Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
EVALUASI MODEL PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI INDONESIA: KASUS DI JAWA TIMUR GUNAWAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119
ABSTRAK Model pengembangan ayam buras yang telah dilaksanakan selama ini belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan, sehingga ayam buras hingga kini sebagian besar masih dipelihara secara ekstensif dengan skala usaha kecil. Teknologi budidaya yang digunakan didalam model pengembangan tersebut masih menghasilkan produktivitas rendah, sedangkan kelembagaan dan sarana produksi belum mendukung. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap ke-4 model, yaitu SPAKU, PRT, UPSUS dan SWAKARSA menggunakan metode survei. Selanjutnya, dirumuskan model pengembangan yang lebih sesuai untuk diterapkan di perdesaan. Model SPAKU, PRT dan UPSUS yang dikembangkan oleh pemerintah belum menghasilkan produksi telur lebih baik dari model SWAKARSA. Produksi telur rata-rata dari ke-3 model adalah 5,3 kg/induk/tahun atau 31,6% untuk ayam di kandang baterai dan 3,7 kg/induk/tahun atau 22,6% untuk ayam di kandang umbaran. Model SWAKARSA menghasilkan produksi telur 7,0 kg/induk/tahun atau 41,0% untuk ayam di kandang baterai dan 3,8 kg/induk/tahun atau 23,3% untuk ayam di kandang umbaran. Pendapatan usahaternak ayam buras model SPAKU dan UPSUS lebih rendah daripada model SWAKARSA, sedangkan pada model PRT lebih tinggi. Pendapatan usahaternak ayam buras rata-rata per tahun Rp 51.000,00; Rp 892.000,00 dan Rp 369.000,00 masing-masing untuk skala usaha 30; 45 dan 44 ekor atau Rp 1.700,00; Rp 19.800,00 dan Rp 8.400,00 untuk tiap ekor, berturut-turut untuk model SPAKU, PRT dan UPSUS. Pendapatan usahaternak ayam buras rata-rata per tahun model SWAKARSA adalah Rp 515.000,00 untuk skala usaha 31 ekor atau Rp 16.600,00 tiap ekor. Faktor utama penyebab kegagalan model adalah rendahnya kandungan protein ransum dan kesadaran peternak dalam melaksanakan kegiatan pengendalian penyakit (ND, cacing dan kutu). Dari hasil penelitian ini direkomendasikan dua model usaha, yaitu model usaha pembibitan dengan skala usaha 40 ekor dan model usaha produksi telur dengan skala usaha 30 ekor, untuk tiap paket. Kedua model ini sebagai usaha sambilan bagi peternak yang menguntungkan, yaitu telah melebihi break even point dan diproyeksikan mampu menghasilkan produktivitas serta pendapatan lebih tinggi dari ke-4 model tersebut di atas. Kata kunci: Model pengembangan, evaluasi, ayam buras
PENDAHULUAN Di Indonesia dikenal dua kelompok ayam, yaitu ayam ras dan ayam lokal. Ayam lokal yang lazim sebagai sumber pangan adalah ayam kampung atau ayam buras. Ayam buras memiliki beberapa kelebihan dibandingkan ayam ras. Populasi ayam buras yang tinggi dan dimiliki oleh masyarakat di perdesaan telah mampu memberikan kedudukan sosial ekonomi yang penting, sehingga pemerintah menempatkan ayam buras sebagai komoditi program peningkatan ketahanan pangan dalam program utama pembangunan peternakan tahun 2001 hingga 2004 (DITJENNAK 2001a). Kelebihan lain adalah daya adaptasi terhadap lingkungan setempat tinggi, karena dari generasi ke generasi perkembangbiakannya di lingkungan Indonesia. Berdasarkan beberapa
260
kelebihan tersebut yang disertai dengan harga jual produk ayam buras lebih tinggi dari ayam ras, maka disimpulkan bahwa apresiasi masyarakat terhadap ayam buras lebih tinggi dibandingkan ayam ras. Selain itu, pengembangan ayam buras juga mendukung program pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah, serta memberikan kontribusi cukup besar terhadap pasokan daging dan telur di Indonesia, sehingga sekaligus membantu mengurangi ketergantungan konsumen pada suplai daging dan telur dari ayam ras. Peluang pengembangan ayam buras secara nasional terutama pasca krisis moneter semakin cerah, karena usahaternak ayam buras lebih mampu bertahan dibandingkan usahaternak ayam ras. Hal ini terjadi karena pemenuhan kebutuhan
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
bibit dan pakan ayam buras dapat dipenuhi dengan menggunakan bahan lokal. Berdasarkan beberapa kelebihan tersebut, pemerintah menempatkan posisi ayam buras sebagai komoditi utama dalam kebijaksanaan pembangunan peternakan di Indonesia, karena merupakan komoditi yang potensial untuk dikembangkan dengan menggunakan sumberdaya lokal (DITJENNAK 2001b). Namun demikian, ayam buras juga mempunyai beberapa kekurangan dibandingkan ayam ras, antara lain produktivitas, daya hidup dan pertumbuhan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh usahanya yang kurang intensif dan belum adanya upaya memperbaiki sifat-sifat ekonomis ayam buras secara tuntas. Dalam upaya pengembangan ayam buras pemerintah telah melaksanakan berbagai proyek atau program pengembangan ayam buras yang kemudian melahirkan beberapa model pengembangan, antara lain adalah model Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) ayam buras, Pertanian Rakyat Terpadu (PRT) dan Upaya Khusus (UPSUS) pengembangan agribisnis ayam buras. Selain mengikuti program pemerintah, sebagian peternak mengembangkan usahanya atas prakarsa sendiri yang dikenal dengan model SWAKARSA. Hingga kini ke-3 model pengembangan usahaternak ayam buras yang diperkenalkan oleh pemerintah tersebut belum pernah dilakukan evaluasi kinerjanya, terutama untuk dibandingkan dengan model SWAKARSA, sehingga diperlukan pengkajian terhadap model pengembangan tersebut untuk perbaikan di masa mendatang. Hasil kajian akan memberikan informasi tentang model pengembangan dari segi keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor penunjangnya. Ada dua masalah utama yang mendasari penelitian ini. Masalah pertama adalah model usahaternak ayam buras yang telah dikembangkan selama ini belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan, sehingga ayam buras hingga kini sebagian besar masih dipelihara secara ekstensif dengan skala usaha kecil, sebagai usaha sambilan. Teknologi budidaya yang digunakan di dalam model pengembangan tersebut menghasilkan produktivitas masih rendah. Masalah kedua adalah model usahaternak ayam buras yang dikembangkan selama ini belum didukung oleh
sistem kelembagaan dan sarana produksi untuk keberhasilan model. Berdasarkan dua masalah utama tersebut, penelitian ini akan mengkaji model pengembangan usahaternak ayam buras yang dilakukan dengan mempelajari komponen-komponen yang mempengaruhi tingkat keberhasilan/kegagalan model tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis tiga model pengembangan usahaternak ayam buras yang diselenggarakan oleh program/ proyek pemerintah (SPAKU, PRT, UPSUS) maupun yang diselenggarakan atas prakarsa peternak (SWAKARSA). Kabupaten Jombang dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain (1) sebagai kabupaten yang memiliki populasi ayam buras paling tinggi sejak tahun 1997 dibandingkan kabupaten lainnya di Jawa Timur, (2) sebagai salah satu pusat pengembangan ayam buras Provinsi Jawa Timur, dan (3) telah melaksanakan model pengembangan usahaternak ayam buras berwawasan agribisnis sejak tahun 1996. Lokasi penelitian di Kabupaten Jombang ditetapkan di empat desa yaitu Keras, Tanjung Gunung, Trawasan dan Ceweng. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode survei, melalui wawancara dengan responden yang dilakukan selama bulan Oktober hingga November 1999 dan observasi dilakukan selama bulan November 1999 hingga Oktober 2000. Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling (SOEKARTAWI 1995), berdasarkan jumlah maksimal responden yang terdapat pada setiap model dengan beberapa kriteria: (1) keikutsertaan pada salah satu model yang teridentifikasi, (2) memiliki ayam buras induk minimal 10 ekor, dan (3) pengalaman beternak minimal 1 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, ditentukan responden sebanyak 12 peternak untuk masing-masing model, sehingga total responden untuk 4 model berjumlah 48 peternak. Data yang dikumpulkan dengan cara wawancara meliputi: identitas peternak, sarana produksi, kredit, penyuluhan, motivasi usaha, perilaku peternak dan teknologi budidaya. Data
261
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
yang dikumpulkan dengan cara observasi meliputi: produksi telur (butir/ekor/hari), produksi ayam (ekor/induk/tahun), pemanfaatan telur dan ayam, kualitas telur, pakan, perkembangan usaha, pemasaran dan harga, serta pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Data pendukung meliputi: karakteristik daerah, daya dukung wilayah dan kelembagaan, diperoleh dari monografi atau laporan desa, laporan Dinas Peternakan, Kantor Statistik Kabupaten Jombang dan instansi yang ada kaitannya dengan penelitian. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian adalah (1) analisis deskriptif, (2) statistik non-parametrik dan (3) analisis pendapatan usahaternak. Analisis deskriptif dilakukan dalam hal karakteristik daerah/ model/peternak, daya dukung wilayah, produksi telur, produksi ayam, pemanfaatan hasil, kredit, kelembagaan, penyuluhan dan pemasaran. Analisis statistik non-parametrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Mann – Whitney dan Kruskal Wallis pada α = 0.05 (SIEGEL, 1997). Uji Mann – Whitney digunakan untuk membandingkan skor dari motivasi, perilaku dan penguasaan teknologi budidaya oleh peternak model pemerintah dan SWAKARSA. Bila hasil uji berbeda nyata, maka program/proyek yang dikembangkan oleh pemerintah mampu merubah motivasi, perilaku dan teknologi budidaya ayam buras yang dilakukan oleh peternak. Uji Kruskal Wallis digunakan untuk membandingkan skor dari motivasi, perilaku dan penguasaan teknologi budidaya oleh peternak antar ke-4 model (SPAKU, PRT, UPSUS dan SWAKARSA). Bila hasil uji berbeda nyata, maka dapat diperoleh motivasi, perilaku dan penguasaan teknologi yang terbaik diantara ke-4 model pengembangan tersebut. Dalam menilai motivasi digunakan metode skala Guttman, sedangkan untuk menilai sikap digunakan metode skala Likert (OPPENHEIM 1992). Analisis pendapatan ini digunakan untuk mengetahui besarnya pendapatan dari usahaternak ayam buras dan kontribusi pendapatan usaha ternak tersebut terhadap total pendapatan peternak pada setiap model. Kontribusi pendapatan (%) dari usahaternak ayam buras terhadap total pendapatan peternak adalah perbandingan pendapatan asal usaha
262
ternak ayam buras terhadap total pendapatan peternak. Total pendapatan peternak dihitung dari keseluruhan usaha yang dilakukannya selama satu tahun, meliputi usahatani (usaha tanaman pangan dan ternak) dan kegiatan di luar usahatani. Dalam menghitung pendapatan usahatani, tenaga kerja keluarga, sewa tanah dan suku bunga atas asset tidak dinilai dalam bentuk uang. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi model pengembangan Dari identifikasi model pengembangan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa model pengembangan SPAKU, PRT dan UPSUS ayam buras di Kabupaten Jombang berasal dari program pengembangan ayam buras Departemen Pertanian yang disalurkan kepada kelompok-kelompok peternak ayam buras melalui Dinas Peternakan Kabupaten Daerah Tingkat II Jombang. Kelompok peternak Tani Indah di Desa Keras melaksanakan program pengembangan ayam buras model SPAKU pada tahun 1996 s/d 1999, model PRT pada tahun 1997 s/d 1998 dilakukan pada kelompok Tanjung Lestari di Desa Tanjung Gunung, sedangkan model UPSUS dilaksanakan pada tahun 1998 s/d 1999 pada 3 kelompok peternak yaitu kelompok Sumber Rejeki di Desa Trawasan, kelompok Cekatan di Desa Ceweng dan kelompok Cendrawasih di Desa Blimbing. Program SPAKU dilaksanakan dalam waktu tiga tahun, sedangkan program PRT dan UPSUS dilaksanakan dalam waktu setahun. Didalam melaksanakan program pengembangan ayam buras, Dinas Peternakan mendapatkan bantuan teknis dari Lembaga Penelitian dalam hal teknologi budidaya dan Lembaga Pendidikan dan Latihan dalam hal pembinaan sumberdaya manusia. Model SPAKU, PRT dan UPSUS telah dikembangkan oleh pemerintah pada kelompok peternak yang berbeda, dengan kredit dan penyuluhan yang berbeda, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa model SPAKU, PRT dan UPSUS dilaksanakan oleh peternak dalam wadah kelompok (koperasi). Setiap peternak ke-3 model memperoleh kredit dan penyuluhan dari pemerintah. Kredit paling
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
besar dan penyuluhan paling intensif diterima oleh peternak PRT. Model SWAKARSA berasal dari inisiatif peternak, menggunakan dana pribadi, tanpa kredit dan penyuluhan dari pemerintah, belajar dan berusaha secara individu, tidak dalam wadah kelompok. Model ini berkembang di lokasi penelitian, antara lain karena adanya kegiatan usahaternak ayam buras yang telah dikembangkan oleh pemerintah dan tersedianya waktu luang serta modal yang dimiliki oleh peternak. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa model SWAKARSA terdiri atas peternak yang sebagian besar beumur tua dan hanya sedikit (17%) yang berpengalaman lebih dari 3 tahun, sedangkan model SPAKU, PRT dan UPSUS sebagian besar terdiri atas peternak berusia produktif dan sekitar 50% telah berpengalaman lebih dari 3 tahun. Model SPAKU dan PRT sebagian besar terdiri atas peternak dengan tingkat pendidikan rendah, sedangkan model UPSUS dan SWAKARSA memiliki tingkat pendidikan cukup. Dari karakteristik peternak, disimpulkan bahwa model UPSUS memiliki kelebihan dibanding model lainnya, karena
terdiri atas peternak berusia produktif, berpengalaman lebih dari 3 tahun dan memiliki tingkat pendidikan cukup. Dalam penelitian ini teridentifikasi bahwa model PRT memiliki kelebihan dibanding model lain dalam hal kredit dan penyuluhan, sedangkan model UPSUS dalam hal sumberdaya manusia. Evaluasi kinerja model pengembangan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ayam buras induk yang dimiliki oleh peternak keempat model pengembangan di Kabupaten Jombang mulai dari penerimaan kredit hingga akhir penelitian ini jumlahnya berkurang sebanyak 3 hingga 12% per tahun (Tabel 2). Populasi ayam buras pada peternak keempat model pengembangan yang tidak meningkat disebabkan oleh kematian ayam umur 0 hingga 6 bulan (pra-produksi) dan kematian ayam induk yang tinggi, serta kemampuan replacement ayam induk yang rendah.
Tabel 1. Kredit, penyuluhan dan karakteristik peternak ke empat model pengembangan usahaternak ayam buras di Kabupaten Jombang, Jawa Timur
Nama kelompok Berdiri (tahun) Anggota (orang) Penerima kredit (orang)
SPAKU T. Indah 1994 125 107
Model pengembangan PRT UPSUS T. Lestari S.Rejeki 1997 1994 23 35 20 31
Kelembagaan
Koperasi
Kelompok
Koperasi
Tidak ada
680.000 55 2
1.901.000 72 5
1.540.000 44 4
Tidak ada
4 2
2 24
1 6
Tidak ada
50 (SD) 50 58
75 (SD) 66 41
67 (SMU) 66 50
25 (SD) 66 17
Uraian
Kredit untuk tiap peternak Nilai kredit (Rp) Jumlah ayam (ekor) Umur ayam (bulan) Penyuluhan Kursus (hari) Pertemuan (kali/tahun) Peternak (%) Umur 25-45 tahun Pendidikan Pengalaman > 3 tahun
Kematian ayam pra-produksi yang tinggi, karena sebagian besar (49-69%) anak ayam hasil penetasan tersebut dibesarkan oleh ayam induk, terutama pada model SPAKU, UPSUS dan SWAKARSA.
SWAKARSA Tidak ada -
Kematian ayam induk yang tinggi, akibat oleh rendahnya kesadaran peternak dalam melakukan tindakan pengendalian penyakit (Tabel 3).
263
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Tabel 2. Jumlah pemilikan ayam buras induk pada peternak keempat model mulai dari penerimaan kredit hingga akhir penelitian Uraian
Model pengembangan SPAKU
PRT
UPSUS
SWAKARSA
Jumlah ayam induk (ekor/peternak) Penerimaan kredit1 Awal penelitian (November 1999) Akhir penelitian (Oktober 2000) Berkurangnya ayam induk (mulai dari penerimaan kredit hingga akhir penelitian) Kurun waktu (bulan) Berkurangnya induk (%) Berkurangnya induk (%/tahun)
40 32 28
64 45 50
41 50 39
30 27
31 30 12
32 22 8
19 5 3
12 10 10
Kematian ayam (%/tahun) Umur 0 - 6 bulan Induk Kemampuan replacement (%)
81 53 44
56 42 83
58 45 28
61 68 47
Penerimaan kredit diperhitungkan pada saat ayam umur 5 bulan, yaitu bulan April 1998 (SPAKU), Maret 1998 (PRT) dan April 1999 (UPSUS) Tabel 3. Persentase jumlah peternak keempat model pengembangan di Kabupaten Jombang yang telah melaksanakan pengendalian penyakit, tahun 2000 Model pengembangan Uraian
SPAKU
PRT
UPSUS
SWAKARSA
Vaksinasi ND1
25
100
100
50
Desinfeksi kandang
25
50
50
25
Pencegahan penyakit cacing
0
17
0
0
Pencegahan serangan kutu
33
50
17
33
Pemberian obat pemacu produksi
20
100
60
60
Peternak melaksanakan (%)
Dilaksanakan 1-2 kali per tahun
Tabel 3 menunjukkan bahwa peternak ke-4 model memiliki kesadaran rendah dalam melakukan pengendalian penyakit. Hal ini kemungkinan karena masih kurang intensifnya penyuluhan. Dalam penyuluhan perlu mendapatkan adanya program pengendalian penyakit, meliputi vaksinasi ND setiap 3 hingga 4 bulan sekali, pemberian obat cacing setiap 2 bulan sekali, pemberian obat kutu dan desinfeksi kandang setiap 6 bulan sekali. Program tersebut disusun sesuai dengan
264
kondisi peternak dan pelaksanaannya dimonitoring (PRABOWO et al. 1992). Program ini telah banyak dilaporkan dapat mengurangi tingkat kematian ayam. Hasil pengamatan terhadap produksi telur, konsumsi dan konversi pakan ayam buras induk di kandang baterai dan umbaran selama setahun pada peternak keempat model pengembangan, disajikan pada Tabel 4.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Tabel 4. Produksi telur, konsumsi dan konversi pakan ayam buras di kandang baterai dan umbaran, pada peternak keempat model pengembangan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur tahun 2000 Uraian Kandang baterai Produksi telur1 (kg/ekor/tahun) Konsumsi pakan (kg/ekor/tahun) Konsumsi protein (g/ekor/hari) Konversi pakan Kandang umbaran Produksi telur1 (kg/ekor/tahun) Konsumsi pakan (kg/ekor/tahun) Konsumsi protein (g/ekor/hari) Konversi pakan
Model pengembangan PRT UPSUS
SPAKU
SWAKARSA
4,38 ± 0,89
6,05 ± 1,12
5,57 ± 0,75
7,02 ± 1,47
30,57 ± 2,12
32,02 ± 3,12
31,59 ± 3,16
32,77 ± 2,94
9,88 ± 0,69 7,28 ± 1,98
11,69 ± 1,29 5,61 ± 1,81
11,19 ± 1,08 5,78 ± 1,05
11,27 ± 0,89 5,05 ± 0,98
3,65 ± 0,79
3,95 ± 0,98
3,44 ± 0,72
3,75 ± 0,61
29,85 ± 1,97
28,66 ± 2,21
28,36 ± 0,33
29,40 ± 1,72
7,85 ± 0,50 8,51 ± 1,85
9,91 ± 0,98 7,59 ± 1,64
9,93 ± 0,16 8,55 ± 1,61
9,89 ± 0,58 8,01 ± 1,27
1
Persentase produksi telur ayam buras model SPAKU, PRT, UPSUS dan SWAKARSA berturut-turut adalah 26,3; 35,6; 33,0 dan 41,0% untuk ayam di kandang baterai dan 22,8; 22,8; 22,1 dan 23,3% untuk ayam di kandang umbaran
Produksi telur ayam buras di kandang baterai paling tinggi (41%) terdapat pada peternak model SWAKARSA, melebihi produksi telur ayam buras rata-rata peternak ke tiga model yang dikembangkan oleh pemerintah (31,6%). Produksi telur ayam buras di kandang umbaran model SWAKARSA adalah 23,3% melebihi produksi telur rata-rata dari ke tiga model yaitu 22,6%. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa ayam buras yang dikembangkan oleh pemerintah menghasilkan produksi telur yang rendah, lebih rendah dari model SWAKARSA. Komposisi pakan ayam buras induk di kandang baterai pada peternak SPAKU terdiri atas campuran konsentrat, jagung dan dedak padi dalam perbandingan 1: 2: 7. Hal ini berarti dedak padi digunakan sebanyak 70% dalam ransum, padahal dedak padi kurang disukai oleh ayam buras, sehingga konsumsi pakan rendah (Tabel 4). Konsumsi pakan yang rendah mengakibatkan produksi telur rendah. Dari Tabel 4 juga diketahui bahwa konversi pakan ayam buras di kandang baterai pada
peternak SWAKARSA lebih rendah dibandingkan pada peternak ketiga model lainnya. Hal ini terjadi, karena pada peternak SWAKARSA produksi telur ayam di kandang baterai tinggi, sedangkan jumlah konsumsi pakan ayam buras antar model mendekati sama. Hal ini berarti, bahwa pada peternak SWAKARSA untuk memproduksi tiap kg telur ayam dari kandang baterai dihabiskan pakan dalam jumlah lebih sedikit, dibandingkan pada peternak ke-3 model lainnya. Produksi telur ayam buras di kandang baterai paling rendah terdapat pada peternak SPAKU. Hal ini terjadi karena rendahnya konsumsi protein kasar, yaitu kurang dari 10 g/ekor/hari, sedangkan pada ayam buras peternak ketiga model lainnya mengkonsumsi protein kasar lebih dari 11 g/ekor/hari. Konsumsi protein yang rendah ini disebabkan oleh kandungan protein kasar ransum ayam di kandang baterai pada peternak model SPAKU yang rendah, yaitu sebesar 11,8% (Tabel 5).
265
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Tabel 5. Susunan dan kandungan gizi ransum ayam buras induk pada peternak keempat model pengembangan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur tahun 2000 Uraian
Model pengembangan PRT UPSUS
SPAKU
SWAKARSA
Kandang Baterai a. Komposisi pakan (konsentrat: jagung: Dedak padi)1) b. Kandungan gizi 2) - Protein kasar (%) - Energi (kcal/kg) c. Konsumsi pakan (g/ekor/hari)
1:2:7 (100%)
1:1:3 (60%) 1:2:5 (40%)
1:2:3 (67%) 1:2:4 (33%)
1:2:5 (64%) 1:2:3 (36%)
11,80 2.341 84,0 ± 5,84
13,32 2.395 89,0 ± 8,94
12,87 2.516 86,8 ± 8,69
12,55 2.461 90,0 ± 8,06
0:1:2 (67%) 0:1:3 (33%)
1:2:5 (67%) 1:2:4 (33%)
1:2:4 (75%) 1:2:3 (25%)
1:2:5 (100%)
9,57 2.446 82,0 ± 5,40
12,38 2.433 80,0 ± 7,39
12,74 2.447 77,9 ± 0,90
12,25 2.416 80,8 ± 4,73
Kandang Umbaran a. Komposisi pakan (konsentrat: jagung: Dedak padi)1) b. Kandungan gizi 2) - Protein kasar (%) - Energi (kcal/kg) c. Konsumsi pakan (g/ekor/hari) 1) 2)
Angka di dalam kurung menunjukkan jumlah peternak yang menggunakan (%) Kandungan gizi ransum hasil analisa proksimat Laboratorium IPPTP Grati, Pasuruan
Tabel 6. Produksi ayam dari pemeliharaan ayam buras oleh peternak keempat model pengembangan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur tahun 2000 Uraian Produksi ayam (ekor/peternak/tahun) Umur 1 hari Umur 2 bulan Umur 4 bulan Umur 6 bulan Afkir Total (kg/induk/tahun)
SWAKARSA
62 ± 48 0 3±3 17 ± 12 11 ± 8 93 ± 67
168 ± 147 15 ± 9 5±4 40 ± 23 11 ± 4 239 ± 67
116 ± 77 5±5 3±2 22 ± 17 9±9 155 ± 98
49 ± 52 0 5±3 15 ± 12 9±8 78 ± 65
3,10 ± 2,23
5,31 ± 1,49
3,52 ± 2,22
2,52 ± 2,10
Produksi telur ayam buras di kandang umbaran yang rendah pada peternak ke-4 model disebabkan oleh rendahnya konsumsi protein, yaitu kurang dari 10 g/ekor/hari. Rendahnya produksi telur ini mengakibatkan konversi pakan ayam buras di kandang umbaran tinggi dan seringkali mengakibatkan peternak menjadi enggan untuk memelihara ayam buras secara intensif menggunakan kandang umbaran atau menjadi cenderung
266
Model pengembangan PRT UPSUS
SPAKU
menurunkan kualitas pakan bagi ayam buras di kandang umbaran. Ayam yang dipelihara oleh peternak selain menghasilkan produksi telur, juga menghasilkan produksi ayam, seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 memperlihatkan bahwa ayam buras masih rendah dalam produksi ayam. Hal ini disebabkan karena kematian ayam praproduksi yang tinggi. Diantara keempat model tersebut, model PRT paling tinggi dalam
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
produksi ayam, terutama berasal dari produksi ayam bibit umur 6 bulan dan anak ayam jantan umur 2 bulan, yang diperoleh dari usaha pembesaran anak ayam hingga dewasa secara terpisah dari induk, dengan tingkat kematian ayam paling rendah. Pendapatan usahaternak ayam buras pada peternak keempat model di Kabupaten Jombang disajikan pada Tabel 7, yang menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata dari ketiga model yang dikembangkan oleh pemerintah adalah rendah, tidak melebihi pendapatan usaha model SWAKARSA. Tabel 7 menunjukkan bahwa model yang dikembangkan oleh pemerintah menghasilkan pendapatan yang rendah dan belum mampu meningkatkan pendapatan peternak. Pendapatan usahaternak yang rendah disebabkan oleh rendahnya produksi telur dan ayam. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pendapatan perlu upaya meningkatkan
produksi, yang dapat dilakukan antara lain melalui perbaikan pakan dan pengendalian penyakit. Perbaikan pakan diarahkan pada peningkatan produksi, dengan memperhatikan kandungan protein ransum dan efisiensi biaya pakan. Perbaikan pengendalian penyakit dapat mengurangi tingkat kematian ayam dan meningkatkan kemampuan replacement, sehingga mengurangi biaya bibit. Pendapatan usaha ternak ayam buras pada model yang dikembangkan oleh pemerintah diperoleh dari produksi telur dan ayam, sedangkan pada model SWAKARSA sebagian besar diperoleh dari produksi telur. Oleh karena itu, diperoleh gambaran bahwa di masyarakat perdesaan terdapat dua model usahaternak ayam buras yang telah dilakukan oleh peternak, yaitu model usaha produksi telur serta model usaha produksi telur dan ayam.
Tabel 7. Pendapatan usahaternak ayam buras pada peternak keempat model pengembangan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur tahun 2000 Uraian
SPAKU
Model pengembangan PRT UPSUS
SWAKARSA
A. Skala usaha (ekor/peternak)
30
45
44
31
B. Penerimaan (Ribu Rp/tahun)
2.449
5.121
4.476
3.172
Penjualan telur
1.380
2.587
2.389
2.112
Penjualan ayam
1.069 2.398
2.534 4.229
2.087 4.107
1.060 2.657
Biaya tetap
150
165
135
135
Penyusutan kandang
150
165
135
135
Biaya variabel
2.248
4.064
3.972
2.522
Ayam
1.051
1.729
1.739
1.114
Pakan
1.136
2.175
2.131
1.326
Peralatan kandang
30 15
111 15
71 15
51 15
Listrik
16
34
16
16
(Ribu Rp/tahun)
51
892
369
515
(Ribu Rp/ekor/tahun)
1,7
19,8
8,4
16,6
1
15
6
6
C. Biaya (Ribu Rp/tahun)
Obat-obatan
D. Pendapatan usaha
E. Kontribusi pendapatan (% terhadap total pendapatan)
267
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Pendapatan usahaternak ayam buras ternyata hanya memberikan kontribusi yang kecil, yaitu berkisar antara 1 hingga 15% terhadap total pendapatan peternak. Oleh karena itu, usaha ayam buras pada peternak keempat model di Kabupaten Jombang dapat dikatakan masih merupakan usaha sambilan. Menurut SOEHADJI (1995) bila pendapatan
usahaternak kurang dari 30%, maka usaha ternak tersebut merupakan usaha sambilan. Dari uraian tersebut di atas, disimpulkan bahwa model yang dikembangkan pemerintah tidak mampu meningkatkan pendapatan peternak. Kontribusi pendapatan usaha ternak ayam buras terhadap total pendapatan peternak adalah rendah, sehingga usahaternak ayam buras masih merupakan usaha sambilan.
Tabel 8. Keragaan usaha model pembibitan dan produksi telur
Uraian
Model pembibitan
Model produksi telur
30 10
30 0
Produksi telur baterai (%)
48,5
48,5
Produksi telur umbaran (%)
24,8
-
- Induk baterai (%/tahun)
16,5
16,5
- Induk umbaran (%/tahun)
14,5
-
30, 20, 10
-
4.000.000 (16%) 1.200.000 (0%)
2.000.000 (16%) 900.000 (0%)
3.977.000
2.026.000
254 Ke-3
119 Ke-3
Jumlah ayam induk (ekor/peternak) Di kandang baterai Di kandang umbaran Parameter teknis
Kematian ayam:
- Umur 0-2, 2-4, 4-6 bulan (%) Penerimaan kredit (Rp/peternak) Bank (suku bunga) Proyek (suku bunga) Kelayakan usaha NPV (Rp/5 tahun) IRR (%) B/C ≥ 1,20 terjadi mulai tahun PBP pada tahun Net Benefit rata-rata (Rp/tahun)
Dalam menilai keberhasilan dan kegagalan model pengembangan dilakukan evaluasi terhadap tercapai-tidaknya tujuan keempat model, dalam hal peningkatan populasi, produksi dan pendapatan peternak. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa keempat model belum berhasil meningkatkan populasi, yang disebabkan oleh kematian ayam pra-produksi dan kematian ayam induk yang tinggi, serta rendahnya kemampuan replacement. Dalam produksi telur, ketiga model yang dikembangkan oleh pemerintah menghasilkan produksi lebih rendah dibanding model SWAKARSA.
268
Ke-1
Ke-1
1.173.000
635.000
Rendahnya produksi telur akibat dari konsumsi protein yang rendah, yang disebabkan oleh rendahnya kandungan protein ransum. Dalam produksi ayam, model PRT menghasilkan produksi paling tinggi, sehingga pendapatannya tinggi. Dari beberapa uraian di atas, disimpulkan bahwa kinerja model SPAKU, PRT dan UPSUS yang dikembangkan oleh pemerintah, belum menunjukkan kinerja yang lebih baik dari kinerja model SWAKARSA. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya teknologi budidaya yang digunakan pada model tersebut, terutama dalam teknologi pakan dan pengendalian penyakit.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Perumusan model usahaternak ayam Buras di perdesaan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat dua model usahaternak ayam buras yang telah dikembangkan oleh peternak di pedesaan sebagai usaha sambilan, yaitu model pembibitan dan produksi telur dengan skala usaha sekitar 30 hingga 40 ekor. Skala usaha tersebut telah melebihi tingkat break even point (BEP), jika teknologi perbaikan digunakan dalam usahanya. Keragaan usaha untuk model pembibitan dan produksi telur, meliputi jumlah ayam, parameter teknis dan kelayakan usaha disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan bahwa model usaha pembibitan dan produksi telur layak dilaksanakan. Kelayakan usaha dari kedua model tersebut dapat dilihat dari cash flow usaha kedua model selama kurun waktu 5 tahun, yang telah menggunakan parameter teknis berdasarkan hasil penelitian.
Asumsi yang digunakan pada model pembibitan adalah produksi telur ayam di kandang umbaran seluruhnya ditetaskan, kemudian dijual sebagai ayam, sedangkan produksi telur dari kandang baterai dijual sebagai telur konsumsi dan kebutuhan ayam bibit dipenuhi oleh peternak dari usaha penetasan menggunakan telur tetas dari ayam di kandang umbaran. Asumsi yang digunakan pada model usaha produksi telur adalah peternak hanya memelihara ayam di kandang baterai dan menjual telur konsumsi, sedangkan kebutuhan ayam bibit dipenuhi oleh peternak dengan cara membeli. Dari uraian tentang model usaha, kredit, penyuluhan dan keragaan usaha, dapat dirumuskan model pengembangan usaha ternak ayam buras di perdesaan untuk tujuan pembibitan dan produksi telur, seperti disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Rekomendasi model pengembangan usahaternak ayam buras di perdesaan Uraian 1. Tujuan 2. Orientasi 3. Sasaran pengguna 4. Skala usaha 5. Kredit proyek - Nilai (Rp/peternak) - Dalam bentuk 6. Metode penyuluhan - Kursus/pelatihan - Pertemuan - Studi banding
Model pembibitan Meningkatkan pendapatan Produksi ayam, telur dan terpenuhi kebutuhan bibit Peternak penangkar bibit 40 ekor
Model produksi telur Meningkatkan pendapatan Produksi telur konsumsi
1.200.000 Ayam, mesin tetas, obat
900.000 Ayam dan obat-obatan
4 hari 24 kali/tahun 2 kali
2 hari 12 kali/tahun 1 kali
Masing-masing model yang direkomendasikan tersebut didukung oleh teknologi budidaya yang diperlukan untuk menjamin terpenuhinya parameter teknis, sehingga mampu menghasilkan produksi dan pendapatan yang sesuai dengan hasil analisis kelayakan usaha. Teknologi budidaya dapat disampaikan melalui penyuluhan yang intensif, yaitu melalui kursus selama 4 hari dan pertemuan sebanyak 24 kali untuk model pembibitan, sedangkan untuk model produksi telur melalui kursus 2 hari dan pertemuan 12 kali/tahun.
Peternak produsen telur 30 ekor
Model ini dapat digunakan bagi institusi pengambil kebijakan dalam rangka mengembangkan ayam buras di perdesaan, terutama ditujukan bagi peternak penangkar bibit untuk model pembibitan dan peternak produsen telur untuk model produksi telur. Kedua model usaha yang direkomendasikan tersebut menghasilkan produktivitas ayam dan pendapatan yang tinggi, melebihi keempat model yang telah dikembangkan selama ini (Tabel 10).
269
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Tabel 10. Perbedaan tingkat produktivitas ayam dan pendapatan antara model yang direkomendasikan dan yang telah dilaksanakan Model (direkomendasikan)
Model1 (telah dilaksanakan)
Ayam di kandang baterai
48,5
34,0
Ayam di kandang umbaran Produksi ayam (ekor/induk/tahun) Kematian ayam induk (%/tahun) Pendapatan (Rp/induk/tahun)2
24,8 9,6 31,0
22,8 3,6 52,0
Model pembibitan
26.500
11.025
Model produksi telur
21.165
16.610
Uraian Produksi telur (%)
1 2
Model SPAKU, PRT, UPSUS dan SWAKARSA Model direkomendasikan (pendapatan bersih), model telah dilaksanakan oleh peternak (pendapatan kotor)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Model SPAKU, PRT dan UPSUS menghasilkan rata-rata produksi telur 5,3 kg/induk/tahun atau 31,6% untuk ayam di kandang baterai dan 3,7 kg/induk/tahun atau 22,6% untuk ayam di kandang umbaran, serta menghasilkan produksi ayam 4 ekor/induk/tahun. Skala usaha pada peternak ketiga model tersebut rata-rata turun sebesar 7,7% per tahun selama 2 hingga 3 tahun. Pendapatan rata-rata per tahun dari usahaternak ayam buras model ini adalah Rp 437.000,00 untuk skala usaha 40 ekor atau Rp 11.000,00 untuk tiap ekor. 2. Model SWAKARSA menghasilkan produksi telur 7,0 kg/induk/tahun atau 41,0% untuk ayam di kandang baterai dan 3,8 kg/induk/tahun atau 23,3% untuk di kandang umbaran, serta menghasilkan produksi ayam 3 ekor/induk/tahun. Skala usaha pada peternak model ini rata-rata turun sebesar 10% dalam setahun. Pendapatan rata-rata per tahun dari usahaternak model ini adalah Rp 515.000,00 untuk skala usaha 31 ekor atau Rp 16.600,00 tiap ekor. 3. Model SPAKU, PRT dan UPSUS tidak menghasilkan produksi telur dan pendapatan lebih tinggi dari model SWAKARSA, bahkan produksi telur ayam di kandang baterai dan pendapatan dari
270
usaha ternak pada ke-3 model tersebut lebih rendah dibanding model SWAKARSA. 4. Faktor utama penyebab kegagalan model pengembangan usahaternak ayam buras adalah rendahnya kandungan protein ransum dan kesadaran peternak dalam melaksanakan kegiatan pengendalian penyakit. Saran 1. Institusi pengambil kebijakan disarankan untuk menggunakan model usaha yang telah direkomendasikan dalam penelitian ini, yaitu model usaha pembibitan bagi pengembangan usaha ayam buras pada peternak penangkar bibit dan model usaha produksi telur bagi peternak produsen telur. Model usaha pembibitan dengan skala usaha 40 ekor, terdiri atas 10 ekor ayam induk di kandang umbaran dan 30 ekor ayam induk di kandang baterai. Model usaha produksi telur menggunakan skala usaha 30 ekor ayam induk di kandang baterai. 2. Kredit untuk model produksi telur adalah ayam bibit dan obat-obatan, sedangkan untuk model pembibitan adalah ayam, mesin tetas dan obat-obatan. Pemberian kredit berupa bahan bangunan kandang, pakan dan peralatan kandang yang telah dilaksanakan selama ini sebaiknya ditiadakan 3. Kredit bagi peternak ayam buras lebih baik jika diberikan sebanyak 4 kali, yaitu pada
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
saat awal, 6 bulan, 1 dan 1,5 tahun dari awal penerimaan kredit, sedangkan pengembaliannya dilakukan setelah 1,5; 2; 2,5 dan 3 tahun dari penerimaan kredit. DAFTAR PUSTAKA AMIR P. KNIPSCHEER, HC, and BOER J DE. 1985. Economic Analysis of on-farm Livestock Trials. Working Paper No. 63. Morrilton: Winrock International Institute for Agricultural Development and International Development Research Centre. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2001a. Rencana Strategis dan Program Kerja Pembangunan Produksi Peternakan Tahun 2001-2004. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2001b. Kebijakan pengembangan agribisnis unggas air di Indonesia. Makalah Lokakarya Nasional Unggas Air; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Peternakan kerjasama dengan Puslitbangnak, Balai Penelitian Ternak. LEESON S, and SUMMERS JD. 1997. Commercial Poultry Nutrition. Ed ke-2. Canada: University Books. NATAAMIJAYA AG, DIWYANTO K, dan JARMANI SN. 1995. Pendugaan kebutuhan pokok nutrisi ayam buras koleksi plasma nutfah melalui sistem free choice feeding. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan; Bogor, 25-26 Januari 1995. Bogor : Balai Penelitian Ternak. hlm 239-243. OPPENHEIM, AN. 1992. Questionnaire Design and Attitude Measurement. London and New York: New Ed. ST. Martins Press. PRABOWO, A. TIKUPADANG, A. SABRANI, M. dan KUSNADI, U. 1992. Tingkat adopsi teknologi oleh peternak dan potensi produksi ayam
buras di daerah transmigrasi Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak; Bogor, 20-22 Feb 1992. Bogor: Balai Penelitian Ternak. hlm 116-120. SIEGEL, S. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. SUYUTI Z, SIMATUPANG L, dan HAGUL P, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Nonparametric Statistics for the Behavioral Sciences. SOEHADJI. 1995. Pengembangan bioteknologi peternakan. Keterkaitan penelitian, pengkajian dan aplikasi. Prosiding Lokakarya Nasional I Bioteknologi Peternakan. Bogor, 23-24 Jan 1995. Jakarta: Departemen Pertanian kerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. SOEKARTAWI. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). STEEL, RGD, and TORRIE JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Ed ke-2. SUMANTRI B, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics. SUJOKO. 1997. Beberapa jenis penyakit pada ayam buras yang disebabkan oleh parasit. Makalah Pendidikan dan Latihan Peternak Peserta P2RT Komoditi Unggulan Ayam Buras; Jombang, 12-15 Maret 1997. Jombang: Dinas Peternakan Daerah Kabupaten Dati II Jombang. TOGATOROP, MH, dan JUARINI, E. 1993. Respons petani peternak ayam buras terhadap inovasi teknologi di daerah Pasang Surut, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Ternak Ayam Buras Melalui Wadah Koperasi Menyongsong PJPT II; Bandung 18 Juli 1993. Bandung: Univ. Padjadjaran, Fakultas Peternakan. hlm 166-178.
271