SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 (SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh: MEKKA MUKARROMAH NIM: 106045201532
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
1
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6 D. Metode Penelitian ....................................................................... 7 E. Sistematika Penulisan .................................................................. 11
BAB II
DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam ............................ 13 B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam Dalam Pemilu .................. 18 1. Prinsip Musyawarah............................................................... 18 2. Prinsip Keadilan ..................................................................... 20 3. Prinsip Persamaan .................................................................. 21 4. Prinsip Kejujuran ................................................................... 22 5. Prinsip Pertanggungjawaban.................................................. 23 6. Prinsip Kebebasan.................................................................. 25
3
7. Prinsip Kebajikan ................................................................... 25
BAB III
SISTEM PEMILU MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008 A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008................ 28 B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No. 10 Tahun 2008 ............. 29 C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008 ............................................... 45
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PEMILU MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008 A. Sistem Pemilu Dalam Islam ........................................................ 49 B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ................ 58 C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu menurut UU No 10 Tahun 2008 ............................................................................. 77
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. 82 B. Rekomendasi ................................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 89
4
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berbagai nikmat dan karunia-Nya, sehingga alhamdulillah penulis dapat merampungkan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana syari’ah. Pada skripsi ini penulis memilih judul Sistem Pemilu Di Indonesia Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 (Suatu Kajian Fiqh Siyasah). Shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah suri tauladan bagi umat manusia didalam mengarungi bahtera hidup di alam fana ini. Dalam penulisan skripsi ini, alhamdulillah penulis telah mendapatkan banyak bimbingan, petunjuk, serta motivasi dari berbagai pihak. Maka selayaknya menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah memberikan petunjuk dan pengarahan khusus dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Asmawi M.Ag selaku pembimbing yang senantiasa mengarahkan penulis kepada wawasan intelektual dan dunia ilmiah yang sangat bermanfaat bagi penulis.
5
4. Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis. 5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan. 6. Ayah dan Ibuku (H. Dadin Supriadi dan Hj. Nina Ernawati) serta kakek dan neneku (H. Supandi dan Hj. Sholihat) yang telah memberikan tetesan air mata do’a dan motivasi hidup yang berarti. 7. Suamiku tercinta yang selalu menuntunku agar terus berdo’a, berusaha, dan bersabar. 8. Seluruh keluargaku yang selalu mendo’akanku disetiap waktu. 9. Teman-teman yang membantuku dalam suka maupun duka. 10. Dan kepada semua pihak yang telah mendoakan dan membantu penulis baik moril maupun materil Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif. Demikianlah semoga Allah SWT, senantiasa memberikan hidayah, taufik dan inayahNya dan menjadikan skripsi ini sebagai karya ilmiah yang bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa pun yang membacanya.
Jakarta, 10 Juni 2010 Penulis,
Mekka Mukarromah
6
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam negara republik Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1 Pemilu diselenggarkan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Perencanaan, penyelenggaraan, dan pelaksanaan pemilu dilaksanakan atas asas-asas demokrasi yang dijiwai semangat pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Cara penangkalan yang paling efektif dalam kaitannya dengan pemilu adalah meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat oleh pemerintah. Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum (Pemilu). Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan
1
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
7
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.” Selain itu pemilu dalam negara demokratis merupakan mekanisme pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekularistik. Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008, tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, dalam bab I yaitu ketentuan umum yang menyatakan “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama yaitu perkara yang diwakilkan yakni untuk melakukan aktivitas akad perwakilan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, aktivitas para wakil rakyat seharusnya sesuai dengan syarî’ah Islam, jika sesuai dengan syarî’ah Islam maka wakâlah boleh dilakukan, sebaliknya jika tidak sesuai maka wakâlah tersebut menjadi bâtil dan karenanya haram dilakukan. Dalam pandangan hukum Islam, pemilu merupakan cara untuk memilih wakil rakyat dan merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakâlah). Hukum asal ‘wakâlah’ adalah mubah (boleh), dalilnya terdapat dalam hadits sahih dalam penuturan Jabir bin Abdillah r.a. yang berkata:
8
ﺖ ُ ْ َﻓ َﺄ َﺗﻴ,ﺧﻴْ َﺒ َﺮ َ ج ِإﻟَﻰ َ ﺨﺮُو ُ ْت َاﻟ ُ ْ َأ َرد:ﻋﻨْ ُﻬﻤَﺎ ) ﻗَﺎ َل َ ﻲ اَﻟﻠﱠ ُﻪ َﺿ ِ ﻋﺒْ ِﺪ اَﻟﱠﻠ ِﻪ َر َ ﻦ ِ ْﻋﻦْ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ﺑ َ َو ﺸ َﺮ َ ﻋ َ ﺴ َﺔ َ ْﺧﻤ َ ﺨﺬْ ِﻣﻨْ ُﻪ ُ َﻓ,ﺨﻴْ َﺒ َﺮ َ ﺖ َوآِﻴﻠِﻲ ِﺑ َ ْ إِذَا َأ َﺗﻴ:ﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ َﻓﻘَﺎ َل اَﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﺤ ُﻪ َﺤ ﺻﱠ َ َوﺳْﻘًﺎ ( َروَا ُﻩ أَﺑُﻮ دَا ُو َد َو Artinya :
“Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi SAW. Beliau kemudian bersabda: Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR. Abu Daud). 2
Adapun dalam sistem demokrasi, pemilu untuk memilih penguasa adalah dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Maka status pemilu legislatif tidak sama dengan pemilu eksekutif. Dalam konteks pemilu legislatif, status pemilu merupakan akad wakâlah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun dalam konteks pemilu eksekutif statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakâlah, melainkan akad ta‘yîn wa tansib (memilih dan mengangkat) untuk menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka memilih penguasa bukan saja mubah atau boleh melainkan wajib. 3 Menurut AlFarabi negara demokrasi adalah negara yang tujuan penduduknya menganut kebebasan dan setiap penduduknya melakukan apa yang dikehendaki tanpa sedikit pun yang mengekang kehendaknya. 4 Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk melanggengkan rezim demokratik-sekularistik yang jelas-jelas bertentangan dengan 2
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan AlAmin Kramat Raya, 1984), h. 23. 3
Abdul Karim Zaidan., h. 28.
4
Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002)., h. 75.
9
aqidah dan syarî’ah Islam. Akan tetapi Allah SWT Maha Tahu dan Maha Hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka hal itu merupakan bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama. Dalam Islam apapun yang bisa melahirkan keadilan, maka dalam bagian dari politik harus sesuai dengan syarî’ah. Tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syarî’ah Islam. Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah menjadi yang lebih baik dan berasaskan akan Islam, maka ini adalah suatu hal yang baik karena bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan. Pada akhirnya yang paling dibutuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang baik dan bijak akan nilai-nilai syarî’ah Allah, agar dapat melaksanakannya secara tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT yang menurunkan rahmat bagi alam semesta. Atas dasar itu, pengkajian hukum Islam dalam sistem pemilu di Indonesia sangat relevan bila dikaitkan dengan doktrin dan teori hukum Islam dan hukum nasional. Hal ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008 (SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH)”.
10
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari masa ke masa pemilu selalu dilakukan, akan tetapi persoalan pemilu selalu ada dan sangat luas permasalahannya. Maka sudah barang tentu penelitian tentang pemilu tidak bisa diuraikan dalam penelitian yang sederhana. Agar pembahasan ini tidak meluas, maka penulis terfokus pada pemilu secara normatif dari segi Islam. Maka dari uraian latar belakang masalah di atas, skripsi ini menetapkan pokok masalah yaitu: Bagaimanakah sistem pemilu di Indonesia dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 menurut perspektif Islam? Berdasarkan permasalahan yang diuraikan dalam latar belakang, dan tentunya agar penelitian ini terarah dan terfokus pada satu masalah kajian, maka penulis membatasi batasan bahasan sekitar: 1. Bagaimana konsep dasar doktrin pemilu dalam fiqh siyasah yang berkaitan dengan asas proporsionalitas dan keadilan dalam UU No. 10 tahun 2008? 2. Bagaimana sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia yang diatur oleh UU No. 10 Tahun 2008, khususnya yang berkaitan dengan 3 pasal yang dianggap kontroversial yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3 ? 3. Bagaimana relasi antara hukum Islam (pemilu dalam Islam) dengan sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008? Untuk lebih fokus pada pembahasan mengenai Undang-Undang No.10 Tahun 2008, maka penulis membatasi lingkup penelitian pada beberapa pasal yang dianggap kontroversial seperti :
11
1. Pasal 205 ayat 4 yang berbunyi “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.” 2. Pasal 211 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.” 3. Pasal 212 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Merujuk kepada pokok masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sistem pemilu di Indonesia dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam perspektif Islam (kajian fiqh siyâsah). Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dasar pemilu dalam fiqh siyâsah 2. Untuk menggambarkan sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia
12
3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia Adapun signifikansi penelitian ini terangkum dalam point berikut: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi positif dalam upaya memecahkan masalah yang melingkupi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu. b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan pemikiran politik Islam tentang pemilu yang ideal. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dalam khazanah intelektual terhadap kajian pemilu khususnya di jurusan siyâsah syariyyah.
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang akan diteliti, maka tentunya penulis harus mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan isu yang akan diteliti. Secara tipologis, penelitian penulis ini menggunakan studi kepustakaan, dengan memperoleh dan mengumpulkan data untuk mendapatkan data sesuai harapan penulis dan seperti yang digambarkan dalam bahan kepustakaan. Dengan kata lain,
13
jenis penelitian ini dapat juga disebut sebagai penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis 5 . Dengan demikian, pendekatan (approach) pada objek penelitian ini menggunakan pendekatan normatif doktriner, yaitu berdasarkan pada norma perspektif Islam dalam menganalisis Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang pemilu. Lebih dari itu, sifat dalam penelitian ini merupakan model penelitian deskriptif analitis yang memaparkan apa adanya pemilu di Indonesia, yakni penelitian yang menggambarkan dan menginformasikan yang diperoleh dari penelitian kepustakaan secara mendalam agar dapat memberikan informasi kepada pembaca secara optimal. Kemudian dianalisis dan dikaji secara normatif, yaitu dengan fiqh siyâsah sebagai tolak ukurnya.
2. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data hukum menggunakan teknik studi dokumenter dengan mengumpulkan bahan dari sumber-sumber data primer, sekunder, dan tersier. Bahan pustaka yang menjadi rujukan primer dalam penelitian ini adalah AlQur’an dan Hadits, kitab-kitab yang berkaitan dengan fiqh siyâsah dalam siyâsah syariyyah antara lain “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karya Al-Mawardy dan Ali ibn 5
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Penelitian kepustakaan atau disebut juga penelitian hokum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)., h. 13-14.
14
Muhammad ibn Habib, “As-siyâsah As-syariyyah” karya Abdul Wahab Khalaf, serta Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu. Adapun rujukan sekunder adalah beberapa buku yang fokus kajiannya mengenai permasalahan tentang pemilu dan juga data pustaka lain yang berkaitan dengan pemilu. Berbagai macam buku tersebut antara lain: karya Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, karya Prof. A. H. A. Dzajuli, SH. dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Dalam Implemenatsi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syarî’ah”, karya T. M. Hasbi AsShiddieqy dalam bukunya “Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut syarî’ah Islam, dan karya Djoko Prakoso dalam bukunya “Tindak Pidana Pemilu.” Selain yang disebutkan diatas, penyusun juga menggunakan referensi lainnya yang bisa dijadikan sumber acuan pelengkap yang terkait dengan skripsi ini. Adapun rujukan tersier dalam penelitian ini adalah kamus ilmiah, kamus hukum, dan buku pedoman penulisan skripsi fakultas syari’ah dan hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Hal ini sebagai penunjang yang memberikan petunjuk terhadap data primer dan data sekunder. Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari data-data hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Karena didalam penelitian penulis menyebutkan pendekatan perundang-undangan, maka peneliti harus mencari peraturan perundangundangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu pemilu. Oleh karena itu untuk memecahkan suatu isu pemilu peneliti harus menelusuri sekian banyak berbagai produk peraturan perundang-undangan seperti undang-undang pemilu sebelumnya
15
dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. Lebih dari itu, untuk mendapatkan penjelasan mendalam (in-depth) tentang UU No. 10 tahun 2008, penulis melakukan interview (open-ended interview) atau wawancara dengan beberapa pakar hukum yang kompeten di bidangnya.
3. Teknik Analisis Data Data yang terkumpul dari berbagai sumber yang relevan dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan penalaran deduktif induktif. Hal ini merupakan hukum-hukum yang sesuai dengan perspektif Islam yang dijadikan landasan dan kaidah umum untuk meninjau sistem pemilu dalam undang-undang No. 10 tahun 2008, kemudian disimpulkan apakah sesuai atau tidak sesuai. Dalam menganalisis data hukum, diterapkan teknik analisis isi secara kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bahan-bahan tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara sistematis bahan-bahan yang telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh. Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas syarî’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009.” E. Sistematika Penulisan
16
Sebagaimana layaknya laporan hasil ilmiah yang standar dalam bentuk skripsi, maka laporan ini menjelaskan secara teknis prosedural. Hal ini untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan. Pembahasan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, dari setiap bab terdiri dari sub bab yaitu: BAB I
Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Dari latar belakang masalah ini nantinya akan muncul bahasan-bahasan yang menjadi kajian atau ulasan dari skripsi ini.
BAB II
Doktrin Pemilu Dalam Fiqh Siyasah, membahas tentang: urgensi pemilu dalam ketatanegaraan Islam,
lalu dilanjutkan dengan
pembahasan prinsip ketatanegaraan Islam dalam pemilu seperti prinsip musyawarah, prinsip keadilan, prinsip persamaan, prinsip kejujuran, prinsip pertanggung jawaban, prinsip kebebasan, prinsip kebajikan. BAB III
Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, mendeskripsikan tentang: latar belakang pembentukan UU No. 10 tahun 2008, pandangan para pakar terhadap UU No. 10 tahun 2008, dan substansi UU No. 10 tahun 2008.
BAB IV
Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu Menurut UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, mendiskusikan beberapa point
17
penting seperti: sistem pemilu dalam Islam, pemilu dalam pandangan ulama Islam kontemporer, dan pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu menurut UU No. 10 tahun 2008. BAB V
Penutup, berisikan pembahasan tentang kesimpulan dari semua pembahasan, diakhiri dengan saran dan rekomendasi.
18
BAB II DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH
A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam Dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal terma fiqh politik (fiqh siyâsah), yang menempatkan syarî’ah Islam disamping sebagai aturan tentang ketuhanan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah) serta akhlak, tetapi juga mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintah), atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan pejabat dengan penduduk, yang diatur dalam fiqh daulah. 1 Politik menurut perspektif syarî’ah, ialah menjadikan syarî’ah sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepada-Nya, mengaplikasikannya dimuka bumi, menancapkan ajaranajaran dan prinsip-prinsip-Nya ditengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan sasaran-Nya, sistem, dan jalan-Nya. Tujuannya berdasarkan syarî’ah dan sistem yang dianut juga berdasarkan syarî’ah. Islam adalah aqidah dan syarî’ah, agama dan daulah, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, mushaf dan perang. 2 . Dalam kepustakaan modern bidang-bidang ini adalah termasuk dalam bidang kenegaraan dan kebijakan publik, dan hukumnya adalah masuk dalam bidang hukum
1
Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dari judul Aslinya: As-siyâsah As-syariyyah, oleh Kathur Suhadi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999), Cet.I., h. 23. 2
Yusuf Al-Qardhawy., h. 35.
13
19
publik, yaitu hukum tata negara, administrasi negara, hukum pidana, dan hukum acara. Terdapat banyak kajian dalam masalah fiqhiyyah, ada yang masuk dalam domain pembahasan fiqh secara umum, dan bahkan ada pula yang mengupasnya dalam kitab-kitab fiqh secara khusus, seperti “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karangan Al-Mawardî Asy-Syafi’y (wafat 450 H), Abul Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (wafat 458 H.), “Ghayyatsul-Umam” karangan Al-Imam Al-Haramain Asy-Syafi’y (wafat 476 H), Kitab “As-Siyâsah As-Syariyyah Fi Al-Islâhi Ar-ra’yu wa Ar-Ra’iyyah” karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), serta karangan dari murid dan sahabat Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab “At-turûq Al-Hukmiyyah.” Termasuk kitab klasik “Al-Kharaj” yang dikarang oleh Abu Yusuf (wafat 181 H), salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi kitab-kitab lainnya termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20. 3 Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama klasik tentang politik hampir sama dengan apa yang dikemukan oleh Al-Qordowi 4 yaitu tidak dipisahkannya politik dengan syarî’ah Islam. Politik adalah bagian dari syarî’ah Islam yang diatur oleh syarî’ah dan tujuannya untuk tegaknya syarî’ah itu sendiri. Politik dalam pandangan para ulama salaf diartikan dalam dua makna, yaitu: Pertama, dalam makna umum yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia mereka berdasarkan syari’at agama. Kedua, politik dalam makna khusus yaitu 3
Al-Mawardy dan Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h.54
4
Yusuf Al-Qardhawy., h. 38.
20
pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh Islami, yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh Islami itu berinteraksi dengan realitas kehidupan, serta berbuat untuk memecahkan berbagai problem dengan merujuk kepada syarî’ah. Syarî’ah tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul. 5 Banyak contoh dan tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW, tentang kelenturan syarî’ah Islam yang dihadapkan dengan realitas, dan inilah bidang politik, yaitu antara lain suatu saat Rasululah pernah memerintahkan untuk memenjarakan seorang tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda tidak akan menghukum seseorang kecuali dengan dua saksi. Begitu juga dengan sikap Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan hukum dera, karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri itu. Serta mengambil zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai keringanan. Khalîfah Umar r.a. juga pernah menangguhkan hukum bagi pencuri karena kemiskinan. 6 Setelah runtuhnya Khilâfah Islamiyah mulai berkembang perbedaan pandangan diantara ummat Islam tentang Islam dan politik. Terutama dimulai dengan
5 6
Yusuf Al-Qardhawy., h. 38
Abul A’la Al-Maududi, , Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 245.
21
pandangan seorang ulama Al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq, dengan tulisan “Islam Wa Usûli Al-Hukmi“, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Islam adalah agama yang U
tidak memiliki daulah, negara Islam adalah risalah rohani semata. Muhammad tidak bermaksud mendirikan negara dan hal ini tidak termasuk risalah beliau. Beliau hanyalah seorang rasûl yang bertugas melaksanakan dakwah agama secara murni tidak dicampur kecenderungan terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan negara, karena memang beliau tidak memliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan raja dan bukan pula seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan negara. 7 Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama Al-Azhar dan putusan dalam pertemuan format Saikh Al-Azhar beserta 24 anggota tetap, dan memutuskan bahwa buku Ali Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah yang bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan yang sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang yang berilmu. Pengarangnya dikeluarkan dari ulama Al-Azhar dan dicabut kepakarannya serta diberhentikan dari jabatannya. Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal, 8 bahwa dalam AlQur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan dan
7 8
Yusuf Al-Qardhawy., h, 29.
Musda Mulia, Negara Islam – Pemikiran Politik Husain Haikal, Disertasi Doktor, (Program Parca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1997)., h.289-290.
22
pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi pengaturan hidup kenegaraan. Tuntunan Al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara tidaklah menunjuk suatu model tertentu. Karena itu Haikal menyimpulkan bahwa soal negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada ijtihad ummat Islam. Islam hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam mengelola negara. Prinsip-prinsip itu mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi pengelolaan hidup bermasyarakat, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Perbedaan pandangan diantara ummat Islam mengenai hubungan antara Islam dan politik tersebut berkembang hingga saat sekarang ini, dan membawa kepada perbedaan aliran politik yang dianut ummat Islam di seluruh dunia, termasuk yang terjadi di Indonesia. Disinilah titik temu antara Islam dan politik. Politik dalam Islam mempunyai andil yang sangat besar, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam menganjurkan adanya kegiatan politik, karena dengan politik itu sendiri, Islam dapat bertahan dan tersebar di dunia. Namun yang perlu diperhatikan adalah politik (siyâsah) dalam kontek ideal, bukan pelakunya dan realitas politik Islam. Hal ini karena dalam Islam pun realitas politiknya kadang tidak Islami, misalnya terjadi pembunuhan, fitnah, money politik, dan lain-lain. Syekh Muhammad Abduh pernah berkata: “A‘ûdzu Billâhi Min AsySyaitâni As-Siyâsah Wa Assasah” yang artinya saya berlindung kepada Allah dari syetan politik dan perpolitikan. Tetapi jika politiknya demokratis, harus sesuai
23
dengan nilai-nilai Islam. Berkaitan dengan ini Imam Syafi’i mengatakan “La Siyâsat Al-illa Mâ Wafaqa Bihi Asy-Syar’u”, yang artinya tidak ada politik (syarî’ah) kecuali sesuai dengan prinsip-prinsip agama. 9 Salah satu pilar demokrasi suatu negara adalah terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu) yang jujur dan adil. Dalam sistem ketatanegaraan Islam, pemilu mendapat legalitas dari ajaran Islam dan merupakan sebuah prosesi yang harus dilaksanakan untuk memilih para pemimpin, baik sebagai wakil-wakil rakyat dilembaga legislatif atau disebut dengan ahl halli wal aqd, maupun kepala negara atau presiden dan wakilnya atau disebut dengan khilafah. Untuk itu setiap warga negara wajib menggunakan hak pilihnya, dan khusus bagi umat Islam wajib memilih orang-orang Islam yang terbaik sesuai pilihan hati nurani masing-masing, tanpa ada pengaruh intimidasi dari orang lain.
B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam yang Berhubungan dengan Pemilu 1. Prinsip Musyawarah Padanan demokrasi dalam Islam adalah musyawarah (syûra) yang merupakan kata turunan (derivasi) dari kata kerja “syâwara” yang berarti “meminta pendapat dan mencari kebenaran”. Sedangkan secara terminologis, syûra bermakna “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada
9
Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 30
24
kesimpulan yang paling tepat”. 10 Dengan demikian, demokrasi yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat dalam tataran idealnya sejalan dengan prinsip syûra dalam Islam. Di dalam Islam bermusyawarah untuk mencapai mufakat adalah hal yang disyariatkan. Dalam Al-Qur’an surat As-Syura Allah mengatakan:
☺
(16:42/)اﻟﺸﻮرى Artinya :
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Syura/42: 38)
Dengan ayat ini, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan musyawarah pada tempat yang agung. Syarî’ah Islam yang lapang ini telah memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi). 11 Ayat itu memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syûra dan menghiasi diri dengan adab syûra sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk sifat-sifat mukmin sejati. Untuk lebih menegaskan urgensi syûra, ayat di atas menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardu ‘ain yang tidaklah
10
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), edisi II, cet.III, h.111. 11
Muhammad Tahir Azhary., h. 112
25
sempurna Islam seseorang dan tidak pula lengkap imannya kecuali dengan ibadah yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji. Hal tersebut menunjukan bahwa Islam secara langsung menerapkan prinsip pengambilan keputusan berlandaskan musyawarah yang menjadi sendi utama dalam demokrasi modern yaitu dari, oleh, dan untuk kepentingan rakyat.
2. Prinsip Keadilan Prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam kaitanya dengan pelaksanaan sistem bernegara, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Abdurahman Wahid, ‘adl atau keadilan dalam perspektif AlQur’an bisa diartikan sebagai “sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan”.12 Definisi tersebut bisa dilihat dari beberapa ayat dalam Al-Quran tentang keadilan yang bersinonim dengan kata lainya seperti qistu dan hukmu:
⌧ ☺ ☺
(58 :4/)اﻟﻨﺴﺎء
☺
⌧
⌧
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. 12
Abdurrahman Wahid, Konsep-Konsep Keadilan, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.) “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Jakarta: Paramadina, 1995), cetakan II, h. 99
26
(105 :4/)اﻟﻨﺴﺎء Artinya :
☺
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa/4: 105)
Menurut Tahir Azhari, paling sedikit ada empat prinsip keadilan dalam AlQuran yang berkaitan dengan penegakan hukum. Pertama, keadilan harus dilaksanakan dengan keihklasan karena Allah, bukan karena faktor lain seperti uang, jabatan, atau kedudukan. Kedua, keadilan harus berpihak kepada kebenaran. Ketiga, keadilan tidak boleh berdasarkan kepada kebencian. Keempat, keadilan berkorelasi positif dengan ketakwaan yaitu keadilan yang berdasarkan perintah Allah dan menjauhi larangan Nya. 13
3. Prinsip Persamaan Prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dalam Islam terangkum dalam Al-Qur’an secara eksplisit:
⌧ 13
Muhammad Tahir Azhary., h. 119.
27
(13 :49/)اﻟﺤﺠﺮت Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang palig bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13) Konsepsi persamaan juga terdeskripsikan dalam Hadits Nabi dalam pidato Nabi ketika haji wada tahun 10 H: “Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu tidak ada perbedaan antara orang Arab dan bukan Arab, antara orang yang berkulit merah dengan yang berkulit hitam, kecuali karena takwa nya kepada Allah.” Menurut Tahir Azhary 14 , prinsip persamaan dalam perspektif hukum Islam merupakan perlakuan dan perlindungan yang sama terhadap semua orang di mata hukum.
4. Prinsip Kejujuran Prinsip kejujuran sebenarnya bersinergi dengan prinsip amanah dalam memutuskan suatu perkara. Hakim yang amanah tentunya akan menghasilkan produk
14
Muhammad Tahir Azhary., h.126.
28
hukum yang berkualitas. Menurut Tahir Azhary 15 , prinsip kejujuran merupakan refleksi dari prinsip ketaatan rakyat, suatu relasi antara pemerintah dan rakyat, atau ulil amri (penguasa) dan ummat (rakyat). Al-Qur’an menjelaskan konsep relasi ini:
⌧
(59 :4/⌧ )اﻟﻨﺴﺎء Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah kepada Rasul Nya serta orang-orang yang berwenang diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul Nya (Sunnah), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibat nya”. (QS. An-Nisa/4:59)
Kejujuran merupakan sikap pemenuhan kepercayaan atas tanggung jawab yang diberikan. Pada tahap inilah kejujuran dan amanah saling berkorelasi. Dalam konteks bernegara, pemerintah yang diberi kepercayaan oleh rakyat harus mampu memenuhi kepercayaan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Distorsi terhadap amanah adalah ketidakjujuran dan penghianatan terhadap rakyat. 5. Prinsip Pertanggungjawaban Prinsip pertanggungjawaban merupakan prinsip akuntabilitas dan transparansi dari suatu pelaksanaan amanah. Karena kekuasaan adalah amanah yang harus
15
Muhammad Tahir Azhary., h.153
29
dipertanggungjawabkan, maka prinsip akuntabilitas wajib dilaksanakan. Al-Qur’an menjelaskan:
⌧ ☺ ☺
⌧
☺
⌧
(58 :4/)اﻟﻨﺴﺎء Artinya :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat” (QS. An-Nisa/4: 58)
Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa: “Kullukum Râ’in Wa Kullukum ‘an Ro’iyatihi” Artinya : “Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban nya kelak. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyat nya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai rakyat nya“. (HR Bukhari) Menurut Tahir Azhary, hadist tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa setiap muslim adalah pemimpin baik formal maupun informal. Secara formal, pemimpin adalah seseorang yang memiliki kedudukan ataupun jabatan dalam struktur pemerintahan. Sedangkan secara informal, pemimpin adalah setiap orang yang memegang pimpinan, baik sebagai kepala rumah tangga (ayah atau suami), atau pun sebagai pemimpin masyarakat (kelompok atau sejumlah orang yang berkumpul secara tidak resmi). 16
16
Muhammad Tahir Azhary., h. 109
30
Sistem akuntabilitas dan transparansi dalam perspektif hukum Islam merupakan bentuk pertanggungjawaban penguasa, karena ia memegang kewajiban dan kewenangan (otoritas). Dalam konteks ini, kekuasaan bukan hanya sekedar otoritas semata, tetapi lebih dari itu mengandung kewajiban disamping kewenangan. Pada pelaksanaannya kewajiban harus dikedepankan dari kewenangan yang merupakan hak penguasa. 17 6. Prinsip Kebebasan Prinsip kebebasan (freedom of decision) dalam penetapan hukum Islam bisa dimaknai sebagai kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan penguasa, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim menjatuhkan putusannya pada seorang penguasa apabila melanggar hak-hak rakyat”. 18 Menurut Tahir Azhary, prinsip peradilan bebas dalam perspektif hukum Islam harus sejalan dengan tujuan hukum Islam, spirit Al-Qur’an dan As-Sunah. Tujuan hukum Islam dalam konteks ini terangkum dalam “ad-doruriyyah al-Khamsah” yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Tahir Azhari menggaris bawahi bahwa prinsip kebebasan dalam penentuan hukum Islam harus menjunjung tinggi prinsip amanah, karena kekuasaan qâdi atau hakim merupakan amanah dari ummat yang harus dijaga dengan baik. Lebih dari itu, seorang sebelum memutuskan suatu perkara harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan qâdi lainnya agar tercapai keputusan
17 18
Muhammad Tahir Azhary., h. 110 Muhammad Tahir Azhary., h.144-145
31
yang bijak dan adil, karena keputusan hukum yang adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang bebas dari intevensi dan interes penguasa.19
7. Prinsip Kebajikan Prinsip kebajikan dalam menjalankan amanah bisa diartikan juga sebagai prinsip kesejahteraan. Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam mengandung pengertian yang lebih luas yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh ummat. Pengertian keadilan sosial bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi semata, tetapi lebih dari itu mencakup pemenuhan kebutuhan spiritual. Dengan kata lain, keadilan sosial harus memenuhi unsur lahir dan bathin. Al-Qur’an menjabarkan konsep keadilan sosial ke dalam sejumlah aktivitas ekonomi yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat luas seperti adanya kewajiban zakat, infaq, shadaqah, hibah, dan wakaf dalam surat Al-Ma’arij dan Adz-Zariyat sebagai berikut:
(24 :70/)اﻟﻤﻌﺎرج Artinya :
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. (QS. Al-Ma’arij/70: 24)
☺
(25 :70/)اﻟﻤﻌﺎرج Artinya :
“Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij/70: 25)
(19 :51/)اﻟﺬارﻳﻴﺖ 19
Muhammad Tahir Azhary., h.146.
32
Artinya :
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Az-Zariyat/51: 19). 20 Konsepsi kebajikan (baca: kesejahteraan) terdeskripsikan dalam Al-Qur’an
sebagai terbentuknya suatu negara yang makmur dan subur:
⌦
⌧
Artinya :
“....(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba’/34: 15)
(
:
/)ﺳﺒﺄ
Menurut Tahir Azhary, negara berkewajiban untuk mengatur, mengelola sumber daya alam, dan mengalokasikan pendapatan negara untuk kesejahteraan rakyatnya dalam bentuk jaminan sosial. Jaminan sosial yang dimaksud adalah adanya tunjangan pengangguran, tunjangan masa depan, beasiswa, tunjangan pensiun, dan sebagainya. Prinsip kebajikan harus sejalan dengan doktrin Islam “Hablu Min AlAllah Wa Hablu Min An-Nâs”, yaitu aspek ibadah (vertical) dan aspek mu’amalah (horizontal). Untuk mewujudkan kebajikan dan kesejahteraan tersebut, maka harus berdasarkan prinsip keadilan sosial yang sesuai dengan anjuran dan perintah Allah swt dalam Al-Qur’an. 21
20
Muhammad Tahir Azharys., h. 150-151
21
Muhammad Tahir Azhary., h. 152.
33
BAB III SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008
A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008 Pemilu dapat dikatakan sebagai sebuah “pesta demokrasi” bagi rakyat. Suksesnya pemilu menjadi salah satu wujud suksesnya penerapan demokrasi di suatu negara. Persiapan pelaksanaan pemilu bukan hanya sekedar persiapan logistik semata, tetapi lebih dari itu, persiapan landasan hukum berikut Undang-Undang Pemilu yang mengikat. UU No. 10 Tahun 2008, misalnya merupakan penyempurnaan aturan pemilu sebelumnya. 1 Secara umum diduga Undang-Undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 terdapat beberapa pasal yang tidak sinkron dengan Undang-Undang lain seperti UU No. 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu. 2 Di antaranya terkait tentang pembentukan penetapan daftar pemilih sementara dalam UU No. 22 Tahun 2007 dengan penetapan daftar pemilih tetap yang dilakukan Petugas Pemutahiran Data Pemilih (PPDP). Terdapat beberapa hal yang jauh dari harapan publik, misalnya semangat penyederhanaan jumlah partai tidak didukung dengan peraturan yang tepat. Ditetapkannya Parlementary Threshold tidak terkait dengan penyederhanaan partai, tetapi hanya mekanisme dalam penempatan “kursi” yang diperoleh Partai. Hal ini
1
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
2
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)
28
34
juga terkait dengan aturan peralihan yang membolehkan semua partai yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut pemilu 2009, yang sudah dibatalkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), namun menjadi tidak berarti karena tahap verifikasi telah dilalui. 3 Ada sejumlah catatan penting dari kecacatan pemilu 2009 secara sistemik. Salah satu akar dari "cacat" pemilu 2009, baik yang terjadi pada pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, adalah distorsi dan bias politik sistem proporsional yang dianut. Sistem proporsional telah "terselewengkan" oleh oligarki parlemen dalam menyusun Undang-Undang No. 10 tahun 2008. Beragam tafsir, kualitas penyelenggaraan dan banyaknya kepentingan menyebabkan kualitas Pemilu 2009 diragukan oleh banyak pihak. B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No 10 Tahun 2008 Menurut Relfy Harun, 4 dilihat dari segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan Mei 2007 dan selesai dirumusukan pada 3 Maret 2008, kemudian disahkan pada 28 Maret 2008. Sedangkan pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap sangat terburu-buru karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya judicial review yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih yang mendapatkan suara 30 persen. Menurutnya, MK membatalkan pasal 214 yang menyatakan harus memperoleh suara terbanyak. Terlebih, Refly menegaskan bahwa 3 4
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
Wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB.
35
perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat luar biasa dengan banyaknya perubahan dari UU sebelumnya yang membuat pemilu mengalami banyak permasalahan. Terkait dengan pasal yang dianggap kontroversi, Refly menggaris bawahi bahwa sebenarnya pasal-pasal tersebut terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945, dikarenakan banyak pihak yang ingin mengambil kesempatan, khususnya yang tidak mendapatkan kursi di DPR. Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008, misalnya partai A mendapat 70 suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama partai A mendapat 1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak mendapatkan kursi karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada tahap kedua partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu 20 kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa suara lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak yang menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan penentuan kursi pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan kepada partai yang mendapat suara terbanyak. 5 Refly menegaskan bahwa menurut sistem yang disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnya jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi, karena ada pihak tertentu yang kalah dan mengupayakan agar menang, maka mereka kemudian mengajukan judicial review. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun
5
wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
36
dianggap adil sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan yang diangkat dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil (Daerah Pemilihan), dapil mana yang berhak mendapat kursi. 6 Refly menandaskan bahwa banyak politisi yang melakukan Judicial review, hal ini dikarenakan adanya ketidakjelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait dengan penetapan atau pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon terpilih, ditambah dengan rumitnya sistem pemilu yang diadopsi. Dalam sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam jumlah kursi atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem proporsional terbuka sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal dengan distrik. Kemudian ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang dipersoalkan adalah mental para calon DPR yang mengupayakan segala cara agar dapat terpilih dan mengupayakan agar celah hukum yang ada agar terpilih menjadi anggota DPR. 7 Refly menjelaskan bahwa UU No.10 tahun 2008 bukanlah penyempurnaan terhadap UU sebelumnya, akan tetapi perubahan terjadi karena konteks isi atau bahasa didalamnya dirubah secara keseluruhan yang dianggap tidak penting dalam UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU 6
wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB 7
wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
37
No.12 tahun 2003 dan masih dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman pada masa tersebut. 8 Refly menambahkan bahwa relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945 dalam BAB VIIB tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat 2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang. 9 Menurut KH. Yan Hasanudin Malik 10 , berdasarkan UU No.10 tahun 2008 anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan harus melalui partai politik. Menurut nya, relasi antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10 tahun 2008, yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya, sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai sisa, sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya terdapat dalam 8
wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB 9
wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB 10
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB
38
tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan orang yang mewakili rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia menganut perkawinan sistem distrik dan sistem proporsional. KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan beberapa pasal yang kontroversial. Menurut analisanya, pasal-pasal tersebut mengandung kontroversi pada masalah perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk dalam BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan dalam UU No. 10 tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika ketentuan perhitungan dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi maka jika partai A memiliki suara sah 1000 orang maka partai A mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan perhitungan tahap kedua, sedangkan partai B memiliki 500 orang maka partai B mendapatkan 1 kursi. Sedangkan sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai B adalah 200 hal ini merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap ketiga sisa suara dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang memenangkan suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi kontroversi jika ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai habis. Suara yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang mendapatkan suara terbanyak. 11 KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa penentuan suara terbesar menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga, suara partai yang tidak mendapatkan
11
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB
39
kursi kemudian dilimpahkan kepada partai pemenang yang paling besar. Jatah partai kecil yang tidak memenuhi dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang memilih satu partai karena tidak mencukupi dianggap hangus. Ia menambahkan bahwa isu sentral dalam UU No. 10 tahun 2008 terkait dengan parlementary thershold dan elektoral threshold. 12 KH. Yan Hasanudin Malik mengelaborasi perbedaan sisitem pemilu dalam Islam dan sistem pemilu konvensional secara komprehensif. Menurut nya, dalam Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau dasarnya adalah kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau dasarnya adalah suara mayoritas yang paling banyak suara sah atau pendukungnya maka dialah yang terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam hal itu sah saja. Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika dalam demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam dengan pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam dan pemilu di indonesia mempunyai semangat yang sama. 13 KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas, 12
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010 13
wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
40
muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat. 14 KH. Yan Hasanudin Malik berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008. Menurut nya, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu boleh saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka kewajiban masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu diprogramkan maka diperlukan lembaga yang perlu untuk menjalankan perintah tersebut yaitu keadilan. Maka legalitas dan dukungan rakyat adalah dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak boleh merubah dari ketentuan syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau regulasi ketetapan dari Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu harus dibuat dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan tugas tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi. 15
14
wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB 15
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
41
KH. Yan Hasanudin Malik menggarisbawahi bahwa dalam UU No. 10 tahun 2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya karena ada sistem parlementary threshold, maka sebagian wakil rakyat di DPR tidak semua dipilih oleh rakyat dianggap hangus dan diberikan kepada partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya lebih kepada ukuran kebenaran tapi perlu diperjuangkan maka harus ada program, perencanaan, dan evaluasi. Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil saja selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM. 16 KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan bahwa ahlu halli wal aqd yaitu sesorang yang mempunyai kemampuan teknis dan dapat menerjemahkan Islam dalam kehidupan sehari-hari sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Hal ini dibentuk oleh majlis syuro yang berasal dari kata syawaro yang berarti madu dan terasa manis dan menyehatkan sehingga dapat mewakili rakyat dalam kebenaran. KH. Yan Hasanudin Malik lebih jauh menjelaskan tentang adanya hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di Indonesia menurut UU No.10 tahun 2008 yaitu dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat dengan memilih orang-orang yang mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi substansi jika dalam Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu
16
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
42
demokrasi ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam pemilihan suara. 17 Menurut Mochammad Nurhasim 18 , peneliti bidang politik LIPI, UndangUndang paket politik yang meliputi hampir enam Undang-Undang, tampaknya memang memiliki kekacauan substansial yang sistemik. Misalnya, Undang-Undang paket politik itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilihan Presiden, Undang-Undnag Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Nurhasim menegaskan bahwa salah satu faktor determinan dari kekacauan itu adalah tidak saling sinkron antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Bahkan ada gejala saling menegasikan dan tidak saling menunjang. Sebagai contoh, prinsip multipartai yang menjadi inti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, seakan-akan berdiri sendiri sebagai suatu undang-undang, tanpa terkait dengan undang-undang pemilu. 19 Upaya penyederhanaan partai yang dianut pada sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 ternyata 17
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB 18
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010. 19
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
43
tidak ditunjang oleh undang-undang kepartaian, yang justru memberikan keleluasaan orang untuk mendirikan partai politik. 20 Demikian pula dengan masalah pilihan presiden dan bahkan undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru saja disahkan oleh DPR yang ditambah dengan Nurhasim. Dari segi prinsip, yang paling parah secara substansial adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang ini mengandung beberapa kelemahan mendasar, karena undang-undang tersebut telah menisbikan sebagian prinsip sistem proporsional. Kelemahan itu terletak pada dan di antaranya ialah bertingkatnya koefisien bilangan untuk penentuan kursi bagi anggota DPR. 21 Nurhasim menggaris bawahi bahwa aturan tiga tahap dalam penentuan kursi bukanlah suatu kewajaran, tetapi merupakan penyimpangan substansial dari sistem proporsional. Hadirnya Pasal 205 dapat dianggap sebagai "akal-akalan" politik partai. Dalam sistem proporsional sejatinya jika suatu suara tidak sebanding dengan koefisien nilai kursi, maka suara tersebut disebut sebagai sisa. Undang-Undnag Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengenal dan tidak menjelaskan sama sekali tentang
20
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010. 21
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
44
istilah sisa suara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 205 adalah pasal karet yang bukan saja multitafsir, tapi sekaligus tidak memiliki dasar secara teoritik. 22 Alhasil, Nurhasim menegaskan bahwa hal itu berdampak pada perbedaan nilai satu kursi dalam suatu daerah pemilihan, antara tahap pertama, kedua, dan ketiga dalam penghitungan kursi partai. Sistem proporsional yang "hibrida", suatu perkawinan antara sebagian sistem distrik dengan sistem proporsional, idealnya pengawinan substansi itu tidak mengacaukan sistem utamanya. Indonesia sebenarnya terjebak pada sistem proporsional hibrida yang kacau balau. Kekacauan itu terletak pada inkonsisten prinsip-prinsip utama sistem proporsional yang digunakan. Lebih dari itu, Nurhasim meyakini bahwa teknis pembagian kursi yang dianut pada Pemilu 2004 justru lebih bagus ketimbang Pemilu 2009. 23 Pembagian kursi yang hanya pada dua tahap (tahap pertama dan tahap sisa) lebih mencerminkan keadilan substansial yang meminjam istilah Mahkamah Konstitusi (MK) daripada tiga tahap seperti yang berlaku saat ini. Kekacauan lainnya terletak pada desain undang-undang yang dirancang setengah proporsional terbuka, menjadi terbuka penuh. Ini terjadi karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih anggota DPR dan DPRD.
22 23
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)
45
Nurhasim menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak dirancang untuk proporsional terbuka penuh, hanya setengahnya. 24 Kenapa setengah? karena adanya percampuran antara peran partai dan peran pemilih pada saat penentuan calon terpilih. Percampuran itu berimbas pada beberapa teknis lainnya, khususnya cara memilih dan sah tidaknya sebuah pilihan rakyat. Dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup pemilih akan memilih gambar partai. Sementara dalam sistem proporsional "setengah terbuka" seperti yang berlaku pada pemilu tahun 2004, pemilih dapat memilih partai dan atau nama calon. Idealnya, Nurhasim menambahkan dalam sistem proporsional yang benarbenar terbuka penuh, pemilih hanya memilih nama calon. Akan tetapi, kekacauan ketika Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD meletakkan fungsi dan peran anggota DPRD terpilih justru di bawah bayang-bayang peran dan oligarki partai politik. 25 Nurhasim menegaskan bahwa sebuah undang-undang pemilu tidaklah berdiri sendirian. Undang-Undang Pemilu akan melandasi tiga hal secara mendasar, pertama sistem kepartaian yang kita anut, kedua susunan dan kedudukan DPR, DPD dan DPRD, dan ketiga adalah pihak penyelenggara dan pengawasnya. Meletakkan hubungan yang saling berhubungan antara satu undang-undang dengan undangundang lainnya merupakan keniscayaan. 24 25
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.
46
Prinsip tersebut relatif diabaikan dalam penyusunan paket Undang-Undang Politik (Undang-Undang Pemilu, Kepartaian, Susunan DPR, DPD dan DPRD serta penyelenggara pemilu). Upaya para akademisi yang tergabung dalam tim perancang Paket Undang-Undang Politik usulan pemerintah yang mencoba merangkai kaitan paket Undang-Undang Politik yang diacak-acak pada saat pembahasan RUU di DPR. Berbagai kerancuan yang telah disebut di atas adalah contoh dari proses pembahasan RUU Politik yang kental kepentingan politik. 26 Ironinya, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 27 Tentang Pemilihan
Anggota Legislatif DPR, DPD, dan DPRD banyak menuai gugatan uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Baik oleh lembaga maupun perorangan. Padahal, dengan Undang-Undang inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan Pemilihan Umum 2009. Benarkah materi Undang-Undang ini sebenarnya masih lemah, atau pemberlakuannya masih belum banyak dipahami akibat minimnya sosialisasi? Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD 28 , banyaknya gugatan masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 29 ini
26
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010. 27
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
28
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010. 29
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
47
menunjukan bahwa Undnag-Undang ini belum kuat untuk dijadikan dasar hukum bagi KPU untuk melaksanakan pemilu legislatif. Hal tersebut merupakan konsekwensi sekaligus kenyataan bahwa undang-undang ini produk politik. Di sinilah letak fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji apakah undang-undang itu sudah kuat atau belum. Hasilnya, dari enam pengujian, ada beberapa yang dikabulkan dan ada yang ditolak. Mahfudz MD berharap bahwa masyarakat dapat memahami bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak boleh sewenang-wenang. Karena Mahkamah Konstitusi (MK) hanya bisa membatalkan undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak bisa didorong untuk membuat putusan yang bertentangan dengan konstitusi. 30 Seperti misalnya calon perseorangan yang sudah ditolak gugatannya itu. Jika mengacu ke konstitusi isinya sudah jelas kebutuhan politis dan sosiologisnya, jadi tidak ada tafsir lain. Bahwa dalam persidangan ada tiga hakim yang dissenting opinion, sebenarnya esensi yang mereka sampaikan sama. Menghendaki dilaksanakan tapi baru bisa tahun 2014 karena masih memerlukan perubahan konstitusi lagi. Pembatalan Pasal 214 Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 31 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudz MD menegaskan kemungkinan intensitas saling gugat antar calon legislatif akan meningkat tajam. Walaupun demikinan dalam 30
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010 31
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
48
undang-undang yang mengaturnya, Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengadili sengketa hasil pemilu, termasuk juga jika partai politik menggugat KPU. 32 Sementara itu, tokoh-tokoh pers baik akademisi maupun praktisi media massa merasa "kecolongan" dengan munculnya sejumlah produk undang-undang yang secara eksplisit maupun implisit "mengebiri" kebebasan pers di negeri ini. Kita sebut saja keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Isi Undang-Undang ini jelas-jelas mengekang kebebasan pers dan berlawanan dengan hakikat dan fungsi media massa. 33 Pasal 91 Ayat 2, misalnya berisikan ketentuan bagi media cetak dan penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 ayat 3 menegaskan: media massa wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye. Pasal 97 menyatakan pula bahwa media massa menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Pasal 94 ayat 1 bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual "blocking segment" dan atau "blocking time" untuk kampanye Pemilu. Pasal 94 ayat 2 bahwa media massa dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun
32
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010 33
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
49
yang dapat dikategorikan iklan kampanye. Pasal 94 ayat 3 bahwa iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu dilarang dijual kepada pihak lain. 34 Selain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 35 tentang pemilu, masih banyak produk Undang-Undang maupun Rancangan Undang-Undang lainnya yang berlawanan dengan kebebasan pers. Misalnya, Undang-Undang
Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat, karena ancamannya sangat berat sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Ancaman atau sanksi lainnya pada pasal 28 ayat (2) menyebutkan:
jika
sengaja
menyebarkan
informasi
yang
ditujukan
untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan, maka setiap orang yang melanggar tiap-tiap pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar. 36 Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi media massa untuk memuat berita pemilu. Yang diatur dalam undang-undang adalah media massa wajib memberitakan berita yang benar sesuai fakta. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi
34
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010 35 36
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010
50
yang benar dari media massa. Jika tidak, publik berhak menggunakan hak jawab dan hak koreksi, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Pers No. 40/1999. Media massa punya parameter dalam pemberitaan yaitu "news value". Berita apa pun juga harus mengacu pada nilai berita, apakah berita kriminalitas, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, social, dan lain-lain. Kalau nilai beritanya tinggi media massa pasti akan memuatnya, sebaliknya jika nilai beritanya rendah, apalagi jenis berita kampanye mengenai Pilkada, Pemilu, dan Pilpres yang cenderung membodohi rakyat dengan kampanye "lips service" dan "jual kecap" maka media massa berhak tidak memuatnya. Kalau ada pihak yang memaksakan kemauannya, jelas hal itu melanggar undang-undang dan kebebasan pers. 37
C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008 Undang-Undang pemilu dan partai politik di Indonesia terangkum dalam UU No 10 tahun 2008 38 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Di dalam nya terdapat sekitar 24 bab dan 320 pasal yang mengatur secara detail sistem pemilu di tanah air. Dalam skripsi ini, tentunya penulis tidak mungkin membahas semua bab dan pasal dalam undang-undang tersebut. Yang akan penulis angkat adalah beberapa pasal yang mengundang kontroversi yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3. 37
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010 38
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)
51
Berdasarkan ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK), esensi dari pasal 205 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat. 39 Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Menentukan kesetaraan 50 persen suara sah dari angka bilangan pembagi pemilih (BPP) di setiap daerah pemilihan (dapil) anggota DPR. 2. Membagikan sisa kursi pada setiap pemilihan anggota DPR kepada parpol peserta pemilu anggota DPR dengan ketentuan: a. Apabila suara sah atau sisa suara parpol atau peserta pemilu anggota DPR mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari angka BPP, maka partai politik terrsebut memperoleh satu kursi. b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta pemilu anggota DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka: 1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan kursi tahap ketiga. 2) Sisa suara parpol yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga.
39
KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,” http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010
52
Sedangkan untuk pasal 211 ayat 3 dinyatakan konstitusional bersyarat 40 . Artinya, konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap pertama. 2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu anggota DPRD Provinsi tersebut, dengan cara: a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah parpol tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah kursi yang diperoleh parpol pada tahap pertama dengan angka BPP. b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama, suara sah yang diperoleh partai politik tersebut dikategorikan sisa suara. c. Menetapkan perolehan kursi parpol peserta pemilu Anggota DPRD Provinsi, dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta pemilu anggota PDRD satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh partai politik. Pasal 212 ayat 3 Undnag-Undang Nomor 10 Tahun 2008, juga berlaku konstitusional bersyarat 41 , artinya konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 40
KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,” http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010 41
KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,” http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010
53
1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap pertama. 2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota tersebut dengan cara: a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah parpol tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama dengan angka BPP. b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama, suara sah yang diperoleh partai politik tersebut dikategorikan sebagai sisa suara. c. Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota, dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh partai politik.
54
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008
A. Sistem Pemilu Dalam Islam Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah Pemilu (Intikhabat) ada dalam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalîfah pada masa khulafâ ar- rasyidîn? Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi?. Faktanya, pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (As-Sultân Li Al-Ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (khilâfah). Prinsip ini terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalîfah. 42 Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalîfah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Disinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalîfah. Namun perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode (tarîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan
42
J. Suythi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.72
49
55
metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. 43 Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-asli). Cara amil zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan, apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer, apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil Surat At-Taubah ayat 103.
☺
⌦
(103 :9/)اﻟﺘﻮﺑﺔ Artinya :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan, mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah/9: 103)
Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang dari perbuatan pokok yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat 43
J. Suythi Pulungan, h. 29
56
dibagikan, barang apa saja yang dizakati dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada. 44 Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalîfah dalam syarî’ah Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib, ada pula cara (uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalîfah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib. Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah.” (Hadis sahih). 45 Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan "mati Jahiliah". Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya. 46 Adapun tatacara pelaksanaan baiat (Kaifiyat Adâ' Al-bâ’ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubahubah. Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah.
44
J. Suythi Pulungan, h. 30
45
Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath alBâri, XVI/240). 46
J. Suythi Pulungan, h. 73
57
Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalîfah yang akan dibaiat. 47 Mengapa cara pemilihan khalîfah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat (kesepakatan sahabat Nabi) mengenai tidak wajibnya ('adamul wujub) untuk berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalîfah (nashbu al-khalîfah), sebagaimana yang terjadi pada masa khulafâ ar-rasyidîn. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbedabeda untuk masing-masing khalîfah yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r.a. Namun, pada semua khalîfah yang empat itu selalu ada satu metode (tharîqah) yang tetap dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk mengangkat khalîfah (nashbul khalîfah), tak ada metode lainnya. 48 Baiat menurut pengertian syarî’ah adalah hak umat untuk melangsungkan akad khilâfah (haq al-ummah fî imdhâ’ ‘aqd al-khilâfah). Baiat ada dua macam: Pertama, baiat in‘iqâd, yaitu baiat akad khilâfah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khilâfah. Kedua, baiat at-tâ‘at atau bay’ah ‘ammah, yaitu baiat dari kaum Muslim yang lainnya kepada khalîfah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat menaati khalîfah. 49
47
A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), Edisi Revisi, Cetakan III, h. 68 48
A. Djazuli., h.7.
49
J. Suythi Pulungan, h. 72
58
Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalîfah. Maka dari itu, pada khulafâ ar-rasyidîn, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat
kepada
para
khalîfahnya
masing-masing.
Adapun
cara-cara
praktis
pengangkatan khalîfah (ijrâ’at at-tanshîb), atau cara (uslûb) yang ditempuh sebelum baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang pernah dilakukan pada masa khulafâ ar-rasyidîn, dapat diambil cara-cara pengangkatan khalîfah sebagai berikut: 50 Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Abu Bakar AsSiddiq yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut: (1) diselengarakan pertemuan (ijtimâ‘) oleh mayoritas Ahl Al-Hall Wa Al-Aqdi, (2) Ahl Al-Hall Wa Al-Aqdi melakukan pencalonan (tarsyîh) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalîfah, (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah satu dari calon tersebut, (4) dilakukan baiat in‘iqâd bagi calon yang terpilih, (5) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umumnya umat kepada khalîfah. 51 Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Umar bin Khattab, yaitu ketika seorang khalîfah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 (dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyârah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi mengenai siapa yang akan menjadi khalîfah setelah dia meninggal, (2) khalîfah melakukan istikhlâf atau ‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan 50
A. Djazuli, h. 65
51
A. Djazuli, h. 66
59
menjadi khalîfah setelah khalîfah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah lagi, (3) calon khalîfah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd untuk menjadi khalîfah, (4) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umat kepada khalîfah. 52 Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Utsman bin Affan, yaitu ketika seorang khalîfah dalam keadaan sakratulmaut, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, ia melakukan langkah berikut: (1) khalîfah melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al-istikhlâf) bagi beberapa orang yang layak menjadi khalîfah dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalîfah setelah ia meninggal, dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalîfah meninggal dilakukan langkah, (2) beberapa orang calon khalîfah itu melakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalîfah, (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat, (4) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalîfah, (5) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umat secara umum kepada khalîfah. 53 Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan khalîfah Ali bin Abi Tâlib, yaitu setelah wafatnya khalîfah, dilakukan langkah sebagai berikut: (1) Ahl AlHall Wa Al-Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalîfah, (2) Ahl Al-Hall Wa Al-Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalîfah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat, (3) umat
52
A. Djazuli, h. 67
53
A. Djazuli, h. 68
60
melakukan baiat in‘iqâd kepada calon itu untuk menjadi khalîfah, (4) dilakukan baiat at-tâ‘at oleh umat secara umum kepada khalîfah. 54 Itulah empat cara pengangkatan khalîfah yang diambil dari praktik pada masa khulafâ ar-rasyidîn. Berdasarkan cara pengangkatan khulafâ ar-rasyidîn di atas, khususnya pengangkatan khalîfah Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani dan Imam Abdul Qadim Zallum lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan. Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara pengangkatan khalîfah ini terdiri dari 4 (empat) langkah diantaranya: 55 1. Para anggota majelis umat yang muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalîfah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya. 2. Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhâb) dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak. 3. Umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalîfah. 4. Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi khalîfah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalîfah. 54
A. Djazuli., h. 69.
55
A. Djazuli., h. 71.
61
Di samping Pemilu untuk memilih khalîfah, dalam sistem politik Islam juga ada pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat, bukan melalui pengangkatan/penentuan (at-ta’yin) oleh khalîfah. Mengapa melalui pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakâlah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan kepada penguasa. Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalîfah. 56 Mengingat pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakâlah, maka implikasinya berbeda dengan akad khilafâh. Dalam akad wakâlah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakâlah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah). 57 Maka dari itu, umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda dengan akad khilâfah, sebab dalam akad khilâfah umat tidak berhak memberhentikan khalîfah (‘azl al-khalîfah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalîfah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalîfah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai dengan syarî’ah. Jika khalîfah melanggar syarî’ah Islam,
56
Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat, (Bandung:Mizan, 1993), h. 245. 57
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148
62
yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazalim, yaitu lembaga peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa atau negara. 58 Ketika Islam membolehkan pemilu untuk memilih khalîfah atau anggota majelis umat, bukan berarti pemilu dalam Islam identik dengan pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara atau teknis (uslûb), memang boleh dikatakan sama antara pemilu dalam sistem demokrasi dan pemilu dalam sistem Islam. Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda, bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-dîn ‘an al-hayâh atau sekularisme), sedangkan pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan. 59 Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyâdat li asy-sya‘b), sehingga rakyat di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘î), bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak
58
Abu A’la Al-Maududi., h. 247
59
Abu A’la Al-Maududi., h.144.
63
rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi. 60 Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi. 61
B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer Tema keikutsertaan aktifis Islam baik dari kalangan ulama, du’ah dan pemikirnya dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya prokontra di kalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak dahulu bahkan sejak berabad-abad lalu, tema keterlibatan para ulama dan cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara baik sebagai eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Hal ini selalu menjadi perdebatan yang hangat dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan” atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadi. Meskipun tentu saja perdebatan 60
Abu A’la Al-Maududi, h. 159.
61
Abu A’la Al-Maududi, h. 160.
64
itu tidak dalam kapasitas memvonis haram-halalnya “profesi politis” tersebut, namun hal tersebut boleh atau makruh. Tentu saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap wara’ semata, tidak lebih dari itu. 62 Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua hal. Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi yang terdapat dalam jabatan tersebut. Kedua, bahwa posisi yudikatif (qada’) secara khusus memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imâmah kubra (kepemimpinan tertinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh para khalîfah yang memiliki kadar keadilan yang berbeda-beda satu sama lain. Dan sangat disayangkan bahwa tabiat umum para khalîfah itu pasca khulafâ al-rasyidîn justru lebih diwarnai oleh kefasikan, hal yang kemudian membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalîfah itu. Alasannya tentu sangat jelas rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan. Meskipun menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan penting tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar. Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide yang asing bagi umat Islam, namun anehnya secara pemikiran dan praktek ia begitu melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat 62
Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah., h. 1
65
“keinginan untuk menerapkan syarî’ah Islam” menjelma menjadi tuduhan menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum muslimin sendiri dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawan berperan sangat besar dalam hal ini. Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbedaan pandangan di kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’ah dan aktifisnya, dalam menentukan sikap mereka. Ada yang berpandangan bahwa semua masyarakat itu secara lembaga maupun individu telah menyimpang dari jalan yang benar dan perbaikan mendasar hanya dapat dilakukan melalui jalan dan cara politis. Meskipun mereka kemudian berbeda pandangan lagi, apakah perubahan itu harus melalui kudeta? atau mengikuti persaingan politik yang keras? atau justru dengan melakukan kekacauan dan menanamkan ketakutan pada diri para penguasa politis sebuah negara?. Ada pula yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih berada di atas jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak hal yang harus diperbaiki di tubuh ummat ini secara lembaga maupun individu. Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?. Karena itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam menyikapi pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan di dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam skripsi ini, dimana ia akan
66
berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i yang ada. Sebagai langkah awal penyimpulan konsep atau pandangan Islam tentang pemilu, maka menjadi sangat penting untuk memaparkan beberapa kaidah yang akan menjadi landasan penyimpulan konsep tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul almusyârakat fi al-Intikhâbat al-Barlemaniyah, DR. Abdullah al-Thuraiqi menyebutkan beberapa kaidah dimaksud, yaitu: 63 Pertama, bahwa Islam adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dibagi-bagi, dan karena itu hukumnya saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Antara yang bersifat ibadah dan mu’amalah terjadi hubungan saling melebur satu dengan yang lain, karena itu sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan akarnya mengunjam ke dalam sisi aqidah dan akhlaq Islam. Dan ini adalah hal yang tidak mungkin diragukan lagi. Kedua, bahwa dalam Islam, kekuasaan yang bersifat umum (al-walâyat al‘ammah), seperti khalîfah, qadi, menteri, gubernur, hisbah, 64 dan yang terkait dengannya. Semuanya memiliki tabiat keagamaan atau kesyar’ian, meskipun kemudian banyak terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi, seperti perhubungan, telekomunikasi, kesehatan, sumber daya manusia, dan yang lainnya. Itulah sebabnya, para ulama saat mendefinisikan khilâfah atau imâmah
63 64
Lihat Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, h. 2 - 4
Hisbah adalah sebuah lembaga resmi pemerintah Islam yang bertugas menjalankan amar ma’ruf nahi munkar
67
mengatakan: “Ia adalah sesuatu yang ditetapkan untuk mengganti posisi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” 65 Ibnu Taimiyah mengatakan: “Harus diketahui bahwa penguasaan dan pengaturan urusan manusia adalah termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan kehidupan agama dan dunia tidak dapat ditegakkan kecuali dengannya. Maka menjadi wajib hukumnya untuk menjadikan kepemimpinan itu sebagai (bagian dari pelaksanaan) agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab mendekatkan diri kepada-Nya dengan taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya adalah merupakan taqarrub yang paling utama.” 66 Ketiga, bahwa ketika kekuasaan itu berpindah ke tangan orang-orang yang tidak memiliki keamanahan, maka hal itu sama sekali tidak mencabut nilai kesyar’iannya. Mengapa? Karena nilai tersebut adalah nilai yang inheren dan menyatu dengannya sehingga tidak mungkin dilepaskan. Kekuasaan yudikatif (qada’) misalnya yang notabene merupakan kekuasaan syar’i yang sangat mulia, jika di sebagian negara Islam ia berubah peradilan atas dasar undang-undang manusia dan dipegang oleh orang yang tidak memahami syarî’ah Islam, maka kondisi ini sama sekali tidak mengubah nilai penting dan kesyar’iannya. Karena itu, jika seorang muslim kemudian menjabat jabatan itu, maka menjadi wajib baginya untuk memutuskan dengan landasan syarî’ah Islam. Dan ia
65
Al-Ahkam al-Sultaniyyah., h. 5.
66
Majmu’ al-Fatawa, 28/390.
68
tidak dibenarkan melepaskan jabatan ini jika ia mampu memutuskan hukum sesuai dengan wahyu Allah. 67 Keempat, bahwa para ulama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas umat Muhammad saw, yang muslim maupun yang kafir, dan secara khusus masyarakat muslim, baik secara individu ataupun kelembagaan. Dasar dari tanggung jawab ini adalah adanya kewajiban untuk menyampaikan agama ini di pundak para ulama itu. Mereka adalah pemegang amanah dan pengganti para rasul dalam menyampaikan risalah Allah. Misi ini adalah misi yang mulia namun berat di saat yang sama, kecuali bagi mereka yang rabbaniyyun. Allah berfirman:
⌧
☺ ☺
☺
(79 :3/)ال ﻋﻤﺮان Artinya :
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Al-Imran/3: 79).
Imam al-Thabari menjelaskan makna rabbani dalam ayat ini dengan mengatakan: “Jika demikian, para rabbaniyyûn adalah sandaran manusia dalam
67
Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, h. 3.
69
pemahaman, ilmu dan urusan agama serta dunia. Itulah sebabnya, Mujahid mengatakan: ‘Mereka berada di atas para ahbar, karena para ahbar adalah ulama, sementara seorang rabbani adalah orang yang mengumpulkan ilmu dan pemahaman, yang memahami politik (siyâsah), pengaturan, dan memenuhi urusan rakyatnya serta apa yang menjadi mashlahat dunia dan agama mereka.”68 Kelima, bahwa hukum syar’i secara umum terbagi menjadi 2 macam: 69 1. Hukum yang telah dijelaskan secara terperinci, seperti tauhid (aqidah), ibadah, fara’idh, hukum seputar keluarga seperti nikah dan talaq, hudud, qisas dan diyatnya. 2. Hukum yang masih bersifat umum. Yaitu hal-hal yang dijelaskan secara umum oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti mu’amalah harta dan sistem tatanan sosial yang terkait dengan politik, administrasi, pendidikan atau yang semacamnya. Adapun jenis hukum pertama, maka ia adalah jenis hukum yang berlaku secara konsisten dan tidak mungkin berubah (al-tsawabit), baik yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma’. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara yang qat’i ataupun zanni. Perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa masalah diantaranya meskipun ada namun sangat terbatas, dan tidak menjadi masalah selama tidak menyebabkan perselisihan dan permusuhan. 70
68
Tafsir al-Thabari, 3/132
69
Tafsir al-Thabari, 3/132
70
Lihat al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, h. 3
70
Adapun untuk jenis hukum yang kedua, maka ia dapat berubah dan berkembang mengikuti kondisi, tempat maupun waktu, selama tentu saja perubahan itu tidak melanggar prinsip dan kaidah yang ada. Keenam, bahwa sistem politik dalam Islam ada yang bersifat global (mujmal) dan adapula yang bersifat terperinci (mufassal), meskipun yang mayoritas adalah yang pertama. 71 Salah satu contoh yang terperinci adalah penjelasan hak dan kewajiban yang ditetapkan secara syar’i untuk sang pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk juga objek atau bahan yang dijadikan landasan hukum oleh sang pemimpin. Untuk yang satu ini misalnya, Allah berfirman:
☺ ⌧
⌧
(49 :5/)اﻟﻤﺎﺋﺪة Artinya :
71
⌧
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. AlMaidah/5: 49)
Tafsir al-Thabari, 3/132
71
Berdasarkan ayat ini jelas bahwa wahyu adalah objek atau bahan yang seharusnya dijadikan landasan hukum, meskipun ini tidak berarti keberadaan aturan atau undang-undang yang bersifat adminstratif terlarang selama ia diposisikan pada posisi yang tepat. Adapun aturan politik yang bersifat global (mujmal) maka ia mencakup aturan-aturan yang bersifat adminstratif dan yang terkait dengan metode pelaksanaan yang merupakan bentuk penafsiran dan perincian dari prinsip-prinsip besarnya, seperti: syura, bai’at, keadilan, dan lain sebagainya. 72 Ketujuh, bahwa kebanyakan aturan-aturan yang bersifat adminstratif itu bersifat ijtihâdiyyah dan bukan tauqifiyyah. 73 Ini tentu saja sangat logis, karena sistem yang bersifat administratif tidak mungkin diberlakukan secara sama rata dengan satu model untuk semua tempat. Ia bisa saja berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu negara ke negara yang lainnya. Sistem adminstrasi pada masa khulafâ' ar-rasyidûn misalnya berbeda dengan sistem yang berlaku di zaman Nabi SAW ataupun dengan era pemerintahan di masa Umayyah dan Abbasiyah. Fakta sejarah misalnya menunjukkan bahwa khalîfah Umar bin Khattab r.a. adalah orang pertama yang menerapkan konsep Dawawin (bentuk plural dari Diwan), dan beliau juga bahkan meninggalkan beberapa kebijakan yang sebelumnya dijalankan oleh khalîfah Abu Bakar r.a. 72
Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah., h. 4.
73
Tafsir al-Thabari, 3/132
72
Dengan demikian, maka aturan-aturan administratif Daulah Islâmiyyah yang pernah ada sebelumnya dapat diambil apa yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan sejalan dengan maslahat. Adapun aturan yang tidak sesuai, maka tidak ada masalah jika kita meninggalkan lalu mengadopsi sistem lain yang lebih maslahat. Demikianlah beberapa kaidah yang selanjutnya menjadi pijakan kita dalam membahas lebih lanjut konsep pemilu dalam pandangan politik Islam. Tentu saja pertanyaan yang muncul dan harus dijawab kemudian adalah apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat administratif saja atau tidak? Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat adminsitratif “belaka”? Atau dengan kata lain, apakah Islam menetapkan aturan tertentu dalam proses pemegangan kekuasaan untuk level yang tinggi seperti jabatan imam (baca: kepala negara), qadi, dan anggota majlis syûra (parlemen)? atau dalam hal ini tidak aturan tertentu yang baku? Jawaban untuk semua itu adalah bahwa tidak ada satu nash pun yang menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah menetapkan aturan atau sistem tertentu untuk mencapai puncak kekuasaan. Jika kita melihat kekuasaan yang ada sejak masa awal Islam maksudnya sejak wafatnya Rasulullah saw, maka kita tidak menemukan hal itu. Abu Bakar menjadi khalîfah melalui proses bai’at yang disepakati oleh ahl assunnah bahwa bai’at itu terjadi dengan kesepakatan semua sahabat dan bukan atas
73
dasar nash tertentu. Karena itu tidak ada seorang sahabat pun yang menggunakan nash dalam pengangkatan Abu Bakar r.a, tapi mereka justru mengatakan: “Rasulullah saw telah rela mengangkatmu sebagai imam kami dalam urusan agama kami (maksudnya shalat), lalu mengapa kami tidak rela menjadikan engkau sebagai imam dalam urusan dunia kami?” Lalu yang terjadi dari Abu Bakar kepada Umar bin Khattab r.a adalah proses istikhlâf atau penunjukan pengganti sesudahnya. Lalu kemudian hal yang sama dinyatakan oleh Umar setelah ia terluka akibat tikaman Abu Lu’lu'ah Al-Majûsi: “Jika aku melakukan istikhlâf, maka orang yang lebih baik dariku pun maksudnya Abu Bakar telah melakukannya. Dan jika aku tidak melakukannya, maka orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya yaitu Rasulullah SAW.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy (w. 193 H) pernah ditanya oleh khalîfah Harun AlRasyid: “Bagaimana Abu Bakar r.a. diangkat menjadi khalifah?” Ia pun menjawab: “Wahai Amirul mukminin! Allah dan Rasul-Nya telah mendiamkan hal itu, dan kaum beriman pun mendiamkannya.” Harun Al-Rasyid berkata: “Demi Allah! Anda hanya membuat saya semakin tidak paham.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy lalu mengatakan: “Saat itu Rasulullah SAW sakit selama 8 hari, lalu Bilal masuk menemui beliau, lalu beliau berpesan padanya: ‘Perintahkanlah Abu Bakar unuk memimpin shalat!’ Maka ia pun memimpin shalat selama 8 hari, dan wahyu saat itu masih turun kepada Nabi SAW. Dan Nabi pun diam (tidak membicarakan soal pengangkatan Abu Bakar
74
setelah beliau) karena Allah pun tidak menyinggungnya. Dan kaum beriman (baca: sahabat) pun mendiamkannya karena diamnya Rasulullah SAW.” 74 Penjelasan tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada nash yang tegas dalam hal ini yang menjelaskan metode atau sistem peralihan atau pencapaian sebuah tampuk kekuasaan dalam Islam. Apalagi sampai pada taraf menentukan individu atau dinasti tertentu. Meskipun terdapat nash yang menunjukkan bahwa para imam haruslah berasal dari suku Quraisy, namun poin ini memiliki cakupan yang begitu luas: 1. Quraisy adalah nama yang mencakup berbagai suku-suku Arab yang ada di Mekkah, dan itu artinya ia lebih luas dari sekedar seorang individu atau dinasti tertentu. 2. Syarat ini tentu juga harus didukung syarat lain, yaitu: jika sang Quraisy itu memiliki kapabilitas sebagai pemimpin. 3. Syarat ini hanya terkait dengan al-Imâmah al-‘Uzma saja, bukan kekuasaan yang lainnya. Dan syarat ini akan semakin terasa pentingnya bila kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang mempunyai kapabilitas yang sama, lalu siapa yang akan ditunjuk?. Poin kequraisyian inilah yang menentukannya. 75 Dan jika demikian persoalannya, maka itu berarti bahwa perkara ini tetap bersifat mutlaq dan tidak muqayyad. Artinya siapa yang memiliki kemampuan maka dia berhak untuk menjabatnya. Tetapi intinya adalah bahwa dalam hal ini Islam tidak
74 75
Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506 Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506
75
memberikan satu ketetapan baku dalam proses peralihan atau penguasaan tampuk kepemimpinan tertinggi di sebuah negara. 76 Konsep pemilu sendiri dalam bentuknya yang modern dapat dikatakan sebagai konsep dan sistem yang umum digunakan di berbagai negara Barat, yang dalam hal ini mayoritas menerapkan demokrasi sebagai the way of life mereka dalam seluruh bidang kehidupan. Konsep ini secara umum memiliki karakter ideologis dan sistem administratif yang khas sebagaimana akan dijelaskan berikut ini: Karakter Ideologis Pemilu Barat diantaranya adalah: 1. Penetapan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan negara sesuai dengan latar belakang ideologi mereka. Dan ini ada merupakan tugas utama parlemen. 2. Menjauhkan agama apapun dari realitas kehidupan umum masyarakat (politik, adminstrasi, ekonomi, peradaban, sosial, dan lain sebagainya). Sehingga tidak mengherankan jika undang-undang yang lahir murni bersifat duniawi belaka. Tidak ada pengaruh agama sedikit pun di dalamnya, kecuali mungkin sekedar basi-basi untuk memberikan penghargaan agar tidak dianggap melecehkannya. 3. Hubungan sosial-politik sepenuhnya dibangun atas dasar kebebasan individu. Dan ini adalah prinsip demokrasi yang sangat dibanggakan oleh Demokrasi Barat, bahkan mungkin tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai prinsip suci bagi mereka. Meskipun prinsip dibatasi dengan “tidak menyebabkan kerugian bagi orang lain”, namun dalam prakteknya ia benar-benar dibebaskan mengikuti nafsu
76
Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506
76
dan keinginan pemiliknya. Dan tentu saja, agama tidak diberi kekuasaan untuk menghakiminya. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kebebasan semacam ini hanya mengandung kemudharatan. Tentu saja ada beberapa sisi positif di dalamnya, seperti: 1. Bahwa kebebasan semacam ini seharusnya memberikan kesempatan dan ruang gerak yang sangat luas bagi yang ingin memperjuangkan kebenaran terutama para da’i, dimana mereka dapat bekerja dan berfikir dengan tenang tanpa khawatir mendapatkan tekanan atau apapun yang semacamnya. 2. Bahwa ia membangun sebuah hubungan yang penuh keterus terangan antara penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka secara bebas. Karakter Teknis-Adminstratif Pemilu Barat, diantaranya adalah: 1. Keragaman partai politik. Hal ini adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem demokrasi. Sehingga para para ahli ilmu politik pun menganggapnya sebagai salah satu konsekwensi logis bagi sistem parlemen. 77 2. Proses pemilihan, baik untuk kepemimpian tertinggi ataupun anggota parlemen. Ini juga adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem ini. Karenanya pemerintahan hasil pemilihan kemudian menjadi prinsip dasar yang tertanam kuat sebagai salah satu prinsip Demokrasi.
77
Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah, h. 108
77
3. Pemerintah terpilih akan memimpin dalam batas waktu tertentu antara 2, 3, 4 atau 5 tahun misalnya. Dengan berakhirnya masa tersebut, maka berakhir pula kekuasaan pemerintah terpilih. 4. Pemisahan 3 jenis kekuasaan: legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Ini juga dapat disebut sebagai salah satu prinsip asasi sistem demokrasi yang diserukan Barat. Dengan melihat ulang karakteristik tersebut baik yang bersifat ideologis maupun adminstratif, maka nampak jelas bahwa karakteristik ideologis yang disebutkan terdahulu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip syarî’ah Islam. Karakter pertama misalnya penetapan undang-undang, jelas bertentangan dan bertabrakan dengan misi dan tujuan kenabian dan risalah yang diturunkan Allah (samawiyyah). Allah berfirman:
☺ ⌧
☺
⌧
(21 :42/)اﻟﺸﻮرى Artinya :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka Telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. As-Syura/42: 21)
Karakter kedua juga demikian, memisahkan agama dari kehidupan sosial masyarakat, sebab risalah Islam jelas diturunkan oleh Allah untuk menjadi sistem dan aturan bagi setiap sisi dan aspek kehidupan manusia, karena ia menetapkan bahwa seluruh bagian kehidupan adalah ibadah kepada Allah. Karenanya ia tidak mengenal
78
⌧
(150 :4/)اﻟﻨﺴﺎء Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” (QS. An-Nisa/4: 150)
(151 :4/)اﻟﻨﺴﺎء Artinya :
⌧
⌧
“Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An-Nisa/4: 151)
Sedangkan karakter ketiga yaitu kebebasan, maka ini dapat bermakna dan berdampak positif dan negatif sekaligus. Karenanya ia tidak bisa digunakan secara mutlak, tetapi yang harus dilakukan adalah memberikan batasan terhadap bentuk kebebasan yang sejalan dengan syarî’ah. Adapun tiga karakter yang bersifat formatis: keragaman partai, pemilihan umum, dan pemisahan tiga jenis kekuasaan. Maka nampaknya ini dapat dikategorikan sebagai sisi yang bersifat formalitas administratif yang mungkin dapat diambil dan
79
diadopsi sisi-sisi positifnya. Ini tidak ubahnya seperti sistem pendidikan modern yang berlaku umum di seluruh dunia, dimana proses pendidikan berjalan dengan sistem yang sulit untuk dihindari, seperti pembagian fase pendidikan menjadi tiga tahap: dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Dimana seorang pelajar tidak bisa pindah ke tahap selanjutnya kecuali setelah menyelesaikan tahap sebelumnya. Metode semacam ini tidak pernah dikenal dengan segala rinciannya di kalangan ulama kaum muslimin bahkan sampai sebelum satu abad ini. Dan itu tentu saja tidak menjadi sebuah masalah untuk mengadopsi sisi positifnya, sebab jika kita melihat sistem yang berlaku sepanjang sejarah politik Islam, kita akan menemukan bahwa ada banyak hal yang berlaku pada masa awal Islam, namun kemudian pada masa selanjutnya tidak lagi berlaku. Contoh yang paling sederhana adalah konsep “negara”. Pada masa awal Islam, setidaknya sejak masa khulafâ' al-rasyidûn hingga khilâfah Abbasiyah, yang dimaksud dengan “negara Islam” adalah seluruh wilayah yang berada di bawah naungan dan jangkauan ke khilâfahan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah. Akan tetapi batasan itu kini tidak lagi berlaku sekarang, sebab komunitas kaum muslimin di setiap belahan bumi harus “menyesuaikan diri” bahwa setelah runtuhnya khilâfah Utsmaniyah, mereka tidak lagi bernaung di bawah satu kekhilâfahan. Sehingga akibatnya, konsep “negara” pun menjadi semakin kecil cakupan dan jangkauannya dibanding sebelumnya. Jika kita telah sepakat bahwa keragaman partai, pemilihan, dan pemisahan tiga jenis kekuasaan adalah termasuk persoalan yang tidak lebih dari sekedar
80
persoalan teknis administratif, maka itu berarti penggunaannya sangat bergantung pada prinsip “ Jalb al-Maslahat wa Dâr al-Mafsadah ”. Dan ini adalah prinsip yang umum berlaku dalam hal-hal yang bersifat teknis administratif semacam ini dalam sejarah politik Islam awal, terutama di masa khalîfah Umar bin Khathab r.a. Karena itu, nampak menjadi sangat dipaksakan jika kita berusaha mencaricari rincian dalil untuk membuktikan kesyar’iyan atau ketidak syar’iyan adanya keragaman partai, pemilihan umum atau pemisahan tiga jenis kekuasaan tersebut. Dan siapa saja yang berusaha melakukan itu, maka argumentasi apapun yang dikemukan akan tetap mengundang polemik karena dalil yang dikemukakan tidak langsung menukik pada akar persoalan ini, sebab memang tidak ada nash yang sharih untuk itu. Itulah sebabnya, perlu ditegaskan pula bahwa ketika kita mengatakan bahwa sistem pemilu adalah sebuah sistem yang bersifat teknis administratif dan kita boleh mengadaptasinya dari pengalaman bangsa atau komunitas lain sama sekali tidak bertentangan dengan syarî’ah Islam, maka itu tidak berarti bahwa serta merta kita mengadopsi bulat-bulat apa yang mereka terapkan dalam sistem tersebut. Sebab sudah pasti ada yang bermanfaat dan tidak dalam sistem ini. Atau dalam bahasa lain, terdapat maslahat dan mafsadat di sana. Karena itu sekali lagi muwazanah atau melakukan pertimbangan antara keduanya menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya kita dapat memilih mana yang sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak yang mengandung mafsadat. Dan dengan metode seperti
81
inilah pada akhirnya kita berinteraksi dengan semua ide dan pemikiran yang berasal dari luar Islam. Salah satu poin yang mungkin diperbaiki dalam sistem pemilu tersebut adalah membatasinya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kualitas intelektualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti para ulama dan akademisi. 78 Mengapa? Karena sebenarnya sangat tidak logis dan mashlahat jika pemilihan semacam ini diserahkan kepada semua orang (baca: rakyat) yang kemudian memilih orang yang tidak mereka kenal atau bahkan tidak pernah mereka dengar tentangnya. Itulah sebabnya orang bodoh, awam, pemilik pemikiran yang menyimpang, dan yang semacamnya harus dijauhkan dari “misi” yang sangat penting ini yaitu pemilihan pemimpin negara. Metode seperti ini jika ditelusuri mirip dengan sistem ahl al-hall wa al-‘aqd yang kita kenal secara historis dalam Islam. Dan dalam aplikasi kontemporernya, penunjukan atau pemilihan dewan atau majlis atau apapun namanya ini diserahkan pada lembaga-lembaga yang dapat dipertanggung-jawabkan secara intelektual, seperti perguruan tinggi, dewan ulama, organisasi-organisasi keilmuan, dan yang semacamnya. Dan dewan atau majlis atau apapun namanya ini tentu tidak dapat disamakan dengan Dewan Parlemen, sebab cakupannya jauh lebih luas daripada Dewan Parlemen.
78
Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlaminyah, 2/5
82
C. Pandangan Hukum Islam terhadap Sistem Pemilu Menurut UU No. 10 tahun 2008 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan umum (Pemilu) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dapatlah disimpulkan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilu adalah untuk; (1) memilih wakil rakyat, dan (2) memilih kepala negara (presiden dan wakilnya). Dari sisi fakta kepala negara berbeda dengan wakil rakyat, baik dari sisi kewenangan, tugas, syarat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hukum pemilu presiden dan pemilu wakil rakyat tidak boleh disamaratakan, akan tetapi harus dikaji secara terpisah, karena adanya perbedaan fakta di antara keduanya. Pada prinsipnya, syarî’ah Islam telah menggariskan sejumlah syarat yang harus dipenuhi seseorang agar ia layak dipilih sebagai kepala negara. Syarat-syarat itu adalah: 1. Muslim. Jabatan kepala negara tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Pasalnya, Islam telah melarang kaum Muslim memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum Muslim. Selain itu, Al-quran menyatakan dengan jelas, bahwa Ulil Amri haruslah berasal dari kaum Muslim [QS An-Nisa:59]
⌧
83
(59 :4/⌧ )اﻟﻨﺴﺎء Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa/4:59)
2. Kepala negara harus seorang laki-laki. Jabatan kepala negara tidak boleh diserahkan kepada wanita. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukari dari Abu Bakrah r.a. 3. Baligh, yakni telah mencapai usia seorang mukallaf. 4. Berakal alias tidak gila 5. Kepala negara harus adil. Jabatan kepala negara tidak boleh diberikan kepada orang fasik. 6. Merdeka atau mampu mengatur dan menguasai urusannya sendiri, dan tidak di bawah kendali atau penguasaan orang lain. 7. Mampu menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Jika syarat-syarat di atas ada pada diri seseorang, maka ia absah dipilih untuk menduduki jabatan kepala negara 79 . Selain itu, syarî’ah Islam juga telah menetapkan bahwa seorang kepala negara itu diangkat dan dipilih untuk menegakkan dan menerapkan syarî’ah Islam secara 79
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyassah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), Cetakan I, h. 95-107
84
menyeluruh, bukan untuk menegakkan dan menerapkan konstitusi dan perundangundangan kufur. Atas dasar itu, seorang Muslim dilarang memilih seseorang yang kelak jika menduduki jabatan kepala negara akan menegakkan dan menerapkan aturan-aturan kufur. Pasalnya, pemilihan semacam ini telah bertentangan dengan esensi pemilihan kepala negara dalam pandangan syarî’ah Islam. Atas dasar itu, hukum melibatkan diri dalam pemilu yang ditujukan untuk memilih figur-figur pemimpin negara yang nantinya akan menerapkan dan menegakkan konstitusi dan undang-undang kufur adalah haram secara pasti, tanpa perlu takwil lagi. Pada dasarnya, seorang muslim boleh mewakilkan aspirasi dan pendapatnya kepada orang lain. Untuk itu, ia boleh memilih orang lain yang ia sukai untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya. Di dalam fikih, aktivitas semacam ini disebut dengan wakâlah. Selama rukun dan syarat-syarat wakâlah dipenuhi, dan tidak bertentangan dengan syarî’ah, maka absahlah akad wakâlah tersebut. Adapun rukun dalam akad wakâlah adalah akad atau ijab qabul, dua pihak yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl), perkara yang diwakilkan, serta bentuk redaksi akad perwakilannya (sighat taukîl). Semua rukun tersebut harus sesuai dengan syariat Islam. Dalam kaitannya dengan pemilu, jika muwakkil dan wakîl telah mengucapkan sighat taukîl. Maka perkara yang harus diperhatikan adalah obyek yang diwakilkan, yakni dalam rangka untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan. Jika akad perwakilan tersebut ditujukan untuk melaksanakan perkara-perkara yang
85
sejalan dengan syarî’ah, maka absahlah akad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika akad perwakilan tersebut ditujukan untuk melaksanakan perkara-perkara yang bertentangan dengan syarî’ah, maka batillah akad perwakilan tersebut. Jika kita perhatikan tugas wakil rakyat yang duduk di parlemen, dapatlah disimpulkan bahwa mereka dipilih untuk melaksanakan sejumlah tugas diantaranya adalah: (1) membuat undang-undang dasar (UUD) dan undang-undang (UU) serta mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang (RUU), dan berbagai perjanjian yang lain, (2) mengangkat kepala negara di beberapa negara, dia dipilih secara langsung oleh rakyat dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan pemerintahan, (3) melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan. Berdasarkan fakta fungsi dan tugas wakil rakyat di atas dapatlah ditarik ketentuan hukum syarî’ah sebagai berikut: Pertama, akad wakâlah (pemilu) yang ditujukan untuk melaksanakan fungsi legislasi, yakni fungsi pembuatan hukum jelasjelas dilarang di dalam Islam yaitu haram. Pasalnya, hak untuk membuat dan menetapkan hukum hanya di tangan Allah SWT, bukan di tangan manusia. Menyerahkan tugas ini (legislasi) kepada manusia sama artinya telah menyekutukan Allah SWT. Kedua, akad wakalah yang ditujukan untuk melanggengkan sistem kufur, memberi mandat kepada penguasa untuk menjalankan hukum-hukum kufur termasuk perbuatan haram. Ketiga, pencalonan dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan (muhâsabat li al-hukkâm) termasuk perkara yang dibolehkan. Hanya saja, pencalonan tersebut harus terikat dengan syarat-syarat syar'i, dan bukanlah mubah secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:
86
1. Tidak menjadi calon partai sekuler dan tidak menempuh cara-cara haram, semacam penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang sekuler. 2. Harus menyuarakan secara terbuka targetnya menegakkan sistem Islam, meruntuhkan sistem sekuler, dan dengan sadar bertekad untuk mengubah sistem ini
menjadi
sistem
Islam,
serta
mengumumkan
perjuangannya
untuk
membebaskan negerinya dari cengkeraman asing. 3. Dalam kampanye pemilu, ia harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari syarî’ah Islam. 4. Harus konsisten dan terus-menerus melaksanakan hal di atas. Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka pencalonan seorang muslim menjadi anggota parlemen secara syar'i diperbolehkan.
BAB V PENUTUP
87
A. Kesimpulan Dari uraian bab diatas, penulis menyadari banyak kekurangan yang berkaitan dengan penyajian data maupun kelemahan analisa penulis sendiri. Meskipun demikian dapatlah disimpulkan point-point penting berikut ini untuk menjawab tiga pertanyaan besar dalam skripsi ini. Pertama berkaitan dengan konsep dasar doktrin pemilu dalam fiqh siyasah yang berkaitan dengan asas proporsionalitas dan keadilan dalam UU No. 10 tahun 2008. Ada tujuh prinsip ketatanegaraan dalam Islam yang membahas tentang nilainilai yang harus ditegakkan dalam sistem pemilihan umum (pemilu) dalam Islam diantaranya: 1. Prinsip pertama adalah musyawarah atau syuro Prinsip ini dianggap sebagai thariqoh (model) untuk berdemokrasi dengan meminta pendapat kepada orang yang berkompeten untuk mendapat kebenaran yang sejat. Musyawarah dalam sistem pengambilan hukum dalam Islam dijadikan sebagai dasar tasyri (yurispudensi). 2. Prinsip kedua adalah adalah (keadilan) Pemilu yang dilaksanakan secara demokratis dengan cara musyawarah tentunya juga harus memenuhi rasa keadilan bagi ummat. Keadilan tersebut harus dibangun atas dasar niat yang tulus (ikhlas) karena Allah, dan tentunya berpihak 82
88
kepada kebenaran, bukan kedzaliman ataupun kebencian, sehingga keadilan terbentuk atas nilai ketakwaan. 3. Prinsip ketiga yaitu persamaan (musawah) Hak memilih setiap individu dalam pemilu harus memenuhi unsur persamaan. Persamaan mengandung arti tidak ada dikotomi gender, ras, atau pun golongan. Hal ini terkait dengan doktrin Al-quran tentang privilage yaitu bahwa kemuliaan seseorang di mata Allah tidak ditentukan berdasarkan status sosialnya dalam masyarakat, tetapi lebih kepada derajat ketakwaan-Nya. 4. Prinsip keempat adalah shidiq (kejujuran) Pelaksanaan pemilu dalam islam tentunya harus transfaran dan jujur, karena kejujuran merupakan sikap pemenuhan kepercayaan (amanah) atas tanggung jawab (mas’uliyah) yang diberikan. Dengan kata lain, penyimpangan terhadap amanah adalah pengkhianatan terhadap umat dan tentunya merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, prinsip kejujuran merupakan paralel dengan prinsip yang kelima. 5. Prinsip kelima yaitu prinsip pertanggungjawaban Sistem pertanggungjawaban dalam pemilu merupakan akuntabilitas dan transparansi terhadap amanah itu sendiri.
6. Prinsip keenam yaitu huriyah (kebebasan)
89
Dalam konteks pemilu adalah terhindar dari segala macam bentuk intimidasi dan intervensi penguasa yang berlebihan yang mencakup ancaman terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harga benda (ad-doruriyah al-khamsah). Apabila kebebasan individu dijamin sepenuhnya oleh penguasa, maka akan timbullah kebajikan dan kesejahteraan umat. Dengan demikian prinsip kebebasan sejalan dengan prinsip terakhir yaitu kebajikan. 7. Prinsip ketujuh yaitu kebajikan (kesejahteraan) Dalam perspektif kebajikan mengandung defenisi yang luas dan mendalam terwujudnya keadilan sosial baik materi maupun inmateri, fisik, psikis, dan rohani, bahkan spritual. Dalam perspektif hukum tata negara, menurut Refly Harun, sistem yang disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnya jelas sekali bahwa perhitungan suara dianggap adil, hal ini terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi, karena ada pihak tertentu yang kalah dan mengupayakan agar menang, maka mereka kemudian mengajukan judicial review. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun dianggap adil sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan yang diangkat dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil (Daerah Pemilihan), dapil mana yang berhak mendapat kursi.
90
Kedua, berkaitan dengan sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia menurut UU No. 10 Tahun 2008 terdapat adanya kontroversi beberapa pasal (pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3) tentang perolehan kursi DPR, UU No. 10 Tahun 2008 diklaim sebagai undang-undang yang menyempurnakan aturan pada tahun sebelumnya. Ada dua isu mendasar dalam UU tersebut: 1. Berkaitan dengan sistem Parlementary Thershold yang dianggap bertentangan dengan prinsip multi-partai yang menjadi inti dari UU No. 2 Tahun 2008 ini terkait dengan sistem multi-partai yang merupakan hasil dari euporia politik pasca reformasi. Dengan demikian, Parlementary Thershold dikhawatirkan akan mengembalikan sistem kepartaian yang terjadi pada masa rezim orde lama dan orde baru. 2. Sistem proporsional dianggap telah terdistorsi oleh ologarki parlemen dalam menyusun UU No. 10 Tahun 2008 3. Sebagaimana diketahui, paling tidak ada dua fungsi utama wakil rakyat di DPR/Parlemen. Pertama: melegislasi Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang (UU). Berkaitan dengan fungsi legislasi ini, tidak ada pilihan lain bagi kaum Muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya kecuali dengan menggunakan syarî’ah Allah SWT. Kedua: fungsi pengawasan. Menyangkut fungsi pengawasan DPR/Parlemen, berupa koreksi dan kritik terhadap pemerintah atau para penguasa atau Undang-Undang yang digodok dan dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jelas hukumnya
91
wajib secara syar’i. Fungsi tersebut terkategori ke dalam aktivitas amar makruf nahi munkar, yang wajib dilakukan oleh setiap muslim, terlebih para wakil rakyat. Jadi dalam pandangan hukum Islam pemilu untuk memilih para wakil rakyat hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas. Ketiga, terkait relasi antara hukum Islam (pemilu dalam Islam) dengan sistem pemilihan umum (pemilu) dalam UU No 10 tahun 2008. Merujuk kepada UU No. 10 Tahun 2008, pemilu di Indonesia bertujuan untuk: 1. Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. 2. Memilih penguasa Dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakâlah). Hukum asal wakâlah adalah mubah (boleh). Wakâlah itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun tersebut adalah adanya akad (ijab-qabul), dua pihak yang berakad yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl), perkara yang diwakilkan, serta bentuk redaksi akad perwakilannya (sighat tawkîl). Semuanya harus sesuai dengan syarî’ah Islam. Menyangkut pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu sesuai dengan syarî’ah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syarî’ah Islam, maka
92
wakâlah tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakâlah tersebut batil dan karenanya haram dilakukan. Dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat sebagaimana yang terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya yang diakui dalam Islam adalah kedaulatan syarî’ah, bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya Allahlah yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta terpujitercela. Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam atau khâlifah) untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh bahkan wajib. Sebab imam atau khâlifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum syarî’ah dalam negara, dan ketiadaan imam atau khâlifah akan menyebabkan tidak terlaksanakan hukum-hukum syarî’ah tersebut. Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam atau khâlifah) untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab imam atau khâlifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum syarî’ah dalam negara, dan ketiadaan imam atau khâlifah akan menyebabkan tidak terlaksanakan hukum-hukum syarî’ah tersebut. Karena itu, hukum wakâlah dalam
93
konteks membuat dan melegalisasikan undang-undang yang tidak bersumber pada syarî’ah atau hukum Allah, jelas tidak boleh.
B. Rekomendasi Dari deskripsi dan analisa penulis dalam skripsi ini, terlihat ada beberapa titik temu antara sistem pemilu konvensional dan sistem pemilu dalam Islam. Walaupun harus diakui secara jujur bahwa sistem pemilu dalam Islam tidak bisa disamakan dengan sistem pemilu sekuler saat ini. Berdasarkan hal tersebut, penulis menyarankan kepada para wakil rakyat yang duduk di parlemen untuk lebih memperhatikan keadaan rakyat yang telah memilihnya, karena kepercayaan tersebut adalah amanah yang mesti diemban secara jujur dan bermartabat. Esensi pemilu dalam Islam adalah bukan untuk merengguk kekuasaan semata, tetapi lebih dari itu ia adalah kepanjangan dari kebijakan Tuhan di muka bumi, karena harus diingat bahwa suara rakyat adalah suara Allah.
94
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Hadits Abdullah, Taufiq, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Cet I, (Jakarta: LP3ES, 1987) Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, (t.t: t.p, t.th) cet III/148 Al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 245. Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani dan Kamaludin Nurdin, (Jakarta: Gema Insani, 2000) Al-Rayis, Muhammd Dhiya’ al-Din, Al-Nazhariyat al-siyasat al-Islamiyat, (Mishr: Maktabatul al-Anjlu al-Mishriyat, 1960) As-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Asas-asa Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam, (Jakarta: Matahari Masa, 1976) Azhary, Prof. Dr. H. Muhammad Tahir, SH., Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), edisi II, cet.III, h.111. Djazuli, Prof H.A., Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam RambuRambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), Edisi Revisi, Cetakan III, h. 68. Farabi, Al- dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002) Iqbal, Dr. Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994) Jurdi, Dr. Syarifuddin, Sosiologi Islam Dan Masyarakat Modern: Teori, Fakta, Dan Aksi Sosial, Ed 1, Cet 1, (Jakarta: Kencana 2010) Kusnardi, Muhammad dan Saragih. Bintan R, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000)
89
95
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Komplikasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Bambang ed. Cet 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) Marzuki, Peter Mahmud, Prof. Dr. SH., MS., LL.M, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008) Mawardy, Al- dan Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam al-Sulthaniyah MD, Prof. Dr. Mahfudz, “Penerapan UU No 10 tahun 2008, “
edisi 25 Februari 2009, diakses pada 3 Mei 2010 Mulia, Musda, Negara Islam – Pemikiran Politik Husain Haikal, Disertasi Doktor, (Program Parca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1997) Munawar, Al- dan Said Agil Husain Prof. Dr., MA, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadina, 2004) Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: CV Rajawali, 1987) Pulungan, Dr. J. Suyuthi, M.A., Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994) Rahman A. Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) Rasyid, Ryaas, Politik dan Pemerintahan Indonesia, Dalam Andy Ramses M dan La Bakry, ed. Cet 1 (Jakarta: MIPI, 2009 Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid V, (Mishr: Maktabat al-Qahirat, 1960)Abdul Wahab Khalaf, Al-siyasah As-Syariyyah, (Kairo: Dar al-Anshar, 1977) Salomo, Simanungkalit, dkk, Peta politik Pemilihan Umum 1999-2004, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2004) Soerjono, Soekanto, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) Syafi’i, Inu Kencana, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996) Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008)
96
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Poluler Edisi Lengkap, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006) Wahid, Abdurrahman, Konsep-Konsep Keadilan, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.) “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Jakarta: Paramadina, 1995), cetakan II, h. 99. Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dari judul Aslinya: As-Siyasah Asy-Syari’yah, oleh Kathur Suhadi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999), Cet.I, Zaidan, Abdul Karim, Individu dan Negara Menurut Pandangan Islam, dalam Hamidullah dkk, Politik Islam, Konsepsi dan Demokrasi, terjemahan Jamaluddin Kafie, Cs., (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1987) _______, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan AlAmin Kramat Raya, 1984) Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008) Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009) Artikel dan Internet KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK”,http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemiludikabulkan-mk.html, diakses 3 Mei 2010 Nurhasim, Moch, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu. okezone.com/read/ 2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10/2008 'Kebiri' KebebasanPers,http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content& do_pdf=1&id=17300, diakses 3 Mei 2010
97
Lampiran I HASIL WAWANCARA Informan
: Refly Harun SH., MH., L.LM
Pekerjaan
: Peneliti senior CENTRO
Tempat
: CENTRO
Waktu/Tgl
: Pukul 20.00 s.d 21.00/18 Juni 2010
T.
Bagaimana tanggapan bapak mengenai UU No. 10 Tahun 2008?
J.
Menurut bapak Relfy Harun mengengai UU No.10 tahun 2008, dilihat dari segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan Mei 2007 dan selesai dirmusukan pada 3Maret 2008, kemudian disahkan pada 28 Maret 2008. Sedangkan pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap sangat terburu-buru karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya yudisial review yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih yang mendapatkan suara 30 %. MK membatalkan pasal 214 yang menyatakan harus memperoleh suara terbanyak. Perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat luar biasa dengan banyaknya perubahan dari UU sebelumnya yang membuat pemilu mengalami banyak permasalahan.
98
T.
Bagaimana tanggapan bapak mengenai pasal yang dianggap kontropersi dalam UU No. 10 Tahun 2008 yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3?
J.
Pasal yang dianggap kontropesi sebenarnya dalam hal ini sesuai menurut UUD 1945 yang terdapat dalam pasal 22 E, hanya ada pihak yang ingin mengambil kesempatan, khususnya yang tidak mendapatkan kursi di DPR. Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008 misalnya partai A mendapat 70 suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama partai A mendapat 1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak mendapatkan kursi karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada tahap kedua partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu 20 kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa suara lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak yang menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan penentaun kursi pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan kepada partai yang mendapat suara terbanyak.
T.
Apakah ada keadilan dalam UU No. 10 Tahun 2008?
J.
Menurut sistem yang disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnnya jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang pelaksana pemilu. Akan tetapi ada pihak tertentu yang kalah dan
99
mengupayakan agar menang. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun dianggap adail sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan yang diangakat dalam DPR Provinsi atau penentuan dapil, dapil mana yang berhak mendapat kursi. T.
Mengapa ada perbedaan pendapat dalam UU No. 10 Tahun 2008?
J.
Banyak politisi yang melakukan yudisial review, salah satu fakor adalah ketidak jelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait dengan penetapan atau pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon terpilih, ditambah dengan rumitnya sistem pemilu yang diadospi. Dalam sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam jumlah kursi atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem proporsional terbuka sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal dengan distrik. Kemudian ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang dipersoalkan adalah mental para calon DPR yang mengupayakan segala cara agar dapat terpilih dan mengupayakan agar celah hukum yang ada agar terpilih menjadi anggota DPR.
T.
Apakah UU No. 10 tahun 2008 merupakan penyempurnaan dalam UU No. 12 Tahun 2003?
100
J.
UU No.10 tahun 2008 bukan penyempurnaan akan tetapi perubahan karena konteks isi atau bahasa didalamnya dirubah secara keseluruahan yang dianggap tidak penting dalam UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU No.12 tahun 2003 dan masih dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman pada masa tersebut.
T.
Apakah relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara?
J.
Relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945 dalam BAB VIIB tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat 2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang.
101
Lampiran II HASIL WAWANCARA
Informan
: Yan Hasanuddin Malik
Pekerjaan
: Penasihat dan badan hukum Partai Bulan Bintang (PBB)
Tempat
: Kantor Dewan Perwakilan Daerah PBB Sukabumi
Waktu/Tgl
: Pukul 09.00 s.d 11.00/23 Juni 2010
T.
Jika merujuk pada UU No. 10 tahun 2008, bagaimana tanggapan bapak mengenai UU No. 10 tahun 2008?
J.
Dalam UU No.10 tahun 2008 menurut tanggapan pembicara jika merujuk pada hal ini anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan harus melalui partai politik. Antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10 tahun 2008 yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya tidak jauh berbeda hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai sisa, sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya terdapat dalam tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan orang yang mewakili rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia menganut perkawinan sistem distrik dan sistem proporsional.
102
T.
Bagaimana tanggapan bapak mengenai pasal yang dianggap kontropersi dalam UU No. 10 tahun 2008 yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3?
J.
Mengenai pasal yang kontropersi sebenarnya terdapat dalam masalah perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk dalam BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan dalam UU No. 10 tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika ketentuan perhitungan dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi maka jika partai A memiliki suara sah 1000 orang maka partai A mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan perhitungan tahap kedua, sedangkan partai B memiliki 500 orang maka partai B mendapatkan 1 kursi. Sedangkan sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai B adalah 200 hal ini merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap ketiga sisa suara dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang memenangkan suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi kontropersi jika ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai habis. Suara yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang mendapatkan suara terbanyak. Penentuan suara terbesar menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga, suara partai yang tidak mendapatkan kursi kemudian dilimpahkan kepada partai pemenang yang paling besar. Jatah partai kecil yang tidak memenuhi dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang memilih satu partai karena tidak mencukupi dianggap hangus. Isu dalam UU No. 10 tahun 2008 ada dalam parlementary thershold dan elektoral threshold.
103
T.
Apakah dalam Islam mengenal pemilu atau intikhabat?
J.
Dalam Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau dasarnya adalah kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau dasarnya adalah suara mayoritas yang paling banyak suara sah atau pendukungnya maka dialah yang terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam hal itu sah saja. Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika dalam demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam dengan pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam dan pemilu di indonesia mempunyai semangat yang sama.
T.
Bagaimana sistem pemilu dalam Islam?
J.
Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas, muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi dengan
cara
penunjukan
oleh
majlis
syuro
yang
dianggap
dapat
mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat Islam. T.
Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008?
104
J.
Pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu boleh saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka kewajiban
masyarakat
muslim
melakukan
keadilan,
hal
itu
perlu
diprogramkan maka diperlukan lembaga yang perlu untuk menjalankan perintah tersebut yaitu keadilan. Maka legalitas dan dukungan rakyat adalah dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak boleh merubah dari ketentuan syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau regulasi ketetapan dari Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu harus dibuat dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan tugas tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi. T.
Jika dalam Islam dikenal dengan prinsip keadilan, apakah UU No. 10 tahun 2008 dapat dikatakan adil?
J.
Dalam UU No. 10 tahun 2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya karena ada sistem parlementary threshold, maka sebagian wakil rakyat di DPR tidak semua dipilih oleh rakyat dianggap hangus dan diberikan kepada partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya lebih kepada ukuran kebenaran tapi perlu diperjuangakan maka harus ada program, perencanaan, dan evaluasi. Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil saja selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.
T.
Apakah dalam Islam ada pemilihan DPR?
J.
Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas, muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR
105
sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi dengan
cara
penunjukan
oleh
majlis
syuro
yang
dianggap
dapat
mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat Islam. T.
Apakah hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan UU No. 10 tahun 2008?
J.
Hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di Indonesia
menurut
UU
No.10
tahun
2008
dengan
tujuan
untuk
mensejahterakan rakyat dengan memilih orang-orang yang mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi substansi jika dalam Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu demokrasi ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam pemilihan suara.