EKSISTENSI SYARIAH DALAM ISLAM Nurcahaya Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Jl. Williem Iskandar Psr. V Medan Estate, 20371 e-mail:
[email protected]
Abstrak: Sharia is a variety of rules and law set by Allah SWT. to mankinds in order to regulate life, both personally and communaly in a extensive form. Sharia has general and specipic meaning. If it’s just sharia, then it means in general meaning, namely the islamic religion as a whole conversely, if sharia is referred to aqidah, then it means in specific meaning. Namely the laws, commans and prohibitions on religions issues that are not beliefs (akidah). Sharia brought by the prophet organize everithing without exception ranging from the human relationship with the creator in the context of faith and worship such as prayer, fasting, zakat, hajj (pilgrimage to Macca) and jihad. Man’s relationship with himself as in matters of clothing, food and morals to human relationship with each other as in government affairs, economic, social, education, and foreign policy etc. conceptually, everything has beeb arrange by Islam very clearly. If islamic law should be changed because of the time and the place. It means that there will be a fact or case which has two laws at once halal and haram although in the different area and time range. This obviously impossible because Allah is not likely lose two opposing laws to the same case. It is also very contradictory to the character of the perfection of the islamic sharia.
Kata Kunci: Syari’ah, Hukum Taklify, Hukum wadh’i, fikr asâsi, fikrah kulliyyah, manâth al-hukm.
A. Pendahuluan ata syariat Islam merupakan pengindonesiaan dari kata Arab, yakni assyarî‘ah al-Islâmiyyah. Secara etimologis, kata as-syarî’ah mempunyai konotasi masyra‘ah al-mâ’ (sumber air minum). (Ibn al-Manzhûr 1996: 175) Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan sebutan syarî‘ah kecuali jika sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah kering.( Ibn al-Manzhûr: 175) Dalam bahasa Arab, syara‘a berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan), dan bayyana al-masâlik (menunjukkan jalan). Syara‘a lahumyasyra‘u-syar‘an berarti sanna (menetapkan).( ArRazi :293) Syariat dapat juga berarti madzhab (mazhab) dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus). (Al-Jurjâni : 167)
K
Dalam istilah syariat sendiri, syarî‘ah berarti agama yang ditetapkan oleh Allah SWT. untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan 100
Nurcahaya : Eksistensi Syariah Dalam Islam
ketentuan yang beragam. (Al-Qurthûbi :163). Hukum-hukum dan ketentuan tersebut disebut syariat karena memiliki konsistensi atau kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Dengan demikian, syariat dan agama mempunyai konotasi yang sama, (Ibn al-Manzhûr :631) yaitu berbagai ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama [1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik keoada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Q.S Asy-Syuura:13). Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari as-Suddi tentang firman Allah SWT. “Dialah yang telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh”, dia berkata: “(Maksudnya) yaitu agama semuanya (yakni semua bagia-bagiannya, Pen)”. Sedangkan makna syari’at secara khusus, yaitu peraturan yang dibuat oleh Allah yang berupa hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Hal ini seperti firman Allah: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-Mâ’dah:48). Telah diketahui bahwa maksud syari’at (aturan) dalam ayat ini adalah peraturan-peraturan, bukan aqidah. Karena aqidah seluruh nabi semua sama, sedangkan peraturannya berbeda-beda sesuai dengan keadaanya. (Tafsir AlThabari: 134) Dengan demikian kita mengetahui, bahwa syari’at memiliki makna umum dan khusus. Jika syari’at disebut sendiri, maka yang dimaksud adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari’at disebut bersama aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hokumhukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan aqidah (keyakinan). Sementara itu, kata al-Islâm (Islam), secara etimologis mempunyai konotasi inqiyâd (tunduk) dan istislâm li Allâh (berserah diri kepada Allah). Istilah tersebut selanjutnya dikhususkan untuk menunjuk agama yang disyariatkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks inilah, Allah menyatakan kata Islam sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
﴾...ﺎﻳﻨ ﺩﻼﹶﻡ ﺍﻹْﺳ ﻟﹶﻜﹸﻢﻴﺖﺿﺭﻲ ﻭﺘﻤ ﻧﹺﻌﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﺖﻤﻤﺃﹶﺗ ﻭﻜﹸﻢﻳﻨ ﺩ ﻟﹶﻜﹸﻢﻠﹾﺖ ﺃﹶﻛﹾﻤﻡﻮﺍﻟﹾﻴ...﴿ Artinya: “Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan meridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 3).
101
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
Karena itu, secara syar‘î, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita, Muhammad SAW., untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri, dan sesamanya. ( An-Nabhâni 2001: 69) Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian. (An-Nabhâni 2001 : 69) Dengan demikian, syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui RasulNya, Muhhammad SAW. untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Artinya, cakupan syariat Islam meliputi akidah dan syariat. Dengan kata lain, syariat Islam bukan hanya mengatur seluruh aktivitas fisik manusia (af‘âl al-jawârih), tetapi juga mengatur seluruh aktivitas hati manusia (af‘âl al-qalb) yang biasa disebut dengan akidah Islam. Karena itu, syariat Islam tidak dapat direpresentasikan oleh sebagian ketentuan Islam dalam masalah hudûd (seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya); apalagi oleh keberadaan sejumlah lembaga ekonomi yang menjamur saat ini semisal bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan sebagainya.
B. Syari’ah dalam Islam dan Ruang Lingkupnya Dengan definisi syariat Islam baik secara etimologis maupun terminologis syar‘î di atas, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariat Islam adalah seluruh ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah maupun peraturan atau sistem kehidupan yang menjadi turunannya. Akidah Islam adalah keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada kitab-kitab-Nya; kepada para rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang baik dan buruknya berasal dari Allah SWT semata. (An-Nabhâni :73) Akidah Islam juga meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan serta seluruh perkara yang berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal gaib dan apa saja yang tidak bisa dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya. (Muhammad Ismâ’îl 1958 : 9-10) Akidah Islam merupakan pemikiran yang sangat mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan secara sahih problem mendasar manusia di seputar: dari mana manusia berasal; untuk apa manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah mati. (An-Nabhâni :191) Artinya, akidah Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi sumber dari seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas persoalan di seputar: (1) alam semesta, manusia, dan kehidupan; (2) eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; (3) Hubungan alam, manusia, dan kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia, hubungan yang dimaksud adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang harus tunduk pada syariat-Nya. Sebab, syariat 102
Nurcahaya : Eksistensi Syariah Dalam Islam
Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh aktivitas manusia di hadapanNya. (An-Nabhâni :192) Sementara itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan kumpulan ketentuan yang mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian. (AnNabhâni :36) Tentu saja, untuk bisa disebut sistem Islam, ia harus digali dari dalildalil tafshîli (rinci); baik yang bersumber dari Alquran, Hadis Nabi, Ijma Sahabat, maupun Qiyas. Alquran, misalnya, dengan tegas menyatakan:
﴾ٍﺀﻲﻜﹸﻞﱢ ﺷﺎ ﻟﺎﻧﻴﺒ ﺗﺎﺏﺘ ﺍﻟﹾﻜﻚﻠﹶﻴﺎ ﻋﻟﹾﻨﺰﻧ﴿ﻭ Artinya: “Kami telah menurunkan al-Kitab (Alquran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS an-Nahl [16]: 89). Hadis Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama:
«ﻪﺒﹺﻴﺔﹶ ﻧﻨﺳ ﺍﷲِ ﻭﺎﺏﺘﺎ ﻛ ﺑﹺﻬﹺﻤﻢﻜﹾﺘﺴﻤﺎ ﺗﻠﱡﻮﺍ ﻣﻀ ﺗﻳﻦﹺ ﻟﹶﻦ ﺮ ﺃﹶﻣﻴﻜﹸﻢ ﻓﻛﹾﺖﺮ»ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺗ Artinya: “Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad). Dari dua nash di atas, tampak jelas bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. telah mengatur segala urusan tanpa kecuali; mulai dari hubungan manusia dengan Penciptanya—dalam konteks akidah dan ibadah semisal shalat, puasa, zakat, haji dan jihad; hubungan manusia dengan dirinya sendiri seperti dalam urusan pakaian, makanan dan akhlak; hingga hubungan manusia dengan sesamanya seperti dalam urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri, dan lain-lain. Secara konseptual, semuanya telah diatur oleh Islam dengan sejelas-jelasnya. Sementara itu, dalam tataran praktis atau aplikatif, Islam juga memiliki atacara tertentu yang digunakan untuk mengaplikasikan hukum-hukumnya, memelihara akidahnya, dan mengembannya sebagai risalah dakwah. Dengan demikian, yang pertama bersifat konseptual dan tidak mempunyai pengaruh secara fisik sehingga disebut sebagai fikrah (konsep) saja, sedangkan yang kedua bersifat praktis dan aplikatif sehingga disebut dengan tharîqah (metode). Sebab, yang terakhir ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga bersifat praktis dan aplikatif karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara fisik, di samping bersifat tetap. Kedua fakta di atas bisa dijelaskan lebih jauh. Akidah Islam, kewajiban shalat, zakat, haji, dan puasa, misalnya, adalah fikrah. Sementara itu, jihad, dakwah, dan sanksi atas tindakan kriminal (‘uqûbât) adalah tharîqah karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara fisik dan bersifat tetap; tidak berubah karena situasi dan kondisi. (An-Nabhâni :55-58) Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa syariat Islam mencakup fikrah dan tharîqah. 103
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
Karena syariat Islam terdiri dari fikrah dan tharîqah, keduanya harus diyakini secara utuh tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Mengimani fikrah-nya saja (semisal kewajiban menegakkan shalat dan haramnya meninggalkan zakat) tanpa meyakini tharîqah untuk mengaplikasikannya semisal (keharusan memberlakukan sanksi ta’zîr bagi para pelanggarnya) bukan hanya akan mengakibatkan terabaikannya pelaksanaan syariat Islam tersebut, tetapi juga dapat mengantarkan siapa saja yang mengingkarinya pada kekufuran—jika yang diingkarinya adalah hukum-hukum yang bersifat tegas/pasti (qath‘î) dari segi sumber (tsubût) dan makna (dalâlah)-nya. Dengan ungkapan lain, syariat Islam sesungguhnya meliputi keyakinan spiritual (‘aqîdah rûhiyyah) dan ideologi politik (‘aqîdah siyâsiyyah). Spiritualisme Islam telah membahas hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya yang terangkum dalam akidah dan ubudiah; membahas pahala dan dosa manusia; serta membahas seluruh urusan keakhiratan manusia seperti surga dan neraka. Sebaliknya, ideologi politik Islam telah membahas seluruh urusan keduniaan yang terangkum dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya; baik menyangkut bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, maupun politik luar negeri, dan sebagainya. (Hadits ash-Shiyâm, t.p., t.t.) Istilah ‘aqîdah (keyakinan, prinsip dasar, ideologi) sengaja digunakan untuk menyebut kedua konsepsi di atas. Alasannya, karena masing-masing aspek tersebut merupakan ajaran Islam yang harus diyakini oleh setiap Muslim dan merupakan persoalan agama yang telah sama-sama diketahui urgensinya (ma‘lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah). Penolakan terhadap salah satu atau kedua-duanya sekaligus dapat mengakibatkan seseorang terpelanting dari Islam alias murtad. Dari sini, dapat disimpulkan, bahwa syariat Islam bukan hanya mengatur urusan dan persoalan yang dibahas oleh agama, tetapi juga urusan dan persoalan yang dibahas oleh ideologi. Dengan lingkup syariat Islam yang meliputi dua wilayah ini—agama dan ideologi—maka tepat sekali jika Islam disebut sebagai agama dan ideologi sekaligus. Artinya, secara mendasar, Islam jelas berbeda dengan Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan sebagainya yang bersifat spiritual. Syariat agama-agama non-Islam di atas pada faktanya hanya membahas urusan dan persoalan spiritual (keakhiratan) sehingga hanya layak disebut sebagai agama. Sebaliknya, urusan dan persoalan keduniaan yang dibahas oleh ideologi, tidak dibahas oleh agama-agama non-Islam tersebut. Islam juga berbeda dengan ideologi-ideologi lain seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Kedua ideologi tersebut pada faktanya juga hanya membahas urusan dan persoalan keduniaan semata. Sebaliknya, urusan dan persoalan spiritual (keakhiratan) yang dibahas oleh agama tidak dibahas oleh keduanya. Karena itu, baik Kapitalisme maupun Sosialisme tidak dapat disebut sebagai agama, tetapi lebih tepat disebut sebagai ideologi. Walhasil, Islamlah—dengan syariatnya—satu-satunya yang ada di dunia ini yang membahas seluruh urusan dan persoalan keduniaan maupun keakhiratan dengan sempurna. Artinya, hanya Islamlah satu-satunya syariat di dunia ini yang utuh dan sempurna, yang dapat diimplementasikan sebagai agama dan ideologi sekaligus. 104
Nurcahaya : Eksistensi Syariah Dalam Islam
Dari uraian di atas, dapat dibuktikan bahwa syariat Islam mempunyai lingkup yang sangat luas; mencakup seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT. berfirman:
﴾ٍﺀﻲﻜﹸﻞﱢ ﺷﺎ ﻟﺎﻧﻴﺒ ﺗﺎﺏﺘ ﺍﻟﹾﻜﻚﻠﹶﻴﺎ ﻋﻟﹾﻨﺰﻧ﴿ﻭ Artinya: “Kami telah menurunkan al-Kitab (Alquran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. an-Nahl [16]: 89).
﴾ﺎﻳﻨ ﺩﻼﹶﻡ ﺍﻹِْﺳ ﻟﹶﻜﹸﻢﻴﺖﺿﺭﻲ ﻭﺘﻤ ﻧﹺﻌﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﺖﻤﻤﺃﹶﺗ ﻭﻜﹸﻢﻳﻨ ﺩ ﻟﹶﻜﹸﻢﻠﹾﺖ ﺃﹶﻛﹾﻤﻡﻮ﴿ﺍﻟﹾﻴ Artinya: “Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian.” (QS. al-Mâ’idah [3]: 3). Kedua ayat ini membuktikan cakupan Islam yang meliputi seluruh urusan manusia. Urusan-urusan tersebut semuanya telah dijelaskan oleh Islam. Syariat Islam yang mengatur seluruh urusan tersebut telah disempurnakan oleh Allah sehingga tidak ada sedikitpun kekurangan di dalamnya. Dengan kata lain, tidak ada satu pun persoalan dan urusan kehidupan manusia yang tidak dijelaskan oleh Islam. Keluasan syariat Islam terlihat dari cakupannya yang meliputi seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia; mulai dari yang bersifat duniawi hingga yang bersifat ukhrawi; dari yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya), horisontal (hubungan manusia dengan sesamanya), hingga persoalan personal (hubungan manusia dengan dirinya sendiri). Semua itu terepleksikan dalam urusan akidah dan ubudiah; pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, dan sanksi hukum; akhlak, makanan, dan pakaian. Semuanya telah dibahas tuntas dan jelas oleh syariat Islam. Penggalian berbagai hukum terhadap nash-nash syariat, yakni Alquran dan Sunnah Nabi, memungkinkan dipecahkannya berbagai kasus dan persoalan yang beragam. Kasus-kasus perburuhan, misalnya, baik negeri ataupun swasta, dapat diselesaikan dengan hukum syariat yang digali dari firman Allah berikut:
﴾ﻦﻫﻮﺭ ﺃﹸﺟﻦﻮﻫ ﻓﹶﺂﺗ ﻟﹶﻜﹸﻢﻦﻌﺿ﴿ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﺃﹶﺭ Artinya: “Jika mereka (para wanita itu) menyusui untuk (anak-anak) kalian, berikanlah upah-upah mereka.” (QS. al-Thalâq [65]: 6). Secara eksplisit, ayat ini menjelaskan hak wanita yang dicerai atas upah menyusui yang dilakukannnya terhadap anak hasil pernikahan antara dirinya dan bekas suaminya. Dari kasus upah wanita yang dicerai ini lahir definisi syar‘î mengenai akad perburuhan (ijârah), yaitu akad atas jasa tertentu dengan kompensasi tertentu. (An-Nabhâni 1998 : 171) Definisi ini merupakan bagian dari hukum syariat yang relevan untuk diimplementasi pada seluruh kasus perburuhan, baik buruh khusus maupun umum. Definisi ini juga dapat digunakan untuk meng105
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
hukumi status akad kekhalifahan antara khalifah dan umat atau akad antara khalifah serta para pembantu dan walinya, yakni bahwa mereka tidak diangkat berdasarkan akad perburuhan (‘aqd al-ijârah). Artinya, mereka tidak layak mendapatkan upah sebagaimana halnya buruh, tetapi sekadar mendapatkan kompensasi atau santunan non-gaji (An-Nabhâni1998 :44. Karena bukan akad perburuhan, mereka juga tidak dapat diberhentikan oleh umat, karena umat bukan majikan mereka, dan mereka bukan buruh umat. Mereka hanya dapat diberhentikan oleh mahkamah mazhâlim (sejenis mahkamah agung, peny.) sebagai institusi yang berfungsi untuk menghilangkan kezaliman yang dilakukan oleh aparat pemerintahan. Namun demikian, tidak semua nash-nash syariat yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi membahas seluruh persoalan kehidupan manusia secara rinci/mendetail (mufashshal). Sebagian besar nash-nash tersebut bahkan hanya menjelaskan hukum-hukum tertentu secara global (mujmal) dengan makna-makna yang bersifat general (ma’ân ‘âmmah). Sementara itu, rinciannya diserahkan pada mekanisme ijtihad para mujtahid, yaitu ketika bentuk dan makna yang bersifat global dan general tersebut hendak diimplementasikan sesuai dengan kondisi kasus-perkasus pada setiap waktu dan tempat. Hukum waris, misalnya, di satu sisi dinyatakan secara rinci (mufashshal) di dalam Alquran. Akan tetapi, dalam sebagian kasus tertentu, hukum waris memerlukan ijtihad seorang mujtahid, seperti dalam kasus kalâlah. Sebagaimana diketahui, Allah SWT berfirman:
﴾ﺱﺪﺎ ﺍﻟﺴﻤﻬﻨ ﻣﺪﺍﺣﻜﹸﻞﱢ ﻭ ﻓﹶﻠﺖ ﺃﹸﺧ ﺃﹶﻭ ﺃﹶﺥﻟﹶﻪﺃﹶﺓﹲ ﻭﺮﺙﹸ ﻛﹶﻼﹶﻟﹶﺔﹰ ﺃﹶﻭﹺ ﺍﻣﻮﺭﻞﹲ ﻳﺟﺇﹺﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺭ﴿ﻭ Artinya: “Jika seseorang yang mati—baik laki-laki maupun perempuan—adalah kalâlah, sementara ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing saudaranya itu seperenam harta.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 12). Ketika Abû Bakar ditanya mengenai pengertian kalâlah, beliau menjawab, “Kalâlah adalah orang yang tidak memiliki bapak maupun anak” (al-Qurthûbi 1373 : 76) Sebaliknya, ‘Umar bin al-Khaththâb berpendapat yang berbeda dengan Abû Bakar. Menurutnya, kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai anak saja. Akan tetapi kemudian, sebelum meninggal, ‘Umar meninggalkan pendapatnya dan kembali merujuk pada pendapat Abû Bakar. (‘Abd ar-Razzâq 1403 : 34) Perbedaan antara Abû Bakar dan ‘Umar ini wajar terjadi karena nash yang menjelaskan kasus kalâlah ini tidak rinci (ghayr mufashshal). Dengan adanya nash-nash syariat yang bersifat global (mujmal) dan general (‘âmmah), setiap dinamika, perubahan, dan perkembangan persoalan yang berlangsung di tengah manusia sangat mungkin direspon dan diselesaikan dengan cepat oleh para mujtahid. Sekalipun demikian, adanya perubahan dan perkembangan realitas yang terjadi tidak berarti nash-nash syariat tunduk pada realitas yang ada. Sebaliknya, realitas tersebutlah yang harus tunduk pada nash-nash syariat. Dalam hal ini, Islam telah mensyariatkan satu metode untuk menyelesai106
Nurcahaya : Eksistensi Syariah Dalam Islam
kan seluruh problem yang berkembang, yakni menyeru para mujtahid untuk mempelajari problem yang terjadi sampai benar-benar dipahami, memahami nashnash syariat yang relevan dengan kasus yang terjadi, dan baru setelah itu menggali atau mengimplementasikan hukum atau pemecahan atas problem tersebut. (AnNabhâni 1995 : 369) Dengan cara seperti ini, keluasan nash-nash syariat untuk menghasilkan berbagai hukum syariat dan fleksibelitasnya sehingga dapat diimplementasikan dalam berbagai kasus telah menjadi ciri khas syariat Islam. Dengan karakter seperti inilah syariat Islam mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan seluruh problem dalam kehidupan manusia, baik di masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang. Di samping bukti-bukti normatif di atas, juga terdapat bukti-bukti historis, yakni perjalanan peradaban Islam yang sangat panjang dan sangat agung—selama hampir 13 abad—sebagai hasil dari diterapkannya syariat Islam di muka bumi. Bukti-bukti normatif maupun historis ini mengukuhkan bahwa selama metode penyelesaian berbagai persoalan yang terjadi—yang bersumber dari syariat Islam—diterapkan oleh umat Islam dan pintu ijtihad pun tetap dibuka, selama itu pula syariat tidak pernah kering akan solusi sekaligus tetap layak diterapkan di manapun dan kapanpun. Akan tetapi sebaliknya, ketika syariat Islam tidak diterapkan dan pintu ijtihad pun seolah telah ditutup, umat Islam menjadi mandul dan tidak mampu memecahkan berbagai persoalan yang terjadi. Inilah yang pernah dihadapi umat Islam pasca ‘ditutupnya’ pintu ijtihad oleh al-Qaffâl pada abad ke-4 Hijriah/10 Masehi dan pasca digusurnya syariat Islam seiring dengan diruntuhkannya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 oleh Kemal Attaturk yang berkonspirasi dengan Yahudi dan Inggris.
C. Hukum dan Pengertian Serta Pembagiannya Hukum secara etimologi berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Pengertian kata hukum memiliki rumusan yang luas. Namun, secara sederhana hukum dapat diartikan sebagai “seperangkat peraturan tentang tigkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu Negara atau kelompok masyarakat.” (Syarifuddin I , 1997:281) Terdapat perpedaan antara ulama ushful fiqih dan ulama fiqih tentang pengertian hukum syar’i. menurut Syaukani dalam Nasrul Haroen berpendapat bahwa “tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalangan, sah, batal, ruhkhsah atau azimah”. (Syarifuddin I , 1997:281) Sedangkan ulama fiqih berpendapat bahwa “hukum itu adalah akibat yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujud, maujud, hurmah, karahah, dan ibadah. Perbuatan yang dituntut itu menurut mereka disebut wajub, sunah, haram, makruh, dan mubah.
107
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
Pembagian Hukum Taklif “Hukum taklif itu ada empat dengan tidak memasukkan al-ibahah (pilihan) karena yang dimaksud dengan aklif itu adalah beban kepala orang mukallaf baik untuk mengerjakan atau meninggalkan”. (Al-Amidi, 1983:91) Pembagian Hukum Wadh’i Ulama ushful fiqih membagi hukum wadh’I kepada lima macam yaitu: “sabab, syarth, man’I , shah, dan bathil”. (Haroen, 1995:40). Sedangkan ada tujuh hukum wadhi’I yaitu “sebab, syarth, mani’, shah, bathil, azimah, dan rukhsah”. (Al-Amidi, 1983:91). Sabda Rasul tentang salah satu karahah “Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya, Rasulullah bersabda perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalak”. (Al-Shan’ani, hal. 168). Salah satu hukum yang mengatakan bahwa shalat itu tidak dapat dilaksanakan tanpa berwudhu. “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kamu bila dia berhadas hingga dia berwudhu”. (AlShan’ani I, tth: 40) Perintah untuk meninggalkan shalat ketika sedang haid. “Apabila datang haid kamu tinggalkanlah shalat, dan apabila sudah berhenti, maka mandilah dan shalatlah”. (Al-Shan’ani I, tth: 36) Kesepakatan Syarifuddin terhadap Al-Amidi tentang azimah dan rukhsah. Mengenai rukhsah dan azimah, Syarifuddin sepakat dengan Al-Amidi bahwajuga termasuk pembahsan hukum wadh’I dalam pelaksanaan hukum taklifi yaitu azimah dan rukhsah. ‘azimah yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, seperti haramnya bangkai untuk umat Islam. Rukhsah yaitu, pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum bangkai itu haram’. (Syarifuddin I, 1997:28) Syarifuddin mengandung dua bidang pokok berdasarkan tugas manusia untuk mengabdi kepada Allah, yaitu: 1) Kajian tentang perangkat peraturan terrinci yang bersifat amaliah dan harus diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama, yang disebut dengan fiqih. 2) Kajian tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sistematis dalam menghasilkan perangkat peraturan yang terinci itu disebut usul fiqih. (Syarifuddin I, 1997:5) Hukum Tidak Berubah Karena Faktor Waktu dan Tempat Karakteristik hukum Islam sangat berbeda secara diametral dengan hukum produk Kapitalisme maupun Sosialisme. Hukum Islam dibangun berdasarkan nash-nash syariat yang tetap. Dalam Islam, nash-nash syariat adalah sumber hukum yang kemudian menghukumi realitas. Sebaliknya, dalam Kapitalisme, misalnya, realitaslah yang menjadi pijakan hukum yang kemudian menghasilkan 108
Nurcahaya : Eksistensi Syariah Dalam Islam
produk-produk hukum yang sesuai dengan (mengakomodasi) realitas. (AnNabhâni 1990:55) Akibatnya, hukum produk Kapitalisme ini berubah-ubah dari waktu ke waktu dan berbeda-beda antara satu tempat dan tempat lainnya. Ini adalah konsekuensi dari dijadikannya realitas—yang terus berubah dan berkembang— sebagai pijakan hukum. UU Pemilu Tahun 1999, misalnya, yang notabene baru dan dianggap paling baik dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya, kini telah direvisi dengan alasan mempunyai kelemahan-kelemahan seiring dengan tuntutan dan perkembangan baru jagat perpolitikan di Tanah Air. Sementara itu, hukum produk Sosialisme dibangun berdasarkan hipotesis-teoretis yang diasumsikan ada dalam permasalahan yang terjadi. (An-Nabhâni 1990 : 55-56) Sebagaimana telah dijelaskan, produk hukum Islam digali dari nash-nash syariat, sementara pada saat yang sama nash-nash tersebut tidak tetap dan tidak pernah mengalami perubahan. Karena itu, produk hukum tersebut harus selalu terikat dengan nash dan tunduk pada apa yang dinyatakan oleh dalâlah-nya. Pertimbangan atas dasar ‘perubahan zaman’ dan perbedaan tempat tidak mempunyai nilai sama sekali di sini, sebagaimana pertimbangan atas dasar kemaslahatan atau kemadaratan. Perbedaan kultur, kebiasaan, dan adat istiadat masyarakat juga tidak boleh mempengaruhi hukum Islam. Sebab, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat bukanlah ‘illat (motif diberlakukannya hukum) dan sumber hukum. Bahkan, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat acapkali banyak yang bertentangan dengan syariat. Apalagi kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat yang ada pada masa sekarang ini pada dasarnya merupakan kristalisasi dari pemikiran dan hukum-hukum yang bersumber dari sistem sekular yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan masyarakat. Namun demikian, jika kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam, ia dibolehkan (mubah). Hanya saja, kebolehannya bukan karena pertimbangan apa-apa kecuali karena memang dibolehkan oleh nash-nash syariat. Sebagaimana dimaklumi, syariat Islam adalah yang itu-itu juga; tidak pernah berubah. Yang halal akan tetap halal dan yang haram akan tetap haram. Selamanya begitu hingga Hari Kiamat, karena wahyu Allah telah terputus dan syariat Islam telah sempurna. Karena itu, khamar, misalnya, tidak akan pernah haram pada satu waktu, kemudian berubah menjadi halal pada waktu lain. Demikian juga keharaman riba, memata-matai orang Islam, menipu, meminta bantuan kepada orang kafir, suap, dan sebagainya. Statemen bahwa hukum harus berubah karena faktor perubahan waktu dan tempat tentu merupakan bentuk keberanian yang luar biasa terhadap Allah. Allah SWT. berfirman:
ﺇﹺﻥﱠﺏﻠﹶﻰ ﺍﷲِ ﺍﻟﹾﻜﹶﺬﻭﺍ ﻋﺮﻔﹾﺘﺘ ﻟﺍﻡﺮﺬﹶﺍ ﺣﻫﻼﹶﻝﹲ ﻭﺬﹶﺍ ﺣ ﻫﺏ ﺍﻟﹾﻜﹶﺬﻜﹸﻢﺘ ﺃﹶﻟﹾﺴِﻨﻒﺼﺎ ﺗﻤﻘﹸﻮﻟﹸﻮﺍ ﻟﻻﹶ ﺗ﴿ﻭ ﴾ﻮﻥﹶﺤﻳﻔﹾﻠ ﻻﹶﺏﻠﹶﻰ ﺍﷲِ ﺍﻟﹾﻜﹶﺬﻭﻥﹶ ﻋﺮﻳﻔﹾﺘ ﻳﻦﺍﻟﱠﺬ 109
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
Artinya: Janganlah kalian berdusta dengan sebab apa yang disifatkan oleh lidah kalian, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan sesuatu yang dusta terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang berdusta terhadap Allah tidak akan berhasil.” (QS an-Nahl [16]: 116). Apabila hukum Islam harus berubah karena faktor waktu dan tempat, berarti akan ada satu fakta atau kasus yang memiliki dua hukum sekaligus—halal dan haram—meskipun dalam wilayah dan rentang waktu yang tidak sama. Ini jelas mustahil karena Allah tidak mungkin menurunkan dua hukum yang berlawanan untuk kasus yang sama. Hal ini juga sangat kontradiktif dengan karakter kesempurnaan syariat Islam. Memang, realitas yang menjadi obyek hukum boleh jadi mengalami perubahan, tetapi hukum atas realitas itu sendiri tentu saja tidak berubah. Dalam istilah para ahli fikih (fuqahâ’), obyek hukum biasa disebut manâth al-hukm (Rawwâs 1996 :431). Dalam Alquran dan as-Sunnah, misalnya, khamar sampai kapanpun dan di mana pun tetap diharamkan. Akan tetapi, ketika esensi khamar berubah menjadi cuka, maka ia menjadi halal. Dalam dua keadaan ini sebetulnya tidak dapat dikatakan telah terjadi perubahan hukum. Yang terjadi adalah perubahan manâth al-hukm yang memungkinkan dihasilkannya dua hukum yang berbeda: khamar tetap khamar dengan keharamannya; cuka tetaplah cuka dengan kehalalannya. Sebab, keduanya memiliki esensi dan manâth al-hukm yang berbeda.
D. Penutup Demikianlah, setiap hukum syariat mempunyai manâth al-hukm. Setiap terjadi perubahan manâth, pasti ada hukum lain untuk manâth yang baru tersebut. Manâth, menurut al-Ghazâli, tidak sama dengan ‘illat (latar belakang/motif diberlakukannya hukum). (Al-Ghazâli 304) Sebab, tidak semua hukum mempunyai ‘illat, tetapi ia pasti mempunyai manâth. Karena itu, menurut as-Syâtibi, penentuan hukum atas manâth al-hukm harus tepat, dan hanya berlaku untuk manâth tersebut, tidak untuk yang lain. (As-Syâtibi 62) Contoh lain, orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh menunaikan shalat sambil duduk atau berbaring. Perubahan posisi dari sebelumnya wajib berdiri menjadi boleh duduk tidak dapat dikatakan sebagai perubahan hukum karena kondisi berbeda, tetapi karena memang adanya perbedaan hukum yang didasarkan pada dua manâth al-hukm yang memang berbeda: orang sehat tidak sama dengan orang sakit. Karena itu, orang sehat tetap wajib menunaikan shalat dengan berdiri, sedangkan orang sakit dibolehkan melaksanakan shalat sambil duduk atau berbaring. Jika hukum untuk orang sehat diberlakukan juga pada orang sakit, jelas keliru, karena masing-masing mempunyai manâth al-hukm yang berbeda. Demikian seterusnya. Di samping itu, syariat Islam diberlakukan atas manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia; bukan karena faktor suku, etnik, geografis, ataupun karena faktor Arab atau non-Arabnya. Di mana pun dan kapan pun, manusia, baik Arab 110
Nurcahaya : Eksistensi Syariah Dalam Islam
atau non-Arab, esensinya sama; masing-masing mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah yang sama. Kondisi ini tidak pernah berubah. Karena itu, gagasan bahwa hukum harus berubah karena faktor waktu dan tempat sebenarnya bukan merupakan keniscayaan hidup manusia. Sebab, esensi kemanusiaan pada diri manusia tidak pernah mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah sarana fisik dan wujud materi yang melingkupinya. Dengan demikian, dinamisasi, perkembangan, dan perubahan tersebut sebenarnya hanya menyangkut bentuk-bentuk materi atau sarana-sarana fisik yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan naluriahnya. Sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi tuntutan jasmaniah maupun naluriahnya, tidak pernah berubah. Contoh, manusia memerlukan makanan, minuman, pakaian, tidur, beristirahat. Semua ini diperlukan oleh manusia pada zaman mana pun dan di mana pun meskipun boleh jadi alat pemuas dan kualitasnya berbeda-beda. Alat pemuas dan kualitas kebutuhan manusia zaman purba, misalnya, tentu berbeda dengan alat pemuas dan kualitas yang dibutuhkan manusia pada zaman modern meskipun kebutuhan mereka untuk makan, minum, berpakaian, tidur, dan istirahat tidak pernah berubah. Karena itulah, berkaitan dengan benda-benda sebagai alat pemuas kebutuhan manusia, Islam telah menggariskan kaidah hukum yang sama yang berlaku untuk segala tempat dan segala zaman, yakni:
[ﻳﻢﹺﺮﹺﺤﻞﹸ ﺍﻟﺘﻴﻟ ﺩﻳﺮﹺﺩ ﺎﻟﹶﻢﺔﹸ ﻣﺎﺣﻴﹺﺎﺀِ ﺍﻹِﺑﻲ ﺍﹾﻷَﺷﻞﹸ ﻓ]ﺍﹶﻷَﺻ Artinya: Hukum asal benda (barang) adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”. (Muhammad Ismâ’îl 2000:35-37). Sebaliknya, berkaitan dengan perbuatan yang ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan jasmaniah maupun naluriah—yang tidak pernah berubah itu—Islam menggariskan kaidah berikut:
[ﺔﻴﻋﺮﻜﹶﺎﻡﹺ ﺍﻟﺸ ﺑﹺﺎﹾﻷَﺣﺪﻘﹶﻴﺎﻝﹾ ﺍﻟﺘﻲ ﺍﹾﻷَﻓﹾﻌﻞﹸ ﻓ]ﺍﹶﻷَﺻ Artinya: “Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.” (Muhammad Ismâ’îl 2000:37) Walhasil, propaganda atas gagasan bawha hukum harus berubah karena waktu dan tempat tidak mempunyai pijakan syariat yang jelas dalam Islam.
111
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
DAFTAR PUSTAKA Abd ar-Razzâq, Mushannaf, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, cet. II, 1403, juz X Abdullâh Darâz, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., juz IV Al-Ghazâli, (2000). al-Mustashfâ fi ‘ilm al-Ushûl, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet. I, Al-Jurjâni, (t.t.). at-Ta’rîfât, Dâr al-Bayân li at-Turâts. Al-Qurthûbi, (1373). al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr as-Sya’b, Kaero, cet. II, juz V. An-Nabhâni, (1990). an-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. IV. An-Nabhâni, (2001). Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI. Ibn al-Manzhûr, (1996). Lisân al-’Arab, juz I. Ismâ’îl, Muhammad Muhammad, (1958). al-Fikr al-Islâmi, Beirut: Maktab alWa’y, Qal’ah, Rawwâs, (1996). Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâ’is, Beirut, cet. I. Zaydân, ‘Abd al-Karîm, (1996). al-Madkhal li Dirâsah as-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, cet. XIV.
112