RUH SENI TRADISI DALAM PENDIDIKAN SENI RUPA KITA Purwanto ∗. Abstrak Terjadinya krisis multidimensional dalam kehidupan masyarakat kita saat ini dapat diasumsikan akibat ketidakdigdayaan pendidikan dalam membangun watak dan kepribadian bangsa. Pendidikan seni sebagai salah satu komponen pendidikan yang memberi konstribusi besar bagi kepentingan tersebut sudah sepatutnya harus ikut bertanggungjawab. Sebagai penyebab ketidakdigdayaan pendidikan tersebut di antaranya adalah orientasi pendidikan seni yang cenderung berkiblat ke Barat yang notabene lebih bersifat liberal, atau dengan kata lain tidak bertitik tolak pada potensi nilai kultural bangsa sendiri. Ruh seni tradisi sebagai manifestasi jati diri bangsa menarik dikedepankan sebagai komponen dalam pelaksanaan pendidikan seni. Keunggulan nilai yang dimilikinya antara lain: (1)seni tradisi adalah manifestasi jati diri bangsa, (2) seni tradisi telah teruji oleh waktu dalam proses hidup yang sangat panjang, dan telah menjadi bagian dari jaringan sistem kehidupan masyarakat, (3) dalam seni tradisi tidak ada karya seni rupa yang dibuat semata untuk keindahan, atau semata untuk benda pakai; sehingga tidak dikenal pemisahan antara seni murni dan seni pakai, karya seni tradisi dituntut harus bermakna sekaligus berfungsi, (4)bentuk yang digunakan cenderung distilisasi dan menjadi dekoratif, dan warna bermuatan simbolik, (5) ekspresi bentuk seni tradisional merefleksikan kecanggihan teknik yang memukau,(6) proses penggarapan seni tradisional dapat sebagai mediasi bagi pengembangan fungsi jiwa, (7) karya seni tradisional menawarkan nilai kehidupan yang demokratik, dan (8) seni tradisi kita memiliki ‘kearifan’ sebagai media komunikasi. Dengan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam pelaksanan pendidikan seni, mengenali berbagai kendala dalam pelaksanaan pendidikan seni rupa selama ini serta mau meniti langkah berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan perbaikan dimungkinkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi krisis tersebut. Kata Kunci : Ruh seni, seni tradisi, posisi seni tradisi, pendidikan.
Pendahuluan Gegarane guna lawan sekti Kudu andhap asor Wani ngalah dhuwur wekasane Tumungkula lamun den dukani Ana bapang nyimpang Ana catur mungkur Kutipan tembang di atas adalah salah satu dari pada tembang Mijil, yang sangat populer dalam kehidupan budaya kita (Jawa) di masa lalu. Melalui sarana tembang, karawitan, tari, batik, wayang, dan cabang seni tradisi yang lain anak-anak kita dididik agar menjadi manusia ‘Jawa’ yang tahu aturan, bertatakrama dan berperilaku baik sebagaimana yang diidealkan dalam kehidupan masyarakat. Ketika ruh atau nilai-nilai seni tradisi tersebut tak lagi digunakan sebagai acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat atau paling tidak memiliki jarak yang relatif renggang dalam aplikasi kehidupan masyarakat kita saat ini, sungguh patut kita renungkan jika kemudian, terjadi krisis multidimensional dalam kehidupan masyarakat
∗
Penulis adalah seorang dosen Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
yang berkepanjangan. Bagaimanakah relasi antara ruh seni tradisi – pendidikan - perilaku masyarakat – dan krisis multidimensi saat ini, menjadi wacana yang menarik untuk dikedepankan dalam tulisan ini. Pada dasarnya pendidikan adalah basis yang harus dibangun dengan kokoh sebagai salah satu pilar utama penyangga kecerdasan bangsa. Pendidikan dalam arti yang sangat luas adalah nafas yang mendenyutkan kecerdasan manusia. Dengan begitu pada setiap detik perubahan waktu harus dipikirkan tingkat “kedigdayaannya” dalam rangka pengoptimalan potensi kehidupan manusia agar mampu menjawab tuntutan kebutuhan hidup sesuai dengan
orientasi kehidupan zaman. Sungguh tanpa
“kedigdayaan”, pendidikan (dalam arti yang luas itu) manusia akan kehilangan nilai-nilai kecerdasannya di dalam kerangka membangun kebudayaan dan peradaban (Mamannor, 2005 ). Pada tingkat empirik, orientasi tujuan pendidikan formal (sekolah) ternyata tidak cukup mampu menjawab kebutuhan pragmatis, demikian juga yang terjadi pada pendidikan seni rupa kita. Pada kenyataannya tingkat apresiasi masyarakat kita terhadap karya seni rupa masih relatif rendah. Perhatikan di setiap penyelenggaraan kegiatan pameran seni rupa, berapa banyak orang yang benar-benar tertarik untuk menyaksikan pameran. Jika kegiatan pameran tersebut banyak didatangi para siswa, itu pun karena dikondisikan oleh para gurunya dengan kegiatan berapresiasi yang tidak jelas, paling kegiatannya mencatat karya yang dianggap menarik, menghitung jumlah karya dan yang lebih penting adalah meminta tandatangan senimannya; setelah itu pulang. Kegiatan-kegiatan pameran di galeri atau rumah seni sekalipun, paling hanya ramai pada saat pembukaan, setelah itu kita bisa menyaksikan berapa banyak yang masih mau datang melihat pada harihari kemudian, sungguh ruang pamer menjadi ruang “pentasbihan” karena karya seni rupa benar-benar karya yang ‘tak terjangkau’ oleh khalayak. Pameran menjadi ruang ‘masturbasi seniman’ ( karya seni dibuat, dipamerkan, dan dinikmati oleh seniman itu sendiri). Kehidupan seni rupa (dalam hal ini seni rupa kontemporer) menjadi sangat berjarak dengan masyarakat. Karya seni rupa menjadi benda asing yang tidak cukup akrab dengan publiknya, dan profesi kesenimanan masih saja dianggap sebagai profesi langka dan aneh dalam masyarakat. Kesimpulannya pendidikan seni rupa kita selama ini masih relatif tak memiliki kedigdayaan membangun kondisi masyarakat yang ‘melek seni’. Lebih jauh dari itu ketika kita menyaksikan kehidupan masyarakat kita yang cenderung mengalami krisis multidimensional yang berkepanjangan: menjadi beringas, disintegrasi, tak bertata krama, dan perilaku yang telah tercerabut dari akar tradisinya, serta
bebal terhadap simbol estetis, kita patut
berprasangka, barangkali ada yang salah dalam pelaksanaan pendidikan kita, khususnya pendidikan kesenian; sebab melalui pendidikan kesenian itulah kita berharap banyak dapat memberikan konstribusi bagi pembentukan sikap dan kepribadian masyarakat. Di sisi lain kita patut mempertanyakan eksistensi para guru seni rupa, dan penulis berasumsi bahwa faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab keterpurukan itu. Setiap tahun berapa banyak sarjana seni rupa dan sarjana pendidikan seni rupa yang telah dihasilkan dari perguruan tinggi seni di negeri kita ini. Namun kemanakah mereka setelah lulus, dan apakah yang mereka kerjakan setelah lulus itu, pertanyaan ini sungguh penting untuk kita renungkan. Sungguh, jika dicermati tak cukup gaung jejak pengabdiannya
bagi kepentingan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Para guru seni rupa kita cenderung membatasi diri pada pengabdian yang bersifat formal saja, dan pada hubungan tanggungjawab yang linier di sekolah saja, sementara terhadap persoalan kehidupan seni rupa di masyarakat tidak cukup kooperatif, dan cenderung selalu ketinggalan informasi terhadap perkembangan seni di masyarakat. Kita sangat miskin tenaga ahli penjelas seni yang mampu menjembatani dan menjelaskan fenomena seni pada masyarakat melalui masmedia apa saja; yang sesungguhnya para sarjana pendidikan seni rupalah yang seharusnya banyak berperan pada kepentingan ini. Namun pada kenyataannya tidak, banyak di antara kita yang justru cenderung memposisikan diri ‘eksklusif’ dalam tata kehidupan sosial. Dunia pendidikan asyik dengan rumusan-rumusan konseptualnya dengan kungkungan sistem pengetahuan dan keilmuan dari luar, serta jika terdapat cakupan orientasi yang secara ideologis benar dan menarik untuk dikembangkan, namun sulit untuk diimplementasikan (perhatikan KBK sekarang), akibatnya model dan materi pembelajaran cenderung dikembangkan sebagaimana yang telah mentradisi ada (sesuai kemampuan guru) dengan pengembangan pembelajaran yang ‘kering’. Pada kondisi demikian menarik jika dilirik kembali potensi seni tradisional, dan bagaimana posisinya dalam pendidikan seni rupa kita. Dengan mengangkat nilai tradisi yang telah kita lupakan, untuk kita wacanakan kembali dalam pelaksanaan pendidikan seni rupa di sekolah, dapat menjadi salah satu solusi mengatasi persoalan-persoalan di atas. Melalui pendidikan kesenian tersebut kita dapat memberi konstribusi nilai bagi upaya pembentukan kepribadian bangsa yang lebih terarah. Seni Tradisi dalam Konteks Kebudayaan Sebagai salah satu unsur kebudayaan, kesenian pada dasarnya tidak terlepas dari permasalahan keseluruhan budaya yang melingkupinya. Cara berpikir, suasana, cita rasa, pandangan terhadap alam semesta, politik mengelola hidup, seluruhnya melekat pada gugusan nilai-nilai, makna, moral keyakinan, dan kepercayaan serta pengetahuan. Oleh karena itu pula pada kesenian melekat ciri-ciri khas suatu kebudayaan, yaitu kesenian sebagai milik bersama yang memiliki seperangkat nilai, gagasan, dan dasar pijak bagi perilaku. Kesenian dipelajari dan dialihwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi . Nilai-nilai tersebut akan mentradisi, merajut dalam jaring-jaring sistem yang ikut menentukan pandangan hidup sekaligus digunakan sebagai acuan dalam kehidupan kolektif masyarakat. Lebih jauh Geertz (1963) menganggap bahwa sebagai subsistem, kesenian tidak lebih dari perwujudan dan pernyataan budaya yang mencerminkan nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi pola tingkah laku masyarakatnya. Pada posisi fungsi yang demikian inilah kesenian tersebut telah menjadi bagian dari tradisi masyarakatnya. Nilai-nilai estetik dan etiknya telah menjadi ruh bagi kehidupan masyarakatnya. Pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat majemuk. Kemajemukan itu bukan hanya melintang secara horizontal, tetapi juga berlapis secara vertikal. Tercatat tidak kurang dari 300 (bahkan ada yang mencatat lebih dari 500) jenis bahasa yang digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia ini. Jika ragam kebahasaan ini dijadikan indikator untuk mengidentifikasi kesukubangsaan dan
kebudayaan dengan segala keunikan ekspresi keseniannya, maka paling tidak sebanyak itu pulalah jumlah kesenian tradisional yang ada di Indonesia (Rohidi 2000) Informasi tersebut secara kualitatif telah menunjukkan keanekaragaman kesenian termasuk di dalamnya adalah ekspresi seni rupa tradisionalnya. Pada kondisi yang multikultural inilah justru yang menjadi jatidiri kita sebagai bangsa, dan dengan keanekaragaman itulah harmoni kehidupan kita dapat dibangun, serta keseimbangan kehidupan kita dapat terjaga. Sebab jaringan kehidupan ada pada hubungan ketergantungan di antara keanekaragaman budaya dan lingkungan. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa hancurnya keragaman berarti hancurnya kehidupan manusia. Mempertahankan keanekaragaman akan berarti menjaga sistem kehidupan secara menyeluruh. Selanjutnya Rohidi (2000) menegaskan bahwa kebudayaan dapat diibaratkan sebagai keping mata uang logam yang satu sisinya berfungsi sebagai pedoman hidup dan di sisi lainnya berfungsi sebagai strategi adaptif yang senantiasa menyesuaikan dirinya dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan kebudayaan itu senantiasa akan terjadi seiring dengan perubahan pada aras pikiran masyarakatnya, dan pendidikan memberi konstribusi besar bagi terjadinya perubahan tersebut. Kesenian tradisi pada dasarnya telah memberi konstruksi nilai bagi terjaganya harmoni dalam kehidupan masyarakat. Maka eksistensi seni tradisi menjadi tak berdaya ketika orientasi pada kehidupan pendidikan tak lagi mengakomodasi pewarisan nilai-nilai tradisi itu. Mengingat kenyataan bahwa kesenian merupakan kebutuhan manusia yang mendasar dan universal, tidaklah berlebihan jika setiap masyarakat berupaya mengembangkan cara-cara pembinaan dan pengembangannya. Pendidikan kesenian menjadi sangat penting ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesatnya sehingga kesenian akan berfungsi sebagai penyeimbang kompleksitas kehidupan tersebut. Pada kondisi demikian eksistensi seni tradisi sangat diperlukan pada fungsinya sebagai pengendali atau kontrol bagi terjadinya perubahan nilai kehidupan. Keunggulan Seni Tradisi Ketika kesenian telah menjadi bagian dari sistem kehidupan budaya masyarakat, maka pada dasarnya nilai–nilai yang ada pada kesenian akan menjadi ‘ruh’ kehidupan masyarakat tersebut. Seperti apakah ruh kesenian (seni rupa) tradisi kita? Berdasarkan kajian dan amatan empirik pada dasarnya seni tradisi memiliki keunggulan nilai yang tidak sedikit jumlahnya. Pertama, seni tradisi menjadi manifestasi jati diri bangsa. Kesadaran dan kebanggaan terhadap potensi seni tradisional tersebut akan menumbuhkan keyakinan diri sebagai bangsa yang berbudaya, sehingga terhindar dari rasa rendah diri dan perasaan termarginalkan dalam kehidupan global. Kedua, seni tradisi telah teruji oleh waktu dalam proses hidup yang sangat panjang dan telah menjadi bagian dari jaringan sistem kehidupan masyarakat. Seni tradisi menawarkan harmoni kehidupan yang selaras dengan orientasi hidup masyarakatnya; dan yang mengkristal ke dalam filsafat, pandangan hidup, norma, serta tata krama pada pranata kehidupan masyarakat.
Ketiga, seni tradisi dalam seni rupa tidak dibuat semata untuk keindahan, atau semata untuk benda pakai sehingga tidak dikenal pemisahan antara seni murni dan seni pakai. Karya seni tradisi dituntut harus bermakna dan sekaligus berfungsi. Karya seni tradisi tidak semata soal bentuk, atau sebaliknya tidak semata soal konsep. Dalam hubungan ini bentuk yang digunakan cenderung tidak realistis dan juga tidak abstrak, melainkan bentuk gubahan yang “stilistik” dan dekoratif. Warna tidak semata merupakan perpaduan antara harmoni hasil pemikiran teoretis yang memuaskan kesadaran penglihatan, melainkan atas pertimbangan rasa sekaligus simbolik(Sunaryo, 2005). Keindahan dalam karya seni rupa tradisional tidak semata untuk memuaskan mata, melainkan menyatu dengan kaidah moral, adat, atau agama. Oleh karena itu tidak dikenal l’art pour l’art. Keempat, ekspresi bentuk seni tradisional tersebut dalam bingkai coraknya yang “stilistik” dan dekoratif, senantiasa merefleksikan kecanggihan teknik yang memukau; umumnya bersifat rumit, ngrawit, dan involutif, nuansa estetisnya sungguh berbeda dengan seni tradisi Barat. Kelima, pada proses kreatif pengerjaan seni tradisional dapat digunakan sebagai mediasi bagi pengembangan fungsi jiwa, khususnya yang bersentuhan dengan pengembangan ranah afeksi, yakni ketelitian, ketekunan, kepekaan, keteraturan, dan kedisiplinan. Nilai-nilai tersebut sungguh diperlukan dalam kehidupan nyata untuk mengkondisikan kehidupan masyarakat yang relatif tertib, di samping nilai yang bersinggungan dengan pengembangan potensi motorik. Seorang perupa tradisional senantiasa dituntut harus memiliki kecanggihan teknik dalam proses berkaryanya jika ia ingin dianggap mampu berkarya yang bermutu. Apakah karya seni tradisi tidak ekspresif, dan tidak kreatif? Jika konsep ekspresif dan kreatif tersebut dipahami dengan menggunakan “jebakan” konsep seni modern, yang cenderung menekankan pada fungsi individual dan linier, jawabannya barangkali tidak; namun jika kedua istilah tersebut dipahami sebagai sebuah fenomena kebudayaan, jawabannya akan tegas pula bahwa seni tradisi pun memiliki kadar ekspresivitas dan kreativitas dalam proses berkaryanya. Pada dasarnya tidak ada karya seni yang lahir dengan tidak mengekspresikan suatu spirit tertentu, dan tidak ada karya seni yang lahir tidak melalui proses kreatif. Keenam, karya seni tradisional menawarkan kearifan hidup yang demokratik, penghargaan terhadap kecenderungan hidup yang plural dan multikultural. Dengan begitu pembinaan terhadap kehidupan kesenian tradisional tersebut sekaligus akan mengangkat harkat kehidupan masyarakat baik pada dimensi lokal, nasional. maupun internasional, atas kesadaran hidup dalam kebersamaan yang beragam dan dalam kesetaraan. Sikap penghargaan terhadap kehidupan yang bersifat plural pada seni tradisional tersebut, pada dasarnya memiliki resistensi terhadap konflik, serta kesenian tradisi dapat berfungsi sebagai sarana integrasi sosial ketika pranata-pranata sosial lainnya telah lumpuh.
Ketujuh, seni rupa tradisional kita memiliki ‘kearifan’ sebagai media komunikasi untuk mendidik atau mengkritik kehidupan dengan cara-cara yang lebih halus. Banyak karya-karya yang bersifat satir, atau bahkan cenderung ‘porno’-pun, dikemas dengan sangat halus dan simbolik sehingga tidak menyakitkan orang lain atau bersifat menjijikkan.
Nilai-nilai seni rupa tradisi sebagai ‘ruh’ budaya masyarakat tersebut akan tetap hidup manakala masyarakat pendukungnya masih setia melestarikannya sebagai acuan norma yang mengatur kehidupan mereka. Namun jika sistem pengendali pengalihwarisan nilai tersebut (pendidikan) yang justru cenderung menafikkan nilai-nilai tersebut maka akan dapat dipastikan bakal berakibat terjadinya disharmoni dalam kehidupan masyarakat. Fenomena di masyarakat kita memperlihatkan kecenderungan rentan konflik, etos belajar dan kerja rendah, gaya hidup yang serba “instant”, “evoria” ekspresivitas diri dalam berbagai ungkapan yang kebablasan, manifestasi kreativitas semakin personal yang menjadikan semakin sulit untuk diukur dengan norma kolektif, serta rendahnya tata krama dalam interaksi sosial, dan lain-lain. Melihat itu semua terjadi, hemat penulis fenomena-fenomena tersebut menjadi sebuah indikator bahwa sebenarnya ruh seni tradisi itu telah mati. Kematianya itu sungguh ironis, jika dibunuh oleh pendidikan itu sendiri; yang semestinya sebagai institusi yang justru harus bertanggungjawab untuk merawatnya. Posisi Seni Rupa Tradisional dalam Pendidikan Seni Rupa Kita Berdasarkan kajian historis terhadap karya-karya tradisional kita, pada dasarnya proses pendidikan seni rupa di Indonesia telah berlangsung dalam waktu yang lama, jauh sebelum pengaruh budaya Barat masuk. Proses kesinambungan gejala seni yang hidup dari waktu ke waktu dengan perkembangannya yang involutif hingga mencapai beberapa kecenderungan pada fenomena seni rupa klasik, kenyataan tersebut menjadi petunjuk bahwa telah terjadi proses pengalihan dan pewarisan keterampilan, seperangkat pengetahuan, serta wawasan nilai estetis dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Usaha mewariskan nilai-nilai tersebut adalah sebuah proses pendidikan. Pendidikan seni rupa yang berlangsung secara tradisional tersebut pada dasarnya terkait erat dengan spirit kolektif masyarakat, serta pandangan hidup yang mengatapinya. Corak pendidikan tradisional tersebut biasanya berlangsung dengan sistem penyantrikan, yakni seorang murid belajar dan kadang sekaligus tinggal bersama dengan sang guru, atau seorang empu yang dianggap mumpuni dalam bidangnya. Peran guru menjadi tokoh sentral yang besar pengaruhnya dalam memberi aura proses pendidikan yang dilaksanakan. Guru menjadi tokoh karismatik untuk digugu dan ditiru. Dalam orientasi belajar pada sistem pendidikan tradisional itu, siswa berusaha untuk mewarisi ‘ilmu’ sang guru, sehingga nilai yang diajarkan akan dapat ditradisikan secara turun-temurun. Corak pendidikan tradisional tersebut masih cukup banyak dapat kita jumpai dalam kehidupan masyarakat kita, khususnya yang terdapat pada sentra-sentra industri seni kerajinan rakyat, kantung-kantung seni rupa tradisional, maupun institusiinstitusi nonformal (pendidikan luar sekolah) yang masih memiliki komitmen untuk melangsungkan tradisinya. Corak pendidikan seni rupa di sekolah kita saat ini, jelas tidak dibangun berdasarkan corak tradisional tersebut di atas; pendidikan di sekolah dibangun berdasarkan tradisi pendidikan Barat. Diawali pada masa kolonial Belanda dan diwarnai dengan orientasi tujuan pendidikan yang lebih mengarah pada upaya mencetak pekerja-pekerja terampil yang dapat dipekerjakan di beberapa kantor pemerintah. Materi
pendidikan seni rupa pada masa itu meliputi pelajaran menggambar, menulis indah, dan pekerjaan tangan. Pelajaran menggambar yang begitu kuat pengaruhnya bagi perkembangan kemudian adalah kecenderungan menekankan gejala estetika ‘baru’ yang bersifat naturalistis-realistis yang bersumber dari gaya tradisi Renaisans. Dari intervensi sistematis yang berlangsung terus menerus di sekolah-sekolah tersebut, tampaknya hal itu menjadi penyebab utama terjadinya pembelokan arah orientasi estetis yang ada di masyarakat. Corak naturalistis menjadi ‘virus’ yang memukau dan membongkar kesadaran estetis masyarakat kita, dari kondisi yang terbiasa akrab dengan seni rupa magis dan simbolik. Karya seni rupa dikatakan baik diukur dengan kaidah-kaidah, antara lain: proporsi, anatomi, perspektif, gelap-terang, dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan wacana berbagai meanstream seni rupa di Barat sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terjadinya pergeseran peran seni dalam kehidupan di masyarakat, berakibat membawa pengaruh besar dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah kita. Fenomena ini menjadi badai ‘virus’ kedua yang serta merta membelokkan orientasi estetis dalam pendidikan seni rupa kita. Modernisme menjadi acuan tindakan dalam berkesenian. Paradigma pendidikan seni rupa yang cenderung melestarikan gaya renaisans diganti dengan paradigma baru yang lebih mengedepankan kecenderungan seni rupa inovatif, yang mendewa-dewakan kreativitas, orisinalitas, fantasi, dan kebebasan berekspresi. Teori Viktor Lowenfeld (dalam Sudarso 1986:3) menjadi sangat populer membingkai orientasi pengembangan kurikulum di sekolah, sehingga tujuan pendidikan seni rupa ditetapkan menjadi “mengembangkan sensitivitas dan kreativitas; memberi fasilitas kepada anak didik untuk dapat berekspresi lewat seni rupa; memperlengkapi anak dalam membentuk pribadinya yang sempurna agar ia dapat dengan penuh partisipasi dalam kehidupan masyarakat atau membentuk perkembangan anak yang harmonis”.
Sambutan dari berbagai kalangan lembaga pendidikan seni rupa terhadap hembusan pengaruh tersebut disambut dengan gegap gempita. Terminologi konsep seni rupa kemudian menjadi diperluas tidak semata-mata seni gambar, dan semakin jelas bedanya antara seni rupa dengan seni kerajinan. Seni rupa lebih identik dengan seni kreatif yang berada pada posisi seni kelas atas, sedangkan seni kerajinan berada pada posisi seni kelas bawah (meminjam istilah Sanento Yuliman). Seni rupa pada wacana ini cenderung memposisikan diri pada kecenderungan seni yang eksklusif, hal demikian disebabkan oleh penggunaan simbol-simbol estetis personal, yang relatif sulit dimengerti oleh publik secara luas. Di sisi lain pengaruh tradisi Barat tersebut sesungguhnya menjadi penyebab langsung menjadi terkebirinya seni rupa tradisional kita (tersingkirnya: seni ornamen, aneka ragam hias yang menjadi kekayaan seni rupa tradisional kita, serta keunikan dalam tata cara berseni rupa, dan lain-lain). Pendidikan seni rupa yang masih menggunakan metode mencontoh harus disingkirkan karena tidak mendidik siswa kreatif; kerja karya seni yang masih mengunggulkan teknis dianggap
lamban tidak memacu ekspresivitas; serta objek yang dapat dijelajahi sebagai inspirasi berkarya seni tidak saja terbatas pada objek alam yang kasad mata, namun telah berkembang pada penjelajahan ruang yang tak terbatas sebagaimana tak terbatasnya ruang fantasi. Fenomena seni rupa abstrak dan seni rupa eksperimental menyeruak menjadi gejala populer sebagai manifestasi konsep kebebasan berekspresi dan tuntutan kreativitas. Pada kecenderungan tersebut setiap pribadi memiliki otoritas penuh untuk menyatakan pikirannya. Atas nama kreativitas dan kebebasan berekspresi maka hal-hal yang bertalian dengan kepatuhan pada tradisi akan dibuang jauh (proses liberalisasi). Karakteristik demikian menjadi acuan tindakan dalam berkarya seni. Sungguh, hal demikian layak untuk dipikirkan kembali pertaliannya dengan dinamika kebutuhan masyarakat dan amanat Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa: Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasar pada Pancasila dan UUD 45. Menimbang Kembali Seni Rupa Tradisi sebagai Wacana Pendidikan Seni Rupa Kita. Di tengah isu gelombang globalisasi saat ini berhembus angin postmodernism sebagai reaksi terhadap modernisme. Postmodernism; memberi arah kehidupan seni rupa yang cenderung ‘eklektik’menolak -kaidah estetika seni rupa modern. Pada kesempatan ini hendaknya hal tersebut dapat mengetuk kesadaran kita untuk menilik kembali potensi seni tradisional kita yang pernah terpinggirkan; untuk kita wacanakan kembali menjadi ruh pendidikan seni rupa kita. Posmodern memberi kesempatan kepada tumbuhnya apa yang disebut seni pinggiran dan seni orang kecil (Amir 1994). Seni tradisional menjadi salah satu potensi yang perlu diperhitungkan kembali dalam dunia pendidikan seni rupa kita . Seni rupa tradisional kita baik yang berupa kesenian rakyat maupun klasik yang tersebar di berbagai daerah di nusantara ini, pada dasarnya tampil dengan beragam gaya, bentuk, dan jenisnya. Kusnadi (1986) menyebutkan bahwa seni rupa tradisional kita meliputi patung nenek moyang, lukisan gua, lukisan dan kaligrafi pada lontar, kayu, batu, kertas, kanvas, batik, pahat dan sungging wayang, ornamen dekoratif benda-benda kerajinan, dan arsitektur candi, pura, masjid, istana/rumah adat dan lain-lain. Keragaman tersebut memiliki ciri khas dan pesona estetis masing-masing sesuai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural masyarakat pendukungnya. Dengan menggali potensi seni tradisi yang khas dalam pendidikan tersebut, tampaknya menjadi sebuah sumbangan yang berarti untuk ikut memperkaya kebudayaan dunia, dan sekaligus memberi kebanggan bagi kita sendiri sebagai bangsa yang memiliki jati diri, yang pada gilirannya akan mampu menjadi filter budaya bagi pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian kita. Kita tidak dapat memungkiri bahwa kehidupan budaya kita dewasa ini dihadapkan pada dua kekuatan, yaitu konservasi dan progresi. Kekuatan di satu pihak ingin melestarikan, di lain pihak ingin maju. Pandangan konservasi menghendaki segala kekuatan budaya berorientasi kepada masa lalu,
sehingga ada kesinambungan antara budaya kini dengan budaya masa lalu. Di pihak lain pandangan kelompok progresif menghendaki adanya revolusi yang mengarah pada modernisme budaya. Dihadapkan pada dua hal yang saling berseberangan tersebut, hemat penulis betapa perlunya menggugah kesadaran kita untuk mengkonstruksi kebudayaan nasional kita dengan bertitik tolak dari kebinekaan budaya-budaya daerah untuk dicoba menjadi alternatif demi kemajuan yang progresif bagi perkembangan kehidupan dunia. Pendidikan menjadi media yang paling strategis untuk kepentingan itu, dengan begitu perlu dikelola seefektif mungkin bagi pencapaian tujuan itu.
Memahami Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sekarang ini yang dirumuskan sebagai respon terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini serta pengaruh perubahan global, pada dasarnya muatan seni tradisional (seni nusantara) telah terakomodasi pada porsi yang sangat besar. Namun jika dicermati, dan jika benar-benar digunakan sebagai acuan perencanaan pembelajaaran kesenian di sekolah; sungguh sangat sulit untuk dilakukan. Hal demikian disebabkan saratnya tuntutan kompetensi dasar, serta rumusan yang kurang aplikabel bagi pencapaian tujuhan pengembangan potensi kejiwaan anak. Mempertahankan konsep seni sebagai media pendidikan di sekolah umum menurut hemat penulis sungguh masih relevan untuk tetap dipertahankan. Dengan begitu target pengembangan fungsi-fungsi jiwa peserta didik jauh lebih penting, dari pada sekadar terkonsentrasi pada pembinaan yang bersifat teknis. KBK kesenian, menurut asumsi penulis disusun lebih dilatarbelakangi oleh pertimbangan politis, serta terkooptasi oleh wacana Barat tentang multikulturalisme (yang sesungguhnya hal tersebut bukan barang baru bagi kehidupan budaya kita), namun bagaimana pun niat untuk memperbaiki kurikulum, khususnya pengakomodasian terhadap potensi seni tradisional (nusantara) patut dihargai. KBK kesenian, menjadi wahana bagi hidupnya kembali ruh seni tradisi kita. Namun bagi guru yang tidak mampu mengembangkan kurikulum tersebut, KBK akan berubah menjadi ‘keranda’ bagi bersemayamnya ruh seni tradisi sekaligus ‘ruh profesionalisme guru’ yang dibunuh oleh kebiasan hidup yang serba formal. Menurut hemat penulis, mesti diperlukan upaya gigih untuk membumikan kembali ruh seni rupa tradisi dalam pelaksanaan pendidikan seni rupa di sekolah. Upaya –upaya tersebut antara lain: 1.
Penanaman sikap sadar budaya. Penanaman rasa bangga terhadap kebudayaan yang digali
dari bumi sendiri, atau terhadap seni tradisi sendiri dalam kegiatan pendidikan. Upaya penyadaran ini diperlukan kerja intensif melalui berbagai bentuk kegiatan, dengan sasaran utama para pendidik seni rupa, dan para penentu kebijakan pendidikan. 2.
Diperlukannya pengkajian/penelitian yang lebih giat tentang senirupa tradisional/nusantara.
Hal tersebut dipandang sangat perlu mengingat informasi dan referensi yang kerkenaan dengan khasanah seni rupa tradisional tersebut saat ini masih sangat kurang. Barang kali hal ini sebagai salah satu faktor yang menjadikan para pendidik seni rupa gampang berpaling pada pesona Barat, yang ternyata
referensinya jauh lebih banyak dan lebih gampang dicari ketimbang informasi tentang seni rupa tradisi sendiri. 3.
Setiap kurikulum, termasuk KBK kesenian saat ini harus dipahami sebagai sebuah versi,
(yang bisa saja kemudian muncul kontroversi, bahkan subversi terhadap kurikulum tersebut). KBK bukan satu-satunya kebenaran; dengan begitu harus disikapi dengan cara-cara cerdas untuk tetap mengedepankan idealisme dalam kerangka menjadikan hidup yang lebih berkualitas dan beradab dalam konteks kebudayaan. Setiap kurikulum yang disusun selama ini sebenarnya telah dilandasi atas kesadaran untuk memajukan kebudayaan nasional, namun dalam kenyataannya masih saja terdapat kesenjangan antara keinginan para penyusun kurikulum dengan kondisi objektif di lapangan. Kesenjangan tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh dua faktor di atas sehingga materi yang berkenaan dengan ilmu tentang seni rupa tradisional, yang notabene sebagai refleksi karakteristik budaya nasional menjadi kurang terangkat. 4.
Di samping dibutuhkan perluasan dan pendalaman materi yang bersifat konsepsi tentang seni
rupa tradisional/nusantara dalam rangka menumbuhkan sikap apresiatif terhadap jati diri kebudayaan kita; kegiatan praktikum seni rupa pun sudah saatnya untuk ditengok kembali. Kegiatan tersebut menuntut pengondisian penanaman nilai-nilai tradiosional yang mampu mengubah perilaku peserta didik. Nilai-nilai seni tradisional dalam kegiatan praktikum tersebut dapat digali dari eksplorasi unsur bentuk, warna, teknik, corak, struktur, gagasan, dan lain-lain. 5.
Metode pembelajaran seni rupa, dan yang menyangkut penentuan tujuan, strategi
pembelajaran, penentuan materi, dan khususnya model evaluasi; perlu
ditinjau kembali. Model
pembelajaran yang bersifat ‘humanistis’, barangkali lebih diperlukan dalam rangka pembinaan sikap multikulturalis. 6.
Diperlukannya peningkatan dan pengadaan guru seni rupa yang kompeten. Pengembangan
kompetensi pribadi guru seni rupa sungguh sangat penting sebagai dasar untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik. Pada kenyataannya kita masih menemukan kecenderungan banyak guru seni rupa yang masih malas membaca, sekadar menradisikan bagaimana dia mengajar sebagaimana yang telah pernah diajarkan
oleh guru/dosennya dulu, tidak cukup kooperatif terhadap kegiatan seni rupa di
lingkungannya, serta tidak cukup terdorong untuk memanfaatkan potensi kegiatan seni tradisional di lingkungannya sebagai bahan kajian dalam pelaksanaan pembelajaran.
Penutup Sebagai penutup tulisan ini penulis berharap semoga dengan diterapkannya kurikulum atau KBK kesenian pada lingkup pendidikan sekolah saat ini dapat menjadi salah satu sarana untuk membumikan kembali ruh seni tradisi, yang pada gilirannya sedikit banyak turut memberikan kontribusi bagi perubahan sikap dan perilaku budaya masyarakat, khususnya para peserta didik ke arah yang lebih positif. Diharapkan agar perilaku mereka tidak terseset pada budaya liberalisme yang tak terbatas, tetapi perilaku
dan sikap yang masih terkendali dengan nilai-nilai dan jati diri sebagai bangsa yang bertatakrama, bermoral, dan bertenggangrasa dalam kesadaran hidup yang multikultural. Jika kita telah berusaha seoptimal mungkin melalui pendigdayaan pendidikan kesenian, namun apabila dalam kehidupan mendatang masih saja terjadi masyarakat yang dalam keadaan carut marut, kualitas apresiasi dan kehidupannya yang rendah; barangkali ‘ruh’ budaya kita benar-benar telah gentayangan. Wadag budaya kita telah kerasukan ruh budaya asing yang menjadikan kita berkelejotan pada orientasi hidup yang tak menentu. Pada kondisi demikian, kontribusi konstruksi nilai melalui pendidikan kesenian, sangat tak sebanding lagi dengan tingkat kerusakan yang harus direhabilitasi. Semoga tulisan ini ada manfaatnya ! Daftar Pustaka Amir, H. 1994. Desaku Sayang Desaku Malang. Makalah Sarasehan tentang Seni Pedesaan. di Malang Geertz, C. 1998. After The Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog. Terj: Landung Simatupang. Yogyakarta. Mamannor, 2005. Tiga Jurus Reposisi Pendidikan Tinggi Seni Rupa. Makalah Seminar Pembentukan Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Seni Rupa & Desain Se Indonesia. di Semarang. Rohidi, T. R. 2000. Kesenian Di Indonesia: Keragaman Dan Perubahannya. Makalah pada Diskusi Temu Seni Rupa Fort Rotterdam. Di Makassar. Salam, S. tt. Menuju Ke Pendidikan Seni Rupa yang Mengindonesia, Suatu Tantangan dan Harapan. Makalah. Sudarso SP., 1986. Masalah Yang Dihadapi Oleh Pendidikan Seni Rupa Indonesia. Makalah pada Diskusi. Lustrum II Universitas Sebelas Maret. Solo di Surakarta. Sunaryo, A. 2005. Belajar dari Kearifan Lokal, dalam Himpitan Seni Rupa Global. Makalah Diskusi di Universitas Negeri Semarang.