MIMBAR, Vol. 29, No. 1 (Juni, 2013): 11-18
Pengawasan Islam dalam Operasional Lembaga Keuangan Syariah NENENG NURHASANAH Fakultas Syariah Unisba, Jl.Ranggagading No.8 Bandung 40116 email:
[email protected]
Abstract. State has a role and responsibility in managing and monitoring the implementation principles of Shariah in society. In addition, each individual is required to participate in society as well as overseeing the form of “da’wa fil haq wa shabr” and “amr ma’ruf nahi munkar” with based on the general principles of Islamic law, namely: the principle of tawhid, ‘adalah (justice), amr ma’ruf nahi munkar, al-huriyyah wa almas’uliyyah (responsible freedom), al-musawah (equality), al-Ta’awun (the principle of mutual help) and tasa’muh (tolerance) Shariah Supervisory Board (DPS) which is charged with overseeing the financial institutions practice of Shari’ah (LKS) to conform with the principles of Shari’ah, its implementation has not been optimized to prevent the occurrence of irregularities, so requires strengthening the regulatory aspects of the worksheet other than banks and aspects of quality of human resources in the banking Shariah Supervisory Board. Key words: Principles of shariah, Supervision of Islam, Sharia Supervisory Board Abstrak. Negara berperan dan bertanggung jawab dalam mengatur pelaksanaan pengawasan prinsip syariah dalam masyarakat. Selain itu, setiap individu dalam masyarakat dituntut untuk turut serta mengawasi dalam bentuk “da’wah fil haq wa shabr” dan “amar ma’ruf nahi munkar“ dengan berdasarkan pada prinsip umum hukum Islam yaitu: tauhid (ketuhanan), al-‘adl (keadilan), amar ma’ruf nahi munkar, al-huriyyah wa al-mas’uliyyah (kebebasan yang bertanggung jawab), al-musawah (persamaan), al-Ta’awun (Tolong menolong) dan tasamuh (toleransi). Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi praktik lembaga keuangan syari’ah (LKS) agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kenyataanya belum optimal mencegah terjadinya penyimpangan, sehingga memerlukan penguatan pada aspek regulasi lembaga keuangan syariah selain bank dan aspek kualitas SDM DPS di perbankan. Kata kunci: Prinsip-prinsip syariah, Pengawasan Islam, Dewan Pengawas Syariah
Pendahuluan Pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) agar tetap patuh pada prinsipprinsip syari’ah merupakan masalah penting dalam menjaga reputasinya sebagai lembaga keuangan ya ng berlandaskan Is la m. K epercayaan masyarakat terhadap produk-produk LKS yang halal, aman, dan menentramkan harus dipelihara dengan cara memberi penguatan terhadap sistem pengawasannya. Pengawasan diperlukan untuk mengontrol agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan yang ak an dicapai, da n da ri a tura n ya ng telah ditetapkan. Pengawasan juga merupakan kegiatan koreksi dan perbaikan terhadap tujuan-tujuan dan aturan-aturan yang diketahui menyimpang. Lemahnya sistem pengawasan akan mendorong terjadinya kecurangan dan penyelewengan yang
dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak terkait atau masyarakat secara umum. Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) adalah salah satu institusi yang rentan dengan kecurangan da n peny im pa ngan s ehingga memerluk an pengawasan terhadap operasionalnya. Menurut Muhammad (2004: 8) lembaga keuangan adalah: Badan Usaha yang mempunyai kekayaan dalam bentuk aset keuangan (finanscial assets). Kekayaan berupa aset keuangan ini digunakan untuk menjalankan usaha di bidang jasa keuangan, baik penyediaan dana untuk membiayai usaha produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan.
Lembaga Keuangan dikelompokkan ke dalam tiga, yaitu Lembaga Keuangan Bank (LKB), Lembaga Keuangan Bukan bank (LKBB) seperti Asuransi, Pegadaian, dan Lembaga Pembiayaan
‘Terakreditasi’ SK Dikti No.64a/DIKTI/Kep/2010, berlaku 1-11-2010 s.d. 1-11-2013
11
NENENG NURHASANAH. Pengawasan Islam dalam Operasional Lembaga Keuangan Syariah (Imaniyati, 2010: 31). Adapun Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) adalah badan usaha yang bergerak dalam bidang jasa keuangan, baik sebagai penghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, maupun sebagai penyedia dan penyalur dana kepada masyarakat yang membutuhkan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Lembaga keuangan syari’ah sebagaimana lembaga keuangan konvensional rentan terhadap kecurangan. Kecurangan (Fraud) yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar orga nisa si, dengan m ak sud mendapatka n keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara tidak langsung merugikan pihak lain. Menurut Syahputra (2009: 8-9) Kecurangan meliputi (1) Kecurangan sebagai tindak kejahatan: Hukum keja ha ta n Michigan m enya ta ka n kecurangan adalah suatu pengertian umum dan mencakup beragam cara yang dapat digunakan oleh manusia dengan kekerasan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain ma la lui suatu perbua ta n tida k bena r; (2) Kecura ngan perusahaan, adalah semua kecurangan yang dilakukan oleh untuk atau terhadap suatu entitas bisnis; (3) Kecurangan Ma na jemen, a da la h kesa la ha n peny ajia n mengenai tingkat kinerja perusahaan atau unit organisasi yang sengaja dilakukan oleh karyawan dalam peran manajerialnya yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kecurangan tersebut dalam bentuk promosi, bonus atau insentif lainnya, dan simbol status. Kecurangan di lembaga keuangan syari’ah diantaranya dapat berupa pelanggaran terhadap prisnsip syari’ah. Pemimpin Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, Dewi Setyowati dalam Sarasehan dan Inventarisasi Berbagai Masalah Dalam Industri Lembaga Keuangan Syariah, (27-2-2012) di Kampus UMY menyatakan bahwa sudah ada tiga lembaga syariah yang langsung ditutup karena melakukan kecurangan-kecurangan terkait tiga prinsip syari’ah yang mendasar yaitu pelarangan riba, pelarangan kegiatan spekulatif, dan alokasi sumber dana yang ditujukan pada investasi yang memiliki basis moral yang kuat (Mubarok, 2012). Ha l di a ta s mengga mbarka n ba hw a pengawasan terhadap kepatuhan LKS terhadap prinsip syari’ah belum optimal. Apabila hal tersebut diabaikan, LKS akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang mengakibatkan kekecewaan masyarakat dan akhirnya dapat merusak citra LKS. Kepatuhan terhadap Syariah (Shari’ah Complia nce) adalah tulang punggung lem baga keuangan syari’ah dalam memberikan legitimasi moral dan spritual terhadap praktik LKS sehingga kepercayaan publik, pasar, dan stakeholders tetap terpelihara. Untuk menjaga agar dalam tataran implementasi LKS tidak menyimpang dari prinsip12
prinsip sy ari’ah, ma ka dia ntara ha l ya ng membedakan lembaga keuangan syari’ah dengan lembaga keuangan konvesional adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasinya. DPS bertugas memastikan semua produk dan kegiatan perbankan syari’ah telah memenuhi prinsip syari’ah (Huda, 2009: 208). DPS saat ini belum optimal transparan dalam menyampaikan hasil pengawasannya. Idealnya institus i lembaga keua ngan I slam dapat mengungkapkan semua kewajiban, pembuatan keputusan, kompetensi dan komposisi dewan syari’ah, serta mempublikasikan semua fatwa yang dikeluarkan oleh dewan tersebut. Hal itu akan menguatkan kepercayaan stakeholder terhadap kredibilitas dew an s ya ri’a h. A ka n teta pi kenyataannya aspek transparansi tersebut belum ada. Seringkali laporan tahunan dewan syari’ah tidak tersedia dengan mudah untuk publik (Iqbal, 2008: 367). Kepercay aa n stak eholder terha da p kredibilitas LKS akan mendorong pertumbuhan dan pengembangan LKS, sehingga industri lembaga keua ngan s ya ri’a h ma mpu mendorong perekonomian nasional lebih signifikan lagi. Untuk itu dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/ 33 /PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah dijelaskan bahwa pelaksanaan Good Corporate Governance di dalam industri perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah (sharia compliance). Peran pengawasan dalam penerapan hukum sangat penting karena manusia memiliki kelemahan yang dapat memengaruhi sikapnya ketika menjalankan aktivitas kehidupan, di samping perubahan lingkungan, peningkatan kompleksitas yang terjadi di tempat dimana seseorang bekerja. LKS sama halnya dengan lembaga-lembaga lainnya memiliki resik o k erugian akibat kelalaia n, kesalahan dan kecura ngan yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu pengawasan sangat diperlukan agar dapat memberikan perlindungan yang mak simal kepada sem ua pihak y ang berkepentingan (stakeholder). Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif analisis, yaitu mengungkapkan dan menganalisis gejala-gejala hukum terkait pengawasan LKS oleh DPS, dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang menitik bera tkan pada pengunaan data sekunder (Soekanto, 1984: 53). Sesuai pendapat Soetandyo yang dikutip Hanitiyo, (1990: 10) tipe penelitian hukum ini dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum yang normative, yaitu penelitian berupa inventarisasi hukum positif yang terkait dengan pengawasan dewan pengawas syari’ah dan penelitian untuk menemukan dasar pengawasan dalam Islam khususnya dalam bidang ekonomi ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499
MIMBAR, Vol. 29, No. 1 (Juni, 2013): 11-18 yang dilacak dari asas-asas hukum Islam serta asas-asas pengawasan ekonomi Islam. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku atau kitab-kitab yang berkaitan dengan pokok bahasan, peraturan perundang-undangan termasuk kasuskasus (case law) yang pernah terjadi, dan dokumen-dokumen Dewan Pengawas Syariah yang ada. Selanjutnya analisis dilakukan dengan tahap mengumpulkan bahan-bahan, kemudian disusun, dijelaskan dan terakhir dianalisis (Surakhmad, 1989: 140).
Pengawasan dalam Islam Kata “pengawasan” menurut kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata “awas” yang diartikan dapat melihat baik-baik, tajam penglihatan, sedangkan kata “pengendalian” berasal dari kata “kendali” yang berarti menguasai kenda li, memegang pimpinan, memerintah. “pengawasan” diartikan penilikan dan penjajagan, penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya pemerintahan. Pengawasan dan pengendalian, adalah dua istilah yang secara etimologis berasal dari istilah asing yang sama, yaitu controlling. Dalam praktik ma na ja men, terda pa t perbedaa n anta ra “pengawa sa n” dan “pengendalian”. Dalam “pengendalian” ada kecenderungan mengadakan tindakan korektif, sedang dalam pengertian pengawasan, tindakan korektif itu merupakan proses kelanjutan. Definisi pengawasan yang disampaikan para ahli menggambarkan bahwa makna pengendalian da n tindak an k orek si m as uk d alam a rti pengawasan. Herbert G. Hicks dalam Silalahi (2002: 175) misalnya mengatakan bahwa pengawasan adalah berhubungan dengan (1) Perbandingan kejadian-kejadian dengan rencanarencana; (2) Melakukan tindakan-tindakan korektif yang perlu terhadap kejadian-kejadian yang menyimpang dari rencana-rencana. Dengan demikian pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengaw as i, tetapi juga m em perbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan rencana. Istilah pengawasan sering dipadankan dengan istilah “toezicht” (Belanda), “supervision” (Inggris), dan “control” (Belanda dan Inggris) (Suparto, 2012: 70). Pengertian pengawasan (toezicht, supervision) adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara defacto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pa da penco co ka n apak ah k egia ta n ya ng dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang ditetapkan sebelumnya (Muchsan, 1992: 32). Pengawasan (control) menurut Lotulung (1993: xvi) adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak
sengaja sebagai usaha preventif atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha represif. Menurut Suparto (2012: 72) urgensi dari pengawasan adalah (1) pengawasan ditujukan sebagai upaya pengelolaan untuk mencapai hasil dan tujuan; (2) adanya tolak ukur yang dipakai sebagai acuan keberhasilan; (3) adanya kegiatan untuk mencocokan hasil yang dicapai dengan tolak ukur yang ditetapkan; (4) mencegah terjadinya kekeliruan dan menunjukkan cara dan tujuan yang benar; serta (5) adanya tindakaan koreksi apabila hasil yang dicapai tidak sesuai dengan tolak ukur yang ditetapkan. Secara bahasa, kata pengawasan dalam ba ha sa a ra b da pa t diam bil da ri k ata “muraaqabah”, “qiyaadah”, “qabidhah”, “taujih”, “siitharah”. Masing-masing kata secara bahasa mengandung arti pengawasan, tetapi ada yang mengandung tambahan makna pengendalian, perintah, pengarahan, penelitian, dan monitoring. Ka ta y ang lebih deka t ma knanya k epada “pengawasan” dalam arti supervision adalah “muraaqabah” (Al-Munawwir, 1984: 557). Secara istilah, makna pengawasan dalam litelatur Islam terdapat dalam kata “hisbah” yang bermakna ihtisab yaitu meneliti, mentadbir, meliha t, m encegah a ta u menahan s eperti mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran atau m enda pat bala san seperti ses eora ng melakukan kebaikan untuk mendapat balasan dari Allah. Al-Hisba h secara etimo logis berarti menghitung, berf ik ir, memberik an o pini, pandangan dan lain-lain. Dari segi istilah, AlMa wa rdi (2 00 0: 3 98 ) menjelas ka n ba hw a hisbah adalah melaksanakan tugas keagamaan yaitu menyeru melakukan ma’aruf (kebaikan) yang jelas ditinggalkan dan mencegah melakukan kemungkaran yang jelas dilakukan. Praktik hisbah sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi dan diikuti di masa khulafaur rasyidin dan pemerintahan Islam selanjutnya. Rasulullah saw sendiri telah menjalankan fungsi sebagai market supervisor atau al-Hisbah, yang kemudian dijadikan acuan generasi selanjutnya, sebagai acuan tentang adanya peran negara dalam mengatur pasar. Rasulullah sering melakukan inspeksi ke pasar untuk mengecek harga dan mekanisme pasar. Seringkali dalam inspeksinya beliau menemukan praktik bisnis yang tidak jujur sehingga beliau menegurnya. Rasulullah bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang yang menipu” (A l-Mawardi, 20 00: 422 ). Hal itu mengindikasikan bahwa hisbah telah ada sejak masa Rasulullah Saw., meskipun menurut Tim Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (2008: 342), nama al-Hisbah baru datang di masa kemudian. Pela ks anaa n hisbah dalam s is tem pemerintahan d an m as ya ra ka t da pa t
‘Terakreditasi’ SK Dikti No.64a/DIKTI/Kep/2010, berlaku 1-11-2010 s.d. 1-11-2013
13
NENENG NURHASANAH. Pengawasan Islam dalam Operasional Lembaga Keuangan Syariah meningkatkan efisiensi dalam sistem pemerintahan da n m am pu menggambark an trans pa ransi pemerintah terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi, di samping itu berhasil menghapuskan penipuan dan bentuk penyelewengan apapun dalam masyarakat (Razali, 2012) Jika dilihat dari pengertian diatas, maka AlHisbah tidak hanya berfungsi sebagai institusi yang mengawasi pasar saja (ekonomi) tetapi juga untuk bidang hukum. Berdasarkan kajian Furqani (2002:) beberapa fungsi al-Hisbah, adalah (1) Mengawasi timbangan, ukuran, dan harga; (2) Mengawasi jualbeli terlarang, praktek riba, maisir, gharar dan penipuan; (3) Mengawasi kehalalan, kesehatan, dan kebersihan suatu komoditas; (4) Pengaturan (tata letak) pasar; (5) Mengatasi persengketaan dan ketidakadilan; (6) Melakukan intervensi pasar; (7) Memberikan hukuman terhadap pelanggaran. Landasan Al-Hisbah terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 104; Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orangorang yang beruntung. Pengawasan dalam pandangan Islam dilakukan untuk meluruskan yang tida k lurus, m engo reks i ya ng s alah, da n membenarkan yang hak. Menurut Hafifudhin dan Tanjung (2003: 152) pengawasan dalam ajaran Islam terbagi dalam dua hal, yaitu: Pertama, control yang berasal dari diri sendiri yang bersumber dari tauhid dan keimanan kepada Allah Swt. Seseorang ya ng y ak in b ahwa A llah mengawasi hambaNya, maka ia akan bertindak hati-hati. Seperti yang dijelaskan dalam QS. AlMujadalah: 7: Tidaklah engkau perhatikan bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi?Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka dimanapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Depag RI, 2005:543)
Kedua, sebuah pengawasan akan lebih efektif jika system pengawasan tersebut juga dilakukan dari luar diri sendiri. Bisa berasal dari pimpinan, ya ng m enya ngkut tuga s ya ng didelegasikan, kesesuaian penyelesaian dan perencanaannya, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam QS. At-Taubah ayat 105, Dan katakanlah:”Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
14
kamu apa yang telah kamu kerjakan” (Depag RI, 2005: 203)
Berdas arka n ay at tersebut da pa t disimpulkan bahwa pengawasan dapat dilakukan oleh diri sendiri dengan keimanan akan kehadiran Allah yang Maha Mengawasi, oleh pemimpin/ penguasa dan oleh kaum muslimin baik secara langsung berupa pengawasan oleh masyarakat, maupun tidak langsung dalam bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan yang membatasi. Oleh karena itu, menjaga moralitas, termasuk dalam kehidupan ekonomi juga menjadi tanggung jawab negara. Pembentukan lembaga hisbah dalam Islam dimaksudkan untuk membantu orang supaya patuh mengikuti standar moralitas. Dalam kegiatan ekonomi seperti di lembaga keuangan syari’ah atau perusahaan bisnis, peran lembaga ini sangat penting karena melalui fungsi pengawasan yang dilandasi oleh iman dan adanya sanksi, akan terpelihara ekonomi yang jujur, adil dan berujung pada perolehan keuntungan yang berkah. Untuk menjalankan peran hisbah negara harus menunjuk seseorang atau sekelompok orang untuk menjalankan hisbah tersebut. Seseorang yang ditunjuk untuk mengelola hisbah disebut al-muhtasib. Dia harus memiliki kualifikasi tertentu untuk memastikan bahwa ia dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan hukum Islam. Kriteria yang paling penting untuk muhtasib adalah: keihla sa n da n ketida kberpiha ka n, ilm u pengetahuan dan kebijaksanaan, di samping itu syarat adil, tegas, hati-hati dan tidak cepat marah, Imam al-Gazali mengatakan, “Semua etika pengawas bersumber pada tiga sifat dalam diri pengawas, yaitu ilmu, wara’, dan ahlak yang bagus.” (Aliyah, 2004: 71) karena tujuan dari hisbah a da la h untuk melindungi a nggo ta masyarakat dari penyimpangan, melindungi iman mereka dan m em as tika n keseja hteraa n masyarakat di dunia sesuai ketentuan Allah. Oleh ka rena itu dom ain hisbah pada da sa rnya berhubungan dengan menjaga hukum-hukum Alla h terhadap pelanggaran, melindungi, menghormati rakyat, dan memastikan keamanan ma sy arak at. Sela in itu, mencak up juga pemantauan pasar, dan lainnya. Dengan kata lain, hisbah adalah mekanisme kontrol yang ditetapkan oleh Islam untuk menjaga tatanan kehidupan sosial, sehingga setiap orang terjamin keamanan dan pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Dewan Pengawas Syariah dan Peran Strategis Ulama melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional Peran ulama m elalui f atwa-fatwanya diperlukan dalam melaksanakan prinsip-prinsip syari’ah Islam di bidang ekonomi. Dalam kegiatan ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499
MIMBAR, Vol. 29, No. 1 (Juni, 2013): 11-18 ekonomi, khususnya di Lembaga Keuangan Syari’ah keberadaan DPS adalah representasi dari peran ulama dalam mengawasi pelaksanaan nilai-nilai syari’ah di masyarakat. Sejarah mengenal ulama bukan semata sebagai sosok berilmu, melainkan juga s ebagai penggerak dan m otivator masyarakat. Kualitas keilmuan para ulama telah mendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan seharihari. Terumuskannya sistem ekonomi Islam secara konseptual, termasuk system perbankan syari’ah adalah buah kerja keras para ulama (Nazir, 2004:138). Para ulama yang berkompeten terhadap hukum syari’ah memiliki fungsi dan peran yang besar dalam mengembangkan lembaga keuangan syari’ah. Sebagai komitmennya dibentuklah Dewan Pengawas Nasional (DSN) dan DPS. Lembaga ini dibentuk pada 1999 secara resmi yang merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syari’ah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah MUI dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan Sekretaris (exofficio) (Nazir, 2004: 138). DPS menurut Abu Moamer (dalam Huda, 2009: 208) adalah “Lembaga yang digunakan untuk memastikan bahwa bank syari’ah bekerja dalam batas-batas hukum Islam, mengetahui kera ngka dan batas an s yari’ah, dan menginvestasikan atau meningkatkan kapasitas di dalam batas-batas ini.” Sementara itu, AAOIFI Governance Standard (Organisasi Akuntansi dan Audit Untuk Institus i Keua ngan Sya ri’a h) mendefinisikan DPS sebagai lembaga independen yang terdiri dari ahli fiqh muamalah. Namun DPS bisa memasukkan anggota selain ahli fiqh muamalah, tapi ia harus ahli dalam bidang IFI (Isla mic Financial I nstitutio n) dan m em ilik i pengetahuan tentang fiqh muamalah. DPS dipercaya untuk memastikan agar bank syari’ah patuh pada aturan dan prinsip Islam. Tujuan utama dibentuknya DPS adalah untuk mengawasi aktivitas operasional bank dan lembaga keuangan syari’ah lainnya agar sesuai dengan garis-garis syari’ah. Dalam pengembangan LKS, DPS memiliki peran yang stategis. Peran tersebut menurut Setiawan Budi Utomo (dalam Sugianto, 20 08 ) adalah s ebagai Superv is or, ya itu melaksanakan fungsi dan tugas pengawasan langsung kepatuhan syari’ah dan implementasi fatwa DSN pasa operasional LKS. Advisor, yaitu memberikan nasehat, inspirasi, pemikiran, saran serta konsultasi untuk pengembangan produk dan jasa yang inovatif untuk persaingan global. Marketer, yaitu menjadi mitra strategis untuk peningkatan kuantitas dan kualitas industry LKS melalui komunikasi massa untuk memberikan motivasi, penjelasan dan edukasi public sebagai penyiapan SDM, sosialisasi, community & network-
ing building dan peran-peran strategis lainnya dalam bentuk hubungan kemasyarakatan (public relationship). Supporter, yaitu memberikan berbagai support dan dudungan baik networking, pemikiran, motivasi, doa dan lain-lain untuk pengembangan perbankan dan ekonomi syari’ah. Player, yaitu sebagai pemain dan pelaku ekonomi syari’ah baik sebagai pemilik, pengelola, nasabah penyimpan/investor maupun mitra/nasabah penyaluran dan pembiayaan. Lima peran strategis di atas dapat dilakukan DPS dalam mengembangkan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Peran DPS tidak hanya mengawasi operasional LKS dengan merujuk pada fatwa-fatwa DSN saja, akan tetapi proaktif menciptakan instrument-instrumen keuangan yang mungkin bisa dikembangkan sesuai kebutuhan dan kondisi masyarakat dimana LKS yang diawasinya berada sesuai dengan peraturan perundanga-undangan yang berlaku. Fatwa-fatwa DSN MUI adalah produk ulama ya ng m erepresentas ikan perannya da la m menerapkan dan memelihara prinsip-prinsip syari’ah dalam bidang ekonomi, khususnya di LKS. Selain dijadikan pegangan oleh DPS, fatwa DSNMUI juga dikembangkan melalui masukan yang diberika n oleh DPS berdasarkan tem uantemuannya dilapangan, dan melahirkan fatwa baru yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Fatwa pada prinsipnya termasuk domain norma hukum; sedangkan penerapan fatwa di LKS pada prinsipnya merupakan upaya mewujudkan norma-norma syariah dalam kehidupan nyata yang termasuk domain penerapan hukum (bukan lagi domain norma hukum). Pada tahapan ini, terdapat dua hal yang penting diperhatikan kualitas pemahaman Sumber Daya Insani terhadap substansi fatwa dan hubungan antara norma syariah/muamalah dalam fatwa dengan ilmu kontrak (akad) bisnis. Dinamika yang demikian disebut dinamika vertikal. Sedangkan faktanya, fatwa di samping memiliki dinamika vertikal, juga berdinamika secara horizontal (sesama institusi/ lembaga fatwa atau pihak-pihak tertentu yang merasa memiliki otoritas untuk berfatwa) (Jaih Mubarok, 2012: 1). Penggunaan Fatwa dalam kehidupan beragama di Indonesia, dilaksanakan oleh MUI sebagai suatu keputusan ijtihadiyah untuk dijadikan pegangan pelaksanaan ibadah maupun muamalah umat Islam di Indonesia. Terkait dengan fatwa DSN MUI, daya ikat fatwa tersebut dilakukan melalui mekanisme pembuatan keputusan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai representasi dari pemerintah. Dengan demikian peran DSN MUI adalah merespon k eb utuhan m as ya ra ka t da la m menjalankan kegiatan ekonominya khususnya di LKS melalui fatwa yang dikeluarkannya, sedangkan legitim asi Prinsip Syariah dan kekuatan
‘Terakreditasi’ SK Dikti No.64a/DIKTI/Kep/2010, berlaku 1-11-2010 s.d. 1-11-2013
15
NENENG NURHASANAH. Pengawasan Islam dalam Operasional Lembaga Keuangan Syariah mengikatnya dilakukan berkoordinasi dengan Bank Indonesia. PBI No.1l/33/PBI/2009 Pasal 1 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah menjelaskan bahwa Prinsip Syari’ah adalah prinsip hukum Islam di bidang perbankan syariah yang tertuang dalam bentuk fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. DPS melak sanak an penga wa san L KS berdasarkan pada fatwa-fatwa DSN. Hal ini berakibat positif pada objektifitas ulama dalam mengeluarkan fatwa, karena DPS tidak berwenang menetapkan fatwa sehingga kekhawatiran adanya fatwa pesanan dari LKS yang diawasinya tidak akan terjadi. Dengan demikian DSN dan DPS memiliki peran masing-masing dalam penerapan prinsipprinsip syari’ah di bidang ekonomi. Peran strategis DPS adalah persentuhannya dengan masyarakat secara langsung sehingga dapat memahami kondisi dan kebutuhan ekonomi masyarakat yang perlu di back up oleh fatwa yang diusulkannya kepada DSN. Peran DSN yang dibentuk MUI sendiri sebagaimana tercantum dalam Konsideran (bagian b) Surat Keputusan MUI Nomor Kep-98/MUI/III/2001 Tentang Susunan Pengurus DSN masa bakti 2000-2005 adalah untuk efesiensi koordinasi ulama guna menanggapi isuisu yang berhububungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Di samping itu, DSN diharapkan berfungsi s ebagai pendorong terw ujudnya penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.
Peran DPS menurut Peraturan Undangundang Pera n DPS terga mbar dalam Sura t Keputusan DSN MUI No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa Bhakti Th. 2000-2005 bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk (1) Melakukan pengawasan secara periodik pada LKS; (2) Mengajukan usulusul pengembangan L KS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN; (3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN sekurangkurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran; (4) Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN. Keberadaan DPS telah diatur dalam UndangUndang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi DPS sebagai lembaga pengawas syari’ah terhadap bank yang menerapkan prinsip syari’ah. DPS adalah lembaga pengawas syari’ah yang bertugas mengawasi operasional dan praktik LKS agar tetap konsisten dan berpegang teguh kepada prinsip syari’ah (Mardani, 2011: 157). Sedangkan dalam UU No. 21 Tahun 2008 Pasal 32 dijelaskan bahwa fungsi 16
DPS “bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah”. Aturan khusus berkaitan dengan DPS di lembaga perbankan, terdapat dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Tanggal 12 Mei 1999, dalam ayat 2 dan 3 pasa 19 disebutkan ba hw a, B ank wa jib memiliki DPS y ang berkedudukan di kantor pusat bank (Head Office). Persyaratan sebagai anggota DPS diatur dan ditetapkan oleh DSN. DSN adalah lembaga otonom di bawah MUI. Keberadaan DSN MUI sendiri belum diatur secara khusus dalam sebuah undangundang. Dasar hukum yang mengikat bagi DSN adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/ 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasaran Prinsip Syari’ah. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini dijelaskan bahwa DSN adalah dewan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. PBI No.6/24/ PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, menjelaska n bawa DPS mempuny ai tugas, wewenang dan tanggung jawab sebagai berikut : (1) Memastikan & mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa DSN, (2) Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional & produk yang dikeluarkan Bank Syari’ah, (3) Memberikan opini syariah atas pelaksanaan operasional dalam laporan publikasi, (4) Mengkaji produk baru, (5) Menyampaikan laporan hasil pengawasan sekurang-kurangnya 6 bulan sekali. Seca ra rinci F ungs i DSN adalah (1 ) Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syari’ah agar sesuai dengan syari’ah; (2) Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dkembangkan oleh lembaga keuangan syari’ah; (3) Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syari’ah pada suatu lembaga keuangan syari’ah; (4) Memberikan teguran kepada LKS jika yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan; (5) Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syari’ah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. Adapun Fungsi dan tugas DPS lebih rinci selanjutnya diatur dalam PBI No.1l/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah, Pasal 47 Ayat 2: (1) Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank; (2) Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai dengan fatwa DSN ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499
MIMBAR, Vol. 29, No. 1 (Juni, 2013): 11-18 MUI; (3) Meminta fatwa kepada DSN–MUI untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya; (4) Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan (5) Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Sebagai pengawas operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan ketentuan syari’ah, DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh DPS. Karena itu penetapan anggota DPS dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setelah para anggota DPS mendapat rekomendasi dari DSN. DSN merupakan badan otonom MUI yang diketuai secara ex officio oleh ketua MUI. Untuk melaksanakan kegiatan harian ditunjuk Badan Pelaksana harian DSN (Imaniyati, 2010: 59). Mekanisme kerja yang berkaitan dengan DPS adalah sebagaimana tercantum dalam Keputusan DSN-MUI Nomor: 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar DSN-MUI: (1) DPS melakukan pengawasan secara periodik pada LKS yang berada di bawah pengawasannya; (2) DPS berk ew ajiban m enga juka n us ul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN; (3) DPS mela po rk an perkembangan produk dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran; dan 4) DPS merumuskan permasalahanpermasalahan yang memerlukan pembahasan DSN. Fatwa DSN selanjutnya menjadi pegangan bagi DPS dalam mengawasi operasional bank yang diawa sinya. Denga n demik ian DPS a dalah perwakilan DSN pada LKS yang bersangkutan untuk melakukan pengawasan terhadap prinsip syari’ah dalam kegiatan usaha LKS. Yang dimaksud dengan “prinsip Syari’ah” sendiri adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah (Pasal 12 UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah). Terw adahinya ula ma dalam DSN , memberik an k ew enanga n untuk da pa t mengeluarkan fatwa-fatwa yang bermanfaat dalam rangka pengembangan produk, perluasan jenis transaksi dan hal-hal operasional lainnya yang bisa juga dilakukan oleh LKS selain bank. DSN tidak hanya menjadi pedoman bagi perbankan syari’ah tapi juga LKS lainnya, fatwa DSN harus dijadikan patokan dalam menjalankan kegiatan usahanya (Abdul Ghofur Anshori, 2006: 170) Di Koperasi Syari’ah misalnya, DPS berfungsi
memberikan fatwa kehalalan suatu produk yang dikeluarkan Koperasi Syari’ah sekaligus mengawasi jalannya produk tersebut sesuai dengan fatwafatwa DSN (Buchori, 2009: 112). Pengaturan DPS secara khusus baru diatur dalam undang-undang perbankan, padahal LKS sela in bank juga m em erluka n DPS da la m operasionalnya. Hal ini memerlukan perhatian agar pela ksa na an LK S selain bank pun disiplin menempatkan DPS dalam struktur organisasinya. Sementara itu, pelaksanaan pengawasan DPS di perbankan syari’ah yang peraturannya sudah ada pun belum optimal, masih banyak ditemukan pelanggaran aspek syari’ah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah (UUS). Bahkan sering kali kasus-kasus yang menyimpang dari syari’ah Islam di bank syari’ah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia daripada oleh DPS, sehingga DPS baru mengetahui a da ny a penyimpa ngan syari’ah setelah menda pat informasi dari Bank Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan DPS di bank-bank syari’ah. (Wahyu, 2012) .
Simpulan dan Saran Pengawasan dalam Islam dikenal dengan Hisbah, tujuannya adalah memastikan dipatuhinya pelaksanaan syariah dalam kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya negara sebagai institusi bertanggung jawab mengatur dan melaksanakan fungsi pengawasan, sementara itu masyarakat umum sebagai bagian dari individu-individu dituntut pula untuk turut serta melakukan pengawasan dalam bentuk “saling mengingatkan dalam hak dan kesabaran” dan “menyuruh kebaikan dan mencegah keburukan” berdasarkan pada prinsip-prinsip umum hukum Islam yaitu; prinsip tauhid (ketuhana n), prinsip al-‘adl (keadilan), amar ma’ruf nahi munkar, al-huriyyah wa al-mas’uliyyah (kebebasan yang bertanggung jawab), prinsip al-musawah (persamaan), alTa ’a wun (Tolong m enolong) da n ta sa muh (toleransi). Dalam pelaksanaannya, SDM DPS sebagai pengawas, perlu ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya supaya penyimpangan dapat lebih diminimalisir. diantaranya berupa penguasaan keilmuan yang meliputi ilmu ekonomi dan keuangan maupun ilmu fiqh muamalah dan ushul fiqhnya. Sementara itu, di LKS selain bank penguatan aspek regulasi masih harus dilakukan agar setiap LKS selain bank disiplin menempatkan DPS di dalamnya. Penguatan aspek regulasi dan SDM pengawas ini diharapkan dapat mengoptimalkan pelaksanaan prinsip-prinsip pengawasan Islam di lembaga keuangan syariah dalam menjalankan
‘Terakreditasi’ SK Dikti No.64a/DIKTI/Kep/2010, berlaku 1-11-2010 s.d. 1-11-2013
17
NENENG NURHASANAH. Pengawasan Islam dalam Operasional Lembaga Keuangan Syariah kegiatan usaha nya, s ehingga kepercay aan masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah tetap terjaga.
Muchsan (1992) Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Daftar Pustaka
Nazir, H. dan Hasanuddin, M. (1995). Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankan. Jakarta: Kaki Langit.
Muhammad, A (2004). Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Lotulung, P. E. (1993). Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Munawwir, A.W. (1984). Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondop Pesantren AlMunawwir. Buchori, N. S, (2009). Koperasi Syari’ah. Sidoarjo: Kelompok Masmedia Buana Pustaka. Depag RI. (2005). Al-Quran dan Terjemhannya. Jakarta: PT Syamil Cipta Media. Hafiduddin, D dan Tanjung, H (2003). Manajemen Syari’ah Dalam Praktik. Jakarta: GIP. Furqani, H. (2002) Institusi Hisbah: Studi Model Pengawasan Pasar Dalam Sistem Ekonomi Islam, Skripsi, jurusan Muamalat (Ekonomi Is la m), Fa kultas Sya riah UIN Sya rif Hidayatullah, Jakarta. Huda, N. dan Nasution, M.E. (2009). Current Issues Lembaga Keuangan Syari’ah. Jakarta: Kencana Predana Media Grup. Iqbal, Z. dan Abbas, M. (2008) Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Predana Media Grup. Mubarok, J. (2012) Paper disampaikan dalam acara Seminar dan Workshop Review Kurikulum Program Studi Muamalah (HUkum Bisnis Islam) yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, tanggal 29-31 Maret 2012 di Surabaya. Mardani. (2011). Hukum ekonomi Syari’ah di Indonesia, Bandung: Refika Aditama. Razali, M.S. (2012). Institusi Al-Hisbah: Kajian Mengenai Organis as i da n Pera na nnya sehungga Akhir Pemerintahan Mamluk di Mesir. Disertas i. M alay s ia : Univ ersita s Kebangsaan Malaysia.
18
Hanitiyo, R. S, (1990). Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Aliyah, S. (2004). Sistem Pemerintahan Peradilan dan adat Dalam Islam, Terjemahan Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Khalifa. Soekanto, S. (1984). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singka t, Jak arta: Ra ja Grapindo Persada. Im aniy ati, N.S. (20 10). Pengantar Huk um Perbankan Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Suparto, (2012). Fungsi dan Kewenangan Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Pelaku Pengawasan Eksternal Terhadap Hakim di Indo nesia, Dis erta si. Ba ndung: Progra m Pascasarjana Unisba. Silalahi, U. (2002). Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep, Teori, dan Dimensi. Bandung: Sinar Baru. Surakhmad, W. (1989). Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito. Imaniyati, N.S. (2011), MIMBAR, Desember. Vol. XXVII, No. 2 Bandung: P2U LPPM Unisba. Wahyu, A. (2012). Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syari’ah, http://www.lintasberita. web.id/peran-dan-fungsi-dewan-pengawassyariah-ps/#ixzz26PcHT9Ik, diunduh pada 12 Desember 2012 Sugianto. (2008). DPS Dan Pengembangan Perbankan Syari’ah, diakses tgl. 25 juli 2012 www.medenbisnisonline.com.
ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499