EKOLOGI TERNATE
EDITOR Ibnu Maryanto Hari Sutrisno
PUSAT PENELITIAN BIOLOGI-LIPI 2011 i
© 2011 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi*
Katalog dalam Terbitan
Ekologi Ternate/Ibnu Maryanto dan Hari Sutrisno (Editor). – Jakarta: LIPI Press, 2011. xiii + 371 hlm.; 14,8 x 21 cm ISBN 978-979-799-609-3 1. Ekologi
2. Ternate
577
Editor Bahasa Penata Letak Penata Sampul Penerbit
: Risma Wahyu Hartiningsih : Ibnu Maryanto : Fahmi : LIPI Press
*Pusat Penelitian Biologi-LIPI Gedung Widyasatwaloka, Cibinong Science Center Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169111 Telp.: 021-8765056, 8765057
ii
DAFTAR ISI
Ucapan Terimakasih Kata Sambutan Kata Pengantar DAFTAR ISI
iii v vii xi
GEOLOGI DAN IKLIM Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara: Dinamika Erupsi dan Potensi Ancaman Bahayanya Indyo Pratomo, Cecep Sulaeman, Estu Kriswati & Yasa Suparman Karakteristik Erupsi G Kie Besi dan Potensi Ancaman Bencananya Terhadap Lingkungan Kota Ternate: (Representasi dari karakter gunungapi aktif di Busur Gunungapi Halmahera) Estu Kriswati & Indyo Pratomo Analisa Anomali Curah Hujan dan Parameter Laut-Atmosfer Periode Januari - Agustus 2010 di Provinsi Maluku Utara Dodo Gunawan
1
15
27
FAUNA Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera) dan Mamalia Kecil di Pulau Ternate Sigit Wiantoro & Anang S Achmadi Keanekaragaman Mamalia Kecil di Pulau Moti Anang Setiawan Achmadi & Sigit Wiantoro Kajian Ekologi Burung di Hutan Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara Wahyu Widodo
43
55
69
Komunitas Burung Pulau Moti Ternate Maluku Utara Eko Sulistyadi
83
Keanekaragaman Herpetofauna di Pulau Ternate dan Moti, Maluku Utara Mumpuni
105
xi
Komunitas Keong Darat di Pulau Moti, Maluku Utara Heryanto Kajian keanekaragaman Ngengat (Insekta: Lepidoptera) di Gunung Gamalama, Ternate Hari Sutrisno Tinjauan Keanekaragaman dan Sebaran Kupu Ternate Djunijanti Peggie
121
133
145
Efektifitas Trap Warna Terhadap Keberadaan Serangga Pada Pertanaman Budidaya Cabai di Kelurahan Sulamadaha Kecamatan P Ternate Ternate Abdu Mas’ud
159
Eksplorasi Keragaman Serangga Coleoptera dan Lepidoptera di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Warsito Tantowijoyo & Giyanto
167
FLORA Analisis Tutupan Lahan Kawasan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Hetty IP Utaminingrum & Roemantyo
187
Hutan mangrove di Pulau Moti Suhardjono & Ujang Hapid
199
Keanekaragaman Anggrek di G Gamalama, Ternate Izu Andry Fijridiyanto & Sri Hartini
219
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto
227
Keanekaragaman Jenis Pohon di Hutan Sekunder Pulau Moti, TernateMaluku Utara Razali Yusuf
237
Keanekaragaman Tumbuhan Berkhasiat Obat di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Siti Sunarti
251
Eksplorasi Tumbuhan di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Deden Girmansyah & Siti Sunarti xii
267
MIKROBIOLOGI Drug Discovery Antibiotik Berbasis Biodiversitas Aktinomisetes Lokal Asal Ternate Arif Nurkanto
283
Isolasi dan Identifikasi Kapang-Kapang Kontaminan Dari Biji Kenari Kering (Canarium ovatum) Nurhasanah &Sundari
295
Mikroba Laut Penghidrolisis Senyawa Nitril di Sekitar Pulau Moti, Ternate Nunik Sulistinah & Rini Riffiani
301
Isolasi dan Penapisan Bakteri Pendegradasi Dibenzothiophene, Phenanthrene dan Fluoranthene Asal Perairan Laut Sekitar Pulau MotiTernate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah Penapisan dan Isolasi Bacillus Penghasil Amilase Dari Limbah Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Deasy Liestianty1, Nurhasanah2
309
317
SOSIAL BUDAYA Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis Dhurorudin Mashad Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri” Pada Kebudayaan Ternate, Maluku Utara Safrudin Amin
329
343
xiii
Ekologi Ternate 343-371 (2011)
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri” Pada Kebudayaan Ternate, Maluku Utara Safrudin Amin Universitas Khairun Ternate ABSTRACT Anthropologists have been studying myth from the perspectives of evolusionism, diffusionism, functionalism, and structuralism. This paper uses the structuralist perspective, particularly from Levy-Strauss, to comprehend one of the most-spreaded myth in North Maluku, namely “Mitos Tujuh Putri”. The structural investigation of the myth has revealed that the myth has basic structure with four main components, and this structure is reflected and transformed on to many areas of social, cultural, and political order of Ternaten community in particular and North Maluku society in general. It is important to note that through structural analysis, the writer shows that the myth is not just relevant to understand the past but also the contemporary dynamics of social, cultural, and political life of people in the region. This also confirm that myth analysis is one path to understand a society. Key words: myth, Ternate, structuralism (mitos, Ternate, strukturalisme).
PENDAHULUAN Ternate adalah nama salah satu suku bangsa dan sekaligus bahasa yang digunakan suku tersebut di Maluku Utara yang mendiami pulau Gapi atau gunung Gamalama. Awalnya di pulau tersebut terdapat empat kampung yang masingmasing kampung dipimpin oleh seorang kepala marga yang disebut momole. Karena persentuhan mereka dengan pedagang dari berbagai tempat misalnya dari Arab, Persia, Tionghoa, India, Jawa, Melayu, maka penduduk Ternate menjadi semakin banyak. Menghadapi semakin kompleksnya penduduk dan juga ancaman berbagai perompak zaman itu, keempat momole ini kemudian bersepakat membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan kemudian mengangkat seorang raja (kolano).
Dengan pengaruh Islam yang dimulai sejak abad ke-12, sistem pemerintahan kolano berubah menjadi sistem pemerintahan kesultanan sejak abad ke15. Pada masa kolonial, peran beberapa kesultanan dalam memerangi penjajah cukup signifikan. Dengan terintegrasinya wilayah Maluku ke pangkuan Indonesia pada pertengahan abad ke-19, maka kekuasaan-kekuasaan tradisional kesultanan menjadi semakin meredup karena kuatnya sentralisme pemerintah pusat dan di daerah diambil alih oleh pemerintahan administratif propinsi. Sejak bergulirnya reformasi dan menguatnya kebijakan otonomi daerah maka kekuatan-kekuatan tradisional kesultanan juga mulai menggeliat. Dengan adanya berbagai kebijakan pemekaran wilayah, maka pada 14 343
Safrudin Amin
Oktober 1999 Maluku Utara resmi menjadi salah satu propinsi, lepas dari propinsi Maluku sebagai propinsi induk. Selanjutnya, propinsi baru ini memekarkan diri kedalam delapan kabupaten. Berbagai dinamika lokal, baik sosial, budaya, dan politik yang mewarnai kehidupan masyarakat wilayah Maluku Utara, dalam beberapa hal telah diteliti dan ditulis oleh berbagai kalangan. Dari kajian dengan topik sejarah kita menemukan tulisan dari Amal (2002, 2007), Mangunwijaya (1987), Hanna dan Alwi (1996), Abdulrahman (2001) dan masih banyak lagi. Khusus kajian bahasa dan etnografi kebudayaan ditemukan penelitian-penelitian di beberapa wilayah ini misalnya Umesao (1980), Amin dkk (2008), Amin dkk (2009), Ma’ruf dkk (2009). Untuk persitiwa politik kontemporer, termasuk kasus konflik sangat banyak kajian telah dilakukan antara lain Yanuarti, dkk (2004), Tryatmoko (2005), dan lainnya. Tentu semua kajian tentang Maluku Utara umumnya dan Ternate khususnya berusaha memahami berbagai fenomena sosial budaya dan politik masayarakt di wilayah ini dengan berbagai perspektif yang khas. Namun yang menjadi masalah adalah, pertama, dari barbagai kajian yang ada, hanya sedikit yang bersifat kajian etnografis yang dapat menjadi rujukan untuk pemahaman mendalam atas kebudayaan masyarakat Ternate atau Maluku Utara. Namun keterbatasan data etnografis yang tersedia tidaklah berarti upaya memahami kebudayaan Ternate secara mendalam tertutup sama sekali. Upaya memahami kebudayaan 344
Ternate bisa dimasuki lewat jendela mitos, yaitu mengkaji mitos untuk menemukan dan memahami kebudayaan masyarakat (Ahimsa-Putra 2006; van Wouden 1985). Masalah kedua dari berbagai kajian yang sudah ada adalah dari semua kajian di atas, dan sejauh yang pernah saya baca, tidak ada yang mencoba memahami realitas sosial budaya melalui kajian mitos. Memang ada yang mencantumkan mitos dalam kajian mereka namun tidak dijadikan sebagai jalan masuk untuk memahami realitas yang ada atau tidak menggunakan suatu analisis mitos yang menggunakan keketatan akademik tertentu (Amal 2007). Makalah ini justru mencoba memahami realitas sosiobudaya dan politik yang telah dan sedang berlangsung dalam masyarakat Ternate dan Maluku Utara lewat pintu masuk kajian mitos. Penggunaan perspektif ini, mitos sebagai pintu masuk memahami kebudayaan, dipandang sangat penting karena penulis meyakini bahwa dalam banyak hal fenomena sosial budaya dan politik kontemporer di Ternate dan Maluku Utara sangat terkait dengan pola-pola struktur yang telah tergambarkan dalam mitos-mitos lokal masyarakat. Walaupun mitos yang akan dianalisis adalah mitos Tujuh Putri, namun dalam proses penafsiran nanti, akan juga ditampilkan mitos yang mirip, semacam varian dari mitos TP, yaitu Hikayat Bacan. Dengan menampilkan mitos HB tidak berarti fokus analisa agak bergeser, juga bukan berarti analisa diarahkan pada dua macam mitos. Menghadirkan mitos
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
HB ini dalam rangka memahami dan menafsir secara lebih meyakinkan terhadap mitos TP tampaknya merupakan cara yang tidak dapat dihindari. Hal ini dilakukan karena mitos yang satu dengan mitos yang lain selain saling berhubungan, juga mengandung informasi yang saling memperkuat. Tafsir terhadap suatu mitos (TP) juga menggunakan mitos lainnya (HB). Di sini terasa begitu relevan pernyataan Paz bahwa, “setiap mite mengungkapkan maknanya dalam mite lain…” dan ada semacam keterpautan makna atar mite yang membentuk suatu “kelompok atau keluarga mite” (1997: 28). Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa peristiwa sosial budaya dan politik kontemporer sangat terkait dengan mitos yang dipegang oleh masyarakat, maka dengan demikian mitos sangat relevan untuk menjadi jalan masuk memahami kebudayaan kontemporer masyarakat wilayah ini. Namun demikian, tingkat relevansi mitos terhadap realitas tentu harus ditunjukan lewat suatu analisis yang mendalam terhadap struktur dasar dan berbagai transformasinya. Untuk tujuan itu, maka permasalahan penelitian atau kajian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan berikut: Apa struktur utama dalam mitos yang dikaji, bagaimana bentuk transfomasi dari struktur tersebut, dan sejauh mana mitos-mitos tersebut relevan dengan berbagai peristiwa sosial budaya dan politik kontemporer? Dalam makalah ini analisis struktural dilakukan lewat beberapa tahapan. Pertama, penulis akan menampilkan mitos yang dianalisis secara utuh. Kedua, agar analisis dapat menyentuh unusur-unsur
kunci dari mitos, penulis memilah-milah mitos tersebut kedalam episode-episode, kemudian di setiap episode terdapat miteme dan/atau ceriteme (AhimsaPutra 2006: 97-119). Pada tahap ini, di setiap episode diberi tafsiran terbatas dengan mengacu pada realitas sosial budaya dan data etnografi yang ada. Ketiga, penulis mencoba melihat aspek-aspek struktural yang lebih dalam dan bentuk-bentuk transformasinya dalam kebudayaan masyarakat, termasuk pada realitas struktur sosial politik di Ternate atau Maluku Utara. Keempat, penulis akan menunjukan implikasi dari transfomasi (struktur mitos ke realitas) pada kehidupan sosial dan politik masyarakat Ternate dan Maluku Utara. Mulai tahap ketiga dan terutama keempat lebih menunjukan relevansi mitos pada realitas kontemporer, dan merupakan jawaban terhadap rumusan masalah dalam tulisan ini. KERANGKA TEORITIS Untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah di atas, penulis tidak mengikuti tradisi kajian mitos dengan pendekatan evolusionisme, difusionisme, dan pendekatan fungsionalisme. Penulis lebih memilih menggunakan pendekatan strukturalisme Levi-Strauss untuk mengkaji mitos di Maluku Utara. Alasan utama penggunaan strukturalisme ini adalah karena, berdasarkan kesan awal, penulis melihat ada semacam pola atau struktur yang relatif bersifat konsisten antara mitos dengan berbagai peristiwa sosial budaya dan politik kontemporer di Maluku Utara. 345
Safrudin Amin
Penulis menggunakan pendekatan struktural sebagai pisau analisis untuk melihat relevansi mitos dengan kehidupan masyarakat. Namun disini perlu ditegaskan bahwa konsep struktur di sini tidak sama dengan yang digunakan dalam ilmu sosial umumnya atau pendekatan fungsionalisme-struktural. Edmund Leach menyatakan bahwa para ahli antropologi sosial umumnya memandang “struktur sosial merupakan sesuatu yang ‘eksis’ pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan nyata-nya kerangka manusia atau salingketergantungan berbagai organ dalam anatomi manusia…”. Sedangkan LeviStrauss, menurut Leach, melihat struktur “bukanlah perwujudan nyata yang dapat diamati secara langsung, melainkan penataan logis seperangkat persamaan matematis yang dapat ditunjukan sebagai ekuivalen untuk fenomena yang ditelaah” (Kaplan &Manners 2002: 237). Hal senada diungkapkan oleh Ahimsa-Putra yang melihat konsep struktur Levi-Strauss sebagai model berpikir yang berbeda dengan konsep struktur dari A.R. Radcliffe-Brown yang melihat struktur sebagai relasi-relasi empiris antarindividu (2006: 60). Dengan kata lain, struktural fungsionalist seperti Radcliffe-Brown melihat mencari struktur pada fenomena yang teramati sedangkan Levi-Strauss mencari struktur di balik fenomena yang teramati tersebut. Pendekatan ini memiliki keyakinan bahwa segala fenomena budaya dalam masyarakat selalu memiliki struktur yang bersifat mengendalikan dan seringkali tidak disadarai oleh pelaku kebudayaan (unconsciousness aspect). Hal-hal 346
yang tampak kacau balau dan berbedabeda sesungguhnya memiliki suatu tatanan tertentu. Strukturalisme mencoba menemukan tatanan tersebut. Levi-Strauss menulis bahwa titik tolak strukturalisme adalah “upaya mencari hal atau unsur invarian yang ada di bawah permukaan penampilan rupa yang beraneka ragam” (1997: 50). Dengan demikian, seperti yang dikatakan Ahimsa-Putra, untuk memahami prilaku budaya masyarakat yang kasat mata, seorang peneliti harus menggali struktur dibaliknya (Gatra, 9 Desember 2009: 55), dan menunjukan relevansi struktur tersebut dengan (prilaku) budaya masyarakat yang diteliti. Mitos sebagai suatu fenomena budaya telah dikaji oleh para ahli dengan menggunakan berbagai pendekatan teoritis yang berbeda-beda. Dalam antropologi, pendekatan historis pernah mendominasi kajian mitos, juga pendekatan fungsional, dan kemudian pendekatan struktural. Selain itu terdapat pendekatan tambahan yaitu hermeneutik yang tampaknya sengaja dipakai oleh Ahimsa-Putra (2008: xvii, 2009). Hubungan antara pendekatan struktural dan kajian mitos tampaknya terkait dengan melihat mitos sama dengan bahasa sekaligus memiliki perbedaan khas dari bahasa (2006:7987), dan juga terkait dengan semakin kuatnya minat Levi-Strauss terhadap fenomena mental atau nirsadar dari fenomena sosial (Ahimsa-Putra,2006: 75). Mitos adalah suatu fenomena unik dari akal dunia nirsadar tersebut. Cremers menulis bahwa bagi LeviStrauss, “mitos…merupakan perwujudan
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
murni akal tak sadar yang menerapkan seluruh aturan dan prinsip mental apriori pada berbagai isi bahan cerita mitos” (1997: 87). Pendekatan struktural memperlakukan mitos sebagai jalan masuk untuk memahami kebudayaan. Namun demikian, peryataan itu tidak berarti bahwa mitos dapat mengganti peranan data-data etnografi - dalam pengertian seorang peneliti dalam upayanya untuk memahami suatu kebudayaan lewat pintu masuk mitos maka dia tidak lagi membutuhkan data etnografi. Justru sebaliknya, sebagaimana ditunjukan oleh Ahimsa-Putra (2006: 207), bahwa pendekatan struktural dalam menafsir mitos juga membutuhkan data etnografi. Sayang-nya, kajian etnografis untuk wilayah Maluku Utara termasuk yang sangat miskin sejauh ini. Menyadari pentingnya data etnografi sebagai suplemen untuk memahami mitos, yang juga berarti memahami kebudayaan, dalam keadaan data etnografi yang tersedia sangat terbatas, maka penulis berusaha menghimpun informasi yang bersifat etnografis tentang Ternate lewat beberapa jalan. Pertama, penulis berperan ganda yaitu sebagai peneliti sekaligus sebagai informan. Penulis menggunakan pengetahuan penulis sendiri tentang kebudayaan Maluku Utara secara umum dan kebudayaan Ternate khususnya. Kedua, penulis mengambil beberapa sumber data etnografis yang walaupun terbatas namun cukup membantu, termasuk yang berasal dari beberapa penelitian penulis bersama beberapa orang lainnya.
Dalam upaya untuk memahami kebudayaan dengan pendekatan struktural ini, peneliti seringkali menemukan berbagai varian fenomena sosial budaya yang pada prinsipnya memiliki pola struktural yang sama, dan bahkan varianvarian tertentu yang muncul belakangan adalah memiliki bentuk struktural yang sama dengan varian-varian lain sebelumnya. Dalam pendekatan struktural, gejala-gejala ini disebut transformasi. Ahimsa-Putra menyatakan, “dalam suatu transformasi yang berlangsung adalah sebuah perubahan pada tataran permukaan, sedangkan pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi” (2006: 61). Fenomena transformasi ini sangat penting dalam memahami berbagai fenomen sosial budaya kontemporer di Maluku Utara melalui kajian mitos. Dengan pendekatan struktural, transformasi terjadi dalam rantai paradigmatis dimana kode-kode yang berbeda dari berbagai tingkatan beralih dan berganti namun tetap mengikuti gramatika struktural tertentu (Cremers & de Santo 1997: 24). Oleh karena berbagai fenomena sosial budaya yang nyata dikendalikan oleh struktur yang berada di level tidak sadar dan sebaliknya pada kondisi yang nyata, maka transformasi atau pengalihan kode yang berlangsung pada level permukaan akan menampakkan fenomena kode sosial budaya yang berbedabeda yang sesungguhnya tetap berada dalam kerangka struktur dasar yang sama. Oleh sebab itu pada kondisi , dalam kondisi perspektif struktural, kunci suatu
347
Safrudin Amin
analisis kebudayaan bukan untuk memahami berbagai perubahan dan variasi sosial budaya permukaan, melainkan menggali kedalam untuk menemukan struktur dari gejala permukaan tersebut. Mitos Tujuh Putri Syahdan, mendaratlah di Ternate seorang Arab bernama Jafar Sadek (terkadang disebut Jafar Nuh). Dia naik ke atas sebuah bukit bernama Jore-jore dan membangun rumahnya di sana. Di kaki bukit itu terdapat sebuah danau kecil bernama Ake Santosa. Suatu petang, ketika hendak mandi, Jafar Sadek melihat tujuh bidadari sedang mandi di danau itu. Jafar Sadek menyembunyikan salah satu sayap ketujuh bidadari itu. Setelah puas mandi, ketujuh bidadari bersiap-siap pulang, tapi salah seorang di antaranya bernama Nur Sifa, tidak dapat terbang pulang karena sayapnya hilang. Nur Sifa adalah putri bungsu di antara ketujuh bersaudara itu. Karena tidak punya sayap, Nur Sifa terpaksa tinggal di bumi dan kawin dengan Jafar Sadek. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak laki-laki, dan masing-masing diberi nama: yang tertua Buka, yang kedua Darajat dan yang ketiga Sahajat. Pada suatu hari, ketika Nur Sifa memandikan si Bungsu Sahajat, dia melihat bayangan sayapnya yang terpantul di air mandi Sahajat. Ia melihat ke atas dan sayapnya tersisip di atap rumahnya, tempat suaminya menyembu1
nyikannya. Ia lalu mengambil sayapnya dan mencoba terbang sebanyak tiga kali. Tetapi setiap kali terbang, si Bungsu Sahajat selalu menangis. Ia lalu menampung air susunya pada sebuah gelas serta berpesan kepada si sulung Buka agar memberi minum adiknya bila menangis, dan agar memberitahukan ayahnya kalau pulang, bahwa ibunya telah kembali ke tempat asalnya. Setelah itu, Nur Sifa terbang tanpa mengindahkan tangisan Sahajat. Ketika Jafar Sadek tiba di rumah dan mendengar pemberitahuan Buka, ia pun menangis. Tangisan Jafar Sadek didengar seekor burung elang laut (Ternate: guheba) yang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi.1 Setelah Jafar Sadek menceritakan segalanya, burung itu menawarkan jasa menerbangkannya ke Kayangan dengan menaiki punggungnya. Sesampainya di Kayangan, Jafar Sadek bertemu ayah Nur Sifa dan berkata kepadanya: “Istri saya, anak anda.” Penguasa Langit itu lalu menghadirkan tujuh bidadari yang secara lahiriah mirip, baik wajah, postur tubuh maupun perawakannya. Jafar Sadek diminta menunjuk istrinya, salah seorang di antara ketujuh bidadari yang serupa itu, dengan syarat bila ia tidak dapat menunjuk secara tepat, ia harus mati. Ia boleh membawa pulang istrinya bila dapat menunjukannya dengan tepat. Dalam keadaan bingung, datanglah seekor lalat besar berwarna hijau (ternate: gufu sang) hinggap di pundaknya dan menawarkan jasa sambil meminta imbalan. Kepada gufu sang
Dalam cerita ini Guheba juga disebut burung garuda.
348
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
Jafar Sadek menjanjikan semua yang berbau busuk di muka bumi ini untuknya, dan gufu sang menyetujuinya dengan pesan: “Perhatikan baik-baik, saya akan terbang mengelilingi semua bidadari itu, tetapi pada siapa aku hinggap, itulah istrimu.” Gufu sang mengenal Nur Sifa dan bau badannya sebagai seorang yang tengah menyusui. Atas bantuan gufu sang, Jafar Sadek menunjukn dengan tepat istrinya, dan akhirnya penguasa Kayangan menerima Jafar Sadek sebagai anggota keluarga serta merestui perkawinannya. Selama tinggal di kayangan, Jafar Sadek dan Nur Sifa dikaruniai seorang putra yang diberi nama Mashur Malamo. Setelah putra itu berusia setahun, mereka pamit hendak kembali ke bumi. Tetapi setiap kali akan kembali, se kecil selalu menangis. Maka penguasa langit itu berkata: “Pasti ia mau penutup kepalaku” (Ternate: kopiah). Ketika kopiah itu dikenakan di kepala si kecil, ia pun diam. Maka kembalilah keluarga itu ke bumi, dan Mashur Malamo dengan kopiah yang dibawanya dari langit, pemberian kakeknya si Penguasa Langit. Ketika Jafar Sadek dan Nur Sifa tiba di bumi, mereka bersua kembali dengan ketiga anaknya yang telah lama ditinggalkannya. Nur Sifa memberi tandatanda tertentu sebagai tempat duduk keempat anaknya. Anak pertama, Buka, diberinya sepotong buncal pohon (ternate: age). Buka kemudian bertolak ke Makian dan menjadi cikal bakal Kerajaan Bacan. Anak kedua, Darajat, mendapat tempat duduk sepotong kayu terapung (ternate: ginoti). Ia bertolak ke Moti dan menjadi cikal bakal kerajaan Jailolo. Anak
ketika, Sahajat, memperoleh batu (ternate: mari) sebagai tempat duduk. Ia pergi ke Tidore dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Tidore. Anak keempat, Mashur Malamo, memperoleh tempat duduk sebuah kursi dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Ternate. Kopiah pemberian kakeknya yang dibawa dari langit menjadi mahkota Kerajaan Ternate. Persebaran Mitos Mitos tujuh putri (TP) yang mengisahkan asal-usul empat kerajaan Maluku tersebut tersebar di berbagai wilayah di Maluku Utara, melintasi batas-batas etnis. Cerita tersebut diyakini dan masih tersimpan dalam pengetahuan masyarakat dari sekitar 30 etnis di Malu-ku Utara. Walaupun kadang ditemukan sedikit perbedaan atau variasi cerita namun secara garis besar sangat mirip. Perbedaan pun, sejauh yang penulis ketahui, hanya antara versi Ternate dan versi Bacan yaitu pada Hikayat Bacan. Dari segi realitas budaya, mitos Tujuh Putri menyebar luas. Karena sentralnya posisi mitos ini baik dalam kebudayaan Ternate maupun dalam pengetahuan budaya suku-suku lain di Maluku Utara maka mitos ini pantas untuk dijadikan jendela untuk menengok kebudayaan Ternate dan masyarakat Maluku Utara umumnya. Analisis Struktural: Episode, Mitem, Ceriteme Episode I: Kedatangan Kedatangan Jafar Sadek (JS) dari Arab dapat dilihat pada mitos Tujuh Putri (TP) pada ceriteme berikut:
349
Safrudin Amin
“Syahdan, mendaratlah di Ternate seorang Arab bernama Jafar Sadek (terkadang disebut Jafar Nuh). Dia naik ke atas sebuah bukit bernama Jore-jore dan membangun rumahnya di sana”. Kedatangan Nur Sifa dari Kayangan (NS) dalam mitos TP: “Di kaki bukit itu terdapat sebuah danau kecil bernama Ake Santosa. Suatu petang, ketika hendak mandi, Jafar Sadek melihat tujuh bidadari sedang mandi di danau itu. Jafar Sadek menyembunyikan salah satu sayap ketujuh bidadari itu. Setelah puas mandi, ketujuh bidadari bersiap-siap pulang (ke kayangan), tapi salah seorang di antaranya bernama Nur Sifa, tidak dapat terbang pulang karena sayapnya hilang”. (Gambar 1) Tafsir episode I Ketiga ceriteme/miteme di atas menunjukan bahwa baik Jafar Sadik (JS) maupun Nur Sifa (NS) adalah pendatang. JS datang dari tanah Arab sedangkan NS datang dari khayangan. Yang menarik adalah keduanya memiliki nama-nama Islam, yang dapat ditafsirkan sebagai besarnya pengaruh Islam dalam mitos ini. Secara sosial dapat ditafsirkan bahwa baik JS dan SN memiliki kesamaan yaitu sama-sama sebagai pendatang di Ternate. Data historis menunjukan bahwa pada masa lalu banyak pedagang dari Arab, Persia, dan India menyinggahi kota-kota pelabuhan sebagai bandar perdagangan. Bahkan pada tahun 1500an atau abad ke-16 pengaruh Islam JS – Arab
dalam berbagai kesultanan dari Aceh samapi Ternate, dan mendorong kemajuan kesultanan-kesultanan tersebut baik di bidang sosial maupun politik (Lombard, 2000: 50). Van den Berg memperkirakan bahwa pada tahun 1885 jumlah orang Arab di Ternate antara 100 – 200 orang (dalam Lombard, 2000: 73). Walaupun saya belum menemukan catatan jumlah penduduk Arab di Ternate pada tahun-tahun sebelumnya, namun jumlah tersebut di atas sudah menunjukan angka yang signifikan pada masa itu. Episode II: Pernikahan Episode ini menceritakan pernikahan dua pendatang ini. Dua orang pendatang, JS dan NS, menikah di Ternate yaitu tempat yang bukan tempat asal mereka. Episode pernikahan ini dapat dilihat pada miteme berikut:
JS=
Tafsir atas episode II Dalam kebudayaan masyarakat Ternate, pernikahan harus dihadiri dan direstui oleh keluarga kedua mempelai. Sayangnya dalam mitos ini tidak tampak keterlibatan kerabat dari kedua mempelai dalam proses pernikahan tersebut. Namun demikian, ketidak-hadiran kerabat kedua mempelai di sini dapat ditafsirkan secara budaya sebagai konsekeunsi dari status mereka sebagai pendatang dimana kerabat mereka tidak berada di Ternate saat itu. Dalam tema pernikahan ini, juga ada satu elemen yang penting untuk dianalisis
Ternate
Gmbar 1. Kedatangan
350
NS
NS – Kayangan
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
yaitu bahwa dari tujuh bidadadari yang besaudara, yang menikah adalah putri atau bidadari bungsu (NS). Ini terlihat pada miteme mitos TP berikut:
denda atau sanksi baik dalam mitos tersebut maupun dalam realitas sosiobudaya keseharian dalam masyarakat.
= 7 6
5 4 3
2 1
= JS
NS
“Nur Sifa adalah putri bungsu di antara ketujuh bersaudara itu”. Jika pada meberapa suku bangsa di Indonesia, misalnya di Bugis dan Makassar, seorang anak, terlebih lagi jika dia seorang perempuan dan memiliki kakak perempuan, maka dia baru boleh menikah setelah kakak perempuannya menikah. Secara adat menjadi sesuatu yang tabu atau pemali jika seorang adik perempuan menikah lebih dahulu dari kakak perempuannya. Jika dia sampai menikah terlebih dahulu maka dia harus membayar semacam denda kepada kakaknya tersebut. Denda itu, saat ini dalam istilah populer di Sulawesi Selatan disebut “uang lambung”, artinya denda uang karena telah melambung atau mendahului kakaknya. Tradisi seperti itu tidak ada pada masyarakat Maluku Utara umumnya dan suku Ternate khususnya. Pada masyarakat Maluku Utara, seorang anak perempuan bisa saja menikah mendahului kakak perempuannya. Sama seperti yang terjadi pada Nur Sifa (NS) dalam mitos ini. Dia adalah putri bungsu atau anak terakhir dari tujuh bersaudara, namun justru dia yang menikah duluan. Hal ini tidak dilihat sebagai sesuatu penyimpangan. Dan karena itu tidak ada suatu
Episode III: Memiliki keturunan Mitos TP menggambarkan JS dan NS awalnya memiliki tiga orang putra sebagai hasil pernikahan mereka. Ketiga orang putra tersebut masing-masing bernama Buka (B), Darajat (D), dan Sahajat (S). Miteme dari mitos TP yang menyatakan ini adalah sebagai berikut. = JS
NS 3 S
2
1
D
B
“Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak laki-laki, dan masing-masing diberi nama: yang tertua Buka, yang kedua Darajat dan yang ketiga Sahajat”. Tafsir Episode III: Besarnya pengaruh Islam di dalam pemberian nama dalam kekerabatan dapat dilihat pada nama-nama yang dimunculkan dalam mitos ini. Baik JS maupun NS adalah nama Islam. Selain itu, dari ketiga anak mereka, hanya anak pertama, Buka, yang merupakan nama lokal, sedangkan Darajat dan Sahajat adalah nama-nama khas dalam Islam. Nama-nama ini jelas dapat ditafsirkan sebagai hadirnya pengaruh Islam dalam kebudayaan lokal Ternate. Namun demikian, dengan hadirnya nama lokal, Buka, juga menunjukan adanya suatu akulturasi antara budaya Islam (Arab) dan budaya lokal. Apalagi dengan kehadiran anak ke empat yaitu Mashur 351
Safrudin Amin
Malamo, suatu percampuran nama Arab dan nama lokal (lihat episode V). Episode IV: Pindah ke Keluarga Istri Epsode ini menggambarkan pindahnya JS dan NS ke langit, tempat orang tua dan saudara SN tinggal. Episode ini terlihat pada tiga miteme/ ceriteme dari mitos TP berikut: “Ia lalu menampung air susunya pada sebuah gelas serta berpesan kepada Si Sulung, Buka, agar memberi minum adiknya jika menangis, dan agar memberitahukan ayahnya kalau [ayahnya] pulang, bahwa ibunya telah kembali ke tempat asalnya [kayangan]”. “Setelah Jafar Sadek menceritakan segalanya, burung itu menawarkan jasa menerbangkannya ke Kayangan dengan menaiki punggungnya. Sesampainya di Kayangan, Jafar Sadek bertemu ayah Nur Sifa dan berkata kepadanya: “Istri saya, anak anda.” “…akhirnya penguasa Kayangan menerima Jafar Sadek sebagai anggota keluarga serta merestui perkawinannya.” Tafsir terhadap Episode IV: Pada episode sebelumnya tampak bahwa setelah JS dan NS menikah sampai mempunyai tiga orang anak, mereka masih tinggal di Ternate di rumah sendiri (neolokal), tidak tinggal di keluarga JS maupun keluarga NS. Artinya mereka bertempat tinggal sendiri. Dalam hubungan dengan adat menetap setelah menikah, dalam 2)
kebudayaan masyarakat Ternate, tempat tinggal setelah menikah adalah di rumah orang tua istri (uxorilokal). Dalam kasus JS dan NS yang sama-sama pendatang, sejak setelah menikah sampai memiliki tiga orang anak, mereka tinggal tidak di keluarga istri ataupun suami, melainkan neolokal. Ini tentu merupakan konsekuensi dari status mereka sebagi pendatang. Namun setelah memiliki tiga orang anak, maka mereka mulai tinggal di rumah orang tua istri (uxorilokal) yaitu orang tua NS sampai periode tertentu sebelum kembali ke rumah mereka sendiri. Di sini terlihat bahwa di satu sisi mereka awalnya, sebagai pendatang, tinggal di rumah sendiri (neolokal) namun setelah itu mereka menjalankan suatu adat menetap setelah menikah yang uxorilokal. Dari hasil wawancara terhadap beberapa informan yang asli suku Ternate 2 , mereka mengatakan bahwa adat menetap sesudah menikah dalam kebudayaan Ternate adalah tinggal di rumah orang tua istri (uxorilokal). Adat menetap setelah menikah yang kedua ini yang secara tradisi dipraktekkan dalam masyarakat Ternate. Walaupun adat menetap setelah menikah di Maluku Utara yaitu pasangan yang baru menikah umumnya menetap beberapa saat di rumah orang tua istri, namun tidak ada ketentuan budaya yang tegas tentang jangka waktu menetap di keluarga istri ini. Ada yang lebih cepat,
Tiga orang informan yang diwawancarai adalah mahasiswa UGM yang sekaligus suku aslinya adalah suku Ternate. Bahkan dua di antaranya masih termasuk kerabat kesultanan Ternate. Sementara seorang yang lain bukan kerabat kesultanan namun dia mencontohkan dirinya sendiri yang sampai saat ini masih tinggal di rumah orang tua istri. Namun demikian, harus juga dicatat bahwa untuk masa sekarang ini pelaksanaan adat ini tidak lagi seketat masa lalu.
352
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
namun ada yang lebih lama. Setelah tinggal di rumah orang tua istri, pasangan suami istri dan dengan anak-anak mereka akan keluar dan tinggal di rumah mereka sendiri, tentu atas izin orang tua istri.
rumah sendiri maka mereka dapat keluar dari rumah orang tua istri dan tinggal di rumah mereka sendiri. Dalam kondisi dimana mereka dianggap telah mampu membangun rumah mereka sendiri maka orang tua istri akan mengijinkan mereka untuk keluar dan tinggal di rumah sendiri. Alasan lain, sebagaimana yang ditemukan Kasim, dkk (2008), adalah untuk menghindari konflik antar saudara jika terlalu banyak rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah.
Episode VI: Kembali ke Rumah Sendiri Episode ini berasal dari mitos TP, dan menggambarkan kembalinya JS dan NS bersama putra bungsu mereka, Mashur Malamo (MM) ke bumi, ke rumah mereka sendiri. Hal ini tergambar dalam ceriteme mitos PT berikut: “Selama tinggal di kayangan, Jafar Sadek dan Nur Sifa dikaruniai seorang putra yang diberi nama Mashur Malamo. Setelah putra itu berusia setahun, mereka pamit hendak kembali ke bumi”.
Episode VI: Pertemuan Kekerabatan Kembali Pertemuan kembali JS dan NS dengan anak-anak mereka di bumi membuat anggota kekerabatan keluarga batih (inti) ini menjadi lengkap. Mashur Malamo (MM) yang lahir di langit juga bertemu dan menyatu dengan ketiga kakaknya. Pertemuan ini dapat dilihat pada miteme mitos PT berikut: “Ketika Jafar Sadek dan Nur Sifa tiba di bumi, mereka bersua kembali dengan ketiga anaknya yang telah lama ditinggalkannya.” (Gambar 2) Dalam mitos Hikayat Bacan, Jafar Sadek memiliki lima anak yang terdiri dari empat orang anak laki-laki dan satu anak perempuan (anak bungsu).
Tafsir terhadap Episode V: Tidak ada data etnografi Maluku Utara tentang alasan untuk keluar dari rumah orang tua istri dan tinggal di rumah sendiri untuk fenomena ini di masa lalu, namun untuk masa kini fenomena meninggalkan rumah orang tua istri dan tinggal di rumah sendiri memiliki beberapa alasan yang sangat pragmatis. Amin dkk (2009) menemukan bahwa alasan utama adalah jika pasangan suami istri telah mampu untuk membangun = JS
NS 4
MM
S
3
D
2
1
B
Gambar 2. Kekerabatan dengan empat anak
353
Safrudin Amin
Tafsir episode VI: mitos TP menggambarkan keluarga JS sebagai suatu keluarga batih. Tampak keluarga ini memiliki empat anak (sedangkan pada mitos Hikayat Bacan, keluarga memiliki lima anak, dan salah satunyyaitu anak terakhir adalah perempuan). Pada TP terlihat idealisasi budaya tentang keluarga batih yang lengkap yaitu ayah, ibu, dan anak-anak terasa begitu jelas. Ibu sebagai perempuan yang melahirkan serta berbagai perannya terlihat cukup jelas dalam TP. Salah satu faktor yang menarik adalah seluruh episode-episode sebelumnya seolah ingin meletakan dasar-dasar landasan kekerabatan dari sistem budaya pewarisan dan juga struktur sosial politik yang akan dibahas lebih jauh pada episode berikut. Tanpa episode-episode sebelumnya, episode berikutnya tidak akan menemukan konteksnya dengan baik. Episode VII: Pemberian Dalam episode pemberian ini, keempat orang anak laki-laki diberikan beberapa benda yang menyimbolkan warisan kekuasaan politik. Hal ini terlihat dalam ceriteme mitos TP berikut: “Nur Sifa memberi tanda-tanda tertentu sebagai tempat duduk keempat anaknya. Anak pertama, Buka, diberinya sepotong buncal pohon (Ternate: age). Buka kemudian bertolak ke Makian dan menjadi cikal bakal Kerajaan Bacan. Anak kedua, Darajat, mendapat tempat duduk sepotong kayu terapung (Ternate: ginoti). Ia bertolak ke Moti dan menjadi cikal bakal kerajaan Jailolo. Anak ketiga, 354
Sahajat, memperoleh batu (Ternate: mari) sebagai tempat duduk. Ia pergi ke Tidore dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Tidore. Anak keempat, Mashur Malamo, memperoleh tempat duduk sebuah kursi dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Ternate. Kopiah pemberian kakeknya yang dibawa dari langit menjadi mahkota Kerajaan Ternate”. Tafsir terhadap Episode VII: Pemberian yang dilakukan NS (pada mitos TP) terhadap keempat anak mereka menyimbolkan suatu warisan kekuasaan politik kepada empat orang anak tersebut. Terlihat bahwa ceriteme di atas menggambarkan, pertama, adalah bahwa pemberian adalah semacam warisan kekuasaan politik kepada empat anak laki-laki. Kedua, anak terakhir mendapat warisan yang lebih istimewa (Gambar 3). Dalam budaya pemberian warisan di Ternate, anak terakhir atau anak bungsu memang sering diutamakan. Terlihat bahwa pada mitos TP anak terakhir MM mendapat bagian kursi sementara saudara-saudaranya yang lain hanya mendapat sepotong kayu, batu, dan benda lain yang kurang berarti. Analisa Struktural Pemberian
Terhadap
Tafsir Terhadap Pemberian Dalam mitos ini terkandung beberapa tema pokok yang cukup menarik untuk dianalisis secara struktural. Tema-tema pokok tersebut adalah tema tema perkawinan, adat menetap setelah menikah, tema
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri” = JS
NS
4
Kursi
3
2
1
MM
Batu
S
Kayu Terapung
D
Buncal Pohon
Sultan Ternate
B
Sult. Tidore
Sult. Jailolo
Sult. Bacan
Gambar 3. Pemberian terhadap 4orang anak
pemberian ‘warisan’, dan tema struktur sosial politik. Dua tema pertama telah ditafsir secara memadai pada tafsir episode I – VI. Tafsir terhadap episode VII yaitu episode ‘pemberian’ tampaknya masih perlu deperluas dan diperdalam karena mengandung gambaran tentang adat sistem pewarisan dan struktur sosial politik di Maluku Utara. Sebelum penafsiran terhadap episode terakhir ini diperluas lebih jauh ke ranah struktur sosial politik, kita perlu melihat suatu gejala yang konsisten berkaitan dengan tema pemberian dalam mitos ini. Ada tiga peristiwa yang bisa mewakili tema pemberian dalam mitos ini dan dapat ditafsirkan sebagai simbolisasi sistem warisan dalam budaya Ternate. Pertama, pada mitos TP, ketika anak-anak JS dan SN baru tiga, dan Sahajat sebagai anak terakhir, anak bungsu, diberi air susu oleh ibunya sebelum ibunya terbang meninggalkannya. Hal ini terlihat pada ceriteme berikut: “Pada suatu hari, ketika Nur Sifa memandikan si Bungsu Sahajat, dia melihat bayangan sayapnya yang
terpantul di air mandi Sahajat. Ia melihat ke atas dan sayapnya tersisip di atap rumahnya, tempat suaminya menyembunyikannya. Ia lalu mengambil sayapnya dan mencoba terbang sebanyak tiga kali. Tetapi setiap kali terbang, si Bungsu Sahajat selalu menangis. Ia lalu menampung air susunya pada sebuah gelas serta berpesan kepada si sulung Buka agar memberi minum adiknya bila menangis, dan agar memberitahukan ayahnya kalau pulang, bahwa ibunya telah kembali ke tempat asalnya. Setelah itu, Nur Sifa terbang tanpa mengindahkan tangisan Sahajat.” Warisan Air Susu = JS
NS
Bungsu 3 S
D
2
1 B
Peristiwa kedua, pada mitos TP, ketika anak mereka sudah empat orang, maka kakeknya, Si Penguasa Langit,
355
Safrudin Amin
memberikan sebuah kopiah yang dapat dilihat sebagai simbolisasi warisan kepada anak terakhir atau anak bungsu mereka, Mansur Malamo. Hal ini terlihat dalam ceriteme berikut: “Tetapi setiap kali akan kembali, si kecil selalu menangis. Maka penguasa langit itu berkata: “Pasti ia mau penutup kepalaku” (Ternate: kopiah). Ketika kopiah itu dikenakan di kepala si kecil, ia pun diam. Maka kembalilah keluarga itu ke bumi, dan Mashur Malamo dengan kopiah yang dibawanya dari langit, pemberian kakeknya si Penguasa Langit.” Warisan Mahkota =
Kopiah/Mahkota = JS
NS
Bungsu 4
3
2
1
MM
S
D
B
Sedangkan, peristiwa ketiga, masih pada mitos TP, adalah ketika SN memberikan pada MM (anak bungsu)
warisan kekuasaan dengan simbol yang lebih baik yaitu kursi dibanding warisan yang diperoleh oleh kakak-kakaknya. (Gambar 4) Fenomena Anak Bungsu. Dalam kajian terhadap mitos ini, tema pemberian dapat ditafsirkan sebagai reprsentasi budaya lokal dalam hal pemberian warisan. Pemberian pertama yaitu air susu terhadap si bungsu Sahajat (ketika anak masih tiga orang), pemberian kedua dari seorang kakek kepada si bungsu Mashur Malamo, dan pemberian ketiga kepada semua anak namun anak bungsu mendapat bagian yang lebih baik, semua ini menyimbolkan adat warisan dalam masyarakat Ternate. Dalam kebudayaan Ternate, dalam hal pemberian warisan, anak bungsu selalu mendapat perhatian lebih. Namun pada kedua mitos, TP dan HB, tampak tidak ada pemberian kepada anak perempuan. Warisan Anak Bungsu atau anak perempuan?. Dalam upaya mendalami lebih jauh terhadap sistem warisan ini, perlu diperhatikan bahwa dalam kebudayaan Ternate seorang anak perempuan tidak diberi warisan3 Seorang
= JS
NS
4
Kursi
3
2
MM
Batu
S
Kayu Terapung
D
Buncal Pohon
B
Sultan Ternate
Sult. Tidore
Sult. Jailolo
Gambar 4. Warisan kekuasaan
356
1
Sult. Bacan
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
anak perempuan diasumsikan akan mendapatkan harta ‘warisan’ dari warisan yang diperoleh suami mereka. Untuk memahami pernyataan di atas maka sangat perlu pembaca menengok mitos Hikayat Bacan yang menggambarkan JS memiliki lima orang anak (anak kelima adalah perempuan). Pada hikayat ini anak pertama sampai keempat mendapatkan warisan kekuasaan kerajaan seperti dalam mitos TP, namun anak perempuan tidak mendapat warisan dan kemudian pergi menetap di Banggai, Sulawesi Tengah4. Peristiwa pemberian yang mensimbolisasikan warisan terhadap anak terjadi pada beberapa miteme/ ceriteme dalam mitos tersebut. Pada mitos TP, terkandung ceriteme pemberian air susu kepada Sahajat, si anak bungsu, ketika anak JS dan NS masih tiga orang. Ketika anak mereka sudah empat orang, terjadi pemberian ‘warisan’ kekuasaan kepada kempat anak (laki-laki) tersebut, dan anak terakhir mendapat warisan yang lebih istimewa dibanding yang diterima ketiga kakaknya. Sedangkan pada mitos yang sama, TP, peristiwa pemberian dari Si Penguasa
Langit, ayah NS, justru tidak kepada NS – perempuan - yang merupakan anak kandungnya, melainkan kepada cucu lakilakinya Peristiwa pemberian ini, yang dipandang sebagai simbol warisan, jelas menggambarkan kebudayaan Ternate bahwa wanita tidak mendapatkan warisan sedangkan laki-laki berhak mendapatkan warisan 5. Si Penguasa langit, yang tidak punya anak laki-laki, memberikan warisan bukan kepada anaknya (perempuan) melainkan kepada cucunya yang laki-laki Karena pentingnya unsur pemberian warisan ini maka izinkan saya untuk menampilkan mitos Hikayat Bacan (HB) pada bagian ini. Mitos HB di sini ditampilkan bukan untuk dianalisis melainkan untuk membantu dalam menafsir beberapa miteme/ceriteme pada mitos Tujuh Putri (TP). Dengan demikian kajian utama tentap pada mitos TP. Di sini mitos digunaka untuk membantu menafsir mitos lainnya. Hikayat Bacan (HB) “Di zaman dahulu kala, ternate, tidore, moti dan makian semuanya
3
Pada masa sekarang di Maluku Utara, budaya pemberian warisan ini sudah banyak berubah. Anak-anak perempuan juga sudah mendapatkan warisan dari orang tua atau kakek dan nenek mereka. 4 Masyarakat Banggai Kepulauan dan masyarakat Ternate (Maluku Utara) masih merasa ada hubungan kekerabatan antara keduanya. Salah satunya dengan landasan itu, tahun 2008 dan 2009, Banggai Kepulauan bahkan mengajukan tuntutan politis dan permintaan untuk pindah ke Propinsi Maluku Utara. Lihat misalnya laporan media massa di site-site berikut: Tempo interaktif, 22 Juni 2008, http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=BVUFBAVTV1cB Kompas, 11 Juli 2008, http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/11/02070755/haruskah.dituntaskan.dengan.pemekaran Radar Sulteng, 7 Desember 2009, http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=60770 5 Hal ini sejalan dengan isi mitos Hikayat Bacan dimana anak perempuan tidak diberi warisan, dan hanya ke empat kakak laki-lakinya saja yang diberi warisan.
357
Safrudin Amin
bernama gapi. Disemenanjung ini terdapat banyak negeri yang dikepalai masing-masing kepalanya dengan kekuasaannya sendiri-sendiri. Kepala tiap-tiap negeri itu bergelar Ambasoya. Maka terdapatlah Ambasoya seperti kasiruta, sungebodol, indapoat, lata-lata, supae dan samboki, topa atau ombi, sungai, ra, amasing, salap dan samboki. Ambasoya adalah bahasa Bacan yang bermakna Ngofamanyira atau Datu, yang berarti Kimalaha atau Sangaji. Sahdan, tiba di tanah Gapi seorang dari tanah Arab, yang bernama Noh Ibnu Jafar sadek, ia memperoleh Lima anak, empat anak Laki-laki dan seorang perempuan, di atas bukit tanah gapi. Ketika anak-anak itu sudah besar, bapaknya berkata kepada mereka: “Aku berdoa memohon kepada allah SWT supaya kalian dijadikan Raja Moloku di tanah yang berlainan-lainan”. Maka Jafar Sadek pun berdoa sesuai perkataan itu. Tiba-tiba gelap gulita, guntur dan kilat, angin ribut serta hujan lebat semalaman suntuk hingga terbit fajar di pagi hari. Ketika pagi tiba, semenanjung dari ternate sampai bacan sudah terputus-putus dan berselang seling menjadi pulau Ternate, Tidore, Moti dan Makian. Maka tiap-tiap anak dari keempat anak laki-laki itu diberi tempat. Anak pertama, bernama Said Muhammad Bakir atau Said Husain di atas gunung makian dan bergelar Maharaja yang bertahta kerajaan Moloku astana Bacan, Negeri komolo besi limau dolik. Anak kedua menjadi Moloku Jailolo, anak ketiga menjadi moloku Tidore dan anak keempat menjadi moloku Ternate dan 358
yang kelima anak perempuan, pergi ke tanah Gapi di Banggai dan bermukim di sana”. Jelas terbaca bahwa warisan atas isi mitos TP juga diperkuat oleh mitos Hikayat Bacan (HB) di atas. Pada peristiwa pemberian atau pembagian warisan kekuasaan pada mitos HB secara jelas menggambarkan bahwa anak perempuan tidak mendapatkan warisan. Untuk lebih jelas, kita perlu kutip kembali ceriteme dari HB yang menggambarkan hal itu. Ceriteme tersebut berbunyi: “Maka tiap-tiap anak dari keempat anak laki-laki itu diberi tempat. Anak pertama, bernama Said Muhammad Bakir atau Said Husain di atas gunung makian dan bergelar Maharaja yang bertahta kerajaan Moloku astana Bacan, Negeri komolo besi limau dolik [sultan Bacan]. Anak kedua menjadi Moloku Jailolo [sultan Jailolo], anak ketiga menjadi moloku Tidore [sultan Tidore] dan anak keempat menjadi moloku Ternate [sultan Ternate] dan yang kelima anak perempuan, pergi ke tanah Gapi di Banggai dan bermukim disana”. Khusus berkenaan dengan warisan pada mitos HB, ceriteme tersebut menunjukan dua hal yang sangat penting. Pertama, walaupun JS memiliki lima orang anak, namun dalam pembagian warisan hanya anak-anak laki-laki saja yang mendapatkan warisan. Kedua, walaupun dalam realitas sosiobudaya maupun dalam mitos, posisi anak bungsu begitu penting dan selalu mendapat warisan yang istimewa, namun keistimewaan ini tidak berlaku untuk anak bungsu yang perempuan. Artinya,
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
dalam budaya Ternate ranking prioritas dalam hal warisan selalu pada anak terakhir (bungsu) namun yang lebih prioritas adalah kategori gender. Dalam wawancara terhadap bapak Subhan Tomaito, seorang yang berasal dari suku Ternate dan sekaligus berasal dari salah satu klan utama dalam kesultanan Ternate 1, dia mengatakan dalam kebudayaan Ternate, “walaupun anak bungsu diprioritaskan dalam pemberian warisan, namun jika anak bungsu tersebut adalah seorang wanita maka dia tidak diberi warisan. Dan, yang mendapat prioritas adalah anak laki-laki sebelum anak perempuan tersebut [kakak laki-laki perempuan tersebut]” (Wawancara, bulan Desember 2009). Gambaran di atas menunjukan bahwa yang mendapat hak istimewa dalam sistem warisan adalah anak-anak laki-laki, dan yang paling istimewa adalah anak bungsu yang laki-laki. Seorang perempuan, walaupun dia bungsu, dia tidak mendapatkan warisan. Yang mendapat hak istimewa justru kakak lakilaki dari anak bungsu yang perempuan tersebut. Analisa Struktur Sosial Politik Tafsir Terhadap Struktur Pembagian Empat Akhir dari kedua mitos di atas, TP dan HB, yang menggambarkan adanya pembagian wilayah kekuasaan ke anakanak JS dan SN kedalam 4 wilayah,
ternyata sejalan dengan realitas sosial politik yang ada di Maluku Utara. Realitas struktur sosial politik dapat dipandang sebagai transfomasi dari struktur pembagian empat yang begitu jelas dan sangat kuat dalam mitos TP dan mitos HB. Struktur Empat: Keturunan Pada mitos TP, JS dan SN memiliki 4 orang anak yang kemudian mewarisi empat, kesultanan di Maluku Utara. Pada mitos HB, walaupun JS memiliki 5 orang anak, namun anak kelima tidak signifikan dalam struktur mitos tersebut (tidak mendapat bagian warisan, tidak menempati suatu daerah kekuasaan, dan harus pergi jauh meninggalkan Ternate). Dengan kata lain, mitos HB juga menegaskan dan memperkuat suatu struktur pembagian empat. Berikut akan ditunjukan struktur pembagian empat mitos TP dan transformasinya dalam struktur kebudayaan masyarakat Ternate (Gambar 5). Dalam struktur pembagian empat di atas, Mashur Malamo (MM) sebagai anak keempat (bungsu) yang secara budaya selalu mendapat perhatian istimewa dari kerabat, juga mendapat perlakuan istimewa karena tampaknya dia sebagai anak langit. Kakenya, si penguasa langit, memberinya kopiah sebagai warisan yang kemudian menjadi mahkota kesultanan Ternate (lihat gambar warisan mahkota pada bahasan sebelumnya). Sementara itu, perlakuan
6
Dalam Kesultanan Ternate, secara umum dikenal ada empat klan utama yang menjadi klan yang dekat dengan sistem kesultanan. Empat klan tersebut adalah Marsaoli, Tomagola, Tomaito, dan Tomaidi. Ketika membuat tugas makalah ini, saya mewawancarai salah seorang dari klan Tomaito yang kebetulan sedang studi di UGM.
359
Safrudin Amin
Mashur Malamo Anak Langit Sahajat Anak Bumi
Buka
Darajat
Gambar 5. Struktur Pembagian Empat Vertikal I: Keturunan (4 orang anak) (dilihat dari samping)
khusus dari orang tua dapat dilihat pada struktur pembagian empat berikut ini.
struktur empat warisan ini akan terlihat pada struktur empat kekuasaan politik.
Struktur Empat: Warisan Simbolik Pada gambar berikut terlihat bahwa struktur pembagian empat di atas mengalami transformasi dari kedalam struktur pembagian empat dalam konteks pembagian warisan yang bersifat simbolik yaitu dalam bentuk benda-benda (Gambar 6).
Struktur Empat: Kekuasaan Politik Struktur pembagian empat yang kedua di atas yaitu pemberian warisan benda-benda berupa kayu terapung, buncal pohon, batu, dan kursi, ternyata secara sangat gamblang dalam mitos TP digambarkan mengandung arti kekuasaan politik. Dalam konteks ini, dapat ditafsirkan sebagai transformasi lanjutan dari struktur pembagian empat sebelumnya. Bentuk transformasinya dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 7).
Struktur Pembagian Empat Vertikal II: Warisan Simbolik Tampak bahwa anak langit (anak yang lahir di kayangan) sekaligus anak laki yang bungsu mendapat warisan istimewa berupa kursi. Kursi, secara hermeneutik, dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan. sementara saudaranya yang lain hanya mendapat benda-benda yang kurang istimewa. Transformasi dari
Struktur Empat: Komunitas Awal Ternate Di samping struktur pembagian empat yang bersiifat vertikal dimana MM, kursi, dan kesultanan Ternate berada di puncak sementara ketiga
MM (Kursi) S (mari/batu) B D (Age/buncal poho) (Ginoti/Kayu Terapung)
Gambar 6. Struktur Pembagian Empat Vertikal II: Warisan Simbolik (Dilihat dari samping)
360
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
MM (Ternate) S (Tidore) B D (Bacan) (Jailolo)
Gambar 7. Struktur Pembagian Empat Vertikal III: Kesultanan (Kekuasaan Politik) (Dilihat dari samping)
lainnya berada di bawah, terdapat juga struktur pembagian empat yang lebvih bersifat horisontal. Hal ini terlihat pada cerita ‘sejarah’ kesultanan Ternate. Dipercaya bahwa jauh sebelum terbentuknya sistem kolano/kerajaan (fase antara sistem momole dan sistem kesultanan) dan kesultanan, di masa paling awal, wilayah Ternate terdiri dari empat komunitas yang masing-masing dipimpin oleh momole. Zaman momole ini sering juga disebut zaman jin. Kepercayaan tentang adanya masa momole ini walaupun lebih bersifat ceritera rakyat, namun seringkali diperlakukan sebagai bagian dari sejarah awal Ternate. Empat momole tersebut meliputi Momole Tobona, Momole Toboleu, Momole Furamadiahi, dan Momole Tabanga7. Keempat momole ini dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 8).
Keempat momole ini kemudian bersepakat mengangkat satu kepemimpinan di antara mereka yang disebut kolano. Raja (dalam bahasa lokal disebut kolano) pertama adalah Baab Mashur Malamo (1257-1272). Dengan kepemimpinan yang kuat dari beberapa generasi pemerintahan, Ternate kemudian berkembang dari sebuah kerajaan pantai yang kecil yang kekuasaannya hanya meliputi sebuah pulau kecil menjadi suatu kerajaan yang cukup berpengaruh, kuat, dan mampu memperluas wilayah kekuasaannya sehingga menjadi salah satu kerajaan terbesar di Indonesia timur. Sejak abad ke-15, terutama karena pengaruh Islam yang telah dimulai sejak abad ke-12 di wilayah ini, struktur kerajaan Ternate berubah lagi dari kolano menjadi sistem kesultanan. Sultan pertama yang menganut Islam adalah Sultan Zainal Abidin. Dengan perubahan ini maka
Tobona
Toboleu
Furamadiahi
Tabanga
Gambar 8. Struktur Pembagian Empat Horisontal I: Komunitas Awal Ternate (dilihat dari atas) 7 Nama-nama dari empat momole tersebut, saat ini secara faktual ada dan menjadi nama-nama dari empat desa/kelurahan di pulau Ternate. Dengan demikian, sekarang ini ada kelurahan Tobona, Toboleu, Furamadiahi, dan Tabanga.
361
Safrudin Amin
kerajaan Ternate telah mengalami tiga tahap perubahan yaitu dari sistem kekuasaan momole, ke kolano (kerajaan), kemudian menjadi kesultanan. Struktur Empat: Kesatuan Geopolitik Walaupun realitas politik di Maluku Utara sejak zaman lampau, dan untuk beberapa aspek sampai saat ini, seringkali diwarnai oleh persaingan antara keempat kesultanan utama yaitu Ternate, Tidore, dan Jailolo, namun dalam alam tidak sadar atau struktur mental masyarakat dan penguasa dari empat kekuatan politik tersebut selalu ada suatu ikatan. Ikatanikatan itu, menariknya, seringkali mengandung struktur pembagian empat (4) dan sekaligus tampaknya sebagai transformasi dari bentuk-bentuk struktural pembagian empat lainnya. Di atas kita sudah melihat adanya struktur pembagian empat yang tidak terpisahkan karena adanya ikatan persaudaraan (darah) dan lainnya, maka berikut akan kita lihat struktur pembagian empat yang memperlakukan empat kesultanan sebagai suatu kesatuan geopolitik di Maluku. Kesatuan geopolitik tersebut sering disebut sebagai suatu kesatuan Moloku Kie Raha atau Empat Gunung Maluku (Moloku = Maluku; Kie = gunung/pulau; Raha = empat). Di sini, setiap gunung atau pulau dipersatukan secara horisontal, dan tidak
ada makna bahwa yang satu lebih utama atau lebih tinggi tingkatan dibanding lainnya. Keempat gunung yang dipersatukan dalam ungkapan tersebut adalah gunung Ternate, gunung Tidore, gunung Makian, dan gunung Moti. (Gambar 9) Untuk lebih memperjelas struktur kesatuan geopolitik ini, ada baiknya kita menengok lagi kembali ceriteme TP episode terakhir, berikut ini “Nur Sifa memberi tanda-tanda tertentu sebagai tempat duduk keempat anaknya. Anak pertama, Buka, diberinya sepotong buncal pohon (ternate: age). Buka kemudian bertolak ke Makian dan menjadi cikal bakal Kerajaan Bacan. Anak kedua, Darajat, mendapat tempat duduk sepotong kayu terapung (ternate: ginoti). Ia bertolak ke Moti dan menjadi cikal bakal kerajaan Jailolo. Anak ketika, Sahajat, memperoleh batu (ternate: mari) sebagai tempat duduk. Ia pergi ke Tidore dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Tidore. Anak keempat, Mashur Malamo, memperoleh tempat duduk sebuah kursi dan menjadi cikalbakal Kerajaan Ternate.”(miring dari saya). Ceriteme di atas jelas menyebut wilayah-wilayah yang sesungguhnya adalah gunung-gunung dan transformasinya menjadi kerajaan-kerajaan. Gunung Makian menjadi kerajaan Bacan, gunung
G.Ternate
G.Tidore
G. Makian
G. Moti
Gambar 9. Struktur Pembagian Empat Horisontal II: Kesatuan Geopolitik Moloku Kie Raha (dilihat dari atas)
362
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
Moti menjadi kerajaan Jailolo, gunung Tidore menjadi kerajaan Tidore, dan gunung Ternate menjadi kerajaan Ternate. Sebutan atau ungkapan ini selalu menjadi semacam ideologi pemersatu dan penunjuk identitas bahkan hingga sekarang. Ungkapan Moloku Kie Raha sering menghiasi diskusi atau seminar budaya atau sejarah di Maluku Utara, menghiasi spanduk, tugu, lagu daerah8, atau gerbang masuk suatu gang, dan lainnya. Bahkan ketika UU 46/1999, 4 Oktober 1999 membolehkan Maluku bagian utara untuk menjadi propinsi sendiri lepas dari Ambon, nama propinsi Maluku Kie Raha sempat diajukan sebagai nama untuk propinsi baru ini namun tidak diakomodir oleh pemerintah pusat. Usulan nama ini terutama berasal dari kalangan kesultanan di Maluku Utara (van Klinken, 2007: 188). Struktur Empat: Klan Utama Selain struktur pembagian empat di atas, terdapat pula transformasi struktur pembagian empat pada aspek-aspek pemerintahan, khususnya dalam struktur pemerintahan kesultanan Ternate. Struktur empat ini dapat dilihat pada empat klan utama yang sering menduduki jabatan-jabatan tinggi di kesultanan, yaitu
klan Tomaito, Tomaidi, Marsaoli, dan Tomagola. Dalam struktur kerajaan Ternate, empat klan ini disebut fala raha atau empat rumah (fala = rumah; raha = empat) (Gambar 10). Di bawah sultan sebagai pemimpin tertinggi terdapat jogugu sebagai perdana menteri, dan fala raha sebagai penasihat sekaligus sebagai klan utama dalam mengisi posisi penting dalam kesultanan. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bahkan, bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya bisa dipilih dari salah satu klan. Struktur Empat: Lembaga Pemerintahan Selain struktur empat dari klan utama itu, terdapat pula suatu lembaga kesultanan yaitu Gam Raha (gam = kampung, raha = empat) yang bertugas mengesahkan sultan (yang menurut tradisi sultan ditunjuk dari anak laki-laki sultan). Gam Raha sebagai suatu lembaga dalam pemerintahan kesultanan memiliki empat komponen utama yaitu soa sio, sangaji, wakil heku, dan wakil cim (Gambar 11) Soa sio (soa = kampung/wilayah, sio = sembilan) atau soa sembilan. Soa sio sebagai suatu sub-lembaga memiliki
Tomaito
Tomaidi
Marsaoli
Tomagola
Gambar 10. Struktur Pembagian Empat Horisontal III: Empat Klan Utama (dilihat dari atas) 8
Salah satu lagu daerah dengan bahasa Ternate yang sangat populer memiliki sair antara lain “Maluku kie raha…marimoi ngone futuru” (artinya: Maluku empat gunung/kekuatan…mari bersatu kita menjadi kuat).
363
Safrudin Amin
Soa Sio
Heku
Sangaji
Cim
Gambar 11. Struktur Pembagian Empat Horisontal IV: Lembaga Gam Raha (dilihat dari atas)
9 unsur, yaitu 5 kimalaha (kepala distrik) dan 4 fanyira (kepala desa/wilayah). Soa sio yang terdiri dari kimalaha dan fanyira tersebut adalah lembaga pemerintahan yang bertugas mengurus wilayah dalam negeri, sedangkan untuk mengurus pemerintahan daerah-daerah taklukan di luar wilayah tradisionalnya terdapat sangaji. Sementara itu, heku dan cim menunjuk pada komunitas di bawah kekuasaan kesultanan. Heku menunjuk pada komunitas masyarakat Ternate yang mencakup wilayah dari keraton kesultanan ke arah utara pulau Ternate, terus mengelilingi gunung Gamalama sampai memasuki wilayah selatan pulau Ternate yaitu sekitar kelurahan Ngade. Komunitas Heku juga termasuk masyarakat pulau Hiri (pulau di depan pulau Ternate) dan juga komunitas Jailolo. Sampai saat ini wilayah komunitas heku ini dipandang sebagai wilayah yang komunitasnya merupakan pendukung tradisional kesultanan, sangat loyal pada kesultanan dalam berbagai aspek, termasuk dalam dukungan politik maupun peristiwa konflik dan kerusuhan9. 9
Selain heku, terdapat komunitas cim, yaitu komunitas mulai dari batas keraton kesultanan ke arah selatan pulau Ternate sampai kelurahan Kalumata. Wilayah ini umumnya ditempati oleh pendatang dari berbagai suku bangsa. Wilayah ini juga, di masa kolonial, merupakan wilayah yang menjadi pusat aktivitas, perkantoran, dan benteng, serta tanahtanah milik kolonial, terutama Belanda. Saat ini penduduk yang tinggal wilayah cim ini tidak terlalu loyal pada kesultanan dibanding penduduk wilayah heku. Hal ini mungkin disebabkan oleh seolah adanya pemisahan antara wilayah kesultanan dan wilayah yang dikuasai penuh oleh kolonial di masa lalu, juga karena wilayah ini sekarang menjadi wilayah pusat aktivitas ekonomi dan perkantoran di mana banyak pendatang, yang tidak memiliki ikatan tradisional dengan kesultanan, telah mendiami wilayah ini. Terlihat bahwa dalam lembaga gam raha, dua unsur utama pemerintahan kesultanan yaitu Soa sio dan Sangaji dipersatukan dengan dua unsur wakil rakyat yaitu Heku dan Cim, dan
Wilayah heku di atas merupakan basis pendukung kesultanan. Sejauh ini, mereka umumnya terlibat aktif dalam konflik politik yang melibatkan kepentingan kesultanan. Mereka juga terutama menjadi pendukung pasukan kuning ketika konflik kuning – putih. Mereka juga tumpah ruah ke jalan-jalan memprotes dan mengepung KPUD, bentrok dengan aparat keamanan, dan bahkan menyebabkan kerusakan. Misalnya pada peristiwa gagalnya sultan masuknya dalam bursa calon gubernur. Komunitas ini biasanya juga didukung oleh pendukung tadisional kesultanan dari Ibu, Kao, dan beberapa wilayah lain.
364
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
penyatuan ini membentuk suatu lembaga pemerintahan yang memiliki struktur dengan empat unsur tersebut.
Relevansi Mitos Pada Situasi Kontemporer Realitas menunjukan bahwa secara tradisional keempat kerajaan ini memang mengaku bersaudara dan dalam berbagai peristiwa mereka mampu menunjukan persaudaraan tersebut, baik dalam upacara, penyelesaian konflik, maupun dalam realitas sosial budaya dan politik secara umum. Hal ini menunjukan bahwa mitos, suatu realitas mental, sampai tataran tertentu masih sangat relevan dengan realitas sosial budaya. Ada beberapa contoh kasus yang bisa dijadikan acuan bagaimana mitos di atas masih relevan secara sosiobudaya dan politis dengan situasi masa kini. Pertama, ada fakta pembangian kekuasaan di empat wilayah seperti yang disebutkan dalam mitos. Di Maluku Utara terdapat empat kerajaan yang menguasai wilayah Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Saat ini, kesultanan Bacan ada di pulau Bacan, Kesultanan Jailolo ada di Jailolo, Kesultanan Tidore ada di pulau Tidore, dan kesultanan Ternate ada di pulau Ternate. Jika dibagi berdasarkan pembagian wilayah administratif saat ini, Kesultanan Bacan yang dipercaya didirikan oleh anak
pertama dari empat bersaudara tersebut mempunyai wilayah kekuasaan di Halmahera Selatan. Kesultanan Jailolo, yang dipercaya didirikan oleh anak kedua menguasai wilayah Halmahera Barat. Kesultanan Tidore yang didirikan oleh anak ketiga menguasai kepulauan Tidore. Bahkan sebelum pemekaran wilayah, Kota Madya Tidore meliputi seluruh wilayah kekuasaan tradisionalnya (seperti pada masa kesultanan) yaitu Tidore kepulauan, Halmahera Tengah, dan Halmahera Timur10. Terakhir, Kesultanan Ternate yang diwariskan kepada anak terakhir, berada di Pulau Ternate (Kota Madya Ternate) 11. Kedua, penghidupan kembali beberapa kesultanan yang lama tidak terdengar lagi keberadaannya. Sultan Tidore, Sultan Bacan, dan Sultan Jailolo adalah sultan-sultan yang baru muncul kembali pada saat setelah adanya isu otonomi daerah setelah gerakan reformasi. Kehadiran mereka sebagian karena disponsori oleh kesultanan Ternate. Bagi mereka, gambaran keutuhan Maluku Utara sebagai suatu geo-politik tersendiri harus meliputi empat kesultanan bersaudara (sebagaimana yang diceritakan dalam mitos). Hal yang lebih unik, dimana mitos menjadi model for bagi realitas adalah kasus pemilihan sultan Jailolo. Jika Sultan Tidore dan Bacan dipilih/ditunjuk
10
Saat ini Halmahera Tengah dan Halmahera Timur masing-masing telah menjadi kabupaten sendiri berdasarkan keputusan pemekaran wilayah Maluku Utara. 11 Kekuasaan tradisional Kesultanan Ternate lebih luas dari ketiga kesultanan lain berkat ekpansiekpansinya di masa lalu. Saat ini kesultanan Ternate secara de facto hanya memiliki pengaruh tradisionalnya di beberapa wilayah saja yang secara tradisional menjadi pendukung kuat kesultanan Ternate.
365
Safrudin Amin
berdasarkan suatu rantai garis keturunan yang masih dapat ditelusuri secara jelas, maka sultan Jailolo yang sultannya dan kesultanannya telah “tidak ada” atau menghilang (dipercaya menghilang secara gaib) ratusan tahun dan karena itu keturunannya juga tidak terlacak, justru ditunjuk lewat suatu ritual mitis yang dilakukan oleh Sultan Ternate, Mudafar Syah, serta lewat beberapa petunjuk yang bersifat mitis yang diyakini oleh para tokoh adat sebagai pertanda tepatnya penunjukan tersebut. Geneologi keturunannya diperoleh lewat cara mitis itu. Ketiga adalah bahwa secara tradisional keempat kerajaan ini memang mengaku bersaudara dan dalam berbagai peristiwa mereka mampu menunjukan persaudaraan tersebut, baik dalam upacara, penyelesaian konflik, maupun dalam realitas sosial budaya secara umum, termasuk dalam dunia politik. Di kesultanan Ternate dan Tidore setiap tahun dilakukan upacara legu gam (pesta rakyat) mulai 18 April – 3 Mei yang diisi dengan berbagai kegiatan budaya yang khas12. Dalam acara legu gam ini, khusus di Ternate, juga dirangkaikan dengan hari ulang tahun Sultan Ternate, Mudafar Syah. Selain diisi dengan kegiatan budaya, juga juga melibatkan pameran berbagai produk dari kalangan bisnis (swasta), kegiatan jual beli, mendatangkan artis dari Jakarta, permainan anak-anak dan lainnya.
Kegiatan ini sepenuhnya dikelola oleh pihak Kesultanan Ternate. Hal yang menarik dari kegiatan ini, dalam konteks bahasan kita, adalah pada acara Legu Gam di Ternate misalnya, wakil keempat kesultanan yang dipandang bersaudara tadi juga hadir dan meramaikan acara itu. Di sini, lagi-lagi pandangan yang tercermin dalam mitos bahwa mereka bersaudara di atas diwujudkan dalam kenyataan praktek sosial budaya. Keempat adalah kasus penyelesaian konflik. Ketika terjadi konflik horisontal antar pendukung sultan Ternate atau pasukan kuning (yang dianggap berpihak pada kelompok kristen) dengan gabungan masyarakat Tidore dan Makian (laskar Jihad lokal) yang disebut pasukan putih, dimana pada saat itu pasukan Ternate sudah sangat Terdesak dan keraton terancam dihancurkan (dibakar) oleh pasukan putih, maka Sultan Tidore datang dan mengamankan situasi. Seluruh pasukan menyaksikan kehadiran sultan Tidore, mendengarkan seruannya untuk menghentikan pertempuran, dan melihat sultan Tidore memeluk sultan Ternate. Situasi berubah haru, seolah sebuah ritual reuni kakak dan adik sedang berlangsung dan semuanya berakhir dengan tenang, sekalipun sebelum kedatangan sultan Tidore korban-korban terbunuh sudah cukup banyak. Semua menyakini, baik kalangan kesultanan, para pasukan kedua belah pihak, dan masyarakat umum
12 Legu Gam ini adalah suatu acara tahunan yang dapat dikatakan dimunculkan kembali sejak 7 tahun lalu oleh pihak kesultanan Ternate dengan berbagai tambahan dan modifikasi. Tahun 2009 kemarin adalah tahun ke tujuh acara
366
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
bahwa sultan-sultan di keempat wilayah ini benar-benar berasal dari keturunan saudara kandung sebagaimana yang diceritrakan dalam mitos tadi. Dalam perjalanan sejarah, berbagai konflik antar kerajaan yang secara geneologis kakak beradik ini lebih disebabkan oleh kekuatan dari luar dibanding dinamika internal sendiri.13 Kesimpulan ini cukup kuat oleh berbagai bukti sejarah tentang politik ekonomi kolonial, dan juga sejak kekuatan kolonialisme meninggalkan daerah ini, konflik-konflik ini jarang sekali terjadi. Kecuali pada konflik terakhir di Maluku Utara tahun 2000 yang melibatkan kekuatan orang-orang Tidore (pasukan putih) melawan kekuatan orang-orang Ternate pendukung Sultan (pasukan kuning) (Yanuarti dkk, 2004). Kelima, hubungan Ternate dengan Banggai Kepulauan (Bangkep) Sulawesi Tengah. Baik orang Ternate, terutama dari kalangan kesultanan Ternate, dan orang-orang di Banggai Kepulauan (Bangkep) merasa memiliki hubugan historis tertentu. Dalam Hikayat Bacan (HB) diceritakan bahwa anak bungsi dari JS, seorang perempuan, yang tidak mendapatkan warisan kekuasaan, pergi ke Banggai dan bermukim di sana. Miteme yang menceritakan itu dapat ditampilkan kembali di sini: “...dan [anak] yang kelima anak perempuan, pergi ke tanah Gapi di Banggai dan bermukim disana”.
Walaupun mitos HB tidak dijadikan fokus analisa dalam makalah ini namun untuk menunjukan relevansi mitos pada situasi kontemporer, saya kira, mitos ini harus juga dianalisa. Dalam kenyataannya hubungan antara Bangkep dengan Ternate masih cukup erat. Ambil salah satu contoh kasus paling mutakhir, yaitu keinginan masyarakat Banggai Kepulauan untuk bergabung dengan Propinsi Maluku Utara. Untuk kasus ini saya perlu mengutip beberapa laporan media massa berikut. Tempo interaktif, pada tanggal 22 Juni 2008 melaporkan: “Sedikitnya dua ribu warga di Banggai Kepulauan atau Bangkep, Minggu (22/6), tumpah ruah di lapangan Beringin, kota Banggai. Mereka mendeklarasikan penggabungan diri dengan wilayah Maluku Utara dan menyatakan memisahkan diri dari Sulawesi Tengah. Mereka menilai selama ini Provinsi Sulawesi Tengah idak pernah peduli terhadap rakyat Banggai”. Selanjutnya, “Selain membacakan deklarasi penggabungan diri dengan Maluku Utara, warga mengusung sebuah spanduk putih sepanjang 100 meter untuk tanda tangan sebagai wujud dukungan warga. Tak hanya itu, warga mulai mengumpulkan foto kopi KTP dan tanda tangan di sebuah kertas pernyataan yang menyatakan kerelaan bergabung dengan Maluku Utara”.
13 Dalam perjalanan sejarah di masa lampau, keempat kerajaan atau kesultanan ini seringkali terlibat pertikaian politik dan ekonomi. Sebagian besar konflik tersebut terjadi karena kehadiran kekuasaan kolonial Eropa yang ikut memicu dan memperparah pertikaian. Pertikaian yang paling sengit adalah antara kesultanan Ternate dan Tidore. Walaupun demikian, generasi Maluku Utara sampai saat ini menganggap pertikaian itu sebagai pertikaian antar saudara.
367
Safrudin Amin
Yang menarik adalah para tokoh adat Banggai Kepulauan memandang keinginan mereka bergabung dengan Ternate atau Maluku Utara memiliki landasan historis yang kuat. Tempo Interaktif, selanjutnya melaporkan: “Tokoh pemuda Bangkep, Rizal Arwi, di hadapan ribuan warga mengatakan penggabungan diri Banggai ke Maluku Utara bukan tanpa alasan. Secara historis, katanya, antara kerajaan Bangai dan kerajaan Ternate memiliki hubungan kekerabatan yang tidak bisa dinafikan hingga saat ini. Alasan itulah yang memperkuat dorongan masyarakat Banggai bergabung dengan Maluku Utara”. http://www.infoanda.com/ linksfollow.php?lh=BVUFBAVTV1cB Selain itu, Kompas tanggal 11 Juli 2008, melaporkan: “Anggap saja kami pernah menyerahkan wilayah adat Banggai ke Sulawesi Tengah dan sekarang kami meminta kembali wilayah adat itu untuk kami serahkan kembali ke Maluku Utara,” ujar Ahmad Buluan. Selain itu Kompas juga menulis, “Hamzen B Kuat, salah seorang tokoh adat yang juga getol memperjuangkan pemekaran Banggai Kepulauan dari Banggai sejak tahun 1993, mengamini hal ini. Menurut Hamzen, sejarah Banggai dan Ternate di Maluku Utara tak bisa dipisahkan karena keduanya pernah punya hubungan sangat erat saat Kerajaan Banggai menjadi bagian dari Kesultanan Ternate”. http://cetak.kompas.com/read/xml/ 2 0 0 8 / 0 7 / 11 / 0 2 0 7 0 7 5 5 / h a r u s k a h . dituntaskan.dengan.pemekaran 368
Hal yang sama dapat dilihat pada laporan media lokal di Sulawesi Tengah. Koran Radar Sulteng, tanggal 7 Desember 2009, melaporkan: “Rencana Pemerintah Provinsi Sulteng mengunjungi Pulau Sonit untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah antara Pemprov Sulteng dan Pemprov Maluku Utara (Malut), dinilai sia-sia belaka. Tokoh masyarakat Banggai sekaligus Ketua Lembaga Adat Banggai Hamsen B Kuat mengatakan, keinginan warga Banggai bergabung ke Malut sudah final. Jika Banggai telah berhasil bergabung ke Malut, hal tersebut dipastikan akan diikuti pulau-pulau di sekitarnya. Dengan demikian, wilayah Banggai Kepulauan (Bangkep) kian menyempit. Dia melanjutkan, “Hamsen B Kuat juga menuturkan, pihaknya telah menerima surat dari Kesultanan Ternate No.126/MKR-KT/XII/2009 tertanggal 1 Desember 2009. Dalam surat tersebut Sultan Ternate menyatakan akan membentuk delegasi yang bergabung dengan Gubernur Malut maupun Pemda Kabupaten Sula”. http://www.radar sulteng.com/berita/index.asp?Berita= Utama&id=60770 Laporan media tentang peristiwaperistiwa politik yang mengandung keinginan masyarakat Bangkep untuk menjadi bagian dari Ternate, seperti masa lalu, dan respon pihak Ternate, terutama pihak kesultanan, menunjukan bahwa mitos tentang anak bungsu JS, seorang perempuan, yang pergi dan menetap di Banggai mendapat ruang transfomasi kedalam ranah politik saat ini. Dari gambaran kelima kasus kontemporer di atas, yang berlangsung
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
seolah mengikuti pola-pola ceritera dalam mitos menunjukan bahwa bahwa mitos tidak sekedar cerita masa lalu. Mitos ternyata memiliki relevansi yang begitu kuat pada situasi masa kini, dan dengan demikian lewat pengkajian yang hati-hati terhadap mitos, kita dapat menjelaskan banyak realitas sosial budaya dan politik masa kini. Mitos adalah model of dan model for realitas masa lalu dan masa kini sekaligus. KESIMPULAN Berbagai fenomena budaya, sosial, dan politik kontemporer mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku Utara, dan bahkan peristiwa konflik politik dan komunal sering mewarnai lembaran-lemabaran media cetak, layar kaca media elektronik, dan radio. Sesungguh berbagai fenomena tersebut dapat diungkap struktur dasarnya lewat suatu pendekatan yang disebut strukturalisme. Menggunakan pendekatan analisa strukturalisme Levi-Strauss, penulis telah menyajikan suatu analisa struktural terhadap mitos Tujuh Putri (TP) yang berasal dari Maluku Utara untuk memahami struktur bawah sadar kebudayaan masyarakat Ternate khususnya dan Maluku Utara. Dalam upaya menganalisis dan menafsir mitos TP, penulis juga menggunakan mitos lain yang masih berkaitan yaitu Hikayat Bacan (HB). Selain mitos lain digunakan untuk menafsir suatu mitos, penulis juga menggunakan data-data etnografi, yang walaupun terbatas, namun juga sangat membantu. Selain itu, data-data penelitian
sosial, politik, konflik, dan laporan media, serta pengalaman pribadi penulis semuanya turut membantu dalam menafsir mitos di atas. Dalam situasi normal, masyarakat Maluku Utara sendiri menjalani seluruh kehidupan kontemporernya seolah sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak perlu dipertanyakan. Namun jauh di alam bawah sadar mereka, apa yang mereka jalani sebagai fenomena wajar keseharian tersebut, sesungguhnya pada tataran tertentu mengikuti suatu struktur dengan pola-pola yang sudah tercermin dalam berbagai mitos yang tersebar dalam kebudayaan mereka. Mitos-mitos itu, sebagaimana yang telah saya tunjukan, memiliki suatu struktur dasar pembagian empat yang menjadi struktur inti dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik masayarakat Ternate dan Maluku Utara. Struktur pembagian empat tersebut mengalami transformasi kedalam aspek warisan, klan-klan utama dalam masyarakat, komunitas, struktur politik, geopolitik, dan lembaga-lembaga pemerintahan kesultanan. Salah satu catatan penting dari penggambaran struktur dasar empat dan transformasinya di atas adalah bahwa bentuk struktur dasar empat mengikuti dua bentuk. Pertama adalah bentuk vertikal. Bentuk transformasi vertikal ini terjadi karena terdapatnya unsur yang lebih tinggi dibanding unsur yang lain. Dalam mitos, tokoh Mashur Malamo (MM), Kursi, dan Ternate lebih ditinggikan dibanding lainnya. Sedangkan, pada transformasi yang berbentuk horisontal terjadi karena unsur-unsur dari 369
Safrudin Amin
struktur empat tersebut memiliki kedudukan yang sama, bekerja sama, dan bahkan menyatukan dan saling ketregantungan. Makalah ini juga telah menunjukan satu aspek penting dari mitos, yaitu bahwa mitos pada masyarakat Maluku Utara, bukanlah suatu cerita masa lalu yang tidak relevan dengan masa kini. Lebih dari itu, mitos adalah bagian dari sejarah yang membentuk amasa kini, ikon pembentuk identitas, persepsi diri, cara berpikir, dan bagaimana mengelola kehodupan kontemporer. Dengan kata lain, untuk memahami kehidupan kontemporer masyarakat wilayah ini, maka mitos dapat menjadi jalan masuk yang sangat baik. DAFTAR PUSTAKA _____Tempo interaktif, “Warga Banggai Deklarasikan Bergabung ke Maluku Utara”, _____Minggu, 22 Juni 2008 | 19:29 WIB h t t p : / / w w w. i n f o a n d a . c o m / linksfollow.php?lh=BVUFBAVTV1cB. Akses: 19 Januari 2010. ____Kompas,11 Juli 2008, “Kepindahan Ibu Kota, Haruskah Dituntaskan dengan Pemekaran?” http:// cetak.kompas.com/read/xml/2008/ 0 7 / 11 / 0 2 0 7 0 7 5 5 / h a r u s k a h . dituntaskan. dengan.pemekaran Akses: 19 Januari 2010. ____Radar Sulteng, 7 Desember 2009, “Banggai ke Malut Sudah Final, Sultan Ternate Mulai Mainkan Pengaruh”. http://www.radar sulteng. com/berita/index.asp?
370
Berita= Utama&id=60770, Akses: 19 Januari 2010 Abdulrahman, Jusuf M., dkk. 2001, Ternate, Bandar Jalur Sutra (Edisi Pertama), Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial: Ternate. Ahimsa-Putra. 2006, Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Kepel Press: Yogyakarta. Edisi Baru. Ahimsa-Putra. 2006. “Dari Mytheme ke Certiteme: Pengembangan Konsep dan Metode Analisis Struktural” dalam Esai-esai Antropologi: Teori, Metodologi dan Etnografi, Heddy Shri Ahimsa-Putra (ed). Kepel: Yogyakarta. Ahimsa-Putra. 2008. “Strukturalisme Levi-Strauss: Positivistis dan Fungsionalistis?: Beberapa Catatan Kritis” dalam Levi-Strauss: Strukturalisme dan Teori Sosiologi, Christopher R. Badcock. Di Indonesiakan oleh Robby Habiba Abror. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Ahimsa-Putra. 2009. “Nilai-nilai Budaya Politik dalam Mitos To-Manurung di Sulawesi Selatan”. (Makalah). Amal, M. Adnan. 2002. Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I dan II, Universitas Khairun: Ternate. Amal, MA. 2007, Kepulauan Rempahrempah: Pergolakan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950. Gora Pustaka. Amin, S. 2008, “Pilkada dan Gejolak Politik Identitas di Maluku Utara”, dalam Jalan Panjang Perdamaian: Sebuah Pemikiran
Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri”
untuk Maluku Utara. PTDUNDP-Pemda Malut: Ternate. Amin, AM, & AS. Karman. 2009, “Identifikasi Bentuk-bentuk Kearifan Lokal di Maluku Utara dan Strategi Implementasinya dalam Pembanguan”. Hibah HPSN Dikti. Cremers, Agus, 1997, Antara Alam dan Mitos: Memperkenalkan Antropologi Struktural Calude LeviStrauss. Nusa Indah: Flores. Cremers, A. & JJ. Santo. 1997, “Memperkenalkan Claude Levi-Strauss”, dalam Mitos, Dukun dan Sihir, Claude Levi-Strauss. Kanisius: Yogyakarta. Hanna, W A. & Des Alwi, 1996, Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. Kasim, M, S. Amin & M. Richter, 2008, “Social Capital, Natural Resources Management, and Governance: Coastal Fishing Communities in Eastern Indonesia”. Australia – Indonesia Governance Research Partnership (AIGRP). Levi-Strauss, C. 1997, Mitos, Dukun dan Sihir. Diindonesiakan oleh Agus Cremers dan John J. Santo. Kanisius: Yogyakarta. Lombard, D. 2000, Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 2. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Kaplan, D. & Robert A. Manners, 2002, Teori Budaya, diindonesiakan oleh Landung Simatupang. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Mangunwijaya, YB, 1987, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (Sebuah Novel Sejarah). Djembatan: ? Ishige, Naomichi (ed), 1980, The Galela of Halmahera: A Preliminary Survey. National Museum of Ethnology: Osaka. Paz, O. 1997, Levi-Strauss: Empu Antropologi Struktural. diIndonesiakan oleh Landung Simatupang. LKiS: Yogyakarta. Tryatmoko & M.Wahyu, 2005, “Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elit Lokal di Maluku Utara”, Masyarakat Indonesia. LIPI: Jakarta. Hal, 67-90. Turido & S. Fajar, 9 Desember 2009, “Claude Gustave Levi-Strauss: Membawa Strukturalisme sampai Liang Lahad”, Gatra, hal.47 – 55. van Klinken, G.. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. OBOR-KITLV Jakarta. van Wouden, FAE, 1985, Klen, Mitos dan Kekuasaan. Diindonesiakan oleh Grafiti Pers. Grafiti Pers: Jakarta. Yanuarti, S. 2004, Konflik Maluku Utara: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang. LIPI: Jakarta.
371