SEMINAR KODIFIKASI UNDANG-UNDANG PEMILU PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH GEDUNG PP MUHAMADIYAH Jl. Menteng Raya No. 62 Jakarta Pusat 18 Mei 2016 Pukul 09.00 WIB
Titi Anggraini Seminar ini merupakan yang pertama dari rangkaian 3 seminar yang akan dilaksanakan oleh Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, dengan tema Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Seminar hari ini dikhususkan membahas pemilu nasional dan daerah. Sekretariat Bersama adalah koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari aktivis dan organisasi masyarakat sipil yang menginginkan adanya satu naskah Undang-Undang yang mengatur pemilu secara komprehensif. Sekretariat Bersama telah menyelesaikan naskah akademik dan rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Untuk mendapatkan naskah akademik dan draf RUU Pemilu dapat menghubungi panitia.
Sambutan oleh Pengurus Pemuda Muhammadiyah Sunanto Muhammadiyah memiliki andil dalam upaya sosialisasi dan partisipasi dalam pemilu. Sekarang ini PP Muhammadiyah sedang melakukan gerakan melawan korupsi. Undang-Undang Pemilu mengalami banyak perubahan, tetapi dampak bagi masyarakat akan sangat penting dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang memang dibuat oleh DPR dan Pemerintah, tetapi apakah sesuai dengan budaya masyarakat? Undang-Undang Pemilu sebagai hulu proses demokrasi menjadi penting. Kalau Undang-Undang Pemilu tidak baik jangan diharapkan Undang-Undang Politik lainnya akan baik. Partisipasi publik harus digerakkan kembali, tidak hanya pada saat pemilu/pilkada saja. Kalau masyarakat tidak hadir, masyarakat akan terjerat oleh kekuasaan partai politik. Suara rakyat harus kembali menjadi suara Tuhan.
Titi Anggraini Sekretariat Kodifikasi Undang-Undang Pemilu terdiri atas 13 anggota steering committee yang ditopang oleh lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil.
Pemaparan Naskah Akademik oleh Sulastio Kerangka berpikir kodifikasi sejak reformasi sudah beberapa kali menyelenggarakan pemilu dan menghasilkan beberapa Undang-Undang Pemilu, tetapi terdapat beberapa masalah. Mahkamah Konstitusi memutuskan pilkada bukan rejim pemilu, tetapi Sekretariat memasukkan pilkada ke dalam Undang-Undang Pemilu. Terdapat 14 Undang-Undang yang mengatur pemilu sejak tahun 2004, yang mengatur Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pilkada. Masalah banyaknya Undang-Undang yang mengatur pemilu: 1. 2. 3. 4.
Tumpang tindih dan kontradiksi Pengulangan atau duplikasi Standar berbeda atas isu yang sama Tidak koheren dalam mengatur semua sistem pemilu.
Kesimpulan: Undang-Undang Pemilu harus disatukan dalam bentuk kodifikasi Undang-Undang Pemilu, karena: 1. 2. 3. 4.
Asas dan prinsip penyelenggaraan sama Aktor dan tahapan pelaksanaan sama Model penegakan hukum sama Tujuan dan sistem berbeda sehingga perlu dikoherenkan.
Kerangka Naskah Akademik: -
Judul Kata Pengantar Daftar isi Bab I Pendahuluan Bab II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris Bab III Evaluasui dan Analisis Undang-Undang Terkait Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Bab V Arah, Jangkauan dan Ruang Lingkup
-
Bab VI Penutup
Dalam 8 buku yang diusulkan dalam draf Undang-Undang Pemilu terdapat: 1. Asas Pemilu 2. Tujuan Pemilu 3. Prinsip Penyelenggaraan Pemilu Delapan buku dalam draf Undang-Undang Pemilu terdiri atas: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Buku Kesatu Ketentuan Umum Buku Kedua Aktor Buku Ketiga Sistem Buku Keempat Pelaksanaan Buku Kelima Penegakan Hukum Buku Keenam Partisipasi Masyarakat Buku Ketujuh Ketentuan Sanksi Buku Kedelapan Ketentuan Lain.
Asas Pemilu: Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Tujuan Pemilu dilihat dari: 1. Proses: memastikan pemilu berlangsung sesuai asas pemilu. 2. Hasil: terpilihnya presiden, DPR, DPD, Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/Walikota, DPRD Kabupaten/Kota. Waktu Penyelenggaraan Pemilu: sesuai dengan Putusan MK. Besaran daerah pemilihan Pemilu Legislatif: 3-6 Metode pencalonan: nomor urut, 30% perempuan dalam daftar calon Metode pemberian suara: memilih calon Ambang batas Pemilu Legislatif 1% Formula Perolehan Kursi: divisor St. Lague Penetapan calon terpilih: suara terbanyak.
Pemilihan Kepala Daerah Sebagai Pemilu oleh Prof. Dr. Saldi Isra, SH Berdasarkan Putusan MK, pemilu serentak akan dilaksanakan pada bulan April, Mei atau Juni 2019. Akan tetapi, hingga sekarang DPR maupun pemerintah belum menunjukkan langkah serius untuk menyiapkan Undang-Undang. Undang-Undang Pemilu harus sudah selesai satu tahun sebelum penyelenggaraan pemilu. Undang-Undang Politik atau Pemilu selama ini selalui diselesaikan pada saat injury time. Oleh karena itu, perlu didesak agar Presiden, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri agar pembahasan Undang-Undang Pemilu dapat dimulai tahun ini. Problem yang selama ini dihadapi: kurangnya waktu untuk menilai apakah norma dalam Undang-Undang itu saling mendukung atau saling bertentangan, sehingga akhirnya penafsiran norma diserahkan kepada penyelenggara pemilu atau putusan pengadilan. Masalah bangsa tidak hanya infrastruktur, tetapi masalah politik juga harus menjadi perhatian. Tidak sedikit waktu yang diperlukan untuk membahas Undang-Undang Pemilu. Perdebatan soal pemilu dihubungkan dengan pemilu kepala daerah sudah muncul sejak awal, berasal dari rumusan UUD 1945 hasil perubahan. Karena ada kesepakatan politik untuk memilih sistem pemerintahan presidensial, maka pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif harus dipilih secara langsung oleh rakyat, karena kedua institusi ini mendapat mandat langsung dari rakyat. Pemilihan kepala daerah tidak disebut secara eksplisit dipilih secara langsung rumusan dalam UUD 1945 “dipilih secara demokratis”. Sangat terbuka pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung atau melalui perwakilan. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terjadi pada tahun 2000 perubahan kedua Pasal 22E UUD 1945 disahkan pada perubahan ketiga. Dalam risalah pembahasan amandemen UUD 1945: Karena belum ada kepastian model pemilihan presiden, maka pemilihan kepala daerah dirumuskan dipilih secara demokratis. Karena pemilihan presiden dipilih secara langsung, maka pemilihan kepala daerah juga dipilih secara langsung. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 rejim pemilihan kepala daerah tidak termasuk rejim pemilu, tetapi masuk dalam rejim pemerintahan daerah.
Pemilihan kepala daerah mengadopsi prinsip-prinsip Pasal 22 E UUD 1945 dan penyelenggaraan pemilu demokratis secara internasional sehingga tidak ada alasan pemilihan kepala daerah bukan rejim pemilu. Putusan MK pemilu kepala daerah merupakan open legal policy.
Proses dan Hasil Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah oleh Didik Supriyanto Pemilu bisa dilihat dari dua sisi: proses dan hasil. Secara konstitusi tidak bertentangan menyatukan pemilu kepala daerah dengan pemilu DPRD. Sistem adalah konversi suara menjadi kursi yang dipengaruhi oleh beberapa variabel teknis pemilu. Jadwal menjadi salah satu variabel penting. Bagi negara yang sistem pemerintahannya parlementer, jadwal tidak penting, karena hanya satu pemilu lelgislatif. Dalam sistem presidensial, jadwal menjadi penting karena baik legislatif dan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Proses Pemilu: 1. Pelaksanaan Tahapan Terhadap Penyelenggara 2. Pelaksanaan Tahapan Terhadap Pemilih 3. Pelaksanaan Tahapan Terhadap Partai dan Calon. Tahapan pemilu presiden dan pemilu kepala daerah lebih sedikit, karena tidak ada: 1. Penetapan daerah pemilihan 2. Pendaftaran partai politik peserta pemilu. 65% biaya penyelenggaraan pemilu diberikan kepada petugas pemilu. Petugas pemilu dibayar per even. Perilaku pemilih: dalam Pemilu Legislatif, seorang pemilih harus memilih 150-450 calon, 60% pemilih tidak punya preferensi partai politik. Kesulitan pemilih mengenali calon menjadi katalisator politik uang. Rasionalitas pemilih menjadi rusak karena politik uang, sentiment rasial. Biaya yang ditanggung partai dan calon tidak sedikit, politisi mengeluh biaya politik sangat tinggi, sehingga ketika terpilih akan memanfaatkan kelemahan pengaturan APBN/APBD.
Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014, beberapa partai seperti PPP, Golkar pecah karena pencalonan presiden. Tahun berikutnya, Pilkada memicu konflik karena partai hanya boleh mengajukan satu calon, padahal peminat banyak. Karena pilkada yang diselenggarakan tersebar, tugas pimpinan partai seolah hanya menangani konflik pencalonan pilkada. Prof. Saldi tadi sudah menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah itu pemilu, sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi jika diselenggarakan serentak dengan pemilu DPRD.
Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia oleh Prof. Syamsuddin Haris Perlu mengingatkan Presiden bahwa agenda beliau tidak hanya ekonomi, tetapi juga hukum, politik sehingga pemerintah harus segera mempersiapkan rancangan Undang-Undang Pemilu untuk menghadapi Pemilu Serentak 2019. Kalau pemerintah menunggu inisiatif DPR, inisiatif itu tidak akan muncul karena anggota DPR tidak mau zona nyamannnya diganggu. Diharapkan melalui media, imbauan ini sampai kepada Presiden dan lingkungan istana lainnya. Masalah pemilu, mengapa harus serentak? 1. Pemilu semakin demokratis, tetapi di pihak lain kualitas akuntabilitas pejabat publik hasil pemilu tidak semakin baik, dan banyak kasus korupsi. 2. Pemilu perlu disederhanakan agar tidak menimbulkan kejenuhan politik dan partisipasi pemilih dapat ditingkatkan. 3. Pemilu selama ini tidak sesuai skema sistem presidensial karena selalu dimulai dengan Pemilu Legislatif. Konsekuensinya pemilihan presiden didikte oleh hasil Pemilu Legislatif. Oleh karena itu, skema pemilu harus dikembalikan sesuai dengan sistem presidensial, yaitu dilakukan dengan pemilu konkuren/pemilu serentak. Pemilu serentak yang diinginkan ke depan adalah pemilu yang memiliki nilai tambah bagi kehidupan politik bangsa, tidak hanya efiensi waktu dan anggaran. Kebutuhan yang mendesak adalah menghasilkan pemerintahan yang efektif baik di tingkat nasional maupun daerah. Pilkada serentak Desember 2015 justru makin meningkatkan politik uang. Ada banyak skema pemilu serentak, salah satunya adalah yang diputuskan oleh Mahkamah Kosntitusi 2014 yang lalu, yaitu pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota yang
dilakukan bersama-sama dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (pemilu 5 lembaga sekaligus/pemilu borongan). Sama sekali tidak disinggung pilkada. Menurut Koalisi, skema ini tidak ada nilai tambahnya, hanya efisiensi di segi waktu dan anggaran. Oleh karena itu diusulkan skema pemilu serentak nasional yang dipisah dengan pemilu serentak daerah/lokal. pemilu serentak nasional untuk memilih Presiden, DPR, DPD. Pemilu Serentak Daerah untuk memilih Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/kota. Jeda waktu 2,5 atau 3 tahun. Jeda waktu diperlukan bagi publik untuk menilai kinerja hasil pemilu nasional ketika pemilu daerah diadakan dan menilai kinerja hasil pemilu daerah ketika pemilu nasional diadakan. Kelebihan Skema Pemilu Serentak Nasional dan Lokal: 1. Peningkatan efektivitas pemerintahan teori coattail effect: hasil pemilu presiden akan berdampak pada koalisi politik dalam pemilu legislatif. Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak terlalu berbeda dengan hasil Pemilu Legislatif, Presiden akan didukung oleh parlemen. 2. Peluang menciptakan koalisi berbasis gagasan/platform politik karena koalisi sudah dibentuk sebelum partai politik mengajukan calon presiden. 3. Ada jeda waktu untuk mengevaluasi hasil pemilu. Terbuka peluang munculnya isu-isu lokal ke tingkat nasional. Terbuka peluang elit politik lokal muncul pada pemilu nasional 4. Terjadi penyederhanaan sistem kepartaian menuju sistem multipartai sederhana. 5. Potensi transaksi bisa dimininalkan karena koalisi yang dibentuk lebih pada kesamaan platform/gagasan politik. 6. Meningkatkan kualitas hasil pilihan.
Tanya Jawab Dardiri Undang-Undang Pemilu saling bertabrakan, kalau Undang-Undangnya bermasalah hasilnya akan hancur-hancuran. Prof. Saldi bagaimana Undang-Undang cepat selesai. Kalau pilkada itu pemilu, istilahnya pemilu kepala daerah. Didik Supriyanto ketika melakukan pendidikan politik kepada nelayan dan petani, pemilih adalah uang. Pemilih susah diajak rasional. Pemilu serentak, efisien buat siapa?
Tahun 1982 pernah menjadi Panwascam dari partai. Sekarang KPUD, Panwascam hampir semua memihak partai.
Irma Penegakan hukum kode etik baru ada pada penyelenggara pemilu. Bagaimana kode etik yang ditujukan pada peserta? Pada pilkada, banyak pelanggaran kode etik oleh peserta. Media merupakan kekuatan keempat, dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu dapat membuat masyarakat terpecah, konflik yang berkepanjang, sehingga perlu disikapi kepemilikan media.
Luki Ramadan Apakah pemilu serentak 2019 akan memangkas anggaran jika dibandingkan jika pemilu dilaksanakan sendiri-sendiri? Prof. Saldi bagaimana mengawasi politik uang di pilkada? Bawaslu selama ini hanya mengawasi KPU, tidak mengawasi calonnya.
Titi Anggraini Prof. Syamsuddin Haris impeachment terhadap Presiden di Brasil. Presiden terpilih dengan koalisi mayoritas di parlemen, apa yang salah dengan sistem pemilu serentak di Brasil? Di Indonesia, presiden awalnya tidak mendapat dukungan parlemen, tetapi sekarang parlemen merapat ke presiden. Filipina: presiden terpilih tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Apakah bisa menekan haluan partai yang berubah tidak mendukung presiden hanya karena menginginkan popularitas publik?
Jawaban Prof. Saldi Isra Partai politik harus memiliki sikap jelas terhadap ancaman politik uang. Partai politik sekarang seolah-olah membenarkan praktik politik uang. Penting untuk menata partai politik di luar menata sistem pemilu. Perlu reformasi Undang-Undang Partai politik. Pengalaman Sumatera Barat, pilkada yang diadakan serentak 15 daerah, anggaran bisa dihemat 60%. Pemilu serentak nasional dan lokal ada hubungan dengan pola pembangunan. Keliru jika calon presiden, gubernur dan bupati/walikota harus membuat visi baru, karena visi sudah ada dalam UUD 1945. Ada konflik yang memang tumbuh dari masyarakat, tetapi ada juga konflik yang dikreasikan. Yang paling payah adalah yang didorong-dorong. Ini kembali pada kesiapan partai terhadap calon yang didukungnya. Seberapa besar peran partai politik dalam membuat situasi lebih adem pasca pemilu? Kalau kalah, bisa menerima kekalahan. Ujian politisi terbesar adalah menghadapi kekalahan, harus ada peran partai untuk mengontrol.
Jawaban Prof. Syamsuddin Haris Yang namanya sistem presidensial berbasis sitem multipartai membawa sejumlah cacat bawaan, misalnya presiden yang dihasilkan adalah presiden yang minoritas secara politis (tidak mencapai 50% di parlemen) dan tidak ada kekuatan mayoritas, sehingga dibentuk koalisi. Cacat bawaan lainnya adalah divided government. Masalahnya: Bagaimana mengelola hubungan eksekutif – legislatif secara efektif? Fenomena pemecatan di Brasil adalah model pemecatan zaman Gus Dur, presiden dapat dipecat dengan alasan politik. Sekarang tidak bisa lagi memecat presiden dengan alasan politik, tetapi harus berdasarkan alasan hukum dengan assessment dari Mahkamah Konstitusi. Secara umum, partai politik di Brasil hampir sama dengan Indonesia, transaksional, koalisi berbasis platform politik tidak muncul. Filipina berbeda dengan Indonesia, dan Indonesia tidak ingin mengikuti pemilu serentak Filipina. Filipina presiden dipilih tidak dalam satu paket.
Jawaban Didik Supriyanto Pemilih kita tidak rasional adalah kesimpulan politisi yang kalah. Rasionalitas pemilih tergantung pada jumlah orang yang dipilih. Pada pilkada, pemilih dapat menilai kinerja incumbent sehingga tidak selalu incumbent memenangkan pilkada, sekalipun memiliki uang, popularitas dan menguasai birokrasi. Di Pemilu Legislatif, anggota legislatif tidak punya kebijakan langsung yang bersentuhan dengan orang banyak, calon demikian banyak, sehingga cara membantu pemilih bersikap rasional adalah dengan mengurangi jumlah calon. Dalam sistem presidensial, cara pikir pemilih dan cara pikir partai politik sama, lebih memilih eksekutif daripada legislatif. Media partisan sudah clear di Undang-Undang Penyiaran. Media tidak boleh partisan. Problem KPI bisa memperingatkan, tetapi tidak bisa mencabut izin. Pemilu serentak akan menghemat, sekitar 15-20 triliun. Pemilu serentak dapat menyelesaikan masalah politik dinasti. Sistem presidensial ada 2 problem: 1. Blocking politik antara oposisi dan pemerintah 2. Tidak ada partai besar (partai yang memiliki 30-35% kursi di parlemen). Sistem pemerintahan presidensial memang lebih rentan daripada sistem parlementer, sehingga perlu rekayasa agar sistem presidensial bisa lebih efektif.
Jawaban Sulastio Tidak mungkin Undang-Undang Pemilu menjadi penyelesai semua masalah. Keluhan soal media harus dikembalikan pada Undang-Undang yang mengatur media, tidak mungkin pengaturannya dimasukkan semua ke Undang-Undang Pemilu.
Fatih (Kemenkopolhukam) Setuju Prof. Saldi untuk mendesak pemerintah membahas Undang-Undang Pemilu. Yang ditekankan Polhukam, leading sector di Kemendagri dan Kemenkopolhukam akan mengawal melalui desk yang dibentuk untuk itu.
Yang menjadi perdebatan di Polhukam adalah bagaimana kedudukan Undang-Undang Otonomi Khusus dalam Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, karena Aceh, Papua, DKI mengatur juga terkait pilkada. Di rancangan revisi Undang-Undang Pilkada juga terkadi kontradiksi.
Partono (KPU) Prof. Saldi bagaimana meluruskan interpretasi Putusan MK mengenai pilkada rejim pemilu dan apa yang dimaksud pemilu serentak. Prof. Syamsuddin ada beberapa varian pemilu serentak, apakah ada komparasi sistem pemilu nasional dan lokal? Terjadi kesulitan Pemerintah Pusat mengkoordinasi/mensupervisi pemerintah daerah.
Ibnu (PSHK) Bagaimana konteks otonomi khusus diantisipasi dalam Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, misalnya Papua dengan sistem noken, Daerah Istimewa Yogyakarta yang kepala daerahnya Sultan? Lembaga mana yang berwenang dalam menangani perselisihan hasil pilkada?
Jawaban Sulastio Otonomi Khusus SC memandang bahwa apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang lain, maka Kodifikasi akan memperhatikan Undang-Undang otonomi khusus. Prinsipnya menghindari pertentangan dengan Undang-Undang lain.
Jawaban Didik Supriyanto Posisi Undang-Undang Aceh dan Papua juga diperhitungkan dalam pembahasan Kodifikasi, misalnya soal penyelenggara, ketika menyebut KPU juga termasuk KIP Aceh. Kalau mengatur secara khusus misalnya syarat calon, tidak diatur dalam Undang-Undang Pemilu, tetapi diatur menurut Undang-Undang khusus.
Jawaban Prof. Syamsuddin Haris Undang-Undang Otsus seharusnya mengeluarkan ketentuan tentang pemilu. Pemilu sekarang sudah memisahkan pemilu legislatif dan eksekutif.
Jawaban Prof. Saldi Isra Perdebatan kedudukan Undang-Undang Otonomi Khusus substansinya yang harus dipertahankan, sehingga kekhususan karakteristiknya dapat dipertahankan, yang penting adalah mengatur jadwal. Jadwal harus disamakan dengan daerah lainnya. Putusan MK Pemilu 2019 Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota (5 kotak). Teks dalam Konstitusi: DPR RI, DPD RI, Presiden, kemudian DPRD. Dimaknai ada nafas yang terpisah. Daerah dengan status khusus seharusnya sama waktu penyelenggaraan pemilunya.
Kesimpulan: 1. Perlu adanya sinergi Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu 2. Penyelenggaraan pemilu harus sinkron dengan rencana pembangunan nasional dan daerah 3. Masyarakat Indonesia sudah menjadi pemilih yang rasional 4. Media menjadi faktor penting, tetapi pengaturan diserahkan kepada lembaga KPI. 5. Pemilu Hemat Biaya dan Energi. 6. Undang-Undang Otonomi Khusus: subtansi tidak diubah, tetapi jadwal harus ditata kembali.
Titi Anggraini Seminar kedua akan diadakan 27 Mei 2016 setelah sholat Jumat di Kantor PB NU.