Energi dan Teknologi untuk Pertanian Industrial Berkelanjutan
Editor: Armansyah H. Tambunan I Wayan Darmawan
Energi dan Teknologi untuk Pertanian Industrial Berkelanjutan
Editor: Armansyah H. Tambunan I Wayan Darmawan
Penerbit IPB Press
IPB Science Park Taman Kencana,
Kota Bogor - Indonesia
C01/03.2017
Judul Buku: Energi dan Teknologi untuk Pertanian Industrial Berkelanjutan Penulis: Armansyah H. Tambunan Kamaruddin Abdullah Kudang Boro Seminar Suprihatin Erliza Noor I Wayan Darmawan Editor:
Armansyah H. Tambunan I Wayan Darmawan
Editor Tipografi: Helda Astika Siregar Penata Isi dan Desain Sampul: Ahmad Syahrul Fakhri Korektor: Atika Mayang Sari Robi Deslia Waldi Jumlah Halaman: 206 + 10 halaman romawi Edisi/Cetakan: Cetakan Pertama, Maret 2017 PT Penerbit IPB Press Anggota IKAPI IPB Science Techno Park Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128 Telp. 0251 - 8355 158 E-mail:
[email protected] ISBN: 978-602-440-047-7 Dicetak oleh IPB Press Printing, Bogor - Indonesia Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan © 2017, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
DAFTAR ISI Sambutan oleh Rektor IPB...................................................vii Kata Pengantar oleh Ketua DGB IPB...............................ix I
PROLOG Armansyah H. Tambunan.........................................................xi
II
PENERAPAN ENERGI SURYA DALAM PROSES TERMAL PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN Kamaruddin Abdullah................................................................3
III
EKSERGI DAN ENERGI PERTANIAN: Perspektif Termodinamika dalam Pemanfaatan Energi Terbarukan Armansyah H. Tambunan........................................................33
IV
SISTEM PERTANIAN PRESISI DAN SISTEM PELACAKAN RANTAI PRODUKSI UNTUK MEWUJUDKAN AGROINDUSTRI BERKELANJUTAN Kudang Boro Seminar...............................................................59
V
TEKNOLOGI HIJAU DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN INDUSTRI BERKELANJUTAN Suprihatin...................................................................................97
VI PROSES HILIR DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN NILAI TAMBAH PRODUK AGROINDUSTRI Erliza Noor...............................................................................139 VII REKAYASA MATA PISAU GERGAJI MENUJU
PROSES PENGERJAAN KAYU BERKUALITAS DAN RAMAH LINGKUNGAN I Wayan Darmawan.................................................................171
VIII EPILOG.....................................................................................205
SAMBUTAN REKTOR IPB Kami menyambut dengan gembira terbitnya buku buku Seri Pemikiran Guru Besar yang memuat naskah-naskah orasi ilmiah Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan topik ‘Energi dan Teknologi untuk Pertanian Industrial Berkelanjutan’. Prakarsa penerbitan buku ini sejalan dengan upaya IPB untuk terus-menerus meningkatkan sumbangan pemikiran bagi pembangunan nasional. Naskah dalam buku ini tidak hanya memuat temuan-temuan dari hasil penelitian ilmiah, tetapi berbagai rekomendasi nyata yang langsung bisa diimplementasikan dalam masyarakat maupun industri. Kami berharap bahwa berbagai temuan hasil riset yang disajikan dalam buku ini dapat dikembangkan lebih lanjut dalam berbagai penelitian di masa yang akan datang. Adapun hasil-hasil penelitian yang telah siap diimplementasikan, baik dalam dunia industri, rumah tangga, ataupun dalam perumusan kebijakan publik, kami harapkan dapat menyumbangkan nilai guna dan manfaat yang besar bagi masyarakat luas. Dalam konteks ini, kami sangat mendorong komunikasi dan kerja sama yang nyata antara para akademisi, pelaku bisnis, dan penyusun kebijakan publik yang dikenal sebagai segi tiga ABG (academia, business, and government). Tanpa komunikasi dan kerja sama yang baik di antara tiga kelompok pelaku tersebut mustahil dihasilkan nilai tambah yang bermanfaat besar bagi masyarakat luas. Dalam kesempatan ini, kami menyampaikan penghargaan setinggitingginya kepada Dewan Guru Besar IPB yang telah memprakarsai penerbitan seri buku ini. Kami yakin bahwa sinergi di antara empat pilar institusi, yakni Rektor, Majelis Wali Amanat, Senat Akademis, dan Dewan Guru Besar secara berkelanjutan dapat terus ditingkatkan sehingga terwujudlah IPB sebagaimana yang dicita-citakan oleh semua pemangku kepentingannya. Bogor, Desember 2016 Rektor,
Prof. Dr. Ir. Herry Suhardianto, M.Sc. NIP. 19590910 198503 1 003
KATA PENGANTAR KETUA DEWAN GURU BESAR INSTITUT PERTANIAN BOGOR Jumlah guru besar IPB dari waktu ke waktu bertambah. Dalam lima tahun terakhir ini setiap tahun ada tambahan yang cukup bervariasi, yakni 16, 26, 16, 2, dan guru besar. Pada Desember 2016 IPB mempunyai 216 guru besar aktif dan 25 guru besar emeritus. Secara relatif, jumlah tersebut cukup besar. Namun, nisbah jumlah guru besar jika dibandingkan jumlah mahasiwa di IPB masih perlu terus diperbaiki, yakni 1:120. Kualitas karya guru besar antara lain dapat diukur berdasarkan gagasangagasan yang dihasilkan yang lazimnya dituangkan dalam berbagai karya tulis, baik yang bersifat ilmiah yang terbit sebagai artikel jurnal ataupun yang populer yang terbit dalam media untuk masyarakat umum. Di IPB seiap guru besar didorong untuk menyampaikan orasi ilmiah. Naskah orasi ilmiah tersebut lazimnya memuat rangkuman gagasangagasan guru besar yang bersangkutan, baik yang pernah terbit ataupun yang tengah dipersiapkan. Buku kumpulan naskah orasi ilmiah ini diterbitkan dengan maksud untuk memperluas jangkauan sidang pembacanya. Seri Pemikiran Guru Besar ini tercakup dalam bidang Energi dan Teknologi sesuai dengan spektrum kepakaran para Guru Besar IPB. Perlu dipahami bahwa rentang waktu penulisan naskah-naskah orasi ini cukup panjang. Dengan demikian, para pembaca perlu menyadari bahwa konteks permasalahan untuk setiap naskah orasi dapat berbeda-beda sesuai dengan perkembangan situasi saat setiap naskah tersebut disusun. Kepada Rektor, para penulis, editor, dan pihak PT IPB Press disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga penerbitan buku ini memperluas wawasan sidang pembaca dan meningkatkan kualitas wacana publik tentang berbagai tema yang berkembang dalam masyarakat. Bogor, Desember 2016 Ketua, Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS. NIP. 19641124 198903 1 004
BAB I Prolog Armansyah H. Tambunan Permintaan yang meningkat pesat terhadap hasil pertanian, baik untuk pangan, pakan, papan, bahan baku energi, dan bahan baku industri lainnya, menyebabkan tingginya perhatian terhadap produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas akan sulit dicapai tanpa peralihan pola pertanian dari pertanian tradisional ke pertanian industrial. Perbedaan keduanya sangat dipengaruhi oleh teknologi maju dengan lebih intensif. Di beberapa negara maju, seperti Jepang, negara-negara Eropa, dan Amerika Serikat, pertanian industrial sudah diterapkan dengan menggunakan teknologi robotik, penginderaan, pencitraan, dan Global Positioning Satelite (GPS). Teknologi maju tersebut bersamasama dengan pertanian presisi dan robotik memungkinkan bisnis di bidang pertanian semakin menguntungkan. Masa depan, penerapan pola pertanian industrial ini akan semakin berkembang, dan diperkirakan akan menarik lebih banyak investasi ke sektor pertanian dibandingkan saat ini. Selain produktivitas yang lebih tinggi, pola pertanian industrial diharapkan juga mampu mengurangi penggunaan air, pupuk, dan pestisida yang pada gilirannya dapat menurunkan biaya produksi, mengurangi dampak terhadap ekosistem alam, dan meningkatkan keamanan kerja petani. Secara keseluruhan, pola pertanian seperti ini dapat disebut sebagai pertanian industrial berkelanjutan, karena memenuhi tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi (teknologi), ekologi, dan sosial. Selanjutnya, intensitas penggunaan teknologi berkaitan sangat erat dengan penggunaan energi secara intensif. Ketidakpastian mengenai pasokan dan harga energi yang terjadi belakangan ini menyebabkan energi menjadi salah satu faktor yang paling menentukan biaya produksi. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang lebih efisien energi dan teknologi yang memanfaatkan energi terbarukan menjadi salah satu kebutuhan dalam pengembangan pertanian industrial berkelanjutan. Meski belum sepenuhnya diterapkan, pertanian di Indonesia juga sedang bergerak menuju pertanian industrial. Untuk mendukung perkembangan pertanian industrial di Indonesia perlu dilakukan beberapa hal, seperti:
(1) penelitian dasar hingga pengembangan di bidang fisika, keteknikan, dan ilmu komputer; (2) pengembangan peralatan, sensor, dan sistem; (3) kajian penerapan teknologi secara ekonomis dan ekologis tanpa mengakibatkan gejolak yang tidak diinginkan pada aktivitas yang sedang berlangsung. Buku ini merupakan kumpulan naskah Orasi Ilmiah Guru Besar IPB yang membahas mengenai berbagai aspek energi dan teknologi yang berkaitan dengan pertanian industrial berkelanjutan. Pada Bab II, Prof. Kamaruddin Abdullah menyajikan uraian dan hasil-hasil penelitian mengenai pengembangan dan penerapan energi surya untuk proses termal pengolahan hasil pertanian, seperti untuk pengeringan dan pendinginan. Bab III menguraikan topik eksergi dan energi pertanian dari perspektif termodinamika dan pemanfaatan energi terbarukan. Pada bab ini, Prof. Armansyah H Tambunan menjelaskan kelemahan pernyataan umum mengenai ‘krisis energi’ yang kemudian dikoreksi menjadi ‘krisis eksergi’ dengan dasar hukum termodinamika pertama dan kedua, dilanjutkan dengan penerapan analisis eksergi pada berbagai proses termal pengolahan hasil pertanian dan konversi energi terbarukan. Pada Bab IV, Prof. Kudang B, pada seminar menguraikan sistem pertanian presisi dari hulu hingga hilir, serta sistem pelacakan rantai produksi untuk mewujudkan agroindustry berkelanjutan. Selanjutnya, pada Bab V, Prof. Suprihatin memberi uraian tentang teknologi hijau dalam perspektif pembangunan berkelanjutan. Proses hilir dalam peningkatan kualitas dan nilai tambah produk agroindustri diuraikan oleh Prof. Erliza Noor pada Bab VI. Pada Bab VII, Prof. Wayan Darmawan menjelaskan hasil penelitiannya mengenai rekayasa mata pisau gergaji menuju proses pengerjaan kayu berkualitas dan ramah lingkungan yang merupakan pengembangan teknologi peralatan, khususnya untuk pengolahan hasil hutan. Bab-bab pada buku ini disusun berdasarkan pengelompokan topik energi dan teknologi, serta lebih lanjut berdasarkan sistem teknologi, teknologi proses, dan teknologi peralatan. Meskipun demikian, karena pada hakekatnya masing-masing bab merupakan uraian yang terpisah, pembaca dapat memulai membaca dari bab yang diinginkan atau hanya membaca beberapa bab dari keseluruhan.
2
BAB II PENERAPAN ENERGI SURYA DALAM PROSES TERMAL PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN1 Kamaruddin Abdullah2
Pendahuluan Baru-baru ini Gustav Grob (1996) menekankan lagi prediksi Club of Rome di awal tahun 1970-an bahwa bahan bakar fosil yang sifatnya mencemarkan lingkungan, kian berkurang keberadaannya dan dalam waktu dekat akan diganti oleh sumber energi terbarukan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yang meliputi sumber-sumber energi surya, biomassa, angin, hidro, energi samudra, panas bumi, dan lainlain. Ketergantungan kita atas bahan bakar fosil mungkin akan berlanjut sampai beberapa dekade lagi tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil dari apa yang dikonsumsikan sebelum tahun 2000 seperti terlihat pada Gambar 2.1. Penggunaan energi fosil saat ini dan menjelang tahun 2000, diperkirakan akan terus meningkat dengan jumlah penduduk dunia, yang memerlukan pangan dan kesejahteraan serta kualitas hidup yang lebih baik, yang hanya dapat dipenuhi dengan pemacuan proses industrialisasi. Sebagai konsekuensinya diperlukan peningkatan jumlah konsumsi energi yang merupakan motor penggerak industrialisasi tersebut. Sejauh mana pengurangan konsumsi bahan bakar fosil terjadi sejak tahun 2000 nanti tergantung kepada kesadaran kita terhadap masalah serta dampak pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pemakaian bahan bakar fosil tersebut dan perkembangan hasil teknologi energi alternatif.
1 Naskah Orasi Ilmiah Guru Besar; 7 September 1996 2 Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian IPB
Gambar 2.1 Transisi menuju penggunaan energi terbarukan
(Grob G 1966)
Gambar 2.2 Kurva Hubbert produksi BBM untuk Indonesia (Foell 1983) Untuk Indonesia, Foell (1983) telah membuat prediksi tentang keberadaan BBM dengan menggunakan metode analisis Hubbert. Hasil dugaan adalah seperti pada Gambar 2.2 untuk dua kondisi pendugaan potensi BBM di perut bumi kita pada tahun 1930, yaitu yang pertama dinyatakan dalam Q1 untuk cadangan BBM sebesar 30 miliar barrel dan
4
Q2 sebesar 40 miliar barrel. Bila dibandingkan prediksi Foell (1983) dengan data produksi tahunan BBM kita diketahuhi bahwa perkiraan potensi cadangan BBM cenderung berada pada kondisi Q1 dan terus menurun menjelang tahun 2010. Hasil prediksi ini kelihatannya sesuai dengan hasil studi MARKAL, AEEMTRC, dan lain-lain (Harijono 1995), di mana diperkirakan bahwa Indonesia pada tahun tersebut akan menjadi negara pengimpor minyak netto. Masalah lain yang perlu pula diantisipasi secara dini menjelang abad 21 adalah masalah penyediaan pangan. Nitta (1996) seorang peneliti Jepang pada the Central Research Institute of Electric Power Industry, Tokyo dan juga adalah pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Keio dan Meiji telah mencoba melakukan perhitungan sederhana tentang kebutuhan pangan dan energi dunia. Ia melakukan perhitungan kebutuhan pangan dan energi tersebut untuk kondisi di mana laju pertumbuhan penduduk dunia sama dengan nol. Perhitungannya lebih lanjut didasarkan atas data yang tersedia dari berbagai negara yang meliputi kebutuhan pangan, pupuk, luas lahan pertanian, dan konsumsi energi. Bila diasumsikan bahwa rata-rata manusia mengonsumsikan pangan sebesar 2600 kkal per hari di mana 1/4 darinya berasal dari daging ayam dan sisanya dari serealia. Karena sekitar 1/3 dari energi serealia yang dimakan ayam, diubah menjadi daging dan bila 100 g serealia mengandung 250 kkal energi maka manusia akan mengonsumsikan sekitar 780 g per hari per orang. Dari 1/4 kalori yang dikonsumsikan dari ayam tersebut kebutuhan akan serealia menjadi setara dengan 780 kg per orang sehingga total kebutuhan akan serealia menjadi 1.580 g per hari per orang atau setara dengan 750 kg per orang per tahun. Dengan mengasumsikan rata-rata lahan menghasilkan serealia 4 ton/ha, Nitta akhirnya mendapatkan nilai kebutuhan lahan untuk memproduksikan serealia seluas 0.14 ha per orang. Berdasarkan hasil ini maka kebutuhan luas lahan untuk memberi makan penduduk dunia yang diperkirakan akan mencapai 10 miliar dalam tahun 2050 menjadi 14 juta km2 mendekati luas lahan pertanian saat ini yaitu seluas 14.4 juta km2. Dari data kebutuhan energi per orang sebesar 2.7 ton SBM (Setara Barel Minyak yang berasal dari berbagai sumber energi termasuk listrik, surya, angin, hidro, dan lain-lain) yang bila dikalikan dengan jumlah
5
penduduk dunia saat ini yaitu 5.6 miliar orang Nitta mendapatkan nilai kebutuhan energi sebesar 15.1 miliar ton SBM atau sekitar 1.9 kali dari konsumsi minyak saat ini. Dari kedua kenyataan di atas ternyata, dunia saat ini telah mengalami masalah krisis pangan dan energi, dua unsur pokok untuk mendukung kehidupan di dunia. Karena itu seyogianya, segala upaya pengembangan energi alternatif termasuk energi surya perlu dipacu lebih giat lagi dan dibarengi oleh pengembangan sektor pertanian. Untuk itu kerja sama berbagai pihak baik pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta untuk menanggulangi masalah tersebut, perlu segera dilaksanakan secara serius dan konsisten demi berlanjutnya kehidupan di muka bumi ini.
Potensi Energi Surya Energi surya merupakan salah satu energi alternatif yang potensial untuk dikembangkan karena merupakan sumber utama (asal) dari hampir seluruh sumber energi di dunia (Hutchinson 1950) yang melalui berbagai proses penyampaiannya ke bumi dapat dimanfaatkan secara langsung atau melalui proses konversi alami menjadi energi terbarukan lain seperti energi angin, hidro, biomassa, otot (ternak). Energi surya merupakan hasil proses pembangkitan energi nuklir fusi di mana hidrogen diubah menjadi helium dengan laju sekitar 700 juta ton/detik. Dalam proses pembentukan helium tersebut matahari memancarkan energi elektromagnetik ke seluruh jagat raya dan mencapai bumi dalam waktu hanya 8 menit. Dari jumlah energi yang dipancarkan tersebut tiap tahun bumi kita menerima sebesar 3.200 Q (9,4 X 1011 GWh). Dalam perjalanannya ke bumi sebagian dari energi tersebut diserap gas CO2 dan H2O dan gas lainnya yang berada di angkasa sehingga yang dapat diterima di negara kita adalah sekitar 4.5 kEh/m2/hari. Dengan luas daratan sekitar 1,9 juta km2 maka negara kita menerima 4.5 kWh/ m2 x 365/2(hari/th) x 1.9 x 1012 m2 = 1560 x 1012 kWh/tahun atau setara dengan 192.000 juta SBM jauh lebih besar dari total konsumsi energi komersial kita saat ini yang diperkirakan berjumlah sekitar 210 juta SBM/tahun. Mengingat potensinya yang besar serta ketersediaannya hampir di seluruh pelosok bumi, terutama pada siang hari dan hari cerah serta tanpa memerlukan alat angkut khusus maka pemanfaatan energi surya sejak lama telah dianjurkan oleh para peneliti dunia dan badan internasional seperti PBB termasuk Indonesia. Di negara kita, 6
pemanfaatan energi surya sudah merupakan komitmen nasional seperti tertuang dalam buku Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1992. Energi surya dapat dimanfaatkan secara langsung untuk berbagai proses termal tetapi dapat pula dikonversikan menjadi tenaga listrik untuk penerangan dan pemompaan air atau menguraikan air menjadi hidrogen dan oksigen yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar yang akrab lingkungan. Aplikasi energi surya untuk pengolahan hasil pertanian sudah banyak dilakukan orang tetapi sampai saat ini hasil dari penelitian ini masih belum begitu menonjol dan belum banyak dimanfaatkan secara komersial. Berikut ini saya ingin mengemukakan beberapa pengalaman saya dalam upaya menerapkan energi surya, yang sangat potensial ini untuk proses termal pengolahan hasil pertanian. Masalah ini masih terus menjadi topik penelitian saya dan saya harap nantinya dapat diteruskan oleh mahasiswa bimbingan maupun rekan sejawat yang berkecimpung dalam bidang Teknik Pertanian.
Proses Termal Pengolahan Hasil Pertanian Proses pengeringan dan pendinginan merupakan dua proses termal yang populer dilakukan di daerah produsen hasil pertanian. Tujuan utama dari proses pengolahan hasil pertanian ini adalah untuk menciptakan kondisi produk agar nantinya dapat disimpan lama baik untuk tujuan konsumsi, produksi, maupun perdagangan. Tanpa pengeringan dan pendinginan hasil pertanian yang telah dipanen akan mudah busuk atau berjamur dan berkecambah terlebih mengingat kondisi negara kita yang sepanjang tahun berada pada suhu dan RH yang cocok bagi kehidupan jasad renik atau serangga yang merusak. Akan sia-sialah usaha pertanian yang penuh risiko itu apabila hasil panen yang telah diupayakan menjadi tidak bisa dikonsumsi atau dijual. Apalagi sebagian dari hasil yang dipanen tersebut harus dijadikan bibit untuk tanaman berikutnya sehingga usaha pertanian dapat berkelanjutan. Pengeringan adalah suatu proses penghilangan kandungan air dalam bahan melalui penambahan panas sehingga air yang berada dalam bahan menguap sampai pada kadar air tertentu yang aman bagi serangan jamur dan penyakit. Pendinginan adalah proses pengkondisian udara di 7
sekitar produk yang disimpan sehingga suhu dan RH mencapai kondisi tertentu yang dapat menghalangi proses pembusukan karena kegiatan enzimatik dalam bahan. Agar energi surya dapat kita manfaatkan secara efisien dan efektif untuk proses termal diperlukan suatu sistem yang dapat menangkap energi ini untuk kemudian dikonversikan menjadi energi termal pada tingkat suhu tertentu yang dibutuhkan untuk menjalankan proses pengeringan ataupun proses pendinginan. Selama ini dan sejak zaman purbakala energi surya telah digunakan untuk tujuan pengeringan, yaitu dengan cara meletakkan bahan yang akan dikeringkan di tengah terik matahari. Dengan cara demikian, energi surya yang berupa gelombang elektromagnetik dengan radiasi maksimum pada panjang gelombang sekitar 0,5μm menggerakkan partikel bahan termasuk kandungan airnya sehingga bahan menjadi panas dan bila tercapai tingkat energi tertentu, air akan menguap dari dalam bahan. Kelemahan dari cara penjemuran langsung ini adalah kita tidak dapat mengatur suhu sesuai dengan tingkat suhu optimum bagi produk tertentu. Selain itu, bahan yang dijemur langsung, akan terkontaminasi dengan kotoran dan juga mudah dijangkau burung, ayam, dan lain-lain. Karena itu, cara pemanfaatan energi surya yang lebih baik adalah menangkap dan mengumpulkannya dengan cara tertentu, kemudian diatur sedemikian rupa dan dimanfaatkan untuk pemanasan udara pengering sampai mencapai suhu yang sesuai dengan tingkat suhu optimal bagi proses pengeringan. Di samping itu agar pemanfaatannya dapat dilaksanakan sepanjang waktu, baik siang maupun malam atau pada cuaca hujan dan mendung diperlukan kombinasi sistem pemanfaatan dengan sumber energi lain seperti energi biomassa yang banyak terdapat di negara kita. Terdapat beberapa metode pemanfaatan energi surya untuk tujuan pendinginan. Hal yang sering dianjurkan untuk penggunaan di daerah produsen hasil pertanian di pedesaan adalah dengan menggunakan sistem pendingin tipe absorpsi di mana kombinasi NH3-H2O merupakan kombinasi yang sangat memungkinkan diterapkan di negara kita. Beberapa kombinasi larutan lain yang kurang toksik, tidak menghasilkan bahan yang merusak lapisan ozon dan dapat beroperasi pada tekanan mendekati tekanan atmosfir dan tidak korosif masih terus dikembangkan. Air murni yang dikombinasikan dengan LiBr dapat pula menghasilkan suhu evaporator moderat yang sesuai dengan kondisi suhu bagi banyak hasil pertanian tropis seperti buah-buahan dan sayuran. 8
Optimasi dan simulasi sistem termal bertujuan untuk menekan biaya konstruksi alat dan untuk mendapatkan cara operasi sistem yang diinginkan. Untuk tujuan tersebut, sangat mutlak diperlukan data dasar yang merupakan sifat intrinsik dari bahan hasil pertanian yang kita sebut sebagai sifat termofisik. Sifat termofisik di sini diartikan sebagai karakteristik fisik dari bahan berupa ukuran, bentuk, luas permukaan, volume, kerapatan, dan lain-lain. Kesemuanya ini bersama dengan sifat termal yaitu sifat bahan dalam menyimpan dan menghantarkan panas seperti panas jenis Cp, konduktivitas panas k, difusivitas panas, panas laten, koefisien pindah panas dan lain-lain. sangat berguna untuk tujuan rancang bangun serta operasi proses termal seperti pada proses pengeringan, pendinginan, dan pembekuan hasil pertanian. Dengan diketahuinya sifat termofisik ini dapat pula disusun standardisasi komoditas hasil pertanian untuk tujuan perdagangan, baik untuk keperluan domestik maupun internasional. Berikut ini saya akan menjelaskan metode pengukuran sifat termofisik hasil pertanian yang telah saya coba rintis dan kembangkan bersama rekan-rekan dan mahasiswa di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB sejak saya diterima sebagai dosen sekembalinya dari Jepang.
Proses perpindahan massa dalam bahan Bahan pertanian mempunyai bentuk dan struktur yang beragam. Karena itu setiap bahan pertanian mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menguapkan air atau mengubah suhunya bila ada perlakuan pemanasan dari luar. Walaupun demikian, ada beberapa bentuk dasar yang dapat mewakili bentuk-bentuk yang ada yaitu bentuk bola, silinder berhingga, lempeng dan lain-lain. Penentuan dan teknik pengukuan sifat termofisik bahan pertanian dimulai dengan pertama-tama menyusun persamaan kesetimbangan massa dan energi dalam bahan. Dari persamaan yang terbentuk diberikan kondisi awal dan kondisi batas tertentu yang dapat diciptakan oleh peralatan ukur yang ingin kita ciptakan, umpamanya, suhu dan RH yang konstan di sekitar bahan. Dengan pemecahan benar dan numerik dari persamaan yang tersusun akan diketahui parameter apa lagi yang perlu diukur untuk dapat menentukan nilai sifat termofisik atau sifat transport bahan pertanian. Berikut ini secara rinci akan dijelaskan prosedur pengukuran yang telah dikembangkan selama ini.
9
Persamaan pindah massa Bila kita perhatikan biji-bijian berbentuk bulat yang berada dalam bak pengering pada berbagai rancangan sistem pengering energi surya seperti pada Gambar A1 sampai A5 di Lampiran, maka model perpindahan massa dari dalam bahan dapat diasumsikan untuk berlangsung seperti pada Gambar 2.3. Suhu tinggi dan RH rendah yang dibawa oleh udara pengering membuat gradien konsentrasi kandungan kadar air antara pusat dan bagian luar bahan yang akan membuat kandungan air yang ada dalam bahan bergerak menguap keluar dari bahan. Dengan dialirkannya udara pengering dengan suhu tinggi dan RH rendah tersebut maka proses pengeringan atau perpindahan massa akan berjalan secara terus menerus sampai kadar air yang diinginkan oleh persyaratan perdagangan atau penyimpanan tercapai.
Gambar 2.3 Pengeringan benda bulat Secara umum persamaan satu dimensi kesetimbangan massa dalam berbagai geometri benda padat homogen dan isotropik seperti bentuk lempeng, bola, dan silinder serta mengikuti kaidah Fick berlaku hubungan berikut (Bird et al. 1960; Carslaw and Jaeger 1971; Crank 1975; Henderson dan Perry 1976). ∂M = D∇ 2 M ∂t
[1]
Di mana ∇ 2 merupakan operator yang dinyatakan oleh
10
∇2 =
∂2 ∂x 2
+
∂2 ∂y 2
+
∂2 ∂z12
[2]
untuk koordinat segiempat (cartesian) dan untuk kordinat silinder ∇
2
∂2
∂2 1 ∂ ∂2 = + + + r ∂r ∂r 2 ∂z 2 ∂∂j Φ22
[3]
dan untuk koordinat bola 2 ∇ =
∂2 ∂r 2
+
∂2 2 ∂ ∂2 + + 2 r 2 ∂r ∂z 2 ∂∂jΦ2
[4]
Bila kondisi awal dan kondisi batas Kondisi awal: t=0, M=Mo pada 0
[5]
Kondisi batas: t≥0, M=Me pada y=±b
[6]
Dari persamaan dasar yaitu persamaan [1] dan dengan menerapkan kondisi awal persamaan [5] dan kondisi batas persamaan [6] di atas maka pemecahan untuk kadar air rata-rata dalam bahan berbentuk lempeng dengan tebal 2b dapat dinyatakan sebagai berikut. [7] Henderson dan Perry (1976) menyederhanakan persamaan [6] menjadi bentuk berikut
[8]
Dan Nishiyama (1974) mengajukan bentuk
[9] [10]
11
di mana A (m2) adalah luas permukaan biji, Dv difusivitas termal m2/ det. (dan V adalah volume biji (m3). Pemecahan benar untuk benda padat berbentuk bola dan silinder dengan radius R untuk kondisi awal dan kondisi batas Kondisi awal: t=0, M=Mo pada 0
[11]
Kondisi batas: t≥0, M=Me pada r=±R
[12]
Adalah seperti persamaan [13] untuk rata-rata kadar air bola
[13]
Yang dapat pula diduga dengan persamaan Nishiyama (1974)
[14]
sedangkan untuk silinder tak berhingga di mana pengeringan hanya berlangsung ke arah radial kadar air rata-ratanya menjadi
[15]
Disini αn adalah akar-akar positif dari fungsi Bessel jenis 1 ordo 0 (Jo (R αn)). J1 adalah fungsi Bessel jenis pertama ordo 1. Dari persamaanpersamaan yang terbentuk tadi terlihat jelas kaitan antara parameter termofisik seperti Dv, ukuran bahan, kadar air awal, dan kadar air kesetimbangan yang memengaruhi laju penurunan kadar air dalam bahan. Mengingat bentuknya beragam dan kompleks tersebut, maka sering kali untuk menyederhanakan masalah biasanya lapisan tumpukan bahan yang dikeringkan dianggap sebagai lempeng tipis tak berhingga bagaimana pun bentuk individu dari bahan tersebut (Henderson dan Perry 1976).
12
Penentuan parameter pengeringan Untuk merancang dan membuat alat pengukur sifat termofisik bahan ini saya telah dibantu oleh mahasiswa bimbingan. Salah satu hasil rancangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4. Dengan alat ini dapat dilakukan percobaan lapisan tipis ataupun tebal yang diperlukan untuk menentukan berbagai parameter pengeringan seperti kadar air kesetimbangan Me, konstanta pengeringan k atau Dv, koefisien pindah panas dalam tumpukan biji-bijian hm, penurunan tekanan udara melalui tumpukan biji-bijian, ∆P/L, dan lain-lain. Dengan menggunakan teknik Newton-Raphson, metode beda kuadrat terkecil maka nilai-nilai parameter pengeringan dapat ditentukan. Untuk penentuan koefisien pindah panas efektif dalam tumpukan dapat digunakan berbagai metode antara lain dengan metode analisis dimensi Dow dan Jacob (1957), analisis pindah panas dalam tumpukan tebal yang dilakukan oleh Bird dkk (Bird et al. 1960). Nilai panas laten diukur setelah diketahui nilai Me pada berbagai kondisi suhu dan RH, seperti dikemukakan oleh Hall (1980). Selain pengukuran sifat termofisik biji-bijian, dapat pula dilakukan hal yang sama untuk buah-buahan atau sayuran dalam upaya diversifikasi peluang dan pengembangan agribisnis yang sebenarnya sudah lama dikembangkan negara lain.
Gambar 2.4 Peralatan untuk mengukur parameter pengeringan
13
Dengan menggunakan teknik ini sudah banyak pengukuran dilakukan bersama mahasiswa bimbingan baik pada tingkat sarjana maupun pascasarjana. Hasil pengukuran parameter pengeringan untuk beberapa komoditas pertanian disajikan pada Tabel 1 di Lampiran B. Dalam upaya meningkatkan ketepatan pendugaan perubahan kadar air dalam bahan, penentuan parameter Dv yang sesungguhnya merupakan topik penelitian yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Untuk itu, analisis dengan teknik elemen hingga mungkin merupakan salah satu metode yang dapat dianjurkan. Sejalan dengan hal tersebut pengukuran parameter geometris yang kompleks dari bahan pertanian dengan menggunakan metode “digital image processing” dapat pula mulai dikerjakan. Pengkajian yang lebih mikro melalui metode terakhir ini, dengan memperhitungkan nilai Dv yang mungkin berbeda tergantung kepada arah penguapan diharapkan dapat menerangkan bentuk struktur bahan ditinjau dari proses termal dan perpindahan massa secara lebih akurat sehingga pencegahan kehilangan kandungan gizi dan zat berguna dalam bahan pada proses pengeringan dapat dilakukan. Dengan demikian kemungkinan untuk inovasi teknik dan teknologi pengeringan baru dapat diciptakan sesuai dengan tuntutan kebutuhan di masa yang akan datang. Di samping untuk menduga kadar air dalam bahan, persamaan pindah massa mempunyai analogi dengan persamaan dasar distribusi suhu dalam bahan pertanian di mana untuk proses perpindahan panas koefisien proporsionalitas α, yaitu koefisien difusivitas panas bahan yang akan berperan. Dengan mengetahui distribusi suhu dan kadar air dalam bahan maka berbagai kemungkinan pengembangan teknologi untuk proses termal dapat dikaji. Adanya berbagai cara pengeringan dengan suhu tinggi dan waktu cepat, umpamanya, yang diperlukan untuk memberantas jamur dan jasad renik pada biji-bijian sangat memerlukan pengetahuan distribusi suhu yang akurat sehingga suhu yang tinggi yang diterapkan tadi tidak sampai merusak bahan pertanian yang dikeringkan. Difusivitas Termal Seperti halnya biji-bijian banyak pula buah-buahan dan sayuran di negeri kita yang mempunyai berbagai bentuk geometri dari yang berbentuk bulat, lonjong, lempeng, dan sebagainya. Bahan-bahan ini 14
sangat memerlukan proses termal seperti pendinginan, pemanasan sebagai proses pascapanen yang berguna untuk mempertahankan mutu bahan, dan sebagainya. Pemanasan, berguna untuk membunuh cendawan atau bakteri yang nantinya akan merusak produk sedangkan pendinginan akan membantu mempertahankan daya simpan hasil pertanian tersebut. Dalam hal ini, difusivitas termal α, sangat berperan dalam menentukan laju dan magnitudo pemanasan dan pendinginan suatu bahan di samping data lainnya seperti koefisian pindah panas h. Dengan diketahuinya parameter ini maka energi yang diberikan dapat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat suhu yang dihasilkan, tidak akan merusak kualitas bahan atau produk yang mengalami proses termal. Model keseimbangan panas atau keseimbangan energi dalam benda padat dapat dinyatakan dengan persamaan berikut.
[16]
untuk bola persamaan [16] menjadi ∂T ∂t
= aα (
2 ∂T ∂ 2T .+ 2 . ) 2 ∂r r ∂r
[17]
atau bila ditentukan Θ=Tx r maka persamaan [17] menjadi sebagai berikut: ∂ 2Θ ∂Θ = aα ( 2 .) ∂t ∂r
[18]
Berbeda dengan biji-bijian yang ukurannya kecil buah-buahan dan sayuran mempunyai ukuran yang agak besar sehingga distribusi suhu dalam bahan dapat diukur umpamanya dengan termokopel, di samping suhu rata-rata sehingga pengecekan serta keabsahan nilai α yang diukur dapat diuji secara lebih meyakinkan. Mengingat keterbatasan peralatan di laboratorium kami selama ini maka beberapa metode sederhana telah dikembangkan untuk mendapatkan nilai dugaan α untuk beberapa komoditas penting di negara kita. Cara tersebut meliputi penentuan langsung nilai α dari persamaan [18] setelah diketahui data sebaran suhu terhadap waktu T dan jarak dari pusat bahan r, untuk bola dan silinder serta y untuk bahan berbentuk lempeng satu dimensi melalui pengukuran dengan termokopel. Cara lain adalah dengan pemecahan
15
numerik (beda hingga) dari persamaan [18] dengan memberikan kondisi awal dan batas yang sesuai kemudian menggunakan data sebaran suhu untuk penentuan α. Untuk benda berbentuk bulat dan lempeng posisi termokopel adalah seperti pada Gambar 2.5. Perlu diperhatikan dalam menusuk termokopel tidak boleh berada pada satu garis agar tidak merusak struktur bahan yang diukur. Untuk bahan yang berbentuk bola jarak antara satu termokopel dan yang lain harus berjarak sama yaitu ∆r, sedangkan untuk lempeng masing-masing berjarak ∆x. Jadi, untuk bahan berbentuk bulat a α =
{( Θ i ( j +1) − Θ i j ) ∆r 2 } Θ j (i −1) − 2Θ j i + Θ j (i +1) Δt
(
)
[19]
Gambar 2.5 Lokasi peletakan termokopel dalam bahan Beberapa perbaikan ketajaman pendugaan dengan cara terakhir ini telah pula diupayakan umpamanya dengan cara “curve fitting”. Hasil pendugaan nilai α untuk beberapa produk pertanian di negara kita dapat dilihat pada Tabel 2 di Lampiran B. Nilai α dapat pula diduga dengan menggunakan metode pengukuran komponennya berdasarkan hubungan
[20]
Di mana
16
Konduktivitas bahan dapat diukur dengan alat pengukur konduktivitas panas bahan seperti KEMTHERM (Kamaruddin dan Sagara 1992), Cp dengan metode campuran (Chowdary 1988) sedangkan ρ dapat diukur dengan mengetahui massa dan volume bahan. Hasil pengukuran α dengan metode tidak langsung ini dapat dilihat pada Tabel 2 di Lampiran B. Untuk pengukuran langsung dengan menggunakan nilai α dapat dihitung dengan menggunakan persamaan [19] bila 4 titik pengukuran terdekat seperti terlihat pada Gambar 2.6. Titik hitam menyatakan kondisi awal sedangkan titik merah adalah kondisi batas yang perlu diketahui terlebih dahulu. Dengan mengetahui 4 titik terdekat maka nilai α dapat dihitung dari seluruh noda yang ada. ∆x atau ∆r masing-masing adalah jarak dari pusat benda dan waktu pengukuran.
Gambar 2.6 Noda pada kisi-kisi menyatakan titik pengukuran suhu dan perhitungan α berdasarkan 4 titik terdekat seperti dinyatakan oleh persamaan [19]
Optimasi dan Simulasi Sistem Termal Pengolahan Hasil Pertanian dengan Energi Surya Dengan tersedianya data sifat termofisik atau sifat transport seperti dikemukakan diatas akan memungkinkan kita untuk melakukan optimasi rancang bangun serta simulasi sistem termal proses pengolahan hasil pertanian.
17
Optimasi dan simulasi sistem pengering Hasil optimasi dengan menggunakan metode pengganda Lagrange, umpamanya, untuk sistem pengering energi surya yang menggunakan kolektor surya seperti pada Gambar A1 biaya konstruksi komponen kolektor surya merupakan komponen dengan biaya tertinggi diikuti oleh biaya kipas dan yang terendah adalah biaya pembuatan bak pengering (Kamaruddin 1995). Contoh lain untuk pengeringan kopi dengan suhu 50oC dan lama pengeringan antara 62.5 sampai dengan 80.2 jam, hasil optimasi adalah seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 2.1 (Dyah 1997). Di sini parameter yang terlibat adalah beban pengering mp (kg), laju udara pengering V(m/s), daya kipas P(W), luas lantai bak pengering Ab (m2), luas permukaan penukar panas AHE (m2), volume bak pengering Vb (m3), laju pembakaran biomassa (kg/jam) dan biaya investasi awal (Rp). Di sini terlihat bahwa lama pengeringan 80.2 jam merupakan biaya terkecil. Karena itu, pengembangan sistem pengering yang menggunakan efek rumah kaca seperti terlihat pada Gambar A1 sampai A5 di Lampiran perlu dikaji lebih lanjut penerapannya di Indonesia baik untuk skala petani maupun untuk perkebunan besar. Teknik simulasi sangat berguna untuk mengetahui kinerja sistem pengering sebelum dibangun karena dengan demikian kita dapat terlebih dahulu mengetahui unjuk kerjanya dan kalau perlu memodifikasinya sesuai dengan keinginan kita, selain daripada itu dapat pula diperkirakan tambahan peralatan yang diperlukan untuk mencapai kondisi operasi pengeringan yang diinginkan untuk mencapai kualitas akhir pengeringan. Dengan demikian, biaya pengembangan alat dapat ditekan semurah mungkin.
18
Tabel 2.1 Hasil optimasi pengeringan kopi dengan pengering surya Effek Rumah Kaca dengan pemanasan tambahan dengan tungku biomassa pada suhu 50oC t V Mp (kg) (jam) (m/s) 80.2 73.5 62.5
2700.75 2616.25 2414.75
0.2 0.3 0.5
Pw (W) 434 1433 5486
Ab (m2) 8.31 8.05 7.43
AHE (m2) 3.65 3.07 4.81
Vb (m3) 0.07 0.064 0.06
Mb (kg/h) 4.93 4.93 4.95
Biaya awal (Rp) 3655 5187 10509
Algoritma proses simulasi dapat dilihat dalam Gambar 2.7 di mana terlihat bagaimana parameter pengeringan berperan dalam menduga perubahan kadar air bahan selama proses pengeringan. Dengan teknik simulasi ini kita dapat mempelajari pengaruh berbagai faktor operasi proses seperti laju penambahan panas pengaruh cuaca terhadap kondisi optimal untuk mendapatkan kualitas pengeringan yang diinginkan. Proses simulasi pada Gambar 2.7 tersebut diperuntukkan bagi sistem pengering dengan efek rumah kaca seperti terlihat Gambar A1. Salah satu contoh hasil simulasi untuk suatu prototipe yang diuji dapat dilihat pada Gambar 2.8 di mana untuk mencapai suhu yang diinginkan, umpamanya, untuk pengeringan kopi diperlukan penambahan plat hitam untuk menyerap energi surya pada bagian atas bangunan atau bila perlu penambahan panas dengan penggunaan energi biomassa.
19
Gambar 2.7 Algoritma proses simulasi sistem pengering energi surya dengan efek rumah kaca. Subskrip i menyatakan urutan lapisan biji-bijian dalam tumpukan Pada Gambar 2.8 ditunjukkan pemanasan pada kondisi udara cerah dengan tambahan energi dari tungku biomassa Qb, sebesar 1.5 kg/jam atau setara dengan 6.1 kW, di mana laju udara pengering dipertahankan tetap pada ma=0.1 kg/jam. Untuk menguji ketepatan hasil simulasi perlu dilakukan uji validasi di laboratorium, umpamanya, dengan membuat prototipe alat pengering sebelum sistem yang ingin dikembangkan ini dipasarkan ke masyarakat.
20
Gambar 2.8 Hasil simulasi perubahan suhu dalam ruangan pengering ERK dengan pemanasan tambahan dan penambahan plat hitam penyerap panas energi surya Kinerja sistem pengering energi surya Untuk melakukan uji performansi alat pengering energi surya dengan efek rumah kaca digunakan prototipe seperti terlihat pada Gambar A1 yang diberi bak pengering ditengahnya di Lampiran A (Kamaruddin 1995; 1996). Alat ini mempunyai ukuran lantai semen 3.6 m x 3.6 m dan terbuat dari bahan transparan fiberglass dan kerangka besi. Kapasitas kipas yang digunakan adalah 0.5HP, 1400 rpm. Dari hasil uji kinerja alat dapat diketahui kelayakan teknis alat antara lain yang menyangkut, suhu dan RH udara pengeringan, lama pengeringan, kebutuhan energi, efisiensi termal serta efisiensi pengeringan sistem secara keseluruhan. Gambar 2.9 menunjukkan suatu contoh perbandingan antara hasil perhitungan simulasi dan data hasil percobaan yang dilakukan dengan alat yang ditempatkan di Puslit Kopi dan Kakao Jember. Dari perbandingan antara simulasi dan percobaan diketahui permasalahan yang masih ada dalam upaya menyempurnakan unjuk kerja alat. Dengan demikian secara bertahap penyempurnaan rancang bangun dilakukan secara sistematis karena setiap permasalahan yang timbul dapat dikaji ulang melalui proses simulasi. Dengan terkumpulnya data sifat termofisik bahan maka dimungkinkan penerapan sistem pengeringan untuk berbagai komoditas perdagangan di negara kita. Alat yang dihasilkan dapat dikembangkan lebih lanjut oleh industri kecil atau menengah tergantung kecanggihan alat yang dikembangkan dalam rangka memacu proses industrialisasi di Indonesia. 21
Gambar 2.9 Perbandingan antara hasil simulasi dan data pengamatan Simulasi sistem penyimpanan dingin Seperti halnya pada proses simulasi pengeringan pada simulasi sistem pendinginan dengan energi surya bertujuan untuk menentukan jenis komponen yang masih diperlukan untuk mencapai kondisi suhu dan RH udara dalam ruang penyimpan yang menjamin lamanya penyimpanan hasil pertanian. Untuk tujuan simulasi ini diperlukan model dasar yang disusun berdasarkan kaidah kesetimbangan energi seperti digambarkan dengan bagan alir pada Gambar 2.10. Model sistem pendingin berupa metode pendingin nokturnal di mana air dalam kolam dapat melepaskan suhunya keangkasa dengan laju sekitar 40 W/m2. Untuk daerah pegunungan di mana sayur-sayuran diproduksi, suhu sekitar 18oC atau lebih rendah dapat dijumpai dan dapat diturunkan lagi melalui proses pindah panas radiasi gelombang panjang malam hari terebut. Dengan cara ini alat yang diperlukan menjadi sangat sederhana dan tentunya jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan mesin pendingin biasa. Cara lain seperti telah dikemukakan di atas adalah dengan menggunakan tipe absorpsi NH3-H2O atau LiBr-H2O.
22
Gambar 2.10 Diagram alir simulasi sistem penyimpan dingin buahbuahan dan sayur-sayuran dengan sistem nokturnal Dari hasil perhitungan simulasi didapatkan pola perubahan suhu akhir ruang penyimpan dingin seperti pada Tabel 2.1, berdasarkan 3 skenario; skenario 1 untuk beban pendinginan 188 kg, skenario 2 untuk beban pendinginan 225 kg, dan skenario 3 untuk beban pendinginan 264 kg. Pada Tabel 2.2 juga terlihat perbedaan antara simulasi dan hasil pengukuran yang hampir sama dan lama kontribusi pendinginan nokturnal berdasarkan simulasi dan berdasarkan pengamatan. Konstribusi pendingin nikturnal paling lama pada kondisi beban 188 kg, dan suhu ruang 11oC. Disini terlihat pula bahwa agar suhu ruangan konstan diperlukan sistem pendingin tambahan yang dapat dilakukan dengan sistem pendingin tipe absorpsi yang digerakkan oleh energi biomassa. Gambar A6 menunjukkan sistem pendingin nokturnal yang terdiri atas kolam air di atap gudang penyimpan, tangki penyimpan air dingin saluran udara yang berisi penukar panas untuk pre-cooler dan dari mesin pendingin, pompa resirkulasi air dingin, menara pendingin untuk pendingianan siang hari serta ruang penyimpan dingin. Tabel 2.2 Perbandingan antara hasil simulasi dan data Skenario
Percobaan
Simulasi
Tr
K (jam)
Tr
K (jam)
1.
11.0
9
13.3
4
2.
9.4
4
14.1
5
3.
13.0
0
13.7
0.4
23
Penutup Pada bagian akhir dari orasi ini saya ingin menekankan tentang perlunya melakukan penelitian yang konsisten, akurat, tingkat kepercayaan yang tinggi (repreducible), berlaku umum dan terarah sehingga secara perlahan-lahan tetapi sistematis akhirnya tidak saja diciptakan teknologi yang kita dambakan dan juga oleh masyarakat tetapi juga sumbangsih terhadap peningkatan pemahaman ilmiah tentang proses yang kita teliti. Dengan demikian, diharapkan kualitas materi kuliah akan dapat ditingkatkan sejalan dengan peningkatan pengetahuan kita terhadap suatu proses atau mekanisme alam yang kita teliti. Alangkah baiknya apabila hasil penelitian kita dapat berguna bagi pembangunan di negara kita khususnya dalam upaya kita menguasai iptek yang maju dengan pesat dan dalam mengantisipasi era globalisasi yang sudah mulai kita alami saat ini. Seyogianya pula sejalan dengan usaha di atas pembentukan jaringan yang selalu menghubungkan para peneliti dengan minat yang sama baik pada taraf nasional, regional, maupun internasional akan mempercepat proses pemecahan masalah yang diteliti dan mengurangi duplikasi yang tak berguna. Teknologi komunikasi saat ini telah memungkinkan hal itu terlaksana. Pendekatan Ilmu Teknik Pertanian masih perlu kita kembangkan dan terapkan di masyarakat luas agar keberadaan bidang ilmu Teknik Pertanian ini dapat dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Semoga beberapa rintisan kecil yang telah saya kerjakan selama ini dapat terus diikuti oleh rekan sejawat lain, dosen muda, dan para mahasiswa, para praktisi di lapangan sehingga hasilnya betul-betul dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat banyak.
Notasi A
koefisien bentuk (-)
A
luas lantai atau luas permukaan (m2)
Cv
nilai kalor biomassa (kJ/kg)
Cp
panas jenis (J/kg-C)
Dv
difusivitas massa (m2/det)
Fi
faktor pandangan (-)
24
∆Hfg panas laten penguapan (kJ/kg) h
koefisien pindah panaskonveksi (W/m2-C)
I
radiasi surya global (kW/m2)
k
konstanta pengeringan (1/jam)
m
massa (kg)
m’
laju massa (kg/det)
M
kadar air bahan (% bk)
Pw
daya kipas (kW)
Q1
panas untuk meningkatkan suhu bahan (kJ)
Q2
panas penguapan bahan (kJ)
Qb
laju pemanasan tambahan dari tungku biomassa (W)
r
jarak radial (m)
UL
koefisien pindah panad total (W/m2-C)
W
massa produk (kg)
t
suhu (C)
T
suhu mutlak (K)
Subskrip a
udara
e
ekuilibrium
f
lantai
i
inlet
o
awal, outlet
Simbol huruf Yunani α
koefisien penyerap panas (-) difusivitas panas (m2/det)
η
efisiensi (-)
σ
konstanta Stefan-Boltzmann, 5.67x10-8 W/m2-K4
τ
koefisien tembus sinar surya dinding bangunan (-)
25
Pustaka ASEAN Canada Project on Solar Energy in Drying Processes. 1994. Summary Report on Construction and Commisioning Workshop. Bandung 10−11 October. Bird RB, WE Stewards and EN Lightfoot. 1960. Transport Phenomena. London: John Wiley & Sons, Inc. Carslaw HS and JC Jaeger. 1971. Conduction of Heat in Solids. 2nd Ed. UK: Oxford, Clarendon Press. Chowdary TP. 1988. Thermal properties of Mangoes. Master of Engineering Thesis. Bangkok: AIT. Dow and Jacob. 1957. In Lapidus L (1962). Digital Computationn for Chemical Engineers. New York: Chemical Engineering Series, McGraw Hill. Dyah Wulandani. 1997. Bogor: MS Tesis program S2 Sekolah Pascasarjana IPB. Foell WK. 1983. Energy systems analysis and planning in Indonesia. A preliminary Report on the Intensive Course/Workshop. USA: University of Wisconsin, Wisconsin. Grob G. 1996. Proc. 6th. International Energy Conference and Exhibition-ENERGEX ’96, Beijing, June 3−7. Hall CW. 1957. Drying Farm Crops. Reynoldsburg: Consulting Association Inc. Harijono H. 1995. Trends in Efficient Supply and Use of Eenergy in Fast Developing Economies-The case of Indonesia Transactions, International Symposium on Energy, Environment and Economicd, Melbourne, Australia, 20−24th August pp 23−28. Henderson SM and RL Perry 1976. Agricultural Process Engineering. Westport: The AVI Pub. Co. Inc. Kamaruddin A and Y Sagara. 1992. Thermophysical properties of tropical agricultutral products, Paper No 926066. Int. Summer Meeting of The ASAE, Charlotte, June 21−24.
26
Kamaruddin A, Sri Mulato, Endah Agustinah and Dyah W. 1995. Drying Performance of a Fiberglass House Solar Dryer, International Symposium on Energy Economics and Environment, Melbourne Australia, November 20−25, pp 253−257. Kamaruddin A. 1995. Optimasi dalam Perencanaan Alat Pengering Hasil Pertanian Dengan Energi Surya. Laporan Penelitian Hibah Bersaing I, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kontrak No 039/P4M/DPPM/PHB/95. Kamaruddin A. 1996. Solar Drying of Coffee, Workshop on Industrial Drying Technology, CREATA LP IPB, Bogor, Aug. 20−22. Lyons S. 1978. Sun! A Handbook for Solar Decade. Friends of the Earth, San Fransisco, US. Mursalim. 1994. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Nelwan LO. 1997. [Tesis]. Sekolah Pascasrjana, IPB Nishiyama Y. 1974. [Doctoral Dissertation]. The University of Tokyo. Nitta Y. 1996. A Case Study of Sustainable Development Proceedings of The Asia Pacific Conference on Sustainable Energy and Environmental Technology, PF Greenfield, CY Liu, JH Tay, GQ Liu, AC Lua and KC Toh. Edited, 19−21 June, Singapore, pp 559−576. Ridwan Tahir. 1986. Disertasi Doktor. IPB. Silaban M. 1994. Perancangan Alat Pengering Kayu dengan Sumber Energi Matahari dan Biomassa. Workshop on Solar Thermal Energy Utilization SYSTEM “Drying Technology”. Jakarta: BPP Teknologi. Supriyono. 1986. [Skripsi]. Teknologi Pertanian. IPB. Vo-Ngoc D and NK Srivastava. 1993. Evaluation and Application of a Siple Pressure Difference Inducer Device (PDID) for Postharvest Drying and Storage. Canada: Universite de Monton. Wan Ramli wan Daud dkk. 1994. Drying of Cocoa Beans. Drying ’94. Vol 4. Edited by V Rudolph and RB Key. Proc. IDS ’94. Gold Coast, Australia.
27
Lampiran A
A1 Sistem pemanas udara dengan kolektor surya (kiri) konsep pengering surya efek rumah kaca (kanan)
A2 Pengering rumput laut tipe ICDC (Integrated Solar Collector and Drying Chamber) dan rak tempat menjemur rumput laut
A3 Pengering kulit energi surya ICDC (kiri) dan tempat pengering kulit (kanan)
28
A4 Pengering surya ICDC tipe pancuran
A5 Pengering surya ICDC dengan tempat pegeringan berbentuk drum yang berputar
A6 Pendinginan nokturnal untuk sayur-sayuran
29
Lampiran B Tabel 1 Parameter pengeringan dari beberapa produk pertanian Komoditas
Panas jenis, Cp (kJ/kgoC)
Kadar air kesetimbangan Me (%,db)
Panas laten ∆Hfg (kJ/kg)
Konstanta Pengeringan, k (1/min.)
∆Hfg/∆Hfgw= (1+ 0.597exp(0.19427Me)) for RH>57%; Me>8%
K= exp( 15.432-5976.4 t Me = 3.7045+0.11716 ∆t +0.007679 ∆t2
2. Biji Kakao (Nelwan 1998)
∆Hfg/∆Hfgw= (1+ 0.7297 exp(0.1361 t Me)) at t =55 C dan 7%<M<49%wb ∆Hfg= 2411.73236.4 kJ/kg
(!-RH)= exp(0.1936 t Me 1.1487 )
K= exp( 15.432-5976.4 t
3. Gabah IR-36 (Model silinder terbatas) (Thahir 1986)
∆Hfg/∆Hfgw= 1.298 at
Me=17.89exp(0.061∆t) ∆t=tdb-twb
K=exp 1.9283-2803.4/T)
4. Jagung (Var,Sadewa) Model bola, (Thahir 1986)
∆Hfg/∆Hfgw= 1.298 at Me= 8.8%wb, and t= 30-50 oC
Me=12.46exp(0.035∆t) ∆t=tdb-twb
K=exp 1.9283-2803.4/T)
5. Lada hitam Model bola (Prayudi 1992)
∆Hfg= (2500-2.34 t) x (1+0.4132exp(0.224 Me)
Me=16.86exp(0.224∆t) ∆t=tdb-twb
K=0.167exp(13.277-4900/T)
6. Ikan Kembung (Fasirun 2003)
∆Hfg/∆Hfgw= 1.478 (at 55% db, 45 o C)
Me=516.79[(-ln K=exp(7.549-4503.8/T) 313
∆Hfg/∆Hfgw= (1+6.24462 exp(0.5506 Me)
Me=10.5938 K=exp(16.43716073.9873/T) Exp (-0.04981 313
1. Biji Kopi (Dyah W 1997; Jusuf 1990)
7. Cloves (fermented) (Anwar 1987)
Cp=0.02125 M + 1.8175 For 0.5<M<0.67
Me= 9.7%wb, and t= 30-50 oC
(Sukiman 1987) Cp=1.004 kJ/ kg C
30
Tabel 2a Rekapitulasi hasil pengukuran difusivitas termal beberapa buah tropis Metode/ Komoditas Langsung Numerik (biasa) b. Numerik (curve fitting) Analitik Data akuisisi otomatis
Semangka Melon Manggis Apel (x 10-7m2/det.) 1.6 1.65
1.6
0.634 0.364
1.652 1.815
(numerik) Tak langsung k-ditentukan dengan -Kentherm -Model Rothstein
0.171
Ket. Apel: ρ=700−770 kg/cm3 Cp:2.93-3.97 kJ/kg oK K=0.385-0.628 W/moK k.a. 80.1%-85.9%bb.
Manggis: ρ=872.5 kg/m3 0.176 d=6.6 cm W=130.44 g
Tabel 2b Data geometri beberapa buah-buahan tropis Nama buah 1. Nenas(n=6) 2. Mangga: -Indramayu (5) -Arum manis (4) 3. Melon (5) 4. Semangka 5. Manggis 6. Apel Malang
Panjang (m) Diameter (m) Voume (m3) 0.176 0.106 0.0014
Massa (kg) 0.885
0.116 0.118
0.330 0.310 1.631 n.a 0.13 0.172
0.082 0.075 0.161 0.18 0.066 0.0762
31
0.00028 0.00025 0.00196 0.00305 0.00015 0.00023
BAB III
EKSERGI DAN ENERGI PERTANIAN Perspektif Termodinamika dan Pemanfaatan Energi Terbarukan1 Armansyah H. Tambunan2
Pendahuluan Energi merupakan salah satu infrastruktur yang sangat penting untuk mendukung perekonomian dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Perencanaan energi yang baik dan tepat merupakan syarat penting tercapainya rencana pembangunan Nasional. Perencanaan energi yang baik membutuhkan pemahaman yang tepat mengenai konsep energi itu sendiri. Dalam konteks perencanaan energi Nasional, kesalahan pemahaman mengenai konsep energi telah menyebabkan terjadinya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi fosil. Sekitar 95% konsumsi energi Nasional berasal dari energi fosil, yang meliputi minyak bumi (46.77%), gas bumi (24.29%), dan batubara (23.91%), sedangkan energi baru dan terbarukan hanya menyumbang sekitar (5.03%) (data untuk tahun 2011) (ESDM 2013). Padahal, total cadangan minyak bumi di Indonesia sejak tahun 2000 cenderung menurun karena jumlah produksi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penemuan cadangan baru minyak bumi. Saat ini, Indonesia telah menjadi pengimpor minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri. Bahkan, sejak tahun 2009, Indonesia telah mengimpor listrik dari Malaysia dengan jumlah yang semakin meningkat setiap tahun. Ketergantungan yang sedemikian besar ini seakan ingin memastikan bahwa energi fosil adalah satu-satunya sumber energi yang dapat memenuhi kebutuhan energi nasional. Secara khusus, energi merupakan faktor penting di sektor pertanian terutama dalam mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa tingkat asupan energi, yang juga menunjukkan tingkat penggunaan teknologi, berkorelasi positif terhadap 1 Naskah Orasi Ilmiah Guru Besar, 27 Februari 2016 2 Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian IPB
peningkatan produktivitas pertanian. Pembangunan pertanian, oleh karenanya, memerlukan peningkatan asupan energi secara signifikan. Kelangkaan sumber energi dan tingginya harga energi akan secara langsung berpengaruh terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, khususnya dalam membangun industrialisasi pertanian. Konsep energi adalah sesuatu yang sulit dipahami, bahkan bagi para ilmuwan fisika (fisikawan). Coopersmith (2010) mencoba menjelaskan konsep energi ini melalui sejarah penemuan berbagai konsep yang berkaitan dengan konsep energi itu sendiri. Berdasarkan hukum termodinamika pertama, energi adalah bersifat kekal sehingga tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Meskipun demikian, pertanyaan yang selalu muncul dari hukum pertama tersebut, di antaranya “hal apa dari energi tersebut yang bersifat kekal?” “apakah ada bentuk energi yang lebih bersifat fundamental dari bentuk energi lainnya?” Tulisan ini akan memaparkan konsep energi yang dapat dipahami dari perspektif ilmu termodinamika dan dilanjutkan dengan implikasinya terhadap konservasi energi dan peluang pemanfaatan energi terbarukan, khususnya bioenergi. Berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan, yang berkaitan dengan konservasi dan diversifikasi energi, khususnya pemanfaatan energi terbarukan, akan dipaparkan dan didiskusikan.
Energi dan Eksergi Termodinamika adalah bidang fisika yang paling fundamental dan eksak, serta memberi metode paling umum untuk menganalisa fenomena fisika dan kimia, dengan filosopi kerja dan pendekatan yang sangat sederhana dan logis. Hukum pertama termodinamika dikenal sebagai hukum kekekalan energi dan kekekalan massa, yang menyatakan bahwa energi dan massa tidak dapat dicipta-musnahkan. Kaidah ini berguna untuk menghitung energi asupan dan luaran pada suatu sistem tertutup yang tidak terisolasi sehingga bermanfaat untuk melakukan kajian kuantitaf energi. Rangkuman sederhana hukum pertama dapat dinyatakan dengan persamaan [1]. Dalam termodinamika klasik dikenal tiga jenis energi, yaitu energi kinetik (EK), energi potensial (EP), dan energi dalam (U). Energi merupakan besaran properti yang nilainya tidak tergantung pada proses yang berlangsung. Perubahan energi selalu menyebabkan terjadinya perpindahan panas atau kerja, atau keduanya. Panas dan kerja merupakan besaran non-properti yang nilainya tergantung pada proses. 34
∆E = dQ − dW ∆EK + ∆EP + ∆U = dQ − dW
[1]
Pada dasarnya, setiap proses yang berkaitan dengan energi adalah bertujuan untuk mendapatkan kerja dan/atau perpindahan panas dalam jumlah yang sesuai. Kerja dan perpindahan panas dapat diperoleh dari proses perubahan energi, terlepas dari bentuk energi apa pun yang harus dipertukarkan. Karena tergantung pada proses, maka kerja dan perpindahan panas yang diperoleh dari suatu perubahan energi tidaklah sama. Suatu kenyataan bahwa setelah setiap terjadinya evolusi energi maka akan terbentuk entropi yang menyebabkan penurunan kerja berguna yang dapat diperoleh. Proses terbaik untuk menghasilkan kerja atau perpindahan panas maksimum disebut dengan proses mampu-balik (reversible). Selanjutnya, hukum kedua termodinamika menjelaskan bahwa entropi suatu sistem terisolasi yang sedang mengalami proses selalu meningkat. Konsep entropi ini berguna untuk menentukan arah berlangsungnya suatu proses dan status akhir proses tersebut jika berbagai hambatan yang dialami dapat diatasi. Hukum termodinamika kedua mengisyaratkan bahwa selain memiliki kuantitas, energi juga memiliki kualitas, dan suatu proses yang riil akan berlangsung pada arah kualitas energi yang semakin menurun. Bentuk energi yang tersusun baik di alam mempunyai mutu yang tinggi sedangkan yang berada dalam keadaan acak mempunyai mutu energi yang rendah. Pengubahan energi bermutu tinggi ke energi bermutu rendah tentu tidak diinginkan, meskipun pengubahan energi bermutu tinggi ke energi bermutu tinggi lainnya (misalnya konversi listrik ke mekanik) selalu menghasilkan hasil samping dalam bentuk energi bermutu rendah akibat gesekan di dalam mesin yang menyebabkan terbentuknya panas. Hal yang lebih menarik adalah konversi dari energi bermutu rendah ke energi bermutu tinggi (misalnya konversi panas menjadi kerja). Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa seluruh proses nyata adalah bersifat tak-mampu-balik (irreversible) sehingga panas tidak mungkin dikonversi 100% menjadi kerja. Bagian yang dapat untuk dikonversi menjadi kerja berguna disebut dengan energi tersedia (available energy), atau dengan istilah lain eksergi (exergy). Dengan 35
demikian, pernyataan “energi adalah kapasitas untuk melakukan kerja” menjadi rancu karena tidak seluruh energi dapat dikonversi menjadi kerja, tetapi hanya eksergi. Sehingga walaupun tidak ada kuantitas energi yang hilang, kualitas energi selalu berkurang selama proses. Pengubahan energi dalam suatu proses selalu mengalami kehilangan mutu, dengan kata lain mengalami penurunan eksergi. Eksergi dapat dianggap sebagai besaran dari kualitas energi. Eksergi didefinisikan sebagai kerja minimum yang dibutuhkan agar suatu proses berlangsung, atau kerja maksimum yang dapat diperoleh dari suatu proses konversi energi. Konsep keja maksimum yang dapat diperoleh (atau kerja minimum yang diperlukan) tersebut sudah dianalisis oleh W Gibbs pada tahun 1878, yang menyebutnya sebagai energi tersedia (available energy). Saat ini, konsep tersebut dikenal dengan nama eksergi (exergy), sebutan yang diperkenalkan oleh Rant pada tahun 1957, yang berarti energi yang dapat diekstrak (extractable energy). Eksergi, berbeda dengan energi, adalah sesuatu yang tidak kekal dan dapat mengalami pengurangan setiap waktu (Moran and Shapiro 1988; Bejan et al. 1996; Cengel and Boles 2002). Hal ini yang menyebabkan eksergi dapat digunakan sebagai ukuran kualitas energi (Ahern 1980; Leites, 1995; Graveland and Gisolf, 1998), sebagaimana disebutkan di atas. Krisis energi yang akhir-akhir ini sering dibicarakan, sesungguhnya bermakna pada krisis eksergi. “Krisis energi” tidak mungkin terjadi karena energi selalu bersifat kekal (hukum pertama termodinamika), tetapi dapat terjadi “kelangkaan eksergi” karena mutu energi yang menurun dari saat ke saat. Kajian mengenai perubahan mutu energi energi disebut sebagai kajian eksergi (exergy analysis). Kajian eksergi sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi letak ketak-mampu-balikan di dalam suatu sistem, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisis berbagai kemungkinan proses yang dapat dilakukan dalam meningkatkan efisiensi termal sistem tersebut. Kajian eksergi biasanya dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun persamaan keseimbangan eksergi. Persamaan keseimbangan eksergi dapat diturunkan dari persamaan keseimbangan energi dan keseimbangan entropi. Selanjutnya, sesuai dengan definisinya, keseimbangan eksergi adalah keseimbangan energi dikurangi hasil perkalian antara suhu lingkungan acuan 36
dengan keseimbangan entropi. Prinsip dasar penyusunan persamaan keseimbangan eksergi dari persamaan keseimbangan energi dan entropi untuk sistem tertutup ditunjukkan pada persamaan [2]. 2
Energi : E2 − E1 = ∫ dQ − W 1
Entropi : S2 − S1 = ∫
2
1
dQ +s T
Eksergi : (E2 − E1 )− T0 (S 2 − S1 ) = ∫
2
1
T0 1 − dQ − W − T0s T
[2]
Dimana, E adalah energi (J) yang terdiri dari energi kinetik, energi potensial, dan energi dalam, Q adalah panas (J), W adalah kerja (J), T adalah suhu (K), S adalah entropi sistem (J/kg.K), entropi yang terbentuk selama proses (J/kg.K), sedangkan subskrip 0 menyatakan keadaan dasar (dead state), dan 1, 2 menyatakan status sistem. Metode analisis eksergi menggabungkan konsep kekekalan energi dan kemampu-balikan. Definisi umum eksergi adalah jumlah energi minimum yang diperlukan oleh suatu proses agar dapat berlangsung, atau jumlah energi maksimum yang dapat diperoleh dari suatu proses pembangkitan energi. Kuantitas energi, yang menurut konsep kekekalan energi dapat saling dikonversi dan karenanya dianggap mempunyai tingkat kualitas yang sama, menjadi tidak relevan pada analisis eksergi. Tabel 3.1 menunjukkan perbandingan antara energi dan eksergi. Melalui analisis eksergi akan dapat dikaji apakah tiap komponen dalam suatu sistem bekerja dengan efisiensi optimumnya atau justru menyebabkan terjadinya pemborosan energi akibat proses yang berlangsung dengan tingkat ketidak-mampu-balikan tinggi.
37
Tabel 3.1 Perbandingan energi dan eksergi Energi Eksergi Bersifat kekal pada setiap proses jadi Bersifat kekal pada proses mampu-balik, tidak dapat diproduksi atau musnah. tapi dapat musnah pada proses tak mampubalik. Menyatakan kuantitas energi. Menyatakan kuantitas dan kualitas energi. Tidak tergantung pada parameter Tergantung pada parameter lingkungan. lingkungan. Mengikuti hukum termodinamika Mengikuti hukum termodinamika pertama pertama untuk seluruh proses. dan kedua. Dibatasi oleh hukum temodinamika Tidak dibatasi untuk proses mampu balik. kedua untuk seluruh proses (termasuk yang mampu balik).
Salah satu keunggulan analisis eksergi adalah karena didasarkan pada datum tertentu yang dikenal dengan keadaan dead state, yang pada dasarnya merupakan kondisi lingkungan dimana proses tersebut berlangsung. Keunggulan lainnya adalah karena metode ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menguantifikasi tingkat ketidakmampu-balikan (irreversibility) bagian-bagian dari suatu sistem. Analisis eksergi juga bermanfaat untuk mengkaji dampak dari suatu proses produksi baik terhadap efektivitas penggunaan energi maupun terhadap dampak lingkungannya. Karena itu, analisis eksergi juga dapat digunakan untuk menentukan jalur terbaik pemanfaatan sumber energi terbarukan, khususnya jika dikonversi menjadi termal. Perkembangan analisis eksergi masih relatif baru, khususnya jika dikaitkan dengan penerapan di bidang perancangan teknik (engineering design) dan lebih khusus lagi pada analisis rancangan sistem termal. Meskipun demikian, penerapan metode analisis eksergi mendapat tempat yang cukup luas. Analisis eksergi adalah metode analisis kuantitatif yang bersifat integratif dan didasarkan pada penerapan konsep termodinamika secara utuh. Hasil dari analisis eksergi dapat digunakan untuk mencari upaya terbaik dalam rangka pengurangan entropi yang terbentuk selama berlangsungnya suatu proses, dengan menggunakan metode yang disebut dengan metode minimisasi pembangkitan entropi (entropy generation minimization method; EGM). EGM menggunakan hubungan antara
38
beda suhu dengan laju perpindahan panas, dan beda tekanan dengan laju aliran masa, serta hubungan antara tingkat ketak-idealan termodinamik rancangan dengan karakteristik fisik sistem (ukuran, bentuk, bahan, kecepatan, waktu operasi), seperti ditunjukkan pada persamaan [3]. Hasil dari EGM adalah berupa perbaikan proses maupun perbaikan rancangan peralatan yang dipergunakan dalam proses tersebut.
S gen, min =
∑ ∑ ∑
S gen komponen elemen diferensial
[3]
Eksergetika dan Energi Pertanian Pertanian berperan ganda sebagai pengguna dan penghasil energi, khususnya dalam bentuk biomassa. Sebagai pengguna energi, penerapan analisis eksergi di bidang pertanian dapat dilakukan mulai dari energetika sistem biologik hingga ke penanganan pascapanen dan pengolahan hasilnya. Setiap sistem biologik mengekstrak energi berguna dari lingkungannya, kemudian mengubahnya, menyimpannya, dan menggunakannya untuk proses-proses yang memerlukan energi, seperti kontraksi otot, pengangkutan substrat, dan lain-lain. Pengelolaan energi dalam suatu sel hidup disebut bioenergetika, dan energi berguna tersebut adalah eksergi, yang dapat termusnahkan sebagai akibat pembentukan entropi pada proses tak-mampu-balik (irreversible). Eksergi tersebut kemudian dikonversi menjadi adenosine triphosphate (ATP). Dalam kaitan ini, zat hidup harus mempertahankan gaya-gaya termodinamika, seperti gradien potensi elektrokimiawi, yang adalah sistem tak-seimbang, dalam rangka pengelolaan konsumsi eksergi dan produksi tenaga untuk mengadaptasikan diri dengan fluktuasi kebutuhan dan produksi energi di dalam mitokondria. Selanjutnya, Demirel (2004) menunjukkan bahwa analisis eksergi dapat digunakan dalam bioenergetika dan sangat membantu dalam memahami dan menganalisis fenomena rumit yang terjadi pada pengelolaan energi pada zat biologik. Efisiensi eksergetik dapat digunakan sebagai kriteria seleksi jenis pertanaman, orientasi kebijakan untuk penyediaan pangan dan distribusi biaya pada sistem di mana salah satu atau lebih variabel
39
yang terlibat dapat digunakan di berbagai keperluan, seperti air, dengan tujuan untuk membandingkan konfigurasi produksi, untuk mengevaluasi dampak dari data asupan, dan lain-lain. Pada prinsipnya, energi baik secara kuantitatif (jumlah) maupun kualitatif (mutu) merupakan faktor penting di sektor pertanian terutama dalam mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa tingkat asupan energi, yang juga menunjukkan tingkat penggunaan teknologi, berkorelasi positip terhadap peningkatan produktivitas pertanian. Di berbagai negara maju, asupan energi secara kuantitatif ke sektor pertaniannya sudah sedemikian tinggi dan mencapai tingkat kejenuhan sehingga mulai memerlukan kajian efisiensi penggunaan energi di sektor pertanian. Akan tetapi, pembangunan pertanian di Indonesia, pada tahap sekarang ini, masih memerlukan peningkatan asupan energi secara signifikan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu. Tabel 3.2 menunjukkan bahwa pengunaan alat dan mesin pertanian dapat meningkatkan produktivitas dan penghematan biaya produksi pertanian. Kebutuhan energi di sepanjang rantai produksi pertanian dapat dikelompokkan pada pompa air atau irigasi, mesin-mesin pertanian (pra dan pascapanen), serta pupuk dan agrokimia lainnya. Statistik energi Nasional umumnya hanya mengelompokkan sektor pengguna energi menjadi sektor industri, transportasi, rumah-tangga, komersial, pengguna lainnya, dan penggunaan non energi. Statistik penggunaan energi di bidang pertanian tersebar di berbagai sektor tersebut, seperti pupuk menjadi bagian dari penggunaan non energi, energi pengolahan (pangan, kayu, dan pulp) termasuk ke dalam penggunaan di sektor industri, sedangkan energi yang digunakan pada tahap pra-panen dikelompokkan pada sektor pengguna lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian belum dapat dianggap sebagai suatu sektor pengguna energi yang perlu mendapat perhatian khusus.
40
Tabel 3.2 Perbandingan proses manual dengan penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) terhadap waktu kerja dan biaya kerja (Unadi 2015) Kegiatan Pengolahan tanah Penanaman padi Penyiangan padi Panen padi Perontogan padi Pemipilan jagung
Waktu kerja (jam/ha) Manual Alsintan 320−360 16−20 + 200 6−8 130 15 + 252 +5 + 40 kg/jam + 600 kg/jam 15−20 500−800
Biaya kerja (Rp/ha) Manual Alsintan 1,6−2,1 juta 0,9−1,2 Juta 1.200.000 736.000 800.000 350.000 2,8−3,2 juta 1,2−1,8 juta -
Kajian kuantitatif energi yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia diperkirakan hanya menggunakan 1,5% dari total konsumsi energi Nasional. Sebagai perbandingan, suatu negara agraris umumnya menggunakan sejumlah 2−8% dari total konsumsi energinya untuk sektor pertanian. Kajian ini belum meliput mutu energi yang digunakan di sector pertanian. Kondisi ini merupakan indikator bahwa pertanian Indonesia cenderung masih dilakukan secara tradisional dengan asupan teknologi minimum. Berdasarkan statistik energi dan ekonomi Indonesia tahun 2014 (ESDM 2014), konsumsi energi Indonesia adalah 3.83 setara barel minyak per kapita per tahun (SBM/kap/tahun) tanpa memperhitungkan pemanfaatan biomassa tradisional, atau 5.01 SBM/kap/tahun jika memperhitungkan biomassa, sedangkan konsumsi listrik adalah 780 kWh/kapita/tahun dengan rasio elektrifikasi 80%. Kelangkaan sumber energi dan tingginya harga energi akan secara langsung berpengaruh terhadap pembangunan pertanian Nasional. Dengan demikian, pembangunan bidang pertanian secara khusus perlu memerhatikan kajian pemanfaatan energi, baik secara makro maupun secara mikro, khususnya pada dua fokus kebijakan, yaitu peningkatan efektivitas penggunaan energi dan diversifikasi energi. Seiring dengan semakin terbatasnya sumber energi tak terbarukan, masalah penghematan atau konservasi sumber daya energi semakin ramai dibicarakan. ‘Penghematan energi’ adalah suatu terminologi yang kurang tepat walaupun telah digunakan secara luas. Penggunaannya cenderung membingungkan dan menyesatkan, karena istilah tersebut
41
menyangkal prinsip kekekalan energi atau hukum termodinamika pertama. Penggunaan istilah eksergi dapat membantu menghilangkan makna ganda dari ‘penghematan energi’ secara rasional dan sekaligus menjadi istilah yang tepat dan sesuai dengan prinsip ilmiah (Rosen 2002). Secara termodinamis, upaya yang harus dilakukan adalah minimisasi pembangkitan entropi pada setiap proses penggunaan energi sehingga mendekati efisiensi maksimum, yaitu efisiensi Carnot. Di dalam rantai produksi hasil pertanian dan pangan, proses termal merupakan satuan operasi yang sangat penting, khususnya dalam menjaga mutu hasil pertanian/pangan tersebut. Peningkatan efisiensi termal pada unit operasi yang diterapkan akan dapat menekan biaya energi yang harus dikeluarkan, sambil tetap mempertahankan mutu produk yang diolah. Untuk itu, diperlukan metode analisis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menentukan rancangan sistem termal yang digunakan dan proses termal yang diterapkan. Pembekuan merupakan unit operasi penanganan hasil pertanian yang sangat intensif dalam penggunaan energi. Analisis eksergi pada pembekuan dapat ditinjau dari tiga aspek yaitu dari aspek proses pembekuan, mesin pembeku, dan aspek yang berkaitan dengan penggunaan refrigeran. Proses pembekuan berlangsung melalui perpindahan panas dari bahan yang dibekukan ke media pembeku akibat beda suhu antara keduanya. Umumnya, pembekuan dilakukan dengan suhu media pembeku yang sama sejak awal hingga akhir pembekuan. Hal ini menyebabkan beda suhu antara bahan dengan media pembeku pada tahap awal pembekuan sangat besar, dan mengecil pada akhir pembekuan. Di satu sisi, beda suhu yang besar menyebabkan laju pindah panas yang tinggi sebagaimana diharapkan dalam proses pembekuan. Tetapi di sisi lain, beda suhu merupakan sumber ketak-mampu-balikan suatu proses perpindahan panas, sehingga perpindahan panas pada beda suhu yang besar akan menyebabkan ketak-mampu-balikan yang besar. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, proses dengan ketak-mampubalikan besar adalah proses yang berlangsung secara tidak efisien. Ketak-mampu-balikan terjadi akibat adanya eksergi yang rusak/musnah (destroyed), atau dengan kata lain, besar ketak-mampu-balikan suatu proses adalah kerja yang hilang tidak termanfaatkan selama proses berlangsung. Melalui serangkaian penurunan rumus keseimbangan energi, keseimbangan entropi, dan keseimbangan eksergi, sebagaimana 42
dijelaskan sebelumnya, model matematik untuk analisis energi dibentuk dan digunakan untuk menjelaskan terjadinya ketak-mampu-balikan dalam proses pembekuan (Tambunan et al. 2012). Negosiasi antara laju perpindahan panas dengan tingkat ketak-mampubalikan dapat dilakukan dengan membagi proses pembekuan menjadi 3 tahap, yaitu tahap penurunan suhu bahan dari suhu awal ke suhu titik beku, tahap perubahan fase (pembekuan), dan tahap penurunan suhu dari suhu titik beku ke suhu akhir yang diharapkan. Proses dengan suhu media yang tetap pada suhu rendah selama proses pembekuan memberi laju penurunan suhu yang tinggi, khususnya pada tahap pertama proses pembekuan. Pada prinsipnya, laju pembekuan hanya dipengaruhi oleh suhu media pada tahap ke-dua, yaitu tahap perubahan fase. Tingkat laju pembekuan yang diharapkan dapat diperoleh dengan menentukan suhu media pada tahap ke-dua, sedangkan suhu akhir bahan ditentukan oleh suhu media pada tahap ke-tiga. Suhu media tahap pertama, karena tidak mempengaruhi laju pembekuan bahan, dapat diubah dan ditingkatkan untuk mengurangi ketak-mampubalikan. Pengaruh perubahan suhu media pada tahap pertama terhadap efisiensi eksergi ditunjukkan pada Gambar 3.1. Peningkatan efisiensi eksergi dapat dimanifestasikan sebagai pengurangan kerja, atau daya, yang diperlukan oleh kompresor untuk berlangsungnya proses pembekuan tersebut. Berdasarkan hasil analisis eksergi tersebut, dapat dirancang mesin pembeku dengan suhu media bertingkat. Tingkatan suhu pada evaporator dapat dilakukan dengan menggunakan tiga evaporator dan tiga katup ekspansi yang melayani masing-masing evaporator, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2(a), atau dengan menggunakan satu evaporator dan tiga katup ekspansi yang bekerja secara bergantian pada evaporator yang sama, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2(b). Katup expansi digunakan untuk mengatur suhu evaporator yang selanjutnya bertindak sebagai suhu media pembeku.
43
Gambar 3.1 Pengaruh perubahan suhu tahap pertama terhadap efisiensi eksergi pembekuan (Tambunan et al. 2012) Peningkatan efisiensi eksergi juga dapat dilakukan melalui mesin refrigerasi yang digunakan. Skema aliran eksergi melalui empat komponen utama sistem refrigerasi kompresi uap ditunjukkan pada Gambar 3.3. Aliran eksergi masuk melalui kompresor, yang mana sebagian tertransfer ke kondensor dan sebagian lainnya rusak dalam bentuk ketak-mampu-balikan. Eksergi yang diterima kondensor selanjutnya ditransfer ke katup ekspansi, evaporator, dan kembali ke kompressor, dengan selalu mengalami perusakan eksergi pada masingmasing komponen. Total ketak-mampu-balikan yang terjadi akan berimplikasi pada asupan daya ke kompresor. Metode minimisasi pembangkitan entropi pada masing-masing komponen dapat dilakukan untuk menemukan tingkat ketak-mampu-balikan terendah yang dapat dicapai melalui perbaikan rancangan.
44
Konden nser Relay
Mikrokonttroler Sensor
Exx3
Ex1
Evaporrator
(b)
Gambar 3.2 Skema rancangan sistem refrigerasi kompresi uap suhu bertingkat Yumrutas et al. (2001) mengembangkan suatu model komputasi analisis eksergi untuk menyelidiki sistem refrigerasi kompresi uap dengan refrigeran amonia. Asumsi yang digunakan adalah aliran steady state, kerugian tekanan pada kompresor dan katup expansi diabaikan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa efisiensi eksergi meningkat dengan naiknya suhu evaporator dan menurunnya suhu kondensor.
45
Gambar 3.3 Skema aliran eksergi pada sistem refrigerasi kompresi uap
Pemanfaatan Energi Terbarukan Fenomena penurunan harga minyak mentah dunia yang sangat drastis dalam satu tahun terakhir semakin menempatkan energi sebagai isu yang menarik dan penting. Dunia dilanda oleh isu ketidak-pastian pasokan energi yang berujung pada ketidak-pastian harga energi, serta masalah pemanasan global yang menjadi salah satu pemicu terjadinya perubahan iklim. Di sisi lain, kekayaan sumber energi Nasional belum secara maksimal dimanfaatkan untuk menjalankan pembangunan Nasional. Sudah tiba saatnya melakukan reposisi energi dari komoditas ekspor menjadi modal penting pembangunan Nasional yang sebesarbesarnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kebijakan Energi Nasional yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2014 mengamanatkan bahwa peran energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2025 sebesar 23% dari target bauran energi nasional, dan meningkat menjadi 31% pada tahun 2050. Di antara EBT yang diharapkan dapat berperan dalam bauran energi tersebut adalah energi surya, dalam bentuk termal maupun listrik. Potensi energi terbarukan Indonesia sangat besar dan tersedia di seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai jenisnya. Daratan Indonesia menyediakan energi panas bumi dan biomassa, perairan menyediakan energi hidro, energi panas laut, energi gelombang laut, dan lain-lain, sedangkan angkasanya menyediakan energi surya dan energi angin/ 46
bayu. Sebagai Negara tropis, iradiasi surya yang dapat ditangkap di Indonesia berkisar antara 4–7 kWh/m2 setiap hari tergantung tempat dan waktu (Rumbayan et al. 2012). Saat ini, kapasitas terpasang energi surya adalah sebesar 42,78 MWe. Tenaga air, termasuk mini/micro hydro diperkirakan mempunyai potensi hingga 76 GW, dan pemanfaatannya masih kurang dari 4,5 GW. Potensi tenaga angin diperkirakan mencapai 9 GW (Pusdatin 2009). Panas bumi, dengan potensi sebesar 29 GW, merupakan sumber energi terbarukan yang sangat potensial dan relatif paling siap untuk dikembangkan di Indonesia, tetapi baru sekitar 1,19 GW yang telah dimanfaatkan. Potensi biomassa sangat berlimpah sehingga di antara Negara-negara ASEAN, Indonesia adalah produsen biomassa terbesar, tetapi pada saat yang sama hanya sebagai pengguna terkecil (Rantanen 2009). Kapasitas terpasang pemanfaatan energi biomassa baru mencapai 1364 MWe, lebih rendah dari pemanfaatan biomassa di Thailand dan Philippines. Biomassa merupakan sumber daya energi yang dapat dengan mudah diubah menjadi energi cair untuk menggantikan bensin, solar, avtur, dan lain-lain, maupun menjadi listrik (pembangkit listrik tenaga biomassa). Hal ini menyebabkan posisi biomassa menjadi sangat strategis sebagai energi terbarukan. Pertimbangan penggunaan energi terbarukan yang tersedia sebagai sumber energi termal menjadi penting untuk menghindari ketergantungan pada penggunaan energi fosil dan untuk meminimalkan dampak lingkungan penggunaan energi tersebut. Teknologi konversi energi terbarukan, khususnya bioenergi, energi surya, energi angin, dan lain-lain, sudah banyak dikaji dan berkembang dengan baik. Meskipun demikian, pemahaman mengenai mutu (kualitas) energi yang dihasilkan masih belum memadai, yang menyebabkan energi terbarukan sering dianggap belum dapat bersaing dengan jenis energi fosil. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab lambatnya proses diversifikasi energi dan penghambat pencapaian bauran energi Nasional yang dicanangkan pemerintah. Energi surya merupakan sumber energi yang sangat besar, bersih, dan aman sehingga energi surya sering dianggap sebagai sumber energi masa depan yang paling menjanjikan, saat persediaan energi konvensional seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara menjadi sangat langka. Energi surya dapat dikonversi menjadi panas maupun listrik. Meskipun demikian, intensitas energi rata-rata per satuan luasan adalah relatif 47
kecil dan tidak konstan terhadap waktu. Hal ini menyebabkan penerapan energi surya, menjadi tidak mudah, dan harus melibatkan teknologi penyimpanan energi. Pemanfaatan energi termal surya untuk pengeringan hasil pertanian merupakan bentuk penerapan yang paling sering dilakukan. Masalah yang sama juga harus dihadapi dalam penerapan energi termal surya untuk pengeringan, yaitu fluktuasi suhu dan lama penyinaran dalam sehari yang kurang sesuai dengan kebutuhan pengeringan hasil pertanian. Untuk itu diperlukan sistem penyimpanan panas surya, baik secara sensible maupun dengan perubahan fase. Sistem penyimpanan panas yang diterapkan secara simultan untuk pengeringan dapat meredam fluktuasi suhu sehingga suhu pengeringan yang sesuai dengan kebutuhan dapat terjaga demi mencapai hasil pengeringan yang baik, di samping dapat memperpanjang waktu operasi pengering hingga beberapa jam setelah matahari terbenam dengan memanfaatkan panas yang tersimpan tersebut. Meskipun demikian, analisis yang baik terhadap rancangan sistem penyimpanan panas tersebut sangat diperlukan agar tidak menjadi beban yang terlalu besar pada saat pengisian dan suhu pengeringan yang diperoleh tidak menjadi terlalu rendah. Analisis eksergi yang diterapkan pada penyimpanan termal surya secara simultan untuk pengeringan telah menunjukkan beberapa hasil yang dapat digunakan dalam pengembangan rancang-bangun mesin pengering berenergi surya dengan bantuan sistem penyimpanan panas sensibel (Tambunan et al. 2010). Dari hasil kajian tersebut diketahui bahwa NTU (number of transfer unit), yang merupakan rasio laju perpindahan panas terhadap kapasitas panas udara, menjadi parameter yang sangat penting dalam sistem tersebut. Nilai NTU sebesar 1.29, waktu pengisian sistem penyimpan adalah sekitar 1 jam diperoleh sebagai nilai yang optimum. Rasio eksergi yang terpindahkan ke ruang pengering adalah 82%, sedangkan sebesar 18% lainnya akan tersimpan di media penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa perangkaian penyimpanan panas pada sistem pengering surya tidak mengganggu proses pengeringan, karena proses pengeringan dapat berlangsung jika 60% dari panas yang ditangkap oleh kolektor dapat mencapai ruang pengering. Selanjutnya, penggunaan penyimpanan panas tersebut menunjukkan peredaman fluktuasi suhu udara pengering secara nyata dan perpanjangan waktu kerja mesin pengering hingga 2 jam setelah matahari terbenam. 48
Pemanfaatan bioenergi mendapat perhatian besar secara global. Bioenergi merupakan bagian dari energi surya yang tersimpan secara alamiah dalam mahluk hidup. Bioenergi mempunyai keunikan dibandingkan dengan jenis energi terbarukan lainnya, dan saat ini, merupakan satu-satunya energi terbarukan yang dapat dikonversi menjadi energi berbentuk cair (liquid form of energy) yang sangat diperlukan untuk transportasi dan penggunaan lainnya. Sumbangan bioenergi terhadap penyediaan energi dunia diperkirakan lebih dari 15%, dalam bentuk tradisional dan moderen, dan merupakan jenis energi terbarukan yang terbanyak digunakan. Peran bioenergi dalam bauran energi nasional diharapkan dapat mencapai 14% pada tahun 2050. Pengembangan bioenergi di Indonesia, khususnya biodiesel, mendapat perhatian besar karena ketersediaan bahan baku yang melimpah, khususnya dari minyak kelapa sawit (crude palm oil; CPO). Saat ini Indonesia telah menerapkan kebijakan pencampuran 15% biodiesel dalam minyak solar (B15) dan akan ditingkatkan menjadi B20. Meskipun demikian, penerapan di lapangan masih sering mengalami kendala akibat dari harga keekonomian biodiesel yang belum sepenuhnya tercapai, khususnya pada kondisi harga minyak mentah yang sangat rendah saat ini. Upaya untuk mencapai harga keekonomian tersebut perlu dilakukankan melalui optimalisasi biaya produksi. Biodisel merupakan hasil reaksi transesterifikasi antara trigliserida dengan alkohol rantai pendek (methanol) dengan bantuan katalis. Teknologi produksi biodiesel yang diterapkan saat ini adalah secara batch menggunakan pengaduk agitator untuk membantu pencampuran minyak dengan methanol yang bersifat immiscible (sulit tercampur) di dalam tangki reaksi. Energi yang diperlukan untuk proses produksi biodiesel merupakan salah satu masalah yang perlu diselesaikan. Rasio energi merupakan salah satu ukuran keefektifan penggunaan energi untuk produksi biodiesel. Berbagai metode pengukuran rasio energi dan penelitian yang berkaitan dengannya telah dilakukan oleh banyak peneliti, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4. Salah satu upaya perbaikan teknologi produksi biodiesel yang dilakukan adalah pengurangan penggunaan katalis. Penelitian kerjasama Internasional dengan The University of Tokyo dan National Food Research Institute (NFRI) dalam rangka pengembangan teknologi
49
produksi biodiesel secara non-katalitik menggunakan uap methanol super-panas (super-heated methanol vapor, SMV) menunjukkan hasil yang baik. Meskipun demikian, suhu tinggi yang diperlukan pada evaporator dan superheater menyebabkan rasio energi yang rendah. Analisis eksergi terhadap metode SMV dibandingkan terhadap metode konvensional dengan scenario penggunaan biomassa dan IDO untuk penyediaan panas untuk proses yang dibutuhkan pada masing-masing metode ditunjukkan pada Gambar 3.5. Pemanfaatan biomassa dapat meningkatkan efisiensi eksergi metode SMV hingga mencapai tingkat yang sebanding dengan metode konvensional (katalitik).
Gambar 3.4 Perbandingan rasio energi dengan pengertian yang berbeda pada beberapa produksi biodiesel Pada prinsipnya, manfaat katalis dalam reaksi adalah untuk menurunkan energi aktivasi yang diperlukan agar reaksi berlangsung. Cara lain yang dapat diterapkan adalah meningkatkan energi reaktan hingga melebih energi aktivasi yang diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan suhu tinggi, tekanan tinggi, atau energi kinetik dengan pengadukan yang kuat dan efektif. Dari hasil analisis di atas, penggunaan suhu tinggi pada evaporator dan superheater dapat dihindari dengan menerapkan sistem pengadukan statik. Hasil penelitian sementara menunjukkan bahwa penggunaan pengaduk statik dengan jumlah elemen yang memadai telah dapat mengurangi kebutuhan katalis hingga 0.5%, dari kebutuhan normal 1.0%, dengan suhu reaksi sekitar 65oC. Reaktor berpengaduk statik yang sedang dikembangkan ditunjukkan pada Gambar 3.6. 50
Gambar 3.5 Efisiensi eksergi kimiawi penggunaan IDO dan biomassa dalam penyediaan panas untuk produksi biodiesel dengan masing-masing metode (Rosmeika et al. 2014)
Gambar 3.6 Prototipe reaktor biodiesel berpengaduk statik Pemanfaatan biomassa sebagai energi tidak terlepas dari teknologi konversi berbagai bentuk energi terbarukan tersebut ke bentuk lain yang lebih sesuai untuk diterapkan dengan efisiensi konversi yang memadai. Di samping itu, hal yang lebih mendasar dari konversi energi adalah peningkatan nilai kalor sehingga bentuk energi yang dihasilkan mempunyai kandungan energi yang lebih tinggi dari bentuk sebelumnya. Secara umum, biomassa mempunyai kandungan energi yang rendah, yaitu sekitar 18−20 MJ/kg, dibandingkan dengan energi
51
fosil. Berdasarkan termodinamika, nilai kalor yang tinggi akan dapat dikonversi menjadi panas pada suhu tinggi dan suhu tinggi tersebut akan memberi tingkat efisiensi Carnot yang lebih tinggi. Tabel 3.3 Nilai kalor gas yang diperoleh dari hasil pirolisis (Ginting et al. 2015) Suhu pirolisis (˚C) 200 250 300 400 450
Jumlah gas yang dihasilkan H2 (g) CO (g) CH4 (g) 0.0002 0.1880 0.0077 0.0035 0.1589 0.0428 0.0044 0.1413 0.0483 0.0109 0.1149 0.0729 0.0112 0.1164 0.0846
Total gas (g)
Nilai kalor gas (MJ/kg)
0.1959 0.2052 0.1940 0.1987 0.2122
11.8612 20.3619 22.6210 30.8648 31.8881
Teknik konversi lainnya yang banyak diterapkan adalah pirolisis. Pada Tabel 3.3 ditampilkan nilai kalor gas-gas pirolisis yang dihasilkan dengan cara pirolisis pada suhu operasi yang berbeda. Nilai kalor gas yang lebih tinggi dari biomassa umpannya diperoleh pada proses pirolisis dengan suhu lebih tinggi dari 250oC. Oleh sebab itu, teknik konversi energi harus memperhatikan kesesuaian bentuk energi yang dihasilkan, efisiensi konversi, dan tingkat nilai kalor bentuk energi yang dihasilkan. Optimasi dari tiga parameter tersebut diharapkan menjadi faktor penentu teknik konversi yang harus diterapkan dalam rangka pemanfaatan bioenergi. Produksi energi dan biochar dengan cara ramah lingkungan dengan mengunakan teknologi pirolisis di mana biochar yang dihasilkan digunakan sebagai pembenah tanah merupakan suatu model yang dapat mempertemukan kebutuhan energi dan masalah lingkungan, khususnya emisi gas rumah kaca (GRK). Menurut simulasi yang dilakukan oleh Thomsen et al. (2011) teknologi pirolisis (slow pirolisis) adalah mungkin untuk menghasilkan energi dengan emisi karbon negatif jika biochar dijadikan sebagai penyimpan karbon. Desain dan pengujian kompor gasifikasi pirolisis yang dilakukan (Pangala et al. 2016) dapat menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan memasak rumah tangga dan pada saat yang sama dapat mereduksi efek langsung yaitu penyimpanan karbon stabil dalam biochar sebagai pembenah tanah berpotensi mengurangi emisi GRK sebesar 2.21
52
ton CO2e/aplikasi kompor. Di samping sebagai penyimpan karbon, menghasilkan energi (terbarukan) cara ini juga dapat memperbaiki stuktur tanah yang akan dapat meningkatkan hasil pertanian sehingga memberikan tiga keuntungan sekaligus, yaitu produksi energi, penyimpanan karbon, dan pembenah tanah.
Energi Terbarukan dan Pembangunan Pedesaan Pengembangan bioenergi dalam bentuk modern secara intensif diperkirakan akan lebih meningkatkan intensitas penggunaannya, dan akibatnya juga akan meningkatkan kebutuhan akan biomassa sebagai bahan bakunya. Akan tetapi, persediaan biomassa bukan tidak terbatas, khususnya jika memperhitungkan daya dukung lingkungan dan persaingan dengan pemanfaatan lainnya. Besarnya potensi tersebut harus diikuti dengan pemberian nilai yang lebih sesuai sehingga pemanfaatannya lebih tepat dan berkeadilan. Kajian terhadap nilai ekonomi biomassa sebagai energi, serta cara pengelolaan supplydemand biomassa secara bijak, kreatif, dan unik sangat diperlukan untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan bioenergi tersebut. Kajian terhadap ketersediaan dan nilai biomassa sebagai bahan baku bioenergi sama pentingnya dengan kajian teknologi konversi yang paling tepat dan efisien. Potensi biomassa sangat berlimpah jika ditangani dengan lebih baik, serta memberi harapan keberlanjutan yang sangat besar mengingat keaneka-ragaman hayati Indonesia yang sangat tinggi. Berbagai tanaman penghasil energi dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk dikonversi menjadi biodiesel. Hilirisasi industri kelapa sawit melalui pengolahan CPO menjadi biodiesel dapat meningkatkan nilai tambah, sekaligus menghasilkan energi yang dapat digunakan sebagai penggerak ekonomi dan pembangunan nasional. Disamping itu, minyak jarak pagar (Jatropha curcas, Linn) juga mempunyai potensi yang baik untuk diolah menjadi biodiesel (Silip dan Tambunan 2012), di samping tanaman lainnya. Tabel 3.4 menunjukkan potensi biomassa di Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi dan teknologi konversi yang diperlukan.
53
Energi terbarukan mempunyai kekhasan yang berbeda dengan energi fosil, yaitu bersifat spesifik lokasi dan waktu (site and time specific). Suatu lokasi tertentu tidak dapat tergantung hanya pada satu jenis energi (diversive) dan eksploitasinya tidak boleh melebihi potensi nyata sumberdaya energi tersebut pada waktu dan lokasi tertentu (nonmasive). Kekhasan ini, jika dikelola dengan tepat akan bersesuaian dengan prinsip-prinsip kedaulatan energi tersebut. Berbagai kajian ilmiah telah menunjukkan bahwa sifat terbarukan tersebut akan sirna jika dieksploitasi secara tidak proporsional. Sebaliknya, sistem pengelolaan energi terbarukan yang disesuaikan dengan kekhasan tersebut akan berdampak pada pemerataan pembangunan serta terciptanya kedaulatan energi nasional. Sistem pengelolaan energi terbarukan yang disesuaikan dengan sifat spesifik tersebut akan berdampak pada pemerataan pembangunan. Tabel 3.4 Potensi biomassa sebagai energi di Indonesia (Tambunan et al. 2016) Jenis biomassa potensial
Potensi (PJ) pada 3 wilayah Indonesia Jamali Barat
Timur Jumlah
Teknologi konversi yang diperlukan Esterification. Only part of it to be converted to energy Anaerobic digestion and internal combustion at gas engine Direct combustion in steam cycle Power Plant
CPO
2
757
334
1.093
POME
0
37
17
54
EFB, Shell and
2
642
284
928
155
75
61
290
Direct combustion in steam cycle Power Plant
419
105
108
633
Anaerobic digestion and internal combustion at gas engine
18
27
15
60
Municipality Solid Waste
70
7
2
79
Direct combustion in steam cycle power plant Anaerobic digestion and internal combustion at gas engine
Municipality Liquid Waste Jumlah
21
2
1
24
821
3.161
Fibre Agricultural Waste (cassava bark, rice husk, bagasse) Animal Manure (cow and buffalo, chicken, Pig) Forest Waste
688 1.653
54
Anaerobic digestion and internal combustion at gas engine
Dalam pengembangan bioenergi, pertanyaan yang perlu dijawab adalah “apakah nilai tambah pemanfaatan biomassa menjadi energi juga dinikmati di wilayah pedesaan?” Untuk itu, peranan bioenergi sebagai instrumen strategis untuk pembangunan wilayah pedesaan dan pengentasan kemiskinan perlu menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan bioenergi. Dalam pengembangan bioenergi, pertimbangan skala keekonomian tidak harus menjadi pertimbangan utama, tetapi hanya merupakan salah satu faktor dari tiga faktor utama keberlanjutan, yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial (three pillars of sustainability). Pengembangan energi terbarukan akan lebih bermanfaat jika dikaitkan dengan pembangunan wilayah pedesaan sehingga dapat menjadi faktor utama pendukung perekonomian masyarakat di pedesaan, dan meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia secara utuh.
Penutup Berbagai kebijakan untuk meningkatkan peran energi terbarukan telah dihasilkan, meski dampaknya masih terlalu kecil. Kebijakan yang lebih utuh diharapkan dapat mendorong pengarus-utamaan energi terbarukan sehingga Indonesia menjadi pemimpin peralihan era energi fosil ke era energi terbarukan yang sedang berlangsung di dunia, dan memanfaatkannya untuk mencapai pembangunan nasional yang berkelanjutan. Argumen ilmiah atas pemanfaatn energi terbarukan tersebut secara efektif perlu terus dikembangkan melalui pemahaman yang utuh mengenai energi, khususnya dari sisi termodinamika. Salah satu di antaranya adalah penerapan analisis eksergi yang dapat berperan dalam pengembangan teknologi yang diperlukan dalam rangka pemanfaatan dan konversi energi terbarukan dan bioenergi. Penyediaan argumen ilmiah tersebut merupakan tugas Perguruan Tinggi sebagai salah satu institusi yang diberi mandat untuk melakukan penelitian dalam rangka pengembangan ilmu. Keutamaan penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi adalah kekuatan dasar ilmiah yang digunakan dalam melakukan kajian, dan pengembangkan teknologi yang diperlukan.
55
Pustaka [ESDM] Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2014. Handbook of Energy Economic and Statistic of Indonesia. Pusdatin ESDM. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2013. Outlook Energi Indonesia 2013. BPPT Coopersmith J. 2010. Energy: The Subtle Concept. The Discovery of Feynman’s Block from Leibniz to Einstein. USA: Uxfor University Press. NY. Demirel Y. 2004. Exergy use in bioenergetics, Int. J. Exergy. 1(1): 128−146. [ESDM] Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2013. Kebijakan dan Prospek Pengembangan Biomassa. FGD: Hutan Energi untuk Pengembangan Biomassa. Kementerian Koordinator Perekonomian Ginting AS, AH Tambunan, RPA Setiawan. 2015. Karakteristik gasgas hasil pirolisis tandan kosong kelapa sawit. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 25(2): 158−163. Pangala JR, AH Tambunan, H Kartodihardjo, G. Pari. 2016. Desain Dan Pengujian Kinerja Kompor Gasifikasi-Pirolisis. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 6(1) 2016. Siap terbit. Rosen MA. 2002. Clarifying Thermodynamic Efficiencies and Losses via Exergy. Exergy. An International Journal. 2: 3−5. Rosmeika AS, Yuwono AH. Tambunan. 2014. Comparison of Biodiesel Production by Conventional and Superheated Methanol Vapor Technologies Using Life Cycle Assessment Method. Environmental Engineering Science. 31(3): 107−116. Rumbayan M, Abudureyimu A, Nagasaka K. 2012. Mapping of solar energy potential in Indonesia using artificial neural network and geographical information system. Renewable and Sustainable Energy Reviews. 16:1437–1449. Silip JJ, AH Tambunan, Fruit Maturity and Extractable Oil Yield of Jatropha curcas: Reproductive Characters and Effect of Harvest and Post-harvest to Extractable Oil of Jatropha curcas Linn, Lambert Academic Publishing, Germany, 2012. 56
Tambunan AH. 2014. Energi terbarukan sebagai landasan kedaulatan energy untuk pembangunan Nasional berkelanjutan. Visi, Misi dan Program Kerja Calon AUPK Dewan Energi Nasional. Tambunan AH, TE Sihaloho DM, Kamal JP Sitompul. 2012. Experimental study on the effect of freezing medium temperature to the exergy efficiency. International Journal of Exergy.10(3): 32−331. Tambunan AH, BCH. Simangunsong, A Rahmadi, L Aye, G Moore. 2016. The potential of energy from biomass. AIC Report. Thomsen T, H Hauggaard-Nielsen, EW Bruun, J Ahrenfeldt. 2011. The potential of Pyrolysis Technology in climate change mitigationInfluence of process design and –parameters, simulated in SuperPro Designer Software. Information Service Department Risø National Laboratory for Sustainable Energy Technical University of Denmark.. ISSN 0106−2840, ISBN 978-87-550-3877-6 (DK). Unadi A. 2015. Optimalisasi Usaha Pelayanan Jasa Alsintan. Makalah Focus Group Discussion “Mekanisasi Pertanian dari Perspektif Ekonomi dan Kesejahteraan Petani”, Bogor, 19 Mei 2015. [UNDP] United Nations Development Program. 2007. Access to Energy and Human Development. Human Development Report 2007/2008 [UNDP] United Nations Development Program. 2013. Human Development Report 2013: The Rise of the South, Human Progress in Diverse World. UNDP. Yumrutas et al. 2002. Exergy Analysis of Vapour Compression Refrigeration Systems. Exergy an International Journal. 2: 266−272.
57
BAB IV SISTEM PERTANIAN PRESISI DAN SISTEM PELACAKAN RANTAI PRODUKSI UNTUK MEWUJUDKAN AGROINDUSTRI BERKELANJUTAN1 Kudang Boro Seminar2
Pendahuluan Pertanian berkelanjutan memiliki tiga dimensi yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi yang harus dipertimbangkan secara keseluruhan sehingga berfokus hanya pada satu atau dua dimensi secara terisolasi tidak akan memberikan hasil yang diinginkan (OECD 2008). Melindungi dan meningkatkan kualitas lingkungan alam adalah esensial dan isu kritis terkait, seperti perubahan iklim, energi, kelangkaan air, keanekaragaman hayati, dan geografi serta degradasi tanah perlu ditangani dengan lebih presisi dan arif. Dimensi sosial mencakup hak-hak petani dan kesehatan masyarakat, termasuk ketahanan dan keamanan pangan serta kesejahteraan hewan dan tanaman juga merupakan aspek sosial yang penting. Di sisi ekonomi, pertanian berkelanjutan harus produktif, efisien, dan kompetitif. Manfaat harus dipandang utamanya dari profitabilitas pertanian di seluruh rantai nilai dalam menumbuhkan ekonomi lokal. Agroindustri merupakan kegiatan pertanian yang tersistem, terintegrasi dan berkesinambungan dari hulu ke hilir (from land to table), serta harus terpantau dan terkendali agar terjadinya transformasi produk pada setiap mata rantai pasoknya berjalan baik, aman, ekonomis, efisen, efektif, dan terjamin keberlanjutannya. Setiap proses transformasi produksi pertanian harus dipastikan berjalan secara teliti dengan presisi sehingga nilai tambah (added value) produk pertanian dapat dioptimalkan hingga hilirnya. Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas di mana pasar dan konsumen semakin cermat, peduli, dan teliti terhadap produk pertanian yang dibeli maka kemudahan keterlacakan (traceability) menjadi tuntutan utama. Proses dan produk pertanian juga 1 2
Naskah Orasi Ilmiah Guru Besar; 26 November 2016 Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
harus memenuhi standarisasi mutu dunia yang terukur dan tertelusur sebagai syarat yang menentukan layak tidaknya suatu produk pertanian itu diekspor atau diimpor dari suatu negara ke negara lain. Sebagai ilustrasi perusahaan pengolah makanan terbesar di Amerika yaitu Cargill telah menyatakan untuk hanya menggunakan pasokan minyak sawit yang dapat dilacak (traceable) dalam setiap produknya (Cargill 2016). Cargill berkomitmen hanya akan memanfaatkan minyak kelapa sawit yang tidak tumbuh di hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVF/High Conservation Value Forest) dan lahan gambut. Melalui sistem pelacakan yang dibangun, rantai pasokan minyak sawit dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan. Tingkat transparansi yang tinggi ini digunakan sebagai bukti bagi pengawas industri bahwa rantai pasokan kelapa sawit berasal dari sumber yang jelas. Dengan cara ini, setiap tetes minyak sawit mentah bisa ditelusuri dan tentu memaksa perusahaan untuk mematuhi standar-standar yang ditetapkan untuk mencapai keberlanjutan yang sesungguhnya. Sistem pelacakan juga membantu dalam pencegahan produsen dan produk pertanian yang tidak memenuhi syarat dari sisi legal aspeknya. Selain itu, kemampuan pelacakan juga digunakan untuk memperhitungkan dampak lingkungan dan dampak sosial dari produk agroindustri yang sangat berkontribusi terhadap kebelanjutan pertanian nasional. Tidak banyak pelaku komoditi pertanian Indonesia yang mampu menembus pasar ekspor seperti Amerika Serikat, Negara-negara UniEropa dan Jepang karena tidak memiliki sistem pelacakan yang baik sebagai salah satu syarat legalnya. Jepang mempersyaratkannya mulai tahun 2003, sedangkan Amerika Serikat mulai tahun 2004 dengan regulasi 21CFR820 dan Uni Eropa mulai tahun 2005 dengan regulasi EU General Food Law (Vanany et al. 2014). Berdasarkan kajian kerja sama bilateral Indonesia-Uni eropa di bidang ekonomi dan keuangan [4] salah satu kelemahan Indonesia yang dapat mengurangi kemampuan Indonesia dalam upaya meningkatkan hubungan ekonomi dengan negara lain adalah kualitas produk tidak memenuhi standar terutama menyangkut keamanan, keselamatan, dan kesehatan. Atas alasan inilah, produk-produk pertanian Indonesia mengalami kesulitan masuk ke pasar negara maju yang memiliki standar dan persyaratan teknis yang tinggi. Peraturan sanitasi dan fitosanitasi
60
Indonesia tidak mengenali standar keamanan makanan Uni Eropa, dan sebaliknya laboratorium teknis Uni Eropa juga tidak mengenali tes untuk standar teknis Indonesia. Rantai pasok agroindustri nasional juga memerlukan adanya dukungan sistem pelacakan yang baik. Hasil penelitian Adiyoga et al. (2007) menunjukkan bahwa rantai pasokan sayuran di Kabupaten Bandung, Jawa Barat masih memiliki beberapa masalah antara lain: (1) ketidakpastian kualitas produk, (2) kurangnya pengawasan kualitas di sepanjang rantai, (3) kurangnya informasi pasar, (4) kurangnya transparansi dalam penentuan harga dan (5) tidak ada kemampuan untuk penjejakan (tracking) dan pelacakan (tracing). Peran sistem pertanian presisi (precision agriculture system) dan sistem pelacakan (traceability system) sangat kritis dan menentukan agroindustri yang berkelanjutan (Bongiovanni & Lowenberg-Deboer 2004; Kraisintu & Ting-zhang 2011). Dalam makalah ini dibahas dan dipaparkan bagaimana pendekatan dan penerapan sistem pertanian presisi (precision agriculture) dan sistem pelacakan untuk mendukung agroindustri yang berkelanjutan. Baik sistem pertanian presisi dan sistem pelacakan akan saling menguatkan dan keduanya memerlukan dukungan teknologi informasi dan komputasi berkinerja tinggi untuk menjamin akuisisi dan pengolahan data yang cepat dan akurat alam pemantauan, pengambilan keputusan, dan pengendalian berbagai aktivitas produksi dan produk pertanian di setiap mata rantai produksi dan pasok dari hulu ke hilir. Struktur logika pembahasan paper ini disajikan pada Gambar 4.1.
61
Gambar 4.1 Kerangka logika mewujudkan agroindustri berkelanjutan melalui pendayagunaan sistem pertanian presisi dan sistem pelacakan
Sistem Pertanian Presisi Pertanian presisi adalah sistem pertanian terpadu berbasis pada informasi dan produksi, untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan profitabilitas produksi pertanian dari hulu ke hilir yang berkelanjutan, spesifik-lokasi serta meminimalkan dampak yang tidak diinginkan pada lingkungan (Whelan dan Taylor 2013). Pertanian presisi menggunakan pendekatan dan teknologi yang memungkinkan perlakukan presisi pada setiap simpul proses pada rantai bisnis pertanian dari hulu ke hilir sesuai kondisi (lokasi, waktu, produk, dan konsumer) spesifik yang dihadapi (Seminar 2016; Heriyanto et al. 2016). Ada empat pilar utama dalam pendekatan pertanian presisi: 1. Memandang aktivitas pertanian secara holistik dan menyeluruh dari hulu ke hilir sebagai rantai proses yang terpadu dan berkesinambungan untuk memastikan aliran konversi produk pertanian (tanaman, ternak, ikan, dan turunannya) dengan aman, efisien, dan efektif dari lahan hingga ke meja makan. 62
2. Memedulikan keragaman (heterogenitas) dan dinamika lokasi, waktu, objek bio, iklim, geografi, kultur, pasar, dan konsumen. 3. Mendayagunakan teknologi yang memungkinkan pengamatan dan perlakuan presisi. Berbasis kepada data, informasi, dan pengetahuan yang sahih. 4. Penerapan pertanian presisi dari hulu ke hilir dalam rantai produksi dan pasok produk pertanian (lihat Gambar 4.2) dimulai dari menentukan dan melihat lahan yang sesuai berdasarkan kondisi tanah, iklim, dan air serta dilanjutkan dengan ketepatan dalam menentukan metode pembukaan dan pengolahan lahan, metode dan waktu tanam, metode dan waktui irigasi serta perawatan tanaman, pemupukan yang tepat jenis, waktu dan dosis, waktu dan metode panen, pengolahan pascapanen, transportasi, kemasan produk, pemilihan target pasar, serta penyajian makanan yang tepat fungsi dan aman.
Gambar 4.2 Model penerapan pertanian presisi pada rantai produksi dan pasok produk pertanian dari hulu ke hilir
Penerapan Pertanian Presisi di Hulu Pemilihan Lahan yang Tepat Penerapan pertanian presisi di hulu dimulai dari pemilihan lahan hingga panen. Dalam pemilihan lahan ada beberapa alternatif dilihat dari basis media tanamnya: (1) berbasis pada lahan terbuka dan (2) berbasis pada lahan tertutup. Untuk media tanam berbasis terbuka diperlukan analisis presisi tentang kesuaian lahan untuk suatu tanaman yang akan
63
dibudidayakan dan diproduksi. Teknologi informasi geografis dengan basis data spasial dapat digunakan untuk melihat kesesuaian lahan untuk suatu tanaman dengan memperhitungkan kondisi tanah, iklim, ketersediaan air serta kontur tanah pada suatu wilayah tertentu. Dengan ini makan pemilihan lahan terbaik untuk suatu tanaman tertentu dapat ditetapkan secara presisi. Sebagai contoh, penentuan keseuaian lahan untuk tanaman padi dan jagung di Gorontalo dilakukan dengan memanfaatkan basis data spasial, cuaca, kondisi tanah, kontur tanah, dan tutupan hutan sehingga dapat ditampikan lokasi lahan dan luasannya dalam berabagai tingkat kesesuaian untuk tanaman padi dan jagung (Gambar 4.3). Hasil dari analisis kesesuaian lahan ini dapat digunakan untuk perencanaan wilayah agroindustri yang lebih berkelanjutan karena berbasis kondisi alami setempat. Produksi pertanian berbasis lahan tertutup menggunakan konstruksi bangunan yang dirancang secara spesifik untuk budi daya tanaman yang disebut rumah tanaman (green-house) atau untuk budi daya ayam broiler yang disebut rumah broiler (broiler closed house) yang dengan sistem tertutup ini kondisi iklim mikro di dalam rumah produksi itu dapat dikendalikan dan dimonitor untuk optimasi pertumbuhan tanaman atau ternak. Namun pemilihan lokasinya perlu menerapkan pertanian presisi untuk melihat kesesuaiannya agar tidak menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Sistem pakar untuk pemilihan lokasi kandang tertutup produksi ayam broiler telah dikembangkan dengan menggunakan software yang diinstal di perangkat komunikasi mobile (Wijayanto, Seminar, Afnan 2015 dan 2016). Aplikasi ini mampu memberikan informasi tingkat kesesuain suatu lokasi (lahan) yang untuk pembangunan kandang tertutup produksi broiler dengan mempertimbangkan empat faktor yaitu (1) ekologi dan dampak lingkungan, (2) infrastruktur, (3) kondisi alami, dan (4) kerawanan bencana alam. Contoh tampilan keluaran sistem untuk tingkat kesesuaian lahan untuk kandang ayam broiler di wilayah Parung disajikan dalam bentuk data spasial pada Gambar 4.4.
64
.
Gambar 4.3 Tampilan sistem pakar untuk penentuan tingkat kesesuaian padi dan jagung di Gorontalo (Lahay, Seminar, Mulyana 2011)
Pemilihan Metode Pembukaan dan Pengolahan Lahan yang Tepat Pendekatan pertanian presisi dengan memanfaatkan data agroklimat dan data spasial (luas, topografi lahan, dan kontur lahan serta jenis tanah) yang dapat diakuisisi dari satelit atau GPS dapat digunakan untuk perencanaan pembukaan dan pengolahan lahan yang paling tepat dari aspek sumber daya (armada alat dan mesin, tenaga operator
65
yang diperlukan), aspek waktu (penjadwalan dan target penyelesaian), aspek ekonomi, dan aspek lingkungan (skenario ramah lingkungan). Penerapan teknologi sistem pendukung keputusan (SPK) berbasis pengetahuan dapat digunakan untuk membantu pemilihan metode terbaik dalam pembukaan dan pengolahan lahan yang lebih presisi seperti yang dikembangkan oleh Nishiguchi & Yamagata (2009) dan Solahudin (2010).
66
Gambar 4.4 Luaran sistem pakar untuk penentuan tingkat kesesuaian lokasi pengembangan rumah produksi broiler; kasus studi di Parung (Wijayanto, Seminar, Afnan 2015 & 2016)
Perawatan Tanaman yang Tepat Salah satu implementasi pertanian presisi adalah Manajemen Tanaman Spesifik-Lokasi (Site-Specific Crop Management/SSCM) dimana keputusan pada aplikasi prasarana dan sarana produksi dan praktik
67
agronomi ditingkatkan kualitasnya dan akurasinya dengan menghitung kebutuhan kesesuaian tanah dan tanaman yang lebih baik karena sifat heterogenitas dari tanah dan tanaman di lapangan (Whelan dan Taylor 2013). Pendekatan pertanian presisi juga dapat digunakan untuk menghitung dosis yang tepat pada penyemprotan gulma untuk tanaman kacang tanah (Solahudin, Seminar, Astika, dan Buono 2010). Dosis herbisida ditentukan sesuai dengan populasi gulma yang dihitung secara real-time dengan menggunakan sensor kamera yang ditempatkan pada traktor tangan yang dioperasikan di lahan (Gambar 4.5). Citra tutupan gulma yang terfilter dan ditangkap kamera menunjukkan luasan populasi gulma yang menentukan dosis penyemprotan. Satu area tangkapan citra di dekomposisi menjadi empat sub-area untuk lebih meningkatkan ketelitian pengukuran kepadatan gulma. Penyemprotan dengan dosis yang tepat akan menghemat volume herbisida yang digunakan dan mengurangi dampak polusi lingkungan yang tidak diharapkan. Sistem perencanaan alsintan berbasis pertanian presisi untuk penyemprotan tanaman pada lahan yang luas dan tersebar di berbagai lokasi geografis telah dikembangkan oleh Solahudin et al. (2011). Dari hasil pengujian, penerapan metode dekomposisi citra tersebut meningkatkan ketelitian aplikasi dari segi dosis dan ketepatan lokasi. Dari hasil perhitungan pengujian sistem yang diusulkan dapat menghemat konsumsi herbisida sebanyak 14% dibandingkan dengan penyemprotan tanpa dekomposisi citra serta berimplikasi pada pengurangan polusi lingkungan dan peningkatan efisiensi dan efektivitas penyemprotan. Pendugaan terhadap kemungkinan serangan hama yang akan terjadi dapat dilakukan dengan menggunakan data klimat dan jenis tanaman yang ada di suatu lahan yang diakuisisi dari satelit dan GPS sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan serangan suatu hama tertentu. Pencegahan serangan hama yang terprediksi tersebut dilakukan dengan menentukan penjadwalan semprot yang tepat serta pemilihan ukuran katup (nozzle) semprot yang sesuai dengan kondisi geospasial lahan seperti disajikan pada Gambar 4.6.
68
Gambar 4.5 Skenario kerja sistem pengendalian gulma berbasis pertanian presisi (Solahudin, Seminar, Astika, dan Buono 2010)
Gambar 4.6 Model sistem pendukung keputusan untuk penjadwalan penyemprotan gulma dan pemilihan katup semprot (Sampurno, Seminar dan Suharnoto 2014) Rekomendasi pemupukan yang tepat jenis, dosis dan waktu untuk padi sawah berbasis pertanian presisi telah dikembangkan oleh IRRI bekerja sama dengan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian (Dobermann dan Fairhurst 2000). Sistem ini telah dikembangkan menggunakan teknologi web dan mobile (berbasis sms dan Android) yang dapat 69
diakses oleh petani atau kelompok tani di berbagai wilayah untuk mendapatkan rekomendasi pupuk yang sesuai berdasarkan varietas padi yang ditanam, serta karakteristik spefisik dan luas lahan karakteristik klimat dari lokasi sawah yang digarap petani. Pendekatan presisi pemberian air yang tepat waktu dan tepat volume pada lahan tanaman hortikultura dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi spesifik lahan, kelembapan tanah, jenis tanah, dan periode tanam (Heriyanto et al. 2016). Penyediaan dan penentuan tingkat ketersediaan air irigasi yang presisi secara spasial juga merupakan bagian dari pertanian presisi di rantai hulu pertanian. Sebagai ilustrasi adalah analisis penyediaan air irigasi dengan air permukaan dan air tanah pada musim kemarau di Kabupaten Nganjuk. Pemanfaatan air tanah sebagai sumber irigasi sangat mendukung peningkatan produksi pertanian. Dengan analisis spasial dari komponen neraca air, indeks vegetasi tanaman, dan tingkat kepadatan sumur pada musim kemarau, ditemukan beberapa lokasi yang mengalami kekurangan air irigasi, eksploitasi air tanah yang berlebih, dan sumber air tanah yang cukup untuk musim kemarau. Berdasarkan hasil analisis ketersediaan air tanah pada musim kemarau ini dapat dihasilkan lokasi-lokasi yang dapat ditanami 2 kali atau 3 kali setahun tanpa mengalami kekurangan air atau eksploitasi air tanah berlebihan. Sistem cerdas dan presisi deteksi dini penyakit virus Huanglongbing pada tanaman jeruk dengan metode spektroskopi telah dikembangkan sehingga memungkinkan deteksi serangan penyakit tersebut walaupun secara kasat mata belum bergejala. Penyakit Huanglongbing ini merupakan penyakit ganas pada jeruk yang belum ada cara penanggulanggannya jika tanaman jeruk sudah terserang dan bergejala sehingga tanaman yang terserang harus dimusnahkan. Dengan sistem deteksi cerdas berbasis Jaringan Syaraf Tiruan (JST) memungkinkan deteksi dini penyakit ini sebelum bergejala, sehingga membuka peluang penanggulangan penyakit tersebut sebelum mencapai kondisi kerusakan fatal (Firmansyah 2015).
70
Rekayasa Kultivar dan Pemilihan Bibit Aplikasi pertanian presisi sangat membantu rekayasa kutivar melalui rekayasa genetik tanaman ataupun hewan serta pemilihan bibit yang tepat untuk suatu kebutuhan spesifik pada suatu lahan spesifik. Suatu lahan dengan karakteristik tertentu bisa diintensifkan dengan budi daya varietas tanaman yang cocok yang dihasilkan dari rekayasa genetik. Misalnya, pada lahan yang kandungan asam dan potensi kekeringannya tinggi bisa dimanfaatkan dengan membudidayakan tanaman yang tahan terhadap cekaman asam yang tinggi dan terhadap cekaman iklim seperti kekeringan. Rekayasa genetika bermain pada tingkat molekuler khususnya DNA. Beberapa tahapan yang digunakan dalam rekayasa genetika yaitu isolasi DNA, manipulasi DNA, perbanyakan DNA serta visualisasi hasil manipulasi DNA, DNA rekombinan, dan kloning gen. Penerapan pertanian presisi berbasis teknologi informasi, seperti teknologi mikroarray dan DNA sequencer, untuk rekayasa varietas unggul memberikan prospek yang sangat besar. Dengan teknologi tersebut penggabungan gen untuk ketahanan hama dan penyakit dapat dilakukan lebih cepat dan akurat yang sangat sulit dilakukan dengan metode konvensional (Sumarno 2010; Clarke 2013). Sistem pakar untuk pemilihan varietas tomat untuk budidaya berbasis pertanian presisi telah dikembangkan oleh Amanda, Seminar, Syukur, dan Noguchi (2013). Parameter keputusan yang digunakan untuk pemilihan varietas tomat mencakup ketinggian lahan, potensi produksi, tujuan budidaya tomat, karakteristik tomat seperti ukuran, kekerasan buah, kematangan, dan warna buah serta ketahanan terhadap penyakit. Dari parameter tersebut dihasilkan rekomendasi berbagai varietas tomat, mulai dari derajat kesesuaian tertinggi sampai yang terendah (Gambar 4.7). Demikian juga sistem pakar pemilihan varietas unggul kedelai telah dikembangkan menggunakan beberapa variabel kriteria seperti potensi hasil, umur polong, ukuran biji, wilayah adaptasi lahan, tinggi tanaman, warna kulit biji, ketahanan terhadap penyakit dan hama (Kumalasari 2013).
71
Gambar 4.7 Sistem seleksi varietas tomat (Amanda et al. 2013)
Budidaya pada Lahan Tertutup Pada produksi ayam broiler telah dikembangkan sistem pemantauan perilaku dan gerakan ayam broiler secara real-time pada kandang tertutup berbasis kamera dan video yang bisa diakses secara langsung melalui jaringan internet untuk mendukung diagnosa serta kendali preventif dan kuratif terhadap ayam broiler pada waktu yang tepat (Seminar, Afnan, dan Kurnia 2014). Sistem kendali dan pemantuan terdistribusi produksi broiler dan tanaman pada bangunan tertutup (broiler house dan greenhouse) yang terletak di beberapa lokasi geografis yang tersebar telah dikembangkan dengan menggunakan sistem multi-agen cerdas yang tersebar. Agen yang menjadi sentral kendali dan pemantau adalah supervisory agent (server), sedangkan agen-agen yang mendapatkan instruksi kendali dan pemantauan di masing-masing rumah produksi adalah supervised agents (clients) yang terhubungkan melalui jaringan komunikasi LAN (local area network) atau WAN (wide area network), seperti disajikan pada Gambar 4.8. Sentra basis pengetahuan (knowledge-base) dan basis kaedah (rule-base) berada di supervisory agent (server) untuk memberikan rekomendasi dan instruksi terbaik kepada masing-masing supervised agent yang sebelumnya memberikan informasi spesifik
72
kepada supervisory agent tentang komoditi yang dibudidayakan di rumah produksi tertutup yang menjadi wilayah tanggung jawabnya. Dengan rekomendasi dan supervisi dari supervisory agent tersebut setiap supervised agent dapat melakukan pengendalian kondisi terbaik dari mikro kalimat dan kebutuhan nutrisi bagi objek tanaman atau ternak yang ada di dalam rumah produksi sesuai dengan kondisi lokasi spesifik (site-specific conditions) yang merupakan salah satu aspek dasar dari pertanian presisi.
Gambar 4.8 Arsitektur sistem kendali multi-agen terdistribusi (Seminar et al. 2006) Sistem kendali pada rumah tanaman untuk produksi tanaman berbasis pertanian presisi telah dikembangkan untuk pengendalian suhu, kelembapan, pemberian nutrisi yang sesuai dengan kondisi kebutuhan tanaman yang optimal (Seminar et al. 2006). Sebagai ilustrasi, untuk kasus tanaman mentimun mini, rasio antara luasan kanopi (tutupan daun tampak atas) dan diameter batang dapat digunakan sebagai satu kriteria optimal tidaknya fase pertumbuhan tanaman di dalam rumah tanaman. Dengan memantau nilai rasio tersebut, tindakan kendali terhadap lingkungan tumbuh tanaman dapat dioptimalkan yang mencakup suhu, kelembapan, radiasi cahaya, dan nutrisi dapat dioptimalkan (Gambar 4.9).
73
Penentuan Waktu dan Metode Panen Proses pemanenan yang baik adalah yang tepat waktu dan tepat metode dengan mempertimbangkan kondisi tanaman, iklim, lingkungan, dan lahan di lokasi tertentu. Dukungan teknologi dan sistem informasi dapat meningkatkan kecepatan dan keakuratan perencanaan panen dengan melakukan simulasi dan pengambilan keputusan berbasis pengetahuan dan kaedah (Nishiguchi dan Yamagata 2009; Solahudin 2010). Kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan selama masa pertumbuhan sehingga panen dapat dilanjutkan di urutan gandum yang mengering (warna merah pada Gambar 4.10) akan mampu mengurangi jumlah bahan bakar minyak yang digunakan untuk pengeringan dan selanjutnya akan memangkas emisi CO2 (Nishiguchi dan Yamagata 2009).
Gambar 4.9 Contoh simulasi untuk proses optimasi pemberian nutrisi optimal berbasis pada nilai rasio luas tutupan (kanopi) daun dengan diameter batang sebagai indikator kebugaran pertumbuhan tanaman (Seminar et al. 2006)
Penerapan Pertanian Presisi di Hilir Aplikasi pertanian presisi dirantai hilir mencakup semua rantai tahapan agribisnis mulai pascapanen hingga pemasaran dan penyampaian produk pertanian ke pengguna akhir.
74
Gambar 4.10 Analisis pertumbuhan gandum layar menggunakan citra satelit (Nishiguchi & Yamagata 2009)
Sistem Pencatatan dan Pelaporan Produksi Pada proses pascapanen, pencatatan panen merupakan aktivitas yang sangat diperlukan untuk pemantauan dan evaluasi produksi. Pada pemanenan produksi kelapa sawit misalnya, pemanenan yang dilakukan unit area panen terkecil yaitu blok dicatat dan dilaporkan oleh petugas pemeriksa buah setelah di setujui mandor panen melalui sms (short messaging system) ke server pusat di perkebunan kelapa sawit, seperti yang telah dikembangkan oleh tim IPB untuk PTPN IV Medan (Seminar 2015). Data yang dilaporkan via sms adalah IdBlok, luas panen, tanggal panen, fase panen (pusingan) serta jumlah tandan dan berat tandan. Data yang telah dientri ke sistem dapat diolah dan ditampilkan untuk kebutuhan pimpinan dan unit kerja dalam untuk evaluasi, pengambilan keputusan, perhitungan rendemen, prediksi produksi serta perencanaan ke depan, seperti disajikan di Gambar 4.11. Pengembangan dan pemanfaatan lanjut dari sistem ini dapat mendukung untuk manajemen pemupukan, evaluasi lahan (blok, afdeling, dan kebun) produktif, perencanaan sarana produksi, dan analisis biaya berbasis pertanian presisi dengan memanfaatkan data spasial maupun non-spasial.
75
Gambar 4.11 Pencatatan produksi panen buah kelapa sawit di perkebunan dan pelaporan hasil analisis produksi secara real-time (Seminar 2015) Sebuah model untuk identifikasi sapi dan registrasi telah dikembangkan (Seminar et al. 2010), di mana sistem dapat digunakan untuk pencatatan dan verfikasi kelahiran sapi yang dientri oleh petani atau kelompok tani via SMS. Data yang dientri mencakup tanggal lahir dan lahir berat badan, silsilah, riwayat kesehatan, ukuran, kepemilikan, sejarah gerakan, dan kulit atau warna bulu sapi. Setiap sapi yang telah disampaikan atau diimpor dari luar negeri diidentifikasi dan terdaftar di sistem; semua informasi penting tentang sapi kemudian dapat diperoleh pada berbagai tahap tujuan traceability rantai pasokan. Untuk akuisisi data yang realtime dapat digunakan berbagai perangkat input (seperti sensor RFID, sensor barcode, dan QR, sensor sidik moncong, sensor tag telinga, sensor microchip, sensor tato, dan GPS).
76
Sistem Sortasi Salah satu penerapan pertanian presisi adalah penyortiran produk pertanian seperti produk tomat berdasarkan parameter warna dan ukuran tomat. Pendekatan pertanian presisi perlu diterapkan pada sortasi buah tomat karena proses sortasi secara manual umumnya menghasilkan produk dengan keragaman kurang baik dan juga waktu yang relatif lama. Untuk meningkatkan keseragaman, akurasi, dan waktu pemrosesan, proses sortasi dapat dilakukan dengan mesin cerdas menggunakan Jaringan Saraf Probalistik (Probabilistic Neural Network/PNN) dengan sistem komputasi paralel (Seminar et al. 2008). Sistem sortasi produk pertanian dengan metode presisi dapat dilakukan dengan memanfaatkan sistem komputasi cerdas untuk menetapkan mutu produk dengan objektif, seragam, dan cepat. Sistem pemutuan teh hitam menggunakan sensor kamera untuk menangkap citra dari bubuk teh hitam yang kemudian diolah dan dianalisis dengan metode jaringan syaraf tiruan (JST) untuk sekaligus menetukan kelas dan grade teh hitam (Muqodas 2015), seperti disajikan pada Gambar 4.12. Demikian juga sistem cerdas sortasi nanas juga telah dikembangkan untuk menentukan mutu nanas menggunakan fitur warna dan ukuran nanas. (Rahman 2016).
Pemilihan Jalur Transportasi dan Pemilihan Kemasan Produk Sistem cerdas optimasi dalam pemilihan jalur transportasi berbasis pertanian presisi dikembangkan agar dapat memberikan peluang dan keputusan strategis dalam analisis pemilihan jalur terbaik guna meminimkan waktu pengiriman serta menghindari kerusakan fisik dan mutu produk pertanian. Sistem ini menggunakan data spasial dan nonspasial untuk pemilihan jalur distribusi hortikultura mencakup peta pasar dan jalan, jarak, kondisi trafik, dan kecepatan kemudi (drive time), kecepatan rata-rata perjalanan (Gambar 4.13).
77
Gambar 4.12 Alat sortasi teh hitam berbasis jaringan syaraf tiruan (JST), (Muqodas 2015)
Gambar 4.13 Pemilihan jalur terbaik untuk transportasi hortikultura (Seminar et al. 2015)
78
Memilih kemasan produk pertanian tertentu memerlukan ketelitian sesuai dengan karakteristik produk yang akan dikemas dan ketersedian pilihan kemasan yang ada dipasaran. Sistem pakar untuk memilih kemasan yang tepat sesuai dengan karakteristik produk daging baik yang segar atau daging dengan pengolahan terbatas telah dikembangkan berbasis paltform web (Gambar 4.14). Kriteria karakteristik produk yang digunakan sebagai pertimbangan adalah jenis produk daging, aktivitas air (Aw), suhu, dan kelembapan daging serta zat aditif yang digunakan, serta lama simpan yang diperbolehkan (Ahsyar et al. 2015).
Gambar 4.14 Sistem pendukung keputusan pemilihan kemasan untuk produk daging (Ahsyar et al. 2015)
79
Sistem Perencanaan Ketahanan dan Keamanan Pangan Sistem berbasis pertanian presisi untuk analisis keamanan pangan (food security) juga telah dikembangkan dengan memanfaatkan datadata potensi produksi, data kependudukan, kandungan nutrisi dari suatu komoditas pangan (dalam hal ini padi dan jagung), dan kebutuhan nutrisi yang diperlukan penduduk (Kudang, Yandra, Rahkmat 2014). Analisis keamanan pangan memperhatikan modus tanam dan panen per tahun, seperti disajikan pada Gambar 4.15, untuk kasus contoh di Gorontalo.
Gambar 4.15 Sistem pakar untuk menentukan keamanan pangan berdasarkan kecukupan ketersedian nutrisi berbasis pertanian presisi (Kudang, Yandra, Rahkmat 2014) Perhitungan ketersediaan nutrisi untuk konsumsi pangan dapat ditelusuri pada level provinsi, kota madya, dan kabupaten, sampai kecamatan 80
sehingga lebih mudah dan saksama menentukan suatu wilayah yang rawan pangan, kemudian dapat digunakan sebagai dasar aksi preventif maupun kuratif dalam protokol keamanan pangan. Untuk memastikan produksi pangan yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan dan preferensi konsumer dapat digunakan sistem pendukung keputusan (SPK) presisi untuk memilih produk pangan fungsional yang tepat. Faktor-faktor kunci yang menentukan produk fungsional dan memotivasi untuk konsumsi makanan fungsional dapat membentuk dasar untuk tindakan yang berkaitan dengan pengembangan dan konsumsi makanan. Faktor-faktor tersebut mencakup (1) efek terhadap kesehatan konsumer, (2) citarasa dan penampilan makanan fungsional, dan (3) demografi dan status sosial (Kraus 2015). Selain itu SPK ini dapat membantu tindakan yang berkaitan dengan promosi dan pemasaran produk makanan.
Pemilihan Segmen Pasar Segmen pasar mengacu kepada sekelompok pembeli potensial untuk kategori produk atau layanan yang kebutuhannya sama. Seorang anggota dalam kelompok segmen pasar tertentu memiliki kebutuhan yang lebih mirip dengan kebutuhan anggota lain dari segmen yang sama daripada kebutuhan dari anggota dari segmen pasar yang berbeda. Contoh segmen pasar untuk produk kopi bubuk ada beberapa kelompok, mungkin “pembeli kopi arabika”, “pembeli kopi robusta”, “pembeli aroma dan citarasa kopi”. Pengetahuan tentang segmen pasar memungkinkan produsen untuk menargetkan penawarannya dengan presisi bagi anggota segmen tertentu sehingga mendapatkan penjualan dan kepuasan pelanggan yang lebih tinggi. Tujuan utama dari segmentasi pasar adalah untuk secara akurat memprediksi kebutuhan pasar dan karenanya meningkatkan profitabilitas dengan membuat produk dalam jumlah yang tepat dan untuk pasar yang tepat dengan biaya yang optimal. Metode komputasi cerdas dapat digunakan untuk menentukan segmen pasar sehingga membantu tindakan pemasaran produk pertanian yang lebih presisi (Rowe 2012; Tikmani, Tiwari, dan Khedkar 2015). Data yang digunakan untuk segmentasi adalah data sejarah pembelian produk oleh kustomer (frekuensi pembelian, volume dan nilai pembelian, profil kustomer, jenis produk yang dibeli).
81
Sistem Pelacakan Traceability (keterlacakan) adalah kemampuan untuk melacak (mengidentifikasi dan mengukur) semua tahapan yang mengarah ke titik tertentu dalam suatu proses yang terdiri dari rantai peristiwa yang saling terkait (https://en.wiktionary.org/wiki/traceability). Menurut Bosona dan Grebesenbet (2013) keterlacakan adalah bagian dari manajemen logistik yang menangkap, menyimpan dan menyediakan informasi yang relevan untuk suatu produk pertanian pada semua simpul rantai produksi makanan dari hulu ke hilir, di mana produknya dapat diperiksa untuk keperluan keamanan, kendali mutu, pelacakan mundur dan maju disetiap saat. Menurut Pizzuti dan Mirabelli (2015) suatu sistem pelacakan diperlukan sebagai alat untuk mengontrol kualitas dan keselamatan pangan. Pelacakan didefinisikan sebagai kemampuan menelusuri komoditas makanan, atau pakan atau substansi yang ditambahkan kedalam makanan, meliputi semua langkah dari produksi, prosessing, dan distribusi (Rijswijk dan Frewer 2008). Tiga elemen dasar yang diketahui informasinya yaitu: nama produk, asal produk, dan saat didistribusikan atau kemampuan untuk mengikuti atau mempelajari secara detail (langkah demi langkah), riwayat dari aktifitas atau proses tertentu (Webster’s Dictionary 2011). Opara (2003) menyatakan bahwa traceability untuk rantai produksi pangan harus mencakup keterlacakan produk, proses, genetika, sarana produksi (input), hama dan penyakit, serta metode pengukurannya. Kemampuan melacak perjalanan produk dari hulu ke hilir (traceability) merupakan salah satu kebutuhan fungsional yang vital untuk implementasi pertanian presisi yang mengandalkan data dan informasi yang presisi untuk mengambil keputusan dan tindakan yang presisi pula. Untuk itu sistem pelacakan yang berbasis teknologi informasi perlu dikembangkan menggantikan sistem pelacakan manual yang memiliki banyak kelemahan untuk mendukung kebutuhan industri pertanian modern saat ini (Aizenbud-Reshef et al. 2006; Visayadamrong et al. 2013). Model sistem traceability berbasis teknologi informasi telah dikembangkan oleh Seminar (2015) seperti disajikan pada Gambar 4.16.
82
Gambar 4.16 Model sistem pelacakan untuk rantai pangan berbasis teknologi informasi (Seminar 2015) Sistem yang dikembangkan tersebut mendukung beberapa fungsi kritis untuk kebutuhan pelacakan, yaitu: (1) fungsi komputasi dengan berbagai model dan skenario; (2) fungsi akuisisi data dan distribusi informasi di setiap node (aktor) yang terlibat pada rantai produksi; (3) fungsi penyimpanan data dan informasi berupa data spasial, temporal, statistik, dan serial (dalam bentuk teks, video, dan audio) yang diperlukan untuk tujuan traceability; dan (4) fungsi integarator dan konektor semua aktor di berbagai mata rantai produksi dari hulu ke hilir (Seminar 2015). Dengan sistem pelacakan tersebut data yang terkait dengan produk pertanian dari hulu ke hilir di setiap simpul rantai produksi dan pasok di akuisisi, disimpan dan diolah untuk menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk pemantauan, pengambilan keputusan, pengendalian dan pengawalan proses produksi yang baik dan aman. Disain arsitektur sistem pelacakan yang mengacu pada Gambar 4.12 dikembangkan lebih lanjut dengan model rantai aktor yang terlibat dalam aliran produksi (Gambar 4.17). Dengan arsitektur ini memungkinkan fungsi pelacakan mundur (backword tracing) dan pelacakan maju (forward tracing) suatu produk dan proses transformasi produk yang melibatkan aktor dari hulu ke hilir (Opara 2003; Bosona & Grebesenbet 2013; ITC 2015).
83
Gambar 4.17 Aristektur sistem pelacakan rantai produksi (Seminar et al. 2016)
Sistem Pelacakan Rantai Produksi Tuna Loin Sistem pelacakan rantai produksi tuna loin dari kapal tangkap hingga retailer (Gambar 4.18) telah dikembangkan oleh Seminar et al. (2016). Setiap aktor dimodelkan sebagai entitas yang mewakili perusahaan atau agen yang melakukan fungsi tertentu dalam rantai produksi tuna. Setiap aktor harus diidentifikasi secara jelas berdasarkan nama dan profil, produk, dan peristiwa (tindakan yang dilakukan oleh masing-masing aktor) terkait dengan proses produksi tuna.
Gambar 4.18 Model alur rantai produksi tuna (Seminar et al. 2016) Setiap aktor memiliki peran khusus untuk melakukan transformasi produk serta dokumentasi data dan informasi yang terkait, seperti dijelaskan pada Tabel 4.1. Semua aktor yang terlibat dalam rantai produksi tuna loin harus tergistrasi dalam sistem pelacakan sehingga identitas, aktivitas, dan produk yang dihasilkan setiap aktor dapat dicatat dan disimpan di dalam sistem pelacakan. Sebagai contoh, proses
84
pengemasan dan pelabelan yang dilakukan aktor unit pengolahan ikan (UPI) serta dokumentasi yang terkait dapat disimpan dan dilacak kemudian ditampilkan seperti pada Gambar 4.19. Demikian juga pelaporan proses analisis mikrobiologi pada tuna loin sebelum di pengemasan disajikan pada Gambar 4.20. Untuk memverifikasi hasil analisis mikrobiologi sesuai SOP yang berlaku maka dapat ditampilkan kriteria-kriteria yang ditetapkan di SOP. Tabel 4.1 Aktivitas Anggota Rantai Pasok Tuna (Kresna 2014) Aktor Kapal
Output
Aktivitas
Dokumen & Rekaman
Pencarian fishing ground.
Tuna dengan suhu < 3°C, lulus Log Book
Penangkapan tuna.
uji sensori, dan bukan hasil
Penangan ikan di atas
dari illegal fishing
SHTI lembar awal
kapal. Penyimpanan ikan di palka. Transit
Pembongkaran tuna dari
Tuna dengan suhu < 3°C, lulus Pencatatan bobot dan
kapal. Pengecekan grade
uji sensori, grade, dan bobot
grade secara internal
tuna. Penimbangan bobot
sesuai dengan permintaan
Harvest Vessel receiving
tuna. Penjualan tuna.
pembeli
Record
Tuna loin dengan nilai TPC <
Pencatatan internal untuk
500,000/ gram, E.coli < 0.3/
setiap proses
gram, Salmonella dan Vibrio
Helath Certificate
Pengangkutan tuna ke perusahaan. UPI
Pengolahan tuna loin beku
negatif, dan histamin < 50 ppm Invoice Packing List HACCP Certificate Transporter
Pencucian kontainer.
Suhu kontainer pada -25°C
Pencatatan pada
Setting suhu container.
sampai -20°C
pengukur suhu kontainer.
Pengecekan tuna.
Suhu < -18 °C
Pencatatan internal
Penjualan tuna ke retail.
Histamin < 50 ppm
distributor.
Pengangkutan produk menuju pelabuhan. Distributor
Salmonella dan Vibrio negatif TPC < 500,000/ gram E.coli < 0.3/ gram Grade B atau A Retailer
Pembelian dari distributor.
Suhu < -18 °C
Pencatatan
Penjualan kepada
Grade B atau A
retailer.
konsumen akhir.
85
internal
Gambar 4.19 Pencatatan dan pelaporan proses pengemasan & pelabelan tuna
Gambar 4.20 Pencatatan dan pelaporan proses analisis mikrobiologi tuna
Sistem Pelancakan Rantai Produksi Broiler Sistem pelacakan rantai produksi broiler berbasis web telah dikembangkan mencakup rantai produksi dari lahan produksi (production farm) hingga ke retailer (Triyanto 2016), seperti disajikan di Gambar 4.21.
86
Gambar 4.21 Model alur rantai produksi broiler (Triyanto 2016)
Gambar 4.22 Penggunaan barcode sebagai identitas pelacakan ayam broiler (Triyanto 2016)
87
Gambar 4.23 Pelacakan produk dari Rumah Potong Ayam berbasis barcode (Triyanto 2016) Sistem pelacakan memungkinkan setiap aktor untuk melihat sejarah perjalanan produk dan asal produk dengan menggunakan International Article Number (EAN) barcode sebagai identitas unik produk yang dikaitkan dengan berbagai informasi yang terkait perjalanan produk dari satu aktor ke aktor yang berikutnya seperti disajikan pada Gambar 4.22 & 4.23. Data dari semua aktor rantai produksi broiler dirancang secara terpadu sehingga memungkinkan penyimpanan dan registrasi aktor yang terlibat seperti disajikan pada Gambar 4.24.
88
Gambar 4.24 Integrasi data aktor pada ranbai produksi ayam broiler (Triyanto 2016)
Penutup Pertanian berkelanjutan merupakan kebutuhan jangka panjang untuk mendukung keberlangsungan kehidupan manusia seiring dengan semakin menurunnya sumber daya dan daya dukung alam serta perubahan iklim global, sehingga menjadi isu, kajian dan tujuan strategis yang digarap dan dicanangkan oleh banyak negara dengan melibatkan peneliti, pengambil kebijakan, praktisi, pemerhati serta lembaga swadaya nasional dan internasional khususnya dalam bidang pertanian dan lingkungan. Tiga dimensi pertanian berkelanjutan yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi memerlukan pemahaman dan solusi nyata bagi sistem agroindustri yang berkelanjutan melalui pengembangan ilmu dan teknologi modern yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi serta tantangan terkini.
89
Pada makalah ini telah dijelaskan bagaimana pendekatan dan penerapan sistem pertanian presisi dan sistem pelacakan pada rantai produksi pertanian dari hulu ke hilir (land-to-table) untuk mendukung pertanian berkelanjutan. Pertanian presisi mengarahkan pada pengamatan dan perlakukan presisi dan tepat di semua rantai produksi dengan berbasis waktu berbasis pada fakta keragaman (heterogenitas) lahan (lokasi), iklim, tanaman dan hewan, ketersediaan air dan energi, segmen pasar, preferensi konsumen dan informasi terkait serta kaidah-kaidah yang sahih untuk dijadikan skenario komputasi cerdas berbasis teknologi informasi berkinerja tinggi untuk mendukung praktik-praktik terbaik (best practices) di semua mata rantai produksi pertanian. Sistem pelacakan mengarahkan kepada perekaman (akuisisi) data yang presisi terkait dengan rantai transformasi produk dan nilai tambah obyek (komoditi/produk pertanian) dari hulu ke hilir serta dokumentasi proses dan aktor yang terlibat pada rantai produksi tersebut. Sistem pelacakan memungkinkan integrasi hulu hilir serta analisis mundur (backward tracing), untuk melakukan diagnosis produk (darimana asalnya, riwayat penyakit, diagnosa susut dan kerusakan), serta analisis maju (forward tracing) produk (perencanaan produk, destinasi di pasokan, nilai ekonomi dan daya jual produk, serta prediksi volume dan harga). Kemampuan sistem pelacakan merekam perjalanan produk serta analisis maju dan mundur sangat mendukung prinsip dan penerapan pertanian presisi. Sebaliknya pendekatan dan penerapan pertanian presisi juga diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan pelacakan produk yang tepat waktu dan akurat di semua mata rantai produksi pertanian. Baik sistem pertanian presisi dan sistem pelacakan membutuhkan dukungan teknologi komputasi dan informasi berkinerja tinggi karena berhadapan dengan data bervolume besar (big data) dan beragam terkait dengan rantai produksi pertanian (data spasial, data temporal, data citra, data video dan suara, data teks, dan numerik) dan proses komputasi cerdas dan kompleks yang layak waktu. Walaupun potensi dan bukti riset pertanian presisi dan sistem pelacakan serta keberadaan teknologi pendukungnya memberikan peluang dan solusi baru bagi sistem pertanian (agroindustri) berkelanjutan namun dalam penerapannya perlu pengkajian, diseminasi, dan edukasi pemahaman yang seksama dari semua pemangku kepentingan, utamanya aktor
90
agroindustri (petani dan pengusaha), serta advokasi kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan aspek legal. Investasi teknologi untuk penerapan pertanian presisi dan sistem pelacakan perlu dihitung dan direncanakan dengan cermat dan bijak dengan mempertimbangkan kesiapan SDM dan infrastruktur pendukung, aspek legal, budaya kerja untuk transformasi proses bisnis (process business re-engineering) menuju pertanian yang berkelanjutan.
91
Pustaka Adiyoga W, Asandhi AA, Laksanawati A, Nurhartuti, Sulastrini I. 2007. Rantai pasokan sayuran dan persepsi partisipan rantai terhadap pentingnya keamanan pangan. Jurnal Hortikultura. 3(17): 1−16. Ahsyar TK, Seminar KB, Hermadi, Suyatma NE. 2015. Decision support system for selecting of meat product packaging. International Journal of Information Technology and Business Management 29th October 2015. 42(1): 17−24. Aizenbud-Reshef N, Nolan BT , Rubin J, Shaham-Gafni Y. 2006. Model traceability. IBM Systems Journal. 45(3): 515−526. Anonim. 2012. Kajian kerja sama bilateral Indonesia – Uni eropa di bidang ekonomi dan keuangan. Laporan akhir Kerjasama Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan RI dan Program Studi Kajian Wilayah Eropa Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Amanda ECR, Seminar KB, Syukur M, Noguchi R. 2015. Development of expert system for selecting tomato (Solanum lycopersicum L.) varieties. The proceedings of the 3rd International Conference on Adaptive and Intelligent Agroindustry (ICAIA) 2015. Bongiovanni R. & Lowenberg-deboer J. 2004. Precision Agriculture and Sustainability. Precision Agriculture. 5(4): 359–387. Bosona T, Gebresenbet G. 2013. Food traceability as an integral part of logistics management in food and agricultural supply chain. Food Control. 33(1): 32–48. Cargill. 2016. Langkah-Langkah Cargill dalam Memenuhi Permintaan Minyak Sawit Berkelanjutan. [Diakses pada: https://www.cargill. co.id/id/news/ NA31720473.jsp]. [Diunduh pada 01 Nopember 2016] Clarke WE et al. 2013. Genomic DNA enrichment using Sequence Capture Microarrays: a novel approach to discover Sequence Nucleotide Polymorphisms (SNP) in Brassica napus L. PLOS ONE. 8(12): 1−14. Dobermann A & Fairhurst T. 2000. Rice: Nutrient Disorders & Nutrient Management. PPI, PPIC & IRRI. Oxford Graphic Printers Pte Ltd. 92
Firmansyah A. 2015. Penggunaan Vis-NIR untuk deteksi serangan Huanglongbing pada daun jeruk. Skripsi, Departemen TMB, Fateta, IPB. Heriyanto H, Seminar KB, Solahudin M, Subrata IDM, Supriyanto, Liyantono, Noguchi R, Ahamed T. 2016. Water supply pumping control system using PWM based on precision agriculture principles. International Agricultural Engineering Journal (IAEJ). 25(2): 1−8. ITC. 2015. Traceability in food and agricultural products. Bulletin no. 91, 201, International Trade Centre. Khawarizmie A. 2005. Uji dan aplikasi komputasi paralel dengan jaringan saraf probabilistik pada proses klasifikasi mutu tomat [Skripsi]. Dept. Teknik Pertanian, Fateta IPB. Liyantono, Kato T, Kuroda H, Yoshida K. 2013. GIS analysis of conjunctive water resource use in Nganjuk District, East Java, Indonesia. Paddy and Water Environment. 11(1−4): 193−205. Kraus A. 2015. Factors influencing the decisions to buy and consume functional food. British Food Journal. 117(6): 1622–1636. Kraisintu K & Ting-zhang T. 2011. The Role of Traceability in Sustainable Supply Chain Management. Master of Science Thesis in Supply Chain Management, Department of Technology Management and Economics, Chalmers University of Technology. Kresna BA. 2014. Assesment of Traceability Implementation in Supply Chain of Frozen Loin Tuna With ISO 28000”, Master Thesis, Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Bogor Agricultural University, 2014. Kumalasari T. 2013. Sistem pemilihan varietas unggul kedelai. [Thesis]. Departemen Ilmu Komputer, IPB. Lahay RJ, Seminar KB, Mulyana AK. 2011. Spatial Decision Support System for Identification of Potential Land for Food Production. Journal of IT for NRM. 2(1). Muqodas AU. 2015. Pengembangan Perangkat Evaluasi Mutu Teh Hitam Menggunakan Image Processing. [Skripsi] Departemen TMB, Fateta, IPB.
93
Nishiguchi O and Yamagata N. 2009. Agricultural information management system using GIS technology: Improving agricultural efficiency through information technology. Hitachi Review. 58(6): 265−269. OECD. 2008. OECD Contribution to the United Nations Commission on sustainable development 16 - Towards sustainable agriculture. Opara LU. 2003. Traceability in agriculture and food supply chain: A review of basic concepts, technological implications, and future prospects. Food, Agriculture, & Environment. 1(1): 101−106. Pizzuti T & Mirabelli G. 2015. The global track & trace system for food: General framework and functioning principles. Journal of Food Engineering. 159: 16–35. Rahman MF. 2016. Deteksi pemutuan nanas berbasis computer vision. Skripsi, Departemen Teknik Mesin Biosistem, Fateta, IPB. Rijswijk van W, Frewer LJ. 2008. Consumer perceptions of food quality and safety and their relation to traceability. British Food Journal. 110(10): 1034−1046. Rowe HB. 2012. Market Segmentation Using K-Means Cluster Analysis. [Diakses pada: www.rowequality.com/sites/default/files/ Market_Segmentation_Using_Kmeans.pdf]. [ Diunduh pada: 30 November jam 18:00] Sampurno RM, KB Seminar, Y Suharnoto. 2014. Weed Control Decision Support System Based on Precision Agriculture Approach. TELKOMNIKA.12(2): 475−484. Seminar KB, Abousaidi M, Wibowo A. 2005. Model manajemen data spasial untuk pemilihan jalur distribusi hortikultura. Jurnal Manajemen Agribisnis. 2(1): 29−34. Seminar KB, Buono A, Alim MK. 2006. Uji dan aplikasi komputasi paralel pada jaringan saraf probabilistik (PNN) untuk proses klasifikasi mutu tomat. Jurnal Teknologi. Fakultas Teknik Universitas Indonesia, hal. 34−45, ed.1, thn. XX. ISSN 0215−1685. Seminar KB, Suhardiyanto H, Hardjoamidjojo S, Tamrin. 2006. A supervisory Control System for Greenhouse. Regional Computer Science Postgraduate Conference (ReCSPC).
94
Seminar KB, Arkeman Y, Rakhmat JL. 2014. An Intelligent System For Early Detection of Food Crisis And Spatial-Based Decision Making of Potential Land Evaluation For Food Production. Proc. of AFITA 2014 International Conference, Perth Australia. Seminar KB, Arkeman Y, Lahay RJ. 2014. An intelligent system for early detection of food crisis and spatial based decision making of potential land evaluation for food production. Proceedings of the 9th Conference of the Asian Federation for Information Technology in Agriculture. p.414−423, ISBN: 978-0-646-92873-9. Seminar KB, Pramudya B, Solahudin M, Pertiwi S, Liyantono, & Supriyanto. 2014. Peran kritis teknologi dan sistem informasi untuk pertanian presisi. Strategi Pengembangan Teknologi Pertanian Di Era Global. Nuri Andarwulan N, Soekarto ST, Sugiyono, Suparno O, Hermawan W, Purwanto MYJ. (Editors). IPB Press, 2014. Seminar KB. 2015. Sistem informasi geografis produksi PTPN IV MEDAN. Laporan Akhir Kerjasama LPPM-IPB dan PTPN IV. Seminar KB. 2016. Food Chain Transparency for Food Loss and Waste Surveillance. Journal of Developments in Sustainable Agriculture (JDSA).11(1): 17−22. Seminar KB, Marimin Kresna BA, Arkeman Y, Wicaksono A. 2016. IT-Based Supply Chain Traceability of Tuna Fish. Proceedings of WCCA-AFITA 2016.12−17. Solahudin M, Seminar KB, Astika IW, Buono A. 2010. Pendeteksian kerapatan dan jenis gulma dengan metode Bayes dan analisis dimensi fraktal untuk pengendalian gulma secara selektif. JTEP. 24(2): 129−135. Oktober 2010. Solahudin M. 2010. Pengembangan metode pengendalian gulma pada pertanian presisi berbasis multi agen komputasional. Disertasi, PS Keteknikan Pertanian, Fateta. IPB. Sumarno. 2010. Pemanfaatan teknologi genetika untuk peningkatan produksi kedelai. Pengembangan Inovasi Pertanian. 3(4): 247−259. Tikmani J, Tiwari S, Khedkar S. 2015. An approach to customer classification using k-means. International Journal of Innovative Research in Computer and Communication Engineering. 3(11): 10542−10549. 95
Triyanto D. 2016. Pengembangan Sistem Traceability Rantai Produksi Ayam Broiler. Thesis, Departemen Ilmu Komputer, IPB, 2016. Vanany I, Andri KB, Puspita NF, Mardiyanto R, Winarsih WH. 2014. Rancang bangun dan implementasi electronic traceability system untuk perbaikan rantai pasok komoditi ekspor pertanian. [Diakses pada:http://www.litbang.pertanian.go.id/ks/one/842/file/ RANCANG-BANGUN-DAN-IMPLEME.pdf]. [Diakses pada: 01 Nopember 2016 jam 15:05 wib]. Visayadamrong C, Sooksmarn S, Anussornnitisarn P. 2013. Supply chain traceability-a market driven approach. Proceedings of Management, Knowledge and Learning International Conference 2013. 1469−1477. Webster’s Dictionary. 2011. Webster’s Dictionary [Diakses pada: http:// www.merriam-webster.com]. Amanda ECR, Seminar KB, Syukur M, Noguchi R. 2015. Development of expert system for selecting tomato (Solanum lycopersicum L.) varieties. The proceedings of the 3rd International Conference on Adaptive and Intelligent Agroindustry (ICAIA) 2015. Wijayanto AK, Seminar KB, Afnan R. 2015. Suitability mapping for broiler closed house farm using analytical hierarchy process and weighted overlay with emphasize on environmental aspects. International Journal of Poultry Science. 14 (10): 577−583. Wijayanto AK, Seminar KB, Afnan R. 2016. Mobile-based expert system for selecting broiler farm location using PostGIS. TELKOMNIKA. 14(1): 360−367.
96
BAB V Teknologi Hijau dalam Perspektif Pembangunan Industri Berkelanjutan1 Suprihatin2
Latar Belakang Berbagai usaha dan upaya telah dilakukan oleh lembaga pemerintah, masyarakat, pelaku bisnis (industri), dan kalangan akademisi untuk memecahkan masalah penipisan (depletion) sumber daya dan perparahan pencemaran lingkungan. Namun, usaha dan upaya tersebut hingga saat ini belum berhasil sebagaimana diharapkan, bahkan di beberapa wilayah, tingkat pencemaran lingkungan semakin serius. Masalah lingkungan tidak hanya terjadi pada skala lokal (seperti pencemaran air, tanah, udara, “pencemaran estetika”, penipisan sumber daya, dan degradasi ekosistem lokal), tetapi juga telah terjadi pada skala regional (asap dari kebakaran hutan), bahkan telah meluas sampai pada skala global (emisi gas rumah kaca, penipisan lapisan ozon, dan perubahan iklim global). Masalah lingkungan yang tengah terjadi saat ini dapat diamati dari berbagai kejadian, misalnya semakin sedikit sumber air bersih dan air untuk irigasi pertanian, intrusi air laut, peningkatan permukaan air laut, pencemaran udara, degradasi lahan, kehilangan keanekaragaman hayati, ganggungan distribusi curah hujan (waktu dan tempat), dan cuaca buruk lebih sering terjadi (UNIDO 2011). Masalah lingkungan tersebut diperkirakan akan terus berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk dan aktivitas ekonominya. Jumlah dan jenis polutan lingkungan juga semakin banyak, termasuk polutan non-konvensional seperti residu obat-obatan, kosmetik, sampo, dan sabun. Produk samping reaksi disinfektan (klorin dan kloramin) dengan sisa bahan organik dalam air, trihalomethan (THMs) dan asam haloasetat (HAA), yang sebelumnya tidak dikenal, kini telah diidentifikasi sebagai polutan air bersih yang bersifat karsinogenik atau senyawa yang memicu kanker (Hsu et al. 2011; Ibrahim dan Aziz 2014). 1 Naskah Orasi Ilmiah Guru Besar; 17 Desember 2016 2 Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian IPB
Industri yang ada saat ini memiliki kelemahan-kelemahan yang serius terutama dalam konteks penggunaan sumber daya, penanganan hasil samping (limbah) dan perlindungan lingkungan. Namun demikian, dalam kenyataannya pengembangan industri tetap menjadi pilihan sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi. Dampak negatif akibat perkembangan industri seperti pengurasan sumber daya, polusi, dan degradasi lingkungan merupakan masalah yang semakin serius dan membutuhkan penyelesaian segera. Pengembangan industri harus dikompromikan dengan perlindungan lingkungan untuk menjamin keberlanjutannya. Sistem industri harus dirancang untuk mencapai efisiensi ekonomi bersamaan dengan perbaikan mutu lingkungan. Dalam perspektif ini, kebutuhan pengelolaan industri yang berkelanjutan tampak semakin jelas dan semakin mendesak. Industri sebagai pengguna utama bahan baku, energi, air; penghasil berbagai jenis produk, serta penyebab utama timbulan limbah dan polusi lingkungan, harus menjadi pelaku utama dalam pengelolaan lingkungan. Industri harus terus mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkannya secara lebih sistematis secara pro-aktif sehingga persoalan yang dihadapi saat ini berkurang secara bertahap kemudian hilang sama sekali di masa yang akan datang. Inovasi Teknologi Hijau (green technology, eco-technology) diyakini dapat membantu memecahkan masalah tersebut secara fundamental, karena dapat mengeliminasi sumber masalahnya. Teknologi hijau merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan penerapan ilmu pengetahuan modern untuk tujuan praktis industri, yaitu teknologi yang mampu meningkatkan profitabilitas sekaligus mengurangi potensi kerusakan lingkungan dan konservasi sumber daya alam (http://www.ers.usda.gov/). Teknologi hijau memanfaatkan sains lingkungan terkini dengan prinsip-prinsip rekayasa yang pro-lingkungan, mencakup input, proses, produk, dan sistem industri. Sebagaimana teknologi pada umumnya, teknologi hijau dapat memiliki tiga makna, yaitu perangkat dan instrumen (tools dan instrument) untuk meningkatkan kemampuan manusia “merekayasa” alam (proses, produk, dan sistem) dan memecahkan masalah praktis; dan pengetahuan (knowledge) untuk membuat/memproduksi barang/ jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Lebih lanjut, teknologi juga memiliki makna sebagai budaya (culture) dalam pemahaman tentang dunia dan sistem nilai (Vergragt 2006). Teknologi hijau dapat diterapkan
98
di berbagai bidang, termasuk peningkatan proses dan produk, serta pengembangan kreativitas baru model bisnis industri. Makalah ini mengangkat pentingnya teknologi hijau dalam mewujudkan pembangunan industri pertanian berkelanjutan. Inovasi teknologi ini diharapkan mampu menjembatani penerapan konsep-konsep modern pengelolaan lingkungan yang menopang penciptaan industri hijau yang mempromosikan praktik-praktik ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Kecenderungan Global Kecenderungan Masyarakat Tema keberlanjutan (sustainability) semakin menguat dibicarakan, didiskusikan, dan dibahas di kalangan pelaku ekonomi (industri), pemerintah, dan akademisi. Keberlanjutan mengandung makna meningkatkan kesejahteran ekonomi, memelihara lingkungan serta menciptakaan nilai dan solidaritas sosial untuk semua kalangan masyarakat termasuk pembentukan harmonisasi antara generasi saat ini dan yang akan datang. Penilaian terhadap tingkat kepentingan masingmasing aspek tersebut beragam dengan perubahan yang sangat nyata. Pergeseran pandangan masyarakat terhadap ketiga aspek tersebut diilustrasikan pada Gambar 5.1. Pada awalnya, kegiatan industri (bisnis) dinilai sebagai aspek yang paling utama sehingga perhatian pada perlindungan lingkungan mendapat porsi yang relatif kecil (Gambar 5.1a). Namun, setelah melihat dan mengalami dampak negatif pembangunan industri yang bersifat eksploitatif dan polutif, cara pandang masyarakat bergeser ke arah keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, serta digambarkan sebagai triple botton line“ yaitu “overlapping” dari tiga lingkaran domain keberlanjutan (masyarakat-lingkungan-ekonomi) (Gambar 5.1b). Dengan meningkatnya kesadaran lingkungan, hubungan antara ketiga domain keberlanjutan tersebut sering digambarkan sebagai model tiga lingkungan yang tersarang (nested), di mana domain ekonomi merupakan bagian dari domain masyarakat dan keduanya merupakan bagian dari domain lingkungan karena lingkungan dinilai sebagai pembatas domain sosial dan ekonomi (Gambar 5.1c) (Cato 2009 Adams
99
2006). Meskipun penggambaran tersebut masih menjadi perdebatan di antara pelaku di tiga domain, namun pergeseran dapat digunakan sebagai petunjuk adanya peningkatan perhatian pada perlindungan lingkungan relatif terhadap pembangunan industri/ekonomi.
Gambar 5.1 Ilustrasi perhatian pada domain lingkungan relatif terhadap domain ekonomi dan masyarakat Sejalan dengan hal tersebut, negara anggota PBB telah menghasilkan kesepakatan mufakat yang dikenal sebagai Agenda 2030. Agenda ini menempatkan manusia dan lingkungan sebagai pusat perhatian dan memberikan dorongan kepada komunitas internasional untuk bekerja bersama guna menangani tantangan-tantangan dalam persoalan kemanusiaan. Dengan konsep yang dikenal juga sebagai pembangunan ekonomi berkelanjutan Pasca Mellenium Development Goals/MDGs 2015 ini, diharapkan lebih dapat menjamin keberlanjutan lingkungan hidup dan sumber daya alam, terutama ketahanan pangan, ketahanan energi, dan ketahanan air.
100
Gambar 5.2 Tekanan pada rantai pasok produk industri (Clark 2005; modifikasi) Di sisi lain, berbagai peraturan lingkungan (governance/pentadbiran) diberlakukan secara ketat menyebabkan penanganan dan pembuangan limbah industri menjadi semakin sulit dan mahal. Tekanan regulasi dan biaya lingkungan tersebut saat ini tampak semakin jelas di seluruh mata rantai pasok produk industri, mulai dari penyediaan bahan baku, pra-produksi, proses produksi, penjualan, penggunaan, hingga pembuangannya (Gambar 5.2), hingga menghambat pendirian industri baru atau mengancam keberlanjutan industri yang sudah ada. Pada tataran global, penadbiran telah menjadi dimensi keempat dari keberlajutan karena kesadaran dan tanggung jawab lingkungan memerlukan “pemaksaan” untuk menumbuhkan kepatuhan.
Kecenderungan Industri Tekanan dari pemerintah dan masyarakat yang diformalkan dalam peraturan dan kesepahaman (lokal, nasional maupun internasional) memaksa pelaku industri melakukan perubahan konsep pengelolaan lingkungan melalui perubahan, modifikasi, bahkan penggantian input,
101
proses maupun produk industri ke arah yang lebih ramah lingkungan. Konsep perlindungan lingkungan industri mengalami perkembangan, tidak hanya bersifat kuratif (reaktif) tetapi lebih bersifat preventif (proaktif), tidak hanya target tunggal tetapi multi target, tidak hanya untuk memenuhi tuntutan regulasi tetapi lebih karena tarikan kebutuhan bisnis, dan tidak hanya fokus pada penanganan polutan tetapi lebih fokus pada sistem atau siklus hidup secara menyeluruh (Gambar 5.3). Fokus pengelolaan lingkungan juga mengalami perubahan, dari fokus pada penanganan dan pembuangan polutan (limbah) menuju ke arah konsep pembangunan berkelanjutan yang dicirikan dengan kemunculan dan perkembangan konsep-konsep perlindungan lingkungan yang bersifat proaktif, seperti pengendalian pencemaran, daur-ulang, minimisasi limbah, pencegahan pencemaran, produksi bersih, dan ekologi industri. Salah satu sumber utama pencemaran lingkungan adalah limbah (sisa kegiatan), baik berupa limbah cair, padat maupun gas. Limbah selama ini dipandang sebagai sisa kegiatan yang tidak berguna dan harus dibuang secepatnya dengan cara yang sesederhana mungkin (baca: semurah mungkin). Cara pandang pelaku industri terhadap limbah yang dihasilkannya memengaruhi perilaku dari pelaku industri tersebut. Akibatnya, industri penghasil limbah hanya fokus pada bagaimana cara membuang limbah tersebut dengan cara paling mudah dan murah, tanpa memikirkan lebih jauh akibatnya pada masyarakat dan lingkungan. Industri menganggap pengolahan dan pembuangan limbah sebagai “cost center”. Cara pandang dan perilaku seperti itu lazim dilakukan pada beberapa dekade lalu, di mana daya dukung dan daya tampung lingkungan masih sangat tinggi.
102
Gambar 5.3 Keterkaitan antar konsep manajemen lingkungan (Van Berkel 2000) Sumber daya yang semakin menipis serta daya dukung dan daya tampung lingkungan yang semakin rendah mengubah cara pandang pelaku industri terhadap limbah yang dihasilkan. Industri penghasil limbah mulai memandang limbah sebagai ‘inefisiensi’ proses dan merupakan “kehilangan“ sumber daya sehingga jumlah timbulan limbah menjadi indikasi tingkat efisiensi proses. Semakin tinggi tingkat efisiensi, semakin sedikit timbulan limbah yang dihasilkan. Hal ini berarti bahwa memaksimumkan efisiensi berarti juga meminimumkan limbah. Industri semakin menyadari bahwa limbah menyebabkan berbagai macam biaya ikutan, baik biaya langsung maupun tidak langsung; baik biaya yang mudah dihitung (tangible) maupun biaya yang sulit dihitung (intangible); baik biaya internal maupun biaya eksternal. Biaya limbah suatu industri dapat sangat tinggi, beragaman, dan diperkirakan akan terus meningkat. Jenis biaya yang mungkin timbul akibat limbah (the costs of waste) mencakup biaya produksi, biaya pembuangan limbah, biaya lingkungan, biaya hubungan masyarakat, dan “biaya masa depan” akibat penipisan sumber daya. Biaya-biaya tersebut bermuara pada peningkatan biaya teknologi untuk mempertahankan bisnis dan kehilangan kesempatan bisnis industri (Gambar 5.4) yang semuanya dapat mengancam keberlanjutan industri tersebut. Pemaknaan limbah sebagai ‘inefisiensi’ proses dan merupakan ‘kehilangan’ sumber daya telah memunculkan terminologi baru. Limbah tidak hanya yang secara fisik tampak, tetapi limbah telah berkembang 103
menjadi segala sumber daya yang tidak memberikan nilai tambah, mancakup produk cacat, kelebihan produksi, menunggu, transportasi, kelebihan persediaan, proses berlebih, pergerakan yang tidak perlu, dan keterampilan (talenta) yang tidak dimanfaatkan (Hur et al. 2004).
Gambar 5.4 Berbagai jenis biaya limbah (Clark 1999)
Prinsip dan Perangkat Penilaian Teknologi Hijau Teknologi hijau dapat berperanan penting pada setiap tahapan daur hidup pengembangan dan penerapan proses dan produk melalui tiga perihal pokok berikut: • Peningkatan efisiensi produksi: dengan cara menggunakan sumberdaya alam secara lebih efisien dan produktif; • Meningkatkan kinerja lingkungan: dengan cara meminimumkan dampak lingkungan dengan mereduksi timbulan limbah, emisi, dan pengelolaan residu/limbah dengan cara lebih ramah lingkungan; dan • Meminimumkan risiko kesehatan yang disebabkan oleh emisi polutan ke lingkungan.
104
Inovasi teknologi hijau mengarahkan fokus pada peningkatan efisiensi dan produktivitas untuk mengonservasi sumber daya dan melindungi lingkungan dari kerusakan. Inovasi teknologi ini berorientasi untuk merespons isu-isu penting lingkungan dan kesehatan masyarakat seperti (OECD 1998): i) mengeliminasi atau meminimumkan buangan toksik, ii) melindungi biodiversitas, iii) mencegah terjadinya pemanasan global, iv) mencegah kerusakan lapisan ozon, v) melindungi mutu air tanah dan air permukaan, vi) mengatasi masalah kejenuhan tempat pembuangan sampah, vii) mencegah produksi asap fotokimia, viii) mengurangi laju penurunan ketersediaan deposit mineral, ix) mencegah kehilangan kemampuan oksidasi atmosfer, x) mencegah hujan asam, dan xii) meminimumkan kerusakan atmosfer akibat peningkatan penduduk dan alih fungsi lahan. Tingkat kepentingan masing-masing isu lingkungan tersebut dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, serta berubah dengan perubahan waktu. Teknologi hijau menawarkan solusi mendasar untuk pengelolaan lingkungan modern, dengan mengeliminasi sumber masalahnya. Teknologi ini lebih menekankan pada pencegahan dan pengurangan terjadinya pembentukan polutan dan pencegahan terjadinya pencemaran (green process), dan desain pro lingkungan (green design) baik untuk dematerialisasi (doing or producing more with less) maupun daurulang internal dan eksternal untuk menciptakan, mengembangkan dan mempromosikan daur material pada skala praktik industri. Dengan demikian, teknologi hijau mendukung dan mempercepat realisasi implementasi konsep dan prinsip ekologi industri melalui pencegahan pencemaran, menutup siklus material untuk efisiensi penggunaan material dan energi (Gambar 5.5).
105
Gambar 5.5 Peta konsep keterkaitan antara Teknologi Hijau dan Keberlanjutan (http://engineering.dartmouth. edu/~d30345d/courses/engs171/dfe.pdf) Sebagaiamana ditunjukkan pada Gambar 5.5, konsep ekologi industri merupakan konsep dan pendekatan penting dalam pembangunan industri berkelanjutan. Konsep ekologi industri meniru ekosistem alamiah (Ayres dan Ayres 2002), di mana output dari suatu komponen menjadi input komponen lainnya sehingga hampir seluruh aliran material bersifat siklis; sumber daya dan limbah tidak terdifinisi atau tidak dapat dibedakan, karena limbah dari satu komponen ekosistem menjadi sumber daya komponen lainnya. Kecuali input dari sumber fotosintetis dan sintesis kimia, sistem tipe ini mengarah ke proses nirlimbah dan nir-input material. Ekologi industri merupakan kerangka kerja baru yang diadopsi dalam manufaktur, konstruksi, dan proses industri untuk memberikan solusi inovatif dalam perencanaan strategis yang mengarah pada operasi dan produksi bersih. Kerangka industri tersebut mengintegrasikan sejumlah besar proses, kendala ekonomi, dan pertimbangan lingkungan, kesehatan dan keamanan untuk pemanfaatan sumberdaya secara optimal (Basu et al. 2006). Untuk kasus industri
106
pertanian bahkan dapat dicapai industri „nir input energi“, misalnya industri gula tebu (Bantacut dan Novitasari 2016). Penggunaan kembali dan daur-ulang limbah merupakan kegiatan yang signifikan dalam menciptakan sistem industri siklus tertutup. Sistem tertutup sempurna berarti nir limbah, dan nir input material dan energi (Gambar 5.6).
Gambar 5.6 Skema sistem tertutup aliran bahan dalam perspektif daur hidup (LMI 2015) Kecenderungan pembangunan industri ramah lingkungan dan berorientasi pada keberlanjutan telah mendorong pengembangan teknologi hijau. Teknologi baru yang lebih efektif, efisien, dan ramah lingkungan perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan kapabilitas dan kapasitas dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Teknologi yang ada saat ini perlu disempurnakan dan dioptimumkan, dan jika perlu diganti dengan teknologi yang ramah lingkungan, yaitu teknologi yang dapat melindungi lingkungan, tidak atau lebih sedikit mencemari lingkungan, menggunakan sumber daya sesuai dengan prinsip kesinambungan, dan mendaur-ulang lebih banyak limbahnya. Desain, pengembangan dan penerapan teknologi hijau membutuhkan pendekatan, metode, perangkat atau pendekatan yang tepat untuk merancang, dan menilai atau mengevaluasi efektivitas teknologi tersebut. Salah satu pendekatan untuk desain dan pengembangan teknologi hijau adalah “Dua belas prinsip rekayasa hijau” (The 12 priciples of green engineering/GE). Prinsip ini merupakan seperangkat 107
metodologi yang membangun kerangka kerja pada tahap perancangan dan evaluasi teknologi dengan fokus pada kriteria perancangan yang berkelanjutan, dan telah terbukti menjadi solusi inovatif untuk mencapai tujuan perancangan teknologi (Allen dan Shonnard 2001). Dengan menggunakan prinsip tersebut sebagai kerangka kerja, pembicaraan antardisiplin ilmu terkait dengan rancangan molekul, material, komponen, produk, dan sistem yang kompleks dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan bahasa yang universal. Anastas and Zimmerman (2003) menekankan bahwa rekayasa hijau pada dasarnya adalah pendekatan pengembangan dan komersialisasi proses industri yang layak secara ekonomi sekaligus layak secara ekologi dan sosial (mereduksi risiko bagi umat manusia dan lingkungan). Aspek penting dalam desain dan pengembangan teknologi adalah perspektif daur hidup yang mengintegrasikan isu-isu lingkungan ke dalam desain dan implementasi teknologi hijau, baik proses maupun produk memiliki daur hidup (Life Cycle). Daur hidup produk mencakup tahapan ekstraksi bahan baku, pemrosesan bahan, penggunaan, dan pembuangan produk. Daur hidup proses mencakup tahap perencanaan, riset, desain, operasi, dan “decommissioning”, baik pada daur hidup produk maupun proses, energi dan bahan digunakan pada setiap tahapan siklus hidup serta emisi dan limbah terbentuk di setiap tahapan siklus tersebut (Allen dan Shonnard 2001). Potensi dampak lingkungan di setiap tahapan pengembangan secara holistik dapat dianalisis menggunakan metode penilaian daur hidup (Life Cycle Assessment/LCA). Penilaian daur hidup dapat digunakan untuk memperkirakan dampak lingkungan secara holistik dan memilih alternatif teknologi proses produksi, metode, dan produk yang lebih baik berdasarkan kriteria tertentu, misalnya konsumsi energi, timbulan toksisitas, eutrofikasi, asidifikasi, emisi gas rumah kaca, deplesi ozon, dan penipisan sumber daya. Teknologi proses atau produk yang lebih ramah lingkungan dapat ditentukan dengan membandingkan proses atau produk yang berbeda dan memerhatikan potensi kerusakan lingkungan yang dapat terjadi. Dalam konteks keberlanjutan, kinerja ekonomi, dan kinerja lingkungan sering dinilai secara simultan. Produktivitas hijau dapat digunakan sebagai alat ukur dan strategi untuk menilai dan meningkatkan efektivitas penerapan teknologi hijau dan capaian kinerja lingkungan. Berbeda dengan pengertian produktivitas umumnya, yang didefinisikan 108
sebagai perbandingan nilai output per nilai input (perbandingan antara harga jual produk (SP) terhadap biaya produksi (PC)), produktivitas hijau memperhitungkan dampak lingkungan (EI) dari kegiatan tersebut. Indeks produktivitas hijau (GPI) didefinisikan nisbah produktivitas terhadap dampak lingkungan (Marimin et al. 2014; Vervaillie dan Bidwell 2000):
GPI =
Produktivitas SP/PC = Dampak Lingkungan IE
Nilai IE dapat dihitung dari jumlah emisi berupa limbah padat, cair, dan gas dengan pembobotan tertentu. Nilai GPI dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan industri yang bersangkutan menuju kenerja lingkungan yang lebih baik, melalui peningkatan produktivitas sekaligus menurunkan dampak lingkungan, serta dapat dibandingkan dengan industri sejenis atau dengan industri jenis lain sebagai patok tuju (benchmark). Dalam skala yang lebih luas, teknologi hijau dapat menjadi pedoman dalam pengembangan industri hijau dan ekonomi hijau melalui produksi dan konsumsi yang sekaligus melakukan konservasi sumber daya, mencegah dan mengendalikan pencemaran lingkungan, dan minimisasi risiko bahan polutan terhadap kesehatan (Gambar 5.7). Berkembangnya ekonomi hijau menunjukkan evolusi sektor lingkungan dan ekonomi tumbuh sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak lingkungan. Ekonomi hijau telah mengalami pertumbuhan pesat, sebagian sebagai akibat dari perubahan permintaan yang memberi penekanan yang lebih kuat pada keberlanjutan produk dan jasa industri. Kesadaran masyarakat yang lebih tinggi, bersama-sama dengan kebijakan pemerintah, peraturan lingkungan dan insentif ekonomi memengaruhi berbagai organisasi bisnis untuk mengarah kepada penggunaan teknologi hijau dan mengadopsi praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan (Eco Canada 2010).
109
Gambar 5.7 Peran teknologi hijau pada perwujudan pembangunan berkelanjutan (modifikasi dari UNIDO 2011)
Teknologi Hijau dalam Agroindustri Tabel 5.1 menunjukkan kelompok dan bidang-bidang potensial penerapan teknologi hijau, mencakup teknologi bahan baru (biomaterial, bioproduk), energi baru/terbarukan, teknologi proses/sistem/pelayanan, dan teknologi pengelolaan limbah/residu. Di bidang pertanian, teknologi kemurgi merupakan bagian teknologi hijau dalam industri pertanian yang memiliki berbagai keunggulan. Dengan teknologi ini komoditas dan biomassa pertanian yang ketersediaannya sangat melimpah (keunggulan komperatif) dikonversi menjadi produk-produk industri non-pangan dan energi yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan ramah lingkungan (Permeswaran 2010; Boeriu 2015). Ada banyak jenis produk kemurgi bernilai ekonomi tinggi karena fungsi dan karakteristiknya yang khas. Contoh produk kemurgi bernilai tinggi adalah flavor, obatobatan, fragran, pewarna, minyak, lilin, tannin, resin, gum, karet, biopestisida, dan polimer khusus yang secara komersial diekstraksi dari atau diproduksi dengan biokonversi biomassa pertanian (Klass 1998; Martin 1998).
110
Tabel 5.1 Bidang-bidang potensial penerapan teknologi hijau No Kelompok teknologi 1 Teknologi bahan baru / biomaterial
Contoh produk/proses/sistem Bioplastik dan biopolimer, biopestisida, pupuk biologis, pupuk organik, kitin dan kitosan, nanobiomaterial, produk herbal, dan bahan kimia lain berbasis hasil pertanian dan
2
3
4
Teknologi energi baru /
biomassa (produk kemurgi). Bioetanol, biodiesel, biogas, biobriket, biopelet, energi
terbarukan
angin, energi air, energi surya, energi panas bumi, energi
Teknologi proses
gelombang laut. Teknologi proses yang menggunakan energi ramah
hijau (green process
lingkungan, efisien material dan energi, hemat air, proses
technology)
biologis/mikrobiologis, proses menggunakan bahan daur-
Teknik/teknologi sistem
ulang. Pertanian terintegrasi, pertanian organik, pertanian presisi, agroekologi. rantai pasok hijau, produktivitas hijau, manufaktur ramping (lean manufacturing), logistik hijau, transportasi hijau, industri hijau, dan teknologi informasi
5
Teknologi pengelolaan
hijau. Teknologi air dan air limbah berkelanjutan, pengendalian
dan daur-ulang limbah
pencemaran udara, pengelolaan limbah padat, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dan (bio-)
remediasi lingkungan tercemar. Catatan: dikomplilasi dari berbagai sumber
Bioteknologi (OECD 1998) dan nanoteknologi (Nanoforum 2006; Parisi 2015) digunakan dalam mengkonversi limbah berupa biomassa pertanian menjadi produk-produk industri. Tabel 5.2 menunjukkan berbagai produk berbasis komoditas dan biomassa pertanian. Perkembangan riset untuk bahan-bahan kimia tersebut mencapai kemajuan yang berbeda-beda, mulai dari penelitian skala laboratorium, skala pilot plant, skala demonstrasi, dan skala komersial. Bahan kimia tersebut dapat menyubstitusi bahan kimia sejenis yang diturunkan dari bahan petrolium yang tidak terbarukan sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan sekaligus meningkatkan nilai tambah hasil pertanian.
111
Tabel 5.2 Bahan kimia berbasis hasil pertanian Skala lab./pilot plant/demonstrasi Asam glukolat, butadiena, asam glukorat, asam adipat, p-Xylena, asam asetat, asam akrilat, HMDA (hexamethylenediamine), asam 3-OHakrilat, polyhydroxyalkanoate/ PHA, polyhydroxybutyrate/PHB, aromatik, nanosilika dari abu ketel, nanopartikel dari tanaman (nanofiber), Minyak mikroalga, iso-butanol, asam sukinat, LC butnol, n-butanol, ABE (asetonbutanol-etanol), 2,5-FDCA (furan-2,5dicarboxylic acid)
Komersial Etilena, etilena glikol, propilena, propilena glikol, 1,3-propandial, epiklorohidrin, asam laktat, aseton, isobutana, asam sukinat, 1,3-butandiol, isoprena, asam dodekanoik, pupuk organik (pupuk cair dan padat), bioplastik, bioinsektisida, bioethanol, biogas, bioediesel, sorbitol, xylitol, furfural, asam itakonik, biogas, chitin dan chitosan, flavor, obat-obatan, fragran, pewarna, minyak, lilin, tannin, resin, gum, karet, pestisida, dan polimer khusus
Sumber: Boeriu (2015), Klass (1998), Parisi et al. (2015), Biddy et al. (2015), EU Commission (2015)
Biddy et al. (2015) menelaah produk-produk kimia dari biomassa dengan merinci jenis bahan kimia dengan prospek komersialisasi dalam waktu dekat. Identifikasi dan pemilihan produk-produk tersebut berdasarkan pada tingkat pengembangan saat ini, serta pertimbangan permintaan pasar. Produk kimia tersebut adalah 1,4-butanadiol, 1,3-butadiena, etil laktat, alkohol lemak, furfural, gliserin, isoprena, asam laktat, 1,3propanadiol, propilen glikol, asam suksinat, dan para-xilena. Asam adipat, asam akrilik, dan furan-2,5-dikarboksilat asam dikategorikan sebagai produk baru yang memiliki prospek. Beberapa produk kemurgi dipilih untuk prioritas pengembangan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang (Kemenperin 2015). Berdasarkan pentahapan pembangunan industri dan penetapan industri prioritas tersebut ditetapkan tahapan pembangunan industri prioritas sebagai berikut: 1. Jangka pendek (2015−2019): Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester/ FAME) dan bioavtur (Bio jet fuel); 2. Jangka menengah (2020−2024): Biodiesel, bioethanol, bioavtur, biogas dari limbah cair pabrik minyak sawit mentah, biomaterial untuk peralatan medis, “aromatic building blocks” berbasis lignin untuk sintesis obat/farmasi, dan bioetanol berbahan baku lignoselulosa dan limbah biomassa; dan 112
3. Jangka penjang (2025−2035): Biodiesel, bioavtur, turunan selulosa nano, serat dan polimer berbasis bio, komposit berbasis bio generasi baru, bahan bakar sekunder (bioetanol), bioetanol (berbahan baku lignoselulosa), bahan bakar hasil pirolisis biomassa. Teknologi hijau dapat diterapkan di berbagai tahap dalam siklus hidup komoditas dan biomassa pertanaian, mulai dari kegiatan pertanian, pengemasan, transportasi, distribusi, logistik komoditas, dan produk industri, kegiatan industri proses/pengolahan, konsumsi/penggunaan komoditas dan produk industri pertanian, dan daur ulang, penanganan dan pembuangan limbah. Gambar 5.8 menujukkan berbagai titik aplikasi atau inovasi teknologi hijau pada bidang pertanian dan hasil pertanian. Potensi terbesar pertanian adalah sebagai penghasil pangan, energi terbarukan, obat-obatan, bahan kimia industri, dan bioproduk lainnya sebagai substitusi bahan sintetik berbasis hasil tambang.
Gambar 5.8 Titik inovasi teknologi hijau pada bidang pertanian dan hasil pertanian Dua contoh berikut memberi ilustrasi teknologi hijau dalam industri pertanian yang menekankan mekanisme untuk meningkatkan
113
efisiensi penggunaan sumber daya, meningkatkan kinerja lingkungan, meningkatkan daya saing industri pertanian, sekaligus menurunkan risiko kesehatan manusia.
Energi dari Limbah Cair Industri CPO Salah satu industri pertanian yang mendapatkan tekanan isu lingkungan sangat kuat adalah industri kelapa sawit, terutama tekanan dari luar negeri, padahal kelapa sawit merupakan tanaman yang memegang peranan sangat strategis bagi Indonesia. Di samping sebagai sumber devisa, kelapa sawit juga menjadi sumber kehidupan sebagian penduduk. Jumlah tenaga kerja yang tertampung dalam usaha kelapa sawit sekitar 2,9 juta orang (2002) meningkat menjadi 3,8 juta jiwa (2009). Kelapa sawit juga berperan secara signifikan dalam perbaikan pendapatan dan kehidupan petani kelapa sawit, serta penggerak ekonomi daerah (Janurianto 2011). Salah satu penyebab masalah lingkungan industri sawit kasar (Crude palm oil/CPO) adalah limbah cair yang dihasilkan. Industri CPO menghasil limbah cair dalam jumlah besar dengan kandungan bahan organik tinggi. Limbah tersebut selama ini ditangani secara relatif sederhana, yaitu dengan mengalirkan ke dalam sistem kolam (ponding system). Di dalam sistem ini, bahan organik sebagian besar mengalami dekomposisi secara anaerobik dan menimbulkan bau busuk serta menimbulkan emisi metana yang bobotnya diperkirakan sekitar 3 persen dari CPO yang dihasilkan (Suprihatin et al. 2013). Emisi metana berkontribusi terhadap pemanasan global karena merupakan gas rumah kaca (GRK) dengan kekuatan 20−30 kali lebih kuat dibandingkan dengan gas karbon dioksida (CO2) (Porteous 1992). Emisi metana dari kolam stabilisasi dapat direduksi jika limbah cair diolah dengan menggunakan bioreaktor anaerobik yang dirancang secara khusus sehingga memungkinkan untuk menampung dan memanfaatkan produksi biogas sebagai bahan energi terbarukan. Satu liter limbah cair dapat dikonversi menjadi biogas dengan tingkat konversi rata-rata 19 liter biogas, setara 379±34 liter metana per kg COD terdegradasi atau 16 m3 biogas/ton TBS. Metode daur ulang ini tergolong murah dalam investasi dan operasional, ramah lingkungan, serta dapat dikonversi menjadi energi listrik untuk menyubstitusi sebagian energi minyak/ fosil untuk proses produksi dalam industri minyak kelapa sawit. 114
Pemanfaatan metana dari limbah cair industri minyak sawit mentah dalam pengurangan emisi dapat dibandingkan dengan kemampuan tanaman dalam penyerapan CO2e. Sebagai ilustrasi, jika teknologi penangkapan metana dan mengonversinya menjadi energi listrik diterapkan pada seluruh pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung (kapasitas total: 1,7 juta ton TBS/tahun, sekitar 32% dari kapasitas terpasang), pengurangan emisi dapat mencapai 275.945 ton CO2e per tahun (Suprihatin et al. 2013), setara dengan penyerapan karbon dioksida oleh sekitar 28.273 hektare hutan lestari per tahun (Pengelolaan Hutan Lestari/PHL mampu menyerap karbon dioksida sebesar 9,76 t CO2/ha/tahun, Bahruni 2012). Kemampuan reduksi emisi tersebut setara dengan kapasitas 9,7 juta pohon selama setahun, jika kemampuan penyerapan karbon dioksida 28.448 kg CO2/pohon/tahun, misalnya tanaman Samanea saman (dalam terminologi Indonesia adalah tanaman trembesi) (Santoso 2011). Hasil penialain daur hidup (Life cycle assessment) pada dua kasus POM 1 (PKS Lubuk Dalam) dan POM 2 (PKS Tandun) di Provinsi Riau (Suprihatin et al. 2015) menunjukkan bahwa porsi konsumsi energi untuk produksi 1 ton CPO sebesar 6.313 MJ untuk POM 1 dan 7.270 MJ untuk POM 2. Konsumsi energi yang paling banyak adalah untuk ekstraksi minyak sawit, yaitu mencapai sekitar 80−90 persen. Dengan NER 5,4−6,2 dan NEV 32-34 GJ/ton CPO, perolehan energi melalui produksi CPO tergolong tinggi. Emisi gas rumah kaca terbesar berasal dari pengolahan dan pembuangan limbah cair. Dengan penerapan teknologi penangkapan dan memanfaatkan metana dari proses dekomposisi anaerobik air limbah sebagai sumber energi (misalnya untuk menghasilkan listrik pada kasus POM 2), nilai NER (net energy ratio) dapat ditingkatkan dari 5,4 menjadi 5,7 dan NEV (net energy value) dari 32 menjadi hampir 34 GJ/ton CPO, dan emisi gas rumah kaca dapat direduksi sampai 970 kg CO2-eq/ton CPO. Peningkatan lebih lanjut kinerja lingkungan proses produksi CPO dapat dicapai melalui integrasi perkebunan kelapa sawit dengan peternakan sapi dan pemanfaatan limbah padat peternakan tersebut sebagai pupuk organik. Konsep tersebut di atas juga dapat diterapkan untuk industri yang relatif kecil, misalnya industri tahu (Romli dan Suprihatin 2009) dan industri pengolahan ikan (Romli dan Suprihatin 2009). Penerapan konsep ini dapat memperbaiki praktik pengelolaan lingkungan produksi yang pada gilirannya dapat menciptakan nilai tambah dan meningkatkan daya saing 115
produk (produk hijau) di pasar nasional ataupun internasional. Berbagai keuntungan dapat diperoleh dari pemanfaatan limbah cair CPO sebagai bahan biogas, yaitu reduksi biaya produksi melalui pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar, reduksi/substitusi bahan bakar fosil, produksi sludge sebagai pupuk organik, reduksi masalah lingkungan lokal (bau busuk) dan gangguan serangga, lalat, dan nyamuk; reduksi emisi gas rumah kaca; perbaikan sistem sanitasi. Semua manfaat tersebut dapat menyokong terciptanya industri minyak sawit yang berkelanjutan (Gambar 5.9). Selain keuntungan finansial dari energi listrik yang dihasilkan, reduksi emisi metana dapat dihargai secara finansial melalui mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism/CDM) sampai USD 20 per kg C (Soemarwoto 2001), atau € 0,69 per t CO2 (European Energy Bursa AG 2012). Potensi finansial terbesar dapat diperoleh dari pengurangan bea masuk ke negara importir CPO dan turunannya. Dengan praktik pengelolaan lingkungan yang lebih baik, hingga CPO Indonesia dan produk turunannya lebih ramah lingkungan dan digolongkan sebagai produk hijau, maka produk-produk tersebut dapat lebih diterima di pasar internasional. Keuntungan lain dapat berupa pengurangan biaya ekspor CPO ke negara-negara anggota APEC. Ketika CPO Indonesia tidak termasuk produk ramah lingkungan, sebagimana keputusan US EPA Notice of Data Availability (NODA) pada 27 Januari 2012 bahwa produk turunan kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan sehingga dikenakan bea masuk sebesar 13,5%, sedangkan jika termasuk produk ramah lingkungan dikenakan bea masuk hanya 0−5% (APEC 2012). Sebagai ilustrasi, ekspor CPO Indonesia ke negara-negara anggota APEC pada 2010 mencapai nilai USD 1.768.067.000 (Badan Pusat Statistik 2011), dan jika CPO Indonesia masuk dalam kategori produk ramah lingkungan, maka terdapat potensi penghematan sebesar USD 88.403.350–238.689.045 (setara Rp 1,2–3,3 T) per tahun (Tabel 5.3). Manfaat finansial ini dapat digunakan untuk pengelolaan lingkungan industri kelapa sawit yang berkesinambungan.
116
Tabel 5.3 Data ekpor CPO ke negara APEC dan potensi penghematan bea masuk Negara Tujuan
Jumlah ekspor (ton)*
Nilai ekspor (US$)*
Potensi Penghematan dari Bea Masuk (US$) Bea masuk 0%
Bea masuk 5% Bea masuk 13,5%
Jepang
7.408
5.869.000
792.315
293.450
498.865
Hongkong
52
55.000
7.425
2.750
4.675
Cina
108.827
93.832.000
12.667.320
4.691.600
7.975.720
Singapura
573.156
460.368.000
62.149.680
23.018.400
39.131.280
Malaysia
1.318.387
1.059.891.000
143.085.285
52.994.550
90.090.735
Vietnam
176.076
145.302.000
19.615.770
7.265.100
12.350.670
AS
3.000
2.750.000
371.250
137.500
233.750
Total
2.186.906
1.768.067.000
238.689.045
88.403.350
150.285.695
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)
Produksi Biomassa Mikroalga Kendala utama pertanian dalam menyediakan bahan pangan dan bahan energi adalah semakin terbatasnya lahan yang tersedia dan semakin rendahnya kesuburan tanah. Oleh karena itu, permasalahan pertanian di masa depan hanya dapat diatasi jika semakin banyak kegiatan pertanian yang tidak bergantung pada atau bebas dari ketersediaan lahan subur. Teknologi yang dapat memanfaatkan energi surya sebagai sumber energi fotosintesis secara lebih efisien yang harus didayagunakan. Salah satu alternatif untuk memanfaatkan energi surya secara efisien adalah melalui proses fotosintesis dengan memanfaatkan mikroalga dalam suatu sistem yang terkendali.
117
Gambar 5.9 Skema rantai nilai produksi biogas dari limbah cair industri CPO Mikroalga memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya, yaitu: i) produktivitas tinggi karena waktu generasi pendek, hanya dalam satuan hari (Gambar 5.10), ii) tidak memerlukan lahan subur sehingga tidak berkompetisi dengan tanaman pangan, iii) dapat dikombinasikan untuk pengelolaan lingkungan (daur-ulang nutrien, konservasi air, dan biofiksasi karbon dioksida/reduksi emisi gas rumah kaca), iv) efisien dalam penyerapan energi surya dan produktivitas tinggi (Gambar 5.11), dan v) biomassa mengandung bahanbahan bernilai tinggi seperti protein, minyak/lemak, vitamin, mineral, pigmen, β-karoten, bahan aktif, dan serat, yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan (Pedroni dan Banemann 2003). Sistem produksi mikroalga hanya membutuhkan sedikit biaya investasi dan biaya operasi/pemeliharaan (Garcea et al. 2000; Shelef dan Ozoz 2000). Kondisi iklim dan geografis, seperti intensitas sinar matahari sepanjang tahun, suhu udara relatif tinggi, dan ketersedian lahan juga mendukung aplikasi sistem ini di Indonesia. Potensi tinggi penggunaan biomassa mikroalga adalah sebagai bahan baku pembuatan biodisel (NREL 1998; Avagyan 2008; Pedroni dan Banemann 2003; Park et al. 2010). 118
Gambar 5.10 Laju mikroalga dalam limbah cair peternakan dan rumah potong hewan Produktivitas minyak mikroalga dari media limbah cair rumah pemotongan hewan (RPH) dan limbah cair peternakan masing-masing 20.000 dan 21.000 L/ha, lebih besar dibandingkan produktivitas minyak dari sumber minyak nabati lainnya namun lebih rendah dari produktivitas minyak mikroalga hasil penelitian Chisti (2007). Produktivitas lebih tinggi dapat dicapai dengan kultivasi jenis mikroalga unggul (kadar minyak tinggi) dan desain foto-reaktor yang memungkinkan reaksi fotosintesis berlangsung secara maksimum.
119
Gambar 5.11 Produktivitas minyak mikrolga dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya (Chisti 2007) (diarsir data hasil pengukuran sendiri) Tahapan yang paling penting dalam produksi mikroalga adalah pemanenan. Pemisahan dengan cara sedimentasi membutuhkan waktu lama karena perbedaan densitas mikroalga dan air sangat kecil. Metode yang efektif untuk pemanenan mikroalga adalah dengan membran filtrasi. Membran filtrasi tidak bergantung pada densitas mikroalga dan dapat menghasilkan air yang bermutu tinggi (bebas dari partikel, bakteri bahkan virus), dan dapat didaur-ulang untuk berbagai keperluan. Di sisi lain, konsentrat biomassa mikroalga digunakan sebagai bahan baku berbagai produk, seperti biofuel, bioenergi, dan bahan kimia bernilai tinggi lainnya. Terdapat berbagai metode produksi dan banyak jalan konversi alga menjadi biofuel, bioenergi, dan komoditas kimia (Smith dan Higson 2012). Sistem produksi mikroalga dan konversi biomassa mikroalga menjadi produk bernilai tinggi dapat memberikan manfaat ekonomi (produktivitas tinggi) dan manfaat lingkungan (konservasi air, daur-ulang hara/pencegahan eutrofikasi, dan substitusi bahan bakar fosil (reduksi emisi GRK). Kedua manfaat (ekonomi dan lingkungan) tersebut dapat berkontribusi dalam keberlanjutaan pengelelolaan limbah cair industri pertanian (sustainable wastewater treatment) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.12. 120
Gambar 5.12 Manfaat lingkungan dan finansial pemisahan biomassa mikroalga dengan membran filtrasi
Kendala dan Tantangan Teknologi Hijau Tantangan utama penerapan teknologi hijau adalah biaya atau harga teknologi tersebut, sebagaimana tantangan yang dialami pada pengembangan dan penerapan teknologi baru umumnya. Meskipun berbagai alat telah dikembangkan untuk kuantifikasi manfaat lingkungan, tetapi banyak manfaat teknologi hijau yang tidak mudah dikuantifikasi (intangible) dan tidak diperhitungkan dalam bentuk manfaat finansial, seperti manfaat pecegahan pencemaran, perbaikan estetika, pencegahan penyakit, kelestarian diversitas, pencegahan banjir, peningkatan kenyamanan dan produktivitas, sarana edukasi dan promosi, penyediaan oksigen, air bersih, dan pencegahan pemanasan global. Sebaliknya, kerugian akibat timbulan limbah dan kerusakan lingkungan sering tidak segera dapat dikenali dan bahkan sering bersifat akumulatif dan jangka panjang. Kesadaran dan kepedulian masyarakat pada lingkungan dan kesehatan saat ini secara umum dapat dikatakan masih kurang. Kontrol sosial terhadap penipisan sumberdaya dan tindakan pencemaran lingkungan tergolong masih rendah. Peraturan lingkungan belum sepenuhnya dapat ditegakkan. Komitmen sebagian industri pada pengelolaan lingkungan juga masih rendah sehingga industri tersebut belum merasa terdesak
121
untuk mengubah, memodifikasi atau bahkan mengganti teknologinya ke arah yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan pemerintah berupa dorongan, insentif dan disinsentif, berupa insentif fiskal (fasilitas pembebasan pajak, bea masuk ataupun subsidi), insentif finansial (pinjaman lunak, hibah dan pendanaan alternatif seperti pembayaran jasa lingkungan), dan instrumen pasar (lebel ramah lingkungan dan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism) (Wahyudin 2016), bagi penerapan teknologi hijau dinilai belum cukup. Teknologi hijau sering dinilai sebagai bukan kebutuhan saat ini. Pesaing utama teknologi dan produk hijau berbasis hasil pertanian (bioproduk dan bioenergi) adalah teknologi dan produk berbasis bahan sintetik turunan dari petrolium atau tambang (bahan tak terbarukan) sehingga tingkat daya saing bioproduk dan bioenergi sangat tergantung pada biaya produksi dan harga petroleum pada waktu dan tempat yang bersangkutan. Kecenderungan positif belakang ini mengarah pada pilihan teknologi hijau untuk menuju keberlanjutan industri, daripada teknologi konvesional yang terus mendapat tekanan baik tekanan biaya, masyarakat, maupun regulasi lingkungan. Dengan semakin menipisnya sumber daya tak-terbarukan, daya saing teknologi hijau akan semakin meningkat. Pemerintah juga telah mendorong pengembangan industri hijau yang dikaitkan dengan usaha untuk merealisasikan komitmen Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kebijakan pemerintah tersebut membutuhkan dukungan teknologi yang mampu memenuhi kriteria industri hijau.
Arah dan Pertimbangan Pengembangan Arah Pengembangan Perihal keberlanjutan suatu industri dapat bervariasi dari satu kasus ke kasus lain, dari satu negara ke negara lain bahkan dari satu tempat ke tempat lain. Masalah tersebut juga berkembang dari waktu ke waktu sejalan dengan keadaan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, arah pengembangan teknologi hijau untuk keberlanjutan industri harus disesuaikan dengan masalah riil yang sedang dan akan dihadapi oleh industri dalam mempertahankan
122
keberlanjutannya. Identifikasi masalah secara tepat dalam penentuan arah pengembangan teknologi merupakan langkah awal yang paling krusial, keberhasilan pengembangan teknologi ditentukan oleh ketepatan lagkah awal tersebut. Ilmuwan/teknolog, pelaku industri dan pengambil kebijakan (pemerintah) dapat memengaruhi arah pengembangan. Ilmuwan/teknolog dan pelaku bisnis dapat saling bekerja sama satu sama lain secara lebih intensif dalam menentukan arah dan strategi pengembangan dan penerapan teknologi hijau untuk meningkatkan relevansi aktivitas riset dan pengembangan, sedangkan pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator kegiatan sinergis tersebut. Pengembangan teknologi dapat bersifat “technology push” (dorongan inovasi teknologi) maupun “market pull” (tarikan bisnis). Selain atas ide kreatif dan inovatif para peneliti, arah riset, dan pengembangan teknologi hijau dapat mengacu pada visi bisnis global, seperti visi bisnis Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (World Business Council for Sustainable Development/WBCSB) 2050. Kebijakan pemerintah atau visi bisnis tersebut dapat dijadikan sebagai daya penarik arah pengembangan teknologi hijau (Tabel 5.3), mencakup pengembangan bidang utama: nilai-nilai kemanusiaan, pembangunan humaniora, ekonomi, pertanian, kehutanan, energi, bangunan, mobilitas, dan material. Arah pengembangan tersebut menarik karena diformulasikan oleh para pimpinan pelaku bisnis berkelas dunia. Dengan demikian, riset teknologi hijau akan mendekati atau bahkan tepat sesuai dengan kebutuhan industri/bisnis. Tabel 5.3 Daya tarik pengembangan teknologi hijau Bidang
Kondisi/persyaratan yang harus dipenuhi
Visi WBCSD untuk Keberlanjutan
Nilai-nilai
Insentif untuk perubahan, pemberdayaan wanita secara Satu dunia: manusia
kemanusian
ekonomi, pemahaman mandalam tentang lingkungan,
(People’s values).
ukuran baru kesuksesan.
Pembangunan
Pengelolaan perkotaan secara terintegrasi, kesempatan
Humaniora (Human bagi populasi usia tua, pemberdayaan wanita secara development).
dan planet bumi Semua kebutuhan dasar terpenuhi
ekonomi, akses pada pelayanan dasar, ukuran baru kesuksesan.
Ekonomi
Desiminasi teknologi, model-model keuangan
Nilai, biaya, dan profit
jangka panjang, komitmen pada penentuan
sebenarnya (true)
nilai sesungguhnya, penghilangan subsidi, dan kepemimpinan korporasi, lokal dan global. 123
Tabel 5.3 Daya tarik pengembangan teknologi hijau (lanjutan) Bidang Pertanian
Kondisi/persyaratan yang harus dipenuhi
Visi WBCSD untuk Keberlanjutan
Varietas tanaman baru, lebih banyak riset dan
Kecukupan pangan
pengembangan di bidang pertanian, efisiensi air,
dan bioenergi melalui
perolehan keuntungan, perdagangan bebas dan adil,
revolusi hijau baru
peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani. Kehutanan Energi
Bangunan
Efisiensi air, perolehan keuntungan, komitmen untuk
Pemulihan dan
pengurangan karbon.
regenerasi
Efisiensi air, efisiensi sisi permintaan, biaya energi
Ketahanan dan
terbarukan rendah, kesepakatan metode pengelolaan
kecukupan pasokan
GRK, harga karbon global.
energi rendah karbon
Model bisnis mengintergrasikan semua aktor, efisiensi
Bangunan-bangunan
sisi permintaan, investasi infrastruktur, aturan-aturan
yang hampir
untuk efisiensi energi, kesadaran pentingnya efisiensi
“nirenergi”
energi. Mobilitas
Inovasi dengan konsumen, mode transportasi alternatif Mobilitas aman dan dan lebih efisien, solusi transpor terintergrasi, investasi rendah karbon infrastruktur, standar bahan bakar bio, kesadaran pentingnya efisiensi energi.
Material
Inovasi dengan konsumen, efisiensi energi dalam
Nirlimbah partikel (Not
produksi, inovasi rantai nilai, desain siklus tertutup,
a particle of waste)
“passing out” tempat pembuangan sampah (TPA).
Sumber: Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (WBCSD) http://www. infosys.com/newsroom/features/Documents/2050-agenda-business.pdf)
Arah pengembangan industri sebagaimana digambarkan di atas menunjukkan bahwa perubahan iklim global telah memengaruhi berbagai aktivitas pelaku ekonomi dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Secara bertahap namun pasti, perusahaan swasta dan perusahaan milik negara menyadari kebutuhan untuk adaptasi pada kondisi dan tantangan baru tersebut dengan melakukan investasi hijau yang semakin meningkat dan membangun kerangka hukum dan kelembagaan yang mendukungnya (Voica et al. 2015). Sebagai contoh, Kebijakan Pertumbuhan Hijau di Korea Selatan telah disimbolkan dengan pergeseran paradigma untuk mengatasi perubahan iklim global, penipisan bahan bakar fosil, dan resesi ekonomi global. Paradigma yang dimunculkan untuk membuat “mesin baru” untuk pertumbuhan ekonomi melalui teknologi hijau dan energi bersih. Pada tahun 2011 Pemerintah Korea meluncurkan Roadmap Strategi Energi Hijau
124
(2011−2030) yang bertujuan memposisikan Korea sebagai negara yang unggul dalam industri energi hijau (Lee dan Yu 2012). Kebijakan pengembangan teknologi hijau di Indonesia terkandung secara implisit dalam kebijakan pengembangan ekonomi hijau dan industri hijau. Bappenas (2014) menetapkan ciri ekonomi hijau sebagai berikut: (i) peningkatan investasi hijau; (ii) peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan pekerjaan pada sektor hijau; (iii) peningkatan pangsa sektor hijau; (iv) penurunan energi/sumber daya yang digunakan dalam setiap unit produksi; (v) penurunan CO2 dan tingkat polusi per GDP (Gross Domestic Product) yang dihasilkan; serta (vi) penurunan konsumsi yang menghasilkan sampah (decrease in wasteful consumption). Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah (c.q. Kementerian Perindustrian) terus berupaya mengembangkan industri hijau sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 3/2014 tentang Perindustrian, di mana salah satu tujuan pembangunan industri adalah mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing dan maju, serta Industri Hijau. Untuk mendorong pertumbuhan Industri Hijau, yaitu industri yang dalam proses produksinya menerapkan upaya efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan sumber daya secara berkelanjutaan, pemerintah mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, perencanaan pembangunan, dan kegiatan ekonomi; pendanaan lingkungan hidup; dan insentif dan/atau disinsentif berupa insentif fiskal (fasilitas pembebasan pajak, bea masuk ataupun subsidi), insentif finansial (pinjaman lunak, hibah, dan pendanaan alternatif seperti pembayaran jasa lingkungan), dan instrumen pasar (lebel ramah lingkungan dan mekanisme pembangunan bersih). Dorongan, insentif, dan disinsentif tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan teknologi hijau yang dapat mempercepat implementasi konsep industri hijau dan ekonomi hijau.
Pertimbangan dalam Pengembangan Sepuluh poin penting dalam pengembangan teknologi hijau, terutama yang berbasis bioteknologi (OECD 1998) adalah: i) masalah lingkungan global akan terus mendorong peningkatan produk dan proses industri yang ramah lingkungan, ii) Bioteknologi merupakan teknologi yang memungkinkan untuk mencapai produk dan proses industri yang ramah lingkungan yang menjadi dasar untuk keberlanjutan industri,
125
iii) Pengukuran tingkat “kehijauan” produk atau proses industri adalah penting, walaupun kompleks, dan LCA (life cycle assessment) dinilai sebagai perangkat terbaik saat ini untuk membuat penilaian tersebut, iv) Penggerak utama proses bioteknologi industri adalah ekonomi (kekuatan pasar), kebijakan pemerintah, ilmu pengetahuan dan teknologi; v) Penetrasi bioteknologi bersih untuk tujuan lingkungan membutuhkan upaya riset dan pengembangan kerja sama pemerintah dan industri; vi) Guna bioteknologi dapat mencapai potensi penuhnya sebagai dasar bagi produk dan proses industri yang bersih dibutuhkan tambahan upaya riset dan pengembangan, vii) Bioteknologi, termasuk teknologi DNA rekombinan dan aplikasi, menjadi semakin penting sebagai sarana untuk menciptakan nilai tambah produk dan untuk mengembangkan biokatalis sehingga ada kebutuhan yang kuat untuk peraturan harmonis dan pedoman responsif; viii) Kekuatan pasar dapat memberikan insentif yang sangat kuat untuk mencapai tujuan lingkungan; ix) Kebijakan pemerintah meningkatkan produk dan proses industri ramah lingkungan dapat menjadi faktor yang paling menentukan dalam pengembangan dan penggunaan teknologi ramah lingkungan; serta x) Komunikasi dan pendidikan diperlukan untuk meningkatkan penetrasi bioteknologi untuk produk dan proses ramah lingkungan dalam berbagai sektor industri. Kesempatan untuk mengurangi dampak lingkungan dari pengembangan proses dan produk baru dapat terjadi di setiap tahap pengembangan, mulai dari pengembangan ide, pengembangan prototipe hingga menjadi produk, tahapan-tahapan R&D, sinstesis proses, desain konseptual, desain awal, desain detail, konstruksi dan operasi (start up). Dengan demikian, desain pro lingkungan menjadi bagian dari proses pengembangan teknologi proses dan produk tersebut. Kesempatan terbesar untuk mengurangi dampak lingkungan dari produk baru dapat terjadi selama fase desain (Fitzgerald et al. 2005). Pada tahap awal, potensi advokasi desain pro lingkungan sangat tinggi dan semakin menurun dengan meningkatnya tahapan proses desain, sejalan dengan ketersediaan “ruang” untuk melakukan tindakan pencegahan pencemaran. Sebaliknya, usaha penanganan limbah secara end of pipe semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ketersediaan data/ informasi proses. Ruang untuk tindakan pencegahan pencemaran meningkat dengan meningkatnya tahapan pengembangan dan mencapai titik maksimum pada tahap desain konseptual, dan menurun kembali pada 126
tahap selanjutnya. Dengan demikian, penerapan konsep perlindungan lingkungan harus memprioritaskan usaha-usaha preventif pada tahap awal pengembangan teknologi proses atau produk dengan hierarki: pencegahan limbah (waste avoidance), penggunaan kembali (reuse), reduksi, daur ulang, perolehan kembali sumber daya, pengolahan, dan pembuangan limbah secara aman. Penggunaan prinsip-prinsip rekayasa hijau pada awal proses desain akan menghasilkan proses dan produk yang berkelanjutan di masa yang akan datang. Keberlanjutan telah menjadi fokus dari banyak penelitian selama beberapa dekade terakhir sebagai upaya manusia untuk mengejar kehidupan yang lebih untuk generasi sekarang dan mendatang. Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi paradigma perlindungan lingkungan reaktif dengan fokus pada tantangan mendesak dan kompleks yang mengancam vitalitas dan integritas umat manusia. Penelitian-penelitian tersebut bertujuan menemukan cara yang terbaik untuk menjembatani kesenjangan antara kemajuan ilmu dan kebutuhan masyarakat melalui pemahaman yang lebih baik tentang pengaruh akitivas manusia pada alam sekitar. Kemudian, perspektif reaktif akan diganti dengan perlindungan proaktif yang memfasilitasi dengan teknologi yang lebih sesuai yang memungkinkan hubungan harmonis manusia dan alam (Bantacut et al. 2016). Pengembangan teknologi hijau dapat dilakukan secara optimum melalui kegiatan tridaharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kebutuhan untuk memperkenalkan konsep rekayasa hijau kepada mahasiswa menjadi semakin penting dan diakui oleh industri dan masyarakat. Rekayasa hijau dianggap sebagai cara keteknikan yang harus dilakukan untuk meminimumkan risiko dampak proses dan produk pada lingkungan dan kesehatan manusia. Penggunaan praktik-praktik rekayasa hijau adalah suatu metode untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Sarjana atau insinyur sebagai perancang proses dan produk memiliki peranan sentral dalam perancangan dan pengoperasian proses yang memiliki dampak lingkungan yang minimal. Sebagai pendidik, dosen dapat menyiapkan mahasiswa dalam menggunakan perangkat penilaian risiko rekayasa hijau untuk merancang atau memodifikasi proses dan produk baru. Dengan demikian, rekayasa hijau dan perangkat analisisnya dipandang perlu menjadi komponen kurikulum pendidikan keteknikan (Hesketh et al. 2004). 127
Teknologi hijau dapat menjadi spirit dalam pelaksanaan misi perguruan tinggi, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Lembaga pendidikan tinggi dapat meningkatkan kontribusinya dengan menyediakan kebutuhan berupa perluasan dan penajaman pendidikan di bidang teknik proses, teknik industri dan bidang lainnya agar berorientasi pada keberlanjutan. Konsep-konsep seperti analisis daurhidup dan keberlanjutan lingkungan perlu diintegrasikan sepenuhnya ke dalam sistem pendidikan tinggi guna menanamkan pemikiran ke depan mahasiswa. Teknologi hijau dapat dijadikan sebagai basis kreativitas dan inovasi dalam sistem pendidikan berorientasi technopreneurship (green innovation) guna menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan dan memanfaatkan peluang bisnis berbasis teknologi hijau. Seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat pada isu lingkungan, kebutuhan ilmu dan teknologi serta SDM di bidang pengelolaan lingkungan semakin meningkat untuk menjamin keberlanjutan industri. Upaya nyata perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan lingkungan industri saat ini dan di masa mendatang melalui pengembangan ilmu dan teknologi yang lebih ramah lingkungan (green technology) guna mendukung salah satu dari tiga pilar keberlanjutan (three bottom lines). Program pendidikan tinggi perlu mengintegrasikan pengetahuan rekayasa proses dan manajerial untuk memenuhi permintaan sumber daya manusia profesional yang semakin meningkat dengan berbagai tingkatan kualifikasi yang mampu menemukan solusi untuk keberlanjutan industri. Program pendidikan seyogianya memberikan keahlian komprehensif bagi lulusan dalam pengembangan teknologi secara menyeluruh mulai dari kegiatan riset dan pengembangan, sintesis proses, perancangan (desain dan konstruksi), pengoperasian, pengendalian, dan pengembangan dengan mempertimbangkan pendekatan terpadu dari dimensi manajemen lingkungan industri, meliputi proses produksi, teknologi hijau, produk ramah lingkungan (green products), bahan baku, serta aktivitas-aktivitas pendukung lainnya (distrisbusi, transportasi, logistik, dan pemasaran), penggunaan energi dan air, dan pasokan bahan pembantu (green chemicals). Program pendidikan perlu mengajarkan metode untuk menetapkan kebijakan dan prosedur untuk memenuhi persyaratan regulasi memenuhi kebutuhan bisnis (ekonomi), menanamkan kesadaran dan kompetensi metodologis lulusan dalam 128
mempertimbangkan isu-isu lingkungan spesifik dalam pengembangan industri dan pengelolaan lingkungannya. Pembangunan berkelanjutan akan mustahil tanpa inovasi kreatif berdasarkan ilmu dan teknologi maju. Kemajuan dan daya saing suatu bangsa hampir tidak mungkin dapat dicapai tanpa melalui inovasi. Oleh karena itu, pendidikan tinggi perlu meningkatkan iklim yang kondusif bagi kesinambungan dan integrasi peran penelitian dan pendidikan di bidang inovasi teknologi hijau dalam konteks yang lebih luas dan jangka panjang. Ribuan penelitian di perguruan tinggi yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa (program S-1, S-2, dan S-3) perlu dipertajam fokusnya pada pengembangan dan implementasi teknologi ini untuk memecahkan persoalan nyata, dan menyiapkan ilmuwan atau peneliti atau praktisi yang handal masa depan. Dalam upaya mewujudkan perguruan tinggi berbasis riset (research based university), berbeda dengan lembaga penelitian lainnya, penelitian harus terkait secara erat dengan pendidikan dan pengajaran, keduanya harus berhubungan secara harmonis yang satu mendukung yang lainnya. Sumber dana penelitian ke arah pembangunan industri berkelanjutan sebenarnya cukup tersedia, yang diperlukan adalah ide kreatif dan innovatif. Selain sumber dana penelitian dari pemerintah, peluang yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan desain program penelitian adalah kolaborasi mutualistik dengan dunia industri/bisnis dan kerjasama internasional. Dalam konteks penelitian kerja sama dengan industri, tantangan ke depan adalah membuat kondisi yang kondusif, yaitu: i) adanya hasil penelitian yang berkontribusi nyata dalam pengembangan industri, ii) komunikasi dan sinergi dalam perencanaan penelitian dengan industri, dan iii) kesediaan industri untuk bekerja sama dalam mengembangkan kemitraan jangka panjang dengan mekanisme pendanaan dan pemanfaatan hasil penelitian secara adil dan saling menguntungkan. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat (industri) perlu diupayakan secara lebih aktif dan interaktif untuk meningkatkan kontribusi perguruan tinggi pada pembangunan ekonomi nasional dan peningkatan daya saing bangsa melalui intervensi teknologi. Teknologi hijau yang telah dikembangkan di perguruan tinggi perlu ditindaklanjuti oleh praktisi industri. Oleh karena itu, perlu kerja sama erat antara perguruan
129
tinggi dan industri. Program pengabdian pada masyarakat ini dilakukan melalui pemanfaatan keunggulan sumber daya perguruan tinggi, seperti kepakaran (expertise), dan pengalaman (experience), hasil penelitian, data/informasi, dan kekuatan jejaring.
Pengembangan Etika Lingkungan Masalah lingkungan hidup bukan hanya masalah teknis-teknologis, tetapi juga menyangkut masalah moral dan perilaku. Kasus pencemaran lingkungan di darat, laut dan atmosfer, dan penipisan sumber daya bersumber dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli, dan hanya mementingkan diri sendiri. Oleh karena itu, pemecahan masalah lingkungan hidup harus menyentuh perubahan cara pandang dan perilaku manusia menuju ramah lingkungan. Pendidikan etika lingkungan harus ditanamkan pada setiap individu sejak dini, baik dari keluarga, masyarakat, dan sekolah formal dan informal, dari dasar hingga perguruan tinggi sehingga etika (nilai dan norma) lingkungan dijadikan tuntunan seseorang maupun kelompok orang baik sebagai individu, masyarakat, pelaku industri, maupun penentu kebijakan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Implementasi prinsip-prinsip etika dan moral (akhlak) secara menyeluruh baik di tingkat individu, masyarakat, pelaku ekonomi/industri, dan penentu kebijakan diyakini akan dapat menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang merupakan kondisi bagi terwujudnya pembangunan pembangunan yang berkelanjutan (Romli 2016). Dalam konteks hubungan bisnis/ industri dan lingkungan, bisnis/industri memiliki kewajiban melindungi lingkungan sebagaimana dipersyaratkan peraturan lingkungan harus berinteraksi dan bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat dalam membangun peraturan lingkungan. Dunia bisnis/industri harus mengembangkan dan menunjukkan kepemimpinan etika dan moral lingkungan (Hoffman 1991), dan hendaknya di depan (leading) dalam inovasi pengelolaan lingkungan modern, termasuk pengembangan dan penerapan teknologi hijau.
130
Penutup Inovasi teknologi hijau menawarkan solusi prospektif bagi pemecahan masalah pertumbuhan industri dan lingkungan, melalui penghematan dan substitusi penggunaan input bahan dan energi tak-terbarukan, produksi barang dan jasa ramah lingkungan, dan meminimumkan emisi (padat, cair, dan gas). Teknologi hijau saat ini bahkan telah menjadi kecenderungan dan bergerak ke arah paradigma baru (OECD 1998). Selain kreativitas peneliti, riset dan pengembangan teknologi hijau perlu berorientasi “tarikan pasar“ (market pull) untuk meningkatkan relevansinya dengan kebutuhan industri sehingga semakin banyak teknologi hijau hasil penelitian yang diterapkan oleh industri. Menyeimbangkan aspek bisnis, lingkungan, dan sosial merupakan pekerjaan yang berat bagi sebagian besar industri; tetapi hal ini penting untuk keberlanjutannya. Sebagaimana diilustrasikan pada kasus industri CPO dan produksi mikroalga di atas, teknologi hijau menawarkan “winwin solution“ antara kepentingan bisnis dan kepentingan lingkungan. Inovasi teknologi hijau dapat digunakan sebagai perangkat dan instrumen, sebagai pengetahuan dan budaya untuk mengantisipasi tekanan biaya dan regulasi, bahkan dapat mengubah acaman tersebut menjadi peluang bisnis prospektif. Teknologi hijau dikombinasikan dengan technopreneurship mampu tidak hanya menghemat sumber daya dan melindungi lingkungan, tetapi juga menciptakan nilai tambah, dan meningkatkan daya saing sehingga memperkuat keberlanjutan industri. Teknologi hijau bukan lagi kebutuhan masa depan melainkan masa sekarang, dan ini merupakan kesempatan yang besar bagi pebisnis dan entrepreneur, bagi akademisi/ilmuwan, dan insinyur untuk menjadikan pertanian dan hasil pertanian sebagai pemasok utama bahan baku, produk terbarukan dan penggerak utama pembangunan industri berkelanjutan yang menopang kemakmuran nasional. Berbagai cerita sukses (success story) penerapan teknologi hijau baik dari dalam maupun luar negeri perlu direplikasi, seperti pertanian terpadu, pertanian presisi, pengelolaan lingkungan industri terpadu, sistem tertutup (closed loop) pada agroindustri, produk-produk kimia berbasis hasil pertanian, dan bioenergi komersial. Demikian juga, hasil-hasil penelitian prospektif di skala laboratorium atau skala pilot yang menerapkan bioteknologi dan nanoteknologi perlu di-ganda-skala-kan dan didemonstrasikan sampai pada skala industri. 131
Makalah ini dimaksudkan untuk menunjukkan indikasi tingginya potensi kontribusi teknologi hijau dalam menopang keberlanjutan industri. Riset dan pengembangan lebih lanjut masih diperlukan dengan memperhatikan kasus per kasus secara spesifik dan mendalam guna memanfaatkan potensi yang ada secara optimum. Semoga pemikiran ini dapat memberi tambahan inspirasi bagi mahasiswa, peneliti muda, atau kolega yang memiliki minat dan ketertarikan yang sama untuk secara sinergis mengembangkan teknologi hijau lebih lanjut guna membuat langkah besar bagi keberlanjutan agroindustri pada khususnya, dan kemajuan pertanian pada umumnya.
132
Pustaka Adams WM. 2006. The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and Development in the Twenty-first Century. Report of the IUCN Renowned Thinkers Meeting, 29–31 January 2006. [Diakses pada: http://cmsdata.iucn.org/downloads/iucn_future_of_ sustanability.pdf]. [Diakses pada 31 Oktober 2016]. Allen DT and David R. Shonnard. 2001. Green engineering: environmentally conscious design of chemical processes and products. September 2001. AIChE Journal 47(9): 1906−1910. Anastas PT and Zimmerman JB. 2003. Design through the twelve principles of green engineering. Env. Sci. and Tech. 37(1): 95−101. Avagyan A. 2008. Global prospects for microalgae production for biofuels and for the preservation of nature. Global Fuels Magazine. February 2008, p. 22−27 Ayres RU, Ayres LW. 2002. A Handbook of Industrial Ecology. Eds. Edward Elgar, Cheltenham, UK. Northampton MA, USA. Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bahruni. 2012. Analisis Kerangka Insentif Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari Sebagai Pilihan Penting dalam Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari dan oleh Hutan Tropis [Laporan Teknis]. Jakarta: Kementerian Kehutanan RI. Bantacut B, Suprihatin, Romli M. 2016. Research and Education for Sustaining Resource and Environment: A Case of Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University Indonesia. Paper dipresentasikan pada 2nd ILCAN Conference Series on Life Cycle Assessment: Life Cycle Perspective for Sustainable Development. Karawaci, Tangerang, November 2−3, 2016 Bantacut T, Novitasari D. 2016. Energy and water self-sufficiency assessment of the white sugar production process in Indonesia using a complex mass balance model. Journal of Cleaner Production. 126: 478−492.
133
Basu AJ, Dirk JA, van Zyl. 2006. Industrial ecology framework for achieving cleaner production in the mining and minerals industry. Journal of Cleaner Production. 14:299−304. Biddy MJ, Scarlata C, Kinchin C. 2015. Chemicals from Biomass: A Market Assessment of Bioproducts with Near-Term Potential. National Renewable Energy Laboratory 15013 Denver West Parkway. [Diakses pada: http://www.nrel.gov/docs/fy16osti/65509. pdf] [Diunduh pada: 4 November 2016]. Boeriu CG. 2015. Biobased economy: current developments and future trends. Wageningen: Food and Biobased Research. Cato SM. 2009. Green Economics. London: Earthscan, p. 36–37. Chisti Y. 2007. Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances 25: 294−306. Clark JH. 1999. Green chemistry: challenges and opportunities. Green Chemistry. February 1999: 1−9. Clark JH. 2005. Green Chemistry and Environmentally Friendly Technologies. In C.A.M. Afonso and J. G. Crespo (Eds). Green Chemistry for Sustainable Development. Green Separation Processes. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim. EcoCanada. 2010. Defining the Green Economy. Labour Market Research Study. [Di akses pada: http://www.eco.ca/pdf/Definingthe-Green-Economy-2010.pdf]. EU Commission. 2015. From the Sugar Platform to biofuels and biochemicals Final report for the European Commission DirectorateGeneral Energy N° ENER/C2/423-2012/SI2.673791 April 2015. EU Commission. https://ec.europa.eu/energy/sites/ener/files/ documents/. European Energy Exchange AG. 2012. Certified emission reductions futures. [Diakses pada: http://www.eex.com/en/Market%20Data/ Trading%20Data/Emission%20Rights/]. Fitzgerald DP, Herrmann JW, Sandborn PA, Schmidt LC, Gogoll TH. 2005. Beyond Tools: A Design for Environment Process. International Journal of Performability Engineering. 1(2): 105−120.
134
Garcea J, Nemeddine A, Hamouri BE. 2000. Wastewater treatment by pond system: Experiences in Catalonia, Spain. J. Water Sci. and Technol. 41(10–11): 35−42. Hesketh RP, Slater CS, Savelski MJ, Hollar K, Farrel S. 2004. A program to help in designing courses to integrate green engineering subsjects. Int. J. Engng Ed. 20(1): 113−123. Hoffman WM. 1991. Business and Environmental Ethics. Business Ethics Quarterly. 1(2): 169−184. Hsu CH, Jeng WL, Chang RM, Chien LC, Han BC. 2011. Estimation of Potential Lifetime Cancer Risks for Trihalomethanes from Consuming Chlorinated Drinking Water in Taiwan. Environmental Research Section A. 85: 77−82. Hur T, Kim I. Dan Hines P. 2004. Lean logistics. International Journal of physical distribution and logistics management. 12(4): 235−246. Ibrahim N, Aziz HA. 2014. Review Paper Trends on Natural Organic Matter in Drinking Water Sources and its Treatment. International Journal of Scientific Research in Environmental Sciences, 2(3): 94−106. [Diakses pada: http://www.ijsrpub.com/ijsres] ISSN: 2322−4983. [Diakses pada: http://dx.doi.org/10.12983/ijsres-2014p0094-0106]. Janurianto A. 2011. The Role of Palm Oil Business Players to People Prosperity: “BSP” Experience. International Conference and Exhibition of Palm Oil. Jakarta, May 11−13, 2011. Kementerian Perindustrian. 2015. RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL 2015–2035. Jakarta: Pusat Komunikasi Publik, Kementerian Perindustrian. Klass DL. 1998. Biomass for Renewable Energy, Fuels, and Chemicals. London: Academic Press. Lee JS, Jung-Min Yu JM. 2012. The Economic Opportunities and Constraints of Green Growth The Case of South Korea. Ifri Center for Asian Studies, Paris. WEBSITE: Ifri.org LMI. 2005. Best Practices in Implementing Green Supply Chains. [Diakses pada: http://postconflict.unep.ch/humanitarianaction/ documents]
135
Loehr RC. 1974. Agricultural Waste Management: Problem, Process, and Approach. New York: Academic Press. Marimin, Darmawan MA, Machfud, Putra, MPI, Wiguna B. 2014. Value chain analysis for green productivity improvement in the natural rubber supply chain: a case study. Journal of Cleaner Production. 85: 201−211. Martin AM. (Eds). 1998. Bioconversion of Waste Materials to Industrial Products, 2nd Ed. London: Blackie Academic & Profesional. Nanoforum. 2006. Nanotechnology in Agriculture and Food A Nanoforum report. [Diakses pada: www.nanoforum.org] Tiju Joseph and Mark Morrison Institute of Nanotechnology April 2006. [Diunduh pada: 4 November 2006]. NREL. 1998. A Look Back at the US Department of Energy’s Aquatic Species Program: Biodiesel from Microalgae. US National Energy Department. OECD. 1998. Biotechnology For Clean Industrial Products And Processes: Towards Industrial Sustainability. Paris: Organisation For Economic Co-Operation And Development. Parisi C, Vigani M, Rodríguez-Cerezo E. 2015. News And Opinions Agricultural Nanotechnologies: What are the current possibilities? Nano Today (2015). 10: 124−127. Park JBK, Craggs RJ, and Shilton AN. 2010. Watewater treament high tate algal ponds for biofuel production. Article in press. Bioresour. Technol. (2010), doi:10.1016/j.biortech.2010.06.158. Pedroni P, Banemann J. 2003. Microalgae for greenhouse gas abatement: An international R&D opportunity. Ambiente TPoint 1/2003. 24−28. Permeswaran P. 2010. Chemurgy: Using Science Innovatively to Save American Agriculture from Overproduction. The History Teacher. 4(1)1: 95−126. Porteous A. 1992. Dictionary of Environmental Science and Technology, 2nd ed. New York: John Wiley and Sons. Romli dan Suprihatin. 2009. Set Up Model Industri Recycling Minyak Ikan di Muncar. Jurnal Kelautan Nasional. Edisi Khusus Januari 2009. 2: 119−130. 136
Romli M. 2016. Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Melalui Prinsip-prinsip Etika dan Moral Islam. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Bogor, 8 Oktober 2016. Romli M, Suprihatin. Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Tahu dan Analisis Alternatif Strategi Pengelolaannya. Jurnal Purifikasi. 10(2): 141−154. Santoso SN. 2011. Penggunaan Tumbuhan sebagai Pereduksi Pencemaran Udara [skripsi]. Surabaya: Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan-Institut Teknologi Sepuluh November. Shelef G, Azov Y. 2000. Meeting stringent environmental and reuse requirements with an integrated pond system for the twenty-first century. Water Sci. and Technol. 42(10−11): 299−305. Smith C, Higson A. 2012. Research Needs in Ecosystem Services to Support Algal Biofuels, Bioenergy and Commodity Chemicals Production in the UK . A Project for the Algal Bioenergy Special Interest Group. NNFCC Biocentre, York Science Park, Innovation Way, Heslington York YO10 5DG, UK. Soemarwoto O. 2001. Peluang Berbisnis Lingkungan Hidup Di Pasar Global untuk Pembangunan Berkelanjutan. Makalah Seminar “Kebijakan Perlindungan Lingkungan dan Pembangunan berkelanjutan Indonesia di Era Reformasi dalam Menghadapai KTT Rio + 10”. Jakarta, 8 Februari 2001. Suprihatin dan Romli M. 2009. Pendekatan Produksi Bersih dalam Industri Pengolahan Ikan: Studi Kasus Industri Penepungan Ikan. Jurnal Kelautan Nasional. Edisi Khusus Januari 2009. 2: 131– 143. Suprihatin dan Yani M. 2016. Teknologi Proses Biofiltrasi untuk Pengolahan Air dan Air Limbah. Bogor: IPB Press. Suprihatin S, Nugroho, AW, Suparno O, dan Sarono. 2015. Life cycle assessment of integrated palm oil industry with scenarios of liquid and solid wastes utilization and integration with cattle farm. Proceeeding of the 5th Environmental Technology and Management Conference “Green Technology towards Sustainable Environment” November 23−24, 2015, Bandung, Indonesia.
137
UNIDO. 2011. Green Industry Initiative for Sustainable Industrial Development. United Nations Industrial Development Organization. Vienna, October 2011. Van Berkel R. 2000. Cleaner production for process industries. Plananry Lecture – Chemeca 2000, 9−12 July, Perth WA. Vergragt, PJ. 2006. How Technology Could Contribute to a Sustainable World. Tellus Institute, Boston, MA 02116. Vervaillie HA, Bidwell R. 2000. Measuring eco-efficiency: A guide to reporting company performance. Available: www.wbcsd.org/web/ publications/ measuring_eco_efficiency.pdf Voica MC, Panait M, Radulescu I. 2015. Green Investments - between necessity, fiscal constraints and profit. nd International Conference ‘Economic Scientific Research - Theoretical, Empirical and Practical Approaches’, ESPERA 2014, 13-14 November 2014, Bucharest, Romania. Procedia Economics and Finance. 22: 72–79. Wahyudin D. 2016. Strategi konsep ekonomi hijau sebagai suistainable development goals di indonesia. Prosiding Seminar STIAMI. 03(1): 34−45.
138
BAB VI PROSES HILIR DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN NILAI TAMBAH PRODUK AGROINDUSTRI1 Erliza Noor2
Pendahuluan Agroindustri merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah produk primer komoditas pertanian yang sekaligus dapat mengubah sistem pertanian tradisional menjadi lebih maju. Salah satu kendala agroindustri di Indonesia adalah masih rendahnya upaya transformasi produk. Hal ini terlihat dari mayoritas komoditas pertanian yang diekspor masih berupa bahan mentah dengan indeks retensi pengolahan sebesar 71−75% (Bappenas 2014). Angka ini menunjukkan bahwa hanya 25−29% produk pertanian Indonesia yang diekspor dalam bentuk olahan. Hal ini menjadi penyebab rendahnya nilai tambah produk ekspor pertanian. Tantangan pengolahan lanjutan dalam proses hilir (downstream processing) menjadi penting dalam perkembangan agroindustri di Indonesia. Proses hilir pada prinsipnya digolongkan atas tiga kategori, yaitu isolasi produk yang diinginkan, pemurnian produk, dan polishing atau formulasi produk. Dari kategori ini isolasi dan pemurnian produk mendapat perhatian yang besar dari peneliti-peneliti. Pengembangan diarahkan pada penemuan metode baru maupun modifikasi dan pengoptimalan proses yang sudah dikenal dalam bidang teknik kimia. Interaksi dan kaitan antara unit operasi serta perpindahan massa di bidang teknik kimia dan biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa genetik menjadi landasan lahirnya bioseparasi. Pemurnian (recovery) produk umumnya dilakukan dengan tahapan unit operasi yang panjang untuk memperoleh produk standar dengan tingkat kemurnian tertentu. Kompleksitas pada proses hilir ini menyebabkan persentasi biaya proses yang tinggi dari keseluruhan biaya produksi. 1 Naskah Orasi Ilmiah Guru Besar; 29 Oktober 2016 2 Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian IPB
Dengan demikian, keunggulan kompetitif dari produksi tidak hanya bergantung pada inovasi di tingkat proses manufaktur tetapi juga dari inovasi dan optimasi pada tahap proses hilir. Pengembangan teknologi di bidang proses hilir antara lain dengan menggunakan teknologi membran, nanoteknologi, dan rekayasa proses. Teknologi membran digunakan untuk isolasi dan pemurnian produk pertanian yang bertujuan memperluas aplikasi penggunaan produk. Nanoteknologi diaplikasikan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan input produksi dalam mendongkrak produktivitas hasil pertanian yang semakin sulit ditingkatkan dengan teknologi yang ada seiring meningkatnya kompleksitas permasalahan pembangunan pertanian. Rekayasa proses menghasilkan produk yang lebih baik secara mutu dan lebih efisien energi. Dengan demikian, proses hilir agroindustri merupakan langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dan meningkatkan kualitas produk agroindustri. Tulisan ini akan menyampaikan beberapa hasil penelitian terkait dengan pengembangan proses hilir pada produk agroindustri.
Isolasi, Pemurnian, dan Formulasi Produk Agroindustri Produksi Siklodekstrin dari Pati Garut Pati termodifikasi memiliki peranan penting dalam bidang kimia, kosmetik, farmasi, dan industri pangan. Pati termodifikasi memiliki karakteristik yang lebih baik jika dibandingkan dengan pati alami dalam hal sifat adesif, kemampuan mengikat air dan sebagainya. Saat ini, penggunaan pati garut sebagai bahan baku dalam industri pangan telah banyak digunakan, namun belum ada yang memanfaatkannya menjadi pati termodifikasi. Penggunaan pati garut sebagai bahan baku untuk memproduksi siklodekstrin memberi nilai tambah tersendiri. Siklodekstrin merupakan salah satu jenis pati termodifikasi yang dihasilkan secara biokimiawi oleh enzim siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase). Dengan struktur molekul dalam bentuk torus siklik, siklodekstrin mempunyai keunggulan dibanding dekstrin dalam rantai molekul lurus. Keunggulan bentuk tersebut antara lain kemampuan untuk membentuk kompleks inklusi dengan berbagai variasi molekul
140
lain yang cocok seperti dengan asam, vitamin, komponen flavor, dan lainnya. Sifat-sifat ini menjadikan siklodekstrin digunakan secara luas pada industri-industri pangan dan non-pangan. Indonesia mempunyai potensi besar untuk memproduksi siklodekstrin dengan banyaknya sumber pati dari berbagai jenis umbi-umbian. Siklodekstrin juga dapat dibuat dari pati sagu (Harsanto 1986), jagung dan kentang (Mattsson et al. 1991). Hingga saat ini belum banyak publikasi yang mengungkapkan mekanisme proses likuifikasi oleh enzim terutama dalam proses produksi siklodekstrin. Dalam rangka pengembangan produksi siklodekstrin, maka perlu dipelajari mekanisme enzim pemecah pati ini sehingga siklodekstrin dapat diproduksi secara optimal. Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam produksi siklodekstrin ini menggunakan pati dari umbi garut dengan pemakaian berbagai jenis enzim pemecah pati yaitu α-amilase, β-amilase, pullulanase, dan glukoamilase. Penelitian ini menghasilkan siklodekstrin dengan penambahan enzim CGT-ase optimum pada dekstrin yang telah dihasilkan dari proses hidrolisis pati garut. Proses likuifikasi pati garut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pH, suhu dan buffer yang digunakan. Faktorfaktor tersebut disesuaikan dengan kondisi optimum masing-masing enzim. Untuk enzim α-amilase menggunakan suhu 90oC, buffer fosfat pH 6, enzim β-amilase pada suhu 40oC, buffer asetat pH 4.8, enzim pullulanase pada suhu 40oC, buffer asetat pH 4.8, dan enzim glukoamilase pada suhu 55oC, buffer asetat pH 4.5. Proses likuifikasi pati garut menghasilkan dekstrin optimal untuk enzim tunggal berkisar antara 20–86 g/L dan untuk enzim ganda berkisar 32– 98 g/L. Hasil likuifikasi ini dijadikan dasar proses siklikasi pati garut. Pada proses siklikasi, pati garut ditambahkan enzim GTC-ase dengan tiga konsentrasi enzim, yaitu 50, 100, dan 150 U/mg substrat. Perolehan siklodekstrin dengan menggunakan kondisi di atas berkisar antara 70−80 g/L (Noor dan Hartoto 2011). Produksi sudah dikembangkan hingga skala menengah. Nilai tambah dari pembuatan siklodekstrin dari pati garut sebagai bahan baku diberikan dari harga siklodekstrin yang jauh lebih mahal dibanding pati. Di pasaran internasional harga siklodekstrin mutu pangan (food grade) berkisar US $ 5−20 per kg, sedangkan harga pati garut hanya 141
berkisar Rp 4000–6000 per kg. Dampak selanjutnya diharapkan dapat menstimulasi pengembangan budi daya tanaman umbi-umbian dan produksi pati di tingkat petani. Hasil penelitian ini telah didaftarkan perlindungan HKI melalui UBER HKI 2011 dengan pendaftaran paten no P00200500754 dan mendapat Penghargaan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi RI sebagai salah satu dari 103 inovasi Paling Prospektif tahun 2011.
Pemurnian dan Aplikasi Siklodekstrin Pengembangan potensi dari siklodekstrin dapat dilakukan melalui proses pemurnian. Proses pemurnian campuran siklodekstrin bertujuan menghilangkan semua bahan pengotor guna menghasilkan campuran α, β, dan γ siklodekstrin yang relatif murni sehingga akan menaikkan nilai tambah siklodekstrin. Beberapa metode yang dapat dilakukan untuk memurnikan siklodesktrin antara lain dengan kromatografi (Rendlemen 1989), kristalisasi, menambahkan pelarut, penyerap (Shieh dan Hedges 1989) dan filtrasi membran. Berdasarkan perbedaan berat molekul antara α, β dan γ- siklodekstrin (972 Da, 1135 Da, 1297 Da) dengan pengotornya (sisa substrat 100 kDa dan enzim 75 kDa) maka pemurnian siklodekstrin dengan filtrasi membran ultrafiltrasi lebih sesuai, terutama yang memiliki kisaran MWCO 15−300 kDa. Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan membran ultrafiltrasi poliestersulfon (PES) dengan MWCO 20.000 Dalton berbentuk tubular dapat memurnikan siklodekstrin hingga 100% (Noor dan Maryana 2010) (Gambar 6.1). Berbagai sisa substrat dan enzim pada dapat dihilangkan dari larutan. Pemilihan kondisi proses yaitu tekanan operasi 2,2 bar, laju alir 0,06 m/detik dan konsentrasi umpan 46 g/L yang selanjutnya akan meningkatkan fluksi dan perolehan siklodekstrin. Ketepatan konsentrasi umpan untuk proses dapat memperkecil pembentukan lapisan batas dan tahanan pada permukaan membran. Sementara ketepatan jenis membran dan ukuran pori yang digunakan akan memengaruhi tingkat intreraksi antara molekul siklodekstrin dengan membran, dan memengaruhi tingkat rejeksi atau kehilangan produk. Kombinasi rancangan proses ini menghasilkan fluksi sebesar 90 L/m2 jam dan tingkat rejeksi yang rendah, 19%. Besaran ini ada pada kisaran yang ekonomis untuk proses pemurnian.
142
Aplikasi siklodekstrin secara luas pada industri farmasi, kosmetika, kimia, dan pangan. Penggunaan siklodekstrin pada produk-produk ini dinilai aman dan efektif. Peneliti telah memanfaatkan siklodekstrin untuk mengurangi rasa langu (off flavor) pada susu kedelai (Noor dan Aldila 2010) juga melindungi senyawa yang labil sehingga sifat-sifatnya tidak berubah pada saat proses produksi, mengontrol pelepasan aroma pada produk skin lotion (Noor dan Fitriana 2010) serta pengikatan limonin dan naringin pada sari jeruk siam (Noor dan Fajarika 2013), bahan pengontrol pelepasan aroma produk telah diaplikasikan pada pengharum ruangan. Oleh karena itu, potensi siklodekstrin sangat besar untuk dapat diaplikasikan dalam berbagai industri.
Gambar 6.1 Larutan siklodekstrin sebelum dan sesudah pemurnian
Teknologi Produksi Kopi Luwak secara Enzimatis Indonesia merupakan negara penghasil kopi peringkat 4 (empat) dunia setelah Brazil (2.054.000 ton/tahun), Vietnam (1.050.000 ton/ tahun) dan Kolombia (750.000 ton/tahun) dengan produksi 704.000 ton/tahun. Kopi menjadi salah satu komoditas perkebunan penting sebagai penghasil devisa negara. Peningkatan nilai tambah dari kopi dapat diperoleh melalui pembuatan kopi luwak yang sangat diminati dan memiliki pasar potensial di luar negeri. Invensi ini berhubungan dengan proses pembuatan kopi secara enzimatis buatan (in vitro) untuk memberikan cita rasa setara kopi yang dihasilkan dari pencernaan luwak. Teknologi produksi kopi luwak secara enzimatis ini merupakan alternatif proses pembuatan kopi setara luwak yang potensial. Teknologi ini tidak kompleks dan tidak memerlukan biaya investasi yang tinggi sehingga mudah diterapkan untuk industri rumah tangga, kecil maupun besar. Proses produksi tidak memerlukan tenaga kerja dengan skill yang tinggi dengan resiko kegagalan proses yang kecil sehingga dapat
143
dilakukan oleh petani kopi untuk meningkatkan nilai tambah produk kopi. Kebutuhan energi dari proses rendah, karena fermentasi dilakukan pada kondisi ruang (ambien). Inovasi ini telah mendapatkan teknologi produksi kopi luwak dengan fermentasi padat menggunakan mikroorganisme penghasil enzim yang diisolasi dari feses luwak. Proses isolasi dan identifikasi bakteri dikhususkan untuk mendapatkan bakteri selulolitik, xilanolitik, dan proteolitik. Ketiga bakteri tersebut masing-masing menghasilkan enzim selulase, xilanase, dan protease yang diaplikasikan pada produksi kopi luwak buatan secara fermentasi padat. Teknologi enzimatis ini adalah teknologi yang mengadaptasi kondisi fermentasi biji kopi di dalam pencernaan hewan luwak. Teknik ini dipilih karena identik dengan proses terbentuknya kopi luwak, yaitu luwak mendegradasi kulit kopi dan mengeluarkan biji dalam feses. Pada rekayasa proses fermentasi padat ini kulit kopi dijadikan media bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pendegradasian senyawa kimia yang terkandung pada kulit kopi oleh mikroorganisme akan menghasilkan enzim yang berperan untuk reaksi enzimatis mengubah komponen kimia pada biji kopi. Dari hasil isolasi bakteri, dipilih bakteri dari ketiga kelompok tersebut yang memiliki aktivitas enzim tertinggi dan diperoleh bakteri Stenotropomonas sp. MH34 (bakteri xilanolitik), Proteus penneri (bakteri selulolitik) dan Bacillus aerophilus (bakteri proteolitik) untuk digunakan pada fermentasi padat kopi. Rekayasa proses mencakup perlakuan inokulum secara tunggal (satu jenis bakteri) maupun kombinasi (dua dan tiga jenis bakteri), kondisi fermentasi (waktu dan suhu) serta rasio inokulum. Rekayasa proses produksi kopi luwak secara enzimatis ini diharapkan dapat menghasilkan kopi setara atau lebih baik dari kopi luwak. Penelitian mendalam mengenai kualitas kopi luwak secara kimia belum banyak dilakukan. Hingga saat ini pun belum ada standar mutu untuk kopi luwak. Peningkatan kualitas kopi luwak diindikasikan oleh penurunan kadar protein yang dapat menurunkan rasa pahit di samping meningkatkan cita rasa dan aroma pada kopi luwak. Perubahan pada aroma dan cita rasa kopi luwak yang khas berkaitan dengan kadar zat volatile bebas. Untuk itu, kualitas kopi hasil fermentasi dianalisis terhadap kandungan kafein dan senyawa volatile dan dibandingkan
144
terhadap kafein pada biji kopi dan kopi luwak komersial. Kopi hasil fermentasi enzimatis untuk semua perlakuan menunjukkan penurunan kafein terhadap biji kopi yang lebih besar yaitu 48−69% dibanding kopi luwak komersial yaitu 29% (Noor et al. 2013) (Tabel 6.1). Dari segi nutrisi kopi yang dihasilkan menunjukkan kenaikan kandungan asam-asam yang baik untuk kesehatan seperti asam laktat, butirat, dan askorbat. Sementara asam oksalat yang membahayakan tubuh dihasilkan lebih rendah. Data ini memperlihatkan produk kopi hasil rekayasa enzimatis memiliki kualitas dan kandungan nutrisi lebih baik dari kopi luwak komersial. Nilai tambah yang diberikan oleh produksi kopi ini dari aspek ekonomi adalah biaya produksi lebih rendah karena tidak membutuhkan biaya perawatan hewan luwak dan harga produk bisa ditekan lebih murah. Dari aspek produktivitas, teknologi ini mampu memproduksi kopi luwak dengan tingkat produksi yang dapat dikontrol dan terprogram. Peningkatan kualitas produk kopi adalah lebih higienis, dengan kandungan kafein lebih rendah hingga 69% dengan cita rasa yang lebih lembut dan kaya antioksidan dengan kadar asam askorbat hingga 71%. Hasil penelitian ini telah didaftarkan untuk perlindungan HKI melalui UBER HKI 2013 dengan pendaftaran paten no P00201304645, dan mendapat Penghargaan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi RI sebagai salah satu dari 105 Inovasi Paling Prospektif Tahun 2013. Penelitian saat ini tengah dikembangkan pada skala pabrik bekerja sama dengan perusahaan penghasil kopi premium. Diharapkan kerja sama kemitraan ini akan dapat meningkatkan nilai tambah usaha tani kopi dan industri menengah produksi kopi luwak sekaligus peluang penciptaan lapangan kerja baru.
145
Tabel 6.1 Perbandingan kandungan senyawa kopi hasil fermentasi dengan kopi luwak komersil dan biji kopi Kandungan senyawa Asam askorbat (mg/100g) Asam butirat (%) Asam laktat (%) Asam oksalat (%) Penurunan kafein terhadap biji kopi sebelum fermentasi (%)
kopi arabika 22,46 0,0072 0,0074 0,30 -
Biji kopi Kopi luwak Kopi luwak hasil komersial fermentasi enzimatis 20,28 43,29–70,94 0,0082 0,07–2,19 0,0026 0,10–1,84 0,17 0,08–0,17 29,00 48,00–69,00
Proses Isolasi Limonin dari Biji Jeruk Siam Penelitian pembuatan limonin ini menggunakan bahan baku biji jeruk siam. Rekayasa proses isolasi menggunakan metode ekstraksi bertahap, presipitasi dan purifikasi serta penentuan kondisi terbaik pada presipitasi untuk mendapatkan rendemen limonin tertinggi. Limonin merupakan senyawa limonoid utama yang terdapat pada hampir semua jenis jeruk dalam jumlah signifikan. Senyawa dengan bentuk kristal berwarna putih kekuningan ini ditemukan pada semua spesies jeruk dengan kandungan tertinggi pada biji. Limonin juga merupakan penyebab utama timbulnya rasa pahit pada sari jeruk. Meskipun demikian, limonin memiliki manfaat yang besar bagi kesehatan sebagai di antaranya dapat menghambat pertumbuhan tumor, menurunkan rasio kolesterol LDL/HDL dan mengurangi risiko penyumbatan pembuluh darah dan antikanker. Berdasarkan hasil penelitian Setyadjit et al. (2006), jeruk siam Pontianak memiliki kandungan limonin sebesar 13,7 µg ml-1 nilai ini berada dibawah kandungan limonin jeruk nipis 16,25 µg ml-1, namun lebih tinggi dari jeruk Medan (4,30 µg ml-1) dan jeruk Argentina (3,13 µg ml-1), sedangkan pada jeruk Sunkist tidak ditemukan kandungan limonin. Limonin telah diproduksi di Amerika, Canada, dan RRC dalam skala pabrik untuk dimanfaatkan sebagai suplemen, kesehatan, bahan tambahan makanan, dan minuman. Limonin yang ada saat ini diperoleh dari biji lemon, grapefruit, dan jeruk asam (Citrus aurantifolium L.), sedangkan isolasi dari biji jeruk siam (Citrus nobilis var micricarpa) yang mengandung limonin cukup besar belum pernah dilakukan. Teknik isolasi yang umum dilakukan 146
adalah proses ekstraksi. Pifferi et al. (1993) mengisolasi limonin dengan metode soxhletasi bertahap menggunakan pelarut petroleum eter yang bersifat toksik. Penelitian lain yang dilakukan untuk isolasi limonin, di antaranya Ifuku et al. (1998) yang mengajukan paten produksi limonoid glukosida dari biji dan sari jeruk menggunakan ekstraksi supercritical fluids. Yu (2004) melakukan ekstraksi limonin aglikon dan glukosida dari biji grapefruit menggunakan supercritical CO2 menghasilkan rendemen limonin 0,73 mg limonin/g biji grapefruit kering. Dandekar et al. (2007) memperkenalkan proses baru dalam ekstraksi limonoid glikon dari biji jeruk asam (Citrus aurantium L.) menggunakan dua larutan hidrotrop, yaitu garam natrium salisilat (Na-Sal) dan natrium cumene sulfonat (Na-CuS) dan diperoleh rendemen limonin masingmasing sebesar 0,46 dan 0,65 mg/g biji jeruk. Selain ekstraksi, isolasi limonin dari jeruk juga dilakukan dengan kromatografi ion exchange (Manners dan Breksa 2006) serta HPLC (Breksa dan Dragull 2008). Peneliti melakukan invensi proses isolasi limonin dari biji jeruk siam secara bertahap menggunakan proses ekstraksi dan presipitasi. Pada ekstraksi bertahap digunakan pelarut heksan dan aseton, sedangkan pada presipitasi digunakan heksan dengan berbagai variasi perbandingan volum heksan serta waktu presipitasi untuk mendapatkan rendemen limonin tertinggi. Kondisi terbaik proses isolasi untuk mendapatkan kandungan limonin terbesar dilakukan pada proses presipitasi menggunakan rasio ekstrak aseton dengan pelarut heksan (1:2,6−1:5) serta lama presipitasi (14−24 jam). Perolehan limonin tertinggi adalah 1,502 mg limonin per gr biji kering atau setara dengan persen rekoveri sebesar 93%. Hasil ini menunjukkan bahwa biji jeruk siam merupakan bahan baku potensial untuk isolasi limonin. Hasil yang diperoleh ini lebih besar dibanding limonin yang dihasilkan dari beberapa varietas jeruk lainnya seperti dari lemon yaitu sebesar 0,732 mg limonin per gr biji lemon (Pifferi 1993); biji jeruk iyo tangor sebesar 0,457 mg per gr biji jeruk kering (Ishii et al. 2003); biji jeruk asam (Citrus aurantium) sebesar 0,65 mg per gr biji jeruk kering (Dandekar et al. 2007); biji jeruk shiikusawa (Citrus depresa Hayata) sebesar 0,187 mg per gr biji jeruk kering. Peningkatan kadar limonin hasil rekayasa proses pada penelitian ini menghasilkan limonin 2 (dua) kali lebih besar dibanding hasil proses penemuan sebelumnya yang berkisar antara 0,4–0,7 mg limonin per gr biji kering (Noor et al. 2011). Daya tarik tingkat
147
kemurnian yang diperoleh sebesar 27% menunjukkan produk ini dapat diaplikasikan untuk produk pangan dan farmasi dan digolongkan dalam pharmaceutical grade. Ekstraksi limonin dari biji jeruk siam dapat memberikan nilai tambahan dari pemanfaatan limbah pabrik sari jeruk untuk dimanfaatkan lebih lanjut pada industri farmasi. Keuntungan lain limonin memiliki harga yang tinggi. Hasil penelitian ini telah didaftarkan untuk perlindungan HKI melalui UBER HKI 2011 dengan pendaftaran paten No P00201100908, dan mendapat Penghargaan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi RI sebagai salah satu dari 104 Inovasi Paling Prospektif Tahun 2012.
Pemurnian Jus Jeruk Penelitian terkait perbaikan kualitas jus jeruk dilakukan dengan penghilangan senyawa limonin dan naringin dari jus jeruk menggunakan membran mikrofiltrasi. Beberapa varietas jeruk di indonesia memiliki kadar limonin yang tinggi sekitar 3–16.25 ppm. Keberadaan kedua senyawa tersebut jika di atas 7 ppm menyebabkan rasa pahit pada jus sehingga kurang disukai oleh konsumen, walaupun sebenarnya senyawa tersebut bermanfaat sebagai antioksidan dan antikanker. Berbagai teknik pemisahan limonin dan naringin dari jus jeruk yang telah dilakukan antara lain dengan adsorpsi, presipitasi, maupun pertukaran ion (ion exchange). Teknik-teknik tersebut memiliki kelemahan antara lain penggunaan pelarut dan adsorben yang relatif mahal, penurunan kualitas jus akibat hilangnya flavor dan warna, serta adanya sisa adsorben yang menimbulkan masalah lingkungan. Teknik alternatif penghilangan limonin dan naringin dapat dilakukan dengan menggunakan filtrasi membran (Setyadjit et al. 2009). Pemanfaatan teknologi membran pada jus jeruk dapat menghilangkan rasa pahit akibat adanya limonin dan naringin. Pemisahan limonin dan naringin yang memiliki berat molekul masing-masing 470,5 dan 580 Da, dilakukan dengan membran mikrofiltrasi hollow fibre yang memiliki ukuran pori 0,1 μm pada tekanan transmembran antara 1,3–1,7 bar serta laju alir dari 0,069 hingga 0,100 m/detik. Membran mikrofiltrasi mampu merejeksi limonin hingga 92% dan naringin sebesar 71% dengan fluksi sebesar 63 L/m2 jam. Besaran ini secara signifikan mengurangi rasa pahit pada jus. 148
Penghilangan limonin dan naringin dari jus jeruk dengan cara di atas mengurangi kandungan antioksidan pada jus jeruk. Untuk mempertahankan antioksidan limonin dan naringin pada jus jeruk siam tanpa menimbulkan rasa pahit dilakukan oleh peneliti dengan penambahan siklodesktrin dan selulosa asetat (Noor dan Fajarika 2014). Cara ini lebih baik dari karena yang terjadi adalah pengikatan kedua senyawa tanpa menghilangkannya dari jus. Pengurangan kandungan limonin paling baik dicapai pada penambahan siklodekstrin 0,1% dengan persentase penurunan limonin mencapai 91%. Sementara penghilangan naringin terbaik hingga 86% dicapai dengan penambahan selulosa asetat 0,6%. Cara ini memberi solusi terbaik untuk memberikan minuman sehat dengan tidak mengurangi kandungan antioksidan namun tanpa rasa pahit.
Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria) Teknik pemisahan menggunakan membran untuk industri pangan dan agroindustri sudah dimulai sejak lama. Penggunaan yang sangat luas dari teknik ini dibanding teknik pemisahan konvensional lain karena keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. Salah satu kendala penggunaan membran di Indonesia adalah belum tersedianya industri manufaktur membran dalam negeri, sampai saat ini membran masih diimpor. Pemilihan material membran merupakan faktor penting pada aplikasi karena jenis membran akan berpengaruh pada fenomenafenomena seperti adsorpsi, kestabilan kimia, dan proses pencucian. Salah satu polimer utama dan digunakan secara luas untuk pembuatan membran adalah selulosa. Selulosa dapat diperoleh dari kayu, melalui proses asetilasi dapat dihasilkan selulosa asetat di mana terlebih dahulu kandungan lignin dari kayu harus dihilangkan. Membran selulosa asetat dari kayu merupakan membran organik yang bersifat terbarukan (renewable), kualitas stabil, dan diproduksi lebih cepat dibandingkan selulosa asetat secara mikrobial, bersifat hidrofilik, serta memiliki ikatan yang lemah terhadap molekul protein sehingga banyak digunakan pada proses pemisahan bahan pangan terutama yang mengandung protein.
149
Penelitian pembuatan membran selulosa asetat yang telah dilakukan di antaranya menggunakan selulosa dari berbagai, yaitu dari nata de soya (Desiyarni 2006), pulp abaka (Wafiroh 2004) dan serbuk gergaji (Suyati 2008). Perbedaan sumber bahan baku ini membutuhkan tahapan dan kondisi proses pembuatan selulosa asetat yang berbeda pula. Pembuatan membran selulosa asetat diawali dengan pembuatan selulosa diasetat (SDA) dari selulosa pulp kayu sengon. Pembuatan SDA terdiri atas proses aktivasi dengan asam asetat; asetilasi dengan andhidrida sebagai reaktan, asam asetat sebagai pelarut, dan asam sulfat sebagai katalis; serta hidrolisis dengan penambahan air dan asam sulfat. Masing-masing proses tersebut dilakukan pada suhu 50oC. Rosnelly et al. (2010) telah menemukan kondisi terbaik untuk proses aktivasi, asetilasi dan hidrolisis pada pembuatan selulosa diasetat dari pulp sengon. Produk selulosa diasetat dengan kadar asetil 39,66% diperoleh dari kondisi proses terbaik masing-masing proses, yaitu (1) Aktivasi pada suhu 50oC selama 30 menit, (2) Asetilasi pada suhu 50oC selama 1 jam, dan (3) Hidrolisis pada 50oC selama 15 jam. Selanjutnya selulosa diasetat melalui proses inversi fasa digunakan pada pembuatan membran ultrafiltrasi secara inversi fasa. Proses pembuatan membran SDA secara terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: selulosa diasetat (SDA) sebagai polimer, dimetilformamida (DMF) sebagai pelarut, dan air sebagai bukan-pelarut. Rasio SDA terhadap DMF yang dilakukan adalah 1:3-1:6. Selanjutnya penambahan porogen PEG dilakukan dengan mengunakan berat molekul 1450−6000 Da pada rasio PEG/ SDA 10−30% serta koagulasi pada suhu 15–50oC (Rosnelly et al. 2010) Membran yang dihasilkan kemudian diamati morfologinya dengan menggunakan alat SEM (Scanning Electron Microscope). Selain itu, dilakukan pula karakterisasi terhadap membran meliputi ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluksi (air, dekstran, BSA), rejeksi (dekstran, BSA), dan Molecular Weight Cut Off (MWCO). Sejauh ini, selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) masih belum dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer membran. Di Indonesia, tanaman sengon mudah tumbuh dan memiliki kandungan selulosa yang tinggi dan merupakan polimer utama dan digunakan secara luas untuk pembuatan membran. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku selulosa pulp kayu sengon diharapkan dapat memberi nilai tambah bagi kayu sengon yang selama ini lebih banyak digunakan untuk bahan peti kemas. 150
Hasil penelitian ini telah didaftarkan untuk perlindungan HKI melalui UBER HKI 2011 dengan pendaftaran paten No P00201100906, dan mendapat Penghargaan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi RI sebagai salah satu dari 103 inovasi Paling Prospektif Tahun 2011.
Aplikasi Membran Selulosa Asetat Membran selulosa asetat hasil penelitian di atas memiliki MWCO maksimal 67 kDa. Membran digunakan untuk pemurnian minyak nilam dan siklodekstrin. Pemilihan minyak nilam dan siklodekstrin karena kedua produk ini merupakan produk agroindustri yang sangat prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Indonesia memenuhi 70% kebutuhan minyak nilam dunia. Sementara siklodekstrin digunakan secara luas pada industri farmasi, kosmetika, kimia dan pangan. Pemurnian minyak nilam umumnya dilakukan dengan proses destilasi yang dilakukan pada suhu tinggi, melibatkan perubahan fasa dan energi yang tinggi dari proses destilasi ini adalah kerusakan minyak sehingga minyak berbau terbakar (burnt) dan berwarna keruh (Ketaren 1985). Hal ini dapat dihindari dengan proses pemisahan menggunakan membran, di mana tidak terjadi perubahan fasa dan bekerja pada suhu yang rendah sehingga kerusakan minyak dapat dihindari. Membran ultrafiltrasi selulosa asetat dapat digunakan untuk pemisahan padatan terlarut, partikel koloid, senyawa terlarut dengan berat molekul tinggi seperti polisakarida, warna, dan protein dari larutan dalam proses pemurnian suatu produk. Pada pemekatan patchouli alcohol (PA) pada minyak nilam dan pemurnian nira tebu menggunakan membrane selulosa asetat pada tekanan 1,4 bar diperoleh peningkatan kadar PA minyak nilam dari 32,60% menjadi 41,68% (Rosnelly et al. 2010). Kadar PA tersebut dapat memenuhi standar pasar ekspor internasional yaitu minimal 38% (Essential Oil Association of USA 1975). Peningkatan tekanan menjadi 1,8 bar meningkatkan kadar patchouli alcohol mencapi 49,7% (Noor dan Hercules 2012). Pada pemurnian nira senyawa pengotor seperti beberapa senyawa koloid dan kotoran tersuspensi seperti senyawa anorganik dan organik, zat warna, protein, lilin, dan karbohidrat dapat dipisahkan dari nira dan diperoleh nira yang lebih jernih ditunjukkan dari penurunan turbiditi, yaitu sebesar 39,45% dari 90 (A) menjadi 54 (A). Pada aplikasi untuk pemurnian siklodesktrin, penggunaan membrane selulosa asetat ini memperkecil
151
kehilangan siklodekstrin hingga antara 12–28,4% di mana kehilangan ini lebih kecil dari ultrafiltrasi menggunakan membran Polieter sulfon (20 kDa) (Noor dan Hercules 2012)
Bioteknologi di Bidang Agroindustri Produksi Asam Hialuronat pada Kultivasi Semi Sinambung Menggunakan Streptococcus Zooepidemicus Produk biopolisakarida untuk keperluan bidang kedokteran, khususnya yang menggunakan proses kultivasi mikroorganisme masih sangat jarang dilakukan. Biopolisakarida yang telah diproduksi secara komersial umumnya digunakan di bidang pangan (xanthan, alginate, curdlan, gellan, pullulan), industri minyak (xanthan, zaflo-10, scleroglucan) dan industri lainnya (rhamsan, wellan). Salah satu biopolisakarida potensial untuk bidang kedokteran dan kosmetika adalah asam hialuronat (Yalpani 1978). Produksi asam hialuronat saat ini banyak memanfaatkan sumber alamiah dari jaringan hewan seperti jengger ayam, tali ari dan sebagainya. Tantangan untuk meningkatkan rendemen dan kemurnian produk, memicu perubahan kultivasi ke cara kultivasi mikroorganisme, selain itu keuntungan dengan produksi dengan cara kultivasi mikroorganisme adalah terjaminnya mutu produk dengan penggunaan media yang tetap. Permintaan produk asam hialuronat terus meningkat pada tahun-tahun terakhir, walaupun tingkat produksi asam hialuronat lebih rendah dibanding jenis biopolisakarida lainnya, tetapi dengan harganya yang tinggi yaitu US$ 2.000–100.000 per kilogram menyebabkan pasarannya cukup tinggi. Asam hialuronat dijumpai pada jenis-jenis tertentu Streptococcus, senyawa ini terdapat pada sel pembungkus dan berfungsi untuk melindungi sel dari serangkaian infeksi. Kenyataan bahwa Streptococcus memproduksi asam hialuronat mendorong diproduksinya asam hialuronat secara kultivasi. Produk asam hialuronat dipengaruhi oleh jenis mikroba, kealamian substrat, dan kondisi kultivasi. Hal ini terlihat dari komponen medium untuk produksi asam hialuronat yang berbeda untuk setiap paten sebagaimana lingkungan seperti komposisi medium, suhu, pH, dan lainnya. Kondisi parameter-parameter tersebut seperti
152
komposisi medium dapat memengaruhi laju sintesis dan produksi polisakarida mikrobial (Margaritis dan Pace 1985). Di samping itu, keberadaan nutrien pembatas juga dapat mengubah produk (Laurent 1970). Pengaturan kondisi optimum menjadi faktor penting bagi produksi asam hialuronat. Penelitian yang dilakukan oleh penulis mencakup optimasi proses kultivasi produksi asam hialuronat pada berbagai parameter fisik (pH, suhu, dan agitasi) dan kimia (komposisi dan konsentrasi medium). Penelitian ini menghasilkan produk asam hialuronat terbesar pada penggunaan medium dengan kandungan konsentrasi Na2HPO4.12H2O terbesar, MgSO4.7H2O terkecil dan mengandung asam-asam amino tambahan yaitu L-Glutamin, mL-Cystein dan L-Asparagine. Pengaruh suhu yaitu 33,37 dan 40oC tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen asam hialuronat yang dihasilkan. Pada kultivasi tanpa agitasi berpengaruh terhadap rendemen asam hialuronat yang dihasilkan yaitu 8,3 g/l setelah 18 jam operasi sedangkan agitasi 100 rpm diperoleh 9,7 g/l setelah 14 jam operasi (Noor et al. 2006). Untuk meningkatkan produksi dari proses kultivasi secara curah (batch) dilakukan kultivasi secara semi sinambung (fedbatch). Dari kedua sistem kultivasi yaitu curah dan semi sinambung menunjukkan bahwa kultivasi sinambung dapat menghasilkan kandungan asam hialuronat lebih tinggi yaitu 11,04 g/l dengan tingkat kemurnian 55%. Sementara pada kultivasi curah (batch) dihasilkan kandungan asam hialuronat sebesar 7,21 g/l dengan tingkat kemurnian 49%. Hal ini berarti bahwa kultivasi semi sinambung dapat meningkatkan kandungan asam hialuronat murni sekitar 72% dibandingkan kultivasi curah (Noor 2006). Proses hilir dilakukan untuk mendapatkan produk asam hialuronat dengan kemurnian tinggi. Metode yang digunakan untuk memisahkan produk asam hialuronat dari cairan kaldu kultivasi adalah dengan presipitasi dan teknologi membran. Pada isolasi asam hialuronat secara presipitasi, jenis pelarut dan konsentrasi sangat berpengaruh terhadap rendemen asam hialuronat. Pelarut etanol dan isopropanol menghasilkan asam hialuronat yang sangat baik. Etanol menghasilkan asam hialuronat tertinggi 7,14 g/L pada perbandingan supernatan dan pelarut 1:3 dengan nilai kemurnian 55,2%, sedangkan isopropanol pada perbandingan 1:3 menghasilkan endapan asam hialuronat tertinggi 7,06
153
g/L dengan nilai kemurnian 61,3%. Proses presipitasi yang disarankan adalah menggunakan jenis pelarut etanol dengan konsentrasi 95% pada perbandingan supernatan dan pelarut 1:2. Metode presipitasi memberikan selektivitas yang tinggi, selain itu juga dapat dilakukan secara terus-menerus, menggunakan peralatan sederhana, dan banyak alternatif pelarut yang digunakan. Isolasi asam hialuronat juga dapat dilakukan dengan mikrofiltrasi membran. Fluks tertinggi yang diperoleh mencapai 142 L/m2 Jam. Pada operasi bertekanan tinggi, fluks relatif tidak dipengaruhi oleh tekanan transmembran. Pressure independent region dicapai pada tekanan transmembran di atas 1,45 atm. Kecepatan crossflow akan meningkatkan fluks dan nilai α rata-rata sebesar 0,126. Sedangkan konsentrasi asam hialuronat yang semakin tinggi akan menurunkan nilai fluks (Noor 2002). Penelitian sudah dikembangkan didalam penggandaan skala dengan fermentor skala menengah (10 L). Hasil penelitian ini telah didaftarkan untuk perlindungan HKI dengan pendaftaran paten no P00200600800, dan mendapat Penghargaan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi RI sebagai salah satu dari 100 inovasi Paling Prospektif Tahun 2008.
Nanoteknologi di Bidang Agroindustri Nanoteknologi merupakan suatu teknologi rekayasa material molekul yang berskala nanometer. Saat ini, penelitian terhadap nanopartikel mengalami perkembangan yang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas. Perkembangan aplikasi nanoteknologi telah mendorong revolusi industri secara global. Dilaporkan bahwa lebih dari 400 perusahaan di dunia telah melaksanakan kegiatan litbang nanoteknologi. Di bidang pertanian dan pangan perusahaan-perusahaan tersebut antara lain BASF, Syngenta, DuPont, Bayer, Kraft, Nestle, Unilever, Keystone, Heinz, Hershey, Pepsi Co., Cargill, dan Mars (Kaya dan Mallikarjunan 2012). Pengecilan ukuran partikel akan menyebabkan peningkatan luas permukaan sehingga menyebabkan kelarutannya meningkat. Meningkatnya kelarutan akan berakibat meningkat pula bioavailabilitas dan efikasinya. Keuntungan nanopartikel antara lain dapat menghantarkan senyawa obat dengan baik sampai ke unit-unit kecil dalam tubuh, meningkatkan efisiensi distribusi, serta obat tepat sasaran sehingga meningkatkan efek terapetik dan mengurangi toksisitas
154
(Rawat et al. 2006). Dalam bidang industri nanoteknologi dapat diaplikasikan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan input produksi dalam mendongkrak produktivitas hasil pertanian yang semakin sulit ditingkatkan. Berikut disampaikan beberapa hasil penelitian yang dilakukan penulis terkait aplikasi nanoteknologi pada bidang agroindustri.
Produksi Nanokurkumin dan Nanogingerol Dalam dua dekade, nanoteknologi dengan cepat muncul sebagai salah satu bidang yang paling menjanjikan dan menarik untuk penelitian. Nanoteknologi secara signifikan dapat meningkatkan kelarutan dan bioavailability banyak bahan-bahan fungsional. Tingginya hidrophobisitas dari beberapa zat bioactive membuat mereka tidak larut dalam air. Oleh sebab itu, zat aktif tersebut sulit diasup oleh tubuh (Herrera 2012). Penggunaan nanopartikel sebagai pembawa obat dan sistem pengantar obat telah berkembang beberapa tahun terakhir. Ukuran nanopartikel yang kecil menyebabkan ekstrak mudah larut dan memiliki efisiensi penyerapan yang tinggi di usus (Poulain dan Nakache 1998). Nanopartikel dapat digunakan sebagai pengantar obat secara intravena sehingga dapat melewati pembuluh darah terkecil secara aman. Penggunaan nanopartikel juga dapat memperluas permukaan obat sehingga meningkatkan kelarutan obat dalam sistem pengantaran obat melalui saluran pernapasan. Beberapa jenis nanopartikel yang dapat digunakan sebagai pengantar obat antara lain nanopartikel emas (Radt et al. 2004), nanopartikel kalsium fosfat, nanopartikel siklodekstrin, dan nanopartikel kitosan (Xu et al. 2003). Jahe dan temulawak merupakan rempah-rempah yang telah digunakan secara luas pada bidang farmasi, makanan dan minuman, serta kosmetika. Bahan aktif yang terkandung seperti kurkumin pada temulawak dan gingerol pada jahe berkisar antara 1−2% dan 6−10%. Ekstrak temulawak mengandung komponen kimia utama yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid terdiri atas kandungan senyawa kurkumin dan demetoksikurkumin (Sidik et al. 1992). Kurkumin merupakan senyawa aktif yang memiliki banyak khasiat bagi kesehatan, yaitu dapat mengatasi gangguan aliran getah empedu, gangguan saluran pencernaan, sembelit, radang rahim, kencing nanah, kurang nafsu makan, kelebihan berat badan, radang lambung, cacar air, eksema, jerawat, reumatik arthritis,
155
dan antikanker. Komponen penyusun utama ekstrak jahe adalah gingeren, gingerol, gingeron, zingiberen, linalool, campen, felandrene, sitral, sineol, borneol dan lain-lain (Lawless 2002). Minyak atsiri merupakan pemberi aroma yang khas pada jahe, komponen utama pada minyak atsiri yang menyebabkan bau harum yaitu zingiberen (C12H24) dan zingiberol (C15H26O) (Herman 1985). Peningkatan penggunaan bahan-bahan ini terkendala oleh jumlah bahan baku dan penanganan pascapanen. Salah satu upaya pada proses pascapanen adalah meningkatkan perolehan senyawa aktif bahan baik kualitas maupun kuantitas. Teknologi nano untuk membuat partikel berukuran nanometer antara 10−100 nm diharapkan dapat mengatasi kendala keterbatasan masalah di atas. Materi berukuran mikron dapat diserap oleh tubuh sebanyak 50%, sedang dalam ukuran nano dapat terserap 100%. Senyawa aktif kurkumin dan gingerol berukuran nano diharapkan dapat meningkatkan kelarutan, bioavailibilitas dan penyerapan sehingga dapat menurunkan jumlah bahan yang digunakan. Rendemen kurkumin temulawak dapat diperoleh sebesar 64% dari ekstraksi menggunakan pelarut aseton pada nisbah 1:7 selama 7 jam. Sementara rendemen ekstrak jahe tertinggi diperoleh sebesar 49% dengan waktu ekstraksi 3 jam menggunakan pelarut etanol. Konsentrasi senyawa bioaktif tertinggi dalam ekstrak jahe diperoleh saat ekstraksi 4 jam menggunakan pelarut heksana. Rendemen tertinggi setiap senyawa aktif, yaitu 6, 8, 10-gingerol dan 6-shagaol diperoleh pada kondisi ekstraksi, dan jenis pelarut serta waktu ekstraksi yang berbeda. Pemakaian konsentrasi emulsi (minyak) sebesar 30% dengan kecepatan putar 20.000–24.000 rpm dan waktu putar 30 menit sudah dapat menghasilkan partikel nano temulawak dengan ukuran <100 nm. Sementara nano partikel jahe dengan ukuran lebih kecil 100 nm diperoleh dengan penggunaan larutan emulsi >30% dan suhu terbaik 30oC. Nanoemulsi temulawak juga dapat dibuat dengan metode homogenisasi berkecepatan tinggi pada 24000 rpm selama 40 menit sehingga diperoleh diameter butiran 32,62 ± 1,84 nm dengan PDI 0,255 ± 0,013 (Jusnita et al. 2014). Kurkumin dalam sediaan nanoemulsi menunjukkan kenaikan bioavailabilitas sebesar 45,97% dibanding emulsi temulawak (Noor
156
dan Fachrizal, 2015). Kondisi penyimpanan terbaik dilakukan pada suhu penyimpanan 4oC dengan lama waktu penyimpanan 60 hari. Nanoemulsi memiliki kelarutan terbaik dengan pelarut etanol dengan persen terlarut 96,74%. Tabel 6.2 Karakteristik ekstrak dan nanokurkumin Karakteristik Warna Bentuk Aroma Indeks bias Ukuran droplet pH Viskositas (cP) Kurkumin (g/L) Kelarutan Heksan Aseton Etanol Metanol Air Bioaccesibility (%)
Ekstrak temulawak Cokleat Tua Cairan kental Khas temulawak 1,65 >6 5,22 84,10 10,80
Nanokurkumin Cokelat jernih Cairan transparan Khas temulawak 1,64 86 nm
0 100 100 0 0 13,7
100 100 100 100 90 20,7
6,79 3,90 3,24
Absorbansi (280 nm)
0,7 0,6
0,58
0,5
0,49
0,363
0,4
0,353 0,348
0,3 0,2 0,1
0,089
0 60
0,26 0,21 0,129
120
180
240
0,283
0,213 0,192
0,174 0,157 0,139 0,138 300
360
420
nanogingerol ekstrak jahe
480
Waktu (menit)
Gambar 6.2 Tingkat penetrasi nanogingerol dan ekstrak jahe Nanogingerol terbaik dengan ukuran <100 nm diperoleh pada kombinasi fase minyak 30% dan ukuran relatif stabil pada selang suhu 30–50oC (Noor et al. 2015). Nanoemulsi memiliki bioavailabilitas senyawa aktif lebih baik dibanding dengan emulsi. Persentase gingerol nanoemulsi terpenetrasi adalah 49,73%, sedangkan gingerol emulsi hanya
157
terpenetrasi 17,68% (Noor dan Haque 2015). Kelarutan nanoemulsi menunjukkan nilai yang lebih baik daripada emulsi pada pelarut semi polar dan polar. Nanoemulsi ekstrak jahe memiliki kelarutan tertinggi pada pelarut air yaitu 94%. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai tambah dari nanoemulsi kurkumin dan gingerol. Secara ekonomi dapat meminimalisasi penggunaan bahan baku karena dosis penggunaan dalam jumlah lebih sedikit. Dari segi kesehatan meningkatkan bioavailibilitas (penyerapan dalam tubuh) dan kelarutan yang tinggi.
Produksi Nano Pigmen dari Rumput Laut sebagai Pewarna Alami Sel Surya Dye-Sensitized Solar Cell (Dssc) Invensi ini tentang pembuatan nano pigmen klorofil dari Sargassum sp. dengan metode homogenisasi berkecepatan tinggi. Pembuatan nano pigmen dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas dan kelarutan pigmen yang masih rendah. Selain itu, diharapkan pigmen dalam bentuk nano partikel akan meningkatkan tingkat dispersi pada aplikasi sebagai coating agent. Pembuatan nano pigmen dimulai dengan pemilihan proses ekstraksi untuk rendemen pigmen yang tinggi dari Sargassum sp. Jenis pelarut terbaik adalah aseton dengan ukuran Sargassum sp. 20 mesh. Kondisi ekstraksi selama 4 jam dan putaran 500 rpm memberikan rendemen sebesar 4775 mg/100 gr bahan baku, konsentrasi pigmen klorofil 6505–6875 µg/ml, ukuran partikel 160 nm. Partikel ini memiliki stabilitas dan kelarutan yang masih rendah. Sebelum pembuatan nano pigmen dilakukan formulasi larutan yaitu pengaturan komposisi fasa organik dan fasa air agar dapat dilakukan pengecilan ukuran yang efektif. Proses homogenisasi dilakukan pada kecepatan 8.000–12.000 rpm selama 10−20 menit. Penambahan gum arab sebagai agen penstabil ke dalam formula mampu meningkatkan kestabilan secara visual, meningkatkan nilai konduktivitas, menurunkan nilai zeta potensial, meskipun dapat memengaruhi konsentrasi klorofil. Penambahan gum arab pada larutan dengan rasio 1:1 terhadap jumlah pigmen yang digunakan dapat meningkatkan stabilitas ukuran partikel terhadap penyimpanan. Penggunaan kondisi proses di atas menghasilkan nano pigmen dengan ukuran partikel 24−100 nm, stabil pada suhu ruang selama 10 hari dan tingkat kelarutan lebih tinggi pada pelarut organik. Nanopigmen klorofil terbaik diperoleh pada kondisi kecepatan 158
10000 rpm dengan lama homogenisasi 15 menit. Ukuran partikel yang dihasilkan pada kondisi tersebut adalah 27,26±3,62 nm, panjang gelombang serapan maksimum 664–668 nm, dan konsentrasi klorofil 33000 µg/mL (Noor et al. 2016). Sel surya peka zat warna (DSSC) merupakan peranti untuk mengonversi sinar tampak menjadi listrik berdasarkan sensitivitas semikonduktor yang memiliki band gap luas dan termasuk dalam golongan sel lapis tipis. Peningkatan efisiensi DSSC dalam penyerapan sinar menjadi topik penelitian yang terus dikembangkan pada dekade terakhir ini. Kinerja DSSC sebagian besar ditentukan oleh sensitizer zat-warna. Di mana penggunaan zat warna dapat meningkatkan spektrum serapan oleh semikonduktor. Oleh karena teknik preparasi yang sederhana, mudah diperoleh, dan banyak tersedia, maka zat-warna alami sangat menjanjikan untuk dijadikan sebagai sensitizer alternatif bagi sel surya peka zat-warna. Penelitian yang dilakukan dengan membuat sensitizer nano pigmen yang diperoleh dari rumput laut (Sargassum sp.) untuk diaplikasikan pada semikonduktor TiO2. Alga cokelat jenis Sargassum sp. merupakan salah satu jenis alga yang mengandung pigmen organik seperti fukosantin (21,8–73,1%) dan klorofil a (0,73–54,96%). Diharapkan efisiensi penyerapan sinar tampak dari nano pigmen dapat ditingkatkan dibanding penggunaan pigmen organik dari metode konvensional yang menggunakan partikel ukuran besar (non-nano). Permasalahan dari penggunaan nano pigmen dari bahan organik antara lain tingkat kestabilan yang rendah dan mudah terjadi degradasi akibat reaksi oksidasi. Pada proses pembuatan nano pigmen pada penelitian ini ditambahkan stabilizer antioksidan yang diharapkan selain dapat meningkatkan stabilitas thermal sensitizer juga memperkuat pelekatan pada lapisan TiO2. Pembuatan semikonduktor dengan menggunakan pasta TiO2 yang dilapisi oleh nano pigmen menggunakan teknik inverse fasa. Tingkat efisiensi ditunjukkan oleh stabilitas pigmen dan pengujian tegangan sel surya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja DSSC yaitu peningkatan efisiensi (lebih besar dari 11%), stabilitas termal dan oksidasi dari semikonduktor. Penggunaan pigmen alami dari rumput laut diharapkan akan menambah diversifikasi penggunaan
159
rumput laut. Prospek dari produk semikonduktor ini diharapkan juga dapat menurunkan biaya produksi dibanding semikonduktor yang dibuat dengan menggunakan pewarna organik atau sintetis. Dibandingkan dengan teknik konvensional, penggunaan homogenisasi untuk menghasilkan nano pigmen ini menghasilkan ukuran partikel klorofil yang lebih kecil (27,26 nm) dan konsentrasi lebih tinggi (33000 µg/ml) sehingga kualitas meningkat ditunjukkan oleh stabilitas pigmen yang lebih tinggi. Penelitian ini masih berlangsung dengan dana hibah skema Penelitian Strategis Nasional dari DIKTI. Hasil penelitian telah diusulkan untuk perlindungan HKI melalui UBER HKI 2016, dan Inovasi 108 tahun 2016.
Produksi Nanoemulsi Ekstrak Daun Gedi (Abelmoschus Manihot L. Medik) dan Uji Potensinya sebagai Hepatoprotektor Tanaman Gedi (Abelmoschus manihot L. Medik) merupakan tanaman yang termasuk dalam famili tanaman berbunga (malvacea) dan memiliki genus abelmoschus. Hasil karakterisasi ekstrak etanol daun tanaman gedi menunjukkan adanya kandungan senyawa flavonoid glikosida yang berpotensi sebagai sumber antioksidan. Menurut Lako et al. (2007) daun gedi yang dikukus memiliki kandungan antioksidan 1 mg per gr bahan, quercentin sebanyak 80 µg per gr bahan dan β-karotin sebesar 280 µg per gr. Ukuran flavonoid yang sangat besar mengakibatkan daya bioavailabilitas dan daya kelarutan yang rendah dari senyawa tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini dibutuhkan modifikasi terhadap penanganan flavonoid glikosida yang terdapat dalam daun gedi sehingga ketika ditransformasi ke tubuh masih memiliki kemampuan sebagai sumber antioksidan dengan bioavailabilitas tinggi dan mampu berperan sebagai hepatoprotektor. Metode pembuatan nanoemulsi berdasarkan pada penelitian Silva et al. (2011) yang dimodifikasi. Hasil ekstrak daun gedi yang berbentuk serbuk dilarutkan kedalam etanol 96% dengan perbandingan ekstrak daun gedi dan etanol 1:99 (b/v) yang nantinya disebut fasa minyak. Sementara untuk fasa air dilarutkan Tween 80 sebanyak 6% dan basa fosfat sebanyak 94%. Kedua fasa minyak dan air kemudian dicampurkan dengan perbandingan fasa minyak dan air. 1:9. Larutan ini dihomogenisasi 160
menggunakan Ultra Turrax T25 dan divariasikan pada kecepatan 5000– 20000 rpm, sedangkan waktu homogenisasi divariasikan pada waktu 5–10 menit. Proses ekstraksi yang optimal didapatkan pada kondisi proses waktu ekstraksi 4,83 jam, suhu ekstraksi 34o C, dan kecepatan pengadukan 322 rpm dengan total flavonoid yang dihasilkan sebesar 55,41 mg per gr. Nanoemulsi ekstrak etanol daun gedi yang terbaik diperoleh pada kondisi proses kecepatan homogenisasi sebesar 20.000 rpm (G-force 2,912 x g) selama 10 menit dengan ukuran partikel yang dihasilkan adalah 100 ± 4 nm, sedangkan nilai konduktivitas dan pH sebesar 259,55 ± 0,59 µS/cm dan 6,73 ± 0,00 (Pranowo et al. 2015). Nanoemulsi ekstrak daun gedi mampu meningkatkan bioaviabilitas ekstrak daun gedi sebagai hepatoprotektor (Pranowo et al. 2016). Penelitian lain terkait produksi nano material dari bahan pertanian yang sedang berjalan adalah: 1. Pembuatan nano partikel metoksil pektin rendah sulfat. 2. Enkapsulasi Nanoemulsi Senyawa Aroma Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) untuk Kontrol Pelepasan Aroma.
Formulasi Produk Agroindustri Formulasi Body Scrub dari Ampas Kopi Kopi merupakan komoditas perkebunan paling potensial di Indonesia. Produksi kopi Indonesia tahun 2014 mencapai 685 ribu ton atau 8,9 persen dari produksi kopi dunia dengan komposisi 76,7 persen kopi Robusta dan 23,3 persen Arabika (Kementan 2014). Produksi kopi di Indonesia melebihi permintaan pasar dalam negeri sehingga dapat menciptakan banyak peluang bisnis, salah satunya bisnis kedai kopi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), jumlah kafe, kedai kopi, dan restoran di Indonesia tumbuh pesat di tahun 2014 sebesar 15–20% dan akan terus meningkat. Peningkatan bisnis kedai kopi berimbas terhadap ampas kopi yang dibuang ke lingkungan. Sekitar 6 juta ton ampas kopi diproduksi di dunia setiap tahun oleh industri kopi (Mebrahtu 2014). Walaupun ampas kopi dapat didegradasi oleh alam, tetap akan mengganggu keseimbangan ekosistem bila dalam jumlah yang besar. Ampas kopi yang tersisa setelah ekstraksi tetap memiliki kandungan penting seperti 161
kafein, asam organik, mineral, dan antioksidan (Acevedo et al. 2013) walaupun tidak sebanyak kopi bubuk murni. Menurut penelitian Aprilia (2013), ampas kopi juga memiliki zat antibakteri alami dan juga dikenal sebagai abrasiver (pengampelas) yang berfungsi sebagai penghalus kulit. Industri kecantikan sekarang ini banyak menggunakan ekstrak kopi dalam inovasi produk perawatan kulit seperti body scrub. Body scrub adalah produk perawatan kulit yang berfungsi membersihkan sel kulit mati dan menutrisi kulit. Ekstrak kopi dipercaya mengandung antioksidan yang tinggi sehingga dapat meremajakan kulit. Dengan keunggulan yang dimiliki, ampas kopi dapat menggantikan ekstrak kopi sebagai bahan tambahan dalam produk body scrub (Hertina 2013). Butiran kasar yang dimiliki ampas kopi dapat menggantikan fungsi silika atau garam dalam body scrub, antioksidan yang dikandung ampas kopi dapat bersaing dengan ekstrak kopi, serta zat antibakteri ampas kopi dapat menggantikan metil paraben yang dapat menimbulkan iritasi kulit. Selain itu, ampas kopi tersedia sangat banyak di lingkungan sebagai limbah sehingga lebih ekonomis dibandingkan memakai ekstrak kopi atau kopi bubuk murni (Tokimoto et al. 2005). Penelitian dapat menghasilkan produk scrub kopi terbaik dengan formulasi persentase scrub 5% serta rasio bobot ampas kopi dan tepung beras 1:0. Produk hasil formulasi tersebut memiliki nilai akhir pembobotan 3,78 dengan nilai stabilitas emulsi 77,48%; pH 7,24; angka lempeng total 3,27x102; dan total fenolik 47,28 mg GAE per 100 gr ekstrak. Kualitas yang dihasilkan dari body scrub ini masuk kategori bermutu baik dengan umur simpan sembilan bulan serta disukai oleh 80% panelis (Noor dan Kanza 2016).
Penutup Agroindustri sebagai penghela produk pertanian perlu didorong menjadi industri yang efisien dan produktif dalam meningkatkan kualitas produk dan nilai tambah yang berdaya saing pasar. Banyak negara yang tidak memiliki sumberdaya pertanian namun memiliki produk basis pertanian yang unggul seperti kopi, cokelat, minyak atsiri, umbi-umbian, produk hilir kelapa sawit dan sebagainya. Keunggulan ini diwujudkan berkat penguasaan teknologi pengolahan khususnya di bidang proses hilir.
162
Berbagai produk akhir dapat dihasilkan dari diversifikasi suatu bahan baku. Untuk itu, inovasi di bidang agroindustri menjadi bagian penting untuk dapat mewujudkan peningkatan produksi yang unggul dengan kualitas yang tinggi. Rekayasa proses hilir sebagai salah satu teknik penting dalam rekayasa proses dapat dikembangkan dengan berbasis bioteknologi dan nanoteknologi. Bioteknologi diartikan sebagai teknologi dengan pendayagunaan dan eksploitasi mikroorganisme. Sementara nanoteknologi dengan formulasi pengecilan ukuran dalam skala nanometer yang dapat merubah karakteristik suatu bahan. Produk-produk yang telah disampaikan dalam kesempatan ini menunjukkan peran penting rekayasa proses hilir untuk peningkatan kualitas berbagai komoditas dan penciptaan produk baru. Sebagai contoh berbagai produk antara yang digunakan sebagai bahan tambahan seperti pengemulsi (emulsifier), penstabil (stabilizer), antioksidan untuk kepentingan industri dalam negeri hingga saat ini masih dikuasai oleh produk impor. Sumber bahan baku produk-produk ini antara lain berasal dari berbagai jenis umbi-umbian, tanaman perkebunan, tanaman obat hingga bahan baku sisa yang tersedia dalam negeri dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Penelitian di bidang proses hilir dan penguasaan rekayasa proses hilir diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan yang maksimal dari komoditas pertanian oleh industri dalam negeri.
163
Pustaka [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Penyusunan RPJMN 2015–2019 Bidang Pangan dan Pertanian. [Di akses pada: http://bappenas.go.id]. [Di unduh pada: 22 September 2016]. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2014. Produksi Temulawak Indonesia. [Di akses pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view. php?kat=3&tabel=1&daftar=&id_subyek=55¬ab=25].[Di unduh pada: 14 Desember 2014]. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kopi 2013–2015. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan. Acevedo F, Rubilar M, Scheuermann E, Cancino B, Uquiche E, Garces M, Inostroza K dan Shene C. 2013. Bioactive compounds of spent coffee grounds, a coffee industrial residue. Symposium on Agricultural and Agroindustrial Waste Management: 1–4. Aprilia AA. 2013. Antimicrobial and antioxidant activities of microwave assisted extracts from coffee ground residue in Chiang Mai Province, Thailand [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Dandekar DV, Guddadarangavvanahally K, Jayaprtakasha dan Bihmanagouda SP. 2007. Simultaneous extraction of bioactive limonoid aglycones and glucoside from Citrus aurantium. L using hydrotropy. [skripsi]. Texas (US): A&M University. Darmadji P. 2002. Optimasi pemurnian asap cair dengan metode redistilasi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 13(3). Desiyarni. 2006. Perancangan proses pembuatan selulosa asetat dari selulosa microbial untuk membran ultrafiltrasi. Disertasi. Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian. IPB Bogor Gibbs DA, Merril EW, Smith KA. 1968. Rheology of Hyaluronic Acid. Biopolimer. 6: 777–791 Harsanto PB. 1986. Budidaya Pengolahan Sagu. Jogjakarta: Yayasan Kanisius.
164
Herman Z, Fong CH, Ou P, Hasegawa S. 1985. Limonoid glucosides in orange juices by HPLC. J. Agri. Food Chem. 38(1): 1860–1861. Herrera ML. 2012. Analytical Technique for Studying the Physical Properties of Lipid Emulsion. Nano and Micro Food Emulsions. Springer. Hertina TN, Dwiyanti S. 2013. Pemanfaatan ampas kedelai putih dan ampas kopi dengan perbandingan berbeda dalam pembuatan lulur tradisional untuk perawatan tubuh. Jurnal Universitas Negeri Surabaya. 2(3): 70–77. Ifuku Y, Maeda H. 1998. Method for manufacturing limonoid glucosides. [Di akses pada: http//www.freepatentonline.com]. [Di unduh pada: 22 Agustus 2008]. Ishii T, Ohta H, Nogata Y, Yano M, Hasegawa S. 2003. Limonoids in seeds of Iyo Tangor (Citrus iyo Hort. Ex Tanaka). Food Sci. Technol. Res. 9(1): 162–164. Jusnita N, Haditjaroko L, Yusron M dan Noor E. 2014. Production of nanocurcumin from curcuma xanthorriza roxb by homogenization. J. Biol. Agri. Healthcare. 4(16). Kaya CH, Mallikarjunan K. 2012. Better nutrients and therapeutics delivery in food through nanotechnology. Food Eng. Rev. 4: 114– 23. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. Lako JV, Craige T, Mark W, Naiyana W, Subramanium S dan Robert P. 2007. Phytochemical flovonols, carotenoids and the antioxidant properties of a wide selection of Fijian fruit, vegetables and other readily available foods. Food Chem. 101(4): 1727–174. Lawless J. 2002. Encyclopedia of Essential Oils. London (UK): Thorson. Mattsson P, Korpela T, Paavilainnen S, Makela M. 1991. Enhanced conversions of starch to cyclodextrins in ethanolic solution by Bacillus circulans. Appl. Biochem. Biotech. 30: 17–28. Mebrahtu H. 2014. Integrated volarization of spent coffee grounds to biofuel. Biofuel Res. J. 2(2): 65–69.
165
Noor E, Aldilla DN. 2010. Penggunaan Siklodekstrin untuk Mengurangi Rasa Langu (off-flavor) pada Susu Kedelai. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian. 13–14 Desember. Palembang, Indonesia. Noor E, E Hercules. 2012. Pemurnian minyak nilam dan siklodekstrin menggunakan membran ultrafiltrasi. (Unpublished data). Noor E, Fachrizal M. 2015. Karakteristik nanoemulsi temulawak. (Unpublished data). Noor E, Fajarika D. 2013. The design process for entrapping limonin and naringin in siam juice by cyclodextrin. Proceeding of International Conference on Applied Technology, Science and Arts. 10 December. Surabaya, Indonesia. Noor E, Fitriana DN. 2010. Aplikasi siklodekstrin untuk mengontrol pelepasan aroma pada produk skin lotion. (Unpublished data). Noor E, Haque FAK. 2015. Karakteristik nanoemulsi ekstrak jahe. (Unpublished data). Noor E, Hartoto L. 2011. Produksi siklodekstrin dari pati garut menggunakan berbagai kombinasi enzim. Jurnal Teknologi Industri Pangan. 12(2):136–140. Noor E, Kanza AM. 2016. Formulasi pembuatan sediaan body scrub dari ampas kopi. (Unpublished data). Noor E, Maryana YE. 2010. Model perpindahan massa pada pemurnian siklodekstrin dengan membran ultrafiltrasi aliran silang. (Unpublished data). Noor E, Harmi L, Maddu A, Yusron M. 2015. Fabrication of nanogingerol by combining phase inversion composition and temperature. Res. J. Pharm. Biol. Chem. Sci. 6(1). Noor E, Martius E, Fahma F, Sa’id EG. 2006. Produksi asam hialuronat oleh Streptococcus zooepidemicus: kajian pengaruh jenis medium, suhu dan agitasi pada kultivasi curah. J. Mikrob. Indonesia. 11(1). Noor E, Rachman A, Setyadjit. 2010. Model perpindahan massa pada pemekatan sari jeruk siam dengan reverse osmosis. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 20(3): 178–183.
166
Noor E, Rachman A, Setyadjit, Setyabudi DA. 2009. Proses pemekatan jus jeruk siam (Citrus nobilis L. var microcarpa) dengan reverse osmosis. Jurnal Pascapanen. 6(1): 21–26. Noor E, Rachmawati HN, Makkulawu AR. 2016. Production and characterization of chlorophyll nanopigment from sargassum sp. J. Eng. Technol. Sci. (Submitted). Noor E, Setyajit, Meryandini A, Sunarti TC. 2013. Produksi kopi buatan secara enzimatis. Indonesia paten P00201304645. Noor E. 2002. Isolasi asam hialuronat dengan presipitasi dan membran mikrofiltrasi crossflow. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 11(3): 125–130. Noor E. 2006. Produksi asam hialuronat oleh Streptococcus zooepidemicus dengan kultivasi curah dan semi sinambung pada fermentor skala menengah. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 16(1). Ohta H, Yoza KI, Nogata Y, Hasegawa S. 1995. Limonoid glucosides in seeds of shikuwasha (Citrus depressa Hayata). Food Sci. Technol. Int. Tokyo. 1(2): 74–76. Poulain N, Nakache E. 1998. Nanoparticles from vesicles polymerization II. Evaluation of their encapsulation capacity. J Polym Sci. 36: 3035–3043. Pranowo D, Noor E, Haditjaroko L, Maddu A. 2016. Optimasi ekstraksi flavonoid total daun Gedi (Abelmoschus manihot L. Medic) dan uji aktivitas antioksidan. Buletin Littro. 27 (1). Pranowo D, Noor E, Haditjaroko L, Maddu A. 2015. The ethanol extractnanoemulsion production of Abelmoschus manihot L. Medic by the combination of homogenization and solvent displacement technique. Int. J. Sci. Basic App. Res. (IJSBAR). 24(1). Radt B, Angelatos AS, Thomas KG, Schmitz V. 2004. Optically addressable nanostructured capsule. Adv. Mater. 16(2): 2184– 2189. Rawat M, Singh D, Saraf S. 2006. Nanocarriers: promising vehicle for bioactive drugs. J. Bio. Pharm. Bull. 29(9): 1790–1798.
167
Rendlemen JA. 1989. Separation of cyclodexstrin by affinity chromatography. US patent 4867884. Rosnelly CM, Darwis AA, Noor E, Kaseno. 2009. Pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan baku pembuatan membrane. Jurnal Agri-Tek. 10(1): 61–70. Rosnelly CM, Darwis AA, Noor E, Kaseno. 2010. Pengaruh rasio anhidra asetat dalam proses asetilasi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dalam pembuatan polimer selulosa tri asetat. Warta Industri Hasil Pertanian (IHP). Journal of Agro-Based Industry. 27(1): 1–11. Rosnelly CM, Darwis AA, Noor E, Kaseno. 2010. Pengaruh penambahan aditif PEG terhadap morfologi membran ultrafiltrasi selulosa asetat. Jurnal Distilat. 3(1): 1–12. Setyadjit et al. 2006. Laporan Akhir Pengembangan Teknologi Pengolahan Jeruk, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian. Setyadjit, Noor E, Aghitsni F, Setyabudi DA. 2009. Proses mikrofiltrasi untuk penghilangan limonin dan naringin pada jus jeruk siam (Citrus nobilis L. var microcarpa). Jurnal Pascapanen. 6(2): 94–101. Shah P, Bhalodia D, Shelat P. 2010. Nanoemulsion : A Pharmaceutical review. Sys. Rev. Pharm. 1(1). Shieh W, Hedges A. 1989. Purification of beta cyclodextrin. US patent 5658390. Sidik, Mulyono MW, Ahmad M. 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica. Sidik, Mulyono MW dan Mutadi A. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Jakarta: Phytomedika. Silva HD, Cerqueira MA, Souza BW, Riberio C, Avides MC, Quintas MA dan Vicente AA. 2011. Nanoemulsions of β- carotene using a high-energy emulsification-evaporation technique. J. Food Eng. 114(2): 130–135.
168
Suyati. 2008. Pembuatan selulosa asetat dari limbah serbuk gergaji kayu dan identifikasinya. Tesis. Pascasarjana FMIPA-Kimia, ITB Bandung. Tokimoto T, Kawasaki N, Nakamura T, Akutagawa J, Tanada S. 2005. Removal of leads ions in drinking water by coffee ground as vegetable biomass. J. Colloid Interface Sci. 1(2): 56. Usmiati S, Mangunwidjaja D, Noor E, Richana N, Prangdimurti E. 2016. Production of nanoparticles of sulfated low methoxyl pectin based on crosslinked reaction by ionotropic gelation technique. Science Engineering Resource Support Society (SERSC). Int. J. Adv. Sci. Technol. (reviewed). Xu Y, Du Y. 2003. Effect5 of molecular structure of chitosan on protein delivery properties of chitosan nanoparticles. Int. J. Pharm. 250(1): 215–26. Yalpani M. 1978. Commercial Polysaccharides : Genetic engineering, structure/property relations and applications. Amsterdam (EU): Elsevier Science Publisher BV. Yu J, Wang L, Walzem RL, Miller EG, Pike LM, Patil BS. 2005. Antioxidant activity of citrus limonoids, flavonoids, and coumarins. J. Agric. Food Chem. 53(1): 2009–2014.
169
BAB VII REKAYASA MATA PISAU GERGAJI MENUJU
PROSES PENGERJAAN KAYU BERKUALITAS DAN RAMAH LINGKUNGAN1 I Wayan Darmawan2
PENDAHULUAN Sumber daya hutan berupa kayu memegang peranan penting dalam menopang dan menyediakan kebutuhan akan produk kayu bagi masyarakat luas. Kayu telah menjadi primadona dan pilihan utama sejak masa lampau hingga kini. Kayu dapat digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan dan perumahan, meubel, furniture, dan kerajinan, pulp dan kertas, hingga kayu bakar. Pemanfaatan yang luas ini sangat rasional karena kayu memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak ditemukan pada bahan lain. Salah satu keunggulan yang paling penting adalah kayu bersifat renewable sehingga ketersediaan dan keberlanjutannya dapat dikontrol dan dikendalikan melalui manajemen pengelolaan yang benar. Namun demikian, kayu juga memiliki karakteristik dengan tingkat variasi yang cukup tinggi, baik dalam satu jenis, antar jenis kayu, dan bahkan dalam satu batang pohon. Variasi-variasi tersebut tidak hanya dari segi taksonomis di mana dikenal dua kelompok kayu, yaitu kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun jarum (softwood) yang secara morfologis berbeda, tetapi juga secara fisiologis dan anatomis. Faktorfaktor seperti kondisi ketinggian tempat, iklim dan kualitas lingkungan tempat tumbuh juga turut memberikan andil yang signifikan terhadap terbentuknya variasi sifat, struktur serta komponen penyusun material berkayu. Variasi menjadi lebih besar lagi setelah kayu diubah menjadi produk-produk komposit seperti kayu lapis, papan partikel, papan serat, dan papan semen yang pengerjaannya membutuhkan penanganan lebih ketat. Variasi sifat-sifat tersebut menjadi faktor yang tidak dapat dikendalikan dalam proses pengolahannya sehingga menjadi tantangan masalah yang 1 Naskah Orasi Ilmiah Guru Besar; 23 April 2016 2 Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan
harus dihadapi para ilmuwan. Homogenitas dan kualitas kayu sebagai bahan baku sangat menentukan besar kecilnya nilai tambah dan nilai jual dari produk yang dihasilkan. Pada rekayasa design produk tertentu, homogenitas dan kualitas produk yang lebih baik dapat meningkatkan nilai tambah dan nilai jual sampai beberapa kali lipat. Perbaikan dalam homogenitas dan kualitas bahan dapat diupayakan melalui penyempurnaan peralatan pengolahan yang digunakan (mesin gergaji dan pisau gergaji). Pengerjaan kayu menggunakan pisau gergaji yang tahan dan kuat diharapkan mampu menciptakan proses pengerjaan kayu yang berkualitas dan ramah lingkungan. Rekayasa permukaan (surface engineering) merupakan teknologi yang bertujuan untuk merancang dan memodifikasi sifat permukaan suatu bahan. Dalam tiga puluh tahun terakhir, telah terjadi perkembangan yang luar biasa dibidang teknologi rekayasa permukaan (Dahotre 1998). Awal tahun 1980 teknologi rekayasa permukaan mulai diperkenalkan atau diujicobakan dan juga mulai dikomersialisasikan. Ada dua kategori utama dari teknologi rekayasa permukaan yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan sifat lapisan dan substrat, yaitu pelapisan permukaan (surface coating) dan modifikasi permukaan (surface modification) (Lampman 1991). Pelapisan permukaan melibatkan penambahan lapisan bahan baru pada permukaan substrat, sedangkan modifikasi permukaan melibatkan modifikasi struktur mikro permukaan substrat dan/atau komposisinya tanpa peningkatan dimensi substrat (Gambar 7.1). Proses pelapisan melibatkan penyusunan lapisan menggunakan bahan cair, bahan semi-cair atau bahan kimia ke permukaan substrat. Salah satu fungsi utama dari lapisan permukaan adalah untuk memperkuat fungsi permukaan tanpa merubah komposisi kimia bahan substrat. Beberapa contoh metode pelapisan permukaan adalah metode pelapisan secara fisik (physical vapour deposition (PVD)), dan pelapisan secara kimiawi (chemical vapour deposition (CVD)) (Frainger and Blunt 1998). Jenis jenis bahan pelapis yang telah diujicobakan adalah chromium carbide (CrC), titanium nitride (TiN), chromium nitride (CrN), titanium carbon nitride (TiCN), titanium aluminum nitride (TiAlN), titanium boron oxide nitride (TiBON), chromium aluminum nitride (CrAlN), titanium silicon nitride (TiSiN) dan sedang diujicobakan pelapisan multilapis TiAlN/TiBON, TiAlN/CrAlN, TiAlN/TiSiN. 172
Surfacee Coating
Surfface Modifica ation
A layyer of differen nt materials iss added to thee surface
Surface composition and/or a microsttructure is mo odified
Gambar 7.1 Klasifikasi teknologi rekayasa permukaan Proses modifikasi permukaan dapat diklasifikasikan sebagai peleburan dengan sinar laser (laser melting) dan penambalan dengan sinar laser (laser cladding). Modifikasi permukaan telah memainkan peran penting dalam mengoptimalkan performa dari suatu material untuk tujuan penggunaan tertentu. Suatu material yang peka atau rentan terhadap aus dan kerusakan permukaan dapat dikurangi dengan mengubah komponen kimia permukaan, morfologi, dan struktur kristal (Semak and Dahotre 1998). Penjelasan ini diperkuat oleh pertimbangan bahwa besarnya gesekan yang bekerja pada bidang antarmuka sangat dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk struktur mikro atau nano pada permukaan bahan (Bauerle 2003). Dengan demikian, modifikasi permukaan merupakan faktor penting dalam pengembangan struktur mikro pada permukaan material. Modifikasi menggunakan radiasi sinar laser telah terbukti menghasilkan perubahan struktur kristal pada permukaan material. Pengembangan teknologi pelapisan maupun modifikasi permukaan telah banyak dilakukan yang melibatkan multisektoral dan multidisiplin (Gambar 7.2). Pengembangan tersebut telah ditemukan tersebar di beberapa sektor seperti industri pesawat terbang, otomotif, nuklir, pertambangan, industri olahraga, dan industri elektronik. Aplikasi teknologi ini menghasilkan manfaat teknis dan ekonomi yang besar (penurunan investasi modal, peningkatan profitabilitas, perubahan desain, manfaat lingkungan dan inovasi teknis) (Kennedy et al. 2005). Aplikasi teknologi rekayasa permukaan telah mendapat perhatian dari berbagai industri kecil termasuk industri perkayuan.
173
Pada industri perkayuan, pemotongan kayu dan produk kayu komposit (papan partikel, papan semen kayu, papan serat) pada umumnya dilakukan pada kecepatan tinggi (kecepatan di atas 10 m/detik). Pengerjaan atau pemotongan kayu komposit (papan serat, papan partikel, papan semen kayu) menyebabkan mata pisau aus lebih cepat daripada pemotongan kayu solid. Penumpulan mata pisau baja (high speed steel) dengan cepat pada pemotongan papan partikel telah dilaporkan secara luas oleh industri perkayuan. Penggunaan pisau tungsten carbide yang kualitasnya lebih baik namun harganya empat kali lebih tinggi daripada pisau baja untuk pemotongan papan partikel juga terbatas karena penumpulan yang cepat akibat oksidasi temperatur tinggi dan abrasi (Stewart 1992; Sheikh Ahmad-dan Bailey 1999). Untuk memperlambat aus atau memperpanjang masa pakai pisau dapat dicapai dengan menggunakan bahan pisau yang mempunyai ketahanan aus yang tinggi (ceramic, cubic boron nitride CBN, diamond like carbon DLC), namun dapat berdampak pada biaya produksi yang tinggi, dan sulit dalam produksi mata pisau dengan bentuk yang lebih kompleks. Salah satu inovasi yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil pengerjaan adalah rekayasa permukaan pisau. Pada tulisan ini dibahas hasil-hasil penelitian terkait kualitas pengerjaan pisau (masa pakai, konsumsi energi, tingkat kehalusan, tingkat kebisingan, tingkat pencemaran dengan perlakuan pelapisan permukaan (surface coating), modifikasi permukaan dengan laser (surface melting and cladding), dan modifikasi bentuk mata pisau (new design of cutting edge).
174
Enngineering M Materials
Gambar 7.2 Peta rekayasa permukaan menggambarkan keterlibatan multi sektoral dan teknologi interdisiplin
KINERJA PISAU GERGAJI DENGAN PELAPISAN PERMUKAAN Bahan TiN, CrN, TiCN, TiAlN yang dilapiskan pada mata pisau baja (high speed steel, HSS) dengan metode PVD telah menghasilkan daya tahan aus lebih baik dibandingkan HSS tanpa pelapis pada pemotongan logam (Spur et al. 1990; Hendenqvist et al. 1990; Bienk et al. 1995; Bromark et al. 1995; Banh et al. 2004). Namun pengujian pisau HSS berlapis TiN pada pemotongan kayu spruce tidak meningkatkan daya tahan aus yang signifikan (Usenius et al. 1987). Kondisi proses pengerjaan kayu berbeda dengan proses pengerjaan material lain khususnya logam. Kecepatan pemotongan kayu 5–20 kali lebih cepat dibandingkan pemotongan material logam (Costes dan Larricq 2002). Pemotongan
175
kayu pada kecepatan tinggi menghasilkan suhu pemotongan yang tinggi sehingga dapat mempercepat laju aus mata pisau. Selain itu, kandungan bahan abrasif dalam produk kayu komposit dapat mengakibatkan daya tahan aus pisau semakin rendah (Darmawan et al. 2001a). Pada industri pengolahan kayu, tingkat aus mata pisau menjadi faktor penting terkait dengan produktivitas, kualitas produk dan biaya produksi. Dengan demikian, penelitian terkait dengan karakteristik hasil pengerjaan mata pisau gergaji dapat membantu perusahaan dalam memilih jenis bahan pisau yang cocok digunakan dalam proses produksinya. Material mata pisau yang mulai banyak digunakan dalam proses pengerjaan kayu adalah jenis tungsten carbide. Namun, penggunaan jenis pisau ini juga menjadi kendala karena daya tahan aus yang rendah pada saat pemotongan kayu komposit yang mengandung bahan abrasif cukup tinggi (Ramasamy 2010). Oleh karena itu, inovasi teknologi yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pengerjaan pisau adalah dengan memberikan lapisan pengeras pada permukaan mata pisau tungsten carbide. Penelitian-penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa pemberian bahan pelapis pada permukaan tungsten carbide tidak selalu menghasilkan daya tahan aus yang lebih tinggi dibandingkan mata pisau tanpa bahan pelapis. Fuch dan Raatz (1997) melaporkan bahwa pengaplikasian bahan pelapis titanium nitrid (TiN) pada mata pisau tungsten carbide K10 tidak memberikan peningkatan daya tahan aus yang nyata dibandingkan dengan K10 tanpa bahan pelapis TiN pada pemotongan papan partikel. Sementara itu, Darmawan et al. (2001a) melaporkan bahwa di antara bahan pelapis titanium nitride (TiN), chromium nitride (CrN), titanium carbon nitride (TiCN), dan titanium alumunium nitride (TiAlN) yang dilapisksan pada substrat tungsten carbide dengan metode PVD pada pemotongan papan semen, lapisan TiAlN menghasilkan daya tahan aus paling tinggi dibandingkan bahan pelapis lainnya (Gambar 7.3). Aus yang terjadi pada mata pisau terlapisi disebabkan karena delaminasi bahan pelapis. Aus mata pisau semakin besar dengan semakin bertambahnya bahan pelapis yang terdelaminasi dari permukaan mata pisau.
176
110 Uncoated Tungsten CrN TiCN TiN TiAlN
Edge wear (µm)
90 70 50 30 10
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
Cutting Gambar 7.3 Perkembangan aus matalength pisau(km) tungsten tanpa dan dengan pelapis pada pemotongan papan serat kerapatan tinggi (hardboard) Kondisi : kecepatan potong = 1000 m/menit, laju pengumpanan = 0,1 mm/putaran
Hasil pada Gambar 7.4 memberikan indikasi bahwa besarnya gaya normal dan tingkat kebisingan antarmata pisau berpelapis relatif sama, namun gaya normal dan tingkat kebisingan yang dihasilkan mata pisau berpelapis pada pemotongan hardboard lebih rendah daripada pisau tanpa pelapis (Darmawan and Tanaka 2004). Dengan demikian pisau berpelapis dipertimbangkan lebih menguntungkan tidak hanya dalam meningkatkan daya tahan aus, namun juga menghasilkan gaya normal dan tingkat kebisingan lebih rendah. Sejalan dengan perkembangan teknologi, maka sebagian besar mesinmesin pengerjaan kayu diproduksi untuk bekerja pada kecepatan tinggi (kecepatan di atas 10 m/detik). Kondisi pemotongan pada kecepatan tinggi ternyata mempercepat tumpulnya mata pisau, bahkan jenis pisau baja (high speed steel) terbakar ketika memotong papan semen pada kecepatan 20 m/detik (Darmawan et al. 2001b). Temperatur pemotongan semakin tinggi dengan semakin besarnya kecepatan pemotongan (Gambar 7.5). Pada pemotongan kayu komposit, temperatur meningkat secara menyolok dibandingkan dengan pemotongan kayu solid.
177
112
a
50
Noise Level (dB-C)
Normal Force (N)
60
40 30 Uncoated tungsten TiCN TiAlN TiN
20 10 0
0,0
0,5
1,0
1,5
108 106 Uncoated tungsten TiCN TiAlN TiN
104 102 100
2,0
b
110
0,0
0,5
Cutting Length (km)
1,0
1,5
2,0
Cutting Length (km)
Gambar 7.4 Perkembangan gaya normal (a) dan tingkat kebisingan (b) mata pisau tungsten tanpa dan dengan pelapis pada pemotongan hardboard 1200 HD Cementboard HD Hardboard LD Cementboard LD Hardboard Pinus
Cutting Temperature (oC)
1000 800 600 400 200 0
20
30
40
50
60
Cutting Speed (m/s)
Gambar 7.5 Temperatur mata pisau sebagai fungsi dari kecepatan pemotongan dan jenis bahan Hasil pada Tabel 7.1 dan Gambar 7.6 memberikan indikasi bahwa laju aus yang lebih tinggi dan jumlah aus yang lebih besar dihasilkan oleh semua bahan pisau ketika diaplikasikan pada pemotongan kecepatan tinggi. Pisau tungsten berlapis TiAlN menghasilkan laju aus paling rendah pada kecepatan pemotongan di atas 30 m/detik. TiAlN juga menghasilkan masa pakai paling lama (3x lebih lama) dibandingkan dengan pisau tanpa pelapis, berdasarkan formula masa pakai Taylor.
178
Tabel 7.1 Laju aus (µm/menit) mata pisau dengan dan tanpa pelapis pada kecepatan potong yang berbeda Tools
Cutting speed (m/s) 40 50 118,0 167,9 112,9 159,8 76,6 163,3 61,6 164,5 33,4 97,4
30 39,0 37,3 35,0 24,2 25,7
Uncoated tungsten CrN coated tungsten TiN coated tungsten TiCN coated tungsten TiAlN coated tungsten
60 276,5 241,5 242,7 276,1 102,2
Kondisi: laju pengumpanan F = 0.05 mm/rev, material = papan semen kayu
Clearance wear (Pm)
400 300
925o 800o
1000 800 600
630o 435o
200
400
100
200
0
30
40
50
60
Tool Temperature (oC)
Temperature Uncoated tungsten TiAlN TiN CrN TiCN
500
0
Cutting Speed (m/s)
Gambar 7.6 Kondisi aus mata pisau pada berbagai kecepatan pemotongan dan besarnya temperatur pada masingmasing tingkat kecepatan Kondisi: laju pengumpanan = 0.05 mm/rev, material = papan semen
Hasil pada Tabel 7.1 dan Gambar 7.6 juga mengindikasikan bahwa pisau tungsten berpelapis memberikan daya tahan aus lebih baik dibandingkan dengan pisau tungsten tanpa pelapis. Hal ini disebabkan tungsten dengan pelapis memiliki kekerasan yang lebih tinggi dari tungsten tanpa pelapis yang mengakibatkan daya tahannya terhadap abrasi mekanis lebih tinggi dari tungsten tanpa pelapis. Tingginya kenaikan aus pisau berpelapis (TiAlN, TiCN) pada kecepatan 50 m/detik disebabkan temperatur pemotongan melampaui temperatur oksidasi. Daya tahan oksidasi pisau TiAlN, dan TiCN masing-masing 750oC dan 450oC. Temperatur tinggi pada kecepatan di atas 50 m/detik ini telah 179
menyebabkan degradasi termal lapisan film karena oksidasi dan abrasi (Gambar 7.7) (Darmawan et al. 2001b). Akibatnya, delaminasi parah lapisan film TiAlN dan TiCN terjadi pada kecepatan potong tinggi. Selanjutnya, kekerasan lapisan film TiAlN dan TiCN juga diduga mengalami penurunan yang mengakibatkan lemahnya daya tahan pisau terhadap abrasi mekanis.
500x
TiN
500x
TiCN
500xx
TiAlN
(a)
(b)
Gambar 7.7 Photo SEM (a) dan EDS (b) memperlihatkan terbentuknya oksida (warna merah) pada mata pisau dengan pelapis TiN, TiCN, dan TiAlN pada panjang pemotongan 5 km Bahan pelapis lain yang juga telah diaplikasikan dan diteliti pada permukaan tungsten carbide untuk mengurangi laju aus mata pisau adalah titanium boron nitrid (TiBN) (Son et al. 2002), titanium alumunium nitrid (TiAlN) (Grzesik et al. 2006), dan titanium silikon nitrid (TiSiN) (Guo et al. 2008). Namun, pengaplikasian bahan-bahan pelapis tunggal (monolayer) tersebut masih menghasilkan delaminasi cukup tinggi yang disebabkan oleh ikatan yang kurang kuat antara bahan pelapis dengan substrat. Selain itu, oksidasi karena suhu tinggi selama proses pemotongan juga telah mempercepat delaminasi bahan pelapis (Warcholinski and Gilewicz 2011). 180
Inovasi baru yang sedang dikembangkan dalam teknologi pelapisan permukaan adalah pelapisan bahan multi lapis (multilayer). Yang et al. (2008) melaporkan bahwa lapisan multi lapis TiSiN/CrN mampu mengurangi laju aus menjadi 0,6 µm/menit dibandingkan dengan lapisan tunggal TiSiN sebesar 2,87 µm/menit. Penelitian lain juga malaporkan bahwa lapisan multi lapis TiSiN/TiAlN mampu meningkatkan kekerasan dan daya tahan terhadap korosi dibandingkan dengan lapisan tunggal TiAlN dan TiSiN (Chang et al. 2007). Pelapisan dengan teknik multi lapis ini masih belum banyak dicobakan untuk aplikasi pemotongan kayu. Darmawan et al. (2010) melaporkan bahwa pengaplikasian bahan multi-lapis TiAlN/TiSiN, TiAlN/TiBON, dan TiAlN/CrAlN pada pisau tungsten pada pemotongan papan partikel menghasilkan daya tahan aus yang lebih tinggi daripada bahan pelapis tunggal TiAlN. Kombinasi bahan multi lapis pada penelitian tersebut menghasilkan karakteristik mata pisau dengan kekerasan yang relatif tinggi, koefisien gesekan yang rendah dan daya tahan tinggi terhadap oksidasi sehingga jumlah delaminasi bahan pelapis juga lebih rendah (Rizzo et al. 2013; Usuki et al. 2013; Wu et al. 2015). Hasil penelitian pada Gambar 8 menunjukkan bahwa mata pisau dengan bahan multi lapis menghasilkan jumlah aus (edge recession) yang lebih rendah dibandingkan dengan mata pisau tanpa pelapis pada pemotongan papan partikel dengan kecepatan 20 m/detik. Tingkat kekerasan yang lebih rendah pada mata pisau tanpa pelapis (tungsten carbide) sebesar 1400 Hv dibandingkan bahan pelapis TiAlN (2800HV), TiAlN/TiSiN (3600 HV), dan TiAlN/TiBON (2700 HV), TiAlN/CrAlN (3500 HV) menjadi alasan fenomena tersebut. Selain itu, lapisan tipis (film) yang terbentuk dari kombinasi bahan pelapis tersebut pada permukaan pisau tungsten carbide mampu mengurangi konduktivitas panas yang dihasilkan selama pemotongan (Darmawan et al. 2010). Samani et al. (2015) melaporkan bahwa konduktivitas panas pada lapisan tunggal TiN dan TiAlN (11 W/mK, 5 W/mK) sedikit lebih tinggi dibandingkan konduktifitas panas multi lapis TiN/TiAlN (4,7 W/mK). Sementara konduktivitas panas pada mata pisau tanpa pelapis (tungsten carbide) menurut Talib et al. (2013) sebesar 80,2 W/mK. Konduktivitas panas yang tinggi pada material tungsten carbide tersebut dilaporkan
181
140 120 100 80 60 40 20 0
Delamination Wear (Pm)
Edge Recession (Pm)
mengoksidasi bahan cobalt (Co) selama proses pemotongan (Stewart 1992). Kondisi tersebut mengakibatkan ikatan antar-partikel tungsten carbide menjadi tidak kompak dan mudah mengalami abrasi mekanis saat pemotongan dan menghasilkan permukaan mata pisau yang tidak rata (bergelombang). TiAlN TiAlN/CrAlN TiAlN/TiSiN TiAlN/TiBON
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Length of Cut (km)
140 120 100 80 60 40 20 0
TiAlN TiAlN/CrAlN TiAlN/TiSiN TiAlN/TiBON
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Length of Cut (km)
(a)
(b)
Gambar 7.8 Perkembangan aus mata pisau dan besarnya delaminasi bahan pelapis pada pemotongan papan partikel Hasil pada Gambar 7.8b dan Gambar 7.9 menunjukkan bahwa multilayer TiAlN/CrAlN menghasilkan daya tahan delaminasi tertinggi dibandingkan dengan TiAlN/TiSiN dan TiAlN/TiBON dalam memotong papan partikel (Darmawan et al. 2010). Pelapis TiAlN/CrAlN tidak mengalami delaminasi lapisan film hingga panjang pemotongan 1000m. Lapisan film TiAlN/CrAlN mengalami sedikit chipping pada mata pisau saat panjang pemotongan 800 m dan hingga panjang pemotongan 1000 m tidak terjadi delaminasi lapisan film (Gambar 7.9).
182
K10
Cutting
a1 Clearrance
TiAlN
a2
TiAlN/TiBO ON
a3
TiAlN/TiSSiN
a4
TiAlN/CrA AlN
Delam mination
C Coating film
b1 1
b2 2
b3
C Chipping of coating
b4
Gambar 7.9 Pola aus mata pisau berpelapis sebelum pemotongan (a) dan setelah pemotongan sepanjang 1 km (b) Daya tahan delaminasi yang tinggi dari TiAlN/CrAlN disebabkan dua alasan berikut. Pertama, koefisien gesekan dari multi lapis TiAlN/ CrAlN lebih rendah dari TiAlN, TiAlN/TiBON, dan TiAlN/TiSiN sehingga abrasi mekanis terhadap lapisan film oleh bahan abrasif berupa perekat yang terkandung dalam papan partikel menjadi berkurang. Kedua, daya tahan oksidasi dari TiAlN/CrAlN hasil analisis EDS pada Gambar 7.10 lebih baik dibandingkan dengan TiAlN, TiAlN/TiBON, dan TiAlN/TiSiN. Puncak yang lebih tinggi dari profil oksigen hasil analisis EDS yang dihasilkan oleh TiAlN, TiAlN/TiBON, TiAlN/TiSiN (Gambar 7.10b) menunjukkan terjadinya oksidasi lebih parah pada 183
ketiga lapisan film ini (Darmawan et al. 2010). Fenomena ini dapat diperkuat oleh hasil sebelumnya di mana delaminasi lapisan monolayer pada pemotongan kecepatan tinggi papan semen kayu disebabkan oleh kontribusi yang besar dari oksidasi (Darmawan et al. 2001b). Oksidasi dipercepat karena peningkatan temperatur pemotongan pada kecepatan potong di atas 30 m/detik. Temperatur tinggi yang dihasilkan selama pemotongan pada kecepatan tinggi telah mengoksidasi TiAlN, TiAlN/ TiBON, TiAlN/TiSiN yang mengakibatkan delaminasi parah lapisan film. TiAlN N
TiA AlN
TiAlN/TiB
TiAlN/T TiB
TiAlN/TiSiN
TiAlN/T TiSiN
T TiAlN/CrAlN
TiAlN//CrAlN
150 µm
150 µm
(b) Oxygen profiles afterr 1 km cutting g
(aa) Oxygen prrofiles before
Gambar 7.10 Analisis SEM/EDS mengindikasikan adanya oksidasi pada mata pisau dengan bahan pelapis sebelum (a) dan setelah pemotongan 1 km (b) Investigasi terhadap mata pisau telah aus di bawah video mikroskop menunjukkan bahwa mekanisme delaminasi hampir sama pada semua lapisan film pada pemotongan papan partikel. Delaminasi dari lapisan TiAlN, TiAlN/TiBON, dan TiAlN/TiSiN didahului dengan sedikit chipping lapisan film pada mata pisau. Chipping bertambah panjang dan melebar pada panjang pemotongan 200 m dan nampaknya sudah mulai terjadi delaminasi pada panjang pemotongan 300 m. Akhirnya pada panjang pemotongan 400 m, delaminasi terjadi pada sepanjang mata pisau dan sudah melebar ke arah muka pisau. Selanjutnya, lapisan film secara bertahap terkelupas dari muka pisau dan tidak memberikan perlindungan terhadap substrat mata pisau, akibatnya mata pisau mengalami aus akibat gesekan dan oksidasi (Darmawan et al. 2010).
184
C Cutting edge
1000x
K10
1000x
(a) TiAlN T
(b) TiAlN/TiBON
Chipping 1000x
(c) TiA AlN/TiSiN
1000x
(d) TiAlN/CrA AlN
Gambar 7.11 Photo SEM mata pisau dengan pelapis setelah aus pada pemotongan papan partikel Photo SEM dari mata pisau TiAlN, TiAlN / TiSiN, TiAlN / TiBON, dan TiAlN/CrAlN yang telah aus akibat pemotongan papan partikel sepanjang 1 km disajikan pada Gambar 7.11. Photo SEM mengindikasikan pola aus mata pisau yang sama dihasilkan oleh TiAlN, TiAlN/TiSiN dan TiAlN/TiBON. Meskipun delaminasi parah terjadi pada TiAlN, TiAlN/TiSiN, dan TiAlN/TiBON, namun delaminasi tidak terjadi pada lapaisan film TiAlN/CrAlN. Akibatnya substrat dari TiAlN, TiAlN/TiSiN, dan TiAlN/TiBON mudah terkena abrasi secara mekanis yang menyebabkan terlepasnya partikel-partikel tungsten dari matrik selama pemotongan (Gambar 7.11a–c). Terlepasnya partikel tungsten dilaporkan menyebabkan mata pisau bergelombang yang cenderung menghasilkan kualitas permukaan papan hasil pemotongan yang kasar (Darmawan et al. 2008). Namun sebaliknya, pelapis TiAlN/ CrAlN terikat kuat pada substrat dan melindungi substrat tungsten dari pengausan, dan mempertahankan mata pisau tetap tajam (Gambar 7.11d).
KINERJA PISAU GERGAJI DENGAN MODIFIKASI LASER Perkembangan teknologi laser dalam 30 tahun terakhir telah memungkinkan laser dapat diterapkan pada suatu tahapan proses di industri. Di sektor manufaktur, teknologi laser mendapatkan perhatian luas untuk perbaikan, dan prototipe dengan cepat (Dahotre
185
1998). Aplikasi laser terutama ditujukan untuk meningkatkan sifat permukaan bahan melalui pelelehan (laser melting) atau penambalan (laser cladding) (Bauerle 2003). Pelelehan laser adalah teknik yang sangat menjanjikan untuk meningkatkan kekerasan dan struktur mikro dari bahan-bahan logam dengan tetap mempertahankan keunggulan dari substrat. Quesada et al. 1989 dan Colaco et al. 2006 melaporkan bahwa struktur mikro AISI-M42 menjadi halus setelah pelelehan menggunakan sinar laser, dan kekerasannya meningkat hingga 1100HV dibandingkan dengan microhardness AISI-M42 konvensional 720HV. Peningkatan ketahanan aus dari AISI-M2 terlelehkan pada pemotongan logam dilaporkan karena peningkatan kekerasan, ketahanan korosif, dan ketahanan erosif (Kusinski 1995; Kac and Kusinski 2003). Masa pakai AISI-M35 bit terlelehkan pada pemotongan bahan baja menjadi 20% sampai 125% lebih tinggi daripada bit konvensional (Hsu dan Molian 1988). Ketahanan aus dan pola aus pisau AISI-T1 terlelehkan pada pengupasan kayu bulat Beech lebih baik daripada pisau T1 konvensional (Darmawan et al. 2007). Dapat disarikan bahwa perubahan struktur mikro dan peningkatan kekerasan karena pelelehan laser seperti dijelaskan di atas, yang menyebabkan peningkatan daya tahan aus dan korosi, dikaitkan dengan terbentuknya struktur mikro yang sangat halus. Selain itu, penambalan laser (laser cladding) pada permukaan substrat menjadi alternatif untuk meningkatkan kualitas sifat permukaan. Lapisan baru hasil penambalan menggunakan laser memiliki struktur mikro yang sangat halus (Pinkerton dan Li 2004; Navas et al. 2005). AISIM2 laser clading menunjukkan ketahanan aus lebih besar dari AISI-M2 konvensional karena struktur mikronya sangat halus dan kekerasannya lebih tinggi. McCay et al. (1999) menemukan bahwa karakteristik hasil laser cladding adalah degradasi metalurgi pada substrat minimal, tingkat deposisi yang relatif cepat, serta waktu pemadatan dan pengerasan bahan sangat cepat. Karakteristik ini membuat proses laser cladding sangat ideal untuk berbagai macam aplikasi. Namun, pengetahuan untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan untuk memotong kayu maupun komposit kayu telah di teliti (Darmawan et al. 2007; Darmawan et al. 2009).
186
Struktur M2-claded dan M2-melted Struktur M2-claded dan M2-melted pada penampang melintang (cross section) disajikan pada Gambar 12. Nampak dari hasil pada Gambar 7.12 bahwa zona yang berbeda teramati, baik pada penampang M2claded maupun M2-melted. Zona-zona tersebut adalah zona claded (CZ), zona melted (MZ), zona transisi (TZ), zona terkena panas (HAS) dan substrat (sub). Teramati juga bahwa zona transisi pada M2-claded (TZc) mengindikasikan terbentuknya ikatan metalurgi yang kuat antara substrat L2 dan pelapis M2. Namun, pori-pori terbentuk pada zona claded (CZ). Hasil ini mengisyaratkan bahwa kondisi cladding harus disempurnakan agar tidak terbentuk pori. Namun sebaliknya, struktur halus tanpa cacat terbentuk pada zona melted (MZ). Zona transisi pada M2-melted (TZm) adalah zona sebagian meleleh (Darmawan et al. 2009). Pore MZ
CZ
TZc a
HAZ
TZmm
L2-sub
b
HAZ M2-sub
Gambar 7.12 Struktur dari bahan pisau M2 hasil cladding (a) dan melting (b) Note: claded zone (CZ), melted zone (MZ), heat affected zone (HAZ), substrate (sub)
187
CZ
Interdendrit
MZ
Deendrit
Dendrit
Interdendritt
a1
b1 Partiallyy melted
TZcc
TTZm
a2
b2
X3 0000
5µm
M2
L2
Primarry carbide
a3
X3 000
b3
5µm
Gambar 7.13 Struktur mikro hasil SEM dari bahan pisau M2 claded (a) dan M2 melted (b) pada masing-masing zona MZ (a1,b1), TZ (a2,b2), and substrat (a3,b3) (Darmawan et al. 2009) Struktur mikro dari masing-masing zona di atas baik pada M2-melted dan M2-claded ditunjukkan pada Gambar 7.13. Hasil pada Gambar 7.13-a1 menunjukkan struktur mikro dari zona claded (CZ), di mana M2 bubuk benar-benar meleleh dan menjadi padatan pada permukaan substrat dengan struktur dendritik yang sangat halus. Struktur mikro yang sama juga teramati pada zona melted (MZ), di mana seluruh partikel karbida benar-benar mencair dan menjadi padatan kembali dengan struktur dendritik sangat halus (Gambar 7.13-b1). Pada zona transisi melted (TZm) nampak bahwa hanya sebagian karbida yang mengalami pencairan (Gambar 7.13-b2). Zona transisi claded (TZc) menunjukkan bahwa bubuk M2 benar-benar meleleh dan diendapkan pada permukaan substrat L2 tanpa mengalami perubahan struktur yang menyolok (Gambar 7.13-a2). Struktur substrat L2 maupun M2 yang diperoleh dengan perlakuan konvensional adalah polikristalin feritik
188
dengan partikel karbida (carbide) kasar (Gambar 7.13a3-b3). Partikel karbida ini bervariasi dalam ukuran dan bentuk, dan tidak merata dalam distribusinya.
Kekerasan M2-melted dan M2-claded Distribusi kekerasan dari M2-melted, M2-claded, dan M2-konvensional disajikan pada Gambar 7.14. Hasil pengukuran pada Gambar 7.14 memperlihatkan bahwa kekerasan M2-konvensional sedikit berfluktuasi sepanjang ketebalan. Rata-rata kekerasan M2-konvensional adalah 815 HV, sedangkan rata-rata kekerasan zona melted (MZ) dan zona claded (CZ) hampir sama sekitar 840 HV. Peningkatan nilai kekerasan pada MZ dan CZ dapat dijelaskan sebagai akibat dari terbentuknya struktur mikro baru dengan partikel karbida yang sangat halus dan terdistribusi secara merata, serta difusi partikel halus karbida ke dalam matrik besi (Fe) (Darmawan et al. 2007; Darmawan et al. 2009). Hasil pada Gambar 7.14 juga memperlihatkan bahwa kekerasan M2-melted dan M2-claded menurun mulai dari zona transisi sampai substrat. 950
TZ
Hardness (HV)
800
CZ/MZ
650
M2-conv M2-melted M2-clad
500 350 200
HAZ
0,0
0,5
Substrate
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
Depth under surface (mm)
Gambar 7.14 Karakteristik kekerasan dari bahan M2 claded dan M2 melted pada zona yang berbeda
189
Karakteristik aus pisau M2 Hasil pengujian daya tahan aus pada pengupasan kayu bulat Beech disajikan pada Gambar 7.15. Hasil pada Gambar 7.15 menunjukkan bahwa jumlah aus dan gaya paralel mata pisau meningkat dengan meningkatnya panjang pemotongan. Pisau M2-melted dan M2-claded menghasilkan jumlah aus dan gaya paralel lebih rendah daripada M2konvensional dalam mengupas kayu Beech. Photo SEM mata pisau M2-konvensional (Gambar 7.16a) menunjukkan bahwa mata pisau bergelombang yang mengindikasikan terlepasnya partikel-partikel karbida oleh abrasi mekanik selama proses pengupasan kayu Beech. Namun sebaliknya photo SEM pada Gambar 7.16b-c menunjukkan bahwa mata pisau M2-melted dan M2-claded rata dan halus. Semakin tinggi kekerasan dan semakin halus struktur mikro dari M2-melted dan M2-claded dibandingkan dengan M2-konvensional dapat menjadi alasan untuk fenomena ini (Darmawan et al. 2009). 70 60 50
28
M2-conv M2-melted
Parallel force (N)
Edge recession (Pm)
80
M2-clad
40 30 20 10 0
0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0
25 22 19
M2-conv M2-melted M2-clad
16 13 10
0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0
Length of cut (km)
Length of cut (km)
Gambar 7.15 Perkembangan aus dan gaya paralel mata pisau dengan perlakuan laser
a
50 Pm
b
50 Pm
c
50 Pm m
Gambar 7.16 Photo SEM dari mata pisau M2 setelah dipergunakan memotong sepanjang 2 km (M2 conventional (a), M2 melted (b), and M2-claded (c))
190
Nilai Kekasaran (Ra) dari Permukaan Veneer Kekasaran permukaan veneer berkaitan erat dengan adhesi kayu dalam produksi kayu lapis. Kekasaran permukaan akhir veneer dipertimbangkan sebagai akumulasi efek dari geometri pisau, kecepatan kupas dan laju pengumpanan, dan karakteristik kayu. Faktor-faktor seperti kecepatan kupas, laju umpan, dan ketebalan veneer yang mengendalikan operasi pemotongan dapat diatur dalam percobaan ini. Namun, faktor-faktor seperti aus pisau, sifat material pisau dan kayu tidak dapat dikendalikan. Hasil pada Gambar 7.17a memperlihatkan bahwa kekasaran finir (Ra) meningkat dengan meningkatnya panjang pemotongan. Pada awal pemotongan ketika mata pisau masih tajam, kekasaran veneer yang dihasilkan hampir sama. Namun, setelah memotong sepanjang 800m, M2-konvensional cenderung menghasilkan veneer dengan permukaan lebih kasar dibandingkan dengan M2-melted dan M2-claded. 25
25
a
b
Ra of veneer (µm)
22
Ra of veneer (µm)
22
19
19 16
M2-conv M2-melted
13
M2-clad
10 0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
16
M2-conv
13
M2-clad
M2-melted
10 1.8
0
2.0
Length of cut (km)
10
20
Ra of cutting edge (µm)
30
Gambar 7.17 Karakteristik kekasaran (Ra) permukaan vinir kayu Beech (a) dan kekasaran mata pisau perlakuan laser (b) Fenomena ini disebabkan M2-konvensional mengalami keausan mata pisau yang lebih tinggi daripada M2-melted dan M2-claded (Darmawan et al. 2009). Selanjutnya kekasaran mata pisau juga memegang peran penting dalam menentukan kekasaran veneer yang dihasilkan (Gambar 7.17b). Kekasaran veneer meningkat proporsional dengan peningkatan kekasaran mata pisau. Perbedaan kekasaran antara mata pisau M2konvensional dan M2-laser menjadi lebih besar ketika panjang pemotongan meningkat. Pada panjang pemotongan 2 km, kekasaran mata pisau M2-konvensional dua kali lebih besar daripada M2-laser sehingga menghasilkan permukaan veneer lebih kasar.
191
KINERJA PISAU GERGAJI DENGAN DESAIN MATA HELIK Sejak beberapa tahun yang lalu, kegiatan penelitian tentang investigasi kondisi debu, serbuk (chip), kebisingan dan gaya dalam operasi pemotongan menggunakan mata pisau dengan sudut kemiringan (helix angle) antara 0o–45o telah dilakukan (Heisel dan Weiss 1989; Heisel et al. 1993; Chen and Lai 2002). Dilaporkan dalam studi ini bahwa sudut kemiringan mata pisau antara 5o dan 10o dipertimbangkan bermanfaat dalam menurunkan emisi debu. Kenaikan sudut kemiringan dari 0o– 8o menyebabkan adanya penurunan dari emisi kebisingan, dan tidak memberikan perbedaan yang signifikan dalam energi pemotongan dan morfologi chip saat pemotongan (Su dan Wang 2002; Fischer et al. 2005). Hasil penelitian lain memperlihatkan bahwa kualitas permukaan yang lebih baik dihasilkan saat menggunakan mata pisau miring dibandingkan dengan mata pisau lurus (Cyra et al. 1998). Pada pemotongan melawan arah serat kayu, semakin besar sudut helik dilaporkan menghasilkan permukaan kayu lebih halus. Berdasarkan pada fakta bahwa penelitian sebelumnya dilakukan terbatas pada sudut kemiringan antara 0o–45o, maka desain baru mata pisau dengan sudut kemiringan yang ekstrem (45o–85o) telah dikembangkan di Dresden University of Technology dan kualitas pengerjaan pisau desain baru ini telah dicobakan (Darmawan et al. 2011).
Aliran Serpih Kayu (Chip flow) Photo hasil analisis video digital menunjukkan bahwa mata pisau helik menghasilkan prilaku aliran serpih kayu (chip) yang berbeda. Chip berhamburan ke arah, sudut, dan kecepatan yang berbeda selama proses pemotongan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 7.18. Ketika sampel kayu diserut menggunakan pisau konvensional (sudut kemiringan mata 0o), serpihan kayu terbang ke arah tangensial dengan luas aliran yang lebih besar (luas sektor antara dua panah pada Gambar 7.18), dan dengan kecepatan aliran yang lebih tinggi. Akibatnya serpihan cenderung menyebar di sekitar titik potong yang pada gilirannya dapat memengaruhi kinerja proses pemotongan berikutnya. Diagram aliran serpih pada Gambar 7.18 juga menunjukkan bahwa daerah sektor aliran serpih menjadi lebih kecil, disertai dengan laju
192
terbang serpihan menurun, ketika sudut kemiringan pisau bertambah besar. Daerah aliran terkecil dengan arah hampir aksial dihasilkan saat pemotongan menggunakan sudut kemiringan pisau 85o. Hasil ini memberikan indikasi bahwa energi kinetik dari aliran serpih akan lebih rendah dengan meningkatnya sudut kemiringan mata pisau. Penyerutan menggunakan pisau dengan sudut kemiringan tinggi (65°, 75°, dan 85°) teramati menghasilkan pergerakan serpih secara parabola sehingga serpih dapat terkumpul secara kolektif pada suatu tempat dengan jarak sekitar 30 cm sampai 50 cm dari titik pemotongan (Darmawan et al. 2011). Fenomena ini menguntungkan karena debu mapun serpihan dapat ditangkap dengan mudah oleh alat penghisap dan penghematan dalam konsumsi energi juga dapat terwujud.
0o
65o
75o
85o
Gambar 7.18 Skema arah aliran serpih kayu hasil penyerutan menggunakan mata pisau konvensional dan heliks
Emisi Kebisingan Hasil pada Gambar 7.19 menunjukkan bahwa pisau konvensional menghasilkan tingkat kebisingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pisau helik selama pemotongan. Pemotongan menggunakan pisau dengan sudut kemiringan 75o menghasilkan tingkat kebisingan minimum. Namun, tingkat kebisingan ditemukan sedikit meningkat pada sudut kemiringan 85o. Tingkat kebisingan yang lebih tinggi pada pemotongan dengan mata pisau konvensional disebabkan pukulan secara tiba-tiba oleh mata pisau lurus pada bidang kerja. Namun sebaliknya mata pisau helik memotong secara perlahan dan kontinu ke permukaan bidang kerja yang menyebabkan kebisingan akan turun ke tingkat yang lebih rendah (Darmawan et al. 2011). Perbedaan tingkat kebisingan antara pisau konvensional dan pisau helik mencapai 10 dB (A). Hasil ini menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kebisingan karena perbedaan tingkat tekanan suara sebesar 6 dB (A) berarti dua kali lipat dari kekerasan suara menurut definisi logaritma dari tingkat kebisingan.
193
Laju pengumpanan tinggi menghasilkan tingkat kebisingan lebih tinggi disebabkan gaya pukul lebih besar ditimpakan pada pisau (Darmawan et al. 2004).
Noise Level (dB(A))
1006 1004 1002 1000 9 98
4 m /m in
9 96
10 m /m in
9 94
16 m /m in
9 92 0 5 10 15 200 25 30 35 40 45 5 0 55 60 65 70 75 80 85 o
Inn c lin atio n Ann g le ( )
Gambar 7.19 Karakteristik tingkat kebisingan pada berbagai sudut kemiringan mata pisau dan laju pengumpanan yang berbeda
Daya tahan aus Pisau helik memberikan daya tahan aus lebih baik terutama dalam mengurangi perkembangan radius mata pisau dibandingkan dengan pisau konvensional dalam memotong kayu spruce. Pisau konvensional mencapai radius mata pisau sekitar 40 µm dalam memotong kayu spruce pada panjang pemotongan 1.280 m. Ada kecenderungan bahwa pisau helik dengan sudut kemiringan lebih besar menghasilkan daya tahan aus lebih baik (radius mata pisau lebih kecil) dibandingkan dengan pisau dengan sudut kemiringan lebih kecil. Darmawan et al. (2011) melaporkan bahwa radius mata pisau helik dengan sudut kemiringan 85o sedikit lebih kecil daripada pisau helik lainnya (Gambar 7.20). Pisau helik sudut kemiringan 85o mencapai radius mata pisau 26 µm pada panjang pemotongan 1280 m. Dapat dipertimbangkan sebagai alasan untuk fenomena ini bahwa selama proses pemotongan, mata pisau dengan sudut kemiringan yang lebih besar melibatkan lebih lebar mata yang memotong kayu pada waktu yang sama. Pemotongan oleh mata pisau helik secara bertahap pada permukaan kayu dapat mengurangi atau menghilangkan benturan mata pisau dengan permukaan kayu secara tiba-tiba dan mengurangi gaya mekanik pada permukaan mata pisau. 194
Tool Edge Radius (Pm)
40 35 30 25 20 0º helix anggle
15
65º helix anggle
10
75º helix anggle
5
85º helix anggle
0 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Cutting Length (m)
Gambar 7.20 Perkembangan aus mata pisau dengan berbagai sudut kemiringan
Kekasaran Permukaan Hasil Pemotongan Di samping menghasilkan daya tahan aus yang baik, mata pisau heliks 65o, 75o, dan 85o dibandingkan pisau konvensional cenderung menghasilkan permukaan hasil serutan halus (Gambar 7.21a). Fenomena ini disebabkan oleh fakta bahwa pisau konvensional mengalami perubahan radius mata pisau lebih tinggi daripada mata pisau helik setelah proses pemotongan (Gambar 7.20). Kekasaran mata pisau juga mengambil peran penting dalam menentukan kekasaran permukaan hasil pemotongan yang dihasilkan (Gambar 7.21b). Kekasaran permukaan kayu meningkat secara proporsi dengan peningkatan kekasaran mata pisau. Perbedaan kekasaran mata pisau antara pisau konvensional dan pisau helik menjadi lebih besar ketika panjang pemotongan meningkat. Pada panjang pemotongan 1280 m, mata pisau konvensional yang memiliki kekasaran tinggi menghasilkan permukaan kayu lebih kasar (Gambar 7.21b). Hasil ini menegaskan laporan sebelumnya (Darmawan et al. 2009), di mana peningkatan kekasaran mata pisau dalam mengupas kayu bulat telah mengakibatkan peningkatan kekasaran veneer kayu yang diproduksi.
195
Ra of wood surface ( P m)
65º helix angle 85º helix angle
8 7 6
aa
5 4 0
200
400
600
800
1000
1200
0º helix angle 65º helix angle 75º helix angle 85º helix angle
9
Ra of wood surface ( P m)
0º helix angle 75º helix angle
9
1400
8
1280 m
7 320 m
6 20 m
b
5 4 4
Cutting length (m)
5
6
7
8
Ra of tool edge (P m)
9
10
Gambar 7.21 Kekasaran permukaan hasil kayu hasil penyerutan (a) dan kekasaran mata piasu helik (b)
PENUTUP Rekayasa permukaan telah memberi harapan yang sangat berarti dalam pengembangan pisau gergaji yang lebih berkualitas. Teknologi pelapisan permukaan physical vavour deposition (PVD) telah diaplikasikan untuk melapiskan bahan TiN, TiCN, CrN, TiAlN, TiAlN/TiBON, TiAlN/ TiSiN, TiAlN/CrAlN pada pisau tungsten carbide K10, dan telah diujikan pada pemotongan kayu komposit kecepatan tinggi. Hasil pengujian pemotongan menegaskan bahwa bahan pelapis permukaan memiliki dampak yang nyata meningkatkan daya tahan aus, masa pakai, kualitas permukaan hasil pemotongan, serta mereduksi gaya dan tingkat kebisingan. Daya tahan aus terbaik dihasilkan dari pisau multilapis TiAlN/CrAlN. Teknologi pelapisan dengan TiAlN/CrAlN dapat direkomendasikan untuk diaplikasikan pada pisau tungsten untuk tujuan pengerjaan kayu (sawing dan endmilling). Teknologi modifikasi permukaan pisau gergaji high speed steel baik dengan laser melting maupun laser clading telah dikembangkan dan dicobakan pada pengupasan kayu bulat. Pisau high speed steel M2 hasil modifikasi laser meningkatkan daya tahan aus, kehalusan permukaan finir, dan menurunkan besarnya gaya pemotongan. Teknologi modifikasi laser khususnya laser clading high spped steel dapat dipertimbangkan menjadi teknik unggulan untuk diterapkan pada mata pisau high speed steel berukuran lebar dan panjang untuk aplikasi pengupasan atau penyayatan kayu bulat. 196
Semakin tingginya tuntutan terhadap proses teknologi ramah lingkungan pada industri perkayuan, maka akan mendorong pengembangan mata pisau helik sampai 85o untuk aplikasi pengerjaan kayu, dan menjadi pilihan yang baik karena menghasilkan kualitas permukaan kayu yang halus, mampu mereduksi kebisingan, dan pencemaran udara. Pada masa kini teknologi pelapisan bahan pada pisau tungsten carbide dengan desain mata helik untuk aplikasi pengerjaan kayu akan terus berkembang seiring dengan tuntutan akan hasil pengerjaan kayu berkualitas (masa pakai pisau yang lebih panjang, konsumsi energi yang lebih rendah, kualitas permukaan yang lebih halus, serta tingkat kebisingan dan polusi partikel yang lebih rendah). Dengan demikian teknologi rekayasa permukaan, baik surface coating, surface modification maupun helical cutting edge design yang diaplikasikan pada pisau gergaji niscaya akan menjadi teknologi hijau (green technology) unggulan.
197
PUSTAKA Banh TL, Phan QT, Nguyen DB. 2004. Wear mechanisms of PVD coated HSS end-mills used to machine 1045 hardened steel. Advances in Technology of Materials and Materials Processing. 6(2): 244–249. Bauerle D. 2003. Laser Processing and Chemistry. Berlin. Springer. Bienk EJ, Reitz H, Mikkelsen NJ. 1995. Wear and friction properties of hard PVD coatings. Surface and Coatings Technology. 76–77(2): 475–480. Bromark M, Gåhlin R, Hedenqvist P, Hogmark S, Hkansson G, Hansson G. 1995. Influence of recoating on the mechanical and tribological performance of TiN-coated HSS. Surface and Coatings Technology. 76–77(2): 481–486. Chang CL, Chen WC, Tsai PC, Ho WY, Wang DY. 2007. Characteristic and performance of TiSiN/TiAlN multilayers coating synthesized by cathodic arc plasma evaporation. Surface & Coating Technology. 202(7): 987–992. Chen WF, Lai HY. 2002. A comprehensive engineering model for the design, manufacture and assembly of helical carpenter shapers. Journal of Engineering Manufacture. 216: 1493–1504. Colaço R, Gordo E, Ruiz-Navas EM, Otasevic M, Vilar R. 2006. A comparative study of the wear behaviour of sintered and laser surface melted AISI M42 high speed steel diluted with iron. Wear. 260: 949–956. Costes JP, Larricq P. 2002. Towards high cutting speed in wood milling. Journal Forest Science. 59: 857–865. Cyra G, Tanaka C, Yoshinobu M, Nishino Y. 1998. Effects of helical angle of router bit on acoustic emission. J Wood Sci. 44: 169–176. Dahotre NB. 1998. Lasers in Surface Engineering, 1st edn. California, USA: ASM International, Ontario. Darmawan W, Tanaka C, Usuki H, Ohtani T. 2001a. Performance of coated carbide tools when grooving wood-based materials : Effect of work materials and coating materials on the wear resistance of coated carbide tools. J. Wood Science. Vol. 47(2): 94–101. 198
Darmawan W, Tanaka C, Usuki H, Ohtani T. 2001b. Performance of coated carbide tools in turning wood-based materials : effect of cutting speeds and coating materials on the wear characteristics of coated carbide tool in turning wood-chip cement board. Journal of Wood Science. 47(5): 342–349. Darmawan W, Tanaka C. 2004. Discrimination of coated carbide tools wear by the features extracted from parallel force and noise level. Ann For Sci. 61: 731–736. Darmawan W, Tanaka C. 2006. Chemical and mechanical wearing of woodworking cutting tools by tropical woods. Journal of Tropical Forest Science. 18(4): 166-172. Darmawan W, Quesada J, Marchal R. 2007. Characteristics of laser melted AISI-T1 high speed steel and its wear resistance. Surface Engineering. 23: 112–119. Darmawan W, Ushuki H, Quesada J, Marchal R. 2008. Clearance wear and normal force of TiN-coated P30 in cutting hardboards and wood-chip cementboards. Holz als Roh- und Werkstoff. DOI 10.1007/s00107-007-0213-5 Darmawan W, Quesada J, Rossi F, Marchal R, Machi F, Usuki H. 2009. Performance of laser treated AISI-M2 cutting tool for peeling beech. Eur. J. Wood Prod. 67: 247–255. Darmawan W, Usuki H, Rahayu IS, Gottlober C, Marchal R. 2010. Wear characteristic of multilayer-coated cutting tools when milling particleboard. Forest Product Journal. 60(7/8): 615–621. Darmawan W, Rahayu IS, Nandika D, Marchal R. 2011. Wear characteristic of wood cutting tools caused by extractive and abrasive materials in some tropical woods. Tropical forest science. 23(3): 345–353. Darmawan W, Gottloeber C, Oertel M, Wagenfueher A, Fischer R. 2011. Performance of Helical Edge Milling Cutters in Planing Wood. Journal of Wood and Wood Products. 69(4): 565–572. Darmawan W, Rahayu IS, Nandika D, Marchal R (2012) The importance of extractives and abrasives in wood materials on the wearing of cutting tools. BioResources. 7(4): 4715–4729.
199
Ding XZ, Tan ALK, Zeng XT, Wang C, Yue T, Sun CQ (2006) Corrosion resistance of CrAlN and TiAlN coatings deposited by lateral rotating cathode arc. Thin Solid Films. 516: 987–992. Fischer R, Gottlöber C, Rehm K, Rehm C. 2005. A milling cutter as a screw: cutting instead of hacking. Proceedings of the 17th International Wood Machining Seminar September 26–28 Rosenheim Germany. 4–10. Frainger S, Blunt J. 1998. Engineering Coatings – Design and Application, 2nd edition, Abington Publishing, Abington, England. Fuch I, Raatz Ch. 1997. Study of wear behavior of specially coated (CVD, PACVD) cemented carbide tools while milling of woodbased materials. Proceedings of the 13th International Wood Machining Seminar. 709–715. Grips VKW, Selvi VE, Barshilia HC, Rajam KS. 2006. Effect of electroless nickel interlayer on the electrochemical behavior of single layer CrN, TiN, TiAlN coatings and nanolayerd TiAlN/CrN multilayer coatings prepared by reactive dc magnetron sputtering. Electrochimica Acta. 51: 3461–3468. Grzesik W, Zalisz Z, Krol S, Nieslony P. 2006. Investigation on friction and wear mechanisms of the PVD-TiAlN coated carbide in dry sliding against steels and cast iron. Wear. 261: 1191–1200. Guo CT, Lee D, Chen PC. 2008. Deposition of TiSiN coatings by arc ion plating process. Applied Surface Science. 254: 3130–3136. Hedenqvist P, Olsson M, Wallén P, Kassman A, Hogmark S, Jacobson S. 1990. How TiN coatings improve the performance of high speed steel cutting tools. Surface and Coatings Technology. 41 (2): 243– 256. Heisel U, Weiss E. 1989. Einfluß von Schneidengeometrie und Bearbeitungsparameter auf die Staubentwicklung bei Kehlmaschinen. HOB Die Holzbearbeitung. 12: 16–21. Heisel U, Niemeyer W, Weiss E. 1993. Lärm- und staubarmer Fräsprozeß mit wendelförmigen Schneiden. HOB Die Holzbearbeitung. 5: 90– 98. Hsu M, Molian PA. 1988. Tool life of conventionally heat treated and laser melted of M35 bit. Wear. 127: 251–254. 200
Kac S, Kusinski J. 2003. SEM and TEM microstructural investigation of high-speed tool steel after laser melting. Materials Chemistry and Physics. 81: 510–512. Kennedy D, Xue Y, Mihaylova M . 2005. Current and Future Applications of Surface Engineering. The Engineers Journal (Technical). 59: 287–292. Krilov A dan Lasander. 1988. Acidity of heartwood and sapwood in some eucalyptus species. Holzforschung. 42: 253–258. Kusinski J. 1995. Microstructural, chemical composition, and properties of the surface layer of M2 steel after laser melting under different conditions. Applied surface science. 86: 317–322. Lampman S. 1991. Introduction to surface hardening of steels, in ASM International Handbook Committee: ASM Handbook. Heat Treating. 4: 259–267. McCay MH, Dahotre NB, Hopkins JA, McCay TD, Riley MA. 1999. The Influence of Metals and Carbides During Laser Modification of Low Alloy Steel. Journal of Materials Science. 34: 5789. Navas C, Conde A, Fernandes BJ, Zubiri F, Damborenea JD. 2005. Laser coating to improve wear resistance of mould steel. Surf. Coat. Technol. 194: 136–142. Pinheiro D, Vieira MT, Djouadi MA. 2009. Advanteges of depositing multilayer coating for cutting wood-based products. Surface & Coating Technology. 203: 3197–3205. Pinkerton AJ, Li L. 2004. Multiple-layer cladedding of stainless steel using a high-powered diode laser (An experimental investigation of the process characteristics and material properties. Thin Solid Film. 454: 471–476. Quesada J, Monthavon G, Cornet A, Freneaux O, Jacura O, Blanc. 1989. Laser surface treatments of tool steel. Report 45, ENSAM, Cluny, France. Rizzo A, Mirenghi L, MAssaro M, GAlietti U, Capodieci L, Terzi R, Taapfer L, Valerini D. 2013. Improved properties of TiAlN coating through the multilayer structure. Surface & Coating Technology. 235: 475–483.
201
Ramasamy G, Ratnasingam J. 2010. A review of cemented tungsten carbide tool wear during wood cutting processes. Journal of Applied Science. 10(22): 2799–2804. Salje E, Stuehmeier W. 1988. Milling Particleboard with High Hard Cutting Materials. Proceedings of the 9th International Wood Machining Seminar. 211–228. Samani MK, Ding XZ, Khosravian N, Amin-Ahmadi B, Yi Y, Chen G, Neyts EC, Bogaerts A, Tay BK. 2015. Thermal conductivity of titanium nitrid/titanium aluminum nitride multilayer coatings deposited by lateral rotating cathode arc. Thin Solid Film. 578: 133–138. Semak, Dahotre N. 1998. Lasers in Surface Engineering, Surface Engineering Series, vol. 1, ed. by N. Dahotre (ASM International, Materials Park, OH, USA). 35–67. Sheikh-Ahmad JY, Stewart JS. 1995. Performance of different PVD coated tungsten carbide tools in the continuous machining of particleboard. Proceedings of the 12th International Wood Machining Seminar. 282–291 Sheikh-Ahmad JY, Bailey JA. 1999. High-Temperature wear of cemented tungsten carbide tools while machining particleboard and fiberboard. J Wood Science. 45(6): 445–455. Son MJ, Kang SS, Lee EA, Kim KH. 2002. Properties of TiBN coating on the tool steels by PECVD and its applications. Journal of Materials Processing Technology. 130–131: 266–271. Spur G, Byrne G, Bienia B. 1990. The performance of high speed steel indexible inserts coated by PVD in the milling of ductile materials. Journal of Surface Coating Technology. 43/44: 1074–1085. Stewart HA (1992) High-Temperature halogenation of tungsten carbide cobalt tool material when machining medium density fiberboard. For. Prod. J 42(10): 27–31. Su WC, Wang Y. 2002. Effect of the helix angle of router bits on chip formation and energy consumption during milling of solid wood. J Wood Sci. 48: 126–131
202
Talib RJ, Zaharah AM, Selamet MA, Mahaidin AA, Fazira MF. 2013. Friction and wear characteristics of WC and TiCN-coated insert in turning carbon steel workpiece. The Malaysian International Tribology Conference. Procedia Engineering. 68: 716–722. Usenius S, Korhonen AS, Sulonen MS. 1987. Performance of TiNcoated tools in wood cutting. Surface and Coatings Technology. 33: 141–143 Usuki H, Uehara K, Isaka M, Kubota K. 2013. Machining of Inconel 718 with Lubricant-Coated Tool. Int. J. of Automation Technology. 7(3): 306–312. Warcholinski B, Gilewicz A (2011) Multilayer coatings on tools for woodworking. Wear. 271: 2812–2820. Wu W, Chen W, Yang S, Lin Y, Zhang S, Cho TY, Lee GH, Kwon SC. 2015. Design of AlCrSiN multilayer and nanocomposite coating for HSS cutting tools. Applied Surface Science. 351: 803–810. Yang SM, Chang YY, Lin DY, Wang DY, Wu W. 2008. Mechanical and tribological properties of multilayerd TiSiN/CrN coating synthesized by a chathodic arc deposition process. Surface and Coating Technology. 202: 2176–2181. Zelinka SL, Stone DS. 2011. The effect of tannins and pH on the corrosion of steel in wood extracts. Materials and Corrosion. 62(8): 739–744.
203
BAB VIII EPILOG Berbagai topik yang diuraikan di dalam buku ini merupakan rangkuman hasil pemikiran para Guru Besar IPB yang dilandasi dengan hasil-hasil penelitian dan proses penerapannya. Penyampaian rangkuman hasil pemikiran ini dalam bentuk buku yang dapat diakses oleh masyarakat luas diharapkan menjadi salah satu bentuk akuntabilitas para Guru Besar atas kegiatan penelitian dan pengembangan yang telah dilakukannya. Penelitian dan pengembangan tersebut, pada umumnya dilaksanakan bersama rekan-rekan dosen lainnya, serta peneliti dan praktisi dari berbagai institusi. Untuk itu, disampaikan penghargaan yang setinggitingginya pada semua dosen, peneliti, dan praktisi tersebut serta institusi yang telah terlibat dan bekerja sama dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut. Di samping itu, peranan para mahasiswa bimbingan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan berbagai topik tersebut sangatlah besar dan sangat dihargai. Sesuai pepatah ‘tiada gading yang tak retak’, para penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang kurang baik dalam penyampaian uraian maupun dalam substansinya sendiri. Oleh karena itu, masukan yang bersifat diskusi perbaikan dari para pembaca sangat dinantikan oleh para penulis. Masukan tersebut dapat disampaikan secara langsung kepada masing-masing penulis atau melalui Dewan Guru Besar IPB untuk diteruskan kepada penulis yang bersangkutan. Akhir kata, semoga topik-topik yang diuraikan dalam buku ini bermanfaat bagi pembangunan pertanian industrial yang berkelanjutan di Indonesia dan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia. Tim Editor: Armansyah H. Tambunan I Wayan Darmawan