ANALISIS CADANGAN KARBON POHON PADA LANSKAP HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA
SOFYAN HADI LUBIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Sofyan Hadi Lubis NIM P052100171
RINGKASAN SOFYAN HADI LUBIS. Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan ISMAYADI SAMSOEDIN. Meningkatnya persoalan lingkungan, seperti polusi udara dan peningkatan suhu di DKI Jakarta menyebabkan keberadaan hutan kota sangat penting untuk dikembangkan. Hutan kota (pohon) memiliki peran penting karena berfungsi sebagai penyimpan karbon dan penyerap karbon paling efesien di perkotaan. Hutan kota di DKI Jakarta memiliki persoalan dalam pengembangannya, selain aspek teknis seperti pemilihan jenis vegetasi yang tepat bagi peruntukannya juga dipengaruhi oleh aspek kebijakan. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis cadangan karbon, serapan CO2 dan jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial, dan (2) menganalisis faktor kebijakan yang mendukung pengembangn hutan kota. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dengan fokus pada tiga hutan kota yaitu hutan kota UI (Jakarta Selatan), hutan kota Srengseng (Jakarta Barat) dan hutan kota PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (Jakarta Timur). Lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu berdasarkan keterwakilan fungsi utama jasa lanskap hutan kota. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling. Penentuan sampling plot dilakukan dengan metode purposive sampling. Bentuk plot yang digunakan adalah plot bujur sangkar dengan ukuran 20 m x 20 m. Penentuan biomassa pohon dilakukan dengan metode non-destructive sampling dan cadangan karbon pohon diperoleh dengan menggunkan rumus kandungan biomassa. Nilai serapan CO2 diketahui dengan menggunakan perbandingan masa molekul relatif CO2 yaitu 3.67 x cadangan karbon. Berat jenis kayu diperoleh dari database wood density of trees world agroforestry. Analisis cadangan karbon menggunakan pendekatan allometrik dan analisis faktor kebijakan pengembangan hutan kota dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP). Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 178.82 ton/ha, diikuti oleh Srengseng sebesar 24.04 ton/ha dan PT JIEP sebesar 23.64 ton/ha. Faktor yang mempengaruhi peningkatan cadangan karbon antara lain yaitu diameter batang, kerapatan pohon (density) dan umur pohon. Nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634.40 ton/ha, diikuti oleh Srengseng sebesar 88.15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86.76 ton/ha. Informasi ini menggambarkan bahwa selain sebagai konservasi keanekaragaman hayati, serapan air dan lanskap estetika, ternyata hutan kota juga memiliki potensi dalam mengurangi gas CO2 perkotaan. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar pada tiga hutan kota dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu Acacia crassicarpa A.Cunn. Ex. Benth, Acacia mangium Wild, Paraserianthes falcataria L, Leucana leucophala L, Bauhinia pulpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Wild, Erythrina crista-galli L dan Abrus precarorius. Prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota pada level faktor yaitu peningkatan kualitas hutan kota, level aktor yaitu pemerintah dan level alternatif yaitu evaluasi peraturan dan perluasan hutan kota. Kata kunci: AHP, allometrik, jenis pohon, kebijakan, serapan CO2
SUMMARY
SOFYAN HADI LUBIS. Tree Carbon Stock Analysis of Urban Forest Landscape in DKI Jakarta. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN and ISMAYADI SAMSOEDIN. In order to reduce enviromental problem, such as air polutions and increasing of air temperature in DKI Jakarta caused the presence of urban forest is very neccessary. Tree has an inportant role becouse its function as store carbon and most efficient carbon sinks in urban areas. Urban forest in DKI Jakarta has problems in development, beside technical aspects are also affected by the goverment policy. The objectives of research were (1) to analyze tree carbon stock, CO2 sequestration and tree species that have potential of carbon, and (2) to analyze policies that support the development of urban forest. The study was conducted at DKI Jakarta, which was focused on tree urban forests, i.e. University Indonesia (Jakarta Selatan), Srengseng (Jakarta Barat) and PT JIEP (Jakarta Timur). The research location was determined by using purposive sampling method, which is based on the representation of the main functions of the urban forest landscape services. Data was collected through survey method. The selection of respondents was conducted by purposive sampling. Sampling plots determination was done by purposive sampling method. Square plot with a size of 20 m x 20 m is used in this research. Determination of tree biomass is done by non-destructive sampling method and tree carbon stocks by using biomass content formula. CO2 uptake values was determined by using the comparative of relative molecular mass CO2 : 3.67 x carbon stocks. Wood density obtained from the database of wood density of trees world agroforestry. Carbon stock analysis was calculated by using allometric equation and urban policy analysis was executed by Analytical Hierarchy Process (AHP) approach. The largest tree carbon stocks were found on UI urban forest was 178.82 ton/ha, Srengseng was 24.04 ton/ha and PT JIEP was 23.64 ton/ha. The largest CO2 uptake generated from UI urban forest was 634.40 ton/ha, Srengseng was 88.15 ton/ha and PT JIEP was 86.76 ton/ha. Factors that affecting the enhancement of carbon stocks, i.e. stem diameter, tree density and the age of the trees. CO2 uptake value resulting from the biggest urban forest UI was 634.40 ton/ha, followed by Srengseng 88.15 ton/ha and PT JIEP 86.76 ton/ha. This information illustrates that in addition for conservation of biodiversity, water uptake and aesthetics landscape, urban forest also has the potential in reducing CO2. Tree of fabaceae family, i.e. Acacia crassicarpa A.Cunn.Ex.Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj Ex.Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L and Abrus precarorius are found that they have biggest contribution for tree carbon stocks in study sites. Policy priorities the supporting the development of urban forest in level factor are increasing of urban forests quality, level actor are government and level alternative are rules evaluation and urban forest expantion. Keywords: AHP, allometric, CO2 uptake, policy, tree species.
© Hak Cipta Milik IPB, 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebahagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS CADANGAN KARBON POHON PADA LANSKAP HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA
SOFYAN HADI LUBIS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Supriyanto
Judul Tesis Nama NIM Program Studi
: Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta : Sofyan Hadi Lubis : P052100171 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Ketua
Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Tanggal Ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Atas bimbingan, dukungan dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. Anggota komisi pembimbing. 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ketua program studi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. 3. Dr. Tarsoen Waryono (staf pengajar UI dan pakar hutan kota), Ir. Subarudi, M.Sc. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementrian Kehutanan, Bogor), M. Sukarsa, ST, M.Ec.Dev. (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta), Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si. (Balai Penelitian Benih Kehutanan, Bogor) dan Ir. Sugiarti, MSc. (Kebun Raya Bogor). 4. Dr. Ir. Supriyanto. Penguji luar komisi pada ujian tesis. 5. Ayah Maradingin Lubis, Ibu Ernawati, Nurhalimah, Rudi Agussalim, Fatimarani, Abdul Aziz dan sanak saudara. 6. Cindy Aliffia, Steve Mualim, Zulkifli Ak, Dedi Fernando, Mursalin, Amanda Widyarani dan Johan Rajagukguk. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam mendukung kebijakan pemerintah, khususnya DKI Jakarta untuk pengembangan hutan kota dan memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Bogor, April 2013 Sofyan Hadi Lubis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
i i i
I. PENDAHULUAN ................................................................................... Latar Belakang .................................................................................... Rumusan Masalah ............................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................... ........ Manfaat Penelitian .............................................................................. Kerangka Pemikiran ............................................................................
1 2 3 3 4
II. ANALISIS CADANGAN KARBON POHON HUTAN KOTA ......... Pendahuluan ........................................................................................ Bahan dan Metode .............................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... Penentuan Lokasi Penelitian .......................................................... Pengumpulan Data ......................................................................... Penentuan Sampling, Bentuk dan Jumlah Plot ............................... Pengukuran Biomassa Pohon ......................................................... Perhitungan Biomassa, Cadangan Karbon dan Serapan CO2 ........ Analisis Data .................................................................................. Hasil Penelitiaan ................................................................................. Analisis Situasional ........................................................................ Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota ............................................ Pembahasan ......................................................................................... Analisis Situasional ........................................................................ Analisis Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota ..............................
5 5 6 6 7 7 7 8 9 9 11 11 15 20 20 21
III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA ...... Pendahuluan ......................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................... Pengumpulan Data ......................................................................... Pemilihan Responden ..................................................................... Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Hutan Kota ........... Analisis Data .................................................................................. Hasil Penelitian .................................................................................... Hasil Pembobotan Faktor ............................................................... Hasil Pembobotan Aktor ................................................................ Hasil Pembobotan Alternatif .......................................................... Pembahasan ......................................................................................... Analisis Faktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan .................. Analisis Aktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan ................... Analisis Alternatf pada hirarki Pengambilan Keputusan ...............
23 23 24 24 24 24 26 31 31 31 32 32 32 33 33
IV. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
36
LAMPIRAN ...............................................................................................
38
DAFTAR TABEL 2.1. Persamaan allometrik .......................................................................... 2.2. Hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta ......... 2.3. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota UI .............................. 2.4. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota Srengseng .................. 2.5. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota PT JIEP ..................... 3.1. Skala nilai yang digunakan dalam perbandingan berpasangan ........... 3.2. Contoh pengisian matriks perbandingan .............................................
9 11 18 18 19 29 30
DAFTAR GAMBAR
1.1. Kerangka pikir penelitian .................................................................... 2.1. Peta lokasi hutan kota DKI Jakarta (a), hutan kota JIEP (b), hutan kota Srengseng (c) dan hutan kota UI (d) .................................................... 2.2. Metode penyebaran plot dengan purposive sampling .......................... 2.3. Bentuk plot sampling petak kuadrat..................................................... 2.4. Pengukuran diameter setinggi dada pada berbagai kondisi pohon ..... 2.5. Kondisi areal hutan kota UI ................................................................ 2.6. Kondisi areal hutan kota Srengseng .................................................... 2.7. Kondisi areal hutan kota PT JIEP ....................................................... 2.8. Potensi cadangan karbon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP ...... 2.9. Peningkatan cadangan karbon pohon berdasarkan kelas diameter ..... 2.10. Sumbangan cadangan karbon pohon berdasarkan kelas famili pada hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP ............................................ 2.11. Nilai serapan CO2 pohon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP .... 3.1. Abstraksi struktur hirarki AHP ........................................................... 3.2. Skema hirarki kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta ...... 3.3. Hasil pembobotan faktor ..................................................................... 3.4. Hasil pembobitan aktor ....................................................................... 3.5. Hasil pembobitan alternatif .................................................................
4 6 7 7 8 13 14 15 15 16 17 19 25 26 31 31 32
DAFTAR LAMPIRAN L.1. Kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP) ................................. L.2. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 ..........................................
38 45
i
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Provinsi DKI Jakarta secara geografis dan administratif terbagi menjadi enam wilayah yang meliputi: Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Kepulauan Seribu. Luas daratan DKI Jakarta yaitu 661.52 km2 dan lautan seluas 6.977.50 km2. Pada tahun 2010 penduduk DKI Jakarta mencapai 9.607.787 jiwa dan merupakan kota terpadat di Indonesia (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Provinsi DKI Jakarta sebagai kota terpadat, metropolitan dan sekaligus kota jasa memiliki arah kebijakan pembangunan yang lebih cenderung kepada peningkatan kapasitas pelayanan infrastruktur, transportasi, pengembangan good governance, dan penguatan sektor industri serta perbankan (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Sementara dalam hal perbaikan kualitas lingkungan hidup, masih jauh dari yang diharapkan sehingga menyebabkan persoalan pada lingkungan perkotaan, seperti peningkatan polusi, peningkatan suhu udara, permasalahan kesehatan, kenyamanan dan estetika. Meningkatnya permasalahan lingkungan hidup, menyebabkan keberadaan hutan kota di DKI Jakarta sangat penting. Hal ini dikarenakan fungsi dan jasa biologis pohon yang mampu melerai dan mengendalikan berbagai bentuk pencemaran lingkungan. Pohon berperan sangat penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon (C-stock), tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon (C-sequestration) yang paling efesien. Keberadaan pohon menjadi semakin penting ketika dunia dihadapkan pada persoalan perubahan iklim global (global climate change), yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup (enviromental degradation). Degradasi lingkungan kemudian diperburuk dengan meningkatnya populasi manusia akibat proses urbanisasi, dan industrialisasi serta tanah komersial yang menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan dan peningkatan pencemaran (Arifin and Nakagoshi 2011). Menurunnya daya dukung lingkungan dan peningkatan pencemaran perkotaan, ternyata mendapat perhatian oleh masyarakat dan pemerintah, khususnya DKI Jakarta. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan lingkungan ini seperti yang tertuang pada Agenda-21 dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010, yaitu melakukan pengembangan RTH dalam bentuk hutan kota (Samsoedin dan Waryono 2010). Kesadaran pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan pengembangan hutan kota didasari oleh pertimbangan hasil kajian fungsi dan jasa biologis pepohonan yaitu: (a) pohon dapat memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, (b) meresapkan air, (c) menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, (d) mendukung pelestarian keanekaragaman hayati dan (e) penelitian dan pendidikan (Samsoedin dan Waryono 2010). Selain pertimbangan tersebut, keberadaan hutan kota secara ideologi juga diamanahkan secara nasional dalam Undang - Undang Dasar 1945 dengan landasan konseptualnya termuat pada peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota. Dasar legalitas yang mendukung pembangunan hutan kota antara lain: UU No. 05 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, UU No. 05 1
Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, UU No. 04 Tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman, UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang, UU No. 06 Tahun 1994 tentang konvensi kerangka kerja PBB mengenai perubahan iklim, PP No. 69 Tahun 1996 tentang pelaksanaan hak, kewajiban, bentuk dan tata cara masyarakat dalam penataan ruang, PP No. 47 Tahun 1997 tentang rencana tata ruang wilayah nasional, UU No. 23 Tahun 1997 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, PP No. 20 Tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah, PP No. 34 Tahun 2002 tentang penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, PP No. 35 Tahun 2002 tentang dana reboisasi dan PP 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
1.2. Rumusan Masalah Meningkatnya pencemaran lingkungan perkotaan, seperti perubahan suhu merupakan fakta yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Tahun 1970-an rata - rata suhu udara DKI Jakarta tercatat berkisar antara 26oC - 28oC dan telah berubah menjadi 29.12oC – 31.26oC di tahun 2007 (Samsoedin dan Waryono 2010). Persoalan lingkungan kota DKI Jakarta diperburuk dengan meningkatnya populasi manusia akibat proses urbanisasi dan industrialisasi yang menyebabkan peningkatan polusi udara dan menurunnya daya dukung lingkungan. Samsoedin dan Waryono (2010) mengatakan bahwa tahun 2002 - 2007 pencemaran udara CO2 di DKI Jakarta meningkat dari 187.4 mg/m2 menjadi 300.0 mg/m2. Salah satu upaya untuk meredam persoalan lingkungan tersebut adalah melalui keberadaan dan pengembangan hutan kota. Hutan kota menjadi salah satu alternatif penting dalam mengatasi pencemaran lingkungan kota, karena pepohonan secara alami dapat menyerap gas CO2 yang disimpan dalam bentuk karbon (C) dan dikeluarkan dalam bentuk oksigen (O2). Selain itu, hutan kota juga berfungsi sebagai wahana kenservasi flora dana fauna. Pengembangan hutan kota menjadi isu penting seiring dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu pada pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota (20 persen publik dan 10 persen privat) dengan persentase luas hutan kota minimal 10 persen dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat, seperti jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota (PP No. 63 Tahun 2002). Namun demikian, permasalahan utama dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta, diantaranya yaitu: (a) aspek teknis, seperti konsepsi dasar pemilihan jenis pohon hutan kota yang sesuai dengan peruntukannya, dan (b) aspek kebijakan hutan kota, seperti dukungan peraturan, peningkatan kuantitas dan kualitas hutan kota, evaluasi dan monitoring, dan pemahaman tentang keberadaan hutan kota. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi dan menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam upaya mewujudkan cadangan karbon potensial sehingga diperoleh pengembangan hutan kota yang berkelanjutan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi fokus pertanyaan dalam penelitian ini yaitu: 2
1. Berapakah jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2 dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial. 2. Faktor kebijakan apakah yang mendukung pengembangan hutan kota sehingga diperoleh cadangan karbon pohon potensial.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang muncul di DKI Jakarta, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu: 1. Menganalisis cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2 dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial. 2. Menganalisis faktor kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini menghasilkan data dan informasi yang mendukung kebijakan pemerintah dalam pengembangan hutan kota, diantaranya: 1. Data dan informasi jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial, yang selanjutnya dapat disesuaikan dan dipilih untuk pengembangan hutan kota. 2. Informasi mengenai faktor, aktor dan alternatif/solusi kebijakan yang dapat menjadi faktor pendorong dalam pengembangan hutan kota.
1.5. Kerangka Pemikiran Pengembangan hutan kota semestinya diupayakan sesuai dengan kaidah PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, untuk itu perlu dilakukan analisis cadangan karbon pohon dan analisis faktor kebijakan pengembangan hutan kota. Analisis cadangan karbon pohon dilakukan melalui pendekatan allometrik dengan mengukur diameter batang dan tinggi pohon. Analisis faktor kebijakan dilakukan melalui pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan bantuan kuisioner dan Software Expert Choice 11. Analisis cadangan karbon pohon menghasilkan data jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial. Analisis faktor kebijakan menghasilkan informasi tentang faktor, aktor dan alternatif kebijakan pengembangan hutan kota. Melalui analisis ini dihasilkan rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam upaya mewujudkan cadangan karbon potensial sehingga diperoleh pengembangan hutan kota yang berkelanjutan (Gambar 1.1).
3
PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG BERKELANJUTAN
Hutan Kota DKI Jakarta PP No. 63 Tahun 2002
Analisis Cadangan Karbon Pohon Pengukuran diameter batang (≥ 10 cm) dan tinggi pohon
Analisis faktor kebijakan pengembangan hutan kota
Non-destructive Methods
Analitical Hierarchy Process Methods
Allometric equestion
Software Expert Choice 11
Data jumlah C-stock pohon, nilai serapan CO2, dan jenis pohon hutan kota yang memiliki C-stock potensial
Informasi faktor kebijakan pengembangan hutan kota
Rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota dalam upaya mewujudkan cadangan karbon pohon potensial
Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian
4
2. ANALISIS CADANGAN KARBON POHON HUTAN KOTA 2.1. PENDAHULUAN Polusi dan suhu udara merupakan salah satu persoalan lingkungan yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan bahwa jumlah pulusi udara dari sektor industri dan transportasi telah mencapai 170 juta ton emisi CO2, sementara untuk suhu udara telah mencapai 29.12 oC – 31.26 oC di tahun 2007. Persoalan kualitas udara ini menyebabkan keberadaan hutan kota sangat penting untuk dikembangkan. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanak hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang (PP No. 63 Tahun 2002). Hutan kota menjadi salah satu upaya penting dalam mengatasi pencemaran lingkungan karena berhubungan dengan jasa biologis pohon yang mampu melerai pencemaran lingkungan perkotaan. Hutan kota memiliki fungsi untuk menjaga iklim mikro perkotaan, memberikan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan lingkungan serta pelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu, pohon pada hutan kota juga memiliki fungsi sebagai penyimpan karbon melalui perolehan biomassa. Biomassa (standing crop) adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area tertentu (IPCC 2003). Biomassa juga didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown 1997). Biomassa pohon bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman. Pada proses pertumbuhannya, tanaman melakukan proses fotosintesis dengan menyerap CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat sederhana). Melalui proses metabolisme, senyawa karbohidrat tersebut dirubah menjadi lipid, asam nukleat, protein dan molekul organik lainya. Molekul organik tersebut dirubah menjadi daun, batang, akar, buah, jaringan dan sistem organ lainnya. White and Plashett (1981) menyebutkan bahwa biomassa bagian-bagian pohon didistribusikan sebesar 60 - 65 % pada bagian batang, 5 % pada bagian tajuk, 10 - 15 % pada bagian daun dan cabang, 5 - 10 % pada bagian tunggak dan 5 % pada bagian akar. Brown (1997) mengemukakan bahwa hampir 50 % biomassa pohon tersusun atas unsur karbon, dimana unsur tersebut dapat dilepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 apabila hutan dibakar atau ditebang habis. Menurut Hygreen and Bowyer (1993) satu potong kayu memiliki (49 % C), (06 % H), (44 % O) dan (0.1 % abu). Biomassa memiliki kaitan dengan cadangan karbon, yaitu dengan mengukur jumlah cadangan karbon pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di amosfer yang diserap oleh pohon (Rahayu et al. 2007). Berhubungan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin, dan menekan pelepasan emisi CO2 ke udara serendah mungkin. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis jumlah cadangan karbon pohon, nilai serapan CO2 dan jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial, sebagai upaya untuk mencari solusi dan menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota. 5
2.2. BAHAN DAN METODE
2.2.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah peta dasar hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP yang berfungsi untuk mengetahui sebaran plot sesuai dengan strata tegakan. Alat yang digunakan adalah phi band untuk mengukur diameter pohon, meteran panjang untuk mengukur plot sampling, klinometer untuk mengukuran tinggi pohon, GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi koordinat dan menyesuaikan ketepatan lokasi pengambilan sampel pohon sesuai dengan lokasi plot yang telah ditetapkan sebelumnya, tali rapia untuk membatasi plot, patok untuk penanda plot, kamera untuk mengambil gambar-gambar yang terkait dengan penelitian dan tally sheet untuk mencatat dan mengklasifikasi data yang telah diamati. 2.2.2. Metode 2.2.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi DKI Jakarta (Gambar 2.1). Hutan kota yang diamati terdiri dari tiga hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, yaitu: hutan kota Universitas Indonesia (UI) yang berada di wilayah Jakarta Selatan dengan luas 52.40 ha, hutan kota Srengseng yang berada di wilayah Jakarta Barat dengan luas 15.00 ha, dan hutan kota PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (PT JIEP) yang berada di Jakarta Timur dengan luas 8.90 ha. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yaitu Februari 2012 - Agustus 2012.
(b)
(c)
(a)
(d)
Sumber: Samsoedin dan Waryono, 2010 Gambar 2.1. Peta lokasi hutan kota DKI Jakarta (a), hutan kota PT JIEP (b), hutan kota Srengseng (c) dan hutan kota UI (d)
6
2.2.2.2. Penentuan Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu tiga hutan kota dipilih secara sengaja berdasarkan keterwakilan fungsi utama jasa lanskap hutan kota yaitu: (1) hutan kota sebagai konservasi keanekaragaman hayati maka dipilih hutan kota UI sebagai perwakilannya, (2) hutan kota sebagai estetika atau rekreasi maka dipilih hutan kota Srengseng sebagai perwakilannya, dan (3) hutan kota sebagai penyangga lingkungan industri maka dipilih hutan kota PT JIEP sebagai perwakilannya. Pemusatan pada tiga hutan kota juga didasarkan atas pertimbangan kelayakan waktu penelitian. 2.2.2.3. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan, wawancara dengan stakeholder hutan kota dan pengumpulan data dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian. 2.2.2.4. Penentuan Sampling, Bentuk dan Jumlah Plot Penentuan sampling plot menggunakan metode purposive sampling yang terlebih dahulu dilakukan pengamatan lapang (ground cheek) untuk melihat dan memastikan kesesuaian penempatan plot (Gambar 2.2). Intensitas sampling yang digunakan yaitu 1 % dan bentuk plot yang digunakan adalah bujur sangkar (Gambar 2.3). Bentuk plot bujur sangkar merupakan bentuk plot yang relatif sering digunakan dalam analisa vegetasi hutan di Indonesia. Jumlah plot yang dipergunakan sebanyak 43 plot dengan ukuran 20 m x 20 m (SNI 2011).
Plot sampling
Jalan
Gambar 2.2. Metode penyebaran plot dengan purposive sampling
20 m x 20 m 10 m x 10 m 5mx5m 2mx2m
Gambar 2.3. Bentuk plot sampling petak kuadrat 7
2.2.2.5. Pengukuran Biomassa Pohon Tahapan pengukuran biomassa pohon dilakukan yaitu (1) identifikasi nama jenis, (2) mengukur diameter batang setinggi dada atau pada ketinggian 1.3 meter dari atas permukaan tanah (Gambar 2.4), (3) mencatat data dbh dan nama jenis ke dalam tally sheet, dan (4) menghitung biomassa pohon (SNI 2011).
Pohon normal: DBH diukur 1.3 meter dari permukaan tanah
Pohon miring: DBH diukur 1.3 meter dari permukaan tanah terdekat atau searah kemiringan pohon
Pohon normal pada tanah miring: DBH diukur 1.3 meter dari permukaan tanah tertinggi
Pohon cacat: jika 1.3 meter tepat berada pada batang cacat (gembung), DBH diukur pada batas bagian yang mulai normal, diatas atau dibawah tergantung yang terdekat
Pohon cabang: jika 1.3 meter tepat berada pada awal percabangan, DBH diukur dibagian bawah cabang yang masih normal
Pohon berakar penunjang: DBH diukur 1.3 meter dari batas atas akar penunjang
Pohon cabang: jika 1.3 meter berada di atas cabang, ukur DBH di kedua cabang dan dianggap 2 batang
Pohon berbanir: DBH diukur 20 cm dari batas banir
Gambar 2.4. Pengukuran diameter setinggi dada pada berbagai kondisi pohon 8
2.2.2.5. Perhitungan Biomassa, Cadangan Karbon dan Serapan CO2 Penentuan biomassa pohon hutan kota dilakukan dengan metode sampling tanpa pemanenan (non-destruktive sampling, yaitu menggunakan persamaan allometrik berdasarkan spesies tanaman yang sudah ada (Kusmana et al. 1992). Persamaan allometrik merupakan suatu fungsi atau persamaan matematika, yang menunjukkan hubungan antara bagian tertentu dari mahluk hidup dengan bagian lain atau fungsi tertentu dari makhluk hidup tersebut. Persamaan ini digunakan untuk menduga parameter tertentu dengan menggunakan parameter lainnya yang lebih mudah diukur yaitu diameter dan tinggi (Hairiah et al. 2011). Menggunakan persamaan allometrik yang sudah ada memiliki kelebihan yaitu tidak melakukan pemanenan atau pengrusakan terhadap pohon, lebih efesien terhadap waktu dan biaya. Selain itu, metode ini sesuai dengan acuan pasal 26 ayat 2 PP No. 63 Tahun 2003 tentang larangan melakukan pengrusakan terhadap pohon hutan kota. Perhitungan cadangan karbon pohon hutan kota dilakukan dengan menggunakan rumus kandungan biomassa yang dikembangkan oleh IPCC (2006) yaitu Cb = B x % C organik. Nilai serapan CO2 diketahui dengan menggunakan perbandingan masa molekul relatif O2 (44) dan masa atom relatif C (12) yaitu 3.67 x cadaangan karbon. Nilai berat jenis kayu, diakses melalui database wood density of trees word agroforestry (http://www.worldagroforestry.org), FAO (http://www.fao.org) dan situs dunia tumbuhan (http://www.plantamor.com).
2.2.2.6. Analisis Data a. Analisis Potensi Biomassa Analisis pendugaan bimassa pohon hutan kota menggunakan persamaan allometrik berdasarkan spesies tanaman (Tabel 2.1). Jika persamaan allometrik berdasarkan spesies tidak tersedia, maka digunakan persamaan (Chave et al. 2005). Persamaan allometrik ini dipilih karena merupakan hasil pengembangan dari persamaan allometrik sebelumnya dan juga menyerupai curah hujan lokasi penelitian. Curah hujan merupakan salah satu komponen iklim yang sangat penting dalam pendugaan biomassa karena berkaitan dengan komposisi bahan organik. Meningkatnya curah hujan akan menyebabkan proses dekomposisi berlangsung cepat. Formulasi umum yang digunakan dalam pendugaan biomassa adalah sebagai berikut: Y = a. DBH b ........................................... (1) Keterangan: Y : Above ground biomass (kg) DBH : Diameter Breast High (1.3 meter) a : Koefisien Konversi b : Koefisien allometrik Tabel 2.1. Persamaan allometrik Jenis Tegakan Jati Mahoni
Persamaan allometrik Y = 0.153 D2.39 Y = 0.048 D2,68
Sumber Hairiah et al., (2011) Hairiah et al., (2011)
9
Lanjutan Tabel 2.1. Persamaan allometrik Jenis Tegakan Akasia Sengon Karet Puspa Pohon lain * Pohon lain ** Pohon lain ***
Persamaan allometrik Y = 0.0000478 D2.76 Y = 0.027 D2.23 Y = 419-16.9D + 0.322 D2 Y = 0.0000932.51 Y = 0.112 (π D2H)0.92 Y = 0.051 x π D2H Y = 0.0776 x (π D2H) 0.94
Sumber Hairiah et al., (2011) Hairiah et al., (2011) Hairiah et al., (2011) Krisnawati et al., (2012) Chave at al., (2005) Chave at al., (2005) Chave at al., (2005)
Keterangan: Y D H π
= Biomassa pohon (kg per pohon) = DBH (cm) = Tinggi pohon (m) = BJ kayu (g per cm3)
* Persamaan allometrik dengan curah hujan < 1.500 (kering) ** Persamaan allometrik dengan curah hujan 1.500 – 4.000 (lembab) *** Persamaan allometrik dengan curah hujan > 4.000 (basah)
b. Analisis Cadangan Karbon Analisis cadangan karbon pohon hutan kota menggunakan pendekatan kandungan biomassa yang dikembangkan oleh IPCC (2006). Formulasi umum yang digunakan adalah sebagai berikut: C = 0.5 x W ................................................. (2) Keterangan: C W 0.5
: Cadangan Karbon (tC) : Biomassa (kg) : Koefisien kadar karbon pada tumbuhan
c. Analisis Serapan CO2 Analisis serapan CO2 dihitung dengan menggunakan data carbon stock dengan formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut: EC = 3.67 x ΔCLC-D ..................................... (3) Keterangan: EC : Serapan CO2 (tCO2) 3.6 : Ratio atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (tCO2 e/ton C) ΔCLC-D : Carbon stock
10
2.3. HASIL PENELITIAN
2.3.1. Analisis Situasional Provinsi DKI Jakarta selain memiliki penduduk yang padat, juga memiliki persoalan-persoalan lingkungan seperti peningkatan polusi udara, sampah dan banjir. Maka dari itu, pemerintah sebagai aktor utama harus memiliki strategi atau apaya dalam mengatasi pencemaran lingkungan tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah yaitu melalui pengembangan hutan kota. Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (2011) menyatakan bahwa tahun 1991 - 2011 pemerintah DKI Jakarta telah memiliki 14 hutan kota seluas 149.18 ha yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. 14 hutan kota tersebut tersebar di lima wilayah administrasi yaitu: Jakarta Selatan seluas 57.04 ha, Jakarta Barat seluas 15.00 ha, Jakarta Pusat seluas 5.68 ha, Jakarta Utara seluas 12.28 ha, dan Jakarta Timur seluas 59.18 ha (Tabel 2.2). Tabel 2.2. Hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta No
Hutan Kota
Luas (ha)
SK Gubernur
Wilayah
1.
Universitas Indonesia
52.40
No. 3487/2004
Jakarta Selatan
2.
Blok P
1.64
No. 869/2004
Jakarta Selatan
3.
LPA Srengseng
15.00
No. 202/1996
Jakarta Barat
4.
Kemayoran
4.60
No. 339/2002
Jakarta Pusat
5.
Masjid Istiqlal
1.08
No. 182/2005
Jakarta Pusat
6.
Waduk Sunter Utara
8.20
No. 317/1999
Jakarta Utara
7.
Tepian Banjir Kanal Barat
2.49
No. 197/2005
Jakarta Utara
8.
Berikat Nusantara Marunda
1.59
No. 196/2005
Jakarta Utara
9.
PT. JIEP Pulo Gadung
8.90
No. 870/2004
Jakarta Timur
10.
Bumi Perkemahan Cibubur
27.32
No. 872/2004
Jakarta Timur
11.
Situ Rawa Dongkal
4.00
No. 207/2005
Jakarta Timur
12.
Komplek Kopassus Cijantung
1.75
No. 868/2004
Jakarta Timur
13.
Mabes TNI Cilangkap
14.43
No. 871/2004
Jakarta Timur
14.
Komplek Lanud Halim Perdana Kusuma
3.50
No. 338/2002
Jakarta Timur
Sumber: (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011) Hutan kota di wilayah Jakarta Selatan terdiri dari hutan kota UI seluas 52.50 ha dan Blok P seluas 1.64 ha. Hutan kota Blok P berdasarkan SK Gubernur No. 869 Tahun 2004 berfungsi sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan perkantoran dan konservasi keanekaragaman hayati. Wilayah Jakarta pusat hanya memiliki 2 hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu 11
hutan kota Kemayoran dan Masjid Istiqlal. Hutan kota Kemayoran memiliki luas 15.00 ha, dengan fungsi sebagai sebagai kawasan hijau penyangga perkotaan dan satwa liar perkotaan. Hutan kota Masjid Istiqlal memiliki luas 1.08 ha, dengan fungsi sebagai kawasan hijau penyangga bangunan fisik sarana ibadah dan pengendali lingkungan fisik perkotaan. Wilayah Jakarta Utara memiliki 3 hutan kota, diantaranya hutan kota Waduk Sunter Utara, Banjir Kanal Barat dan Berikat Nusantara Marunda. Hutan kota Waduk Sunter Utara memiliki luas 8.20 ha, dengan fungsi sebagai wahana penyangga perairan. Hutan kota Banjir Kanal Barat memiliki luas 2.49 dan hutan kota Berikat Nusantara Marunda sebesar 1.59 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan industri. Hutan kota di wilayah Jakarta Timur merupakan hutan kota yang paling banyak mendapatkan SK Gubernur DKI Jakarta. Wilayah ini memiliki 6 hutan kota yang terdiri dari hutan kota PT JIEP, Bumi Perkemahan Cibubur, Situ Rawa Dongkal, Komplek Kopassus Cijantung, Mabes TNI Cilangkap, dan Komplek Lanaud Halim Perdana Kusuma. Hutan kota PT JIEP memiliki luas 8.90 ha. Hutan kota Bumi Perkemahan Cibubur seluas 27.32 ha, dengan fungsi sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati. Hutan kota Situ Rawa Dongkal seluas 3.28 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga perairan dan sangtuari liar. Hutan kota Komplek Lanud Halim Perdana Kusuma seluas 3.60 ha, dengan fungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan kedirgantaraan dan plasma nuftah. Hutan kota yang menjadi fokus penelitian terdiri dari hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP. Hutan kota UI memiliki luas 55.40 ha yang ditetapkan berdasarkan SK Rektor UI No. 84/SK/12/1988, kemudian diperbaharui dengan SK Gubernur No. 3487 Tahun 1999. Hutan kota UI difungsikan sebagai kawasan resapan air, koleksi pelestarian plasma nutfah, penelitian dan rekreasi. Berdasarkan letak geografisnya hutan kota UI terletak pada 06020’45” LS dan 106049’15” BT, berada di wilayah Jakarta Selatan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Provinsi DKI Jakarta dan selebihnya masuk pada wilayah Depok, Provinsi Jawa Barat sebesar 34.6 ha. Hutan kota UI sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Jagakarsa, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Beji Timur Kota Depok dan sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pondok Cina. Konfigurasi fisik kawasan hutan kota UI merupakan hamparan landai dengan kisaran kemiringan lereng 3 - 8 % (76.40 ha), dan bergelombang ringan dengan kisaran lereng 8 - 25 % (13.60 ha), dengan ketinggian tempat 39 - 74 m dpl. Jenis tanah kawasan ini adalah latosol merah dengan tekstur halus, peka terhadap erosi dan memiliki kedalaman efektif 90 - 100 cm. Suhu rata-rata harian hutan kota UI sebesar 27 0C, kelembaban udara rata-rata tahunan 85 %, curah hujan rata-rata 2.478 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata tahunan 75 - 155 hari (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Berdasarkan pengamatan dilapangan, secara umum kondisi hutan kota UI tergolong baik. Hutan kota UI memiliki pepohonan yang kompak, rapat dan jenis pohon yang beranekaragam serta memiliki diameter batang yang cukup besar. Pada areal hutan kota UI juga terdapat danau yang berfungsi sebagai muara aliran air serta objek rekreasi bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar (Gambar 2.5).
12
(a)
(c)
(b)
(d)
Sumber foto: Dok. Lubis, 2012
Gambar 2.5. Kondisi areal hutan kota UI: pohon yang kompak dan rapat (a), spesies pohon beranekaragam (b), diameter batang besar (c) dan danau sebagai objek rekreasi (d) Hutan kota Srengseng memiliki luas 15.00 ha, dengan fungsi sebagai kawasan resapan air, pelestarian plasma nutfah dan wisata. Hutan kota ini terletak pada 06012’32” LS dan 106045’50” BT yang berada di wilayah kota Jakarta Barat, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kemangan, Provinsi DKI Jakarta. Konfigurasi fisik kawasan ini merupakan hamparan datar dengan kisaran kemiringan lereng 03 % (7.40 ha) dan landai 8 - 25 % (2.10 ha) pada ketinggian 27 - 34 m dpl. Jenis tanah kawasan merupakan bagian dari formasi alluvial, dengan sebahagian besar berupa liat dan debu, kedalaman efektif 90 - 100 cm dan bertekstur halus. Suhu rata-rata harian hutan kota ini yaitu 26.6 oC, kelembaban udara rata-rata tahunan 78-80 %, curah hujan rata-rata 1.865,5 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata tahunan yaitu 142 hari (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Secara umum kondisi hutan kota Srengseng tergolong cukup baik. Hutan kota Srengseng memiliki pohon yang kompak, rapat dan jenis pohon yang cukup beragam. Pada areal hutan kota Srengseng terdapat danau indah, taman bermain, sarana olahraga dan lain-lain. Namun, pada tapak lain, masih ditemukan sampah domestik pada areal hutan kota Srengseng (Gambar 2.6).
13
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber foto: Dok. Lubis, 2012
Gambar 2.6. Kondisi areal hutan kota Srengseng: pohon yang kompak dan rapat (a), danau sebagai objek rekreasi (b), taman bermain (c) dan sampah domestik (d). Hutan Kota PT JIEP memiliki luas 8.90 ha, dengan fungsi sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan industri. Hutan kota ini terletak pada 06012’24” LS dan 106054’55” BT yang berada di wilayah kota Jakarta Timur, Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung, Provinsi DKI Jakarta. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Rawa Sumur Barat, sebelah timur Jalan Pulo Buatan, sebelah utara Jalan Pulo Gadung dan sebelah selatan Jalan Pulo Agung. Konfigurasi fisik kawasan ini merupakan hamparan dataran rendah dengan kisaran kemiringan lereng 0 - 8 % hingga tapak yang telah direkayasa (galian atau timbunan), dengan ketinggian tempat 7.4 m dpl. Kawasan hutan kota PT JIEP merupakan bagian dari formasi alluvial yang tersusun atas kerikil, pasir dan lempung yang berwarna kelabu. Tanah pada kawasan ini sebahagian besar terbentuk dari bahan Pedosolik dan Tanah Glei. Tanah Pedosolik merupakan jenis tanah yang bersifat gembur, mempunyai perkembangan penampang, tidak begitu teguh, dan peka terhadap pengikisan, serta miskin unsur hara. Suhu rata-rata harian kawasan hutan kota PT JIEP yaitu 27.5oC dengan kelembaban udara ratarata tahunan yaitu 78.0 %. Curah hujan rata-rata 241.3 mm/tahun (Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta 2011). Secara umum kondisi hutan kota PT JIEP kurang baik. Pertumbuhan pohon kurang kompak dan jenis pohon kurang beragam. Pada areal hutan kota juga terdapat kegiatan pertanian sayur, penggalian lubang-lubang yang berfungsi sebagai pasokan air pertanian dan sampah domestik (Gambar 2.7).
14
(a)
(b)
(d)
(c) Sumber foto: Dok. Lubis, 2012
Gambar 2.7. Kondisi areal hutan kota PT JIEP: pertumbuhan pohon yang kurang baik (a), kegiatan pertanian sayur (b), penggalian lubang (c) dan sampah domestik (d) 2.3.2. Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota
ton/ha
Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI sebesar 178.82 ton/ha dengan perolehan biomassa sebesar 345.72 ton/ha, kemudian disusul oleh hutan kota Srengseng sebesar 24.04 ton/ha dengan biomassa sebesar 48.04 ton/ha, dan hutan kota PT JIEP sebesar 23.64 ton/ha dengan biomassa sebesar 47.29 ton/ha (Gambar 2.8). 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Biomassa C-stock pohon
Hutan Kota Universitas Indonesia
Hutan Kota Srengseng
Hutan Kota PT JIEP
Gambar 2.8. Potensi cadangan karbon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP 15
Cadangan karbon pohon pada tiga lokasi hutan kota mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan diameter batang. Peningkatan cadangan karbon hutan kota UI pada kelas diameter 10 – 19.0 cm sebesar 2.0 ton/ha, diameter 19.0 – 29.9 cm sebesar 5.2 ton/ha, diameter 30 – 39.9 cm sebesar 8.4 ton/ha dan ≥ 40 cm sebesar 150.1 ton/ha. Hutan kota Srengseng pada kelas diameter 10 – 19.0 cm sebesar 5.34 ton/ha, diameter 19.0 – 29.9 cm sebesar 8.60 ton/ha, tapi pada kelas diameter 30 – 39.9 cm mengalami penurunan sebesar 3.68 ton/ha dan naik kembali pada kelas diameter ≥ 40 cm sebesar 6.40 ton/ha. Hutan kota PT JIEP pada kelas diameter 10 – 19.0 cm sebesar 5.70 ton/ha, diameter 19.0 – 29.9 cm sebesar 6.20 ton/ha, tapi pada kelas diameter 30 – 39.9 cm mengalami penurunan sebesar 4.33 ton/ha dan naik kembali pada kelas diameter ≥ 40 cm sebesar 7.57 ton/ha (Gambar 2.9).
Cadangan Karbon (ton/ha)
25 155 150 20 145 15 HK UI 10
HK Srengseng HK PT JIEP
5 0 10 - 19,9
20 - 29,9
30 - 39,9
≥ 40
Kelas diameter batang
Gambar 2.9. Peningkatan cadangan karbon pohon berdasarkan kelas diameter Sumbangan cadangan karbon terbesar pada hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP dihasilkan dari pohon famili fabaceae, antara lain yaitu Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L. Sumbangan cadangan karbon juga terdapat pada famili Lamiaceae, Meliaceae, Lythraceae, Clusiaceae, dan Annonaceae. Pada famili lainnya yaitu Sterculiaceae, Malvaceae, Moraceae, Euphorbiaceae, Theaceae, Bombacaceae, Apocynaceae, Sapindaceae, Dipterocarpaceae, Muntingiaceae, Euphorbiaceae, Sapotaceae, Combretaceae, Colophyllaceae, Gnetaceae dan Burseraceae (Gambar 2.10).
16
C-stock (ton/ha)
25 165
150 20 15 135 10 10 5 0
C-stock (ton/ha)
Famili
10 8 6 4 2 0
C-stock (ton/ha)
Famili 12 10 8 6 4 2 0
Familli Gambar 2.10. Sumbangan cadangan karbon pohon berdasarkan famili pada hutan kota UI (atas), Srengseng (tengah) dan PT JIEP (bawah)
17
Tabel 2.3. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota UI No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Lokal Bungur Matoa Dungun Jati putih dadab Puspa Pacira Akasia daun kecil Akasia daun besar Meranti Nyamplung Nangka Ketapang Kapuk Jamuju Bintaro Sengon Karet Patai cina Mahoni daun kecil Kupu-kupu Kruwing
Nama Spesies Botani Lagerstroemia speciosa Auct Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster Heritiera littoralis Korth Gmelina arborea Roxb. Erythrina crista-galli L. Schima wallichii (Dc.) Korth Pachira aquatica Aubl. Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Acacia mangium Willd. Shorea selanica Blume Calophyllum Inaphyllum L. Artocarpus heterophyllus Lamk. Terminalia catappa L. Ceiba pentandra L Dacrycarpus imbricatus Cerbera manghas L Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Hevea brasiliensis Muell. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Bauhinia purpurea L. Dipterocarpus acutangulus Jumlah
Famili Lythraceae Sapindaceae Sterculiaceae Lamiaceae Fabaceae Theaceae Malvaceae Fabaceae Fabaceae Dipterocarpaceae Calophyllaceae Moraceae Combretaceae Bombacaceae podocarpaceae Apocynaceae Fabaceae Euphorbiaceae Fabaceae Meliaceae Fabaceae Dipterocarpacae
C-stock (ton/ha) 2,27 0,01 0,45 16,03 0,01 0,10 0,29 1,68 112,15 0,03 2,06 0,24 0,01 0,10 0,04 0,10 14,72 0,47 18,61 0,41 2,04 0,05 171,86
Tabel 2.4. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota Srengseng No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
18
Lokal Kirai payung Matoa Kersen Jati Putih Bintaro Ketapang Kapuk Kemiri Mahoni daun besar Saga Asam Kandis Patai Cina Mahoni daun kecil Sawo duren Dadap
Nama Spesies Botani Filicium decipiens (Wt. & Arn.) Thw. Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster Muntingia calabura L. Gmelina arborea Roxb. Cerbera manghas L Terminalia catappa L. Ceiba pentandra L Aleurites moluccana (L.) Willd. Swietenia macrophylla King. Abrus precatorius L. Pithecellobium dulce (Roxb.) Benth. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Manilkara kauki (Linn.) Dubard Erythrina crista-galli L.
Famili Sapindaceae Sapindaceae Muntingiaceae Lamiaceae Apocynaceae Combretaceae Bombacaceae Euphorbiaceae Meliaceae Fabaceae Clusiaceae Fabaceae Meliaceae Sapotaceae Fabaceae
C-stock (ton/ha) 0,08 0,10 0,65 4,98 0,33 0,14 1,09 0,29 2,78 0,11 2,37 1,30 2,46 0,15 0,27
Lanjutan Tabel 2.4. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota Srengseng No 16 17 18
Lokal Sengon Akasia daun besar Flamboyan
Nama Spesies Botani Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Acacia mangium Willd. Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf. Jumlah
Famili
C-stock (ton/ha)
Fabaceae Fabaceae Fabaceae
1,35 2,22 3,36 24,02
Tabel 2.5. Cadangan karbon pada jenis pohon hutan kota PT JIEP Lokal
Nama Spesies Botani
Famili
1
Tanjung
Mimusops elengi L.
Sapotaceae
0,99
2
Bungur
Lagerstroemia speciosa Auct
Lythraceae
3,02
3
Dadab
Erythrina crista-galli L.
Fabaceae
0,42
4
Mahoni daun kecil
Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Meliaceae
5,47
5
Glodongan tiang
Polyalthia longifolia Sonn.
Annonaceae
1,94
6
Saga
Abrus precatorius L.
Fabaceae
0,08
7
Melinjo
Gnetum gnemon L.
Gnetaceae
0,88
8
Angsana
Pterocarpus indicus Willd.
Fabaceae
5,13
9
Kenari
Canarium decumanum Gaerth.
Burseracea
0,50
10
Mahoni daun besar
Swietenia macrophylla King.
Meliaceae
0,85
11
Petai cina
Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit
Fabaceae
1,50
12
Akasia daun kecil
Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.
Fabaceae
2,85
No
C-stock (ton/ha)
Jumlah
23,64
Pohon hutan kota berperan penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon (C-stock), tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon CO2 yang paling efesien. Nilai serapan CO2 terbesar terdapat pada hutan kota UI sebesar 634.40 ton/ha, kemudian diikuti oleh Srengseng sebesar 88.15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86.76 ton/ha (Gambar 2.11). 250 650
ton/ha
600 200 150 100
C-stock pohon Serapan CO2
50 0 Hutan Kota Universitas Indonesia
Hutan Kota Srengseng
Hutan Kota PT JIEP
Gambar 2.11. Nilai serapan CO2 pohon hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP 19
2.4. PEMBAHASAN
2.4.1. Analisis Situasional Meningkatnya pencemaran lingkungan di DKI Jakarta, yang selanjutnya diperburuk dengan peningkatan populasi manusia akibat proses kotanisasi dan industrialisasi, menyebabkan keberadaan hutan kota sangat diperlukan. Hutan kota menjadi semakin penting seiring dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Provinsi DKI Jakarta memiliki 14 hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, dengan luas keseluruhan yaitu 149.18 ha. Jumlah hutan kota paling banyak tersebar di wilayah Jakarta Timur yaitu hutan kota PT JIEP, Bumi Perkemahan Cibubur, Situ Rawa Dongkal, Komplek Kopasssus Cijantung, Mabes TNI Cilangkap, dan Komplek Lanud Halim Perdana Kusuma. Hutan kota di wilayah Jakarta Timur sebahagian besar berada pada areal perkantoran dan industri serta beberapa hutan kota terdapat pada tanah hak. Fungsi hutan kota pada wilayah ini adalah sebagai kawasan hijau penyangga lingkungan perkantoran dan industri serta sebagai sangtuari liar (Dinas Kelautan dan Pertanian 2011). Proporsi hutan kota paling banyak juga berada pada wilayah Jakarta Utara yaitu hutan kota Waduk Sunter Utara, Tepian Banjir Kanal Barat dan Berikat Nusantara Marunda. Fungsi hutan kota pada wilayah ini secara umum adalah sebagai kawasan penyangga perairan dan lingkungan industri. Hutan kota juga terdapat di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Hutan kota di wilayah Jakarta Selatan terdiri dari hutan kota UI dan Blok P, yang secara umum berfungsi sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan penyangga bangunan fisik perkotaan. Sementara wilayah Jakarta Pusat terdiri dari hutan kota Kemayoran dan Masjid Istiqlal, yang secara umum berfungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan fisik perkotaan dan industri. Proporsi hutan kota paling sedikit berada di wilayah Jakarta Barat yaitu hutan kota Srengseng, yang berfungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan fisik perkotaan, resapan air dan wisata (Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2011). Jika dilihat dari penyebaran hutan kota di DKI Jakarta, masih terdapat beberapa hutan kota yang ditemukan pada tanah hak. Keberadaan hutan kota pada tanah hak ini salah satunya dikarenakan keterbatasan aset Pemda DKI Jakarta dalam hal penguasaan atas tanah. Harga tanah yang mahal sehingga membuat Pemda kesulitan untuk melakukan pengembangan hutan kota. Berkaitan dengan kondisi umum, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terdapat persoalan pemeliharaan hutan kota pada areal tanah hak ini, seperti pertumbuhan pohon yang kurang baik, pengrusakan terhadap pohon, sampah dan lain sebagainya. Jika mengacu pada pasal 19 PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, semestinya pemerintah dapat melakukan optimalisasi pengelolaan yang konsisten pada hutan kota. Optimalisasi pengelolaan dapat dilakukan dengan pemeliharaan hutan kota, seperti penyulaman pohon hutan kota, diversifikasi jenis pohon dan perbaikan kualitas tempat tumbuh. Pemerintah juga dapat melakukan perlindungan hutan kota, seperti perlindungan dari pengrusakan, kebakaran, hama dan penyakit. Pengembangan hutan kota pada tanah hak juga dapat dilakukan dengan pemberian insentif kepada pihak pemilik hak (swasta) berupa penghargaan, kemudahan sarana dan prasarana dan diskon pembayaran Pajak Bumi Bangunan 20
(PBB). Pemberian insentif ini bertujuan untuk memberikan semangat kepada pihak pemilik hak agar lebih optimal dan konsisten dalam menjaga hutan kota di areal usaha mereka. Pada lain pihak, melalui pemberian insentif ini maka akan semakin mempermudah Pemda dalam melakukan percepatan perluasan hutan kota seperti yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Hutan kota UI memiliki pohon yang kompak dan jenis pohon yang beranekaragam. Pada hutan kota ini juga terdapat diameter batang yang cukup besar sehingga memberikan kontribusi cadangan karbon yang tinggi yaitu 172.86 ton/ha. Tingginya cadangan karbon pada hutan kota UI dipengaruhi oleh diamter batang dan kondisi iklim yang mendukung bagi pertumbuhan pohon. Jumlah cadangan karbon pohon UI juga salah satunya dipengaruhi oleh umur pohon hutan kota yaitu 25 tahun. Sementara pada hutan kota Srengseng memiliki umur pohon 18 tahun dan PT JIEP 10 tahun. Perbedaan umur pohon ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cadangan karbon pohon (Hairiah et al. 2011). Hutan kota Srengseng memiliki pohon yang kompak dan jenis pohon yang cukup beragam, selain itu hutan kota Srengseng juga memiliki cadangan karbon sebesar 24.02 ton/ha. Berbeda dengan hutan kota PT JIEP yang memiliki pertumbuhan pohon yang kurang baik, jenis pohon kurang beranekaragam dan cadangan karbon pohon yang rendah yaitu 23.63 ton/ha. Faktor lain yang juga mempengaruhi cadangan karbon pohon adalah terkait dengan aspek pemeliharaan pohon hutan kota itu sendiri. Berdasarkan pengamatan pada tiga lokasi hutan kota, masih ditemukan masyarakat yang melakukan pengrusakan pada beberapa pohon hutan kota. Pengrusakan pohon tersebut akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan batang yang selanjutnya akan mempengaruhi peningkatan cadangan karbon pohon. Jika mengacu pada pasal 26 ayat 2 PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, sudah jelas terdapat larangan merambah atau merusak hutan kota. 2.4.2. Analisis Cadangan Karbon Pohon Hutan Kota Berdasarkan analisis potensi cadangan karbon pohon pada tiga lanskap hutan kota DKI Jakarta (hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP), maka diperoleh total cadangan karbon pohon sebesar 220.52 ton. Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 172.86 ton/ha dengan perolehan biomassa sebesar 345.72 ton/ha, kemudian disusul oleh hutan kota Srengseng yaitu 24.04 ton/ha dengan biomassa sebesar 48.04 ton/ha, dan hutan kota PT JIEP yaitu 23.64 ton/ha dengan biomassa sebesar 47.29 ton/ha. Nilai cadangan karbon pohon ini menunjukkan bahwa lanskap hutan kota selain memiliki fungsi sebagai konservasi keanekaragaman hayati, hidrologi dan estetika juga memiliki andil dan fungsi sebagai penyimpan karbon. Jika dilihat pada hutan kota UI terdapat jumlah cadangan karbon yang tinggi yaitu 172.86 ton/ha. Nilai cadangan karbon pohon sebesar ini sudah dapat dikategorikan sebagai hutan alam tropis, yang memiliki cadangan karbon berkisar antara 161 - 300 ton/ha (Murdiyarso et al. 1994). Berdasarkan analisis cadangan karbon pohon pada tiga lanskap hutan kota di DKI Jakarta maka diperoleh rata-rata cadangan karbon pohon sebesar 73.51 ton/ha. Namun jika dikonversi ke luas lahan hutan kota seluas 149.18 ha (14 hutan kota yang telah dikukuhkan oleh Gubernur Jakarta), maka akan menghasilkan cadangan karbon pohon yang lebih besar yaitu 10.892,52 ton. Nilai cadangan karbon semakin meningkat ketika target 10 % perluasan hutan kota yang 21
diamanatkan dalam PP No. 63 Tahun 2002 dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan hasil analisis CITY green yang menyatakan bahwa kapasitas cadangan karbon pohon berbanding lurus dengan persentase peningkatan luas lahan. Dwivedi (2009) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa setiap km2 hutan kota akan menghasilkan cadangan karbon 1.254.4 ton. Cadangan karbon pohon pada tiga lokasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan diameter batang pohon. Hal ini sesuai dengan Kusmana et al. (1992) yang mengatakan bahwa salah satu faktor penting yang menentukan besarnya cadangan karbon pohon adalah diameter batang. Rayahu et al. (2007) juga menjelaskan bahwa cadangan karbon pada komunitas hutan, salah satunya dipengaruhi oleh diameter batang. Namun demikian, jika dilihat berdasarkan kelas diameter pada hutan kota Srengseng dan PT JIEP terdapat perbedaan, yaitu terjadi penurunan cadangan karbon pohon pada kelas diameter 30 – 39.9 cm. Penurunan cadangan karbon pohon dikarenakan sedikitnya jumlah pohon atau kerapatan yang ditemukan pada kelas diameter batang tersebut. Hal ini sesuai dengan Rahayu et al. (2007) yang mengatakan bahwa selain diameter batang, kerapatan pohon juga mempengaruhi peningkatan cadangan karbon melalui peningkatan biomassa. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar pada hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, di antaranya yaitu Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L. Jenis pohon ini memiliki pertumbuhan diameter yang cukup cepat sehingga menyebabkan jumlah cadangan karbon pohon tinggi. Familli fabaceae juga merupakan jenis tumbuhan yang memiliki toleransi yang luas terhadap suhu, kelembaban, dan keadaan tanah serta kompetisi unsur hara sehingga sangat memungkinkan terjadi perkembangan yang baik serta memiliki diameter batang yang cukup besar (Nova et al. 2011). Biomassa memiliki hubungan dengan cadangan karbon, yaitu dengan mengukur jumlah cadangan karbon pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh pohon. Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka diperoleh nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634.40 ton/ha, kemudian diikuti oleh hutan kota Srengseng sebesar 88.15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86.76 ton/ha. Informasi ini menggambarkan bahwa hutan kota selain berfungsi sebagai konservasi keanekaragaman hayati, ternyata juga memiliki andil dan fungsi dalam mengurangi keberadan gas CO2 perkotaan. Pohon hutan kota berperan penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon, tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon CO2 yang paling efesien. Jumlah emisi CO2 yang semakin meningkat di DKI Jakarta saat sekarang ini harus diimbangi dengan jumlah penyerapannya sehingga dapat mengurangi efek rumah kaca atau pemanasan. Jenis pohon yang baik sebagai penyerap CO2 yang ditemukan pada hutan kota, antara lain yaitu Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, Abrus precatorius L, Swietenia macrophylla King, Gmelina arborea Roxb, Pithecellobium dulce Roxb, Mimusops elengi L, Schima wallichii Dc. Korth, Lagerstroemia speciosa Auct, Artocarpus heterophyllus L dan Pometia pinnata J.R. & J.G. Forster.
22
3. ANALISIS FAKTOR KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA
3.1. PENDAHULUAN DKI Jakarta merupakah provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu 9.607.787 jiwa (BPS Provinsi DKI Jakarta 2010). Besarnya penduduk di wilayah ini menyebabkan banyak terdapat pencemaran lingkungan, seperti peningkatan polusi dan peningkatan suhu udara. Jumlah polusi udara dari sektor transportasi dan industri di Jakarta pada tahun 2007 telah mencapai 170 juta ton emisi CO2 dan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas industri. Sementara untuk peningkatan suhu di tahun 2007 sudah mencapai 29.12 oC – 31.26oC. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan ini yaitu melalui keberadaan dan kelestarian hutan kota. Hutan kota menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi pencemaran lingkungan ini dikarenakan pepohonan secara alami dapat menyerap gas CO2 dari atmosfer yang disimpan dalam bentuk karbon dan dikeluarkan dalam bentuk oksigen. Manfaat hutan kota sebagai salah satu jasa lanskap perkotaan sebenarnya telah dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah sejak lama. Hal ini dapat dilihat ketika DKI Jakarta secara resmi melakukan penanaman pohon pada saat pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Dunia ke-7 pada tahun 1978. Penanaman pohon di atas lahan 5 ha pada lingkungan Gedung Wanabakti menjadi awal sejarah dicanangkannya hutan kota di seluruh Indonesia. Berawal dari kegiatan tersebut, maka bermunculan gerakan penanaman pohon di DKI Jakarta, diantaranya Gerakan Sejuta Pohon, Pembangunan Hutan Kota UI Depok, Hutan Kota Kemayoran, Hutan Kota Mabes ABRI Cilangkap dan Hutan Kota Bumi Perkemahan Cibubur (Samsoedin dan Waryono, 2010). Seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur kota di DKI Jakarta, maka ruang terbuka hijau (RTH) dan hutan kota sering menjadi korban. Pada tahun 1965, DKI Jakarta memiliki RTH lebih dari 35 % tetapi jumlah ini terus berkurang sampai dengan 9.3 % pada tahun 2003 dan diperkirakan akan menjadi 6.2 % pada tahun 2007 akibat komersialisasi ruang dan industrialisasi, padahal jika mengacu pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa proporsi RTH paling sedikit 30 % (20 % publik dan 10 % privat) dengan presentase luas hutan kota minimal 10 % dari luas wilayah perkotaan dan disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat, seperti jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota (PP No. 63 Tahun 2002). Melihat permasalahan ini, pemerintah DKI Jakarta mencoba melakukan upaya peningkatan jumlah RTH dan hutan kota seperti melakukan penutupan SPBU yang berlokasi di kawasan hijau, penertiban bangunan-bangunan liar di sempadan sungai dan membangun hutan kota skala kecil di berbagai wilayah. Akan tetapi masih terdapat persoalan-persoalan dalam pengembangan hutan kota diantaranya yaitu persepsi stakeholder yang berbeda-beda terhadap hutan kota, lahan negara yang semakin terbatas, mahalnya harga tanah, tidak adanya insentif bagi masyarakat yang menanam pohon pada lahan miliknya, sulitnya mencari sumber dana, penegakan hukum dan sanksi yang masih lemah, kuranya sosialisasi
23
dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi dan prioritas kebijakan yang dapat mendukung pengembangan hutan kota.
3.2. BAHAN DAN METODE
3.2.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kuisioner yang berfungsi sebagai panduan dan media input data ketika wawancara dengan responden, peta dasar hutan kota UI, peta dasar hutan kota Srengseng dan peta dasar hutan kota PT JIEP. Alat yang digunakan adalah Softwere Experrt Choice 11 untuk analisis input indepth interview dan Kamera untuk mengambil gambar-gambar yang terkait dengan penelitian. 3.2.2. Metode 3.2.2.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data diperoleh dari focus group discussion (FGD) tentang kebijakan hutan kota, wawancara dengan stakeholder hutan kota dan pengumpulan data dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian. 3.2.2.2. Pemilihan Responden Pemilihan responden AHP dilakukan dengan metode purposive sampling. Responden pada penelitian ini merupakan individu atau lembaga yang dianggap mengerti persoalan hutan kota, dan mempunyai kemampuan dalam memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan pengembangan hutan kota. Responden tersebut berasal dari Dinas Kelautan dan Pertanian Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI-Bogor, Balai Penelitian Benih Kehutanan-Bogor, Kebun Raya Bogor serta pihak pengelola hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP. 3.2.2.3. Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Hutan Kota Penentuan prioritas kebijakan pengembangan hutan kota dilakukan dengan metode Analitical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan metode atau alat yang dapat digunakan oleh seseorang pengambil keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem, membantu melakukan prediksi dan pengambilan keputusan (Saaty 1993). AHP juga merupakan metode yang memodelkan prioritas permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang sosial, kebijakan dan ilmu manajemen. Metode AHP memiliki kelebihan, yaitu sederhana dan tidak banyak asumsi dan juga cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat strategis dan makro. AHP memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi dan logis. Proses ini tergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah berdasarkan logika, instuisi, dan pengalaman untuk memberikan pertimbangan. 24
Teerdapat tiga prinsip dassar pada AH HP, yaitu (1) penyusunaan skema hirarki h yaitu mennggambarkaan dan mengguraikan masalah secaara hirarki ddengan mem mecah persoalan menjadi unsur-unsur u r yang terrpisah (Gam mbar 3.1),, (2) peneetapan prioritas, yaitu meneentukan perringkat elem men menurrut kepentinngannya daan (3) konsistenssi logis, yaitu menjamiin bahwa seemua elemeen – elemenn dikelompo okkan secara loggis dan dipeeringkatkan.. Tahapan teerpenting dalam d AHP adalah penilaian dengan teknik kompaarasi berpasangan (pairwise compparison) terrhadap elem men elemen pada p suatuu tingkatann hirarki (level). ( Penilaian dillakukan deengan memberikkan bobot numerik n daan memban ndingkan antara a satu elemen deengan elemen laainya. Tahhap selanjuttnya adalaah melakukkan sintesaa terhadap hasil penilaian untuk meenentukan elemen yaang memiliiki prioritaas tertinggii dan terendah. Cirri pemecahaan masalah dengan meenggunakann AHP adalaah digunakaannya hirarki unntuk mengurraikan sistem m yang kom mpleks mennjadi elemeen - elemen yang sederhanaa, yaitu: (11) hirarki harus mam mpu mengggambarkann sistem secara s menyeluruuh, (2) hiraarki harus mampu m meemperhitunggkan keputuusan, (3) hirarki h harus mam mpu mengiddentifikasi faktor yang g berhubunggan dengann keputusan n, dan (4) hirarkki harus maampu menggidentifikasii alternatif yang berhuubungan deengan keputusann. Keuntunggan digunakkannya hiraarki dalam pemecahann masalah yaitu: y (1) hirarki mewakili suatu sisteem yang daapat meneraangkan baggaimana prioritas pada levell yang lebihh tinggi dappat dipengaaruhi prioritas pada level dibawaahnya, (2) hirarkii memberikkan informaasi rinci meengenai struuktur dan fuungsi dari sistem pada levell yang lebih rendah dan d memberrikan gambbaran pada level yang lebih tinggi, (3)) sistem akkan menjadii lebih efisiien jika dissusun dalam m bentuk hirarki h dibandinggkan dalam m bentuk laain, dan (4 4) bersifat stabil dann fleksibel yaitu penambahhan elemen pada strukktur yang teelah tersusuun tidak akkan menggaanggu elemen laiin (Saaty 19993).
Gambar 3.1. Abstraksi struktur hiraarki AHP
25
3.2.2.4. Analisis Data
a. Penyusunan Hirarki Analisis kebijakan pengembangan hutan kota dilakukan dengan metode AHP melalui bantuan kuisioner dan Software Expert Choise 11. Tujuannya adalah menentukan prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota. Landasan utama pengisian kuisioner adalah struktur hirarki dengan komponen yang telah disusun berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota (Gambar 3.2). KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG MENDUKUNG POTENSI CADANGAN KARBON
Dukungan Peraturan (0,35)
Pemerintah (0,61)
Evaluasi Peraturan (0,25)
Perluasan Hutan Kota (0,20)
Pemilihan Jenis Pohon (0,10)
Sasaran
Peningkatan Kualitas Hutan Kota (0,49)
Evaluasi dan Kontrol (0,16)
Masyarakat (0,23)
Swasta (0,16)
Dukungan Dana (0,13)
Sanksi (0,04)
Faktor
Aktor
Insentif (0,19)
Sosialisasi (0,11)
Alternatif
Gambar 3.2. Skema hirarki kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka faktor yang dianggap mempengaruhi pengembangan hutan kota yaitu: (1). Dukungan Peraturan Dukungan peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dukungan peraturan perundangan tertulis (aspek legal) tentang hutan kota atau yang terkait baik langsung maupun tidak langsung, yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Hirarkinya yaitu: UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Selain itu, dukungan peraturan ini juga dapat diartikan sebagai panduan teknis penyelenggaraan hutan kota yang menyertakan andil cadangan karbon didalamnya, sehingga diperoleh fungsi hutan kota yang optimal. 26
Fungsi peraturan hutan kota ini adalah untuk mengatur substansi hutan kota, sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam pengembangan hutan kota. Artinya peraturan hutan kota adalah sebagai instrumen kebijakan dalam bentuk apapun, baik penetapan, pengesahan, pencabutan dan perubahan. Peraturan ini semakin penting dalam penerapannya karena setiap tindakan harus didasari pada asas legalitas hutan kota itu sendiri. Hal ini berarti ketika stakeholder ingin melakukan tindakan terhadap hutan kota maka harus sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan. (2). Peningkatan Kualitas Hutan Kota Peningkatan kualitas hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah optimalisasi mutu dan kesesuaian hutan kota dengan peraturan dan pedoman. Peningkatan kualitas hutan kota juga dapat diartikan sebagai suatu sistem verifikasi dan perawatan hutan kota dari suatu tingkat kualitas antara lain, yaitu: (a) penyusunan pengelolaan hutan kota (tujuan, program-program, kelembagaan dan dukungan dana), (b) pemeliharaan hutan kota (optimalisasi fungsi dan manfaat, deversifikasi jenis pohon, dan kualitas tempat tumbuh), (c) perlindungan hutan kota (perlindungan dari pengrusakan, kebakaran dan hama penyakit), (d) serta pemanfaatan hutan kota (pemanfaatan untuk wisata, rekreasi, olahraga, pendidikan, konservasi keanekaragaman flora dan fauna, penelitian, potensi cadangan karbon dan serapan CO2). (3). Evaluasi dan Monitoring Hutan Kota Evaluasi dan monitoring hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan korektif dan pengawasan terhadap pengelolaan, pemeliharaan, perlindungan, dan pemanfaatan hutan kota ke arah pengembangan ekonomi. Evaluasi dan monitoring berfungsi untuk menilai kekurangan dan kekuatan hutan kota sebagai salah satu upaya dalam mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga diperoleh kebijakan yang terbaik dalam pengembangan hutan kota. Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka aktor yang dianggap terlibat dalam pengembangan hutan kota yaitu: (1). Pemerintah Pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah organisasi atau lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah yang menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerintah adalah pihak yang memiliki kewenangan dan berperan penting dalam menentukan kebijakan pengembangan hutan kota. Pemerintah harus bisa menengahi berbagai kepentingan stakeholder sehingga tidak terjadi konflik dalam pengembangan hutan kota. (2). Masyarakat Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu atau sekelompok manusia yang memiliki kepedulian atau kepentingan terhadap keberadaan dan pengembangan hutan kota. Masyarakat merupakan pihak penting
27
dalam pengembangan hutan kota, karena selain sebagai penikmat jasa hutan kota, masyarakat juga bisa menjadi mitra pemerintah dalam optimalisasi perluasan lahan dan monitoring terhadap pengelolaan hutan kota. (3). Swasta Swasta yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pihak yang berasal dari lembaga non pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan hutan kota. Pihak swasta menjadi salah satu aktor dalam pengembangan hutan kota, dikarenakan pihak swasta juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga kualitas lingkungan hidup dan sekaligus penunjang dalam pencapaian target hutan kota yang diamanatkan pada PP No. 63 Tahun 2002. Pihak swasta bisa juga berperan sebagai salah satu sumber dana dalam pengembangan hutan kota. Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka alternatif yang dianggap mempengaruhi pengembangan hutan kota yaitu: (1). Evaluasi Peraturan Evaluasi peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah melakukan penyesuaian atau telaah terhadap kebijakan yang dianggap kurang sesuai dengan pemahaman stakeholder dan konsep hutan kota itu sendiri. Evaluasi peraturan ini juga mengupayakan lahirnya peraturan daerah tentang hutan kota yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan hutan kota. (2). Peluasan Hutan Kota Peningkatan kualitas hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah optimalisasi peningkatan ratio hutan kota oleh pemerintah DKI Jakarta yang belum capai target 10 persen dari RTH yang ditetapkan sesuai dengan amanat PP No. 63 Tahun 2002. (3). Pemilihan Jenis Pohon Pemilihan jenis pohon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengupayakan pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan tipe atau fungsi hutan kota. Jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial dapat diupayakan sebagai salah satu nilai tambah dalam fungsi hutan kota yang tertuang pada pasal 3 PP No. 63 Tahun 2002, sehingga fungsi hutan kota sebagai sebuah ekosistem akan lebih optimal. (4). Dukungan Dana Dukungan dana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemudahan dana untuk melakukan pengembangan hutan kota. Dukungan dana untuk masyarakat lebih kepada dukungan teknis (tunjangan sarana dan prasarana). Dana berfungsi untuk mempermudah proses pelaksanaan pengembangan hutan kota.
28
(5). Insentif Insentif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian kompensasi kepada pihak masyarakat dan swasta yang bersedia melakukan kegiatan pengembangan hutan kota di tanah hak atau lahan mereka. Insentif tidak hanya berupa uang tapi juga bisa dalam bentuk penghargaan, kemudahan usaha bagi swasta, penurunan pajak dan menjalin mitra kerja. (6). Sanksi Sanksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hukuman kepada perusak hutan kota dan pemda yang tidak dapat mencapai target pengembangan hutan kota. Hukuman bertujuan sebagai koreksi, menakuti, mendidik serta menanggulangi kerusakan terhadap hutan kota. (7). Sosialisasi Sosialisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah proses transfer kebiasaan oleh pemerintah atau pakar hutan kota. Fungsi sosialisasi hutan kota adalah agar masyarakat memiliki pemahaman dan persepsi yang baik tentang hutan kota. Melalui sosialisasi, pemerintah juga dapat melakukan kerjasama dalam pengembangan hutan kota. Sosialisasi hutan kota, tidak sekedar memberikan informasi tapi juga berupaya melakukan penyuluhan dan pembinaan yang meliputi pemberian bimbingan, pelatihan dan supervisi.
b. Pengisian Matriks Perbandingan Matriks perbandingan adalah matriks yang menggambarkan perbandingan kepentingan relatif antara satu elemen dengan elemen lainya pada level yang sama maupun terhadap level di atasnya. Pengisian matriks perbandingan dilakukan berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota, dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan tersebut, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala nilai proses AHP (Tabel 3.1 – 3.2). Tabel 3.1. Skala nilai yang digunakan dalam perbandingan berpasangan Nilai Perbandingan (A dibandingkan dengan B)
Definisi
1
A sama penting dengan B
3
A sedikit lebih penting dari B
1
/3
Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A)
5
A jelas lebih penting dari B
1
/5
Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A)
7
A sangat jelas lebih penting daripada B
9
A mutlak lebih penting daripada B
1
/9
2, 4, 6, 8 atau ½, ¼, 1/6, 1/8
Kebalikannya (B mutlak lebih penting daripada A) Diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan patokan di atas (apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan)
29
Tabel 3.2. Contoh pengisian matriks perbandingan Elemen B
Elemen A Pemerintah Pemerintah
1
Masyarakat
Masyarakat
Swasta
(a)
...3 ...
....4(b)..
1
....3......
Swasta
1
Keterangan: Nilai pada (a) : elemen pemerintah sedikit lebih penting dari masyarakat Nilai pada (b) : apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan, yaitu antara elemen pemerintah dengan swasta catatan
: konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan
Sebelum dilakukan pengisian pada matrik perbandingan maka terlebih dahulu pakar melakukan pengurutan prioritas kepentingan terhadap setiap elemenelemen aktor yaitu sebagai berikut: 1. Pemerintah 2. Masyarakat 3. Swasta
c. Menghitung Bobot Prioritas Setelah semua nilai perbandingan dimasukkan ke dalam struktur hirarki, maka selanjutkan diproses pada Software Expert Choice 11 sehingga dihasilkan bobot prioritas yang berurutan.
d. Menghitung Tingkat Konsistensi Konsistensi suatu matriks perbandingan diukur dengan rumus indek ⁄ konsistensi (CI ά ), CI yaitu indeks konsistensi, άmax yaitu akar ciri maksimum dan n yaitu ukuran matriks. Nilai indeks konsistensi selanjutnya diuji dengan cara membandingkan indeks konsistensi (CI) terhadap indeks random (RI). Hasil perbandingan indeks konsistensi dengan indeks random disebut rasio konsistensi (Consistency Ratio, CR), dengan rumus CR = CI/RI. Jika CR ≤ 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan sudah konsisten, tetapi jika CR > 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan tidak konsisten dan harus segera dilakukan penyesuaian dalam pengisian matriks perbandingan.
30
3.3. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil AHP maka diperoleh nilai skala bobot atas level faktor, aktor dan alternatif dalam rangka pengambilan keputusan pengembangan hutan kota. Nilai bobot tertinggi untuk elemen faktor terdapat pada peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0.49, kemudian diikuti dengan dukungan peraturan sebesar 0.35 dan evaluasi dan kontrol hutan kota sebesar 0.16. Selanjutnya untuk elemen aktor terdapat pada pemerintah sebesar 0.61, kemudian diikuti dengan masyarakat sebesar 0.23 dan swasta sebesar 0.16. Selanjutnya untuk elemen alternatif, nilai bobot tertinggi terdapat pada evaluasi peraturan sebesar 0.25, kemudian di ikuti dengan perluasan hutan kota sebesar 0.20, insentif bagi masyarakat/swasta sebesar 0.19, dukungan dana sebesar 0.13, sosialisasi sebesar 0.11, pemilihan jenis pohon sebesar 0.10 dan sanksi sebesar 0.04 (Gambar 3.3 – 3.5).
Faktor
Evaluasi dan Kontrol Hutan Kota
0.16
Peningkatan Kuantitas Hutan Kota
0.49
Dukungan Peraturan
0.35 0.00
0.20
0.40
0.60
Bobot
Gambar 3.3. Hasil pembobotan faktor
Aktor
Swasta
0.16
masyarakat
0.23
Pemerintah
0.61 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
Bobot
Gambar 3.4. Hasil pembobotan aktor
31
Sosialisasi
0.11
Alternatif
Insentif bagi Swasta dan Masyarakat Sanksi
0.19 0.04
Dukungan Dana
0.13
Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock
0.10
Perluasan Hutan Kota
0.20
Evaluasi Peraturan
0.25 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 Bobot
Gambar 3.5. Hasil pembobotan alternatif
3.4. PEMBAHASAN
3.4.1. Analisis Faktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan Berdasarkan analisis AHP terhadap kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta, maka diperoleh hasil pembobotan pada masing-masing level hirarki. Pada level faktor ditemukan bobot tertinggi adalah peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0.49 (Gambar 3.2). Keputusan ini menjadi prioritas karena belum optimalnya kualitas dan kesesuaian hutan kota dengan kebijakan yang telah ada. Hal ini dapat dilihat dari kurang optimalnya pengelolaan hutan kota, seperti program-program pengelolaan, dukungan dana dan kelembagaan; pemeliharaan hutan kota seperti optimalisasi fungsi hutan kota, pemilihan jenis dan kualitas tempat tumbuh; perlindungan dan pengamanan hutan kota seperti pengrusakan, membuang sampah, kebakaran dan hama penyakit; serta minimnya pemanfaatan hutan kota kearah pengembangan ekonomi seperti pariwisata dan rekreasi. Terkait dengan pemeliharaan hutan kota, berdasarkan pengamatan lapang masih ditemukan masyarakat yang membuang sampah domestik ke areal hutan kota, seperti pada hutan kota Srengseng dan PT JIEP. Selain itu, ditemukan juga pengrusakan pada beberapa pohon hutan kota. Jika mengacu pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, pada pasal 26 ayat 4 sudah jelas tertuang larangan membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan kota dan larangan merambah, menebang dan memotong hutan kota. Pasal ini kemudian dipertegas dengan pasal 37 tentang sanksi terhadap pengrusak hutan kota. Namun demikian, peraturan ini belum optimal dilaksanakan oleh masyarakat dan adanya ketidaktegasan dari aparat terkait. Selain faktor kurangnya pedulian masyarakat terhadap hutan kota, juga disebabkan kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap fungsi dan manfaat hutan kota bagi masyarakat. Belum adanya Peraturan Daerah tentang hutan kota juga merupakan salah satu kendala dalam optimalisasi peningkatan kualitas hutan kota di DKI Jakarta. 32
Hal ini menyebabkan kepincangan dalam PP No. 63 Tahun 2002 terutama dalam aspek teknis pengelolaan hutan kota di lapangan, karena banyak aturan-aturan yang disebutkan pada PP No. 63 Tahun 2002 lebih lanjut diatur pada Perda. 3.4.2. Analisis Aktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan Level aktor, bobot tertinggi adalah pemerintah sebesar 0.61 (Gambar 3.3). Keputusan ini menjadi prioritas karena pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling berperan dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta. Hal ini sesuai dengan pasal 10 ayat 3 pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, bahwa pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan semestinya dapat melaksanakan pengembangan hutan kota baik melalui optimalisasi kebijakan peraturan, peningkatan kuantitas dan kualitas, maupun evaluasi dan monitoring kebijakan hutan kota. Kewenangan pemerintah sebenarnya semakin kuat karena pada dasarnya rencana pengembangan hutan kota telah tertuang dalam pasal 12 ayat 2 PP. No 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang menyebutkan bahwa pembangunan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya telah mencadangkan 13.94 persen wilayahnya untuk dijadikan kawasan RTH sebagaimana tercantum dalam RTRW DKI Jakarta 2000 - 2010, namun pada tahun 2003 luas RTH DKI Jakarta ternyata menjadi 9.12 persen dan semakin berkurang menjadi 6.2 persen pada tahun 2007 (Daroyni 2010). Dalam hal optimalisasi peraturan, pemerintah DKI Jakarta semestinya membuat Perda tentang hutan kota dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas serta evaluasi dan monitoring hutan kota. Jika memungkinkan, perlu juga dilakukan evaluasi PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota. Perda hutan kota ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman atau arahan, seperti pengelolaan, aspek legal, kerjasama, insenstif, pemilihan jenis dan sanksi. 3.4.3. Analisis Alternatif pada Hirarki Pengambilan Keputusan Berdasarkan analisis AHP dengan menggunakan bantuan Softwere Expert Choice 11, maka diperoleh alternatif pengembangan hutan dengan bobot tertinggi yaitu evaluasi peraturan sebesar 0.25, perluasan hutan kota sebesar 0.20, insentif bagi masyarakat dan swasta sebesar 0.19, dukungan dana sebesar 0.13, sosialisasi sebesar 0.11, pemilihan jenis pohon sebesar 0.10 dan penerapan sanksi 0.04 (Gambar 3.4). Alternatif dengan prioritas tertinggi adalah evaluasi peraturan sebesar 0.25. Keputusan ini menjadi prioritas untuk dilakukan karena terdapat beberapa bagian pada peraturan perundangan (PP No. 63 Tahun 2002) yang masih kurang sesuai dengan konsep hutan kota dan pemahaman stakeholder, sedangkan untuk melakukan pengembangan hutan kota sangat dibutuhkan aturan main yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan DKI Jakarta. Beberapa bagian dalam PP No. 63 Tahun 2002 yang kurang sesuai dengan pemahaman stakeholder seperti pada pasal 1 tentang definisi hutan kota, pasal 3 tentang fungsi hutan kota, pasal 8 ayat 3 tentang persentase luas minimum hutan kota. Hutan kota menurut PP No. 63 Tahun 2002 adalah suatu suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai
33
hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Stakeholder memahami definisi hutan kota ini terlalu kaku jika dilihat dari kondisi lanskap perkotaan saat ini, khususnya DKI Jakarta. Ketetapan seperti ini dikhawatirkan melemahkan semangat pengembangan hutan kota itu sendiri, karena konsekuensinya tanpa pohon yang kompak dan rapat serta penetapan dari pejabat yang berwenang maka lahan yang berpepohonan belum dapat dikategorikan sebagai hutan kota, walaupun secara fisik sudah memenuhi kriteria hutan kota (Subarudi et al. 2010). Pada hal lain, terkait aspek legal (status hukum), masih banyak areal atau lahan yang sudah dibebaskan untuk hutan kota di DKI Jakarta oleh pelaksana hutan kota (Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta), namun belum mendapatkan status hukum atau pengukuhan melalui SK Gubernur, padahal jika mengacu pada pasal 5 ayat 3 PP No. 63 Tahun 2002 menyebutkan bahwa untuk DKI Jakarta, penunjukkan lokasi dan luasan hutan kota harus dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, jika tidak maka lahan yang sudah ditetapkan sebagai hutan kota belum dapat dikatakan sebagai hutan kota. Evaluasi peraturan juga meliputi pengupayaan lahirnya Perda tentang hutan kota, karena banyak aturan-aturan yang disebutkan pada PP No. 63 Tahun 2002 diatur lebih lanjut pada Perda. Selain itu, diperlukan juga panduan teknis pembangunan hutan kota yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan hutan kota khususnya DKI Jakarta dan menjadi cerminan terhadap pengembangan hutan kota di wilayah lainnya. Selain evaluasi peraturan, alternatif kebijakan yang juga memiliki bobot tinggi adalah perluasan hutan kota sebesar 0.20. Keputusan ini menjadi prioritas karena belum optimalnya penyediaan hutan kota di DKI Jakarta, yaitu masih seluas 149.18 ha. Padahal jika mengacu pada luas wilayah yang dimiliki oleh DKI Jakarta yaitu 661.52 Km atau sama dengan 6.615.200 ha maka penyediaan hutan kota di DKI Jakarta masih kurang. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak wilayah di DKI Jakarta yang belum mencapai target pengembangan hutan kota, padahal pasal 8 ayat 3 pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota disebutkan bahwa persentase luas hutan kota paling sedikit 10 persen dari luas wilayah perkotaan. Proporsi hutan kota DKI Jakarta masih di ratio 2.2 persen. Jika mengacu pada pasal 8 PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, maka dengan luas wilayah DKI Jakarta 661.52 km2, jumlah penduduk yang padat, dan tingkat pencemaran yang tinggi maka seharusnya pencapaian target hutan kota sudah mesti dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder hutan kota, hal ini disebabkan keterbatasan aset Pemda DKI Jakarta dalam hal penguasaan atas tanah akibat mahalnya harga tanah untuk pembangunan dan atau pengembangan hutan kota (Subarudi et al. 2010).
34
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan Simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 178.82 ton/ha, Srengseng sebesar 24.04 ton/ha dan PT JIEP sebesar 23.64 ton/ha. Nilai serapan CO2 terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634.40 ton/ha, Srengseng sebesar 88.15 ton/ha dan PT JIEP sebesar 86.76 ton/ha. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar pada ke tiga hutan kota dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu: Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L. 2. Prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota pada level faktor yaitu peningkatan kualitas hutan kota, level aktor yaitu pemerintah dan level alternatif yaitu evaluasi peraturan dan perluasan hutan kota.
4.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang diusulkan adalah: 1. Berdasarkan hasil cadangan karbon pohon yang terdapat pada famili Fabaceae, maka untuk mendapatkan cadangan karbon dan nilai serapan CO2 potensial pada hutan kota, sebaiknya menggunakan jenis pohon, antara lain yaitu Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth, Acacia mangium Willd, Paraserianthes falcataria L, Leucaena leucocephala L, Bauhinia purpurea L, Delonix regia Boj. Ex Hook, Pterocarpus indicus Willd, Erythrina crista-galli L, dan Abrus precatorius L. 2. Selain evaluasi peraturan sebagai prioritas kebijakan yang harus dikukan, pemerintah DKI Jakarta juga perlu melakukan perluasan hutan kota, pemberian insentif bagi masyarakat dan swasta, melakukan sosialiasi, dan menerapkan sanksi dalam upaya pengembangan hutan kota.
35
DAFTAR PUSTAKA
Arifin HS, Nakagosaki N. 2011. Landscape Ecologi and Urban Biodiversity in Tropical Indonesia Cities. Landscape Ecol Eng. 7:33-43. Springer. New York. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. (FAO Forestry Paper-134). FAO Rome. Chave J, Andalo C, Brown S, Cairns MA, Chambers JQ, Eamus D, Folster H, Fromard F, Higuchi N, Kira T, Lescure JP, Nelson BW, Ogawa H, Puig H, Riera B, Yamakura T. 2005. Tree Allometry and Improved Estimation of Carbon Stock and Balance in Tropical Forests. Oecologia. 145:87-99. Daroyni S. 2010. Kondisi Lingkungan: Jakarta Gagal dan Tak Bisa Jadi Acuan. Harian Kompas, tanggal 28 September 2010. Hal 12. Jakarta. Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, 2011. Informasi Kehutanan. Bidang Kehutanan, Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. Hairiah K, Sitompul SM, Noordwijk MV, Palm C. 2011. Methods for Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor. Hygreen JG, Bowyer JL. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu [terjemahan]. Gadjah Mada University Press. IPCC. 2003. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Intergovernmental Panel on Climate Change National Greenhouse Gass Inventories Programme. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: References Manual. Paris. France. Krisnawati H, Adinugroho WC, Imanuddin R. 2012. Model-Model Allometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Kusmana C, Sabiham S, Abe K, Watanabe H. 1992. An Estimation of Above Ground Biomass of A Mangrove Forest in East Sumatera. Indonesia. Tropics. 4:143-257. Murdiyarso M, Hairiah K, Noordwijk MV. 1994. Modelling and Measuring Soil Organic Matter Dinamics and Greenhouses Emission After Forest Conversion. Report of Workshop Training Course. Bogor. Indonesia.
Nova JS, Widyastuti A, Yani E. 2011. Keanekaragaman Jenis Pohon Pelindung dan Estimasi Penyimpanan Karbon Kota Purwokerto. Jakarta. hal 176-222. Rahayu SB, Lusiana B, Noordwijk MV. 2007. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor. Saaty, 1993. Pengambilan Keputusan bagi Pemimpin: Proses Hirarki untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Seri Manajemen. Pustaka Presindo. Samsoedin I, Waryono T. 2010. Hutan Kota dan Keanekaragaman Jenis Pohon di Jabotabek. Yayasan Kehati Indonesia. Jakarta. Standar Nasional Indonesia (SNI), 2011. Pengukuran dan Perhitungan Cadangan Karbon-Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Subarudi, Samsoedin I, Waryono T. 2010. Kebijakan Pembangunan RTH dan Hutan Kota di Wilayah Jabodetabek. Pusat Penelitian, Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan - Kementrian Kehutanan. Bogor. White PL, Plashett GL. 1981. Biomass as Fuel. Scotland Acad Press.
37
L.1. Kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP)
STUDI AHP UNTUK MERUMUSKAN STRATEGI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG MENDUKUNG POTENSI CADANGAN KARBON
Nama Responden
: ................................
Pekerjaan Responden
: ................................
Alamat Responden
: ................................
Tanggal Wawancara
: ................................
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
38
1. PENDAHULUAN
Berdasarkan analisis cadangan karbon pohon, maka ditemukan jumlah total cadangan karbon pohon pada tiga lanskap hutan kota DKI Jakarta (hutan kota UI, Srengseng, dan PT. JIEP) sebesar 220.52 ton. Jumlah cadangan karbon terbesar terdapat pada hutan kota UI sebesar 178.82 ton/ha, hutan kota Srengseng sebesar 24.04 ton/ha, dan hutan kota PT JIEP sebesar 23.64 ton/ha. Perbedaan potensi cadangan karbon pada lanskap hutan kota ini, selain disebabkan oleh faktor teknis juga dipengaruhi oleh faktor kebijakan hutan kota. Maka dari itu, diperlukan analisis kebijakan hutan kota untuk membantu melakukan prediksi dan atau pengambilan keputusan pengembangan hutan kota di DKI Jakarta dalam upaya meningkatkan cadangan karbon pohon potensial. Perhitungan cadangan karbon pohon hutan kota dilakukan dengan menggunakan rumus kandungan biomassa (IPCC 2006), yang terlebih dahulu dilakukan perhitungan biomassa pohon dengan menggunakan persamaan allometrik spesifik. Jika persamaan allometrik spesifik tidak tersedia, maka digunakan rumus allometrik persamaan Chave at al. (2005). Analisis kebijakan pengembangan hutan kota menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) dengan bantuan kuisioner dan Software Expert Choice 11. Tujuannya yaitu menentukan prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota. Landasan utama pengisian kuisioner adalah struktur hirarki dengan komponen yang telah disusun berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota (Gambar 1). KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG MENDUKUNG POTENSI CADANGAN KARBON
Dukungan Peraturan (0,35)
Pemerintah (0,61)
Evaluasi Peraturan (0,25)
Perluasan Hutan Kota (0,20)
Pemilihan Jenis Pohon (0,10)
Sasaran
Peningkatan Kualitas Hutan Kota (0,49)
Evaluasi dan Kontrol (0,16)
Masyarakat (0,23)
Swasta (0,16)
Dukungan Dana (0,13)
Sanksi (0,04)
Faktor
Aktor
Insentif (0,19)
Sosialisasi (0,11)
Alternatif
Gambar 1. Skema hirarki kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta 39
II. PETUNJUK PENGISIAN
1. 2.
3.
Isi kolom identitas yang terdapat pada halaman depan kuisioner. Berikan penilaian Bapak/Ibu dengan membandingkan tingkat kepentingan atau komponen dalam satu level hirarki yang berkaitan dengan komponen komponen level sebelumnya menggunakan skala penilaian yang terdapat pada petunjuk skala penilaian. Penilaian dilakukan dengan mengisi titik - titik pada kolom yang telah tersedia.
III. PETUNJUK SKALA PENILAIAN Definisi dari skala penilaian yang digunakan adalah sebagai berikut: Nilai Perbandingan (A dibandingkan dengan B) 1 3 1 /3 5 1 /5 7 1 /7 9 1 /9 2, 4, 6, 8 atau ½, ¼, 1/6, 1/8
Definisi A sama penting dengan B A sedikit lebih penting dari B Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A) A jelas lebih penting dari B Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A) A sangat jelas lebih penting daripada B Kebalikannya (B sangat jelas lebih penting daripada A) A mutlak lebih penting daripada B Kebalikannya (B mutlak lebih penting daripada A) Diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan patokan di atas (apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan)
Contoh Pengisian : Elemen B
Elemen A Pemerintah Pemerintah Masyarakat Swasta
1
Masyarakat
Swasta
(a)
...3 ...
....4(b)..
1
....3...... 1
Keterangan: Nilai pada (a) : Elemen pemerintah sedikit lebih penting dari masyarakat. Nilai pada (b) : Apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan, yaitu antara elemen pemerintah dengan swasta. catatan : Konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan.
40
IV. KUISIONER PENILAIAN
Terdapat tujuh tebel penilaian kepentiingan yang harus di isi oleh Bapak/Ibu berdasarkan pendapat. Tabel 1.
Membandingkan tingkat kepentingan elemen - elemen faktor di bawah ini berdasarkan sasaran kebijakan pengembangan hutan kota yang mendukung potensi cadangan karbon. Elemen Faktor B
Elemen Faktor A
Dukungan Peraturan
Peningkatan Kualitas Hutan Kota
Evaluasi dan Control Hutan Kota
1
..........
..........
1
..........
Dukungan Peraturan Peningkatan Kualitas Hutan Kota Evaluasi dan Control Kebijakan
1
Urutan prioritas kepentingan : 1. .......................................... 2. .......................................... 3. .......................................... Keterangan : Pada pengisian kuisioner Tabel 1, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan mana yang lebih penting antara elemen faktor A dengan elemen faktor B, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuisioner ini adalah memprioritaskan salah satu elemen berdasarkan pendapat responden. Tabel 2.
Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen aktor di bawah ini berdasarkan faktor dukungan peraturan. Elemen Aktor B
Elemen Aktor A Pemerintah
Masyarakat
Swasta
1
..........
..........
1
..........
Pemerintah Masyarakat Swasta
Urutan prioritas kepentingan : 1. .......................................... 2. .......................................... 3. ..........................................
41
1
Tabel 3.
Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen aktor di bawah ini berdasarkan faktor Peningkatan Kualitas Hutan Kota. Elemen Aktor B
Elemen Aktor A Pemerintah
Masyarakat
Swasta
1
..........
..........
1
..........
Pemerintah Masyarakat Swasta
1
Urutan prioritas kepentingan : 1. .......................................... 2. .......................................... 3. .......................................... Tabel 4.
Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen aktor di bawah ini berdasarkan faktor Evaluasi dan Control Hutan Kota. Elemen Aktor B
Elemen Aktor A Pemerintah
Masyarakat
Swasta
1
..........
..........
1
..........
Pemerintah Masyarakat Swasta
1
Urutan prioritas kepentingan : 1. .......................................... 2. .......................................... 3. .......................................... Tabel 5.
Membandingkan tingkat kepentingan elemen - elemen alternatif di bawah ini berdasarkan aktor pemerintah. Elemen Alternatif B
Elemen Alternatif A Penyempurnaan Peraturan Perluasan Hutan Kota Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock Dukungan Dana Sanksi Insentif Bagi Swasta dan Masyarakat
Penyempurnaan Peraturan
Perluasan Hutan Kota
Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock
Dukungan Dana
Sanksi
Insentif Bagi Swasta dan Masyarakat
Sosialisasi
1
...........
..........
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
...........
1
..........
...........
1
...........
Sosialisasi
1
42
Urutan prioritas kepentingan : 1. .......................................... 2. .......................................... 3. .......................................... 4. .......................................... 5. .......................................... 6. .......................................... 7. .......................................... Tabel 6.
Membandingkan tingkat kepentingan elemen - elemen alternatif di bawah ini berdasarkan aktor Masyarakat. Elemen Alternatif B
Elemen Alternatif A Penyempurnaan Peraturan Perluasan Hutan Kota
Penyempurnaan Peraturan
Perluasan Hutan Kota
Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock
Dukungan Dana
Sanksi
Insentif Bagi Swasta dan Masyarakat
Sosialisasi
1
...........
..........
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
...........
1
..........
...........
1
...........
Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock Dukungan Dana Sanksi Insentif Bagi Swasta dan Masyarakat Sosialisasi
Urutan prioritas kepentingan : 1. .......................................... 2. .......................................... 3. .......................................... 4. .......................................... 5. .......................................... 6. .......................................... 7. ..........................................
43
1
Tabel 7.
Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif di bawah ini berdasarkan aktor Swasta. Elemen Alternatif B
Elemen Alternatif A Penyempurnaan Peraturan
Penyempurnaan Peraturan
Perluasan Hutan Kota
Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock
Dukungan Dana
Sanksi
Insentif Bagi Swasta dan Masyarakat
Sosialisasi
1
...........
..........
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
..........
...........
1
..........
..........
...........
1
..........
...........
1
...........
Perluasan Hutan Kota Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock Dukungan Dana Sanksi Insentif Bagi Swasta dan Masyarakat Sosialisasi
1
Urutan prioritas kepentingan: 1. .......................................... 2. .......................................... 3. .......................................... 4. .......................................... 5. .......................................... 6. .......................................... 7. ..........................................
44
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Kota. Mengingat : 1. Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2034); 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469); 5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501); 6. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3557); 7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839); 9. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660); 45
11. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3721); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4090); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4206); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207).
MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HUTAN KOTA. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Batasan Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. 3. Wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat permukiman yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri kehidupan kota. 4. Kota adalah wilayah perkotaan yang berstatus daerah otonom. 5. Tanah negara adalah tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 6. Tanah hak adalah tanah yang dibebani hak atas tanah. 46
7. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. 8. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 9. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat atau Badan Hukum. 10. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri. 11. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah. 12. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Peraturan Daerah Provinsi untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 13. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang kehutanan.
Bagian Kedua Tujuan dan Fungsi Pasal 2 Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Pasal 3 Fungsi hutan kota adalah untuk : a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; b. meresapkan air; c. menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan d. mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
BAB II PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA Bagian Kesatu Umum Pasal 4 1. Untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 di setiap wilayah perkotaan ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. 2. Penyelenggaraan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. penunjukan; b. pembangunan; c. penetapan; dan d. pengelolaan. 47
Bagian Kedua Penunjukan Pasal 5 1. Penunjukan hutan kota terdiri dari : a. penunjukan lokasi hutan kota; dan b. penunjukan luas hutan kota. 2. Penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota atau Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. 3. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 6 Lokasi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Pasal 7 1. Lokasi yang ditunjuk sebagai hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dapat berada pada tanah negara atau tanah hak. 2. Terhadap tanah hak yang ditunjuk sebagai lokasi hutan kota diberikan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 8 1. Penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : a. luas wilayah; b. jumlah penduduk; c. tingkat pencemaran; dan d. kondisi fisik kota. 2. Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima perseratus) hektar. 3. Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Pasal 9 1. Pedoman, kriteria dan standar penunjukan hutan kota diatur oleh Menteri. 2. Tata cara penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 diatur dengan Peraturan Daerah.
48
Bagian Ketiga Pembangunan Paragraf 1 Umum Pasal 10 1. Pembangunan hutan kota dilakukan berdasarkan penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. 2. Pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. 3. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 11 Pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 meliputi kegiatan : a. perencanaan; dan b. pelaksanaan. Paragraf 2 Perencanaan Pasal 12 1. Rencana pembangunan hutan kota sebagai hasil dari perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. 2. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 3. Rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial dan budaya setempat. Pasal 13 Rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 memuat rencana teknis tentang tipe dan bentuk hutan kota. Pasal 14 1. Penentuan Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan atau Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2. Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. tipe kawasan permukiman; b. tipe kawasan industri; c. tipe rekreasi; 49
d. tipe pelestarian plasma nutfah; e. tipe perlindungan; dan f. tipe pengamanan. Pasal 15 1. Penentuan bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disesuaikan dengan karakteristik lahan. 2. Bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. jalur; b. mengelompok; dan c. menyebar. Paragraf 3 Pelaksanaan Pasal 16 1. Pelaksanaan pembangunan hutan kota didasarkan atas rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. 2. Pelaksanaan pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui tahapan kegiatan : a. penataan areal; b. penanaman; c. pemeliharaan; d. pembangunan sipil teknis. Pasal 17 1. Pedoman, kriteria dan standar pembangunan hutan kota diatur oleh Menteri. 2. Tata cara pembangunan hutan kota diatur dengan Peraturan Daerah. Bagian Keempat Penetapan Pasal 18 Berdasarkan hasil pelaksanaan pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan hutan kota dengan Peraturan Daerah. Pasal 19 1. Tanah hak yang karena keberadaannya dapat dimintakan penetapannya sebagai hutan kota oleh pemegang hak tanpa pelepasan hak atas tanah. 2. Pemegang hak dapat memperoleh insentif atas tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota. 3. Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah. 4. Tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai hutan kota untuk jangka waktu paling sedikit 15 (lima belas) tahun. 50
5. Penetapan tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa melalui proses penunjukan dan pembangunan. 6. Tanah hak yang dapat dimintakan penetapannya sebagai hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi kriteria sebagai berikut a. terletak di wilayah perkotaan dari suatu Kabupaten/Kota atau provinsi untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; b. merupakan ruang terbuka hijau yang didominasi pepohonan; c. mempunyai luas yang paling sedikit 0,25 (dua puluh lima perseratus) hektar dan mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika, dan berfungsi sebagai resapan air. 7. Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagai hutan kota dilakukan dengan Keputusan Bupati/ Walikota. 8. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagai hutan kota dilakukan dengan keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 9. Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan berdasarkan permohonan dari pemegang hak. Pasal 20 1. Perubahan peruntukan hutan kota yang berada pada tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan serta ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 2. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, perubahan peruntukkan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 3. Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
Bagian Kelima Pengelolaan Paragraf 1 Umum Pasal 21 1. Pengelolaan huta kota dilakukan sesuai dengan tipe dan bentuk hutan kota agar berfungsi secara optimal berdasarkan penetapan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. 2. Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tahapan kegiatan : a. penyusunan rencana pengelolaan; b. pemeliharaan; c. perlindungan dan pengamanan; 51
d. pemanfaatan; dan e. pemantauan dan evaluasi.
Pasal 22 1. Pengelolaan hutan kota yang berada di atas tanah negara dapat dilakukan oleh: a. Pemerintah Daerah; dan atau b. Masyarakat. 2. Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah hak dilakukan oleh pemegang hak. 3. Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh masyarakat bukan pemegang hak atau Pemerintah Daerah melalui perjanjian dengan pemegang hak.
Paragraf 2 Penyusunan Rencana Pengelolaan Pasal 23 Penyusunan rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a disusun berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan yang meliputi: a. penetapan tujuan pengelolaan; b. penetapan program jangka pendek dan jangka panjang; c. penetapan kegiatan dan kelembagaan; dan d. penetapan sistem monitoring dan evaluasi. Paragraf 3 Pemeliharaan Pasal 24 Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dilaksanakan dalam rangka menjaga dan mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan kota melalui optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tanaman dan peningkatan kualitas tempat tumbuh. Paragraf 4 Perlindungan dan Pengamanan Pasal 25 1. Perlindungan dan pengamanan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c bertujuan untuk menjaga keberadaan dan kondisi hutan kota agar tetap berfungsi secara optimal. 2. Perlindungan dan pengamanan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya :
52
a. b. c. d.
pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan; pencegahan dan penanggulangan pencurian fauna dan flora; pencegahan dan penanggulangan kebakaran; dan pengendalian dan penanggulangan hama dan penyakit.
Pasal 26 1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau penurunan fungsi hutan kota. 2. Setiap orang dilarang : a. membakar hutan kota; b. merambah hutan kota; c. menebang, memotong, mengambil, dan memusnahkan tanaman dalam hutan kota, tanpa izin dari pejabat yang berwenang; d. membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakaran atau membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota; dan e. mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah. Paragraf 5 Pemanfaatan Pasal 27 1. Hutan kota dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a. pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga; b. penelitian dan pengembangan; c. pendidikan; d. pelestarian plasma nutfah; dan atau e. budidaya hasil hutan bukan kayu. 2. Pemanfaatan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Paragraf 6 Pemantauan dan Evaluasi Pasal 28 1. Pemantauan dan evaluasi sebaga imana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf e dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja pengelola melalui penilaian kegiatan pengelolaan secara menyeluruh. 2. Hasil penilaian kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan sebagai bahan penyempurnaan terhadap pengelolaan hutan kota. 3. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara periodik.
53
Pasal 29 1. Kriteria dan standar pengelolan hutan kota diatur dengan Keputusan Menteri. 2. Pedoman pengelolaan hutan kota diatur dengan Peraturan Daerah.
BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 30 1. Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah 2. Menteri dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan hutan kota di Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. 4. (4) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap pengelolaan hutan kota yang dilakukan oleh masyarakat. Pasal 31 1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. 2. Menteri dapat melimpahkan pengawasan atas penyelenggaraan hutan kota di Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Gubernur atau Bupati/ Walikota melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota di wilayah kerjanya. 4. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan bersama-sama masyarakat secara terkoordinasi dengan instansi pemerintah yang terkait. Pasal 32 Pelaksanaan lebih lanjut tentang pengawasan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BAB IV PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 33 1. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota. 2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sejak penunjukan, pembangunan, penetapan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan. 54
3. Ketentuan tentang tata cara peran serta masyarakat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Pasal 34 1. Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan melalui : a. pendidikan dan pelatihan; b. penyuluhan; c. bantuan teknis dan insentif. 2. Ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan pemberian bantuan teknis dan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Daerah. Pasal 35 1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota dapat berbentuk : a. penyediaan lahan untuk penyelenggaraan hutan kota; b. penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan hutan kota; c. pemberian masukan dalam penentuan lokasi hutan kota; d. pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi dalam masalah penyelenggaraan hutan kota; e. kerjasama dalam penelitian dan pengembangan; f. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan hutan kota; g. pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; h. bantuan pelaksanaan pembangunan; i. bantuan keahlian dalam penyelenggaraan hutan kota; j. bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan pengelolaan; k. menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota. 2. Tata cara peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
BAB V PEMBIAYAAN Pasal 36 Biaya penyelenggaraan hutan kota berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau sumber dana lainnya yang sah.
55
BAB VI SANKSI Pasal 37 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 26 dikenakan sanksi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 Hutan kota yang telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku dan segera menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB VIII PENUTUP Pasal 39 Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundangundangan yang mengatur hutan kota yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 40 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Nopember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 Nopember 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 119 TAHUN 2002 56
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Batang Lingkin pada 28 Januari 1986 sebagai anak pertama dari lima bersaudara yang terdiri dari ayah Maradingin Lubis dan Ibu Ernawati. Empat Saudara, yaitu Nurhalimah Lubis, Rudi Agussalim Lubis, Fatimahrani Lubis, dan Abdul Azzis Lubis. Latar belakang pendidikan dimulai dari SDN 66 Batang Lingkin (1992 1998), MTsN Simpang IV Pasaman Barat (1998 - 2001) dan SMAN 2 Medan (2001 - 2004). Penulis melanjutkan pendidikan di Politeknik Pertanian Universitas Andalas Padang, Program Studi Agribisnis Pertanian (2004 - 2007) dan meneruskan pada program ekstensi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (2007 - 2010). Penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (2007 - 2013). Selama mengikuti pendidikan di PSL-IPB, penulis aktif dalam organisasi mahasiswa, yaitu Forum Wacana Pascasarjana dan Ecologica PSL-IPB. Penulis juga pernah mengikuti Training “Climate Change Mitigation and Adaptation for Agricultural Productivity In Southeast Asia”, kerjasama The Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) dan Indonesia Network Agroforestry Education (INAFE) dan kegiatan Asia Forum Carbon Abdate, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Indonesia. Selain itu, penulis juga bekerja pada PT. Alas Consultans (2012). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Dr. Ir. Ismayadi Samsoedin, M.Sc. penulis dilibatkan dalam penelitian “Kajian Jenis Pohon Potensial untuk Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI, Bogor. Penulis juga dilibatkan dalam penelitian “Landscape Ecology” kerjasama Fakultas Pertanian IPB – ETH Zurich – National University of Singapore, Singapore. Pada tanggal 15 – 23 Maret 2013, penulis diikut sertakan dalam kegiatan Wokshop and Seminar “Designing the Ciliwung River an Urban Landscape Study of Kampung Melayu” di Jakarta dan Singapore.