ETNIS BAJO ( KAJIAN SEJARAH SOSIAL DI PAGIMANA KABUPATEN BANGGAI )
JURNAL
OLEH: Rezqi Zulfahri Muh. Rum NIM. 231 409 022
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN SEJARAH SEJARAH PRODI PENDIDIKAN SEJARAH T.A 2015
ETNIS BAJO ( Kajian Sejarah Sosial di Pagimana Kabupaten Banggai ) Rezqi ZulFahri Muh Rum1, Surya Kobi2, Sutrisno Mohamad3 Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah terkait dengan tujuan penelitian: 1)Sejarah Kedatangan Etnis Bajo di Desa Jaya Bakti 2). Identitas Etnis Bajo yang membedakannya dengan Etnis Babasal di Desa Jaya Bakti 3). peran keluarga sebagai agen sosialisasi dalam mempertahankan identitas Etnis Bajo di Desa Jaya Bakti. Penelitian ini dilakukan di Desa Jaya Bakti, Kecamatan Pagimana, Banggai, Sulawesi Tengah Pencarian informan ditentukan dengan cara purposive. Penentuan informan diawali dengan menentukan informan kunci, kemudian dikembangkan secara berantai dengan memakai teknik snow ball sampling. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Sejarah kedatangan Etnis Bajo disebabkan oleh adanya hegemoni VOC terhadap kerajaan Makasar, kebiasaan Etnis Bajo sebagai etnis perantau, wilayah Jaya Bakti yang memiliki kekayaan laut, sehingga pada tahun 1600-an atau abad ke XVI Etnis Bajo datang ke Jaya Bakti yang di awali oleh kedatangan seorang pengelana laut yang berasal dari Sulawesi Selatan yang bernama Punggawa Mbo Haba. Etnis Bajo memiliki kebudayaan yang berbeda dengan etnis lain. Ini terlihat dari bahasa yang digunakan saat upacara adat yang masih di lihat., upacara-upacara adat seperti nyalamak laut, dibantang dilautang, kesenian, bentuk rumah dll, karna begitu pentingnya menjaga Budaya Bajo maka harus dilakukan pemertahanan, salah satu caranya adalah mensosialisasikan Budaya Bajo, sebagai masyarakat yang memiliki ikatan kekerabatan yang kuat masyarakat Bajo di desa Jaya Bakti menggunakan keluarga sebagai Agen Sosialisasi. Sosialisasi Budaya Bajo menggunakan keluarga sebagai agen sosialisasi secara alami. Adapun beberapa alasan bagi Etnis Bajo untuk mempertahankan Identitasnya antara lain adalah warisan leluhur harus di pertahankan, takut terjadinya bencana, sebagai pemertahanan identitas Etnis Bajo.
1
Rezqi Zulfahri Muh rum. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. 2 Drs. Surya Kobi M.pd. Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. 3 Sutrisno Mohamad S.Pd M.Pd. Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo.
PENDAHULUAN Realitas Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan Indonesia kaya akan budaya. Indonesia merupakan suatu bangsa dan negara yang terdiri atas ratusan suku yang tersebar di wilayah yang luas dari Sabang sampai Merauke dengan bahasa dan dialek masing-masing serta dengan perbedaan agama atau kepercayaan, adat istiadat, dan kebudayaan. Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdiri dari Kabupaten Banggai. Berbicara tentang Kabupaten Banggai, maka yang terlintas dalam pikiran adalah Suku Banggai, Balantak, Saluan (BABASAL). Suku ini merupakan mayoritas penduduk Banggai sehingga Babasala dan Banggai menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Pemahaman mengenai orang Banggai harus diperluas, sebab orang Banggai tidak semuanya merupakan Etnis Banggai, Balantak, Saluan tetapi ada juga Etnis Bajo, Bali, Jawa, dan etnis-etnis lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Banggai adalah masyarakat yang pluralis baik dilihat dari segi etnis, agama, sosial budaya dan lain-lain. Secara historis Banggai menjadi salah satu tujuan migrasi etnis lain seperti pada Tahun 1667 ketika Makasar (Sulawesi Selatan) jatuh ke tangan VOC dengan adanya perjanjian Bongaya menyebabkan perpindahan secara besar-besaran etnis-etnis yang ada di Makasar ke luar Makasar seperti Suku Bugis, Mandar dan termasuk suku Bajo. Meskipun sebelum perjanjian tersebut sudah banyak Etnis Sulawesi Selatan yang menempati wilayah-wilayah Nusantara. Namun pengaruh dari perjanjian Bongaya tetap besar terhadap keberadaan Suku Bugis, Mandar maupun Bajo yang tersebar di seluruh Nusantara. Suku-suku tersebut kemudian jarang tinggal di darat, sebagian dari mereka menghabiskan hari-harinya di tengah laut, bahkan sampai meninggal pun di laut. Sebagian lagi menempati pesisir-pesisir pantai sepanjang perairan Nusantara seperti Flores, Bali, Sumbawa termasuk Etnis Bajo yang ada di Desa Jaya Bakti Kecamatan Pagimana Kabupaten Banggai.
Perantau Bajo pada hakikatnya adalah pendukung suatu kebudayaan bahari. Hal ini mengakibatkan terjadinya akulturasi antara kebudayaan pendatang dengan kebudayaan lokal di tempat migrasi, sehingga terjadi interaksi kebudayaan. Suatu kebiasaan yang dimiliki oleh etnisetnis di Indonesia khususnya Etnis Bajo adalah membawa kebudayaan yang berasal dari daerah asalnya. Kebudayaan yang dibawa tersebut akan menjadi ciri yang ditunjukkan oleh seseorang karena menjadi anggota dari kelompok etnis tertentu yang meliputi penerimaan tradisi atau adat istiadat, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari sebuah kebudayaan disebut sebagai identitas etnis. GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Berdasarkan uraian metode penelitian di atas telah dikemukakan bahwa penelitian ini yang di teliti adalah Keberadaan Etnis Bajo di Desa Jaya bakti, Pagimana, Banggai, Sulawesi Tengah yang mengkaji tentang latar belakang sejarah dan pemertahanan identitas etnis melalui agen sosialisasi keluarga. Untuk mendapatkan gambaran mengenai daerah penelitian, maka akan diuraikan kondisi geografis, kondisi demografis, sistem pemerintahan, fasilitas umum dan keadaan sosial budaya masyarakat pada daerah tersebut. Mengingat lokasi penelitian berada di Desa Jaya Bakti maka akan digambarkan Desa Jaya Bakti terlebih dahulu. TINJAUAN SINGKAT KEDATANGAN SUKU BAJO DI KERAJAAN BANGGAI Suku Bajo adalah satu dari sekian banyak suku di Nusantara dengan kearifan lokal yang mengagumkan untuk hidup berdampingan dengan laut. Pada tahun 1580, kerajaan Banggai diserang oleh kerajaan Ternate dibawah kesultanan Babullah, bertepatan suku bajo (sama) sudah ada di kerajaan Banggai. Adapun pemimpin Banggai sebelum diserang Ternate adalah: GahaniGahani sebagai pemimpin ke-1, Tahani-Tahani (adik Gahani-Gahani) sebagai pemimpin ke-2, Adi Kalut Pokalut/selalu menggaruk badan sebagai pemimpin ke-3, Adi Moute (putih) sebagai pemimpin ke-4 dan Adi Lambal Polambal (batu ambar dari laut) sebagai pemimpin ke-5. Kedatangan suku Bajo (sama) dikerajaan Banggai adalah masa kepemimpinan Adi Lambal Polambal (batu ambar dari laut) sebagai pemimpin ke-5. Tahun 1580 penguasaan Ternate atas Banggai seorang mombu dari Jawa (yang wafat di Jawa) yang mengabdi di Ternate
turut aktif dalam penguasaan Ternate ke Banggai. Pada waktu itu terjadilah pelimpahan kepemimpinan dari Adi Lambal Polambal kepada Adi Cokro (Adi Soko, Banggai) kemudian Adi Cokro kembali ke Jawa, maka dilantiklah Abu Kasim anak Adi Cokro yang pertama di Ternate dan setelah ia meninggal diganti oleh Mandafar (adik Abu Kasim) dan dilantik pada tahun 1600 sebagai raja Banggai yang pertama. Kerajaan Banggai dahulu berpusat di Pulau Banggai (Banggai Kepulauan) dengan wilayah meliputi Banggai Darat. Pada waktu terbentuknya Kabupaten Banggai tahun 1960 kerajaan Banggai menjadi Kabupaten Banggai yang meliputi Banggai Kepulauan. Nanti pada tahun 2001, Banggai Kepulauan telah berdiri sendiri menjadi Kabupaten Banggai Kepulauan. Jadi telah berpisah dengan kabupaten induk (Kabupaten Banggai) sehingga menjadi dua Kabupaten sekarang yaitu Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Pada Zaman Kerajaan Banggai abad ke XVI, kelompok Suku Sama dari Bajo, Bone, dipimpin leh para Punggawa yang datang di Kerajaan Banggai. Sebagian dari para Punggawa tersebut menetap di Pulau Banggai dan sebagian lagi meneruskan ke Teluk Tomini (Pagimana waktu itu belum bernama dan pantainya penuh dengan hutan bakau serta tidak ada manusia yang ada ditempat tersebut). Perkampungannya terletak disebuah Delta Sungai Pagimana (belum ada nama) dimana pada waktu itu tidak ada seorangpun manusia kecuali para Punggawa Suku Bajo (Sama) tersebut. Hal ini menjadikan pesimis bagi mereka kepada siapa berkomunikasi untuk memperoleh bahan makanan dengan cara membeli atau tukar menukar hasil laut. Namun firasat mengatakan bahwa ada orang-orang disekitar tempat tersebut. Maka para Punggawa Suku Bajo mengintip atau mencari jejak kaki disekitar tempat tersebut. Dan akhirnya menggembirakan karena mereka menemukan jejak kaki manusia disuatu tempat.
Maka pada suatu hari Punggawa menggantung ikan ditempat jejak kaki tersebut dan pada tengah hari dilihat ikan yang digantung sebelumnya telah diganti dengan bahan makanan seperti beras, sagu dan lain-lain. Pekerjaan ini sudah beberapa kali diulang dan hasil penukaran lebih memuaskan lagi hanya saja manusia pemilik bahan makanan tersebut satu sama lain belum bertemu muka karena masih saling curiga. Mungkin inilah yang disebut Dagang Bisu. Namun Punggawa tidak putus asa. Pada kesempatan berikutnya ikan digantung lagi ditempat sebelumnya kemudian Punggawa mengintip gerak-gerik manusia yang mengambil ikan itu dan menggantinya dengan bahan makanan. Maka saat itu Punggawapun tunjuk muka dan tak urung lagi pertempuran terjadi antara Talenga (Panglima Perang Suku Loinang) dengan keompok Punggawa Bajo (Sama) yang berakhir dengan tidak adanya korban jiwa dan berhasil dengan kesepakatan perdamaian, saling merangkul-merangkul. Dan pada saat itu lahirlah Pilosof yang pertama yaitu “Belak” (cerita dari T Solom), pendeta Mbayang, pak Dak Ninia, manta kepala SDN 1 Jayabakti, Kecamatan Pagimana. Beliau-beliau adalah sesepuh Suku Saluan. Sejak itulah terdengar nama Suku Moinang bagi Suku bajo (Sama) dan tempat itu dinamai Uwe Paduk, kurang lebih 100 meter dari batas Kota Pagimana sekarang (Arah Barat). SEJARAH KEDATANGAN ETNIS BAJO DI DESA JAYA BAKTI, KABUPATEN BANGGAI
PAGIMANA,
Perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain tidak terlepas dari beberapa faktor penyebab yakni faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors). Begitu juga dengan Etnis Bajo yang bermigrasi ke Desa Jaya Bakti memiliki beberapa penyebab. IDENTITAS ETNIS BAJO YANG MEMBEDAKANNYA DENGAN ETNIS BANGGAI, BALANTAK, SALUAN DI DESA JAYA BAKTI, PAGIMANA, KABUPATEN BANGGAI
Wujud kedua kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial. Sistem sosial terdiri dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi dengan pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan. Sistem mata pencaharian hidup, sistem perkawinan, sistem kekerabatan, bentuk-bentuk religi, sistem pemerintahan, cara-cara berkomunikasi, cara menyelesaikan konflik, pola interaksi anak dengan orang tua, merupakan contoh dari sistem sosial. Sistem sosial sebagai rangkaian aktivitas manusia memiliki karakteristik bisa diobservasi, bisa difoto dan di dokumentasikan. Dalam melakukan interaksi masyarakat Bajo di Desa jaya bakti lebih banyak menggunakan bahasa Bajo. Bahasa Bajo digunakan
sebagai bahasa pergaulan
sehingga bahasa tersebut
menjadi bahasa bagi seluruh etnis yang menetap di Desa Jaya bakti. Hal ini menandakan bahwa Etnis Bajo di Desa Jaya bakti masih mempertahankan bahasa Bajo sebagai sebuah keharusan. PERAN KELUARGA SEBAGAI MEMPERTAHANKAN IDENTITAS ETNIS PAGIMANA, KABUPATEN BANGGAI
AGEN SOSIALISASI DALAM BAJO DI DESA JAYA BAKTI,
Menurut Soemardjan adat yang menjadi landasan hidup suatu masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi, selama proses sosialisasi itu berjalan orang tua memberikan ajaran-ajaran menurut adat dan berlaku kepada anak-anak yang belum dewasa. Keberadaan komunitas Etnis Bajo Di Jaya bakti sebagai kelompok minoritas sudah sepantasnya memposisikian diri dalam berbagai hal, mereka harus beradaptasi dengan kebudayaan setempat dengan mengikuti segala aturan-aturan yang berlaku di Jaya bakti. Tanpa harus menghilangkan keBajoan mereka berdasarkan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat, strategi yang dikembangkan oleh Etnis Bajo dalam rangka mempertahanan identitasnya di Jaya bakti, adalah memaksimalkan peran keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dan fungsional setelah masyarakat. Keluarga adalah kesatuan antara suami sebagai ayah, dan istri sebagai ibu serta anak sebagai keturunan mereka.
Ayah adalah kepala keluarga merangkap sebagai anggota keluarga, ibu adalah ibu sebagai ibu rumah tangga meranggkap sebagai anggota keluarga, dan anak sebagai keturunan mereka adalah penerus generasi keturunan ayah dan ibunya juga merangkap sebagai anggota keluarga . Setiap kebudayaan diperoleh melalui proses belajar, kebudayaan menjadi milik bersama, kebudayaan sebagai pola, bersifat dinamis dan adaptif. Sebagian besar perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya merupakan hasil dari proses belajar. Prilaku dan kebiasaanya bukanlah merupakan hasil pewarisan secara genetic, tetapi merupakan pembawaan yang diturunkan secara sosial. Pada saat seseorang baru dilahirkan, sebagian besar tingkah lakunya digerakkan oleh naluri tidak termasuk dalam kategori kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan . Menurut Diah 35 Tahun, Ibu Rumah Tangga “keluarga merupakan kelompok terpenting dalam masyarakat Bajo dimana segala budaya Bajo tersampaikan di dalam keluarga secara alami dan berlangsung begitu saja”. Pendapat lain “keluarga Bajo memiliki kedekatan emosional tidak hanya dengan orang tua tapi juga dengan kelurga lain seperti kakek, nenek dll, karena masyarakat Bajo di Desa Jaya Bakti berasal dari nenek moyang yang sama, sehingga pemukimannya juga begitu dekat”.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan dalam bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Latar belakang kedatangan Etnis Bajo ke Desa Jaya bakti disebabkan oleh adanya hegemoni VOC terhadap kerajaan Makasar, Etnis Bajo merupakan etnis laut, wilayah Jaya bakti yang memiliki kekayaan laut, maka pada tahun 1600-an atau abad ke XVII Etnis Bajo datang ke
Jaya Bakti di awali oleh kedatangan seorang pengelana laut yang berasal dari Sulawesi Selatan yang bernama Punggawa Mbo haba. daerah pertama yang di datangi adalah Desa Jaya Bakti. Etnis Bajo memiliki kebudayaan yang berbeda dengan etnis lain perbedaan tersebut kemudian sering di sebut sebagai identitas Etnis Bajo adapun identitas Etnis Bajo yang berada di Jaya Bakti adalah
Bahasa Bajo, upacara-upacara adat seperti nyalamak laut, dibantang
dilautang, kesenian, bentuk rumah dll, karna begitu pentingnya menjaga Budaya Bajo maka harus dilakukan pemertahanan, salah satu caranya adalah mensosialisasikan Budaya Bajo, sebagai masyarakat yang memiliki ikatan kekerabatan yang kuat masyarakat Bajo di Desa Jaya Bakti menggunakan keluarga sebagai agen sosialisasi. Sosialisasi Budaya Bajo menggunakan keluarga sebagai agen sosialisasi. Sosialisasi dalam keluarga Bajo tersebut berlangsung secara alami dan menggunakan rumah serta laut sebagai pusat sosialisasi budaya sehingga berjalan dengan mudah tanpa rekayasa dalam prosesnya. Adapun beberapa alasan bagi Etnis Bajo untuk mempertahankan Identitasnya antara lain adalah warisan leluhur harus di pertahankan, takut terjadinya bencana, sebagai pemertahanan identitas Etnis Bajo.
Berdasarkan penelitian di atas, maka dapat disampaikan beberapa saran yakni: 1. Bagi Masyarakat Desa Jaya Bakti Bagi masyarakat Bajo di Desa Jaya bakti diharapkan untuk terus mempertahankan budaya Bajo sebagai sebuah identitas asli Indonesia yang akan menambah kekayaan budaya Indonesia serta sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang Etnis Bajo. 2. Bagi Pihak-Pihak Terkait
Bagi pihak-pihak yang akan mengembangkan penelitian tentang Budaya Bajo, dapat meneliti lebih lanjut dari sudut pendekatan yang berbeda. Tentunya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya DAFTAR PUSTAKA Astawa, Iskandar. 2010. Demografi Tehnik Untuk Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik (LPTK). Buku Ajar Demografi Tehnik Universitas Pendidikan Ganesha A.Daliman (2012), ”Metode Penelitian Sejarah”, yogyakarta; ombak. .Asy’ari, Sapari Iman. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya : Usaha Nasional Baron, Robert, dan Byrne, Doon. 2003. Psikologi sosial jilid edisi kesepuluh. Jakarta : PT. Erlangga. Bungin, Burhan M. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Proses Sosialisasi Dalam Keluarga Poligini. Jakarta: Balai Pustaka. Ernayati, dkk. 1995. Proses Sosialisasi Anak dalam Keluarga Poligini di Pedesaan Kabupaten Subang. Jakarta: CV. Eka Putra. Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama. Hariyono, Paulus. 2003 .Sosiologi Kota Untuk Arsitek.Surabaya: Bumi Aksara Hartomo, H dan Arnicut Azis. 2004. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Ibrahim, Jabal Tarik. 2003. Sosiologi Pedesaan.Malang: Universitas Muhammadyah Malang Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Djambatan. Lapian , A.B. 2009. Orang Laut,Bajak Laut, Raja Laut. Jakarta : Komunitas Bambu. Lucas, David (at all) 1995. Pengantar Kependudukan. Diterjemahkan oleh Nin Bagdi, Sumanto, Riningsih Saladi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Martayana, Hendra Mas. 2011. Integrasi Masyarakat Multi Kultur (Studi Kasus Di Sumber Klampok, Grogak, BALI. Skripsi Tidak Diterbitkan. Moleong, Lexy. J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remeja Rosdakarya. Mochtar, M. 1998. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta:Sinar Karya Dharma.
Nurlaili. 2009. Upacara Nyalamak Laut Di Desa Tanjung Luar, Keruak, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Skripsi Tidak Diterbitkan. Rizki, Iqbal. 2011. Pemertahanan Tradisi Wetu Telu Pada Masyarakat Islam Di Desa Bayan Lombok Utara Nusa Tenggara Barat. Skripsi Tidak Diterbitkan. Pageh, I Made. 2010. Metodologi Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan. Denpasar: Pustaka Laras Patty, dkk. 1982. Pengantar Psikologi Umum. Surabaya: Usaha Nasional. Pelly, Usman dan Asih.1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Prawiro, Ruslan. 1983. Kependudukan, Teori, Fakta dan Masalah. Bandung : Alumni. Pujileksono, Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi ( Sebuah Pengantar Ilmu
Antropologi).
Malang : Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Putra, Sari Edi Ahimsa. 1995. Matra Orang Bajo tersedia dalam http:// kebudayaan Bajo google.com (diunduh Rabu 10 September 2014 pukul 12:16 WITA). Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soemarjan, 1993. Masyarakat Dan Pokok-Pokok Pikiran. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta Soelaeman, Munandar. 1986. Ilmu Sosial Dasar (Teori dan Konsep Ilmu Sosial). Bandung: PT. Eresco. Sudirman. 2007. Gumi Sasak Dalam Sejarah.Selong: Prima Guna
Sutrisno Hadi. 1981, Metodelogi Research, Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta Suhartono, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz. Sopiah. 2009. Keberadaan Komunitas Muslim Di Kelurahan Penarukan Buleleng Bali ( Studi Tentang Latar Belakang Sejarah Dan Pemertahanan Identitas).Skripsi Tidak Diterbitkan. Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks. Verhaar, John W.M. 1989. Identitas Manusia. Yogyakarta: PT. Kanisius. Wahyu. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
Internet : Mead, George Herbert. 2010. “Tahap-Tahap Sosialisasi( soft skill sosiologi dan politik)” Tersedia dalam http://Gunadarma ac.id Putra, Sari Edi Ahimsa. 1995. Matra Orang Bajo tersedia dalam http:// kebudayaan Bajo google.com Di akses minggu 8 September 2014 pukul 16.19 Ahmad nizar, http://lifestyle.okezone.com/read/2011/02/05/408/421695/menyimak-tradisi-duata-suku-bajjau-bajo di unduh pada tanggal 8 desember 2014 pukul 16:08 WITA Ahmil, http://ahmilanakwajo.blogspot.com/2010/03/tarian-suku-bajo.html di unduh pada tanggal minggu 30 November 2014 pukul 19:26