<> < < < < < < < <> Endemik < Endemik < < < < Endemik < < < <> < < < < < < < <
IUCN
Mendekati
Rentan Rentan Mendekati Rentan Mendekati Mendekati Kritis
EBA
STATUS PERLINDUNGAN
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Tidak Tidak Tidak Dilindungi Tidak Tidak Tidak Tidak Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi
5 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
NAMA ILMIAH Todirhamphus chloris Actenoides concretus Aceros comatus Anorrhinus galeritus Aceros corrugatus Aceros undulatus Anthracoceros malayanus Anthracoceros albirostris Buceros rhinoceros Buceros vigil Pitta schneideri Pitta sordida Pycnonotus nieuwenhuisii Chloropsis venusta Cochoa beccarii Trichastoma rostratum Muscicapa dauurica Rhipidura javanica Anthreptes simplex Hypogramma hypogrammicum Nectarinia jugularis Arachnothera longirostra Arachnothera crassirostris Arachnothera flavigaster Ploceus hypoxanthus Dicrurus sumatranus Platysmurus leucopterus
SEBARAN <> < < < < < < < < < Endemik
< < < < Endemik <
IUCN
Rentan . Mendekati
Mendekati Rentan Kurang data Mendekati Rentan Mendekati Kurang data
Mendekati Mendekati Mendekati
EBA
STATUS PERLINDUNGAN
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Dilindungi Dilindungi
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak
Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi Tidak Tidak Tidak
Keterangan: SEBARAN: Endemik adalah untuk Indonesia EBA : Endemic Bird Area Juga ditemukan di tempat lain : < = Negara lain di sebelah barat Indonesia ; > = Negara lain di sebelah timur Indonesia, B = Daerah lain di Borneo; P = Fillipina
sedangkan di TN Bukit Tigapuluh yang luasnya 127 ribu hektar tercatat 193 jenis (Prawiradilaga et al. 2003). Jumlah jenis yang tercatat di TNBG hanya selisih sedikit dari TN Bukit Barisan Selatan yang luasnya sekitar tiga kali lipat (356 ribu hektar), yakni 276 jenis (O‟Brien & Kinnaird, 1996). Dengan 247 jenis yang tercatat, berarti TNBG merupakan habitat bagi sekitar 40% jenis burung yang tercatat di Sumatera yang menurut pangkalan data Bird Life berjumlah 602 jenis atau 609 jenis menurut Holmes dan Rombang (2001). Pada tahun 2004, TNBG telah dimasukan sebagai kawasan IBA (Important Bird Area) atau Daerah Penting Burung oleh Birdlife International, karena Kawasan TNBG ditemukan jenis-jenis Salvadori's Pheasant (Lophura inornata), Masked Finfoot (Heliopais personatus), Sumatran Ground-cuckoo (Carpococcyx viridis), 6 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
Schneider's Pitta (Pitta (www.birdlife.org, 2005)
schneideri),
Sumatran
Cochoa
(Cochoa
beccarii)
Selain jumlah total jenis burung yang tinggi tercatat juga kekayaan jenis dari beberapa kelompok burung tertentu yang keberadaannya sangat tergantung pada kondisi habitat alami yang masih baik. Kelompok jenis-jenis burung seperti rangkong dari keluarga Bucerotidae, tercatat 8 jenis di TNBG atau 80% dari 10 jenis rangkong yang ditemukan di Pulau Sumatera, diantaranya Buceros rhinoceros, Rhinoplax vigil dan Aceros undulatus., takur (keluarga Capitonidae, tercatat 5 jenis), pelatuk (Picidae, tercatat 12 jenis), dan luntur (Trogonidae, tercatat 3 jenis) dikenal sebagai burung-burung yang keberadaannya bergantung pada keberadaan hutan alam (forest-dependent birds). Catatan menarik lainnya adalah catatan tentang jenis-jenis burung pemangsa (raptor species). Sebanyak 14 jenis burung pemangsa tercatat di kawasan ini. Salah satu di antaranya, yakni baza hitam (Aviceda leuphotes) merupakan jenis pengunjung (migratory species). Memperhatikan kedudukan burung pemangsa yang berada di puncak piramid dari rantai makanan (food web), maka kekayaan jenis burung pemangsa di TNBG dapat mengindikasikan kondisi populasi mangsa yang cukup baik. Kita dapat menduga bahwa kondisi populasi mangsa yang baik tentu memerlukan kondisi habitat yang baik. Oleh karena perannya yang penting dalam ekosistem, semua jenis burung pemangsa telah dilindungi dalam peraturan perundangan Indonesia.
Kawasan TNBG bukan hanya memiliki kekayaan, fauna tetapi juga keunikan keanekaragaman hayatinya. Keberadaan pedendang kaki-sirip (Heliopais personata) yang keberadaannya di Sumatera selama ini masih belum meyakinkan juga berhasil direkam dalam bentuk foto. Sementara itu, dua buah gambar elang terbang yang sangat menyerupai rajawali totol (Aquila clanga) juga berhasil diambil dengan kamera di daerah survei. Jenis elang ini di Sumatera selama ini baru tercatat sekali, yakni di daerah Sumatera Selatan (Holmes 1996). Sementara itu, dalam waktu yang relatif singkat, dengan perangkap kamera telah berhasil didokumentasikan adanya kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), kucing emas (Catopuma temmincki), dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Kambing hutan dan kucing emas merupakan dua jenis satwa langka yang selama ini sangat jarang ditemukan di hutan alam, bahkan oleh mereka yang telah bertahun-tahun mengoperasikan perangkap kamera di Pulau Sumatera.
Ekosistem TNBG kemungkinan merupakan zona hibridisasi (pertemuan/persilangan) dari jenis-jenis satwa khas Sumatera bagian Selatan, Utara dan Timur. Hal itu sangat dimungkinkan karena secara biogeografis letak TNBG diantara Unit Zoogeografi Danau Toba bagian selatan yang berbatasan langsung dengan unit-unit zoogeografi Danau Toba bagian utara, Pasaman dan Barumun – Rokan. Pengamatan mengindikasikan adanya variasi morfologi/warna beberapa jenis satwa di sana dibanding dengan jenis yang sama di tempat lain, baik di Sumatera maupun di Indonesia. Sebagai contoh, jenis simpai/lutung/rekrek (Presbytis sp.) yang menghuni di TNBG ternyata tidak sama dengan yang diilustrasikan dalam berbagai publikasi dan buku panduan lapangan yang ada. Pola warna rekrek/lutung di TNBG cenderung lebih menyerupai kombinasi pola warna antara tiga jenis Presbytis yang hidup di daerah lain yang pernah diteliti, yakni P. thomasi, P. femoralis dan P. melalophos. Seperti diketahui, P. thomasi selama ini diyakini 7 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
sebarannya ke bagian selatan Pulau Sumatera tidak melampaui Danau Toba, sedangkan P. femoralis di Sumatera hanya di bagian daratan dan pulau-pulau sebelah timur (Riau).
Ekosistem TNBG menyimpan keanekaragaman hayati flora dan keunikan yang sangat tinggi serta banyak dari jenis tersebut terancam punah sebelum diketahui manfaatnya bagi kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak penelitian seluas 1 hektar petak cuplikan di hutan dataran rendah (660 meter dpl) di TNBG terdapat 240 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) yang terdiri dari 47 suku atau sekitar 0,9% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh di Indonesia). Nilai penting jenis untuk famili dari 10 famili yang paling seringkali ditemukan menunjukan bahwa keluarga Dipterocarpaceae menempati urutan pertama dengan Species Important Values for a Family (TSIVF) sebesar 84,24% disusul secara berurutan keluarga-keluarga dari Euphorbiaceae 31.97%, Burseraceae 24.11%, Myrtaceae 15.89%, Fagaceae 13.72%, Lauraceae 11.62 %, Sapotaceae 11.51% , Myristicaceae 9.73%, Moraceae 9.09% dan Clusiaceae 7.44%.(Kartawinata, et al 2004) Hal menarik lainnya, penambahan jenis flora terus bertambah walaupun luas petak cuplikan sampel telah mencapai 1 hektar (Kartawinata, et al 2004). Hal yang menarik lainnya, dalam petak cuplikan 200 meter2 tercatat 222 jenis tumbuhan berpembuluh. Dengan demikian menurut Perbatakusuma, dkk (2004), angka-angka tersebut telah melampaui jumlah jenis dengan luas petak penelitian dan metoda yang sama dan saat ini diketahui tertinggi di dunia, yaitu di hutan dataran rendah Tesso Nilo di Provinsi Riau (Prawiradilaga, 2003) Lihat Tabel 3 yang memperlihatkan perbandingan kekayaan flora dibeberapa lokasi penelitian di kawasan konservasi di Sumatera. TABEL 3. Perbandingan Kekayaan Flora di TNBG dengan Hutan Konservasi Lain di Sumatera Lokasi Penelitian Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara Taman Nasional Tesso Nilo, Riau Stasiun Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Jambi Cagar Alam Rimbo Panti (800 meter dpl), Sumatera Barat
Luas (ha)
Jumlah Jenis
Kepadatan per-hektar
Kepustakaan
0,02
222
583
Kartawinata, dkk (2004)
0,02
215/218
557
Gillison (CIFOR) (2001), Prawiradilaga, dkk (2003)
1,6
132
480
Abdulhadi, et al (1996)
0,09
30
610
Partomihardjo
1
145
429
Purwaningsih (in press)
Hasil riset menunjukan distribusi kelas diameter pohon di petak penelitian seluas satu hektar di TNBG mengikuti pola „J terbalik‟ atau distribusi eksponensial negatif yang menjadi salah satu karakter di hutan alam tropika yang belum terganggu. Hal itu 8 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
mencerminkan struktur populasi dapat dianggap ideal stabil dan mandiri dalam mempertahankan struktur populasi. Tipe struktur kelas diameter ini memperlihatkan jumlah pohon berdiameter kecil lebih besar dibandingkan pohon berdiameter besar dan secara konstan jumlah pohon berdiameter kecil berkurang pada kelas diameter berikutnya. Karakter dari struktur populasi demikian dicirikan melimpahnya jenis yang tahan naungan (shade-tolerant species) yang berdiameter kecil dan jenis-jenis primer yang terpelihara melalui pertumbuhan pohon berdiameter kecil yang konstan. Dalam struktur populasi tersebut dianggap aman karena diasumsikan pohon dewasa yang mati akan tergantikan oleh individu pohon yang tumbuh dari kelas diameter yang lebih kecil. Struktur populasi tumbuhan dalam hutan tropis sangat dinamik dan sensitif mengalami perubahan jika terjadi gangguan dalam proses perbanyakan dan perkembangan anakan pohon (seedling recruitment and establishment). Misalnya, jika terjadi pembukaan kanopi hutan yang luas oleh pembalakan kayu, konversi hutan alam maupun perambahan hutan. Di hutan tropis jumlah individu suatu jenis tumbuhan adalah kecil, jadi berarti hilangnya sejumlah kecil individu akan mempunyai dampak yang besar terhadap keseimbangan biologi dan ukuran populasi suatu jenis dan proses regenerasi hutan Lebih jelasnya lihat Grafik 1. GRAFIK 1. Kelas Diameter Pohon dengan Pola Distribusi ”Eksponensial Negatif” di TNBG yang Mengindikasikan Kerentanan Perubahan Ekosistem Hutan Alam Akibat Pembukaan Kanopi Hutan 400
345
350
300
NUMBER OF TREES
250
200
150 113
100
45
50
32 18
14
6
0
7
3
90-99.9
100 -160
0 10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80-89.9
DIAMETER CLASS (CM)
Jenis-jenis yang teridentifikasi di hutan dataran rendah terdapat jenis bunga langka dan dilindungi yaitu Bunga Padma (Raffesia sp.) jenis baru, Nepenthes sp. dan Amorphaphalus sp. Dan juga jenis-jenis endemik untuk Sumatera seperti Baccaurea dulcis Merr., Hopea nigra Burck , Shorea platyclados Sloot. ex Foxw. Selain itu, banyak jenis-jenis pohon komersil dari Dipterocarpaceae (meranti-merantian) telah masuk dalam Daftar Status Merah IUCN (IUCN Red List), sehingga penting diprioritaskan tindakan konservasinya agar jenis-jenis tersebut tidak punah (conservation dependent), seperti 9 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
Aglaia ganggo Miq., Hopea nigra Burck, Shorea gibbosa Brandis, Shorea platyclados Sloot. ex Foxw., Vatica perakensis King, Vatica mangachapoi Blco, Anisoptera costata Korth., Shorea acuminata Dyer dan Hopea beccariana Burck Tingkatan ancaman kepunahan jenis bervariasi dari tingkat critically endangered, endangered sampai tingkatan vulnerable dengan penyebab pemusnahan jenis diakibatkan berbagai sumber berupa perusakan habitat alami, konversi atau hilangnya habitat alami sampai penebangan habis suatu jenis (IUCN, 2004). Tabel 4 menggambarkan status kelangkaan dari jenis-jenis pohon dari Keluarga Dipterocarpaceae.
TABEL 4 . Status Keterancaman Jenis Dipterocarpaceae di TNBG NAMA JENIS Hopea nigra Burck Hopea beccariana Burck Shorea gibbosa Brandis Shorea acuminate Dyer Shorea platyclados Sloot. Ex Foxw Vatica perakensis King Anisoptera costata Korth Vatica mangachapoi Blco
STATUS IUCN
KATEGORI DAN KRITERIA IUCN
JENIS ANCAMAN Hilangnya dan menurunnya habitat
Kristis untuk punah
CR A1c, B1+2c
Kristis untuk punah
CR A1cd+2cd
Tidak diketahui
Kristis untuk punah
CR A1cd
Tidak diketahui
Kristis untuk punah
CR A1cd
Terancam punah
EN A1cd
Terancam punah
EN A1c
Terancam punah
EN A1cd+2cd
Terancam punah
EN A1cd
Hilangnya dan menurunnya habitat, ekstraksi, tebang habis Hilangnya dan menurunnya habitat, ekstraksi, tebang habis Tidak diketahui Konversi hutan alam untuk pertanian Pembalakan kayu dan konversi hutan untuk pertanian
Sumber : IUCN (2004) : 2004 IUCN Red List of Threatened Species.
Keterangan: IUCN (the World Conservation Center) : CR = Kritis; DD = Kekurangan Data; EN = Genting; LR = Resiko rendah; VU = Rentan;
Selain itu lebih dari 100 jenis tumbuhan berpotensi untuk obat telah dikoleksi guna menyelamatkan jenis mikroba endofitik berupa miroba jamur dan kapang yang hidup dalam jaringan tumbuhan (xylem dan phloem) dari kepunahan. Dan sampai saat ini telah dapat dikoleksi 1500 jenis mikroba yang terdiri dari jamur dan kapang. Konservasi mikroba dari hutan tropis Indonesia belum pernah dilakukan oleh lembaga mana pun sebelumnya. Mikroba ini banyak memberikan manfaat, antara lain sebagai sumber obatobatan, pupuk organik, bio-insektisida ataupun bio-fungsida yang menunjang sektor pertanian maupun penghasil enzim dan hormon yang dibutuhkan oleh sektor industri. Dari jenis mikroba yang dikumpulkan telah menghasilkan sejumlah 745 isolat mikroba endofitik murni yang terdiri dari 393 isolat jamur dan 352 isolat bakteri. Diantaranya dari 10 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
115 jenis isolat yang telah diuji hampir separuhnya teridentifikasi menghasilkan senyawa kimia aktif yang dapat memerangi beberapa bakteri pathogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, seperti Echerichia coli, Bacillus sp. dan bakteri penyakit tanaman budidaya, seperti Xanthomonas campestris dan Pseudomas solanaceum. Disamping itu beberapa diantaranya mampu menghasilkan hormon tumbuh (indole acetic acid) dalam jumlah besar yang dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan tanaman budidaya (Perbatakusuma, et al, 2004).
Hasil kajian menunjukkan perlindungan jenis satwa di TNBG menjadi penting karena terkait dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan. Eksistensi jenis satwa payung (umbrella species) maupun jenis satwa kharismatik, seperti harimau Sumatera, beruang madu, kambing hutan ataupun tapir membutuhkan kondisi hutan alam yang utuh dengan luasan tertentu untuk mereka dapat bertahan hidup dalam jangka panjang. Ini berarti dengan melindungi tempat hidup mereka, yaitu tutupan hutan alam sekaligus jasajasa ekologis hutan alam dan hasil hutan bukan kayu dapat terjaga, seperti sumber air, pencegah erosi/banjir atau keseimbangan iklim dan potensi wisata alam. Selain dilindungi dan langka, jenis-jenis mamalia mempunyai peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekologis dan keutuhan keanekaragaman hayati di dalam Kawasan TNBG dan di kawasan budidaya masyarakat seperti peranannya sebagai pemencar biji, penyubur tanah, daur ulang mineral tanah, pemangsa (predator), pengendali populasi babi dan tikus yang menjadi hama tanaman masyarakat, penyerbukan bunga dan pengendali serangga yang dapat menjadi hama tanaman masyarakat. Berkurang dan hilangnya populasi jenis satwa liar yang menjadi mangsa harimau Sumatera, seperti rusa, kijang, kambing hutan, pelanduk dan babi akan menyebabkan meningkatnya konflik harimau dengan manusia di kawasan budidaya yang merugikan secara ekonomi, misalnya ternak. Bahkan dapat merengut korban jiwa manusia, seperti yang terjadi di Desa Rantau Panjang pada tahun 2002 , 2003 dan 2010.. Hilangnya satwa liar jenis kunci bagi kepentingan ekologis (ecological key species atau amplifier species) yang berperan sebagai pemangsa biji, pemencar biji, penyerbukan tanaman, pengendalian babi dan tikus, tentunya secara langsung dan tidak langsung akan menurunkan produktifitas pertanian di daerah pedesaan dengan meningkatnya gangguan hama penyakit tanaman budidaya, seperti tikus, babi, serangga. Lihat penjelasan pada Tabel 1 Adanya kekayaan jenis burung ini, juga menunjukan keragaman peranannya dalam ekosistem hutan, seperti jenis-jenis rangkong berperan sebagai pemangsa biji, agen pemencaran biji atau jenis lainnya yang dapat berperan sebagai penyerbuk tanaman (polinator) dan pengendali serangga hama tanaman yang mendukung produktifitas kawasan pertanian masyarakat. Pemusnahan jenis burung tersebut yang dikatagorikan “spesies kunci” tentunya akan menimbulkan kerugian sosial ekonomi yang besar bagi kawasan pertanian masyarakat. Banyaknya jenis burung rangkong yang ditemukan di TNBG menunjukan kawasan ini sesuai sebagai habitat satwa pemakan buah (frugivores). Jenis burung rangkong karena daerah jelajahnya sangat luas memiliki konsekuensi sebagai agen pemencar biji berjarak jauh (long-distance seed disperser) berpotensi mempengaruhi proses ekologi penting di 11 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
dalam hutan alam, khususnya regenerasi hutan dan menjaga keanekaragaman hayati tumbuhan, termasuk dinamika metapopulasi, persistensi populasi dan keanekaragaman komunitas tumbuhan (Ouborg et al. 1999, Cain et al. 2000). Dalam hutan alam yang terfragmentasi, pemencaran biji berjarak jauh seperti dilakukan burung rangkong memainkan peranan penting dalam memelihara keanekaragaman genetis tumbuhan melalui aliran gen diantara populasi tumbuhan yang terfragmentasi (Hamilton 1999)
2.
DAMPAK EKSPLORASI PERTAMBANGAN EMAS TERHADAP PEMUSNAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Laju kepunahan spesies flora dan juga fauna dapat dipastikan sejalan atau lebih tinggi dari laju penggundulan hutan (deforestasi). Padahal tidak kurang dari 11% spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 15% spesies amfibi dan reptilia serta 17% spesies burung yang ada di dunia (Adisoemarto dan Rifai, 1994) tersimpan di hutan hutan tropis kita. Berdasarkan Teori Island Biogeography (Arthur dan Wilson, 1967) yang menyatakan bahwa semakin luas hutan alam yang tidak terputus kawasannya, maka semakin tinggi kandungan jenis flora dan faunanya. Tidak hanya jumlah jenis secara keseluruhan lebih tinggi, tetapi juga rata-rata jenis per-hektar. Sebaliknya makin hutan di luar kawasan konservasi ditebang dan dikonversi, semakin menurun jenis flora dan fauna di dalam kawasan konservasi Ada banyak faktor yang mempengaruhi dan belum seluruhnya diketahui, namun salah satu faktor yang penyebab utama dalam kepunahan ini adalah kerusakan dan hilangnya hutan di luar kawasan konservasi tersebut dan luas kawasan beberapa habitat alamiah berkurang daya dukungnya untuk beberapa populasi jenis ataupun beberapa habitat tidak terwakili lagi. Analisa kepunahan jenis secara umum di dunia menunjukan bahwa faktor-faktor yang paling menentukan kehilangan jenis adalah a). fragmentasi dan kehilangan habitat alamiah, b). pemburuan berlebihan (overkill), c).dampak introduksi jenis eksotik, d). polusi dan e). dampak sekunder atau ripple effect yang diartikan kalau satu jenis punah maka ada beberapa jenis lain yang ikut punah (Wind dan Rijksen, 1992 ). Jadi dapat disimpulkan, bahwa perubahan habitat alamiah yang terjadi di luar kawasan konservasi akan berdampak negatif pada keutuhan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayatinya, apalagi kalau perubahan bentang alam tersebut terjadi di dalam kawasan konservasi.. Bagaimana dampak kegiatan pertambangan emas terhadap keutuhan keanekaragaman hayati? Umumnya dalam siklus pertambangan emas skala besar mempunyai dua siklus kegiatan utama (kegiatan eksplorasi – kegiatan ekstraksi) yang saling berkaitan, yaitu eksplorasi, pengembangan dan kontruksi proyek, operasi tambang, ekstraksi bahan galian dan penutupan dan reklamasi kawasan pertambangan. Antara kegiatan eksplorasi dan ekstraksi mempunyai potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial masyarakat yang mirip hanya berbeda dalam intensitas dampaknya Kegiatan eksplorasi mempunyai intensitas dampak yang lebih rendah, tetapi dengan luasan daerah dampak yang relatif luas, dibandingkan dengan kegiatan ekstraksi yang memiliki intensitas dampak yang tinggi dengan luasan kawasan dampak yang lebih kecil (Sweeting dan Clark, 2000)
12 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
Ada berapa masalah-masalah utama yang muncul dalam kegiatan eksplorasi pertambangan emas, yaitu : 1. 2. 3.
4. 5. 6.
Dampak eksplorasi pada aras keanekaragaman hayati seringkali dilupakan; Fase eksplorasi adalah fase penting dalam menentukan masa depan lokasi operasi pertambangan; Dampak langsung eksplorasi kurang terlihat nyata, tetapi dampak tidak langsung yang penting, seperti pembukaan akses jalan dan pembangunan infrastruktur pendukung eksplorasi; Perusahaan kecil dan menengah dengan profil publik yang rendah selalu yang menyelenggarakan kegiatan eksplorasi; Kegiatan eksplorasi melibatkan investasi yang besar, tetapi sangat tinggi resiko dengan tingkat keuntungan ekonomi yang rendah; Informasi tentang kandungan keanekaragaman hayati dan ekosistimnya, seringkali tidak tersedia.
Secara terperinci potensi dampak negatif kegiatan eksplorasi pertambangan emas diuraikan sebagai berikut : Pembukaan Lahan Erosi dan sedimentasi adalah ancaman utama lingkungan dalam kegiatan eksplorasi pertambangan sebagai konsekuensi dari pembukaan lahan untuk pembangunan fasilitas kerja dan daerah eksplorasi. Kegiatan pembukaan lahan meliputi penggalian lubang atau parit dan pengeboran untuk akses mendapatkan contoh deposit emas yang bernilai. Dalam proses tersebut dipastikan dilakukan pembukaan vegetasi alami dan tanah bagian atas (top-soil) . Pembuangan lapisan vegetasi hutan TNBG akan menyebabkan erosi tanah dan pemiskinan unsur hara tanah oleh air atau angin. Erosi juga akan menghilangkan lapisan tanah yang berproduktif dan kaya unsur hara yang terbentuk ratusan tahun dari hutan tropis. Lapisan tanah ini hanya terletak di bagian atas dengan ukuran yang tipis dan peka terhadap perubahan fisik. Tanah merupakan sistim yang kompleks dari mineral, unsur hara, air, udara dan organisme hidup yang merupakan bagian dari rantai makanan yang memasok kebutuhan unsur hara esensial bagi kelangsungan tumbuhan dan hewan liar di TNBG. Dampak erosi dan sedimentasi semakin tinggi, apabila dilakukan di TNBG oleh PT. Sorikmas Mining, karena kawasan tersebut merupakan kawasan yang berlereng curam dan bergunung. Lapisan tanah pada bentuk geomorfologi pegunungan lebih tipis dan waktu pembentukan lapisan tanah yang lebih lama dibandingkan dengan kawasan bukan pegunungan. Penghilangan vegetasi hutan juga menyebabkan meningkatnya sedimentasi tanah dan menyebabkan pendangkalan sungai yang nantinya mengakibatkan bencana banjir. Disamping itu sedimentasi juga akan menyebabkan menurunnya kualitas ekosistim perairan air tawar di sungai, akibat menurunnya turbiditas air, laju fotosistensis dan kandungan oksigen.
13 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
Pembangunan Jalan dan Infrastruktur Dalam kegiatan eksplorasi pertambangan mau tidak mau harus membangun jalan untuk mengangkut persediaan logistik, peralatan, mesin dan contoh batuan dan membangun berbagi fasilitas kerja, seperti kantor lapangan, penginapan pekerja, gudang penyimpanan contoh batuan atau peralatan kerja. Tentunya kebutuhan pembangunan berbagai fasilitas kerja tersebut berakibat dilakukannya kegiatan pembukaan penutupan vegetasi dan tanah yang semakin tingginya tingkat hilangnya habitat (habitat loss), erosi dan sedimentasi yang ditimbulkan, jikalau tidak dilakukan kontrol yang ketat. Adanya berbagai aktifitas kegiatan eksplorasi oleh manusia, juga akan menyebabkan terbawanya jenis-jenis asing (allien species) yang akan menyebabkan terganggunya keaslian dan keseimbangan keutuhan ekosistim TNBG. Limbah cair dan limbah padat akan menyebabkan kontaminasi di kawasan sumber-sumbar air alam atau anak-anak sungai setempat. Pembangunan akses jalan menuju fasilitas kerja dan daerah kerja eksplorasi juga akan mengakibatkan ancaman jangka panjang bagi kawasan sensitif ekologik seperti halnya TNBG. Pembangunan rute jalan baru ke kawasan-kawasan terpencil dan belum berkembang akan membuka kawasan eksplorasi sebagai kawasan koloni baru. Populasi manusia dan infrastruktur masyarakat semakin meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya alam lokal dan Taman Nasional Batang Gadis. Tekanan tersebut semakin tingginya tingkat pembukaan dan pembakaran hutan alam dan kerusakan habitat alamiah untuk berbagai kebutuhan pembangunan pemukiman, kawasan pertanian. Koloni baru ini juga akan meningkatnya terbawanya jenis-jenis asing yang akan memberikan ganguan terhadap keseimbangan ekosistim TNBG. Tekanan populasi manusia ini saat ini sedang berlangsung di kawasan eksporasi PT. Sorikmas Mining, banyak pendatang dan pengungsi Suku Nias melakukan okupasi kawasan hutan untuk pertanian dan pemukiman, tanpa dapat dicegah oleh PT. Sorikmas Mining dan Pemerintah Desa setempat. Dipastikan, bahwa pembukaan lahan hutan TNBG akan semakin agresif, sebagai konsekuensi tanah hutan tropis relatif tidak subur dan tidak berkelanjutan untuk kegiatan pertanian, maka para pendatang akan berpindah dan mencari tanah yang lebih subur dan lahan tersebut ada di kawasan hutan alam TNBG
Sweeting dan Clark (2000) menambahkan bahwa tahapan lanjutan dari fase kegiatan eksplorasi berupa kegiatan pembuatan parit/lubang dan penggalian contoh bahan mineral yang disesuaikan dengan arah dan bentuk tertentu dari deposit mineral mempunyai potensi dampak negatif lingkungan yang sangat tinggi. Karena dalam kegiatan ini dilakukan kegiatan-kegiatan pembukaan lahan, pembuatan akses jalan dan penggunaan mesin dan alatalat berat. Dampak ini akan berakumulasi jika pembangunan infrastruktur permanen semakin besar, sebagai konsekuensi dari luas cakupan kawasan yang akan dieksplorasi. Uraian ini menunjukan bahwa kegiatan pertambangan emas yang dilakukan di kawasan hutan alam akan menimbulkan faktor-faktor hilangnya jenis keanekaragaman hayati berikut ekosistem alamiahnya. Pembukaan hutan alam TNBG untuk kegiatan eksplorasi akan mengakibatkan pembukaan kanopi hutan sehingga akan terjadi fragmentasi habitat dan mengurangi keragaman habitat 14 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
alamiah dalam bentuk “pulau-pulau hutan”. Fragmentasi hutan merupakan hal penentu dalam menentukan laju pemusnahan jenis. Karena fragmentasi akan menyebabkan terisolasinya suatu spesies akibat terputusnya hubungan antar populasi jenis, terhambatnya proses kolonisasi, penyebaran dan penjelajahan. Itu akan menyebabkan suatu spesies terserang persilangan genetik, penyakit dan menghasilkan populasi tidak mampu berbiak sehingga terjadi percepatan pemusnahan jenis secara lokal (Lee, et al 1988). Disamping adanya implikasi dari Teori Biogeografi Pulau yang menyatakan bahwa pulau-pulau atau kawasan hutan alam yang terisolasi memiliki jenis fauna yang makin berkurang dan menampung lebih sedikit spesies dibandingkan dengan kawasan hutan alam yang tidak terfragmentasi. (Arthur and Wilson, 1967). Whitmore and Sayer (1992) menambahkan bahwa dalam teori „demographic stochasticity‟, pulau yang besar atau dapat diumpamakan kawasan hutan alam yang luas menyimpan populasi suatu jenis yang besar pula. Hal ini berarti laju musnahnya suatu jenis di pulau yang besar atau di kawasan hutan alam yang luas lebih lambat dibandingkan dengan pulau kecil atau kawasan hutan alam yang luasannya kecil. Bukti adanya pembukaan kawasan hutan alam untuk kegiatan eksplorasi pertambangan emas dapat ditunjukan dari hasil monitoring tutupan hutan di TNBG pada tahun 2008. Hasil pemantauan ini menunjukan bahwa pada tahun 2003 sampai 2007 di TNBG terdeteksi 219 hektar kawasan hutan pada 55 lokasi kawasan yang berbeda, 22 lokasi dengan pembukaan kurang dari satu hektar, 28 lokasi dengan bukaan 1 sampai dengan 10 hektar dan 7 lokasi lebih dari ukuran 10 hektar. Salah satu lokasi pembukaan hutan atau deforestasi yang paling menonjol dan paling besar ukuran adalah lokasi disebelah utara TNBG yang terjadi pada tahun 2005 dan 2007 (Conservation International, 2008). Lihat Peta 1. Pembukaan tajuk hutan alam dalam kegiatan eksplorasi pertambangan, juga sangat berpengaruh terhadap hubungan interaksi mutualistik antara satwa liar dengan tumbuhan yang penting peranannya dalam memelihara keanekaragaman hayati hutan tropis dan proses ko-evolusi atau saling berkembang bersama antara hewan dan tumbuhan. TNBG diketahui menyimpan kekayaan satwa liar yang tinggi yang merupakan jenis-jenis kunci bagi kepentingan ekologis yang berperan sebagai pemangsa biji, pemencar biji, penyerbukan tanaman, pengendalian babi dan tikus yang menjadi hama tanaman budidaya masyarakat.. Dari jenis-jenis burung rangkong sampai jenis primata memiliki peran sebagai pemencar dan pemangsa biji yang bermanfaat untuk membantu proses regenerasi hutan dan memelihara keanekaraman hayati hutan tropika. Studi yang dilakukan oleh Dew (2001) di hutan tropis Amazon menunjukan bahwa monyet Humboldt's woolly monkey (Lagothrix lagothricha poeppigii) dan white-bellied spider monkey (Ateles belzebuth belzebuth) mempunyai efektifitas sangat tinggi sebagai pemencar biji, misalnya rata-rata jarak pemencaran biji 245 meter, 23% biji yang dipencarkan berkecambah di lantai hutan. Hasil studi Hovestadt, et al (1999) di hutan tropis Afrika memperlihatkan bahwa pemencaran biji yang dilakukan oleh satwa liar lebih efisien dibandingkan biji yang dipencarkan oleh angin dalam proses rekolonisasi jenis-jenis tumbuhan pada hutan yang rusak setelah mengalami gangguan.
15 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
LOKASI EKSPLORASI SIHAYO GOLD Ltd. / PT.Sorikmas Mining
PETA 1. Peta Deteksi Pembukaan Tutupan Kawasan Hutan TNBG pada Blok Kontrak Karya PT.Sorikmas Mining – Sihayo Gold Ltd.
16 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
Pembukaan hutan alam untuk kegiatan pertambangan juga akan menyebabkan menurunnya bahkan musnahnya populasi jenis tumbuhan Ara (figs) sebagai sumber pakan banyak jenis satwa liar, khususnya pada saat musim paceklik buah. Diketahui ada 3 jenis Ara yang hidup di TNBG, diantaranya Ficus drupacea dan Ficus uncinulata. Hal tersebut akan memicu terjadinya permusnahan spesies secara lokal. Karena musnahnya Ara akan menyebabkan terganggunya atau punahnya populasi spesies lain (cascade effects) (Bronstein 1992; Thiollay 1992.). Penjelasan tersebut diatas menggambarkan bahwa upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan karena penambangan di Kawasan Hutan Lindung maupun di Kawasan Pelestarian Alam melalui pembatasan blok dan pembentukan zonasi untuk kawasan eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan emas masih diragukan efektifitasnya dalam mengurangi laju kepunahan keanekaragaman hayati. Upaya "lokalisasi" kerusakan pada suatu kawasan ekologis, sebagaimana halnya TNBG merupakan kesalahan paradigma, karena kawasan ekologis merupakan satu kesatuan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya dan mempunyai keterkaitan dengan siklus kehidupan.
3.
DAMPAK EKSPLORASI PERTAMBANGAN EMAS TERHADAP JASA LINGKUNGAN DAN NILAI MANFAAT EKONOMI
3.1. Total Nilai Ekonomi Subsidi TNBG Nilai manfaat ekonomi kawasan konservasi terdiri dari dari nilai guna komsumtif / langsung (direct values) dan nilai guna tak langsung (indirect values). Nilai guna komsumtif terdiri dari nilai guna langsung, nilai guna tak langsung dan nilai pilihan (option value). Sedangkan nilai guna non komsumtif terdiri dari nilai warisan (existence values) dan nilai keberadaan (bequest values). Lihat Tabel 5 untuk menjelaskan uraian nilai total ekonomi kawasan konservasi. TABEL 5. PENJABARAN NILAI EKONOMI TOTAL KAWASAN KONSERVASI
NILAI EKONOMI TOTAL Nilai Guna Komsumtif Nilai Guna Langsung
Nilai Guna Tak Langsung
Nilai Guna Non-Komsumtif Nilai Pilihan
Nilai Warisan
Nilai Keberadaan
Produk yang dikomsumsi secara langsung
Manfaat manfaat fungsional
Nilai guna langsung dan tak langsung dimasa depan
Nilai guna langsung dan tak langsung dari sumber daya lingkungan
Nilai keberlanjutan akan keberadaan sumberdaya tertentu
Makanan, biomas, rekreasi
Pengendalian banjir dan erosi, stabilitas tata air dan iklim mikro,
Keanekaragaman hayati, bahan baku berbasis sumber daya
Konservasi habitat, upaya pencegahan perubahan alam
Konservasi habitat dan spesies, integrasi sosial dan
17 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
perlindungan badai, siklus nutrisi, perikanan, pendukungan kehidupan global (perubahan iklim), pendidikan, penelitian, kesehatan manusia,
genetik, perlindungan jenis dan ekosistem, siklus evolusi.
yang tidak dapat diperbarui
kultural.
Beberapa metode valuasi ekonomi telah digunakan untuk mengetahui Total Nilai Ekonomi (TNE) yang terkandung di kawasan hutan alam di Kabupaten Mandailing Natal, khususnya TNBG. Pendekatan atau metode tersebut meliputi : harga/biaya pasar secara langsung; nilai stumpage - hasil sumber daya alam yang telah diproses atau yang mempunyai pasar; biaya replacement- nilai guna tidak langsung, preventative expenditure - pengeluaran yang bersifat mencegah; surrogate market - pengganti pasar; proxy or substitute product -produk pengganti/mewakili; change in productivity - perubahan dalam produktivitas, oppportunity cost of labor - biaya kesempatan tenaga kerja; indirect opportunity cost - biaya kesempatan tidak langsung; travel cost - biaya perjalanan; hedonic pricing – nilai guna tidak langsung; constructed market - pasar yang dibangun; contingent valuation - valuasi ketergantungan. Total nilai ekonomi TNBG merupakan keseluruhan nilai manfaat ekonomi hutan yang meliputi manfaat langsung (kayu komersil, kayu bakar, pertambangan emas, hasil hutan non kayu), manfaat tidak langsung (fungsi DAS, simpanan karbon, regulasi iklim mikro), manfaat pilihan (ekowisata), dan manfaat tak guna (keanekaragaman hayati), dengan rumusan sederhana sebagai berikut :
Total Nilai Ekonomi (TNE) = Nilai Guna + Nilai Tak Guna TNE = (NML + NMTL + NMP) + (NW + NK) Keterangan: TNE NML NMTL NMP NW NK
= Total Nilai Ekonomi = Nilai Manfaat Langsung = Nilai Manfaat Tidak Langsung = Nilai Pilihan = Nilai Warisan = Nilai Keberadaan
Dari perhitungan valuasi ekonomi yang dilakukan oleh Midora, et,al (2006) keseluruhan nilai ekonomi hutan alam di TNBG adalah Rp. 386,8 milyar pertahun. Nilai-nilai tersebut ada 18 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
yang berpotensi positif dan berpotensi negatif terhadap kelangsungan manfaat ekonomi jangka panjang TNBG. Nilai yang berpotensi positif meliputi nilai potensi ekowisata, nilai DAS, nilai karbon, dan nilai keanekaragaman hayati, sedangkan nilai yang berpotensi negatif seperti nilai hasil kayu, dan sumber daya mineral emas. Nilai ini belum merupakan keseluruhan nilai ekonomi ekosistem hutan tersebut karena beberapa jasa lingkungan belum dapat dihitung, misalnya nilai pelestarian jenis fauna dan flora, sehingga nilai TNE diestimasikan lebih besar dari jumlah ini. Ringkasan TNE dari hutan TNBG disajikan dalam Tabel 6 Dari tabel ditunjukan bahwa nilai manfaat ekonomi dari kegiatan ekonomi yang sifatnya ekstraktif - skala besar - jangka pendek, seperti pemanenan hasil hutan kayu melalui HPH dan eksploitasi tambang emas hanya memberikan total nilai ekonomi sebesar Rp.121,3 milyar/tahun. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai akumulasi manfaat ekonomi dari jasa lingkungan yang diperoleh secara lebih berkelanjutan dan jangka panjang seperti hasil hutan non kayu (karet, rotan, kopi, kayu manis, sarang burung walet, aren, durian), potensi ekowisata, daerah aliran sungai, simpanan karbon, dan keanekaragaman hayati yang keseluruhannya mencapai Rp. 265,5 milyar / tahun atau nilai manfaatnya 2 kali lebih besar dari kegiatan yang bersifat ekstraktif. Nilai juga memperlihatkan bahwa TNBG memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam pengadaan subsidi ekologis melalui jasa-jasa lingkungannya bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Madina maupun kelangsungan penghidupan masyarakat luas (Midora, et al, 2006). TABEL 6 TOTAL NILAI EKONOMI HUTAN TNBG DALAM RUPIAH (MILYAR)
MANFAAT TAK GUNA
MANFAAT GUNA Nilai Guna Langsung Hasil Hutan Kayu
Hasil Hutan Non Kayu
1, 3
199
TOTAL NILAI EKONOMI
386,8 Milyar /tahun
Nilai Tak Langsung
Nilai Pilihan
Daerah Simpanan Potensi Aliran Karbon Ekowisata Sungai 44,4
1,9
19,4
Manfaat alternatif
Nilai Keberadaan
Emas
Nilai Keanekaragaman hayati
120
0,8
3.2. Keuntungan dan Kerugian Ekonomi Keberadaan TNBG Dari hasil analisis manfaat dan biaya (cost and benefit) dapat diketahui bahwa estimasi manfaat ekonomi bersih dengan adanya pembentukan TNBG bernilai Rp.50 milyar per tahun. Nilai pemanfaatan berupa manfaat pilihan potensi ekowisata, dan manfaat tidak langsung berupa daerah aliran sungai dan simpanan karbon, serta manfaat non konsumtif sosial budaya dan keanekaragaman hayati diestimasi sebesar Rp. 66,5 milyar pertahun. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan dengan hilangnya nilai pemanfaatan kawasan hutan 19 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
bersifat eksploitatif adalah Rp. 16,5 milyar pertahun berupa hasil hutan kayu dan pertambangan emas diestimasikan sebesar Rp. 13,9 milyar pertahun dan biaya pengelolaan TNBG diperkirakan Rp. 2,6 milyar pertahun.. Nilai potensi hasil hutan bukan kayu tidak termasuk di dalamnya, karena belum mempunyai mekanisme pajak daerah yang jelas. Perkiraan nilai ini masih sangat dasar mengingat beberapa komponen manfaat dan biaya belum dihitung, seperti manfaat stabilisasi iklim mikro dan penjaga kesuburan tanah. (Midora, et al, 2006). Lebih jelasnya lihat Tabel 7 sebagai berikut berikut.
TABEL 7 MANFAAT BERSIH = Manfaat Bersih =
ANALISIS MANFAAT – BIAYA TAMAN NASIONAL BATANG GADIS
MANFAAT +
Non konsumtif )
Pendapatan Langsung :
Jasa Lingkungan
Nilai Sosbud
Hilang:
*Potensi Ekowisata
*Manfaat DAS:
Keanekaragaman hayati
* Pemanenan Kayu * Emas
Rp. 0,8 M
Rp. 1,3 M Rp. 10 M ( Rp 13,9 M
(Pilihan
+
BIAYA
-
NILAI
Rp. 19,4 M
JUMLAH NILAI MANFAAT BERSIH
(Rp. 19,4 M +
Tak Langsung
(air rumah tangga, irigasi pertanian, perikanan, pengendali banjir, erosi dan longsor *Penyimpan Karbon Rp. 44,4 M Rp. 1,9 M Rp. 46,3 M +
Rp. 0,8 M )
-
-
( Langsung
+
Biaya pengelolaan) Biaya Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis
Rp. 2,6 M +
Rp. 2,6 M )
Rp. 50 Milyar pertahun
SIAPA DIUNTUNGKAN ?
SIAPA DIRUGIKAN ? Komunitas lokal
Pemda Pengusaha penginapan, restoran, transportasi, agen wisata Komunitas lokal yang berdekatan dengan daerah tujuan wisata
Pemda Komunitas lokal yang tergantung pada sektor pertanian dan perikanan Masyarakat regional, nasional dan international yang tergantung kestabilan iklim global
Peneliti, Dunia internasional, nasional yang tergantung dari sumberdaya genetik untuk bahan baku farmasi, pangan
20 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
Pengusaha HPH, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, sebagian kecil masyarakat
Pengusaha pertambangan, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, sebagian kecil masyarakat
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga donor internasional, masyarakat internasional
Dari tabel analisis diatas juga ditunjukan bahwa keberadaan TNBG sarat dengan kepentingan sosial yang sangat tinggi dibandingkan eksploitasi kayu maupun pertambangan emas, karena distribusi manfaat sosial ekonomi yang diperoleh dari kehadiran TNBG lebih terdistribusi lebih merata kepada banyak pihak dengan nilai kuantitas pengambil manfaat yang tinggi baik pada tataran lokal, nasional dan internasional. Kawasan TNBG dapat dikategorikan juga sebagai “kawasan dengan manfaat sosial”, karena nilai manfaat ekonomi bersihnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai manfaat untuk pemanfaatan alternatif seperti pertambangan emas atau pemanenan hasil hutan kayu. Jadi, pilihan pengambilan keputusan pembentukan TNBG adalah tepat karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
3.
Peranan Ekonomi dan Jasa Lingkungan TNBG terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kelangsungan Penghidupan Masyarakat
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang penting bagi Kabupaten Madina adalah pertumbuhan ekonomi dan nilai Produk Domestik Regional Produk (PDRB) yang tinggi. Ini berarti pertumbuhan nilai PDRB yang tinggi atas dasar harga konstan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan dan terjaganya sumber penghidupan masyarakat di Kabupaten Madina. Dominasi output sektor pertanian terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Madina pada tahun 2007 memberikan kontribusi sebesar 45,42% dari total nilai PDRB sebesar Rp. 2.260.838.780.000, dan sektor pertambangan dan galian hanya 1,54%. Uraian ini menunjukan bahwa kelangsungan sektor pertanian mempunyai nilai ketergantungan yang tinggi terhadap eksistensi fungsi ekologis TNBG, khususnya sebagai penyedia air yang teratur untuk sektor pertanian. Nilai ketergantungan ini dapat diartikan pula sebagai nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung Kabupaten Madina apabila TNBG mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat memberikan dukungan fungsi ekologis terhadap kelangsungan sektor pertanian. Pertanyaannya selanjutnya adalah alternatif mana yang harus dipilih oleh para pengambil kebijakan antara pilihan kebijakan mengeksploitasi potensi ekonomi berupa nilai hasil hutan kayu dan sumber daya mineral emas atau pilihan kebijakan mempertahankan keberadaan TNBG? Hal itu, tentunya harus dijawab, apakah apakah eksploitasi kayu atau emas akan dapat meningkatkan PDRB atau sebaliknya. Jawaban pertanyaan tersebut dibandingkan dengan dampak dipertahankannya TNBG terhadap pertumbuhan PDRB. Tentunya pilihan kebijakan yang diambil adalah pilihan yang memberikan dukungan terhadap usaha peningkatan PDRB Kabupaten Madina dengan nilai yang signifikan. Apabila kayu komersial atau sumber daya emas di TNBG dieksploitasi – dalam jangka pendek jelas akan memperoleh pertambahan pendapatan daerah dari nilai kayu atau nilai sumber daya mineral emas, tetapi dengan mengorbankan nilai dan fungsi ekologis yang selama ini telah memberikan dukungan signifikan terhadap perekonomian daerah dan kelangsungan hidup masyaraka selama ini. Fungsi ekologis itu mencakup pengendali tata air, pengatur iklim dan menjaga kesuburan tanah. Gambaran keterkaitan antara pembangunan ekonomi Kabupaten Madina dengan keberadaan dan fungsi ekologis TNBG dapat dilihat pada Diagram 1. 21 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
Rusaknya fungsi ekologis TNBG akibat eksploitasi sumber daya mineral emas tentunya berdampak pada penurunan jumlah dan nilai produksi sektor pertanian. Dikaitkan dengan kepentingan kontribusi pertanian terhadap PDRB yang cukup besar, hal tersebut tentunya menghambat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Madina. Hal ini juga memberikan dampak langsung kepada 86% atau kurang lebih 71.000 Kepala Keluarga petani dari total populasi penduduknya yang jumlahnya 413.000 jiwa atau 82.600 KK yang kelangsungan hidupnya tergantung dari sektor pertanian. Pada tahun 2007, kawasan persawahan seluas 46.619 hektar, kawasan perkebunan rakyat seluas 83.650 hektar (karet, coklat, kulit manis, kopi, kelapa, aren) dan lebih dari 70 lokasi perikanan air sungai di lubuk-lubuk larangan sangat tergantung dengan kehadiran keutuhan ekosistem hutan alam TNBG. DIAGRAM 1. KETERKAITAN PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN MADINA DEGAN KEBERADAAN FUNGSI EKOLOGIS TNBG
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT LUAS
TAMAN NASIONAL BATANG GADIS
PDRB & PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN MADINA
SEKTOR EKONOMI DOMINAN:
FUNGSI EKOLOGIS:
(PERTANIAN, 45,1% PDRB TH 2005) Perkebunan Tanaman Pangan Perikanan Peternakan
Pengendali tata air (penyimpan air, pencegah erosi/tanah longsor) Pengatur iklim mikro Pengendali hama tanaman budidaya Kelangsungan Lubuk Larangan
Berdasarkan hasil valuasi ekonomi yang dilakukan, nilai ekonomi Daerah Aliran Sungai untuk kebutuhan pertanian, adalah sebesar Rp 2,6 milyar per tahun, sedangkan nilai Net Present Value (NPV) dengan faktor diskonto 10% dan tingkat harga konstan, dalam 25 tahun nilainya mencapai Rp 23,3 milyar. Nilai ekonomi DAS sebagai penyedia tata air untuk sektor perikanan adalah sebesar Rp 10 milyar per tahun, dengan tingkat diskonto 10% dan tingkat harga konstan, maka dalam 25 tahun nilai ini (NPV) mencapai Rp 97,4 miliar.
22 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
Dari angka tersebut, apabila menggunakan skenario ketergantungan yang tinggi dengan hilangnya manfaat ekologis TNBG, maka dalam jangka waktu 25 tahun, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Madina akan kehilangan nilai pendapatan sekarang atau kerugian dari sektor pertanian sebesar Rp. 23,3 milyar dan sektor perikanan sebesar Rp. 97,4 milyar.
4.
Peranan Ekonomi TNBG terhadap Penghematan APBD Kabupaten
Terdapat kesalahan atau miskonsepsi secara umum selama ini mengenai keberadaan dan peranan Kawasan Konservasi, khususnya TNBG, yaitu Kawasan Taman Nasional dinyatakan sebagai potensi sumber daya ekonomi yang “hilang” untuk kepentingan pembangunan ekonomi dan tidak dapat dimanfaatkan secara ekonomi dan hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir kepada masyarakat lokal dan negara. Kesalahan ini sebetulnya dapat diperbaiki kalau kita memahami bahwa keterkaitan Kawasan Taman Nasional dengan pembangunan ekonomi tidak hanya terhadap manfaat-manfaat uang, tetapi harus diarahkah pada manfaat-manfaat ekonomi bukan uang. Namun perlu diperhatikan, bahwa selain TNBG memiliki nilai kayu dan sumber daya mineral emas komersil. TNBG juga dapat memberikan manfaat lain yang penting, yaitu fungsi ekologis, produk hutan non kayu dan keanekaragaman hayati. Ketiga manfaat utama ini tidak dapat dimanfaatkan semuanya secara bersama-sama, dalam pengertian jika pemerintah dan masyarakat mengambil keputusan untuk mengeksploitasi kayu komersil dan emas di dalam TNBG, maka ketiga manfaat utama tersebut diatas tidak dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat. Dampak hilangnya fungsi ekologis TNBG berarti menurunnya atau hilangnya kemampuan TNBG mengatur tata air dan pengatur iklim kawasan tersebut, sehingga akan meningkatkan resiko terjadinya bencana alam, seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor di Kabupaten Madina. Ditambahkan pula, bahwa Kabupaten Madina punya masalah besar, karena dikatagorikan „daerah rawan bencana‟. Kondisi wilayahnya berada di daerah vulkanis aktif dan bagian dari Daerah Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault Zone) atau secara spesifik dikenal sebagai Sub patahan Batang Gadis - Batang Angkola - Batang Toco. Patahan ini terus bergerak, sehingga kerapkali menimbulkan gempa bumi besar. Misalnya gempa bumi yang terjadi di daerah tetangganya seperti Sarulla (1984) dan Tarutung (1987). Daerah vulkanis aktif ditunjukkan dengan adanya gunung api strato Sorik Merapi (2145 meter dpl) di Kabupaten Madina yang pernah meletus pada tahun 21 Mei 1892 yang mengakibatkan 180 orang meninggal dunia di Kampung Sibangor dan terakhir pada tahun 1980-an. Kombinasi curah hujan yang tinggi, dominasi kemiringan lereng > 40%, kondisi topografi yang umumnya perbukitan dan pegunungan, terletak di daerah vulkanis aktif dengan kondisi geologis yang labil, jenis tanah yang peka erosi menjadikan eksistensi hutan alam di Kabupaten Madina, khususnya TNBG semakin krusial untuk dilindungi dan dilestarikan guna terjaganya sistim penyangga kehidupan, terutama perannya sebagai pencegah bencana alam. Jikalau bencana geologik datang bersamaan dengan bencana yang diakibatkan rusaknya hutan alam TNBG, tentunya berakibat meningkatnya resiko jumlah korban dan dampak 23 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
kerusakan yang ditimbulkan. Hal ini dapat dirujuk tingginya jumlah dan dampak kerusakan, akibat bencana tsunami yang terjadi bersamaan dengan kehancuran hutan bakau dan hutan pantai di Provinsi NAD yang berperan sebagai pemecah ombak dan penghalang laju gelombang tsunami. Kebutuhan biaya pemulihan bencana alam oleh pemerintah daerah tentunya akan mengalokakasikan investasi sektor-sektor produktif masyarakat Kabupaten Madina kepada usaha pemulihan bencana yang tidak bersifat non produktif. Bagi masyarakat luas di Kabupaten Madina, dana yang seharusnya dialokasikan untuk investai usaha produktif, perbaikan kualitas pendidikan, tempat tinggal dan kesehatan, peningkatan gizi keluarga, biaya pendidikan akan berubah aktivitasnya kepada aktivitas renovasi kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam. Dampak ini merupakan beban berat bagi masyarakat yang tergolong ke dalam keluarga miskin yang jumlah 80.200 jiwa dan desa-desa tertinggal yang jumlahnya 86 desa dari 335 desa di Kabupaten Madina. Hal yang sama akan dialami oleh Pemerintah Kabupaten Madina. Terjadinya bencana alam akan sangat membebani sekaligus mengeluarkan biaya mubazir dan memboroskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pemborosan beban yang berat pada APBD tersebut mencakup dua permasalahan. Pertama, akan terjadi perubahan alokasi belanja dari sektorsektor produktif atau pengeluaran pembangunan kepada biaya pemulihan paska bencana alam. Kedua, Pemerintah Kabupaten Madina akan memperoleh kesulitan untuk memperoleh sumber pembiayaan pemulihan bencana alam. Analisis terhadap APBD Kabupaten Madina Tahun 2006 menunjukan bahwa pengeluaran anggaran rutin lebih besar nilainya daripada pengeluaran pembangunan. Hal ini mencerminkan beban anggaran belanja yang berat. Minimnya pengeluaran pembangunan menunjukan upaya perbaikan kualitas dan kuantitas pelayanan publik serta stimulasi pertumbuhan ekonomi daerah dihadapkan pada tantangan yang berat. Sementara itu pengeluaran rutin yang sebagian besar untuk pendanaan operasional pemerintahan hampir tidak mungkin dikurangi jumlahnya. Dampak dari kondisi APBD tersebut, apabila terjadi bencana alam, Pemerintah Kabupaten Madina tentunya akan terpaksa mengalokasikan belanja dari pengeluaran pembangunan dengan alasan kemanusiaan kepada usaha-usaha pemulihan bencana alam. Hal tersebut semakin buruk, ketika Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagian Dana Perimbangan sulit ditingkatkan dan pengeluaran rutin tidak dapat dikurangi. Jikalau dibandingkan dengan PAD pada tahun 2005 yang nilainya Rp. 5,8 milyar lebih kecil daripada nilai ekonomi TNBG sebagai pencegah banjir, erosi dan longsor yang nilainya mencapai Rp. 24,8 milyar pertahun atau dibandingkan dengan nilai kerugian akibat terjadinya sekali banjir sebesar ratarata Rp. 9,5 milyar (nilai ini diperoleh dari beberapa contoh kasus di Indonesia). Hal ini menunjukan bahwa masalah yang akan dihadapi Pemerintah Kabupaten Madina, bukan hanya tidak efisiennya atau pemborosan anggaran belanja daerah, tetapi juga kesulitan untuk membiayai kerugian, penanggulangan dan pemulihan dampak bencana alam yang nilainya relatif besar dengan nilai PAD. Dari hasil valuasi ekonomi menunjukan, nilai manfaat ekonomi tidak langsung dari TNBG sebagai pencegah banjir, erosi, dan tanah longsor sebesar Rp 24.8 milyar per tahun, dengan 24 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
faktor diskonto 10 % dalam 25 tahun nilai (NPV) mencapai Rp 225 milyar. Ini berarti, bahwa dalam 25 tahun, Pemerintah Kabupaten dapat menghemat Rp. 225 milyar dengan tidak dikeluarkan pembiayaan “mubazir” untuk pemulihan bencana banjir, longsor dan erosi. Dari sisi manfaat TNBG sebagai kebutuhan air rumah tangga yang mencapai Rp 7 milyar pertahun dan dengan tingkat harga konstan dan faktor diskonto 10%, nilai ini (NPV) dalam jangka waktu 25 tahun mencapai Rp 63 milyar. Ini berarti, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Madina dalam 25 tahun dapat menghemat atau tidak mengalami kerugian Rp. 63 milyar dengan adanya manfaat TNBG sebagai penyimpan air secara alamiah. Efek negatif dari bencana alam akan lebih besar apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas dalam jangka waktu yang lama. Terjadinya bencana alam, tidak hanya mengganggu sektor pertanian, tetapi juga sektor ekonomi lainnya seperti sektor perdagangan, jasa, industri. Masyarakat akan mengalokasikan pendapatannya untuk pemulihan dan renovasi aset pribadi dan mungkin kehilangan sebagian pendapatannya, sehingga permintaan terhadap komoditas barang dan jasa juga menurun. Efek pengganda ini akan terus terjadi selama pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak melakukan intervensi yang tentu saja membutuhkan biaya tinggi. Selain itu sumber-sumber penerimaan PAD melalui pajak daerah, restribusi daerah yang selama ini ada juga akan berkurang yang disebabkan menurunnya volume dan intensitas kegiatan ekonomi masyarakat. Jadi disimpulkan bahwa di dalam komponen APBD, bukan hanya dari sisi belanja daerah saja yang terkena imbas bencana alam, tetapi dari juga dari sisi pendapatan asli daerah.
4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 4.1. Kesimpulan a. TNBG mempunyai nilai konservasi yang tinggi berskala global, karena kekayaan dan keunikan keanekaragaman hayati dan ekosistim serta jasa lingkungan penting lainnya yang terkandung di TNBG. Hal tersebut harus dilindungi dan dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya, karena menyangkut kelangsungan hajat hidup orang banyak lintas generasi. b. Kegiatan eksplorasi maupun rencana eksploitasi pertambangan emas dengan pola terbuka yang dilakukan PT. SMM / Sihayo Gold Ltd. di Kawasan TNBG dan Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Mandailing Natal akan menimbulkan dampak penting bagi kondisi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan TNBG serta masyarakat setempat yang mengambil manfaat ekonomi dari jasa lingkungan yang disediakan TNBG melalui keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan yang dikandungnya. c. Pemusnahan keanekaragaman hayati dan ekosistim TNBG akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan emas oleh PT. SMM / Sihayo Gold Ltd. akan mempunyai implikasi hukum yang serius, karena terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah diatur oleh peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Disamping itu akan menjadi sorotan dan isu internasional, karena Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. 25 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
d. Keseluruhan total nilai ekonomi ekosistem hutan alam di Kabupaten Madina, khususnya TNBG adalah Rp. 386,8 milyar pertahun. Nilai-nilai tersebut ada yang berpotensi positif dan ada yang berpotensi negatif terhadap kemanfaatan ekonomi jangka panjang. Nilai yang berpotensi positif meliputi nilai potensi ekowisata, nilai daerah aliran sungai, nilai simpanan karbon, dan nilai keanekaragaman hayati, sedangkan nilai yang berpotensi negatif seperti nilai hasil hutan kayu dan dan sumber daya mineral emas. e. Total nilai ekonomi subsidi ekologis merupakan kontribusi nyata, baik di dalam memperkuat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Madina dan penghematan APBD yang secara ekologis sangat tergantung dari eksistensi dan keutuhan ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Kontribusi yang dominan dari sektor pertanian terhadap struktur perekonomian Kabupaten Madina atau PDRB, maka subsidi ekologis TNBG tentu dapat mampu menjadikan proses pembangunan ekonomi lebih efisien, mampu tahan dan produktif dalam jangka panjang dan menjaga sumber-sumber penghidupan rakyat banyak di Kabupaten Madina yang didominasi oleh keluarga petani. f. Nilai manfaat ekonomi bersih dengan adanya pembentukan TNBG bernilai Rp.50 milyar pertahun. Dan nilai harus dipertahankan dan tidak dikorbankan untuk pemanfaatan kawasan yang bersifat ekstraktif-eksploitatif-jangka pendek, seperti pemanenan hasil hutan kayu dan sumber daya mineral emas. Nilai manfaat dari jasa lingkungan yang disediakan TNBG, jauh lebih tinggi dan lebih banyak disumbangkan kepada banyak pihak secara lintas generasi, jika dibandingkan dengan manfaat langsung yang sifatnya eksploitatif seperti hasil hutan kayu maupun manfaat alternatif berupa pertambangan emas. g. Subsidi ekologis yang disediakan oleh TNBG, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah menciptakan efisiensi atau penghematan APBD dengan tidak adanya pengeluaran biaya “mubazir” pemulihan bencana alam dan tidak dibutuhkannya “anggaran khusus” dalam APBD untuk menyediakan “sarana prarasana ekologis” sebagai kebutuhan utama dalam mendorong kegiatan perekonomian masyarakat di sektor pertanian, sehingga sumber-sumber penghidupan para keluarga petani lebih mampu tahan dan pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat. Proses penghematan ini sangat berarti dan penting sumbangannya dalam menciptakan suatu sistem pembiayaan Kabupaten Madina yang lebih berkelanjutan.
4.2
Rekomendasi kebijakan
a. Departemen Kehutanan harus dan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal harus konsisten terhadap pembentukan TNBG dengan tidak mengijinkan PT. Sorikmas Mining untuk melakukan kegiatan pertambangan emas secara terbuka maupun tertutup di Kawasan TNBG, karena pertimbangan nilai konservasi keanekaragaman hayati yang tinggi dan unik serta tinggi nilai kemanfaatan ekonominya dari kenberadaan jasa lingkungan bagi masyarakat luas. Disamping itu manfaat ekonomi bersih dan manfaat sosial dari Kawasan Taman Nasional lebih besar dibandingkan dengan eksploitasi pertambangan emas dan mempunyai keterkaitan yang tinggi dengan penguatan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi APBD Kabupaten Madina 26 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
5. REFERENSI Adisoemarto, S dan Rifa, M.A (Eds) 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Kantor Menteri Lingkungan Hidup dan Komphalindo, Jakarta Blockhus, J.M, Dillenbeck, Sayer, J.A and Wegge, P (Eds) 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forest. IUCN, Gland. Bronstein, J.L. 1992. Seed Predators as Mutualists: Ecology and Evolution of the Fig-Pollinator Interaction in Insect-Plant Interactions. Vol. IV, E. Bernays ed. Boca Raton, FL: CRC Press, pp.1–44. Cain, M. L., Milligan, B. G. and Strand, A. E. 2000. Long-distance seed dispersal in plant population. – Am. J. Bot. 87: 1217–1227. Conservation International – Indonesia, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, LIPI, Universitas Andalas,Universitas Syiah Kuala, and Wildlife Conservation Society. 2007. Priority Sites for Conservation in Sumatra: Key Biodiversity Areas. Jakarta, Indonesia. Conservation International .2008. Combating Illegal Logging and Improving Management and Governance in Protected Areas An Analysis of Forest Clearance for Batang Toru and Batang Gadis National Park, Indonesia2003-2007 Dew, LJ. 2001. Synecology and Seed Dispersal in Woolly Monkeys (Lagothrix lagotricha poeppigii) and Spider Monkeys (Ateles belzebuth belzebuth) in Parque Naçional Yasuní, Ecuador. Manuscript. Gillison, A.N. 2001. Vegetation Survey and Habitat Assesment of the Tesso Nilo Forest Complex. Technical Report. Pekanbaru. Hamilton, M. B. 1999. Tropical Tree Gene Flow and Seed Dispersal. – Nature 401: 129–130 Hilton-Taylor, C. (compiler) 2000. 2000 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Downloaded on 10 June 2002. Holmes, D.A. (1996): Sumatra Bird Report. Kukila 8: 9-56 Holmes, D. dan Rombang, W.M. 2001: Daerah Penting bagi Burung: Sumatera. PKA/BirdLife International Indonesia Programme, Bogor. Hovestadt. T, Yao P and Linsenmair KE. 1999. Seed Dispersal Mechanisms and the Vegetation of Forest Islands in a West African Forest-savanna Mosaic (Como´e National Park, Ivory Coast) Plant Ecology 144: 1– 25. Netherlands. IUCN .2004. IUCN Red List of Threatened Species www.redlist.org Kartawinata, K, Afriastini, J.J, Heriyanto, M and Samsoedin, I. 2004. A Tree Species Inventory in A OneHectare Plot at the Batang Gadis National Park, North Sumatra, Indonesia. Reinwardtia 12(2)_145 Laumounier, Y, Purnadjaja and Setiabudhi. 1986. Vegetation Map of Sumatra: Central Sumatra. ICTP and Seameo-Biotrop. Bogor Ledec, G and Goodland, R 1992. Harmonising Sustainable Development with Conservation of Wildlands. In Vijay, P.K and White, J (Eds). Conservation Biology. The Commonweath Science Council. London Lee, P. C., Thornback, J. and Bennett, E.L. 1988. Threatened Primates of Africa: The IUCN Red Data Book. Gland, Switzerland and Cambridge, U.K.
27 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas
MacArthur, RH and Wilson, EO. 1967 The Teory of Island Biogeography. Princenton University Press. Princeton. Midora, L, Perbatakusuma, EA, Widodo, ES, Sihombing, L, dan Ismoyo, B (2006) Total Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Di Kabupaten Mandailing Natal. Conservation International Indonesia, Pemerintah Kabupaten Mandaling Natal dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II. Laporan Final, Jakarta. Mittermeier, R, Gill P dan Goettsch- Mittermeier (1997) Megadiversity : Earths Bilogically Wealthist Nations. Conservation International – Cemex. Prado Norte. O‟Brien, T.G. dan Kinnaird, M.F (1996): Birds and Mammals of the Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Oryx 30(3): 207-217. Ouborg, N. J., Piquot, Y. and Van Groenendael, J. M. 1999. Population Genetics, Molecular Markers and the Study of Dispersal in Plants. – J. Ecol. 87: 551–568. Perbatakusuma, Erwin. A, Supriatna, Jatna, Wurjanto. Didi, Supriadi. Prie, Ismoyo. Budi, Wiratno, Sihombing. Luhut, Wijayanto. Iwan, Widodo.Erwin. S, Manullang. Barita O, Siregar. Safaruddin, Damanik. Abdulhamid dan Lubis. Abu, H. .2004. Bersama Membangun Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing – Natal dan Conservation International Indonesia. Jakarta. Perbatakusuma, EA, Wurjanto, D, Widodo ES, Daulay, AH dan Ismoyo, B 2006 . Taman Nasional Batang Gadis, Pertambangan di Hutan Lindung, dan Ancaman Arbitrase International : Kasus PT. Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal. Kertas Kebijakan Conservation International Indonesia. Medan Prawiradilaga, D. M., A. Suyanto, W. A. Noerdjito, A. Saim, Purwaningsih, I. Rachmatika, S. Susiarti, I. Sidik, A. Marakarmah, A. Mun‟im, M. H. Sinaga, E. Cholik, Ismail, M. Maharani, Y. Purwanto, dan E.. B. Waluyo. (2003): Survey Report on Biodiversity of Tesso Nilo. LIPI-WWF Indonesia. Tidak Dipublikasikan Reid, W.V 1992. How Many Species Will There Be? In Whitmore, T.C and Sayer J.A (Eds) Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman and Hall. London. Rijksen HD, Meijaard, Erik , Junaid, Hasrul and Dijkstra, B (2001) : The Angkola Wilderness : Siondop Batang Gadis Catchment Area. Proposal for Investigating the Feasibility of a Development Project. IFAW Technical Memorandum No. 3. Tidak Dipublikasikan Sweeting, AR and Clark AP (2000) : Lightening the Lode : A Guide to Responsible Large-sale Mining. Conservation International. Washington DC. Wich, S.A., I. Singleton, .S. Utami-Atmoko, M.L. Geuters, H.D. Rijksen and C.P. van Schaik. 2003. The Status of the Sumatera Orang-utan Pongo abelii and Update. Oryx Vol 37 No. 1 January 2003. Wind. J dan Rijksen, H. 1992. Keragaman Sumber Daya Alam Daerah Penyangga. Makalah pada Workshop Program Daerah Penyangga, Bogor. Whitmore TC. and Sayer JC. 1992. Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman & Hall. London.
28 Paper keanekaragaman hayati versus tambang emas