Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001
PENDEKATAN EKSPRESI-DIRI, DISIPLIN, DAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN SENI RUPA
Sofyan Salam dipublikasikan pada Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Abstrak Sebagai konsekuensi dari perbedaan jawaban terhadap pertanyaan yang bersifat filosofis tentang rnengapa pendidikan seni rupa di laksanakan, maka dewasa ini ada tiga pendekatan utama dalam pendidikan seni rupa yakni pendekatan ekspresidir i yang berpijak pad a upaya penge mbagan pribad i an ak sec ar a alamiah, pendekatan disiplin yang memandang seni rupa sebagai sebuah disiplin ilmu yang perlu dikuasai oleh anak, serta pendekatan multikultural yang menekankan pada upaya pemahaman budaya pluralistis dalam pendidikan seni rupa.
Kata Kunci: pendidikan seni rupa, pendekatan elcspresidiri, pendekatan disiplin, pendekatan multikultural, model pengembangan kurikulum
Pendahuluan Pendidikan seni rupa pada zaman kuno berpijak pada konsep pendidikan yang berlaku pada masa itu. Seperti diketahui, bahwa pada zaman kuno seni rupa berkaitan erat dengan aspek kepercayaan/keagamaan
dan tradisi. Karena itulah, pendidikan seni rupa bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan untuk keperluan praktis dalam masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan atau tradisi. Sejalan dengan
1 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 perkembangan zaman, maka muncullah berbagai pendekatan pendidikan seni rupa yang pada gilirannya melahirkan konsep yang serbamajemuk. Dewasa ini, ada tiga pendekatan utama yang mendominasi wacana pendidikan seni rupa yakni pendekat-an ekspresidiri atau biasa pula disebut pendekatan "alamiah," pendekatan disiplin yang populer dengan singkatan DBAE (Discipline Based Art Education), serta pendekatan multikultural. Ketiga pendekatan ini perlu kita hayati dengan baik dalam upaya pengembangan kurikulum pendidikan seni rupa di sekolah. Konsep Dasar a. Pendekatan Ekspresidiri yang tidak peduli akan kondisi kejiwaan anak. Untuk itu, pertama-tama akan dibahas mengenai
latar belakang munculnya pendekatan ekspresi-diri ini. Pendidikan seni rupa di sekolah umum telah berlangsung di Yunani pada masa klasik. Tujuan pendidikan seni rupa pada masa itu adalah untuk melestarikan tradisi klasik Yunani (Efland, A History 8). Hubbard mencatat bahwa menggambar model diajarkan di sekolah dasar di Sicyon, Peloponesus pada abad ke-4 SM tetapi amat sedikit yang diketahui mengenai bagaimana pelajaran tersebut berlangsung (5). Pada masa Romawi, seni rupa tidak lagi diajarkan di sekolah umum. Bagi yang ingin belajar menggambar atau mematung, dapat pergi ke sanggar perupa (Hubbard 5). Seni rupa (menggambar) mulai diajarkan di sekolah umum pada awal abad ke-
2 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 19. Pada masa itu, pelajaran menggambar terutama dimaksudkan untuk melatih kemampuan kordinasi mata dan tangan (Efland, A History 79114). Pestalozzi merupakan tokoh yang paling terkemuka dalam pengajaran menggambar di sekolah. Seorang teman Pestalozzi yang bernama Herman Krusi menggambar-kan prinsip k&ikulum pelajaran menggambar Pestalozzi sebagai berikut: The drawing curriculum consisted of "linear drawing, to form the eye and the hand, and to practice invention, under rules and in forms agreeable to the sight." It also dealt with the study of perspective "as a result of observation" and "as the result of geometrical and optical laws." A third section of the drawing program dealt with the imitation
of light and shade, while a fourth consisted of "progressive Pendekatan ekspresi-diri lahir sebagai reaksi terhadap pengajaran seni rupa exercises in drawing from nature' (Efland, A History 82). Jelas bagi kita, bahwa Pestalozzi berkeinginan untuk mengembangkan kemampuan persepsi murid dalam menggambar. Pendekatan seperti ini kemudian bergeser ke arah pengembangan ketrampilan menggambar yang relevan dengan tuntutan dunia industri (Davis 174), dan karena itu pengajaran menggambar memiliki nilai vokasional. Di Indonesia, metode menggambar yang menekankan pada pelatihan koordinasi mata dan tangan diperkenalkan di sekolah umum pada masa penjajahan. Pada sekolah yang diawasi oleh
3 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 pemerintah kolonial Belanda, murid diminta untuk menirukan gambar dan buku yang sesungguhnya dirancang untuk anak-anak di Belanda (Soedarso 28). Metode semacam ini berlanjut digunakan pada awal masa kemerdekaan. Sebagai seorang murid Sekolah Rakyat (sekolah dasar) pada tahun 19591964, saya secara pribadi mengalami metode pengajaran menggambar yang menekankan pada pengembangan koordinasi mata dan tangan. Dengan metode tersebut, guru biasanya menggambar benda seperti kotak, ember, ayam, atau pemandangan di papan tulis untuk ditirukan oleh murid pada papan batu tulisnya. Nilai karya murid ditentu-kan berdasarkan kepersisan gambar murid dengan gambar yang dibuat oleh guru. Lahirnya
konsepsi
baru
tentang anak sebagai hasil dan penelitian yang gencar dilakukan di akhir abad ke-19 (Macdonald 328) memberi dampak yang amat dalam terhadap pendidikan seni rupa. Konsepsi baru tersebut memandang anak sebagai pribadi yang unik yang berbeda dengan orang dewasa. Sebagai konsekuensinya, sebuah konsepsi baru tentang pendidikan seni rupa muncul. Pendidik seni rupa kemudian mulai mempertanyakan kevalidan metode pengajaran menggambar tradisional yang menekankan pada pengembangan koordinasi mata dan tangan (Logan 119). Kebutuhan untuk mengembangkan program pengajaran yang berpijak pada pengembangan alamiah anak yang dapat menawarkan pengalaman belajar yang menarik dan bermakna menjadi sasaran perhatian para pendidik
4 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 seni rupa. Publikasi jurnal pendidikan seni rupa yang mulai semarak pada masa itu merangsang terjadinya pertukaran gagasan dalam bidang pendidikan seni rupa yang dampaknya sangat nyata dalam sejarah pendidikan seni rupa. Dengan dimasukinya abad ke-20, sebuah wajah barn pendidikan seni rupa muncul. Pendidikan seni rupa yang sebelumnya terfokus pada mata pelajaran menggambar kemudian meluas dengan dimasukkannya mata pelajaran apresiasi seni dan berbagai kegiatan studio seni rupa (Eisner dan Ecker 16-17). Pemberian penghargaan terhadap seni rupa modern pada masa itu mengantarkan pada lahirnya pengakuan terhadap karya anak sebagai karya seni dalam arti yang sesungguhnya. Frank Cizek, seorang pendidik seni rupa dari
Austria adalah orang yang pertama yang memberikan pengakuan terhadap nilai intrinsik dari karya seni rupa anak (Efland, A History 195). Cizek yakin bahwa karya seni rupa anak adalah karya seni yang hanya mampu dihasilkan oleh anak (Macdonald 341) dan karena itu is menegaskan bahwa karya anak mestilah dibiarkan tumbuh secara alamiah bagaikan bunga, bebas dari pengaruh orang dewasa (Macdonald 342). Pandangan Cizek tentang kegiatan-sendiri anak berpengaruh luas di Amerika Serikat dan Eropah pada awal abad ke-20. Gagasan bahwa anak haruslah dilepaskan dari pengaruh orang dewasa dalam proses penciptaan karya seni rupa kemudian populer dengan sebutan pendekatan ekspresidiri (ada juga yang menyebutnya pendekatan "alamiah," pendekatan "ekspresi-bebas," atau pendekatan "child-
5 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 centered"). Pendekatan ekspresi-diri kemudian dipromosikan secara lebih intens oleh dua orang tokoh pendidik seni rupa internasional yakni Herbert Read dan Viktor Lowenfeld. Herbert Read dalam bukunya Education Through Art menyatakan:"...selfexpression cannot be taught....the role of the teacher is that of attendant, guide, inspirer, psychic midwife" (209). Viktor Lowenfeld dalam bukunya Creative and Mental Growth menekankan bahwa seni rupa bagi anak adalah terutama sebagai media akspresi-diri (7). Oleh karena itu, menurut Lowenfeld, pendidikan seni rupa haruslah menyiapkan pengalaman yang menarik dan menyenangkan yang dapat mendorong anak untuk lebih sadar mengenai lingkungannya (426). Eisner dan Ecker memandang peran Lowenfeld dalam sejarah pendidikan seni rupa
amatlah penting menuliskan:
dengan
Lowenfeld influenced art education not only through his writing but also because he provided a model for careful, scholarly inquiry in art education. Much of Lowenfeld's work as an art educator was scientific, and he was one of the few who published in psychological journals. Furthermore, in his position as chairman of one of the largest graduate programs in art education, he was in a position to influence future art educators who themselves would be responsible for the education of teachers of art (23). Pendekatan ekspresi-diri diperkenalkan di Indonesia untuk pertama kalinya oleh pendidikpejuang yang mendirikan sekolah swasta pada masa penjajahan untuk
6 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 mempromosikan kepentingan masyarakat pribumi. Dua buah sekolah swasta semacam ini yang memiliki program yang menonjol dalam pendidikan seni rupa yakni Taman Siswa dan INS (IndonesischeNetherlandsche School). Pada kedua sekolah ini pengajaran seni rupa diarahkan pada pengembangan ekspresidiri serta kesadaran budaya anak (Surjomiharjo 284-293). Sesudah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, khususnya pada tahun 1960-1970 an, pendekatan ekspresi-diri diperkenalkan kembali secara bergairah oleh generasi baru pendidik seni rupa yang memperoleh kesempatan untuk mempelajari pemikiran yang tertuang melalui buku dari pendidik seni rupa pendukung pendekatan ekspresi-diri yang memang relatif tersebar luas pada masa itu. b. Pendekatan Disiplin Pada
tahun
1960
an,
sebuah pendekatan baru yakni Discipline-Based Art Education Approach (DBAE), muncul. Munculnya'pendekatan ini tidak terlepas dari gerakan dalam bidang pendidikan yang berupaya untuk mencari keunggulan akademis yang sedang marak di Amerika Serikat waktu itu (Chapman 17). Disadari bahwa program pendidikan seni rupa di sekolah di Amerika Serikat pada masa itu terutama memusatkan perhatiannya pada kegiatan studio dan menelantarkan disiplin ilmu kesenirupaan, khususnya menyangkut pengetahuan seni rupa (termasuk sejarah seni rupa) dan knitik seni rupa. Pendukung dari pendekatan ini meyakini bahwa upaya pengembangan individual melalui seni rupa sama pentingnya dengan mempelajari ilmu seni rupa Chapman 17). Pendekatan ini yang oleh Efland disebut sebagai Scientific Rationalist Stream, memandang seni rupa sebagai sebuah rumpun ilmu atau disiplin
7 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 yang mesti dikuasai, dan pengajaran seni rupa mestilah terstruktur secara sistematis (A History 260). Greer dari Universitas Arizona Amerika Serikat, pendukung DBAE, menyatakan bahwa isi serta praktik pengajaran dari pendekatan disiplin ini haruslah mencakupi hal berikut ini: A rationale that places art in general education, content from four visual art disciplines (aesthetics, criticism, art history, production), a written curriculum that is sequential and cummulative, and a school-district context in wich art is a required and evaluated subjectdistrict wide (227). Lebih jauh, Dobbs menguraikan kemampuan yang diharapkan tumbuh pada din anak berdasarkan pendekatan disiplin sebagai berikut: Students' abilities are developed to make art (art production); analyze,
interpret, and evaluate of visual form (art criticism); know and understand art's role in society (art history); and understand the unique nature and qualities of art and how people make judgments about it and justify those judgments (aesthetics) (10). Jeffers membedakan pendekatan ekspresi-diri dari pendekatan disiplin dengan menggunakan metafora yang populer dalam dunia pendidikan yakni metafora pertumbuhan alamiah dan pembentukan. Metafora pertumbuhan alamiah memandang anak sebagai sekuntum bunga atau tanaman, guru sebagai pemelihara kebun, dan sekolah sebagai kebun (18). Guru sebagai pemelihara kebun haruslah menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga anak sebagai tanaman tumbuh secara alamiah. Metafora ini, menurut jeffers, sesuai dengan dasar pemikiran dan praktik pelaksanaan
8 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 pendidikan seni rupa dan pendekatan ekspresi-diri (18). Pada sisi lain, metafora pembentukan memandang anak sebagai tanah hat dan guru adalah pematung. Gurulah yang amat menentukan bentuk dari sang tanah hat. Anak sebagai tanah hat tidak berada pada posisi untuk memilih atau menolak bentuk akhir dan dirinya sendiri. Metafora ini dianggap mencerminkan darsar pemikiran dari pendekatan disiplin (19). Di Indonesia, istilah DBAE kurang begitu populer meskipun pada kenyataannya kurikulum pendidikan seni rupa di sekolah yang dirancang oleh Depdikbud (khususnya kurikulum 1975) sangat menekankan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan seni rupa serta dirancang dalam struktur yang amat sistematis. c. Pendekatan Multikultural Dengan
semaraknya
gerakan posmodernisme, sebuah wajah baru pendidikan seni rupa tampil yakni pendekatan multikultural (Multicultural Art Education Approach). Kaum posmodernis yang mendukung keragaman sosial dan budaya serta kontekstualisme keberatan pada Pendekatan Disiplin yang pada kenyataannya terutama terfokus pada tradisi seni rupa modern Barat (Hamblen 47-49). Bagi mereka, "...there is no single meaning or truth, but one that is constructed by all who seek to understand art" (Neperud 7). Tidak mengherankan bila persoalan pluralisme sosial dan keragaman budaya menjadi fokus utama wacana pendidikan seni rupa mulikultural. Sesungguhnya, benih dan pendekatan pendidikan seni rupa multikultural telah muncul sebelumnya seperti yang terlihat pada kebiasaan guru untuk memasukkan seni rupa
9 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 atau kerajinan rakyat dalam program kegiatannya (Hamblen 45). Meskipun demikian, program mereka masih dalam konteks modernisme yang meletakkan kerajinan rakyat dalam posisi pinggiran. Meskipun pendekatan pendidikan seni rupa multikultural menolak dominasi seni rupa Barat di dalam kurikulum sekolah, pendekatan ini tidaklah bermaksud untuk menyingkirkan seni rupa Barat sama sekali. Menurut pendukung pendekatan ini, pendekatan pendidikan seni rupa multikultural bertujuan untuk meluaskan cakupan pendidikan seni rupa, bukan mempersempitnya. Dengan cakupan yang luas itu, maka berbagai tradisi artistik serta estetis terakomodasi (Delacruz 58). Karena itulah, pendekatan pendidikan seni rupa multikultural menggunakan berbagai
bentuk teori dan praktik. Yang penting teori dan praktik itu sesuai dengan konteks sosial dan budaya (Efland, Change 38). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan pendidikan seni rupa multikultural menggunakan pendekatan eklektik dalam mengembangkan kurikulum. Pendekatan Ekspresi-diri, Disiplin, dan Multikultural yang telah diuraikan di atas merupakan tiga pendekatan utama yang mempengaruhi secara berarti pemikiran dan praktik pendidikan seni rupa dewasa ini.
Model Pengembangan Kurikulum Perbedaan antara Pendekatan Ekspresidiri, Disiplin, dan Multikultural dalam pendidikan seni rupa secara jelas tercermin
10 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 pada model pengembangan kurikulum yang digunakan oleh pendukung ketiga pendekatan tersebut. lni tentu saja masuk akal karena mereka merespon secara berbeda terhadap pertanyaan yang lazim diajukan dalam pengembangan kurikulum yakni "apa yang harus diajarkan, kepada siapa, bagaimana cara pengajaran dan bagaimana cara penilaian keefektifan dan pengajaran tersebut." a. Pendekatan Ekspresidiri Model pengembangan Pendekatan Ekspresi-diri populer dengan nama model emerging curriculum. Ide bahwa anak mestilah dibebaskan dan pengaruh orang dewasa menjadi dasar model emerging curriculum. Tentang model ini, Eisner menulis: ...an emerging curriculum, a curiculum that is not pre
planned but which develops from the needs and interests of the students. The end of education, and hence the function of the curriculum, is to help the child realize the capacities that lie latent within him. By attending to his interests, aptitudes and needs, these capacities are best realized. In this view no single curriculum can be prescribed which is ideal for all children. Since children differ, the curricula appropriate for their self-realization should also differ (Concepts 225).
Ciri yang mendasar dan model emerging curriculum atau model activity curriculum sebagaimana Wickiser menyebutnya (146) adalah bahwa kebutuhan dan minat anaklah yang mengarahkan kurikulum. Karena kebutuhan dan minat tersebut tidak bisa diketahui sebelumnya, maka kurikulum tidak bisa dirancang sejak awal.
11 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 Tugas guru adalah menemukan kebutuhan dan minat anak untuk kemudian bekerjasama dengan anak dalam merancang kegiatan belajar. Tenth saja, kurikulum semacam ini menuntut guru yang terlatih baik serta fasilitas pendukung yang fleksibel (145147).
be easily systematized or measured on a test" (21). Karena sifanya yang tidak ingin mengintervensi kebutuhan dan minat anak, model emerging curriculum tampaknya tidak "laku" di sekolah formal (Wickiser 149).
b. Pendekatan Disiplin Leeds, seorang pendukung Pendekatan Ekspresi-diri mengkritisi upaya menyusun "kurikulum yang sistematis" dengan mengatakan bahwa kurikulum semacam itu akan kehilangan vitalias alamiahnya (17). Leeds menegaskan bahwa tujuan pengajaran seni rupa adalah untuk membantu anak, melalui kegiatannya, untuk mencapai tujuan pribadinya (21). Ia mengingatkan bahwa ini merupakan tugas yang menantang. Katanya: "This kind of teaching is a living process that cannot
Tuntutan untuk mengembangkan kurikulum yang dapat terimplementasikan di sekolah, yang pada saat yang sama dapat menjawab kebutuhan akan kualitas akademik serta keakuntabilitasan, mendorong pendidik seni rupa dari kubu Pendekatan Disiplin untuk menemukan model kurikulum baru. Untuk keperluan inilah sebuah seminar yang bersejarah dilaksanakan di Pennsylvania State University.
12 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 Barkan, yang menyajikan makalah Curriculum Problems in Art Education pada seminar tersebut, mengangkat persoalanpersoalan mendasar dalam pendidikan seni rupa seperti hakikat disiplin ilmu seni rupa, perumusan tujuan instruksional yang kontroversial, struktur isi dan kegiatan pengajaran, pengembangan bahan pengajaran dan alat penilaian (240-255). Dalam merespon persoalan-persoalan tersebut di atas, Barkan mengatakan bahwa disiplin seni rupa berbeda dari disiplin IPA dan meskipun tidak ada struktur formal dalam seni rupa sebagaimana dalam ilmu pengetahuan alam, sesungguhnya ada disiplin tertentu yang digunakan oleh seniman, kritikus atau pihak lain yang terlibat dalam dunia seni rupa dalam mereka bekerja.
Karena itulah, memungkinkan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan seni rupa yang berstruktur dan berbasis disiplin (244). Lebih jauh is menyarankan: (1) tujuan dari kurikulum seni rupa diarahkan pada pendekatan disiplin dan problem (246); (2) Tujuan instruksional khusus yang sesuai untuk materi pelajaran seni rupa perlu dicari (247); (3) Informasi tentang rangkaian untuk pengajaran seni rupa dapat digali dari pengetahuan dan pengalaman guru (sumber informal) dan dari teori psikologi dan kondisi sosio-kultural (sumber formal) (248); (4) Bahan pengajaran seyogyanya disesuaikan dengan tingkat kematangan dan kondisi sosio-kultural (251); dan (5) Alat penilaian untuk kurikulum seni rupa dapat dikembangkan
13 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 sebagaimana cara yang dilakukan oleh Eisner, Beittel, dan lain-lain (254). Tampaknya, Saran model kurikulum yang diajukan oleh Barkan sesuai dengan kurikulum Pendekatan Sistem sebagaimana yang diterapkan di Indonesia sejak kurikulum 1975. Persoalan kurikulum yang diangkat oleh Barkan dalam seminar di Pennsylvania tersebut segera menjadi fokus bahasan di kalangan pendidik seni rupa. Hasilnya berbagai gagasan baru muncul. Smith menyatakan bahwa teori instruksional untuk pendidikan umum juga dapat diaplikasikan dalam pendidikan seni rupa; dan pendekatan sistem dalam pendidikan seni rupa tidak membatasi kebebasan murid dan guru (162); Davis mengemukakan bahwa prilaku dalam berkarya seni rupa pada tujuan instruksional jangan
dengan seenaknya dicantumkan tetapi dipilih berdasarkan pemikiran yang mendalam berdasarkan apa yang dilakukan oleh perupa dalam kehidupan nyata (177-182). Ecker menyarankan agar kegiatan berkarya seni rupa yang dimasukkan dalam kurikulum haruslah dipandang sebagai sesuatu yang "terbuka dengan segala kemungkinannya" oleh karena itu dapat berubah setiap saat bila diperlukan (172). Eisner mengusulkan suatu bentuk tujuan instruksional untuk kegiatan studio yang disebutnya sebagai expressive objective. Bentuk tujuan semacam ini tidak bersifat preskriptif tetapi evokatif karena memberi peluang bagi timbulnya respon tak terduga dari anak (Do 190). Lebih jauh Eisner
14 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 mengembangkan sebuah model pengembangan kurikulum yang berpijak pada pendekatan sistem yang terdiri dari langkahlangkah yang sistematis yang bermula dari identifikasi domain, konsep, dan prinsip ke penyusunan rasional, tujuan instruksional, kegiatan belajar dan pengembangan bahan, ke akhirnya pengembangan alat penilaian (Curriculum 331-336). Pengaruh penting lain dan seminar tersebut di atas adalah dibentuknya berbagai badan penelitian dan pengembangan kurikulum pendidikan seni rupa. Clark mengidentifikasi beberapa proyek pengembangan kurikulum yang dipengaruhi oleh seminar tersebut antara lain Proyek Images and Things untuk program televisi pada tahun 1972; Proyek Art: Meaning, Methods, and Media yang dipublikasikan
hasilnya pada tahun 1973; Proyek Stanford-Kettering yang disponsori oleh Eisner berupa kurikulum untuk sekolah dasar; Proyek SWRL (Southwest Regional Laboratory); dan Proyek Aesthetic Eye (226230). Dibalik jumlahnya yang banyak, proyek pengembangan kurikulum pendidikan seni rupa tersebut di atas dianggap kurang begitu sukses dalam hal implementasinya. Hal ini disebabkan karena guruguru yang menggunakan kurikulum tersebut kurang begitu puas dalam penggunaanya di kelas. Dengan kata lain, kurikulum yang dihasilkan tersebut gagal dalam memenuhi syarat kurikulum yang bagus dalam hal isi, bentuk, dan kepraktisan. Kegagalan proyek pengembangan kurikulum dan Pendekatan Disiplin
15 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 disadari oleh MacGregor, seorang tokoh Pendekatan DBAE, ketika menyajikan makalahnya pada seminar tentang persoalan DBAE yang disponsori oleh the Getty Center for Education in the Arts pada tahun 1987. MacGregor menulis: Discipline-Based Art Education must, if it is to be successfully implemented, be translated as a curriculum that is to some extent participatory and openended. Only by doing so it will accomodate the objective of curriculum developer and classroom teacher alike, and bring about the benefits that its author desire (126). Dalam upaya merespon harapan untuk dilahirkannya kurikulum DBAE yang dapat diimplementasikan dengan baik, The Getty Center for Education in the Arts melaksanakan kegiatan
pengembangan kurikulum dan penataran guru dan administrator sekolah secara serentak (Dobbs 84). Disadari bahwa upaya pengembangan kurikulum mestilah diikuti dengan kegiatan mempersiapkan pihak yang akan menggunakannya (Dobbs 57). Kurikulum DBAE akhirakhir ini juga mulai mengakomodasi saran dari kubu Pendekatan Multikultural yang menginginkan agar muatan kurikulum Pendekatan Disiplin jangan hanya didominasi oleh tradisi seni rupa Barat (Hamblen 50, Chalmers 1624, Delacruz dan Dunn 4652). c. Pendekatan Multikultural Kebutuhan akan kurikulum pendidikan seni rupa berdasarkan pendekatan Multikultural untuk
16 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 digunakan di sekolah, mendorong pendidik seni rupa dan kubu Pendekatan Pendidikan Multikultural untuk menyiapkan pedoman pengembangan kurikulum. Wasson, Stuhr, dan Petrovich-Mwaniki, misalnya, menawarkan enam pernyataan yang dapat digunakan sebagai dasar dalam merancang, mengimplementasikan dan menilai kurikulum Pendekatan Multikultural sebagai berikut: 1.
2.
We advocate a socioanthropological basis for studying the aesthetic production and experience of cultures, which means focusing on knowledge of the makers of art, as well as the sociocultural context in which art is produced. We acknowledge teaching as cultural and social intervention and therefore, in any teaching endeavor, it is imperative that
teachers not only confront, but also consistently be aware of their own cultural and social biases. 3.
We support a student/ communitycentered educational process in which the teacher must access and utilize the students' sociocultural values and beliefs and those of the cultures of the community, when planning art curricula.
4.
we support anthropologically based methods for identifying these sociocultural groups and their accompanying values and practices which influence aesthetic production.
5.
We advocate the identification and discriminating use of culturally responsive pedagogy that more dramatically represents the sociocultural and ethnic diversity existing in the
17 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 classroom, community nation. 6.
in and
the the
We want to f ocus on the dynamic complexity of the factors that affect all human interaction: physical and mental ability class, gender, age, politic, religion, and ethnicity. We seek a more democratic approach whereby the disenfranchised are also given a voice in the art education process, and the disenfranchised, as well as franchised, are sensitized to the taken-for-granted assumptions implicit in the dominant ideology (234-235).
Lebih jauh, Stuhr, Petrovich-Mwaniki dan Wasson mengidentifikasi lima langkah utama dalam mengembangkan kurikulum pendidikan seni rupa multikultural sebagai berikut: Langkah pertama adalah guru menganalisa dan memperbaiki sikap
negatif yang mereka mungkin miliki terhadap pluralisme sosial dan keragaman etnis. Dengan cara ini, mereka akan menciptakan suasana belajar seni rupa multikultural yang kondusif (19). Langkah kedua adalah guru dan siswa melakukan analisa situasi agar akrab dengan masyarakat (19-20); Langkah ketiga, guru dan murid memilih bahan kurikulum yang relevan dan sekaligus menarik (2122); Langkah keempat adalah guru dan murid secara berkolaborasi menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan bahan kurikulum yang telah dipilih; Pada langkah yang keempat ini, Stuhr, Petrovich-Mwaniki dan Wasson menyarankan tindakan yang perlu ditempuh yakni mengidentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan agama, suku, tingkat kehidupan ekonomi, jenis kelamin,
18 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 usia, dan kemampuan mental serta fisik. Sesudah itu, mengumpul data yang relevan, mengklarifikasikannya, menantang nilai yang dianut siswa, membuat keputusan reflektif lalu mengambil langkah nyata sesuai keputusan (22). Terakhir, langkah kelima adalah guru melaksanakan program evaluasi baik formatif maupun sumatif (24). Model kurikulum Pendekatan Multikultural tersebut di atas hanyalah sebuah contoh. Pada dasarnya tak satupun model yang dapat menyatakan dirinya sebagai "wakil yang sah dan satu-satunya" dan Pendekatan Multikultural. Meski demikian, ada satu ciri yang mendasar dan kurikulum Pendekatan Multikultural yakni menilai penting pluralisme sosial, keragaman budaya/etnis dan kontekstualisme.
Penutup Ketiga model pengembangan kurikulum yang dibahas di atas, pada kenyatannya, amat jarang diimplementasikan dalam bentuknya yang murni. Dalam banyak hal, di antara model pengembangan kurikulum Pendekatan Ekspresi-diri, Disiplin, dan Multikultural, guru memilih elemen tertentu dengan mempertimbangkan situasi belajar, keadaan anak, dan hakikat subyek yang akan diajarkan. Oleh karena itu, persoalan kurikulum yang senantiasa dihadapi oleh pendidik seni rupa di sekolah adalah "bagaimana membuat keputusan yang cerdas untuk mengintegrasikan kebutuhan pribadi anak dengan pengetahuan dan ketrampilan seni rupa serta nilai multikultural ke dalam programnya."
19 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 Daftar Pustaka
Barkan, Manuel. “Curriculum Problems in Art Education.” A Seminar in Art Education for Research and Curriculum Development. Editor Edward L. Mattil dan Kenneth R. Beittel. University Park, PA: The Pennsylvania State University, 1996. 240-255. Chalmers F. Graeme. “The DBAE as Multicultural Education.” Art Education. 45 (3) (1992): 16-24. Chapman, Laura H. Approach to Art in Education. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1978. Clark, Gilbert A. "Beyond the Penn State Seminar: A Critique of Curricula " Studies in Art Education. 25 (4) (1984):226-231. Davis, Donald Jack. "Human Behavior: Its Implications for Curriculum Development in Art." Curricular Considerations for Visual Arts Education: Rationale, Development and evaluation. Editor George W. Hardiman dan Theodore Zernich. Champaign, IL: Stipes, 1974. 174-184. Delacruz, Elizabeth Manley, "Multiculturalism and Art Education: Myths, Misconceptions, Misdirections." Art Education (1995) 57-61. Delacruz, Elizabeth Manley dan Phillip C. Dunn. "DBAE: The Next Generation." Art Education. 48 (6) (1995): 4652. Dobbs, Steven Marks. The DBAE Handbook: An Overview of Discipline-Based Art Education : Santa Monica, CA: The Getty Center, 1992. 20 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 Ecker, David W. "The Structure of Affect in the Art Curriculum " Curricular Considerations for Visual Arts Education: Rationale, Development and Evaluation. Editor George W. Hardiman dan Theodore Zernich. Champaign, IL: Stipes, 1974. 165-173. Efland, Arthur D. A History of Art Education: Intellectual and Social Currents in Teaching the Visual Arts. New York: Teachers College, 1990. ---. Change in the Conception of Art Teaching." Context, Content, and Community in Art Education: Beyond Postmodernism. Editor Ronald W Neperud. New York: Teachers College, 1995. 25-40. Eisner, Elliot w. "Do Behavioral Objectives and Accountbility Have a Place in Art Education." Curricular Considerations for Visual Arts Education: Rationale, Development and evaluation. Editor George W. Hardiman dan Theodore Zernich. Champaign, IL: Stipes, 1974. 185-194. ---. "Concepts, Issues, and problems in the Field of Curriculum." A Seminar in Art Education for Research and Curriculum Development. Editor Edward L. Mattil dan Kenneth R. Beittel. University Park: PA: The Pennsylvania State University, 1966. 222-235. ---. "Curriculum Making for the Wee Folk: Stanford University's Kettering Project." Curricular Considerations for Visual Arts Education: Rationale, Development and evaluation. Editor George W. Hardiman dan Theodore Zernich. Champaign, IL: Stipes, 1974. 327-338. Eisner, Elliot W dan David W. Ecker. "Some Historical Developments in Art Education. " Concepts in Art Education: An Antology of Current Issues. Editor 21 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 George Pappas. London: Macmillan, 1970. 12-25. Greer, W. Dwarne. "A Structure of Discipline Concepts for DBAE." Studies in Art Education. 28 (40 (1987): 227233.
Hamblen, Karen A. "Art Education Changes and Continuities: Value Orientations of Modernity and Postmodernity." Context, Content, and Community in Art Education: Beyond Postmodernism. Editor Ronald W Neperud. New York: Teachers College, 1995. 41-51. Hubbard, Guy. Art in the High School. Belmot, CA: 1969. Jeffers, Carol S. "Child-Centered and Discipline-Based Art Education Education: Metaphor and Meanings (abridged)." Art Education. 43 (2) (1'990): 16-21. Leeds, Jo Alice. "Teaching and the Reasons for Making Art." Art Education. 39 (4) (1986): 17-21. Logan, Frederick M. Growth of Art in American Schools. New York: Harper & Brothers, 1955. Lowenfeld, Viktor, dan Lambert W. Brittain. Creative and Mental Growth. New York: Macmillan, 1982. Macdonald, stuart. The History and Philosophy of Art Education. New York: American Elsevier: 1970. MacGregor, Ronald W. "Curriculum Reform: Some Past Practices and Current Implications." Issues in Discipline-Based Art Education: Strengthening Stance, Extending the Horizons. Editor William Keens, Bruce Peyton, dan Adam Bellow. Cincinnati: The J. 22 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendekatan Ekspresi-Diri, Disiplin, dan Multikultural 2001 Paul Getty Trust, 1988. Michael, John A. "Art Education: Nurture or Nature; Where is the Pendulum Now?" Art Education. 44 (4) (1991): 16-23. Nepperud, ronald W. "Transitions in Art Education: A Search for Meaning." Context, Content, and Community in Art Education: Beyond Postmodernism. Editor Ronald W Neperud. New York: Teachers College, 1995. Read, Herbert, Education Through Art. New York; Pantheon Books, 1974. Soedarso SP, dkk. Buku Petunjuk Metoda mengajar Seni Rupa di Sekolah Dasar. Yogyakarta: PKMM, 1972. Surjomihardjo, Abdurrahman. "National Education in A Colonial Society." Dynamic of Indonesian History. Editor Haryati Subadio dan Carina A du. Marchie Sarvaas. Amsterdam: North-Holland, 1978. 277-306. Stuhr, Patricia L, Lois Petrovich-Mwaniki dan Robin Wasson. "Curriculum Guidelines for the Multicultural Art Classroom." art Education. 45 (1) (1992): 16-24. Wasson, Robin F, Patricia L. Stuhr, dan Lois PetrovichMwaniki. "Teaching Art in Multicultural Classroom: Six Position Statements." Studies in Art Education. 31 (4) (1990): 234-246. Wickiser, Ralph L. An Introduction to Art Education. New York: World Book, 1975.
23 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001