Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
EKSISTENSI EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh: Eko Setiawan Alumnus Program Pascasarjana Sosiologi Universitas Brawijaya Malang Email:
[email protected] Abstraksi Euthanasia merupakan upaya yang dilakukan untuk dapat membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau disembuhkan. Hal tersebut memunculkan kontroversi yang menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan tetapi telah merambah kemana-mana terutama para ulama Islam. Kata kunci: Eksistensi, Euthanasia, Hukum Islam Pendahuluan Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini semakin pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah euthanasia. Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru. Bahkan euthanasia telah ada sejak dari zaman Yunani purba. Dari Yunanilah euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik itu di Benua Eropa sendiri, Amerika maupun di Asia. Di negara-negara barat, seperti Swiss, euthanasia
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
147
Eko Setiawan itu sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan euthanasia sudah dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana1. Di dalam Al-Qur’an surat Al Mulk2 ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan. Karena itu Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, Islam menetapkan berbagai norma hukum pidana dan perdata beserta sanksi-sanksi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan oleh lembaga peradilan, maupun hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan Tuhan, maka Islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri3. Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu-satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya. Dewasa ini banyak sekali berbagai permasalahan dan problematika yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996) 7. 2 Dinamakan Al Mulk yang berarti Kerajaan di ambil dari kata Al Mulk yang yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Surat ini disebut juga dengan At Tabaarak yang berarti Maha Suci. 3 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : PT. Gunung Agung,1996) 161. 1
148 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam masyarakat yang semakin berkembang dan tidak sedikit dari mereka yang kesulitan untuk mengatasi problematika dan mengontrol perkembangan tersebut. Contoh konkrit dalam dinamika kehidupan yang mengalami perkembangan yang sangat pesat adalah perkembangan dalam bidang ilmu kedokteran, ini terbukti dengan terjadinya perubahan yang sangat cepat dalam masalah kehidupan sosial budaya manusia. Karena sebab perkembangan teknologi dibidang kedokteran inilah para dokter dan para petugas kesehatan yang lain menghadapi sejumlah masalah yang cukup berat jika ditinjau dari sudut pandang etis dan yuridis. Masalah yang dihadapi mereka antara lain: transplantasi organ manusia, cloning, bayi tabung, aborsi, euthanasia dan masih banyak yang lainnya. Dari permasalahan diatas, euthanasia merupakan pilihan yang sangat sulit bagi tenaga medis dan yang bersangkutan secara langung. Sampai sekarang permasalahan ini masih terus menjadi bahan perdebatan baik dari para ahli dibidang agama, medis yang masih belum ada satu kesepakatan. Dengan adanya pengetahuan yang canggih dan modern, dokter dapat memprediksi penyakit yang ada pada seseorang untuk bisa sembuh total, lebih lama sembuh atau mungkin tidak dapat ditolong lagi. Ketika prediksi tersebut menyatakan bahwa penyakit yang diderita oleh seorang pasien tidak dapat disembuhkan, maka timbul dalam dalam pikiran bahwa usaha apapun yang akan dilakukan akan menjadi sia-sia dan hanya akan menghabiskan biaya, sehingga menyebabkan timbulnya keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Usaha-usaha atau tindakantindakan untuk mempercepat kematian guna meng-akhiri penderitaan karena penyakit itulah yang disebut dengan istilah euthanasia. Teknologi kedokteran merupakan teknologi yang berkaitan langsung dengan hidup matinya manusia4.
4
Muhammad Kartono, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Bioetika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 1.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
149
Eko Setiawan Secara umum, kematian adalah suatu pembahasan yang sangat ditakuti oleh publik, akan tetapi tidak demikian di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi. Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (mercy killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, mendorong keingintahuan penulis untuk mengkaji lebih jauh mengenai euthanasia.
150 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam Pengertian Euthanasia Istilah euthanasia berasal dari kata yunani yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti indah, bagus, terhormat, atau gracefully and dignity, sedangkan thanatos berarti mati, mayat. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik (a good death). Seorang penulis romawi yang bernama Seutonis, dalam bukunya yang berjudul Vitaceasarum, mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita” 5. Meminjam istilah Philo, seorang filsuf kenamaan (50-20 SM), euthanasia merupakan mati dengan tenang dan baik. Sementara dalam analisis St. Thomas, euthanasia adalah bentuk pengakhiran hidup orang penuh sengsara secara bebas dan dengan berhenti makan atau dengan minum racun yang membinasakan. Sejak abad 19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya6. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu : 1. Pemakaian secara sempit Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum, etika, atau adat yang berlaku. Ari Yunanto, Hukum Pidana Malpraktik Medik, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010) 57. 6 M.Ali.Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995) 145. 5
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
151
Eko Setiawan 2. Pemakaian secara lebih luas Secara lebih luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindari rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek 3. Pemakaian paling luas Dalam pemakaian paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien. Menurut kode etik kedokteran Indonesia, kata eutahanasia dipergunakan dalam tiga arti : 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan menyebut nama Allah di bibir. 2.Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang. 3.Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Macam-Macam Euthanasia Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu: 1. Euthanasia Aktif Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus. 152 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam 2. Euthanasia Pasif Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi. Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya7. Berbagai Bentuk Euthanasia 1. Euthanasia murni Adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa memperpendek hidupnya. Di situ termasuk semua perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik. 2. Euthanasia pasif Adalah kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan 7
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) 178-179.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
153
Eko Setiawan 3. Euthanasia tidak langsung Adalah usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping bahwa pasien barangkali meninggal dalam waktu lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika8, dan anelgetika yang barangkali secara de facto memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja. 4. Euthanasia aktif (mercy killing) Adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui. Euthanasia dalam Dunia Kedokteran Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter di seluruh dunia, dan hampir tiap-tiap negara telah mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipocrates9 yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan dokter sedunia di London bulan Oktober tahun 1949 dan diperbaiki oleh sidang ke 22, himpunan tersebut di Sydney bulan Agustus tahun 196810. Hipnotika atau obat tidur berasal dari kata hypnos yang berarti tidur, adalah obat yang diberikan malam hari dalam dosis terapi dapat mempertinggi keinginan tubuh normal untuk tidur, mempermudah atau menyebabkan tidur 9 Sumpah Hipocrates merupakan sumpah historis yang diambil oleh sumpah dokter untuk praktek kedokteran secara etis. Hal ini diyakini telah ditulis oleh Hipocrates yang dianggap sebagai bapak kedokteran barat, di ionik Yunani (akhir abad ke-5 SM). 10 Aris Wibudi, Euthanasia, (Bogor: ITB, 2002) 12. 8
154 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam Khusus untuk di Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang : Pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode Etik kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus tahun 1969 Nomor 55/WSKN/1969. Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia harus memberi pertolongan guna mempertahankan dan memeliharan kehidupan manusia. Walaupun kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasi yang sangat membahayakan, akan tetapi tindakan ini di ambil setelah di pertimbangkan secara mendalam bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya pasien dapat terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi tersebut mengandung banyak resiko. Oleh sebab itulah, sebelum operasi di mulai perlu adanya pernyataan persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya11. Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etika kedokteran, dokter tidak diperbolehkan melakukan hal-hal: a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus), Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah abortus provocatus ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Walaupun abortus provocatus ini merupakan perbuatan yang terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos 11
Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Azasi Manusia, Manusia Dan Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press. 1984) 81.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
155
Eko Setiawan oleh seorang dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan dan apabila perbuatan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut. Keputusan melakukan abortus provocatus ini harus diambil sekurang-kurangnya oleh dua dokter, dengan persetujuan tertulis daripada perempuan yang hamil dan suaminya, atau keluarganya yang terdekat. Abortus jenis ini disebut sebagai : abortus provocatus therapeuticus. b. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (Euthanasia). Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, bukan mustahil pasien yang penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya diakhiri saja. Sampai sebegitu jauh, tidak semua orang setuju akan prinsip euthanasia. Para dokter pun begitu halnya. Pada umumnya kelompok yang menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak dari segi religius. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang dialami oleh manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia, karena hal itu mengandung makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian berarti penderitaan seseorang dalam sakit yang tengah dideritanya, walau bagaimanapun keadaannya memang sudah menjadi kehendak Tuhan. Oleh sebab itu mengakhiri hidup seseorang yang sedang menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkan. Euthanasia Dalam Pengaturan Hukum Pidana Indonesia Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasalpasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan euthanasia.
156 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapa pun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : euthanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP12. Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi pakar hukum. Sebab pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/korban sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
12
Simorangkir, Euthanasia Dan Penerapan Hukumnya Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) 29.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
157
Eko Setiawan Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan: “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”13. Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan membiarkan dan atas permintaan orang itu sendiri . Sulit rasanya membayangkan seseorang yang sampai hati “membunuh’ atau dengan perkataan lain “merampas nyawa” orang lain apalagi yang dikenalnya atau yang perlu ditolongkan, atas permintaan yang bersangkutan yang tengah menderita sakit parah yang tak tersembuhkan misalnya. Pasti makin sulit lagi, kalau ini dikaitkan lebih lanjut dengan masalah moral dan kemanusiaan. Namun dalam masa-masa mendatang, karena sesuatu hal tidak mustahil permasalahan merampas nyawa orang lain yang sangat dikasihani atau yang perlu untuk ditolong atau membiarkan nyawanya dirampas maut atas permintaan yang bersangkutan, kiranya sulit untuk dihindari14. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan Pasal 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005) 115. 14 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1982) 117. 13
158 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam dikualifikasikan sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Bahwa seseorang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat dan kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapatkan hukuman yang terlalu berat, tidak seimbang dengan kesalahannya15. Euthanasia dan Kedudukannya dalam Hukum Islam Euthanasia adalah istilah yang didapati dalam dunia kedokteran, diartikan sebagai pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang sedang kritis (akut) atau menderita penyakit menahun serta tipis harapannya untuk sembuh kembali. Seorang pasien yang sedang sakit parah dan tidak sanggup lagi, lalu bermohon agar dokter mengakhiri hayatnya, maka dikabulkannya permohonan itu atas pertimbangan pasien tersebut tipis harapannya untuk dapat sembuh. Kalau pada orang seperti ini dimatikan maka kita melakukan euthanasia, yang sekarang ini tidak atau belum diterima di Indonesia, dan negara-negara lain pun masih ada yang belum menerimanya. Meskipun euthanasia itu juga demi rasa kemanusiaan yakni membebaskan orang yang hidup padahal tidak ada harapan lagi untuk hidup. Kehidupan orang secara vegetatif ini membutuhkan juga perawatan, biaya dan sebagainya. Itu alasan-alasan yang dipertimbangkan bagi euthanasia16. Esensi dari pada dilakukan euthanasia ini adalah untuk meringankan penderitaan si pasien yang telah mengalami penyakit menahun (akut) dan sudah tipis harapan untuk sembuh. Di samping itu alasan-alasan yang dipertimbangkan sehingga terjadi euthanasia adalah untuk dapat Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Refika Aditama. 1977) 16. 16 Ahmad Watik, Islam Etika dan Kesehatan, (Jakarta: Rajawali, 1986) 41. 15
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
159
Eko Setiawan meringankan pula keluarga pasien yang ditinggalkan apalagi kalau kehidupan mereka tergolong ekonomi lemah. Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang menantang euthanasia ini, ada beberapa ulama yang mana mendukungnya. Menurut pendapat para ulama, bahwa euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi kalau tidak bisa disembuhkan. Pendapat Ibrahim Hosen ini disandarkan kepada suatu kaidah ushul fiqh: Al Irtifaqu Akhaffi Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Jadi katanya, langkah ini boleh dipilih karena ia merupakan pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama, penderita mengalami penderitaan. Kedua, jika menular membahayakan sekali. Artinya dia menjadi penyebab orang lain menderita karena tertular penyakitnya, dan itu dosa besar. Dan beliau bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif tapi juga euthanasia aktif17. Di beberapa negara Eropa dan Amerika sudah mulai banyak terdengar suara yang pro euthanasia, mereka mengadakan gerakan untuk mengukuhkannya ke dalam undang-undang. Sebaliknya mereka yang kontra euthanasia, bahwa tindakan demikian sama dengan pembunuhan. Kita di Indonesia ini sebagai umat beragama dan ber Pancasila percaya kepada kekuasaan yang mutlak dari Tuhan Yang Esa segala sesuatu yang diciptakanNya dan penderitaan yang dibebankan kepada makhlukNya mengandung makna dan maksud tertentu. Dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan juga memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya18. Para ulama telah sepakat bahwa apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM, Dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) 180. 18 Oemarsono Adji, Profesi Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991) 219. 17
160 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkannya. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan tindakan euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka percaya bahwa yang berhak menentukan kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas manusia hanya berikhtiar, seorang dokter yang melakukan euthanasia bisa saja diajukan ke pengadilan karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut dilakukan berdasarkan permintaan pasien. Tetapi kelompok yang mana menyetujui praktik euthanasia ini lebih melihat pada sisi maslahat19 dan keadaan yang menuntut. Seorang penderita secara kronis, hanyalah akan terus menderita tanpa bisa disembuhkan. Satu-satunya cara untuk meringankan beban pasien dalam kondisi semacam itu adalah memberikan kepadanya kematian yang damai (mercy killing). Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat keluarga hanya akan menyiksa atau membiarkan penderitaan sang pasien. Konsep Euthanasia dalam Hukum Islam Kontroversi yang mana menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, tetapi telah merambah ke mana-mana terutama para ulama Islam. Isu euthanasia selalu muncul, salah satunya karena praktik tersebut bukan hanya melibatkan pertimbangan hidup mati. Tetapi, termasuk juga pertimbangan hukum, perasaan dan etika kedokteran. Selama jenis penyakit pada manusia terus berkembang dan penyembuhan terhadapnya diyakini mustahil (apalagi dengan kadar penularan yang tinggi), para ahli medis
19
Maslahat secara etimologi berasal dari kata shalah, yang berarti manfaat.Setiap sesuatu yang memberikan manfaat secara langsung atau melalui perantara, dapat disebut maslahat.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
161
Eko Setiawan dan hukum mulai melirik kemungkinan-kemungkinan euthanasia. Euthanasia, tidak ubahnya dengan menghabisi pasien yang menderita tanpa sama sekali mengakhiri penderitaan mereka. Dengan kata lain, pengobatan terhadap rasa sakit atau nyeri yang tak terbendung bukan semata dapat dilakukan dengan pembunuhan, tetapi dapat pula ditempuh dengan terapi lain. Tentu saja faktor agama akan sangat menentukan sikap seseorang terhadap derita sakit dan juga nyeri yang dialamainya. Filsafat Budha menyatakan bahwa derita sakit bersumber dari frustasi. Bagi kaum Hindu yang menyakini bahwa pain (rasa sakit dan nyeri yang berasal dari bahasa Latin poena) berarti siksaan akan lebih merasakan penderitaan nyeri dibanding seorang muslim yang menilai penderitaan sebagai cobaan dari Tuhan atau bahkan pembersihan diri sebelum menghadap kepadaNya20. Ketika orang-orang yang mana pro euthanasia menganggap bahwa kebebasan untuk melakukan apa saja terhadap diri seseorang adalah hak yang paling utama bagi mereka yang berdaya tinggi. Sebagaimana saya berhak memilih kapal untuk berlayar, atau rumah untuk dihuni, sayapun berhak untuk memilih kematian untuk dapat meninggalkan kehidupan ini. Maka Islam justru tidak sejalan dengan filosofis tersebut. Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. Bagi mereka yang menderita bagaimanapun bentuk dan kadarnya Islam tidak membenarkan merenggut kehidupan baik melalui praktik euthanasia apalagi bunuh diri. Islam akan menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah. Sebab seorang mukmin dicipta justru untuk berjuang, bukanlah untuk tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya
20
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999) 169.
162 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam tidak mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mukmin mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu senjata iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi para penderita untuk bersabar dan menjadikan penderitaan sebagai sarana pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa. Agar supaya meringankan derita sakit seorang muslim diberi pelipur lara oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan sabdanya, jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada cobaan yang beragam. Lain halnya dengan mereka yang tidak mendapatkan alternatif lain dalam mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, Islam memberi jalan keluar dengan menjanjikan kasih sayang dan rahmat Tuhan. Disinilah pentingnya peranan hukum Islam dalam menetapkan hal-hal yang halal dan haramnya suatu sikap yang diambil dalam hal euthanasia. Ketika orang diombang-ambing oleh keadaan yang sangat mendesak, karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman atau kemajuan teknologi, dimana orang seenaknya saja bertindak, yang asalkan menurut mereka hal itu merupakan keputusan rasional tanpa melihat apakah tindakan mereka itu benar atau tidak menurut hukum, agama maupun etika. Dalam berbagai studi dan literatur Islam, mengenai pandangan terhadap tindakan euthanasia, nampaknya ada suatu kesepakatan atau paling tidak terdapat kesamaan persepsi mengenai pengertian euthanasia. Euthanasia adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk dapat membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau disembuhkan. Begitu pula dari para tokoh Islam di Indonesia, seperti Amir Syarifuddin bahwa euthanasia adalah pembunuhan seseorang bertujuan menghilangkan penderitaan si sakit. Euthanasia yang sering terjadi pada umumnya dalam dunia kedokteran misalnya tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan. Para tokoh Islam juga sepakat bahwa eutahanasia ada dua macam yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthansia
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
163
Eko Setiawan aktif adalah tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan21. Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan tindakan yang dilakukan oleh dokter atau orang lain untuk tidak lagi memberikan bantuan medis yang memperpanjang hidup pasien. Rumusan euthanasia yang dirumuskan di atas sejalan dengan pengertian yang dirumuskan oleh komisi dari fatwa MUI, bahwa euthanasia adalah pembunuhan dengan didampingi oleh pertimbangan medis bagi seorang penderita atau mengidap penyakit yang mana tidak mungkin lagi disembuhkan. Nyawa merupakan barang titipan Allah SWT, oleh karenanya tidak boleh diabaikan apalagi untuk menghilangkan secara sengaja. Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat selalu optimis sekalipun ditimpa suatu penyakit yang sangat berat. Jadi Islam pulalah memahami bahwa euthanasia adalah suatu keinginan dalam usaha mempercepat kematian akibat ketidakmampuan menahan penderitaan. Jadi euthanasia merupakan suatu usaha untuk membantu seseorang yang sedang mengalami sakit atau penderitaan yang tidak mungkin disembuhkan untuk dapat mempercepat kematian dengan alasan membantu menghilangkan penderitaan yang kian dirasakan, padahal sama sekali tidak dapat mengakhiri penderitaannya. Jadi hukum Islam dalam menanggapi euthanasia secara umum ini memberikan suatu konsep bahwa untuk menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia aktif umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk penderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT. Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan diharapkan kepada dokter untuk tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya. Dan beberapa ulama memberikan suatu konsep tentang euthanasia secara khusus bagi penderita yang penyakitnya menular. 21
Chuzaimah Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995) 62.
164 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam Contohnya saja bagi penderita AIDS, menurut AF. Ghazali dan salah seorang Ketua MUI Pusat HS. Prodjokusumo mengatakan bahwa, mengisolasi penderita AIDS dipandang penyelesaian yang terbaik ketimbang harus dihilangkan nyawanya/ di euthanasia22. Hal ini berarti bahwa kalau sedapat mungkin euthanasia dapat dihindari, mengapa tidak dilakukan. Karena pepatah mengatakan di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Kalau dokter sudah menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan kepada keluarganya tanpa bermaksud untuk menghentikan bantuan kepada si pasien. Ada beberapa pendapat tentang euthanasia, di antaranya adalah adanya yang mengatakan bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung dan sebuah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dikarenakan dalam hal ini manusia tidak mempunyai kewenangan untuk memberi hidup dan atau menentukan kematian seseorang, seperti dijelaskan di dalam QS: Yunus, 56:
َيتَوإلْيهََتُ ْرجعُون َُ ُهوََ ُُْيىَۦَوُُي
“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. Pendapat lain yang menyatakan bahwa euthanasia dilakukan dengan tujuan baik yaitu untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman pendapat ini adalah kaidah manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Para pendukung euthanasia ini berargumentasi bahwa memaksa seseorang untuk melanjutkan kehidupan penuh derita adalah sesuatu yang irasional. Euthanasia bisa terjadi karena permintaan dari pasien sendiri, tim medis atau berasal dari pihak keluarga pasien. Meski tindakan tersebut secara lahirilah sepertinya dapat membantu meringankan/menghilangkan penderitaan pasien. Akan tetapi dikarenakan menggunakan caracara yang tidak benar dan akan mempunyai potensi untuk
22
Majalah Panji Masyarakat, (No. 846, 01-15 Januari 1996) 61.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
165
Eko Setiawan menghilangkan nyawa seseorang maka hal itu termasuk kategori pembunuhan. Bagaimana jika euthanasia tersebut dilakukan atas dasar persetujuan pihak keluarga, dalam persoalan dan implikasi hukumnya terhadap hukum jinayah yang ditinjau dalam fikih Imam Syafi’i. Sementara dalam hukum jinayah Islam23 yang dalam fikih Imam Syafi’i dikategorikan dalam tiga bagian yaitu pembunuhan sengaja, tidak sengaja dan sengaja tapi ada unsur kesalahan. Dari ketiga kategori jinayah tersebut ada pembagian hukum nya. Dalam keterkaitannya kasus diatas maka dibahas mengenai kesamaan antara euthanasia dan hukum jinayah dalam Islam. Hukum jinayah menurut Imam Syafi’i jinayah dibagi menjadi tiga yaitu pembunuhan disengaja, pembunuhan tidak sengaja dan pembunuhan disengaja. Pembunuhan sengaja adalah membunuh seseorang dengan sesuatu yang bisa menyebabkan kematian dan dengan adanya niat untuk membunuh. Dalam kasus ini pembunuh dikenai qishas, tetapi jika keluarga korban memaafkan, maka pembunuh harus membayar diyat besar dan harus dibayar langsung dari harta pembunuh. Pembunuhan tidak sengaja adalah melempar sesuatu dan mengenai oarang yang menyebabkan meninggal karena lemparan tersebut dan tidak ada unsur sengaja. Dalam kasus ini pembunuh tidak dikenai qishas, tetapi pembunuh harus membayar diyat kecil kepada keluarga korban. Sedangkan pembunuhan sengaja, tetapi ada unsur kesalahan adalah melempar sesuatu dengan benda yang biasanya menyebabkan kematian dan membuat sesorang meninggal. Dalam kasus ini pembunuh tidak dikenai qishas, tetapi harus membayar diyat besar kepada keluarga korban dan dapat diangsur selama 3 tahun.
23
Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut juga dengan hukum pidana Islam.Adapun ruang lingkup kajian hukum pidana Islam ini meliputi tindak pidana qisas, hudud, dan ta’zir.
166 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam Pembunuhan adalah dosa besar dan perbuatan yang tercela, Allah berfirman dalam QS. An-Nisa24’: 39
يما ً وماذاَعلْيه َْمَل َْوَآمنُواَباللَّهََوالْي ْومََ ْاْلخرََوأنْ ف ُقواَِمَّاَرزق ُه َُمَاللََّهََُۚوكانََاللََّهَُِب َْمَعل
Dan hadits Nabi Muhammad: “ Membunuh jiwa adalah dilarang oleh Allah, kecuali dengan cara yang baik (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Hukum jinayah adalah segala ketentuan hukum nengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum yang terperinci dari Al-Qu’ran dan hadits. Imam Syafi’i membagi jinayah dalam tiga kategori: 1. Pembunuhan sengaja yaitu jika seseorang melempar sesuatu yang memang benda itu biasanya digunakan untuk membunuh dan dengan niat akan membunuh maka dalam kasus ini pembunuh dikenai qishas dan harus membayar diyat besar kepada keluarga korban dari harta yang dimiliki pembunuh 2. Pembunuhan tidak sengaja yaitu jika seseorang melempar seseorang dengan benda yang tidak biasanya digunakan untuk membunuh dantidak ada niatan untuk membunuh maka dalam kasus ini tidak ada qishas bagi pembunuh tapi harus membayar diyat kecil kepada keluarga korban. 3. Pembunuhan sengaja tetapi ada unsur kesalahan yaitu jika seseorang melempar dengan benda yang tidak biasanya digunakan membunuh dan tidak ada niatan membunuh tapi mengakibatkan orang yang terkena lemparan itu meninggal, dalam kasus ini tidak ada qishas bagi pembunuh tapi harus membayar diyat kecil kepada keluarga korban dan dapat diangsur selama tiga tahun.
24
Dinamakan An- Nisa (wanita) karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surah yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surah-surah yang lain.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
167
Eko Setiawan Pengertian Diyat dalam Fikih Imam Syafi’i Diyat adalah sejumlah harta harta yang wajib dibayar oleh pelaku kepada pihak korban atau walinya disebabkan karena perbuatan jinayat (kriminal). Diyat disyari'atkan dengan maksud mencegah perampasan jiwa atau penganiayaan terhadap manusia yang harus dipelihara keselamatan jiwanya. Firman Allah SWT :
َومنَقتلَمؤمناَخطأَفتحريرَرقبةَمؤمنةَوديةَمسلمةَاىلَاهلهَانَيصدقوا "Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah, (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah". (QS. An-Nisa: 92). Imam Syafi'i berpendapat bahwa diyat itu terbagi 2 macam saja, yaitu: diyat ringan yang dikenakan pada pembunuhan tersalah dan diyat berat yang dikenakan pada pembunuhan sengaja dan mirip sengaja. Imam Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya diyat itu adalah 100 ekor unta. Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang mana merupakan suatu jarimah. Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur-unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut: Pertama, unsur formal, merupakan adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi bila sebelum dinyatakan dalam nash. Kedua, unsur material, merupakan adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan. Ketiga, unsur moral, merupakan adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan
168 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsur keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh25. Unsur khusus dari jarimah26 merupakan unsur yang membedakan antara jarimah satu dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina, dan sebagainya. Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu: pertama, pembunuhan sengaja (Alqathl al-’amd), suatu perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa. Kedua, pembunuhan semi sengaja (Alqathl sibhu al-’amd), suatu perbuatan penganiayaan terhadap diri seseorang tidak dengan suatu maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian. Ketiga, pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), pembunuhan yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya27. Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan. Hal tersebut berbeda dengan Hukum Pidana Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP), di mana dijelaskan bahwa melakukan euthanasia merupakan suatu tindakan pidana. Meskipun di dalam hukum Islam itu belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan Ahmad Azar Basyir, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001) 8. 26 Dalam pembahasan mengenai tindak pidana kejahatan beserta sangsi hukumannya disebut dengan istilah jarimah atau uqubah. Jarimah dibagi menjadi dua, yaitu jinayat dan hudud. 27 Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) 123. 25
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
169
Eko Setiawan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan untuk dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain: 1. pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal; 2. ada kesengajaan membunuh; 3. ikhtiyar (bebas dari paksaan); 4. pembunuh bukan anggota keluarga korban; 5. jarimah dilakukan secara langsung28. Antara pembunuhan sengaja dengan euthanasia aktif ada suatu perbedaan yang mendasar, meski secara teknis ada persamaan. Dalam pembunuhan sengaja, terdapat suatu maksud atau tujuan yang cenderung pada tindak kejahatan. Sedangkan dalam euthanasia aktif, pengakhiran hidup pasien dilakukan secara sengaja dan terencana. Namun pembunuhan ini dilakukan atas kehendak dan permintaan pasien atau korban kepada dokter yang merawat dan maksud atau tujuan yang terdapat didalamnya cenderung pada suatu pertolongan, yang dalam hal ini menolong meringankan beban yang diderita oleh pasien. Kesimpulan Euthanasia adalah istilah yang didapati dalam dunia kedokteran, diartikan sebagai pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang sedang kritis (akut) atau menderita penyakit menahun serta tipis harapannya untuk sembuh kembali. Para tokoh Islam Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang menantang euthanasia ini, ada beberapa ulama yang mana mendukungnya. Menurut pendapat para ulama, bahwa euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi kalau tidak bisa disembuhkan. Tinjauan hukum Islam mengenai euthanasia, terutama yaitu euthanasia aktif adalah
28
Ibid, Basyir, 2001, 16
170 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam diharamkan. Karena euthanasia aktif ini dikategorikan sebagai perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam oleh Allah SWT dengan hukuman neraka selama-lamanya. Karena yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu orang yang mengakhiri hidupnya atau orang yang membantu mempercepat suatu kematian seseorang sama saja dengan menentang ketentuan agama.
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
171
Eko Setiawan Daftar Pustaka Adji, Oemarsono.. Profesi Dokter. (Jakarta: Erlangga, 1991). Assyaukanie, Luthfi, Politik, HAM, Dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) Basyir, Ahmad Azar, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001). Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996). Hasan, M.Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995). Kartono, Muhammad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Bioetika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992). Majalah Panji Masyarakat, No. 846. Tgl. 01-15 Januari 1996. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1982). Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005). Prakoso, Djoko, Euthanasia Hak Azasi Manusia, Manusia Dan Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 1984). Prodjodikoro,Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta: Refika Aditama, 1977. Shihab, Alwi. Islam Inklusif. (Bandung: Mizan, 1999). Simorangkir, Euthanasia Dan Penerapan Hukumnya Di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Utomo, Setiawan Budi, Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003). Watik, Ahmad, Islam Etika dan Kesehatan, (Jakarta: Rajawali, 1986). Wibudi, Aris, Euthanasia, (Bogor: ITB, 2002). Yanggo, Chuzaimah, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995). Yunanto, Ari, Hukum Pidana Malpraktik Medik, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010). Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah. (Jakarta : PT. Gunung Agung, 1996).
172 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015