Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
EVALUASI KERAGAAN BERAT BADAN SAPI BALI UMUR 190 HARI DAN 350 HARI LISA PRAHARANI dan ELIZABETH JUARINI Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221 Bogor 16002
ABSTRAK Sapi Bali mempunyai peranan penting baik bagi petani maupun dalam penyediaan daging di Indonesia. Isu penurunan populasi dan berat badan sapi Bali akibat pemotongan ternak betina produktif dan ternak bibit perlu penelitian untuk membuktikannya pada tingkat peternak. Suatu evaluasi penampilan berat badan sapi Bali telah dilakukan di Propinsi Bali. Sebanyak 8260 data sapi Bali yang lahir antara tahun 1985 dan 2000 dikumpulkan dari empat lokasi di Propinsi Bali digunakan untuk menganalisa berat badan pada umur 190 dan 350 hari. Rataan berat badan W-190h (pra-sapih) menurut jenis kelamin masing-masing 95,24 kg dan 87,95 kg untuk jantan dan betina, sedangkan rataan berat badan W-350h (pasca-sapih) sebesar 148,35 kg dan 133,09 kg untuk jantan dan betina. Peningkatan berat badan pra-sapih sebesar 440 gram/tahun pada sapi jantan dan 610 gram/tahun pada sapi betina. Penurunan rataan berat badan pasca-sapih terjadi sebesar 510 gram/tahun pada sapi jantan dan 500 gram/tahun sapi betina. Penurunan berat badan pas-ca sapih perlu mendapat perhatian bagi pemegang kebijakan dalam rangka perbaikan dan peningkatan mutu sapi Bali. Kata kunci: Phenotipik, genetik, sapi Bali
PENDAHULUAN Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah salah satu bangsa sapi murni dan sapi asli Indonesia. Sapi Bali merupakan domestikasi banteng (Bibos banteng) yang diduga terjadi di Pulau Jawa atau Bali dan Lombok (PAYNE dan ROLLINSON, 1973; ROLINSON, 1984) karena sampai saat ini masih dijumpai banteng yang hidup liar di beberapa lokasi di Pulau Jawa, seperti di Ujung Kulon dan Pulau Bali yang juga merupakan pusat penyebaran gen sapi Bali (NOZAWA, 1979). Sapi Bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadangkadang disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun sapi Bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah family Bovidae, kedudukan sapi Bali diklasifikasikan kedalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus Bos. Sapi Bali merupakan kekayaan plasma nutfah Indonesia yang perlu dipertahankan kelestariannya mengingat potensinya sebagai bahan baku atau sumber genetik bagi program pemuliaan dan perannya sebagai penghasil daging dan ternak kerja dalam mendukung peternak kecil (WIRYOSUHANTO, 1996).
168
Indonesia perlu mempertahankan keunggulan genetik plasma nutfah yang dikandungnya terutama dalam menghadapi era bioteknologi yang semakin maju (BANRC, 1993; DIWYANTO dan SETIADI, 1997). Selain itu, sapi Bali memiliki potensi genetik plasma ternak lokal yang mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan ternak impor antara lain keunggulan dalam memanfaatkan hijauan pakan yang berserat kasar tinggi, daya adaptasi iklim tropis dan fertilitas yang tinggi (83%), serta persentase (56%) dan kualitas karkas yang baik (PAYNE dan HODGES, 1997). Populasi sapi Bali saat ini secara tepat belum dapat dipastikan, tetapi menurut ENTWISTLE et al. (2001) berjumlah sekitar 2.916.944 ekor dimana terkonsentrasi pada beberapa daerah seperti Bali, NTT, NTB, Sulawesi Selatan. Peningkatan populasi sapi Bali dibandingkan pada tahun 1984 yang berjumlah 2.632.125 ekor hanya sebesar 0,7% pertahun. Hal ini disebabkan tingginya jumlah pemotongan baik sapi Bali jantan maupun betina produktif guna memenuhi permintaan pasar yang cukup tinggi. Beberapa laporan hasil penelitian yang telah dirangkum oleh PRAHARANI (2004) menunjukkan terjadinya penurunan berat badan
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
sapi dewasa. Penurunan berat badan sapi Bali dewasa yang diduga sebagai akibat turunnya mutu genetik sapi Bali seperti yang dilaporkan DARMADJA (1980) pada kurun setengah abad (1922-1976). Tetapi hasil penelitian GUNTORO et al. (1997) menunjukkan peningkatan berat badan dewasa baik jantan maupun betina di Pulau Bali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kondisi berat badan sapi Bali selama kurun waktu 1985 sampai 2000 di Pulau Bali. MATERI DAN METODE Pengumpulan data sebanyak 8260 ekor anak sapi terdiri dari 4281 ekor jantan dan 3979 ekor betina yang lahir antara tahun 1985 dan 2000. Data tersebut berasal dari peternak rakyat yang berada di Propinsi Bali pada 4 lokasi yang berbeda (Baturiti, Selemadeg, Penebel dan Marga). Data berat badan yang dicatat dalam dua kali penimbangan berat badan pada umur yang berbeda dari empat lokasi. Data yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan lokasi, umur ternak, umur induk, dan jenis kelamin. Penyortiran data dilakukan berdasarkan percilan umur ternak dan berat badan yang melebihi 3 standard deviasi. Berat badan ternak dikoreksi oleh faktor umur ternak dan umur induk. Sedangkan faktor koreksi jenis kelamin dimasukkan untuk rataan berat badan ternak setiap tahunnya. Manajemen pemeliharaan setiap lokasi dianggap sama sehingga variabel lokasi tidak dikoreksi. Data berat lahir ternak tidak tersedia; oleh karena itu digunakan berat lahir jantan sebesar 17 kg dan betina 15 kg seperti dalam literatur (SUBANDRIYO et al., 1979; PANE, 1991; TALIB et al., 2003). Data dianalisa dengan menggunakan GLM prosedur (SAS, 2001). Model yang digunakan sebagai berikut: Yijk = μ + αi + βj + εijk, dimana Y adalah berat badan atau W-350h individu ternak; μ adalah berat W-190h atau W-350h rata-rata seluruh ternak; α adalah pengaruh tahun penelitian; βj adalah pengaruh jenis kelamin ternak; dan εijk adalah pengaruh lain selain tahun penelitian dan jenis kelamin (error). Selanjutnya pengujian antara peubah tetap
dilakukan dengan menggunakan Pdiff untuk mengetahui derajat signifikasinya. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum Pemeliharaan ternak di keempat lokasi penelitian umumnya memiliki pola manajemen yang hampir sama. Pada umumnya ternak dipelihara dalam kandang, dimana induk dan anak dipelihara dalam satu kandang sampai betina siap melahirkan anak berikutnya. Ternak diberikan hijauan pakan dalam kandang sebanyak 25-30 kg rumput pada umumnya rumput lapangan, rumput gajah (bila tersedia dalam kebun rumput) ditambah dedak 1-2 kg/ekor/hari (kadang-kadang) sebagai pakan tambahan dengan sedikit garam. Air Minum tersedia dalam kandang. Ternak betina yang bunting diberi pakan tambahan berupa dedak dan atau sisa limbah pertanian lainnya. Perkawinan dilakukan melalui kawin alam dengan pejantan milik kelompok (pejantan komunal), tetapi bila memungkinkan (inseminator siap) perkawinan dilakukan melalui inseminasi buatan (IB). Pengobatan rutin diberikan oleh peternak dengan bantuan Dinas/Instansi Peternakan setempat. Struktur data Dari data yang terkumpul sebanyak 8,260 ternak, terdiri dari 4,281 ternak jantan (51,82%) dan 3,979 (48,18%) ternak betina yang lahir pada tahun 1985 sampai 2000; diantaranya 1,865 ternak dari lokasi Baturiti, 2,380 ternak dari lokasi Penebel, 2,683 ternak dari lokasi Marga dan 1,332 ternak dari lokasi Selemadeg; termasuk 2,386 ternak umur 2-3 tahun; 4,495 ternak umur 4-5 tahun dan 1,379 ternak berumur diatas 5 tahun. Struktur data dalam penelitian ini memperlihat-kan penyebaran data yang cukup merata antar lokasi, umur ternak, umur induk dan jenis kelamin ternak. Sebagai gambaran umum data asli hasil pengumpulan dari lapangan dan data yang akan dianalisa (data olahan) dalam penelitian seperti ditampilkan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, rataan umur ternak yang dipakai dalam penimbangan berat badan ternak
169
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
yang ke-I adalah 190 hari (W-190h) dan yang ke-II adalah 350 hari (W-350h). Tabel 1. Struktur data asli dan olahan (sortir) Parameter
Jumlah observasi data Data asli
8,219 Ternak (anak) 4,873 Induk 294 Pejantan 7,693 Rataan umur ternak (I)* Rataan ± SD 191,65 ± 38,85 (hari) 85 – 419 Kisaran 7,693 Berat badan ternak (I)* Rataan ± SD 86,46 ± 16,32 (kg) 40 – 203 Kisaran 7,393 Rataan umur ternak (II)* Rataan ± SD 351,81 ± 41,21 (hari) 194 – 546 Kisaran 7,393 Rataan umur ternak (II)* Rataan ± SD 135,39 ± 17,80 (kg) 78 – 268 Kisaran
Data olahan 7,924 4,716 281 7,551 189,79 ± 33,51 110 – 270 7,551 85,43 ± 14,16 40 – 130 7,322 352,31 ± 36,45 271 – 450 7,322 135,34 ± 16,83 80 – 219
*Umur atau berat ternak pada penimbangan ke-I atau ke-II
Jumlah ternak jantan dan betina pada setiap tahunnya sangat bervariasi (Tabel 2), dimana pada tahun 1991 jumlah ternaknya paling sedikit, disebabkan oleh masalah adminstrasi pencatatan. Rataan berat W-190h pada ternak jantan terendah sebesar 87.42 kg pada tahun 1989 dan tertinggi 104.25 kg pada tahun 1995; sapi betina terendah 76.77 kg pada tahun 1987 dan tertinggi 100.14 kg pada tahun 2000. Rataan W-350h pada ternak jantan terendah 139,64 kg pada tahun 1998 dan tertinggi 158,41 kg pada tahun 1991; sapi betina terendah 114,28 kg pada tahun 2000 dan tertinggi 150,46 kg pada tahun 1991. Rataan W-350h yang tinggi pada ternak jantan dan betina dalam penelitian ini disebabkan oleh sedikitnya jumlah ternak yang diamati, sehingga belum dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1991 rataan berat tersebut adalah yang tertinggi.
170
Rataan berat badan W-190h dan W-350h Rataan berat badan W-190h dan W-350h dipengaruhi oleh tahun penelitian dan jenis kelamin ternak (P<0,01). Perbedaan rataan berat badan yang terjadi setiap tahun kemungkinan disebabkan pengaruh perbedaan kualitas pakan hijauan yang sangat tergantung pada perubahan curah hujan dan iklim. Sedangkan manajemen pemeliharaan tidak banyak berubah pada setiap tahunnya. AHUNU et al. (1997) dan ABREU et al. (2002) melaporkan bahwa berat badan anak sapi potong sangat dipengaruhi oleh tahun kelahiran ternak tersebut. Perbedaan rataan berat badan antara ternak jantan dan betina, dimana ternak jantan lebih besar dari pada betina seperti yang dilaporkan dalam literatur (DJEGHO et al., 1992; TALIB et al., 1998) disebabkan oleh hormon ternak jantan dan produksi susu induk lebih banyak pada ternak yang menyusui anak jantan (AHUBUNU et al., 1997; BAKER dan BOYD, 2003). Rataan berat badan W-190h menurut jenis kelamin masing-masing 95,24 kg dan 87,95 kg untuk jantan dan betina, sedangkan rataan berat badan W-350h sebesar 148,35 kg dan 133,09 kg untuk jantan dan betina. Perbedaan masingmasing umur antara jenis kelamin berbeda nyata (P<0,01). Rataan berat W-190h dan W350h sapi jantan dan betina sejak tahun 1985 sampai 2000 ditunjukkan dalam Tabel 2. Rataan berat W-190h pada tahun 1985 masingmasing jantan dan betina sebesar 90,43 kg dan 86,36 kg. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 100,48 kg dan 100,14 kg dengan penambahan sebesar 4,81 kg (jantan) dan 1,59 kg (betina). Rataan W-350h pada tahun 1985 masingmasing jantan dan betina sebesar 152,71 kg dan 146,53 kg, tetapi pada tahun 2000 menurun menjadi 148,35 kg dan 133,09 kg dengan selisih sebesar 4,36 kg (jantan) dan 13,44 kg (betina). Rataan berat W-190h pada sapi jantan dan betina lebih tinggi dibandingkan penelitian DARMESTA dan DARMADJA (1976) dilaporkan untuk sapi jantan sebesar 87,6 kg dan betina sebesar 77,9 kg, sedangkan TALIB et al. (1998) melaporkan berat sapih ternak jantan dan betina masing-masing 94,06 kg dan 85,67 kg. Rataan berat W-350h pada sapi jantan dan betina lebih tinggi dibandingkan penelitian LANA et al. (1979) dimana dilaporkan sapi
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
betina sebesar 121-133 kg dan jantan sebesar 133-146 kg, sedangkan DJEGHO et al. (1992) melaporkan berat umur setahun 122,3 kg (jantan) dan 113,3 kg (betina). Perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian terdahulu disebabkan oleh jumlah data/materi penelitian yang berbeda, prosedur analisa data yang berbeda. Sementara perbedaan peningkatan rataan berat baik W-190h (sapih) dan W-
350h (setahun) pada sapi jantan dan betina disebabkan kemungkinan pengaruh perbaikan manajemen pakan dan pemeliharaan akibat dari penyuluhan yang intensif. Sementara perbedaan peningkatan sebagai akibat pengaruh perbaikan mutu genetik belum dapat disimpulkan dalam penelitian ini karena tidak diamati perubahan nilai genetik yang terjadi selama kurun waktu penelitian.
Tabel 2. Rataan (Least square means) berat badan sapi Bali W-190h dan W-350h Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Rataan Slope
Berat W-190h (kg) N 476 407 269 157 103 109 71 160 291 329 284 347 360 451 169 133 4116
Jantan
N
Berat umur 350h (kg) Betina
N
90,43 ± 0,01 429 86,36 ± 0,01 337 94,42 ± 0,01 329 87,94 ± 0,02 407 88,67 ± 0,04 274 76,77 ± 0,04 261 93,34 ± 0,05 165 82,93 ± 0,05 114 87,42 ± 0,08 83 77,35 ± 0,10 85 88,10 ± 0,03 106 83,68 ± 0,04 90 101,13 ± 0,50 52 90,19 ± 0,70 65 100,89 ± 0,04 142 93,77 ± 0,06 157 99,75 ± 0,02 293 92,94 ± 0,03 289 101,3 ± 0,02 325 95,10 ± 0,02 322 104,25 ± 0,03 296 97,71 ± 0,03 281 99,83 ± 0,01 339 88,34 ± 0,03 345 89,95 ± 0,02 331 89,64 ± 0,02 360 87,96 ± 0,01 381 79,22 ± 0,01 420 95,97 ± 0,05 137 85,12 ± 0,05 169 100,48 ± 0,04 123 100,14 ± 0,03 133 95,24 ± 0,01 3805 87,95 ± 0,01 3825 0,44 0,61
Trend berat W-190h dan W-350h Fluktuasi rataan kedua berat badan (W190h dan W-350h) pada sapi jantan dan betina sejak tahun 1985 sampai tahun 2000 ditampilkan pada Gambar 1 dan 2. Secara kumulative slope rataan berat badan tercermin pada nilai koefisien regresi dalam Tabel 1. Nilai koefisien regresi berat W-190h dan W-350h lebih besar dari nol (P<0,05) menunjukkan bahwa peningkatan maupun penurunan yang terjadi sangat nyata. Berdasarkan Gambar 1, rataan W-190h selama penelitian tidak terlihat terjadi perubahan, meskipun adanya peningkatan berat
Jantan
Betina
N
152,71 ± 0,02 148,28 ± 0,01 147,13 ± 0,04 151,66 ± 0,05 155,19 ± 0,12 140,05 ± 0,05 158,41 ± 0,60 146,61 ± 0,04 151,26 ± 0,02 151,42 ± 0,03 149,86 ± 0,03 151,32 ± 0,03 141,43 ± 0,01 139,64 ± 0,01 143,22 ± 0,06 145,37 ± 0,05 148,35 ± 0,01 -0,51
280 310 251 114 65 95 53 141 287 323 290 328 349 351 137 123 3497
146,53 ± 0,01 131,01 ± 0,01 121,68 ± 0,03 128,27 ± 0,06 127,29 ± 0,20 131,98 ± 0,05 150,46 ± 0,80 136,57 ± 0,05 135,76 ± 0,04 139,55 ± 0,03 135,9 ± 0,03 138,17 ± 0,04 138,51 ± 0,02 124,07 ± 0,01 129,41 ± 0,05 114,28 ± 0,07 133,09 ± 00,01 -0,50
badan secara nyata (P<0,01) ditunjukkan melalui besarnya nilai koefisien regresi sebesar 440 gram/tahun pada sapi jantan dan 610 gram/tahun pada sapi betina. Sedangkan penurunan rataan W-350h terjadi secara nyata sebesar 510 gram/tahun pada sapi jantan dan 500 gram/tahun sapi betina. Berdasarkan nilai koefisien regresi berat W-190h dan W-350h dapat diduga besarnya peningkatan dan penuruan yang akan terjadi pada beberapa tahun mendatang. Penurunan berat W-350h perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius.
171
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Jantan
Betina
Linear (jantan)
Linear (betina)
110
70 1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
Gambar 1. Trend berat W-190h sapi jantan dan betina
Jantan
Betina
Linear (jantan)
Linear (betina)
170
100 1985 1986 1987 1988 1999 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Gambar 2. Trend berat W-350h sapi jantan dan betina
Pada Gambar 3 ditampilkan fluktuasi berat ternak pada W-190h dan W-350h dimana terlihat peningkatan rata-rata W-190h sebesar 490 gram/tahun dan penurunan rata-rata W350h sebesar 520 gram/tahun. Penelitian ini mendukung beberapa penelitian yang disarikan oleh PRAHARANI (2004) dilaporkan bahwa berat badan sapi Bali dewasa mengalami penurunan, meskipun dalam penelitian ini hanya mengamati berat badan umur W-350h. Hasil penelitian ini dan sebelumnya berbeda dengan yang dilaporkan oleh GUNTORO et al. (1997) yang memperlihatkan peningkatan pada bobot badan ternak baik jantan maupun betina. Penampilan W-190h seperti halnya berat sapih dipengaruhi oleh produksi susu induk dimana merupakan cermin dari potensi induk atau produktifitas induk. Apalagi, pada sistem
172
pemeliharaan sapi Bali umumnya penyapihan tidak ditetapkan berdasarkan umur anak, dimana induk dan anak biasanya tetap dipelihara bersama-sama dalam satu kandang sampai induk melahirkan anak yang berikutnya. Bila ada pemisahan induk dan anak dilakukan pada beberapa minggu sebelum induk melahirkan. Selain itu, peternak biasanya memberikan pakan tambahan berupa konsentrat kepada induk yang mempunyai anak atau sedang bunting, sehingga pengaruh perubahan hijauan pakan. Rataan W-350h lebih mencerminkan kemampuan individu ternak setelah disapih dimana ternak tidak lagi tergantung pada induknya tetapi pada manajemen lingkungan serta interaksi keduanya. Penampilan W-350h sangat tergantung pada kualitas pakan hijauan
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
yang diberikan apalagi tanpa pakan tambahan, sehingga perubahan kualitas dan kuantitas hijauan sebagai akibat pengaruh kondisi iklim setiap tahun yang berubah. Rataan W-350h yang menurun dari tahun 1985 sampai tahun 2000 dapat pula mencerminkan adanya penurunnya nilai genetik dan kondisi pakan, dimana faktor genetik W-350h sapi Bali W-190h
W-350h
mempunyai pengaruh sebesar 50% seperti yang dilaporkan oleh PRAHARANI (2004). Penurunan genetik yang terjadi pada sapi Bali dilaporkan pula oleh SUKMASARI (2003). Trend penurunan W-350h perlu mendapat perhatian dari para pelaku peternakan dan perlu dicarikan upaya peningkatan lingkungan baik kuantitas maupun kualitas pakan. Linear (W-350h)
Linear (W-190h)
160
70 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Gambar 3. Trend rataan berat W-190h dan W-350h
KESIMPULAN Rataan berat badan W-190h (sebelum disapih) menurut jenis kelamin masing-masing 95,24 kg dan 87,95 kg untuk jantan dan betina, sedangkan rataan berat badan W-350h (sesudah disapih) sebesar 148,35 kg dan 133,09 kg untuk jantan dan betina. Peningkatan berat badan sebelum disapih sebesar 440 gram/ tahun pada sapi jantan dan 610 gram/tahun pada sapi betina. Penurunan rataan berat badan sesudah disapih terjadi sebesar 510 gram/tahun pada sapi jantan dan 500 gram/tahun sapi betina. DAFTAR PUSTAKA ABREU, U.G.P., C. MCMANUS, F.E. MORENOBERNAL, M.A.C. LARA and J.R.B. SEREN. 2002. Genetic and Environmental Factors Influencing Birth and 205 Day Weights of Pantaneiro Calves. Arch. Zootec. 51: 83-89.
AHUNU B. K., P. F. ARTHUR and H. W. A. KISSIEDU. 1997. Genetic and Phenotypic Parameters for Birth and Weaning Weights of Purebred and Crossbred N Dama and West African Shorthorn Cattle. Livest. Prod. Sci. 51 (1-3): 165-171. BAKER, J. F and M. E. BOYD. 2003. Evaluation of Age of Dam Effects on Maternal Performance of Multilactation Daughters from High- and Low-Milk EPD Sires at Three Locations in the Southern United States J. Anim Sci. 81: 16931699. BANRC. 1993. Managing Globlal Genetic Resources; Agriculture Imperative (Livestock). National Academic Press. Wahington D.C, USA. DARMESTA, I.N. dan D. DARMADJA. 1976. Berat Sapih Sapi Bali. Proseding. Reproduksi. dan Performan Sapi Bali. Dinas Peternakan. Daerah. Tk I. Bali. DJEGHO, Y, H.T. BLAIR., and D. J. GARRICK. 1992. Estimates of Phenotypic and Genetic Parameters for Weaning and Yearling Weights in Bali Beef Cattle. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences. 5: 623-628.
173
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
ENTWISTLE, K. C. TALIB, A. SIREGAR, S. BUDIARTITURNER, and D. LINDSAY. 2001. Bali Cattle Performance Current Population Dynamics and Some Strategies for Improvement (a Preliminary Report). Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor. GUNTORO, S. I. N. SUAYASA dan SUPRAPTO. 1997. Berat Hidup Sapi Bali Dewasa di Bali. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan 18-19 November 1997. Bogor. NOZAWA, K. 1979. Phylogenetic Studies on the Native Domestic Animals in East and Southeast Asia. Proc. Workshop Animal Genetic Resources in Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO). Hlm. 23-43. PANE, I. 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Proseding Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hassanudin. Ujung Pandang. PAYNE, W.J.A. and ROLLINSON, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7, 13–21. PAYNE, W.J.A. and J. HODGES. 1997. Tropical Cattle; Origin, Breeds, and Breeding Policies. Blackwell Sciences. PRAHARANI, L. 2004. Genetic Evaluation for Growth Traits, Reproductive Performance and Meat
174
Tenderness. Florida.
Dissertation.
University
of
SUBANDRIYO, P. SITORUS, M. ZULBARDI and R. AMBAR. 1979. Performance of Bali Cattle Indonesian. Agriculture Research and Development Journal I: 1-2. SUKMASARI, A. H. 2003. Pendugaan Nilai Pemuliaan dan Kecenderungan Genetik (Genetic Trend) Bobot Badan Sapi Bali di Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali) di Bali. Thesis. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. TALIB, C., G. N. HINCH, S. SIVARAJASINGHAM, and A. BAMUALIM. 1998. Factors Influencing Preweaning and Weaning Weights of Bali (Bos sondaicus) Calves. Proceedings of 6th World Congress on Genetics Applied to Livestock Production, Armidale, NSW, Australia, 11–16 Jan. Vol. 23, 141. TALIB, C., K. ENTWISTLE, A. SIREGAR, S. BUDIARTITURNER, and D. LINDSAY. 2003. Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding Programs in Indonesia. In: Proceeding of an ACIAR Workshop on “Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia”, Denpasar, Bali, Indonesia. WIRYOSUHANTO, S. 1996. Bali Cattle – Their Economic Importance in Indonesia. ACIAR Proceeding No. 75. Jembrana Disease and The Bovine Lentiviruses. 10-13 June. Bali. Indonesia. Pp. 34-42.