EVALUASI JENIS POHON BAGI KONSERVASI KERAGAMAN TANAMAN HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA
CINDY ALIFFIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Evaluasi Jenis Pohon bagi Konservasi Keragaman Tanaman Hutan Kota di DKI Jakarta” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi baik yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013
Cindy Aliffia A451100091
RINGKASAN CINDY ALIFFIA. Evaluasi Jenis Pohon bagi Konservasi Keragaman Tanaman Hutan Kota di DKI Jakarta. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, ISMAYADI SAMSOEDIN, dan SYARTINILIA. Hutan kota di Indonesia hanya dapat dikukuhkan jika telah disetujui oleh pihak yang berwenang sesuai dengan Peraturan Pemerintah PP Nomor 63/2002. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi keragaman spesies tumbuhan di hutan kota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keanekaragaman tumbuhan di hutan kota, dan untuk menganalisis kondisi fisik pohon hutan kota. Penelitian ini dilakukan di tiga hutan kota terpilih di DKI Jakarta, yaitu Universitas Indonesia (UI), Srengseng, dan PT. JIEP. Analisis vegetasi dan Shannon Wiener Indeks digunakan sebagai metode untuk menganalisis keanekaragaman tumbuhan. Dalam studi ini, kondisi fisik pohon juga diamati dengan mengobservasi kriteria fisik kondisi pohon yang ada. Hasil untuk analisis ini digunakan sebagai masukan untuk rekomendasi pengelolaan hutan kota dengan menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman jenis pohon di tiga hutan kota yang dipilih adalah sedang (1
SUMMARY CINDY ALIFFIA. Tree Species Evaluation for Urban Forest Plant Diversity Conservation in DKI Jakarta. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN, ISMAYADI SAMSOEDIN and SYARTINILIA. Urban forest in Indonesia can only be declared if it has been approved by the competent authorities in accordance with Goverment Regulation PP No. 63/2002. Therefore, it is necessary to evaluate the diversity of plant species in the urban forest. The purpose of this study is to analyze the plant diversity in the urban forest, and to analyze the physical condition of the urban forest’s trees. This study was conducted in three selected urban forest in DKI Jakarta, i.e. Indonesian University (UI), Srengseng and PT. JIEP. Vegetation Analysis and Shannon Wiener Index were used as a method for analyzing the plant diversity. In this study, the physical condition of the trees also were observed by scoring the physical criterias of the existing tree condition. Result for this analysis were used as input to urban forest management recommendations using SWOT analysis. The result showed that the diversity of tree species in three selected urban forest is moderate (1 < H’ < 3). Indigenous species in UI and PT. JIEP predominant were found than in Srengseng urban forest. While the physical condition of trees in PT. JIEP urban forest have the highest levels of damage compared to the other two urban forest. Suitability of ecological functions of trees examined by urban forest type, shows that PT. JIEP Urban Forest as a buffer for industry region has only 30% of trees that have either category as absorbing gaseous pollutants. While the UI Urban Forest and the Srengseng Urban Forest, ecological functions of trees based on the type of urban forest have been appropriate for the city to provide comfort for visitors. Recommendations of Urban forest management are produced from SWOT analysis. It is resulted 10 recommendations for trees biodiversity conservation in urban forest based on internal factor and external factor of the three selected urban forest in DKI Jakarta. Keywords: conservation, indigenous species, tree species diversity, urban forest management
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
EVALUASI JENIS POHON BAGI KONSERVASI KERAGAMAN TANAMAN HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA
CINDY ALIFFIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr.
Judul Tesis
: Evaluasi Jenis Pohon bagi Konservasi Keragaman Tanaman Hutan Kota di DKI Jakarta
Nama
: Cindy Aliffia
NIM
: A451100091 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Ketua
Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. Anggota
Dr. Syartinilia, SP. M.Si. Anggota Diketahui oleh
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA.
Tanggal Ujian: 6 Mei 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2011 ini ialah keragaman tanaman di hutan kota, dengan judul Evaluasi Jenis Pohon bagi Konservasi Keragaman Tanaman Hutan Kota di DKI Jakarta. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Arsitektur Lanskap (ARL), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih ditujukan untuk : 1. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. selaku Ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. dan Dr. Syartinilia, SP. M.Si. selaku Anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan dukungan selama penelitian. 2. Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. 3. Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA. selaku Ketua program studi Arsitektur Lanskap. 4. Dr. Ir. Tarsoen Waryono, M.Si. (staf pengajar UI dan pakar hutan kota), Ir. Sugiarti, M.Sc. (Kebun Raya Bogor), Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si. (BPTP Tanaman Hutan Bogor), Ir. Subarudi, M.Sc. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementrian Kehutanan, Bogor), dan M. Sukarsa, ST. M.Ec.Dev. (Dinas Pertanian dan Kelautan Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta). 5. Bapak Rudy Sunarja Rivai, Ibu Vici Nila Wahyuni, saudara dan temanteman. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam mendukung kebijakan pemerintah untuk pengembangan hutan kota dan memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Bogor, Mei 2013
Cindy Aliffia
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran 2. TINJAUAN PUSTAKA Sistem Hutan Kota Keanekaragaman Hayati Konservasi Keragaman Tanaman 3. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Alat dan Data Penelitian Metode Penetuan Sampel Hutan Kota Tahap Analisis Keragaman Jenis Tanaman Tahap Analisis Kondisi Fisik Pohon Tahap Analisis Fungsi Ekologis Pohon berdasarkan Tipe Hutan Kota Tahap Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Hutan Kota 4. HASIL PENELITIAN Analisis Situasional Analisis Keragaman Tanaman Analisis Kondisi Fisik Pohon Analisis Fungsi Ekologis Pohon berdasarkan Tipe Hutan Kota Rekomendasi Strategi Pengelolaan Hutan Kota berdasarkan Analisis SWOT 5. PEMBAHASAN Keragaman Tanaman Kondisi Fisik Pohon Fungsi Ekologis Pohon berdasarkan Tipe Hutan Kota Rekomendasi Strategi Pengelolaan Hutan Kota berdasarkan Analisis SWOT
x xi xii 1 2 3 3 3 5 7 10 11 12 13 14 17 20 21 22 35 48 51 65
72 74 76 79
6. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
81 81 82 86 93
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Deskripsi empat bentuk kriteria yang membedakan peranan fungsi kawasan hijau perkotaan Spesies pohon yang paling banyak ditemukan di pinggir jalan di Jakarta dan asal – usulnya. Alat penelitian dan fungsi Jenis data, sumber dan kegunaannya Skoring kerusakan disebabkan hama dan penyakit tanaman pada pangkal akar dan batang Skoring kerusakan disebabkan hama dan penyakit tanaman pada cabang dan daun Skoring kerusakan mekanik pada pohon Variabel fungsi ekologis dan kriteria penilaian Luasan hutan kota yang telah dikukuhkan oleh SK. Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Hutan kota yang telah dikukuhkan oleh pemerintah Jenis pohon yang ditemukan di zona Vegetasi Asli Jenis pohon yang ditemukan di zona Wales Barat Jenis pohon yang ditemukan di zona Wales Timur Jenis tanaman dengan INP dan indeks keragaman pada zona Vegetasi Asli Jenis tanaman dengan INP dan indeks keragaman pada zona Wales Barat Jenis tanaman dengan INP dan indeks keragaman pada zona Wales Timur Jenis tanaman lokal (indigenous species) dengan INP tertinggi dan indeks keragaman pada Hutan Kota UI Jenis pohon yang ditemukan di Hutan Kota Srengseng Jenis tanaman dengan INP dan indeks keragaman pada Hutan Kota Srengseng Jenis pohon yang ditemukan di Hutan Kota PT. JIEP Jenis tanaman dengan INP dan indeks keragaman pada Hutan Kota PT. JIEP Jenis pohon pada zona Vegetasi Asli dan asal-usulnya Jenis pohon pada zona Wales Barat dan asal-usulnya Jenis pohon pada zona Wales Timur dan asal-usulnya Jenis pohon pada Hutan Kota Srengseng dan asal-usulnya Jenis pohon pada Hutan PT. JIEP dan asal-usulnya Kriteria penilaian aspek fungsi modifikasi suhu Kriteria penilaian aspek fungsi kontrol kelembaban udara Kriteria penilaian aspek fungsi peredam kebisingan Kriteria penilaian aspek fungsi modifikasi suhu Kriteria penilaian aspek fungsi kontrol kelembaban udara Kriteria penilaian aspek fungsi peredam kebisingan
5 9 12 12 18 18 19 21 22 23 36 36 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 46 47 47 52 53 55 56 57 58
33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Kriteria penilaian aspek fungsi modifikasi suhu Kriteria penilaian aspek fungsi kontrol kelembaban udara Kriteria penilaian aspek fungsi peredam kebisingan Kriteria penilaian aspek fungsi penahan angin Kriteria penilaian aspek fungsi penyerap polutan gas Matriks IFE Matriks EFE Matriks strategi SWOT untuk pengelolaan hutan kota Prioritas strategi alternatif untuk konservasi keragaman jenis pohon di hutan kota DKI Jakarta.
60 61 62 63 64 67 68 70 71
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Kerangka pikir penelitian Peta lokasi penelitian di DKI Jakarta Bentuk plot Metode Kuadrat Tahapan penelitian Denah Hutan Kota UI Tegakan pohon di Hutan Kota UI Ekosistem danau dan hutan kota di Kampus UI Pembagian zona di Hutan Kota Kampus UI Denah Hutan Kota Srengseng Tegakan pohon dalam Hutan Kota Srengseng Fasilitas taman bermain bagi anak-anak Perpaduan ekosistem danau dan hutan kota di Srengseng Penanaman baru di Hutan Kota Srengseng Peta Hutan Kota PT. JIEP Papan nama Hutan Kota PT. JIEP Tegakan pohon di hutan kota Lahan hutan kota yang menjadi kebun Kambing yang mencari makan di dekat tanaman yang baru ditanam Kerapatan individu pada Hutan Kota UI Kerapatan individu pada Hutan Kota Srengseng Kerapatan individu pada Hutan Kota PT. JIEP Kerusakan pada pohon yang terjadi di Hutan Kota UI Kerusakan pada pohon yang terjadi di Hutan Kota Srengseng Kerusakan pada pohon yang terjadi di Hutan Kota PT. JIEP Matriks IE tiga Hutan kota di DKI Jakarta
4 11 14 15 25 27 27 28 29 31 31 31 31 33 34 34 35 35 41 42 43 49 50 50 69
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3.
Kuisioner SWOT Perhitungan bobot faktor internal dan eksternal Pembobotan faktor internal dan eksternal pada tiga hutan kota di DKI Jakarta
86 90 92
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan kota saat ini semakin cepat sehingga perubahan fungsi lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya meningkat. Tidak jarang lahan yang seharusnya digunakan menjadi ruang terbuka hijau (RTH) dikorbankan menjadi area permukiman, jasa serta perdagangan, pendidikan, rekreasi, fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya. Hal ini sering terjadi di kotakota besar di Indonesia, tidak terkecuali di Jakarta. Persentase RTH di Jakarta terus berkurang dari waktu ke waktu, hal ini akibat adanya perubahan fungsi lahan yang didesak oleh kebutuhan manusia di antaranya, oleh pertambahan jumlah penduduk dan arus urbanisasi yaitu proses perubahan dan perkembangan wilayah menjadi kota, padahal salah satu unsur pembentuk kenyamanan dan keindahan kota adalah tersedianya RTH. Empat efek utama dari urbanisasi adalah meningkatnya temperatur (efek pulau panas perkotaan), meningkatnya aliran permukaan karena permukaan yang tidak dapat ditembus air, keragaman jenis tanaman lokal yang rendah dan sebaliknya jenis keragaman tanaman introduksi yang tinggi, serta peningkatan produksi karbon dioksida (Margaret 2006). Peningkatan luas RTH di wilayah DKI Jakarta merupakan langkah penting dan strategis di tengah menyusutnya luas RTH sekitar 0,6% per tahun selama kurun waktu 44 tahun dari sekitar 35% pada tahun 1965 menjadi 9,3% pada tahun 2009 (Subarudi dan Samsoedin 2010) sehingga masih diperlukan upaya-upaya ekstra untuk memenuhi target yang telah ditetapkan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang mensyaratkan luas RTH di perkotaan sebesar 30% dengan perincian sekitar 20% untuk ruang publik dan 10% untuk ruang privat. Salah satu bentuk RTH adalah hutan kota yang berfungsi sebagai wadah untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati di perkotaan. PP 63 tahun 2002 yang menjelaskan tentang hutan kota disebutkan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Ditinjau dari definisi tersebut, di dalam hutan kota manusia tidak dapat leluasa melakukan aktivitas, contohnya olahraga, rekreasi dan aktivitas lainnya, karena menyangkut yuridiksi hutan dan kehutanan. Namun, pada kenyataannya sebagian besar hutan kota yang telah ditetapkan oleh PP 63 tahun 2002 tidak sesuai dengan apa yang telah didefinisikan oleh PP tersebut sehingga perlu dilakukan evaluasi. Di samping itu, di dalam PP tersebut juga dijelaskan bahwa hutan kota harus disahkan oleh pejabat berwenang dan penunjukan area hutan kota yang paling minimal adalah 0,25 ha padahal dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam pengesahan oleh pejabat berwenang. Selain itu, cukup sulitnya menemukan area seluas 0,25 ha di perkotaan untuk dikembangkan menjadi hutan kota saat ini merupakan kendala bagi pengelola. Oleh sebab itu, evaluasi terhadap hutan kota yang sudah ada sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan kota yang berkelanjutan.
2
Setiap hutan kota mempunyai tipe masing-masing sesuai dengan peranannya pada daerah di sekitarnya, seperti Hutan Kota Universitas Indonesia yang berfungsi sebagai hutan kota penunjang akademik, Hutan Kota Srengseng sebagai kawasan rekreasi bagi daerah di sekitarnya, dan Hutan Kota PT. JIEP Pulo Gadung yang merupakan hutan kota penyangga kawasan industri. Berbagai macam tipe hutan kota ini memperhitungkan keanekaragaman jenis pohon, dan pengelolaan sesuai tipe hutan kota tersebut, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mendalam pada tiga hutan kota dari 14 hutan kota yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mengevaluasi tipe hutan kota yang telah ditetapkan. Menurut Arifin dan Nakagoshi (2011), Jakarta merupakan trendsetter bagi kota-kota metropolitan di Indonesia. Setiap pencapaian dari kemajuan Jakarta akan secara umum diikuti oleh kota-kota yang lain contohnya adalah pohon angsana (Pterocarpus indicus Willd) yang juga ditanam oleh kota-kota lainnya di Indonesia. Padahal setiap daerah memiliki kekhasan jenis tanaman masing-masing sesuai biofisik kawasannya. Begitu juga dalam hal pemilihan jenis tanaman yang lebih mengutamakan tanaman introduksi. Hal ini menjadi salah satu penyebab penurunan keanekaragaman hayati, khususnya pada hutan kota. Penurunan keanekaragaman hayati ini cenderung ditandai dengan meningkatnya jumlah penelitian yang mengindikasi bahwa keanekaragaman hayati merupakan peran yang penting pada fungsi ekosistem dalam jangka panjang. Banyak faktor yang memberikan kontribusi kepada penurunan keanekaragaman hayati termasuk modifikasi habitat, kompetisi dengan spesies introduksi, tuntutan manusia untuk spesies tertentu dan sebagai produksi, serta perubahan lingkungan yang cepat seperti fluktuasi iklim (Alvey 2006). Pemilihan spesies introduksi tidak selamanya memberikan dampak negatif karena spesies introduksi juga ada beberapa yang memberikan banyak manfaat contohnya adalah produksi kayu, getah, buah dan manfaat lainnya. Namun, yang menjadi ancaman adalah spesies introduksi yang mempunyai sifat invasif sehingga mengalahkan spesies lokal yang harusnya tumbuh di tempat tersebut. The United Nations of Environment Programme (UNEP) memposisikan Indonesia pada posisi ke-3 dengan negara mega-biodiversitasnya setelah Brazil dan Kongo. Setiap wilayah Indonesia memiliki karakeristik ekologi masing-masing, hal ini menjadi potensi untuk menghasilkan vegetasi yang berbeda dari tiap daerah sehingga dapat meningkatkan keanekaragaman hayatinya. Oleh karena itu, pemanfaatan jenis tanaman lokal selain dapat diberdayakan sebagai jenis tanaman penciri, ia juga memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga betapa perlunya penelitian ini dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut dengan mengembangkan potensi yang ada. 1.2. Perumusan Masalah Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi dan menyusun rekomendasi pengelolaan hutan kota dalam upaya konservasi keragaman jenis pohon di hutan kota. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, yang menjadi fokus pertanyaan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana keragaman jenis tanaman pohon pada tiga hutan kota terpilih? 2. Bagaimana kondisi fisik pohon pada tiga hutan kota terpilih?
3
3. Apakah fungsi ekologis pohon berdasarkan tipe tiga hutan kota terpilih sudah terpenuhi? 4. Apakah rekomendasi yang dapat diberikan untuk konservasi keragaman jenis tanaman di hutan kota? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang muncul pada hutan kota di DKI Jakarta, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. menganalisis keragaman jenis tanaman pohon pada tiga hutan kota terpilih, 2. menganalisis kondisi fisik pohon pada tiga hutan kota terpilih, 3. menganalisis fungsi ekologis pohon berdasarkan tipe hutan kota yang terpilih, 4. menyusun rekomendasi pengelolaan hutan kota untuk konservasi keragaman jenis pohon hutan kota di DKI Jakarta. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini menghasilkan data dan informasi yang mendukung kebijakan pemerintah dalam pengembangan hutan kota, di antaranya adalah : 1. data dan informasi keragaman jenis tanaman, kondisi fisik pohon dan fungsi ekologis pohon berdasarkan tipe tiga hutan kota terpilih di DKI Jakarta, 2. rekomendasi mengenai pengelolaan hutan kota bagi konservasi keragaman tanaman. 1.5. Kerangka Pemikiran Keberadaan hutan kota saat ini terancam oleh beberapa permasalahan, padahal hutan kota memiliki potensi yang terkait dengan jasa lanskap. Salah satu jasa lanskap yang terkait adalah konservasi keanekaragaman hayati, oleh sebab itu perlu dilakukan evaluasi jenis pohon sebagai upaya untuk konservasi keragaman tanaman hutan kota di DKI Jakarta. Analisis vegetasi, indeks keragaman dan asalusul tanaman digunakan untuk menganalisis keragaman tanaman. Kondisi fisik pohon dianalisis berdasarkan kerusakan akibat hama penyakit tanaman dan kerusakan mekanik. Analisis fungsi ekologis pohon berdasarkan hutan kota juga dilakukan untuk kesesuaian dengan fungsi hutan kota terhadap daerah di sekitarnya. Hasil dari ketiga analisis menjadi masukan dalam penyusunan rekomendasi pengelolaan hutan kota, di samping itu FGD mengenai kebijakan hutan kota dan wawancara ahli yang terkait dengan hutan kota juga menentukan faktor eksternal dan faktor internal dalam penyusunan rekomendasi. Melalui analisis ini dihasilkan rekomendasi pengelolaan hutan kota sebagai upaya konservasi keragaman jenis tanaman sehingga diperoleh pengembangan hutan kota yang berkelanjutan. Berikut adalah kerangka pikir dari kajian hutan kota yang dilakukan dan dititikberatkan terhadap keragaman tanaman hutan kota di Jakarta (Gambar 1).
4
Hutan Kota di Jakarta yang sudah dikukuhkan
PP 63 Tahun 2002
Masalah:
Potensi:
Menurunnya penggunaan jenis tanaman lokal serta pengelolaan hutan kota yang tidak optimal sehingga tidak dapat memberikan manfaat yang maksimal.
Hutan kota sebagai salah satu wadah keanekaragaman hayati di perkotaan yang dapat mengkonservasi jenis tanaman khususnya tanaman lokal agar dapat meningkatkan jasa lanskap.
Struktur Hutan Kota
Hutan Kota UI
Hutan Kota Srengseng
Keragaman Tanaman
Analisis Vegetasi
Asal-usul Pohon
Kondisi Fisik Pohon
Kerusakan akibat HPT
Kerusakan mekanik
Hutan Kota PT. JIEP
Fungsi Ekologis Pohon berdasarkan Tipe Hutan Kota
Fungsi ekologis Penunjang Akademik
Fungsi Ekologis Penyangga Industri
Indeks Keragaman 100 80 60 40
Fungsi Ekologis di Kawasan Rekreasi East West North
20
FGD dan Wawancara Pengelolaan Hutan Kota 0 untuk Analisis SWOT 1st Qtr 2nd Qtr 3rd Qtr 4th Qtr Rekomendasi Pengelolaan bagi Konservasi Keragaman Tanaman pada Hutan Kota di DKI Jakarta
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Hutan Kota 2.1.1 Definisi dan Pengertian Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Kota merupakan sebuah sistem yaitu sistem terbuka, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis dan dinamis atau bersifat sementara. Dalam perkembangannya, kota sukar untuk dikontrol dan sewaktu-waktu dapat menjadi tidak beraturan (Irwan 2008). Fungsi kota adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya serta meningkatkan kualitas hidupnya, yaitu sebagai pusat pemerintahan, permukiman, pelayanan kerja, rekreasi, serta kegiatan lainnya. Aktivitas kota akan mempengaruhi lingkungan perkotaan, sama halnya dengan aktivitas penduduk yang berkaitan erat dengan kualitas hidupnya, dan kualitas hidup secara kolektif tercermin pada tersedianya fasilitas umum yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat kota. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No.41 Tahun 1999). Formasi ekosistem hutan merupakan tipe atau bentuk susunan ekosistem hutan yang terjadi akibat pengaruh faktor lingkungan yang dominan terhadap pembentukan dan perkembangan komunitas dalam ekosistem hutan. 2.1.2 Hutan Kota Masyarakat sudah menyadari bahwa ruang terbuka hijau (RTH) perlu dipertahankan namun sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, RTH terus ketinggalan dan perubahan RTH menjadi ruang terbangun sudah semakin terlihat akhir-akhir ini, akibatnya ketersediaan RTH semakin lama semakin berkurang. Saat ini terdapat empat bentuk kriteria yang membedakan peranan fungsi kawasan hijau perkotaan, yaitu taman kota, budi daya pertanian, jalur hijau perkotaan, dan hutan kota yang secara rinci disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Deskripsi empat bentuk kriteria yang membedakan peranan fungsi kawasan hijau perkotaan. No.
Uraian
1.
Sasaran lokasi
2.
Peran dan Fungsi
Taman Kota Kawasan strategis sebagai penunjang keindahan kota Estetika Rekreasi
Kriteria bentuk kawasan hijau Budi daya Jalur Hijau Pertanian Permukiman, Jalan dan jalur koefisien dasar pengaman bangunan (KDB) rendah
Produksi oksigen, Kenyamanan lingkungan
Penyangga lingkungan, peredam kebisingan
Hutan Kota Areal konservasi
Hidrologis Ekologis Ameliorasi Iklim, Oksigen,
6
Lanjutan Tabel 1 No.
Uraian Taman Kota
Kriteria bentuk kawasan hijau Budidaya Jalur Hijau Pertanian
Hutan Kota Habitat satwa, Kendali Lingkungan Fisik Kritis Perkotaan (LFKP) Keragaman jenis 25% Rendah
a. Estetika
Terpadu
Fisik alam
Estetika
b. Keindahan Intensitas manajemen a. Pemeliharaan b. Revegetasi
100% Tinggi
50% Sedang
70% Sedang
100% 2-8 tahun
30-40% 30-40 tahun
50-60% 5-10 tahun
4.
Status pemilikan
Perorangan
Umum
5.
Vegetasi
Umum dan perorangan Tanaman hias, rerumputan
Buah-buahan, tanaman hias, tanaman langka
Pohon berstrata (perdu/semak)
5-6 phn/Ha 2-4 jenis/Ha 5% Perdu berbunga 60% 5% Terpelihara 80%
100 phn/Ha 3-5 jenis/Ha 60% Vegetasi dasar 10%
400 phn/Ha 5-8 jenis/Ha Rumput 60%
60% Terpelihara 5%
5% Terpelihara 50%
90% -
10% 30% 20% 33%
100% 100% 10% 80% 90%
3.
a. Jumlah pohon b. Jumlah jenis c. Jenis langka d. Tumbuhan bawah e. Plasma nutfah f. Rerumputan
Fungsi Jasa a. Resapan air 5% 75% b. Ekologi 10% 90% c. Produksi 100% d. Pendidikan 20% 100% Nilai Konservasi 33% 65% (CP) (Backer,1952) Sumber: Waryono dalam Samsoedin dan Waryono (2010)
5-10% Umur biologis pohon Umum Pohon bertajuk lebar dan perakaran dalam 900 phn/Ha >15 jenis 10% Vegetasi dasar 100%
6.
Dilihat pada tabel di atas, dapat dikatakan bahwa hutan kota memiliki manfaat yang paling banyak, di antaranya tumbuhan hutan kota memiliki peranan fungsi jasa bio-eko-hidrologis, sehingga nilai konservasi (CP) sebesar 90%. Pepohonan yang dibudidayakan memiliki umur panjang, dan mampu tumbuh dalam satu atau beberapa asosiasi antar tumbuhan. Selain asosiasi pepohonan hutan kota yang dibudidayakan juga memiliki kemampuan tumbuh dengan membentuk strata tajuk (Samsoedin dan Waryono 2010). Menururt Carpenter, Walker dan Lanphear (1975) ruang terbuka hijau memiliki fungsi utama yaitu untuk kelangsungan fungsi ekologi (penjaga
7
keseimbangan ekosistem kota), untuk berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar (ketersediaan air bersih, udara segar, suhu nyaman), serta untuk meningkatkan karakter dan kualitas lingkungannya seperti keindahan dan pelembut arsitektur kota. Salah satu contoh yang baik adalah pada saat nilai natural digabung dalam pengelolaan hutan kota modern yaitu pada Amsterdam Bos di Belanda. Bos yang sebelumnya dikenal dengan nama ‘Boschplan’, awalnya dikembangkan sebagai area rekreasi dengan diimbangi area tegakan pohon, ruang terbuka, dan badan air, dengan rekreasi yang aktif berdasarkan tradisi mereka. Jenis pohon lokal yang digunakan saat pembangunan hutan kota menjadi keunikan tersendiri pada saat itu (Konijnendijk 2008). 2.2 Keanekaragaman Hayati Laju kehilangan keanekaragaman hayati merupakan fenomena global. Hal ini diestimasi bahwa kemungkinan setengah atau lebih dari seluruh spesies yang ada dapat beresiko punah dalam pendugaan di masa depan (Myers 1996; Sax dan Graines 2003). Penelitian keanekaragaman hayati pada lanskap skala luas juga mengungkapkan bahwa area perkotaan secara relatif terdiri dari level keanekaragaman hayati yang tinggi. Kuhn, Brandl, Klotz (2004) menguji lanskap Jerman dengan membagi kawasan ke dalam grid cell kota dan non-kota. Kekayaan spesies lokal dan introduksi secara signifikan tinggi di dalam grid cell kota. Mereka berpendapat bahwa kemungkinan disebabkan oleh keanekaragaman geologi. Kedua lokasi kota Jerman dan lokasi keanekaragaman vegetasi lokal secara positif berkorelasi dengan lokasi yang geologinya bermacam-macam. Selain itu, penanaman spesies lokal penting untuk dipertimbangkan dalam perspektif konservasi. Sama halnya dengan keragaman genetik yang menjadi unit fundamental dari keanekaragaman hayati. Spesies lokal juga secara alami dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat (Hartley 2002). Banyak tekanan yang sudah difokuskan pada restorasi spesies lokal di lingkungan perkotaan. Homogenisasi biotik menurunkan keanekaragaman hayati, dan pentingnya penanaman spesies lokal sementara penurunan dampak spesies invasif telah dikenal. Banyak kota yang telah mengadakan program manajemen spesies invasif dan tidak aktif menanam spesies invasif (Alvey 2006). Hal yang harus dipertimbangkan dari pemilihan tanaman introduksi adalah hilangnya beberapa spesies karena invasi serta adanya hubungan positif antara spesies invasi dan area yang luas. Tidak dipungkiri manusia menjadi salah satu faktor utama penyebab persebaran spesies introduksi ini. Namun, kekayaan spesies yang tinggi akan membuat komunitas tanaman lebih tahan terhadap invasi spesies introduksi (Renofalt, Jansson, dan Nilsson 2005). Ada beberapa cara spesies introduksi yang bersifat invasif dapat mempengaruhi keberadaan spesies lokal atau ekosistem. Beberapa spesies seperti Psidium cattleanum di Mauritus, dapat membuat spesies lokal tidak dapat melakukan regenerasi. Psidium cattleanum ini dipercaya memproduksi zat alelopati yang dapat menekan pertumbuhan tanaman lain (Hamilton dan Hamilton 2006), oleh sebab itu pemilihan spesies lokal sangat penting dalam menjaga keragaman tanaman dalam suatu wilayah. Pilihan untuk mengusung keanekaragaman hayati di perkotaan di antaranya fokus pada taman kota dan hutan kota. Penelitian telah menunjukkan taman kota dan/atau hutan kota yang luas adalah yang terbaik kekayaan jenisnya.
8
Setelah mensurvei 15 kawasan hijau di Flander, Cornelis dan Hermy (2004) dalam Alvey (2006) menemukan area tersebut merupakan faktor utama yang menjelaskan variasi indikator keanekaragaman hayati. 2.2.1 Komponen Kunci Keanekaragaman Populasi 1.
2.
3.
4.
Terdapat empat komponen kunci bagi keanekaragaman populasi, yaitu : Kekayaan populasi Kekayaan populasi adalah jumlah dari spesies pada suatu populasi pada area tertentu, yang bergantung pada kriteria yang digunakan untuk mendeliniasi batas populasi. Ukuran populasi Ukuran populasi adalah data tentang jumlah dari individu per populasi yang menyediakan indikator dari distribusi frekuensi dari ukuran populasi. Distribusi populasi Komponen ketiga dari keanekaragaman populasi adalah spasial distribusi pada populasi di lokasi penelitian. Manfaat pengukuran populasi ini adalah mengetahui kemungkinan maksimum persebaran populasi. Diferensiasi genetik dari populasi Komponen terakhir dari keanekaragaman populasi adalah diferensiasi genetik di dalam dan di antara populasi. Dari kedua perspektif konservasi dan jasa ekosistem lebih banyak variasi genetik di dalam populasi sehingga mempunyai daya lenting jika berhadapan dengan perubahan lingkungan (Luck, Daily, Ehrilich 2003).
2.2.2 Keragaman Tanaman di Indonesia Indonesia berada di antara lima teratas negara dengan keanekaragaman tumbuhan, dengan 38.000 spesies tumbuhan, dengan 55% spesies endemik (Asis 2010; LIPI 2010), oleh karena itu, Indonesia adalah salah satu hot spot ekologis di dunia. Namun, tingkat deforestasi di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia: hutan menghilang dari Indonesia pada tingkat 3,8 juta ha per tahun atau 7,2 ha per menit. World Resource Institute (WRI) tahun 2008 melaporkan bahwa hanya ada 20% dari yang semula 130 juta ha, sisa hutan di Indonesia. Tujuh puluh dua persen dari hutan alami di Indonesia ini sudah diubah ke dalam permukiman, areal industri, areal pertanian, perkebunan, padang penggembalaan, dan sebagainya. Empat puluh empat persen dari habitat natural ini juga berubah ke dalam peruntukan lain di areal perdesaan. Jakarta sebagai ibukota negara merupakan trendsetter bagi kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia. Setiap pencapaian dari kemajuan Jakarta akan secara umum diikuti oleh kota-kota yang lain. Kim, Watannabe, Hakim, Nakagoshi (2006) dalam Arifin dan Nakagoshi (2010), mengklasifikasi ruang terbuka hijau perkotaan di Jakarta ke dalam empat tipe berdasarkan tipe penggunaan lahan dan fungsinya: taman publik, ruang terbuka hijau pedesaan, nurseri (kebun bibit), atau jalur hijau jalan. Berdasarkan riset yang dihasilkan dari 11 ruang di dalam perkotaan di Jakarta, totalnya terdapat 80 spesies liar yang ditemukan di dalam lapisan pohon. Ruang pada jalur hijau jalan terdiri dari koridor linear di antara trotoar. Pterocarpus indicus Willd adalah spesies pada jalur hijau jalan yang paling dominan. Seratus sembilan belas spesies pohon telah diidentifikasi diantara
9
25.706 pohon individu yang berlokasi di 113 jalur hijau jalan di lima kotamadya di Jakarta. Delapan puluh tiga spesies pohon dicatat di Jakarta Selatan, 59 spesies di Jakarta Pusat, 70 spesies pohon di Jakarta Barat, 69 spesies pohon di Jakarta Utara, dan 69 spesies pohon di Jakarta Timur (Nasrullah, Suryowati, dan Budiarti 2009). Menurut studi tersebut sepuluh spesies pohon yang paling sering ditemukan (78,8% populasi) di jalur hijau pinggir jalan adalah Swietenia macrophylla King, Pterocarpus indicus Willd, Mimusops elengi L, Polyalthya fragrans Sonn, Cerbera manghas L, Ficus benjamina L., Diallium indum, Roystonea regia (Kunth), Polyaltya longifolia, dan Bauhinia purpurea L. Selanjutnya, sembilan spesies pohon yang umum ditemukan di Jakarta Pusat (Canarium indicum L, Tamarindus indica, Khaya senegalensis (Desr.)), Jakarta Barat (Ficus lyrata Warb, Artocarpus integra (Thunb.) Merr, Samanea saman (Jacq.) Merr.), Jakarta Timur (Areca catechu L, Mangifera indica L.), dan Jakarta Utara (Tamarindus indica L, Cocos nucifera L.). Mobilitas spesies pohon, dinamika, dan transportasi lebih mudah dan lebih cepat dalam era global ini. Bagaimanapun, untuk program konservasi keanekaragaman hayati, spesies asli lebih baik daripada spesies eksotik. Berdasarkan hasil identifikasi, asal muasal spesies pohon (Tabel 2), diantara 19 spesies yang dikenal, hanya sembilan (47,4%) yang merupakan spesies asli Indonesia. Penggunaan spesies lokal atau asli dalam program penghijauan perkotaan itu dianjurkan agar memelihara konservasi spesies ex situ. Tabel 2. Spesies pohon yang paling banyak ditemukan di pinggir jalan di Jakarta dan asal-usulnya. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Spesies Swietenea macrophylla King Pterocarpus indicus Willd. Mimusops elengi L. Polyalthya fragrans (Dalz.) Cerbera manghas L. Ficus benjamina L. Diallium indum L. Roystonia regia (Kunth) Polyaltya longifolia Sonn. Bauhinia purpurea L. Canarium indicum L. Tamarindus indica L. Khaya senegalensis (Desr.) Ficus lyrata Warb. Artocarpus integer (Thunb.) Merr. Samanea saman (Jacq.) Merr. Cocos nucifera L. Areca catechu L. Mangifera indica L.
Sumber : Arifin dan Nakagoshi (2010)
Asal Amerika Latin Indonesia Indonesia India Indonesia Indonesia Indonesia Amerika Latin India Asia Kontinental Indonesia, Papua Nugini Tropikal Afrika, Asia Barat Afrika Afrika Thailand, Malaysia, Indonesia
Lokal/Introduksi Introduksi Lokal Lokal Introduksi Lokal Lokal Lokal Introduksi Introduksi Introduksi Lokal Introduksi Introduksi Introduksi Lokal
Amerika tropis
Introduksi
Pantropikal India–Indonesia India–Burma
Lokal Lokal Introduksi
10
Sebagai perbandingan, Pham dan Nakagoshi (2008) melakukan riset di area kota pada bagian kota kuno, Hanoi, Vietnam. Di sana terdapat variasi spesies tumbuhan yang tinggi di Hanoi: 644 spesies termasuk 247 genus dan 157 famili. Secara khusus, terdapat 13 spesies tumbuhan yang berharga dan langka serta 150 spesies introduksi termasuk 78 genus dan 54 famili. 2.3 Konservasi Keragaman Tanaman Identifikasi struktur atau proses pada suatu ekosistem akan diikuti dengan penerimaan jasa lingkungannya. Elemen ekosistem ini seperti spesies, komunitas atau struktur ekologi sama seperti proses putaran yang kompleks atau perubahan terus menerus atau kombinasi dari semua bentuk. Contohnya adalah melalui fotosintesis, sebuah hutan menyediakan jasa lingkungan global dalam hal penyerapan karbon dan beberapa spesies di hutan dapat digunakan untuk kayu bakar sementara yang lain digunakan untuk tanaman hias. Beberapa elemen ekosistem dipengaruhi oleh lokasi ekosistem dalam lanskap fisik dan ekologis (Lamarque, Quetier, Lavorel 2011). Salah satu jasa lanskap yaitu konservasi keanekaragaman hayati yang diterapkan pada hutan kota bagi lingkungan perkotaan sangat bermanfaat untuk mengurangi dampak lingkungan. Akar permasalahan dari konservasi ini di antaranya adalah besarnya laju kehilangan keragaman tanaman dan ukuran pertumbuhan populasi manusia, yang membuat tekanan untuk merusak habitat alami, serta pengerukan sumber daya dari alam liar kemudian dibuat menjadi pertanian intensif. Pada beberapa area, peningkatan populasi berkontribusi terhadap perpindahan manusia untuk resettlement yang menjadi penyebab utama hilangnya habitat alami. Contoh perpindahan manusia yang telah direncanakan adalah di Indonesia, sejak 1947 pemerintah memberlakukan kebijakan transmigrasi yaitu perpindahan area yang padat penduduknya seperti Jawa ke area yang sedikit penduduknya seperti Kalimantan (Hamilton dan Hamilton 2006). Hutan kota sebagai wadah keanekaragaman hayati di perkotaan memiliki banyak manfaat dengan area yang ditumbuhi berbagai macam tanaman. Tanaman mempunyai nilai estetika dan fungsional, dalam hubungannya dengan arsitektur lanskap. Tanaman di dalam hutan kota ini sendiri difokuskan pada pohon. Pohon yang normal memiliki tiga karakteristik standar yaitu sistem percabangan yang simetris dan rimbun, bentuk daun yang menarik, dan perakaran yang sehat (Pirone 1972). Nilai estetika dan fungsional dari pohon diantaranya sebagai pengontrol visual, penghalang fisik, kontrol terhadap iklim (zona-zona kenyamanan, pengatur radiasi matahari dan suhu, pengarah angin, pengontrol presipitasi dan kelembaban, peredam kebisingan, penyaringan dan pengkayaan udara, serta pengendali mutual air), pengontrol erosi, habitat kehidupan liar, dan nilai-nilai estetika (Carpenter et al., 1975), oleh sebab itu konservasi keragaman tanaman sangat diperlukan di tengah lingkungan perkotaan.
3. METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Hutan kota di DKI Jakarta yang telah dikukuhkan oleh pejabat berwenang berjumlah 14 hutan kota berdasarkan PP 63 Tahun 2002, namun untuk penelitian difokuskan pada tiga hutan kota berdasarkan tipe kawasannya, yaitu Hutan Kota Universitas Indonesia, Hutan Kota Srengseng, dan Hutan Kota PT. JIEP. Pada PP 63 Tahun 2002, hutan kota didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Lokasi hutan kota berada pada kawasan administratif DKI Jakarta pada koordinat 607’0’’ LS - 6024’00’’ LS dan 106040’30’’ BT - 106058’30’’ BT (Gambar 2), sedangkan lokasi yang dilakukan penelitian lebih mendalam adalah Hutan Kota Universitas Indonesia yang terletak di kawasan administratif Jakarta Selatan, serta Hutan Kota Srengseng di kawasan administratif Jakarta Barat dan Hutan Kota PT. JIEP yang terletak di kawasan administratif Jakarta Timur.
Sumber : Samsoedin dan Waryono 2010
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di DKI Jakarta
12
Hutan kota Universitas Indonesia menurut tata letaknya berada pada 60 21‟23” LS dan 1060 32‟34” BT. Hutan kota ini berada dalam wilayah Kelurahan Srengseng Sawah dan Kecamatan Jagakarsa wilayah Jakarta Selatan. Hutan Kota Srengseng berada pada 60 13‟12” LS dan 1060 49” BT. Kawasan ini berada di wilayah administrasi Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Hutan Kota PT. JIEP Pulo Gadung berada pada 60 51‟23” LS dan 1120 49‟32” BT dan masuk ke dalam wilayah Kelurahan Rawaternate, Kecamatan Cakung, administrasi Kota Jakarta Timur. Waktu penelitian yang meliputi tahapan pengumpulan data, klasifikasi data, analisis dan sintesis serta penyempurnaan laporan final penelitian dilakukan selama tujuh bulan, dimulai dari bulan Juni 2012 hingga bulan Desember 2012. 3.2 Alat dan Data Penelitian Penelitian ini menggunakan beragam alat survei dan alat spesifik dan peralatan berupa perangkat keras maupun perangkat lunak komputer (Tabel 3). Tabel 3. Alat penelitian dan fungsi Alat penelitian
Fungsi
Hardware 1. Kamera digital 2. Meteran, dBH meter, tally sheet 3. GPS Software Auto CAD 2010, Adobe Photoshop CS3, Corel DRAW X4
Dokumentasi Pengukuran di tapak Penentuan lokasi titik sampel Pengolahan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dipandu oleh rincian jenis data, sumber, dan kegunaannya (Tabel 4). Data tersebut mencakup data fisik, biologi, dan pengelolaan yang digunakan untuk menganalisis keragaman jenis tanaman pada hutan kota untuk konservasi berdasarkan tipe hutan kota tersebut. Data tersebut didapatkan melalui observasi lapang, wawancara dengan pengelola, serta permintaan data resmi dari instansi terkait dan studi pustaka. Tabel 4. Jenis data, sumber dan kegunaannya No. Jenis Data Aspek Biofisik 1. Peta Dasar 2.
Tanah
3.
Iklim : a. Suhu Udara b. Curah Hujan c. Kelembaban Udara d. Lama Penyinaran Matahari e. Kecepatan Angin
Unit Lembar Jenis tanah 0
C mm/bulan % % m/s
Sumber
Cara Analisis
Data pengelola Data pengelola
Deliniasi
BMKG
Deskripsi
Deskripsi
Kegunaan Lokasi sampel hutan kota dan luas wilayah Mengetahui kesesuaian habitat tanaman Mengetahui tanaman
kesesuaian
habitat
13
Lanjutan Tabel 4. 4.
m dpl
Survei lapang
Deskripsi
5.
Topografi - altitude Jenis pohon
Spesies
Deskripsi
6.
Keragaman tanaman
%
Dinas Pertamanan, survei lapang Pengukuran
ShanonnWiener, Analisis vegetasi
Analisis keanekaragaman hayati
7.
Kesehatan Pohon - Kerusakan tanaman akibat HPT pada pangkal akar dan batang - Kerusakan tanaman akibat HPT pada cabang dan daun - Kerusakan mekanik Fungsi Ekologis Pohon - Peredam kebisingan - Peneduh
Survei lapang
Skoring
Persentase kerusakan pohon
%
Survei lapang
Skoring
Persentase kerusakan pohon
% %
Survei lapang
Skoring
Persentase kerusakan pohon
%
Survei lapang
Skoring
%
Survei lapang
Skoring
%
Survei lapang
Skoring
%
Survei lapang
Skoring
Survei lapang
Skoring
Persentase tertinggi fungsi pohon Persentase tertinggi fungsi pohon Persentase tertinggi fungsi pohon Persentase tertinggi fungsi pohon Persentase tertinggi fungsi pohon
Internet, Dinas Kehutanan DKI Jakarta Ahli yang terkait hutan kota
Deskripsi
Analisis pengelolaan hutan kota
SWOT
Penyusunan rekomendasi pengelolaan hutan kota
8.
-
Kelembaban Udara Penahan angin
%
-
Penyerap polutan % gas Aspek Pengelolaan 1. Undang-Undang Lembar dan Perda
2.
Penyusunan rekomendasi
Mengetahui kesesuaian habitat tanaman Analisis keanekaragaman hayati
lembar
berdasarkan berdasarkan berdasarkan berdasarkan berdasarkan
3.3 Metode Penentuan Sampel Hutan Kota Evaluasi keragaman tanaman hutan kota ini dilakukan dengan metode purposive sampling pada tiga hutan kota yang telah disahkan oleh pejabat berwenang berdasarkan PP 63 tahun 2002. Berdasarkan SK Gubernur mengenai penetapan ketiga hutan kota ini Hutan Kota UI dan Hutan Kota Srengseng merupakan tipe hutan kota konservasi, sedangkan Hutan Kota PT. JIEP merupakan tipe hutan kota kawasan industri. Berdasarkan PP 63 Tahun 2002 penunjukkan lokasi hutan kota didasarkan pada pertimbangan luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik area. Pemilihan sampel hutan kota berdasarkan kondisi lingkungan di sekitar hutan kota dilakukan pada penelitian ini. Ketiga lokasi hutan kota ini difokuskan berdasarkan fungsi masingmasing terhadap kawasan sekitarnya yaitu hutan kota penyangga lingkungan
14
pendidikan yaitu Hutan Kota UI, hutan kota rekreasi yaitu Hutan Kota Srengseng dan hutan kota penyangga kawasan industri yaitu Hutan Kota PT. JIEP. Penentuan plot pada tiga hutan kota ini dilakukan berdasarkan pola tanaman yang ada di lapang, dan batas ekologis area sehingga dapat mewakili keseluruhan area hutan kota. Intensitas sampling yang digunakan adalah 5%. Tahapan penelitian dalam evaluasi hutan kota ini difokuskan kepada struktur hutan kota, dengan mengkaji keragaman jenis tanaman, kondisi fisik, dan fungsi ekologis pohon berdasarkan tipe hutan kota (Gambar 3). Untuk mencapai tujuan penelitian, secara umum penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahapan sebagai berikut : 3.4 Tahap Analisis Keragaman Jenis Tanaman 3.4.1 Keragaman Tanaman Inventarisasi pada tahapan ini difokuskan pada keragaman tanaman, kondisi fisik pohon, dan fungsi ekologis pohon berdasarkan tipe hutan kota. Dalam menentukan keragaman tanaman ini dilakukan dua metode untuk mengukur keanekaragaman hayati yang ada pada hutan kota tersebut, yaitu dengan menggunakan analisis vegetasi dan indeks keragaman (Index Shannon) pada setiap sampel di hutan kota. Pengukuran keragaman tanaman pada hutan kota ini dilakukan observasi pada tiga hutan kota terpilih, dengan memilih lokasi yang dianggap mewakili (purposive sample) sebagai sampel, yang terlebih dahulu dilakukan pengamatan lapang (ground check) pada area hijau sesuai dengan pola vegetasi yang ada pada hutan kota agar dapat mendapatkan keterwakilan pada setiap hutan kota. Intensitas sampling yang digunakan adalah 5%. Pada masing-masing lokasi hutan kota yang dipilih, dibuat petak penelitian dengan metode petak kuadrat (20 m x 20 m = 0,04 ha) yang terlihat pada Gambar 4, banyaknya ulangan sesuai dengan batasan minimal pada masing-masing luas hutan kota.
20 m x 20 m 10 m x 10 m 5mx5m
Sumber : Gonard, Romane, Regina and Leonardi 2004; Balaguru, Britto, Natarajan and Soosairaj 2004
Gambar 3. Bentuk Plot Metode Kuadrat
Hutan Kota di Jakarta yang telah dikukuhkan oleh pejabat berwenang
Struktur Hutan Kota
Hutan Kota UI
Hutan Kota Srengseng
Kondisi Fisik Pohon
Keragaman tanaman
Pendaftaran jenis pohon yang diamati di lapang Pendaftaran nama lokal dan nama latin Pecarian asal-usul pohon melalui studi literatur
Analisis jenis pohon lokal yang potensial
Keragaman jenis tanaman
1. Analisis vegetasi 2. Indeks keragaman
Analisis keanekaragaman hayati pada hutan kota
Kesehatan Pohon
Pengamatan kondisi fisik pohon berdasarkan : 1. Kerusakan akibat HPT 2. Kerusakan mekanik
Analisis kesehatan pohon
Hutan Kota PT. JIEP
Fungsi ekologis pohon berdasarkan tipe hutan kota
Hutan kota Penunjang Akademik Fungsi ekologis pohon sebagai : 1. Modifikasi suhu 2. Peredam kebisingan 3. Kontrol kelembaban udara
Hutan kota Kawasan Rekreasi Fungsi ekologis pohon sebagai : 1. Modifikasi suhu 2. Peredam kebisingan 3. Kontrol kelembaban udara
Hutan kota Penyangga Kawasan Industri Fungsi ekologis pohon sebagai : 1. Modifikasi suhu 2. Peredam kebisingan 3. Kontrol kelembaban udara 4. Penahan angin 5. Penyerap polutan
Analisis fungsi pohon berdasarkan masing-masing tipe hutan kota
FGD dan Wawancara Pengelolaan Hutan Kota di DKI Jakarta untuk Analisis SWOT Rekomendasi Pengelolaan bagi Konservasi Keragaman Tanaman pada Hutan Kota di DKI Jakarta
Gambar 4. Tahapan Penelitian 15
16
Parameter yang ingin diketahui dari kegiatan analisis vegetasi ini adalah sebagai berikut: 1) Petak contoh pancang (5m x 5m): komposisi jenis, diameter setinggi dada (Dbh). 2) Petak contoh tiang (10m x 10m): komposisi jenis, diameter setinggi dada (Dbh), tinggi tajuk. 3) Petak contoh pohon (20m x 20m): komposisi jenis, diameter setinggi dada (Dbh), tinggi tajuk. Adapun batasan tingkat pertumbuhan tanaman yang dibatasi pada jenis pohon, yaitu sebagai berikut : Pancang (Saplings) merupakan tumbuhan yang mempunyai diameter batang kurang dari 10 cm dan tinggi lebih dari 1,5m. dalam kelompok ini termasuk pula perdu, dan anakan pohon. Tiang (Poles) adalah pohon yang mempunyai diameter batang antara 10 - 20 cm, dengan batasan ini tumbuhan memanjat, berkayu, palmae dan bambu yang mempunyai diameter seperti ketentuan tersebut termasuk dalam kelompok ini. Pohon (Tree) adalah tumbuhan yang mempunyai diameter batang > 20 cm. 3.4.2. Analisis Vegetasi Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis tanaman dilakukan pengukuran kekayaan spesies (Nowak, Crane, Stevens, Hoehn, Walton, Bond 2008), maka pada masing-masing plot pengamatan dilakukan analisis kerapatan, frekuensi, dan dominasi untuk setiap jenis tumbuhan. Perhitungannya dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Indriyanto 2006) : Kerapatan suatu jenis (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas petak contoh Kerapatan relatif suatu jenis (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis Frekuensi suatu jenis (F) = Jumlah sub – petak ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh sub-petak contoh Frekuensi relatif suatu jenis (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis Dominansi suatu jenis (D) = Jumlah luas bidang dasar suatu jenis Luas area sampel Dominansi relatif suatu jenis (DR) = Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis Selanjutnya dihitung nilai Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui jenis dan tingkat tumbuhan yang dominan dengan rumus sebagai berikut : Pancang, Tiang, Pohon :
17
INP = KR + FR + DR Secara kuantitatif, gambaran kualitas tegakan dapat dilihat berdasarkan indeks keragaman. Indeks keragaman Shannon (Cassatella, Peano 2011; Indriyanto 2006; Gonard, Romane, Regina and Leonardi 2004; Nowak 1993) :
Keterangan: H1 = Indeks Diversitas Shannon
ni = Jumlah nilai penting satu jenis N = Jumlah nilai penting seluruh jenis ln = Logaritme natural (bilangan alami) Nilai perhitungan indeks keragam (H) tersebut menunjukkan bahwa jika: H<1 : Keragaman spesies rendah 1
3 : Keragaman spesies tinggi 3.4.3 Asal-usul Pohon Inventarisasi pada tahap ini juga difokuskan pada pendaftaran seluruh jenis pohon pada tiga hutan kota didaftarkan jenis-jenis pohon yang ditemui di plot sampel. Seluruh jenis pohon yang didaftarkan kemudian dicari asal-usulnya dengan cara studi literatur berdasarkan Prosea (Plant Resources of South East Asia), IUCN red list (http://www.iucnredlist.org/) dan World Agroforestry Centre (http://www.worldagroforestrycentre.org). Analisis jenis pohon yang akan direkomendasikan adalah jenis pohon lokal, yaitu pohon yang berasal dari daerah Malesia. 3.5 Tahap Analisis Kondisi Fisik Pohon Struktur hutan kota juga didasarkan pada empat karakteristik yaitu daerah batang (DBH), spesies, kondisi pohon, dan lokasi (Nowak et al. 2008). Pada tahapan struktur hutan kota juga dilakukan penilaian kualitas fisik pohon (kondisi pohon) yang dilakukan dengan skoring/nilai dan deskriptif. Pengamatan ini dibatasi pada pohon peneduh berukuran dewasa dengan diameter di atas 10 cm. Pengamatan kondisi fisik pohon yang dilakukan berdasarkan keadaan visual keseluruhan pohon dengan penekanan pada bagian pangkal akar yang berada di permukaan tanah, batang, daun dan percabangan. Pengamatan dengan skoring/nilai dilakukan untuk kerusakan hama dan penyakit tanaman dan kerusakan mekanik. Pengamatan secara deskriptif berdasarkan pengamatan visual di lapang dilakukan untuk kerusakan teknik. Sistem penilaian kerusakan pohon berdasarkan sistem skoring/nilai sebagai berikut: 1) Kerusakan yang disebabkan hama dan penyakit tanaman Pengamatan kerusakan yang disebabkan hama dan penyakit tanaman dibagi menjadi 2 bagian pengamatan pada pohon, adalah : (a) kerusakan
18
disebabkan hama dan penyakit pada pangkal akar di permukaan tanah dan batang (Tabel 5); (b) kerusakan disebabkan hama dan penyakit tanaman pada cabang dan daun (Tabel 6). Tabel 5. Skoring kerusakan disebabkan hama dan penyakit tanaman pada pangkal akar dan batang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kerusakan Hama dan Penyakit Tidak ada kerusakan hama dan penyakit Adanya kerusakan hama dan penyakit Adanya Tumbuhan parasit (jamur, benalu) Batang kering/lapuk; Akar kering/lapuk Batang busuk; Akar busuk Gerowong/keropos yang tampak
Nilai 0 1 2 3 4 5
Sumber : Jumarni 2004
Tabel 6. Skoring kerusakan disebabkan hama dan penyakit tanaman pada cabang dan daun No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kerusakan Hama dan Penyakit Tidak ada kerusakan hama dan penyakit Adanya kerusakan hama dan penyakit Tumbuhan parasit (jamur, benalu) Klorosis Nekrosis Percabangan lapuk
Nilai 0 1 2 3 4 5
Sumber : Jumarni 2004
Untuk masing-masing kerusakan terlebih dahulu ditentukan intensitas kerusakan yang terbagi dalam 5 skala nilai, yaitu : serangan kerusakan 0-20% dari bagian yang diamati : 0,2 serangan kerusakan 21-40% dari bagian yang diamati : 0,4 serangan kerusakan 41-60% dari bagian yang diamati : 0,6 serangan kerusakan 61-80% dari bagian yang diamati : 0,8 serangan kerusakan 81-100% dari bagian yang diamati : 1,0 Untuk gerowong intensitas serangan ditentukan berdasarkan besar (diameter) gerowong kemudian dinilai dalam skala nilai, yaitu : diameter gerowong < 5 cm : 0,2 diameter gerowong 5- 20 cm : 0,4 diameter gerowong 21 - 40 cm : 0,6 diameter gerowong 41 - 60 cm : 0,8 diameter gerowong > 60 cm : 1,0 2) Kerusakan mekanik Kerusakan mekanik merupakan kerusakan pada pohon yang disebabkan oleh kontak dengan benda-benda fisik (gesekan, goresan, benturan, dan sebagainya). Pengamatan yang dilakukan berdasarkan sistem nilai (Tabel 7).
19
Tabel 7. Skoring kerusakan mekanik pada pohon No.
Kerusakan Mekanik
Nilai
1.
Tidak ada kerusakan mekanik
0
2.
Graffiti dan pemasangan papan iklan
1
3.
Goresan
2
4.
Sayatan
3
5.
Patah cabang
4
6.
Tersambar petir
5
Sumber: Jumarni 2004
Untuk menghitung tingkat kerusakan digunakan rumus, sebagai berikut: Ti = ∑ (pi • ni) x 100% ∑ ni Keterangan : Ti : Tingkat kerusakan yang diamati; ni : Nilai kerusakan yang diamati pi : Skala nilai intensitas serangan kerusakan ∑ ni : Jumlah total nilai dari kerusakan yang diamati Tingkat kerusakan yang telah diperoleh kemudian dikategorikan dalam peringkat sebagai berikut : Peringkat 1 (tidak ada) : serangan 0% ≤ Ti < 15% Peringkat 2 (sedikit) : serangan 15% ≤ Ti < 30% Peringkat 3 (banyak) : serangan 30% ≤ Ti < 50% Peringkat 4 (sangat banyak) : serangan Ti > 50% Untuk menghitung tingkat kerusakan hama dan penyakit secara keseluruhan digunakan rumus, sebagai berikut: THPT = Tab + Tcd 2 Keterangan : THPT Tab
: Tingkat kerusakan hama dan penyakit pohon : Tingkat kerusakan hama dan penyakit pada pangkal akar dan Batang Tcd : Tingkat kerusakan hama dan penyakit pada cabang dan daun. Persentase kerusakan hama dan penyakit dan kerusakan mekanik kemudian digunakan untuk memperoleh tingkat kerusakan total pohon dengan menggunakan rumus, sebagai berikut: T = THPT + TM 2 Keterangan
:T : Total tingkat kerusakan pohon THPT : Tingkat kerusakan hama dan penyakit pada pohon TM : Tingkat kerusakan mekanik pada pohon
20
Data tingkat kerusakan pohon yang diperoleh kemudian dikategorikan berdasarkan peringkat sesuai dengan metode Grey dan Deneke (1978) yang telah dimodifikasi: Peringkat 1 : Kategori sangat baik (good) Pohon sehat dan vigor. Rata-rata serangan hama penyakit dan kerusakan mekanik 0% ≤ T < 15%. Sedikit atau tidak memerlukan tindakan perbaikan. Peringkat 2 : Kategori baik (fair) Pohon cukup baik. Rata-rata serangan hama penyakit dan kerusakan mekanik 15% ≤ T < 30%. Memerlukan perbaikan. Peringkat 3 : Kategori buruk (poor) Pohon kurang baik dan kurang sehat. Rata-rata serangan hama penyakit dan kerusakan mekanis 30% ≤ T < 50%. Memerlukan banyak tindakan perbaikan. Peringkat 4 : Kategori sangat buruk (dying) Pohon dengan rata-rata serangan hama penyakit dan kerusakan mekanis T > 50%, atau terancam mati, atau telah mati. Setelah didapatkan hasil maka dilakukan analisis mengenai tingkat kerusakan pohon pada hutan kota terpilih. 3.6 Tahap Analisis Fungsi Ekologis Pohon berdasarkan Tipe Hutan Kota Pada tahapan struktur vegetasi hutan kota ini juga dianalisis struktur pohon berdasarkan fungsi ekologis tumbuhan sebagai penyedia jasa lanskap, yaitu peredam kebisingan, modifikasi suhu, kontrol kelembaban udara, penyerap polutan dan penahan angin. Teknik penilaian fungsi ekologis pohon di hutan kota ini dilakukan berdasarkan komponen fungsi ekologis yang ada di lapang dengan perbandingan standar berdasarkan kajian studi pustaka dan literatur. Penilaian aspek fungsi ekologis bertujuan untuk mengetahui secara kuantitatif keberadaan hutan kota di Jakarta dengan menyesuaikan fungsi ekologisnya. Penilaian kriteria fungsi ekologis dilakukan di lapang melalui visual peneliti. Penilaian untuk masing-masing kriteria tadi dijumlahkan sehingga diperoleh nilai total untuk setiap komponen aspek. Nilai total tersebut kemudian dibandingkan dengan jumlah ideal (total maksimum) yang dapat diperoleh masing-masing komponen aspek dan diubah ke dalam bentuk persen (%). Nilai Evaluasi =
Jumlah masing-masing kriteria penilaian Total maksimum masing-masing kriteria
x 100%
Total bobot penilaian dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori penilaian akhir untuk masing-masing aspek seperti di bawah ini. Kategori sangat baik (SB) dengan nilai 4 (bila pemenuhan kriteria ≥ 81%) Kategori baik (BA) dengan nilai 3 (bila pemenuhan kriteria 61% - 81%) Kategori kurang baik (KB) dengan nilai 2 (bila pemenuhan kriteria 41% - 60%) Kategori buruk (BU) dengan nilai 1 (bila pemenuhan kriteria ≤ 40%) Setelah didapatkan hasil skoring setelah itu dilakukan pemodelan untuk mengetahui kualitas dan kesehatan pohon untuk setiap hutan kota.
21
Pengelompokan fungsi vegetasi dilakukan dengan menggunakan standar dan dasar penilaian berupa kriteria (Tabel 8). Tabel 8. Variabel fungsi ekologis dan Kriteria Penilaian Variabel Peredam Kebisingan
Modifikasi Suhu
Kontrol Kelembaban udara
Penahan angin
Penyerap polutan gas
Kriteria Penilaian 1. Tajuk rapat 2. Massa daun rapat 3. Berdaun tebal 4. Struktur cabang dan batang besar 5. Mempunyai tangkai-tangkai daun 6. Tajuk rindang 7. Daun ringan 1. Bermassa daun padat 2. Berkanopi besar dan lebar 3. Berdaun tebal 4. Bentuk tajuk spreading, bulat, dome, iregular 5. Pohon relatif tinggi 1. Kerapatan daun rendah 2. Berdaun lebar 3. Tekstur batang kasar 4. Jumlah daun banyak 1. Massa daun rapat 2. Daun tebal 3. Tajuk masif dan rindang 4. Daunnya tidak mudah gugur (ever green) 5. Dahan kuat tapi cukup lentur 6. Vegetasi tinggi 1. Jarak tanam rapat 2. Jumlah daun banyak 3. Berdaun tipis 4. Kepadatan Tajuk 5. Terdiri atas beberapa lapis tanaman dan terdapat kombinasi dengan semak, perdu, dan ground cover.
Sumber : Grey dan Deneke 1981; Carpenter et al 1975; Dahlan 2004; Nurnovita 2011; Nasrullah 2001; Desianti 2011
3.7 Tahapan Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Hutan Kota Tahapan ini merupakan penyusunan implementasi hasil atau proses perumusan hasil analisis dari tahapan sebelumnya yang melahirkan sebuah solusi dari pemecahan permasalahan yang telah dikemukakan. Metode yang digunakan dalam tahapan ini adalah analisis SWOT, dan inputnya adalah hasil analisis dari tujuan pertama, kedua dan ketiga serta hasil FGD tentang kebijakan hutan kota dan wawancara yang bersumber dari enam orang ahli, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, pihak dari Kebun Raya, pihak dari BPTP Tanaman Hutan, pihak akademisi dan pihak dari Kementrian Kehutanan RI. Hasil dari wawancara ini dimasukkan dalam input untuk analisis SWOT.
22
4. HASIL PENELITIAN 4.1. Analisis Situasional Berdasarkan PP 63 Tahun 2002, terdapat 14 hutan kota yang ditetapkan oleh pemerintah di yang telah disahkan pada SK oleh pejabat berwenang. Semua hutan kota ini ditetapkan berdasarkan fungsi/tipe kawasan hutan kota terhadap daerah di sekitarnya. Dalam tesis ini difokuskan tentang evaluasi keragaman jenis tanaman pada tiga hutan kota terpilih berdasarkan tipe/fungsi kawasannya, yaitu Hutan Kota Universitas Indonesia, Hutan Kota Srengseng, dan Hutan Kota PT. JIEP Pulo Gadung. Provinsi DKI Jakarta dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang berkembang pesat, selain itu DKI Jakarta juga memiliki penduduk yang cukup padat dengan jumlah penduduk Jakarta adalah 9.607.787 jiwa menurut data BPS hasil sensus penduduk 2010, sedangkan menurut registrasi penduduk pada akhir tahun 2011 adalah 10.187.595 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2012. Oleh karena itu pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus lebih fokus terhadap upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup dengan menopang keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Salah satu upaya pemerintah yang menjadi prioritas untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup ini yaitu dengan meningkatkan kualitas ruang terbuka hijau, diantaranya adalah hutan kota. Penetapan hutan kota dengan Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 ini merupakan upaya mempertegas eksistensi hutan kota sebagai ruang terbuka hijau yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Penanganan hutan kota secara khusus dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kelautan Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta. Empat belas lokasi hutan kota yang telah dikukuhkan paling banyak terdapat di kawasan administratif Jakarta Timur yaitu sebanyak enam hutan kota kemudian diikuti Jakarta Utara sebanyak empat hutan kota, Jakarta Selatan dengan dua hutan kota, sedangkan Jakarta Pusat dan Jakarta Barat masing-masing sebanyak satu hutan kota (Tabel 9). Saat ini, menurut Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta (2011) tercatat 14 hutan kota dengan keseluruhan luas 149,18 ha yang telah dikukuhkan dengan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta (Tabel 10) dan 640,04 ha hutan kota dalam proses pengukuhan dan tersebar di 58 lokasi. Tabel 9. Luasan hutan kota yang telah dikukuhkan oleh SK. Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Wilayah Jumlah Hutan Luas (ha) Persentase (%) Kota Jakarta Pusat 1 1,08 0.72 Jakarta Utara 4 16,88 11.32 Jakarta Barat 1 15,00 10.05 Jakarta Timur 6 59,18 39.67 Jakarta Selatan 2 57,04 38.24 14 149,18 100 Total
Tabel 10. Empat belas hutan kota yang telah dikukuhkan oleh pemerintah No. Hutan Kota
Lokasi
1.
Jagakarsa, Jakarta Selatan Kembangan, Jakarta Barat Cakung, Jakarta Timur
Luas (ha)
Status Hukum
3.
Hutan Kota Universitas Indonesia Hutan Kota Srengseng Hutan Kota PT. JIEP
4.
Hutan Kota Blok P
5.
Hutan Kota Buperta Cibubur
6.
Hutan Kota Kemayoran Hutan Kota Waduk Sunter Utara Hutan Kota Jakarta Propertindo
55,40 SK Gub No. 3487/1999 tanggal 14 Juli 1999 15,00 SK Gub No. 202/1995 tanggal 24 Feb 1995 8,90 SK Gub No. 870/2004 serta Surat Direksi Teknik PT. JIEP No. 997 tanggal 23 April 2003 Kebayoran Baru, 1,64 SK Gub No. 869/2004 serta Jakarta Selatan Instruksi Gub No. 233/1999 tanggal 30 September 1999 Ciracas, Jakarta 27,32 SK Gub No. 872/2004 serta Timur Surat Kwarnas No. 328/00-A tanggal 11 Juni 2003 Pademangan, 4,60 SK Gub No. 339/2002 tanggal Jakarta Utara 19 Feb 2002 Tanjung Priok, 8,20 SK Gub No. 317/1999 tanggal Jakarta Utara 18 Feb 1999 Penjaringan, 2,49 SK Gub No. 197/2005 Jakarta Utara
9.
Hutan Kota Berikat Nusantara Marunda
Cilincing, Jakarta Utara
1,59
10.
Hutan Kota Situ Rawa Dongkal Hutan Kota Mesjid Istiqlal
Ciracas, Jakarta Timur Sawah Besar, Jakarta Pusat
3,28
SK Gub No. 196/2005 serta Surat Direksi PT. KBN No. 055/DIRUT/IV/2003 tanggal 11 April SK Gub No. 207/2005
1,08
SK Gub No. 198/2005
2.
7. 8.
11.
Kepemilikan
Universitas Indonesia DKP Provinsi DKI Jakarta PT. JIEP (BUMD)
Jumlah Jenis Tanaman 186 52 16
Fungsi
Hutan kota konservasi Hutan kota konservasi Hutan kota kawasan industri Hutan kota konservasi
Sudintanhut Jakarta Selatan Kwarnas
34
57
Hutan kota rekreasi
Departemen PU DKP Provinsi DKI Jakarta PT. Jakarta Propertindo (BUMD) Kawasan Berikat Nusantara Marunda Pemda DKI Jakarta Pengelola Mesjid Istiqlal
16
Hutan kota konservasi Hutan kota wisata Hutan kota kawasan konservasi Hutan kota konservasi
9 6
5
27 24
Hutan kota konservasi Hutan kota konservasi
23
24
No. Hutan Kota
Lokasi
Luas (ha)
Status Hukum
Kepemilikan
12.
Makasar, Jakarta Timur
3,50
SK Gub No. 338/2002 tanggal 18 Feb 2002
TNI AU
Pasar Rebo, Jakarta Timur
1,75
13.
14.
Hutan Kota Komplek Lanud Halim Perdana Kusuma Hutan Kota Komplek KOPASSUS Cijantung Hutan Kota Mabes TNI Cilangkap
Cipayung, Jakarta Timur
SK Gub No. 868/2004 serta Surat Danjen Kopassus No. B/239/IV/2003 14,43 SK Gub No. 871/2004 serta Surat Dan Detasemen Markas No. B/256/IV/2003 tanggal 3 April 2003
Jumlah Jenis Tanaman 18
Fungsi
Hutan kota konservasi
Aset Mabes TNI
10
Hutan kota konservasi
Aset Mabes TNI Cilangkap
15
Hutan kota konservasi
Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan Prov. DKI Jakarta, 2011, Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur 2011, BPLHD DKI Jakarta 2010
25
Selain 11 hutan kota di DKI Jakarta yang telah dibahas, terdapat tiga hutan kota yang menjadi fokus penelitian, yaitu Hutan Kota Kampus UI, Hutan Kota Srengseng, dan Hutan Kota PT. JIEP. 1. Hutan Kota Universitas Indonesia (HK. UI) Hutan kota yang terletak di kawasan Universitas Indonesia (UI) ini merupakan hutan kota penunjang akademik kampus. Hutan kota UI ini terdiri dari dua daerah administratif yaitu Jakarta Selatan dan Depok. Penetapan kawasan Hutan Kota UI ini berdasarkan PP 63 tahun 2002 dilakukan di kawasan Hutan Kota UI pada bagian Jakarta Selatan. Sejarah Singkat Konsep pembangunan hutan kota pertama muncul pada tahun 1983 saat Prof. Dr. Ir. Sambas Wirahadikusumah, M.Sc. dari jurusan biologi mengembangkan konsepsi biologi konservasi dengan studi kasus “Pembangunan dan Pengembangan Hutan Kota di DKI Jakarta”, melalui Pilot Proyek Pembangunan Mahkota Hijau Hutan Kota Kampus UI yang bekerja sama dengan Departemen Kehutanan. Pada tahun 1985 hingga 1987 merupakan masa diperkenalkannya Mahkota Hijau Kampus UI. Mahkota Hijau adalah nama hutan kota sebagai plasma pembungkus Kampus UI. Kebijaksanaan „Mahkota Hijau‟ ini telah dimulai sejak keluarnya kebijaksanaan pimpinan UI tahun 1985 yang diantaranya berisikan sasaran pokok fungsional lahan UI sebagai perwujudan manfaat serbaguna hutan yang dipenuhi dan dilengkapi berbagai macam vegetasi tetap (Taqyuddin, Sirait, Hakim, Ramelan, dan Firdausy 1997). Status Hukum Kawasan Kawasan hutan kota UI telah dikelola sejak tahun 1987, atas dasar SK Rektor UI Nomor 084/SK/UI/1988, tanggal 31 Oktober 1988 lalu diperbaharui dengan SK Gubernur Nomor 3487/1999 sebagai Mahkota Hijau, yang difungsikan sebagai wilayah resapan air, wahana koleksi pelestarian plasma nutfah, wahana penelitian dan sarana rekreasi alam (Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2011). Kawasan hutan kota yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan tersebut adalah seluas 55,40 ha, yaitu berada pada wilayah administratif Jakarta Selatan. Namun untuk keseluruhan luas Hutan Kota Kampus UI ini adalah 100 Ha jika digabung dengan wilayah admistratif Depok. Letak dan Luas Hutan Kota Kampus UI seluas 55,40 Ha termasuk waduk seluas 9 ha secara geografis terletak pada 60 21‟23” LS dan 1060 32‟34” BT. Hutan Kota Kampus UI berdasarkan wilayah administrasinya berada di wilayah Kota Jakarta Selatan. Tepatnya di Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah dan selebihnya masuk wilayah Depok (34,60 ha) Provinsi Jawa Barat. Dalam penelitian ini dilakukan analisis keseluruhan wilayah Hutan Kota Kampus UI yaitu 100 ha (Gambar 5).
26
Gambar 5. Denah Hutan Kota UI Aksesibilitas Hutan Kota Kampus UI berbatasan langsung dengan pusat kegiatan aktivitas yang terletak di Kota Depok. Batas wilayah Kampus UI beserta hutan kota sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, kemudian sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Beji Timur Kota Depok, lalu sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Pondok Cina, Kota Depok. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok. Hutan Kota UI ini dapat ditempuh dengan cara berjalan kaki maupun dengan kendaraan seperti motor, mobil, bis dan kereta. Kawasan ini dapat dijangkau melalui Jalan Raya Pasar Minggu dari arah Jakarta, sedangkan dari arah Bogor dapat melewati Jalan Raya Margonda. Kondisi Fisik Kawasan Berdasarkan Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta (2011), konfigurasi fisik kawasan ini merupakan hamparan landai dengan kisaran 3-8 % seluas (76,4 ha) dan bergelombang ringan dengan kemiringan lereng 8-25% (13,6 ha), pada ketinggian tempat 74 meter dari permukaan laut. Alokasi pembangunan hutan kota di kawasan ini terdiri dari dua kelompok, yaitu pembangunan ekosistem perairan seluas 10,4 ha (Gambar 6) dan pembangunan hutan kota seluas 79,6 ha (Gambar 7). Keadaan topografi di Kampus UI berdasarkan peta topografi tanah Kota Depok berupa hamparan landai dengan kisaran 3-8 % (76,4 ha) yang pada awalnya didominasi oleh penggunaan tanah sawah, hutan karet dan perkampungan. Saat ini sebagian lahan dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas akademik diantaranya menara pengamatan, pos keamanan hutan kota, dan tempat duduk untuk beristirahat.
27
Gambar 6. Tegakan pohon di Hutan Kota UI
Gambar 7. Ekosistem danau dan hutan kota di Kampus UI
Geologi dan Tanah Berdasarkan Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta (2011), Hutan Kota Kampus UI merupakan bagian dari formasi alluvium lembah/sungai dengan batuan induk gunung api muda, yang terbentuk pada zaman kuater dengan batuan dasar tufa andestik sampai basaltik yang berasal dari daerah sekitarnya. Bahan tersebut sebagian besar berupa liat dan debu. Sedangkan jenis tanah pada kawasan ini merupakan latosol merah, dengan tekstur halus, drainase agak lambat, dan peka terhadap erosi. Kedalaman efektif tanahnya relatif dalam (90 – 100 cm). dan telah mengalami perkembangan profil. Tanah relatif asam dengan kisaran pH (5,5 – 6,1). Jenis tanah yang terdapat di daerah Kampus UI beserta hutan kotanya adalah latosol merah dengan bahan induk tuf andesit. Wilayah ini memiliki drainase sedang serta memiliki bentuk berombak dengan punggu-punggu cembung (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Iklim dan Hidrologi Iklim Hutan Kota UI diukur dari stasiun klimatologi Halim dengan posisi 106 49‟35” BT dan 6010‟37” LS pada tahun 2011, kelembaban relatif di sekitar kawasan yaitu 72,3% - 86,4 %. Suhu rata-rata harian pada bulan Juni 2011 sekitar 29,50 C dengan fluktuasi suhu rata-rata tertinggi pada bulan Juli dengan suhu ratarata terendah pada bulan Januari 2011. Kemudian intensitas penyinaran matahari rata-rata bulanan adalah 56,2 % tergolong cukup tinggi pada wilayah ini. Kecepatan angin rata-rata bulanan adalah 126,75 km/bulan atau sekitar 4,23 km/hari (BMKG 2011). Untuk kawasan Hutan Kota Kampus UI ini sumber air berasal dari Sungai Cinakusen yang berada di pinggiran hutan kota, selain itu juga sumber air berasal dari pembuangan air situ yang dialirkan melalui DAM untuk mengatur banyak sedikitnya air yang keluar dari situ atau sungai Cinakusen selain juga berasal dari air hujan. 0
28
Habitat dan Komponen Hayati Habitat hutan kota ini terdiri dari dua bentuk ekosistem yaitu ekosistem perairan yang merupakan wahana tandon perairan (situ). Kawasan hutan kota direncanakan sebagai wahana koleksi pelestarian plasma nutfah yang diupayakan dalam bentuk tiga zona yaitu Wales Barat yang berisi pepohonan yang berasal dari Indonesia bagian barat, kemudian Wales Timur yang berisi pepohonan yang berasal dari Indonesia bagian timur dan Vegetasi Asli yang berisi pepohonan dari daerah Jakarta dan sekitarnya (Gambar 8).
Gambar 8. Pembagian zona di Hutan Kota Kampus UI Fungsi dan Manfaat Hutan Kampus UI ini selain berfungsi sebagai kawasan resapan air, kawasan lindung pelestarian plasma nutfah, juga dimanfaatkan sebagai wahana penelitian biodiversitas (keanekaragaman hayati) bagi mahasiswa biologi, farmasi, geografi, kimia dan fakultas sastra. Selain itu juga kawasan ini digunakan sebagai kawasan rekreasi masyarakat sekitar seperti memancing dan bersepeda. Di sisi lain kawasan ini juga dipergunakan sebagai penyuluhan mahasiswa tentang arti penting lingkungan tata hijau di wilayah perkotaan, pramuka maupun pencinta alam.
29
2. Hutan Kota Srengseng Sejarah Singkat Kawasan Hutan Kota Srengseng pertama kali dibebaskan oleh Walikotamadya Jakarta Barat pada tahun anggaran 1982/1983 dengan peruntukan awalnya untuk tempat pembuangan sampah (sanitary landfill) yang dikelola oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Seiring dengan pengukuhan SK Gubernur terkait penetapan lahan tersebut menjadi hutan kota sejak tahun 1995, Hutan Kota Srengseng dikelola oleh Dinas Pertanian dan Kelautan Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 202 tahun 1995 tentang penetapan Ex Lokasi Pembuangan akhir sampah (LPA) Srengseng Wilayah Kotamadya Jakarta barat seluas 15 Ha sebagai Hutan Kota di Provinsi DKI Jakarta. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 202 Tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam Surat Keputusan tersebut difungsikan sebagai wilayah resapan air dan plasma nutfah, lokasi wisata dan pusat aktivitas masyarakat. Letak dan Luas Secara geografis Hutan Kota Srengseng terletak pada 6013‟12” LS dan 106049” BT. Berdasarkan wilayah administrasinya Hutan Kota Srengseng berada di wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat. Alamat lengkap Hutan Kota Srengseng terletak di Jalan Haji Kelik, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Luas Hutan Kota Srengseng adalah 15 ha (Gambar 9).
Gambar 9. Denah Hutan Kota Srengseng
30
Aksesibilitas Hutan Kota Srengseng terletak pada akses jalan Srengseng Raya, yang dapat dicapai melalui jalan tol Merak-Jakarta, Jalan Kebayoran Lama dan Cileduk Raya. Sisi utara dan selatan hutan tersebut berbatasan langsung dengan jalan raya dan sungai Pesanggarahan, dan bagian lainnya dibatasi dengan kawasan permukiman terutama dari kelompok sosial menengah dan penduduk asli kawasan tersebut. Hutan Kota Srengseng mudah dicapai karena kawasan ini terletak pada akses Jalan Srengseng Raya yang dapat ditempuh melalui jalan Tol Jakarta-Merak (Keluar dari pintu Tol Kebun Jeruk), kemudian juga dapat dicapai melewati Jalan Kebayoran Lama dan Jalan Ciledug Raya. Sedangkan untuk angkutan umum yang dapat digunakan untuk mencapai lokasi ini adalah Kopaja Nomor 609 Jurusan Blok M - Meruya, Metromini Nomor 85 Jurusan Kali Deres - Lebak Bulus, dan Mikrolet Nomor 02 Jurusan Grogol - Kelapa Dua. Kondisi Fisik Kawasan Berdasarkan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (2011), konfigurasi fisik kawasan ini merupakan hamparan dataran dengan kemiringan lereng 0-3 % (7,4 ha), landai dengan kemiringan lereng 8-25 % (2,1 ha) dan sisanya merupakan hamparan gelombang agak landai dengan kemiringan lereng > 25 % (1,2 ha). Tapak memiliki topografi yang bervariasi yaitu area datar, landai dan agak curam. Pohon-pohon yang tumbuh di area yang cekung jika dialiri air yang drainasenya kurang baik karena berbentuk memutar di dalam kawasan hutan kota dari Kali Pesanggrahan dan akan menuju blok rawa. Pada areal yang datar terdapat areal bekas pembuangan sampah. Geologi dan Tanah Kawasan ini merupakan bagian dari formasi alluvial, endapan pematang pantai dan tuf banten. Tanah terbentuk dari bahan volkan berumur kuarter, berupa tufa endestik sampai basaltik dan bahan aluviokolovium dari daerah sekitarnya. Bahan tersebut sebagian besar berupa liat dan debu. Kondisi air tanahnya dipengaruhi oleh infiltrasi yang baik, karena daya dukung porositas dan permeabilitas tanah yang relatif baik (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Iklim dan Hidrologi Data iklim berdasarkan BMKG tahun 2011 yang diukur dari stasiun klimatologi Cengkareng, diantaranya suhu maksimum sebesar 31,70 C, suhu minimum sebesar 24,00 C, dan suhu rata-rata sebesar 27,40 C. Kemudian kelembaban maksimum sebesar 94 %, kelembaban minimum sebesar 57,5 % dan kelembaban rata-rata sebesar 76,1 %. Kecepatan angin pada stasiun diukur sebesar 5,6 m/s. Curah hujan pada tapak adalah 884,3 mm dan insentitas penyinaran matahari sebesar 46,8 %. Menurut Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (2011) sistem drainase secara alami, aliran air banyak menuju ke danau yang terdapat di Hutan Kota Srengseng. Sebagian yang lain menuju Kali Pesanggrahan, ke arah jalan raya dan permukiman.
31
Habitat dan Komponen Hayati Habitat kawasan hutan kota ini, terdiri dari tiga bentuk ekosistem (Gambar 12) yaitu perairan (situ), fasilitas penunjang tata hijau dan bentuk konfigurasi lapangan yang relatif beragam dalam bentuk hutan kota (Gambar 10). Jenis yang dikembangkan merupakan koleksi dari berbagai jenis tumbuhan yang dinilai dapat berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan kenyamanan serta merupakan kawasan resapan air untuk kepentingan tata air tanah (hidrologis). Di dalam hutan kota ini masih terdapat penanaman baru yang biasanya suka ditanam apabila ada acara tertentu (Gambar 13).
Gambar 10. Tegakan pohon dalam Hutan Kota Srengseng
Gambar 11. Fasilitas taman bermain bagi anak-anak
Satwa liar yang dijumpai pada lokasi Hutan Kota Srengseng meliputi jenis burung air raja udang (Halyon chloris), burung emprit (Longchura sp.) dan berbagai jenis kadal (Mabuai sp.), biawak (Varanus salvator), ular tanah, ular air, tikus (Raffus sp.) dan katak. Sedangkan beberapa jenis serangga yang ditemukan meliputi kupu-kupu kuning, belalang, gangsir dan orong-orong.
Gambar 12. Perpaduan ekosistem danau dan hutan kota di Srengseng
Gambar 13. Penanaman baru di Hutan Kota Srengseng
Fungsi dan Manfaat Hutan kota Srengseng selain berfungsi sebagai kawasan lindung baik flora dan fauna, juga dimanfaatkan sebagai kawasan rekreasi, wahana penelitian plasma nutfah, sarana bermain dan pelatihan bagi petugas pengelola hutan kota di seluruh DKI Jakarta dan sekitarnya. Kawasan ini terletak di tengah kawasan permukiman padat penduduk, dengan kepadatan penduduk 10.793,3 jiwa/Km2 berdasarkan data BPS tahun 2012, sehingga kawasan ini berpotensi tinggi sebagai kawasan rekreasi warga di tengah padatnya aktivitas sehari-hari. Hal ini dicerminkan pada fasilitas yang dimiliki hutan kota ini diantaranya taman bermain (Gambar 12), dan
32
fasilitas wall climbing. Hutan Kota Srengseng pada hakekatnya merupakan tipe hutan konservasi dan resapan air. 3. Hutan Kota PT. JIEP Sejarah Singkat Kegiatan kawasan industri memerlukan ruang dan sumber daya yang merupakan komponen tata lingkungan, yang dapat menimbulkan perubahan atau menimbulkan dampak bagi lingkungan. Dampak lingkungan tersebut dapat disebabkan langsung dari kegiatan itu sendiri maupun kegiatan lainnya yang tidak bekaitan langsung. Kawasan Industri Pulogadung (KIP) merupakan pusat kegiatan industri, perkantoran, pergudangan dll. Untuk mengurangi dampak dari industri maka pada kawasan PT. JIEP ini dibangun ruang terbuka hijau dalam bentuk jalur hijau dan hutan kota. Menurut data dari PT. JIEP, KIP memiliki Jalur Hijau 39 ha. Pohon-pohon pada jalur hijau ini selain berfungsi untuk menangkap CO2 yang dihasilkan dari kegiatan industri, transportasi dan lingkungan luar kawasan dapat juga menjadi barrier polutan pencemaran baik dari luar dan juga dari dalam kawasan. Jalur hijau di KIP berlokasi di sekitar Jl. Pulolio, jalur Tegangan Tinggi, Jl. Pulobuaran, dan sekitar danau, sedangkan yang sudah menjadi Hutan Kota berlokasi di Jl. Pulobuaran - Jalur tegangan tinggi dengan luas ± 8,9017 ha. Status Hukum Kawasan Hutan Kota PT. JIEP ditetapkan atas dasar SK Gubernur Nomor 870 tahun 2004. Hutan kota ini dalam Surat Keputusan ditetapkan sebagai hutan kota sebagai kawasan penyangga industri di wilayah kawasan industri JIEP. Hutan Kota yang dikelola oleh PT. JIEP bersama dengan suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur pada awalnya ditetapkan berdasarkan surat persetujuan PT. JIEP tahun 1988, yaitu sebagai bagian RTH penyangga kawasan industri, dan wilayah resapan air (hidrologi). Kemudian secara hukum, diperbarui melalui SK Gubernur Nomor 870/2004. Letak dan Luas Berdasarkan tata letaknya kawasan ini berada pada 6051‟23” LS dan 112 49‟32” BT dan masuk ke dalam wilayah Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, administrasi Kota Jakarta Timur. Luas Hutan Kota PT. JIEP ini berdasarkan yang tertera pada SK Gubernur tersebut adalah 8,9017 ha (Gambar 14). 0
33
Gambar 14. Peta Hutan Kota PT. JIEP Aksesibilitas Hutan Kota PT. JIEP ini dapat ditempuh melalui jalan Tol Ir. Wiyoto (Cililitan – Tanjung Priok), kemudian menuju kawasan industri melalui Jalan Pemuda, atau ditempuh melalui Jalan Raya Bekasi baru. Kawasan industri ini juga dapat ditempuh dengan busway karena berdekatan dengan halte busway yaitu Halte Tugas. Kondisi Fisik Kawasan Konfigurasi Hutan Kota PT. JIEP menurut BPLHD Provinsi DKI Jakarta merupakan hamparan dataran rendah hingga situasi tapak yang telah direkayasa (galian/timbunan), dengan ketinggian tempat 7,4 meter dari permukaan laut. Kawasan hutan kota ini dibangun pada bagian tengah kawasan industri, dan letaknya tersebar. Namun yang sudah ada plang nama Hutan Kota hanya ada pada satu lokasi saja pada kawasan ini. Geologi dan Tanah Kawasan ini merupakan bagian dari formasi satuan batu pasir tufaan dan konglomeratan/kipas alluvium berdasarkan Peta Geologi Jakarta. Satuan ini membentuk morfologi kipas. Pembentuknya berasal dari batuan gunung api muda Dataran Tinggi Bogor. Air tanah pada satuan ini umunya bersifat tawar. Jenis tanah pada kawasan ini yaitu podsolik dan Glei, yang bersifat gembur, peka terhadap pengikisan dan miskin unsur hara.
34
Iklim dan Hidrologi Iklim PT. JIEP Pulo gadung diukur dari stasiun klimatologi Halim dengan posisi 106049‟35” BT dan 6010‟37” LS pada tahun 2011, kelembaban relatif di sekitar kawasan yaitu 72,3% - 86,4 %. Suhu rata-rata harian pada bulan Juni 2011 sekitar 29,50 C dengan fluktuasi suhu rata-rata tertinggi pada bulan Juli dengan suhu rata-rata terendah pada bulan Januari 2011. Kemudian intensitas penyinaran matahari rata-rata bulanan adalah 56,2 % tergolong cukup tinggi pada wilayah ini. Kecepatan angin rata-rata bulanan adalah 126,75 km/bulan atau sekitar 4,23 km/hari (BMKG 2011). Pada kawasan ini terdapat situ yang mampu menampung air kurang lebih 235.000.000 m3 dengan kedalaman rata-rata 4,5 m. Lokasi situ yang berada pada RTH di dalam kawasan industri ini maka airnya menjadi berwarna keruh dan kehitam-hitaman dan dasar situ berlumpur organik setinggi 0,65 m (BPLHD Provinsi DKI Jakarta 2010). Habitat dan Komponen Hayati Habitat kawasan hutan kota PT. JIEP (Gambar 15) ini terdapat di sekitar pabrik-pabrik dalam kawasan industri JIEP, jenis tumbuhan yang dikembangkan di Hutan Kota PT. JIEP ini berfungsi sebagai penyangga kawasan industri (Gambar 16). Di dalam kawasan ini terdapat penanaman tanaman yang dibudidayakan oleh warga sekitar sebagai kebun yang ditanam diantaranya bayam (Amaranthus spp.), kangkung (Ipomoea aquatic Forsk.), dan kemangi (Ocimum cannum Sims). Penanaman yang dilakukan oleh warga ini dilakukan pada daerah hutan kota yang tidak ditanami pohon.
Gambar 15. Papan nama Hutan Kota PT. JIEP
Gambar 16. Tegakan pohon di hutan kota
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur, lahan hutan kota yang digunakan menjadi kebun oleh masyarakat setempat ini sudah diketahui oleh pihak dinas dan PT. JIEP (Gambar 17). Sembilan kelompok tani diizinkan untuk menggunakan lahan hutan kota ini sebagai kebun dan hasilnya dinikmati sendiri oleh mereka. Kebun ini bersifat sementara karena jika ada penanaman pohon dari pusat maka kebun ini harus diubah kembali menjadi hutan kota. Permasalahan lain yang terdapat di hutan kota JIEP ini adalah warga sekitar yang menggembalakan kambingnya di hutan kota ini. Kambing ini memakan bibit tanaman sehingga banyak tanaman yang tidak tumbuh padahal tanaman tersebut ditanam oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur. Solusi dari permasalahan yang diterapkan oleh pengelola dari Dinas Kehutanan
35
adalah memberikan karung sebagai penutup pada bibit agar tidak dimakan oleh kambing (Gambar 18).
Gambar 17. Lahan hutan kota yang menjadi kebun
Gambar 18. Kambing yang mencari makan di dekat tanaman yang baru ditanam
Fungsi dan Manfaat Hutan Kota PT. JIEP merupakan kawasan penyangga industri yang memerlukan ruang dan sumber daya untuk mendukung kegiatan industri. Hal ini akan menimbulkan dampak bagi lingkungan sekitar. Dampak lingkungan tersebut dapat disebabkan langsung dari kegiatan industri maupun kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung, oleh sebab itu diperlukan kawasan hutan kota yang dapat menyangga kawasan industri ini sebagaimana SK Gubernur dan pengelolaan hutan kota ini agar dapat memberikan jasa lingkungan yang optimal. Dan fungsi utama hutan kota ini sebagai penampung air limpasan dari wilayah sekitarnya dan penetralisir limbah. 4.2 Analisis Keragaman Tanaman 4.2.1 Analisis Vegetasi dan Indeks Keragaman Hutan Kota Kampus UI Hutan Kota Kampus UI menurut konsepnya terbagi menjadi tiga lokasi berdasarkan penanaman jenis pohon yaitu zona Wales Barat yang berada di sebelah barat situ, zona Wales Timur yang berada di sebelah timur situ dan zona Vegetasi asli yang berada di sebelah selatan situ. Berdasarkan pengamatan di lapang jenis tanaman yang ditemukan belum sesuai dengan tiga zonasi dalam Hutan Kota UI, hal ini disebabkan pepohonan yang pada awalnya ditanam untuk tujuan pengembangan hutan kota (penghijauan) masih mendominasi di dalam hutan kota. Pada tingkat pohon di zona Vegetasi asli ditemukan delapan spesies pohon yang tergolong dalam enam famili (Tabel 11). Pada zona ini famili Fabaceae banyak ditemukan pada dua spesies yaitu akasia daun kecil (Acacia auriculiformis A.) dan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) dan memiliki kerapatan yang tinggi yaitu 73 individu/ha dan 58 individu/ha dibandingkan dengan tanaman lain.
36
Tabel 11. Jenis tanaman pada tingkat pertumbuhan pohon yang ditemukan di zona Vegetasi Asli No
Nama Daerah
1
Acacia auriculiformis A.
Fabaceae
2
Akasia daun kecil Ara
Jumlah individu/ha 73,00
Ficus racemosa L.
Moraceae
3,00
3
Awar-awar
Ficus septica Burm. F.
Moraceae
3,00
4
Jati putih
Gmelina arborea Roxb.
Lamiaceae
18,00
5
Dungun
Heritiera littoralis Korth
Sterculiaceae
5,00
6
Bungur
Lagerstroemia speciosa Auct
Lythraceae
15,00
7
Pacira
Pachira aquatica Aubl.
Malvaceae
25,00
8
Sengon
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Fabaceae
58,00
Nama Ilmiah
Famili
Sumber : Survey lapang. 2012
Pada zona Wales Barat, ditemukan delapan spesies pada tingkat pohon dari tujuh famili (Tabel 12). Sama halnya dengan zona Vegetasi asli, paling banyak ditemukan dua spesies pada famili Fabaceae namun spesiesnya berbeda yaitu akasia daun besar (Acacia mangium Willd) dan lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit). Tabel 12. Jenis tanaman pada tingkat pertumbuhan pohon yang ditemukan di zona Wales Barat Nama Ilmiah
Famili
Jumlah individu/ha 77,00
No
Nama Daerah
1
Acacia mangium Willd.
Fabaceae
2
Akasia daun besar Damar
Agathis dammara (Lamb.) Rich.
Araucariaceae
2,00
3
Bungur
Lagerstroemia speciosa Auct
Lythraceae
7,00
4
Kapuk randu
Ceiba pentandra L.
Bombacaceae
2,00
5
Bintaro
Cerbera manghas L.
Apocynaceae
2,00
6
Karet
Hevea brasiliensis Muell.
Euphorbiaceae
2,00
7
Lamtoro
Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit
Fabaceae
9,00
8
Pacira
Pachira aquatica Aubl.
Malvaceae
2,00
Sumber : Survey lapang. 2012
Pada zona Wales Timur, ditemukan sepuluh spesies pada tingkat pohon dari tujuh famili (Tabel 13). Pada zona ini, famili Fabaceae semakin banyak ditemukan yaitu empat spesies, diantaranya Akasia daun besar (Acacia mangium Willd.), Bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea L), Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit), dan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Tabel 13. Jenis tanaman pada tingkat pertumbuhan pohon yang ditemukan di zona Wales Timur No
Nama Daerah
1
Akasia daun besar
Nama Ilmiah Acacia mangium Willd.
Famili Fabaceae
Jumlah individu/ha 57,00
37
Lanjutan Tabel 13. No
Nama Daerah
2
Nangka
Artocarpus heterophyllus Lamk.
Moraceae
Jumlah individu/ha 2,00
3
Bauhinia purpurea L.
Fabaceae
11,00
4
Bunga Kupu-kupu Nyamplung
Calophyllum Inaphyllum L.
Calophyllaceae
4,00
5
Jati putih
Gmelina arborea Roxb.
Lamiaceae
21,00
6
Bungur
Lagerstroemia speciosa Auct
Lythraceae
2,00
7
Lamtoro
Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit
Fabaceae
14,00
8
Sengon
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Fabaceae
29,00
9
Puspa
Schima wallichii (Dc.) Korth
Theaceae
2,00
10
Mahoni daun kecil
Swietenia mahagoni (L.)
Meliaceae
4,00
Nama Ilmiah
Famili
Sumber : Survey lapang. 2012
Pada fase pertumbuhan tanaman tingkat pohon di zona Vegetasi Asli, Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis A.), Pacira (Pachira aquatica Aubl.), dan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) merupakan vegetasi dengan tingkat pertumbuhan pohon yang dominan di area ini, karena ketiga jenis pohon ini memiliki INP tertinggi dibanding vegetasi lainnya yaitu masing-masing sebesar 85.62, 32.00, dan 109.03 (tabel 14). Masih dalam zona Vegetasi Asli, pada fase pertumbuhan tanaman tingkat tiang, Bungur (Lagerstroemia speciosa Auct), Dungun (Heritiera littoralis Korth) dan Pacira (Pachira aquatica Aubl.) merupakan vegetasi yang memiliki INP tertinggi (Tabel 14). Pada fase pertumbuhan tanaman tingkat pancang, Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis A.), Dungun (Heritiera littoralis Korth) dan Bungur (Lagerstroemia speciosa Auct) menjadi INP tertinggi pada zona ini (Tabel 14). Tabel 14. Jenis tanaman dengan INP dan Indeks Keragaman pada Zona Vegetasi Asli Tingkat Pertumbuhan Pohon
Tiang
Jenis Vegetasi Acacia auriculiformis A. Ficus racemosa L. Ficus septica Burm. F. Gmelina arborea Roxb. Heritiera littoralis Korth Lagerstroemia speciosa Auct. Pachira aquatic Aubl. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Gmelina arborea Roxb. Heritiera littoralis Korth Lagerstroemia speciosa Auct. Macaranga tanarius (L.) Mull. Arg. Pachira aquatica Aubl. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Pometia pinnata J. R. & G. Forst. Schima wallichii (DC.) Korth. Swietenia mahagoni (L.) Terminalia cattapa L.
INP 85,62 6,19 5,84 18,25 11,50 31,57 32,00 109,03 23,65 52,10 99,10 14,29 36,07 10,79 9,58 19,29 19,52 15,61
Indeks Shannon 1,60
2,01
38
Lanjutan Tabel 14. Tingkat Pertumbuhan Pancang
Jenis Vegetasi Acacia auriculiformis A Ficus septica Burm. F. Heritiera littoralis Aiton Lagerstroemia speciosa Auct. Macaranga tanarius (L.) Mull. Arg. Swietenia mahagoni (L.)
INP 40,74 20,10 91,95 84,43 25,88 23,99
Indeks Keragaman
Indeks Shannon 1,65
1,75
Sumber : Survey lapang. 2012
Secara keseluruhan, berdasarkan indeks keragaman Shannon dapat dikatakan bahwa tanaman pada zona Vegetasi Asli memiliki keragaman yang sedang dengan nilai 1,75. Struktur tegakan di zona ini pada tingkat pertumbuhan pohon memiliki total kerapatan sebesar 198 individu/hektar. Adapun luas bidang dasar total pohon pada zona Vegetasi Asli sebesar 19,06 m²/ha dan luas bidang dasar tertinggi dihasilkan oleh tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) sebesar 12.05 m²/ha. Berdasarkan pengamatan yang ditemukan di zona Wales Barat, akasia daun besar (Acacia mangium Willd.) dan lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit) merupakan tanaman dengan tingkat pertumbuhan tanaman tingkat pohon yang dominan di area ini, karena kedua jenis pohon ini memiliki INP tertinggi dibanding tanaman lainnya yaitu masing-masing sebesar 210.44 dan 30.43 (Tabel 15). Pada fase pertumbuhan tanaman tingkat tiang, Akasia daun lebar (Acacia mangium Willd.), Bungur (Lagerstroemia speciosa Auct) dan Pacira (Pachira aquatic Aubl.) merupakan tanaman yang memiliki INP tertinggi (Tabel 15). Pada fase pertumbuhan tanaman tingkat pancang, Akasia daun besar (Acacia mangium Willd), Bungur (Lagerstroemia speciosa Auct), Pacira (Pachira aquatica Aubl.) menjadi INP tertinggi pada zona ini (Tabel 15). Tabel 15. Jenis tanaman dengan INP dan Indeks Keragaman pada Zona Wales Barat Tingkat Pertumbuhan Pohon
Tiang
Jenis Vegetasi Acacia mangium Willd. Agathis dammara (Lamb.) Rich. Ceiba pentandra L. Cerbera manghas L. Hevea brasiliensis Muell. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit) Pachira aquatica Aubl. Acacia mangium Willd. Lagerstroemia speciosa Auct Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit) Pachira aquatica Aubl. Shorea selanica Blume Swietenia mahagoni (L.)
INP 210,44 9,21 8,60 8,26 9,32 14,56 30,43 9,19 103,96 78,47 24,28 42,55 60,04 23,30
Indeks Shannon 1,03
1,45
39
Lanjutan Tabel 15. Tingkat Pertumbuhan Pancang
Jenis Vegetasi Acacia mangium Willd. Lagerstroemia speciosa Auct Pachira aquatica Aubl. Pterocarpus indicus Willd Shorea selanica Blume Syzygium polyanthum Wigh Walp
INP 46,57 80,49 90,26 19,83 26,87 35,99
Indeks Keragaman
Indeks Shannon 1,62
1,37
Sumber : Survey lapang. 2012
Secara keseluruhan, berdasarkan indeks keragaman Shannon dapat dikatakan bahwa tanaman pada zona Wales Barat memiliki keragaman yang sedang dengan nilai 1,37. Struktur tegakan di zona ini pada tingkat pertumbuhan pohon memiliki total kerapatan sebesar 105 individu/hektar. Adapun luas bidang dasar total pada zona Wales Barat sebesar 6.74 m²/ha dan luas bidang dasar tertinggi dihasilkan oleh tegakan Akasia daun besar (Acacia mangium Willd) sebesar 5.46 m²/ha. Pada zona Wales Timur, ditemukan empat spesies di fase pertumbuhan pohon yang merupakan tanaman dengan tingkat pertumbuhan pohon yang dominan di area ini, yaitu Akasia daun besar (Acacia mangium Willd), Jati putih (Gmelina arborea Roxb.), Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit), dan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) karena keempat jenis pohon ini memiliki INP tertinggi dibanding tanaman lainnya yaitu masing-masing sebesar 119.56, 41.66, 39.28, 43.74 (Tabel 16). Berdasarkan pengamatan di lapang pada fase pertumbuhan tanaman tingkat tiang Bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea L.), Bungur (Lagerstroemia speciosa Auct) dan Karet (Hevea brasiliensis Muell.) merupakan tanaman yang memiliki INP tertinggi (Tabel 16). Pada fase pertumbuhan tanaman tingkat pancang, Bungur (Lagerstroemia speciosa Auct), Mahoni (Swietenia mahagoni (L.)), dan nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) menjadi INP tertinggi pada zona ini (Tabel 16). Tabel 16. Jenis tanaman dengan INP dan Indeks Keragaman pada Zona Wales Timur Tingkat Pertumbuhan Pohon
Jenis Vegetasi Acacia mangium Willd. Artocarpus heterophyllus Lamk. Bauhinia purpurea L. Calophyllum Inaphyllum L. Gmelina arborea Roxb. Lagerstroemia speciosa Auct Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit) Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Schima wallichii (Dc.) Korth Swietenia mahagoni (L.)
INP 119,56 5,48 17,00 10,86 41,66 5,48 39,28 43,74 5,48 11,46
Indeks Shannon 1,74
40
Lanjutan Tabel 16. Tingkat Pertumbuhan Tiang
Jenis Vegetasi
INP
Artocarpus heterophyllus Lamk. Bauhinia purpurea L. Gmelina arborea Roxb. Hevea brasiliensis Muell. Lagerstroemia speciosa Auct Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit Pachira aquatica Aubl. Acacia mangium Willd. Artocarpus heterophyllus Lamk. Bauhinia purpurea L. Hevea brasiliensis Muell. Lagerstroemia speciosa Auct Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit Pachira aquatica Aubl. Swietenia mahagoni (L.)
Pancang
21,58 80,23 43,16 55,24 46,18 23,41 30,19 19,21 35,57 30,40 32,35 85,95 16,10 30,97 49,45
Indeks Shannon 1,80
1,85
Indeks Keragaman
1,80
Sumber : Survey lapang. 2012
Secara keseluruhan, berdasarkan indeks keragaman Shannon dapat dikatakan bahwa vegetasi pada zona Wales Timur memiliki keanekaragaman yang sedang dengan nilai 1,80. Struktur tegakan di zona ini pada tingkat pertumbuhan pohon memiliki total kerapatan sebesar 145 individu/hektar. Adapun luas bidang dasar total pada zona Wales Timur sebesar 42.35 m²/ha dan luas bidang dasar tertinggi dihasilkan oleh tegakan Akasia daun besar (Acacia mangium Willd) sebesar 18.02 m²/ha. Secara keseluruhan Hutan Kota UI memiliki keragaman yang sedang sebesar 2,28 (Tabel 17). Tabel 17. Jenis tanaman lokal (indigenous species) dengan INP tertinggi dan indeks keragaman pada Hutan Kota UI Tingkat Pertumbuhan Pohon
Tiang
Pancang
Jenis Vegetasi Acacia auriculiformis A. Acacia mangium Willd. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Acacia mangium Willd. Heritiera littoralis Aiton Lagerstroemia speciosa Auct. Acacia mangium Willd. Heritiera littoralis Aiton Lagerstroemia speciosa Auct.
INP 30,04 95,64 53,50 30,52 26,31 75,28 18,12 36,84 83,24
Indeks Shannon 2,08
2,43
2,32
Sumber : Survey lapang. 2012
Bentuk struktur tanaman horizontal pada Hutan Kota UI menyerupai huruf J terbalik (eksponensial negatif) (Gambar 19).
41
Gambar 19. Kerapatan individu pada Hutan Kota UI Hutan Kota Srengseng Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, terdapat 10 spesies pohon yang tergolong dalam enam famili (Tabel 18). Tanaman pada lokasi penelitian didominasi oleh famili Fabaceae dengan empat spesies yaitu akasia daun lebar (Acacia mangium Willd.), dadap merah (Erythrina crista-galli L.), lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit), dan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Kerapatan individu pada Hutan Kota Srengseng dilihat dari kerapatan individu/ha dan kelas DBH (Gambar 20). Tabel 18. Jenis tanaman pada tingkat pertumbuhan pohon yang ditemukan di Hutan Kota Srengseng No 1
Nama Daerah
2 3 4 5
Akasia daun besar Kapuk randu Dadap merah Gmelina Lamtoro
6 7
Kemiri Sengon
8
Asam landi
9
Mahoni daun besar Mahoni daun kecil
10
Sumber : Survey lapang. 2012
Nama Ilmiah
Famili
Jumlah individu/ha 6
Acacia mangium Willd.
Fabaceae
Ceiba pentandra L. Erythrina crista-galli L. Gmelina arborea Roxb. Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit Muntingia calabura L. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Swietenia macrophylla King.
Bombacaceae Fabaceae Lamiaceae Fabaceae
6 6 63 6
Muntingiaceae Fabaceae
6 13
Clusiaceae
31
Meliaceae
31
Swietenia mahagoni (L.)
Meliaceae
19
42
Gambar 20. Kerapatan individu pada Hutan Kota Srengseng Pada Hutan Kota Srengseng yang merupakan tanaman dengan pertumbuhan yang dominan pada tingkat pohon antara lain Gmelina (Gmelina arborea Roxb.), Asam Landi (Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth.) dan Mahoni daun besar (Swietenia macrophylla King.). Hal ini karena ketiga jenis pohon ini memiliki INP tertinggi dibanding tanaman lainnya yaitu masing-masing sebesar 75.22, 42.23, 45.96 (Tabel 19). Pada fase pertumbuhan tanaman tingkat tiang, tanaman yang memiliki INP tertinggi adalah Kemiri (Aleurites moluccana (L.) Willd.), Asam Landi (Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth.) dan Matoa (Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster) (Tabel 19). Sedangkan pada fase pertumbuhan tanaman tingkat pancang, bunga kupu-kupu (Bauhinea acuminata L.), lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit.) dan mahoni daun besar (Swietenia macrophylla King.) menjadi INP tertinggi pada kawasan ini (Tabel 19). Tabel 19. Jenis tanaman dengan INP dan Indeks Keragaman pada Hutan Kota Srengseng Tingkat Pertumbuhan Pohon
Jenis Vegetasi Acacia mangium Willd. Ceiba pentandra L. Erythrina crista-galli L. Gmelina arborea Roxb. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit. Muntingia calabura L. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
INP 19,25 17,73 14,89 75,22 14,52 14,05 28,80 42,23 45,96 27,36
Indeks Shannon 1,94
43
Lanjutan Tabel 19. Tingkat Pertumbuhan Tiang
Pancang
Jenis Vegetasi
INP
Aleurites moluccana (L.) Willd. Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf. Filicium decipiens (Wt. & Arn.) Thw. Muntingia calabura L. Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster Swietenia macrophylla King. Terminalia catappa L. Bauhinea acuminata L. Ficus benjamina L. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit. Manilkara kauki (Linn.) Dubard Maniltoa grandiflora (A. Gray) Scheff Mimusops elengi L. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Swietenia macrophylla King. Tectona grandis Linn.f.
45,98 26,92 22,53 45,11 54,35 52,73 28,46 23,92 42,16 17,86 70,69 23,93 13,95 14,85 36,70 61,38 18,47
Indeks Keragaman
Indeks Shannon 1,97
1,99
1,97
Sumber : Survey lapang. 2012
Secara keseluruhan, berdasarkan indeks keragaman Shannon dapat dikatakan bahwa tanaman pada Hutan Kota Srengseng memiliki keragaman yang sedang dengan nilai 1,97. Struktur tegakan di kawasan ini pada tingkat pertumbuhan pohon memiliki total kerapatan sebesar 188 individu/hektar. Adapun luas bidang dasar total pada Hutan Kota Srengseng sebesar 1.83 m²/ha dan luas bidang dasar tertinggi dihasilkan oleh tegakan Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) sebesar 0.46 m²/ha. Hutan Kota PT. JIEP Pulo Gadung Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, terdapat 10 spesies pohon yang tergolong dalam enam famili (Tabel 20). Tanaman pada lokasi penelitian didominasi oleh famili Fabaceae dengan empat spesies yaitu akasia crasicarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.), dadap merah (Erythrina crista-galli L.), lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit), dan Angsana (Pterocarpus indicus Willd.). Kerapatan individu pada Hutan Kota PT. JIEP Pulo Gadung dilihat dari kerapatan individu/ha dan kelas DBH (Gambar 21). Kerapatan individu pada hutan kota ini tertinggi pada kelas diameter 20 – 29,9 cm. Tabel 20. Jenis tanaman pada tingkat pertumbuhan pohon yang ditemukan di Hutan Kota PT. JIEP No 1 2 3 4
Nama Daerah Akasia crasicarpa Kenari Dadap merah Melinjo
Nama Ilmiah Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Canarium littorale Blume Erythrina crista-galli L. Gnetum gnemon L.
Famili Fabaceae Burseracea Fabaceae Gnetaceae
jumlah individu/ha 6 6 19 6
44
Lanjutan Tabel 20. Nama Daerah Bungur Lamtoro
No 5 6 7
Glodongan tiang Angsana Mahoni daun besar Mahoni daun kecil
8 9 10
Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit Polyalthia longifolia Sonn.
Lythraceae Fabaceae
jumlah individu/ha 13 6
Annonaceae
31
Pterocarpus indicus Willd. Swietenia macrophylla King.
Fabaceae Meliaceae
19 6
Swietenia mahagoni (L.)
Meliaceae
44
Nama Ilmiah
Famili
Sumber : Survey lapang. 2012
Gambar 21. Kerapatan individu pada Hutan Kota PT. JIEP Pulo Gadung Tanaman dengan pertumbuhan yang dominan di Hutan Kota PT. JIEP pada tingkat pohon antara lain Glodogan tiang (Polyalthia longifolia Sonn.), Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan Mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni (L.). Hal ini karena ketiga jenis pohon ini memiliki INP tertinggi dibanding vegetasi lainnya yaitu masing-masing sebesar 40.79, 47.36, 68.52 (Tabel 21). Pada fase pertumbuhan tanaman tingkat tiang, vegetasi yang memiliki INP tertinggi adalah Bungur (Lagerstroemia speciosa Auct.), Tanjung (Mimusops elengi L.) dan Jati (Tectona grandis Linn.f.) (Tabel 10). Pada fase pertumbuhan tanaman tingkat pancang, Tanjung (Mimusops elengi L.) dan Bintaro (Cerbera manghas) menjadi INP tertinggi pada kawasan ini (Tabel 21). Tabel 21. Jenis tanaman dengan INP dan Indeks Keragaman pada Hutan Kota PT. JIEP Tingkat Pertumbuhan Pohon
Jenis Vegetasi Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Canarium littorale Blume
INP 24,24 16,45
Indeks Shannon 2,03
45
Lanjutan Tabel 21. Tingkat Pertumbuhan
Tiang
Pancang
Jenis Vegetasi Erythrina crista-galli L. Gnetum gnemon L. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Polyalthia longifolia Sonn. Pterocarpus indicus Willd. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Lagerstroemia speciosa Auct. Mimusops elengi L. Tectona grandis Linn.f. Mimusops elengi L. Cerbera manghas Linn.
INP 27,82 16,14 22,21 19,45 40,79 47,36 17,02 68,52 158,93 85,51 55,56 151,69 148,31
Indeks Keragaman
Indeks Shannon
0,96
0,69 1,23
Sumber : Survey lapang. 2012
Secara keseluruhan, berdasarkan indeks keragaman Shannon dapat dikatakan bahwa vegetasi pada Hutan Kota PT. JIEP memiliki keragaman yang sedang dengan nilai 1,23. Struktur tegakan di kawasan ini pada tingkat pertumbuhan pohon memiliki total kerapatan sebesar 156 individu/hektar. Adapun luas bidang dasar total pada Hutan Kota PT. JIEP sebesar 1.71 m²/ha dan luas bidang dasar tertinggi dihasilkan oleh tegakan Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) sebesar 0.45 m²/ha. 4.2.2 Asal-usul Tanaman Hutan Kota Universitas Indonesia Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, jenis pohon yang ditemukan di zona Vegetasi asli terdapat 77% dari 13 jenis pohon merupakan vegetasi yang berasal dari kawasan Malesia berdasarkan Prosea (Plant Resources of South East Asia), IUCN red list (http://www.iucnredlist.org/) dan World Agroforestry Centre (http://www.worldagroforestrycentre.org). Jenis pohon dan asal-usulnya pada zona Vegal dapat dilihat pada tabel 22. Tabel 22. Jenis pohon pada zona Vegetasi Asli dan asal-usulnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Lokal Akasia daun kecil Ara Awar-awar Dungun Bungur Pacira Sengon Gmelina Matoa Mahoni daun kecil Puspa
Nama Botani Acacia auriculiformis A. Ficus racemosa L. Ficus septica Burm. F. Heritiera littoralis Korth Lagerstroemia speciosa Auct Pachira aquatica Aubl. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Gmelina arborea Roxb. Pometia pinnata J. R. & G. Forst Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Schima wallichii (DC.) Korth
Asal-usul Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Introduksi Lokal Introduksi Lokal Introduksi Lokal
46
Lanjutan Tabel 22. No. 12 13
Nama Lokal Ketapang Seropan benanu
Nama Botani Terminalia cattapa L. Macaranga tanarius Muell. Arg.
Asal-usul Lokal Lokal
Sedangkan pada zona Wales Barat ditemukan 69 % dari 11 jenis pohon yang merupakan vegetasi yang berasal dari kawasan Malesia (Tabel 23). Tabel 23. Jenis pohon pada zona Wales Barat dan asal-usulnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Lokal Akasia daun besar Damar Kapuk randu Bintaro Karet Bungur Pacira Lamtoro Angsana Meranti Salam
Nama Botani Acacia mangium Willd. Agathis dammara (Lamb.) Rich. Ceiba pentandra L. Cerbera manghas L. Hevea brasiliensis Muell. Lagerstroemia speciosa Auct Pachira aquatica Aubl. Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit Pterocarpus indicus Willd Shorea selanica Blume Syzygium polyanthum Wigh Walp
Asal-usul Lokal Lokal Introduksi Lokal Introduksi Lokal Introduksi Introduksi Lokal Lokal Lokal
Pada zona Wales Timur ditemukan 55 % dari 11 jenis pohon yang merupakan vegetasi lokal yang berasal dari kawasan Malesia (Tabel 24). Tabel 24. Jenis pohon pada zona Wales Timur dan asal-usulnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Lokal Akasia daun besar Nangka Bunga kupu-kupu Gmelina Bungur Sengon Lamtoro Pacira Nyamplung Puspa Mahoni daun kecil
Nama Botani Acacia mangium Willd. Artocarpus heterophyllus Lamk. Bauhinia purpurea L. Gmelina arborea Roxb. Lagerstroemia speciosa Auct Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit Pachira aquatica Aubl. Calophyllum Inaphyllum L. Schima wallichii (Dc.) Korth Swietenia mahagoni (L.)
Asal-usul Lokal Lokal Introduksi Introduksi Lokal Lokal Introduksi Introduksi Lokal Lokal Introduksi
Dengan demikian total pohon lokal yang ditemukan di Hutan Kota UI dari tiga lokasi adalah 72 % yang berasal dari kawasan Malesia. Hutan Kota Srengseng Pepohonan pada Hutan Kota Srengseng berdasarkan pengamatan di lapang ditemukan 48 % dari total 21 jenis yang diteliti berdasarkan Prosea (Plant Resources of South East Asia), IUCN red list (http://www.iucnredlist.org/) dan
47
World Agroforestry Centre (http://www.worldagroforestrycentre.org) sebagai pohon yang berasal dari kawasan Malesia namun sekarang sudah menyebar di Indonesia (Tabel 25). Tabel 25. Jenis pohon pada Hutan Kota Srengseng dan asal-usulnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Lokal Akasia daun besar Kapuk randu Dadap merah Gmelina Lamtoro Kersen Sengon Asam landi Mahoni daun besar Mahoni daun kecil Kemiri Flamboyan Kerai payung Matoa Ketapang Bunga kupu-kupu Beringin Sawo kecik Sapu tangan Tanjung Jati
Nama Botani Acacia mangium Willd. Ceiba pentandra L Erythrina crista-galli L. Gmelina arborea Roxb. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Muntingia calabura L. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Aleurites moluccana (L.) Willd. Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf. Filicium decipiens (Wt. & Arn.) Thw. Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster Terminalia catappa L. Bauhinea acuminata L. Ficus benjamina L. Manilkara kauki (Linn.) Dubard Maniltoa grandiflora (A. Gray) Scheff Mimusops elengi L. Tectona grandis Linn.f.
Asal-usul Lokal Introduksi Introduksi Introduksi Introduksi Introduksi Lokal Introduksi Introduksi Introduksi Lokal Introduksi Introduksi Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Introduksi
Hutan Kota PT. JIEP Pepohonan pada Hutan Kota PT. JIEP berdasarkan pengamatan di lapang ditemukan 53 % dari total 15 jenis yang diteliti berdasarkan Prosea (Plant Resources of South East Asia), IUCN red list (http://www.iucnredlist.org/) dan World Agroforestry Centre (http://www.worldagroforestrycentre.org) sebagai pohon yang berasal dari kawasan Malesia (Tabel 26). Tabel 26. Jenis pohon pada Hutan Kota PT. JIEP dan asal-usulnya No. 1 2 3 4 5
Nama Lokal Akasia krasikarpa Saga Kenari Bintaro Kayu manis
6
Melinjo
Nama Botani Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Adenanthera pavonina L. Canarium littorale Blume Cerbera manghas Linn. Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Nees) Nees ex Blume Gnetum gnemon L.
Asal-usul Lokal Introduksi Lokal Lokal Lokal Lokal
48
Lanjutan Tabel 26. No. 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Lokal Lamtoro Bungur Dadap merah Tanjung Angsana Glodogan tiang Mahoni daun besar Mahoni daun kecil Jati
Nama Botani Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Lagerstroemia speciosa Auct. Erythrina crista-galli L. Mimusops elengi L. Pterocarpus indicus Willd. Polyalthia longifolia Sonn. Swietenia macrophylla King.
Asal-usul Introduksi Lokal Introduksi Lokal Lokal Introduksi Introduksi
Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Tectona grandis Linn.f.
Introduksi Introduksi
4.3 Analisis Kondisi Fisik Pohon Hutan Kota Universitas Indonesia Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, tingkat kerusakan pohon di Hutan Kota UI yang memiliki tingkat kerusakan buruk sebesar 17 % dari total 60 pohon yang diteliti berdasarkan kriteria kerusakan hama dan penyakit serta kerusakan mekanik. Di antaranya, terjadi pada pohon akasia daun besar (Acacia mangium Willd.) dan akasia daun kecil (Acacia auriculiformis A.). Kerusakan yang banyak terjadi pada batang pohon di hutan kota ini adalah batang lapuk, keropos dan sayatan. Kerusakan pada cabang dan daun adalah percabangan lapuk dan klorosis (Gambar 22). Tingkat kerusakan pohon yang buruk (30 ≤ T < 50) dialami oleh akasia daun besar (Acacia mangium Willd.) dengan nilai serangan hama penyakit dan kerusakan mekanik paling besar yaitu 41,95 dengan jumlah empat pohon yang masuk dalam kategori ini. Kemudian akasia daun kecil (Acacia auriculiformis A.) juga masuk dalam kategori buruk dengan tingkat kerusakan paling besar yaitu 38,83 dengan jumlah tiga pohon dalam kategori ini. Selain kedua pohon itu juga ada sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), dan Bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea L.) yang berkategori buruk. Pohon dengan kategori ini dapat dikatakan kurang baik dan kurang sehat, serta memerlukan banyak tindakan perbaikan untuk mengurangi tingkat kerusakannya. Pohon lokal dengan kondisi fisik baik dengan nilai serangan hama penyakit dan kerusakan mekanik antara 15 ≤ T < 30 dialami oleh pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), bungur (Lagerstroemia speciosa Auct.), dungun (Heritiera littoralis Korth) dan nyamplung (Calophyllum Inaphyllum L.). Pohon dengan kategori ini dapat dikatakan cukup baik serta memerlukan perbaikan untuk mengurangi tingkat kerusakannya. Pengelolaan Hutan Kota UI dibiarkan tumbuh seperti hutan alam dengan berbagai kompetisi tumbuhnya. Kerusakan pohon yang sering ditemukan adalah keropos yang merupakan kerusakan lebih lanjut dengan adanya tunnel sebagai indikator keberadaan rayap. Gejala kerusakan biasanya dimulai dari bagian pohon yang berdekatan dengan tanah seperti daerah perakaran.
49
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 22. Kerusakan pada pohon yang terjadi di Hutan Kota UI (a) klorosis, (b) gerowong yang menyebabkan pohon tumbang, (c) pemakuan pada pohon, (d) jamur Ganoderma pada pohon Sengon Hutan Kota Srengseng Hutan Kota Srengseng memiliki tingkat kerusakan paling sedikit di antara dua hutan kota lainnya yaitu 15 % dari total 13 pohon, diantaranya adalah kapuk randu (Ceiba pentandra L.) dan akasia daun besar (Acacia mangium Willd). Kerusakan yang banyak terjadi pada batang pohon di hutan kota ini adalah gerowong dan batang lapuk. Kerusakan pada cabang dan daun adalah patah cabang dan nekrosis (Gambar 23). Pada Hutan Kota Srengseng, akasia daun besar (Acacia mangium Willd) banyak tumbuh di blok yang tergenang oleh air yang menyebabkan akar akan mati karena kekurangan oksigen. Pohon dengan kategori ini dapat dikatakan kurang baik dan kurang sehat, serta memerlukan banyak tindakan perbaikan untuk mengurangi tingkat kerusakannya. Kerusakan mekanik yaitu patah cabang juga banyak terjadi di hutan kota ini.
50
(a) (b) (c) Gambar 23. Kerusakan pada pohon yang terjadi di Hutan Kota Srengseng (a) patah cabang, (b) nekrosis, (c) gerowong pada batang Jenis pohon lokal dengan kondisi fisik baik dengan nilai serangan hama penyakit dan kerusakan mekanik antara 15 ≤ T < 30 dialami oleh pohon ketapang (Terminalia catappa Linn.), sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), dan kemiri (Aleurites moluccana (L.) Willd). Pohon dengan kategori ini dapat dikatakan cukup baik serta memerlukan perbaikan untuk mengurangi tingkat kerusakannya. Serupa dengan Hutan Kota UI, Hutan Kota Srengseng dalam pemeliharaannya juga dibiarkan alami tanpa pengelolaan yang intensif. Hutan Kota PT. JIEP Nilai tingkat kerusakan pohon di lapang pada Hutan Kota JIEP memiliki kategori buruk yang paling banyak diantara kedua hutan kota lainnya, yaitu sebesar 23 % dari 13 pohon yang diteliti dialami oleh pohon kayu manis (Cinnamomum burmannii (C. Nees & T. Nees) C. Nees ex Blume) dengan nilai 40.50 dan angsana (Pterocarpus indicus Willd) dengan nilai 41.55 dan 36.33. Pohon dengan kategori ini dapat dikatakan kurang baik dan kurang sehat, serta memerlukan banyak tindakan perbaikan untuk mengurangi tingkat kerusakannya. Kerusakan yang banyak terjadi pada batang pohon di hutan kota ini adalah gerowong dan batang lapuk. Sedangkan kerusakan pada cabang dan daun adalah patah cabang, nekrosis dan klorosis (Gambar 24). Gerowong yang ditemukan di Hutan Kota PT. JIEP paling parah terjadi pada kayu manis (Cinnamomum burmanni (C. Nees & T. Nees) C. Nees ex Blume) dan angsana (Pterocarpus indicus Willd).
(a) (b) (c) Gambar 24. Kerusakan pada pohon yang terjadi di Hutan Kota PT. JIEP (a) patah cabang, (b) nekrosis, (c) hama pada daun
51
Jenis pohon lokal dengan kondisi fisik baik dengan nilai serangan hama penyakit dan kerusakan mekanik antara 15 ≤ T < 30 dialami oleh pohon bungur (Lagerstroemia speciosa Auct.), melinjo (Gnetum gnemon L.), akasia krasikarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.), dan kenari (Canarium littorale Blume). Pohon dengan kategori ini dapat dikatakan cukup baik serta memerlukan perbaikan untuk mengurangi tingkat kerusakannya. 4.4 Analisis Fungsi Ekologis Pohon berdasarkan Tipe Hutan Kota Hutan Kota Universitas Indonesia Hutan kota yang terdapat di dalam Kampus Universitas Indonesia ini pada dasarnya merupakan suatu kawasan hijau yang mampu mendukung lingkungan pendidikan. Hutan Kota UI yang dikenal dengan nama Mahkota Hijau yang difungsikan sebagai wilayah resapan air, wahana koleksi pelestarian plasma nutfah, wahan penelitian dan sarana rekreasi alam. Hutan Kota UI sebagai hutan kota yang terletak dalam kawasan pendidikan, Mahkota Hijau pada hakekatnya meliputi dua kepentingan, yaitu pembangunan dan pengembangan sarana penunjang pendidikan serta penelitian Universitas Indonesia, dan kemudian sebagai wahana koleksi dan konservasi plasma nutfah serta ekosistem perairan yang berperan sebagai wilayah resapan air dan tandon air. Menurut hasil wawancara dengan Dr. Tarsoen Waryono selaku salah satu pemrakarsa hutan kota di Kampus UI, sebagai wujud konsep di atas maka Mahkota Hijau tersusun menjadi tiga zona vegetasi yang mewakili keseluruhan wilayah Indonesia, yaitu : 1. Zona Vegetasi Asli (Vegal), adalah inti Mahkota Hijau yang merupakan koleksi vegetasi alam setempat (Jakarta-Depok). 2. Zona Wales Barat (Walbar), yaitu daerah untuk pengembangan jenis vegetasi asli daerah Indonesia bagian barat. 3. Zona Wales Timur (Waltim), yaitu daerah yang dikembangkan untuk jenis vegetasi asli dari daerah Indonesia bagian timur. Sebagai hutan kota yang berada di dalam kawasan pendidikan maka fungsi ekologis pohon di Hutan Kota UI seyogyanya disesuaikan dengan aktivitas yang dapat menunjang kegiatan pendidikan dan rekreasi di tengah padatnya aktivitas kampus bagi civitas akademik maupun masyarakat sekitar. Variabel fungsi ekologis pohon yang diteliti dalam pengamatan lapang sesuai dengan tipe Hutan Kota UI sebagai hutan kota penyangga lingkungan akademik diantaranya modifikasi suhu, peredam kebisingan, dan kontrol kelembaban udara. 1. Modifikasi Suhu Hutan Kota UI didominasi oleh pohon-pohon tinggi dan cukup rapat sehingga kawasan ini termasuk kawasan dengan suhu rendah di Kampus UI. Dari hasil penilaian, maka muncul kriteria kesesuaian fisik pohon terhadap kriteria fungsi ekologis modifikasi suhu. Kriteria dengan nilai sangat baik dari hasil penilaian terhadap 17 jenis pohon di kawasan ini yaitu 29 %. Jenis pohon yang termasuk dalam kategori baik dalam kesesuaian terhadap karakter fungsi modifikasi suhu yaitu 71 % dari 17 jenis pohon yang diamati (Tabel 27).
52
Tabel 27. Kriteria penilaian aspek fungsi modifikasi suhu No. 1.
2.
3.
4.
5. 6.
Nama Lokal Akasia daun kecil Akasia daun besar Nangka
Bunga kupukupu Nyamplu ng Flamboyan
7.
Keruing
8.
Gmelina
9.
Dungun
10.
Karet
11.
Bungur
12.
Lamtoro
13.
Pacira
14.
Sengon
15.
Mahoni daun besar Mahoni daun kecil Kayu lara
16.
17.
Kriteria Fungsi Modifikasi Suhu K1 K2 K3 K4 K5 4 4 3 4 4
95,00
SB
Acacia mangium Willd
4
4
3
3
4
90,00
SB
Artocarpus heterophyllus Lamk. Bauhinia purpurea L.
3
3
3
4
2
75,00
BA
2
4
1
4
2
65,00
BA
Calophyllum Inaphyllum L. Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf. Dipterocarpus sp. Gmelina arborea Roxb. Heritiera littoralis Aiton Hevea brasiliensis Muell. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Pachira aquatica Aubl. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.)
2
2
3
4
2
65,00
BA
4
4
1
4
4
85,00
SB
2
2
3
4
2
65,00
BA
3
4
4
4
4
95,00
SB
3
2
3
4
3
75,00
BA
3
2
2
4
3
70,00
BA
3
3
2
4
2
70,00
BA
4
3
1
3
4
75,00
BA
3
2
2
4
3
70,00
BA
3
4
1
3
4
75,00
BA
4
3
3
4
3
90,00
SB
4
2
2
4
3
80,00
BA
Xanthostemon F.v. Mueller
3
2
2
4
3
70,00
BA
77,06
BA
Nama Botani Acacia auriculiformis A.
Rata-rata
Keterangan :
K1 : Bermassa daun padat K2 : Berkanopi besar dan lebar K3 : Berdaun tebal K4 : Nilai tajuk K5 : Pohon relatif tinggi Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi
Skor (%)
Kategori
53
Nilai 3 : Baik (BA) Nilai 2 : Kurang Baik (KB) Nilai 1 : Buruk (BU)
bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam modifikasi suhu, hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam modifikasi suhu. 2. Kontrol Kelembaban Udara Kelembaban udara merupakan salah satu unsur penting dalam mengontrol iklim mikro, karena kelembaban udara juga menentukan kenyamanan yang diperlukan bagi pengunjung hutan kota. Dari hasil penilaian kriteria fisik pohon untuk fungsi ekologis kontrol kelembaban udara, maka jenis akasia daun besar (Acacia mangium Willd) merupakan pohon satu-satunya yang masuk ke dalam kategori sangat baik dan mempunyai persentase sebesar 6 % dari total 17 jenis pohon yang ada di dalam Hutan Kota UI. Kemudian pohon yang masuk dalam kriteria baik dalam mengontrol kelembaban mempunyai persentase sebesar 71 %. Selain dua kategori di atas, terdapat pohon yang masuk ke dalam kategori kurang baik dalam mengontrol kelembaban udara sebanyak 24 % (Tabel 28). Tabel 28. Kriteria penilaian aspek fungsi kontrol kelembaban udara No. 1.
2.
3.
4.
5. 6.
Nama Lokal Akasia daun kecil Akasia daun besar Nangka
Bunga kupukupu Nyamplu ng Flamboyan
7.
Keruing
8.
Gmelina
9.
Dungun
10.
Karet
11.
Bungur
Kriteria Fungsi Kontrol Kelembaban Udara K1 K2 K3 K4 1 2 4 4
68,75
BA
Acacia mangium Willd
3
3
4
4
87,50
SB
Artocarpus heterophyllus Lamk. Bauhinia purpurea L.
3
2
2
3
62,50
BA
3
2
3
3
68,75
BA
Calophyllum Inaphyllum L. Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf. Dipterocarpus sp. Gmelina arborea Roxb. Heritiera littoralis Aiton Hevea brasiliensis Muell. Lagerstroemia speciosa Auct.
2
2
2
2
50,00
KB
4
1
2
4
68,75
BA
2
3
1
2
50,00
KB
2
4
2
4
75,00
BA
2
3
2
3
62,50
BA
2
2
2
3
56,25
KB
2
3
3
3
68,75
BA
Nama Botani Acacia auriculiformis A.
Skor (%)
Kategori
54
Lanjutan Tabel 28. No.
Nama Lokal
12.
Lamtoro
13.
Pacira
14.
Sengon
15.
Mahoni daun besar Mahoni daun kecil Kayu lara
16.
17.
Rata-rata
Nama Botani Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Pachira aquatica Aubl. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Xanthostemon F.v. Mueller
Kriteria Fungsi Kontrol Kelembaban Udara K1 K2 K3 K4 3 1 2 4
Skor (%)
Kategori
62,50
BA
2
3
3
2
62,50
BA
3
1
2
4
62,50
BA
2
3
3
3
68,75
BA
2
2
3
4
68,75
BA
1
2
2
3
50,00
KB
64,38
BA
Keterangan :
K1 : Kerapatan daun rendah K2 : Berdaun lebar K3 : Tekstur batang kasar K4 : Jumlah daun banyak Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam kontrol kelembaban udara, hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam kontrol kelembaban udara. 3. Peredam Kebisingan Kebisingan merupakan suara yang mengganggu dan tidak diinginkan oleh pengunjung hutan kota, kebisingan di sini dapat berasal dari suara kendaraan bermotor terutama di dekat jalan utama kampus yang bersinggungan dengan Hutan Kota UI. Hasil identifikasi jenis pohon yang ada di dalam hutan kota ini dinilai criteria fisiknya untuk meredam kebisingan. Berdasarkan penilaian karakter fisik setiap jenis vegetasi di Hutan Kota UI, pohon yang masuk ke dalam kategori sangat baik mendapat persentase sebesar 12 % dari total 17 pohon yang diteliti untuk fungsi peredam kebisingan ini. Kemudian untuk pohon yang masuk dalam kriteria baik dalam meredam kebisingan mendapat persentase sebesar 53 % dari total 17 pohon yang diteliti untuk fungsi peredam kebisingan ini. Selain itu terdapat kategori pohon yang kurang baik untuk meredam kebisingan berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan mendapat persentase sebanyak 35 % dari total 17 jenis pohon yang diteliti (Tabel 29).
55
Tabel 29. Kriteria penilaian aspek fungsi peredam kebisingan Nama Lokal
No. 1.
Akasia daun kecil
2.
Akasia daun besar
3.
Nangka
4.
Bunga kupu-kupu Nyamplung
5. 6.
Flamboyan
7.
Keruing
8.
Gmelina
9.
Dungun
10.
Karet
11.
Bungur
12.
Lamtoro
13.
Pacira
14.
Sengon
15.
Mahoni daun besar
16.
Mahoni daun kecil Kayu lara
17.
Nama Botani Acacia auriculiformis A. Acacia mangium Willd Artocarpus heterophyllus Lamk. Bauhinia purpurea L. Calophyllum Inaphyllum L. Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf. Dipterocarpus sp. Gmelina arborea Roxb. Heritiera littoralis Aiton Hevea brasiliensis Muell. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Pachira aquatica Aubl. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Xanthostemon F.v. Mueller
Kriteria Fungsi Peredam Kebisingan K1 K2 K3 K4 K5 K6 4 2 3 4 2 4
4
4
3
3
2
4
2
3
3
2
2
1
3
2
1
Kategori
K7 4
Skor (%) 82,14
SB
3
3
78,57
BA
3
4
2
75,00
BA
2
4
2
4
60,71
KB
3
2
2
3
3
64,29
BA
3
1
4
4
2
4
67,86
BA
3
2
3
4
2
3
2
67,86
BA
3
2
4
4
4
3
3
82,14
SB
3
2
3
3
3
3
2
67,86
BA
2
2
2
2
3
2
3
57,14
KB
3
2
2
3
3
3
2
60,71
KB
1
3
1
2
4
2
4
60,71
KB
3
2
2
3
3
3
2
64,29
BA
1
3
1
4
1
1
4
53,57
KB
4
2
3
4
2
3
2
71,43
BA
4
2
2
3
2
2
2
60,71
KB
3
3
2
2
2
3
2
60,71
KB
66,81
BA
Rata-rata
Keterangan :
K1 : Tajuk rapat K2 : Massa daun rapat K3 : Berdaun tebal K4 : Struktur cabang dan batang besar K5 : Mempunyai tangkai-tangkai daun K6 : Tajuk rindang K7 : Daun ringan Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi
56
Nilai 3 : Baik (BA) Nilai 2 : Kurang Baik (KB) Nilai 1 : Buruk (BU)
bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam meredam kebisingan, hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam meredam kebisingan. Hutan Kota Srengseng Hutan Kota Srengseng terletak di tengah kawasan permukiman padat penduduk, dengan kepadatan penduduk sebesar 9.518,92 penduduk/km2 dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010. Oleh sebab itu hutan kota sangat berfungsi di daerah ini sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat sekitar di tengah aktivitas yang padat. Lokasi yang mudah dijangkau karena berada di sekitar permukiman padat menjadi kelebihan dari hutan kota ini. Pengisian pola hijau pada Hutan Kota Srengseng harus mampu mendukung tempat rekreasi ini, diantaranya memiliki karakter yang mampu menjadikan suasana dingin, bersih dan memerlukan pepohonan yang bervariasi dengan beraneka ragam daun dan bunga, di samping dapat memenuhi kebutuhan berekreasi. Variabel fungsi ekologis pohon yang diteliti dalam pengamatan lapang sesuai dengan tipe Hutan Kota Srengseng sebagai hutan kota rekreasi di kawasan permukiman diantaranya adalah modifikasi suhu, peredam kebisingan, dan kontrol kelembaban udara. 1. Modifikasi Suhu Pepohonan di Hutan Kota Srengseng yang masuk ke dalam kategori sangat baik untuk kriteria dalam memodifikasi suhu udara yaitu terdapat 40 % dari total 10 jenis pohon yang diteliti. Sedangkan 60 % jenis pohon yang lain masuk ke dalam kategori baik untuk memodifikasi suhu udara (Tabel 30). Tabel 30. Kriteria penilaian aspek fungsi modifikasi suhu No. 1.
2.
3.
Nama Lokal Akasia daun besar Kemiri
4.
Kapuk randu Lamtoro
5.
Kersen
6.
Sengon
Nama Botani Acacia mangium Willd Aleurites moluccana (L.) Willd Ceiba pentandra L. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Muntingia calabura L. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Kriteria Fungsi Modifikasi Suhu K1 K2 K3 K4 K5 4 4 3 3 4
Skor (%) 90,00
SB
2
2
2
4
3
65,00
BA
3
4
2
4
4
85,00
SB
2
4
1
4
3
70,00
BA
2
4
2
4
3
70,00
BA
3
4
1
3
4
75,00
BA
Kategori
57
Lanjutan Tabel 30. No.
Nama Lokal
7.
Asam landi
8.
Mahoni daun besar Mahoni daun kecil Ketapang
9.
10.
Nama Botani Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Terminalia catappa Linn.
Kriteria Fungsi Modifikasi Suhu K1 K2 K3 K4 K5 2 4 1 4 3
Skor (%)
Kategori
70,00
BA
4
3
3
4
4
90,00
SB
4
2
2
4
4
85,00
SB
3
4
3
4
3
85,00
SB
78,00
BA
Rata-rata
Keterangan :
K1 : Bermassa daun padat K2 : Berkanopi besar dan lebar K3 : Berdaun tebal K4 : Nilai tajuk K5 : Pohon relatif tinggi Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam menurunkan suhu, hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam menurunkan suhu. 2. Kontrol Kelembaban Udara Pepohonan yang mampu mengontrol kelembaban udara dengan kategori sangat baik mendapat persentase 10 % dari total sepuluh jenis pohon yang diteliti. Sedangkan sembilan pohon lainnya masuk ke dalam kategori pohon yang baik dalam mengontrol kelembaban di Hutan Kota Srengseng (Tabel 31). Tabel 31. Kriteria penilaian aspek fungsi kontrol kelembaban udara No. 1.
2.
3.
Nama Lokal Akasia daun besar Kemiri
4.
Kapuk randu Lamtoro
5.
Kersen
Nama Botani Acacia mangium Willd Aleurites moluccana (L.) Willd Ceiba pentandra L. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Muntingia calabura L.
Kriteria Fungsi Kontrol Kelembaban Udara K1 K2 K3 K4 3 3 4 4
Skor (%) 87,50
SB
3
2
2
3
62,50
BA
3
1
4
4
75,00
BA
3
1
2
4
62,50
BA
3
1
3
4
68,75
BA
Kategori
58
Lanjutan Tabel 31. No.
Nama Lokal
6.
Sengon
7.
Asam landi
8.
Mahoni daun besar Mahoni daun kecil Ketapang
9.
10.
Nama Botani Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Terminalia catappa Linn.
Kriteria Fungsi Kontrol Kelembaban Udara K1 K2 K3 K4 3 1 2 4
Skor (%)
Kategori
62,50
BA
3
1
2
4
62,50
BA
2
3
3
4
75,00
BA
1
2
3
4
62,50
BA
2
3
2
4
68,75
BA
68,75
BA
Rata-rata
Keterangan :
K1 : Kerapatan daun rendah K2 : Berdaun lebar K3 : Tekstur batang kasar K4 : Jumlah daun banyak Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam kontrol kelembaban udara, hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam kontrol kelembaban udara. 3. Peredam Kebisingan Berdasarkan pengamatan di lapang, jenis pohon yang mampu meredam kebisingan dengan kategori baik persentasenya sebesar 70 % dari total sepuluh jenis pohon yang diteliti, dan selebihnya masuk ke dalam kategori kurang baik (Tabel 32). Tabel 32. Kriteria penilaian aspek fungsi peredam kebisingan No. 1.
2.
3. 4.
Nama Lokal Akasia daun besar Kemiri
Kapuk randu Lamtoro
K1 4
Kriteria Fungsi Peredam Kebisingan K2 K3 K4 K5 K6 2 3 3 2 3
2
2
2
2
2
4
3
2
4
1
2
1
2
Nama Botani Acacia mangium Willd Aleurites moluccana (L.) Willd Ceiba pentandra L. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit
Kategori
K7 3
Skor (%) 71,43
BA
3
2
53,57
KB
2
4
2
75,00
BA
3
4
4
60,71
KB
59
Lanjutan Tabel 32. 5.
Nama Lokal Kersen
6.
Sengon
7.
Asam landi
8.
Mahoni daun besar Mahoni daun kecil Ketapang
No.
9.
10.
Nama Botani Muntingia calabura L. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Terminalia catappa Linn.
Kriteria Fungsi Peredam Kebisingan K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 3 2 2 2 2 4 3
Skor (%) 64,29
2
3
1
3
4
4
4
75,00
BA
1
2
1
2
3
4
4
60,71
KB
4
4
3
4
2
3
2
78,57
BA
2
4
2
3
2
4
2
67,86
BA
3
3
3
3
2
4
1
67,86
BA
67,50
BA
Rata-rata
Kategori BA
Keterangan :
K1 : Tajuk rapat K2 : Massa daun rapat K3 : Berdaun tebal K4 : Struktur cabang dan batang besar K5 : Mempunyai tangkai-tangkai daun K6 : Tajuk rindang K7 : Daun ringan Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam meredam kebisingan, hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam meredam kebisingan. Hutan Kota PT. JIEP Hutan Kota PT. JIEP merupakan tipe hutan kota penyangga kawasan industri. Hutan kota ini berfungsi untuk mengurangi pencemaran udara dan air di dalam kawasan industri, lokasi pabrik, dan pergudangan. Di dalam Kawasan industri PT. JIEP ini juga terdapat beberapa titik ruang terbuka hijau namun belum termasuk ke dalam SK Gubernur sebagai hutan kota. Kriteria ekologis pohon pada hutan kota penyangga kawasan industri lebih diarahkan untuk mampu dan tahan terhadap berbagai macam jenis polutan gas beracun. Variabel fungsi ekologis pohon yang diteliti dalam pengamatan lapang sesuai dengan tipe Hutan Kota PT. JIEP sebagai hutan kota penyangga kawasan industri diantaranya modifikasi suhu, peredam kebisingan, kontrol kelembaban udara, penahan angin, dan penyerap polutan.
60
1. Modifikasi Suhu Pepohonan di Hutan Kota PT. JIEP yang masuk ke dalam kategori sangat baik untuk kriteria dalam memodifikasi suhu udara yaitu terdapat 10 % dari total 10 jenis pohon yang diteliti. Sedangkan 60 % jenis pohon yang lain masuk ke dalam kategori baik, kemudian yang termasuk kategori kurang baik sebesar 30% (Tabel 33). Tabel 33. Kriteria penilaian aspek fungsi modifikasi suhu No. 1.
Nama Lokal
2.
Akasia crasicarpa Saga
3.
Kenari
4.
Kayu manis
5.
Melinjo
6.
Bungur
7.
Lamtoro
8.
Glodogan tiang 9. Mahoni daun besar 10. Mahoni daun kecil Rata-rata
Nama Botani Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Adenanthera pavonina L. Canarium littorale Blume Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Nees) Gnetum gnemon L. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Polyalthia longifolia Sonn. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Kriteria Fungsi Modifikasi Suhu K1 K2 K3 K4 K5 3 3 2 4 4
Skor (%) 80,00
BA
4
3
1
4
2
70,00
BA
3
2
2
2
4
65,00
BA
3
2
2
1
2
50,00
KB
3
2
3
2
2
60,00
KB
3
3
2
4
2
70,00
BA
4
3
1
3
4
75,00
BA
2
1
2
2
4
55,00
KB
4
3
3
4
4
90,00
SB
4
2
2
4
4
80,00
BA
69,50
BA
Kategori
Keterangan :
K1 : Bermassa daun padat K2 : Berkanopi besar dan lebar K3 : Berdaun tebal K4 : Nilai tajuk K5 : Pohon relatif tinggi Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam menurunkan suhu, hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam menurunkan suhu.
61
2. Kontrol Kelembaban Udara Pepohonan yang mampu mengontrol kelembaban udara dengan kategori baik mendapat persentase 60 % dari total sepuluh jenis pohon yang diteliti. Sedangkan pohon lainnya masuk ke dalam kategori pohon yang kurang baik dalam mengontrol kelembaban di Hutan Kota PT. JIEP (Tabel 34). Tabel 34. Kriteria penilaian aspek fungsi kontrol kelembaban udara No. 1.
Nama Lokal
2.
Akasia crasicarpa Saga
3.
Kenari
4.
Kayu manis
5.
Melinjo
6.
Bungur
7.
Lamtoro
8.
Glodogan tiang 9. Mahoni daun besar 10. Mahoni daun kecil Rata-rata
Nama Botani Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Adenanthera pavonina L. Canarium littorale Blume Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Nees) Gnetum gnemon L. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Polyalthia longifolia Sonn. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Kriteria Fungsi Kontrol Kelembaban Udara K1 K2 K3 K4 2 2 3 4
Skor (%) 68,75
BA
3
1
3
3
62,5
BA
3
2
2
2
56,25
KB
2
2
1
3
50
KB
2
2
2
3
56,25
KB
2
3
3
3
68,75
BA
3
1
2
4
62,5
BA
2
2
1
3
50
KB
2
3
3
3
68,75
BA
2
2
3
4
68,75
BA
61,25
BA
Kategori
Keterangan :
K1 : Kerapatan daun rendah K2 : Berdaun lebar K3 : Tekstur batang kasar K4 : Jumlah daun banyak Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam kontrol kelembaban udara, hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam kontrol kelembaban udara. 3. Peredam Kebisingan Berdasarkan pengamatan di lapang, jenis pohon yang mampu meredam kebisingan dengan kategori baik persentasenya sebesar 50 % dari total sepuluh
62
jenis pohon yang diteliti, dan selebihnya masuk ke dalam kategori kurang baik (Tabel 35). Tabel 35. Kriteria penilaian aspek fungsi peredam kebisingan No.
Nama Lokal
1.
Akasia crasicarpa
2.
Saga
3.
Kenari
4.
Kayu manis
5.
Melinjo
6.
Bungur
7.
Lamtoro
8.
Glodogan tiang
9.
Mahoni daun besar 10. Mahoni daun kecil Rata-rata
K1 3
Kriteria Fungsi Peredam Kebisingan K2 K3 K4 K5 K6 3 2 3 2 4
2
3
1
3
3
2
3
2
3
3
2
2
3
3
3
Kategori
K7 2
Skor (%) 67,86
BA
2
4
64,29
BA
2
2
2
57,14
KB
1
2
3
2
53,57
KB
3
2
3
3
2
67,86
BA
2
2
2
2
4
2
60,71
KB
1
3
1
2
4
2
4
60,71
KB
3
3
2
2
3
3
3
67,86
BA
4
2
3
4
2
3
2
71,43
BA
4
2
2
3
2
2
2
60,71
KB
63,21
BA
Nama Botani Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Adenanthera pavonina L. Canarium littorale Blume Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Nees) Gnetum gnemon L. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Polyalthia longifolia Sonn. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Keterangan :
K1 : Tajuk rapat K2 : Massa daun rapat K3 : Berdaun tebal K4 : Struktur cabang dan batang besar K5 : Mempunyai tangkai-tangkai daun K6 : Tajuk rindang K7 : Daun ringan Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam meredam kebisingan, hal ini dilihat dari rata-rata persentase nilai yang berkategori baik untuk memenuhi kriteria fisik dalam meredam kebisingan.
63
4. Penahan Angin Kenyamanan seseorang dipengaruhi oleh salah satu aspek iklim yaitu angin. Angin dalam kecepatan yang tinggi akan membuat manusia merasa tidak nyaman, oleh sebab itu diperlukan penilaian fungsi ekologis penahan angin terhadap jenis vegetasi di Hutan Kota PT. JIEP untuk mengetahui jenis pohon yang sesuai untuk menahan angin. Pohon yang mampu menahan angin dengan kategori baik adalah sebesar 60 % dari 10 jenis pohon yang diteliti, dan selebihnya adalah kategori kurang baik (Tabel 36). Tabel 36. Kriteria penilaian aspek fungsi penahan angin
1.
Nama Lokal Akasia crasicarpa
2.
Saga
3.
Kenari
4.
Kayu manis
5.
Melinjo
6.
Bungur
7.
Lamtoro
8.
Glodogan tiang
No.
9.
Mahoni daun besar 10. Mahoni daun kecil Rata-rata
Keterangan :
Nama Botani Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Adenanthera pavonina L. Canarium littorale Blume Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Nees) Gnetum gnemon L. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Polyalthia longifolia Sonn. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
K1 3
Kriteria Fungsi Penahan Angin K2 K3 K4 K5 K6 2 3 3 3 4
Skor (%) 75,00
Kategori BA
3
1
2
1
2
2
45,83
KB
3
2
2
3
2
4
66,67
BA
2
2
3
1
4
2
58,33
KB
3
3
3
2
2
2
62,50
BA
2
2
3
3
2
2
58,33
KB
3
1
1
2
2
4
54,17
KB
3
2
3
2
3
4
70,83
BA
2
3
2
2
4
4
70,83
BA
2
2
2
3
2
4
62,50
BA
62,50
BA
K1 : Massa daun rapat K2 : Daun tebal K3 : Tajuk massif dan rindang K4 : Daun tidak mudah gugur (ever green) K5 : Dahan kuat tapi cukup lentur K6 : Vegetasi tinggi Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
64
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon sudah memenuhi kriteria dalam menahan angin hal ini dilihat dari banyaknya jenis pohon yang sudah memenuhi kriteria fisik dalam menahan angin. 5. Penyerap polutan gas Sesuai dengan tipe hutan kota sebagai penyangga kawasan industri maka fungsi ekologis pohon untuk menyerap polutan gas sangat berperan penting untuk mengurangi dampak buruk polusi yang dikeluarkan oleh pabrik. Dari hasil penelitian, diketahui jenis pohon pada hutan kota yang berkategori baik sebesar 30 % dan kurang baik sebesar 70 % dalam menyerap polutan gas (Tabel 37). Tabel 37. Kriteria penilaian aspek fungsi penyerap polutan gas Nama Lokal
No. 1.
Akasia crasicarpa
2.
Saga
3.
Kenari
4.
Kayu manis
5.
Melinjo
6.
Bungur
7.
Lamtoro
8.
Glodogan tiang Mahoni daun besar
9.
10.
Mahoni daun kecil
Rata-rata
Keterangan :
Nama Botani Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Adenanthera pavonina L. Canarium littorale Blume Cinnamomum burmannii (Nees & Th. Nees) Gnetum gnemon L. Lagerstroemia speciosa Auct. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Polyalthia longifolia Sonn. Swietenia macrophylla King. Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Kriteria Fungsi Penyerap Polutan Gas K1 K2 K3 K4 K5 1 4 3 3 1
Skor (%) 60,00
KB
1
3
4
2
1
55,00
KB
1
2
3
2
1
45,00
KB
1
3
3
3
1
55,00
KB
1
3
2
3
1
50,00
KB
1
3
3
3
1
55,00
KB
1
4
4
1
1
55,00
KB
3
3
3
3
1
65,00
BA
2
3
4
4
1
70,00
BA
2
4
3
4
1
70,00
BA
58,00
KB
Kategori
K1 : Jarak tanam rapat K2 : Jumlah daun banyak K3 : Berdaun tipis K4 : Kepadatan tajuk K5 : Terdiri dari beberapa lapis tanaman dan terdapat kombinasi dengan semak, perdu dan ground cover Pembobotan penilaian : Nilai 4 : Sangat Baik (SB) bila ≥ 81 % kriteria terpenuhi Nilai 3 : Baik (BA) bila 61 – 80 % kriteria terpenuhi Nilai 2 : Kurang Baik (KB) bila 41 – 60 % kriteria terpenuhi Nilai 1 : Buruk (BU) bila ≤ 40 % kriteria terpenuhi
65
Dari hasil penilaian dan kategori setiap jenis pohon maka dapat dievaluasi bahwa keanekaragaman pohon belum memenuhi kriteria dalam menyerap polutan gas, hal ini dilihat dari nilai rata-rata skor jenis pohon yang kurang baik untuk memenuhi kriteria fisik dalam menyerap polutan gas. 4.5
Rekomendasi Strategi Pengelolaan Hutan Kota berdasarkan Analisis SWOT
Penelitian ini menggunakan metode analisis SWOT yang digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan hutan kota di DKI Jakarta untuk meningkatkan keanekaragaman jenis pohon. Metode ini berdasarkan pada faktor-faktor internal dan eksternal yang dimiliki oleh hutan kota di DKI Jakarta. Faktor internal terdiri dari kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan faktor eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Penentuan faktor internal dan faktor eksternal ini dihasilkan dari hasil analisis pada penelitian dan focus group discussion (FGD) dengan tema membahas PP 63 tahun 2002 tentang hutan kota yang dihadiri oleh 29 orang responden yang terkait dengan hutan kota mulai dari pihak BPTP Tanaman Hutan, pihak dari Kebun Raya, pihak dari akademik yaitu dari IPB, Universitas Indonesia, dan Universitas Trisakti, pihak dari Kemenhut, pihak dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta. Pembahasan dikhususkan kepada hutan kota di DKI Jakarta. Dari hasil FGD tersebut kemudian menjadi input untuk mendapatkan faktor internal dan faktor eksternal yang akan dianalisis dalam metode SWOT yang telah dipaparkan sebelumnya. Penentuan faktor internal dan eksternal ini didiskusikan kepada enam orang responden terpilih yang telah memahami kondisi hutan kota di DKI Jakarta. Responden tersebut berasal dari dosen UI selaku pihak akademisi yang mengembangkan Hutan Kota UI, pihak BPTP Tanaman Hutan Bogor, pihak dari Kebun Raya Bogor, pihak dari Dinas Pertanian dan Kelautan Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, pihak dari Kementrian Kehutanan RI. 4.5.1 Identifikasi Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam hutan kota. Faktor internal ini berasal dari kekuatan dan kelemahan yang dapat mempengaruhi penentuan strategi pengelolaan Hutan Kota di DKI Jakarta. 4.5.1.1 Kekuatan 1. Hutan kota dengan beragam manfaat bagi warga perkotaan berpotensi menjadi sumber pendapatan untuk membantu mengurangi beban biaya pemeliharaan. 2. Kawasan hutan kota yang merupakan bagian dari ruang terbuka hijau yang menjadi tempat koleksi beragam tanaman lokal, berpotensi menjadi laboratorium alam di perkotaan. 3. Kelembagaan dan organisasi pelaksanaan hutan kota karena organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. 4. Dua dari Hutan kota berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi warga kota.
66
5. Hutan kota memiliki keanekaragaman yang sedang yaitu Indeks Keragaman Shannon Wiener 1 < H‟ < 3 dan jenis lokal yang masih mendominasi. 4.5.1.2 Kelemahan 1. Kurangnya SDM yang berkompeten untuk memonitor dan mengevaluasi hutan kota yang telah ada. Hal ini begitu penting sebab pembangunan dan pengelolaan hutan kota memerlukan SDM yang mampu mengawasi jalannya pembangunan dan pengelolaan hutan kota agar sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan kota. 2. Kurangnya ketegasan aparat terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas hutan kota karena penegakan hukum ini masih dinilai lemah terhadap pelanggar atau perusak lingkungan. 3. Kurangnya informasi yang dimiliki oleh pihak pengelola mengenai jenis pohon lokal, cara budidaya/pemeliharaannya, hama penyakit pada tanaman dan fungsi pohon terhadap tipe hutan kota serta pengelolaannya. 4. Sarana dan prasarana hutan kota yang belum optimal seperti pengadaan benih lokal, pengadaan pagar yang mengelilingi hutan kota, alat dan bahan untuk pemeliharaan dan lain-lain. 5. Alih fungsi lahan menjadi fungsi penggunaan lain yang seharusnya diperuntukkan untuk hutan kota karena ekspansi kebutuhan hidup di perkotaan contohnya permukiman kumuh yang merambah hutan kota. 4.5.2 Identifikasi Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar hutan kota. Faktor eksternal ini berasal dari peluang dan ancaman yang dapat mempengaruhi penentuan strategi pengelolaan Hutan Kota di DKI Jakarta. 4.5.2.1 Peluang 1. Dasar hukum PP 63 Tahun 2002 dan Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor 71 tahun 2009. 2. Adanya jalinan kerja sama/kemitraan dengan sektor privat, BUMN/BUMS/BUMD maupun masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan hutan kota seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor 71 tahun 2009 tentang peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota. 3. Adanya kewajiban pihak swasta yang usahanya terkait dengan sumber daya alam mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan melalui CSR. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012. 4. Isu lingkungan seperti global warming yang semakin marak seiring dengan aksi pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengembangan hutan kota dengan keragaman jenis pohonnya yang dapat mengurangi isu lingkungan tersebut. 4.5.2.2 Ancaman 1. Aktivitas pengunjung yang merusak hutan kota (vandalisme). Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hutan kota.
67
2. Pencemaran lingkungan di sekitar hutan kota. 3. Tidak adanya insentif yang konkrit dan konsisten untuk pengelolaan hutan kota. 4. Belum optimalnya political will pemerintah yang mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota. Setelah penentuan faktor internal dan faktor eksternal kemudian dilakukan perangkingan dan pembobotan oleh tiga orang responden terpilih yang mengetahui kondisi hutan kota di DKI Jakarta serta dapat memberikan penilaian sesuai dengan keahlian yang dimiliki, pihak dari Kementrian Kehutanan dan pihak dari Kebun Raya Bogor. Setelah itu dilakukan pembuatan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE), kemudian dilakukan pencocokan, lalu penentuan alternatif strategi dan strategi pengelolaan. 4.5.3
Pembuatan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)
Matriks IFE dan EFE dapat dibuat melalui tahapan penentuan peringkat dan pembobotan tiap faktor terlebih dahulu (Lampiran 2 dan 3). Hasil dari penentuan peringkat dan pembobotan dikalikan agar didapat skor IFE dan EFE (Tabel 38 dan Tabel 39). Seluruh skor bobot pada setiap faktor baik internal maupun eksternal dijumlahkan agar mendapatkan skor bobot total yang kemudian akan digunakan pada tahap selanjutnya. Tabel 38. Matriks IFE Simbol Faktor Strategis Internal Faktor Kekuatan (Strength) S1 Hutan kota sebagai laboratorium alam di perkotaan. S2 Hutan Kota berpotensi menjadi sumber pendapatan. S3 Kelembagaan pengelolaan hutan kota. S4 Dua dari tiga hutan kota berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi warga kota. S5 Hutan kota memiliki keragaman yang sedang yaitu Indeks Keragaman Shannon Wiener 1 < H‟ < 3 dan jenis tanaman lokal yang masih mendominasi. Faktor Kelemahan (Weakness) W1 Belum optimalnya SDM untuk monitoring dan evaluasi. W2 Kurangnya ketegasan aparat terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas hutan kota. W3 Informasi yang kurang dari para pengelola mengenai jenis pohon lokal, cara budidaya dan fungsi pohon terhadap tipe hutan kota serta pengelolaannya. W4 Sarana dan prasarana Hutan kota yang belum optimal sesuai dengan tipe hutan kota.
Rating
Bobot
Skor
4
0,09
0,36
3
0,05
0,15
4 3
0,13 0,07
0,52 0,21
4
0,12
0,48
1
0,12
0,12
1
0,10
0,10
1
0,12
0,12
2
0,08
0,16
68
Lanjutan Tabel 38. Simbol Faktor Strategis Internal W5 Alih fungsi lahan menjadi fungsi penggunaan lain yang harusnya diperuntukkan untuk RTH. Total
Rating 1
Bobot 0,12
Skor 0,12
24
1,00
2,34
Tabel 39. Matriks EFE Simbol Faktor Strategis Eksternal Rating Bobot Faktor Peluang (Opportunity) O1 Dasar hukum PP 63 Tahun 2002 dan Kepmenhut 4 0,18 RI 71 Tahun 2009. O2 Jalinan kerjasama/kemitraan dengan sektor 4 0,14 privat, BUMN/BUMS/BUMD maupun masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan hutan kota. O3 Adanya kemauan pihak swasta untuk 3 0,11 pembangunan lingkungan (CSR). O4 Isu global warming dan aksi go green yang 4 0,10 dapat mengurangi dampak lingkungan di Jakarta, salah satunya dengan cara pengembangan hutan kota. Faktor Ancaman (Threats) T1 Aktivitas pengunjung yang merusak hutan kota 4 0,16 (vandalisme). T2 Pencemaran lingkungan di sekitar hutan kota. 3 0,11 T3 Tidak adanya insentif yang konkrit dan konsisten 4 0,10 untuk pengelolaan hutan kota. T4 Belum optimalnya political will pemerintah yang 4 0,10 mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota. Total 30 1,00
Skor 0,72 0,56
0,33 0,40
0,64 0,33 0,40 0,40
3,78
4.5.4 Pembuatan Matriks Internal-Eksternal (IE) Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 34 dan 35 didapatkan skor IFE sebesar 2,34 dan skor EFE sebesar 3,78. Total skor pembobotan minimum untuk IFE dan EFE adalah 1 dan maksimum adalah 4 dengan skor rata-rata 2,5 (David 2011). Jika skor di bawah 2,5 maka dapat dinyatakan IFE atau EFE lemah sedangkan jika skor di atas 2,5 dapat dinyatakan IFE atau EFE kuat. Dari hasil perhitungan dapat dinyatakan bahwa kondisi faktor internal yang dimiliki oleh hutan kota di DKI Jakarta berada di bawah rata-rata yang berarti lemah dan eksternal yang dimiliki oleh hutan kota di DKI Jakarta berada di atas nilai ratarata yang berarti kuat. Skor IFE dan EFE digunakan untuk mengetahui kuadran yang menyatakan kekuatan dan kelemahannya melalui matriks IE. Hasil perhitungan skor IFE dan EFE menyatakan bahwa hutan kota di DKI Jakarta berada pada kuadran kedua dengan penerapan strategi tumbuh dan membangun (grow and build) pada
69
Gambar 25. Strategi yang intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar, dan pengembangan produk) atau integratif (integrasi ke belakang, integrasi ke depan, dan integrasi horizontal) dapat menjadi strategi yang paling tepat (David 2011). Strategi yang direkomendasikan untuk pengelolaan hutan kota yang berkaitan dengan intensif dan integratif ini adalah peningkatan kuantitas dan kualitas hutan kota. Peningkatan kuantitas hutan kota ini berkaitan dengan penambahan kawasan hutan kota sesuai dengan yang diamanatkan dalam PP 63 Tahun 2002 tentang hutan kota. Selain itu, peningkatan kualitas hutan kota di antaranya adalah pengembangan fasilitas hutan kota, peningkatan keragaman tanaman serta optimalisasi pengelolaan hutan kota.
Gambar 25. Matriks IE tiga Hutan kota di DKI Jakarta 4.5.6 Penentuan Alternatif Strategi Penentuan alternatif strategi dilakukan untuk menetukan langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pengelola dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Faktor-faktor yang telah disusun dan analisis IE untuk orientasi strategi menuntun pada penyusunan strategis. Dari proses tersebut didapatkan 10 strategi alternatif dengan tiga strategi terhadap faktor kekuatan dan peluang (strategi SO), satu strategi terhadap faktor kekuatan dan ancaman (strategi ST), tiga strategi terhadap faktor kelemahan dan peluang (strategi WO), dan tiga strategi terhadap faktor kelemahan dan ancaman (WT). Setiap strategi dapat berkaitan lebih dari dua faktor yang saling berinteraksi (Tabel 40).
70
Tabel 40. Matriks strategi SWOT untuk pengelolaan hutan kota Internal
Eksternal Opportunities (Peluang) 1. Dasar hukum PP 63 Tahun 2002 dan Kepmen 71. 2. Jalinan kerjasama/kemitraan dengan sektor privat, BUMN/BUMS/BUMD maupun masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan hutan kota. 3. Adanya kemauan pihak swasta untuk pembangunan lingkungan (CSR). 4. Isu global warming dan aksi go green yang dapat mengurangi dampak lingkungan di Jakarta, salah satunya dengan cara pengembangan hutan kota. Threats (Ancaman) 1. Aktivitas pengunjung yang merusak hutan kota (vandalisme). 2. Pencemaran lingkungan di sekitar hutan kota. 3. Tidak adanya insentif yang konkrit dan konsisten untuk pengelolaan hutan kota. 4. Belum optimalnya political will pemerintah yang mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota.
Strengths (Kekuatan) 1. Hutan kota sebagai laboratorium alam di perkotaan. 2. Hutan Kota berpotensi menjadi sumber pendapatan. 3. Kelembagaan pengelolaan hutan kota. 4. Dua dari tiga hutan kota berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi warga kota. 5. Hutan kota memiliki keanekaragaman yang sedang yaitu Indeks Keragaman Shannon Wiener 1 < H‟ < 3 dan jenis lokal yang masih mendominasi.
Weakness (Kelemahan) 1. Belum optimalnya SDM untuk monitoring dan evaluasi. 2. Kurangnya ketegasan pengelola terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas hutan kota 3. Informasi yang kurang dari para pengelola mengenai jenis pohon lokal, cara budidaya, pemilihan fungsi pohon terhadap tipe hutan kota dan pengelolaannya. 4. Sarana dan prasarana hutan kota yang belum optimal sesuai dengan tipe hutan kota. 5. Alih fungsi lahan menjadi fungsi penggunaan lain yang harusnya diperuntukkan untuk RTH.
Strategi SO 1. Meningkatkan jenis tanaman lokal yang memiliki kondisi fisik pohon yang baik (S1, S2, S5, O1, O2, O3, O4). 2. Meningkatkan keragaman jenis vegetasi dengan mengutamakan jenis lokal dan sesuai dengan tipe hutan kota (S1, S5, O1, O2, O3, O4 ). 3. Optimalisasi pengelolaan hutan kota dengan menjalin kerjasama dengan sektor privat, BUMN/BUMS/BUMD dan masyarakat (S1, S2, S3, S4, O1, O2, O3, O4 ).
Strategi WO 1. Pelatihan bagi SDM di lapang agar berkompeten dan berdedikasi tinggi untuk monitoring dan evaluasi kondisi hutan kota (W1, W2, W3, W5, O1). 2. Sosialisasi peranan hutan kota serta pemeliharaan dan pengelolaan hutan kota yang baik (W1, W3, O1, O2, O4). 3. Membangun jalinan kerjasama dengan pemerintah maupun dengan pihak swasta untuk meningkatkan sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan kualitas hutan kota (W4, O1, O2, O3, O4) Strategi WT 1. Penetapan insentif yang konkrit dan konsisten bagi pihak privat (swasta dan masyarakat) yang ikut berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dan kuantitas hutan kota (W1, T3). 2. Pemantapan political will yang mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota (W1, W2, W3, T3). 3. Peningkatan ketegasan pengelola terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas hutan kota (W2, W5, T1).
Strategi ST 1. Pemilihan jenis tanaman sesuai dengan tipe hutan kota (S1, S4, S5, T2, T4).
71
4.5.7 Penyusunan dan Penentuan Peringkat Strategi Alternatif Penjumlahan skor yang terkait dengan masing-masing strategi alternatif menempatkan strategi tersebut pada urutan prioritas serta keterkaitan antar faktor internal dan faktor eksternal (Tabel 41). Tabel 41. Prioritas strategi alternatif untuk konservasi keragaman jenis pohon hutan kota di DKI Jakarta. Ranking 1
2 3
4
5
6 7
8
9
10
Alternatif Strategi Optimalisasi pengelolaan hutan kota dengan menjalin kerjasama dengan sektor privat, BUMN/BUMS/BUMD dan masyarakat Meningkatkan jenis tanaman lokal yang memiliki kondisi fisik pohon yang baik Meningkatkan keragaman jenis vegetasi dengan mengutamakan jenis lokal dan sesuai dengan tipe hutan kota Membangun jalinan kerjasama dengan pemerintah maupun dengan pihak swasta untuk meningkatkan sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan kualitas hutan kota Sosialisasi peranan hutan kota serta pemeliharaan dan pengelolaan hutan kota yang baik Pemilihan jenis tanaman sesuai dengan tipe hutan kota Pelatihan bagi SDM di lapang agar berkompeten dan berdedikasi tinggi untuk monitoring dan evaluasi kondisi hutan kota Peningkatan ketegasan pengelola terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas hutan kota Pemantapan political will yang mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota Penetapan insentif yang konkrit dan konsisten bagi pihak privat (swasta dan masyarakat) yang ikut berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dan kuantitas hutan kota
Keterkaitan Skor dengan Faktor S1, S2, S3, S4, 3,25 O1, O2, O3, O4
S1, S2, S5, O1, O2, O3, O4 S1, S5, O1, O2, O3, O4
3,00
W4, O1, O2, O3, O4
2,17
W1, W3, O1, O2, O4
1,92
S1, S4, S5, T2, T4 W1, W2, W3, W5, O1
1,78
W2, W5, T1
0,86
W1, W2, W3, T3
0,74
W1, T3
0,52
2,85
1,18
72
5. PEMBAHASAN Hutan kota di DKI Jakarta menurut PP 63 tahun 2002 yang telah dikukuhkan oleh SK Gubernur mempunyai fungsi dan desain tersendiri sesuai tujuan yang ditetapkan oleh pihak pengelola. Tidak hanya fungsi ekologi, namun fungsi sosial dan fungsi ekonomi juga masuk di dalam hutan kota ini yaitu bermanfaat bagi masyarakat sekitar sebagai tempat beraktivitas dan meningkatkan perekonomian. Penanganan hutan kota secara khusus dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta Bidang Kehutanan. Kegiatannya dimulai pertama kali pada tahun anggaran 1990/1991 hingga saat ini. Setelah berjalan hampir 20 tahun, maka hingga 2011 tercatat 604,04 ha hutan kota dan terdapat 14 hutan kota seluas 149,18 ha yang telah dikukuhkan dengan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta dan selebihnya dalam proses pengukuhan (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Hutan kota dengan beragam jenis tanaman di dalamnya membuat pengunjung dapat merasakan banyak manfaat, tidak hanya manfaat langsung yang dirasakan pengunjung seperti sumber oksigen namun juga pendidikan lingkungan bagi penduduk DKI Jakarta yang saat ini pengetahuan akan jenis tanaman lokal sudah semakin menipis, padahal daerah di Jakarta banyak yang menggunakan nama-nama tumbuhan sebagai toponiminya pada nama kelurahan seperti kelurahan di Jakarta Selatan yang berasal dari nama tumbuhan diantaranya Cipete Selatan, Gandaria Selatan, Pondok Labu, Bintaro, Duren tiga, dan masih banyak lagi. Berikut adalah pembahasan dari tiga hutan kota yang diteliti lebih mendalam berdasarkan keragaman tanaman, kondisi fisik pohon, tipe hutan kota terhadap daerah di sekitarnya dan rekomendasi pengelolaan hutan kota bagi konservasi keragaman tanaman di DKI Jakarta. 5.1 Keragaman Tanaman Hutan Kota Kampus UI menurut konsep penanamannya terbagi menjadi tiga lokasi yaitu zona Wales Barat, zona Wales Timur dan zona Vegetasi Asli. Hal tersebut serupa dengan penelitian Toni (2009), bahwa indeks kesamaan komunitas Sorenson antara zona di Hutan Kota UI ini memiliki nilai rendah dan sangat rendah yang menunjukkan adanya perbedaan perencanaan penanaman pada setiap zona Hutan Kota UI. Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) dan akasia daun besar (Acacia mangium Willd) pada awalnya memang sengaja ditanam di Hutan Kota UI sebagai jenis yang cepat tumbuh (pioneer legum) untuk mengatasi dominasi penutupan lahan oleh alang-alang (Imperata cylindrica (L.) P. Beauv) dan rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach) yang mencakup areal 85% dari luas seluruh kampus (Waryono 2008). Perubahan vegetasi di Hutan Kota UI terjadi karena penghijauan tahun 1984, 1998, 1999, 2000, 2004 dan 2008 (Toni 2009). Variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi oleh modifikasi habitat, kompetisi dengan spesies introduksi, tuntutan manusia untuk spesies tertentu dan sebagai produksi, serta perubahan lingkungan yang cepat seperti fluktuasi iklim (Alvey 2006). Jika dilihat kondisi pada Hutan Kota UI, variasi ini terjadi umumnya disebabkan faktor antroposentris. Hal ini pun terjadi pada Hutan Kota PT. JIEP dan Hutan Kota Srengseng. Perbedaan INP antara
73
ketiga hutan kota disebabkan perbedaan penanaman dan kemampuan tumbuh masing-masing jenis tanaman, sedangkan perbedaan INP antara tingkat pertumbuhan di antaranya disebabkan karena cukup rapatnya penutupan tajuk dari tingkat tiang maupun pohon sehingga menyebabkan jenis-jenis tertentu tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh dengan optimal. Di samping itu adanya persaingan untuk mendapatkan hara mineral, air dan ruang tumbuh antara individu dari suatu jenis juga berpengaruh terhadap perbedaan INP dalam tingkat pertumbuhan. Bentuk struktur vegetasi horizontal pada Hutan Kota UI menyerupai huruf J terbalik (eksponensial negatif), bentuk struktur vegetasi seperti ini sering ditemukan pada tegakan hutan tidak seumur atau hutan alam dan berada dalam kondisi yang seimbang (Onrizal, Kusmana, Saharjo, Handayani, Kato 2005). Kurva pertumbuhan struktur horizontal pada Hutan Kota UI ini disebabkan oleh komposisi tegakan pada lokasi penelitian memiliki kerapatan individu/ha yang menurun dengan bertambahnya DBH. Selain itu, hal ini juga berarti bahwa populasi pohon di Hutan Kota UI terdiri atas campuran seluruh kelas diameter dengan didominasi oleh pohon berdiameter kecil, sehingga dapat menjamin kelangsungan tegakan di masa mendatang. Berbeda dengan dua hutan kota lainnya yaitu Hutan Kota Srengseng dan Hutan Kota PT. JIEP yang bentuk struktur vegetasi tidak mengikuti bentuk umum struktur tegakan hutan alam (J terbalik). Pada Hutan Kota PT. JIEP hal ini disebabkan karena bibit yang ditanam oleh pengelola sering dimakan oleh kambing yang digembalakan di hutan kota oleh masyarakat sekitar sehingga banyak tanaman yang belum sempat tumbuh optimal, sehingga struktur vegetasinya memiliki sebaran yang mendekati normal yang didominasi oleh DBH 20 cm – 29,9 cm. Struktur vegetasi pada Hutan Kota Srengseng hampir menyerupai struktur tegakan hutan alami yang cenderung menurun seiring dengan pertambahan kelas diameter, namun naik pada kelas diameter 20 cm – 29,9 cm dan kemudian menurun semakin bertambahnya kelas diameter. Berdasarkan waktu pembangunan tiga hutan kota ini, Hutan Kota PT. JIEP adalah yang paling muda, oleh sebab itu hutan kota ini belum mencapai klimaks dalam perkembangan ekologinya. Namun, dengan kondisi tingkat pertumbuhan pancang dan tiang yang rendah dikhawatirkan regenerasi pada hutan kota ini tidak berjalan optimal. Pengelolaan hutan kota yang tepat sangat diperlukan dalam menangani keberlanjutan perkembangan Hutan Kota PT. JIEP. Hutan Kota UI merupakan hutan kota tertua dibandingkan dengan dua hutan kota lainnya. Perkembangan hutan kota ini dimulai dari penghijauan secara besar-besaran dengan menggunakan tanaman fast growing dengan maksud untuk mengalahkan dominansi alang-alang yang sebelumnya menghuni area hutan kota tersebut. Seiring dengan perkembangannya, pengelola Hutan Kota UI melakukan pembiaran dalam pengelolaan sama halnya dengan hutan alam, namun, untuk penanaman pohon tetap dilakukan agar dapat membantu regenerasi dalam hutan kota ini. Hal ini tercermin pada kerapatan individunya yang semakin menurun dengan pertambahan DBH sehingga regenerasi terjadi pada hutan kota ini. Hutan Kota Srengseng juga memiliki regenerasi yang cukup baik dilihat dari kerapatan individu yang semakin tinggi seiring pertambahan diameternya, walaupun pada tingkat pertumbuhan pancang memiliki kerapatan individu yang lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan tiang. Hal ini diduga karena Hutan Kota
74
Srengseng terus melakukan penanaman untuk meningkatkan kualitas hutan kota untuk regenerasi hutan kota tersebut. Terdapat empat faktor gangguan yang dapat merusak struktur hutan kota, yaitu antropogenik secara langsung contohnya penanaman atau penebangan dalam skala besar, kemudian antropogenik secara tidak langsung contohnya aksi manusia secara tidak langsung yang dapat mengubah struktur vegetasi seperti adanya peperangan. Faktor ketiga adalah natural secara langsung contohnya adalah kebakaran, adanya serangan hama. Faktor terakhir adalah faktor alam secara tidak langsung yang mengubah struktur vegetasi yang diikuti perubahan struktur populasi manusia seperti gempa bumi yang besar. Pengelola dapat melakukan sedikit pencegahan terhadap antropogenik secara tidak langsung tetapi mereka dapat mengontrol pengaruh dari gangguan langsung dalam hutan kota melalui perencanaan yang benar (Nowak 1993). Tanaman di Hutan Kota UI dan Hutan Kota PT. JIEP lebih mendominasi jenis tanaman lokal dibandingkan dengan Hutan Kota Srengseng. Tanaman yang masuk dalam golongan indigenous species ini perlu dikonservasi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati (Arifin dan Nakagoshi, 2010). Keberadaan tanaman introduksi sebetulnya tidak menjadi masalah terhadap ancaman keragaman tanaman di ruang terbuka hijau selama tanaman tersebut tidak bersifat invansif, menjadi gulma dan sulit dikendalikan. 5.2 Kondisi Fisik Pohon Pengelolaan Hutan Kota UI dibiarkan tumbuh seperti hutan alam dengan berbagai kompetisi tumbuhnya. Kerusakan pohon yang sering ditemukan adalah keropos yang merupakan kerusakan lebih lanjut dengan adanya tunnel sebagai indikator keberadaan rayap. Gejala kerusakan biasanya dimulai dari bagian pohon yang berdekatan dengan tanah seperti daerah perakaran. Monitoring rutin diperlukan terutama pada musim-musim dimana rawan serangan rayap. Monitoring rutin ini dapat mengetahui gejala serangan secara dini, sehingga dapat segera diambil tindakan guna pengendaliannya dan dapat mengurangi resiko kerusakan yang lebih besar. Selain itu, menghilangkan sarangsarang rayap juga diperlukan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Konsep keseimbangan alami populasi hama berhubungan dengan fenomena faktor abiotik dan fenomena biotik. Jumlah dan penyebaran suatu organisme secara alami dibatasi oleh faktor lingkungan (hujan, suhu, kelembaban, cahaya, dll) (Sembel 2010). Serangan penyakit jamur akar merah pada pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) ditemukan di hutan kota ini pada satu pohon. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pohon di tegakan sengon. Gejala yang mudah diamati adalah menipisnya daun-daun di tajuk sengon kemudian pohon mengering. Tanda keberadaan jamur dapat diamati pada pangkal pohon yang terserang; pada pangkal batang/leher akar keluar tubuh buah jamur Ganoderma berwarna merah kecoklatan, terutama pada musim penghujan. Hutan Kota UI memiliki tingkat kelembaban yang tinggi, hal ini sangat mendukung pembentukan spora. Kelembaban yang tinggi juga akan mengurangi ketahanan inang terhadap patogen. Di dalam jaringan tanaman, jamur akan mengambil makanan dari tanaman untuk hidup dan perkembangannya. Dengan demikian, tanaman inang akan segera kehilangan zat-zat makanannya secara terus
75
menerus dan akhirnya lambat laun kehilangan bentuk normalnya (Arifin dan Arifin 2005). Keluarnya tubuh jamur mengindikasikan bahwa serangan pada pohon telah berlangsung lama, tingkat serangan sudah parah. Jamur ini menyebabkan busuknya perakaran pohon sehingga tanaman mati. Cara mengatasi jamur akar merah ini yaitu dengan menebang pohon yang sakit, membongkar tunggak kemudian akarnya dibakar. Selain itu, juga dapat menggunakan fungisida pada bekas tanaman atau pohon yang diserang, sedangkan upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara pembuatan parit isolasi, serta penggunaan pestisida. Selain itu penebangan juga dapat dilakukan jika intensitas serangan tinggi (hampir semua bagian tanaman diserang/lebih dari 70% bagian tanaman diserang) atau sudah sangat parah dan tanaman berumur lebih dari 5 tahun, maka dilakukan tebangan. Pada Hutan Kota Srengseng, akasia daun besar (Acacia mangium Willd) banyak tumbuh di blok yang tergenang oleh air yang menyebabkan akar akan mati karena kekurangan oksigen. Kondisi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan akasia yang kurang cocok untuk tumbuh di daerah yang berair (Khoiri 2004). Selain itu kerusakan yang ditemukan dan dapat mengakibatkan kefatalan adalah gerowong yang ada pada pangkal akar dan batang. Gerowong ini terbentuk karena timbulnya luka pada kulit pohon dan tidak langsung ditangani sehingga kulit pohon terserang oleh hama atau penyakit yang menimbulkan rongga pada batang. Gerowong paling parah terjadi pada kapuk randu (Ceiba pentandra L.). Gerowong pun ditemukan di Hutan Kota PT. JIEP, kerusakan yang paling parah terjadi pada kayu manis (Cinnamomum burmanni (C. Nees & T. Nees) C. Nees ex Blume) dan angsana (Pterocarpus indicus Willd). Tumbuhan pengganggu yaitu benalu juga dijumpai di tiga hutan kota ini, benalu merupakan tumbuhan yang semi parasit yang hidupnya menempel pada tanaman inangnya serta mengambil sari makanan dari tanaman inangnya. Untuk memberantas benalu, dengan melakukan pembersihan terhadap pohon yang ditumbuhi oleh benalu dan membersihkan semua akarnya karena akar benalu yang tinggal dapat berkembang biak lagi (Rusdianto 2008). Tipe kerusakan lain yaitu batang patah ditemui di tiga hutan kota ini. Batang patah yang dijumpai terjadi akibat bekas penebangan pemeliharaan, petir dan bekas patahan dari batang yang lapuk. Pemangkasan pemeliharaan dapat menimbulkan kerusakan lebih lanjut jika bekas pangkasan tidak dirawat. Batang patah ini jika tidak segera dilakukan perawatan akan menimbulkan infeksi dan kerusakan lainnya (Miardini 2006). Selain itu, pemangkasan lokal pada bagian tanaman yang terserang dipotong atau dipangkas juga perlu dilakukan, hasil pangkasan kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan aman, lalu dilakukan pembakaran. Gejala klorosis dan nekrosis sedikit dijumpai di tiga hutan kota. Pengontrolan dengan menggunakan pestisida perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah. Monitoring kondisi fisik pohon sebagai sistem pencegahan serangan hama dan penyakit merupakan tindakan deteksi dini dan preventif untuk mengetahui secara cepat hama dan penyakit yang menyerang sehingga dengan segera dapat dilakukan tindakan pemberantasan. Kerusakan mekanik yang terjadi di antaranya adalah vandalisme yang ditemukan di sekitar pohon antara lain adanya coretan menggunakan pulpen atau bahan lain, pohon yang dilubangi dan diberi tali serta pemakuan pohon untuk pemasangan papan. Cara untuk memperbaiki kondisi ini yaitu dengan
76
membersihkan pohon dari benda – benda atau tulisan yang ada sehingga kondisi pohon tetap terjaga dengan baik. Kerusakan akibat mekanik akibat vandalisme ini sangat berpengaruh terhadap kondisi hutan kota itu sendiri. Hutan Kota UI merupakan hutan kota penyangga lingkungan akademik yang berada di dalam kawasan Kampus UI dan bersifat cukup tertutup sehingga vandalisme jarang terjadi pada hutan kota ini, sedangkan Hutan Kota Srengseng merupakan hutan kota rekreasi yang terbuka untuk umum dan sering menjadi area aktivitas masyarakat sehingga vandalisme lebih mudah terjadi di hutan kota ini. Para ahli seperti Andrewartha dan Birch mengemukakan bahwa densitas populasi berfluktuasi menurut faktor lingkungan seperti iklim dan cuaca meskipun tidak ada musuh – musuh alami (faktor biotik) (Sembel 2010). Hal ini serupa dengan kerusakan pohon di Hutan Kota PT. JIEP sebagai kawasan penyangga industri akibat adanya pengaruh unsur lingkungan. Kerusakan pohon dapat timbul karena disebabkan oleh asap, gas beracun dari suatu industri. Gejala umum yang terlihat berupa perubahan warna dari daun (discoloration), dan bila hal ini semakin parah maka daun - daun akan menjadi gugur dan lambat laun akhirnya pohon akan mati. Berdasarkan penelitian Rantung (2006), efek SO2, NO2 dan debu pada pohon angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dalam kawasan industri yang terjadi dalam waktu yang lama pada lapisan epidermis dan stomata daun, maka akan meningkatkan tingkat kerusakan, indeks kerusakan, jumlah dan indeks kerusakan stopmata serta klorofil daun angsana (Pterocarpus indicus Willd.). Gejala yang muncul pada awalnya adalah daun terdapat bintik – bintik atau bercak yang berwarna putih dan semakin lama akan berubah warna kekuningan dan akhirnya berwarna coklat dan hitam. Di samping itu bintik – bintik atau bercak – bercak daun tersebut semakin lama akan semakin membesar pada daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) sehingga tingkat kerusakan daun akan semakin parah dan akhirnya daun akan gugur. 5.3 Fungsi Ekologis Pohon berdasarkan Tipe Hutan Kota Salah satu peranan hutan kota adalah sebagai penyangga daerah di sekitarnya dari penurunan kualitas lingkungan. Tanaman turut berperan dalam menjaga keseimbangan ekologis pada lingkungan. Tanaman dalam ekosistem berperan sebagai produsen utama yang mengubah energi surya menjadi energi potensial. Energi yang dihasilkan oleh vegetasi merupakan sumber hara mineral dan perubah terbesar lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan (Irwan 2008). Beberapa fungsi ekologis tanaman antara lain modifikasi suhu udara, kontrol kelembaban udara, penahan angin, peredam kebisingan, kontrol polusi dan sebagai wadah keanekaragaman hayati. Hutan Kota UI merupakan hutan kota penyangga lingkungan akademik kampus, kawasan ini juga sering dijadikan tempat penelitian oleh mahasiswa, dan oleh sebab itu hutan kota ini memang direncanakan sebagai wahana koleksi pelestarian plasma nutfah, yang diupayakan dalam bentuk tiga ekosistem yaitu pepohonan yang berasal dari Wales Barat, pepohonan yang berasal dari Wales Timur dan vegetasi asli Jakarta dan sekitarnya (Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2011). Hutan kota UI juga dimanfaatkan sebagai wahana penelitian keanekaragaman hayati bagi mahasiswa biologi, farmasi, geografi,
77
kimia dan fakultas sastra, serta sebagai kawasan rekreasi baik bagi masyarakat kampus maupun masyarakat sekitarnya. Berdasarkan kriteria fungsi ekologis pohon di Hutan Kota UI sebagai kawasan penyangga lingkungan pendidikan, seluruh kriteria pohon yaitu peredam kebisingan, kontrol kelembaban udara dan modifikasi suhu bernilai baik untuk memenuhi ketiga kriteria tersebut. Selain itu fungsi hutan kota sebagai plasma nutfah juga membantu sebagai penyuluhan mahasiswa tentang arti penting lingkungan tata hijau di wilayah perkotaan, Pramuka maupun pecinta alam (Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2011). Hutan Kota Srengseng terletak di tengah permukiman penduduk sehingga sangat berguna menjadi tempat rekreasi bagi warga sekitar. Iklim mikro dan cuaca suatu kota dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Di Amerika Serikat, dampak adanya gejala pulau panas perkotaan telah diukur dan disebabkan oleh area luas yang menyerap panas permukaan yang dikombinasikan dengan jumlah tinggi energi yang digunakan dalam kota. Semua ekosistem alami (RTH) di daerah perkotaan akan membantu untuk mengurangi perbedaan ini. Oleh sebab itu keberadaan vegetasi sangat penting. Sebuah pohon besar dapat mentranspirasikan air 450 liter/hari dan mengkonsumsi 1.000 MJ energi panas untuk menggerakkan proses evaporasi (Bolund dan Hunhammar 1999). Kebisingan akibat lalu lintas dan sumber – sumber lain dapat menciptakan masalah kesehatan bagi masyarakat di daerah perkotaan. Jarak dari sumber kebisingan merupakan salah satu faktor kunci dalam hal ini. Faktor lainnya adalah karakter tanah, hamparan rumput dapat menurunkan 3 dB (A) dibandingkan dengan perkerasan beton. Mengembangkan area dengan tanah lunak dan area bervegetasi dapat menurunkan tingkat kebisingan. Vegetasi juga berkontribusi sebagai penghalang intrusi visual dari lalu lintas sehingga dampaknya menjadi berkurang dan pohon yang evergreen sangat penting dalam hal ini (Bolund dan Hunhammar 1999). Berdasarkan hasil penelitian Hutan Kota Srengseng memenuhi kriteria dengan baik untuk meredam kebisingan. Kota merupakan lingkungan yang penuh dengan tekanan bagi warganya. Aspek rekreasi yang memungkinkan untuk bermain dan beristirahat menjadi jasa lingkungan yang paling dihargai di perkotaan. Salah satunya adalah keberadaan ruang terbuka hijau dengan campuran nilai kultural dan estetika. Keberadaan binatang seperti burung dan ikan juga diperhitungkan dalam hal ini sebagai bentuk wadah keanekaragaman hayati. RTH sangat penting bagi psikologis. Salah satu contohnya adalah studi tentang respon seseorang yang berada di bawah tekanan dalam lingkungan yang berbeda (Ulrich, Simons, Losito, Fiorito, Miles dan Zelson dalam Bolund dan Hunhammar 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang yang menjadi eksperimen dibawa ke suatu lingkungan yang alami, terjadi penurunan tingkat stress yang cepat, sedangkan jika seseorang tersebut dibawa ke lingkungan perkotaan maka tingkat stress tetap tinggi atau bahkan meningkat. Studi ini menyiratkan bahwa ruang terbuka hijau dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis warga kota. Kawasan industri PT. JIEP mempunyai tipe hutan kota penyangga kawasan industri dengan luas sebesar 8,9 hektar yang telah dikukuhkan oleh SK Gubernur. Namun dengan luas kawasan industri sebesar 570 hektar dan letak hutan kota yang terpusat pada satu lokasi saja maka luas hutan kota ini dirasa kurang untuk mengurangi pencemaran yang terjadi akibat aktivitas industri di
78
kawasan ini. Lokasi dan struktur vegetasi penting untuk kemampuannya dalam menyaring udara. Pereduksi polusi ini terutama disebabkan oleh vegetasi yang menyaring polutan dan partikel dari udara (Bolund dan Hunhammar 1999). Berdasarkan BPLHD Provinsi DKI Jakarta tahun 2010, pengambilan sampel kualitas udara ambien yaitu parameter NO2 pengambilan sampel di PT. JIEP masih di bawah baku mutu yaitu 14,43 µg/Nm3/24 jam (baku mutu NO2 = 92,00 µg/Nm3/24 jam). Parameter SO2 yang pengambilan sampelnya di PT. JIEP masih di bawah baku mutu yaitu 7,89 µg/Nm3/24 jam (baku mutu = 260 µg/Nm3/24 jam). Selain itu terdapat partikel yang menjadi salah satu pencemar udara yaitu parameter debu (TSP) yang diambil pada kawasan industri PT. JIEP memiliki konsentrasi yang tinggi, dan hampir setiap bulan nilainya melebihi baku mutu dengan rata – rata 301,92 µg/Nm3/24 jam (baku mutu TSP = 230 µg/Nm3/24 jam). Dan Parameter Timbal (Pb) pengambilan sampel di PT. JIEP masih di bawah baku mutu yaitu 0,015 µg/Nm3/24 jam (baku mutu NO2 = 2,00 µg/Nm3/24 jam). Baku mutu udara ambient merupakan ukuran batas atau kadar zat, energi, dan atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya (PP RI No. 41 Tahun 1999). Berdasarkan data kualitas udara PT. JIEP di atas yang menjadi parameter kritis adalah TSP (Debu) yang disebabkan karena aktivitas industri seperti kegiatan pembakaran. Menurut hasil penelitian di lapang, fungsi ekologis pohon di Hutan Kota PT. JIEP ini hanya 30% jenis pohon yang memiliki kategori baik sebagai penyerap polutan gas yang berarti kurang baik untuk memenuhi kriteria fisik dalam menyerap polutan gas. Selain penyerap polutan gas, tanaman mereduksi polusi dengan cara menjerap partikel pada berbagai bagian permukaan tanaman. Tingkat pencemaran debu (TSP) pada hutan kota ini sudah melampaui baku mutu sehingga diperlukan tanaman yang dapat menjerap partikel dengan baik. Partikel dapat direduksi tanaman melalui proses penjerapan oleh permukaan tanaman. Permukaan tanaman baik permukaan daun maupun batang tanaman dapat menjerap partikel. Penjerapan, jenis tanaman yang baik adalah jenis yang memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar dapat berupa permukaan daun maupun permukaan ranting dan batang (Desianti 2011). Selain itu, hutan kota yang terdiri dari beberapa lapis tanaman, lapisan semak, dan pohon disebut lebih efektif dalam menjerap partikel karena membentuk struktur yang lebih rapat. Pengukuran jumlah cadangan karbon pada suatu hutan kota dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh pohon. Berdasarkan analisis cadangan karbon yang dilakukan oleh Lubis (2013) pada Hutan Kota UI, Hutan Kota Srengseng dan Hutan Kota PT. JIEP diperoleh total nilai serapan CO2 sebesar 809,31 ton/ha. Nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI (634,40 ton/ha), kemudian disusul oleh hutan kota Srengseng (88,15 ton/ha) dan hutan kota PT JIEP (86,76 ton/ha). Hal ini menjelaskan bahwa selain sebagai konservasi keanekaragaman hayati dan hidrologi, lanskap hutan kota juga memiliki nilai tambah dalam mengurangi keberadan gas CO2 khususnya di DKI Jakarta. Hutan Kota PT. JIEP sebagai hutan kota penyangga kawasan industri memiliki peranan besar dalam penyerapan CO2. Sepuluh jenis spesies yang memiliki C-stock terbesar pada lanskap hutan kota PT JIEP adalah mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni (L) Jacq.), angsana (Pterocarpus indicus Willd.), bungur (Lagerstroemia speciosa Auct.),akasia crasicarpa (Acacia crassicarpa A.
79
Cunn. Ex Benth.), glodogan tiang (Polyalthia longifolia Sonn.), lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit),tanjung (Mimusops elengi L.),melinjo (Gnetum gnemon L.), mahoni daun besar (Swietenia macrophylla King), dan kenari (Canarium littorale Blume) (Lubis 2013). 5.4
Rekomendasi Strategi Pengelolaan Hutan Kota berdasarkan Analisis SWOT Rekomendasi pengelolaan hutan kota bertujuan mengembangkan potensi dan menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi agar kinerja hutan kota di DKI Jakarta dalam kondisi yang prima. Rekomendasi ini dihasilkan dari penentuan prioritas konservasi, yaitu ekosistem hutan kota termasuk dari perspektif stakeholder. Kemudian menetapkan tujuan pengelolaan yaitu konservasi keragaman tanaman hutan kota dengan menganalisis dari aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari hutan kota tersebut. Dihasilkan sepuluh prioritas dari rekomendasi pengelolaan hutan kota ini. Prioritas utama adalah strategi optimalisasi pengelolaan hutan kota dengan menjalin kerja sama dengan sektor privat, BUMN/BUMS/BUMD dan masyarakat dengan skor 3,25. Hal ini dipengaruhi oleh empat faktor kekuatan dan empat faktor peluang. Strategi ini untuk meningkatkan pengelolaan hutan kota dengan melibatkan seluruh pihak agar ikut menjaga kualitas hutan kota. Prioritas kedua dalam rangka konservasi keragaman tanaman di hutan kota adalah meningkatkan jenis tanaman lokal yang memiliki kondisi fisik pohon yang baik dengan skor 3,00. Hal ini dipengaruhi oleh tiga faktor kekuatan dan empat faktor peluang. Strategi ini berkaitan dengan pemilihan jenis tanaman lokal yang berkondisi baik untuk konservasi keragaman tanaman lokal di hutan kota serta memudahkan pengelolaan. Strategi ini perlu diketahui oleh setiap stakeholder betapa pentingnya meningkatkan keragaman tanaman dengan pemilihan jenis pohon lokal karena setiap daerah memiliki karakteristik biofisik masing-masing sehingga pola penanaman pada setiap daerah akan berbeda dan akan meningkatkan keanekaragaman hayati. Prioritas ketiga adalah meningkatkan keragaman jenis vegetasi dengan mengutamakan jenis lokal dan sesuai dengan tipe hutan kota dengan skor 2,85. Strategi ini dipengaruhi oleh dua faktor kekuatan dan empat faktor peluang. Hal ini perlu diketahui oleh semua stakeholder betapa pentingnya meningkatkan keragaman tanaman dengan pemilihan jenis pohon lokal yang sesuai dengan tipe hutan kota agar dapat mengurangi dampak lingkungan. Prioritas keempat adalah membangun jalinan kerja sama dengan pemerintah dan pihak swasta untuk meningkatkan sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan kualitas hutan kota dengan skor 2,17. Hal ini dipengaruhi oleh satu faktor kelemahan dan empat faktor peluang. Strategi ini membantu meningkatkan kualitas hutan kota dengan memberikan kesempatan kepada pihak luar untuk bekerja sama dengan pengelola. Prioritas kelima adalah sosialisasi peranan hutan kota serta pemeliharaan dan pengelolaan hutan kota yang baik dengan skor 1,92. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor kelemahan dan tiga faktor peluang. Strategi ini berkaitan dengan pemaparan dan pemahaman tentang pentingnya hutan kota dan segala hal yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pengelolaan hutan kota kepada pengelola hutan kota.
80
Prioritas keenam adalah pemilihan jenis tanaman sesuai dengan tipe hutan kota dengan skor 1,78. Strategi ini dipengaruhi oleh tiga faktor kekuatan dan dua faktor ancaman. Hal ini berkaitan dengan fungsi hutan kota yang didominasi oleh pepohonan sebagai penyedia jasa lingkungan. Setiap hutan kota memiliki tipe masing-masing sesuai fungsi terhadap kawasan di sekitarnya. Oleh sebab itu pemilihan jenis pohon juga perlu disesuaikan dengan tipe hutan kotanya. Prioritas ketujuh adalah pelatihan bagi SDM di lapang agar berkompeten dan berdedikasi tinggi untuk monitoring dan evaluasi kondisi hutan kota dengan skor 1,18. Strategi ini dipengaruhi oleh empat faktor kelemahan dan satu faktor peluang. Pelatihan bagi SDM sebagai pihak pengelola ini sangt penting untuk menjaga kualitas hutan kota. Ketujuh strategi di atas memiliki skor di atas 1,00 dan dijadikan tujuh strategi prioritas. Kemudian strategi selanjutnya adalah peningkatan ketegasan pengelola terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas hutan kota dengan skor 0,86. Peningkatan ketegasan ini dimaksud untuk mencegah kerusakan mekanik pada tanaman maupun fasilitas hutan kota akibat ulah manusia. Strategi ini dipengaruhi oleh dua faktor kelemahan dan satu faktor ancaman. Strategi kesembilan adalah pemantapan political will yang mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota dengan skor 0,74. Strategi ini dipengaruhi oleh tiga faktor kelemahan dan satu faktor ancaman. Political will yang dimaksud adalah pembuatan Perda tentang pengembangan hutan kota di setiap daerah sehingga pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengembangkan hutan kota di daerahnya. Strategi terakhir adalah penetapan insentif yang konkrit dan konsisten bagi pihak privat (swasta dan masyarakat) yang ikut berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dan kuantitas hutan kota dengan skor 0,52. Pada PP 63 Tahun 2002 dijelaskan bahwa penunjukkan lokasi hutan kota minimal seluas 0,25 ha. Luasan tersebut sangat sulit ditemukan di kawasan perkotaan terutama Jakarta, oleh sebab itu pemberian insentif terhadap pihak privat baik itu swasta dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kuantitas hutan kota. Pengelolaan hutan kota sangat berarti bagi perlindungan lingkungan hidup manusia, tumbuhan dan satwa liar karena fungsinya yang sangat besar bagi kenyamanan suatu kota. Oleh karena itu program pemeliharaan yang baik dapat melestarikan kehadiran hutan kota yang ada menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman. Serupa halnya dengan taman, pemeliharaan hutan kota ini dimaksudkan untuk menjaga dan merawat areal hutan kota dengan segala fasilitasnya agar kondisinya tetap baik atau sebisa mungkin dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan rancangan atau desain semula (Arifin dan Arifin 2005). Aspek kunci dari ilmu tentang tanaman yang relevan dengan konservasi bagi tanaman yaitu difokuskan pada tipe tanaman, bagaimana mereka hidup, dan bagaimana manusia mengelola dan menggunakannya (Hamilton dan Hamilton 2006). Permasalahan utama dalam pengembangan RTH dan hutan kota tidak saja meliputi aspek teknis (pemilihan jenis yang sesuai tujuan dan fungsi RTH dan hutan kota, perolehan bibit secara mudah dan cepat), tetapi juga aspek kelembagaan (aturan main, sumber daya manusia, struktur unit pengelola, dan sumber-sumber pembiayaan) (Subarudi, Samsoedin dan Waryono 2010). Tidak lupa juga untuk mengusung edukasi dan penghargaan tentang keragaman tanaman berdasarkan target dari Global Strategy for Plant Conservation yaitu pentingnya
81
keragaman tanaman dan kebutuhan untuk konservasi dengan cara komunikasi (sosialisasi), edukasi dan program public-awareness (Hamilton dan Hamilton 2006). Sepuluh rekomendasi pengelolaan hutan kota yang disajikan berdasarkan kondisi di lapang dan wawancara dengan para ahli yang terkait diharapkan mampu membuat hutan kota menjadi lebih baik sehingga manfaat yang dihasilkan akan maksimal.
6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Evaluasi jenis pohon bagi konservasi keragaman tanaman hutan kota di DKI Jakarta ini menghasilkan sepuluh rekomendasi pengelolaan hutan kota. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Keragaman jenis tanaman pohon di tiga hutan kota terpilih tergolong sedang, yaitu Hutan Kota UI sebesar 2,28; Hutan Kota Srengseng sebesar 1,97 dan Hutan Kota PT. JIEP sebesar 1,23. Jenis lokal pada Hutan Kota UI dan Hutan Kota PT. JIEP lebih mendominasi dibandingkan dengan Hutan Kota Srengseng. 2. Kondisi fisik pohon pada Hutan Kota PT. JIEP memiliki tingkat kerusakan terbanyak dibandingkan dengan dua hutan kota lainnya. Hutan Kota PT. JIEP memiliki tingkat kerusakan sebesar 23 %, Hutan Kota Srengseng sebesar 15% dan Hutan Kota UI sebesar 17%. 3. Fungsi ekologis pohon di Hutan Kota UI dan Hutan Kota Srengseng memenuhi kriteria sebagai tipe hutan kota penyangga kawasan akademik dan hutan kota rekreasi sedangkan Hutan Kota PT. JIEP belum memenuhi kriteria yang baik sebagai hutan kota penyangga kawasan industri pada fungsi ekologis pohon sebagai penyerap polutan gas. 4. Berdasarkan analisis SWOT, dihasilkan 10 rekomendasi pengelolaan hutan kota untuk konservasi keragaman jenis pohon di hutan kota berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang terdapat pada hutan kota DKI Jakarta. 6.2 Saran Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak pengelola hutan kota untuk mewujudkan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai saran sebagai berikut. 1. Upaya untuk menjaga dan meningkatkan keragaman jenis tanaman di dalam hutan kota dengan mengutamakan jenis tanaman lokal. 2. Pemeliharaan hutan kota sangat penting dilakukan agar menghindari kerusakan tanaman yang menurunkan kualitas hutan kota. 3. Pemilihan jenis tanaman yang tepat sesuai dengan tipe hutan kota sangat diperlukan agar manfaat yang didapat dari hutan kota maksimal. 4. Rekomendasi pengelolaan hutan kota sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan kualitas hutan kota.
82
DAFTAR PUSTAKA Alvey AA. 2006. Promoting and Preserving Biodiversity in the Urban Forest. Urban forestry and Urban Greening 5 (2006) 195-201. Elsevier (http://www.sciencedirect.com). Arifin HS, Arifin NHS. 2005. Pemeliharaan Taman. Jakarta : Penebar Swadaya. 171 hal. Arifin HS, Nakagoshi N. 2010. Landscape Ecology and Urban Biodiversity in Tropical Indonesian Cities. Landscape Ecol Eng (2011) 7:33-43. New York: Springer. Asis KTA. 2010. Mempertahankan Indonesia sebagai “Megabiodiversity Country” (Harian Ekonomi Neraca). (http://perpustakaan.bappenas.go.id) Balaguru B, Britto SJJ, Nagamurugan, Natarajan D, Soosairaj S. 2004. Identifyng Conservation of Tropical Forest in eastern Ghats of India. Forest Diversity and Management (2006) 2: 469-483. The Netherlands : Springer. BMKG. 2011. Data Iklim 2011 Stasiun Klimatologi Halim. Jakarta. BMKG Stasiun Klimatologi Halim Provinsi DKI Jakarta. BPLHD Provinsi DKI Jakarta. 2010. Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta 2010. Jakarta. BPLHD Provinsi DKI Jakarta. Bolund P, Hunhammar S. 1999. Ecosystem Services in Urban Areas. Ecological Economics 29 (1999) 293 – 301. Elsevier (http://www.sciencedirect.com). Carpenter PL, Walker TD, Lanphear FO. 1975. Plants in The Landscape. San Fransisco: W.H. Freeman and Company. 481 hal. Cassatella C, Peano A. 2011. Landscape Indicators, Assessing and Monitoring Landscape Quality. Newyork : Springer. 222 hal. Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (garden city) bernuansa Hutan Kota. Bogor : IPB Press. 226 hal. Daniel TW, Helms JA, Baker FS. 1995. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono, D, penerjemah; Soeseno OH, editor. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Principles of Silviculture. 651 hal. David FR. 2011. Manajemen Strategis Konsep Edisi ke-12. Terjemahan oleh Dono S. Strategic management, 12 th ed. Jakarta : Salemba Empat. 560 hal. Desianti A. 2011. Evaluasi Fungsi Ekologis Jalur Hijau Jalan kawasan Sentul City, Bogor [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [Tidak dipublikasikan]. 102 hal. Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2011. Informasi kehutanan : Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 96 hal. Gonard H, Romane F, Regina I, Leonardi S. 2004. Forest Management and Plant Species Diversity in Chestnut Stands of Three Mediterranean Areas. Forest Diversity and Management (2006) 2: 69-82. The Netherlands : Springer. Grey GW, Deneke FJ. 1981. Urban Forestry. John Wiley and Sons. New York. 279 hal. Hamilton A, Hamilton P. 2006. Plant Conservation. Earthscan. Gateshead, UK. 324 hal. Hartley MJ. 2002. Rationale and Methods for Conserving Biodiversity in Plantation Forest. Forest Ecology and Management 155 (2002) 81-95. Elsevier (http://www.sciencedirect.com).
83
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. 207 hal. Irwan DJ. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: Bumi Aksara. 196 hal. Jumarni N. 2004. Penilaian Kondisi Fisik Pohon Tepi Jalan di Lingkar Kebun Raya Bogor, Jawa Barat (Studi Kasus di Jl. Ir. H. Juanda, Jl. Jalak Harupat, Jl. Raya Pajajaran, dan Jl. Otto Iskandar Dinata) [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [Tidak dipublikasikan]. 69 hal. Khoiri S. 2004. Studi Tingkat Kerusakan Pohon di Hutan Kota Srengseng Jakarta Barat [skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. [Tidak dipublikasikan]. 50 hal. Konijnendijk C. 2008. The Forest and The City : The cultural landscape of urban woodland. Springer Science + Bussiness Media B.V. New York: Springer. 245 hal. Kuhn I, Barndl R, Klotz S. 2004. The Flora of German Cities is Naturally Species Rich. Evolutionary Ecology Research 6 (2004) 749 – 764. (http://www.ufz.de) Lamarque P, Quetier F, Lavorel S. 2011. The Diversity of the Ecosystem Services Concept and Its Implication for Their Assessment and Management. Biologies 334 (2011) 441 – 449. Elsevier (http://www.sciencedirect.com) LIPI. 2010. An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in the Bogor Botanic Gardens. LIPI, Jakarta. 320 hal. Luck G, Daily GC, Ehrlich PR. 2003. Population Diversity and Ecosystem Services. Trends in Ecology and Evolution 18 (2003) 331 – 336. Elsevier (http://www.sciencedirect.com) Lubis SH. 2013. Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor [Tidak dipublikasikan]. 60 hal. Margaret BM. 2006. Urban Landscape Conservation and the Role of Ecological Greenways at Local and Metropolitan Scales. Landscape and Urban Planning 76 (2006) 23 – 44. Elsevier (http://www.sciencedirect.com). Miardini A. 2006. Analisis Kesehatan Pohon di Kebun Raya Bogor [skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. [Tidak dipublikasikan]. 92 hal. Miller RW. 1988. Urban forestry : Planning and Managing Urban Green Spaces. Prentice Hall, Inc. New Jersey. 512 hal. Myers N. 1996. The Biodiversity Crisis and the Future of Evolution. Environmentalist 16 (1996). 37 – 47. Nasrullah N, Gandanegara S, Suharsono H. 2001. Seleksi Tanaman Lanskap yang Berpotensi Tinggi Menyerap Polutan Gas NO2 dengan Menggunakan Gas NO2 bertanda 15N. Buletin Taman dan Lanskap Indonesia Vol. 4 (1) 2001 : 1-5. Nasrullah N, Suryowati C, Budiarti T (2009). The Diversity of Trees in Roadside Greenbelts in Jakarta. Proceedings of the Green City International Symposium. Department of Landscape Architecture, IPB. (2009) 174 – 185. Nowak DJ. 1993. Historical Vegetation Change in Oakland and Its Implication for Urban Forest Management. Journal of Arboriculture 19 (5) 313 – 319.
84
Nowak DJ, Crane DE, Stevens JC, Hoehn RE, Walton JT, Bond J. 2008. A Ground-based Method of Assessing Urban Forest Structure and Ecosystem Services. Arboriculture and Urban Forestry 34 (6) 347 – 358. Nurnovita C. 2011. Evaluasi Fungsi Ekologis Pohon pada RTH Lanskap Permukiman Sentul City, Bogor (Studi kasus: Cluster Bukit Golf Hijau) [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [Tidak dipublikasikan]. 105 hal. Onrizal, Kusmana C, Saharjo BS, Handayani IP, Kato T. 2005. Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Kerangas Bekas Kebakaran di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. 2005. Biodiversitas. 6:263-265. Pham DU, Nakagoshi N. 2008. Application of Land Suitability Analysis and Landscape Ecology to Urban Green Spaces Planning in Hanoi, Vietnam. Urban Forestry and Urban Greening 7 (2008) 25 – 40. Elsevier (http://www.sciencedirect.com) Pirone PP. 1972. Tree Maintenance. Oxford University Press. New York. 545 hal. Rantung JL. 2006. Dampak Polusi Udara pada Pohon Angsana (Pterocarpus indicus Willd.). Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian UNSRAT Manado. Eugenia 12 (2) : 167 – 172. Renofalt BM. Jansson, R. Nilsson, C. 2005. Spatial Pattern of Plant Invasiveness in a Riparian Corridor. Landscape Ecology (2005) 20:165-176. New York: Springer. Rusdianto Y. 2008. Sistem Informasi Pohon pada Jalur Hijau Jalan di Kota Bogor [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [Tidak dipublikasikan]. 74 hal. Samsoedin I, Waryono T. 2010. Hutan Kota dan Keanekaragaman Jenis Pohon di Jabodetabek. Jakarta : Yayasan KEHATI. 270 hal. Sax DF, Gaines SD. 2003. Species Diversity : From Global Decreases to Local Increases. Trends in Ecology and Evolution 18 (2003). 561 – 566. Elsevier (http://www.sciencedirect.com). Sembel DT. 2010. Pengendalian Hayati Hama - hama Serangga Tropis dan Gulma. Yogyakarta : Penerbit Andi. 282 hal. Subarudi, Samsoedin I. 2010. Kajian Kebijakan Hutan Kota: Studi kasus di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Kehutanan. [Tidak dipublikasikan]. 10 hal. Subarudi, Samsoedin I, Waryono T. 2010. Kebijakan Pembangunan RTH dan Hutan Kota di wilayah JABODETABEK. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Kehutanan. [Tidak dipublikasikan]. 13 hal. Taqyudin J, Sirait L, Hakim A, Ramelan, Firdausy. 1997. Atlas Kampus Universitas Indonesia. FMIPA UI, Depok. 40 hal. Toni A. 2009. Struktur Komunitas Vegetasi dan Stratifikasi Tumbuhan di Hutan Kota Universitas Indonesia [Tesis]. FMIPA. Universitas Indonesia. Depok. [Tidak dipublikasikan]. 129 hal. Waryono, T. 2008. Konsepsi Dasar Perencanaan Pembangunan Mahkota Hijau Hutan Kota Universitas Indonesia. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008. 9 hlm. http://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/05/1mahkota-hijau.pdf.
85 Lampiran 1. Kuisioner SWOT Departemen Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor KUISIONER EVALUASI JENIS POHON BAGI KONSERVASI KERAGAMAN TANAMAN HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA Kepada responden yang terhormat, Dalam rangka penyelesaian tesis di Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, diperlukan dukungan Bapak/Ibu untuk mengisi kuisioner ini. Kuisioner ini merupakan hasil dari penentuan faktor-faktor SWOT yang diperoleh dalam focus group discussion (FGD) mengenai pembahasan PP 63 tahun 2002 tentang hutan kota kemudian hasilnya dimasukkan dalam input untuk mendapatkan faktor-faktor SWOT yang bertujuan untuk konservasi keragaman tanaman di hutan kota. Pada kuisioner ini Bapak/Ibu dimohon untuk memberikan nilai tingkat kepentingan pada setiap faktor-faktor yang ada. Pemberian nilai kepentingan pada tiap faktor tersebut dapat mempengaruhi dalam penentuan strategi dan pemecahan masalah hutan kota. Pengisian faktor-faktor merupakan pertimbangan yang bersinergi dengan seluruh aspek yang terkait. Oleh karena itu, diharapkan pengisian kuisioner ini berdasarkan pengalaman, penilaian yang dirasakan oleh responden terhadap elemen yang mendasari penyusunan strategi alternatif ini. Untuk itu saya sangat mengharapkan kesediaan waktu dan kejujuran Bapak/Ibu untuk mengisi kuisioner ini. Atas kesediaan Bapak/Ibu yang telah meluangkan waktunya dalam mengisi kuisioner ini, penyusun mengucapkan terimakasih.
Cindy Aliffia A451100091
86 Lampiran 1 (Lanjutan) Petunjuk pengisian kuisioner TUJUAN Mendapatkan penilaian para respoden terhadap tingkat kepentingan dari setiap faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi dalam penentuan strategi pengelolaan hutan kota untuk meningkatkan keanekaragaman jenis pohon. PETUNJUK UMUM 1. Pengisian kuisioner dilakukan secara tertulis oleh responden. 2. Jawaban merupakan pendapat pribadi dari masing-masing responden. 3. Dalam pengisian kuisioner, responden diharapkan melakukan secara langsung (tidak menunda) untuk menghindari inkonsistensi jawaban. 1.
PENENTUAN RATING (PERINGKAT)
PETUNJUK PENGISIAN 1. Alternatif pemberian rating terhadap faktor-faktor strategis internal dan eksternal yang tersedia untuk kuisioner ini adalah : Matriks IFE (Faktor-faktor internal) Berikan bobot 1 sampai 4 untuk masing-masing faktor untuk mengindikasikan apakah faktor tersebut menunjukkan kelemahan utama (peringkat = 1) atau kelemahan minor (peringkat = 2), kekuatan minor (peringkat = 3), atau kekuatan utama (peringkat = 4). Perhatikan bahwa kekuatan harus mendapatkan peringkat 3 atau 4 dan kelemahan harus mendapatkan peringkat 1 atau 2. Matriks EFE (Faktor-faktor eksternal) Berikan rating 1 sampai 4 untuk masing-masing faktor eksternal kunci tentang seberapa efektif strategi pengelolaan hutan kota saat ini dalam merespons faktor tersebut, di mana 4 = respon sangat baik, 3 = respon di atas rata-rata, 2 = respon rata-rata, dan 1 = respon buruk. Perhatikan bahwa ancaman dan peluang dapat diberi perangkat 1, 2, 3, atau 4. 2. Penetuan rating merupakan pendapat masing-masing responden terhadap kemampuan pengelolaan hutan kota dalam menghadapi faktor-faktor strategis internal dan eksternal hutan kota.
85 87 Lampiran 1 (Lanjutan) FAKTOR INTERNAL 1. Faktor Kekuatan Internal Kriteria 1
Tingkat Kepentingan 2 3
4
Hutan kota sebagai laboratorium alam di perkotaan. Hutan Kota berpotensi menjadi sumber pendapatan. Kelembagaan pengelolaan hutan kota. Dua dari tiga hutan kota berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi warga kota. Hutan kota memiliki keanekaragaman yang sedang yaitu Indeks keragaman Shannon wiener 1 < H’ < 3 dan jenis lokal yang masih mendominasi. 2. Faktor Kelemahan Internal Kriteria Belum optimalnya SDM untuk monitoring dan evaluasi. Kurangnya ketegasan aparat terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas hutan kota. Informasi yang kurang dari para pengelola mengenai jenis pohon lokal, cara budidaya dan fungsi pohon terhadap tipe hutan kota serta pengelolaannya. Sarana dan prasarana Hutan kota yang belum optimal sesuai dengan tipe hutan kota. Alih fungsi lahan menjadi fungsi penggunaan lain yang harusnya diperuntukkan untuk RTH.
1
Tingkat Kepentingan 2 3
4
86 88 Lampiran 1 (Lanjutan) FAKTOR EKSTERNAL 3. Faktor Peluang Eksternal
Kriteria
1
Tingkat Kepentingan 2 3
4
1
Tingkat Kepentingan 2 3
4
Dasar hukum PP 63 Tahun 2002 dan Kepmenhut RI 71 Tahun 2009. Jalinan kerjasama/kemitraan dengan sektor privat, BUMN/BUMS/BUMD maupun masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan hutan kota. Adanya kemauan pihak swasta untuk pembangunan lingkungan (CSR). Isu global warming dan aksi go green yang dapat mengurangi dampak lingkungan di Jakarta, salah satunya dengan cara pengembangan hutan kota.
4. Faktor Ancaman Eksternal Kriteria Aktivitas pengunjung yang merusak hutan kota (vandalisme). Pencemaran lingkungan di sekitar hutan kota. Tidak adanya insentif yang konkrit dan konsisten untuk pengelolaan hutan kota. Belum optimalnya political will pemerintah yang mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota.
89 85 Lampiran 2. Perhitungan Rating (Peringkat) Faktor Internal dan Eksternal Faktor Internal Simbol Faktor Strategis Internal Faktor Kekuatan (Strength) S1 Hutan kota sebagai laboratorium alam di perkotaan. S2 Hutan Kota berpotensi menjadi sumber pendapatan. S3 Kelembagaan pengelolaan hutan kota. S4
Dua dari tiga hutan kota berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi warga kota. S5 Hutan kota memiliki keanekaragaman yang sedang yaitu Indeks keanekaragaman Shannon wiener 1 < H’ < 3 Faktor Kelemahan (Weakness) W1 Belum optimalnya SDM untuk monitoring dan evaluasi. W2 Ketegasan aparat terhadap segala bentuk upaya penurunan kualitas W3 hutan kota. Informasi yang kurang dari para pengelola mengenai jenis pohon lokal, cara budidaya dan fungsi pohon W4 terhadap tipe hutan kota serta pengelolaannya. W5 Sarana dan prasarana Hutan kota yang belum optimal sesuai dengan tipe hutan kota. Alih fungsi lahan menjadi fungsi penggunaan lain yang harusnya diperuntukkan untuk RTH.
Tingkat Kepentingan
Rating
Kekuatan yang sangat besar Kekuatan yang besar Kekuatan yang sangat besar Kekuatan yang besar
4
Kekuatan yang sangat besar
4
Kelemahan yang sangat berarti Kelemahan yang sangat berarti Kelemahan yang sangat berarti
1
3 4 3
1 1
2 1
Kelemahan yang berarti Kelemahan yang sangat berarti
90 86 Lampiran 2 (Lanjutan) Faktor Eksternal Simbol Faktor Strategis Eksternal Faktor Peluang (Opportunity) O1 Dasar hukum PP 63 Tahun 2002 dan Kepmen 71. O2 Jalinan kerjasama/kemitraan dengan sektor privat, BUMN/BUMS/BUMD maupun masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan O3 hutan kota. Adanya kemauan pihak swasta untuk O4 pembangunan lingkungan (CSR). Isu global warming dan aksi go green yang dapat mengurangi dampak lingkungan di Jakarta, salah satunya dengan cara pengembangan hutan kota. Faktor Ancaman (Threats) T1 Aktivitas pengunjung yang merusak hutan kota (vandalisme). T2 Pencemaran lingkungan di sekitar T3 hutan kota. Tidak adanya insentif yang konkrit dan T4 konsisten untuk pengelolaan hutan kota. Belum optimalnya political will pemerintah yang mengikat terhadap pengembangan jenis pohon lokal di hutan kota.
Tingkat Kepentingan
Rating
Peluang yang sangat besar Peluang yang sangat besar
4
Peluang yang besar
3
4
4 Peluang yang sangat besar
Ancaman yang sangat besar Ancaman yang besar Ancaman yang sangat besar Ancaman yang sangat besar
4 3 4 4
85 91 Lampiran 3. Pembobotan faktor internal dan eksternal pada Tiga Hutan Kota DKI Jakarta Faktor Internal Simbol S1 S2 S1 S2 S3 S4 S5 W1 W2 W3 W4 W5
S3
S4
2 1
2 2 4
3 1 2 2 2 3 2 2 2 3
4 2 4 4 4 4 3 4
1 2 2 2 2 1 2
3 3 3 3 2 3
S5 W1 W2 W3 W4 W5 2 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 3 2 2 3 3 1 1 2 1 2 1 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 3 2 2 3 2 1 2 2 1 1 2 2 2 2 3 Jumlah
Total
Bobot
17 10 25 13 22 22 19 23 15 23 189
0,09 0,05 0,13 0,07 0,12 0,12 0,10 0,12 0,08 0,12 1,00
Faktor Eksternal Simbol O1 O2 O3 O4 T1 T2 T3 T4
O1 1 1 1 1 1 1 1
O2
O3
O4
T1
T2
T3
T4
3
3 2
3 3 2
3 2 1 1
3 3 3 2 3
3 2 2 2 3 3
3 3 2 2 3 2 2
2 1 2 1 2 1
2 3 3 2 2
3 2 2 2
1 1 1
1 2
2 Jumlah
Total Bobot 21 16 13 11 18 13 11 11 114
0,18 0,14 0,11 0,10 0,16 0,11 0,10 0,10 1,00
86 RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor pada tanggal 22 Mei 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Rudy Sunarja Rivai dan Ibu Vici Nila Wahyuni. Penulis memulai pendidikan di TK Teladan Nugraha 1 Bogor (1991 – 1993). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SD Negeri Polisi IV Bogor. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Bogor (1999 - 2002) dan menamatkan pendidikan di SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), kemudian diterima di Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian pada tingkat 2 dan lulus sebagai Sarjana Pertanian pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana S2 di jurusan Arsitektur Lanskap (2010 2013). Selama mengikuti pendidikan Pascasarjana di ARL – IPB, penulis menjadi asisten mata kuliah pascasarjana Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan (ARL 512) dan mata kuliah Ekologi Lanskap (ARL 620) pada semester genap tahun akademik 2011 – 2012. Kemudian pada semester ganjil tahun akademik 2012 – 2013 penulis menjadi asisten mata kuliah sarjana Pengelolaan Lanskap (ARL 412). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS., Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc dan Dr. Syartinilia, Sp. M.Si penulis dilibatkan dalam penelitian “Kajian Jenis Pohon Potensial untuk Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan“ dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementrian Kehutanan RI, Bogor. Penulis juga dilibatkan dalam penelitian “Landscape Ecology” kerjasama Fakultas Pertanian IPB – ETH Zurich – National University of Singapore. Pada tanggal 15 – 23 Maret 2013, penulis diikut sertakan dalam kegiatan Workshop dan Seminar “Designing the Ciliwung River and Urban Landscape Study of Kampung Melayu” di Jakarta dan Singapura. Tesis ini juga dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan dengan judul yang sama pada tahun 2013.