EVALUASI PENERAPAN POLA TANAM JENIS POHON POTENSIAL PADA HUTAN RAKYAT Oleh : Encep Rachman, Asep Rohandi dan Aditya Hani Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
ABSTRAK Meskipun konsep pengelolaan hutan rakyat lestari belum menjangkau petani hutan rakyat secara menyeluruh, perubahan orientasi dan motivasi petani menanam kayu kearah komersial ternyata mampu membawa pengelolaan hutan rakyat lebih bisa bertahan dibandingkan dengan hutan alam. Kenyatan ini menjadikan hutan rakyat bukan saja berperan penting sebagai pemasok kayu untuk bebagai kepentingan akan tetapi hutan rakyat juga merupakan salah satu tumpuan ekonomi masyarakat serta berperan dalam perbaikan kualitas lingkungan. Namun demikian produktivitas hutan rakyat umumnya dinilai masih rendah, penyebabnya antara lain rendahnya penguasaan teknologi petani, kurangnya modal yang dimiliki petani, semakin menurunnya kesuburan tanah dan meningkatnya serangan hama penyakit. Dengan luas kepemilikan lahan yang terbatas petani harus mampu menentukan jumlah dan jenis pohon yang ditanam, karena hal ini berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas kayu yang dihasilkan. Oleh karena itu pengetahuan tentang silvikultur yang merupakan komponen pengelolaan hutan merujuk pada tindakan level yang digunakan untuk mengatur struktur, komposisi jenis dan pertumbuhannya sangat penting diketahui oleh masyarakat petani hutan rakyat. Aspek silvikultur yang berperan penting dalam meningkatkan produltivitas dan kualitas hutan rakyat adalah pola tanam dan pemeliharaan. Pola tanam yang dikembangkan oleh petani hutan rakyat umumnya meliputi pola tanam monokultur, pola tanam campuran dan pola tanam agroforestry. Makalah ini merupakan rangkuman evaluasi pertumbuhan beberapa jenis pohon yang diterapkan dengan berbagai pola tanam pada hutan rakyat. Kata kunci : Hutan rakyat, silvikultur, pola tanam, produktivitas, pertumbuhan tinggi, diameter, persen hidup
I. PENDAHULUAN Persoalan degradasi sumberdaya hutan yang terus meningkat pada satu dekade terakhir ini, menjadikan hutan rakyat bukan saja berperan penting sebagai pemasok kayu untuk bebagai kepentingan seperti perumahan, perkakas rumah tangga atau konstruksi bangunan, akan tetapi hutan rakyat juga merupakan salah satu tumpuan ekonomi masyarakat serta berperan dalam perbaikan kualitas lingkungan. Selain itu, keanekaragaman jenis pohon pada hutan rakyat juga menyediakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang berpotensi memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu potensi besar yang dimiliki hutan rakyat dengan berbagai permasalahan yang ada, merupakan dinamika hutan rakyat yang senantiasa dikaji dan menjadi pembelajaran penting dalam memacu kontribusinya terhadap pembangunan kehutanan. Produktivitas hutan rakyat umumnya dinilai masih rendah, penyebabnya antara lain rendahnya penguasaan teknologi petani, kurangnya modal yang dimiliki petani, semakin menurunnya kesuburan tanah dan meningkatnya serangan hama penyakit. Pengusahaan hutan rakyat yang hanya bertumpu pada salah satu jenis pohon saja menyebabkan tegakan pohon rentan terhadap hama dan penyakit yang mengganggu pertumbuhan dan menurunkan tingkat kualitas tegakan. Selain itu penanaman tanaman sejenis pada luasan tertentu akan menyebabkan satu jenis nutrisi akan terambil secara terus menerus, sehingga tanah akan kehilangan unsur tertentu dan berakibat penanaman selanjutnya dikhawatirkan akan mengalami malnutrisi sehingga terjadi penurunan kualitas tegakan. Penanaman tanaman pencampur dan pergiliran jenis pohon diperlukan untuk memutus siklus hama/penyakit dan mencegah pengambilan unsur hara tertentu saja. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
27
Oleh karena itu dalam pengembangan hutan rakyat diperlukan jenis cadangan (back-up spesies) yang berfungsi sebagai tanaman pokok maupun tanaman pencampur yang dapat menambah nilai ekonomi kayu yang diusahakan. Setiap jenis mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda sehingga perlu adanya pengaturan ruang tumbuh (jarak tanam) kaitannya dengan intensitas cahaya matahari (dominasi, toleransi), rencana pemeliharaan (penjarangan, pruning), dan pengaturan hasilnya. Pengaturan percampuran jenis yang tidak tepat akan merugikan bagi perkembangan masing-masing tanaman. Perlu pengetahuan mengenai kebutuhan nutrisi dan sifat dari tajuk suatu jenis untuk menghindari persaingan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi yang mengakibatkan masing-masing tanaman tidak berkembang secara baik. Persoalan utama pembangunan dan pengembangan hutan rakyat dalam implementasinya masih belum dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, sehingga masyarakat petani belum siap dalam menghadapi gangguan (ancaman) terhadap hutan rakyatnya. Namun demikian, meskipun konsep pengelolaan hutan rakyat lestari belum menjangkau petani hutan rakyat secara menyeluruh, perubahan orientasi dan motivasi petani menanam kayu kearah komersial ternyata mampu membawa pengelolaan hutan rakyat lebih bisa bertahan dibandingkan dengan hutan alam. Berkaitan dengan orientasi dan motivasi tersebut, maka penentuan jenis pohon yang ditanam merupakan pertimbangan penting yang harus diupayakan petani. Pasar membutuhkan jenis kayu tertentu dan kualitas yang memadai untuk bahan baku industri, sehingga masyarakat petani harus tahu jenis-jenis yang dibutuhkan pasar saat ini dan jangka waktu kedepan. Menurut Soeseno (1983), penentuan jenis untuk pembuatan hutan atas dasar dugaan semata sangat besar resikonya. Salah pilih dalam menentukan jenis dapat mengakibatkan banyak tanaman yang mati, pertumbuhan tak normal bahkan gagal sama sekali. Hal ini karena jenis-jenis tanaman hutan di Indonesia sangat banyak ragamnya dan setiap jenis mempunyai daerah penyebaran tersendiri, sehingga tidak semua jenis dapat tumbuh dengan baik di sembarang tempat. Maka diperlukan penelitian serta pengamatan langsung di lapangan yang dapat merekomendasikan beberapa jenis pohon yang berpotensial untuk dikembangkan pada hutan rakyat. Aspek teknis yang perlu dilakukan dalam pengembangan hutan rakyat menjadi usaha agribisnis adalah identifikasi komoditas komerisal yang layak untuk dikembangkan. Dari hasil identifikasi mengenai ragam produk yang dikembangkan dipilih salah satu jenis atau kombinasi jenis yang paling sesuai ditinjau dari prospeknya pada masa yang akan datang. Untuk menjamin keberhasilan usaha maka komoditas yang dipilih disamping mempunyai keunggulan komperatif berupa keunikan produk yang dimiliki sesuai specifik lokasi, harus pula memiliki keunggulan kompetitif (daya saing) baik dilingkungan domestik (local ) maupun Internasional. Keunggulan kompetitif tersebut antara lain mencakup baik mutu produk (quality), harga produk (price) maupun layanan yang dapat diberikan (service). Dengan luas kepemilikan lahan yang terbatas petani harus mampu menentukan jumlah dan jenis pohon yang ditanam, karena hal ini berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas kayu yang dihasilkan. Penilaian yang mudah untuk mengukur produktivitas dan kualitas tegakan adalah dengan melihat penampilan pertumbuhan pohon (diameter dan tinggi). Pertumbuhan diameter dan tinggi sangat dipengaruhi kesuburan tanah, iklim, sumber bibit, pola tanam dan teknik bududaya yang diterapkan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian daur ekonomi dan umur optimal pada berbagai prediksi pertumbuhan dan nilai tegakan. Oleh karena pengetahuan tentang silvikultur yang merupakan komponen pengelolaan hutan merujuk pada tindakan level yang digunakan untuk mengatur struktur, komposisi jenis dan pertumbuhannya sangat penting diketahui oleh masyarakat petani hutan rakyat. Tulisan ini merupakan rangkuman dari hasil penelitian berbagai pola tanam jenis pohon pada hutan rakyat yang dilaksanakan di berbagai lokasi wilayah kerja Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
28
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
II. PENERAPAN POLA TANAM PADA HUTAN RAKYAT Menurut Darusman dan Wijayanto (2007), pola tanam pada hutan rakyat yang berkembang berdasarkan jenis tanamannya ada 3 (tiga) macam, yaitu : (1) Pola hutan rakyat didominasi oleh satu jenis tanaman (misalnya :jati, sengon, mahoni), (2) Pola hutan rakyat campuran didominasi 2 atau lebih jenis tanaman kehutanan (jati dan mahoni atau jati mahoni dan sengon), dan (3) Pola hutan rakyat Agroforestry merupakan hutan rakyat campuran antara tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman hijauan makan ternak yang dipadukan dengan tanaman pangan semusim (ubi kayu, jagung, dll) dan tanaman obat-obatan (empon-empon, kunyit, jahe, dll). Pola Agroforestry paling diminati oleh masyarakat, karena bisa menghasilkan panen harian, mingguan, bulanan dan tahunan (jangka panjang). A. Hutan Rakyat dengan Pola Tanam Monokultur Pada umumnya pemilik lahan membangun hutan rakyat dengan pola tanam monokultur karena memiiliki modal yang cukup dan mengetahui informasi mengenai prospek jenis tanaman yang ditanam, harga maupun pemasarannya. Jenis yang ditanam pada pola monokultur umumnya jenis-jenis cepat tumbuh yang bersifat intoleran sehingga membutuhkan cahaya penuh. Salah satunya yaitu jenis sengon (Paraserianthes falcataria), dimana jenis ini mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat, mudah dibudidayakan, mudah tumbuh pada berbagai jenis tempat tumbuh, nilai ekonomi yang cukup tinggi serta pemasaran yang sangat mudah. Jenis tanaman sengon merupakan jenis primadona khususnya bagi petani hutan rakyat di pulau jawa, sehingga banyak masyarakat yang menanam jenis ini secara monokultur. Akan tetapi seringkali masyarakat hanya mengikuti trend tanpa melihat persyaratan jenis sengon serta pemeliharaan yang kurang. Akibatnya pertumbuhan sengon tidak optimal. Hardiyanto (2010) menyatakan bahwa untuk jenis cepat tumbuh seperti sengon pasokan nutrisi yang cukup diperlukan pada awal pertumbuhan, sehingga apabila pada awal pertumbuhan tidak diberi nutrisi yang cukup petani akan kehilangan momentum kemampuan pertumbuhan awal sengon yang cepat. Sedangkan pemberian nutrisi pada saat tajuk pohon sudah menutup kurang efektif karena kebutuhan nutrisi akan dipenuhi melalui translokasi internal pada pohon. Permasalahan yang sering muncul dalam penananam secara monokultur yaitu pada saat awal penanaman pertumbuhan gulma sangat tinggi karena lahan masih terbuka. Gulma mengganggu tanaman karena menimbulkan persaingan dalam memperoleh nutrisi dan cahaya matahari bahkan seringkali dapat menyebabkan kematian yang terutama oleh jenis-jenis yang merambat yang menyebabkan tanaman tercekik. Oleh karena itu pengelolaan gulma menjadi salah satu faktor penentu dalam keberhasilan tanaman. Seringkali masyarakat untuk membersihkan gulma dengan cara bersih total sehingga seringkali menyebabkan lapisan tanah atas/top soil terbuka dan menyebabkan mudahnya terjadinya erosi tanah dan air. Oleh karena itu salah satu teknik pengelolaan gulma dengan memanfaatkan sisa-sisa pembersihan lahan tersebut untuk dijadikan mulsa bagi tanaman. Pengaruh pemberian mulsa selain untuk mengurangi erosi tanah juga memberi manfaat bagi tanaman karena mulsa tersebut dapat terdekomposisi menjadi pupuk. B. Hutan Rakyat dengan Pola Tanam Campuran Hutan rakyat campuran pada umumnya berupa hutan yang tidak dikelola secara intensif. Jenis-jenis tanaman yang tumbuh di lahan tersebut sebagian besar berupa anakan alam yang berasal dari pohon-pohon induk yang ada di sekitar lahan tersebut. Penanaman berbagai jenis pohon dapat juga berasal dari adanya bantuan-bantuan bibit dari pemerintah (program gerhan), dimana jenis-jenis tersebut kemudian ditanam mengisi areal yang relatif masih kosong maupun dibawah tegakan yang sudah ada sehingga seringkali pertumbuhan tanaman tidak optimal terutama untuk jenis-jenis fast growing yang memerlukan cahaya penuh dan ruang tumbuh yang cukup lebar. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
29
Hutan rakyat campuran yang dikembangkan dapat berupa campuran dari jenis yang mempunyai daur tebang pendek (<10 tahun), menengah (10-20 tahun) dan panjang (>30 thun). Kosasih dkk (2006) menyebutkan bahwa model-model hutan tanaman campuran dapat berupa : 1). hutan campuran berdaur sama yaitu terdiri dari pohon dengan daur tebang yang sama, 2) hutan campuran beda daur yaitu terdiri dari berbagai jenis yang berbeda masa daur tebangnya dan 3) hutan campuran beda strata yaitu apabila memiliki sifat pertumbuhan vertikal berbeda atau berbeda umur sehingga membentuk strata tajuk yang berbeda. Hutan rakyat campuran juga terjadi karena adanya pengayaan oleh masyarakat dengan jenis-jenis yang baru mereka peroleh. Namun teknik pengayaan pada hutan rakyat seringkali dilakukan dengan menanam jenis yang diperoleh tersebut pada lahanlahan yang sebenarnya sudah cukup rapat. Sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang optimal. Namun dengan penerapan sistem pembersihan secara jalur akan memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Semakin lebar jalur tanaman (dilakukan pembersihan jalur tanaman secara vertikal (tajuk dan ranting) dan horisontal (tanaman lain) maka pertumbuhan tanaman akan semakin baik. Hal ini menunjukkan dengan adanya perlakuan akan memberi pertumbuhan yang lebih baik karena adanya ruang tumbuh untuk mendapatkan cahaya maupun untuk mengurangi persaingan memperoleh unsur hara (Hani & Rahmawan, 2009). Sistem jalur ini diharapkan sebagai alternatif penanaman jenis-jenis yang mempunyai prospek yang baik tetapi termasuk jenis lambat tumbuh serta untuk menjaga keanekaragaman jenis pada hutan rakyat. Kombinasi daur tersebut diharapkan secara ekologi tidak menimbulkan kerugian antara lain tidak terjadi pengambilan unsur hara yang sama secara terus-menerus, penebangan dilakukan secara bertahap sehingga tidak menyebabkan areal terbuka luas yang memungkinkan terjadinya erosi atau perubahan iklim mikro secara drastis. Mindawati, dkk. (2006) menyatakan bahwa hutan rakyat campur mempunyai daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta gangguan angin karena terdiri dari beberapa lapisan tajuk dan lapisan perakaran yang bervariasi serta mempunyai ketahanan dan kelenturan (flexible) lebih tinggi, karena adanya diversifikasi komoditi dan hasil bertahap yang berkesinambungan. C. Hutan Rakyat dengan Pola Tanam Agroforestry Konsep agroforestry dan tujuannya telah banyak disampaikan oleh para ahli. Konsep yang dikemukakan sebagian besar mengutamakan tanaman pohon sebagai bagian dari usaha pertanian dengan menggunakan lebih banyak tanaman semusim. Tujuan-tujuan agroforestry yang disampaikan meliputi upaya untuk memaksimalkan produktivitas lahan, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan di daerah pedesaan. Mercer (1985) menyampaikan bahwa tujuan utama agroforestry sebenarnya sederhana, yakni mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya khususnya sumberdaya tanah, hutan, pohon, dan sumberdaya manusia untuk meningkatkan pembangunan ekonomi lestari bagi masyarakat pedesaan dimana kegiatan agroforestry tersebut dilaksanakan. Dengan demikian keutuhan dan kelestarian sumberdaya hutan sangat tergantung pada sifat budaya masyarakat. Sebaliknya kehidupan masyarakat sangat tergantung kepada pengusahaan hutan dengan pola agroforestry. Hutan rakyat yang dikelola dengan sistem agroforestry pada umumnya pemilik lahan mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan tidak banyak alternatif pekerjaan lain diluar kegiatan pertanian. Sehingga sebagian besar penghasilan dan pemenuhan kebutuhan khususnya kebutuhan dapur diupayakan di peroleh dari lahan yang dimiliki. Pola agroforestry di setiap daerah berbeda-beda. Di daerah Gunung Kidul pada umumnya pohon-pohonan ditanam di tepi lahan milik mereka sehingga ditengah-tengah lahan relatif kosong yang memungkinkan banyak komoditas pertanian ditanam (padi, kacang, singkong). Pada pola ini komoditas pertanian relatif cukup terpenuhi kebutuhan cahaya. sementara itu di hutan rakyat Jawa Barat menurut Diniyati et al., (2005) mempunyai pola
30
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
yang juga beragam. Peningkatan produktivitas hutan rakyat pada sistem agroforestry dapat dilakukan dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat. Kesesuaian tempat tumbuh, budidaya yang mudah, nilai ekonomis, serta pemasaran yang mudah menjadi pertimbangan utama para petani.
III. EVALUASI PERTUMBUHAN BEBERAPA JENIS TANAMAN POTENSIAL PADA HUTAN RAKYAT A. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Evaluasi pertumbuhan uji penanaman nyamplung dilakukan pada umur 2 bulan dan 6 bulan. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan pembedaan asal bibit dan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman nyamplung di lapangan (Lampiran 3). Selanjutnya hasil uji Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 1. Pertumbuhan tanaman nyamplung sampai umur 6 bulan pada beberapa perlakuan perbedaan asal bibit dan jarak tanam di Batukaras Ciamis Pertumbuhan No.
Perlakuan
Umur 2 Bulan
Umur 6 Bulan
Tinggi (cm)
Diameter (cm)
Tinggi (cm)
Diameter (cm)
1.
Asal Cabutan
42.10 a
0.54 a
82.51 a
1.32 a
2.
Asal Benih
40.55 a
0.59 a
51.63 b
0.83 b
Berdasarkan pengamatan di lapangan, persentase tumbuh tanaman nyamplung pada umur 2 bulan untuk bibit asal cabutan sebesar 96.30% dan bibit asal benih sebesar 59.65%. Setelah itu dilakukan penyulaman sehingga pada umur 6 bulan persentase tumbuh tanaman asal cabutan sebesar 100%, sedangkan tanaman asal benih sebesar 95.6%. Sementara itu, Hasil pengukuran tanaman nyamplung sampai umur 6 bulan (Tabel 3) menunjukkan bahwa tanaman asal bibit cabutan dengan jarak tanam 4 m x 4 m memiliki pertumbuhan lebih baik dibanding tanaman asal benih dengan jarak tanam 3 m x 3 m yaitu tinggi 82.51 cm (pertumbuhan 10.10 cm/bulan) dan diameter 1.32 cm (Pertumbuhan 0.19 cm/bulan). Perbedaan pertumbuhan yang terjadi antar perlakuan diduga lebih disebabkan oleh penempatan blok penanaman dimana penanaman bibit asal cabutan berada pada lokasi lebih jauh dari garis pantai dibanding bibit asal benih. Penempatan tersebut sangat berpengaruh karena variasi tapak dan kondisi lingkungan sangat besar dengan perbedaan jarak dari garis pantai. Kondisi lahan dekat garis pantai banyak mengandung pasir dengan sedikit topsoil serta besarnya angin pada lokasi tersebut menyebabkan pertumbuhan tanaman asal benih menjadi terhambat. Tingginya suhu di lokasi penanaman serta panasnya pasir pada saat penanaman menyebabkan tanaman mengalami dehidrasi dan stress sehingga sebagian mengalami kematian. Hal tersebut dapat dilihat dengan persentase hidup yang rendah untuk bibit asal benih yang ditanam pada lokasi dekat pantai. Ketahanan hidup tanaman dapat meningkat setelah diberikan perlakuan pemberian bronjong.
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
31
Gambar 1. Pertumbuhan tinggi dan diameter batang nyamplung (C. inophyllum) sampai umur 6 bulan di Batukaras, Ciamis
Berdasarkan pengamatan di lapangan, perlakuan pembedaan asal bibit pada uji penanaman ini belum bisa menggambarkan pertumbuhan tanaman nyamplung di lapangan. Begitu pula dengan pembedaan jarak tanam yang diduga belum berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman nyamplung karena tanaman masih kecil dengan kondisi tajuk dan perakaran belum bersentuhan sehingga persaingan untuk mendapatkan unsur hara, air dan cahaya masih sangat kecil. Berdasarkan kondisi di atas, pemberian bronjong merupakan hal yang cukup penting dan dilakukan dalam kegiatan/budidaya nyamplung meskipun harus mengeluarkan biaya tambahan.
Gambar 2. Pertumbuhan tanaman nyamplung umur 6 bulan dengan perlakuan pemberian bronjong dan di biarkan terbuka
Pembuatan bronjong dapat dimodifikasi dengan bahan lain untuk mengurangi biaya sehingga penanaman dapat dilakukan secara efisien. Percobaan lainnya masih perlu dilakukan seperti lamanya waktu yang diperlukan untuk pembukaan bronjong. Hal tersebut sangat penting karena tanaman yang terlalu lama ditutup mempunyai pertumbuhan yang kurang proporsional antara tinggi dan diameter batang sehingga rentan dengan tiupan angin. Perlakuan/tindakan silvikultur lain masih harus banyak dilakukan untuk mendukung pertumbuhan nyamplung sampai dapat berproduksi/ menghasilkan buah sesuai tujuan yang diharapkan.
32
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
B. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) Hasil pengamatan tanaman ganitri umur 1 tahun menunjukkan bahwa ketahanan hidup ganitri masih cukup tinggi (Gambar 3). Persentase tertinggi diperoleh pada tanaman monokultur sebesar 91.49%, campuran dengan sengon, suren dan mindi masing-masing sebesar 89.29%, 89.29% dan 87.81%. Sementara itu, berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan pembedaan sistem penanaman pada uji penanaman ganitri umur 1 tahun berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter batang.
Gambar 3. Pertumbuhan tanaman ganitri (E. Ganitrus) pada umur 1 tahun di Bojonggedang Rancah, Ciamis.
Selanjutnya untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji beda nyata terkecil Duncan yang selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pertumbuhan tanaman ganitri (E. ganitrus) pada umur 1 tahun pada beberapa perlakuan sistem penanaman No.
Perlakuan (Sistem Penanaman)
Pertumbuhan Tinggi (cm)
Diameter (cm)
1.
Monokultur Ganitri
192.81 a
2.18 a
2.
Campuran dengan Suren
116.21 b
1.36 b
3.
Campuran dengan Sengon
133.63 b
1.55 b
4.
Campuran dengan Mindi
147.36 b
1.46 b
Dari Tabel 2 terlihat bahwa tanaman ganitri yang ditanam dengan sistem monokultur (murni) memiliki pertumbuhan lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding pertumbuhan ganitri yang ditanam secara campuran baik dengan suren, sengon ataupun mindi. Pertumbuhan tinggi ganitri umur 1 tahun pada sistem monokultur dapat mencapai 192.81 cm dan diameter batang 2.18 cm, sedangkan pertumbuhan terrendah diperoleh pada tanaman yang dicampur dengan tanaman suren dengan tinggi sebesar 147.36 cm dan diameter batang 1.46 cm (Gambar 4).
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
33
Gambar 4. Pertumbuhan Ganitri (E. ganitrus) umur 1 tahun pada beberapa sistem penanaman di Bojonggedang, Rancah, Ciamis.
Perbedaan pertumbuhan tanaman ganitri pada beberapa sistem penanaman diduga disebabkan oleh beberapa hal seperti perbedaan/variasi kondisi tapak dan karakter dari pertumbuhan tanaman ganitri sendiri. Kondisi lokasi penanaman yang bertopografi miring yang mengakibatkan terjadinya perbedaan kandungan unsur hara pada bagian atas dan bagian bawah. Berdasarkan pengamatan di lapangan, blok penanaman ganitri monokultur sebagian besar berada pada lokasi yang landai, sedangkan blok campuran dengan suren berada pada bagian atas. Hal tersebut menyebabkan kandungan unsur hara dan mineral pada lokasi landai lebih banyak akibat pencucian dari bagian atas. Kondisi tersebut menyebabkan masukan hara bagi tanaman ganitri menjadi lebih besar sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih cepat. Selain kondisi tapak, faktor lain yang berpengaruh adalah karakter dari tanaman ganitri yang lebih menyukai lokasi yang teduh/kurang cahaya terutama pada saat tanaman masih muda. Kondisi tanaman di lapangan menunjukkan bahwa dengan lebih cepatnya pertumbuhan tanaman pada sistem monokultur menyebabkan tajuk tanaman lebih cepat bersentuhan dan saling menutupi satu sama lain. Pada tanaman sistem campuran seperti dengan tanaman suren, tanaman ganitri tumbuh lebih terbuka karena pertumbuhan tanaman suren yang lambat sehingga intensitas cahaya yang masuk menjadi lebih tinggi. Tanaman yang dicampur dengan tanaman mindi dan sengon tumbuh lebih baik dibanding yang dicampur dengan suren karena kedua jenis tanaman tersebut tumbuh lebih cepat dan tajuknya dapat menutupi tanaman ganitri. C. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Tisuk (Hybiscus macrophyllus) Evaluasi pertumbuhan tanaman tisuk dilakukan pada umur satu tahun. Data hasil pengamatan dan pengukuran menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan berpengaruh nyata, sedangkan jarak tanam tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman tisuk di lapangan (Lampiran 2). Selanjutnya, dilakukan uji jarak Duncan seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pertumbuhan tanaman tisuk (H. macrophyllus) umur 1 tahun pada beberapa perlakuan pemupukan dan jarak tanam No. 1. 2. 3. 4. 5.
34
Perlakuan S1P1 S1P2 S1P3 S2P1 S2P2
Persen Hidup (%) 46.00 e 94.00 ab 94.00 ab 82.00 d 86.00 cd
Parameter Pertumbuhan Tinggi Total (cm) 38.64 c 159.09 a 166.74 a 98.00 b 168.81 a
Diameter Batang (cm) 0.3682 d 2.2805 b 2.9013 ab 1.5310 c 2.6171 ab
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
6. 7. 8. 9. Keterangan
S2P3 S3P1 S3P2 S3P3 S1 S2 S3
98.00 a 90.00 bc 90.00 bc 98.00 a : Jarak tanam 2 m x 2 m : Jarak tanam 2 m x 3 m : Jarak tanam 3 m x 3 m
176.58 a 83.18 b 165.68 a 198.60 a P1 P2 P3
2.8446 ab 1.0141 c 2.6964 ab 3.3136 a : Tanpa pupuk : Pupuk kandang 2 kg/pohon : Pupuk NPK 100 gram/pohon
Pemberian pupuk dan perbedaan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap persen hidup tisuk pada umur 1 tahun di lapangan. Secara umum tanaman tisuk mempunyai kemampuan hidup yang cukup tinggi. Seluruh perlakuan yang diberikan menunjukkan persen hidup yang berbeda nyata terhadap kontrol. Persen hidup tertinggi dicapai pada perlakuan jarak tanam 2 m x 3 m dengan pupuk NPK 100 gram/pohon (S2P3) dan jarak tanam 3 m x 3 m dengan pupuk NPK 100 gram/pohon (S3P3) masing-masing sebesar 98%, sedangkan tanaman tanpa pemupukan (kontrol) memiliki persen hidup terrendah sebesar 46%. Data tersebut menunjukkan perlakuan pemupukan saat penanaman (pupuk dasar) sangat diperlukan untuk memacu pertumbuhan tanaman pada tahap awal. Pemberian pupuk NPK memberikan persen hidup lebih tinggi dibanding pupuk kandang disebabkan oleh unsur hara yang tersedia pupuk lebih cepat diserap tanaman. Lingga (1992) menyatakan bahwa pemupukan bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah, namun tidak dapat dilakukan sebebasnya karena akan menjadi racun bagi tanaman apabila cara penggunaannya tidak sesuai. Selanjutnya Suhaendi (1990), kesalahan pemupukan dapat berakibat fatal bagi tanaman dan bahkan merupakan pemborosan.
Gambar 4. Pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman tisuk (H. macrophyllus) umur 1 tahun
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang 2 kg/pohon (Gambar 2) menghasilkan pertumbuhan paling tinggi baik untuk tinggi total yaitu sebesar 181.55 cm (peningkatan 128.28% dibanding kontrol) ataupun diameter batang sebesar 3.02 cm (peningkatan 179.63% dibanding kontrol). Kondisi tersebut menunjukkan adanya respon pertumbuhan yang cukup baik dari tanaman tisuk terhadap unsur hara yang diberikan. Media tumbuh yang mengandung pukan memiliki sifat fisik dan kimia yang lebih mantap, sehingga mampu menunjang pertumbuhan perakaran yang lebih baik (Sunantara, 2005). Sutejo dan Kartasapoetra (1988) menjelaskan bahwa pupuk kandang mempunyai pengaruh yang positif terhadap sifat fisik dan kimiawi tanah dan perkembangan jasad renik yang dapat menjadi faktor kesuburan tanah. Pupuk kandang dalam tanah memiliki pengaruh yang baik terhadap penguraian fisik tanah. Penguraian yang terjadi mempertinggi kadar humus tanah yang sangat baik terhadap sifat fisik tanah, struktur tanah, kemudahan dalam mengolah serta ketersediaan oksigen yang cukup. Selanjutnya Tisdale dan Nelson (1965) dalam Syamsuwida et al. (2001), pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing mempunyai kandungan unsur hara sebesar 0.75%, 0.5% P2O5 dan 0.45% K2O.
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
35
Hasil penelitian Suhaendi (1979) menunjukkan bahwa pemupukan 34,635 kg/ha pupuk kandang kotoran kambing pada tanaman Pinus merkusii umur 9 bulan di persemaian memberikan pertumbuhan panjang akar sebesar 14.1% dibandingkan kontrol. Sementara itu, Hendromono (1982), pemberian pupuk kandang kotoran kambing 50 gram/kg tanah Latosol pada tanaman Eucalyptus urophylla umur 5 bulan di persemaian mampu menghasilkan peningkatan pertumbuhan tinggi, diameter dan panjang akar masing-masing sebesar 238.5%, 214.5% dan 76.0 dibanding kontrol. Selain pemberian pupuk kandang, pemberian pupuk NPK juga mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 105.79% dan diameter 134.26% dibanding kontrol. Meskipun demikian, dalam praktek/penggunaan di lapangan lebih dianjurkan menggunakan pupuk kandang karena cukup efektif dan efisien bagi para petani hutan rakyat. Selain banyak tersedia (mudah diperoleh), juga harganya cukup murah dibandingkan dengan pupuk anorganik. D. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Mindi (Melia azedarach) Evaluasi pertumbuhan pada uji penanaman mindi dilakukan pada saat tanaman berumur 1 tahun. Data hasil analisa keragaman (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam dan pemupukan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap persen hidup tanaman mindi umur 1 tahun. Sementra itu, interaksi antara keduanya tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan tanaman di lapangan. Selanjutnya hasil uji beda nyata rata-rata pengaruh pemupukan dan jarak tanam terhadap pertumbuhan tanaman tisuk disajikan pada Tabel 4. Data pada Tabel 4. menunjukkan bahwa persentase hidup tanaman mindi pada umur 1 tahun secara umum cukup rendah, bahkan beberapa perlakuan berada di bawah kontrol. Persen hidup tertinggi dicapai pada perlakuan S1P2 (jarak tanam 2 m x 2m dengan pupuk kandang 2 kg/pohon) sebesar 85.67%. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kematian tanaman sebagian besar terjadi pada waktu tanaman masih muda (2 minggu setelah tanam) akibat serangan hama bekicot. Banyaknya hama bekicot disebabkan lokasi yang gunakan merupakan lahan bekas pesawahan. Oleh sebab itu, penyemprotan pestisida sangat diperlukan untuk mengurangi dampak serangan yang lebih besar. Tabel 4. Pertumbuhan tanaman mindi (M. azedarach) umur 1 tahun pada beberapa perlakuan pemupukan dan jarak tanam No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Keterangan
Perlakuan S1P1 S1P2 S1P3 S2P1 S2P2 S2P3 S3P1 S3P2 S3P3 S1 S2 S3
Persen Hidup (%) 32.00 b 85.67 a 37.67 b 28.67 b 31.33 b 60.67 ab 32.00 b 57.33 ab 50.00 ab : Jarak tanam 2 m x 2 m : Jarak tanam 2 m x 3 m : Jarak tanam 3 m x 3 m
Parameter Pertumbuhan Tinggi Total (cm) 160.36 a 171.51 a 198.68 a 97.08 bc 142.33 ab 204.12 a 25.81 d 49.29 cd 76.40 cd P1 P2 P3
Diameter Batang (cm) 2.8071 bc 3.4140 abc 4.9368 a 2.3167 bcd 2.9600 bc 3.8080 ab 0.2262 e 1.1544 de 1.9800 e
: Tanpa pupuk : Pupuk kandang 2 kg/pohon : Pupuk NPK 100 gram/pohon
Perbedaan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman mindi di lapangan. Data hasil pengamatan (Gambar 3) menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi semakin besar dengan semakin kecil/rapat jarak tanam, sedangkan diameter batang semakin kecil dengan semakin sempitnya jarak 36
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
tanam yang digunakan. Pada jarak tanam yang kecil/rapat terjadi persaingan yang keras terhadap sinar matahari, air dan zat mineral, sebaliknya hutan yang terlalu jarang akan menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk besar, bercabang banyak dan batang yang yang pendek (Anonim, 2000). Selanjutnya Marjenah (2001), pertumbuhan diameter lebih cepat pada tempat terbuka dari pada tempat ternaungi sehingga tanaman pada tempat terbuka akan cenderung pendek dan kekar. Pada intensitas cahaya yang relatif sedikit tanaman cenderung memacu pertumbuhan tingginya untuk memperoleh sinar yang diperlukan untuk proses fisiologis. Pada jarak yang rapat, persaingan terhadap sinar matahari akan menyebabkan pertumbuhan ke arah tinggi akan lebih cepat, sedangkan tingginya persaingan terhadap unsur hara dan air menyebakan pertumbuhan diameter cenderung lebih lambat.
Gambar 5. Pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman mindi umur satu tahun pada beberapa perlakuan pemupukan
Persaingan tersebut juga ditunjukkan dengan kondisi di lapangan (Gambar 6 dimana pertumbuhan tajuk tanaman mindi khususnya pada jarak tanam 2 m x 2 m yang sudah mulai bersentuhan. Hal tersebut juga dapat menggambarkan persaingan akar tanaman di dalam tanah untuk menyerap unsur hara dan air.
.
Gambar 6. Pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman mindi umur satu tahun pada beberapa perlakuan jarak tanam
Secara umum pertumbuhan tanaman mindi di lapangan cukup baik yang menunjukkan kondisi tapak dan lingkungan pada lokasi tersebut cukup sesuai untuk penanaman jenis ini. Meskipun demikian, diperlukan perlakuan/tindakan silvikultur yang tepat untuk mengurangi tingginya kematian anakan/bibit terutama pada saat awal penanaman. Tindakan tersebut diantaranya adalah pembersihan gulma/alang-alang pada saat pengolahan tanah untuk mengurangi persaingan dan gangguan pada tanaman
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
37
pokok serta pemberantasan hama bekicot yang banyak menyerang terutama pada tanaman yang masih muda. Berdasarkan kondisi di lapangan, setelah tanaman mindi cukup tinggi dan mampu bersaing dengan gulma, maka kematian mulai menurun serta pertumbuhannya relatif lebih cepat. E. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Manglid (Manglieta glauca Bl.) Evaluasi pertumbuhan tanaman manglid dilakukan pada umur 6 bulan. Hasil pengamatan dan pengukuran menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan perlakuan pemupukan dan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman manglid umur 6 bulan di lapangan (Lampiran 4). Selanjutnya hasil uji beda nyata terkecil selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pertumbuhan tanaman manglid (M. glauca) umur 1 tahun pada beberapa perlakuan pemupukan dan jarak tanam No.
Perlakuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
S1P1 S1P2 S1P3 S2P1 S2P2 S2P3 S3P1 S3P2 S3P3
Keterangan :
Persen Hidup (%) 84.00 a 92.00 a 78.67 a 80.00 a 92.00 a 84.00 a 89.33 a 78.67 a 68.00 a
Tinggi Total (cm) 72.42 abc 74.40 ab 73.27 abc 69.81 abc 75.07 a 70.26 abc 64.59 bc 63.44 c 65.77 ac
Diameter Batang (cm) 1.60 a 1.63 a 1.59 a 1.44 ab 1.63 a 1.51 a 1.23 bc 1.19 c 1.59 a
S1
: Jarak tanam 2 m x 2 m
P1
: Tanpa pupuk
S2 S3
: Jarak tanam 2 m x 3 m : Jarak tanam 3 m x 3 m
P2 P3
: Pupuk kandang 2 kg/pohon : Pupuk NPK 100 gram/pohon
Persen hidup tanaman manglid sampai umur 6 bulan masih cukup tinggi (di atas 70%) (Tabel 6). Persen hidup tertinggi dicapai pada perlakuan S1P2 (jarak tanam 2 m x 2 m dengan pupuk kandang 2 kg/pohon) dan S2P2 (jarak tanam 2 m x 3 m dengan pupuk kandang 2 kg/pohon) sebesar 92%. Tingginya persen hidup tanaman disebabkan oleh kondisi lahan terutama kesuburan dan struktur tanah yang cukup baik. Kondisi tersebut disebabkan lokasi tersebut merupakan lahan bekas garapan/pertanian. Sampai umur 6 bulan, perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman manglid. Pertumbuhan tinggi dan diameter cenderung menurun dengan semakin lebarnya jarak tanam yang digunakan(Gambar 7). Jarak tanam 2 m x 2 m memberikan pertumbuhan tertinggi yaitu tinggi total sebesar 73.39 cm dan diameter batang 1.65 cm, sedangkan jarak tanam 3 m x 3 m memberikan pertumbuhan terendah untuk tinggi total dan diameter batang masing-masing sebesar 64.53 cm dan 1.32 cm. Hasil pengamatan di lapangan, perbedaan pertumbuhan antar jarak tanam lebih banyak disebabkan oleh perbedaan kondisi tapak yang digunakan. Bila dilihat dari penampilan/deskripsi pohon, tajuk antar pohon belum terlihat bersentuhan sehingga kemungkinan pengaruh dari jarak tanam tersebut masih sangat kecil. Adanya variasi lokasi penanaman yang digunakan seperti faktor kesuburan (Tabel 6) ataupun topografi (kelerengan) diduga sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Adanya tindakan garapan petani untuk penanaman palawija pada jarak tanam 2 m x 2 m dan 2 m x 3 m menyebabkan tanaman manglid tumbuh lebih baik dibandingkan tanaman pada jarak 3 m x 3 m yang dibiarkan tidak digarap.
38
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
Gambar 7. Pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman manglid umur 6 bulan pada beberapa perlakuan jarak tanam.
F. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Sengon (Falcataria molucana) Pengukuran pertumbuhan tinggi dan diameter dilakukan pada plot agroforestry di DTA Kadipaten- Tasikmalaya dengan komposisi tanaman pokok sengon (Falcataria molucana), tanaman sela Gmelina (Gmelina arborea) dan suren (Toona sureni), serta tanaman semusim jagung dan kacang tanah. Tanaman sengon yang ditanam berasal dari 5 asal benih yaitu Wamena, Subang, Ciamis, Candiroto, Kediri. Tabel 6. Pertumbuhan tinggi dan diameter rata-rata tanaman sengon umur 4 tahun di DTA Kadipaten- Tasikmalaya
Asal Benih
Jarak Tanam 3mx3m
Jarak Tanam 3mx4m
Tinggi (m)
Diamter (cm)
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Wamena
16,42
19,08
15,11
19,42
Subang
17,15
20,72
17,05
21,07
Ciamis
20,75
21,46
20,75
23,62
Candiroto
18,12
20,82
19,02
21,18
Kediri
18,11
18,07
17,72
19,21
Pertumbuhan tanaman sengon antar asal benih menunjukkan tingkat yang berbedabeda. Tinggi dan diameter rata-rata terbaik tanaman sengon ditunjukkan asal benih Ciamis pada jarak tanam 3 m x 4 m, yaitu 20,75 m dan 23,62 cm. Sedangkan pada jarak tanam 3 m x 3 m pertumbuhan tinggi rata-rata hampir seragam. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa pada ruang tumbuh yang lebih terbuka dan bertambahnya umur tanaman, maka pertumbuhan sengon sudah menunjukkan adanya persaingan. Sengon asal benih Ciamis menunjukkan pertumbuhan terbaik karena selain letak lokasi penanaman (Tasikmalaya) yang berdekatan dengan daerah Ciamis, kondisi tempat tumbuh dan lingkungannya juga di lokasi penanaman mendekati persamaan dengan daerah Ciamis. Namun demikian, jika melihat laporan hasil penelitian sebelumnya pada lokasi yang sama, hasil pengukuran tinggi dan diameter sejak penanaman hingga umur 9 bulan, pertumbuhan tanaman sengon antar asal benih belum menunjukkan kecenderungan yang konsisten. pertumbuhan diameter rata-rata terbesar pada tanaman sengon asal Wamena (1,89 cm) dan terrendah pada tanaman asal Candiroto (1,66 cm), sedangkan tinggi
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
39
tanaman tertinggi pada tanaman asal Subang (148,24 cm) dan terrendah pada tanaman asal Candiroto (108,84 cm).
Gambar 8. Tanaman sengon umur 1 tahun (kiri) dan 4 tahun (kanan)
Kondisi ini menunjukkan bahwa pada awal tahun penanaman, kondisi pertumbuhan seluruh tanaman belum menunjukkan perbedaan yang berarti. Jarak tanam pada usia tanaman muda diduga belum memiliki pengaruh secara langsung pada tingkat pertumbuhan karena ruang tumbuh yang ada masih belum menyebabkan persaingan antar tanaman pohon. Pengamatan pertumbuhan sengon dengan pola tanam monokultur umur 2,5 tahun di Desa Pamalayan Kecamatan Cijeunjing, Kabuaten Ciamis dengan benih asal Kediri pada jarak tanam 2 m x 2 m memberikan hasil tinggi 9,65 m, diameter 9,97 cm dan lebar tajuk 3,57 m (Hani, dkk., 2008). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hardiyanto (2010) menunjukkan bahwa sengon dari benih lokal pada umur 2 tahun di daerah Temanggung memberikan pertumbuhan tinggi 7 meter dan diameter 12 meter. Sedangkan pada umur 3 tahun memberikan pertumbuhan tinggi 8 meter dan diameter 16 cm. IV. KESIMPULAN 1. Pengetahuan silvikultur yang merupakan komponen pengelolaan hutan merujuk pada tindakan level yang digunakan untuk mengatur struktur, komposisi jenis tanaman dan pertumbuhannya sangat penting diketahui oleh masyarakat petani hutan rakyat. 2. Penentuan pola tanam untuk setiap jenis tanamaan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tegakan. Tindakan silvikultur yang perlu diperhatikan dalam penentuan pola tanam antara lain : pengaturan ruang tumbuh (jarak tanam) kaitannya dengan intensitas cahaya matahari (dominasi, toleransi), rencana pemeliharaan (penjarangan, pruning), dan pengaturan hasilnya. 3. Penanaman dengan pola monokultur pada luasan tertentu akan menyebabkan satu jenis nutrisi akan terambil secara terus menerus sehingga akan terjadi malnutrisi yang berakibat pada penurunan kualitas tegakan. Oleh karena itu perlu dicermati tingkat kesuburan tanah kaitannya dengan jenis dan dosis pupuk yang akan diterapkan pada setiap jenis tanaman. 4. Penanaman dengan pola campuran terdapat interaksi antar jenis yang kompleks, sehingga perlu dipelajari pola interaksi antar jenis untuk mendapatkan pola campuran antar jenis yang berinteraksi positif. Kondisi tapak (topografi, kelerengan, ketinggian tempat) dan iklim (curah hujan, suhu, kelembaban) sangat berpengaruh terhadap dinamika pertumbuhan setiap jenis tanaman dengan pola tanam campuran. 5. Perlakuan penelitian jarak tanam dan dosis pupuk yang diterapkan pada berbagai pola tanam (monokultur, campuran, agroforestry) menunjukkan respon pertumbuhan yang bervariatif untuk setiap jenis tanaman seperti nyamplung (C. inophyllum), ganitri (E. ganitrus), manglid (Manglieta glauca.), mindi (Melia azedarach), tisuk (Hybiscus 40
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
macrophyllus) dan sengon (Falcataria molucana). Oleh karena itu masih perlu dipelajari perlakuan penelitian untuk peningkatan produktivitas dan kualitas tegakan hutan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA Awang, S.A. 2007. Konstruksi Pengetahuan dan Unit manajemen Hutan Rakyat. Prodiding Pekan Hutan Rkyat Nasional II. Psuslibang Hutan Tanaman Bogor. Darusman, D., Nurheni W, 2007. Aspek konomi Hutan Rakyat (Skim Pendanaan). Makalah pada Stadium General Pekan Hutan Rakyat II tg. 30 Oktober 2007 di Ciamis. Diniyati, D. Yuliani, E. Fauziyah, Suyarno, dan A. Badrunasar. 2005. Kondisi dan Potensi Hutan Rakyat di Ciamis, Cilacap, Tasikmalaya, Wonosobo dan Kuningan. Prosiding Seminar “Optimalisasi Peran Litbang dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan, tanggal 6 Desember di Tasikmalaya.Hlm 132-150. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Hani, A.,D. Swestiani; Rusdy; Y. Nadiharto. 2008. Silvikultur Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Tidak Dipublikasikan. Hani, A.,B. Rahmawan. 2009. Silvikultur Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Tidak Dipublikasikan. Hardiyanto, E.B. 2010. Faktor Yang Berpengaruh pada Produktivitas dan Kualitas Kayu Sengon. Materi Diklat Pengelolaan Karat Tumor Pada Sengon. Tidak Dipublikasikan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Kartiko, H.D.P., Danu. W. Suwoyo dan P. Nugroho. 2001. Membuat Bibit Tanaman Langka : Ramin (Gonystylus bancanus) Melalui Stek. Buletin Teknologi Perbenihan Vol. 8 No. 1, 2001. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Kosasih, S., R. Bogidarmanti; B. Rustaman. 2006. Silvikultur Hutan Tanaman Campuran. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Lahije, A.M., 2004. Teknik Agroforestry. Universitas Mulawarman. Samarinda. Mindawati, N., A. Widiarti & B. Rustaman. Hutan Rakyat. Review Hasil Penelitian. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Rachman, E., Benyamin, D dan I. Setiawan. 2009. Pengembangan Model Percontohan pada Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Tidak Dipublikasikan. Rudebjer. G. (Editor), 2002. Pedoman untuk Pembelajaran Agroforestri.International Center for Research in Agroforestry. (ICRAF). Suprianto. 2005. Panduan Analisis Kelayakan Usaha Komoditas yang dikembangkan pada Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Prosiding Optimalisasi Peran Litbang dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Loka Litbang Hutan Monsoon. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Tasikmalaya. Syamsuwida D, Yuniarti N dan Putri P. 2001. Pengaruh Penggunaan Pupuk, Media Semai dan Inokulasi Rhizobium Pada Semai Kihiang (Albizia procera) dan Johar (Cassia siamea). Buletin Teknologi Perbenihan Vol 8 No.1 Tahun 2001. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor.
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
41