EKOLOGI TERNATE
EDITOR Ibnu Maryanto Hari Sutrisno
PUSAT PENELITIAN BIOLOGI-LIPI 2011 i
© 2011 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi*
Katalog dalam Terbitan
Ekologi Ternate/Ibnu Maryanto dan Hari Sutrisno (Editor). – Jakarta: LIPI Press, 2011. xiii + 371 hlm.; 14,8 x 21 cm ISBN 978-979-799-609-3 1. Ekologi
2. Ternate
577
Editor Bahasa Penata Letak Penata Sampul Penerbit
: Risma Wahyu Hartiningsih : Ibnu Maryanto : Fahmi : LIPI Press
*Pusat Penelitian Biologi-LIPI Gedung Widyasatwaloka, Cibinong Science Center Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169111 Telp.: 021-8765056, 8765057
ii
DAFTAR ISI
Ucapan Terimakasih Kata Sambutan Kata Pengantar DAFTAR ISI
iii v vii xi
GEOLOGI DAN IKLIM Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara: Dinamika Erupsi dan Potensi Ancaman Bahayanya Indyo Pratomo, Cecep Sulaeman, Estu Kriswati & Yasa Suparman Karakteristik Erupsi G Kie Besi dan Potensi Ancaman Bencananya Terhadap Lingkungan Kota Ternate: (Representasi dari karakter gunungapi aktif di Busur Gunungapi Halmahera) Estu Kriswati & Indyo Pratomo Analisa Anomali Curah Hujan dan Parameter Laut-Atmosfer Periode Januari - Agustus 2010 di Provinsi Maluku Utara Dodo Gunawan
1
15
27
FAUNA Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera) dan Mamalia Kecil di Pulau Ternate Sigit Wiantoro & Anang S Achmadi Keanekaragaman Mamalia Kecil di Pulau Moti Anang Setiawan Achmadi & Sigit Wiantoro Kajian Ekologi Burung di Hutan Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara Wahyu Widodo
43
55
69
Komunitas Burung Pulau Moti Ternate Maluku Utara Eko Sulistyadi
83
Keanekaragaman Herpetofauna di Pulau Ternate dan Moti, Maluku Utara Mumpuni
105
xi
Komunitas Keong Darat di Pulau Moti, Maluku Utara Heryanto Kajian keanekaragaman Ngengat (Insekta: Lepidoptera) di Gunung Gamalama, Ternate Hari Sutrisno Tinjauan Keanekaragaman dan Sebaran Kupu Ternate Djunijanti Peggie
121
133
145
Efektifitas Trap Warna Terhadap Keberadaan Serangga Pada Pertanaman Budidaya Cabai di Kelurahan Sulamadaha Kecamatan P Ternate Ternate Abdu Mas’ud
159
Eksplorasi Keragaman Serangga Coleoptera dan Lepidoptera di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Warsito Tantowijoyo & Giyanto
167
FLORA Analisis Tutupan Lahan Kawasan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Hetty IP Utaminingrum & Roemantyo
187
Hutan mangrove di Pulau Moti Suhardjono & Ujang Hapid
199
Keanekaragaman Anggrek di G Gamalama, Ternate Izu Andry Fijridiyanto & Sri Hartini
219
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto
227
Keanekaragaman Jenis Pohon di Hutan Sekunder Pulau Moti, TernateMaluku Utara Razali Yusuf
237
Keanekaragaman Tumbuhan Berkhasiat Obat di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Siti Sunarti
251
Eksplorasi Tumbuhan di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Deden Girmansyah & Siti Sunarti xii
267
MIKROBIOLOGI Drug Discovery Antibiotik Berbasis Biodiversitas Aktinomisetes Lokal Asal Ternate Arif Nurkanto
283
Isolasi dan Identifikasi Kapang-Kapang Kontaminan Dari Biji Kenari Kering (Canarium ovatum) Nurhasanah &Sundari
295
Mikroba Laut Penghidrolisis Senyawa Nitril di Sekitar Pulau Moti, Ternate Nunik Sulistinah & Rini Riffiani
301
Isolasi dan Penapisan Bakteri Pendegradasi Dibenzothiophene, Phenanthrene dan Fluoranthene Asal Perairan Laut Sekitar Pulau MotiTernate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah Penapisan dan Isolasi Bacillus Penghasil Amilase Dari Limbah Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Deasy Liestianty1, Nurhasanah2
309
317
SOSIAL BUDAYA Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis Dhurorudin Mashad Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri” Pada Kebudayaan Ternate, Maluku Utara Safrudin Amin
329
343
xiii
Ekologi Ternate 227-236 (2011)
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI ABSTRACT Vegetation of Moti Island, North Maluku has been studied in order to describe pattern of community their structure and floristic composition. A plot method has been applied to collect basic data as parameter for further vegetation analysis. There were at least 4 community types recognized in the study area: Mangifera – Cocos, Myristica – Canarium, Canarium – Vitex, and Mallotus – Ficus communities. The structure and floristic composition among those communities were varied and apparently related to habitat condition. In general the Mallotus phaniculatus was the commonest species followed by Litsea glutinosa, Champereia manillana, Acalypha caturus, Ficus ampelas, and Canarium hirsutum. Locally, however, there were various leading species in each community types and plots as well. Key words: Vegetation, Moti Island, North Maluku, community. PENDAHULUAN
Pulau-pulau kecil merupakan salah satu kawasan yang menjadi target program penelitian Indonesia dalam mengungkap keanekaragaman hayati dalam rangka menunjang program CBD serta uji petik pengukuran penurunan keanekaragaman hayati. Pengungkapan potensi keanekaragaman hayati pulaupulau kecil terutama biota darat yang meliputi tipe vegetasi dan kekayaan flora – faunanya masih perlu dilakukan. Proses-proses ekologis yang terjadi dalam kawasan pulau kecil umumnya berlangsung secara dinamis, sehingga pulau-pulau kecil diduga memiliki keragaman yang unik, baik tingkat ekosistem (tipe vegetasi), jenis maupun genetikanya, Dengan demikian diharapkan masih banyak kemungkinan ditemukan jenis-jenis endemik baik
tumbuhan maupun binatang di dalam kawasan pulau-pulau kecil. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan penelitian terpadu yang meliputi aspek ekologi dan taksonomi baik hewan maupun tumbuhan. Berikut ini adalah salah satu hasil kegiatan penelitian dalam aspek ekologi tumbuhan BAHAN DAN CARA KERJA Moti merupakan salah satu pulau dari gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di sebelah pantai Barat pulau Halmahera, Maluku Utara. Luas pulau Moti sekitar km² (Gambar 1). Pulau ini terbentang pada 0º-0º LU dan 127º-127º BT, dan sebagian arealnya berupa perbukitan dengan tinggi hanya mencapai sekitar 800 m dpl. Secara adminiatrasi pemerintahan Moti termasuk ke dalam kabupaten , propinsi Maluku Utara.
227
Edi Mirmanto
Curah hujan di daerah penelitian relatif rendah, yaitu dengan rata-rata tahunan tercatat sebesar 2.202 mm. Rata-rata curah hujan bulanan bervariasi dari 50 sampai 263 mm, dengan curah hujan tertinggi tercatat pada bulan Mei dan Desember, dan terendah pada bulan Juni sampai September (Sumber: Stasiun Meteorologi Babullah Ternate). Dengan demikian iklim di daerah penelitian dapat digolongkan beriklim kering tengah tahun. Suhu udara relatif cukup panas dan tidak terlalu bervariasi, yaitu berkisar antara 26,7 dan 27,6 °C Sebagian besar penutupan lahan di daerah ini berupa tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum) dan pala (Myristica fragrans) dengan umur tanam yang bervariasi. Di samping itu juga terdapat tanaman lain diantaranya, Artocarpus integra, Cocos nucifera, Mangifera indica dan Eugenia malaccensis, Adapun vegetasi alami yang ada berupa hutan sekunder dan daerah
terbuka yang ditumbuhi rerumputan. Keberadaan pohon besar dapat dikatakan sangat terbatas, kecuali tanaman budidaya diantaranya mangga, cengkeh, dan pala. Sebanyak 18 petak pencuplikan data (20m x 20m) telah dibuat secara acak, dan kemudian masing-masing dibagi 4 sub-petak 10m x 10m. Semua pohon (diameter lebih dari 5 cm), diukur diameternya, ditaksir tingginya dan ditentukan jenisnya. Pengumpulan contoh biomasa tumbuhan bawah dilakukan dalam petak berukuran 1 x 10 m, pada beberapa lokasi terpilih. Selain itu juga dilakukan pengumpulan contoh tanah serta contoh daun segar dan serasah lantai hutan. Data yang terkumpul dianalisis mengikuti metode Bray & Curtis (1957), Mueller-Dombois (1983), dan GreighSmith (1964) untuk mendapatkan nilai frekuensi, kerapatan, dominansi, frekuen-
Pulau Moti
Gambar 1. Peta Maluku Utara dan daerah penelitian (pulau Moti)
228
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara
si relatif kerapatan relatif, dominansi relatif, dan nilai penting. Jenis dan nilai dominansinya di setiap petak digunakan sebagai parameter dalam analisis ordinasi PCA, dengan meng-gunakan perangkat lunak MVSP 3.1 (Multi Variate Statistical Package). Berdasarkan analisis ini diperoleh pengelompokan petak-petak berdasarkan kesamaan komposisi jenisnya dan kondisi habitatnya. HASIL
Komposisi floristik Di dalam 18 petak pencuplikan data (0,72 ha) tercatat sebanyak 57 jenis pohon dengan diameter batang e” 5 cm, yang termasuk ke dalam 49 marga dan 27 suku. Berdasarkan jumlah jenis yang tercatat menunjukkan tingkat keanekaragaman yang relatif rendah,
begitu pula dengan tingkat heterogenitas yang rendah pula (Gambar 2). Sebanyak 50,9 % jenis tercatat dengan frekuensi e” 30 %, dan dengan bentuk histogram yang tidak membentuk huruf L. Hal ini memberikan informasi bahwa vegetasi di daerah penelitian relatif seragam, dan dengan kekayaan jenis yang rendah. Dari seluruh suku yang tercatat lima (5) diantaranya merupakan suku-suku utama, yang ditetapkan berdasarkan nilai penting suku (NPS) tertinggi (Tabel 1). Euphorbiaceae tercatat sebagai suku yang paling umum, yaitu dengan kerapatan dan jumlah jenis yang relatif terbanyak. Ini merupakan gambaran umum di dalam kawasan hutan sekunder yaitu sebagian besar jenis anggota suku ini merupakan jenis pioner, yang dikenal mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan (Riswan & Kartawinata 1989; 1991).
Gambar 2. Histogram persebaran frekuensi jenis
229
Edi Mirmanto
Tabel 1. Luas bidang dasar (LBD= m2/ha), kerapatan (K= individu/ha) dan jumlah jenis (JS) dan nilai penting suku (NPS) beberapa suku utama di daerah penelitian. Suku Euphorbiaceae Moraceae Burseraceae Anacardiaceae Rutaceae Sterculuaceae Lauraceae Verbenaceae Fabaceae Myrtaceae Myristicaceae Suku lain (17) Total
LBD 0,97 0,65 0,48 0,71 0,24 0,26 0,34 0,27 0,16 0,27 0,27 1,15 5,78
Namun keberadaan suku Euphorbiaceae tidak secara nyata tercermin dalam dominansinya pada tingkat jenis, berbeda dengan hasil penelitian terdahulu (Mirmanto 2010). Hal ini berkaitan dengan aktivitas manusia yang cukup rutin dalam pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian ataupun kegiatan lainnya. Berdasarkan nilai dominansi dari jenis-jenis yang tercatat, ditentukan jenis yang paling dominan di daerah penelitian (Tabel 2). Jenis Mallotus philippinensis (Euphorbiaceae) tercatat sebagai jenis yang paling dominan di daerah penelitian, diikuti oleh Mangifera indica (Anacardiaceae), Litsea glutinosa (Lauraceae), Champereia manillana (Anacardiaceae), Acalypha caturus (Euphorbiaceae), dan Ficus ampelas (Moraceae). Dominasi Mangifera indica dimungkinkan karena pertumbuhannya terpelihara dengan baik, dilain 230
K 106 68 46 30 44 42 34 32 22 16 14 154 608
JS 8 6 4 2 4 3 2 2 3 2 2 19 57
NPS 47,75 32,55 22,69 20,50 18,28 16,52 14,72 13,29 11,59 10,67 10,35 81,08 300,00
pihak Litsea glutinosa kemungkinan merupakan salah satu jenis yang cukup berhasil dalam proses suksesi. Struktur hutan Struktur hutan dapat tercermin dalam persebaran vertical (tinggi pohon), serta persebaran horizontal (ukuran pohon). Di dalam 18 petak pencuplikan data, atau dengan luas total 0,72 ha, tercacah sebanyak 438 pohon (diameter > 5 cm) atau 608 pohon /ha. Sebagian besar pohon yang tercacah berukuran kecil, yaitu sebanyak 85,82 % pohon dengan diameter antara 5 dan 15 cm (Gambar 3), dan hanya 0,12 % pohon yang mencapai diameter e” 30 cm yang meliputi jenis-jenis Mangifera indica, Cocos nucifera, Myristica fragrans, dan Ficus pubinervis. Berdasarkan hasil pengukuran tinggi pohon, tercermin bahwa hutan di daerah penelitian tidak
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara
Tabel 2. Luas bidang dasar (LBD= m2/ha), kerapatan (K= individu/ha) dan rata-rata dominansi relatif (RDoR= %) beberapa jenis dominan Species Acalypha caturus Canarium hirsutum Champereia manillana Chionanthus laxiflorus Eugenia malaccensis Ficus ampelas Litsea glutinosa Mallotus philippinensis Mangifera indica Syzygium aromaticum Vitex cofassus Jenis lain (47) Total
menunjukkan adanya stratifikasi hutan. Sebagian besar pohon dengan tinggi antara 6 dan 12 m, dengan beberapa pohon menonjol dengan tinggi di atas 14 m yang diwakili oleh jenis-jenis Canarium hirsutum, Myristica fragrans dan Mangifera indica (Gambar 4). Di lain pihak pepohonan dengan tinggi kurang dari 6 m merupakan pohon-pohon di bawah naungan yang umumnya berdiamter kecil. Pola vegetasi Hasil analisis ordinasi dengan PCA menunjukkan adanya pengelompokan petak menjadi 5 kelompok (Gambar 4). Kelompok A, merupakan petak-petak (B, C, D, F) yang terdapat pada dan di sekitar tanaman mangga dan kelapa, yang selanjutnya disebut sebagai komunitas Mangifera–Cocos. Kelompok B, merupakan petak-petak (G, I, M, O, P,
LBD 0,15 0,19 0,10 0,05 0,11 0,12 0,26 0,44 0,64 0,13 0,23 3,36 5,78
K 20 24 14 4 4 26 26 38 18 10 28 396 608
RDoR 3,85 3,71 3,96 3,30 3,01 3,80 4,23 5,17 5,13 3,14 3,31 57,40 100,00
K) yang terdapat di sekitar kebun cengkeh dan pala yang ditentukan sebagai komunitas Myristica - Canarium. Kelompok C merupakan komunitas Canarium - Vitex, yaitu merupakan kelompok petak-petak (A, E, R, Q) yang terdapat dalam terdapat pada kawasan antara kebun kelapa dan cengkeh. Kelompok D, terdiri atas petak-petak (N, H, J, L) yang tersebar pada kawasan yang sangat terbuka, dan ditentukan sebagai komunitas Mallotus - Ficus. Struktur dan komposisi floristik antar ke 4 komunitas tersebut menunjukkan adanya perbedaan, yaitu dengan diversitas dan jumlah jenis yang bervariasi (Tabel 3). Tercatat bahwa komunitas Myristica–Canarium mempunyai jumlah jenis terbanyak, dengan nilai indeks diversitas maupun kemerataan yang tertinggi. Di dalam komunitas Mangifera – Cocos tercatat sebanyak 32 231
Edi Mirmanto
jenis pohon, yang sangat didominasi oleh Mangifera indica diikuti oleh Cocos nucifera, Melochia umbellata, Eugenia malaccensis, dan Ficus septica. Jenis-jenis lain yang mempunyai nilai dominansi cukup tinggi diantaranya Syzygium aromaticum, Acalypha caturus, Artocarpus integram, Canarium hirsutum, dan Gnetum gnemon. Di dalam komunitas Mallotus – Canarium tercatat sebanyak 49 jenis pohon yang didominasi oleh Canarium littorale, diikuti oleh Mallotus philippinensis, Macaranga involucra-ta, Leucosyke capitellata dan Syzygium aromaticum. Myristica fragrans, Mallotus philippinensis, Champereia manillana, Macaranga involucrate, dan Litsea glutinosa. Jenis-jenis lainnya seperti Macaranga tanarius, Leuco-
syke capitellata, Eugenia malaccensis, Ficus septica, Syzygium aromaticum, dan Knema cinerea, juga tercatat mempunyai nilai dominansi cukup tinggi. Sebanyak 38 jenis pohon terdapat di dalam komunitas Canarium – Vitex, dengan Canarium hirsutum tercatat sebagai jenis yang paling dominan, diikuti oleh Vitex cofassus, Litsea glutinosa, Champereia manillana, Antiaris toxicaria, dan Bridelia insularia. Beberapa jenis lain yang juga tercatat mempunyai nilai dominansi cukup tinggi yaitu Micromelum minutum, Timonius timon, Evodia latifolia, Chionanthus laxiflorus, Plectronia glabra, Trema orientalis, dan Flacourtia rukam. Komunitas Mallotus–Ficus merupakan komunitas yang paling miskin akan jenis pohon, yaitu hanya tercatat
Gambar 3. Persebaran tinggi pohon menurut kelas diameter pohon
232
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara
sebanyak 29 jenis terkandung di dalamnya. Mallotus philippinensis dan Ficus ampelas tercatat sebagai jenis yang paling dominan dalam komunitas ini, diikuti oleh Acalypha caturus, Ficus variegate, Piper aduncum, Chionanthus laxiflorus, Leucosyke capitellata, Litsea glutinosa, Micromelum minutum, dan Myristica fragrans. Secara umum indek kesamaan antar komunitas cukup tinggi yang mencerminkan keberadaan hutan yang relatif homogen (Gambar 2). Namun proporsi masing-masing jenis, khususnya jenis
dominan, dalam tiap tipe komunitas cukup bervariasi. Hasil analisis ordinasi PCA untuk nilai jenis (Gambar 5) menunjukkan pola yang cukup menarik. Sebagian jenis nampak berasosiasi dengan Mangifera indica dan Cocos nucifera, diantaranya Artocarpus integra, Gnetum gnemon dan Melochia umbellata, sedangkan Mallotus philippinensis, Leucosyke capitullata, Knema cinerea dan Canarium littorale cenderung berasosiasi dengan Myristica fragrans dan Syzygium aromaticum. Di lain pihak juga nampak adanya asosiasi jenis pohon
Gambar 4. Pengelompokkan petak-petak pencuplikan data berdasarkan analisis ordinasi PCA Tabel 3. Jumlah jenis, indeks diversitas dan kemerataan 3 tipe komunitas di daerah penelitian
Komunitas Mangifera – Cocos Myristica - Canarium Canarium - Vitex Mallotus - Ficus
Jumlah Jenis 32 49 38 29
Indeks diversitas Simpson Shanon 0,924 1,303 0,967 1,568 0,950 1,409 0,928 1,279
Kemerataan Simpson Shanon 0,954 0,866 0,987 0,923 0,975 0,892 0,959 0,857
233
Edi Mirmanto
Sumbu Y
3
0
-3 -3
0 Sumbu X
3
Gambar 5. Persebaran beberapa jenis pohon menurut dua sumbu (Sb-x dan Sb-Y) berdasarkan analisis ordinasi PCA.
pada kondisi habitat, khususnya tingkat gangguan yang tercermin dalam bukaan kanopi. Jenis-jenis Piper aduncum, Trema orientalis, Glochidion arborescens, Callicarpa longifolia dan Evodia latifolia cenderung berasosiasi pada daerah terbuka sampai daerah sangat terbuka, sedangkan Canarium hirsutum, Antiaris toxicaria, dan Glochidion arborescens pada kondisi penutupan kanopi agak tertutup. PEMBAHASAN Hasil pengamatan lapangan terlihat bahwa vegetasi di pulau Moti berupa vegetasi sekunder muda sampai 234
sekunder tua. Vegetasi sekunder umumnya ditandai dengan keanekaragaman jenis pohon yang rendah tetapi dengan kerapatan yang cukup tinggi. Kekayaan jenis pohon di pulau Moti relatif rendah di bandingkan dengan hasil penelitian dari beberapa pulau kecil lainnya, baik yang terdapat di kepulauan Maluku (Mirmanto & Ruskandi 1986; Mirmanto 2010); sekitar Papua (Purwaningsih 1995; Simbolon 1995: 1998), maupun pulau kecil lainya (Yusuf dkk. 2006; Partomihardjo dkk. 2001; 2003; Tagawa 1992). Di samping itu kesamaan komposisi jenis pohon dengan pulau-pulau kecil lainnnya juga sangat rendah.
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara
Dalam kondisi normal, perbedaan jumlah dan keragaman jenis dapat berkaitan dengan perbedaan dalam jumlah dan ukuran petak serta serta luas daerah penelitian. Disamping itu proses pembentukan vegetasi di pulau kecil yang pada umumnya melalui berbagai bentuk penyesuaian terhadap lingkungan yang cukup bervariasi, sehingga memungkinkan terbentuknya vegetasi yang spesifik di masing-masing pulau kecil. Akan tetapi kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak sepenuhnya berlaku bagi keberadaan vegetasi hutan di pulau Moti. Aktivitas manusia diperkirakan sebagai salah satu penyebab terbentuknya vegetsi sekunder di pulau Moti, karena gangguan secara alamiah hampir tidak pernah terjadi. Lain halnya dengan beberapa pulau kecil lain di sekitarnya yang dikabarkan pernah mengalami bencana alam. Dengan kata lain aktivitas manusia secara langsung atau tidak langsung telah menurunkan keanekaragaman jenis pohon di pulau Moti. Bekasbekas kebun atau ladang yang meninggalkan tanaman yang sudah berukuran besar, memberikan informasi bahwa kemungkinan aktivitas manusia sudah berlangsung cukup lama. Selain itu keberadaan kebun cengkeh dan pala yang mencakup kawasan cukup luas juga memperkuat perkiraan tersebut di atas. Di lain pihak keberadaan bekas kebun atau ladang yang meninggalkan tanaman yang berukuran kecil ataupun kebun atau lading baru, menunjukkan bahwa aktivitas tersebut terus berlangsung sampai saat penelitian ini dilakukan. Dengan kondisi yang demikian proses pemulihan vegetasi nampaknya tidak
akan berlangsung dengan baik, sehingga jenis-jenis sekunder seperti Mallotus philippinensis, Macaranga tanarius, Lucosyke capitullata, dan Acalypha caturus masih dominan terutama pada daerah terbuka. Beberapa jenis primer diantaranya Litsea glutinosa, Canarium hirsutum, Canarium maluensis, dan Neolitsea cassiaefolia kedapatan dalam ukuran kecil, dan diperkirakan keberadaannya tidak akan bertahan lama. Terlepas dari kondisi hutan yang terganggu, hasil analisis ordinasi PCA menunjukkan adanya persebaran jenis yang nampaknya berkaitan dengan kondisi habitat. Analisis kesukaan jenis terhadap habitat (“habitat preference”) tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Ini kemungkinan berkaitan dengan parameter yang digunakan (kelerengan, penutupan kanopi, ketinggian dan posisi geografi), yang pada umumnya hampir serupa. Untuk itu analisis ordinasi dengan parameter lain seperti kandungan unsur hara tanah dan biomas perlu dilakukan untuk mengklarifikasi pola tersebut di atas. Pengetahuan keterkaitan suatu jenis terhadap habitat merupakan data dan informasi penting yang diperlukan dalam rangka pengelolaan suatu kawasan. Dengan data dan informasi tersebut, maka dimungkinkan untuk melakukan rehabilitasi lahan terdegradasi dengan lebih tepat, karena pemilihan jenis disesuaikan dengan kondisi habitat. Begitu pula dalam kaitannya dengan kondisi vegetasi di pulau Moti yang sudah terdegradasi, maka diperlukan data keterkaitan suatu jenis terhadap habitatnya untuk proses rehabilitasi. Itu 235
Edi Mirmanto
semua perlu dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan daya dukungnya terhadap kehidupan masyarakat, agar dapat terjadi keseimbangan ekosistem pulau Moti. Dengan demikian sumber daya yang terkandung dalam pulau Moti dapat dimanfaatkan dengan optimal dan kondisi ekosistem juga terjaga kelestariannya. DAFTAR PUSTAKA Bray, J. & JT. Curtis. 1957. An ordination of upland forest communities of Southern Wisconsin. Ecology. Monograph 27: 325-329. Greigh-Smith, P. 1964. Quantitative Plant Ecology. Second Edition. Butterworths, London. Mirmanto, E. & A. Ruskandi. 1986. Analaisa vegetasi hutan dataran rendah di pulau Geser, Maluku. Laporan Perjalanan. Doc. HB. Mirmanto, E. 2010. Komposisi flora dan struktur hutan alami di pulau Ternate, Maluku Utara. J. Biol. Indonesia 6(3):341-352 Muller-Dombois, D & H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley, New York. Partomihardjo, T., EN. Sambas & S. Prawiroatmodjo. 2001. Keanekaragaman jenis tumbuhan dan tipe vegetasi Pulau Nusakambangan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Nusakambangan. 2001: 39-48. Partomihardjo, T., Roemantyo & S. Prawiroatmodjo. 2003. Biological diversity of small islands: Case 236
study on landscape, vegetation and floristic notes of Nusakambangan Island, Cilacap-Indonesia. Global Taxonomy Initiative in Asia. Report and Proc. of first GTI Regional Workshop in Asia. Putrajaya, Malaysia: 106-111. Purwaningsih. 1995. Komposisi jenis dan struktur vegetasi hutan primer dan hutan sekunder pulau Biak, Irian Jaya. Dalam: H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik 1995. Puslitbang Biologi-LIPI. hal 34-45. Simbolon, H. 1995. Tipe-tipe vegetasi cagar alam pulau Supiori, Kabupaten Biak Numfor, Irian Jaya. Dalam: H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik 1995. Puslitbang Biologi-LIPI. hal 54-72. Simbolon, H. 1998. Perubahan floristik dan keadaan hutan pada beberapa lokasi penelitian di cagar alam pulau Yapen Tengah, Irian Jaya. Ekologi Indonesia, 2 (3): 1-11. Tagawa, H. 1992. Primary succession and the effect of first arrival on subsequent development of forest types. Geology Journal, 28 (2): 175-183. Yusuf, R., A. Ruskandi, Wardi & Dirman. 2006. Studi vegetasi P. Karimunjawa dan bebrapa pulau kecil lainnya, di kawasan T.N. Karimunjawa. Dalam: AJ Arief, EB Walujo, Mulyadi & H. Julistiono (ed.). Laporan Teknik 2006. Pusat Penelitian Biologi LIPI. hal. 17-31.