semua gedung dan bangunan yag diperoleh sebelum 1 Januari 2002, 2) Gedung dan bangunan yang diperoleh setelah 1 Januari 2002 dengan biaya perolehannya lebih besar atau sama dengan Rp. 10.000.000,3) Gedung dan bangunan yang berasal dari transfer masuk/hibah dan penerimaan dari pertukaran.
79
Gedung dan bangunan yang tidak memenuhi kriteria di atas dibukukan dalam buku inventaris yang terpisah/tersendiri dan tidak dilaporkan, yaitu dalam Buku Inventaris Ekstrakomptabel. Pembukuan gedung dan bangunan
tersebut
dalam
Buku
Inventaris
Ekstrakomptabel
berdasarkan KMK No. 18/KMK.018/1999 dalam neraca nampak dalam tabel berikut: Tabel II.2 Pencatatan Aset Gedung Dalam Neraca Berdasarkan KMK No. 18/KMK.018/1999 Klasifikasi BMN Menurut KMK No.18/KMK.018/1999 Kode Bidang
Nama Bidang
1.06 1.08
Bangunan Gedung Bangunan Menara
1.09 1.10
Rambu-rambu Tugu Titik Kontrol/Pasti
Perkiraan Buku Besar Aset dalam BPS Kode BB 131511
Nama Perkiraan
Gedung dan Bangunan
1. Pengakuan Gedung dan Bangunan Gedung dan bangunan yang diperoleh bukan dari donasi diakui pada periode akuntansi ketika aset tersebut siap digunakan berdasarkan jumlah belanja modal yang diakui untuk aset tersebut. Gedung dan bangunan yang diperoleh dari donasi diakui pada saat gedung dan bangunan tersebut diterima dan hak kepemilikannya berpindah.
80
Pengakuan atas gedung dan bangunan ditentukan jenis transaksinya
meliputi:
penambahan,
pengembangan,
dan
pengurangan. Penambahan adalah peningkatan nilai gedung dan bangunan yang disebabkan pengadaan baru, diperluas atau diperbesar. Biaya penambahan dikapitalisasi dan ditambahkan pada
harga
perolehan
gedung
dan
bangunan
tersebut.
Pengembangan adalah peningkatan nilai gedung dan bangunan karena peningkatan manfaat yang berakibat pada: durasi masa manfaat,
peningkatan
efisiensiensi
dan
penurunan
biaya
pengoperasian. Pengurangan adalah penurunan nilai gedung dan bangunan dikarenakan berkurangnya kuantitas asset tersebut. 2. Pengukuran Gedung dan Bangunan Gedung dan bangunan dinilai dengan biaya perolehan. Apabila penilaian gedung dan bangunan dengan menggunakan biaya perolehan tidak memungkinkan maka nilai aset tetap didasarkan pada nilai wajar/taksiran pada saat perolehan. Biaya perolehan gedung dan bangunan yang dibangun dengan cara swakelola meliputi biaya langsung untuk tenaga kerja, bahan baku, dan biaya tidak langsung termasuk biaya perencanaan dan pengawasan, perlengkapan, tenaga listrik, sewa peralatan, dan semua biaya lainnya yang terjadi berkenaan dengan pembangunan aset tetap tersebut. Jika gedung dan bangunan diperoleh melalui
81
kontrak, biaya perolehan meliputi nilai kontrak, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, serta jasa konsultan. 3. Pengungkapan Gedung dan Bangunan Gedung dan bangunan disajikan di Neraca sebesar nilai moneternya. Selain itu di dalam catatan atas laporan keuangan diungkapkan pula: 1) Dasar penilaian yang digunakan untuk menentukan nilai. 2). Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan: a. Penambahan, b. Pengembangan, dan c. Penghapusan. 3). Kebijakan akuntansi untuk kapitalisasi yang berkaitan dengan gedung dan bangunan.
BAB III METODA PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang pendekatan
deskriptif
digunakan (descriptive
dalam penelitian
ini
research)
pendekatan
yaitu
adalah
penelitian yang berusaha menggambarkan kondisi dan fenomena yang terjadi di lapangan tentang fokus penelitian seobjektif mungkin.
82
Pendekatan deskriptif bertujuan untuk memberikan penyandaraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifatsifat populasi tertentu (Husaini dan Purnomo 1995). Data yang dipergunakan dalam penelitian deskriptif adalah data kualitatif yang bertumpu pada tulisan ucapan atau perilaku yang dapat diamati dari orang-orang itu sendiri (Bogdan dan Taylor 1992). Penelitian yang dilakukan berusaha mengevaluasi kondisi yang terjadi di lapangan menggunakan data kualitatif yang dideskripsikan sesuai dengan fenomena yang ada dilapangan sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan praktis maupun ilmu pengetahuan. Tyler (1950) dalam Hernawo (2007) menyatakan evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana pendidikan dapat dicapai, evaluasi juga diartikan sebagai menyediakan informasi untuk pembuat keputusan
sebagaimana
dinyatakan
oleh
Cronbach
(1963),
Stufflebeam (1971) dan Alkin (1969). Maclcolm dan Provus (1971) dalam Hernawo (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai perbedaan apa yang ada dengan suatu standar untuk mengetahui apakah ada selisih. Komite gabungan yang dibentuk untuk membahas mengenai standar evaluasi atau yang disebut dengan Joint Committee (1981) dalam Hernawo (2007) yang terdiri atas 17 (tujuh belas) anggota yang mewakili 12 (dua belas) organisasi di dunia telah mendefinisikan evaluasi sebagai penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto dan Suparman (1999)
83
dalam Hernawo (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan tentang program pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan teori-teori tentang pendefinisian istilah evaluasi tersebut,
evaluasi
yang
dilakukan
dalam
penelitian
ini
lebih
menekankan pada sejauh mana gambaran implementasi di lapangan dihubungkan dengan standar yang ada dan apakah terdapat perbedaan diantara keduanya yang dapat menimbulkan selisih. Peneliti dalam penelitian ini bertindak sebagai pelaku utama dalam investigasi, inventarisasi dan pengolahan data dalam rangka memperoleh gambaran kondisi di lapangan sesuai fokus dan obyek penelitian sehingga untuk itu kehadiran peneliti di lapangan secara langsung dalam penelitian deskriptif mutlak dilakukan.
B. Metoda Pengumpulan Data Data yang dipergunakan dalam penelitian deskriptif adalah data kualitatif yang terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari sumber aslinya secara langsung sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai dengan kata lain data primer adalah data yang hanya dapat kita peroleh dari sumber asli atau pertama. Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui studi
84
lapangan yang dilakukan dengan dua metode pengumpulan data, yaitu: a. Wawancara yang dipandu dengan kuesioner (di lampiran), yaitu suatu proses memperoleh informasi dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden yaitu Bendahara Umum Daerah, Tim Reviu Laporan Keuangan Daerah (LKD), dan Bendahara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun pihak lain yang terkait, dengan menggunakan seperangkat pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden. b. Observasi, yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan secara langsung dan terencana untuk menggambarkan kejadian, perilaku, dan benda artifak yang ada di lokasi penelitian yang diteliti Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia atau sudah ada sebelumnya sehingga tinggal mencari dan mengumpulkannya. Data sekunder berfungsi sebagai pendukung dalam memahami masalah yang diteliti dan memperjelas masalah menjadi lebih operasional dalam penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini antara lain adalah Neraca Daerah Per 31 Desember 2008, Catatan Atas Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2008, Kabijakan Akuntansi Pemerintah Daerah, dan Daftar Gedung dan Bangunan Milik/Dikuasi Pemerintah Daerah.
85
Penelitian
kualitatif
berbeda
dengan
penelitian
kuantitatif.
Penelitian kuantitatif sangat tergantung pada data yang diperoleh melalui
daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dibatasi
sedemikian
rupa
yang
kemudian
daftar
pertanyaan
tersebut
disampaikan ke responden melalui kurir, pos atau telephone, dalam penelitian kualitatif kepiawaian seorang peneliti dilapanganlah yang menentukan
keberhasilan
proses
pengumpulan
data.
Metode
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif merupakan perpanjangan dari kegiatan yang lazim dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya seperti membaca, melihat, mendengar, berbicara, dan seterusnya. Dalam bahasa metodologis, kegiatan seperti ini disebut observasi dan interview. Kedua jenis metode ini merupakan aktifitas utama yang pada umumnya dilakukan peneliti dalam proses pengumpulan data kualitatif. Dalam penelitian deskriptif yang mempergunakan data kualitatif menuntut peneliti untuk turun langsung ke lapangan berinteraksi dengan komunitas yang diteliti dan mungkin terlibat langsung dalam kegiatan yang mereka lakukan. Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Identifikasi subyek penelitian untuk memperoleh gambaran awal mengenai karakteristik yang dimiliki oleh subyek penelitian subyek penelitian dan materialitas aset gedung dan bangunan yang dimiliki subyek penelitian.
86
b. Merancang daftar materi pertanyaan untuk menggali informasi dan data yang berkaitan dengan kapitalisasi belanja modal yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan. c. Observasi lapangan dimana peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai kondisi dan situasi subyek penelitian. d. Wawancara untuk menggali informasi tentang kapitalisasi belanja modal yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan yang terjadi
pada
subyek
penelitian
berdasarkan
daftar
materi
pertanyaan yang telah dibuat. e. Inventarisasi data yang diperoleh dari lapangan sesuai dengan jenisnya berdasarkan fokus penelitian.
C. Analisis Data Analisis data dilakukan dalam rangka untuk memaknai dan mendapatkan pemahaman dari pernyataan-pernyataan atau gambaran perilaku yang terdapat dalam catatan lapangan. Prosedur yang dilakukan dalam analisa data adalah sebagai berikut: a. Mengiventarisir data, b. Mengorganisir data, c. Mengolah data sesuai fokus penelitian, dan d. Menarik kesimpulan awal dari hasil pengolahan data.
87
D. Tahap-Tahap Penelitian Secara garis besar tahap-tahap dari penelitian yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Penelitian pendahuluan untuk memahami karakteristik subyek penelitian melalui informasi-informasi yang berkaitan dengan subyek penelitian, b. Menentukan desain penelitian (wawancara dan observasi), c. Penelitian di lapangan, d. Inventarisasi data dari lapangan, e. Analisis data, f. Penarikan kesimpulan awal, g. Expose kesimpulan awal untuk memperoleh tanggapan (feed back) dari obyek penelitian, dan h. Membuat kesimpulan akhir. i.
Penulisan hasil penelitian.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Kabupaten Sragen 1. Gambaran Umum Kabupaten Sragen adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan ibu kotanya adalah Sragen dan pusat pemerintahan di Jalan Raya Sukowati No. 255 Telp. (0271)
88
891025, Hunting (8 saluran) Fax. 891297 Sragen 57211. Sragen berada sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Grobogan di utara, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan, serta Kabupaten Boyolali di barat. Sragen terletak di jalur utama SoloSurabaya dan merupakan gerbang utama sebelah timur Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. Luas Kabupaten Sragen adalah 946,49 km² terbagi atas 20 kecamatan. Dasar hukum berdirinya Pemerintahan Kabupaten Sragen adalah UU No. 13 Tahun 1950. Visi Kabupaten Sragen Tahun 2006-2011 adalah “Sragen menjadi Kabupaten Cerdas” yang dislogankan dalam istilah “Smart Regency”. Sedangkan Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen adalah
"Mewujudkan
Rakyat
yang
Unggul,
Produktif,
dan
Sejahtera".
2. Proses Penelitian Langkah-langkah
yang
ditempuh
oleh
peneliti
untuk
memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan dalam penelitian di Kabupaten Sragen terbagi atas tahapan-tahapan berikut:
89
1. Obsevasi dan identifikasi awal subyek penelitian melalui informasi-informasi
awal
yang
berkaitan
dengan subyek
penelitian. 2. Mempersiapkan materi wawancara/interview sesuai dengan fokus penelitian. 3. Peneliti melakukan komunikasi dan koordinasi dengan subyek penelitian mengenai waktu dan lokasi wawancara/interview. 4. Peneliti bertemu langsung dengan subyek penelitian dan melakukan wawancara/interview berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu tetapi tidak menutup kemungkinan
pertanyaan
berkembang
sejauh
kedalaman
materi/data/informasi yang ingin digali/didapat oleh peneliti. Subyek dalam penelitian di Kabupaten Sragen adalah 11 orang Bendahara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Dinas Perhubungan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian
dan
Ketahanan
Pangan,
Inspektorat,
Dinas
Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendapatan Pengelolaan Kekayaaan dan Aset Daerah, Sekretariat Daerah, dan Dinas Pendidikan 5. Dokumentasi dan inventarisasi data dan informasi yang diperoleh.
90
3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan Berdasarkan data sekunder diketahui bahwa dari alokasi belanja (belanja operasi, belanja modal & belanja tak terduga) dalam APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp.799.960.083.000,- dapat terealisir sebesar Rp. 686.473.841.699,- (85,81%) dan realisasi belanja terkecil adalah belanja tak terduga (30,22%) dan realisasi belanja tertinggi adalah belanja operasi (90,48%). Tabel IV.1 Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008
NO
APBD
BELANJA OPERASI Rp.
%
BELANJA MODAL Rp.
%
BELANJA TAK TERDUGA Rp. %
1
Anggaran
644.511.195.000
100,00
153.198.888.000
100,00
2.250.000.000
100,00
2
Realisasi
583.131.186.612
90,48
102.662.655.087
67,01
680.000.000
30,22
Selisih
61.380.008.388
9,52
50.536.232.913
32,99
1.570.000.000
69,78
Sumber: Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Data sekunder (Neraca Daerah Per 31 Desember 2008) menyatakan bahwa selama tahun 2008 terdapat pertambahan nilai aset gedung dan bangunan sebesar Rp. 46.402.421.591,- (nilai aset
gedung
dan
bangunan
Tahun
Anggaran
2007
Rp.
221.894.613.671,- dan nilai aset gedung dan bangunan Tahun
91
Anggaran
2008
Rp.
268.297.035.262,-).
Hasil
interview
menyatakan bahwa pertambahan nilai aset gedung dan bangunan tersebut diakibatkan oleh adanya pembangunan gedung dan bangunan baru (Tabel IV.2) serta rehab gedung dan bangunan lama. Tabel IV.2 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008 NO
URAIAN
NILAI (Rp.)
1 Gedung Kantor Dinkes 2 Rumah Dinas Kepala Puskesmas
1.869.382.500
3 Bangunan Sekolah Pendidikan
4.637.327.000
326.498.100
Jumlah 6.833.207.600 Sumber: Catatan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Tabel IV.3 Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008 NO
URAIAN
1 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan 2 Penambahan aset gedung dan bangunan baru 3 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan tidak dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru 4 Belanja APBD TA 2008 5 Prosentase (%) pertambahan nilai aset tidak dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan
NOMINAL (Rp.) 46.402.421.591 6.833.207.600 39.569.213.991
686.473.841.699 5,76
92
bangunan baru terhadap Belanja APBD Sumber: Catatan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008
Data sekunder menyatakan bahwa terdapat penyerapan belanja ke dalam nilai aset gedung dan bangunan atau dengan kata lain nilai belanja yang diakui/menambah nilai aset gedung dan bangunan, dan untuk Kabupaten Sragen nilai belanja yang terserap/menambah nilai aset gedung dan bangunan untuk Tahun Anggaran
2008
adalah
dari
alokasi
belanja
sebesar
Rp.
686.473.841.699 terserap dan menambah nilai aset gedung dan bangunan tidak karena penambahan aset gedung dan bangunan baru sebesar Rp. 39.569.213.991,- atau 5,76% (Tabel IV.3). 4. Prosedur Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung dan Bangunan Peraturan (Keputusan
perundang-perundangan
Menteri
01/KM.12/2001
Keuangan
tentang
baik
Republik
Pedoman
ditingkat
Indonesia
Kapitalisasi
pusat Nomor Barang
Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah) maupun di tingkat daerah (Peraturan Bupati Sragen Nomor 14 Tahun 2006, tanggal 21-6-2006 tentang Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen) tidak mengatur secara
spesifik
tentang
prosedur
yang
dilakukan
dalam
93
pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan. Hasil interview terhadap 11 orang Bendahara SKPD pada saat penelitian lapangan bulan Aprir 2009 sampai dengan Mei 2009 di Dinas Perhubungan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Inspektorat, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendapatan Pengelolaan Kekayaaan dan Aset Daerah, Sekretariat Daerah, dan Dinas Pendidikan diperoleh gambaran bahwa tidak semua bendahara memahami konsep kapitalisasi sehingga bendahara mempunyai kecenderungan untuk tidak melakukan kapitalisasi terhadap belanja yang dapat diakui sebagai nilai aset khususnya aset gedung dan bangunan. Dari interview terhadap 5 orang Bendahara SKPD (Dinas Perhubungan, Dinas Hutbun, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian) yang mempunyai pemahaman tentang kapitalisasi dapat dirumuskan prosedur kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan sebagai berikut: 1) Identifikasi dana yang dipergunakan untuk belanja berpedoman pada sumber belanja tersebut berasal (alokasi dalam mata anggaran
belanja)
dengan
berpedoman
pada
Daftar
Penggunaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPASKPD).
94
2) Identifikasi biaya/belanja yang dikapitalisir ke dalam masingmasing aset sesuai kriteria yang telah ditetapkan dalam Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan. 3) Pengakuan belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan. 4) Pengukuran belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan dengan menggunakan mata uang rupiah berdasarkan nilai nominal kas yang dikeluarkan. 5) Pelaporan nilai aset aset gedung dan bangunan dalam Neraca Daerah dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
5. Akuntansi Belanja Daerah Akuntansi belanja yang diterapkan oleh Bendahara Satuan Kerja berdasarkan interview adalah sebagai berikut, transaksi belanja yang terjadi pada Satuan Kerja dicatat oleh Petugas Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja (PPK Satker)/Petugas Penatausahaan Keuangan Daerah (PPKD) secara harian pada saat kas dibayarkan oleh bendahara pengeluaran atau pada saat menerima tembusan bukti transfer dari pihak ketiga. Akuntansi belanja dilaksanakan berdasarkan asas bruto. Untuk transaksi belanja modal, pencatatan dilakukan secara corollary, yaitu dicatat dengan 2 (dua) jurnal, satu untuk mencatat belanja dan yang lain
95
untuk mencatat aset yang diperoleh dari transaksi belanja modal tersebut. Jurnal untuk mencatat transaksi belanja modal, misalnya pengadaan gedung dan bangunan baru dilakukan sebagai berikut: 1) Mencatat belanja modal dalam neraca dan laporan realisasi anggaran: Belanja Modal .................................................................... xx Kas ............................................................................................ xx 2) Mencatat akun aset tetap gedung dan bangunan dan akun ekuitasnya dalam jurnal korolari: Gedung dan Bangunan ...................................................... xx Diinvestasikan
dalam
Aset
Tetap
............................................. xx Dengan penjurnalan di atas, pengeluaran kas akan dicatat dalam neraca dan laporan realisasi anggaran sekaligus aset gedung dan bangunan tercatat dalam akun aset tetap dan akun diinvestasikan dalam aset tetap dalam jumlah nominl yang sama. Pengakuan terhadap aset disesuaikan dengan kebijakan akuntansi pemerintah daerah tentang kapitalisasi aset yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap jumlah kas/setara kas dan nilai wajar imbalan lainnya yang
dibayarkan sebagai
penambah nilai aset tetap. Pedoman yang digunakan oleh
96
bendahara SKPD dalam akuntansi belanja adalah Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 900/743/BAKD tentang Akuntansi Di Satuan Kerja. 6. Kapitalisasi Belanja Daerah Terdapat polemik dalam pengalokasian belanja daerah sebagai akibat dari adanya 2 (dua) peraturan yang saling bertentangan. Permendagri Nomor 13/2006 mengklasifikasikan belanja dalam 3 (tiga) jenis yaitu 1) Belanja Administrasi Umum, yaitu belanja tidak langsung yang dialokasikan pada kegiatan yang tidak menambah aset), 2) Belanja Operasi dan Pemeliharaan yaitu belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan non investasi
(tidak
menambah
aset),
dan
3)
Belanja
Modal/Pembangunan yaitu belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (menambah aset), sementara menurut
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
Nomor
91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Menkeu Nomor 13/PMK.06/2005 tidak mengakomodir adanya belanja umum. Lampiran PMK Nomor 91/PMK.05/2007 BAB III Bagian Ketiga mengklasifikasikan belanja dalam 8 katagori yaitu 1) Belanja Pegawai, 2) Belanja Barang, 3) Belanja Modal, 4) Pembayaran Bunga Utang, 5) Subsidi, 6) Hibah, 7) Bantuan Sosial, dan 8) Belanja Lain-lain.
97
Hasil interview dengan bendahara SKPD pada Inspektorat, Dinas Perhubungan, Dinas Hutbun, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian diperoleh kondisi bahwa memang terdapat perbedaan aplikasi di lapangan terkait
dengan
pemahaman
bendahara
SKPD
terhadap
pengalokasian belanja, sebagai contoh misalnya di Inspektorat Kabupaten Sragen terdapat alokasi belanja untuk rehab gedung dan bangunan tahun 2008 senilai Rp. 139.000.000,- dari Anggaran ADB (Asian Development Bank). Sesuai dengan DPA-SKPD yang ada, biaya umum (biaya persiapan, biaya pengawasan, biaya ATK) masuk/dikapitalisasi menambah nilai aset karena dalam DPASKPD rehab yang bersangkutan, hal ini dapat terjadi apabila biaya umum menjadi sub rekening dari belanja modal aset gedung dan bangunan sehingga dapat langsung diakui sebagai penambah nilai aset. Realisasi di lapangan hal tersebut ternyata tidak terjadi, ketika Inspektorat Kabupaten Sragen merehab gedung senilai Rp. 147.000.000,- dari anggaran APBD II, dalam kegiatan rehab tersebut biaya umum tidak dikapitalisasi menambah nilai aset karena dalam DPA-SKPD yang ada, biaya umum tidak menjadi sub rekening dari belanja modal tetapi menjadi rekening yang berbeda yaitu rekening belanja barang dan jasa sehingga tidak dapat secara langsung diakui sebagai penambah nilai aset. Penyebab tidak masuknya rekening biaya umum menjadi sub rekening
98
belanja modal karena daerah mengacu pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan tidak berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007. Bendahara Umum Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen membenarkan atas kondisi yang terjadi bahwa dalam pengelolaan belanja daerah telah terjadi kesimpangsiuran sebagai akibat dari adanya
dua
peraturan
perundang-undangan
yang
saling
bertentangan. Pemahaman yang timbul dalam pengelolaan belanja adalah bahwa untuk belanja yang bersumber dari APBN (pusat) maka pedoman yang digunakan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK.05/2007 sedangkan untuk belanja
yang
bersumber
dari
APBD
berpedoman
pada
Permendagri No. 13 Tahun 2006. Data sekunder juga menyatakan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang kapitalisasi (Tabel 5). Hasil interview pada Dinas Perhubungan, Dinas Hutbun, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian
diperoleh deskripsi bahwa
kapitalisasi
nilai
aset
sebenarnya telah dilakukan di beberapa SKPD di Pemerintah Kabupaten Sragen (Dinas Perhubungan, Dinas Hutbun, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian). Ketika ada koordinasi antara bendahara SKPD yang melakukan kegiatan belanja aset dengan Bendahara Daerah,
99
permasalahan kapitalisasi aset dapat dilaksanakan, tapi apabila SKPD yang melakukan belanja aset tidak berkoordinsi dengan Bendahara Umum Daerah maka akan terjadi selisih nilai aset antara SKPD dengan Neraca Daerah (nilai aset di Neraca Daerah dinilai lebih rendah). Tabel IV.4 Tabulasi Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemkab Sragen dengan PMK No. 91/PMK.05/2007 No.
Ketentuan
Perbub Sragen No. 14 Tahun 2006
PMK No. 91/PMK.05/2007
1 Batas minimal belanja Batas minimal biaya c. pengeluaran untuk per yang dapat kapitalisasi sebesar satuan peralatan dan dikapitalisasi Rp.75.000,mesin, dan alat olah raga yang sama dengan atau lebih dari Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah); dan d. pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang sama dengan atau lebih dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). 2 Pengecualian Tidak diatur kapitalisasi aset tetap gedung & bangunan
3 Kriteria belanja
Pengeluaran untuk tanah, jalan/irigasi/jaringan, dan aset tetap lainnya berupa koleksi perpustakaan dan barang bercorak kesenian.
kapitalisasi Pengeluaran biaya Tidak diatur tersebut dapat memenuhi: - Memperpanjang masa manfaat atau - Memberi manfaat ekonomik di masa yad dalam bentuk
100
peningkatan kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja.
Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen yang mengatur tentang kapitalisasi diatur dalam Lampiran I Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen (Peraturan Bupati Sragen Nomor 14 Tahun 2006) sebagai berikut: Biaya Kapitalisasi: Biaya yang dikapitalisir setelah tahun perolehan ke dalam masing-masing aset, harus memenuhi: (a) Batas minimal biaya kapitalisasi sebesar Rp. 75.000 dan atas (b) Pengeluaran biaya tersebut dapat memenuhi: - Memperpanjang masa manfaat atau - Memberi manfaat ekonomik di masa yad dalam bentuk peningkatan kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja. 7. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah Reviu terhadap Laporan Keuangan Daerah (LKD) dilakukan dengan tujuan untuk menilai apakah Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang diimplementasikan telah berjalan dengan baik dan memadai serta menilai apakah pos-pos dalam LKD telah disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)/PP No. 24 Tahun 2005. Reviu LKD wajib dilaksanakan sebelum LKD diaudit oleh BPK RI. Reviu dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun
101
2008
tentang
Pedoman
Pelaksanaan
Reviu
atas
Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah. BPK
RI
melaksanakan
pemeriksaan
terhadap
LKD
berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan oleh BPK dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Pemeriksaan BPK meliputi penilaian atas implementasi SAP, estimasi signifikan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan penilaian terhadap LKD secara menyeluruh. Hasil reviu Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2008 oleh Inspektorat Kabupaten Sragen secara spesifik tidak menguraikan tentang temuan terkait dengan kapitalisasi aset tetapi temuan yang ada mengungkap terkait pengelolaan aset, yaitu: Terdapat perbedaan Nilai Aset Tetap per 31 Desember 2008 antara Hasil Review dengan Neraca Pemda senilai Rp2.625.968.639,00 Berdasarkan sampling terhadap beberapa SKPD di lingkungan Pemda Sragen dijumpai adanya Nilai Aset tetap yang dikuasai/dimiliki oleh masing-masing SKPD sebagaimana yang tercatat dalam Neraca SKPD per 31 Desember 2008 senilai Rp.1.333.946.585.356,00 sedangkan menurut Hasil Review senilai Rp.1.333.809.580.315,00 sehingga terdapat selisih senilai Rp.2.625.968.639,00
102
Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2007 juga secara spesifik tidak mengungkap temuan tentang kapitalisasi aset, tetapi mengungkap penyajian rekening aset, yaitu sebagai berikut: Penyajian aset tetap dalam neraca belum tepat, karena di dalamnya terdapat aset yang belum jelas statusnya. Antara lain aset tanah yang disajikan tanpa membedakan status kepemilikan tanah seperti tertuang pada Catatan atas Laporan Keuangan D.3.a.b.2 dan D.3.d.3.
B. Kabupaten Karanganyar 1. Gambaran Umum Kabupaten Karanganyar adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan ibukotanya adalah Karanganyar, sekitar 14 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sragen di utara, Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Wonogiri di selatan, serta Kabupaten Boyolali, Kota Surakarta, dan Kabupaten Sukoharjo di barat. Luas wilayah Kabupaten Karanganyar adalah 773,78 km2 terbagi atas 17 kecamatan. Visi Kabupaten Karanganyar adalah Karanganyar sebagai daerah yang maju, adil, makmur, berketahanan dan mandiri, dalam suasana tentram, dengan industri, pertanian dan pariwisata yang
103
handal, didukung oleh masyarakat yang sehat jasmani dan rohani, berbudi luhur, demokratis, bersatu padu serta berkepribadian bangsa. Misi Kabupaten Karanganyar adalah: a. Menjadikan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah industri, baik industri menengah maupun industri kecil yang maju. b. Menjadikan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah pertanian yang
berwawasan
agrobisnis
dan
agroindustri
dengan
mengembangkan produk unggulan yang kompetitif. c. Menjadikan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah tujuan wisata utama di Jawa Tengah yang menarik wisatawan manca negara dan wisatawan nusantara/domestik. d
Menjadikan Kabupaten Karangayar sebagai pusat Pendidikan dan Pengembangan SDM yang menguasai Iptek, berjiwa Imtaq, berkepribadian bangsa dan berwawasan kedepan.
e. Menjadikan masyarakat Kabupaten Karanganyar sejahtera lahir dan batin. f. Mengembangkan sistem informasi yang selalu disesuaikan dengan perkembangan sarana telekomunikasi dan komunikasi sebagai media promosi yang efektif bagi potensi dan perkembangan daerah Kabupaten Karanganyar. g. Meningkatkan upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 2. Proses Penelitian
104
Pada prinsipnya langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti untuk memperoleh informasi dan data di Kabupaten Karanganyar sama dengan yang dilakukan di Kabupaten Sragen, yang membedakan adalah respon dan kerja sama yang diberikan oleh SKPD-SKPD di Kabupaten Karanganyar. Peneliti telah berusaha melakukan komunikasi dan koordinasi dengan SKPD-SKPD di Kabupaten Karanganyar untuk melakukan wawancara, dan respon yang diperoleh oleh peneliti hanya dari Inspektorat Kabupaten Karanganyar melalui Tim Review Laporan Keuangan Daerah dan Dinas Pendapatan Pengelolaan Kekayaaan dan Aset Daerah. Kondisi ini tentunya menjadi keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan.
3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan Data sekunder menyatakan, dari alokasi belanja Tahun Anggaran 2008 (belanja operasi, belanja modal dan belanja tak terduga) sebesar Rp.812.046.787.616,- dapat terealisir sebesar Rp. 72.8920.262.975,- (89,76%) sehingga terdapat selisih sebesar Rp. 83.126.524.641,- (10,23%). Realisasi belanja terbesar ada pada belanja modal (93,15%) dan terkecil ada pada belanja tak terduga (Tabel IV.5).
105
Tabel IV.5 Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Karanganyar Tahun Anggaran 2008 BELANJA OPERASI NO
BELANJA TAK TERDUGA
BELANJA MODAL
APBD Rp.
%
Rp.
%
Rp.
%
1
Anggaran
646.131.989.809,51
100,00
160.914.797.807
100,00
5.000.000.000
2
Realisasi
579.033.727.070
89,61
149.886.535.905
93,15
-
Selisih
67.098.262.739,51
10,39
11.028.261.902
6,85
5.000.000.000
100,00 0,00 100,00
Sumber: Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan selama Tahun Anggaran 2008 adalah sebesar Rp. 33.820.225.705,- (nilai aset gedung dan bangunan Tahun Anggaran 2007 sebesar Rp. 339.297.327.963,- dan nilai aset gedung dan bangunan Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp.379.099.553.668,-) yang berasal dari pembangunan gedung dan bangunan baru (Tabel IV.6) dan rehab gedung dan bangunan lama. Tabel IV.6 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemerintah Kabupaten Karanganyar TA. 2008 NO
URAIAN
1 Bangunan Gedung
NILAI (Rp.) 116.328.000
Sumber: Catatan Atas Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Tabel IV.7
106
Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung Bangunan Pemkab Karanganyar Tahun Anggaran 2008
1 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan
NOMINAL (Rp.) 39.820.225.705
2 Penambahan aset gedung dan bangunan baru 3 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan
116.328.000 39.703.897.705
NO
URAIAN
tidak dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru 4 Belanja APBD TA 2008 5 Prosentase (%) pertambahan nilai aset tidak
728.920.262.975 5,44
dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru terhadap Belanja APBD Sumber: Catatan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Nilai belanja yang terserap dan menambah nilai aset gedung dan bangunan dimana pertambahan nilai gedung dan bangunan tersebut bukan sebagai akibat dari penambahan aset gedung dan bangunan baru sebesar Rp. 728.920.262.875,- (Tabel IV.7).
4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung & Bangunan Hasil observasi mengungkap bahwa Bendaharan Umum Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar maupun Bendahara SKPD
tidak
mempunyai
melakukan kebijakan
kapitalisasi akuntansi
belanja
yang
karena
mengatur
tidak
tentang
107
kapitalisasi belanja aset utamanya aset gedung dan bangunan. Meskipun dalam SAP jelas-jelas mengatur tentang kapitalisasi aset tetap. Hasil interview menyatakan bahwa permasalahan mendasar yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Karanganyar adalah kurangnya Pegawai/Bendahara yang mempunyai background akuntansi dan kurangnya sosialisasi aturan dalam hal ini Standar Akuntansi Pemerintah sebagai dasar dalam pembuatan Laporan Keuangan
SKPD
maupun
Laporan
Keuangan
Daerah
Pemerintahan Daerah. 5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah Hasil reviu Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2008 oleh Inspektorat Kabupaten Karanganyar lebih mengungkap temuan yang berkaitan dengan pengelolaan
aset,
yaitu
sebagai
berikut:
terdapat
selisih
penambahan aset tahun 2008 dengan realisasi belanja modal dikarenakan adanya kesalahan penempatan rekening. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2007 terkait dengan penyajian rekening aset adalah sebagai berikut: Nilai aset tetap pada Neraca 31 Desember 2006 belum dapat diyakini kewajarannya. Nilai aset tetap pada neraca Tahun 2006 belum dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat diyakini kewajarannya seperti tertuang dalam Catatan atas
108
Laporan Keuangan khususnya penjelasan atas Neraca nomor 4.f.
C. Kabupaten Sukoharjo 1. Gambaran Umum Kabupaten Sukoharjo adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibu kotanya adalah Sukoharjo, sekitar 10 km sebelah selatan Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kota Surakarta di utara, Kabupaten Karanganyar di timur, Kabupaten Wonogiri dan Daerah Istimewa Yogyakarta di selatan, serta Kabupaten Klaten di barat. Hari jadi Kabupaten Sukoharjo jatuh pada tanggal 7 Mei 1874. Kabupaten Sukoharjo terbagi atas 12 kecamatan. Visi Kabupaten Sukoharjo adalah mewujudkan Sukoharjo yang makmur, sejahtera dan mandiri serta bertaqwa. Misi Kabupaten Sukoharjo adalah: a. Mengamalkan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. b. Meningkatkan pertumbuhan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada Peningkatan Ketahanan Pangan dan UKM. c. Meningkatkan Sarana dan Prasarana Perekonomian. d. Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan aparatur pemerintah daerah yang profesional dan bebas KKN. e. Mewujudkan supremasi hukum, penegakan hukum di daerah.
109
f. Menciptakan kondisi daerah yang aman, damai, tertib dan tentram. 2. Proses Penelitian Kondisi yang sama diperoleh oleh peneliti dalam melakukan penelitian di Kabupaten Sukoharjo, yaitu kurangnya kerja sama yang diberikan oleh SKPD-SKPD di Kabupaten Sukoharjo, sehingga
penelitian
Kabupaten
hanya
dapat
dilakukan
dan
Dinas
Pendapatan
Sukoharjo
di
Inspektorat Pengelolaan
Kekayaaan dan Aset Daerah, hal ini menjadi keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan. 3. Belanja
APBD
Pemerintah
Kabupaten
Sukoharjo
Tahun
Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan Data sekunder pada Pemerintah Kabupaten Sukoharjo diketahui alokasi belanja Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp. 750.283.259.850,- dengan realisasi sebesar Rp.716.111.639.682,- (95,45%) dan terdapat selisih sebesar Rp.34.171.620.168,- (4,55%). Realisasi belanja terbesar ada pada belanja modal dan terkecil ada pada belanja tak terduga (Tabel IV.8). Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan selama Tahun Anggaran 2008 berdasarkan data sekunder adalah sebesar Rp.43.781.807.954,- (nilai aset gedung dan bangunan Tahun
110
Anggaran 2007 sebesar Rp. 185.662.036.688,- dan nilai aset gedung dan bangunan Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp. 229.443.844.642,-) yang berasal dari pembangunan gedung dan bangunan baru (Tabel IV.9) dan rehab gedung dan bangunan lama. Tabel IV.8 Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008
NO
APBD
BELANJA OPERASI Rp.
%
BELANJA TAK TERDUGA Rp. %
BELANJA MODAL Rp.
%
1
Anggaran
632.197.159.250
100,00
116.655.709.600
100,00
1.430.391.000
100,00
2
Realisasi
603.376.445.820
95,44
112.595.424.862
96,52
139.769.000
9,77
Selisih
28.820.713.430
4,56
4.060.284.738
3,48
1.290.622.000
90,23
Sumber: Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Tabel IV.9 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 NO
URAIAN
1 Bangunan Gedung Bangsal Flamboyan RSUD 2 Bangunan Gedung BLK Jumlah
NILAI (Rp.) 1.210.500.000 263.300.000 1.473.800.000
Sumber: Catatan Atas Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Nilai belanja yang terserap dan menambah nilai aset gedung dan bangunan dimana pertambahan nilai gedung dan bangunan
111
tersebut bukan sebagai akibat dari penambahan aset gedung dan bangunan baru berdasarkan analisis data sekunder sebesar Rp. 42.308.007.954,- (Tabel IV.10). Tabel IV.10 Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008
1 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan
NOMINAL (Rp.) 43.781.807.954
2 Penambahan aset gedung dan bangunan baru 3 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan
1.473.800.000 42.308.007.954
NO
URAIAN
tidak dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru 4 Belanja APBD TA 2008 5 Prosentase (%) pertambahan nilai aset tidak
716.111.639.682 5,91
dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru terhadap Belanja APBD 4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung & Bangunan Implementasi kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung & bangunan pada Kabupaten Sukoharjo tidak dilakukan oleh Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD, tidak adanya kebijakan akuntansi yang mengatur tentang kapitalisasi belanja aset utamanya aset gedung dan bangunan membuat kondisi tersebut terjadi, selain hal tersebut keterbatasan kemampuan bendahara terkait dengan latar belakang pendidikan
112
terutama yang berbasis akuntansi dan kurangnya sosialisasi Standar Akuntansi Pemerintahan. 5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah Hasil reviu Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 oleh Inspektorat Kabupaten Sukoharjo terkait dengan pengelolaan aset adalah sebagai berikut: Pengadaan konstruksi bangunan gedung Kantor Kecamatan Tawangsari telah dilaksanakan pembayaran kepada tiga rekanan yaitu perencana, pelaksana dan pengawas keseluruhan sebesar Rp.408.454.784,Pada saat tahun anggaran 2008 berakhir per 1 Desember 2008, bangunan gedung kantor tersebut fisik bangunannya baru mencapai 50 %, namun demikian tahun dalam Neraca per 31 desember 2008 telah dicatat dalam Pos Gedung & Bangunan sebesar Rp.408.454.784,Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2007 terkait dengan penyajian rekening aset adalah sebagai berikut: Aset tetap di Neraca per 31 Desember 2007 disajikan sebesar Rp.755.926.424.190,00, saldo tersebut berasal dari saldo aset tetap pada neraca awal tahun 2003 ditambah mutasi Tahun Anggaran 2004 sampai dengan 2007. Nilai aset tetap dalam neraca tersebut tidak dapat diyakini kewajarannya karena BPK tidak memperoleh informasi yang memadai mengenai metode inventarisasi dan cara penilaian aset tetap. Selain itu tidak diperoleh bukti-bukti pendukung dan rincian yang memadai atas aset tetap. D. Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian
113
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat pembandingan kondisi yang terjadi pada 3 (tiga) pemerintah daerah objek penelitian (Tabel IV.11), yaitu bahwa 1) semua pemerintah daerah obyek penelitian dalam alokasi anggarannya telah terdapat penyerapan belanja yang mengakibatkan pertambahan nilai gedung dan bangunan tetapi pertambahan tersebut tidak disebabkan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru, 2) pemerintah daerah objek penelitian belum sepenuhnya menerapan prosedur kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan (Kabupaten Sragen), bahkan belum menerapkan (Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo), 3) kondisi pada no. 2 berdampak pada beberapa bendahara SKPD pemerintah daerah obyek penelitian (Kabupaten Sragen) melakukan pencatatan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan, dan juga terdapat pemerintah daerah obyek penelitian (Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar) yang tidak melakukan pencatatan kapitalisasi belanja, 4) kebijakan akuntansi pemerintah daerah yang merupakan pedoman dalam penyusunan Lembaga Keuangan Daerah (LKD) belum semua pemerintah daerah objek penelitian memiliki/membuatnya, 5) tidak terdapat temuan dari auditor eksternal (BPK RI) terkait dengan kapitalisasi, tetapi 6) di semua pemerintah daerah objek penelitian terdapat temuan auditor eksternal (BPK RI) terkait pengelolaan aset.
114
Secara umum dapat diketahui bahwa belum semua pemerintah daerah obyek penelitian (bendahara SKPD) belum mempunyai pemahaman
tentang
kapitalisasi
aset
sehingga
menimbulkan
kecenderungan bendahara SKPD tidak menerapkan prosedur dan pelaporan kapitalisasi aset.
115
Tabel IV.11 Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian NO
URAIAN
KAB. SRAGEN
KAB. KARANGANYAR
1 Penyerapan belanja terhadap Rp. Rp. 39.703.897.705,pertambahan nilai gedung dan 686.473.841.699,(5,44 %) bangunan yang tidak disebabkan (5,76 %) oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru 2 Belum Penerapan prosedur kapitalisasi Telah dilaksanakan diterapkan/dilaksanakan belanja yang dapat diakui sebagai oleh beberapa aset gedung dan bangunan SKPD 3 Belum Pencatatan kapitalisasi belanja yang diterapkan/dilaksanakan dapat diakui sebagai aset gedung Telah dilaksanakan dan bangunan oleh sebagian SKPD 4 Belum ada Kebijakan akuntansi kapitalisasi 5 Ada Tidak ada Temuan audit tentang kapitalisasi 6 Tidak ada Ada Temuan audit tentang aset Ada
BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, SARAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
cxvi
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Prosedur yang diterapkan oleh bendahara yang melaksanakan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan adalah sebagai berikut: a.
Identifikasi
dana
yang
dipergunakan
untuk
belanja
berpedoman pada sumber belanja tersebut berasal (alokasi dalam mata anggaran belanja) dengan berpedoman pada Daftar Penggunaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD). b.
Identifikasi biaya/belanja yang dikapitalisir ke dalam masingmasing aset sesuai kriteria yang telah ditetapkan dalam Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan.
c.
Pengakuan belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan.
d.
Pengukuran belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan dengan menggunakan mata uang rupiah berdasarkan nilai nominal kas yang dikeluarkan.
e.
Pelaporan nilai aset aset gedung dan bangunan dalam Neraca Daerah dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
2. a. Pada Pemerintah Kabupaten Sragen, dari hasil penelitian terdapat 5 SKPD yang telah menerapkan kapitalisasi belanja
cxvii
modal
khususnya
belanja
gedung
dan
bamgunan
dan
pelaksanaannya telah berpedoman/sesuai dengan standar yang ada (Standar Akuntansi Pemerintahan dan Kebijakan Akuntansi Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen) b. Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar belum menerapkan kapitalisasi belanja modal khususnya belanja gedung dan bangunan sehingga tidak dapat dibandingkan dengan aturan atau standar yang seharusnya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kapitalisasi (KMK No.
01/KM.12/2001
tentang
Pedoman
Kapitalisasi
Barang
Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah) hanya mengatur tentang konsep, pemberlakuan dan batasan nilai minimum kapitalisasi
belanja dan belum mengatur tentang
prosedur kapitalisasi. Pemerintahan Daerah (Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD) mempunyai kecenderungan tidak menerapkan kapitalisasi khususnya kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan sehingga hasil penelitian tentang penerapan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan tidak dapat sepenuhnya diperbandingkan dengan standar/peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. Keterbatasan Penelitian
cxviii
Penelitian
yang
dilakukan
di
lapangan
terhadap
Pejabat/Petugas Bendahara dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan dalam penelitian menemui beberapa hambatan yang diakibatkan oleh: 1. Keterbatasan kemampuan intelektual (jenjang dan backgroud pendidikan) Bendahara SKPD dan kurangnya pemahaman tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) khususnya yang berkaitan dengan kapitalisasi belanja sehingga kesulitan dalam memperoleh informasi yang berhubungan dengan fokus penelitian. 2. Adanya
pembatasan
oleh
obyek
penelitian
(SKPD)
dalam
mengiventarisir data maupun pernyataan terkait fokus penelitian. 3. Implementasi kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan di Pemerintah Daerah masih menemui kendala sebagai akibat dari 1) adanya peraturan perundangundangan yang saling bertentangan yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 dengan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK)
Nomor
91/PMK.05/2007
terkait
dengan
pengklasifikasian belanja sehingga menimbulkan salah presepsi ditingkat
pelaksana
di
lapangan
yang
berdampak
pada
ketidaktepatan alokasi belanja yang dapat dikapitalisasi ke dalam nilai aset tetap khususnya aset gedung dan bangunan, dan 2) belum semua Pemerintah Daerah membuat/mempunyai Kebijakan
cxix
Akuntansi Pemerintah Daerah yang dapat menjadi pedoman dalam pembuatan Laporan Keuangan Daerah (LKD). C. Saran-Saran Saran untuk penelitian yang akan datang: 1. Penelitian
yang
akan
datang
disarankan
dilakukan
pada
Pemerintah Daerah di wilayah lain, misalnya di Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Kalimantan Barat dan lain-lain. 2. Bagi peneliti yang akan datang hendaknya dapat meneliti untuk aset tetap yang lain misalnya tanah, peralatan dan mesin, jalan, irigasi & jaringan, aset tetap lainnya dan konstruksi dalam pengerjaan. D. Implikasi Manajerial Untuk meningkatkan kewajaran pengelolaan dan pelaporan aset gedung dan bangunan maka yang perlu dilakukan oleh Pemda Kabupaten
Sragen,
Kabupaten
Sukoharjo
dan
Kabupaten
Karanganyar adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya standar baku yang diakomodir dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) untuk mengatur tentang prosedur dan implementasi kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset khususnya aset gedung dan bangunan sehingga nilai aset
cxx
khususnya aset gedung dan bangunan yang disajikan dapat merefleksikan nilai yang sesungguhnya. 2. Pemerintah
Daerah
agar
membuat
dan
menyempurnakan
Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24/2005) sehingga dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam penyusunan LKD khususnya dalam penyajian nilai aset yang selama ini masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S dan A, Halim. 2006. Studi Atas Belanja Modal Pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya Dengan Belanja Pemeliharaan Dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintahan. KSAP. Jakarta. Bastian, I. 2006. Audit Sektor Publik. Salemba 4. Jakarta. -----------. 2001. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Salemba 4. Jakarta. Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah. Bogdan, R. and Taylor, JS. 1992. Introduction to Qualitative Research Method. Alih bahasa Arief Furchan. Edisi I. Usaha Nasional. Surabaya. Dewi, A. 2006. Kajian Penerapan Akuntansi Biaya Pada Anggaran Belanja Daerah Kota Singkawang. Skripsi. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
Duffi, WJ. 2002. Capitalized Assets, Accounting Practices, and AORN- Treasurer's Report. Article. Available at: http://www.findaticle.com. Date download 27/8/2009.
Edu Bernard Enya, Ontonkue Agba DO, dan Duke Orok Ekpo Orok. 2009. Capitalization of Interest Cost. Article. Social Science Research Network. Hernawo, T. 2007. Teknologi Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.
cxxi
Hung. Jung-Hua. Liu and Yong-Chin. 2005. An Empirical Comparison of the Capitalized Cost and Equivalent Annual Cost Methods for Evaluating Mutually Exclusive Projects. Article. Social Science Research Network. Husaini dan Purnomo. 1995. Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Bandung. Ikatan Akuntansi Indonesia. 2002. Standar Akuntansi Keuangan. Salemba 4. Jakarta. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara. Kompas. Edisi 8/6/2004. BPK: Ada Aset Negara yang Dinilai Rp. 1,-. Moduls Accounting. 2005. Accounting CFB Capitalized Assets. Wichita Falls Public Schools Administrative Regulation USA. Available at: www. Wichitafallspublicschools.com. Date download 27/8/2009. Pelita. Edisi 4/5/2007. BPK Temukan Rp. l7 Triliun di Daerah Rawan Korupsi. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Bupati Sragen Nomor 14 Tahun 2006 tentang Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen. Peraturan Pemerintah RI
No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Saiful. 2007. Pengertian Dan Perlakuan Akuntansi Belanja Barang & Belanja Modal Dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan. STIE-YKPN. Yogyakarta.
Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: A Skill Building Approach 4th.ed, Terjemahan. Salemba Empat. Jakarta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Sragen Terima Penghargaan Kabupaten Terbaik. Available at: http://www.jawatengah.go.id. Date download 7/2/2009.
Subronto. 2009. Evaluasi Penyajian Aset Tanah Dalam Neraca Daerah Studi Di Kabupaten Sragen. Tesis. Tidak dipublikasikan. Magister Akuntansi UNS. Surakarta.
Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 900/743/BAKD tentang Akuntansi Di Satuan Kerja.
cxxii
Sutopo, HB. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori & Penerapannya dalam Penelitian. Edisi 2. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Team PDE Sragen. 2007. Penghargaan yang Diperoleh Pemerintah Kabupaten Sragen. Available at: http://www.sragen.go.id. Date download 7/2/2009.
Undang-undang RI
No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
---------------------
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
--------------------Daerah.
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah
Wirjolukito, A. 2000. Evaluasi Perlakuan Akuntansi Kapitalisasi Atas Biaya Bunga Pinjaman (PSAK no. 26) Ditinjau Melalui Pendekatan Sejarah Dan Konseptual Serta Dampaknya Terhadap Sektor Properti Di Indonesia. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.
cxxiii