27
EV ALUASI TERBADAP UNDANGUNDANG PEMILU DAN PERATURAN PELAKSANAANNYA KE ARAB PENYEMPURNAAN SISTEM PEMILU Oleb : Drs. M. Riza Sibbudi Berdasarkan pengkajian dari presepsi organisasi kekuatan sosiaI-politik dan sejumJah pakar tentang perundang-undangan pemiJu dan pelaksanaannya, menurnt penulis, terlihat sejumlah pasal dari UU No_ 1 Tahun 1985 dan PP No. 35 (43) Tahun 1985 diusulkan untuk ditinjau kembali. Namun untuk pelaksanaannya, membutuhkan penelitian tersendiri dari lebih mendalam dan yang bersifat jangka panjang. Oleh sebab itu, sebaiknya dilakukan penyempurnaan yang bersifat incremental.
Pendabuluan Sejak merdeka pada 1945, Indonesia sudab menyelenggarakan pemilihan umum - untuk memilih para anggota badan perrwakilan rakyat-sebanyak lima kali. Masing-masing, sekali (Pemilu 1971) pada masa Orla, dan empat kali (pemilu 1971, 77, 83 dan 87) pada masa Orba. Bahwa pemerintahan Orba • yang barn berusia 23 tahun telab berhasil menyelenggarakan empat kali pemilu, tentu merupakan suatu prestasi tersendiri. Berarti, pemilu pada masa Orba sudab berlangsung secara periodik dan teratur sekitar lima tahun sekali. Meskipun demikian, kita tidak hendak menutup mata terhadap faktafakta yang menunjukkan masih adanya kekurangan dan kelemahan dalam pe\aksanaan pemilu-pemilu yang lalu, karenanya, dirasa perlu untuk terus melakukan berbagai usaha guna menyempumakan, atau paling tidak, memperkecil kekurangan dalam pelaksanaan pemilu-pemilu mendatang. Yang pertama kali harus dilakukan, tentu menyempumakan peraturan perundangundangan yang mengatur pelaksanaan pemilu ·itu sendiri. Pada masa Orba, peraturan perundang-undangan mengenai pemilu yang .pertama kali dilahirkan adaIab, Undang-Undang No. 15 Tabun 1969 Tenuing Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. UU ini telah mengalamiperubaban sebanyak tiga kali yaitu, pada F
28
Hukum dan Pembangunan
1975 (UU No. 4/1975), pada 1980 (UU No. 211980), dan terakhir pada 1985 (UU No. 111985). Perubahan-perubahan dalarn UU Pemilu tersebut merupakan usaha menyempurnakan pelaksanaan pemilu. UU. No. 1 Tahun 1985 dilengkapi dengan Peraturan PemerintaJi Nomor 35 Tahun 1985 tentang pelaksanaan UU No. 111985, PP No. 35/1985 itu sendiri kemudian disempurnakan dengan PP No. 43. Tahun 1985. Tulisan ini akan mencoba mengkaji bagaimana presepsinya organisasi kekuatan sosial-politik (Golkar, PPP, dan POI), dan sejumlah pakar tentang . peraturan perundang-undangan pemilu dan pelaksanaannya dalam pemilu yang baru lalu. Data-data yang dipergunakan dalam tulisan ini, selain berupa bahan-bahan tertuIis, juga dilengkapi dengari hasil Lokakarya Terbatas para pakar Ilmu Politik dan Ilmu Hukum Tata Negara yang diselenggarakan Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI di Jakarta, 14 Nopember 1988.
Tinjauan Vmum Sebagai sebuah partai pemerintah, Golkar pada umumnya mempunyai pandangan yang senada dengan pemerintah, perihal peraturan perundangundangan pemilu dan pelaksanaannya dalarn pemilu 1987 yang lalu. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa, baik Golkar maupun FKP di DPR, misalnya, tidak ban yak mempersoalkan peratunin perundang-undangan pemilu dan pelaksanaan pemilu 1987. Dalam "Pembicaraan Tingkat IV I Pengambilan Keputusan terhadap RUU di Bidang PoUtik" , khususnya tentang RUU No . 1 Tahun 1985, FKP berpendapat bahwa dalam melancarkan pembangunan politik, prinsip kesinarnbungan, koreksi dan peningkatan tetap berpijak pada nilai-niIai mendasar kehidupan negara. Menurut FKP, yang penting adalah gerak dinarnis dari pembangunan politik, dinarnika demokrasi Pancasila, pembangunan demokrasi Pancasila perlu diarahkan agar tetap dalam rangka pembangunan nasional secara keseluruhan. Bagi FKP, UU Pemilu harus memenuhi lima hal mendasar yaitu pertama, • menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta kesinarnbungan pembangunan. Kedua, mengembangkan sistem politik Demokrasi Pancasila dengan mekanisme lima tahunannya. Ketiga, menghasilkan Badan permusyawaratan/perwakilan yang senantiasa berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan rakyat banyak, mampu melaksanakan tugas-tugasnya serta tediri dari anggota-anggota yang Pancasilais, berbobot, bermoral dan berkepribadian. Keempat, mencerminkan penyelenggaraan pemilihan umum dengan prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia ("luber") dengan pelaksanaannya yang lebih baik. Dan, kelima, mencerminkan tekad untuk melaksanakan secara konsekwen kesepakatan tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas dalarn kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan prinsip-prinsip tersebut, menurut FKP, pemilu tidak akan seke-
Evaluasi
29
dar sebagai kegiatan rutin, melainkan akan menjadi sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dan sekaligus mencerminkan kreativitas dinamika masyarakat yang sedang membangun yang tetap setia pada dasar dan sumbernya. Golkar juga tetap menghendaki sistem pemilu seperti sekarang, yang merupakan paduan antara prinsip proporsional dan keseimbangan yang, dijabarkan dalam bentuk perwakilan berimbang dengan setsel daftar. karena, menurut FKP, sis tern tersebut menggambarkan pengakuan terhadap eksistensi, peranan, dan fungsi organisasi peserta pemilu (OPP) Berbeda dengan Golkar, maka Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (POI) sebagai dua kekuatan politik yang berada "diluar" struktur, kadangkala bersifat "kritis" terhadap kebijaksanaan pemerintah. Bisa dimengerti, jika oleh sementara kalangan, PPP dan POI kadangkala disebut sebagai "partai oposisi" , sekalipun di dalam Sistem Demokrasi Pancasila tidak mengenal konsep oposisi. Terhadap peraturan perundang-undangan pemilu dan pelaksanaan pemilu 1987, PPP dan POI juga bersikap "lebih kritis" . Paling tidak, jika dibandingkan dengan Golkar. Dalam "Pembicaraan Tingkat II Pemandangan Umum atas RUU Pemilu" di DPR, misalnya, Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) menuntut perlunya ditingkatkan peran serta ketiga orpol dalam pelaksanaan pemilu dan kegiatan pengawasannya. Bentuknya, menurut FPP, antara lain berupa peningkatan kedudukan ketiga orpol didalam panitiapanitia pelaksanaan dan pengawasan pemilu dari tingkat pusat sampai di desadesa, dari anggota menjadi wakil ketua. PPP juga mempersoalkan posisi pegawai negeri. Menurut fraksi PPP, para pegawai negeri harus memperoleh kebebasan penuh dalam menggunakan hak pilihnya, seperti berlaku bagi para warga negara lainnya. Hal-hal lain yang dituntut FPP adalah : pertarna, Pasal 3 Ketetapan MPR No. III Tahun 1983 (tentang Pemilu) dimana antara lain disebutkan bahwa ketiga OPP mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sarna, hendaknya harus benar-benar dilaksanakan. Kedua, agar Pasal I ayat 2, Pasal 27 ayat I, dan Pasal 28 UUD 1945 dicantumkan dalam hal "Mengingat" RUU Pemilu . Dan, ketiga, perlu diingat bahwa kesadaran politik rakyat semakin meningkat, Karenanya, jumlah anggota MPR yang dipilih hendaknya lebih besar dari yang diangkat. Sepertiga anggota ABRI dan MPR yang diangkat agar ditinjau kembali, karena sudah ada Referendum yang akan mengamankan UUD 1945. Sementara itu , POI - seperti halnya PPP - juga bersikap "kritis" terhadap perundang-undangan pemilu maupun pelaksanaan pemilu 1987 yang lalu. Terhadap UU Pemilu, misalnya, Fraksi POI di DPR Menghendald agar ketiga orpol diberi peranan yang lebih efektif dalam kegiatan pelaksanaan dan pengawasan pemilu, dari tingkat pusat sampai daerah. Hal ini akan lebih sesuai dengan "Pola Umum Pelita IV" yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Bab IV Bidang Politik huruf c, tentang kerangka landasan pembangunan politik. Febl'l/Q'i 1990
30
Hukum dan Pembangunan
FPDI juga mengingatkan TAP MPR No. III Tahun 1983 tentang pemilu, seperti : pasal I ayat 2 ("Pemilu diselenggarakan berdasarkan Demokrasi Pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia"); dan, Pasal 3 ayat I ("Pemilu diikuti oleh ketiga orpol yang mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sarna"). Untuk itu, FPDI menghendaki perlunya organisasi penyelenggaraan pemilu ditingkatkan dan disempurnakan. Kemudian, hampir senada dengan PPP dan PDI, sejumlah pakar menyoroti beberapa kekurangan dan kelemahan yang ada, baik di dalam UU No. I Tahun 1985, PP No. 35 Tahun 1985 (PP No. 43 Tahun 1985), maupun pelaksanaan pemilu 1987. Dari hasil Lokakarya Terbatas Para Pakar lImu Politik dan lImu Hukum Tata Negara yang diselenggarakan PPW-LIPI pada tanggal 4 November 1988 di Jakarta, terlihat adanya persamaan presepsi banyak hal antara para pakar dan kedua parpol mengenai UU No.2 Tahun 1985, PP No. 35 Tahun 1985, dan pelaksanaan pemilu 1987. Persamaan presepsi tersebut misalnya terlihat dari adanya keinginan dari kalangan pakar maupun parpol agar para pegawai negeri sipil (PNS) hendaknya diberi kebebasan dalam menentukan pilihan; agar hari pemungutan suara dijadikan sebagai hari libur; dan agar masa.tenang dihapuskan atau diperpendek. Secara uftlUm, presepsi para pakar dapat dibagi dalarn dua bagian. Pertama, presepsi bersifat jangka panjang, yang melihat bahwa pembahasan mengenai UU Pemilu (UU No. I Tahun 1985) tidak bisa dipisahkan dari UU Bidang Politik lainnya, seperti UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No.2 tahun 1985), serta UU Parpol dan Golkar (UU No. 3 Tahun 1985). Sebaglan kalangan pakar berpendapat bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas Demokrasi Pancasila yang berdasarkan pada UUD 1945, perlu adanya perbaikan tidak saja pada UU Pemilu tetapi juga UU Bidang Politik lainnya. Pandangan ini barangkali cukup baik untuk dipikirkan, khususnya untuk keperluan beberapa tahun lagi. Tetapi untuk pelaksanaannya mungkin membutuhkan penelitian tersendiri yang bersifat jangka panjang dan mempunyai cakupan yang lebih luas. Kedua, pandangan yang bersifat jangka pendek, yang berpendapat bahwa pada saat ini yang diperlukan adalah, penyempurnaan dan perbaikan pada UU Pemilu (UU No.1 Tahun 1985) dan Peraturan Pelaksanaannya (PP No. 35 Tahun 1985/PP No. 43 Tahun 1985). Sebagian pakar cenderung beranggapan bahwa UU No.1 Tahun 1985 sudah cukup baik dibandingkan ketika pertama kali dilahirkan (tahun 1969). Narnun, IIIereka menilai perlunya diadakan penyempurnaan dan perbaikan pada beberapa bagian UU. No. 1 Tahun 1985, juga pada beberapa bagian PP No. 35 Tahun 1985 (PP No. 43 Tahun 1985),serta pada pelaksanaan pemilu di masa-masa yang akan datang.
Persepsi Makro Persepsi orpoI dan sejumlah pakar tentang UU No.1 Tahun 1985, PP
. 31
EvaJuasi
No. 35 (No. 43) lahun 1985; dan pelaksanaan pemilu 1987, yang bersifal makro dapat dikelompokkan dalam dua bagian besar ; Pertama, persepsi yang menganggap bahwa perubahan UU No. I Tahun 1985 harus dikaitkan dengan perubahan UU No . 2 Tahun 1985 (tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD) serta UU No. 3 Tahun 1985 (tentang Partai Politik dan Golongan Karya). Dalam hal ini terdapat sejumlah aspek yang mendapat sorotan dari orpol (khususnya PPP dan POI) serta sejumlah pakar, yaitu : A. Semua anggota DPR hendaknya harus dipilih , karena kata "Perwakilan" dalam Dewan Perwakilan Rakyat mengandung konotasi "dipilih" bukan ·"diangkat". Dalam kaitan ini, menurut sementara pakar, komposisi anggota DPR yang diangkat sebaiknya perlu dirumuskan kembaIi. Misalnya, apakah pengangkatan para anggota ABRI sudah sesuai dengan kriteria Utusan Golongan. Pasal 2 ayat 1 U UD 1945 menetapkan "Majelis Permusyawaratan Ra kyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerahdaerah dan golongan-golongan-, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang". Mengenai wakil golongan-golongan penafsiran resmi dalam Penjelasan UUD 1945 menyebutkan : "Golongan-golongan ialah Badan-badan seperti Koperasi , Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif. Aluran demikian memang sesuai dengan aturan jaman. Berhubung dengan anjuran mengadakan sistim koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan-golongan dalam Badan Ekonomi" . Menurut sementara pakar, kita sepakat menerima penafsiran perluasan (extensieve interpretatie) dari kata-kata "lain-lain badan kolektif" itu dengan memasukkan utusan-utusan ABRI dalam MPR. Adalah menarik bahwa pembuat UUO 1945 mempergunakan "utusan-utusan dari Daerah-daerah dan golongan-golongan" bukan "anggota-anggota" sepeni halnya bagi anggotaanggota DPR . Ini membuat sementara pakar menarik kesimpulaIi berdasarkan penafsiran bahasa, bahwa perbedaan istilah ini karena perbedaan penempatan mereka dilembaga-Iembaga yang diwakilinya. Untuk OPR disebut anggota-anggota, karena harus dipilih oleh rakyat agar sesuai dengan namanya /I Dewan Perwakilan Rakyat 1/ , dan sebagai wakil dad seluruh rakyat /I , /I
sebagaimana ditegaskan oleh Penjelasan UUD 1945 pasal 2. Menurut sementara pakar, oleh karena UUD 1945 telah memperhitungkan faktor daerah-daerah dan ·faktor golongan-golongan dalam MPR, maka seharusnya DPR hanya menjadi tempat bagi para wakli seluruh rakyat - yang dipilih oleh rakyat - yang berdasarkan pasaI 27 ayat 1 UUD 1945, terdiri dari warga negara yang bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Dengan demikian timbul pertanyaan, apakah pengangkatan di daIam DPR lidak bertentangan dengan Pasal27 ayat 1 UUD 1945? Utusan-utusan golongan seharusnya tempatnya ada di MPR, karena hanya dilembaga ilUlah semestinya duduk utusan-utusan golongan berdasarkan pengangkatan. Pengangkatan DI MPR pun, menurut sementara pakar seharusnya benarbenar merupakan tambahan sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 2 UUD 1945. Berani seluruh anggota MPR pilihan rakyatharus merupakan jumlah yang FebrUQri J99()
32
Hukum dan Pembangunan
menentukan, yang menurut Pasal37 ayat I UUD 1945, "sekurang-kurangnya 213 dari jumlah anggota MPR". Ini akan lebih sesuai dengan ajaran kedaulatan rakyat dan dasar negara "kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan permusyawaratan/perwakilan" yang kita anut. PPP, seperti" yang telah diuraikan, bahkan menghendaki agar 113 (sepertiga) anggota ABRI di MPR yang diangkat sebaiknya ditinjau kembaIi. Dengan alasan : kesadaran politik rakyat yang semakin memingkat, dan karena sudah ada Referendum yang akan mengamankan UUD 1945. Memang, salah satu pertimbangan diadakannya pengangkatan para anggota ABRI di MPR (juga DPR) adalah, untuk mengamankan UUD 1945. Akan tetapi setelah semua orpol berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas (berdasarkan UU No . 3 rabun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar), dan setelah adanya UUD 1945 sudah jauh lebih terjamin dibandingkan untuk mengkhawatirkan akan adanya pihak-pihak yang akan mengubah UUD 1945 . B. Ketiga orpol (Golkar, PPP dan POI) dan para pakar sepakat bahwa para anggota DPR seharusnya terdiri dari mereka yang mempunyai kualitas (dalam istilah Golkar, "yang Pancasilais, berbobot, bermoral, dan berkepribadian"), serta bahwa para anggota DPR perlu lebih difungsionalisasikan agar lebih sesuai dengan asas Kedaulatan Rakyat. Selama ini ada kesan di kalangan masyarakat luas, yang diakui oleh Ketua DPR/MPR M. Kharis Suhud, bahwa para anggota DPR hanya "asal bunyi". Kesan seperti tersebut sudah tentu sangat merugikan para anggota DPR yailg, notabene merupakan sebuah lembaga yang sangat terhormat. Namun, apa hendak dikata, justru kesan itulah yang ditangkap masyarakat pada umumnya. Mereka merasakan betapa wakil rakyat seringkali kurang tanggap atau kurang cepat mengantipasi aspirasi yang tumbuh dikalangan masyarakat, khususnya dikalangan masyarakat "kelas bawah." Dengan kat a lain, apa yang disebut sebagai "kepekaan sosial" dirasakan sangat kurang di kalangan anggota DPR . Ketua MPR/DPR M. Kharis Suhud dalam salah satu wawancaranya dengan suratkabar harian Jakarta, antara lain mengatakan bahwa peranan DPR sebagai lembaga wakil rakyat belum seperti yang diharapkan, dan banyak anggotanya belum mewakili kepentingan rakyat. Ia menyebutkan kualitas anggota, selain tradisi sistem pencalonan, dan cara kerja DPR, sebagai faktor-faktor yang menghambat lembaga ini dalam memainkan peranannya. Menurut Kharis Suhud, dari perkembangan sejarah, anggota DPR memang kurang diutamakan untuk dipilih diantara orang-orang yang pandai. Untuk itu, semen tara pakar menghendaki agar persyaratan untuk menjadi calon anggota DPR seharusnya lebih diperketat V. Sebagian pakar (juga PPP dan POI) berpendapat, sebaiknya semua organisasi kekuatan sosial-politik memilih struktur cabang dan anak cabang sampai ke daerah-daerah.tingkat III. Hal ini, antara lain, dimaksudkan untuk "mengukur kecintaan" masyarakat terhadap orpol. Sejak diberlakukannya kebikjaksanaan floating mass (massa mengam-
Evaluasi
,
33
bang) pada tahun 1970an, orpol tidak diperkenankan melakukan aktivitasnya di desa-desa. Menurut UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya setelah diubah dengan UU No.3 Tahun 1985, parpol dan Golkar hanya diperbolehkan mendudukkan seorang komisaris dan beberapa Pembantu Komisaris di liap kota Kecamatan dan Desa, sebagai bagian dari kepengurusan parpol/Golkar di Ibukota Kabupaten/Kotamadya untuk Daerah Tingkat II. Kebijaksanaan massa mengambang - yang oleh sementara kalangan disebut juga sebagai "depolitisasi" rakyat semula dimaksudkan untuk mengeliminir konflik-konflik politik, istimewa yang berdimensi ideologis, dan untuk menghapuskan citra "politik sebagai panglima" yang sangat terkenal pad a masa pemerintahan Orde Lama. Dengan kata lain, kebijaksanaan massa mengambang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian masyarakat pedesaan dari masalah-masalah "politik praktis." Bagi parpol, terutama diberlakukannya UU NO.3 Tahun 1985 dan UU No.8 Tahun 1985 (tentang organisasi Kemasyarakatan), kebijaksanaan massa mengambang je/as akan menjadi salah satu penghambat dalam merekrut anggota-anggota baru mereka. Karena, di satu pihak, secara yuridis-formal parpol tidak lagi mempunyai hubungan organisatoris dengan berbagai eks unsur dan ormas-ormas onderbouw-nya yang, selama ini menjadi IIsumber kader " bagi parpol. Sedangkan di pihak lain, karena adanya kebijaksanaan massa mengambang maka parpol tidak menyentuh lapisan masyarakat "kelas bawah" di daerah pedesaan. Oleh karena itu, bisa dipahami bila ban yak kalangan parpol dam pakar yang menyuarakan keinginan mereka agar pemerintah sebaiknya mencabut kebijaksanaan massa mengambang. Memang, kebijaksanaan massa me.ngambang dirasakan sangat merugikan oleh parpol (PPP dan PDI), sementara Golkar, di lain pihak, karena memiliki hubungan erat dengan birokrasi pemerintah yang menjalar sampai ke desa, malah lampak "sangat diuntungkan" seperti terlihat pada waktu pemilu. Karena menjadi salah satu penghambat munculnya pola-pola baru dalam proses rekruitasi dan kaderisasai - yang sesuai dengan nafas UU No.3 dan UU No.8 tahun 1985 - di tubuh parpol, kebijaksanaan massa mengambang pada akhirnya dapat mempersulit pelaksanaan UU No . 3 dan No . 8 Tahun 1985 itu sendiri. Soalnya, bila kebijaksanaan massa mengambang masih tetap dipertahankan, parpol akan lebih cenderung tetap mengutamakan penggunaan pola-pola lama. Karena, setelah diberlakukannya UU No.3 dan No.8 Tahun 1985, bukan hanya ormas yang bisa secara langsung dan leluasa merekrut keanggotaan dan menyentuh lapisan masyarakat "kelas bawah?" . Setelah pemerintah Orde Baru terbukti berhasil menciptakan stabilitas nasional (selama lebih 20 tahun terakhir ini), dan berhasil menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua orpol dan ormas, sebenarnya memang tidak perlu adanya kekhawatiran untuk mencabut - paling memperiongggar - kebijaksanaan massa mengambang. Karena, selain hal itu akan Februar; 1990
34
Hukum dan Pembangunan
memperlancar pelaksanaan UU No.3 dan No.8 Tahun 1985, juga akan menumbuhkan iklim politik yang lebih sehat bagi tumbuh dan berkembangnya Demokrasi Pancasila. Sebenarnya setelah Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi orpol dan ormas timbul pertanyaan, apakah argumen atau alasan yang menyebabkan lahirnya kebijaksanaan massa mengambang - yaitu kekhawatiran terjadinya pertentangan politik yang tajam karena perbedaan ideologi - masih relevan? Disamping itu, UU No.3 Tahun 1985 antara lain memuat ketentuan bahwa keanggotaan parpol dan Golkar bersifat terbuka dan perorangan. Berarti, keanggotaan parpol dan Golkar tentunya juga terbuka bagi masyarakat yang berdiam di pedesaan. Kalau demikian halnya, maka kebijaksanaan massa mengambang sebenarnya sudah kehilangan relevansinya. Seandainya kebijaksanaan itu masih diteruskan, maka akan timbul pertanyaan lain: apakah tidak berkontradiksi dengan ketentuan UU No.3 Tahun 1985? Sebagai konsep ilmiah, massa mengambang dapat saja terus dipakai, karena kemungkinan selalu ada dan terbuka bahwa sebagian anggota masyarakat, apakah yang diam di kota atau di desa, memang tidak tertarik untuk menjadi anggota orpol apapun. Tetapi sebagai kebijaksanaan politik yang selama ini berlaku pengertiannya, tampaknya perlu diperlonggar sehingga memungkinkannya kern bali kepada pengertiannya yang murni sebagai sebuah konsep ilmiah. Bagian kedua dari persepsi orpol dan sejumlah pakar tentang perundangundangan dan pelaksanaan pemilu yang bersifat makro, merupakan saran, pandangan, dan kritik atas sistem pemilihan umum yang berjalan selama ini. Dari 4 (empat) kali pemilihan umum pada masa Orde Baru, sementara pakar menilai, adanya kelemahan dalam sistem pemilu yang berjalan selama ini yaitu, yang dikenal sebagai sistem proporsional atau stelsel daftar. Kelemahan itu antara lain berupa : longgarnya keterikatan antara wakil rakyat dan mereka atau daerah yang diwakilinya. Kemudian, ada kesan "begitu mudahnya" recalling dijatuhkan oleh pimpinan orpol pada anggota fraksinya di parlemen yang dinilai tidak sejalan dengan kebijaksanaan pimpinan orpol yang bersangkutan. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, sementara pakar menilai perlunya meninjau kern bali sistem pemilu yang berlaku selama ini. Sebagian dari mereka melihat perlunya kita mengarah ke Sistem Distrik akan berdampak negatif bila diterapkan di Indonesia dewasa ini. Menurut sebagian pakar, sistem pemilu hendaknya diarahkan ke Sistem Distrik. Untuk itu, pada tahap pertama sebaiknya pemilih diberi kebebasan untuk memilih nama ealon atau tanda gam bar. Hal ini, antara lain, untuk meneegah adanya recall yang bersifat subyektif. Namun, sebagian pakar yang lain menilai , jika Sistem Distrik diterapkan di Indonesia dewasa ini, maka akan berdampak negatif. Pada pemilu 1987, misalnya, dari 300 kabupaten (jika kabugaten dijadikan sebagai satuan distrik) di seluruh Indonesia, hanya 4 (enipat) kabupaten yang dimenangkan PPP . Selebihnya dimenang-
35
kan Golkar. Sedangkan PDI tidak memenangkan satu kabupaten pun. Berani, PDI akan "hilang" dari percakapan politik di Indonesia, seandainya Sistem Dis\rik di berlakukan. Hal ini tentu berdampak negatif bagi pembangunan politik di Indonesia. Sebagian pakar yang tidak setuju dengan diubahnya sistem pemilu - dari Sistem Proporsional menjadi Sistem Distrik - menganggap bahwa paling realistis dilakukan pada masa sekarang adalah, memperbaiki atau menyempurnakan sistem pemilu yang selama ini sudah dijalankan. Misalnya, dengan mengkombinasikan Sistem Proporsional dan Sistem Distrik. Dalam hal ini para pemilih diberi kebebasan untuk memilih tanda gam bar atau nama calon (sepeni pada Pemilu tahun 1955). Ini akan memperkuat posisi setiap calon wakil rakyat, sena akan lebih mengakrabkan an tara wakil rakyat dan daerah yang diwakilinya. Sementara itu, Golkar di lain pihak, tetap menghendaki sistem pemilu sepeni sekarang yang merupakan perpaduan antara prinsip proporsional dan keseimbangan yang, dijabarkan dalam bentuk perwakilan berimbang dengan stelsel daftar. Alasannya, sistem tersebut sudah menggambarkan pengakuan terhadap eksistensi, peranan dan fungsi organisasi pesena pemilu (OPP). Sebagian pakar berpendapat, pemilu seharusnya juga memilih para calon anggota MPR Utusan Daerah. Dalam pelaksanaan berarti akan ada 4 (empat) kotak suara yang harus disediakan, masing-masing untuk : DPR, DPRD I, DPRD II, dan MPR (kecuali untuk DKI Jakarta yang hanya tiga kotak suara umuk : DPR, DPRD I, dan MPR). Hal ini akan lebih sesuai dengan judul UU No. I Tahun 1985 yaitu, "Undang-Undang Temang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Hadan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat". Namun, sebagian pakar yang lain menganggap bahwa anggota Fraksi Utusan Daerah di MPR tidak harus dipilih oleh rakyat seperti halnya anggotaanggota DPR. Menurut salah seorang pakar, untuk "utusan-utusan dari Daerah-daerah" disebut demikian oleh UUD 1945 pasal 2, karena memang tidak harus dipilih oleh seluruh rakyat, tetapi cukup diutus oleh DPRD Tingkat I untuk dalam MPR Dengan tegas dalam Penjelasan UUD 1945 pasal 2, antara lain, disebutkan: " ... supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat". Dengan demikian, dalam MPR akan terdapat anggOla-anggOla DPR wakil seluruh rakyat berdasarkan pilihan rakyal, ditambah dengan utusan-utusan daerah-daerah berdasarkan pili han DPRD I, dan utusan-utusan dari golongan berdasarkan pengangkalan. Ketiga macam cara penempatan yang berbeda-beda ini untuk memungkinkan "MPR itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat."
Presepsi Mikro Yang dimaksud dengan presepsi mikro di sini adaiah, pandangan, saran, FebfiJ/l,.; 19.90
36
Hukum dan Pembangunan
dan kdtik dad kalangan orpol dan pakar terhadap perundang-undangan dan pelaksanaan pemilu, yang bersifat incremental. Berarti, pandangan, saran, dan kdtik tersebut lebih dipusatkan pada upaya menyempurnakan dan memperbaiki - bukan merubah - UU No.1 Tahun 1985, PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, serta pelaksanaan pemilu di masa-masa yang akan datang. Dalam kaitan ini, ada sejumlah aspek/ masalah yang mendapat sorotan, baik dad kalangan orpol maupun pakar. Sejumlah pakar dan kalangan parpol (PPP dan POI) mengemukakan bahwa, mungkin sudah waktunya ketiga orpol dilibatkan/diikutsertakan dalam kepanitiaan pelaksanaan dan pengawasan pemilu, dad tingkat Pusat sampai desa-desa . Misalnya, dalam Pantarlih (Panitia Pendaftaran Pemilih). Guna menghindari kecurigaan, sebaiknya kalangan orpol dilihat dalam Pantarlih, sekurang-kurangnya sebagai pendamping. Juga, rangkap jabatan kepanitiaan pemilu hendaknya dihapuskan, minimal dikurangi. Tetapi sebagian pakar menganggap hal itu tidak perlu, sepanjang tugas kepanitiaan benarbenar berlaku jujur, dan mengingat biaya yang dibutuhkan tentu sangat besar. Ada tiga hal yang berkaitan dengan masalah pencalonan, yang mendapat sorotan baik dari kalangan pakar maupun orpol. Pertama, sebagian pakar menganggap votegetter ("pengumpul/penarik suara") tidak perlu dimasukkan dalam daftar calon. Karena, votegetter biasanya terdiri dari pada menterilpejabat yang sudah pasti tidak akan menjadi anggota DPR. Namun, sebagian pakar yang lain menganggap, tidak menjadi masalah apakah votegetter dicalonkan atau tidak. Dengan alasan yang agak berbeda, kalangan PDI mempersoalkan tampilnya istri-istri pejabat sebagaiVotegetter untuk salah satu OPP (baca : Golkar). Karena, hal ini dianggap dapat menghambat kenetralan sikap alat negara. Masalah kedua, adalah : calon seharusnya berasal dad daerah yang bersangkutan atau, paling tidak, dikenal oleh masyarakat yang bersangkutan. Usul ini juga dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan antara para wakil rakyat dan daerah yang diwakilinya, seperti disinggung oleh Ketua DPR/MPR, M. Kharis Suhud. Untuk itu syarat tersebut hendaknya dicantumkan pada Pasal 74 ayat (2) PP NO. 35 Tahun 1985. Ketiga, sebagian pakar dan kalangan parpol berpendapat bahwa Sural Keterangan "bersih Lingkungan" hendaknya tidak perlu dijadikan sebagai syarat mutlak bagi setiap calon anggota DPR . Karena, hal itu tidak diatur baik dalam UU No.1 Tahun 1985 maupun PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985. Masalah "bersih lingkungan " mulai menjadi pembicaraan masyarakat luas menjelang Pemilu 1987 sampai setelah usainya Sidang Umum MPR 1988. Masalah ini semula dimaksudkan untuk melihat apakah di lingkungan keluarga seseorang ada yang pernah terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam G-30-S/PKI. Namun soal "bersih lingkungan" kadangkala dipergunakan pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan lawan-Iawan politiknya. Dad kalangan parpol yang menjadi "korban" dari adanya isyu
Evaluasi
37
"bersih lingkungan," diantaranya adalah : Sekjen DPP PPP. Des. Mardinsyah, dan Sekjen DPP PD!, Drs. Nico Daryanto. Yang menarik, kedua tokoh itu justru menjadi sasaran isyu "bersih lingkungan" oleh lawanlawan politik mereka di dalam partai mereka sendiri. Adanya keinginan agar Surat Keterangan "Bersih Lingkungan" tidak lagi dijadikan sebagai syarat mutlak bagi setiap calon anggota DPR, tampaknya cukup beralasan. Pertama, seperti dikatakan Mendagri Rudini, bahwa lingkungan belum tentu mempengaruhi ideologi seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang berada di lingkungan/keluarga komunis, belum tentu menjadi komunis. Yang kedua, kriteria "bersih lingkungan" itu sendiri masih kabur, sehingga membuka peluang bagi munculnya penafsiran yang sanga.t subyektif. Tentang aspek/masalah kampanye, terdapat 7 (tujuh) hal yang mendapat sorotan dari kalangan orpol dan sejumlah pakar. Pertama, sementara pakar mensinyalir adanya penggunaan dana kampanye yang berlebih-Iebihan dan "kurang pada tempatnya" sehingga menimbulkan kesan adanya "pembelian suara" oleh OPP tertentu . Kesan ini muncul terutama setelah melihat gaya kampanye Golkar di Aceh. Menurut Dwight Y. King dan M. Ryaas Rasjid, para juru kampanye Golkar menyumbangkan dananya bagi kepentingan sarana dan prasarana ummat Islam di hampir seluruh daerah di Aceh. Bustanil Arifin (salah satu jurkam Golkar keturunan Aceh), misalnya menyumbangkan dana sebesar Rp. 72 juta bagi pembangunan sejumlah mesjid di Aceh Barat, Rp. 103 juta untuk pembangunan masjid di Aceh Selatan, dan Rp. 5 juta untuk Dewan Masjid Indonesia di propinsi Aceh. Kegiatan Golkar lainnya di Aceh, yang menimbulkan kesan adanya "pembelian suara" (karena berIangsung dalam suasana Pemilu 1987) adalah, peresmian proyek-proyek pembangunan oleh Ketua Umum Golkar. Diantaranya, meliputi jembatan sepanjang 204 meter di Krueng Teunom yang menelan biaya Rp. 4,2 milyar, dan jembatan sepanjang 108 meter di Wayla yang menelan biaya Rp.I,3 milyar, keduanya di Aceh Barat. Juga diresmikan, sebuah asrama mahasiswa Unsyiah yang berkapasitas 500an orang dengan biaya pembangunannya sebesar Rp. 1,1 milyar. Bagi sementara pakar, kesan adanya "pembelian suara" seperti tersebut di atas seharusnya dihindarkan. Untuk itu perlu ditumbuhkan persaingan sehat, diantaranya dengan cara mengadakan peraturan yang membatasi penggunaan dana (biaya) kampanye. Namun, sebagian pakar yang lain menilai, akan sulit untuk melakukan pembatasan dana kampanye. Di negara maju seperti Amerika Serikat pun pengontrolan pemakaian dana kampanye sulit dilakukan. Walaupun demikian, memang ada baiknya jika orpol yang memiliki dana "berlimpah" tidak menggunakannya secara demonstratif agar tidak menimbulkan "kecemburuan politik". Hal kedua,yang berkaitan dengan masalah kampanye, yang mendapat sorotan adalah, tentang program kampanye. Sebagian pakar mengusulkan, sebaiknya dalam salah satu pasal pada Bab VII (Kampanye Pemilihan Umum) F.brwri 1990
38
Hukum dan Pemban8unan
PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, dieantumkan bahwa setiap orpol harus merumuskan program yang akan dikampanyekan seeara jelas dan realistis. . Sementara pakar berpendapat, program kampanye yang ditawarkan kalangan kparpol (PPP dan POI) terkesan tidak realistis, bahkan terkesan tidak lebih sekedar 'kumpul keinginan" para pemimpinnya. Program kampanye PPP, misalnya, terlalu berbelit-belit dan mendetail sehingga sulit dipijltami, baik oleh para jurkamnya sendiri maupun oleh masyarakat awam yang ingin mengetahui lebih jauh tentang program partai ini. Sedangkan program kampanye POI, bisa dikatakan tidak mengandung beberapa masalah penting yang berkaitan dengan bidang pekerjaan sebagian besar masyarakat Indonesia. lni dianggap sebagai kekurangan dan kelemahan program kampanye POI yang menyebabkan adanya kesan bahwa, program tersebut dibuat seeara terburu-buru, belum dibahas secara mendalam di kalangan sendiri, dan terkesan 'asal jadi' . Sebagian besar program kampanye PDI justru menyangkut hal-hal abstrak dan tidak berkaitan secara langsung dengan kebutuhan rakyat sehari-hari. Padahal mereka mengaku sebagai partai rakyat keeil ." Untuk menghindari adanya penawaran program kampanye yang tidak realistis dan "asal jadi" tersebut, menurut sebagian pakar, maka pasal 85 PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, yang berbunyi : "Tema dan materi kampanye Pernilihan Umum adalah program tiap organisasi peserta Pemilihan Umurn yang berhubungan dengan Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Paneasila," perlu lebih diperjelas lagi. Hal ketiga adalah ten tang jadwal kampanye. Sebagian pakar mengusulkan agar jadwal kampanye sebaiknya diseragamkan. Hal ini, antara lain, dimaksudkan untuk menghindari terjadinya ekses yang tidak diinginkan. Berdasarkan penelitian lapangan pada Pemilu 1987, terlihat adanya perbedaan jadwal pelaksanaan kampanye antara satu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya, ada satu daerah yang memberlakukan peraturan di mana ketiga OPP bisa berkampanye pada hari yang sama meskipun di tempat-tempat yang berlainan. Namun, di daerah lain dijumpai dimana pada satu hari hanya diperbolehkan adanya kampanye dari satu opp tertentu. Menurut sementara pakar, ada baiknya, jika jadwal kampanye di seluruh Indonesia diseragamkan. Karena, ketidak-seraga!l.lan jadwal kampanye dapat menimbulkan ekses, seperti bentrokan antar-massa pendukung OPP yang berlainan. Ekses seperti tersebut akan bisa dikurangi dan dihindari jika dalam satu hari tidak mungkin ada lebih dari satu OPP yang mengadakan kampanye. . Sementara itu, PPP mempersoalkan lamanya waktu kampanye yang hanya 25 har! dengan pelarangan mengadakan kampanye di malam' hari. Menurut mereka, waktu 25 hari kampanye relatif tidak cukup, mengingat terbatasnya sarana transportasi, komunikasi dan sarana lainnya bagi PPP . Juga, pelarangan kampanye malam hari sangat tidak menguntungkan karena, pada siang hari umumnya rakyat harus bekerja. Dengan dernikian,
£l'aluasi
39
kesempatan untuk menghadiri kampanye sangat terbatas, Oi pihak lain, Golkar menganggap masa kampanye 25 hari sebagai terlalu lama. Merek.a menghendaki masa kampanye hanya 7 (lujuh) hari. Hal keempat adalah mengenai istilah kampanye. Sementara pakar mengusulkan agar sebaiknya iSlilah kampanye di-Indonesia-kan, Karena istilah tersebUl mengandung konolasi yang "anlagonistis. n Mengingat gencarnya upaya meng-Indonesia-kan istilah-i,tilah asing akhir-akhir ini, barangkali usul tersebul layak dipenimbangkan. Namun, sebagian pakar yang lain menganggap, tidak perlu meng-Indonesia-kan iSlilah kampanye, karena istilah ini ,udah menjadi bahasa Indonesia yang sangat populer. Kelima, masalah tanda gam bar OPP. Pada pasal 66 ayat (4) PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985 disebulkan bahwa tanda gambar OPP yang diajukan harus disenai dengan penjelasan mengenai ani gambarnya, dan dari penjela;an lersebUl dapat ditarik kesimpulan bahwa landa gam bar yang diajukan telah mengungkapkan bahwa OPP yang bersangkutan berasaskan Pancasila ,ebagai satu-satunya asas . Mengingat bahwa semua OPP kini telah berasaskan Pancasila sebagai salu-satunya asas, sepeni dikehendaki oleh UU No. 3 Tahun 1985, barangkali tanda gambar OPP sebaiknya dibakukan saja. Apalagi setelah PPP bersedia merubah tanda gambarnya, oari Ka' bah menjadi Bintang, yang dengan sendirinya ketiga orpol (PPP, Golkar, dan PDl) lelah menggunakan gambar yang sesuai dengan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Seandainya usul pembakuan tanda gam bar ketiga OPP diterima, maka dengan sendirinya seluruh pasal - dari pasal66 sampai pasal 71 - pada Bagian Pertama ("Nama dan Tanda Gambar Organisasi Peserta Pemilihan Umum n ) Bab VI ("Pencalonan ")PP No. 35 Tahun 1985/PP No . 43 Tahun 1985, tidak diperlukan lagi. Keenam, guna menghindari kesan bahwa pemilu dikendalikan oleh birokrasi, maka pasal87 ayat (4) da pasal88 PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, sebaiknya ditinjau kern bali. Bahkan jika mungkin, dihapuskan saja. Ketujuh, berkaitan dengan yang keenam di atas, maka segala hal yang menyangkut perizinan, menu rut sebagian pakar, sebaiknya diperlonggar. Khususnya yang menyangkul posisi pegawai negeri sipil (PNS), seperti yang termual dalam pasal 72 ayal (3) dam pasal 90 ayal (3) PP no. 35 Tahun 1985/ PP No. 43 Tahun 1985. Menurul sementara pakar, kalimal "wajib memperoleh izin lenulis lebih dahulu dari Pejabat yang berwenang" yang terdapat dalam pasal 72 ayat (3) PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, sebaiknya dihapuskan. Masalah kebebasan bagi pegawai negeri sipil juga dituntul oleh PPP dan POL Menurul PPP, para pegawai negeri seharusnya memperoleh kebebas·an penuh dalam menggunakan hal pilihnya seperti yang berlaku bagi para warga negara lainnya. POI juga menghendaki hal yang sarna . Memang, dibandingkan PPP , POI sebenarnyajauh lebih "menderita n akibal diberlakukannya as as monoloyalitas bagi seluruh pegawai negeri , yang dimulai sejak Feb"",r; 1990
40
Hukum dan Pembangunan
dikeluarkannya Peraruran Meilteri Dalam Negeri No . 12 Tahun 1969 (qikenal sebagai PermeD 12). Dalam "Permen 12" antara lain disebutkan bahwa anggota-anggota depart em en hanya boleh memberikan loyalitas kepada negara dan bangsa jika perlu melarang warga departemen untuk masuk partai polirik. Monoloyaliras pegawai negeri kemudian diperjelas dengan munculnya PP No. 20 Tahun 1976 (rentang "Keanggoraan Pegawai Negeri Sipil dalam Parrai Polirik arau Golongan Karya). Baik "Permen 12" maupun PP No. 20/1976, pengaruhnya Iebih ban yak dirasakan oleh PDl daripada PPP. Seperti dikerahui, unsur rerbesar yang membenruk PDl adalah PNI (Parta; Nasional Indbnesia). Dalam sejarahnya, PNI merupakan sebuah partai yang mengandillkan dukungannya pada kalangan pamong praja·. Oengan kara' iain, para pegawai negeri instansi pemerintah merupakan "basis mama" PNI. Oengan berlakunya asas monoloyalilas bagi para pegawai negeri berarti PN[ dan'(kemudian) PDI telah kehilangan salah saul pendukung ·tradisionalnya yang mama. Maka, keinginan kalangan' POI agar pegawai negeri diberikan kebebasan memilih dalam pemilu bisa dimengerti. Namun, keinginan tersebut sedikit han yak akan tergantung pada sikap Golkar. Karena, selama ini pegawai negeri yang tergabung dalam Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga Besar Golkar yang terkenal sebagai "Jalur Bn. Posisi pegawai negeri sipil daiam setiap moment politik penting seperti pemiliI, terkadang memang cukup dilematis. Oi satu sisi, sebagai pegawai yang digaji pemerintah, adalah "wajar " jib mereka mendukung "partai pemerintah" . Tapi, di sisi lain, sebagai warga negara yang memiliki hak politik penuh yang menjamin UUD 1945, seharusnya mereka juga dapat seeara bebas menggunakan hak politiknya ilU guna menentukan pilihannya dalam setiap pemilu. Bagaimanapun, keinginan kalangan parpol dan sejumlah pakar agar pegawai negeri diberi kebebasan memilih, parut dipertimbangkan, paling tidak, karena dua hal: pertama, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No . 3 Tahun 1985, dimana keanggotaan Parpol dan Golkar direntukan bersifat terbuka dan perorangan, maka dengan sendirinya keanggotaan Parpol dan Golkar juga terbuka bagi pegawai negeri sipi!. Dan, kedua, Golkar seharusnya tidak perlu "takut" untuk "melepaskan " pegawai negeri (Korp ri). Karena, dalam empat pemilu terakhir Golkar sudah berhasil membuktikan dirinya sebagai sebuah kekuatan politik yang dominan yang tak tertandingi oleh dua orpol lainnya. Bahkan pada Pemilu 1987, dimana ABRI sudah bersikap lebih netral dibanding dengan tiga pemilu sebelumnya, Golkar justru berhasil meraih kemenangan yang terbesar. Sejumlah pakar dan kalangan parpol memginginkan agar masa tenang sebaiknya ditiadakan, atau sekurang-kurangnya diperpendek menjadi I (satu) atau 2(dua) hari saja. Masa, tenang, atau sebelumnya dikenal sebagai "minggu
El'a/uasi
41
tenang," dimaksudkan sebagai masa "bebas kampanye" menjelang diadakannya pemungutan suara. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat calon pemilih merasa tenang sebelum menentukan pilihan apa yang akan dijatuhkannya, dan setelah mendengarkan/melihat/menyimak program-program yang ditawarkan para komestan. Namun, dalam kenyataan masa tenang atau "minggu tenang" seringkaJi disalah-gunakan oleh OPP tertentu. Misalnya OPP yang memanfaatkan masa tenang sebagai sarana kampanye terselubung untuk membujuk/menggiring massa calom pemilih melalui cara-cara ilegal. Hal inilah yang mendorong munculnya pemikiran di kalangan sejumlah pakar dan parpol untuk cenderung pada dihapuskannya masa tenang. Atau, jika masih akan tetap dipertahankan, maka masa tenang cukup berlangsung selama satu at au dua hari saja. Hal ini terutama untuk menghindari adanya kampanye terselubung oleh orpol manapun.
Sebagian pakar dan kalangan parpol (PPP dan PDl) menghendaki agar hari pemungutan suara sebaiknya dijadikan sebagai hai libur. Jika usul ini diterima, berarti perlu adanya penyempurnaan pada pasal-pasal yang menyangkut masalah pemungutan suara, baik yang terdapat dalam UU No.1 Tahun 1985 maupun yang terdapat dalam PP No. 35 Tahun 19851PP No. 43 tahun 1985. Namun, sebagian pakar yang lain berpendapat, hari pemungutan suara tidak perlu dijadikan sebagai hari Jibur, asalkan TPS-TPS (Tempat Pemungutan Suara) tidak ditempatkan di imtansi-instansi seperti, kantor, kampus, sekolah dan sebagainya. Memang, salah satu latar belakang munculnya pemikiran yang menghendaki diliburkannya hari pemungutan suara adalah, penempatan TPS di dalam/di sekitar instansi. Berdasarkan pengalaman, hal itu sangat memberikan peluang bagi terjadinya manipulasi, dan menimbulkan rasa "kurang aman' bagi anggota masyarakat yang hams memilih di TPS yang ada di instansinya. Apalagi, seperti dikeluhkan PPP, dengan adanya peluang bagi salah satu OPP umuk menggiring massa guna memilih tanda gam bar tertentu dengan menggunakan jalan birokrasi. Adanya TPS yang berlokasi di instansi - terutama di kantor - juga bisa menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaannya jika ia 'terbukti" tidak memilih tanda gambar OPP seperti yang' sudah "dianjurkan" oleh pimpinan kantor tersebul. PD!, Misalnya, mengeluh karena ada warga masyarakat yang diduga atau diperkirakan memilih PD! yang kemudian di-PHK-kan. TPS yang berlokasi di sekolah pun sering kali terbukti mudah dimanipulasikan. Sebagian pakar menilai, baik didalam UU No. I Tahun 1985 maupun PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, terdapat istilah-istilah yang perlu ditinjau kembali, at au jika mungkin dihapuskan saja. lstilah "Jawa luar Jawa" yang terdapat dalam pasal 6 UU No.1 Tahun 1985, misalnya, dianggap sudah kurang relevan lagi. Karenanya, pasal tersebut (yang berbunyi : "Jumlah Anggota DPR yang dipilih dalam Pemilihan Umum di Jawa ditentukan seimbang dengan jumlah anggota yang dipilih di
F.b"""j 1990
42
Hukum dan Pembangunan
luar Jawa") diusulkan sebaiknya dihapuskan saja Namun, sebagian pakar yang lain menganggap, ada atau tidak adanya pasal 6 tersebut, tidak begitu menjadi masalah. Bahkan pasal tersebut sebenarnya masih cukup relevan guna menjaga keseimbangan. Istilah kedua yang diusulkan untuk dihapuskan adalah, istilah Kopkamtib yang terdapat dalam PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, mengingat kembaga Kqpkamtib sudah dibubarkan oleh Presiden, pad a bulan September 1988, dan diganti dengan Baskortanas (Badan Koordinasi Bantuan pemantapan Stabilitas Nasional). Dan, ketiga, sementara pakar menganggap bahwa istilah "tekanan bathiniah" pada pasal94 ayat (2) PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, atau seluruh isi pasal tersebut, sebaiknya dihapuskan karena, kurang jelas makna dan relevansinya. Atau, paling tidak , dijelaskan makna dan relevansinya pada bagian Penjelasan PP No . 35 (No. 43) Tahun 1985. Sebagian pakar dan kalangan parpol (PPP dan POl) menganggap sebaiknya asas jujur dan adil ("jurdil ") ditambahkan pada pasall ayat (2) UU No. I Tahun 1985. Jadi tidak hanya terluang pada pasal 3 Penjelasan PP No . 35 Tahun 1985. Usul penambahan asas "jurdil" disamping "Iuber" 5ebenarnya muncul setelah adanya kenyataan bahwa asas "luber " tidak terlaksana secara konsekuen. Seandainya pemilu benar-benar berlangsung secara "Iuber", maka tampaknya tidak akan muncul usulan yang menghendaki pen am bah an asas "j urdil. " Oengan kata lain , sebenarnya yang penting adalah pelaksanaan itu sendiri. Penambahan as as "jurdil" pun mungkin tidak akan banyak berarti jika pelaksanaannya tidak sesuai dengan asas tersebut. Menurut kalangan POI, pemilu 1987 telah berlangsung dengan selamat, aman, tenib, dan lancar. Tetapi belum sesuai dengan asas "luber". Sebaliknya Golkar menilai Pemilu 1987 justru telah berlangsung sesuai dengan asas IIluber" dan "jurdil. Sebagian pakar menilai, rumusan tentang anggota ABRI sebaiknya ditinjau kembali. Sebagai contoh, rumusan yang tertuang dalam pasal 53 PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, diusulkan agar dihapuskan karena, mengesan- . kan seolah-olah PP ini merupakan peraturan perundang-undangan mengenai ABRI. Usul tersebut tampaknya patut dipertimbangkan agar tidak timbul kesan adanya "perlakuan khusus " terhadap anggota keluarga ABRI. Sebagai gantinya, mungkin peraturan tentang penghuni Asrama ABRI cukup dituangkan dalam peraturan setingkat di bawah PP. l
'
Persepsi Teknis/Pelaksanaan Pandangan yang bersifat teknis / pelaksanaan didasarkan pada asumsi bahwa semua perangkat peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum, pada hakekatnya sudah cukup baik . Hanya saja, pelaksanaannyalah yang perlu disempurnakan. Beberapa pandangan, saran, dan kritik dari se-
jumlah pakar dan kalangan orpol, yang bersifatteknis/ pelaksanaan adalah : Menurut sebagia n palar, gaya kampanye yang berlebih-Iebihan, misalnya de ngan "mempermainkan" ayat-ayat Kitab Suci, seharusnya dieegah. Oengan kata lain, pasal 94 ayal (3) PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985 perlu diberlakukan seeara tegas. Sementara itu, kalangan parpol mengeluh terjadinya perlakuan yang kurang terpuji dari para aparat (erhadap pelaksanaan kampanye mereka pada pem; lu 1987. Menurut kalangan PPP, kampanye pemilu mereka tidak jarang menemui hambatan berupa ada nya perintah gotong royong alau kegialan PKK, dan pembatalan tempat-tempat kampanye. Hal serupa dikeluhkan oleh POI. Oi beberapa tempat, Misalnya, ada Kepala Oesa yang menghambat warga simpatisan POI yang hendak mengikuti kampanye partai tersebut. POI juga mempersoalkan adanya istri pejabat yang ikut berkampanye untuk salah satu OPP, adanya intimidasi terhadap warga dan simpatisan PDl, serla adanya usaha mengdiskriditkan atau memfitnah POI (misalnya, P OI "disamakan " dengan PKI dan Orde Lama). Sebenarnya bukan hanya tingkahlaku aparat yang kurang terpuji yang dipersoalkan kalangan parpol, tapi juga sikap pers atau media massa. PPP, misalnya, merasa diperlakukan "kurang adil" oleh pers. Mereka mengeluh karena pemberitaan tentang pengunjung kampanye PPP dikecil-kecilkan , sedangkan untuk OPP lain dibesar-besarkan dari jumlah pengunjung kampanye yang sesungguhnya . Kemudian, ada pula yang mempersoalkan peraluran ten tang penyelenggaraan kampanye pemilu (1987) yang, bagi sementara kalangan, dirasa perlu terinci seperti, mengenai rapat umum terbuka. Terutama, jika pelaksana/aparat di lapangan memberlakukannya secara kaku sehingga menimbulkan kritik dan keluhan, khususnya dari pihak parpol. Meskipun, dari segi positifnya, peraturan yang terinci tersehut sangat berperan dalam mencegah lerjadinya "kebringasan politik" . Sementara pakar mengemukakan bahwa pad a Pemilu 1987 di sejumlah TPS saksi dari parpol kadangkaJa tidak ada. Menurut mereka, sebaiknya saksi dari par pol harus selalu ada , jika dalam suatu daerah tidak ada saksi dari parpol, maka sebaiknya diusahakan mendatangkan saksi parpol dari daerah lain. Oalam kenyataannya, mereka menjadi saksi mewakili parpol, memang seringkali diintimidasikan, sebagaimana yang dikeluhkan oleh pihak PPP dan POI. Pihak POI. misalnya, mengakui terjadinya hambatan tcrhadap pengajuan saksi-saksi. Pada Pemilu 1987, sampai hari menjelang pemungutan suara, POI mengakui bahwa mereka baru berhasil menempatkan 50"7. saksi umuk TPS di seluruh Indonesia. Sedangkan pihak PPP mengeluh adanya kesulitan secara administratif bagi fungsionaris partai ini, baik untuk menjadi saksi di TPS Maupun yang dicalonkan sebagai anggota DPR. Apa yang dikeluhkan kalangan par pol dan yang dikehendaki kalangan pakar, memang ada benamya. Namun , yang tidak bisa diabaikan adalah ada-
FebTutll'l J990
44
Hukum dan Pembangunan
nya kenyataan bahwa, pihak parpol sendiri terkadang tidak mampu mengajukan saksi-saksinya, Ini berkaitan dengan kebijaksanaan massa mengambang, di mana desa-desa tertentu yang lerpencil seringkali lidak dijumpai anggota maupun simpatisan parpo!. Oi sisi lain, jika upaya mendatangkan saksi par pol dibebankan pada pemeritah (sebagai pelaksana pemilu), hal ini tenlu akan memakan biaya yang tidak sedikit. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah, harus diusahakan semaksimal mungkin agar saksi yang ada (dari pihak manapun) benar-benar bersikap jujur. Menurut sebagian pakar dan kalangan parpol, pad a saat pemungutan dan perhitungan suara (pada Pemilu 1987) masih dijumpai adanya intimidasi, tekanan, dan manipulasi beberapa macam jenis formulir. Menurut pihak PD!, secara umum, ABRI bersikap netral pada Pemilu 1987. Namun, mereka masih mengakui masih ada di tingkat koramil dan babinsa yang bertindak masih seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya manipulasi. Menurut mereka, ada saksi-saksi POI yang tidak diperbolehkan mendapat Formulir CA I dan CA 2, serta adanya manipulasi dalam perhitungan suara, termasuk pengrusakan kartu suara. PD! dan PPP juga melaporkan adanya penyalahgunaan formulirformulir model AB dan C. Menurut pihak PPP, banyak anggota masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih, namun tidak mendapat formulir Model C. Guna Menghindari hal-hal (kecurangan dan manipulasi) seperti tersebut, maka sebaiknya para aparat pelaksana pemilu harus benar-benar mentaati aturan permainan yang ada. Berdasarkan penelitian lapangan di beberapa daerah, menurut sementara pakar, Panwaslakcam (Panitia Pelaksanan Pemilihan Urn urn Kecamatan) seringkali hanya bersifat "seremonial" saja, dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, diusulkan agar Panwaslakcam sebaiknya ditiadakan. Sementara itu, POI dn PPP mempersoalkan mekani~me kerja Pantarlih . Kalangan POI menilai, Pantarlih bel urn melaksanakan tugasnya dengan baik . Misalnya, menurut mereka, sejumlah warga negara yang mempunyai hak pilih temyata tidak terdaftar. Sebaliknya, sejumlah anak yang belum cukup umur atau belum mempunyai hak pilih, justru terdaftar sebagai pemilih. Menurut PPP, secara organisatoris obyektivitas Pantarlih memang patut diragukan. Bagi partai i11i, masalahnya adalah mereka yang menjadi Ketua Pantarlih juga merangkap menjadi fungsionaris orpol tertentu. Hal ini tentu berdampak negatif. Apalagi dengan adanya "sistem target" yang menyangkut perkembangan karir seorang fungsionaris yang notabene juga seorang pejabat pemerintah. Sebenarnya, jika ketiga orpol disertakan dalam kepanitian di semua tingkatan, dari Pusat sampai ke desa-desa, maka soal kepanitiaan tidak akan menjadi masalah. Kecurigaan terhadap mekanisme kerja dan organisasi kepanitiaan di tingkat bawah (seperti Panwaslakcam) lebih disebabkan karen a
tiadanya unsur Olpoi - khu>l"nya parpol - di dalam kcpanitiaan pemilu tersebut. Oleh karen an, a, memang, ada baiknya kalau OPP disertakan dalam kepanitiaan disemua tingkatan, khususnya di tingkat desa yang merupakan "ujung tombak" pelaksanaan pemilu.
Penutup Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka terlihat adanya sejumlah pasal dalam UU 1'<0. 1 Tahun 1985 tentang pemilihan Umum, dan dalam PP No . 35 (No. 43) Tahun 1985 tentang pelaksanaan UU No. I Tahun 1985, yang dius ulkan untuk disempurnakan atau dihapus/ditinjau kembali (Ii hat Tabel 1) Adapun sejumlah aspek/masalah yang mendapat sorotan, baik di dalam UU No.1 Tahun 1985, PP No . 35 (No. 43) Tahun 1985, maupun pelaksanaan Pemilu 1987, maka terlihat adanya sejumlah persamaan pandangan, saran, dan kritik, antara kalangan parpol dan sejumlah pakar, seperti : agar PNS hendaknya diberi kebebasan dalam menentukan pilihan dalam setiap pemilu; agar hari pemungutan suara dijadikan sebagai hari libur; agar masa lenang dihapuskan atau diperpendek menjadi satu atau dua hari saja; kualitas anggota DPR perIu ditingkatkan; kebijaksanaan massa men gam bang sebaiknya ditinjau kembali ; ketiga orpol sebaiknya disertakan dalam kepanitiaan di semua tingkatan; ' sural keterangan "bersih lingkungan" sebaiknya !ldak dijadikan sebagai: syarat mutlak bagi setiap calon anggota DPR; asas "jurdil" Uujur dan adil)perlu dicantumkan dalamUU No .1 Tahun 1985; dan segal a hal yang menyangkut perizinan, sebaiknya diperlonggar. Dengan kata lain, baik kalangan parpol maupun pakar sepakat bahwa diperlukan penyempurnaan, tidak hanya pada UU No.1 Tahun 1985 dan PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, tapi juga pada pelaksanaan pemilu di mas.amasa yang akan datang. Sebaliknya, di sisi lain, Golkar menganggap undangundang, peraturan, dan pelaksanaan pemilu selama ini, sudah baik. Sehingga tidak diperlukan perubahan. Dari sejumlah pandangan, saran, dan kritik yang muncul, maka yang bersifat makro sepeni, pengkaitan antara perubahan UU No.1 Tahun 1985 (tentang Pemilu) dan perubahan UU Bidang Politik lainnya (khususnya UU No.2 dan No.3 tahun 1985), pada hakekatnya juga bersifat idealis. Dalarn ani bahwa, pandangan, saran, dan kritik tersebut cukup baik untuk keperluan peningkatan kua!itas pelaksanaan Demokrasi Pancasila . Namun, untuk pelaksanaanya mungkin membutuhkan penelitian tersendiri yang lebih
Febrwm 199()
~6
Hukum dan Pembangunan
mendalam dan yang bersifat jangka panjang. Oleh karenanya, dalam jangka pendek sebaiknya dilakukan penyempur· naan dan perbaikan yang bersifat incremental alas UU No. I Tahun 1985 dan, khususnya, PP No. 35 (No. 43) Tahun 1985, serta pelaksanaan pemilu di masa yang akan datang. Memang, beberapa usulan tampaknya akan suIit dilaksanakan, karena pertimbangan faktor biaya, seperti keikutsertaan orpol dalam kepanitiaan pemilu dari tingkat Pusat sampai desa-desa. Untuk itu perlu diupayakan jalan keluarnya, misalnya dengan menekankan pada aparat kepanitiaan pemilu agar benar-benar berlaku/bertindak jujur. Tabel I No .
I 2
3 4 5 6 7 8 9
10
II 12 13
14
Pasal-pasal UU No. 1/1985 : PsI. I ay (2) PsI. 6 PP No. 35/1985 : PsI. 27 ay . (1) i PsI. 27 ay. (2) PsI. 53 PsI. 66-71 PsI. 72 ay. (3) PsI. 74 ay. (2) PsI. 87 ay. (4)' PsI. 88PsI. 90 a.y. (3) PsI. 94 ay. (2)' yang mencantumkan kata/istilah Kopkamtib. Yang berkaitan dengan organisasi kapanitiaan
Disempurnakan
Dihapuskan/di· tinjau kerilbali
,
X X X X X X X X X X X
X
X X X
X
X
Keterangan : • berarti : pasal-pasal ini diusulkan umuk disempurnakan atau dihapuskan sarna sekali .
Evaluasi
47
Daftar Kepustakaan Budiardjo. Miriam. "Menuju Suatu DPR yang Bagaimana?" Kompas, 12 November 1988. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 1982-1987. Jakarta: Setjen DPR-RI, 1988. Dhakidae, Daniel. "Pernilihan Umu di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik" Prisma, No.9, September 1981. DPRD PDI. "Thema Kampanye POI" stensi1an. Jakarta, 1987. DPP PPP. Tema dan Materi Kampanye Pemi1u 1987 (Program Kampanye) PPP. Jakarta: DPP PPP, 1987. Editor, 10 Desember 1988; 24 Desember 1988. Kampanye dan Basil Pemitiban Umum 1987. Laporan Tahap II : Proyek Penelitian Pemilu 1987. Jakarta: PPW-LIPI dan Ditjen Sospo1 Oepdagri, 1987. King, Dwight Y & M. Ryass Rasjid. "The Golkar Landslide in the 1987 Indonesian Seleetions : The Case of Aeeh". Asian Survey, Vol. XXVIII, No.9, September 1988. Kompas, 25 April 1987; 27 April 1987; 27 September 1988 . . Mardisnyah: "Beberapa Catatan tentang Pemilu 1987." Makalah Seminar Pemilu 1987. Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIP!. Jakarta, 6 Juni 1987. Masalab dan Prospek Orgaoisaasi Politik Poserla Pemitihan Umum Sesudah Pemilu 1987. Laporan Tahap III : Proyek Penelitian Pemilu 1987. Jakarta: PPW-LIPI dan Ditjen Sospol Depdagri, 1988. Petita, 20 Desember 1986. Prisma, No.9, September 1981. Rapat Paripuma Terbnka Ke-3 Persidangan I Tabun Sidang 1984-1985. Buku Laporan Risalah Resmi Setjen OPR-R!. Sihbudi, M. Riza. "POI dan Pernilihan Umum 1987" Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia. Ed. Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin. Jakarta : Rajawali Pers, 1988 Suara Pembaruan, 13 Februari 1988. Suny, Ismail. "Undang-Undang Dasar 1945 dan UU NO. 111985." Makalah untuk Lokakarya Terbatas PPW-LIPI. Jakarta 4 November 1988. Tempo, 10 Desember 1988. Undang-Undang No.1 Tabun 1985 dan PP NO.5 Tahun 1985IPP No. 43 Tahun 1985. Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum. Waluyo, Suko. "Catatan Lepas Pemilu 1987." Makalah Seminar Pemilu 1987 PPW-LIPI. Jakarta, 6 Juni 1987. Wawaneara dengan ketua Umum DPD POI Sulawesi Utara. Manado, 8 April 1987. Wawancara dengan Sekjen OPP Golkar. JaKarta, 22 April 1987. Wawancara dengan Wakil Sekjen DPP PDI. Jakarta, 23 Mei 1987. Feb"",,; 1990