Ekowisata Hutan Mangrove : Wahana Pelestarian Alam Dan Pendidikan Lingkungan
Made Sudiarta1
Abstract : The research is aimed at analyzing the ecotourism potencies which may be developed as ecotourism attractions and work sections owned by the Mangrove Information Center in giving environmental education to the society. Data are collected through field research using purposive sampling. The research shows that the Mangrove Information Center has many potencies to be developed as ecotourism attractions such as; varies of mangrove trees, birds, crabs, lizard, mangrove information building, monitoring pool, nursery area, touch pool, wooden trail, resting points, floating deck, and viewing towers. There are many kinds of tourist attractions offered at the mangrove forest ecotourism object such as; mangrove educational tour and trekking, bird watching, canoeing, boating, and mangrove tree plantation or adoption. In applying its programs, the Mangrove Information Center has six work sections such as; Environmental Education Section, Ecotourism Section, Training Section, Research Section, Information Section, and Management Section. Keywords : ecotourism, tourist attraction, and environmental education.
1
Made Sudiarta adalah Dosen Politeknik Negeri Bali
1
2
JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
PENDAHULUAN
Kerusakan hutan tropis yang terjadi di berbagai negara di dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan bahkan mengalami ancaman kepunahan yang disebabkan karena penebangan liar (illegal logging), pengalihan fungsi lahan, eksploitasi hutan yang berlebihan, dan lain-lain. Sehingga pada awal tahun 1990-an para ahli lingkungan dari seluruh dunia mengadakan pertemuan di Rio de Jenero, Brasil yang pada intinya membahas mengenai langkah-langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk mengurangi laju kerusakan atau penyelamatan hutan tropis tersebut. Di Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun dari total luas hutan yaitu seluas 120 juta hektar yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dari total luas hutan tersebut, sekitar 57 sampai 60 juta hektar sudah mengalami degradasi dan kerusakan sehingga sekarang ini Indonesia hanya memiliki hutan yang dalam keadaan baik kira-kira seluas 50% dari total luas yang ada. Kondisi semacam ini apabila tidak disikapi dengan arif dan segera dilakukan upaya-upaya penyelamatan oleh pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia maka dalam jangka waktu dua dasawarsa Indonesia akan sudah tidak memiliki hutan lagi. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4.5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap hutan mangrove sangat sedikit juga, dibandingkan dengan hutan darat. Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006). Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan beberapa kebijakan (policy) yang diharapkan mampu menyelamatkan kekayaan alam berupa hutan tropis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu kebijakannya adalah mengenai upaya penyelamatan hutan mangrove. Sehingga pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center). Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama
3
JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Internasional Pemerintah Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA). Proyek kerjasama ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama dimulai pada tahun 1992 dan berakhir tahun 1997. Pada tahapan ini, Pemerintah Jepang mengirim team untuk melakukan identifikasi hal-hal apa saja yang dibutuhkan dan dilakukan. Dari hasil identifikasi ini, dibentukalan team bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang dan selanjutnya sepakat untuk membangun Proyek Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Proyek ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengekplorasi teknik-teknik reboisasi yang bisa dilakukan untuk pemulihan (recovery) kondisi hutan mangrove yang sudah mengalami kerusakan. Teknik yang ditemukan adalah tentang bagaimana cara persemaian bibit dan penanaman mangrove. Selain itu, diterbitkan juga buku panduan penanaman mangrove. Hasil yang dicapai pada tahap ini adalah penentuan model pengelolaan hutan mangrove lestari, penerbitan beberapa buku seperti; buku panduan (guide book) persemaian bibit dan penanaman mangrove, buku-buku yang berkaitan dengan mangrove, dan reboisasi atau penanaman mangrove seluas 253 hektar di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA). Tingginya biaya operasional proyek yang dilaksanakan di Mangrove Information Center (MIC) mengakibatkan terjadinya kekhawatiran terhadap kurangnya dana proyek dan pemeliharaan dan pelatihan hutan mangrove di Kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai khususnya di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) melahirkan ide dan terobosan baru yang diharapkan bisa membantu menutupi kekurangan dana tersebut. Ide cemerlang tersebut selanjutnya diimplementasikan dengan pengembangan obyek ekowisata di Kawasan Mangrove Information Center (MIC). Mangrove Information Center (MIC) memiliki berbagai potensi untuk mengembangkan obyek ekowisata antara lain; sumber daya manusia yang handal dan berkompetensi dalam bidang botani yang mampu menginterpretasikan alam dengan pengunjung, sumber daya alam flora dan fauna yang indah dan menarik, dan infrastuktur yang memadai untuk mengembangkan obyek ekowisata. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) untuk mengetahui potensi dan fasilitas pendukung ekowisata di objek ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center, (2) untuk mengetahui produk-
4
JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
produk ekowisata yang ditawarkan di objek ekowisata di Kawasan Mangrove Information Center, dan (3) untuk mengetahui seksi dan sistem kerja pendidikan lingkungan di Kawasan Mangrove Information Center.
LANDASAN TEORI
Perkembangan dalam sektor kepariwisataan pada saat ini melahirkan konsep pengembangan pariwisata alternatif yang tepat dan secara aktif membantu menjaga keberlangsungan pemanfaatan budaya dan alam secara berkelanjutan dengan memperhatikan segala aspek dari pariwisata berkelanjutan yaitu; ekonomi masyarakat, lingkungan, dan sosial-budaya. Pengembangan pariwisata alternatif berkelanjutan khususnya ekowisata merupakan pembangunan yang mendukung pelestarian ekologi dan pemberian manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang mempunyai tujuan seiring dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika, memberikan manfaat sosial terhadap masyarakat guna memenuhi kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian kehidupan sosial-budaya, dan memberi peluang bagi generasi muda sekarang dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya. Menurut The International Ecotourism Society (2002) dalam www.world-toirism.org.omt/ecotourism2002.html mendifinisikan ekowisata sebagai: Ecotourism is "responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of local people." Dari definisi ini, disebutkan bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berbasiskan alam yang mana dalam kegiatannya sangat tergantung kepada alam, sehingga lingkungan, ekosistem, dan kerifan-kearifan lokal yang ada di dalamnya harus dilestarikan keberadaanya. Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosialbudaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu;
5
JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan, 2003). Ekowisata memberikan kesempatan bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan budaya untuk mempelajari lebih jauh tentang pantingnya berbagai ragam mahluk hidup yang ada di dalamnya dan budaya lokal yang berkembang di kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata ekowisata dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat setempat. Drumm (2002) menyatakan bahwa ada enam keuntungan dalam implementasi kegiatan ekowisata yaitu: (1) memberikan nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan sebagai obyek wisata; (2) menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan; (3) memberikan keuntungan secara langsung dan tidak langsung bagi para stakeholders; (4) membangun konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional; (5) mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan; dan (6) mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut. Atraksi ekowisata dapat berupa satu jenis kegiatan wisata atau merupakan gabungan atau kombinasi kegiatan wisata seperti; flora dan fauna, marga satwa, formasi geomorfologi yang spektakuler dan manifestasi budaya yang unik yang berhubungan dengan konteks alam. Kesuksesan pengembangan ekowisata sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pelaku ekowisata yaitu; industri pariwisata, wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah dan instansi non pemerintah, dan akademisi. Para pelaku ekowisata mempunyai peran dan karakter tersendiri yaitu: (1) industri pariwisata yang mengoperasikan ekowisata merupakan industri pariwisata yang peduli terhadap pentingnya pelestarian alam dan keberlanjutan pariwisata dan mempromosikan serta menjual program wisata yang berhubungan dengan flora, fauna, dan alam; (2) wisatawannya merupakan wisatawan yang peduli terhadap lingkungan; (3) masyarakat lokal dilibatkan dalam perencanaan, penerapan dan pengawasan pembangunan, dan pengevaluasian pembangunan; (4) pemerintah berperan dalam pembuatan
6
JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
peraturan-peraturan yang mengatur tentang pembangunan fasilitas ekowisata agar tidak terjadi eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan; (5) akademisi bertugas untuk mengkaji tentang pengertian ekowisata dan mengadakan penelitian untuk menguji apakah prinsip-prinsi yang dituangkan dalam pengertian ekowisata sudah diterapkan dalam prakteknya. Pembangunan ekowisata yang berkelanjutan dapat berhasil apabila karakter atau peran yang dimiliki oleh masing-masing pelaku ekowisata dimainkan sesuai dengan perannya, bekerjasama secara holistik di antara para stakeholders, memperdalam pengertian dan kesadaran terhadap pelestarian alam, dan menjamin keberlanjutan kegiatan ekowisata tersebut (France, 1997). Lebih lanjut Drumm (2002) menyatakan bahwa dalam pengembangan ekowisata harus: (1) memiliki dampak yang rendah terhadap sumber daya alam yang dijadikan sebagai obyek wisata; (2) melibatkan stakeholders (perorangan, masyarakat, eco-tourists, tour operator dan institusi pemerintah maupun non pemerintah) dalam tahap perencanaan, pembangunan, penerapan dan pengawasan; (3) menghormati budaya-budaya dan tradisi-tradisi lokal; (4) menghasilkan pendapatan yang pantas dan berkelanjutan bagi para masyarakat lokal, stakeholders dan tour operator lokal; (5) menghasilkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata; (6) dan mendidik para stakeholders mengenai peranannya dalam pelestarian alam. Pengembangan obyek ekowisata harus selalu berpedoman pada prinsipprinsip ekowisata dan pariwisata berkelanjutan agar tercapai tujuan pengembangan ekowisata yakni ekowisata yang berkelanjutan (sutainable ecotourism). Menurut Wood (2002), prinsip-prinsip dasar pengembangan ekowisata adalah sebagai berikut : 1. meminimalisasi dampak-dampak negatif terhadap alam dan budaya yang dapat merusak destinasi ekowisata; 2. mendidik wisatawan terhadap pentingnya pelestarian (conservation) alam dan budaya; 3. mengutamakan pada kepentingan bisnis yang peduli lingkungan yang bekerjasama dengan pihak berwenang dan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan lokal dan mendapatkan keuntungan untuk konservasi; 4. menghasilkan pendapatan yang dipergunakan untuk pelestarian dan pengelolaan lingkungan dan daerah-daerah yang dilindungi;
7
JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
5. mengutamakan kebutuhan zonasi pariwisata daerah dan perencanaan penanganan wisatawan yang didesain untuk wilayah atau daerah yang masih alami yang dijadikan sebagai destinasi ekowisata; 6. mengutamakan kepentingan untuk studi yang berkaitan dengan sosialbudaya dan lingkungan, begitu juga pemantauan jangka panjang terhadap obyek ekowisata untuk mengkaji dan mengevaluasi kegiatannya serta meminimalisasi dampak-dampak negatif; 7. memaksimalkan keuntungan ekonomi untuk: negara yang bersangkutan, bisnis dan masyarakat lokal, khususnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan destinasi ekowisata; 8. menjamin bahwa pembangunan ekowisata tidak mengakibatkan perubahan lingkungan dan sosial-budaya yang berlebihan sebagaimana ditentukan oleh para ahli dan peneliti; 9. membangun infrastruktur yang harus ramah lingkungan dan menyatu dengan budaya masyarakat setempat, tidak menggunakan bahan bakar yang terbuat dari fosil, dan tidak menggangu ekosistem flora dan fauna. Menurut Wood (2002), setiap pengelola ekowisata wajib menerapkan dan mematuhi prinsip-prinsip dasar pengembangan ekowisata. Selain itu, pengelola ekowisata juga disarankan untuk melakukan hal-hal sebagaimana tersebut di bawah ini agar pengembangan ekowisata dapat berhasil dengan lebih optimal dan berkualitas, yaitu : 1. memberikan informasi tentang lingkungan dan budaya yang akan dikunjungi sebelum keberangkatan; 2. memberikan panduan informasi tertulis mengenai pakaian yang harus dipakai dan hal-hal yang boleh dilakukan dan mengingatkannya kembali secara lisan pada saat keberangkatan dan berwisata; 3. memberikan pra-informasi secara singkat kepada wisatawan sebelum kedatangannya tentang geografi destinasi, karakteristik sosial dan politik destinasi, begitu juga tantangan-tantangan yang berhubungan dengan alam, sosial-budaya dan politik; 4. memberikan pelayanan dan pemanduan yang menyeluruh dengan menggunakan pramu wisata yang memiliki pengetahuan dan keahlian khusus;
8
JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
5. memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai kehidupan sosial-budayanya; 6. menumbuhkembangkan pemahaman baik kehidupan sehari-hari masyarakat dan tradisinya maupun isu-isu terkini yang muncul sehubungan dengan pengembangan ekowisata yang selanjutnya didiskusikan secara bersama-sama untuk menghindari konflik kepentingan di antara para stakeholders; 7. memberikan kesempatan kepada lembaga swadaya masyarakat lokal untuk berpartisipasi dan memberikan kontribusi pembangunan ekowisata; 8. menjamin bahwa semua biaya masuk ke obyek ekowisata dikelola secara transparan dan accountable; 9. menyediakan akomodasi yang ramah lingkungan. Perubahan paradigma wisatawan baik wisatawan manca negara, wisatawan domestik maupun wisatawan nusantara dalam memilih obyekobyek wisata dari wisata konvensional beralih ke wisata alternatif yang ramah lingkungan dan peka terhadap kearifan budaya lokal semakin menuntut para pebisnis pariwisata untuk menyediakan keinginan wisatawan tersebut. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kesadaran para wisatawan terhadap pentingnya konservasi lingkungan dan meningkatnya keinginan untuk menikmati secara langsung kehidupan dari suatu lingkungan dan ekosistemnya. Wisatawan yang mengunjungi obyek-obyek ekowisata atau yang lebih lazim disebut ecotourist umumnya mencari pengalaman ke obyekobyek yang memberikan kesempatan untuk lebih dekat dan secara langsung berinteraksi dengan alam dan kehidupan sosial budaya. Untuk menjaga dan melindungi keaslian kawasan yang dijadikan sebagai daya tarik ekowisata maka peran pemerintah sangat diperlukan dalam melindungi aset-aset alam dan budaya yang ada di kawasan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan perencanaan yang bagus, pemetaan kawasan tepat, dan pengeluaran kebijakan yang mampu melidungi kekayaan alam dan budaya yang bisa dijadikan sebagai obyek dan daya tarik ekowisata. Letak Indonesia yang berada di daerah tropis sangat kaya dengan beranekaragam flora, fauna dan biodiversitas lainnya. Kekayaan alam yang berlimpah ini dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata khususnya ekowisata. Menurut Sudarto (1999), secara umum kekayaan alam yang dapat
9
JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
dijadikan obyek dan daya tarik ekowisata adalah; hutan hujan tropis, hutan mangrove, hutan sagu, pegunungan es, dan fauna langka seperti; gajah, komodo, orang utan, harimau, badak, burung cendrawasih, jalak putih dan lain-lain. Potensi dan keanekaragaman alam dan budaya ini belum sepenuhnya bisa dikelola dan dikembangkan sehingga masih besar peluang untuk mengembangkan berbagai jenis obyek dan daya tarik ekowisata di Indonesia. Apabila indonesia mampu memanfaatkan kekayaan alam dengan baik dan mengelolanya dengan bijaksana maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi daerah tujuan ekowisata terbesar di dunia. WTO (2002) memberikan batasan mengenai pengembangan obyek dan daya tarik ekowisata sebagai berikut : 1. semua jenis pariwisata yang berbasiskan alam yang mana tujuan utama dari wisatawan adalah untuk mengamati dan memberikan apresiasi terhadap alam, tradisi dan budaya yang ada di kawasan tersebut; 2. mengandung unsur pendidikan dan enterpretasi; 3. dikelola oleh pelaku pariwisata lokal dan pangsa pasarnya adalah kelompok-kelompok kecil; 4. meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan alam dan kehidupan sosial budaya; 5. membantu pelestarian atau konservasi alam; 6. memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal, organisasi terkait dan pihak berwenang; 7. memberikan lapangan kekerjaan dan pendapatan alternatif kepada masyarakat lokal; 8. Meningkatkan kesadaran terhadap pelestarian aset-aset alam dan budaya bagi para wisatwan dan masyarakat lokal.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di obyek ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) yang terletak di dalam Kawasan Taman Hutan Raya di Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar Bali.
10 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini mengunakan satu jenis data yaitu data primer yang diperoleh dari pejabat pengelola ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center (MIC). Total responden yang diambil dari pejabat pengelola ekowisata hutan mangrove adalah sebanyak tujuh (7) responden yang diambil dari: Pimpinan, Seksi Informasi, Seksi Pelatihan, Seksi Penelitian, Seksi Pendidikan Lingkungan, Seksi Ekowisata, dan Seksi Manajemen masing-masing satu (1) responden. Responden yang diambil dari pejabat pengelola ekowisata diambil dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu respondenya ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti sebelum melakukan penelitian ke lapangan.
Metode Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dan dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa cara yaitu sebagai berikut : 1. Obervasi, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung terhadap subyek dan obyek ekowisata untuk mengetahui secara pasti tentang lokasi dan aktivitas sehari-hari di obyek ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center (MIC). 2. Wawancara, yaitu mengumpulkan informasi melalui wawancara terstruktur dengan responden yaitu pengelola ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center (MIC). 3. Dokumentasi, yaitu dengan mengabadikan dokumen-dokumen dan fotofoto dari subyek dan obyek ekowisata. Peneliti juga mendokumentasikan informasi yang diberikan oleh petugas di bagian informasi yang berupa brosur-brosur dan bulletin tentang hutan mangrove dan ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center (MIC).
PEMBAHASAN
Potensi dan Fasilitas Pendukung Kegiatan Ekowisata Hutan Mangrove
11 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Gedung Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center (MIC) Building) Gedung ini dijadikan sebagai kantor operasional Mangrove Information Center (MIC). Ada beberapa ruangan di dalam gedung ini yang berfungsi sebagai ruang informasi, ruang seminar, ruang pameran, museum, perpustakaan, aquarium, dan arboretum.
Kolam Monitor (Monitoring Pool) Kolam monitor ini dibuat untuk penangkaran biawak yang ditangkap oleh warga di sekitar kawasan Mangrove Information Center (MIC). Tempat ini dijadikan sebagai atraksi wisata yang sangat menarik terutama bagi pengunjung anak-anak yang sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan alam secara langsung.
Areal Persemaian (Nursery Area) Beberapa saat beranjak dari gedung Mangrove Information Center (MIC) akan ditemukan areal persemaian. Lahan yang dipergunakan sebagai areal persemaian seluar 7.700 m2. Bagi para peneliti lingkungan, tempat ini biasanya dipergunakan sebagai lokasi penelitian yang sangat menarik. Sedangkan bagi pengunjung, di tempat ini akan diperkenalkan proses pembibitan pohon mangrove dan perawatan sebelum pohon-pohon mangrove tersebut ditanam, sehingga pengunjung mengetahui secara pasti tentang proses pembibitan, penanaman dan pemeliharaan mangrove.
Kolam Sentuh (Touch Pool) Kolam ini didesain secara khusus agar fauna hutan mangrove seperti kepiting dan mulusca dapat hidup sebagaimana habitat aslinya. Dengan demikian maka para pengunjung dapat berinteraksi secara langsung dan menyentuh fauna-fauna hutan mangrove tersebut dengan mudah. Di kolam ini sering kali diadakan lomba menangkap kepiting sebagai atraksi wisata tambahan terutama bagi pengunjung anak-anak.
12 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Jembatan Kayu (Wooden Trail) Jembatan sepanjang kurang lebih 2,5 kilometer ini dirancang dengan konsep nature-based development. Keseluruhan konstruksi jembatan ini termasuk tiang pancang, rangka dan geladaknya menggunakan bahan baku kayu yang tahan terhadap panas dan air dan hanya bagian-bagian tertentu saja terutama pada tempat keluar masuknya air dibangun dengan menggunakan semen dan batu sehingga walaupun jembatan ini dibuat di sepanjang hutan mangrove tidak menimbulkan tekanan-tekanan terhadap ekologi hutan mangrove. Jembatan kayu ini merupakan jalan yang digunakan untuk jalur trekking, olahraga, pengamatan burung, memancing, dan kegiatan ekowisata lainya di kawasan Mangrove Information Center (MIC).
Pondok Peristirahatan (Resting Hut) Di sepanjang jembatan kayu terdapat pondok-pondok peristirahatan yang berjarak kurang lebih 500 meter dari satu pondok peristirahatan dengan pondok peristirahatan yang lainnya. Total jumlah pondok peristirahatan sebanyak 5 buah. Tempat peristirahatan pertama bernama Pond Heron Hut, terletak di gerbang masuk jembatan kayu menuju ke hutan mangrove. Tempat ini biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul bagi pengunjung yang datang secara berkelompok sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan ekowisata di kawasan Mangrove Information Center (MIC). Tempat peristirahatan kedua bernama Purple Heron Hut, terletak kira-kira 500 meter dari starting point. Di tempat ini, pengunjung bisa melihat berbagai pohon mangrove yang indah dan beberapa jenis kepiting dan ikan. Sering kali tempat ini juga dijadikan sebagai tempat istirahat bagi pengunjung yang melakukan kegiatan memancing di sekitar pondok peristirahatan ini. Tempat peristirahatan ketiga bernama Spotted Dove Hut, terletak kira-kira 300 meter ke arah kiri dari Menara Little Egret. Di sekitar pondok peristirahatan ini banyak tempat-tempat pemancingan. Tempat peristirahatan keempat bernama Wimbrel Hut, terletak kira-kira 600 meter ke arah kanan dari Menara Little Egret. Di sekitar tempat ini dimanfaatkan sebagai tempat pencarian udang bagi masyarakat lokal dan tempat memancing bagi para pengunjung. Tern Hut merupakan tempat peristirahatan terbesar dan terakhir, letaknya kira-kira 500 meter dari Wimbrel Hut. Dari tempat ini bisa melihat pemandangan laut yang
13 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
sangat indah dan kegiatan para nelayan di sekitar pelabuhan benoa. Tempat ini berkapasitas kira-kira 30 orang dan sering digunakan untuk melaksanakan acara out door activity bagi para pengunjung yang datang dalam kelompok kecil. Di sekitar Wimbrel Hut terdapat beberapa tempat pemancingan ikan dan penangkapan kepiting. Di masing-masing pondok peristirahatan tersebut dilengkapi dengan papan informasi tentang ekologi hutan mangrove, papan himbauan, papan larangan, dan tempat sampah.
Geladak Terapung (Floating Deck) Geladak terapung dibangun dengan konstruksi khusus dan dilengkapi dengan beberapa pelampung di bawah geladak sehingga bisa naik turun sesuai dengan pasung surut permukaan air laut. Letaknya kira-kira 700 meter dari starting point jembatan kayu. Pengunjung yang berkunjung secara langsung dapat menikmati dan merasakan pasang surutnya air laut sambil melihat berbagai flora hutan mangrove seperti kepiting, udang, dan ikan. Geladak terapung ini sering dipergunakan untuk tempat pengambilan gambar dan foto karena di sekelilingnya terdapat pemandangan hutan mangrove yang sangat indah. Daya tampung geladak terapung ini seberat satu (1) ton atau 18 orang dewasa.
Menara Pandang (Viewing Tower) Sebagai fasilitas pendukung dan untuk menambah fasilitas-fasilitas ekowisata yang sudah ada di kawasan Mangrove Information Center (MIC), dibangun dua menara pandang yang terbuat dari kayu yaitu; Little Egret Tower dengan ketinggian 10,25 meter dengan daya tampung maksimal sebanyak 20 orang dewasa dan Sun Bird Tower dengan ketinggian 8 meter dengan daya tampung maksimal sebanyak 4 orang dewasa. Dari kedua menara ini dapat melihat pemandangan hutan mangrove yang sangat luas dan hijau dengan udara yang sangat segar. Selain digunakan untuk melihat kawasan hutan mangrove dari atas, menara-menara ini juga digunakan sebagai tempat untuk program pengamatan burung (bird watching). Di masing-masing menara terdapat papan informasi, tempat duduk, larangan, dan tempat sampah.
14 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Produk-Produk Ekowisata Hutan Mangrove Produk-produk ekowisata yang ditawarkan di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) adalah tour pendidikan mangrove dan lintas alam (mangrove educational tour and trekking), pengamatan burung (bird watcing), bermain kano (canoeing), bermain perahu (boating), dan penanaman atau pengadopsian pohon mangrove (mangrove tree plantation or adoption). Berikut ini adalah penjelasan lengkap mengenai bentuk-bentuk produk ekowisata dan model kegiatan ekowisata yang ada di Kawasan Mangrove Information Center (MIC).
Mangrove Educational Tour and Trekking Mangrove educational tour and trekking diawali dengan pemberian informasi pra tour (pre-tour information) selama 30 menit di dalam kelas. Pengunjung diberikan informasi tentang arti, fungsi, jenis, dan ekologi mangrove yang ditayangkan dengan menggunakan video dan presentasi dari staf yang bertugas di bagian ekowisata. Di akhir presentasi juga diadakan acara tanya jawab, sehingga pengunjung yang ingin mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang mangrove dan ekowisata bisa bertanya kepada petugas yang memberikan presentasi. Selama dalam perjalanan, pengunjung akan diajak berkeliling di kawasan Mangrove Information Center (MIC) dan sepanjang jembatan kayu yang dipandu oleh seorang pemandu wisata yang memiliki kompetensi dalam bidang mangrove sehingga mampu mengkomunikasikan hutan mangrove beserta ekologinya dengan pengunjung. Di sepanjang jalur trekking, pengunjung dapat melihat berbagai jenis pohon mangrove, kepiting, ikan, udang, burung dan lain-lain. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti program ini sebesar Rp.50.000 bagi pengunjung asing dan sebesar Rp. 35.000 bagi pengunjung domestik. Harga tersebut sudah temasuk pelayanan, informasi pra tour dalam bentuk presentasi, pemanduan di lapangan, snack dan makan siang. Pengunjung juga dapat melakukan kegiatan trekking dengan hanya membayar tiket masuk sebesar Rp.5.000, tetapi tidak mendapatkan informasi, pemanduan, dan makan.
15 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Bird Watching Berbeda dengan kegiatan mangrove educational tour and trekking, kegiatan pengamatan burung diawali dengan kegiatan lapangan yaitu dengan melihat langsung burung-burung yang ada di kawasan Mangrove Informationn Center (MIC) selama dua jam, setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan dalam ruangan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam tentang burung-burung yang baru saja dilihat atau burung-burung yang sudah teridentifikasi oleh team peneliti di Mangrove Information Center (MIC). Program ekowisata pengamatan burung diadakan di pagi hari sebelum jam enam pagi, ini disebabkan karena karakteritik dari burung-burung pantai atau yang berada di kawasan hutan mangrove berbeda dengan burung darat. Burung pantai biasanya keluar untuk mencari makan sebelum matahari terbit sedangkan burung darat mencari makannya setelah matahari terbit karena sebelum matahari terbit burung darat tidak akan keluar dari sarangnya. Biaya untuk mengikuti program ini sebesar Rp.75.000 per orang. Biaya tersebut termasuk jasa pelayanan, pemandu wisata, dan snack. Kegiatan pengamatan burung di obyek ekowisata di kawasan Mangrove Information Center (MIC) memiliki karakteristik tersendiri dan sangat berbeda dengan kegiatan pengamatan burung konvensional lainnya yang ditawarkan oleh operatoroperator pengamatan burung yang ada di Bali yang burung-burungnya biasanya sengaja dikurung dan dipelihara di suatu areal tertentu untuk dipertontonkan. Lain halnya dengan pengamatan di Mangrove Information Center (MIC), burung-burungnya merupakan burung lepas dan memiliki karakteristik burung laut yang alami yang memiliki keterikatan dengan ekologi hutan mangrove. Artinya, walaupun burung-burung tersebut tidak di kurung namun burung-burung tersebut akan terus berada di dalam hutan mangrove. Dua menara pandang yang ada di dalam kawasan Mangrove Information Center (MIC) sangat membantu dalam pengamatan burung dari jarak jauh. Namun sangat disayangkan karena belum ada alat pengamatan burung seperti binakuler yang disewakan di obyek ekowisata ini, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukan pengamatan burung di obyek ekowisata ini. Pemandu ekowisata pengamatan burungnya juga memiliki kompetensi (pengetahuan, keahlian, dan prilaku) yang sangat bagus sehingga mampu menginterpretasikan dan menjelaskan secara keseluruhan tentang burung-burung habitat hutan mangrove dengan baik.
16 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Fishing Memancing merupakan salah satu aktivitas untuk berinteraksi dengan alam yang sangat menyenangkan. Di kawasan Mangrove Information Center (MIC) terdapat beberapa tempat untuk memancing yang terletak di sepanjang jembatan kayu dan tempat-tempat peristirahatan. Di tempat-tempat tersebut bisa memancing ikan, kepiting, dan udang. Pengunjung yang berkeinginan untuk memancing harus membawa pancing dan umpan sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Bagi pengunjung asing yang ingin mengikuti program memancing dikenakan biaya sebesar Rp.50.000 per orang, sedangkan pengunjung domestik hanya dengan membayar tiket masuk kawasan Mangrove Information Center (MIC) yaitu sebesar Rp.5.000 per orang.
Canoeing Kegiatan ekowisata bermain kano dilakukan dengan menelusuri aliran air yang menyerupai sungai yang ada di kawasan mangrove Information Center (MIC) yaitu dari blok I sampai III. Ada empat kano yang disewakan kepada pengunjung. Masing-masing kano berkapasitas dua orang yaitu satu pengemudi yang merangkap sebagai pemandu ekowisata dan satu pengunjung. Dalam perjalanan akan dijelaskan jenis-jenis pohon mangrove, waktu pasang dan surutnya air laut, dan prilaku dan cara hidup berbagai fauna yang ditemukan selama perjalanan. Perjalanan ini berlangsung kurang lebih selama dua jam. Pengunjung yang mengikuti program ini dikenakan biaya sebesar Rp. 80.000 per orang. Biaya tersebut termasuk jasa pelayanan, pemandu wisata, dan snack.
Boating Waktunya sama dengan canoeing tetapi jarak yang dilalui lebih jauh. Dari kantor ke Patung Ngurah Rai, kemudian ke dekat pelabuhan benoa, ke blok III sampai blok I kemudian kembali ke kantor. Ada dua jenis boat (besar dan kecil) yang disediakan untuk program ini. Boat kecil berkapasitas 3 orang dengan harga Rp.150.000 per boat, sedangkan boat besar berkapasitas 5 orang dengan harga Rp.300.000 per boat.
17 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Mangrove Tree Plantation or Adoption Program ini ditujukan kepada pengunjung yang mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap hutan mangrove. Pengunjung diberikan kesempatan untuk menanam atau mengadopsi salah satu jenis pohon mangrove. Bagi pengunjung yang melakukan pengadopsian pohon mangrove, di pohon yang ditanam tersebut akan ditempelkan nama penanam dan pengadopsi dan diberikan sertifikat pengadopsian mangrove. Pemeliharaan pohon mangrove tersebut dibebankan kepada pengelola program mangrove tree adoption dan pengunjung tersebut akan diberikan informasi pertumbuhan dan foto perkembangannya secara berkala melalui media internet. Bagi pengunjung yang memilih kegiatan ini dikenakan biaya sebesar Rp.750.000 per tahun untuk pengadopsian satu pohon mangrove. Nama pengadopsi pohon mangrove tersebut akan masih ditempel apabila pengadopsi masih membayar iuran tahunan yang ditentukan, apabila pengadopsi tidak membayar iuran tersebut maka namanya akan dilepas. Namun, penanaman mangrove bisa juga dilakukan dengan tanpa mengadopsinya. Pengunjung diberikan kesempatan untuk menanam pohon mangrove di lokasi yang telah ditentukan. Kegiatan penanaman mangrove biasanya dilakukan oleh sekolah-sekolah atau universitas yang memiliki keperdulian terhadap pentingnya pelestarian hutan khususnya hutan mangrove. Sebelum melakukan penanaman pohon mangrove, pengunjung harus mengkordinasikan rencananya dengan pengelola kegiatan ekowisata agar memudahkan penyiapan jumlah bibit pohon mangrove yang akan ditanam. Pengunjung-pengunjung tersebut dapat berinteraksi langsung dengan mangrove dengan cara diberikan kesempatan untuk menanam mangrove sendiri sehingga mampu meningkatkan keperduliannya terhadap pentingnya konservasi dan pelestarian hutan khususnya hutan mangrove. Penanaman pohon mangrove juga dapat memotivasi pengunjung untuk melakukan kunjungan ulang (repeated visit) ke obyek ekowisata hutan mangrove di kawasan Mangrove Information Center (MIC). Ini membuktikan bahwa dengan cara melibatkan pengunjung secara aktif dalam penanaman pohon mangrove maka kesadaran terhadap pentingnya perlindungan hutan mangrove akan muncul dengan sendirinya dari pengunjung. Jadi, daya tarik ekowisata penanaman mangrove atau pengadopsian pohon mangrove dapat dijadikan sebagai salah satu media pendidikan lingkungan yang efektif.
18 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Seksi dan Sistem Kerja Pendidikan Lingkungan di Objek Ekowisata Hutan Mangrove Dalam menjalankan programnya, Mangrove Information Center (MIC) membagi ruang lingkup kerjanya menjadi enam seksi kerja yaitu; Seksi Pendidikan Lingkungan, Seksi Ekowisata, Seksi Pelatihan, Seksi Penelitian, Seksi Informasi, dan Seksi Manajemen. Tujuan pembagian seksi kerja ini adalah untuk mengoptimalkan kinerja dan meningkatkan profesionalisme serta mempertajam kompetensi sumber daya manusia yang bekerja di Mangrove Information Center (MIC). Berikut ini adalah penjelasan mengenai masing-masing seksi kerja berdasarkan fungsi dan ruang lingkup kerjanya.
Seksi Pendidikan Lingkungan Seksi Pendidikan Lingkungan berfungsi untuk menyebarluaskan informasi tentang lingkungan hidup khususnya ekosistem mangrove kepada masyarakat, baik kalangan sekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi maupun kalangan umum seperti masyarakat dan wisatawan; meningkatkan keperdulian masyarakat terhadap pelestarian lingkungan; dan merubah prilaku masyarakat untuk ikut serta menjaga dan melestarikan lingkungan khususnya ekosistem mangrove. Bentuk pendidikan lingkungan yang diberikan bersifat informal berupa events. Events tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu; event regular dan event non reguler. Event regular yang sering disebut sebagai class in the field yaitu menerima tamu yang berasal dari sekolah dan travel agent dengan memberikan presentasi tentang mangrove di dalam ruangan untuk mendapatkan informasi awal atau gambaran umum tentang mangrove kemudian diajak ke lapangan. Intinya belajar tentang mangrove di lapangan untuk dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan dan ekosistemnya. Konsep pendidikan yang diterapkan adalah “tak kenal maka tak sayang”. Diharapkan dengan mengenal mangrove dan berinteraksi secara langsung akan tumbuh keperdualian dan rasa sayang dengan mangrove. Sedangkan event non regular yang dilaksanakan berupa lomba berpidato (speech contest), lomba fotografi, lomba menggambar, lomba mewarnai, dan Summer Camp yang mana semua kegiatan tersebut bertemakan mangrove. Lomba berpidato menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang. Lomba berpidato Bahasa Inggris sudah
19 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
diadakan sebanyak empat kali, sedangkan lomba berpidato Bahasa Jepang sudah diadakan sebanyak lima kali. Segmen pasar lomba berpidato adalah siswa-siswi sekolah menengah atas, mahasiswa, dan pramu wisata. Melalui bahasa diharapkan juga bisa meningkatkan kepedulian para peserta lomba terhadap mangrove. Selain lomba berpidato, lomba lain yang diadakan adalah lomba fotografi yang diikuti oleh siswa-siswi sekolah menengah atas, mahasiswa, dan umum, lomba menggambar, lomba mewarnai, dan lomba menangkap kepiting yang diikuti oleh siswa-siswi sekolah dasar. Selain lomba-lomba tersebut di atas, diadakan juga Summer Camp yaitu kegiatan berkemah di kawasan Mangrove Information Center (MIC). Kegiatan perkemahan sudah diadakan dua kali. Segmen pasar Summer Camp adalah siswa-siswi sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan alat atau media pendidikan lingkungan yang dikemas untuk mendekatkan mereka kepada mangrove secara lebih menarik. Sekarang ini, segmen pasar utama dari program pendidikan lingkungan di Mangrove Information Center (MIC) adalah sekolah-sekolah yaitu dari taman kanakkanak sampai perguruan tinggi, tetapi tidak tertutup kemungkinan diberikan juga kepada wisatawan yang berkunjung ke Mangrove Information Center (MIC) khususnya yang membeli dan mengikuti salah satu produk ekowisata yang ditawarkan. Promosi yang dilakukan untuk melakukan events tersebut dengan cara mengundang sekolah-sekolah. Model promosi ini hanya berlangsung selama dua tahun. Namun sekarang ini sudah datang dengan sendirinya kecuali untuk events non regular. Sistem penanganan pengunjung dalam jumlah banyak (group) dilakukan dengan cara bekerjasama dengan seksi lain yaitu Seksi Ekowisata. Pendidikan lingkungan idealnya dilakukan dengan menggunakan permainan, peralatan pengenalan lingkungan yang menarik sehingga pemberi informasi hanya sebagai fasilitator bukan sebagaimana layaknya sekolahsekolah formal. Komunikasi yang dilakukan yang dilakukan dengan para wisatawan adalah komunikasi dua arah, yaitu fasilitator memberikan presentasi dan tayangan mengenai ekologi hutan mangrove kemudian para wisatawan diberikan kesempatan untuk bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan mangrove.
20 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Pelayanan informasi dan pendidikan lingkungan diberikan secara gratis kepada semua masyarakat selama hari kerja (Senin sampai Jumat). Sedangkan di luar hari kerja dikenakan biaya sebesar Rp. 1.500 bagi siswa-siswi taman kanak-kanak sampai sekolah menengah pertama dan Rp. 2.000 bagi siswasiswi sekolah menengah atas, mahasiswa, dan masyarakat umum. Komposisi materi yang didesain untuk pendidikan lingkungan dan diberikan kepada para masyarakat diharapkan mampu meningkatkan keperdulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan khususnya ekologi hutan mangrove yang pada akhirnya bermuara pada perubahan prilaku masyarakat untuk senantiasa mencintai mangrove. Mangrove Information Center (MIC) juga memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat lokal khususnya di Desa Pemogan dengan cara memberikan presentasi tentang cara pembuangan dan pengelolaan sampah sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan di lingkungannya khususnya di Kawasan Mangrove Information Center (MIC). Staf yang bertugas dalam bidang pendidikan lingkungan berjumlah empat orang. Dalam pemberian pendidikan lingkungan, keempat staf ini secara bergantian memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun diharapkan di masa yang akan datang Mangrove Information Center (MIC) bisa merubah narasumber menjadi fasilitator yang bisa memfasilitasi dan menggugah masyarakat untuk perduli terhadap lingkungan.
Seksi Ekowisata Tingginya biasa operational proyek yang dilaksanakan di Mangrove Information Center (MIC) mengakibatkan terjadinya kekhawatiran terhadap kurangnya dana proyek dan pemeliharaan dan pelatihan hutan mangrove di kawasan Taman Hutan Raya khususnya di kawasan Mangrove Information Center (MIC) melahirkan ide dan terobosan baru yang diharapkan bisa membantu menutupi kekurangan dana tersebut. Ide cemerlang tersebut selanjutnya diimplementasikan dengan pengembangan obyek ekowisata di kawasan Mangrove Information Center (MIC). Mangrove Information Center (MIC) memiliki berbagai potensi untuk mengembangkan obyek ekowisata antara lain; sumber daya manusia yang
21 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
handal dan berkompetensi dalam bidang botani yang mampu menginterpretasikan alam dengan wisatawan, sumber daya alam flora dan fauna yang indah dan menarik, dan infrastuktur yang memadai untuk mengembangkan obyek ekowisata. Produk-produk ekowisata yang ditawarkan di obyek ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) adalah pendidikan lingkungan dan lintas alam di sekitar mangrove (mangroveeductional tour and trekking), pengamatan burung (bird watching), bermain kano (canoeing), berlayar menggunakan perahu (boating), dan pengadopsian pohon mangrove (mangrove tree adoption).
Seksi Pelatihan Fungsi Seksi Pelatihan mendistribusikan kajian yang ditemukan pada periode 1992-2001. Ruang lingkup kerja Mangrove Information Center (MIC) adalah di seluruh Indonesia. Ada tiga jenis pelatihan yang diberikan Mangrove Information Center (MIC) yaitu; kursus berkala (regular course), pelatihan yang tempatnya berpindah-pindah (mobile training) dan pelatihan yang sesuai dengan permintaan (on demand training). Pelatihan regular dibedakan menjadi tiga jenis yaitu; (1) Course A, yang ditujukan kepada staf Departemen dan Dinas Kehutanan, staf teknis kehutanan, dan lembaga swadaya masyarakat. Ada sembilan topik yang diberikan kepada para peserta Course A seperti; kebijakan dan aturan perundang-undangan, ekologi mangrove, pemanfaatan sumber daya mangrove, teknik rehabilitasi, tekhnik survei, pemberdayaan masyarakat, pengenalan jenis mangrove, Capita Selecta dan filed trip. Pelatihan ini sudah dilaksanakan lima belas kali atau angkatan; (2) Course B, yang ditujukan kepada pengambil kebijakan yaitu; gubernur, bupati, anggota DPRD, dan kepala Dinas Kehutanan. Topik yang diberikan kepada peserta Course B seperti; ekologi mangrove dan pengelolaan mangrove berkelanjutan. Pelatihan ini sudah dilakukan tiga kali atau angkatan; (3) Course C, yang ditujukan kepada guru dan informal leader seperti lurah, sekertaris desa dan ketua kelompok tani. Materi yang diberikan berhubungan dengan ekologi mangrove, pengenalan jenis mangrove, pemanfaatan sumber daya mangrove dan teknik rehabilitasi mangrove.
22 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Tujuan pelaksanaan mobile training adalah untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan. Dengan mendatangi daerah-daerah yang memerlukan pelatihan tentang mangrove diharapkan mampu mengurangi biaya pelatihan karena dengan cara ini Mangrove Information Center (MIC) hanya mengirim beberapa staf ahli sehingga tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk penginapan, konsumsi dan transportasi bagi para peserta sebagaimana yang dilakukan pada regular training. Seksi Pelatihan Mangrove Information Center (MIC) sudah melaksanakan mobile training beberapa kali seperti di Samarinda, Aceh, Kendari, dan Papua. Kedua bentuk pelatihan tersebut di atas direncanakan, diselenggarakan dan dibiayai sepenuhnya oleh Mangrove Information Center (MIC). Bentuk pelatihan lainnya yang diberikan oleh Mangrove Information Center (MIC) adalah on demand training, pelatihan ini ditawarkan untuk semua pihak dan instansi yang memerlukan pelatihan tentang mangrove seperti; travel agent, hotel, dan perusahaan atau industri yang di lingkungannya terdapat mangrove. Materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhannya.
Seksi Penelitian Fungsi Seksi Penelitian di Mangrove Information Center (MIC) adalah untuk menyediakan data-data ilmiah tentang dunia mangrove yaitu data tentang flora, fauna, dan ekologi mangrove. Penelitian yang sudah dilakukan masih bersekala kecil seperti survei dan pengumpulan data yang bertujuan intuk mengidentifikasi jenis-jenis flora dan fauna. Penelitian ilmiah yang sudah dilakukan di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) antara lain: pengukuran kadar garam dan pengukuran parameter pertumbuhan mangrove. Penelitian yang sudah dilakukan selama ini dilakukan sendiri oleh team dari Mangrove Information Center (MIC) tanpa melibatkan pihak-pihak lain seperti kalangan akademisi atau pusat-pusat penelitian lainnya. Frekuensi penelitian sangat tergantung dari dana yang tersedia, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian dilakukan hanya jika ada dana. Selama ini, penelitianpenelitian dibiayai oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Semua hasil penelitian selalu didokumentasikan dan beberapa di antaranya dipublikasikan dalam bentuk
23 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
brosur, bulletin dan buku. Hasil-hasil penelitian ini juga sering dipergunakan oleh para peneliti dari kalangan akademisi yang melakukan penelitian secara mandiri sebagai data sekunder. Penelitian khusus tentang pengembangan ekowisata di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) belum pernah dilakukan oleh staf pada Seksi Penelitian di Mangrove Information Center (MIC). Akses penelitian bagi para peneliti dari dalam dan luar negeri dibuka secara luas. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Institute Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Udayana umumnya mengkaji tentang lingkungan. Setiap peneliti diwajibkan untuk memberikan hasil penelitiannya kepada Mangrove Information Center (MIC) sebagai sebuah konsekuensi. Seksi Penelitian selalu selektif memilih peneliti yang akan mengadakan penelitian di Mangrove Information Center (MIC), artinya bahwa peneliti satu dengan yang lainya tidak boleh melakukan penelitian dengan pokok permasalahan yang sama. Dengan cara ini diharapkan tidak terjadi duplikasi kajian dan para peneliti tersebut dapat membantu untuk menambah kekasanahan ilmu dan kajian tentang mangrove dan ekologinya. Staf yang bertugas pada Seksi Penelitian sebanyak lima orang yaitu satu koordinator dan empat anggota.
Seksi Informasi Seksi Informasi berfungsi untuk penyebaran informasi tentang mangrove yang bertujuan untuk pengenalan, pengetahuan dan manfaat mangrove. Informasi yang diberikan mengenai persemaian, manajemen, dan data base mengenai flora dan fauna. Ada beberapa cara penyebaran informasi yang dilakukan oleh Mangrove Information Center (MIC) seperti penyebaran pamplet, talkshow melalui radio, televisi, dan pameran-pameran yang berbasiskan lingkungan hidup. Sumber daya manusia yang betugas di Mangrove Information Center (MIC) masih sangat kurang, sekarang ini hanya ada tiga orang staf yaitu seorang koordinator dan dua anggota. Kompetensi sumber daya manusia yang bertugas pada seksi ini cukup baik dan memiliki kemampuan yang rata-rata dan belum mencapai advanced.
24 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
Pada dasarnya semua sumber daya manusia yang bekerja di Mangrove Information Center (MIC) termasuk di dalamnya Seksi Informasi diberikan keterampilan dan pelatihan bahasa asing seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang secara berkala, namun untuk pemberian informasi kepada wisatawan asing secara khusus dilakukan oleh pramu wisata dari Seksi Ekowisata yang khusus dididik dan diberikan pengetahuan mengenai ekologi mangrove dan keterampilan mengenai cara melayani dan berinteraksi dengan wisatawan asing dengan baik. Model pelatihan pemanduan wisatawan ini merupakan hasil studi komparatif dari negara lain yaitu Brunai Darusalam yang sudah berpengalaman dalam mengembangkan ekowisata hutan mangrove. Usaha yang dilakukan untuk menjamin kualitas kemampuan dalam berbahasa asing bagi staf Mangrove Information Center (MIC) adalah dengan cara mengadakan test yang bertaraf internasional setiap tahun.
Seksi Manajemen Seksi Manajemen berfungsi untuk mengorganisir dan mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh Mangrove Information Center (MIC) seperti; kegiatan pendidikan lingkungan, pelatihan, penelitian, penanaman mangrove, dan kegiatan ekowisata. Pembentukan Seksi Manajemen merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Mangrove Information Center (MIC) untuk menjamin setiap kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dan terkordinasi dengan baik dan merupakan upaya untuk menciptakan pelaksanaan kegiatan yang profosional dan akuntabel. Dengan pengelolaan yang baik dalam setiap kegiatan diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan semua pihak yang berkepentingan untuk terus bekerjasama dalam upaya pelestarian mangrove di seluruh Indonesia khususnya di Bali.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan di atas, maka dapat ditarik tiga simpulan antara lain: 1. The Mangrove Information Center (MIC) memiliki beberapa potensi alam asli dan buatan yang bisa dijadikan sebagai daya tarik dan atraksi ekowisata. Potensi-potensi alam tersebut antara lain; beraneka ragam
25 JURNAL MANAJEMEN PARIWISATA, JUNI 2006, VOLUME 5, NOMOR 1
tumbuhan mangrove, burung, kepiting, ikan, biawak, gedung pusat informasi mangrove, kolam monitor, areal persemaian, kolam sentuh, jembatan kayu, pondok peristirahatan, geladak terapung, dan menara pandang. 2. Jenis kegiatan ekowisata yang ditawarkan antara lain; lintas alam (mangrove educational tour and trekking), pengamatan burung (bird watcing), bermain kano (canoeing), bermain perahu (boating), dan penanaman atau pengadopsian pohon mangrove (mangrove tree plantation or adoption). Semua kegiatan ekowisata tersebut berbasiskan pendidikan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan keperdulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan. 3. Dalam menjalankan programnya, Mangrove Information Center (MIC) membagi ruang lingkup kerjanya menjadi enam seksi kerja yaitu; Seksi Pendidikan Lingkungan, Seksi Ekowisata, Seksi Pelatihan, Seksi Penelitian, Seksi Informasi, dan Seksi Manajemen. Tujuan pembagian seksi kerja ini adalah untuk mengoptimalkan kinerja dan meningkatkan profesionalisme serta mempertajam kompetensi sumber daya manusia yang bekerja di Mangrove Information Center (MIC). DAFTAR PUSTAKA Drumm, Andy and Alan Moore. 2002. Ecotourism Development. An Introduction to Ecotourism Planning. The Nature Conservancy. Arlington, Virginia, USA. France, Lesley. 1997. The Earthscan Reader in Sustainable Tourism. Earthscan Publication Ltd. UK. Khan, Maryam. 2003. Ecoserv. USA: Howard University. Sudarto, Gatot. 1999. Ekowisata: Wahana pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Wood, Megan Epler. 2002. Ecotourism: Principles, Practices and Policies for Sustainability. United Nation Publication. World Tourism Organization (WTO). 2002. Tourism and poverty Alleviation. Spain.
www.mangrovecentre.or.id The Ecotravel Center
(2002).
oirism.org.omt/ecotorism2002.html
dalam
www.world-