Ekspresi Karya (Seni) dan Politik Multikultural Sebuah Pengantar Ninuk Kleden-Probonegoro (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Orang mengenal berbagai jenis ekspresi, mulai dari teriakan ‘aduh’, baju hitam yang digunakan saat melayat sampai pada mimik, semua adalah ekspresi. Ada ekspresi yang dilakukan dengan sengaja, seperti seniman teater yang mengekspresikan tokoh yang diperankannya, ada pula ekspresi yang dilakukan tanpa sengaja. Misalnya teriakan ‘aduh’ itu. Selain itu ada ekspresi yang mempunyai sifat konvensional dan terikat oleh aturan-aturan tertentu, seperti misalnya bahasa atau larangan tertawa (tertawa adalah ekspresi kegembiraan) di tempat pemakaman. Bagi Dilthey (1979,1986) ekspresi adalah sumber pengetahuan tentang manusia, yang mempunyai enam ciri: (1) suatu ekspresi selalu mempunyai makna tertentu; (2) ada hubungan unik antara ekspresi dan apa yang diekspresikan. Hubungan itu tidak berbentuk kausal, dan tidak bersifat temporal; (3) ekspresi adalah ciri fisik yang menunjuk pada kandungan mental; (4) ekspresi (yang digunakan oleh Dilthey pada umumnya) muncul dalam konteks atau merupakan bagian dari konfigurasi; (5) mempunyai aturan tertentu, baik tertulis (seperti bahasa), maupun tidak (seperti contoh tersebut di atas; (6) ekspresi mempunyai dua sifat yang bertentangan, di satu pihak bersifat purposif (dapat muncul berupa tulisan, suara dan gerak yang disengaja), di lain pihak ia sering pula muncul sebagai tindakan yang tidak disengaja, tetapi tetap dianggap mempunyai makna. Ada dua dasar terjadinya ekspresi, yaitu pikiran dan (suasana) kehidupan. Ekspresi yang timbul dari intensi pikiran, misalnya konsep dan struktur pikiran. Keduanya adalah unsur pokok dalam ilmu pengetahuan dan berurusan dengan logika. Oleh karena itu, ekspresi yang dimaksudkan dalam kategori ini ada dalam bidang-bidang keilmuan dan menuntut adanya validitas yang lepas dari situasi yang dimunculkannya. Dasar kedua bagi lahirnya suatu ekspresi adalah suasana dan pengalaman hidup (life-expressions). Dalam kategori ini ekspresi bukan intensi pikiran, tetapi dikondisikan oleh pikiran. Berbeda dari ekspresi yang lahir dari pikiran, maka life-expressions lebih banyak menampilkan segi-segi kehidupan, dengan sifat emosi dan psikologik yang cukup menonjol. Perbedaan lain dari yang disebutkan terdahulu, adalah tidak bisa dilepaskannya ekspresi ini dari konteksnya. Pemahaman menjadi cukup sulit, karena interpretasi dapat berubah, tergantung dari suasana konteks itu. Meskipun demikian, melalui ekspresi jenis ini orang bisa memahami suatu kandungan mental, sekalipun hal tersebut bukan tujuannya. Sifat ekspresi yang seperti ini mirip dengan sifat simbol yang menyatakan tetapi sekaligus juga menyembunyikan makna simbol itu sendiri (Firth 1973:15)
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
1
Berangkat dari ciri-ciri tersebut di atas, apakah hal itu berarti bahwa dengan mengkaji suatu karya (seni), maka dengan sendirinya kita dapat mencapai aspek mental senimannya? Dalam hal ini Dilthey membedakan dua bentuk karya seni, yaitu karya seni yang disebutnya otentik dan karya yang tidak otentik. Suatu karya yang tidak otentik, tidak dapat berbicara tentang kandungan mental senimannya, karena karya semacam itu hanya merupakan ilusi. Karya ini bisa dianggap lepas dari kandungan mental sang seniman, karena interes sang seniman sangat dipengaruhi oleh hal-hal praktis yang lebih kuat dari pengalaman hidup yang tersimpan dalam kandungan mentalnya. Dalam kondisi seperti ini tampaknya kita hanya dapat memasuki sisi interes seniman itu, dan tidak sampai merambah pada kandungan mentalnya. Sebagai contoh adalah interes seniman yang berkarya karena kebutuhan akan uang. Karya yang otentik mempunyai bentuk pasti, dapat dilihat dan permanen. Ciri karya yang otentik dan unik inilah yang menyebabkan ekspresi berada dalam posisi tengah, antara ilmu dengan tindakan yang berhubungan dengan kehidupan yang bisa diobservasi, direfleksi dan diteorikan. Berbagai bentuk karya (seni) yang merupakan ekspresi dapat diperlakukan sebagai identitas atau ‘identitas’ (baca:representasi), karena dua hal. Pertama, para peneliti berhasil memasuki kandungan mental seniman yang melahirkan karya-karya otentik, seperti misalnya penelitian Kenneth George tentang kaligrafi Pirous. Kedua, proses pemaknaan suatu karya (seni) dianggap cukup penting sehingga pada gilirannya karya itu dapat menjadi ajang kontestasi untuk bisa menjadi representasi identitas. Contoh dari proses pemaknaan ekspresi seni itu, sangat jelas pada kajian Jennifer Santos tentang kerajinan tangan masyarakat desa Tegallalang, Bali, juga Juliana Wijaya tentang alih kode dalam tuturan dan Tito Imanda tentang Si Unyil anak Indonesia. Seperti telah dikatakan sebelumnya, makna suatu ekspresi maupun proses pemaknaannya sangat tergantung pada berbagai konteks di mana karya itu diekspresikan. Karya seniman seperti lukisan, teater, tari, seni kerajinan dan berbagai bentuk karya lain seperti film, surat kabar dan narasi, mempunyai makna yang lahir karena pengaruh persentuhan kebudayaan. Persentuhan satu kebudayaan dengan kebudayaan lain, satu kebudayaan lokal dengan kebudayaan nasional atau dengan kebudayaan masyarakat global. Dalam kondisi seperti ini tidak ada lagi karya seni yang mengekspresikan satu identitas, karena, katakanlah bahwa identitas nasional dan global telah masuk menjadi bagian dalam karya seni itu. Paham tentang konsep identitas bergeser menjadi representasi identitas yang tidak lagi merujuk pada satu ciri suatu kelompok masyarakat, tetapi sebagai wadah terjadinya kontestasi. Dengan demikian ekspresi tidak lagi dapat dilepaskan dari politik kebudayaan. Isu yang berkembang pun berpindah, karena orang mulai memperhatikan masyarakat heterogen dengan kebudayaan yang sifatnya plural, yang pada gilirannya menjadi bagian penting dari studi tentang masyarakat multikultural. Perbedaan di antara konsep masyarakat yang plural dengan masyarakat multikultural dalam hubungannya dengan identitas, bahwa konsep masyarakat yang plural menekankan adanya sejumlah besar identitas yang satu dengan lainnya berbeda, sementara paham multikultural menekankan adanya sejumlah besar perbedaan di dalam masyarakat yang plural dan heterogen itu, termasuk identitasnya. Dengan kata lain, konsep multikultural mengakui adanya perbedaanperbedaan di dalam identitas yang berbeda itu (intra cultural defferentiations). Ideologi multikultural yang mengidealkan perbedaan dan kesetaraan, termasuk hak untuk mengekspresikan identitas kelompok, dipertanyakan oleh Yasmine Shahab dalam tulisannya
2
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
tentang ‘Seni Sebagai Ekspresi Eksistensi Tantangan Kebijakan Multikulturalisme’. Penulis berpendapat bahwa revitalisasi seni pertunjukan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang kuat secara ekonomi, dapat mengakibatkan menguatnya identitas kelompok itu. Dengan demikian, Shahab khawatir akan timbulnya kembali dominasi suatu kelompok masyarakat. Kalau pada masa Orde Baru, terjadi dominasi kebudayaan Jawa terhadap kelompok etnik minoritas, maka sekarang besar kemungkinan terjadi dominasi masyarakat ekonomi kuat terhadap kelompok masyarakat dengan ekonomi yang lebih lemah. Padahal, kebudayaan lokal, termasuk kebudayaan kelompok-kelompok ekonomi kuat itu, mempunyai akses untuk menjadi representasi identitas nasional, seperti yang dilihat oleh Jennifer Lindsay (1995:658) dalam penelitiannya tentang Politik Kebudayaan dan Seni Pertunjukan di Asia Tenggara bahwa ‘ ... culture was identified as a statedirected tool of national identity’. Dengan kata lain, kalau kelompok ekonomi kuat mendominasi identitas (nasional), maka ideologi multikultural tetap tidak bisa ditegakkan dan dapat dikembalikan pada masa adanya dominasi satu identitas (nasional) seperti yang diagungkan pada masa Orde Baru. Agar primordialisme eksklusif itu tidak terjadi lagi, Yasmine Shahab menyarankan untuk meninjau kembali penerapan ideologi multikultural. Keinginan penulis itu dapat terlaksana, apabila persoalan kebijakan kebudayaan diletakkan sebagai bagian dari birokrasi pemerintah (Tirtosudarmo 2001; Lindsay 1995) yang telah terbukti mengalami perkembangan pesat pada masa Orde Baru. Padahal, kalau persoalan identitas, termasuk identitas kelompok masyarakat dengan ekonomi kuat itu diletakkan dalam politik multikultural yang mengidealkan perbedaan dan kesamaan hak, maka tidak diperlukan kebijakan yang membatasi ekspresi kelompok masyarakat tertentu. Pemerintah dibutuhkan perannya hanya sebagai fasilitator saja. Bagaimana pun, karangan ini sangat menarik untuk dijadikan wacana dalam persoalan multikultural. Ekspresi identitas multikultural yang muncul dalam kaligrafi Pirous dikaji oleh Kenneth George. Pirous yang orang Aceh dan beragama Islam, merasa cemas saat akan digelar pameran ‘Seni Islam Kontemporer Indonesia’. George melihat bahwa identitas yang diekspresikan dalam obyek seni ini disebabkan peran politik identitas dalam masyarakat multikultural, yang penuh dengan kontradiksi, ironi dan kontestasi. Hal itulah yang menimbulkan kecemasan. Dengan demikian identitasnya adalah serpihan dari Islam, Arab, Indonesia dan Aceh. Kajian George ini adalah contoh yang baik dari ekspresi hibriditas yang diletakkan dalam politik identitas masyarakat multikultural. Kalau Pirous mengekspresikan representasi identitas multikultural ‘dalam’ kaligrafinya yang (boleh disebut) otentik, maka seniman pasar kerajinan di Tegallalang, Bali, karyanya lahir karena mereka lebih menggunakan intensi pikiran (terhadap uang) daripada suasana dan sejarah pengalaman hidup mereka sebagai orang Bali. Oleh karenanya karya seni mereka tidak dapat merujuk pada kedalaman sisi mental para senimannya. Karya seni seperti ini berdasarkan pandangan Dilthey dapat dianggap sebagai karya yang tidak otentik. Hal inilah yang menyebabkan Jennifer Santos Esparanza mendapatkan bentuk karya kerajinan topeng Afrika, keranjang Guatemala dan barang-barang seni penduduk asli Australia, di Tegallalang. Dalam menanggapi kasus kerajinan seni di Tegallalang sebenarnya kita bisa berkata lain. Yaitu bahwa sejarah pengalaman hidup seniman Tegallalang yang tersentuh globalisasi dengan kedatangan turis mancanegara, menyebabkan mereka dapat mengekspresikan karya yang tidak berasal dari tradisinya. Identitas yang muncul di sini bukan karena karya itu merupakan ekspresi
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
3
yang dikondisikan dari ‘dalam’, terpecah dan membentuk serpihan seperti kaligrafi yang diekspresikan oleh Pirous, tetapi hanya dari pergaulan di ‘luar’ saja. Seniman Tegallalang masih mempunyai identitas Bali, sekali pun membuat kerajinan seni mancanegara. Proses representasi identitas tersebut di atas, berbeda pula halnya dengan kajian Juliana Wijaya tentang alih kode yang digunakan oleh penutur. Kajiannya adalah orang-orang Indonesia yang tinggal di California; kakak-beradik yang besar di Jakarta, yang berbahasa Indonesia gaya Jakarta dan Inggris, serta sepasang suami-istri dari Jawa Timur. Pasangan ini berbahasa Jawa (baca: Jawa Timuran), Indonesia dan Inggris. Interaksi antara penutur dan pendengar menurut peneliti dapat memperlihatkan adanya identitas ganda atau yang oleh penulis disebut multiple social identities. Tito Imanda mengkaji dua versi film ‘Si Unyil Anak Indonesia’. Versi pertama, Unyil adalah sosok anak desa, sedangkan versi kedua Unyil muncul sebagai anak kota yang tinggal di daerah pinggiran. Representasi identitas muncul dalam ajang kontestasi yang berhubungan dengan persoalan komoditas. Menariknya, yang menjadi komoditas di sini bukan hanya program atau isi program, tetapi idealisme tentang pencitraan anak Indonesia. Budi Susanto SJ mempertanyakan peran media massa yang memberitakan peristiwa penting seperti kekerasan dan kekejaman, secara berulang-ulang. Pengulangan pemberitaan seperti itu seyogyanya dapat menjamin bahwa kekerasan, kekejian dan kekejaman, dapat diredakan tetapi ia justru menghambat penyelesaian pelanggaran HAM tersebut. Karangan Ipit Dimyati tentang Jeprut adalah contoh bagaimana diferensiasi terhadap representasi identitas itu terjadi. Jeprut itu sendiri sudah menjadi perdebatan apakah ia seni pertunjukan atau bukan. Ipit Dimyati memperlihatkan proses identifikasi diri para jeprutor melalui dua cara; secara eksternal adalah perlawanan terhadap hegemoni pemerintah dan secara internal memperlihatkan upaya para jeprutor untuk mendapat pengakuan ‘seni’. Pemikiran Fadjar Thufail tentang konsep multikultural cukup menarik, karena dapat menampung karangan-karangan yang sudah dikemukakan terdahulu. Baginya, pembicaraan tentang multikultural harus dilihat sebagai proses yang terjadi dalam ruang publik, dan di sanalah terjadi negosiasi antara berbagai praktik sosial. Salah satu praktik sosial itu adalah obyek penelitiannya tentang penuturan kisah kekerasan dan kerusuhan. Peristiwa itu sendiri terjadi pada tahun 1998 yang kemudian dinarasikan oleh para saksi mata. Narasi tentang kerusuhan yang dikaji oleh Fadjar diperlakukan dalam dua hal. Pertama, sebagai media dalam proses mengidentifikasi politik multikultural yang terdapat dalam ruang pengalaman narator yang menjadi saksi peristiwa kerusuhan itu. Kedua, narasi sekaligus juga menampung peristiwa kerusuhan itu dalam ingatan tentang cara orang melakukan perlawanan terhadap orang Cina. Kalau kita kembali pada ungakapan Dilthey tentang terjadinya ekspresi, maka narasi tentang kerusuhan yang mengendapkan pengalaman terhadap peristiwa kerusuhan itu bisa dijadikan sebagai wahana untuk mengartikulasi dan membentuk ruang publik tersendiri. Tiga praktik sosial lain dalam karangan ini yang boleh dianggap berada dalam kerangka Fadjar Thufail adalah Jeprut dan kajian tentang Unyil Anak Indonesia. Keduanya telah diuraikan secara ringkas di atas. Apabila narasi dalam kajian Fadjar adalah peristiwa kerusuhan yang masih segar dalam ingatan naratornya, maka bagi Ye-Kyoum Kim, Ramayana yang merupakan endapan pengalaman hidup naratornya yang orang India, Jawa dan Thailand adalah peristiwa yang jauh terjadi sebelumnya,
4
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
dan tidak lagi dapat dilacak saat kemunculannya. Perbedaan Ye-Kyoum Kim dengan penulis lain adalah digunakannya analisis struktural oleh Ye-Kyom Kim, sedangkan penulis lain bertolak dari pemikiran Post-struktural dan Posmodernisme. Seluruh karangan dalam jurnal ini merupakan revisi dari makalah yang dipresentasikan dalam panel Expression, Media and Discourse, pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3; Rebuilding Indonesia, a Nation of ‘Unity in Diversity’: Towards a Multicultural Society, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juni 2002. Hanya tulisan Ye-Kyoum Kim yang bukan merupakan makalah dari panel tersebut. Edisi khusus ini pada akhirnya dapat diterbitkan berkat kerja keras redaksi, untuk itu kami, para panelis simposium mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya.
Referensi Dilthey,W. 1979 Selected Writing. Cambridge, London, New York, Melbourne: Cambridge University Press. Dilthey, W. 1986 The Hermeneutic Reader: Text of the German Tradition from the Enlightenment to the Present. Oxford:Basil Blackwell Ltd. Firth, R. 1973
Symbols; Public and Private. London: George Allen & Unwin Ltd.
Friedman, J. 1994 Cultural Identity and Global Process. New York: Sage. Lindsay, J. 1995 ‘Cultural Policy and the Performing Arts in Southeast Asia’, Bijdragen Tot de Taal, Land en Volkenkunde deel 151:656-671. Tirtosudarmo, R. dkk 2001 ‘Pendahuluan’, dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru. Laporan penelitian. Jakarta: PMB-LIPI bekerja sama dengan The Ford Foundation.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
5