ETIKA PROFESI SEBAGAI GURU (Suatu Pemikiran ke- Arah Pengembangan Profesionalisme Guru SMK) Oleh Jumanta Abstrak Etika Profesi Pengajar pada hakekatnya adalah perumusan dan pelaksanaan cara mengajar yang baik serta pelaksanaannya sesuai dengan perilaku yang baik di masyarakat. Namun demikian untuk menjadikan mengajar sebagai suatu profesi masih memerlukan pemikiran yang lebih mendalam. Makalah ini mencoba mengetengahkan pemikiran mengenai hal yang perlu diperhatikan dalam mencari dan menentukan ukuran yang akan dipakai dalam merumuskan pengajar yang profesional yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Serta urun saran pemikiran yang dapat dipakai sebagai masukan untuk pengajaran seni rupa. 1. Pendahuluan Makalah ini bermakud memberikan gambaran mengenai mengajar yang baik sesuai dengan harapan pengajar dan mahasiswa serta ukuran yang bagaimana yang dapat dipakai sebagai acuan serta perilaku yang mana yang dianggap sebagai penyimpangan. Di samping itu juga ingin mengetengahkan siapa yang sebaiknya bertindak sebagai individu yang berwenang membetulkan jika seseorang dianggap menyimpang dari ukuran yang telah ditentukan. Staf pengajar merupakan unsur yang penting dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas. Keberhasilan suatu perguruan tinggi di antaranya tergantung dari keterampilan staf pengajar dalam mendorong mahasiswa untuk belajar. Namun untuk sampai pada ukuran mengajar yang profesional perlu dikaji beberapa hal yang berkaitan dengan proses mengajar. Profesi sebagai pengajar masih memerlukan pengembangan lebih lanjut, walaupun selama ini salah satu syarat yang digariskan pemerintah bahwa staf pengajar di Perguruan Tinggi harus memiliki (minimal) pendidikan S-2. Selain itu apabila sampai pada pengembangan staf pengajar, karena satu dan lain hal, maka yang pertama yang ditingkatkan adalah kelanjutan bidang ilmu yang dimiliki oleh staf pengajar tersebut, umpamanya dengan mengirimkannya ke pendidikan S-2 sesuai dengan bidang ilmunya. Sangat jarang yang sengaja dididik dalam keilmuan Pendidikan Tinggi (Higher Education), sedangkan profesi pengajar untuk pendidikan tinggi dituntut selain untuk mengembangkan keahlian di bidang ilmunya juga dituntut mengembangkan keahlian mengajarkan ilmunya tadi.
2
a. Latar Belakang Masih terdapat anggapan di masyarakat bahwa siapapun dapat mengajar sehingga tidak merasa perlu untuk mendalami ilmu mengajar. Hal ini ada benarnya bagi mereka yang dapat mengajar dengan sendirinya tanpa mempelajarinya, tapi tidak jarang individu yang tidak dapat mengajar namun karena satu dan lain hal dituntut untuk mengajar. Selain itu sejauh mana pemahaman yang diajar/murid dipedulikan, apakah yang diajarkan itu difahami ataukah hanya sebatas selesai apa yang seharusnya diajarkan saja, selain itu sesuaikah yang diajarkan itu dengan tujuan yang ingin dicapai. Namun hal yang demikian tidak dapat dikatagorikan dalam mengajar ataupun pengajar yang profesional. Hal lain yang perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan apa yang dikatakan profesional karena tidak ada satupun cara mengajar yang dapat dipergunakan dalam setiap situasi mengajar, “unique” karena itu dosen perlu menentukan cara mana yang tepat untuk dirinya dan cara belajar mahasiswa serta tujuan yang ingin dicapainya. Seperti dikemukakan oleh Braskamp & Ory, (1994, p.131), faculty thus need and crave “specific, diagnostic, descriptive information”. Untuk hal ini lebih lanjut dikemukakan bahwa mengajar itu dapat dipelajari apabila ada kemauan dari staf pengajar. Hal ini sesuai dengan tuntutan bahwa salah satu dari kesiapan pengajar itu adalah belajar. Hal ini juga dikemukakan jug oleh Richlin &Manning, (1995, p.1), ... about their teaching and their students’ learning: they need to learn what works in teaching specific subjects, parts of a specifics discipline, to their own students, at specific times. Namun demikian karena mengajar itu selalu berkaitan dengan tujuan dari suatu organisasi maka mengajar itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian maka memerlukan suatu patokan/pedoman dalam penyelenggaraannya sehingga dapat dinilai dan dipertanggungjawabkan. Seperti dikemukakan oleh Richlin & Manning, (1995, p. 3.), ...To be accurate as possible, it is necessary to base evaluation on many different standpoints. Untuk menentukan ukuran mana yang akan dipergunakan, maka perlu dikaji lebih dulu karena berdasarkan pengamatan belum adanya kesepakatan dalam bagaimana menentukan cara mengajar yang sebaiknya dilakukan dalam bidang ilmu tertentu. Dari hal yang telah diuraikan diatas maka perlu suatu pengkajian tentang pengajar yang profesional serta kaitannya dengan ilmu yang harus diajarkan untuk selanjutnya dirumuskan mengenai etika pengajar -yang disusun dalam apa yang disebut kode etik-, untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. b. Dasar Pemikiran Untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang profesional diperlukan pengenalan terhadap profesinya. Pengajar juga sebaiknya mengetahui bagaimana mengajar yang seharusnya.
3
Menurut pengamatan tidak sedikit pengajar/dosen yang datang untuk mengajar tidak melakukan persiapan, malah ada yang hanya bertanya kepada mahasiswanya tentang pelajarannya yang telah diajarkannya. Di lain pihak ada pula pengajar yang hanya memberikan sejumlah bahan ajar dengan tidak mengindahkan apakah bahan itu dapat difahami mahasiswanya atau tidak, yang penting bahan ajar selesai diberikan. Di samping itu terdapat pula pengajar yang hanya mementingkan ilmu pengetahuannya, (beberapa pengajar yang dalam waktu tertentu mendapatkan ilmu tambahan, karena sedang melanjutkan di S-2), kemudian memberikan ilmunya tadi ke mahasiswa dengan tidak memikirkan apakah ilmu itu sesuai untuk diberikan atau tidak. Selain itu ada pula pengajar yang menganggap dirinya paling pandai serta sebagai sumber kekuasaan, sehingga apa yang dikatakannya itu adalah benar dan mahasiswa harus mematuhinya. Kenyataannya ilmu pengetahuan itu berkembang dan sumber informasipun berkembang sehingga pengajar bukan satu-satunya sumber informasi. Ada beberapa usaha yang telah dilaksanakan untuk peningkatan kualitas mengajar, namun belum dilaksanakan dan dipergunakan sebagaimana mestinya, seperti: pelatihan penyusunan Satuan Acara Perkuliahan, beberapa macam metodologi pengajaran, ataupun pemantauan kehadiran mengajar. Hal lain yang menjadi bahan pemikiran yaitu belum adanya kesepakatan yang jelas apa yang harus dikerjakan dalam mengajar di bidang ilmu masing - masing karena belum adanya pembakuan untuk menilai bahwa seseorang telah mengajar dengan baik. Namun demikian ada bahan acuan bagaimana mengajar yang baik namun masih harus disempurnakan, disesuaikan dengan tujuan institusional sebagai acuan pelaksanaan visi dan misinya. Bertitik tolak dari bahan pemikiran inilah dapat disusun suatu kode etik yang sesuai dengan profesi pengajar sehingga menjadikan mengajar sebagai suatu kebanggaan dalam menjalankan tugasnya. 2. Etika dan Profesi Etika - beasal dari kata Ethic dengan batasan yang bervariasi tergantung dari konteks yang ingin dibahas, namun demikian dapat dikemukakan beberapa batasan yang ada kaitannya dengan perilaku individu dalam satu organisasi yang menuntut untuk dilaksanakannya etika tertentu, seperti diuraikan dalam penjelasan berikut. Pengertian sebagai diutarakan oleh Hornby dalam Oxford Advaced Learner’s Dictionary of Current English (1985), “… system of moral principles, rules of conduct’. Selain itu dikemukakan pula oleh Morehead (1985), “…ethics, n. morals, morality, rules of conduct”. Lebih jauh dikemukakan oleh Morehead bahwa etika ini erat kaitannya dengan kewajiban dan tanggung jawab seseorang. Page & Thomas (1979) mengemukakan bahwa ethics, branch of philosophy concerned with morals and the distinction between good and evil. Kreitner & Kinicki (1998) mengemukakan bahwa : ethics involves the study of moral issues and choices. It concerned with right and
4
wrong, good versus bad and the many shades of gray in supposedly black-and white issues. Lebih jauh diuraikan dalam kaitannya dengan perilaku yang etis menyangkut seluruh perilaku baik di dalam ataupun di luar pekerjaannya. Selain itu diuraikan pula bahwa etika ini dalam suatu organisasi sebaiknya diuraikan dalam apa yang disebut “Ethical Codes”, sehingga jelas apa yang patut dilakukan oleh seluruh anggota organisasi. Kaitannya dengan perilaku dalam organisasi diuraikan pula oleh Luthans (1995), ethics involves moral issues and choices and deals with right and wrong behavior. Selanjutnya diuraikan bahwa etika ini dipengaruhi pula oleh budaya dari organisasi, kode etik, panutan dari pimpinan, kebijakan organisasi serta kenyataan yang berlaku di dalam organisasi. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etika itu berkaitan dengan baik buruknya perilaku seseorang, serta sejauh mana kode etik diperhatikan oleh individu baik di dalam ataupun di luar lingkungan pekerjaanya. Profesi dan profesional, profesi berasal dari kata profession, serta profesional berasal dari kata professional, yang mempunyai batasan bervariasi tergantung dari konteks yang ingin diungkapakan. Hornby memberikan batasan tentang: profession, n. occupation, esp one requiring advanced education and special training, eg the law, architecture, medicine, accountancy; … professional adj 1. of a profesion (1): ~ skill; ~ etiquette, the special conventions, form of politeness, etc asociated with a certain pofession: ~ men, eg doctors, lawyers. 2. Doing or practising something as a full time occupation or to make a living. Batasan yang lain mengenai profesi dan professional diberikan oleh Page&Thomas (1979), seperti kutipan dibawah: … profession, evaluative term describing the most prestigious occupations which may be termed professions if they carry out an essential social service, are founded on systematic knowledge, require lengthy academic and practical training, have high autonomy, a code of ethics, and generate in-service growth. Teaching should be judged as a profession on these criteria. Dari batasan di atas maka dapat dikatakan bahwa etika profesi itu berkaitan dengan baik dan buruknya tingkah laku individu dalam suatu pekerjaan, yang telah diatur dalam kode etik. 3. Pengajar dan Mengajar Pengajar dan mengajar adalah dua istilah yang sulit untuk dipisahkan. Umpamanya dikatakan bahwa ia adalah guru yang baik apakah individu itu mempunyai karakteristik mengajar yang baik ataukah bertingkah laku yang patut diteladani. Mengajar adalah kata kerja yang biasanya dipakai dalam proses terselenggaranya kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok individu yang belajar, sedangkan pengajar adalah individu yang mendorong melakukan kegiatan tersebut, dimana keduanya
5
bergabung untuk mencapai suatu tujuan biasanya di perguruan tinggi disebut dosen. Namun demikian pada umumnya pengajar yang baik biasanya dapat mengajar dengan baik. Mengajar itu tidak hanya apa yang terjadi di dalam kelas tapi juga persiapan yang dilakukan sebelumnya dan penilaian yang dilakukan sesudahnya. Oleh sebab itu yang tercakup dalam mengajar yaitu persiapan dan juga penyampaiannya, memberikan fasilitas, ceramah, membimbing, mengarahkan dan kadang - kadang mendorong. Mengajar yang baik termasuk semuanya yang telah disebutkan tadi yang dikerjakan secara sungguh -sungguh. Kesungguhan ini tidak saja sebagai kesungguhan yang umum, tapi lebih bersifat pribadi. Di peguruan tinggi, karena peserta didiknya adalah individu yang dewasa, maka mengajar di sini mempunyai tuntutan yang khusus. Tuntutan mengajar di perguruan tinggi kemudian berubah artinya dari “teaching” menjadi “scholar”. Prosesnya bukan lagi hanya memberikan sejumlah informasi tapi “sharing the exitement of learning” (Spees, 1989). Lebih jauh Spees menguraikan: “ … The good teacher, then, is a scholar… A scholar is both - a person who is learned in a dicipline and one who is continuing to learn, continuing to grow. Too often the term scholar is reserved for the emeritius professor and/or connotes attainment rather than continuing efforts. The good teacher is never satisfied with yesterday’s or even today’s efforts. These are but what has been done. The good teacher constanly continnues to grow in both the discipline and in the art of teaching that discipline…”. Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar itu tidak hanya mengajar orang lain tetapi juga mengajar diri sendiri, dalam arti bahwa pengajar juga turut belajar. Banyak batasan yang dapat dikutip mengenai mengajar, namun Spees (1989) menjelaskan bahwa : “…The good teacher is the scholar - teacher bounded by intentionality…. First, it means that in order to teach the person must have a teaching field - an academic discipline, a base of knowledge. The teacher must have information, knowledge, data. Second, the teacher must have a desire to share these. Third, the teacher must have a commitment to learning. This commitment is twofold. It is a commitment to personal learning and a commitment to other’s learning”. Pengertian tersebut dapat disimpulkan yaitu: Agar dapat mengajar maka dosen harus mempunyai pengetahuan/ilmu yang akan diajarkan, biasanya disiplin ilmu yang sesuai dengan keahliannya. Dosen harus mempunyai itikad akan membagi ilmunya dengan yang lain. Dosen juga harus mempunyai komitmen bahwa ia juga akan belajar. Komitmen ini bemata ganda, yaitu belajar untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain. Yang
6
dimaksud dengan “learning” untuk dosen mencakup belajar tentang ilmunya, belajar tentang mahasiswanya masa kini serta mempelajari dirinya sendiri. Dalam arti bahwa apabila ia merasa bahwa cara ia mengajar tidak memadai maka akan berusaha untuk memperbaikinya. Lebih jauh diuraikan bahwa guru yang baik itu tidak pernah dalam keadaan “bad faith”, dalam arti bahwa individu akan lari dari tanggung jawab dan membohongi dirinya sendiri. Tidak ada satupun cara mengajar yang dapat diterapkan ke seluruh situasi mengajar karena begitu banyak cara mengajar. Istilah cara mengajar yang baikpun tidak dapat dikatakan baik untuk semua matakuliah. Selalu harus disertai “baik untuk apa” dan “baik untuk siapa” serta “bagaimana pelaksanaanya”. Oleh sebab itu “cara mengajar yang baik” itu dapat diartikan cara mengajar yang tepat untuk tujuan tertentu dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi kelas. Cara mengajar itu adalah suatu proses yang melibatkan dosen dan mahasiswa yang akan bekerja sama menciptakan lingungan belajar, temasuk nilai dan keyakinan yang akan membentuk pandangan tertentu tentang kenyataan. Tidak dapat dibatasi hanya mengenal satu cara mengajar yang baik karena tidak satupun model yang dapat memenuhi semua macam cara belajar. Banyak cara belajar memerlukan banyak macam cara mengajar. Namun demikian biarpun tidak semua dosen mampu melaksanakan mengajar yang seperti diuraikan di atas, tapi dosen itu dapat mengupayakan agar proses mengajar menjadi suatu proses yang menyenangkan baik bagi dosen ataupun mahasiswanya serta dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. 4. Profesionalisme Pengajar Hal penting yang harus diperhatikan dalam profesionalisme staf pengajar adalah diusahakan agar mereka merasa bangga akan profesinya sebagai pengajar. Walaupun kadang-kadang pekerjaan mengajar ini tidak dapat penghargaan yang sebagimana mestinya. Masih banyak yang beranggapan bahwa mengajar itu dapat dikerjakan oleh siapa saja. Mungkin anggapan ini ada benarnya dalam beberapa hal, namun mengajar yang bagaimana yang mereka lakukan. Adakah mereka mengindahkan tujuan yang ingin dicapai? Apakah mereka juga memikirkan mahasiswa yang harus didorong untuk mau belajar? Ataukah sekedar berdiri di depan kelas dan membicarakan sesuatu? Antara lain hal semacam inilah yang sebaiknya difahami oleh pengajar, sehingga diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tujuan institusi. Secara umum mengajar yang baik itu memerlukan ilmu dasar untuk mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan bidang ilmu/keahlian individu. Yang diuraikan dalam makalah ini adalah mengajar secara umum, sedangkan keterampilan mengajar yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan keahliannya sebaiknya dibahas di masing-
7
masing bidang profesi. Contohnya : Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) dapat merencanakan, melaksanakan dan mengevalusi pengembangan profesi staf pengajar ilmu eonomi, atau Persatuan Insinyur Indonesia (PII) untuk ilmu teknik, dsb. Dalam hal ini perlu difikirkan ilmu dasar yang mana yang diperlukan sebagai dasar untuk mengajar agar mengajar dapat dikatagorikan dalam suatu profesi, menurut Shulman (Eric Digest, 1991): the professionalization of teaching depend on showing that teaching, like other learned professions, requires mastery of specialized body of knowledge that applied with wisdom and ethical concern. Lebih jauh ia mengemukakan: the knowledge base is a framework that consists of several different types of knowledge, including statement about valued ends and the methods used in evaluating or justifiying them. Selain itu diuraikan oleh Office of Educational Research and Improvement (1991), untuk mendapatkan status profesional memerlukan ilmu sebagai ukuran/standar, pertanyaan tentang ilmu yang mana yang tepat untuk satu bidang profesi, perlu dipertimbangkan secara cermat oleh masyarakat profesi, tentang: (1) the types of knowledge required and relationship among categories identified, (2) conceptual frameworks for organizing and using knowledge and (3) the modes of inquiry used in creating and validating knowledge claims in the field. Hal ini berarti bahwa proses dalam menetapkan ilmu dasar adalah berkaitan dengan masyarakat, seperti kerangka konsep, serta norma untuk pertimbangan mereka dan diciptakan serta diciptakan kembali setelah penyesuaian dan pengembangan oleh masyarakat. Perubahan terjadi dengan wawasan dan penilaian melalui usaha bersama dari seluruh masyarakat. Walaupun biasanya pemimpin masyarakat memulai proses ini, tapi selalu mencari pengertian timbal balik di masyarakat. Sebagai implikasinya terhadap pendidikan dosen/pengajar dan pengajaran di perguruan tinggi perlu difikirkan lebih jauh karena memerlukan pendidikan yang lebih terarah tentang pendidikan tinggi untuk merumuskan ilmu dasar yang dipakai. Ilmu dasar mana yang akan dipakai sebagai ukuran profesionalitas seorang pengajar tergantung dari kegiatan apa yang seharusnya dilakukan dalam mengajar. Pelaksanaan kegiatan itulah yang akan dipakai sebagai ukuran untuk menilai cara mengajar seseorang yang kemudian akan diukur dan dijadikan tolok ukur (standar) dalam penilaian profesi mengajar. Rumusan dari tolok ukur ini akan diperlukan untuk menilai sejauh mana pengajar itu memenuhi pemahaman ilmu dasar dan untuk pemberian sertifikat kepada mereka yang telah memenuhi standar tersebut. The National Board for Profesional Teaching Standards (1998) menjelaskan, badan ini mengidentifikasi dan menemukan bahwa pengajar yang efekif akan mendorong mahasiswa untuk belajar dan memperlihatkan sebagai seorang individu yang memahami ilmu pengetahuan tentang mengajar yang mendalam, terampil, berkemampuan dan menjalankan semua tugasnya sebagai pengajar dengan baik diperlihatkan dalam lima usulan seperti kutipan dibawah ini : Teachers are commited to sudents and their learning. Teachers know the subjects they teach and how to teach those subjects to students.
8
Teachers are responsible for managing and monitoring students learning Teachers think sysematically about their practice and learn from experience. Teachers are members of learning communities. Lebih jauh diuraikan, bahwa : a. Pengajar yang berhasil adalah mereka yang dapat menyampaikan keahliannya untuk semua mahasiswanya. Kegiatannya berdasarkan keyakinan bahwa semua mahasiswa dapat belajar. Dia akan memperlakukan mahasiswanya sama, namun mengetahui perbedaan mahasiswanya satu dengan yang lainnya, sehingga dapat memperlakukan mereka sama berdasarkan perbedaan yang telah diketahuinya. Dia akan menyesuaikan kegiatannya berdasarkan observasi serta tentang pengetahuannya akan minat, kecakapan, kemampuan, ketrampilan, ilmu pengetahuan, limgkungan keluarga serta huungan satu sama lainnya diantara sesama mahasiswa. Pengaar yang berhasil akan memahami bagaimana mahasiswa berkembang dan belajar. Dia akan mempergunakan teori kognisi dan intelegensi dalam kegiatannya. Dia sadar bahwa mahasiswanya akan berperilaku sesuai dengan kontek yang dipengaruhi budaya. Dia akan mengembangkan kemampuan kognitif dan menghormati cara mahasiswa belajar. Yang sangat penting adalah mendorong self-esteem, motivasi, karakteristik, bertanggung terhadap masyarakat, respek terhadap perbedaan individu, budaya, kepercayaan dan ras dari mahasiswanya. b. Pengajar yang berhasil sangat memahami bidang ilmu keahlian yang akan diajarkannya dan menghargai bagaimana pengetahuan tersebut diciptakan, diorganisasikan, dihubungkan dengan ilmu pengetahuan lainnya serta diterapkan dalam dunia nyata. Dengan tidak melupakan kebijaksanaan dari budaya dan disipln ilmu, serta mengembangkan kemampuan menganalisa dari mahasiswanya. Pengajar yang berhasil akan mengetahui bagaimana cara menyampaikan ilmu keahliannya kepada mahasiswa. Mereka akan tahu mana yang sulit diterima oleh mahasiswa, sehingga akan menyampaikannya dengan cara yang dapat diterima. Cara mereka mengajar akan memungkinkan bahan ajar diterima mahasiswa dengan baik karena mempunyai srategi mengajar yang telah dikembangkannya sesuai dengan kebutuhan mahasiswa yang bervariasi untuk memecahkan massalah yang sesuai dengan kemampuan mahasiswa. c. Pengajar yang berhasil, akan menciptakan, memperkaya, memelihara dan menyesuaikan cara mengajarnya untuk menarik dan memelihara minat mahasiswa dalam mempergunakan waktu mengajar sehingga mengajarnya efektif. Mereka juga akan memberikan pertolongan dalam proses belajar dan mengajar kepada mahasiswa dan teman sejawatnya. Pengajar yang berhasil akan tahu cara mana yang tepat yang dapat dilakssanakan sesuai dengan kebutuhan. Mereka juga akan tahu bagaimana mengatur mahasiswa agar dapat mencapai tujuan mengajar yang diinginkan serta mereka akan tahu mengarahkan mahasiswa untuk sampai pada
9
lingkungan belajar yang menyenangkan. Mereka memahami bagaimana memotivasi mahasiswa termasuk bagaimana cara mengatasi apabila mahasiswa menemui kegagalan. Pengajar yang berhasil akan juga memahami kemajuan mahasiswa dalam belajar baik secara perorangan ataupun secara umum dalam kelasnya. Memahami bermacam-macam cara evaluasi untuk mengetahui perkembangan mahasiswa serta bagaimana mengkomunikasikan keberhasilan ataupun kegagalan mahasiswa kepada orang tua mahasiswa. d. Pengajar yang berhasil, adalah model dari hasil pendidikan yang akan dijadikan contoh oleh mahasiswanya, baik keberhasilan dari ilmu pengetahuannya ataupun cara mengajarnya. Seperti, keingintahuannya, kejujurannya, keramahannya, keterbukaannnya, mau berkorban dalam mengembangkan mahasiswa ataupun hal lain yang berkaitan dengan karakteristik pengajar yang lainnya. Pengajar yang berhasil akan memanfaatkan ilmu tentang perkembangan individu, keahlian dalam bidang ilmu dan mengajarnya, serta tentang mahasiswanya dalam penilaian dan kepercayaannya bahwa cara inilah yang terbaik untuk dilakukann dalam proses mengajar. Untuk keberhasilan proses mengajarnya dosen/pengajar yang berhasil akan selalu memikirkan dan mengembangkan keberhasilan cara mengajarnya serta selalu menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan teori, ide, ataupun faktanya. e. Pengajar yang berhasil, akan berkontribusi serta bekerja sama dengan teman sejawatnya tentang seluruh kegiatan yang berkaitan dengan proses belajar dan mengajar, seperti : pengembangan kurikulum, pengembangan staf lainnya selain pengajar, ataupn kebijakan lainnya dari seluruh institusi pendidikan. Mereka akan menilai perkembangan institusinya serta sumber lain yang tersedia dalam menunjang perkembangan pendidikan sesuai kebutuhan masing-masing. Pengajar yang berhasil selalu mendapatkan cara yang terbaik dalam berhubungan degan teman sejawatnya untuk produktivitas hasil pendidikan secara menyeluruh. Dari kelima aspek inilah kemudian akan dikembangkan untuk dirumuskan tentang apa yang sebaiknya dilaksanakan oleh pengajar yang dapat dikatagorikan berhasil untuk kemudian disusun sebuah tolok ukur (standar). Salah satu model yang dapat dipakai sebagai acuan dari pekerjaan sebagai pengajar seperti kutipan dibawah ini (Nana, 1997). Pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan (PPS, 1990), sepuluh ciri suatu profesi : (1) Memiliki fungsi dan signifikasi sosial (2) Memiliki keahlian/keterampilan tertentu (3) Keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah (4) Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas (5) Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama
10
(6) Aplikasi dan sosialisasi nilai- nilai profesional (7) Memiliki kode etik (8) Kebebasan untuk memberikan judgement dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya (9) Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi (10)Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya. Lebih jauh diuraikan bahwa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1980 (Nana, 1996) telah merumuskan kemampuan - kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompokkannya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu: (1) Kemampuan profesional, yang mencakup: a. Penguasaan materi pelajaran, mencakup bahan yang diajarkan dan dasar keilmuan dari bahan pelajaran tersebut. b. Penguasaan landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan c. Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran. (2) Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar. (3) Kemampuan personal yang mencakup : a. Penampilan sikap yang positif tehadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan. b. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogiyanya dimiliki guru. c. Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan bagi para siswanya. Selanjutnya Depdikbud merinci ketiga kelompok kemampuan tersebut menjadi 10 kemampuan dasar, yaitu : (1)
Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep - konsep dasar keilmuannya.
(2)
Pengelolaan program belajar - mengajar
(3)
Pengelolaan kelas
(4)
Penggunaan media dan sumber pembelajaran
(5)
Penguasaan landasan - landasan kependidikan
(6)
Pengelolaan interaksi belajar-mengajar
(7)
Penilaian prestasi siswa
(8)
Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan
11
(9)
Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah
(10) Pemahaman prinsip - prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran. Uraian yang dikemukakan Depdikbud ini kelihatannya untuk guru, bukan untuk dosen pendidikan tinggi. Namun demikian dapat dipakai sebagai accuan untuk mengkaji sifat - sifat yang ingin dirinci untuk pengajar dari perguruan tingi, karena sejauh ini belum ada ukuran untuk Indonesia yang berkaitan dengan profesionalisme dalam mengajar yang sudah baku, sehingga banyak di antara pekerja dari profesi lain juga melakukan menggajar. Dengan demikian etika profesi pengajar sangat tergantung dari para pengajar sendiri, apakah menjadi kebanggaan sebagai pengajar ataukah hanya merupakan satu pekerjaan yang dapat dikerjakannya. Untuk hal ini maka urun saran selanjutnya akan disesuaikan dengan pengkajian pengajaran ilmu seni rupa yang sesuai dengan visi, misi dan tujuan institusional. 5. Etika Profesi Pengajar Seni Rupa dan Desain Sebaiknya keterampilan mengajar yang sebagaimana mestinya dibicarakan dalam organisasi profesi. Namun karena terbatasnya informasi mengenai ikatan profesi yang dapat mencakup semua bagian dari pengajaran seni rupa maka dapat diusahakan oleh staf pengajar dalam lingkungan tertentu pada satu institusi pendidikan. Untuk membahas lebih rinci lagi tentang Etika Profesi Pengajar dalam kaitannya dengan mengajar Seni Rupa dan Desain maka sebaiknya dibahas mulai dari Visi dan Misi institusional, namun demikian karena terbatasnya informasi maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan, antara lain : a. Lulusan yang bagaimana yang diinginkan oleh Fakultas/Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain (FSRD)? b. Pelajaran apa saja yang dapat diberikan serta pengajaran yang bagaimana yang dapat menunjang untuk mengasilkan lulusan tersebut? c. Pengajar yang bagaimana yang dapat melaksanakan kegiatan untuk mencapai keberhasilan lulusan tersebut? d. Siapakah yang berhak mengajar berdasarkan kompetensinya dalam mewujudkan lulusan tersebut? Menjawab pertanyaan - pertanyaan tersebut adalah usaha yang tidak mudah serta memerlukan pengkajian dari pengajar itu sendiri karena hanya mereka yang berkecimpung dalam bidang ini yang akan mengetahui segala sesuatunya. Dalam menjawab pertanyaan diatas ada beberapa hal yang perlu difikirkan : a. Seni Rupa adalah ilmu yang sangat pribadi, karya yang sama dapat menghasilkan penafsiran yang berbeda tergantung dari sudut mana seniman itu memandangnya,
12
sepertinya tidak dapat dirumuskan sesuatu hal yang dapat dijadikan ukuran. Namun demikian dapat dirumuskan beberapa ukuran yang dapat dipakai untuk menjembatani perbedaan tersebut dengan jalan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dengan jelas dalam pengajaran seni rupa. Sesuai dengan perkembangan dalam pendidikan seni rupa maka tujuan yang ingin dicapaipun berkembang pula, namun pada intinya adalah sama hanya memerlukan penyesuaian sesuai dengan tuntutan masyarakat pada waktu tertentu, seperti dikemukakan oleh Wilson dalam kaitannya dengan Art Education (Bloom, 1979) dalam kutipan berikut ini: There are still art educators to day hold that one of the major goals of art instruction is the production of works of aart in which the composition or structure is of primary concern. Lebih jauh dikemukakannya dalam memberikan out-line standar tentang penilaian yaitu bahwa penilaian ini bertitik tolak dari “Aesthetic”, yang di dalamnya sudah tercakup desain, komposisi dan struktur, seperti kutipan berikut : There are some standards, however, based on aesthetic considerations that the teacher should use as criteria. There involve design, composition, and basic art strucure, ranging from simple and elementary guide posts in the primary graades to complex and subtle injucntions in the upper grades. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai kemudian dapat diturunkan kedalam ukuran tertentu. Dimulai dari estetik yang mencakup desain, komposisi dan struktur dapat dirinci dengan pengajaran yang mana yang dapat menghasilkan sebuah ukuran. Seperti selanjutnya diuraikan bahwa apresiasi seni adalah salah satu jalan untuk membentuk cara berfikir, dengan jalan pemberian pengarahan dari pengajar. Selain itu diuraikan pula dalam pencapaian organisasi komposisi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu kreatifitas untuk membentuk personaliti serta pengetahuan tentang masyarakat. Lebih jauh dikemukakan bahwa pengajaran seni rupa akan lebih berhasil apabila peserta didik mempunyai pengalaman tentang seni rupa tersebut. Paling baik mempelajari nilai estetik adalah dengan pagalaman pribadi yang akan akan ditemuinya dalam aktifitas proses belajar. Dalam hal ini maka pengajaran seni itu sebaiknya dilakukan dengan praktek untuk mendapatkan pengalaman tertentu. b. Pengajaran Seni Rupa sangat bevariasi, tergantung dari macam seni yang mana yang ingin diajarkan. Pengajaran seni rupa tidak hanya terbatas pada seni demi kebutuhan pribadi tapi juga demi kebutuhan komersial yang memerlukan pofesional training dengan terlihatnya keaneka ragaman hasil produksi seni sejalan dengan perkembangan masyarakat.
13
c. Metode mengajar yang mana yang tepat untuk mengajarkan Seni Rupa dan Desain tersebut. Untuk hal ini seperti dikemukakan lebih dulu bahwa biarkan anak didik mempunyai pengalaman langsung dalam proses belajarnya yang diarahkan oleh pengajar dalam metode mengajar. Metode mengajar ini dapat dimulai dari metode yang konvensional seperti dilakukan oleh para seniman jaman dahulu, umpamanya dengan menempatkan seseorang yang ingin belajar melukis dengan memulai pendidikannya sebagai tukang cuci kwas gambarnya. Sementara itu individu tersebut sudah mulai belajar sesuatu dari pelukis itu berdasarkan pengamatan dan pengalamannya, mulai dari mencuci yang kemudian mempergunakannya, yang kemudian dapat berkembang ke arah tema, simbol, dan metode dalam struktur pekerjaan seni. Untuk menerapkan cara ini ke dalam pengajaran seni di sekolah karena sekolah tidak mungkin menyediakan sejumlah seniman yang dapat diikuti oleh tiap anak didik (mahasiswa seni rupa dan desain), serta berapa banyak waktu yang dipergunakan oleh anak didik tidak akan sama pula. 6. Penutup Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa : a. Etika Profesi pengajar berkaitan dengan baik dan buruk perilaku pengajar baik itu dilingkungan institusi pendidikan ataupun dalam kehidupannya sehari - hari. b. Dalam menentukan baik-buruk ini perlu disusun Kode Etik, yang berfungsi juga sebagai salah satu ciri profesional. c. Pekerjaan yang dapat dikatakan profesional sangat tergantung dari pandangan individu yang menjalaninya, dan kebanggaan profesional hanya dapat diciptakan oleh mereka yang berkaitan langsung. d. Untuk menyusun kode etik dapat diturunkan dari pesyaratan profesi, serta hanya dapat disusun oleh mereka dari lingkungan pekerjaan yang bersangkutan. e. Yang dapat merumuskan dengan baik hanya mereka yang berkecimpung dalam pengajaran senirupa. f. Ada beberapa pemikiran yang dapat dipakai dalam penyusunan pesyaratan prrofesional dari pengajar seni rupa. g. Pendekatan dalam pembelajaran seni rupa dan desain harus memperhatikan karakteristik proses kreasi kedua disiplin ilmu tersebut. Antara proses pembelajaran seni rupa (murni) dan desain memiliki perbedaan yang spesifik. Yang satu lebih menajamkan kebebasan berkreasi seni sebagai medium berungkap perasaan (misalnya seni lukis dan seni patung), sedangkan yang lain lebih menitikberatkan penciptaan kreasi rancangan bentuk yang lebih fungsional. Walaupun secara tegas keduanya memiliki kesamaan yang umum sebagai bagian dari dunia kesenirupaan. Dalam pelaksanaan pembelajarannya dosen yang mengajar di jalur seni murni dan desain akan menemukan cara-cara yang berbeda dan dianggapnya terbaik guna
14
mencapai tujuan instruksional yang ditetapkan kurikulum. Untuk merumuskan tentang metodologi mengajar seni dan desain ini diperlukan penelitian mendalam terhadap proses pembelajarannya pada perkuliahan praktik. Saran yang dapat dikemukakan, antara lain : a. Untuk pengajaran Seni Rupa dapat disusun suatu standar pengajaran, sesuai dengan visi, misi dan tujuan. b. Untuk menyempurnakan Rencana pemantapan Seni Rupa dan Desain, dalam hal ini yang berkaitan dalam perencanaan pengembangan tenaga dosen. c. Untuk mendapatkan suatu pendekatan dan metodologi pembelajaran seni rupa dan desain setiap dosen diharapkan dapat melakukan penelitian mandiri terhadap caracara mengajar yang diterapkannya secara kontinyu dari semester ke semester, sehingga melalui temuan empirik ini bisa diambil kesimpulan tentang cara mengajar yang baik., selain juga dosen yang bersangkutan tetap selalu membaca buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan seni rupa dan desain sesuai perkembangan zaman.
Daftar Pustaka Bloom, B.S. (1979). Handbook of Formative and Summative Evaluation for student learning, New York, McGraw-Hill Company. Department of Education.(1991). Eric Digest, Washington DC, Government Publisher. Hornby, A.S. (1987). Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Currrent English. London, Oxford University Press ITENAS. (1996). Rencana Induk Pengembangan Institut Teknologi Nasional Tahun 1996 - 2005. Bandung: Itenas ITENAS. (1997). Pedoman Umum Institut Teknologi Nasional (ITENAS). Bandung: Itenas Kreitner, R., and Kinicki, A. (1998). Organizational Behavior. Irwin: McGraw-Hill Companies. KSA Group. (1998). The National Board for Professional Teaching Standards. Washington DC: Government Publishers. Luthans, F. (1995). Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill International Editions, Inc. Morehead, P.D. (1985). The New American Roget’s College Thesaurus. New York: A Meridian Book Company.
15
Page, G.T. and Thomas, J.B. , (1979). , International Dictionary of Education. , London, The English Language Book Society and Kogan Page. Syaodih Sukmadinata, Nana. (1997). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Sherman, T.M. et.al. (1990). The Quest for Excellence in University Teaching. , Research in Instructional Effectiveness by E. Kent St. Piere, et.al. (Eds). Virginia, Harrisonburg, Cener for Research in Accounting Education Spees, E.R. , (1989). Higher Education; An Arena of Conflicting Philosophies. New York: Peter Lang Publisher Weimer, M. (1990). Improving College Teaching, Strategies for Developing Instructional Effectiveness. San Francisco: Jossey-Bass Publishers