Evaluasi Kewajiban Badan Penyehatan Perbankan Nasional Sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 Willson Gustiawan JUfusan Administrasi Niaga, Politeknlk Negeri Padang Abstract The economic crisis in 1997/1998 led to the fall of Indonesia's economy, including banking. The Indonesia Bank Restructuring Agency (IBRA) was established as an institution that served bank restructuring. IBRA delt with a lot of foreign parties which arise income tax Article 26 withholding obligations. This research was carried out on IBRA income tax withholding obligations of Article 26 from March 1999 to February 2004 period. Research method used is descriptive with the primary and secondary data. Based on research, we find that IBRA has made income tax withholding obligations of Article 26 in accordance with applicable regulations. The rate used is 20% and tariffs in accordance with tax treaty (P3B). The dominant type of transa~on is consulting services (99%). The ful~llment of these obligations has also been examined by KPP without discrepancy. Research results suggest that in dealing with overseas parties, taxation aspect should be clearly specified in the agreement, communication with the tax office should be maintained, the govemment is expected to issue rules that are more detailed and clear about Income Tax Article 26, and we hope there will be another study on the IBRA. Keywords: The Indonesia Bank Restructuring Agency, Income Tax Art. 26 witholding
1.
Pendahuluan
Tahun 1997/1998 merupakan tahun yang terberat dalam tiga puluh tahun pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Diawali oleh krisis nilai tukar pada pertengahan tahun 1997, yaitu jatuhnya nilai Rupiah menglkuti jatuhnya nilai uang Bath Thailand. Krisis mata uang berlanjut menjadi krisis likuiditas yang besar karena kelemahan fundamental yang ada pada perekonomian Indonesia. Beberapa kelemahan itu adalah: p~sar uang dan pasar modal, perusahaan di sektor riil, dan sektor perbankan. Di awal bulan November 1997, dengan dukungan dan bantuan lembaga muHilateral sepertr ~ MF, World Bank dan Asian Development Bank, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan yang bersifat menyeluruh. Kebijakan tersebut tidak hanya menyangkut program stabilisasi makro ekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal, tetapi juga
program reformasi di bidang keuangan dan sektor riil. Kondisi likuiditas yang kurang menguntungkan ditambah dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan diperburuk dengan dicabutnya izin usha 16 bank. Bank Indonesia sebagai the lender of the last resort menyediakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang kesulitan likuiditas. Sampai kuartal I tahun 1998 bantuan likulditas yang dikucurkan mencapai Rp. 140trilyun. Untuk menghindari kejatuhan perekonomian Indonesia secara keseluruhan, Pemerintah mengambil tiga kebijakan utama yang saling terkait dalam rangka memulihkan kembali perekonomian. Kebijakan tersebut adalah penyehatan sektor perbankan, kebijakan untuk mengurangi tekanan pada neraca pembayaran, dan restrukturisasi hutang swasta. Dalam melaksanakan program-program dari kebijakan-kebijakan strategis · diatas,
Evaluasi Kewajiban BPPN Sebagal Pemotong Pajak Penghasllan Pasal 26
pemerintah mendirikan /embagalembaga: Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Indonesia Debt Resturcturing Agency atau INORA. Prakarsa Jakarta. dan Peradilan Niaga. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) merupakan lembaga restrukturisasi yang secara signlfikan melaksanakan program pemerintah tersebut. Sebagai lembaga pemerintah. berdasarkan peraturan perundangan perpajakan. BPPN tentu juga memikul tanggungjawab pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan. Hasil pemungutan pajak secara nasional merupakan pendapatan yang dominan dalam komposisi penerimaan negara seperti yang tercantum dalam APBN. Pemikulan kewajiban sebagai pemotong dan pemungut PPh kepada BPPN. salah satunya adalah Pajak Penghasilan Pasal 26. sesuai dengan Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Oiubah Beberapa Kali Terakhir dengan UndangUndang Nomor R.I. Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26) adalah pajak penghasilan yang dikenakan kepada wajib pajak luar negeri baik badan maupun orang pribadi. Terkait dengan tugasnya sebagai lembaga restrukturisasi bidang perbankan. BPPN banyak melakukan transaksi dengan pihak luar negeri konsuHan-konsultan asing seperti diberbagai bidang. Tarit pajak penghasilan yang dikenakan kepada wajib pajak luar negeri berdasarkan Pasal 26 UndangUndang Pajak Penghasilan adalah sebesar 20% (dua puluh persen). TarW ini dini/ai tinggi oleh para konsu/tan. sehingga mereka mencari cara untuk menghindar dari pengenaan pajak sebesar itu. Sedangkan BPPN memiDki kewajiban memotong pajak penghasilan atas transaksi dengan mereka. Hal ini merupakan masalah tersendiri antara memberikan solusi terbaik kepada konsuHan karena jasanya memang dibutuhkan untuk mempertancar tugas BPPN dengan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak.
Pene/itian ini menjadi penting karena BPPN didirikan dengan Keputusan Presiden R/ Nomor 27 Tahun 1998 dan ditegaskan lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. BPPN menjadi lembaga yang dominan melaksanakan program kebijakan-kebiajakan pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi itu. Kontribusi BPPN terutama dalam menambah pemasukan negara melalui pemungutan pajak dinilai cukup basar yaitu dengan melakukan kewajiban perpajakannya sebesar Rp.375 milyar tahun 1998 - 2004. PPh Pasal 26 yang dipotong oleh BPPN sebagian besar adalah dari jasa konsultan asing yang banyak membantu BPPN dalam melaksanakan tugasnya. adalah sebesar Rp. 12 milyar. Selain itu. karya ilmiah yang mengangkat pennasalahan BPPN dengan berbagai aspeknya maslh sangat sedikit. Berdasarkan latar belakang itulah penelitian 1m akan mengevaluasi bagaimana pemenuhan kewajiban perpajakan BPPN sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26. Pembahasan akan dWokuskan pada landasan hukum pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 26 oleh lembaga pemerintah (khususnya BPPN). transaksi-transaksi BPPN yang terutang PPh Pasa/ 26 dan jumlah PPh Pasal 26 yang dipungut beserta analisanya. Selain itu juga secara khusus dilihat hal-hal sehubungan pemotongan PPh Pasal 26 dalam hal pemberian pengertian dan solusi kepada para konsuHan asing yang terkesan keberatan penghasilannya dipotong dan dipungut dengan tetap berpijak pada peraturan perundangan yang ber/aku. 2.
Kerangka Teori
Pemotongan Pajak Penghasilan Paul
26 Secara umum. dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahfi tentang pajak. dapat diambil beberapa karakteristik bahwa pajak adalah suatu
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Desember 2010 ISSN 1858-3687 hal 38-47
39
Evaluasi Kewajiban BPPN Sebagai Pemotong Pajak Penghasllan Pasal 26
iuran yang diserahkan kepada negara. yang penyerahannya bersifat wajib. berdasarkan undang-undang. dan tidak ada jasa timbal (tegan prestasl) serta uang yang terkumpul itu digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat (Bohari. 2004. hal.25-26). Berdasarkan faktor dominan penentuan timbulnya kewajiban pajak. Prof. Adriani membedakan pajak menjadi pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif adalah jenis pajak yang kewajiban pajaknya sangat ditentukan pertama-tama oleh keadaan subjektif subjek pajak walaupun untuk menentukan timbulnya kewajiban membayar tergantung pada objeknya. Pajak penghasllan termasuk kedalam kelompok ini. Sedangkan pajak objektif adapah suatu jenis pajak yang timbul kewajiban pajaknya sangat ditentukan pertama-tama oleh objek pajak. Pajak Penghasilan Pasal 26 berlaku dengan dasar Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Diubah Beberapa Kali Terakhir dengan Undang-Undang Nomor R.I. Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa -atas penghasilan tersebut dibawah Ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau yang terutang oIeh badan pemerintah, atau Subjek Pajak dalam nageri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negerilainnya kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dlpotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah brute oleh pihak yang wajib membayarkan: (a). divlden; (b). bunga termasuk premium, premi swap dan imbalan yang berhubungan dengan jaminan pengembalian utang; (e). royatti. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; (d). imblaan sehubungan dengan jasa, pekerJaan. dan kegiatan; (e). hadiah dan penghargaan; (f). pensiun dan pembayaran berkala lainnya-. Karena diatur dalam pasal 26 dalam UndangUndang PPh. maka atas enam jenis 40
penghasilan tersebut disebut dengan Pajak Penghasilan Pasal 26 atau PPh Pasal 26. Selain tarif 20%. PPh Pasal 26 juga memberlakukan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesai dan negara domisili penerima hasil. PPh Pasal 26 wajib disetorkan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Sedangkan pelporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT (Surat Pemberitahuan) Masa PPh Pasal 26 paling lam bat 20 hari setelah masa pajak berakhir (Suandy. 2006. ha1.191192) PPh Pasal 26 dikenakan kepada wajib pajak luar negeri. maka dalam hal ini dirasa perlu untuk mengemukakan pengertian wajib pajak luar negeri menurut peraturan perundangan perpajakan yang berlaku. Menurut Undang-Undang PPh Pasal 2 ayat (4) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah: huruf (a). orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; hUruf (b). orang pnbadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tlga) hari dalam jangka waktu12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dali menjalankan usaha atau kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) tersebut secara umum dapat dikatakan bahwa orang aSing atau badan asing dengan syarat-syarat tertentu adalah wajib pajakluar negeri. Badan aSing dalam bentuk usaha tetap (BUT)
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Oesember 2010 ISSN 1858-3687 hal 38-47
Evaluasi Kewaj/ban BPPN Sebagai Pemotong Pajak Penghasllan Paul 26
ataupun bukan BUT termasuk ke dalam wajib pajak luar negeri. Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin dan peralatan. Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan dl Indonesia (Suandy, 2006, hal. 97). BUT adalah wajib pajak luar negeri yang perlakuan pajaknya dipersamakan dengan wajib pajak dalam negen. Oleh karena itu BUT dalam penelitian ini tidak menjadi bahasan. Penelitian ini akan membahas wajib pajak luar negeri seperti konsultan-konsultan aSlng yang bertransaksi dengan BPPN.
..,
't
Badan Penyehatan Perbankan Naslonal (BPPN) Untuk menghindari hancumya perekonomian Indonesia seesra keseluruhan, Pemerintah menerapkan kebljaksanaan-kebijaksanaan strategis dalam tiga bidang utama, yaitu : 1. Penyehatan sektor perbankan. 2. Mengurangi tekanan pada neraca pembayaran. 3. Restrukturisasi hutang swasta. Dalam merealisasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan strategls yang saling terkait di atas, Pemerintah mendirikan BPPN yang bertugas untuk menjalankan program penjaminan Pemerintah dan penyehatan sektor perbankan, termasuk restrukturisasi hutang perusahaan. Dalam hal ini BPPN bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang didirikan Pemerintah seperti Indonesian Debt Restructuring Agency (INORA) dan Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative) (Rencana Strategis 1999-2004 BPPN, hal. Ii). Sebagai tindak lanjut dari pend/rian BPPN, p/hak BPPN dan Bank Indonesia sebagai pengawas bank telah bekerjasama menetapkan suatu
kebijakan strategis yang komprehensif dalam penyehatan bank. Penjabaran kebijakan tersebut dilakukan sejalan dengan jaminan yang telah diberikan pemerintah atas keamanan dana para deposan dan kreditor bank. Langkah pertama yang dilakukan adalah memperoleh gambaran yang benar tentang kondisi sektor perbankan dan meneliti dampak kondisi makro ekonomi terhadap keadaan keuangan bank, seperti melakukan penyelesaian kredit bermasalah, dan melakukan persiapan untuk mengambil langkah-Iangkah penyehatan yang diperlukan. Langkah kedua, yaitu dalam rangka menyiapkan perbankan di masa depan, BPPN dengan bantuan pihak luar bilamana diperlukan, akan mengkaji dan menentukan prospek bank-bank yang berada di bawah· tanggung jawabnya untuk kemudian memutuskan penyelesaian terbaik bagi bank-bank tersebut. Pembentukan BPPN diharapkan akan dapat memulihkan sistem perbankan dengan biaya yang seefisien mungkln bagi pemerintah. Dalam hal ini, BPPN memiliki dua fungsi pokok, yaitu: pertama, .akan melakukan pengawasan terhadap bank-bank yang memerlukan restrukturisasl dan akan mengelola proses restrukturisasi. Kedua, BPPN akan menjadi pengelola aset sehubungan dengan restrukturisasl bank. Dalam rangka melaksanakan tugas BPPN dibentuk unit-unit kerja yang terbagi dalam beberapa bidang yang meliputl Asset Management Cl8dit (AMU Credit), Asset Management Investment (AMU Investment), Risk Management, Bank Uabilities dan FoIensic Asset dan unit pendukung operas/onal 'ain. SelanJutnya BPPN akan mempertimbangkan cara-cara untuk melakukan upaya penyehatan bank-bank, antara lain penambahan modal, merger atau akuisisi dengan maksud agar sekecil mungkin membebani masyarakat (Siamat, 1995, hal. 79-80).
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Desember 2010 ISSN 1858-3687 hal 38-47
41
Evaluasi Kewajiban BPPN Sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
3. Metodologi Penelitian Penelitian tentang evaluasi kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 oleh BPPN ini memakai pendekatan metode dekrlptif yang bertujuan untuk menggambarkan sitat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Traves, dalam Umar, 1997:55). Metode riset ini dapat digunakan dengan lebih banyak dan lebih luas. Metode Ini juga memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Penelitian tentang ini mengambil objek kewajiban pemotongan dan PPh Pasal 26 oleh BPPN yang dievaluasi dari tahun 1999 (Masa Maret) sampai dengan tahun 2004 (Masa Februari), sesuai dengan masa aktif BPPN yang ditetapkan o/eh pemerintah. Jenis data yang digunakan adalah sekunder, disamping itu jika diperlukan penelitian ini akan didukung dengan data primer. Data primer berupa hasil wawancara yang tidak terstruktur dengan berbagai narasumber seperti mantan karyawan BPPN, fiskus (petugas pajak) pada Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah (KPP PND) , dan konsultan pajak yang pemah memberikan jasanya kepada BPPN. Data sekunder dalam penelitian ini berupa data sekunder dari BPPN, KPP PNDIBUMN, pihak lain seperti konsultan pajak BPPN, dan dari berbagai sumber lainnya balk berupa haiti copy maupun soft copy. Pennintaan data dilakukan dengan korespondensi ataupun mengunduh darl jaringan onl;ne yang tersedia (internet). Data kualitatif yang telah diperoleh akan disajikan secara deskriptif beriringan dengan data kuantitatif yang disajikan dalam bentuk tabulas! untuk memudahkan pemahaman. Data mengenai landasan hukum kewajibBn pemotongan PPh Pasal 26 ditampilkan secara deskriptif untuk memberikan gambaran timbulnya kewajiban pajak. Data mengenai jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong disajikan dalam bentuk tabel/diagram yang sesuai. Data jumlah 42
PPh Pasal 26 ini akan dianalisa secara deskriptif kualitatif dengan dukungan data-data lainnya. Data mengenai jenis-jenis transaksi disajikan dalam bentuk senarai (daftar) yang telah diklasifikasikan dari sekian banyak item transaksi. Data jumlah PPh Pasal 26 dan jenis-jenis transaksi disajikan secara deskrlptif kualitatif dengan dukungan data-data lainnya. Analisa dikaitkan dengan perubahanperubahan dalam produk hukum pajak, kebijakan internal BPPN, programprogram BPPN berupa restrukturisasi, penjualan aset kredit, penjualan aset properti dan tugas-tugas BPPN sebagaimana yang diberikan oleh pemerintah.
4.
Hasll dan Pembahasan
PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakanldipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Penentuan wajib pajak luar negeri dengan mempematikan tes waktu (time test) keberadaannya di Indonesia berdasarkan Perjanjian Penghlndaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara lain. PPh Pasal 26. bersamaan dengan Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 tennasuk PPh yang dipotong/dipungut oIeh plhak lain (withholding tax). Penyebutan PPh Pasal 26 adalah pajak yang dipotong. Oleh· sebab itu dalam pembahasan penefitian Inl disebutkan pemotongan PPh Pasal 26. Landasan hukum utama bagi BPPN untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pemotong dan pemungut PPh Pasal 26 adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000. Berdasarkan ketentuan tersebut. kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 oleh BPPN sebagai badan pemerintah timbul karena bunyi undang-undang.
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Desember 2010lSSN 1858-3687 hal 38-47
Evaluasi Kewajiban BPPN Sebagai Pemotong Pajak Penghasllan Pasal 26
Pihak yang dipotong PPh Pasal 26 Sebagaimana ketentuan Pasal 26 Undang-undang PPh 1983. PPh Pasal 26 dikenakan kepada wajib pajak luar negeri baik badan maupun orang pribadi selain Bentuk Usaha Tetap. Penentuan orang atau badan yang menjadi subjek pajak luar negeri diatur dalam Pasal 2 ayat (4) undang-undang ini. Bagi negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia. penentuan subjek pajak luar negeri memperhatikan tes waktu keberadaannya di Indonesia. sesuai hal yang diatur dalam P3B terse but. BPPN dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 26 selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan diatas. Profil rekanan BPPN yang merupakan subjek pajak luar negeri memberikan jasa-jasa penyedia informasi. konsultan. penilai. iklan/media. pelacakan aset dan software. Disamping itu ada rekanan BPPN yang merupakan subjek pajak luar negeri. tetapi karena Indonesia dengan negara tempat kedudukan subjek pajak tersebut telah mempunyai P3B yang mensyaratkan adanya surat keterangan domisili atau Cerlificate of Resident Taxpayer (eRn. Oleh karena itu terhadap rekanan tersebut. BPPN tidak memotong PPh Pasal 26-nya. Tarif pemotongan PPh Pasal 26 adalah 20% (dua puluh persen) dari penghasilan sebagaimana diaturdalam Pasal 26 ayat (1). (2). dan (3). Pemotongan PPh Pasal 26 juga bisa memberlakukan tarif sesuai dengan P3B1tax treaty antara Indonesia dan negara mitra.Tarit berdasarkan P3B tersebut. sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-03IPJ.101/1996 tentang Penerapan P3B. dapat diberlakukan dengan memperhatikan dua hal. yaitu surat keterangan domisili dan tes waktu penentuan BUT. Tarit P3B yang diberlakukan BPPN dengan rekanan dari Jerman sebesar 7,5%. Amerika Serikat sebesar 10%. dan Singapura sebesar 10% dan 15%. Jika rekanan luar negeri bertransaksi dengan BPPN telah melebihi tes waktu sebagaimana yang diatur dalam P3B, rekanan dapat mengajukan diri sebagai BUT (Bentuk Usaha Tetap) dengan
melapor ke Kantor Pelayanan Pajak Baan dan Orang Asing (KPP Badora). Jalan ini ditempuh sebagai solusi dari keberatan rekanan karena tarif pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% dianggap terlalu besar. Keberatan tersebut juga sering muncul akibat tidak adanya pengaturan yang jelas dalam petjanjian kerjasama yang disepakati sebelumnya antara BPPN dan rekanan. Rekanan yang memilih mendaftarkan diri sebagai BUT adalah: Tabel1 Rekanan BPPN yang Memllih Menjadi BUT No
1 2
Nama Rekanan BUT Arthur Andersen United Kingdom BUT JP. Morgan Mal~aLtd.
BUT Lehman Brothers 3 Jlndonesia) Limited BUT. Orrick Herrington 4 & Sutcliffe LTd Sumber : Data yang diolah
Negara Inggeris Malaysia Amerika Sarikat Amerika Serikat
Dengan terdaftamya rekanan tersebut sebagai BUT di Indonesia. sesuai ketentuan. maka perlakuan pajak BUT disamakan dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Oleh sebab Itu jasa konsultan yang diberikan rekanan tersebut setelah menjadi BUT. dipotong PPh Pasal23 atau PPh PasaI4(2). Tarif pemotongan PPh untuk jasa konsultan sesuai yang diatur dalam Pasal 23 dan PasaI4(2). lebih keeil daripada tarif PPh Pasal26. Dengan demikian pihak yang dipotong PPh Pasal 26 oleh BPPN adalah rekanan yang digolongkan sebagai subjek pajak luar negeri selain BUT. PPh Pasal 26 yang dipotong Dari transaksi-transaksi dengan rekanan luar negeri. BPPN telah melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang dibayarkan. Jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong dapat direkapitulasi dalam Tahun Pajak 1999 - 2004. seperti tabel berikut ini:
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Desernber 2010 ISSN 1858-3687 hal 38-47
43
Evaluasi Kewajiban BPPN Sebagal Pemotong Pajak Penghasllan Pasal 26
Tabel 2 Jumlah PPh Pasal 26 yang Dlpotong BPPN Tahun Pajak
Dasar Perhltungan
1999 2000 2001 2002 2003 2004 Jumla h
35.408.785.820 13.866.470.193 4.747.611.164 347.141.785 13.630.124.657 9.209.441.028 77.209.574.647
PPh Pasal26
6.317.758.0n 2.086.168.356 893.502.433 43.278.573 2.705.118.785 1.841.888.205 13.887.714.42 9
Sumber : Data yang dlolah
Dari tabel diatas dapat dilihat secara umum bahwa jumlah pemotongan PPh Pasal 26 oleh BPPN dari tahun ke tahun jumlahnya bervariasi. Hal ini disebabkan oleh jenisjenis transaksi yang dilakukan berkaitan dengan adanya perubahan peraturan pajak, kebijakan internal BPPN dan program-program yang dilakukan BPPN. Jumlah PPh Pasal 26 yang dlpotong oleh BPPN terbesar adalah pada tahun 1999. Hal Inl disebabkan oleh pada tahun 1999 itu BPPN baru beroperasi secara lebih Intensif dengan telah dikeluarkannya PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang Pendirian BPPN. Pekerjaan awal menyangkut tugas BPPN dalam restrukturisasl perbankan menghendaki adanya pendampingan oleh konsultan. Konsultan yang digunakan oleh BPPN kebanyakan adalah konsultan dari luar negeri. Dengan demiklan penghasilan konsultan tersebut sebagai wajib pajak luar negeri harus dipotong PPh Pasal 26. Pada tahun 2000, pemakaian konsultan luar negeri telah berkurang. Selain Itu penurunan jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong berkurang dlkarenakan empat konsultan besar BPPN telah mendaftarkan diri sebagai Bentuk Usaha Tetap, sehingga perlakuan pajaknya disamakan dengan subjek pajak dalam negeri. PPh yang dipotong bukan lagi PPh Pasal 26 tetapi PPh Pasal4 ayat (2). Di tahun 2001, jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong semakin 44
menurun dikarenakan pekerjaan em pat konsultan besar BPPN telah hampir selesai dan masa kontrak hampir habis. Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan komite eksekutif BPPN pada saat itu memangkas biaya konsultan yang biasanya besar. Gerakan efisiensi ini dipelopori oleh I Putu Gede Ny Suta yang menjabat sebagai Ketua BPPN mulai bulan Juni 2001. Sementara tahun 2002 pemotongan PPh Pasal 26 mencapai angka terendahnya sepanjang sejarah BPPN. Pada tahun Inl tidak ada jasa yang diberikan oleh konsultan luar negeri. Transaksi yang terjadi adalah langganan telekomunikasi rutin dengan Bloomberg dan biaya berkaitan dengan penerbitan iklan BPPN di media· masa luar negeri. Tahun 2003, pemotongan PPh Pasal 26 kembali besar dikarenakan adanya jasa konsultan luar negeri, yaitu konsultan hukum berkaitan dengan kasus hukum yang dihadapi oleh BPPN di luar negeri dan konsultan keuangan berkaitan dengan program penjualan aset. Konsultan keuangan yang dipakai oleh BPPN adalah J.P. Morgan Securities yang bermarkas di Singapura dan Hongkong. BPPN memakai mereka karena transaksi penjualan aset terjadi di luar negeri, sehingga BUT J.P Morgan yang telah ada di Indonesia tidak mungkln melaksanakannya. Pemotongan PPh Pasal 26 pada tahun 2004 hanya terjadi pada Masa Januari 2004 untuk brokarage fee kepada J.P. Morgan Securities atas penjualan saham di luar negeri. Walaupun hanya ada satu transaksi, tetapi jumlah PPh Pasal 26 cukup besar karena jumlah fee-nya juga besar. Masa Februari 2004, sebagai bulan terakhir beroperasinya BPPN tidak terjadi transaksi yang mengakibatkan adanya pemotongan PPh Pasal 26. Jenls Transaksl yang dlpotong PPh Pasal26 Untuk menganalisa lebih mendalam atas jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong oIeh BPPN, perlu dikemukakan jenis transaksi atau jenis
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Desember 2010 ISSN 1858-3687 hal 38-47
Evaluasl Kewajiban BPPN Sebagal Pemotong Pajak Penghasllan Pasal 26
jasa yang diberikan oleh rekanan kepada BPPN. Berdasarkan data yang diperoleh jenis transaksi atau jasa yang dominan dipotong PPh Pasal 26 adalah jasa konsultan. Konsultan BPPN terdiri atas konsultan manajemen (58%). konsultan keuangan (32%), konsultan public relation (8%) dan konsultan hukum (1%). Konsultan manajemen adalah konsultan yang paling banyak digunakan oleh BPPN dalam melaksanakan tugasnya. Pada tahuntahun pertama konsultan tersebut turut memberikan saran tentang bagaimana program restrukturisasi perbankan harus dilakukan. Wajar jika BPPN didampingi oleh konsultan. karena tolak ukur perform ansi lembaga bel urn ada. Secara tidak langsung penggunaan konsultan ini juga merupakan pengaruh dari IMF dan World Bank yang menggagas pendirian BPPN di Indonesia. seperti lembaga-Iembaga serupa di kawasan Asia Tenggara. KonsuHan tersebut antara lain adalah Orrick. Herrington & Sutcliffe LLP, JP Morgan Malaysia Ltd., Lehman Brother, Arthur Andersen, Business Fraud Solution. dan Bemag. Konsultan keuangan seperti J.P. Morgan dan John Stokes & Master memberikan jasanya terutama dalam hal penjualan saham di bursa saham luar negeri. KonsuHan PR membantu dalam hal ekspos-ekspos BPPN di luar negeri, sedangkan konsultan hukum memberikan jasa di bidang hukum, misalnya mendampingi BPPN menghadapi perkara hukum di lembaga peradilan luar negerl. Jasa telekomunikasi adalah biaya rutin berlangganan informasi keuangan dari Bloomberg. Jasa iklan merupakan jasa penerbitan iklan BPPN di beberapa media massa luar negeri. Sedangkan jasa-jasa yang lain tidaklah mempunyai prosentase yang besar terhadap PPh Pasal 26 yang dipotong oleh BPPN. Sebagai contoh jasa penyedia informasi, jasa ini merupakan jasa yang diperlukan oleh BPPN terkait pencarian informasi keuangan dana pasar modal terkait program penjualan aset. Jasa pelacakan aset merupakan
jasa yang diberikan rekanan untuk melacak aset-aset para obligor yang berada di luar negeri. Jasa penilai berkaitan dengan penilaian aset di luar negeri. Jasa software adalah jasa penyediaan software yang dibutuhkan terutama terkait program-program BPPN. Sedangkan jasa media adalah biaya berlangganan majalah luar negeri. Dilihat dari jenis transaksi/jasa yang diterima oleh BPPN. yang menjadi objek PPh Pasal 26 adalah imbalan sehubungan dengan jasa. pekerjaan, dan kegiatan serta royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Sehubungan dengan pengakhiran masa tugas BPPN, dalam hal perpajakan, pemeriksaan pajak dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah (KPP PND). Pemeriksaan pajak menyeluruh dilakukan terhadap kewaJiban perpajakan BPPN dari tahun 1998 sampai dengan 2004 untuk setiap jenis pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, KPP BUMN telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan No. PHP No. 01 sampai dengan O6IWPJ.07IKP.010512004 tanggal 25 Februari 2004. Dalam surat tersebut beserta lampiran-Iampirannya menyebutkan bahwa untuk kewajiban pemotongan. penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 26 telah memenuhi semua ketentuan yang berlaku. Dengan demikian BPPN telah melaksanakan kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 sesuai dengan peraturan perpajakan yang ada. Hal inl disebabkan BPPN selalu menjalin komunikasi yang baik dengan KPP PNDIBUMN untuk menjaga agar kewajiban perpajakan terpenuhi dengan benar. 5.
Penutup
Keslmpulan Dari penelitian tentang Evaluasi Kewajiban Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26,
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Desember 2010 ISSN 1858-3687 hal 38-47
45
Evaluasl KewaJiban BPPN Sebagal Pernotong Pajak Penghasllan Pasal 26
dapat ditarik kesimpulan sebagai berlkut: 1. BPPN melaksanakan kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 sebagai badan pemerintah tlmbul karena bunyi undang-undang, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Oiubah Terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 2. Pihak yang dlpotong PPh Pasal 26 oleh BPPN adalah rekanan yang digolongkan subjek pajak luar negerl selaln Bentuk Usaha Tetap. Tarif yang digunakan adalah 20% (dua puluh persen) dan tarif P3B (Perjanjian Penghlndaran Pajak Berganda) dengan memperhatikan surat keterang domlslll dan tes waktu keberadaan rekanan. Rekanan yang berbentuk BUT tidak dipotong PPh Pasal 26, tetapl PPh Pasal 23 atau Pasal 4 ayat (2). 3. Jenis transaksUjasa yang dlterima oleh BPPN, yang menjadl objek PPh Pasal 26 adalah Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan serta royaltl. sewa dan penghasllan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Transaksi yang domlnan adalah jasa konsultan, berlkutnya Fasa telekomunikasi, sedangkan jasa lainnya tidak banyak. 4. Berdasarbn hasll pemerlksaan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik Negara, dengan PHP No. 01 ssmpai dengan 06JWPJ.071KP.010512OO4 tanggal25 Februarl 2004, dapat dlketahul bahwa BPPN telah melaksanakan kewajiban pemotongan PPh Passl 26 sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
1. Setiap wajib pajak yang akan melakukan transaksl dengan plhak luar negerl perlu menegaskan dalam perjanjian kerjasamanya hal-hal yang menyangkut perpaJakan. Hal Inl dilakukan untuk menghlndari keberatan pemotongan PPh Pasal 26 dlkemudlan hari. Kalaupun keberatan ltu muncul dapat dlberikan solusl sesual dengan aturan yang berlaku. 2. Untuk menjaga agar pemenuhan kewajlban perpajakan terutama PPh Pasal 26, setlap wajlb pajak hendaknya selalu berkomunlkasl dengan Kantor Pelayan Pajak tempat ia terdaftar, agar tldak terjadl perbedaan pemahaman, karena PPh Pasal 26 merupakan pajak yang memiliki karakter yang berbeda karena melibatkan pihak luar negeri dan peraturan pajak intemasional. 3. Bagi pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak agar dapat menerbltkan aturan yangleblh rinci dan jelas seputar PPh Pasal 26, terutama berbltan dengan pelaksanaan P3B dan penentuan BUT.
6. Ket8rbatasan Penelltlan Penelitian ini merupakan penelltian atas kewajiban BPPN sebagai pemotong PPh Pasal 26. Penelitian lebih lanjut tentang kewajiban perpajakan BPPN yang lain atau aspek lain dari BPPN perlu dilakukan untuk memperbanyak referensi tentang sstu-satunya Iembaga restrukturisasi perbankan di Indonesia
Ini.
Daftar Referensl _ _,
Saran Oari keseluruhan proses peneUtian tentang Evaluasl Kewajiban Badan Penyehatan Perbankan Naslonal (BPPN) sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26, dapat diberikan saran sebagal berikut: 46
Data-data darl Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pajak Penghasilan Passl (SPT), Masa Maret 1999 - Februari 2004, Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Desember 2010 ISSN 1858-3687 hal 38-47
Evaluas/ Kewaj/ban BPPN Sebagal Pemotong Pajak Penghasllan Pasal 26
_ _ , Rencana Stratagis 1999 - 2004, Badan Penyehatan Perbankan Nasional Alsah,
Sjarifuddin, PemotonganPemungutan Pajak Penghasilan (Withholding Tax), 2003, Kharisma, Jakarta
Barata, Atep Adya dan H.M. Jajat femotonganDjuhadiat, Pemungutan Pajak Penghasilan dan Kredit Pajak Luar Negeri, PT.Elex Media 2004, Komputindo, Jakarta Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Edisi Revisi, 2004, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Brotodihardjo, Santoso, Panaantar IImu Hukum Pajak, 1991, PT. Ereseo, Bandung Cooper, Donald R., dan Emory, C. William, Metoda Penelitian Bisnis, Edisi 5, 1996, Penerbit Erlangga, Jakarta. Ismawan, Indra, Memahami Rafonnasi Pemajakan 2000, 2001, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana TeJah Diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun Badan 1999 tentang Penyehatan Perbankan NasionaJ Sebagaimana TeJah Diubah Beberapa Kali Terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001 tanggal 27 Februari 1999 Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional tanggal 26 Januari 1998 Surat Direktur JenderaJPajak Nomor S339/PJ.33212002 tentang Status Badan Penyehatan Perbankan NasionaJ tanggaJ 25 April 2002
Siamat, Dahlan, Manafemen Lembaga Keuanaan, Edisi Ketiga, 2001, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta
Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S397/PJ12002 tentang Penegasan atas Beberapa BPPN yang Masalah Menyangkut Bidang Perpajakan tanggaJ 30 Agustus 2002
Suandy, Erly, pgmaialcan, Edisi 2, 2006, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE03/PJ.101/1996 tentang Penerapan P3B
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999, Balai Pustaka, Jakarta. Umar, Husain, Riset Akuntansi, 1997, PT Gramedia Pustaka Utama , Jakarta Peraturan Perundangan Undang-Undang RapubJik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Talah Diubah Terakhir dangan Undang-
Jumal Akuntansi & Manajemen Vol 5 No.2 Desember 2010 ISSN 1858-3687 hal 38-47
47