26
BIODETERIORASI KOMPONEN KAYU RUMAH DI BEBERAPA DAERAH YANG BERBEDA SUHU DAN KELEMBABANNYA Biodeterioration of Wooden House Components in Some Places with Different Temperature and Humidity Trisna PRIADI1, Dodi NANDIKA1, Kurnia SOFYAN1, ACHMAD2, Arif Budi WITARTO3 Corresponding Author :
[email protected]
ABSTRACT Biodeterioration should be controlled properly for efficient and sustainable forest products (woods) utilization. This research aimed to know the distribution of wood biodeterioration in house structure; the biodeterioration intensity and its economic loss in Lembang, Bogor, Serang and North Jakarta, which were different in temperature and humidity. The survey was conducted to 200 houses in the four places. The result showed that wood biodeterioration occured in most (90%) house buildings. Doors, windows and roof structures were the most frequent attacked by biodeterioration agents. Decay fungi attacked wet wooden house components, mainly lisplank and ceiling, whereas termites attacked mainly doors, windows, poles and walls. The volume of damaged wooden house components in Lembang and Bogor were higher than those in the warmer and drier regions, Serang and North Jakarta. The average economic loss due to wood biodeterioration in a houses was about Rp28 000/year. However the economic loss per region was quite high, about two billion rupiahs per year in Serang and more than eight billion rupiahs in Bogor City. Keywords : Biodeterioration, decay fungi, termites, beetles, residential buildings
PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia cukup tinggi, yaitu antara tahun 2000 sampai 2008 sekitar 1,36% per tahun (BPS 2009). Seiring dengan itu, kebutuhan masyarakat terhadap kayu meningkat pula, misalnya untuk bangunan tempat tinggal ataupun untuk keperluan lainnya. Adapun
1 Departemen
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor 3 UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial-LIPI 2
Jurnal Ilmu dan Teknilogi Hasil Hutan 3(1): 26-31 (2010)
pasokan kayu dari hutan alam semakin berkurang kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, harganyapun semakin mahal. Kecenderungan yang ada adalah kayu-kayu yang dipanen semakin muda umurnya dan tidak tahan dari serangan organisme perusak. Paling tidak ada dua alasan yang menyebabkan kayu menjadi sasaran serangan organisme perusak. Pertama, kayu merupakan bahan berlignoselulosa yang menjadi nutrisi bagi organisme (jamur, rayap, dsb). Ke dua, kayu merupakan substrat/tempat untuk tumbuh, shelter dan tempat berkembang biak bagi organisme tersebut. Harris (2001) menjelaskan bahwa kondisi yang diperlukan jamur untuk kelangsungan pertumbuhannya adalah: makanan, oksigen, temperatur yang sedang, dan kelembaban. Selain itu pertumbuhannya dipengaruhi oleh pH dan kompetisi dengan mikroorganisme lainnya. Kerusakan kayu oleh jamur pelapuk dapat semakin berat karena mengundang perhatian beberapa jenis serangga perusak kayu. Banyak serangga yang tertarik menyerang kayu berkadar air tinggi, diantaranya adalah rayap tanah. Hal lain yang disukai rayap adalah kondisi lembab dan hangat. Sehingga sarang rayap sangat ideal untuk pertumbuhan jamur yang menjadi sumber protein dan vitamin bagi rayap. Akumulasi kotoran rayap dalam sarang membantu pertumbuhan jamur. Rayap merupakan serangga yang banyak menimbulkan masalah kerusakan kayu bangunan. Rayap tanah dan rayap kayu kering dikenal masyarakat terutama karena perbedaan karakteristik serangannya. Rayap tanah senantiasa mengotori kayu yang dilewati dan diserangnya dengan tanah. Menurut Tarumingkeng (2000), rayap tanah bersarang dalam tanah, terutama dari family Termitidae. Rayap tanah cukup ganas dan dapat menyerang objeknya yang berjarak 200 meter dari sarangnya. Rayap kayu kering tergolong dalam famili Kalotermitidae (Tarumingkeng 2000). Sesuai namanya, rayap kayu kering dapat hidup pada kayu-kayu berkadar air rendah yang ada pada bangunan rumah, gedung-gedung, atau bangunan lainnya. Mereka cenderung tidak membangun sarang-sarang atau terowongan-terowongan pada tempat terbuka sehingga sulit untuk diketahui. Pada kayu yang diserang terjadi lubang dan lorong-lorong yang saling berhubungan. Kayu yang
Biodeteriorasi Komponen Kayu Rumah di Beberapa Daerah diserang menjadi keropos dan menyebabkan rongga-rongga tidak teratur dalam kayu. Ada lapisan kayu tipis yang disisakan pada bagian permukaan kayu sehingga dari luar kurang tampak serangannya, tetapi dengan tekanan sedikit saja kayu akan rusak. Tanda serangan yang kelihatan adalah keluarnya ekskremen berupa butir-butir kecil berdiameter 0,60,8 mm, berwarna kecoklatan yang dikeluarkan dari lubang serangan dalam jumlah yang besar (Nandika et al. 2003). Bubuk kayu kering disebabkan oleh Coleoptera (kumbang) yang makan dan merusak kayu kering. Kerusakan kayu terutama disebabkan oleh larvanya. Sesuai dengan namanya, kumbang memiliki sayap depan yang tebal dan menjadi pelindung sayap belakangnya. Kumbang yang menyerang kayu kering terutama dari tiga famili, yaitu Anobiidae, Bostrychidae, dan Cerambycidae (Eaton & Hale 1993). Kerusakan kayu bangunan oleh organisme perusak banyak dikeluhkan masyarakat. Oleh karena itu, penting dikaji lebih dalam dan dilakukan diseminasi yang lebih luas untuk membangun pemahaman masyarakat tentang hal ini dengan baik. Lebih jauh diharapkan masyarakat dapat lebih berperan dalam pencegahan dan pengendalian biodeteriorasi kayu ini sehingga penggunaan kayu bisa lebih efisien dan menekan konsumsi kayu dari hutan. Sehubungan dengan itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui distribusi serangan organisme perusak kayu pada berbagai komponen bangunan rumah. Selain itu untuk mengetahui intensitas biodeteriorasi serta kerugian yang ditimbulkannya di empat daerah yang berbeda suhu dan kelembabannya. BAHAN DAN METODE Kegiatan survei dilakukan di empat kota yang berbeda suhu dan kelembabannya. Hal ini dilakukan setelah dilakukan cluster analyses dengan program Minitab 11 terhadap data suhu dan kelembaban berbagai daerah di Jawa Barat, Banten dan Jakarta yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Daerah yang terpilih untuk disurvey adalah Lembang, Bogor, Serang dan Jakarta Utara. Lima puluh rumah dipilih secara acak mewakili kondisi geografis di setiap daerah untuk dijadikan obyek penelitian. Observasi dilakukan terhadap seluruh bagian rumah. Dimensi kerusakan kayu diukur dengan meteran untuk mendapatkan volume kerusakannya. Jenis organisme penyebab kerusakan yang sudah tidak ada ditentukan berdasarkan ciri-ciri serangannya. Selain itu informasi dilengkapi melalui wawancara dengan penghuni rumah. Umur bangunan yang disurvey dan jenis kayu yang digunakan dicatat. Data volume kerusakan kayu dianalisis secara deskriptif. Volume kerusakan kayu per rumah di setiap daerah dianalisis keragamannya dan diuji beda rata-ratanya menggunakan program SPSS 17,0. Nilai kerugian akibat biodeteriorasi kayu pada bangunan rumah dihitung berdasarkan biaya bahan kayu dan upah perbaikan yang diperlukan.
27 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini ditemukan bahwa sekitar 90% rumah yang disurvei di empat daerah (Lembang, Bogor, Serang dan Jakarta Utara) mengalami biodeteriorasi terutama oleh jamur pelapuk dan rayap. Ini menunjukkan bahwa biodeteriorasi kayu bangunan merupakan masalah yang dialami oleh masyarakat luas. Gambar 1 menampilkan beberapa bentuk serangan organisme perusak kayu pada komponen bangunan rumah yang sering ditemukan di rumah-rumah masyarakat. Tentu saja hal ini selain menurunkan estetika rumah, juga dapat mengganggu dan membahayakan bagi penghuninya. Kayu yang diserang jamur mengalami perubahan warna menjadi kotor dan tidak menarik. Secara fisik juga menjadi lunak. Secara mekanis kayu tersebut mengalami penurunan sehingga tampak pada gambar tersebut kayunya patah. Genting yang ditahannya bisa saja jatuh menimpa anak-anak yang sedang bermain di bawahnya. Kelalaian pemilik rumah seperti ini banyak ditemukan di lapangan. Sebaiknya pendeteksian pelapukan dan penanggulangannya dilakukan secara dini, tidak ditunggu hingga kayu patah. Hal ini mengingat penjelasan Clausen & Kartal (2003) bahwa serangan enzimatik jamur pelapuk pada kayu dapat menimbulkan penurunan kekuatan yang nyata, walaupun di awal serangan tidak terlihat adanya kerusakan. Serangan rayap kayu kering tampak pada Gambar 1 dicirikan dengan adanya butiran serbuk gerek yang ada di dalam kayu dan dikeluarkan melalui lubang gerek di permukaan kayu. Pada umumnya kayu yang diserang rayap kayu kering ini tidak terbuka atau menyisakan lapisan kayu bagian luar. Sebagaimana uraian Tarumingkeng (2000) bahwa rayap bersifat kriptobiotik atau selalu menyembunyikan diri. Dengan mengetuk-ngetuk kayu, bagian yang diserang rayap kayu kering terdengar lebih nyaring dari yang lain karena ada rongga yang telah digerek oleh rayap tersebut. Tidak sedikit masyarakat tidak menangani kerusakan kayu akibat serangan rayap kayu kering ini. Diantaranya karena tidak tahu cara pengendaliannya atau beralasan menunggu kerusakan yang parah dan menggantinya. Serangan rayap tanah ditemukan banyak menyerang rumah penduduk dengan ciri adanya tanah pada komponen bangunan yang diserangnya sebagaimana pada Gambar 1. Umumnya bagian bertanah tersebut cepat dibersihkan oleh penghuni tanpa pengendalian rayap tanah yang berarti. Walaupun bersarang di tanah serangan rayap tanah ditemukan juga pada komponen rangka atap. Sebagaimana dijelaskan Tarumingkeng (2000) bahwa rayap tanah mencapai obyek serangannya karena obyek tersebut berhubungan langsung dengan tanah; rayap membangun pipa perlindungan (sheltertubes) dari tanah sampai ke objek target; melalui celah-celah pondasi dan dinding; atau menembus penghalang berbahan plastik, logam tipis, ataupun bahan lain yang bukan makanannya.
Jurnal Ilmu dan Teknilogi Hasil Hutan 3(1): 26-31 (2010)
28
A
A
B
C
Gambar 1. Serangan jamur (A), rayap kayu kering (B), dan rayap tanah (C) pada berbagai komponen rumah. Tanda panah menunjukkan patahan kayu (pada A), butiran serbuk gerek (pada B), dan tanah bawaan rayap tanah (pada C). Gambar 2 menampilkan distribusi serangan organisme perusak pada berbagai komponen bangunan rumah. Secara kumulatif pintu dan jendela adalah yang paling sering mengalami biodeteriorasi. Selain itu yang juga cukup tinggi frekuensi biodeteriorasinya adalah rangka atap. Distribusi serangan organisme perusak pada bangunan rumah didukung oleh kondisi lingkungan dan aksesibilitas yang sesuai bagi masing-masing organisme perusak. Serangan jamur pelapuk pada umumnya terjadi pada komponen bangunan yang terkena air hujan baik langsung ataupun tidak langsung. Baik jamur pelapuk putih maupun pelapuk coklat membutuhkan adanya air dalam kayu. Dalam hal ini Ridout (2004) menjelaskan bahwa jamur pelapuk putih membutuhkan lebih banyak air dibandingkan dengan jamur pelapuk coklat untuk mendegradasi kayu. Oleh karena itu dalam bangunan jamur pelapuk putih lebih banyak menyerang bagian yang lebih basah dibandingkan jamur pelapuk coklat. Lisplang dan rangka plafon adalah komponen rumah yang paling banyak diserang jamur pelapuk dengan persentase masing-masing 37% dan 33%. Lisplang merupakan komponen eksterior yang langsung terkena air hujan dan penyinaran matahari. Sedangkan rangka plafon yang terserang jamur pelapuk adalah yang terkena pembasahan tidak langsung, seperti karena kebocoran atap atau talang saluran air. Terpaparnya komponen lisplang terhadap sinar matahari menyebabkan cat pelindung lebih cepat terkelupas dibandingkan dengan cat kayu yang ternaungi. Selain terkelupasnya cat, retakan yang terjadi pada kayu lisplang karena pemanasan berulang oleh sinar matahari, menjadi bagian yang bisa menyimpan air dan menjadi sarana infeksi spora jamur.
Jurnal Ilmu dan Teknilogi Hasil Hutan 3(1): 26-31 (2010)
B
C
D
E Gambar 2. Distribusi kerusakan kayu pada bangunan rumah akibat serangan berbagai organisme perusak (A), jamur pelapuk (B), rayap kayu kering (C), rayap tanah (D), dan bubuk kayu kering (E).
Biodeteriorasi Komponen Kayu Rumah di Beberapa Daerah Kerusakan sistem atap, seperti retakan atau pergesaran genting, menimbulkan rembesan dan kebocoran air ke dalam struktur rumah. Banyak juga ditemukan sistem atap yang tidak sempurna melindungi komponen kayu di bawahnya. Kayu yang terkena air tersebut mengalami peningkatan kadar air sehingga mendukung pertumbuhan jamur. Menurut Nicholas & Crawford (2003) pelapukan kayu oleh jamur dapat terjadi jika kadar air kayu minimal sama dengan titik jenuh seratnya (28%-30%). Kadar air optimal untuk pertumbuhan jamur pelapuk adalah antara 40% - 80%. Serangan rayap kayu kering terbanyak ditemukan pada komponen jendela dan pintu yaitu 62%. Selain itu banyak juga ditemukan pada rangka atap yaitu 25% dari frekuensi serangan rayap kayu keing. Pintu dan jendela merupakan komponen yang umumnya berhubungan langsung dengan lingkungan luar, sehingga rayap kayu kering bisa langsung menyerang dan bersarang pada komponen tersebut. Serangan awal biasanya tidak diketahui penghuni rumah. Adanya serangan rayap kayu kering baru disadari ketika serbuk gerek terlihat atau teraba di bagian luar kayu atau berjatuhan di lantai. Walaupun koloni rayap kayu kering relatif kecil dibandingkan dengan koloni rayap tanah, tapi serangan rayap kayu kering yang banyak terjadi sering dikeluhkan masyarakat. Uniknya rayap kayu kering ini mampu hidup pada komponen kayu rumah dan furniture yang kering, yaitu kadar air dibawah 20%. Serangan rayap tanah paling banyak ditemukan pada komponen pintu, jendela, tiang dan dinding kayu. Kayu yang diserang rayap tanah cepat terdegradasi karena anggota koloni rayap tanah relatif lebih banyak dibandingkan dengan koloni rayap kayu kering. Selain itu menurut Tarumingkeng (2000), rayap tanah membutuhkan kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan rayap kayu kering. Oleh karena itu mereka selalu membawa tanah yang diantaranya berfungsi untuk melembabkan lingkungannya. Serangan bubuk kayu kering pada komponen kayu rumah adalah relatif jarang dibandingkan serangan rayap dan jamur. Kerusakan kayu yang disebabkan oleh sejenis kumbang ini ditemukan pada komponen rangka atap dan plafon. Kayu yang diserang pada umumnya dalam keadaan kering. Dari lubang gereknya yang kecil keluar serbuk gerek berbentuk tepung yang lebih halus dibandingkan dengan serbuk gerek dari rayap kayu kering. Komponen yang banyak diserang bubuk kayu kering ini terutama yang berbahan bambu, seperti pada reng dan kaso atap. Sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3, volume kerusakan kayu oleh organisme perusak juga menggambarkan tingginya ancaman masing-masing organisme tersebut terhadap komponen rumah berkayu ataupun produk berkayu lainnya. Kerusakan komponen rumah akibat serangan rayap kayu kering adalah yang paling besar (45437 cm3/rumah). Kerusakan oleh jamur pelapuk (24300 cm3/rumah) relatif lebih kecil dibandingkan dengan akibat serangan rayap kayu kering, tapi lebih besar dibandingkan yang dirusak oleh rayap tanah (291 cm3/rumah).
29 Kerusakan kayu oleh bubuk kayu kering adalah yang paling kecil (260 cm3/rumah).
Gambar 3. Rata-rata volume kerusakan komponen kayu per rumah di empat daerah survei. Pada Gambar 4 tampak volume kerusakan kayu dan nilai kerugian yang disebabkan oleh faktor biologis pada bangunan rumah di empat daerah penelitian (Lembang, Bogor, Serang dan Jakarta Utara). Bila dibandingkan dengan data rata-rata suhu dan kelembaban daerah (Tabel 1), volume kayu bangunan rumah yang terkena biodeteriorasi ini cenderung lebih tinggi di daerah kelembaban tinggi dan suhu rendah. Hasil analisis ragam dan uji beda rata-rata (Tabel 2) membuktikan bahwa volume kerusakan kayu per rumah per tahun di Jakarta Utara dan Serang adalah nyata lebih rendah dibandingkan dengan di Bogor dan Lembang. Jakarta Utara dan Serang relatif lebih kering dan lebih panas dibandingkan dengan di Bogor dan Lembang. Tabel 1. Nilai rata-rata suhu dan kelembaban daerah survei No 1 2 3 4
Kota Lembang Bogor Serang Jakarta Utara
Suhu (ÂșC) 20,31 25,83 26,86 28,38
Kelembaban (%) 84,67 83,92 80,67 70,25
Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2008)
Tabel 2. Uji beda rata-rata volume kerusakan kayu per rumah per tahun antar daerah Volume Kerusakan Kayu
Tukey HSDa,,b
Daerah
N
Serang Jakarta Bogor Lembang Sig.
50 50 50 50
Subset 1 2 1937,48 251,82 3612,16 4647,48 0,507 0,066
Jurnal Ilmu dan Teknilogi Hasil Hutan 3(1): 26-31 (2010)
30
Gambar 4. Rata-rata volume kerusakan kayu per rumah akibat serangan organisme perusak (cm3/th)dan kerugian yang ditimbulkannya (Rp/th). Berdasarkan observasi lapang bangunan rumah di keempat kota, rata-rata nilai kerugian yang diakibatkan biodeteriorasi pada setiap rumah per tahun tampaknya tidak begitu besar, rata-rata sekitar Rp 28.359/tahun atau berkisar antara Rp 17.000/tahun hingga kurang dari Rp 40.000/tahun. Nilai rata-rata ini sudah memperhitungkan rumah yang mengalami rusak berat, ringan bahkan yang tidak rusak.Tapi dalam skala daerah dengan memperhitungkan jumlah rumah di setiap daerah (Tabel 3), nilai kerugian menjadi besar sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. Sebagai contoh, di Kota Bogor pada tahun 2008 yang berpenduduk 955.788 jiwa dengan jumlah rumah sekitar 238.947 bangunan, kerugian akibat biodeteriorasinya adalah Rp. 8.783.000.000/tahun. Nilai kerugian sesungguhnya bisa lebih besar karena dalam penelitian ini hanya memperhitungkan biaya bahan dan upah perbaikan. Kerugian akibat terhentinya kegiatan produktif keluarga karena perbaikan tersebut ataupun bentuk kerugian lainnya tidak dihitung dalam penelitian ini. Mengingat nilai kerugian dalam skala daerah akibat biodeteriorasi ini ternyata cukup besar, maka harus menjadi perhatian penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk memelihara bangunan rumah ataupun bangunan lainnya dengan lebih baik. Selain itu perlu mengantisipasi dan memperbaiki lebih dini biodeteriorasi yang terjadi. Tabel 3. Jumlah penduduk dan bangunan rumah tahun 2008 di setiap daerah survei Kota Lembang Bogor 2 Serang 3 Jakarta Utara 4 1
Sumber:
Jumlah Penduduk
Jumlah Rumah
201.765 955.788 503.491 1.421.265
55.418 238.947 110.612 357.744
(Wikipedia 2008) (BPD Kota Bogor & BPS Kota Bogor 2008) 3 (DKCS Kabupaten Serang 2009) 4 (DKCS Kotamadya Jakarta Utara 2009) 1 2
Jurnal Ilmu dan Teknilogi Hasil Hutan 3(1): 26-31 (2010)
Gambar 5. Volume kerusakan kayu bangunan rumah di empat daerah survei serta kerugian yang ditimbulkannya. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil adalah biodeteriorasi kayu terjadi pada sebagian besar (90%) bangunan rumah tinggal di keempat daerah survei (Lembang, Bogor, Serang dan Jakarta Timur). Pintu, jendela, dan rangka atap merupakan bagian yang paling banyak mengalami biodeteriorasi. Komponen yang paling banyak diserang jamur pelapuk adalah lisplang dan rangka plafon karena pembasahan langsung ataupun tidak langsung. Adapun yang paling banyak diserang rayap kayu kering dan rayap tanah adalah pintu, jendela, tiang, dan dinding berkayu. Volume biodeteriorasi di Lembang dan Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan di Serang dan Jakarta Utara yang lebih rendah kelembabannya dan lebih tinggi suhunya. Kerugian akibat biodeteriorasi per rumah di keempat daerah survei rata-rata sekitar Rp. 28.000/tahun. Tapi dalam skala daerah nilainya menjadi besar. Kerugian di Serang adalah sekitar dua milyar rupiah per tahun, sedangkan di Kota Bogor adalah lebih dari delapan milyar rupiah per tahun. DAFTAR PUSTAKA [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2008. Data Klimatologi 2008. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia 2009. Jakarta: BPS Clausen CA, Kartal SN. 2003. Accelerated detection of brown-rot decay: Comparison of soil block test, chemicl analysis, mechanical properties and immunodetection. Forest Products Journal, 53 (11/12):90-94. Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. London: Chapman & Hall Inc.
Biodeteriorasi Komponen Kayu Rumah di Beberapa Daerah
31
Harris SY. 2001. Building Pathology: Deterioration, Diagnostics, and Intervention. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Wikipedia. 2008. Lembang, Bandung Barat. http://id.wikipedia.org/wiki/Lembang,_Bandung_Barat [25 Februari 2008].
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap : Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
[BPD Kota Bogor & BPS Kota Bogor] Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2008. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Bogor Tahun 2008. Bogor: BPD Kota Bogor & BPS Kota Bogor.
Nicholas DD, Crawford D. 2003. Concepts in the Development of New Accelerated Test Methods for Wood Decay. American Chemical Society. www.fpl.fs.fed.us/documnts/pdf2003/nicho03a.pdf. [24 May 2007]. Ridout B. 2004. Timber Decay in Buildings: The Conservation Approach to Treatment. London: Spon Press. Tarumingkeng RC. 2000. Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan: Topik-topik terpilih. Jakarta: UKRIDA Press.
[DKCS Jakarta Utara] Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Utara. 2009. Jumlah RT, RW. http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/component /content/25?task=view [20 Agustus 2010]. Jakarta: DKCP. [DKCS Kabupaten Serang] Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Serang. 2009. Jumlah Penduduk Kabupaten serang Tahun 2008. http://www.disdukcapilserang.com/news/?page_id=47 [27 Mei 2009
Jurnal Ilmu dan Teknilogi Hasil Hutan 3(1): 26-31 (2010)