Ekspansi Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan dan Akuntansi Vol. 3, No. 2, November 2011, 209 - 226
ANALISIS STRUKTUR EKONOMI KOTA BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH LOCATION QUOTIENT (LQ), DAN SHIFT AND SHARE TAHUN 2007 - 2010 Kristianingsih Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung
ABSTRACT This research was held to examine the economic growth and gap of Product Domestic Regional Bruto (PDRB) in Kota Bandung from 2007 until 2010 using the local economic growth theory from demand and supply point of view. The object in this research is Kota Bandung using secondary data consist of Product Domestic Regional Bruto (PDRB) Kota Bandung, the population of Kota Bandung, West Java Product Domestic Regional Bruto, Population of West Java from 2007 until 2010 with LQ analysis. The dominant activity in Kota Bandung since 2007 until 2010 is the trading sector, hotel and restoran. The biggest contribution comes from tersier sector, especially trading, hotel and restoran, transportation and communication sector. The development in these sectorc can be supported by increasing primary and secondary sector, so the gap in term income gap will not be occured. Key Words : Product Domestic Regional Bruto, Gap Regional Income, The Theory of Growth, Local Economic Demand And Supply PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa. Sedangkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total, pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan ekonomi tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi atau economic growth , pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya pertumbuhan
ekonomi
memperlancar
proses
pembangunan
ekonomi.
Perbedaannya terletak pada pertumbuhan ekonomi keberhasilannya bersifat kuantitatif sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses pembangunan adalah semakin meluasnya kesempatan kerja yang produktif ( productive employment ). Pembangunan ekonomi dapat dikatakan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk 209
Ekspansi Ekonomi dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Sedangkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi merupakan dua istilah
yang
tidak
dapat
dipisahkan.
Pembangunan
ekonomi
mendorong
pertumbuhan ekonomi sedangkan pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya, sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat. Sebagai implikasi dari perkembangan ini diharapkan kesempatan kerja akan bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat semakin tinggi. (Sadono Sukirno, 2007:1). Salah satu strategi pembangunan yang dilaksanakan adalah berupaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dengan memacu pertumbuhan pertumbuhan sektor-sektor dominan dengan anggapan akan terjadi trickle down effect, sehingga kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya akan meningkat. Perkembangan pembangunan suatu negara tidak dapat lepas dari perkembangan pembangunan daerah, yaitu dengan melihat potensi daerah yang dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan perkembangan penduduk sehingga dapat melihat laju pertumbuhan daerah, struktur perekonomian, dan pergeseran aktivitas perekonomian daerah. Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan ibu kota propinsi Jawa Barat. Secara geografis tertelatak pada 107 0 32’ 38,91” Bujur Timur dan 60 55’ 19,94” Lintang Selatan. Lokasi kota Bandung cukup strategis , dilihat dari segi komunikasi, perekonomian maupun keamanan. Hal tersebut disebabkan oleh : 1. Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan raya : a. Barat – Timur yang memudahkan hubungan Ibu Kota Negara b. Utara – Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan) 2. Letak yang tidak terisolasi dan dengan komunikasi yang baik akan memudahkan aparat keamanan untuk bergerak ke setiap penjuru. Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 meter di atas permukaan laut (dpl) titik tertinggi di daerah utara dengan ketinggian 1.050 meter 210
Kristianingsih
dan terendak di sebelah selatan 675 meter di atas permukaan laut. Di wilayah kota Bandung selatan sampai lajur lintasan kereta api, permukaan tanah relatif datar sedangkan di wilayah kota bagian utara berbukit-bukit yang menjadikan panorama yang indah. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik dengan membuat suatu makalah dengan judul ” Analisis Struktur Ekonomi Kota Bandung Dengan Menggunakan Perhitungan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Location Quotient (LQ) dan Shift Share Tahun 2007 – 2010”
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah menentukan dan menganalisis struktur ekonomi Kota Bandung tahun 2007-2010 dengan menggunakan perhitungan pertumbuhan ekonomi daerah sisi permintaan dan sisi penawaran (Location Quotient dan Shift and Share).
KONSEP TEORI 1. Teori Tentang Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Pertumbuhan ekonomi (economic growth) dapat diartikan sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung menyatakan bahwa untuk melihat laju pertumbuhan suatu negara dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakatnya, maka pertambahan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dari waktu ke waktu harus dihitung. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakekatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Pembentukan modal dan investasi yang ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan merupakan salah satu faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Teori Harrod dipusatkan pada persyaratan yang harus dipenuhi untuk memelihara keseimbangan antara tabungan, investasi, dan pendapatan dalam dinamika pertumbuhan ekonomi. Ada dua kunci yang menjadi gagasan Harrod dalam laju pertumbuhan ekonomi yaitu : The warranted rate of 211
Ekspansi Ekonomi growth dan The natural rate of growth.Sedangkan gagasan Domar berpangkal tolak pada berlakunya azas Investment Multiplier. Beliau menekankan bahwa investasi sekarang mempunyai dua pengaruh yaitu 1.
Investasi tersebut akan meningkatkan permintaan agregat saat ini.
2.
Investasi tersebut akan meningkatkan kapasitas produksi. Teori pertumbuhan Rostow akan dilalui setiap negara dalam pola
pembangunan Ekonominya, walaupun antara keadaan di negara maju pada tahap lepas landas dan keadaan di negara berkembang saat ini banyak terdapat kesamaan dan perbedaan, akan tetapi hal ini tidak akan mempengaruhi proses pembangunan yang akan dilalui oleh setiap negara. Setiap negara pada saat lepas landas atau pada permulaan tahap lepas landas akan tetap melakukan pembangunan dengan menekankan pada kegiatan modal di bidang prasarana, pertanian dan kegiatan ekspor. Teori Rostow ini juga menciptakan suatu teori produksi yang dinamis meliputi aspek makro maupun perkembangan sektorsektor atau dissagregated theory of production. Teori Rostow akan terhambat jika terjadi pertambahan penduduk yang tidak terkendali, adanya pertentangan politik, dan memaksakan jadi negara industri sehingga mengakibatkan instabilitas dalam suatu negara. Dari uraian diatas teori pertumbuhan dari Profesor W W Rostow merupakan tahapan dimana suatu negara mempersiapkan masyarakatnya untuk memulai pertumbuhan ekonomi yang cepat. Tahapan-tahapan tersebut adalah : 1.Masyarakat tradisional ( The Traditional Society ) 2.Prasyarat untuk lepas landas ( The Precondition for Take Off ) 3.Tinggal landas ( The Take Off ) 4.Menuju kedewasaan ( The Drive to Maturity ) 5.Masa konsumsi tinggi ( The High Age of High Masconsumption ) Dalam konteks regional, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan dari Produk Domestik Regional Bruto. Pertumbuhan ekonomi yang memadai selalu ditargetkan oleh setiap pemerintah daerah karena : 1. Pertumbuhan penduduk yang selalu bertambah Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, jika tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah PDRB, maka berarti kesejahteraan masyarakat menurun karena pendapatannya menurun. Hal ini terjadi karena dengan PDRB yang tetap atau bahkan menurun jika dibagi dengan jumlah penduduk yang selalu bertambah maka justru akan mendapatkan hasil yang semakin kecil. 212
Kristianingsih
2. Adanya
keinginan
masyarakat
untuk selalu berusaha meningkatkan
kehidupan ekonominya dimasa yang akan datang Dengan melihat kedua alasan tersebut diatas, maka peningkatan PDRB adalah mutlak diperlukan.
Besarnya peningkatan PDRB tersebut minimal
sebesar peningkatan jumlah penduduk, namun demikian karena adanya keinginan untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik, maka pertumbuhan ekonomi harus diusahakan lebih tinggi daripada peningkatan jumlah penduduk. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau yang lebih dikenal dengan istilah pendapatan regional (Regional Income) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto dapat diartikan ke dalam tiga pengertian yaitu : a. Pendekatan produksi (Production Approach) PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produkdi dalam suatu wilayah/regional pada suatu waktu tertentu, biasayanya satu tahun. b. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) PDRB adalah balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi yang ikut di dalam proses produksi di suatu wilayah/regional pada jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor tersebut adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan, yang kesemuanya belum dipotong pajak penghasilan dan pajak tidak langsung lainnya serta penyusutan barang modal.
c. Pendekatan pengeluaran (Expenditure Approach) PDRB adalah jumlah semua penngeluaran untuk konsumsi masyarakat yang tidak mencari keuntungan, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan eksport neto di suatu wilayah dalam waktu tertentu, biasanya satu tahun. Dari ketiga pendekatan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan dalam suatu wilayah, sama dengan jumlah pendapatan faktor produksinya dan harus sama pula dengan jumlah pengeluaran untuk berbagai keperluan. PDRB di atas selanjutnya disebut dengan PDRB atas dasar harga pasar karena masih mencakup pajak tidak langsung neto.
213
Ekspansi Ekonomi Nilai PDRB menurut sektor lapangan usaha dibagi ke dalam sembilan (9) sektor yaitu : a. Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan b. Pertambangan dan penggalian c. Industri pengolahan d. Listrik, gas dan air bersih e. Bangunan/konstruksi f.
Perdagangan, hotel dan restoran
g. Pengangkutan dan komunikasi h. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan i.
Jasa-jasa
2. Struktur Ekonomi Struktur perekonomian suatu wilayah sangatlah dipengaruhi potensi Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersedia, sehingga kegiatan perekonomian beragam di setiap daerah. Salah satu indikator yang sering digunakan untuk menggambarkan struktur ekonomi wilayah adalah distribusi persentase sektoral. Distribusi persentase PDRB secara sektoral menunjukkan peranan masing-masing sektor terhadap PDRB secara keseluruhan. Semakin besar persentase suatu sektor semakin besar pula pengaruh sektor tersebut di dalam perkembangan ekonomi suatu daerah. Jadi persentase PDRB secara sektoral merupakan penimbang dalam melihat perkembangan sektoral dengan teliti. Dengan mengelompokkan 9 sektor lapangan usaha menjadi tiga (3) sektor yaitu : 1. Sektor primer, yaitu sektor yang tidak mengolah bahan baku , melainkan hanya mendayagunakan sumber-sumber alam, seperti tanah beserta kandungan di dalamnya. Yang termasuk sektor primer adalah : a. Sektor 1 : pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan b. Sektor 2 : pertambangan dan penggalian 2. Sektor sekunder, yaitu yang mengolah bahan baku, baik yang berasal dari sektor primer maupun sektor sekunder sendiri menjadi barang lain yang lebih tinggi nilai gunanya. Yang termasuk sektor sekunder yaitu : a. Sektor 3 : industri pengolahan b. Sektor 4 : listrik, gas dan air bersih c. Sektor 5 : bangunan/konstruksi
214
Kristianingsih
3. Sektor tersier, yaitu sektor-sektor yang tidak memproduksi dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk jasa. Yang termasuk sektor tersier adalah : a. Sektor 6 : perdagangan, hotel dan restoran b. Sektor 7 : pengangkutan dan komunikasi c. Sektor 8 : Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan d. Sektor 9 : Jasa-jasa 3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah Teori pertumbuhan ekonomi daerah dapat dilihat baik sisi permintaan maupun dari sisi penawaran. Dari sisi permintaan terdiri dari : 1. Location quotient (LQ) merupakan
suatu
metode
menggunakan karakteristik output/nilai tambah atau
statistik
yang
kesempatan kerja
untuk menganalisis dan menentukan keberagaman dari basis ekonomi (economic base) masyarakat daerah/lokal. 2. Shift and Share merupakan teknik yang sangat berguna dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian wilayah yang lebih luas (wilayah referensi) selama selang waktu tertentu. 3. Model Rasio Pertumbuhan (MRP) dilakukan untuk melihat deksripsi struktur ekonomi suatu wilayah yang menekankan pada kriteria pertumbuhan baik secara eksternal (wilayah referensi) maupun secara internal (wilayah studi). 4. Analisis Overlay dimaksudkan untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial berdasarkan
kriteria
pertumbuhan
(yang
didapat
dari
perhitungan Model Rasio Pertumbuhan), dan kriteria kontribusi (yang didapat dari analisis Loqation Quotiont). Sedangkan dari sisi penawaran yang dikenal dengan nama : 5. Teori pertumbuhan ekonomi daerah yaitu Total Factor Productivity, yaitu metode untuk menghitung berapa besar kontribusi faktor perubahan teknologi yang terjadi di suatu daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam metode ini yang dilihat dan diukur adalah fungsi produksi daerah. Pengukuran fungsi produksi daerah ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana input-input produksi
yang ada di daerah telah tumbuh dan berkembang dalam setiap
tahun. 6. Indeks Williamson, untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah digunakan analisis Indeks Williamson, yaitu : Indeks Williamson 215
Ekspansi Ekonomi VW
Ketimpangan
Kurang dari 0,29
Ketimpangan rendah
0,30 – 0,49
Ketimpangan sedang
0,50 – 0,69
Ketimpangan tinggi
0,70 -
Sangat timpang
Jika VW mendekati 0 maka ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi X adalah rendah. Jika VW mendekati 1 maka ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi X adalah tinggi.
Metode Penelitian Analisis Location Quotient (LQ) Analisis LQ merupakan suatu alat analisis untuk menunjukkan basis ekonomi wilayah terutama dari kriteria kontribusi (Yusuf, 1999). Variabel yang digunakan dalam perhitungan basis ekonomi tersebut adalah PDRB wilayah dari suatu kegiatan yang dititikberatkan pada kegiatan dalam struktur ekonomi wilayah. LQ adalah suatu teknik perhitungan yang mudah untuk menunjukkan spesialisasi relatif (kemampuan) wilayah dalam kegiatan atau karakteristik tertentu (Rondinelli, 1985). Teknik ini tidak atau belum memberikan kesimpulan akhir, tetapi baru merupakan kesimpulan sementara yang masih harus dilanjutkan dengan teknik analisis lain. Namun demikian sudah cukup memberi gambaran akan kemampuan daerah yang bersangkutan dalam sektor yang diamati (Warpani, 1984). Teknik ini menyajikan perbandingan antara kemampuan suatu sektor di daerah yang sedang diteliti dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas. Formulasi model LQ sebagai berikut: Yij / Yj LQ = Yi / Y LQ = Location Quotient Yij = PDRB dari sektor i pada daerah kabupaten/kota ke j Yj = PDRB di daerah kabupaten/kota ke j Yi = PDRB propinsi dari sektor i Y = PDRB propinsi Kriteria yang digunakan adalah: Bila LQ > 1, maka sektor tersebut dikategorikan sebagai sektor basis/sektor ekspor, yang artinya bahwa sektor tersebut disamping mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri/lokal juga dapat memenuhi daerah lain/ekspor.
216
Kristianingsih
Bila LQ < 1, maka sektor tersebut dikategorikan sebagai sektor non basis/sektor lokal, yang artinya sektor tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan sendiri/lokal. Analisis Shift And Share Sebagai lanjutan dari analisis LQ, dapat dilakukan analisis Shift Share untuk menganalisis perubahan struktur ekonomi suatu daerah. Shift share menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu. Dalam analisis ini diasumsikan bahwa perubahan tenaga kerja/produksi pada suatu wilayah antara tahun dasar dengan tahun akhir analisis dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan, yaitu: komponen pertumbuhan nasional (national growth component) disingkat PN, komponen pertumbuhan proporsional (proportional or industrial mix growth component) disingkat PP dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (regional share growth component) disingkat PPW. Komponen pertumbuhan nasional adalah perubahan kesempatan kerja atau produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan kesempatan kerja atau produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor atau wilayah. Misalnya kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan. Bila diasumsikan bahwa tidak terdapat perbedaan karateristik ekonomi antar sektor dan antar wilayah, maka akibat dari perubahan ini pada berbagai sektor dan wilayah kurang lebih sama, setiap sektor dan wilayah akan berubah dan bertumbuh dengan laju yang hampir sama dengan laju pertumbuhan nasional. Namun pada kenyataannya beberapa sektor bertumbuh lebih cepat dari sektor-sektor lainnya dan beberapa wilayah lebih maju daripada wilayah lainnya.
Oleh karena itu perlu
diidentifikasi penyebabnya dan mengukur perbedaan yang timbul dengan memisahkan komponen pertumbuhan nasional dengan pertumbuhan proporsional dan pertumbuhan pangsa wilayah. Komponen pertumbuhan proporsional timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (misalnya, kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaan pasar. Komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat atau lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses
217
Ekspansi Ekonomi ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi regional di wilayah tersebut (Lucas dan Primm, 1979).
Gambar 1. Model Analisis Shift Share Ketiga komponen pertumbuhan di atas secara matematik dapat dinyatakan sebagai berikut: Andaikan dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah/propinsi (j = 1, 2, 3, …, m) dan n sektor ekonomi (i = 1, 2, 3, …, n) maka perubahan tersebut di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: Δ Yij = PNij + PPij + PPW ij atau secara rinci dapat dinyatakan sebagai berikut: Y’ij – Yij = Δ Yij Δ Yij = Yij (Ra – 1) + Yij (Ri – Ra) + Yij (ri – Ri) dimana: Δ Yij = perubahan dalam kesempatan kerja/produksi sektor i pada wilayah ke j. Yij = produksi/tenaga kerja dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis. Y’ij = produksi/tenaga kerja dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis. m Yi. = Σ Yij = PDB/tenaga kerja (nasional) dari sektor i pada tahun dasar analisis. m Y’i. = Σ Y’ij = PDB/tenaga kerja (nasional) dari sektor i pada tahun akhir analisis. mn Y.. = Σ Σ Yij = PDB/tenaga kerja (nasional) pada tahun dasar analisis. mn Y’.. = Σ Σ Y’ij = PDB/tenaga kerja (nasional) pada tahun akhir analisis. ri = Y’ij/Yij Ri = Y’i./Yi. Ra = Y’../Y.. (ri – 1) = persentase perubahan PDRB/tenaga kerja di sektor i propinsi ke j. 218
Kristianingsih
(Ra – 1) = persentase perubahan PDRB/tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan nasional. (Ri – Ra) = persentase perubahan PDRB/tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan proporsional. (ri – Ri) = persentase perubahan PDRB/tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah. Dari penjumlahan dua komponen pertumbuhan wilayah, yaitu komponen pertumbuhan proporsional dan pertumbuhan pangsa wilayah dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu wilayah. Jumlah antara kedua komponen tersebut di atas disebut pergeseran bersih (PB), yang dinyatakan sebagai berikut: PB.j = PP.j + PPW.j dimana: PB.j = pergeseran bersih wilayah j Apabila PB.j > 0, maka pertumbuhan wilayah tersebut termasuk ke dalam kelompok maju, sedangkan apabila PB.j < 0, maka pertumbuhan wilayah tersebut termasuk lamban. Secara ringkas analisis Shift Share untuk daerah kabupaten/kota pada suatu propinsi dapat dirumuskan sebagai berikut: Gij
= Nij + Pij + Dij
Gij
= Yijt – Yij o = Nij + Pij + Dij
Nij
= Yij o (Yt/Yo) - Yij o
(P+D)ij = Yijt – (Yt/Yo) Yij o = (Gij – Nij) Pij
= (Yit/Yio) Yij o – (Yt/Yo) Yij o
Dij
= Yijt – (Yit/Yio) Yij o
dimana: Y = PDRB propinsi i = sektor ekonomi ; i = 1, 2, …, n j = daerah kabupaten/kota o = periode awal tahun t = periode akhir tahun Keterangan: G adalah pertumbuhan PDRB daerah kabupaten/kota. N
adalah
besarnya
pertumbuhan
PDRB
daerah
kabupaten/kota
jika
pertumbuhannya sama dengan pertumbuhan PDRB propinsi. Hal ini adalah kriteria bagi daerah yang bersangkutan untuk mengukur penyimpangan yang terjadi. (P + D) adalah component shift. Bernilai positif berarti daerah tumbuh dengan cepat. Sebaliknya bila bernilai negatif berarti daerah tumbuh dengan menurun. Component shift ini terdiri dari proportional shift component (P) dan differential shift component (D). P = (Bi.Yij o) adalah proportional shift atau industrial mix, mengukur besarnya 219
Ekspansi Ekonomi shift daerah neto yang diakibatkan oleh komposisi sektor-sektor industri di daerah yang bersangkutan. Bernilai positif di daerah yang berspesialisasi dalam sektorsektor yang secara propinsi tumbuh dengan cepat dan negatif di daerah yang secara propinsi tumbuh dengan lambat atau bahkan sedang menurun. Bi = (Ai-A) adalah selisih antara persentase pertumbuhan PDRB propinsi dari sektor i dengan persentase pertumbuhan PDRB propinsi keseluruhan. Yit - Yio Ai =
X 100 Yio Adalah persentase pertumbuhan PDRB propinsi dari sektor i. Yt - Yo A =
X 100 Yo Adalah persentase pertumbuhan PDRB propinsi keseluruhan. D adalah differential shift atau komponen lokasional yang mengukur besarnya shift neto yang diakibatkan oleh sektor-sektor tertentu yang tumbuh lebih cepat atau lebih lambat di daerah yang bersangkutan daripada tingkat propinsi yang disebabkan oleh faktor lokasional intern.
Jika bernilai positif berarti lokasinya
menguntungkan dan negatif jika lokasi tidak menguntungkan. PEMBAHASAN Pertumbuhan Ekonomi Persektor di Kota Bandung tahun 2007-2010 Pertumbuhan ekonomi
Kota Bandung secara dominan dibangun oleh
sektor tersier dengan kontribusi sebesar 63,3% sektor sekunder sebesar 36,43% serta sektor primer sebesar 0,28%. Secara rinci yang termasuk pada sektor tersier adalah sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Sedangkan yang termasuk pada sektor sekunder adalah industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor bangunan dan konstruksi. Dan yang termasuk pada sektor primer adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan serta sektor pertambangan dan hasil-hasilnya. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari BPS dengan metode sampling, kinerja pembangunan ekonomi Kota Bandung dapat dilihat dengan membandingkan perubahan indikator pokok angka-angka dan indeks-indeks ekonomi makro daerah. Adapun gambaran kinerja makro ekonomi dan indikator lainnya Kota Bandung tahun 2007-2010 memberikan indikasi yang kuat bahwa kondisi ekonomi Kota Bandung mengalami peningkatan yang signifikan. Indikasi tersebut dijelaskan dengan terjadinya angka peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu ukuran agregat yang mengukur keberhasilan pembangunan suatu daerah. Selain itu dengan rata-rata peningkatan investasi 220
Kristianingsih
setiap
tahunnya
mencapai 37%
menyebabkan
peningkatan
rata-rata
laju
pertumbuhan ekonomi (LPE) yang setiap tahunnya sebesar 3%, sehingga pada gilirannya dapat menyerap tenaga kerja sebesar 37%. Secara makro dapat digambarkan bahwa dengan investasi yang terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran serta industri pengolahan mampu meningkatkan pergerakkan sektor riil yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya beli masyarakat walaupun tongkat inflasi masih terlalu tinggi. Namun demikian apabila dilihat dari meningkatnya kondisi ekonomi daerah ini, tidak serta merta berimplikasi pada meningkatnya standar hidup masyarakat Kota Bandung, hal ini dikarenakan meningkatnya harga minyak dunia berimplikasi terhadap harga bahan-bahan produksi yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan barang-barang kebutuhan dasar sehingga jumlah masyarakat miskin dan angka pengangguran masih relatif tinggi. Hal ini pada dasarnya dapat diminimalisasi jika PDRB yang merupakan output kota memiliki tingkat kompetitif dan komparatif. Analisis Ketimpangan Pendapatan Kota Bandung Tahun 2007-2010 Tabel 1. Koefisien Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2007-2010 Tahun
Indeks Williamson Keseluruhan
Kabupaten
Kota
2007
0.7760
0.1460
0.1620
2008
0.7878
0.1398
0.1545
2009
0.8087
0.1418
0.1343
2010
0.8098
0.1523
0.1754
Sumber : BPS Jawa Barat (data diolah kembali) Berdasarkan hasil penghitungan data diatas dengan menggunakan Indeks Williamson di Propinsi jawa barat ketimpangan pendapatan secara keseluruhan sebagaimana ditunjukkan pada tabel di atas terlihat nilai minimum 0,7760 terjadi pada tahun 2007 dan nilai tertinggi 0,8098 terjadi pada tahun 2009. Apabila dilihat dari fluktuasi tahun 2007 – 2010 ketimpangan pendapatan mengalami kenaikan kemudian terjadi penurunan. Meskipun pola pergerakan Nilai Indeks Willamson terlihat bahwa pada awalnya menunjukkan ketimpangan yang cenderung meningkat kemudian ada kecenderungan menurun, namun fluktuasinya tidak signifkan sehingga sampai dengan tahun 2010 kondisinya tidak mengalami perubahan tetap dikategorikan wilayah dengan ketimpangan pendapatan sangat tinggi. Koefisien ketimpangan yang menunjukkan kecenderungan meningkat disebabkan oleh pola pembangunan ekonomi yang lebih sektoral, dimana sektor sekunder dan tersier diutamakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
221
Ekspansi Ekonomi Padahal banyak sektor sekunder dan tersier yang dikembangkan secara ekonomi akan memilih pusat-pusat lokasi di daerah-daerah tertentu yang menguntungkan. Berbeda dengan ketimpangan pendapatan secara keseluruhan di propinsi Jawa Barat, ketimpangan pendapatan yang terjadi antar kabupaten di propinsi Jawa Barat tahun 2007 – 2010 menunjukkan ketimpangan pendapatan dengan kategori rendah artinya ketimpangan pendapatan kabupaten seluruhnya menunjukkan pada angka di bawah 0,29. Begitupun yang terjadi antar kota di proipinsi jawa barat tahun 2007 – 2010 seluruhnya termasuk kategori rendah karena ketimpangan pendapatan antara kota tahun 2007 – 2010 menunjukkan angka di bawah 0,29. Analisis Perubahan Indikator Kegiatan Ekonomi, yaitu dengan Analisis Shift and Share, dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini : Tabel 2 Shift and share Kota Bandung Tahun 2007-2010 G
N
19,595,952.00
G-N
22,520,314.41
(2,924,362.41)
D
P
1,959,595,200.00
Primer
Sekunder
Tersier
(3,401,892.79)
(610,751,009.18)
(1,348,366,660.44)
Sumber : BPS Kota Bandung, (diolah kembali) Kota Bandung secara absolut mengalami pertumbuhan dalam PDRBnya, hal ini dapat dilihat dari besar G > 0, sementara itu antara pertumbuhan PDRB Kota Bandung dengan pertumbuhan Propinsi Jawa Barat terjadi penyimpangan, karena (G-N)<0 yang artinya Kota Bandung pertumbuhannya ekonominya lebih lambat dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat. Dan bila dilihat dari component shift (P + D), ternyata Kota Bandung (P + D) < 0, artinya Kota Bandung tumbuh secara menurun. Proportional Shift atau industrial mix Kota Bandung berspesialisasi pada sector tersier, karena pertumbuhan sector tersebut tumbuh dengan cepat. Differential shift (komponen lokasional) di Kota Bandung ternyata lokasi untuk sector primer, sekunder maupun tersier tidak menguntungkan karena D < 0. Basis Ekonomi Kota Bandung Basis ekonomi wilayah yang menunjukkan spesialisasi relatif (kemampuan) Kota Bandung dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini : Tabel 3 Location Quotient Kota Bandung Tahun 20072010 2007
2008
2009
2010
Primer
Sekunder
Tersier
Primer
Sekunder
Tersier
Primer
Sekunder
Tersier
Primer
Sekunder
Tersier
0.018
0.72
2.35
0.0159
0.727
2.29
0.016
0.68
2.36
0.016
0.646
2.37
Sumber : BPS Kota Bandung, (diolah kembali) Basis Kota Bandung adalah sector tersier, yang bisa diandalkan sebagai sektor ekspor. 222
Kristianingsih
Kota Bandung di sektor primer dikategorikan tipologi 3, artinya sektor primer bukan merupakan basis dan pertumbuhannya lambat, demikian pula dengan sektor sekundernya merupakan tipologi 3, sedangkan sektor tesiernya merupaka tipologi 1, artinya sektor tersebut merupakan sektor basis yang pertumbuhannya cepat. Tabel 4. Model Rasio Pertumbuhan Wilayah Kota Bandung Tahun 20072010 RPR
Sektor
RPS
Klasifikasi
Riil
Nominal
Riil
Nominal
Primer
0.43
-
0.37
-
4
Sekunder
0.83
-
0.73
-
4
Tersier
1.10
+
0.96
-
2
Sumber : BPS Kota Bandung, data diolah kembali Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa Kota Bandung tidak ada sektor yang menonjol karena tidak ada yang berada di klasifikasi 1, namun sector tersier berada pada klasifikasi 2 artinya sektor tersier mempunyai pertumbuhan yang menonjol di Kota Bandung, tapi di wilayah propinsi pertumbuhannya tidak terlalu menonjol. Sedangkan sektor primer dan sekunder baik ditingkat Kota maupun propinsi mempunyai pertumbuhan yang rendah. Tabel 5 Deskripsi kegiatan Potensi Wilayah Kota Bandung Tahun 2007-2010 Sektor
Tahun 2007-2010 RPS
LQ
Total
Primer Sekunder Tersier + + Sumber : BPS Kota Bandung, data diolah kembali Dari hasil analisis deskripsi struktur ekonomi diatas terlihat bahwa pada sepanjang 2007-2010, sektor primer pertumbuhan dan kontribusinya kecil, demikian pula sektor sekunder, namun sektor tersier walaupun pertumbuhan rendah tapi kontribusinya dominan. Kontribusi dominan Kota Bandung adalah sektor tersier, dimana sektor tersebut terdiri dari : perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan serta sub sektor jasa-jasa.
Tabel 6. Struktur Ekonomi Sektor Tersier Kota Bandung Tahun 20072010 Sektor Tersier
2007
2008
2009
2010
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
8,038,860
9,660,012
12,478,198
16,468,162
Pengangkutan dan komunikasi
2,725,123
3,242,306
4,309,519
5,339,307
Keuangan, persewaan, dan jasa-jasa perusahaan
1,379,325
1,637,826
2,023,200
2,314,903
223
Ekspansi Ekonomi
Jasa-jasa
2,761,877
3,088,152
3,491,524
Sumber : BPS Kota Bandung, (data diolah kembali) Dari data tersebut diatas dianalisis dengan menggunakan Metode RPS dan analisis LQ untuk mengetahui pertumbuhan sektor yang tinggi dan kontribusinya dominan, diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 7. Deskripsi kegiatan Potensi Wilayah Kota Bandung pada sektor tersier RPS
Sektor
LQ
Riil
Nominal
Riil
Nominal
Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa-jasa perusahaan
1.16 1.06 0.75
+ + -
0.93 0.30 0.13
-
Jasa-jasa
0.60
-
0.24
-
Sumber : BPS Kota Bandung, data diolah kembali Dari perhitungan pada tabel 7 dapat diinterpretasikan bahwa Kota Bandung pada tahun 2007-2010 dengan menggunakan perhitungan RPS dan LQ bahwa sektor tersier yang perlu dikembangkan adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai RPS riil sebesar 1.16 dan LQ riil sebesar 0,93 kemudian disusul sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor yang perlu dikembangkan juga adalah sector keuangan, persewaan, dan jasa-jasa perusahaan. Walaupun sektor jasa dengan nilai RPS riil 0,60 dan nilai LQ riil 0,24 sektor inipun perlu dikembangkan, karena sector tersier tersebut akan memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam peningkatan Pendapatan Domestik Regional Daerah (PDRB) Kota Bandung. SIMPULAN DAN IMPLIKASI SIMPULAN 1. Dengan mempertimbangkan hasil analisis MRP dan analisis location quotient (overlay) dalam konteks wilayah referensi Jawa Barat dan wilayah studi Kota Bandung, kegiatan dominan Kota Bandung dalam konteks perekonomian Jawa Barat sepanjang tahun 2007-2010 adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan sektor pengangkutan, dan komunikasi, karena mempunyai pertumbuhan (+) dan kontribusi (-) berarti kegiatan tersebut bila ditingkatkan kontribusinya akan menjadi sektor dominan. 2. Baik dilihat dari pertumbuhan sektor, ketimpangan yang rendah, analisis shift and share, analisis location quotient maupun MRP, dapat disimpulkan bahwa kontribusi terbesar walaupun tidak dominan seyogyanya mengembangkan 224
4,260,785
Kristianingsih
sektor tersier khususnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan sektor pengangkutan, dan komunikasi. Namun pembangunan di sektor tersebut harus yang menunjang pembangunan sektor primer dan sektor sekunder, supaya tidak terjadi ketimpangan pendapatan yang signifikan. IMPLIKASI Berdasarkan analisis data yang telah penulis lakukan dengan menggunakan perhitungan pertumbuhan ekonomi daerah dari sisi permintaan dan penawaran diharapkan kebijakan ekonomi daerah kota Bandung yang akan datang adalah mengembangkan sektor tersier yaitu perdagangan, hotel, dan restoran, sub sektor pengangkutan dan komunikasi disisi lain harus dapat menunjang kegiatan yang dilakukan pada sektor primer dan sekunder.
DAFTAR PUSTAKA Agus Widarjono. 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia FE UII. Badan Pusat Statistik. Jawa Barat Dalam Angka.Berbagai Edisi. Bandung : BPS. Badan Pusat Statistik Kota Bandung 2004-2007 Djojohadikusumo Sumitro, 1994 Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta, LP3ES Gujarati Damodar N.. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: McGRAW_HILL. Hakim Abdul, 2002, Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta, Ekonisia Kampus Fakultas Jhingan M.L, 2000, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada Kuncoro Mudrajad, 2006, Ekonomika Pembangunan Teori. Masalah dan Kebijakan, Yogyakarta UPP STIM YKPN M. Ismail. 2002. Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah. Malang: FE Universitas Brawijaya. Mardiasmo. Dampak Otonomi Daerah Terhadap Sektor Perbankan. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol.3.no.1.April 2001. Mudrajad Kuncoro. 1995. Desentral Prasetyantoko, Bencana Finansial, Kompas Jakarta, 2008 Suparmoko Irawan,1990, Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta, Fakultas Ekonom Todaro Michael,2006, Pembangunan Ekonomi, Jakarta, Erlangga 225
Ekspansi Ekonomi
Sengaja Dikosongkan
226
Kristianingsih
227