32
KARAKTERISTIK AUS PISAU PENGERJAAN KAYU KARENA PENGARUH EKSTRAKTIF DAN BAHAN ABRASIF YANG TERKANDUNG PADA KAYU DAN KOMPOSIT KAYU The Wear Characteristics of Cutting Tools Caused by Extractive and Abrasive Material in Woods and Wood Composites Wayan DARMAWAN dan Irsan ALIPRAJA Corresponding Author :
[email protected]
ABSTRACT This paper presents the effect of extractive and abrasive material of tropical timber (Damar Laut, Mersawa, and Oil Palm wood) and of composite products (Fiber Board and Cement Board) on the wearing of high speed steel and tungsten carbide cutting tools. The extractive content provides a significant contribution on the chemical wearing of the cutting tools. Oil palm wood and Mersawa wood contain extractives which are more corrosive compared to other wood species tested. Mechanical wear resistance is influenced by the abrasive material contained in the wood, especially silica, both in wood and wood composite products. Mersawa wood caused the cutting tools wear faster than other types of solid wood. Cement board as a composite product caused the damaged of the cutting edge of high speed steel tool due to high abrasive materials contained in the the cement board. Tungsten carbide tool has higher wear resistance than high speed steel tool. Keywords : wear resistance, high speed steel, tungsten carbide, silica, extractive
PENDAHULUAN Dalam penggunaannya, setiap jenis kayu umumnya akan mengalami proses pengerjaan seperti pemotongan, pembelahan, pengupasan, pengetaman, pembentukan, pembubutan, dan pelubangan. Indikasi keberhasilan dalam suatu proses pengerjaan kayu secara garis besar ditentukan oleh beberapa parameter, di antaranya kualitas hasil pengerjaan, masa pakai pisau, dan konsumsi energi listrik. Berdasarkan pengalaman industri, masa pakai pisau merupakan parameter yang sangat penting, terutama dalam menentukan biaya produksi dan produktivitas. Di industri
1 Departemen 2
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor Alumnus Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 32-37 (2010)
besar, laju penumpulan mata pisau yang tinggi akan menyebabkan pisau harus sering diganti dan diasah, sehingga menghambat proses produksi (menurunkan produktivitas) dan meningkatkan biaya produksi. Darmawan et al. (2006) telah melakukan penelitian mengenai daya tahan aus secara mekanis dan kimia bahan pisau High Speed Steel dan Tungsten Carbide yang diujikanpada lima jenis kayu tropika (kayu Kelapa, Kelapa Sawit, Jati, Pasang, dan Meranti Merah). Hasil dari penelitian mengindikasikan bahwa kandungan ekstraktif memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap keausan bahan pisau secara kimia. Selanjutnya dijelaskan bahwa laju keausan pisau secara mekanis lebih ditentukan oleh besarnya silika yang terkandung dalam kayu. Namun karena beragamnya jenis kayu tropis yang ada, khususnya di Indonesia, dan semakin berkembangnya industri produk komposit kayu seperti kayu lapis, papan partikel, papan serat, dan papan semen, maka diperlukan adanya penelitian tambahan untuk melengkapi data penelitian sebelumnya mengenai karakteristik laju keausan pisau yang disebabkan oleh pengaruh ekstraktif dan bahan abrasif yang terdapat pada kayu dan produk papan komposit. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik aus pisau High Speed Steel dan Tungsten Carbide secara mekanis dan secara kimia karena ekstraktif maupun silika yang terkandung pada kayu dan produk papan komposit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka pengembangan ilmu pemesinan kayu dan dapat dijadikan pegangan oleh pengusaha kayu dalam memilih pisau yang tepat untuk memotong kayu. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau pemotong router bit, potongan-potongan kecil pisau, kayu Mersawa, kayu Kelapa Sawit, kayu Damar Laut, Papan Semen, Papan Serat, serbuk kayu Mersawa, serbuk kayu Kelapa Sawit, serbuk kayu Damar Laut, serbuk Papan Semen, serbuk Papan Serat, HCl 4N, AgNO3, dan air destilata.
Karakteristik Aus Pisau Pengerjaan Kayu Karena Pengaruh Ekstraktif Pengukuran Keasaman (pH) Kayu Serbuk kayu dengan ukuran 50 mesh sebanyak 5 gram dimasukkan dalam air destilata 50 ml dalam gelas erlenmeyer tertutup, kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 80 ºC selama 30 menit. Setelah reaksi, contoh uji didinginkan dan disaring dengan kertas saring dan filtratnya ditampung untuk mengukur pH. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan alat pH meter dengan cara memasukkan elektroda pH meter ke dalam gelas piala. Pengukuran Kadar Ekstraktif Kayu Pengukuran kadar ekstraktif kayu dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi air panas. Serbuk kayu berukuran 50 mesh sebanyak 2 ± 0,1 gram (Ba) direndam dalam air destilata panas selama 3 jam pada suhu 100 ºC. Sampel kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman dan dicuci dengan 200 ml air panas dan dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu 105 ± 3 ºC (Bb). Kelarutan ekstraktif kayu dalam air panas dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar Ekstraktif
Ba Bb Bb
x 100%
Pengukuran Kadar Abu Pengujian kadar abu dilakukan dengan menggunakan standar TAPPI T 211 om-85. Serbuk kayu berukuran 50 mesh dipanaskan dalam tanur bersuhu 600 ºC selama 6 jam kemudian dihitung beratnya. Besar kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar Abu
Berat Abu BKO Serbuk
x 100%
Pengukuran Kadar Silika Kayu Pengujian kadar silika kayu dilakukan dengan menggunakan standar TAPPI T 211 om-85 (Tappi 1991). Abu yang diperoleh dari pengujian kadar abu dipanaskan diatas penangas air bersuhu 80 ºC, setelah sebelumnya ditambahkan 20 ml HCL 4N. Larutan kemudian diencerkan dengan menggunakan air destilata. Larutan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman dan dicuci hingga bersih menggunakan indikator AgNO3. Kertas saring beserta endapannya dimasukkan ke dalam cawan dan dioven pada suhu 105 ± 3 ºC hingga beratnya tetap (berat silika). Kadar silika dihitung dengan formula: Kadar Silika
Berat Silika BKO Serbuk
x 100%
Pengujian Karakteristik Aus Pisau Secara Kimiawi
33
kayu. Sepotong bahan pisau berukuran 3 mm x 4 mm x 6 mm dibersihkan dengan menggunakan air destilata panas, ditiriskan hingga kering, dan ditimbang beratnya (Bo). Bahan pisau dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml berisi campuran 20 g serbuk kayu berukuran 50 mesh dan 100 ml air destilata panas. Reaksi akan dikondisikan mendekati kondisi pemotongan kayu yaitu dengan jalan memanaskan erlenmeyer pada suhu 80 ºC di atas alat pemutar sehingga terjadi gesekan selama reaksi. Reaksi akan dipertahankan selama 8 jam dengan pertimbangan bahwa waktu penggunaan pisau di industri adalah 8 jam per hari. Reaksi kemudian dihentikan, potongan pisau dibersihkan dengan menggunakan air destilata panas, ditiriskan hingga kering dan ditimbang beratnya (Br). Persentase kehilangan berat bahan pisau dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Persen kehilangan berat
(Bo Br) Br
x 100%
Pengujian Karakteristik Aus Pisau Secara Mekanis Pengujian daya tahan aus pisau secara mekanis dilakukan dengan cara memotong balok uji bebas cacat mata kayu berukuran 60 mm x 120 mm x 500 mm menggunakan Computer Numerical Control (CNC) Router. Kondisi pemotongan disajikan seperti pada Tabel 1. Besarnya aus mata pisau diukur pada sisi clearance setiap panjang pemotongan 200 meter hingga mencapai panjang pemotongan total 2 km. Jumlah dan profil aus mata pisau diukur menggunakan Digital Video Microscope. Tabel 1. Kondisi pemotongan Parameter Kecepatan pemotongan Laju per putaran Putaran bilah Laju pengumpanan Lebar pemotongan Tebal pemotongan
Kondisi 1004 m/min 0,1 mm/rev 20000 rpm 2000 mm/min 2 mm 2 mm
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai pH dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas) Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH (keasaman) kayu bervariasi berdasarkan jenis kayu. Pada jenis kayu solid, ekstrak kayu Damar Laut memiliki tingkat keasaman paling tinggi, yaitu sebesar 3,51, sedangkan tingkat keasaman paling rendah terdapat pada ekstrak kayu Mersawa sebesar 5,36. Pada produk papan komposit nilai keasaman cenderung bersifat netral, yaitu Papan Serat memiliki pH sebesar 7,78 dan Papan Semen sebesar 7,05 (Tabel 2).
Pengujian daya tahan aus pisau secara kimiawi dilakukan dengan cara mereaksikan bahan pisau dengan zat ekstraktif
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 32-37 (2010)
Darmawan dan Alipraja
34 Tabel 2. Nilai pH ekstrak dan kadar ekstraktif Jenis Kayu Mersawa Damar Laut Kelapa Sawit Papan Serat Papan Semen
Nilai pH 5,36 3,51 5,13 7,78 7,05
Kadar Ekstraktif (%) 15,28 18,37 15,34 18,34 10,98
Packman (1960) menyatakan bahwa larutan hasil ekstrak kayu pada umumnya bersifat asam. Dalam Fengel dan Wegener (1983) disebutkan bahwa nilai pH kayu dari daerah beriklim sedang ada dalam kisaran asam lemah hingga sedang (3,3-6,4), sedangkan pH untuk kayu tropika berada dalam kisaran asam lemah hingga basa lemah (3,7-8,2). Pada pengujian kadar ekstraktif kayu, nilai kadar ekstraktif tertinggi terdapat pada kayu Damar Laut, yaitu sebesar 18,37%, sedangkan kadar ekstraktif terendah terdapat pada Papan Semen sebesar 10,98%. Berdasarkan hasil pengujian terlihat bahwa keasaman kayu (nilai pH) memiliki kaitan yang erat dengan kandungan ekstraktif dalam kayu. Kayu yang memiliki kandungan ekstraktif tinggi cenderung memiliki keasaman yang tinggi. Pada kayu solid, Damar Laut yang memiliki kandungan ekstraktif tertinggi (18,25%) juga memiliki tingkat keasaman yang tertinggi (pH 3,51), begitu juga sebaliknya dengan kayu Mersawa yang memiliki kandungan ekstraktif terendah (15,21%) juga memiliki tingkat keasaman yang rendah (5,36). Nawawi dan Widiyanti (2005) menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan komponen kimia kayu yang dapat memberikan kontribusi terhadap pH kayu. Hal tersebut terjadi bila zat ekstraktif kayu banyak terdiri dari senyawa yang bersifat asam. Dalam keadaan seperti itu, maka semakin tinggi kadar ekstraktif kayu, keasaman kayu cenderung semakin tinggi pula. Kadar Silika Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu tertinggi terdapat pada Papan Semen sebesar 94,10%, sedangkan untuk kadar abu terendah terdapat pada kayu Damar Laut, yaitu sebesar 0,59% (Tabel 3). Fengel dan Wegener (1983), menyatakan bahwa jumlah abu untuk kayu yang tumbuh di daerah beriklim sedang berkisar antara 0,2-0,5%, tetapi pada kayu tropika kandungan abu sering kali jauh lebih tinggi. Tabel 3. Nilai kadar abu dan silika beberapa jenis kayu serta produk komposit kayu Jenis Kayu Mersawa Damar Laut Kelapa Sawit Papan Serat Papan Semen
Kadar Abu (%) 2,61 0,59 2,07 6,07 94,10
Kadar Silika (%) 2,05 0,02 1,08 2,14 55,11
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 32-37 (2010)
Berdasarkan hasil pengujian terhadap 3 jenis kayu dan 2 produk komposit, Papan Semen memiliki kandungan silika paling tinggi yaitu sebesar 55,11%, sedangkan kadar silika terkecil terdapat pada kayu Damar Laut sebesar 0,02%. Tingginya kadar silika yang terdapat pada Papan Semen disebabkan karena tingginya kandungan partikel semen dalam papan. Disebutkan Moslemi (1994) dalam Triandana (2007), komponen utama oksida-oksida penyusun semen (portland) terdiri dari CaO sebesar 60-67%, SiO2 sebesar 17-25%, Al2O3 sebesar 3-8%, Fe2O3 sebesar 0,5-6%, MgO 0,1-4%, dan SO3 1-3%. Tingginya kandungan silika pada kayu dan produk kompositnya tentu akan sangat berpengaruh terhadap proses pengerjaan kayu khususnya proses pemesinan sehingga perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Kehilangan Berat Bahan Pisau dalam Rendaman Serbuk Hasil yang diperoleh dari penelitian memperlihatkan bahwa persentase kehilangan berat terbesar untuk bahan pisau SKH51 terdapat pada kayu Kelapa Sawit dan Mersawa sebesar 0,56% dan terkecil terdapat pada Papan Serat dan Papan Semen sebesar 0,19%. Persentase kehilangan berat bahan pisau Tungsten Carbide terbesar terdapat pada jenis kayu Mersawa, Kelapa Sawit, dan Papan Serat sebesar 0,09%. Papan Semen tidak mengakibatkan kehilangan berat bahan pisau Tungsten Carbide (Tabel 4). Tabel 4. Persentase kehilangan berat bahan pisau dalam rendaman serbuk selama 8 jam pada suhu 80 ºC Jenis Pisau
SKH-51 Tungsten
Mersawa
Damar laut
0,56 0,09
0,37 0,04
Jenis Kayu Kelapa sawit
0,56 0,09
Papan serat
Papan semen
0,19 0,09
0,19 0
Hasil yang didapat pada Tabel 4 memperlihatkan persentase kehilangan berat pada bahan pisau High Speed Steel lebih besar dibandingkan persen kehilangan berat yang terjadi pada bahan pisau Tungsten Carbide. Hal tersebut diduga disebabkan oleh beragamnya komponen bahan logam yang menyusun bahan pisau High Speed Steel. Davis (1995) menyatakan bahwa komponen penyusun bahan pisau High Speed Steel (SKH-51) meliputi antara lain karbon, chromium, vandamium, molybdenum, dan tungsten, sedangkan komponen penyusun bahan pisau Tungsten Carbide hanya meliputi unsur tungsten dan karbon. Komponen penyusun bahan pisau yang beragam menyebabkan jenis pisau High Speed Steel lebih rentan terhadap proses korosi dibandingkan jenis pisau Tungsten Carbide. Aus Pisau Secara Mekanis Jumlah aus mata pisau dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Karakteristik Aus Pisau Pengerjaan Kayu Karena Pengaruh Ekstraktif
35
Tabel 5. Persamaan regresi linear dan koefisien korelasi bagi hubungan antara aus dan panjang pemotongan dari hasil Gambar 1 dan 2. Jenis Pisau SKH51
Tungsten
Gambar 1. Hubungan antara jumlah aus mata pisau High Speed Steel dan panjang pemotongan.
Gambar 2. Hubungan antara jumlah aus mata pisau Tungsten Carbide dan panjang pemotongan. Berdasarkan pada hasil Gambar 1 dan 2 dapat ditarik persamaan regresi guna menentukan laju keausan pisau dan hasilnya disajikan pada Tabel 5.
Jenis Kayu
Regresi Linier
r
Mersawa Damar laut Kelapa sawit Papan serat Papan semen Mersawa Damar laut Kelapa sawit Papan serat Papan semen
Y=70,L0x + 67,25 Y=10,64x + 40,79 Y=14,01x + 132,32 Y=48,95x + 112,39 Y=12,37x + 50,46 Y=8,77x + 12,04 Y=12,27x + 34,50 Y=19,41x + 10,96 Y=18,05x + 20,96
0,94 0,97 0,85 0,96 0,96 0,82 0,88 0,99 0,96
Catatan : y = jumlah aus pisau, x = panjang pemotongan, r = koefisien korelasi bagi hubungan antara aus dan panjang pemotongan
Hasil pada Gambar 1 dan 2 memperlihatkan bahwa jumlah aus yang terjadi pada mata pisau High Speed Steel lebih besar dibandingkan dengan jenis pisau Tungsten Carbide. Hal ini disebabkan karena pisau Tungsten Carbide memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan High Speed Steel. Reynolds (1958) menyatakan bahwa jenis pisau Tungsten Carbide memiliki nilai kekerasan hingga 82 HRC, sedangkan pada jenis pisau High Speed Steel nilai kekerasan maksimum hanya mencapai 66 HRC. Selain itu jenis pisau Tungsten Carbide juga memiliki nilai kekakuan, kekuatan tekan, dan konduktivitas yang lebih besar dibandingkan jenis pisau High Speed Steel, sehingga lebih kuat menahan gesekan pada kecepatan pemotongan tinggi. Pada pemotongan kayu solid, Mersawa menyebabkan tingkat keausan pisau paling tinggi jika dibandingkan dengan jenis kayu lainnya (Gambar 3 dan Gambar 4). Hal tersebut diakibatkan karena kayu Mersawa memiliki kandungan silika yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kayu lainnya yang diuji. Pada proses pemotongan papan komposit, Papan Semen menyebabkan kerusakan serius pada jenis pisau High Speed Steel pada panjang pemotongan 200 meter sehingga proses pengujian tidak dapat dilanjutkan kembali (Gambar 3). Besarnya kerapatan papan serta tingginya kandungan silika dan kecepatan pemotongan menyebabkan mata pisau tidak dapat menahan perubahan bentuk yang terjadi.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 32-37 (2010)
Darmawan dan Alipraja
36
Mersawa
Damar Laut
Kelapa Sawit
Papan Serat
Papan Semen
Gambar 3. Profil aus pisau high speed steel pada panjang pemotongan 0 m (atas) and 2000 m (bawah)
Mersawa
Damar Laut
Kelapa Sawit
Papan Serat
Papan Semen
Gambar 4. Profil aus pisau tungsten carbide pada panjang pemotongan 0 m (atas) and 2000 m (bawah) KESIMPULAN Mengacu pada hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : kandungan ekstraktif yang terdapat pada kayu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap laju keausan pisau secara kimia. Pada kayu solid, jenis Kelapa Sawit menyebabkan persen kehilangan berat bahan pisau terbesar dibandingkan jenis kayu lain yang diujikan. Kandungan silika kayu memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju keausan pisau akibat proses pemotongan kayu solid. Mersawa dengan kandungan silika yang tinggi lebih cepat menumpulkan pisau dibandingkan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 32-37 (2010)
jenis kayu solid lainnya. Pada proses pemotongan produk komposit, besarnya laju keausan pisau ditentukan oleh jenis dan kandungan bahan abrasif yang terdapat pada perekat yang digunakan. Pisau Tungsten Carbide memiliki daya tahan aus pisau lebih tinggi dibandingkan High Speed Steel. Saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah : Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai jenis ekstraktif kayu yang bersifat reaktif terhadap logam bahan pisau. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai bentuk dan distribusi silika, terutama pada jenis kayu mersawa agar dapat menjelaskan fenomena besarnya keausan pisau. Perlu
Karakteristik Aus Pisau Pengerjaan Kayu Karena Pengaruh Ekstraktif dilakukan penelitian lanjutan mengenai laju keausan pisau terhadap jenis papan komposit lainnya seperti papan partikel dan kayu lapis. DAFTAR PUSTAKA Darmawan W, Rahayu IS, Tanaka C, Marchal R. 2006. Chemical and Mechanical Wearing of High Speed Steel and Tungsten Carbide Tools by Tropical Woods. Journal of Tropocal Forest Science 18 (4): 255-260. Davis JR. 1995. Tool Material. ASM International. Fengel D, Wegener G. 1983. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. H Sastroamidjojo, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada Press Nawawi DS, Widiyanti L. 2005. Nilai pH dan Kadar Ekstraktif Empat Jenis Kayu Tropis serta Pengaruhnya terhadap
37
Pengerasan Perekat. Jurnal Tekhnologi Hasil Hutan. 18 (1): 7-12. Packman DF. 1960. The Acidity of Wood. Holzforschung 14(6): 178-183. Reynolds RV. 1958. Status of Tungsten Carbide in Woodworking Industry. Forest Product Journal 8 (5) : 24-26 [TAPPI] Technical Association of the Pulp and Paper Industry 1991. Tappi Test Methods : Ash in Wood and Pulp (T211 om-85). Volume 1. Tappi Press. Atlanta Triandana I. 2007. Kualitas Papan Semen Partikel dari Kayu Gmelina arborea Roxb. dengan Substitusi Fly Ash [skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 32-37 (2010)