EKOLOGI TERNATE
EDITOR Ibnu Maryanto Hari Sutrisno
PUSAT PENELITIAN BIOLOGI-LIPI 2011 i
© 2011 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi*
Katalog dalam Terbitan
Ekologi Ternate/Ibnu Maryanto dan Hari Sutrisno (Editor). – Jakarta: LIPI Press, 2011. xiii + 371 hlm.; 14,8 x 21 cm ISBN 978-979-799-609-3 1. Ekologi
2. Ternate
577
Editor Bahasa Penata Letak Penata Sampul Penerbit
: Risma Wahyu Hartiningsih : Ibnu Maryanto : Fahmi : LIPI Press
*Pusat Penelitian Biologi-LIPI Gedung Widyasatwaloka, Cibinong Science Center Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169111 Telp.: 021-8765056, 8765057
ii
DAFTAR ISI
Ucapan Terimakasih Kata Sambutan Kata Pengantar DAFTAR ISI
iii v vii xi
GEOLOGI DAN IKLIM Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara: Dinamika Erupsi dan Potensi Ancaman Bahayanya Indyo Pratomo, Cecep Sulaeman, Estu Kriswati & Yasa Suparman Karakteristik Erupsi G Kie Besi dan Potensi Ancaman Bencananya Terhadap Lingkungan Kota Ternate: (Representasi dari karakter gunungapi aktif di Busur Gunungapi Halmahera) Estu Kriswati & Indyo Pratomo Analisa Anomali Curah Hujan dan Parameter Laut-Atmosfer Periode Januari - Agustus 2010 di Provinsi Maluku Utara Dodo Gunawan
1
15
27
FAUNA Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar (Chiroptera) dan Mamalia Kecil di Pulau Ternate Sigit Wiantoro & Anang S Achmadi Keanekaragaman Mamalia Kecil di Pulau Moti Anang Setiawan Achmadi & Sigit Wiantoro Kajian Ekologi Burung di Hutan Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara Wahyu Widodo
43
55
69
Komunitas Burung Pulau Moti Ternate Maluku Utara Eko Sulistyadi
83
Keanekaragaman Herpetofauna di Pulau Ternate dan Moti, Maluku Utara Mumpuni
105
xi
Komunitas Keong Darat di Pulau Moti, Maluku Utara Heryanto Kajian keanekaragaman Ngengat (Insekta: Lepidoptera) di Gunung Gamalama, Ternate Hari Sutrisno Tinjauan Keanekaragaman dan Sebaran Kupu Ternate Djunijanti Peggie
121
133
145
Efektifitas Trap Warna Terhadap Keberadaan Serangga Pada Pertanaman Budidaya Cabai di Kelurahan Sulamadaha Kecamatan P Ternate Ternate Abdu Mas’ud
159
Eksplorasi Keragaman Serangga Coleoptera dan Lepidoptera di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Warsito Tantowijoyo & Giyanto
167
FLORA Analisis Tutupan Lahan Kawasan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Hetty IP Utaminingrum & Roemantyo
187
Hutan mangrove di Pulau Moti Suhardjono & Ujang Hapid
199
Keanekaragaman Anggrek di G Gamalama, Ternate Izu Andry Fijridiyanto & Sri Hartini
219
Vegetasi Hutan Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto
227
Keanekaragaman Jenis Pohon di Hutan Sekunder Pulau Moti, TernateMaluku Utara Razali Yusuf
237
Keanekaragaman Tumbuhan Berkhasiat Obat di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Siti Sunarti
251
Eksplorasi Tumbuhan di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Deden Girmansyah & Siti Sunarti xii
267
MIKROBIOLOGI Drug Discovery Antibiotik Berbasis Biodiversitas Aktinomisetes Lokal Asal Ternate Arif Nurkanto
283
Isolasi dan Identifikasi Kapang-Kapang Kontaminan Dari Biji Kenari Kering (Canarium ovatum) Nurhasanah &Sundari
295
Mikroba Laut Penghidrolisis Senyawa Nitril di Sekitar Pulau Moti, Ternate Nunik Sulistinah & Rini Riffiani
301
Isolasi dan Penapisan Bakteri Pendegradasi Dibenzothiophene, Phenanthrene dan Fluoranthene Asal Perairan Laut Sekitar Pulau MotiTernate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah Penapisan dan Isolasi Bacillus Penghasil Amilase Dari Limbah Sagu (Metroxylon sagu Rottb) Deasy Liestianty1, Nurhasanah2
309
317
SOSIAL BUDAYA Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis Dhurorudin Mashad Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri” Pada Kebudayaan Ternate, Maluku Utara Safrudin Amin
329
343
xiii
Ekologi Ternate 329-342 (2011)
Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis Dhurorudin Mashad Pusat Penelitian Politik-LIPI ABSTRACT This paper discusses about developing Ternate base on socio-historical values. Several socio-historical values have been described as factors that can be used as capitals in developing Ternate such as Ternate is a old kingdom which have a wide influence in this region, Ternate is the oldest Islamic kingdom in eastern part of Indonesia and Ternate produce a lot of herb, spicy and medicinal plants that are very important as the main income of this Island.
Key words: Developing, Kingdom, Socio-historical values, Ternate
PENDAHULUAN Ternate merupakan kota tua yang konon berdiri sejak tahun 1257 dengan pimpinan pertama bernama Mashoer Malamo (1257-1277). Eksistensi Ternate bahkan hampir setengah abad lebih tua dibanding Majapahit yang baru berdiri sekitar tahun 1293. Bentuk pulau Ternate hampir menyerupai bulatan dengan gunung berapi Gamalama (1715 m) di tengah-tengahnya. Lereng gunung menyebar merata ke seluruh pulau dengan konsentrasi berat ke arah selatan, sehingga topografi bagian utara pulau ini terdiri dari lereng-lereng yang melandai dengan cepat ke arah pesisir. Ternate berasal dari kata Tara No Ate yang berarti turun ke bawah dan pikatlah dia. Maksudnya, turun dari tempat yang tinggi (gunung yang penuh rempah-rempah) untuk memikat para pendatang supaya mau menetap di pantai negeri ini. Dari namanya tampak betapa
warga Ternate bersifat sangat terbuka terhadap kaum pendatang. Ternate merupakan satu pulau dari sekian pulau di wilayah Maluku. Semula yang disebut Maluku hanya meliputi pulau-pulau yang menghasilkan cengkih, yang terletak di sebelah Barat pulau Halmahera yaitu: Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan. Oleh orang Arab dijuluki Jazairul muluk yang artinya kepulauan para raja. Mungkin dari istilah arab ini pula sebutan Maluku berasal. Pada perkembangan waktu pulau Halmahera juga digolongkan Maluku, bahkan akhirnya pengertiannya diperluas pada pulau-pulau penghasil cengkih dan pala, mencakup kepulauan yang terletak antara Sulawesi dan Irian. Kendati hanya pulau kecil (105, 73 km2) tetapi dahulu pengaruh Ternate sangat luas. Potensi rempah-rempah menyebabkan Ternate lengkap dengan seluruh wilayah pengaruhnya secara historis dikenal secara luas di manca negara, 329
Dhurorudin Mashad
mulai dari bangsa Arab, Cina, India bahkan negara-negara Eropa yang akhirnya menjadikannya sebagai sentra kolonialisme. Terutama sejak Ternate takluk pada kekuatan kolonialis Belanda dilanjutkan dengan dipindahkannya ibu kota VOC dari Ternate ke Batavia (tahun 1619), pelan tapi pasti Ternate berubah menjadi kurang diperhitungkan dalam konstelasi ekonomi politik global. Kondisi ini berlanjut bahkan di era Indonesia dimana Ternate dapat dikatakan “sunyi” dari hiruk pikuk perpolitikan nasional. Kini, sejak bergulirnya era otonomi daerah, Ternate mulai menggeliat kembali. Wilayah ini berusaha bangkit lagi untuk melakukan pembangunan ekonomi dan politik di tengah reruntuhan kebesaran masa lalu. Akankah Ternate mampu mengembalikan kebesarannya yang harus diakui memang sungguhsunguh luar biasa ? Ternate dalam Modernitas: Upaya Membangun Ekonomi dan Politik Setiap elemen masyarakat Ternate pasti mendambakan sebuah modernitas dan atau pembangunan ekonomi. Alasannya, bukan saja modernitas ekonomi menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik yang kian kompleks, lebih dari itu modernisasi ekonomi secara substantif memang berkaitan dengan bidang-bidang lain. Artinya, ketika pembangunan ekonomi macet, sedang pembangunan bidang sosial politik terus berjalan, kemungkinan besar stabilitas politik akan dikacaukan.
1
Sebaliknya, bila pembangunan ekonomi berhasil, niscaya ia kan mendorong proses modernisasi dan atau pembangunan di bidang lain, 1 termasuk tuntutan akan arti penting hak-hak politik masyarakat Ternate. Namun, sebatas aspirasi pembangunan tentu tidak cukup. Masyarakat Ternate perlu pula memiliki kesadaran kokoh bahwa keberhasilan pembangunan memerlukan dua prasyarat penting, yakni: partisipasi dan pelembagaan politik. Tanpa kesadaran bahwa antara partisipasi dan pelembagaan politik perlu didialogkan secara kreatif, maka pembangunan tak akan mampu memberikan hasil optimal. Partisipasi dalam konteks ini dimaknai bahwa pembangunan Ternate membutuhkan apa yang disebut peran aktif warga masyarakat baik dalam semangat, pemikiran, apalagi tindakan nyata. Seberapapun upaya pemerintah dalam menggerakkan roda pembangunan, jika masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan bersifat pasif apatis, pembangunan tak akan pernah mencapai sasaran. Sementara itu, pelembagaan politik mengandung arti sebuah kesadaran kolektif bahwa dalam berpartisipasi, setiap elemen masyarakat mematuhi aturan main yang telah disepakati bersama, sebagaimana terefleksi dari berbagai aturan hukum yang ada. Sebab, partisipasi yang tinggi tanpa diiringi pelembagaan politik yang memadai yang terjadi adalah anarkisme. Sebaliknya, pelembagaan politik yang kuat di tengah
Haraold Crouch, Perkembangan politik dan Modernisasi , Yayasan Perkhidmatan, 1982, hlm. 158.
330
Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis
masyarakat yang justru pasif apatis yang terjadi adalah otoritanianisme. 2 Jika dalam anarkisme pembangunan hanya akan berputar-putar pada proses yang labil sementara hasilnya jauh dari bayangan, maka pada otoritarianisme meski pembangunan secara permukaan seolah memberi hasil, tetapi infrastrukturnya bersifat kropos. Runtuhnya uni soviet, atau pada tataran lebih rendah ambruknya Orde Baru, merupakan refleksi dari logika otoritarianisme tadi. Berdasar logika tadi, masyarakat Ternate akhirnya perlu pula menyadari bahwa pembangunan dalam makna apa saja sebenarnya refleksi dari sebuah proses pembangunan politik. Ia meliputi pengorganisasian kehidupan politik bekerjasama dengan fungsi-fungsi politik sesuai dengan standar yang diharapkan masyarakat bangsa. Memang, terdapat asumsi bahwa secara historis terdapat berbagai tipe sistem politik dan setiap masyarakat mempunyai bentuk politiknya sendiri-sendiri, termasuk dalam konteks ini adalah Ternate. Tetapi dengan tumbuhnya masyarakat modern, muncullah serangkaian persyaratan tentang kehidupan politik. Oleh karena itu, bila masyarakat Ternate ingin berprestasi sebagai masyarakat modern, maka lembaga-lembaga dan praktek-praktek politik di Ternate harus sesuai dengan persyaratan tersebut, yang diperlukan
untuk mewujudkan suatu masyarakat yang bisa bekerja secara efisien dan efektif di tengah masyarakat bangsa lain. Perlu dicatat bahwa ukuran bagi pembangunan politik dalam konteks ini meliputi, pertama, pembentukan lembaga-lembaga politik yang merupakan prasarana penting bagi masyarakat bangsa, kedua, pengungkapan secara tertip gejala nasionalisme ke dalam kehidupan politik. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembangunan politik adalah politik nasionalisme yang dijalankan dalam kerangka lembagalembaga negara. Dari sudut ini nasionalisme merupakan persyaratan penting, meskipun sangat tidak mencukupi untuk menjamin pelaksanaan pembangunan politik. Pembangunan meliputi usahausaha menterjemahkan perasaanperasaan nasionalismme yang kabur dan tak teratur menjadi semangat kewarganegaraan, dan menciptakan lembagalembaga politik negara yang dapat menterjemahkan aspirasi-aspirasi nasionalisme dan kewarganegaraan ke dalam kebijaksanaan dan programprogram. 3 Prinsip-prinsip inilah yang menjadi tantangan berat bagi masyarakat dan pemerintah Ternate. Mereka terbebani oleh tugas untuk mengintegrasikan nilai-nilai dalam khasanah lokal dengan semangat nasional sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.
Pilkada langsung di Ternate misalnya, bisa dipakai parameter tentang partisipasi dan pelembagaan politik di wilayah ini, apakah partisipasi di wilayah ini telah mengantarkan pada substansi demokrasi atau justru anarki.
2
3
Lucian W. Pye, “Konsep Pembangunan Politik”, dalam Yahya Muhaimin dan Colin Mac. Andrews, Masalah-masalah Pembangunan Politik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.
331
Dhurorudin Mashad
Mereka juga punya kewajiban untuk menterjemahkan nilai-nilai lokal dengan dinamika global, agar berbagai kekayaan lokal dapat dijadikan modalitas dalam membangun di tengah-tengah tantangan internasional yang kian kompleks. Menakar Modalitas Kesejarahan Ternate Terdapat asumsi bahwa secara historis berbagai tipe sistem politik dan setiap masyarakat mempunyai bentuk politiknya sendiri-sendiri, termasuk dalam konteks ini adalah Ternate. Kekayaan historis dan kearifan lokal ini menjadi sebuah kekuatan masyarakat yang luar biasa ketika masyarakat berhasil menterjemahkannya dalam kehidupan masyarakat modern, lengkap dengan serangkaian persyaratan tentang kehidupan politik modern. Apakah kesadaran historis dalam konteks modernitas semacam ini telah tertanam –syukur-syukur mewabah— dalam benak masyarakat Ternate ?, telah berakar dalam logika pembuat kebijakan di Ternate ? Pertanyaan besar ini patut dikemukakan sebab ketika penulis tahun 2009 lalu berusaha melakukan Apakah kesadaran historis dalam konteks modernitas semacam ini telah tertanam –syukur-syukur mewabah—
4
dalam benak masyarakat Ternate ?, telah berakar dalam logika pembuat kebijakan di Ternate ? Pertanyaan besar ini patut dikemukakan sebab ketika penulis tahun 2009 lalu berusaha melakukan penelusuran konteks kehidupan . Alfred Russel Wallace ketika hidup di Ternate –tahun 1858-1861— penulis mendapatkan realitas betapa rumitnya untuk melakukan rekonstruksi sosial politik di tempat ini. Sangat sedikit orang mengetahui apalagi memahami tentang apa dan bagaimana A.R. Wallace yang pernah melahirkan ilmu mondial dari tempat ini. Bahkan, banyak situs kuno di tempat ini kurang memperoleh kepedulian semestinya. Realitas ini sungguh merupakan sesuatu yang sangat memilukan, 4 sebuah realitas yang mendorong penulis untuk membuat artikel ini. Perlu dicatat bahwa Ternate memiliki kekayaan kesejarahan yang luar biasa, bahkan memiliki sejarah yang pada tataran tertentu mengalahkan sejarah Jawa, dan hanya pada hal-hal tertentu dikalahkan Jawa seperti sejarah Budha dengan situs Borobudur atau sejarah Hindu dengan sistem Prambanan abad ke 9 M. Namun, pada aspek lain Ternate, sekali lagi, memiliki kekayaan historis yang luar biasa, sebuah kekayaaan yang
Bahkan ada informasi bahwa sebagian tokoh di Ternate protes terhadap rencana pembangunan monumen A.R. Wallace. Mereka berargumentasi adalah lebih penting untuk memperjuangkan sultan Babullah menjadi pahlawan Nasional. Padahal, penghormatan histories akan eksistensi Wallace merupakan satu hal yang perlu ditegakkan, sedangkan upaya menempatkan sultan Babullah sebagai pahlawan nasional adalah hal lain yang perlu pula diperjuangkan. Itulah substansi sejarah. Penghormatan pada satu sisi/ figur histories tidak harus dengan penihilan terhadap eksistensi histories yang lainnya. Karena rekonstruksi sejarah harus diperjuangkan secara jujur agar memiliki makna yang substantive, tanpa memandang apakah pelaku sejarah adalah orang local atau pendatang.
332
Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis
bila dapat dikelola dengan profesional dapat dieksploitasi menjadi modalitas pembangunannya. Apa dan bagaimana sisi historis Ternate yang dapat dieksploitasi secara ekonomi dalam melakukan pembangunan. Pertama, Ternate merupakan negara yang sangat tua (1257), bahkan lebih tua dibanding Mojopahit (1293). Bahkan, batu permata dan perak yang biasanya digunakan sebagai mata uang di semenanjung India sekitar 200 sebelum Masehi telah ditemukan pada beberapa pulau di wilayah ini, sebuah bukti arkeologis yang menandai betapa negeri ini telah ribuan tahun melakukan kontakkontak dagang dengan negeri lain. Ternate pada era kuno telah berkembang menjadi daerah kosmopolitan di mana para pedagang rempah-rempah dari seluruh wilayah menetap disana, sebuah realitas yang tentu menempatkan Ternate sebagai wilayah yang memiliki situs-situs kuno. Cerita-cerita sejarah, situs-situs lama, dengan segala perniknya sebenarnya bisa menjadi sangat potensial untuk dieksploitasi sebagai komoditi wisata sejarah disamping untuk kepentingan pengembangan ilmu arkeologis. Dari sisi
ini peluang ekonomi sebenarnya dapat dibuka seluas-luasnya. 5 Kedua, Kerajaan Ternate secara historis memiliki pengaruh sangat luas. Di Maluku bagian utara sebagai wilayah asli Maluku dulu dikenal ada 4 kerajaan besar, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Semula ada pula kerajaan kecil lain, namun akhirnya dianeksasi 4 kerajaan besar tadi. Kerajaan penting penghasil cengkeh di Maluku utara seperti Makian, Moti, Tidore, Ternate, dan Bacan. Makian adalah penghasil cengkih kualitas tinggi, yakni cengkih Raja. Jika dicermati, kepentingan dagang (ambisi penguasaan rempah) yang tampaknya menjadi faktor pendorong perluasan wilayah. Wilayah sasaran ekspansi semula hanya pada lokasi rempah (Makian, Moti, Tidore, Ternate dan Bacan) meski akhirnya merembet ke wilayah penghasil makanan pokok (seperti Moro dan Loloda). Pertarungan antar kerajaan menjadi sengit karena geografisnya terpola dalam gugusan pulau kecil-kecil. Kerajaan paling tangguh kala itu adalah Ternate dan Tidore, sehingga keduanya mendominasi perluasan wilayah. Jika Tidore
5
Rempah-rempah mungkin telah digunakan sejak manusia mulai menggunakan api untuk memasak. Catatan pertama tentang penggunaan rempah-rempah adalah dari bangsa Assyria (di kawasan Iran, Irak, Turki, dan Suriah) sekitar 3000 tahun sebelum Masehi. Catatan itu menyebutkan mitos bahwa dewadewa bangsa ini meminum anggur wijen (sesame) pada malam sebelum dunia diciptakan, sementara diketahui bahwa asal wijen dari India Selatan. Dari sini kita mendapatkan dua bukti historis bahwa pemakaian dan perdagangan rempah-rempah telah ada di jaman purbakala, sekitar 5000 tahun lalu. Bukti selanjutnya berkaitan langsung dengan cengkeh. Dari penemuan arkeologi peradaban Sumeria (peradaban purba di selatan Mesopotamia, tenggara Irak) diketahui cengkeh sangat popular di Syria pada 2400 SM. Ini bukti yang sangat kuat bahwa perdagangan rempah-rempah dari kepulauan Maluku adalah benar-benar purba. Bangsa Mesir dan Somalia juga tercatat telah memanfaatkan rempah-rempah, baik untuk kuliner maupun pengobatan, sekitar 1500 SM. Semua bukti ini menunjukkan bahwa perdagangan antara Timur Tengah dan Cina, Asia Tenggara, India, serta Spice Islands telah dimulai sejak purbakala..
333
Dhurorudin Mashad
memperluas kekuasan sampai ke pantai Papua belahan barat, maka kawasan pengaruh Ternate meliputi kepulauan Sula, pulau Makian, Jailolo, Seram Barat, Buru, Ambon, Lease, dan Banda. Bahkan di era puncak kejayaannya, yakni era sultan Babullah (1570-1583), cakupan kekuasaan Ternate mencapai 92 pulau besar kecil, membentang di utara meliputi Mindanao dan Sarangai, di selatan sampai ke Bima, sebelah barat mencakup seluruh pesisir Timur Sulawesi dari bagian utara hingga selatan tenggara., dan di timur berbatasan dengan Irian Barat yang kala itu sebagian menjadi wilayah Tidore. 6 Pengaruh seperti ini tentu meninggalkan realitas kultur dominan di wilayah-wilayah palili/ taklukan, sehingga dalam konteks kekinian lebih mudah untuk kembali menjalin jaringan kerjasama dalam pembangunan. Kultur dominan dengan segala mitos di dalamnya, sebagaimana situs-situs kuno pada point pertama, dapat pula dijadikan untuk dihidupkan kembali, dieksploitasi sebagai komoditi wisata. Jika pada point pertama wadag petilasan berupa peninggalan-peninggalan arkeologis, maka pada point kedua ini warisannya lebih banyak dalam wujud kultur dan atau budaya.7
6
Ketiga, Ternate merupakan kerajaan Islam pertama di wilayah timur (1486), bahkan mungkin di Indonesia. Eksistensi kerajaan Islam Ternate bahkan lebih tua dibanding kesultanan Demak (1527). Masuknya Islam ke Ternate terjadi akibat perdagangan dengan Jawa sekitar abad XII, termasuk dengan kedatangan Datuk Maulana Husain. Dengan demikian masuknya Islam ke Ternate justru lebih tua dibanding usia kerajaan Ternate sendiri. Di Ternate sampai kini masih terdapat Fala Jawa/ Fala Joe (baca: kampung Jawa) yang dulu berisi para pedagang-mubaligh asal Jawa dan Arab. Islam berkembang pesat di wilayah itu sejak abad 14 era raja Gapi Baguna (1465-1486) melalui jalur perdagangan, 8 meskipun Raja Ternate yang pertama Islam adalah Zainal Abidin (1486-1500). Melalui tangan murid Sunan Ampel ini, Islamisasi berjalan cepat terutama di wilayah pesisir. Terkait perkembangan Islam di Ternate ada tiga hal patut digarisbawahi, (1). Murid-murid sunan Ampel lain di Jawa “tergabung” dalam Wali Songo seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, maka Zainal Abidin pun punya kapasitas sama dengan para wali Jawa tadi. Hanya saja tradisi di Ternate tidak mengenal istilah sunan. (2). Zainal Abidin adalah seorang Sultan,
Rusli Andi Atjo, ,Peninggalan Sejarah di Pulau Ternate, Jakarta: Cikoro Trirasuandar, 2008,hlm.:1 4. 7 Perlu dicatat bahwa kultur /adat istiadat yang menjadi andalan di Bali memiliki usia jauh lebih muda dibanding Ternate. Kultur di Bali merupakan peninggalan kerajaan Mojopahit. Hanya saja, di era Mojopahit adat yang berkembang masih dalam tataran filosofis, maka pada era Bali kekinian telah dikembangkan pada tataran ritual dan upakara yang berbasiskan pada prinsip Bhakti, sehingga menghasilkan karya seni yang adiluhung dan kreatif. Wawancara dengan ketua PHDI Tabanan, I Wayan Arwita, 28 Juli 2010. 8 Di era Gapi Baguna/Marhum (1465-1486) berbagai bangsa di Asia seperti Cina, India, dan Arab datang membeli cengkeh untuk dijual ke Eropa.
334
Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis
dan oleh karena itu ia menyebarkan Islam melalui jalur kerajaan. Hal ini dilanjutkan oleh putranya, sultan Bayanullah/Boleife (1500-1522), yang menerapkan berpakaian dan kawin secara Islam di wilayah kerajaan, yang menandai Ternate sebagai sebuah kesultanan Islam. Walhasil, berarti kesultanan Islam Ternate lebih tua dibanding Demak sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa setelah runtuhnya Mojopahit. 9 (3). Ternate menjadi cikal bakal dan basis penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara, terutama terjadi di era Sultan Babullah (1570-1583) yang memang aktif menyiarkan Islam.10 Dalam ekspedisi penggalangan kekuatan (mengusir Portugis di sekitar Ternate) tahun 1580 misalnya, Babullah berlayar sampai ke Bangai, Tambuko, Tibora di pulau Panggasani dan Button, lantas ke Gowa
Sulawesi Selatan. 11 Di tempat itu memang sudah ada masjid, tetapi raja Gowa ke 12 belum Islam. Babullah disambut dengan nyayian Somba Opu berarti: Kami Menghormati Anda. Melalui persahabatan ini Babullah “menganjurkan” agar raja masuk Islam. Sebagai wujud persahabatan, Selayar yang menjadi taklukan Ternate diserahkan kepada Gowa. Islam baru menjadi agama remi Gowa tahun 1607 di era Sultan Alauddin yang tak lain raja Gowa XIV yang pertama masuk Islam.12Dus, jika sejarah Islamisasi di Jawa lengkap dengan situs dan para walinya bisa menjadi komoditi wisata religius, kenapa tidak mungkin diterapkan di Ternate ? Perlu diinformasikan bahwa di Bali baru beberapa tahun terakhir telah dibuat paket wisata baru Wali Pitu, yaitu ziarah ke situs-situs penyebaran Islam, termasuk
9
Ketika Majapahit didirikan pedagang Muslim sudah mulai memasuki Nusantara. Di era pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa. Terkait dengan Cheng Ho lihat Khong Yuan Zhi, Sampo Kong dan Indonesia, Jakarta: CV Haji Masagung, 1993, juga Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina – Islam – Jawa, Yogyakarta: Inspeal Ahimsakaraya Press, 2003. Pada akhir abad 14 dan awal abad 15, pengaruh Majapahit mulai berkurang, sementara sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara Majapahit bahkan tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad 15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahi. Demak dibawah pemerintahan Raden Fatah, diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China. Lihat Http//www.wikipedia/ Majapahit. 10 Lihat Silsilah Sultan Ternate dalam Wiliard A. Hanna & Des Alwi, Ternate dan Tidore Masa Lalu Penuh Gejolak, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. 11 Mattulada, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1998, hlm. 193 12 Lihat Masduki, Abdul Muttalib dan Bahru Kallupa, Benteng Ujung Pandang/Fort Roterdam, Makasar: Dep. P dan K, 1986, hlm. 4. Juga lihat Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 199, hlm. 35.
335
Dhurorudin Mashad
khususnya para tokoh penyebar Islam di wilayah itu. Logika yang sama sangat mungkin diterapkan di Ternate yang justru keislamannya jauh lebih lama dibanding Demak apalagi Bali. Keempat, Ternate pernah menjadi sentra kolonialisme Barat (Portugis, Spanyol, Belanda) tertua di tanah air. Tak ada wilayah manapun di nusantara peristiwa kolonialisme nya selengkap di Ternate-Tidore ini. Bahkan, ternate merupakan ibu kota pertama VOC sebelum dipindahkan ke Batavia. Label sebagai sentra seluruh kolonialisme Barat di Nusantara dengan segala situs yang ditinggalkan ini, maka Ternate bisa menjadi pusat kajian sejarah kolonialisme di tanah air, tetapi ia bisa pula menjadi sentra wisata historis terkait, yang dapat dipasarkan ke masyarakat Eropa bekas negara kolonialis tadi. . Diantara bangsa kulit putih, Portugis yang lebih dahulu menemukan negeri rempah-rempah yang kala itu menjadi harapan bagi mereka yang gandrung kekayaan. Portugis (Alfonso de Al buquerque) menjadi bangsa Eropa pertama sampai di Samudera Indonesia. Ia yang pertama mendirikan pangkalan laut di Gowa dan dari situ melancarkan penaklukan Malaka dari Sultan Mahmud Syah (1511) Dari Malaka ia mengarahkan operasi ke Maluku, sumber rempahrempah yang dimimpikan. Portugis disusul Spanyol (tahun 1521) yang mendatangi Tidore. Portugis menilai Spanyol melanggar persetujuan Tordesillas, karena itu dengan dipimpin Antonio de Brito Portugis menyerang Spanyol di Tidore tahun 1522. Brito didukung Ternate, terutama karena 336
Tidore - Spanyol dinggap ancaman. Realitas ini akhirnya menjadi tonggak awal kolonialisme Barat di Maluku, karena akhirnya (1). Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di pantai Gamlamo, desa Kastela, (2) Portugis diizinkan berdagang dengan mendirikan gudang penyimpanan barang dagangan (3). Semua rempah hanya boleh dijual kepada Portugis dan tiap bahar (600 pond) cengkeh dihargai 32 ringgit 48 stuiver. Langkah kesultanan Ternate dan Tidore yang masing-masing berkongsi dengan Portugis dan Spanyol ini telah menjadi bumerang, karena masingmasing akhirnya mendominasi bahkan menjajah. Menyadari kebengisan Portugis, Ternate pindah kongsi dengan Belanda. Di permukaan hubungan Ternate – Belanda tampak harmonis, tetapi Belanda punya agenda untuk memainkan peran sentral dalam konstelasi politik Maluku Utara serta berambisi menguasai aktivitas rempahrempah di seluruh Maluku. Belanda pertama menginjakkan kaki di Ternate pada 2 Juni 1599. Secara resmi kedatangan Belanda ini karena diundang Ternate, ketika Spanyol menyerbu Benteng Gamlamo (1606). Walhasil, Belanda akhirnya ganti bercokol dengan mendirikan benteng besar di tengah kota. Di tempat inilah VOC (verenigde Oost Indische Compagnie: Persekutuan Dagang Hindia Timur) didirikan 20 Maret 1610. Untuk mengkoordinasi wilayah yang luas mulai 1610 ditunjuk seorang gubernur jendral dan sejumlah gubernur wilayah serta Dewan Hindia (Raad van Indie) guna memberi pertimbangan
Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis
kepada Gubernur Jendral yang kala itu bermarkas di Ternate. Nyata sekali bahwa kala itu Ternate punya posisi sangat strategis dan sentral. Realitas historis ini telah meninggalkan banyak situs-situs kolonialisme mulai dari kuburan-kuburan tua maupun bentengbenteng bersejarah, yang bila dikelola dengan profesional berpijak pada visi ekonomis dapat dieksploitasi sebagai komoditi wisata dan ilmiah, baik untuk pasaran domestik maupun Eropa. Kelima, Ternate secara mondial diidentikkan sebagai Pulau Rempah, bahkan sejak ribuan tahun lalu. Perlu dicatat bahwa permata dan perak yang biasa digunakan sebagai mata uang di semenanjung India sekitar 200 SM telah ditemukan di beberapa pulau Maluku. Percaya atau tidak, cengkih adalah rempah-rempah purbakala yang telah digunakan ribuan tahun sebelum masehi. Cengkih merupakan tanaman asli kepulauan Maluku yang dahulu dikenal para penjelajah sebagai Spice Islands. Menanam pohon cengkih saat seorang anak dilahirkan adalah tradisi penduduk asli Maluku. Secara psikologis ada pertalian antara pertumbuhan pohon cengkeh dan anak tersebut sehingga pohon cengkeh benar-benar dijaga dan dirawat oleh orang Maluku. Perjalanan cengkeh dari Maluku sampai menjadi rempah yang dikenal dan digunakan di seluruh dunia bergulir seiring dengan garis sejarah perdagangan rempahrempah (spice trade) dari 5000 tahun yang lalu hingga 500 SM di kawasan Timur Tengah. Penduduk asli Banda berdagang rempah-rempah dengan negara-negara
Asia lainnya, seperti Cina, paling tidak sejak zaman Kekaisaran Romawi atau bahkan sebelumnya. Seiring dengan berkembangnya Islam, perdagangan didominasi para pedagang Muslim. Salah satu sumber kuno Arab menggambarkan lokasi dari Maluku ini berjarak sekitar lima belas hari berlayar dari Timur ‘pulau Jaba’ (Jawa) namun perdagangan langsung hanya terjadi hingga akhir tahun 1300an. Para pedagang Arab tidak hanya membawa Islam, tetapi juga sistem kesultanan, menggantikan sistem lokal yang didominasi Orang Kaya. Melalui bisnis dengan para pedagang Muslim, bangsa Venesia kemudian datang untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah dari Eropa antara tahun 1200 dan 1500 M, melalui dominasi atas Mediterania ke kota pelabuhan seperti Iskandariyah (Mesir), setelah jalur perdagangan tradisional mulai terganggu oleh Mongol dan Turki. Rempah-rempah keluar Ternate umumnya melalui pedagang-pedagang dari Jawa, baik keturunan Cina, India, ataupun Arab. Di Ternate bahkan terdapat Fala Jawa/Fala Joe (baca: kampung Jawa) yang dulu berisi para pedagang-mubaligh asal Jawa dan Arab. Mereka berdagang ke ternate terutama untuk komoditi rempah-rempah. Jalur rempah-rempah semula dari Ternate ke Ambon – Jawa – Malaka - India, lantas ke Levant – Kairo – Venesia – Napoli – Genoa . Alternatif jalur rempah lain adalah Ternate menuju Hitu - Jawa Timur – Cina – Gujarata atau Arab lantas ke eropa. Jalur cengkeh Ternate inilah yang menandai hubungan intensif Ternate - Jawa Timur yang sekaligus 337
Dhurorudin Mashad
menjadi basis penyiaran Islam di tanah Jawa. Dalam konteks ini pula sangat rasional jika Zainal Abidin sempat berguru pada Sunan Ampel di Ampeldenta, Surabaya. 13 Semula rempah-rempah dibawa para pedagang Arab dan Gujarat lantas dibawa ke Eropa. Tentu saja rempah dari Maluku yang setiap 50 kg dihargai 2 dukat, sampai Malaka menjadi 10 dukat, sampai Eropa melambung menjadi berkali-kali dukat. Pada abad pertengahan (sekitar 1600 Masehi) cengkeh pernah menjadi salah satu rempah yang paling popular dan mahal di Eropa melebihi harga emas. Sejarah mencatat bahwa kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris) ke Maluku didorong hasrat untuk mencari bahkan merebut daerah rempah-rempah seperti cengkeh, pala, dan fuli. Realitas ini yang menyebabkan Maluku terlibat dalam percaturan perdagangan antar bangsa Asia dan akhirnya disusul Eropa sejak abad 16, yang berarti jauh sebelum era penjajahan di Jawa. Faktor rempah-rempah ini dalam konteks kekinian masih sangat terbuka untuk dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi dan atau pembangunan. Sejarah rempah-rempah dapat dijadikan komoditi wisata historis dan wisata petualangan. Jika petualangan Viking di Inggris dapat dijadikan agenda wisata
tahunan, kenapa petualangan para pemburu rempah tidak pula dijadikan agenda serupa, tetapi malah Banda Sail yang digaungkan, yang secara substantif tidak memiliki pijakan historis apa-apa. Pembudidayaan rempah-rempah seperti Cengkih dan Pala secara profesional pun dapat dieksploitasi secara ekonomi, yakni menjadi wisata perkebunan, dan hasil tanamannya pun masih memiliki nilai jual tinggi. Kenapa potensi yang sangat nyata sesuai dengan potensi wilayah tidak digarap secara lebih profesional, baik dari sisi perkebunannya, industri pengolahannya, maupun wisata ekologinya ? Keenam, Ternate menjadi tempat lahirnya teori the Survival of the Fittest sebagai basis perkembangan teori evolusi, tahun 1858. Bahkan, dari tempat ini lahir pula cabang ilmu baru, Biogeograpy. Adalah Alfred Russel Wallace sebagai penemunya.14 Memang, sempat terjadi rekayasa pentasbihan Darwin – Wallace sebagai penemu secara bersama (discovery jointly) terhadap teori itu, bahkan nama Darwin dan bukan Wallace yang lebih populer dikenal sebagai pencetus teori evolusi. Dunia, selama satu setengah abad melupakan nama Wallace yang ide dan atau pemikirannya menginspirasi atau bahkan mungkin dicontek Charles Darwin. Tapi, kini kesadaran tentang arti penting dari eksistensi Wallace kian disadari
13 Lihat M. Adnan Amal dan H. Syamsir Andili, “Ternate dala Perspektif Sejarah”, dalam Fakhry Ammary dan J.W. Siokona, eds., Ternate, Pemerintah Kota Ternate, 2003. 14 Antara akhir 1857 – Juni 1861 Wallace memang menjadikan Ternate sebagai basis petualangan di wilayah timur Indonesia. Kala itu Ternate menjadi taklukan Belanda, serta ada dibawah kepemimpinan residen .ke sebelas C. Basser (1857-1860) yang lantas digantikan residen ke duabelas J. Blok (18611863). Dilihat dari era kesultanan, Wallace datang ke Ternate adalah era transisi Sultan Muhammad Djain (1823-1859) dan Sultan Muhammad Arsad (1861-1876).
338
Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis
masyarakat ilmiah dunia, oleh karena itu berbagai upaya untuk menempatkan kembali figur A.R. Wallace kepada posisi yang semestinya kian bergaung. Proses dan hasil dari perjuangan untuk menempatkan A.R. Wallace sebagai penemu teori evolusi, dan Ternate sebagai lokasinya, akan membawa implikasi cukup serius bagi TernateIndonesia. Sebagai wilayah yang sedang membangun, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, TernateIndonesia memang memerlukan ikon “nyata” sebagai penyemangat. Dan A.R. Wallace dapat dikatakan nyata dan teraba melalui bukti-bukti peninggalannya, yang dengan mudah teridentifikasi sebagai bagian dari sejarah Indoneia. Wadag petilasan A.R. Wallace sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk membangun semangat dan percaya diri dalam mengembangkan dunia riset dan dunia ilmu pengetahuan di Ternate-Indonesia. Lebih dari itu, dengan kian benderangnya penempatan Wallace sebagai teori evolusi dan Ternate sebagai tempatknya, Ternate akan kembali dikenal secara mondial, sebuah realitas yang akan mendudukkan Ternate pada posisi strategis, baik untuk tujuan wisata murni maupun terutama untuk tujuan penelitian di kawasan Wallacea. Lagi-lagi sisi historis Wallace dapat bernilai ekonomi bila masyarakat Ternate mampu mengemasnya secara professional. Dari uraian tadi tampak bahwa sisi historis Ternate sebemarnya penuh dengan kekuatan yang daya dorongnya dapat menggerakkan roda pembangunan. Pemanfaatan modalitas kesejarahan ini bisa berwujud eksploitasi untuk
kepentingan ekonomi secara langsung. Namun yang jauh lebih substantive adalah ruh kebesaran sejarah itu. Ruh sejarah, apalagi sejarah tentang kesuksesan, sejarah tentang kejayaan, dalam terminology kejiwaan bisa dimanfaatkan sebagai ideology pembangun yang dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi emosi, semangat, yang semula lemah akibat dilanda frustasi, merasa kurang berharga dan atau kurang dihargai, menjadi emosi kebanggaan yang mesti dibangkitkan. Dalam konteks Ternate, logika ini sangat tepat. Di era kelampuan, Ternate memiliki sejarah tentang kejayaan dalam banyak hal : keagamaan, penguasaan wilayah, sentra rempah-rempah dunia, dan lain sebagainya. Namun pelan tapi pasti Ternate akhirnya mengalami kemerosotan seiring dengan dipindahkannya markas VOC ke Batavia oleh J.P. Coen tahun 1619, sehingga statusnya bukan dipimpin gubernur jendral tetapi hanya Gubernur. Ternate kembali turun status dipimpin Residen tahun 1817, bahkan menjadi asisten Residen tahun 1861. Posisi ini bertahan sampai tahun 1942, dan berlanjut di era kemerdekaan dimana Ternate menjadi bagian propinsi Maluku yang beribukota di Ambon. Bahkan, eksistensi Ternate terasa sunyi dalam konsteks politik ke Indonesian. Realitas historis ini –disadari atau tidak— sempat menimbukan logika bahwa Ternate memang bukan apa-apa. Logika ini perlu dicarikan ruh historis tandingan yang mampu menjadi antitesa terhadap semangat yang lemah, merasa diri kurang dihargai, agar tumbuh kuat dan percaya diri dan merasa diri sangat berharga. Penulis percaya bahwa 339
Dhurorudin Mashad
pergeseran sikap ini sangat mudah diterapkan pada masyarakat Ternate, terutama dengan mempertimbangkan track record Ternate yang sejak ratusanribuan tahun merupakan masyarakat yang memiliki kultur terbuka dan kosmopolit Sikap ini bisa menjadi modalitas penting dalam menjalin hubungan dengan bangsa lain di era kekinian. Hal ini sesuai dengan namanya: Ternate berasal dari kata Tara No Ate yang berarti turun ke bawah dan pikatlah dia. Membangun Berbasis Ruh Kesejarahan Diskursus tentang Kekayaan historis dan kearifan lokal tidak semestinya dianalogikan romantisme yang senantiasa hanya sibuk dengan kekaguman pada kehebatan nenek moyang. Menakar ruh kesejarahan seharusnya dirujuk pada logika kekuatan sejarah yang bisa ditarik menjadi kekayaan bahkan kekuatan di masa kini. Karena sejarah hakekatnya bukan saja berisi tentang cerita tentang masa lalu, apa dan bagaimana peristiwa terjadi, tetapi sejarah mencakup pula analisis tentang mengapa sebuah peristiwa terjadi. Tak berlebihan jika Sayyidina Ali bin Abu Tholib Karromal-lahu Wajhah menyatakan, “meski rentang hidupku tak sepanjang masa hidup generasi sebelumku, tapi aku berusaha keras untuk selalu mengkaji kehidupan mereka. Aku mengikuti perjalanan hidup mereka, merenungkan segala usaha dan perjuangan mereka, mengkaji pening-galan dan reruntuhan hasil karya mereka. Kurenungkan kehidupan mereka, seolaholah aku hidup dan bekerja bersama 340
mereka sejak zaman dini sejarah hingga zamanku sekarang. Akhirnya ku tahu apa yang membuat mereka bahagia dan apa yang membuat mereka sengsara”. Dengan menganalisis masa lalu generasi sekarang diharap dapat meraih kesuksesan lebih gemilang, pada saat yang sama terhindar dari kesalahan serupa seperti yang dilakukan generasi sebelumnya. Proyeksi Hikmah yang penulis pikir dapat dijadikan pijakan penting bagi masyarakat Ternate dalam membangun negerinya, pemahaman yang utuh tentang karya gemilang dari pendahulu yang mesti dilanjutkan, dan pemahaman utuh tentang berbagai friksi dari para leluhur –seperti konflik Tidore vs. Ternate yang mesti tak diulangi, yang sempat menjerumuskan mereka dalam cengkeraman kaum kolonial. Sejarah memang bersifat lampau. Melalui pendekatan yang dikenal sebagai Total History, melalui pendekatan revolusioner atas waktu sejarah (waktu sosial) secara multidisipliner, kelampauan bisa direkonstruksi seolah menjadi “kekinian”, sehingga masyarakat seolah bisa berdialog langsung dengan kelampauan tadi. Melalui metode tadi, waktu kelampauan, waktu yang sempat terkubur dari pengetahuan manusia, waktu yang mungkin masih tersisa berupa puingpuing reruntuhan bisa dikumpulkan, disortir (antara kebenaran dan kekeliruan), dan selanjutnya dibangun menjadi bangunan kekinian tentang kelampauan dalam wujud yang relataif agak “utuh”. Hasil rekonstruksi sejarah ini bisa menjadi modalitas penting, dan memiliki makna yang luar biasa dalam hidup kekinian, termasuk masyarakat Ternate, sebab:
Membangun Ternate Bermodal Kekayaan Sosio-Historis
Pertama, ia bisa menjadi mitos tentang kapabilitas bahkan kejayaan sebuah masyarakat, yang kepadanya idealitas masyarakat tentang pembangunan ke depan sebenarnya bisa disandarkan. Setiap masyarakat bahkan bangsa pasti membutuhkan mitos semacam ini. Indonesia misalnya, telah menjadikan eksistensi Sriwijaya - Mojopahit sebagai mitos kejayaan historis tentang keberhasilan nenek moyang bangsa dalam membangun nusantara sebagai cikal bakal Indonesia. Mitosisasi kehebatan ini lantas disuntikkan dalam semangat ideologis untuk menggerakkan semangat persatuan dan atau keindonesiaan. Dalam konteks Ternate yang keberadaannya jauh lebih tua dibanding Mojopahit, kerajaan Ternate-Tidore tentu bisa menjadi lebih membanggakan untuk dijadikan mitos dalam pembangunan politik kewilayahan. Kedua, etos dan semangat para tetua/leluhur dalam terminologi modern disebut pahlawan dapat dijadikan pula sebagai modalitas. Semangat, ide, dan kiprah orang-orang besar di sekeliling kita, meskipun sifatnya historis, hakekatnya bisa pula menjadi tenaga pendorong tetapi ia bisa menjadi cermin tentang realitas keberhasilan masa lampau, untuk diterapkan dan atau diteruskan di masa kini. Logika ini dapat menjawab setiap masyarakat bangsa memerlukan entitas
pahlawan dalam kehidupannya. Dalam konteks Ternate, terlepas apakah secara de Jure tokoh-tokoh pejuang seperti sultan Babullah dilegalisasi negara 15 sebagai pahlawan, yang pasti secara de Facto mereka tetap diakui masyarakat bangsa sebagai pahlawan. Dan realitas sosial ini yang justru dapat dijadikan faktor pelecut, bukan sekedar bangga, bagi masyarakat Ternate untuk berkarya secara lebih besar dan nyata. Ketiga, wadag petilasan historis dapat menjadi modal langsung dalam membangun ekonomi di era kekinian. Masyarakat dan pemerintah perlu secara canggih melakukan penge-masaan situssitus historis ini agar menarik sebagai komoditi wisata bahkan komoditi ilmiah arkeologis bernilai ekonomi tinggi. Wilayah yang punya banyak petilasan historis pasti memiliki nilai ekonomi dan ilmiah jauh lebih tinggi dibanding wilayah yang baru dibangun/berkembang. Eksistensi Kota tua Ternate-Tidore seharusnya disyukuri dengan merawat dan mengoptimalkan sisi historisnya terhadap berbagai wadag petilasan yang ada, sehingga keberadaannya membawa kemanfaatan ilmiah dan ekonomi. 16 Keempat, kekayaan historis berupa budaya yang masih hidup potensial menjadi modal utama dalam membangun. Budaya hakekatnya mengandung suatu inti dan suatu bagian lahir dari
15
Baabullah Mengusir Portugis dari Ternate tahun 1575, sehingga Portugis harus pindah ke Ambon dan Malaka. 16 Banyak paket wisata di Eropa yang mengandalkan pengemasan kota bersejarah secara profesional, sehinga memberi konteribusi besar dalam ekonominya. Wisata di Istambul atau kota-kota di India juga dominan komoditi kelampauan. Bahkan, legenda yang sama sekali tak nyata bisa pula dijadikan komoditi wisata, seperti legenda kepala singa yang menjadi simbol negara singapura, meski secara ilmiah sama sekali tidak memiliki nilai.
341
Dhurorudin Mashad
peradaban. 17 Kebudayaan ini dapat berfungsi sebagai: pertama, pemberi identitas warga, dan kedua, dipakai untuk berkomunikasi antar warga yang berbhinneka, sehingga dapat memperkuat solidaritas. Untuk fungsi pertama budaya sebagai hasil karya orisionil warga, tema pikiran dan wujudnya mengandung ciri-ciri khas lokal, dinilai sedemikian tinggi sehingga menjadi kebanggaan warga.. Kultur dan atau budaya ini perlu senantiasa digali dan dihidupkan agar bisa menjadi faktor pengikat ditengah upaya pembangunan yang acapkali menumbuhkan problema disintegrasi, baik karena perebutan jabatan politik maupun akibat disparitas ekonomi. Menurut R. Linton, antropolog asal AS, bagian dari kebudayaan terdiri dari dua bentuk, bagian yang tidak tampak disebut covert culture mungkin sama dengan sistem budaya Sedangkan yang lain adalah bagian dari kebudayaan yang tampak lahir, disebut overt culture, mungkin sama dengan sistem sosial dan kebudayaan fisik/materiil culture. Jika bagian yang tak tampak bisa dijadikan modalitas untuk mengikat jiwa dan pikiran masyarakat sebagai satu kesatuan komunitas dalam proses pembangunan, maka bagian yang tampak secara kasat mata bisa dijadikan komoditi wisata yang bernilai ekonomi sangat tinggi. Dalam konteks inilah kekayaan historis –dalam bentuk budaya— perlu dilebur dengan etos dan kreativitas sehingga mampu tiada henti menghasilkan kreativitas seni 17
yang adiluhung. Pariwisata Bali dalam konteks ini merupakan contoh sangat aktual dan konkrit. Dalam konteks alam, keindahan pulau Bali sebenarnya tidak terlalu memikat dibanding banyak tempat lain di Indonesia. Tetapi Bali berhasil mengawinkan antara alam dan kultur — agama dan adat istiadat— sedemikian indah melalui kreativitasnya. Masyarakat bali senantiasi melakukan tawar menawar, tarik ulur, antara ajaran agama/adat yang cenderung konservatif dengan pembangunan/modernisasi yang cenderung liberal, sehingga Bali senantiasa mampu ditampil menjadi sosok “perawan malu-malu kucing” yang membuat penasaran kaum perjaka. Kunci dari semua itu adalah kreativitas. Memang, kekayaan historis bukan merupakan satu-satunya modalitas yang mesti dieksploitasi. Berbagai potensi lain yang sifatnya kekinian juga patut diperhitungkan, termasuk potensi sumber daya alam –tentu saja selain rempahrempah yang telah diulas dalam bahasan di muka. Namun, perlu dipikirkan secara integratif bahwa : pertama, tidak semua wilayah termasuk Ternate memiliki sumber daya alam melimpah, kedua, eksploitasi sumber daya alam dalam jangka panjang bersifat distortif terhadap lingkungan. Jika Ternate memiliki kekuatan historis yang sangat variatif dan potensial untuk dieksploitasi secara ekonomi, mengapa harus mempertaruhkan nasibnya dengan cara menengok ke potensi lain yang justru merusak lingkungan. Quo vadis Ternate ?
Koentjoroningrat, “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional”, dalam Alfian ed.Persepsi masyarakat tentang Kebudayaan, Jakarta: Gramedia, 1985, hlm. 99-113.
342