EKOLOGI TERNATE
EDITOR Ibnu Maryanto Hari Sutrisno
PUSAT PENELITIAN BIOLOGI-LIPI 2011 i
© 2011 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi*
Katalog dalam Terbitan
Ekologi Ternate/Ibnu Maryanto dan Hari Sutrisno (Editor). – Jakarta: LIPI Press, 2011. xiii + 371 hlm.; 14,8 x 21 cm ISBN 978-979-799-609-3 1. Ekologi
2. Ternate
577
Editor Bahasa Penata Letak Penata Sampul Penerbit
: Risma Wahyu Hartiningsih : Ibnu Maryanto : Fahmi : LIPI Press
*Pusat Penelitian Biologi-LIPI Gedung Widyasatwaloka, Cibinong Science Center Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169111 Telp.: 021-8765056, 8765057
ii
DAFTAR ISI
Ucapan Terimakasih Kata Sambutan Kata Pengantar DAFTAR ISI
iii v vii xi
GEOLOGI DAN IKLIM Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara: Dinamika Erupsi dan Potensi Ancaman Bahayanya Indyo Pratomo, Cecep Sulaeman, Estu Kriswati & Yasa Suparman Karakteristik Erupsi G Kie Besi dan Potensi Ancaman Bencananya Terhadap Lingkungan Kota Ternate: (Representasi dari karakter gunungapi aktif di Busur Gunungapi Halmahera) Estu Kriswati & Indyo Pratomo Analisa Anomali Curah Hujan dan Parameter Laut-Atmosfer Periode Januari - Agustus 2010 di Provinsi Maluku Utara Dodo Gunawan
1
15
27
FAUNA Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera) dan Mamalia Kecil di Pulau Ternate Sigit Wiantoro & Anang S Achmadi Keanekaragaman Mamalia Kecil di Pulau Moti Anang Setiawan Achmadi & Sigit Wiantoro Kajian Ekologi Burung di Hutan Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara Wahyu Widodo
43
55
69
Komunitas Burung Pulau Moti Ternate Maluku Utara Eko Sulistyadi
83
Keanekaragaman Herpetofauna di Pulau Ternate dan Moti, Maluku Utara Mumpuni
105
xi
Komunitas Keong Darat di Pulau Moti, Maluku Utara Heryanto Kajian keanekaragaman Ngengat (Insekta: Lepidoptera) di Gunung Gamalama, Ternate Hari Sutrisno Tinjauan Keanekaragaman dan Sebaran Kupu Ternate Djunijanti Peggie
121
133
145
Efektifitas Trap Warna Terhadap Keberadaan Serangga Pada Pertanaman Budidaya Cabai di Kelurahan Sulamadaha Kecamatan P Ternate Ternate Abdu Mas’ud
159
Eksplorasi Keragaman Serangga Coleoptera dan Lepidoptera di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Warsito Tantowijoyo & Giyanto
167
FLORA Analisis Tutupan Lahan Kawasan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Hetty IP Utaminingrum & Roemantyo
187
Hutan mangrove di Pulau Moti Suhardjono & Ujang Hapid
199
Keanekaragaman Anggrek di G Gamalama, Ternate Izu Andry Fijridiyanto & Sri Hartini
219
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto
227
Keanekaragaman Jenis Pohon di Hutan Sekunder Pulau Moti, TernateMaluku Utara Razali Yusuf
237
Keanekaragaman Tumbuhan Berkhasiat Obat di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Siti Sunarti
251
Eksplorasi Tumbuhan di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Deden Girmansyah & Siti Sunarti xii
267
MIKROBIOLOGI Drug Discovery Antibiotik Berbasis Biodiversitas Aktinomisetes Lokal Asal Ternate Arif Nurkanto
283
Isolasi dan Identifikasi Kapang-Kapang Kontaminan Dari Biji Kenari Kering (Canarium ovatum) Nurhasanah &Sundari
295
Mikroba Laut Penghidrolisis Senyawa Nitril di Sekitar Pulau Moti, Ternate Nunik Sulistinah & Rini Riffiani
301
Isolasi dan Penapisan Bakteri Pendegradasi Dibenzothiophene, Phenanthrene dan Fluoranthene Asal Perairan Laut Sekitar Pulau MotiTernate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah Penapisan dan Isolasi Bacillus Penghasil Amilase Dari Limbah Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Deasy Liestianty1, Nurhasanah2
309
317
SOSIAL BUDAYA Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis Dhurorudin Mashad Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri” Pada Kebudayaan Ternate, Maluku Utara Safrudin Amin
329
343
xiii
Ekologi Ternate 15-26 (2011)
Karakteristik Erupsi G. Kie Besi dan Potensi Ancaman Bencananya Terhadap Lingkungan Kota Ternate: (Representasi dari karakter gunungapi aktif di Busur Gunungapi Halmahera) Estu Kriswati* & Indyo Pratomo** * Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kem. ESDM, **Museum Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kem. ESDM. E-mail:
[email protected]) ABSTRACT Kie Besi volcano is an active strato-volcano, located in a volcano-island of Makian (0º19’ N and 127º23’ E), two kilometers southern of Moti Island-Ternate district. The Makian is belong the Halmahera volcanic arc, in the same serie as others vocano-islands of Moti, Ternate and others active volcano as Mt. Dukono, Mt. Ibu and Mt. Gamkonora. Regarding to the 1988 eruption of Kie Besi volcano, it was an explosive eruption of St. Vincent type eruption, with 10 km eruptive plume high, produced a destructive pyroclastic flows. St. Vincent type eruption is characterized coulomb collapse of eruptive plume, and distributed of ash falls following the wind direction at the moment of eruption. Key words: Eruption, Kei Besi, pyroclastic
PENDAHULUAN G. Kie Besi (0º19’ LU dan 127º23’ BT) yang terletak di P. Makian adalah gunungapi strato (berlapis) dan merupakan gunungapi aktif Tipe A (pernah meletus setelah tahun 1600). Pulau Makian (Kab. Maluku Utara) adalah sebuah pulau gunungapi, terletak 2 km sebelah selatan Pulau Moti Kota Madya Ternate. Pulau makian mempunyai diameter kurang lebih 10 km, dengan puncak tertinggi 1357 m (G. Pawate). Pulau gunungapi ini termasuk dalam Sistem Busur Gunungapi Halmahera, bersama dengan pulau-pulau gunungapi lainnya seperti Moti, Ternate (G. Gamalama), G. Dukono, G. Ibu, G. Gamkonora, dan lain-lain. Beberapa dari gunungapi aktif ini mempunyai karakter
erupsi eksplosif, yang membentuk kolom erupsi hingga 10 km, menghasilkan aliran piroklastika (awan panas letusan), leleran lava dan juga kubah lava. Gunungapi Kie Besi memiliki kawah utama (+ 1250 m) dengan sebuah kubah lava di bagian tengahnya, yang merupakan hasil erupsi gunungapi ini pada tahun 1988. Kubah lava ini berdiameter lebih kurang 600 m, dengan taksiran volume mencapai 282.600 m3, dengan ketebalan bagian tepi mencapai 6 m (Sobana dkk. 1995). Erupsi G. Kie Besi pada umumnya bersifat eksplosif tipe St. Vincent, yaitu berupa letusan vertikal yang disertai oleh robohan kolom erupsi. Letusan jenis ini biasanya disertai oleh luncuran awan panas ke segala arah (berasal dari robohan kolom erupsi), dan terkanalisasi 15
Kriswati & Pratomo
melalui lembah-lembah yang berhulu dari daerah puncak gunungapi ini, seperti yang terjadi pada Juli 1988 (Gambar 2). Kegiatan volkanik di sepanjang Busur Gunungapi Halmahera terdiri dari G. Gamalama, G. Dukono, G. Ibu, G. Gamkonora, G. Makian, dan pulau-pulau gunungapi lainnya, dikawatirkan mulai menimbulkan dampak lingkungan kehidupan, selaras dengan perkembangan budidaya masyarakat di kawasan ini. Karakter erupsi eksplosif yang dimiliki oleh beberapa gunungapi aktif di kawasan ini dapat menimbulkan ancaman bencana yang ditimbulkan oleh material produk erupsi, terutama oleh sebaran abu letusan yang dapat mencemari kawasan yang luas, selaras dengan arah angin dominan pada saat kejadian. Data kajian gunung api dikumpulkan secara periodik berdasarkan pos pengamatan yang tercatat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kem. ESDM. Melalui data yang terkumpul ini diharapkan dapat dijadikan salah satu usaha mengurangi dampak bencana dan kerusakan lingkungan, dengan mengenali dan memahami tingkat ancaman bencana yang ditimbulkan oleh erupsi gunungapi, yaitu dengan memberikan informasi tentang karakteristik erupsi dari beberapa gunungapi aktif di kawasan ini. Sejarah Kegitan G. Kie Besi Sejarah kegiatan G. Kie Besi tercatat sejak tahun 1550 hingga saat ini, setidaknya telah terjadi 10 kali letusan, dengan masa istirahat panjang (lebih dari 90 tahun), menengah (25 tahun) dan pendek (1 tahun). Letusan besar 16
biasanya terjadi setelah mengalami masa istirahat yang panjang. Erupsi 1988 Erupsi G. Kie Besi tahun 1988 diawali oleh letusan freatik 17-18 Juli 1988, yaitu hembusan asap putih hingga mencapai tinggi 500 m di atas puncak, kemudian berangsur semakin tebal dan disertai dengan munculnya sinar api yang terlihat dari Pos Pengamatan G. Kie Besi di P. Moti, sinar api (pijaran) tersebut berasal dari hembusan gas volkanik dan lava di dalam kawah. Pada tanggal 2426 Juli 1988, gempa volkanik meningkat tajam disertai suara gemuruh semakin keras terdengar dari arah kawah G. Kie Besi. Letusan utama (paroksismal) terjadi pada jam 11.12 WIT tanggal 29 Juli 1988, dengan kolom erupsi (tiang asap letusan) berwarna abu-abu gelap mencapai ketinggian 8000–10.000 m. Letusan tersebut disertai dengan lontaran batu pijar (bom volkanik) dan hujan abu lebat yang terdiri dari pasir dan abu volkanik. Hujan abu letusan ini tersebar ke arah barat dan barat daya, sesuai dengan arah angin dominan yang bertiup pada saat itu, sehingga menutupi kawasan di sekitar desa-desa Talapao, Tafasoho dan Bobawa hingga ketebalan 20 cm. Aliran awan panas letusan terjadi pada tanggal 30 Juli 1988 pukul 10.06 WIT, mengalir ke arah utara, sepanjang sungai Para hingga ke laut, dan ke arah timur masuk ke sungai Powate. Keadaan menjadi normal kembali sejak tanggal 2 Agustus 1988. Banjir lahar hujan terjadi pada aliran sungai-sungai Para, Salolo, Bungah,
Karakteristik Erupsi G. Kie Besi dan Potensi Ancaman
Langlangi, Bobawa, Tebuku, Malapa, Lagai dan Sangapati. Dalam catatan sejarah kegiatannya, G. Kie Besi mengalami beberapa kali peningkatan kegiatan yaitu pada
tahun 1860, 1862, 1863, dan 1864, meskipun beberapa sumber menyebutkan telah terjadi beberapa kali letusan freatik yang berasal dari kawah utama.
Gambar 1. Posisi Geografis pulau gunungapi Makian (kiri), dimana terletak komplek volkanik G. Kie Besi (kawah utama : + 1250 m), yaitu sebuah gunungapi aktif tipe A, dan G. Pawate (puncak : + 1357 m) sebagai puncak tertinggi di pulau ini (kanan).
(Courtesy of VSI)
Gambar 2. Erupsi yang terjadi pada tanggal 19 Juli 1988, merupakan tipe erupsi St. Vincent, yaitu letusan eksplosif yang disertai dengan runtuhan kolom erupsi, yang membentuk aliran awan panas letusan ke segala arah. Foto ini memperlihatkan sebaran arah aliran awan panas letusan yang melanda kawasan puncak gunung dan terkanalisasi melalui lembah-lembah yang berhulu di kawasan puncak dan mengalir hingga mencapai kawasan pantai. (foto : Direktorat Vukanologi)
17
Kriswati & Pratomo
Erupsi terakhir terekam pada bulan Juli tahun 1988, ditandai dengan terjadinya awan panas letusan yang melanda beberapa kampung, yang diakhiri dengan terbentuknya kubah lava di dasar kawah utamanya (Gambar 3 dan 4). Kegiatan terakhir (2009) Terjadi peningkatan kegiatan G. Kie Besi, berupa krisis kegempaan (seismik) volkanik yang berlangsung pada tanggal 1 Mei s/d 28 Mei 2009, yaitu Gempa Tremor Vulkanik (TV) dengan amplituda maksimum 0.5 - 1 mm, 43 kali Gempa Vulkanik Dalam (VA) dengan rata-rata 2 kali kejadian perhari, 18 kali Gempa Vulkanik Dangkal (VB) dengan rata-rata 1 kali kejadian perhari, 22 kali Gempa Tektonik Lokal (TL) dengan rata-rata 1 kali kejadian perhari dan 214 kali kejadian Gempa Tektonik Jauh (TJ) dengan ratarata 11 kali kejadian perhari. Kegiatan volkanik ini berlanjut dan terus meningkat, dimana pada tanggal 29 Mei s/d 31 Mei 2009 gempa-gempa Tremor Vulkanik (amplituda maksimum berkisar antara 0.5 - 8 mm, 7 kali gempa Vulkanik Dalam (VA), 13 kali Gempa Vulkanik Dangkal (VB), 4 kali kejadian Gempa Tektonik Lokal (TL) dan 37 kali Gempa Tektonik Jauh (TJ), 3 kali Gempa Tektonik Terasa (1 MMI). Tanggal Pada tanggal 1 Juni 2009, gempa-gempa Tremor Vulkanik terus terekam, dengan amplitudo 0.5 - 6 mm, 1 kali kejadian Gempa Vulkanik Dalam (VA), 1 kali kejadian Gempa Vulkanik Dangkal (VB), 4 kali kejadian Gempa Tektonik Lokal (TL) dan 21 kali kejadian Gempa Tektonik Jauh (TJ). 18
Berdasarkan rekaman kejadian tersebut di atas, maka pada tanggal 2 Juni 2009 status kegiatan vulkanik G. Kie Besi dinaikkan dari Normal (level I) menjadi Waspada (level II). Tetapi peningkatan kegiatan gunungapi ini tidak berakhir dengan erupsi (letusan), tetapi kembali pada keadaan (status) Normal (level 1), walaupun sempat menimbulkan kepanikan masyarakat yang bermukim di pulau gunungapi ini. Geologi Gunungapi P. Makian dan Sekitarnya Bentang Alam Pulau Makian adalah sebuah pulau gunungapi, mempunyai diameter kurang lebih 10 km, dengan puncak tertinggi 1357 m (G. Powate). Pada lereng tenggara, selatan dan barat daya terdapat kerucutkerucut parasit yaitu G. Taperi (+ 770 m), G. Malapa (+790 m) dan G. Mailowa (+ 1226 m). Pada lereng utara dan timur dijumpai lembah besar yang makin melebar ke arah kaki gunung (ke bawah), yang disebut struktur ‘barangko’ (Branco, Italia). -Situasi Kawasan Puncak dan Kawah Bentang alam P. Makian umumnya tidak teratur dan pada kawasan puncaknya bertebing terjal (lebih dari 30º), bentang alam ini terbentuk akibat dari karakter erupsi dari gunungapi Kie Besi yang umumnya bersifat eksplosif, sehingga merusak bagian puncak komplek gunungapi ini. Pola aliran sungai-sungai di P. Makian umumnya berbentuk memencar (radial), sesuai
Karakteristik Erupsi G. Kie Besi dan Potensi Ancaman
Gambar 3. Panorama bentang alam puncak G. Kie Besi, dilihat dari pantai utara P. Makian (kiri), dan longsoran pada dinding puncak G. Pawate (+ 1357 m), runtuhannya masuk ke hulu sungai Pawate. (foto : Mardian - PVMBG, Juni 2009)
Gambar 4. Situasi kawah utama G. Kie Besi (+ 1250 m), memperlihatkan kubah lava pasca erupsi bulan Juli 1988 (atas), dan salah satu dari beberapa solfatara dan fumarola aktif pada bagian kubah lava ini (bawah kanan). Sistem rekahan yang terbentuk pada bagian tepi kubah lava (bawah kiri) adalah akibat kontraksi dan pengaruh gaya gravitasim pada saat proses pembatuan (pembekuan) kubah lava.
19
Kriswati & Pratomo
denga karakteristik umum pada sebuah gunungapi. Pada dinding selatan terdapat longsoran tebing dan beberapa tembusan fumarola dengan asap putih tipis dengan ketinggian lebih kurang 10 – 25 m dari titik hembusan (Gambar 3) Dasar kawah utama ini umumnya tidak rata, karena ditempati oleh kubah lava berdiameter kurang lebih 600 m, dan reruntuhan sisa erupsi terdahulu. Terdapat beberapa genangan air atau telaga di bagian timur laut dari dasar kawah ini. Telaga ini adalah bekas danau kawah pra-erupsi 1988 yang mempunyai luas kira-kira 450 x 400 m2 dengan kedalaman pada saat itu mencapai 7 m, terisi oleh air hujan. Kawah G. Kie Besi berukuran sekitar berdiameter kurang lebih 1500 m pada tepi kawah atas dan 900 m pada dasar kawah, dengan beda tinggi lebih kurang 500 m. Pada bagian tepi dari kubah lava terdapat rekahan melingkar yang terbentuk pada saat proses pendinginan atau pembekuan kubah lava tersebut. -Kawasan Lereng Satuan bentang alam ini mempunyai sudut kelerengan hingga 30º, pada ketinggian antara 300 – 1200 m di atas permukaan laut. Kawasan ini umumnya tersusun oleh batuan lava dan endapan jatuhan piroklastika, dengan lembahlembah berbentuk huruf ‘V’, yang menandakan tingkat erosi dikawasan ini cukup intensif dan juga dipengaruhi oleh variasi jenis batuannya. Kawasan ini umumnya merupakan hutan lindung dan perkebunan (kenari, pala, cengkah dan kelapa) yang dikelola olah rakyat. 20
Struktur Gunungapi dan Evolusi G. Kie Besi Berdasarkan kajian dan analisis bentang alam tubuh gunungapi, stratigrafi dan karakteristik produk erupsi sepanjang pertumbuhan G. Kie Besi, diperoleh 3 tahap penting dari evolusi gunungapi, yaitu tahap atau perioda pertumbuhan, perusakan dan pembangunan kembali tubuh gunungapi ini. Secara sederhana dapat dikenali bahwa gunungapi yang berada dalam tahap membangun, secara geometri umumnya berbentuk kerucut hampir sempurna, sedangkan yang ada dalam perioda perusakan, biasanya mempunyai bentang alam puncak yang tidak teratur, sebagai akibat proses erupsi ynag umumnya bersifat eksplosif. G. Kie Besi saat ini, sesuai dengan karakternya, masih berada dalam perioda perusakkan. Sekuen Erupsi G. Kie Besi 1988 Stratigrafi dan Sekuen Erupsi G. Kie Besi 1988 Erupsi G. Kie Besi tahun 1988, yang diawali oleh seri letusan-letusan freatik yang berlangsung sejak tanggal 17–18 Juli hingga letusan utama freatomagmatik atau letusan utama (paroksismal) yang terjadi pada tanggal 29 Juli. Seri erupsi ini menghasilkan urutan endapan (stratigrafi) berupa aliran awan panas letusan (pyroclastic flows), lontaran batu pijar (volcanic bomb), jatuhan piroklastika (air fall) dan juga kubah lava (lava dome) sebagai produk akhir fase magmatik. Sekuen endapan hasil erupsi tersebut mencerminkan dinamika pelepasan energi yang dicirikan oleh proses keluarnya material tersebut di atas (erupsi) melalui fase-fase freatik
Karakteristik Erupsi G. Kie Besi dan Potensi Ancaman
(letusan uap), yaitu yang berkaitan dengan proses pembukaan atau pembongkaran sumbat kepundan gunungapi ini, kemudian disusul oleh fase freatomagmatik yang merupakan fase puncak pelepasan energi, yaitu proses yang berkaitan dengan rekasi antara uap air dengan masa magma di dalam kantung magma. Kubah lava (lava dome) terbentuk pada akhir sekuen erupsi gunungapi ini sebagai cerminan pencapaian kesetimbangan termodinamis pada sistem kepundan dari gunungapi ini. Karakteristik Produk Erupsi dan Potensi Ancaman Bahaya Vulkanisme adalah proses keluarnya magma dari dalam bumi menuju ke permukaan. Proses ini adalah sangat dinamis, yang melibatkan interaksi antara magma dengan segala sifat fisiknya (tekanan dan temperature tinggi) dengan karakteristik fisik batuan samping dalam ruang dan waktu yang terbagi dalam tahapan atau fase-fase interaktif antar elemen-elemen tersebut di atas. Aliran piroklastika (awan panas letusan) Aliran piroklastika atau lebih dikenal sebagai awan panas letusan adalah suatu aliran masa yang terdiri dari campuran material berupa batuan, pasir, abu dan gas-gas volkanik yang bersifat fluida besuhu tinggi (hingga 500º C), mengalir secara gravitasional dengan kecepatan tinggi (dapat mencapai 150 km/jam). Berdasarkan proses letusan yang teramati secara visual dan karakteristik produk letusannya, erupsi G. Kie Besi pada tahun 1988 adalah bertipe St.
Vincent. Erupsi tipe St. Vincent (sebuah kota di Guadalope, yang terlanda aliran awan panas letusan Mt. Soufriere, tahun 1902) adalah sebuah letusan yang menghasilkan aliran piroklastika (awan panas) yang terjadi akibat runtuhnya bagian tepi dari kolom erupsi, karena efek gravitasi. Masa aliran awan panas jenis ini terdiri dari campuran bongkah dan abu volkanik (block and ash flows), menyebar ke segala arah secara turbulen, mengalir mengikuti lereng dan terkanalisasi pada lembah-lembah sungai menuju tempat yang lebih rendah. Mobilitas dari awan panas letusan jenis ini adalah sangat tinggi dan merusak, karena fluiditas yang dipengaruhi oleh komposisi material (dominan abu, pasir, batuapung dan gas volkanik) yang mempunyai temperature tinggi (dapat mencapai 800 0 C) dan menuruni lereng dengan kecepatan tinggi akibat gaya gravitasi. Lontaran batu pijar (volcanic bomb, ballistics) Lontaran bongkah (diameter > 64 mm) batu pijar atau bom volkanik biasanya menyertai tahap erupsi utama (paroksismal) dimana terjadi pelepasan energi secara maksimum. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, jangkauan lontaran bom volkanik (batu pijar) yang terjadi pada erupsi G. Kie Besi 1988, mencapai radius 3 km dari pusat erupsi. Hujan abu lebat Abu volkanik adalah rempah produk erupsi gunungapi (piroklastika) yang terdiri dari serat-serat gelas volkanik berbutir pasir halus hingga abu halus (< 21
Kriswati & Pratomo
2 mm) yang bercampur dengan gas-gas volkanik (terutama unsur belerang). Sebaran endapan hujan abu biasanya mengikuti arah angin dominan pada saat erupsi terjadi, sehingga akan menutupi dan mencemari lingkungan yang terlanda hujan abu tersebut. Endapan abu volkanik biasanya menjadi semakin berat bila basah. Dampak yang timbul akibat hujan abu lebat, antara lain adalah, rusak dan matinya tetumbuhan akibat tidak mampu menahan beban dari abu yang menutupi daun dan juga terhalangnya proses fotosintesa yang sangat diperlukan oleh tetumbuhan. Gangguan lain yang juga ditimbulkan oleh endapan abu letusan gunungapi adalah terjadinya pencemaran (fisik dan kimia) terhadap sumbersumber air (mata-air, sumur dan kolam), iritasi pada mata manusia dan juga gangguan saluran pernafasan. Berdasarkan karakteristik erupsi tahun 1988, letusan G. Kie Besi yang menimbulkan hujan abu lebat, dimana endapannya mencapai ketebalan 20 – 30 cm pada kawasan disekitar desa-desa Talapao, Tafasoho dan Bobawa yang berada di bagian barat dan barat daya pulau Makian. Sebaran hujan abu letusan gunungapi umumnya sangat bergantung pada arah angin dominan pada saat terjadi letusan. Aliran lava dan Kubah lava (dome – lava flows) Masa magma yang mencapai permukaan disebut lava. Aliran lava masih dapat mengalir dalam kondisi sangat panas (600 – 1000º C), dalam kekentalan (viscosity) tertentu, hingga berhenti dan membeku berbentuk batuan 22
beku di permukaan (lava). Karena sifat fisiknya, lava mengalir relative lambat, tergatung pada kekentalannya dan kemiringan lelereng (gravitasi), sehingga pada saat membeku akan membentuk tepian yang relative terjal. Kubah lava yang terbentuk pada fase akhir erupsi G. Kie Besi menutupi lubang kepundan (kawah), hal ini mencerminkan akhir dari pelepasan energi pada erupsi gunungapi ini sangat cepat, atau pencapaian kesetimbangan termodinamis tercapai dengan cepat, sesuai dengan kandungan energi magmatik yang tersedia. Banjir lahar Banjir lahar terjadi berkaitan dengan volume endapan letusan yang terkumpul di kawasan puncak dan lereng gunung, yang dipicu oleh intensitas hujan yang terjadi di kawasan puncak, sehingga pada kondisi tertentu dapat meluncur ke tempat yang lebih rendah mengikuti gaya gravitasi. Viskositas masa lahar ini ditentukan oleh susunan material endapan yang terdiri dari bongkah lava hingga abu halus, dimana material dengan butiran yang relative lebih halus dan juga air hujan pada proporsi tertentu berfungsi sebagai pelincir, sehingga masa lahar dapat mulai meluncur (gravitasional). Seluruh aspek tersebut di atas beserta keterangannya, tertuang dalam Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi yang berisikan, definisi, informasi, rekomendasi dan langkah tindak dalam mengantisipasi setiap tingkat ancaman bahaya letusan gunungapi tersebut.
Karakteristik Erupsi G. Kie Besi dan Potensi Ancaman
Mitigasi Ancaman Bahaya Letusan dan Peta Kawasan Rawan Bencana G. Kie Besi. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi G. Kie Besi yang diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bancana Geologi (Badan Geologi, Dept. ESDM) adalah peta yang menunjukkan tingkat kerawanan bencana suatu kawasan apabila terjadi letusan gunungapi tersebut (Gambar 5). Peta ini berisi penjelasan tentang definisi, pengertian, sifat-sifat teknis kegunungapian dan penerapan sosialnya, sebagai informasi dan masukan untuk menanggulangi bencana gunungapi. Di dalam peta ini dijelaskan tentang jenis dan sifat ancaman bahaya gunungapi, kawasan yang terancam, arah/jalur penyelamatan diri, lokasi pengungsian dan pos penanggulangan bencana tersebut, sehingga mudah dipahami dan dipergunakan di lapangan. Kawasan Rawan Bancana (KRB) Gunungapi dinyatakan dalam urutan angka (I, II, dan III), berdasarkan tingkat kerawanan yang paling rendah (I) hingga tingkat kerawanan yang tertinggi (III). Secara umum potensi kerawanan terhadap bencana letusan gunungapi dapat dibedakan berdasarkan ancaman yang ditimbulkan oleh aliran, longsoran, lontaran dan jatuhan material (piroklastika) yang berkaitan dengan kegiatan gunungapi, baik yang berhubungan dengan letusan maupun longsoran tubuh atau bagian kawah dari sebuah gunungapi tersebut. Potensi ancaman ini juga berkaitan dengan jarak dari pusat erupsi (kawah), bentang alam (morfologi) puncak, keadaan topografi (kelerengan)
dan kualitas dan kuantitas produk erupsinya. Jumlah penduduk di Kecamatan Makian Timur dan Makian Barat berjumlah lebih kurang 13.000 jiwa yang tersebar di 22 desa. Berdasarkan peta Kawasan Rawan Bencana G. Kie Besi (Gambar 5), desa-desa yang berpotensi terkena dampak aliran awan panas letusan adalah Desa Ngofagita, Baromadehe, Gorup, Ngofakiaha, Pawate, Samsuma (KRB-III) dan Peleri yang berada di KRB-II (Gambar 5 dan 6). PEMBAHASAN Evolusi Tubuh G. Kie Besi dan Perpindahan Titik Erupsi. Keberadaan sebuah pulau gunungapi, pada umumnya bermula dari sebuah gunungapi bawah laut (submarine volcano). Dalam evolusinya hingga muncul di atas permukaan air (laut) adalah berkaitan dengan proses pembangunan tubuh volkanik melalui proses erupsi dan interaksinya dengan kolom air yang berada diatasnya secara berkesinambungan, hingga berubah menjadi gunungapi yang muncul di permukaan air. Karakteristik erupsi dan Karakteristik Erupsi dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Hidup. Mengacu pada peristiwa erupsi G. Kie Besi tahun 1988, yaitu karakter letusan tipe St. Vincent, maka ancaman bahaya yang harus diwaspadai adalah dampak dari aliran piroklastika (awan panas letusan) dan sebaran abu letusannya yang mempunyai jangkauan 23
Karakteristik Erupsi G. Kie Besi dan Potensi Ancaman
relatif cukup jauh dan mencapai kawasan permukiman penduduk (lihat Peta Kawasan Rawan Bencana G. Kie Besi). Ancaman lontaran batu pijar (bom volkanik) yang umumnya mengancam kawasan dalam radius + 3 km dari pusat erupsi, untuk kawasan gunungapi ini adalah tidak berpenghuni, sehingga tidak mengkawatirkan. Dengan perkembangan budaya masyrakat, teknologi dan populasi penduduk di kawasan ini, terutama selaras dengan berkembangnya infra struktur di kawasan ini, perlu dilakukan antisipasi yang holistic dan berkesinambungan, sesuai dengan kondisi alam seutuhnya. Karakter eruptif dari G. Kie Besi (mengacu pada erupsi 1988), yang bersifat eksplosif, membentuk kolom erupsi hingga 10 km, sudah barang tentu sangat membahayakan lalu-lintas penerbangan yang juga merupakan sarana transportasi cepat di kawasan ini, baik penerbangan domestik maupun internasional. Abu volkanik yang terdiri dari serat-serat gelas silikat, dapat menimbulkan gangguan pada system turbin mesin jet, seperti yang terjadi pada sebuah pesawat Boeing 747 milik maskapai penerbangan Australia (Quantas) yang melintas di atas kawasan Jawa Barat, dimana pada saat itu G. Galunggung sedang erupsi (tahun 198283). Keempat turbin mesin pesawat tersebut terganggu dan berhasil melakukan pendaratan darurat di Bandara Internasional Jakarta dengan selamat. Sebaran hujan abu juga dapat mencemari (secara fisik dan kimiawi) permukaan tanah, daun tanaman,
tetumbuhan dan juga sumber-sumber air (mata air, kolam, danau dan sungai), bangunan fisik (atap rumah, dan lain-lain) dan juga sistem pernafasan dan penglihatan makhluk hidup (manusia dan hewan). Dengan penelitian dan penyelidikan karakteristik dari G. Kie Besi yang tertuang dalam peta Geologi dan Peta Kawasan Rawan Bencana, dimana terdapat rincian ancaman bencana terhadap kawasan tertentu berdasarkan resiko yang dapat terjadi pada kawasan tersebut (bersama infrastruktur, lingkungan flora, fauna dan kehidupan manusia), maka diperlukan penataan ruang berbasis ancaman bencana. Usaha untuk mengurangi dan mengendalikan ancaman bencana (mitigasi) tersebut di atas, diperlukan berbagai langkah tindak dalam bentuk kegiatan yang terukur dan terencana. Sosialisasi dan penyuluhan tentang keberadaan dan karakter G. Kie Besi, perlu disampaikan kepada masyarakat umum, pelajar dan para pemangku kebijakan (aparat pemerintah pusat dan daerah) di kawasan tersebut, agar pada saat terjadi peningkatan kegiatan gunungapi tersebut dapat menyikapinya dengan baik dan lebih arif dan bijaksana. Sistem peringatan dini beserta perangkat pendukungnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan mitigasi. Dampak atmosferik dari erupsi gunungapi, terutama pada erupsi-erupsi besar (eksplosif denga tinggi kolom erupsi lebih dari 10 km) dapat terjadi baik secara lokal, regional dan global (kasus G. Tambora 1815 dan G. Krakatau 1883). Abu halus (yang bersifat elektro25
Kriswati & Pratomo
magnetik), gas-gas volkanik dan aerosol asam sulfat yang dierupsikan ke atmosfer (hingga pada ketinggian tertentu) dapat mengakibatkan terjadinya hujan badai (bersifat asam) yang disertai petir, hingga terhalangnya pancaran sinar matahari di kawasan tertentu. KESIMPULAN DAN SARAN Mengacu pada erupsi G. Kie Besi tahun 1988 (erupsi ekplosif tipe St. Vincent), karakter erupsi gunungapi ini adalah destruktif, walaupun terjadi dalam periode istirahat yang cukup panjang. Mitigasi bencana gunungapi harus tetap dilakukan secara sistematik dan berkesinambungan, agar masyarakat di sekitar kawasan ini tetap waspada dan dapat hidup sesuai dengan lingkungan alam yang memberi kesejahteraan kehidupannya Diperlukan penyusunan tata ruang yang sesuai dengan karakteristik alamnya (bio-geo-fisik) secara holistik, untuk tetap menjamin kehidupan yang berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA Kusumadinata, K. 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia. Direktorat Vulkanologi, Bandung. 820 h. Matahelumual, J. 1973. Pedoman Pengawasan G. Makian di Maluku Utara. Seksi Pengamatan Gunungapi, Dinas Vulkanologi, Dit. Geologi. (tidak diterbitkan) Matahelumual, J. 1975. Situasi kegiatan G. Kie Besi di P. Makian, 18 Juni 1975. Ka. Sie. Pengawasan 26
Gunungapi, Dit. Geologi. (tidak diterbitkan) Matahelumual, J. 1986. G. Makian, Berita Berkala Vulkanologi, Edisi Khusus No. 110, Dit. Vulkano-logi, Dit.Jen. GSM, Dept. Pertambangan dan Energi. McCaffrey, RE., I. Silver & RW. Raitt, 1980. Crustal structure of the Molucca Sea collision zone, Indonesia, in Amer. Geopys. Union Monograph 23, “The tectonic and geologic evolution of Southeast Asia seas and islands. 161-177 Sukhyar, R. 1995. Rancangan Standardisasi Nasional Indonesia, Penyusunan Peta kawasan Rawan Bencana Gunungapi, Dit. Vulkanologi. 17 h. (tidak diterbitkan) Cas, RAF. & Wright, JV. 1987. Volcanic Succession–Modern and Ancient. Allen & Unwin (Publisher) Ltd. London – U.K. Visher, RV. & Schmincke, U. 1984. Pyroclastic rocks. SpringerVerlag, Berlin-Heidelberg-New York-Tokyo. Wittiri, SR. 2003. Gunungapi Indonesia yang meletus periode 19952003. Direkt. Vulkan. Dan Mitig. Bencana Geologi, 91 p.