EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna)
RISA ROSITA
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK RISA ROSITA. Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Dibimbing oleh GAYUH RAHAYU dan HAMIM. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian metil jasmonat (MeJA) 750 mM secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna). Cabang pohon Aquilaria crassna yang berumur 8 tahun (berdiameter ± 1 cm) dibuang kulit dan kambiumnya sepanjang 2 cm kemudian diolesi MeJA secara berulang dengan satu kali, dua kali, tiga kali atau empat kali pemberian dengan interval waktu tertentu. Deposit terpenoid dideteksi dengan metode histokimia (menggunakan pewarna tembaga asetat) dan Liebermann-Burchard. Adanya deposit terpenoid yang terbentuk berkaitan dengan respon kebugaran cabang, perubahan warna kayu dan pembentukan wangi. Pengamatan dilakukan pada 10, 25, 50 dan 75 hari setelah induksi. Pemberian MeJA (secara berulang) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid. Deposit senyawa terpenoid ditemukan paling banyak pada parenkima jejari, included phloem, unsur trakea xylem da empulur. Senyawa terpenoid yang teridentifikasi mengandung komponen triterpenoid. Akumulasi terpenoid menyebabkan adanya perubahan warna kayu. Perubahan warna kayu tidak hanya disebabkan karena perlakuan MeJA, tetapi juga pelukaan. Semakin lama waktu inkubasi, warna kayu akan semakin gelap. Perubahan warna kayu tidak berkolerasi dengan pembentukan wangi. Aroma wangi mengandung senyawa terpenoid yang mudah menguap, yaitu sesquiterpen. Aroma wangi akan meningkat kembali setelah diberi perlakuan MeJA (secara berulang) dan bertahan hanya sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir.
ABSTRACT RISA ROSITA. The Effect of Repeat Application of Methyl Jasmonate on Terpenoid Accumulation in Agarwood Tree (Aquilaria crassna). Under supervision of GAYUH RAHAYU and HAMIM. This research is aiming at studying the effect of repeat methyl jasmonate (MeJA) 750 mM application on terpenoid accumulation in agarwood tree (Aquilaria crassna). The branches of 8 years old agarwood tree (± 1 cm diam) were wounded by stripping of the bark (2 cm long). The wounded branches were then smeared with 2 ml MeJA repeatedly either once, twice, three or four times with certain time interval. The accumulation of terpenoids were detected histochemically by cooper acetate staining and using Liebermann-Burchard method, concomitantly with the observation of branch fitness, wood browning and fragrance formation at 10, 25, 50 and 75 days after application. Repeated application of MeJA might improve terpenoid accumulation. The terpenoid was deposited largely in parenchyma ray, and smaller amount in included phloem, xylem vessel, and pith. The terpenoids composed of triterpenoids. The terpenoids accumulation caused browning in the wood. The browning was not only due to MeJA application, but also due to wounding. The longer the period of incubation, the wood was darker. The wood browning was not correlated with the fragrance produced, since the fragrance was actually a volatile terpenoids components sesquiterpene. Fragrance might persist in repeated application of MeJA only until 25 days after the last MeJA application.
EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna)
RISA ROSITA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Skripsi
: Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid pada Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). : Risa Rosita : G34103044
Nama NIM
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Gayuh Rahayu NIP 131289335
Dr. Ir. Hamim, M.Si. NIP 131878946
Mengetahui:
Dekan Fakultas dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim, DEA NIP 131578806
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syulur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kesehatan, dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Karya ilmiah ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Agustus 2007, bertempat di kebun A. crassna Parung milik Dr. Ir. Gayuh Rahayu, Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong, dan Laboratorium Mikologi Departemen Biologi FMIPA IPB. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan Bapak Dr. Ir. Hamim, M.Si. yang telah membantu memberikan bimbingan, saran, motivasi dan fasilitas selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Triadiati, M.Si. selaku penguji. Ucapan terima kasih juga penyusun sampaikan kepada Ibunda, kakak, Deden Dewantara, dan keluarga besar Abdullah atas dorongan, doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong, staf Laboratorium Mikologi, Pak Taufik, Pak Gono, Mbak Ade, Mbak Retno, Desi, Isya, Yuli, Mbak Yul, Ariza, Rika atas bantuan, perhatian, dan dukungannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis berharap smoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Desember 2007
Risa Rosita
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Juli 1985 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putri pasangan Mansyur Abdullah (Alm.) dan Nursiah. Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bogor dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi Dasar pada tahu ajaran 2005/2006 dan 2006/2007, Genetika Dasar pada tahun ajaran 2005/2006, Biologi Cendawan pada tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, serta menjadi asisten peneliti Dr. Ir. Gayuh Rahayu pada tahun 2007. Penulis juga pernah aktif dalam lembaga kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Biologi. Penulis melaksanakan praktek lapang dengan judul ”Reduksi Kadar Nutrisi Limbah Organik secara Biologis di PT. Perfetti van Melle Indonesia” pada bulan Juli 2006.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. vii PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat .......................................................................................................... 1 Bahan .............................................................................................................................. 1 Metode Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid ............................................................. 1 Kebugaran Cabang .................................................................................................
2
Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi .................................................................
2
Analisis Terpenoid Uji Histokimia .................................................................................................
2
Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard) ……................................................... 2 HASIL Kebugaran Cabang ......................................................................................................... 2 Perubahan Warna ...........................................................................................................
3
Tingkat Wangi ................................................................................................................. 4 Analisis Terpenoid .........................................................................................................
5
PEMBAHASAN Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap Cabang yang Diinduksi ...............................
6
Pembentukan Senyawa Gaharu dengan Induksi Kimia .................................................
8
Peluang Pemanfaatan Metode Induksi dengan MeJA ...................................................
8
KESIMPULAN .....................................................................................................................
9
SARAN .................................................................................................................................
9
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................
9
DAFTAR TABEL 1
Halaman Rancangan pemberian MeJA 750 mM secara berulang ............................................. 2
2
Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat kehitaman) dari rataan 3 responden ............................................ 3
3
Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan .......... 4
4
Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke bagian apeks (menuju daun) ................................................................. 4
5
Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke bagian basal (menuju batang utama) ..................................................... 4
6
Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali) ....................
7
5
Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi terpenoid pada luasan bidang pandang tertentu ......................................................... 6
DAFTAR GAMBAR 1
Halaman A. crassna umur 8 tahun ............................................................................................. 1
2
Kayu A. crassna setelah diberi perlakuan, dari kiri ke kanan (K- ; skor warna kayu =0,putih),(K+, M1;skor warna kayu =1,putih kecoklatan),(M2; skor warna kayu=2, coklat),(M3;skor warna kayu =2, coklat),(M4;skor warna kayu=3, coklat kehitaman 3
3
Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju daun (a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b) ............................................ 4
4
Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan sistem skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat, wangi; 3=coklat kehitaman, wangi sekali) ................................................................. 5
5
Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkima jejari (a), included phloem (b), unsure trakea xylem (c), dan empulur (d) pada panen 10 hsi ........................................................................................................................... 5
6
Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada resin gaharu alam berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard ...................................................... 6
7
Triterpenoid yang telah teridentifikasi pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard .................................................................................... 6
3
PENDAHULUAN Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas serta memiliki kandungan kadar damar wangi (Dewan Standarisasi Nasional Indonesia 1999). Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat diandalkan, apabila ditinjau dari nilai ekonominya yang lebih tinggi dibandingkan hasil hutan bukan kayu lainnya. Gaharu digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa untuk berbagai ritual keagamaan, kosmetik dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Salah satu spesies Aquilaria yang terbukti dapat menghasilkan gubal gaharu adalah Aquilaria crassna (Lieu 2003). Senyawa gaharu dibentuk sebagai respon pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai gangguan seperti pelukaan, infeksi patogen atau perlakuan kimiawi (Nobuchi & Siripatanadilok 1991). Menurut Yuan (1995), gaharu mengandung senyawa sesquiterpen yang beraroma khas. Aroma gaharu ini diduga merupakan senyawa fitoaleksin (Michiho 2005). Fitoaleksin adalah senyawa antimikrob dengan berat molekul rendah yang terakumulasi pada tanaman sebagai reaksi terhadap infeksi dan stress (Mert-Turk 2002). Salah satu senyawa sinyal pada tumbuhan yang diketahui dapat merangsang pembentukan fitoaleksin adalah metil jasmonat (MeJA) (Franceschi et al. 2002). MeJA merupakan fitohormon endogen. MeJA memiliki peran dalam regulasi beberapa proses fisiologis tanaman, misalnya, merangsang pertumbuhan akar dan transportasi karbon tanaman (Babst et al. 2005), induksi pematangan buah, sinyal regulasi ekspresi gen pada proses penuaan daun dan bunga (Srivastava 2002), dan sinyal transduksi respon ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik (Yang et al. 1997). MeJA akan menjadi komponen yang lebih aktif jika diberikan dalam bentuk fitohormon eksogen (Srivastava 2002). Menurut Michiho (2005), pemberian mM dapat menginduksi MeJA 0.1 terbentuknya senyawa terpenoid pada kultur kalus A. sinensis. Pada A. crassna, satu kali pemberian MeJA 750 mM juga mampu menginduksi pembentukan senyawa terpenoid (Putri 2007). Dari perlakuan MeJA ini, akumulasi senyawa terpenoid dapat terdeteksi mulai 5 hari setelah induksi (hsi) dan menghilang pada 75 hsi (Putri 2007). Pemberian MeJA 750 mM ini tidak cukup menyebabkan deposit senyawa terpenoid yang
dapat bertahan setelah 75 hsi. Pemberian MeJA secara berulang diharapkan dapat merangsang peningkatan deposit senyawa terpenoid gaharu. Deposit senyawa terpenoid gaharu ditemukan dalam jumlah banyak pada jaringan parenkima jejari dan dalam jumlah kecil pada included phloem serta unsur trakea xilem (Ramadhani 2005). Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas pemberian MeJA pada konsentrasi 750 mM secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada Aquilaria crassna.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2007, di kebun gaharu Jabon-Parung (Bogor), Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Bahan Bahan yang digunakan adalah tanaman A. crassna umur 8 tahun (Gambar 1), alkohol 75 %, akuades, metil jasmonat 750 mM (MeJA 750 mM), Tween 80 %, formaldehid 4 %, larutan gliserin 30 %, larutan K2HPO4, larutan tembaga asetat 50 %, etanol absolut, dietil eter, larutan H2SO4 pekat, larutan asam asetat anhidrat.
Gambar 1 A. crassna umur 8 tahun
Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid Induksi pembentukan senyawa terpenoid dilakukan pada cabang pohon A. crassna yang mempunyai diameter 1 cm. Pertama-tama cabang dilukai dengan cara dibuang kulit dan kambiumnya sepanjang 2 cm. Kemudian MeJA 750 mM diberikan secara berulang, dengan rancangan pemberian secara berulang (Tabel 1).
4
Tabel 1 Rancangan pemberian MeJA 750 mM secara berulang. Perlakuan Induksi M1 M2 M3 M4
Keterangan :
Waktu Induksi / Waktu Pengamatan (hari ke-) 25
50
75
* * √ * √ √ √ √ √ √ √ √ √ = pemberian
0
10
* * *
* * * *
√
* = pengamatan M1= Perlakuan MeJA 1x induksi M2= Perlakuan MeJA 2x induksi M3= Perlakuan MeJA 3x induksi M4= Perlakuan MeJA 4x induksi Sebanyak 2 ml MeJA 750 mM (dalam 0.1 % Tween 80) dioleskan pada daerah cabang yang telah dilukai, dan dibiarkan beberapa saat sampai mengering, lalu dibungkus dengan plastik dan diikat dengan tali. Semua perlakuan terdiri atas 4 ulangan dan dilakukan pada cabang yang berbeda. Cabang-cabang yang dilukai saja (tanpa induksi) sebagai kontrol positif (K+) serta cabang-cabang yang tidak dilukai sebagai kontrol negatif (K-) digunakan sebagai pembanding. Respon cabang yang diamati adalah kebugaran cabang, perubahan warna kayu, wangi kayu, dan analisis terpenoid. Kebugaran Cabang Kebugaran cabang ditetapkan berdasarkan persentase daun yang menguning atau daun gugur, dari total daun yang berada dari zona induksi ke arah pucuk. Kebugaran cabang juga ditetapkan berdasarkan persentase cabang yang mati. Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi Deposit terpenoid pada kayu mungkin berasosiasi dengan perubahan warna dan pembentukan wangi. Oleh sebab itu, perubahan warna dan tingkat wangi kayu diamati, dan dilakukan sebelum analisis terpenoid. Pengamatan warna cabang meliputi perubahan warna dan panjang serta kedalaman zona perubahan warna. Tingkat perubahan warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (0=putih, 1=kuning kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat kehitaman). Tingkat perubahan warna diamati sebanyak 4 ulangan Tingkat wangi kayu ditetapkan melalui uji organoleptik yang dinyatakan dengan rataan skor dari 3 responden. Skala skor wangi adalah 0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali.
Tingkat perubahan warna, panjang kedalaman zona perubahan warna serta tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku. Analisis Terpenoid Uji Histokimia (Martin et al. 2002) Deposit terpenoid dideteksi dengan metode histokimia. Bagian cabang yang telah diinduksi dipotong secara melintang bagian tengahnya dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.3 cm. Selanjutnya potongan cabang tersebut direndam di dalam larutan formaldehid 4 % dan K2HPO4 100 mM (pH 7.5) selama ± 4 jam. Kemudian sampel dicuci dengan akuades. Potongan cabang selanjutnya dibekukan pada suhu -18 ºC sebelum disayat dengan mikrotom beku (Yamato RV-240). Sayatan cabang dengan ketebalan antara 1820 µm diletakkan pada gelas objek. Untuk pengamatan senyawa terpenoid, sayatan tersebut ditetesi dengan larutan tembaga asetat 50 %. Supaya preparat tidak cepat mengering, pada sayatan tersebut ditambahkan larutan gliserin 30 %. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop cahaya (Nikon Afx-dx dan Nikon Obtiphot 2). Deposit terpenoid ditetapkan berdasarkan persentase (%) jaringan pengakumulasi yang mengandung senyawa tersebut pada luasan bidang pandang tertentu, dari 10 sayatan untuk masing-masing perlakuan. Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard) Sebanyak ± 0.4 gram potongan kayu yang telah diberi perlakuan dilarutkan dalam 5 ml etanol absolut panas (100 ºC) kemudian disaring ke dalam cawan petri steril dan diuapkan sampai kering hingga terbentuk endapan berwarna kuning. Endapan kemudian ditambahkan 1 ml dietil eter dan dihomogenisasi. Endapan yang telah dihomogenisasikan selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung reaksi steril lalu ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987).
HASIL Kebugaran Cabang. Cabang A. crassna memberikan respon yang sama terhadap induksi MeJA dan pelukaan (K+). Induksi MeJA dan pelukaan menyebabkan terjadinya perubahan warna pada daun yang berada di daerah ujung cabang yang diberi perlakuan. Daun berubah warna dari hijau menjadi
5
kuning dan gugur. Perubahan warna terjadi satu sampai dua minggu setelah perlakuan. Daun-daun pada cabang yang diinduksi dengan MeJA (secara berulang) gugur lebih awal dibandingkan dengan daun-daun pada cabang yang hanya dilukai saja. Semakin banyak pengulangan, semakin besar persentase cabang yang daunnya gugur. Pada cabang yang diberi MeJA dengan satu kali perlakuan, sebanyak 21% cabang menunjukkan gugur daun, kemudian berturutturut pada dua kali perlakuan sebanyak 30% cabang, tiga kali perlakuan sebanyak 42% cabang, empat kali perlakuan sebanyak 50% cabang. Pada kontrol positif hanya ditemukan 10% cabang yang daunnya gugur. Berbeda dengan kedua perlakuan di atas, pada cabang yang tidak dilukai (K-) tidak ditemukan adanya perubahan warna pada
daun, daun tetap segar dan hijau sampai akhir pengamatan. Perubahan Warna. Adanya perubahan warna kayu ditemukan baik pada cabang yang diberi perlakuan MeJA maupun cabang yang menjadi K+. Perlakuan dengan MeJA menghasilkan warna kayu yang beragam dibandingkan dengan K+ (Tabel 2). Perlakuan MeJA menghasilkan rata-rata perubahan warna kayu berkisar antara putih kecoklatan, coklat, sampai coklat kehitaman. Perlakuan K+ hanya menghasilkan rata-rata warna kayu putih kecoklatan, sedangkan pada perlakuan K- tidak terjadi perubahan warna kayu (Gambar 2).
Tabel 2 Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat kehitaman) dari rataan 3 responden. Waktu Skor Warna dari Masing-masing Perlakuan Pengamatan KK+ M1 M2 M3 M4 (hsi) 10
0±0
0.5 ± 0.3000
1 ± 0.1547
25
0±0
0.5 ± 0.3000
2 ± 1.4142
2.5 ± 0.5774
50
0±0
0±0
2.5± 0.5774
2.5 ± 0.5774
2.5±0.5774
75
0±0
0±0
2.5± 0.5774
2.5 ± 0.5774
2.5±0.5774
K-
Gambar 2
K+, M1
M2
M3
2.75 ± 0.5000
M4
Kayu A.crassna setelah diberi perlakuan (K-; skor warna 0 = putih), (K+, M1;skor warna 1 = putih kecoklatan), (M2;skor warna 2 = coklat), (M3; skor warna 3 = coklat), (M4; skor warna 4 = coklat kehitaman).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian MeJA (secara berulang) menyebabkan semakin dalam dan semakin panjang zona perubahan warna yang terbentuk. Perlakuan MeJA menghasilkan kedalaman (Tabel 3) dan panjang zona perubahan warna yang lebih tinggi (Tabel 4 dan 5) dibandingkan dengan K+. Perlakuan dengan MeJA 3x dan 4x induksi memiliki kedalaman paling besar yang terlihat pada pengamatan 75 hsi. Hal yang menarik adalah bahwa semua perlakuan MeJA menyebabkan peningkatan kedalaman warna semakin lama waktu inkubasi.
Panjang zona perubahan warna yang mengarah ke arah apeks (menuju daun) (Tabel 4) berbeda dengan besarnya panjang zona perubahan warna yang mengarah ke arah basal (menuju batang utama) (Tabel 5). Pada perlakuan dengan MeJA rata-rata kisaran panjang zona perubahan warna yang terbentuk ke arah apeks hanya mencapai 5.48 cm dan 4.59 cm untuk panjang zona perubahan warna ke arah basal. Sedangkan pada K+, rata-rata panjang zona perubahan ke apeks sebesar 1.65 cm dan rata-rata panjang zona perubahan ke basal sebesar 3.53 cm.
6
Tabel 3 Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan. Kedalaman Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan (cm)
Waktu Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
M2
M3
10
0±0
0.3 ± 0.1633
0.75±0.2887
25
0±0
0.63 ± 0.4349
0.93±0.1500
50
0±0
0.85 ± 0.3000
1.45±0.6403
1.75 ± 0.9574
2.75±0.5000
75
0±0
1 ± 0.0000
1.75±0.5000
2.25 ± 0.5000
3±0.0000
M4
1.38 ± 0.7500 3 ± 0.0000
a
b
Gambar 3 Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju daun (a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b). Tabel 4 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah apeks (menuju daun). Waktu Pengamatan (hsi)
Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm) K-
K+
M1
M2
M3
10
0±0
0.90 ± 0.4546
1.90± 0.2943
25
0±0
0.98± 0.2062
2.78± 1.1295
5.48 ± 0.8655
50
0±0
2.25± 0.6245
4.38± 1.4930
5.48 ± 1.0243
6.83±0.5909
75
0±0
2.48 ± 0.3862
4.80± 0.9092
6.93 ± 0.2217
7.40±0.5944
M4
8.80±1.3515
Tabel 5 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah basal (menuju batang utama). Waktu
Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm)
Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
10
0±0
0.80 ± 0.2449
1.90 ± 0.4690
M2
M3
25
0±0
1.05 ± 0.1732
2.48 ± 0.9535
5.00 ± 0.5354
50
0±0
2.08 ± 0.6396
4.13± 0.8539
5.75 ± 0.6245
6.65±1.3723
75
0±0
2.48 ± 0.3201
5.60± 2.0591
6.40 ± 0.5291
7.18±0.6701
Tingkat wangi. Aroma wangi pada kayu hanya terdeteksi pada bagian cabang yang diinduksi dengan MeJA. Induksi MeJA menghasilkan aroma wangi dengan indeks tertinggi pada setiap kali panen dan wangi hanya bertahan sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir. Induksi MeJA secara berulang pada setiap kali panen mampu meningkatkan aroma wangi kayu yang hilang pada saat induksi sebelumnya. Pada 1 kali induksi dengan pemberian MeJA di hari ke 0, aroma wangi teramati pada panen 10 hsi dan menurun pada 25 hsi. Aroma wangi kemudian akan hilang pada 50 hsi (Tabel 6). Setelah diinduksi ulang (dengan 2 kali pemberian MeJA pada hari ke 0 dan dan hari ke 10) aroma wangi yang turun pada 1 kali induksi saat 25 hsi dapat
M4
8.50±1.0099
meningkat kembali. Pada induksi 2 kali, aroma wangi juga terdeteksi pada 50 dan 75 hsi. Induksi ulang (dengan 3 kali pemberian MeJA pada hari ke 0, 10 dan 25) dapat meningkatkan aroma wangi yang turun pada 50 dan 75 hsi saat induksi 2 kali. Aroma wangi yang turun saat induksi 3 kali pada 75 hsi dapat ditingkatkan kembali dengan perlakuan induksi MeJA sebanyak 4 kali (Tabel 6). Pada pemberian MeJA secara berulang, pengaruh warna kayu tidak mempengaruhi tingkat wangi dengan nilai R2=0.0144 (Gambar 4).
7
Tabel 6
Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali). Skor Wangi dari Masing-masing Perlakuan
Waktu Pengamatan (hsi)
K-
K+
M1
10
0±0
0±0
2.25 ± 0.7500
M2
M3
M4
25
0±0
0±0
0.75 ± 0.5000
50
0±0
0±0
0±0
2.5 ± 0.5774 1.5 ± 0.7321
2.25 ± 0.7500
75
0±0
0±0
0±0
1.25 ± 0.5000
1.75 ± 0.6583
2.75 ± 0.5000
3.5 3
Indeks Wangi
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Indeks Warna
Gambar 4 Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan sistem skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat, wangi; 3=coklat kehitaman, wangi sekali).
Analisis Terpenoid Setelah diamati secara mikroskopis dengan menggunakan pewarna tembaga asetat pada uji histokimia, adanya akumulasi senyawa terpenoid ditemukan pada jaringan parenkima jejari, included phloem, unsur trakea xilem dan empulur. Senyawa terpenoid terdeteksi pada cabang yang diberi perlakuan MeJA dan kontrol positif mulai 10 hsi (Gambar 5), sedangkan pada tanaman yang menjadi kontrol negatif tidak ditemukan adanya senyawa terpenoid. Cabang yang diinduksi dengan MeJA secara berulang memiliki persentase luasan jaringan pendeposit senyawa terpenoid
b
terbesar setiap kali panen (Tabel 7). Deposit senyawa terpenoid, terakumulasi paling banyak pada jaringan parenkima jejari dan paling sedikit pada included phloem, unsur trakea xilem dan empulur (Tabel 7). Berdasarkan uji Lieberman-Burchard, warna merah atau ungu mengidentifikasikan adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987) (Gambar 7). Senyawa triterpenoid terdeteksi pada kayu yang diberi MeJA mulai 25 hsi (M25). Senyawa ini tidak terdeteksi pada kontrol negatif (K-) pada 10 hsi. Pada kontrol positif (K), mulai 50 hsi.
c d a
Gambar 5
Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkim jejari (a), included floem (b),unsur trakea (c), dan empulur (d) pada panen 10 hsi.
8
Tabel 7
Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi terpenoid pada luasan bidang pandang tertentu (rataan dari 10 sayatan untuk masing-masing perlakuan).
Waktu Pengamatan (hsi) 10
25
50
75
Jaringan Pengakumulasi Terpenoid Parenkim jejari
0±0
5.38 ± 0.4819
8.94 ± 0.5966
Included floem
0±0
4.38 ± 0.3580
6.81 ± 0.7430
Unsur trakea
0±0
3.07 ± 0.1595
5.11 ± 0.8312
Empulur Parenkim jejari
0±0
2.91 ± 0.3549
4.31 ± 0.4284
0±0
14.31±0.3649
22.65±0.6524
32.14±3.1570
Included floem
0±0
6.85 ± 0.5910
18.22±0.2948
21.25±2.3291
Unsur trakea
0±0
5.44 ± 0.6484
13.00±0.3733
20.17±1.8149
Empulur Parenkim jejari
0±0
4.32 ± 0.6138
9.37 ±0.3239
17.18±1.7021
0±0
17.29±0.3114
52.75±1.5365
53.5±3.4826
61.64±2.9695
Included floem
0±0
13.09±0.7977
30.64±0.9668
37.1±1.1900
42.81±1.6775
Unsur trakea
0±0
10.26±0.3538
22.78±1.6379
25.81±0.8761
36.00±0.9949
Empulur Parenkim jejari
0±0
6.71 ±0.5459
14.65±0.7458
20.5±1.6892
31.00±0.9204
0±0
18.30±0.5957
53.61±3.9975
65.78±5.3751
69.00±3.7043
80.76±3.2668
Included floem
0±0
17.09±0.9759
46.81±5.3716
41.5±2.3599
53.75±3.2339
64.97±5.8687
Unsur trakea
0±0
14.63±1.2713
25.93±2.7988
32.16±2.0508
41.50±1.3220
53.42±5.1974
Empulur
0±0
13.70±1.3441
20.30±1.0211
27.75±2.6371
35.50±1.1416
46.50±1.3591
Akumulasi Terpenoid Pada Perlakuan (%) K-
K+
M1
M2
M3
M4
PEMBAHASAN
Gambar
K-
6
Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada resin gaharu alam berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard
K10
K50
M50
M10
K25 M25
K75 M75
Gambar 7 Triterpenoid yang telah teridentifikasi pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi berdasarkan pada uji LiebermannBurhchard.
Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap Cabang yang Diinduksi Induksi MeJA 750 mM dan pelukaan menyebabkan stress pada pohon A. crassna. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning dan terjadinya gugur daun pada cabang-cabang yang telah diberi perlakuan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Janoudi dan Flore (2003), yang menyatakan bahwa perlakuan MeJA 10 mM pada tanaman persik (Prunus persica) mengakibatkan terjadinya penurunan kadar klorofil daun, penghambatan pembentukan cabang baru, penurunan jumlah daun sebanyak 31% dan penurunan berat daun muda setelah 3 minggu perlakuan. Satu kali perlakuan MeJA 750 mM tidak menyebabkan terjadinya klorosis daun, tetapi menyebabkan cabang yang diberi perlakuan MeJA mengalami gugur daun sebanyak 20% (Putri 2007). Cabang yang diinduksi dengan MeJA (secara berulang) mengalami gugur daun lebih banyak dibandingkan dengan cabang yang diberi pelukaan. Meskipun perlakuan MeJA (secara berulang) mampu menyebabkan gugur daun hingga mencapai 50 %, tetapi tidak ditemukan adanya cabang yang mati karena perlakuan tersebut. Menurut Fillela (2005), pemberian MeJA secara eksogen dapat
9
menyebabkan tanaman menjadi resisten tanpa mengakibatkan kerusakan pada tanaman itu sendiri. Selain pemberian MeJA, gugur daun dapat mengindikasikan gangguan patologis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Santoso (1996) yang melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman yang merana dan mengalami kekeringan berkaitan dengan gejala patologis terbentuknya gaharu yang diawali oleh rangsangan luka pada batang, patah cabang, atau ranting dan pengaruh fisik lainnya. Pohon Aquilaria crassna yang merana akibat gangguan perlakuan kimiawi dan pelukaan menunjukkan proses awal pembentukan senyawa gaharu itu sendiri. Perubahan warna kayu terjadi pada cabang yang diberi perlakuan MeJA dan pelukaan (kontrol positif). Hal ini didukung oleh pernyataan Walker dan Bray (1997), yang menyatakan bahwa terjadinya perubahan warna pada kayu menjadi berwarna coklat (browning) dapat disebabkan oleh penggunaan senyawa kimia dan pelukaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan warna merupakan respon non-spesifik tanaman terhadap gangguan, karena respon dapat ditemukan baik pada cabang yang diberi perlakuan MeJA maupun cabang yang diberi pelukaan. Perlakuan MeJA (secara berulang) menghasilkan rata-rata perubahan warna kayu berkisar antara putih kecoklatan, coklat, sampai coklat kehitaman. Pada 75 hsi, induksi MeJA (secara berulang) dengan satu kali, dua kali, tiga kali dan empat kali pengulangan menghasilkan rata-rata warna kayu coklat kehitaman (Gambar 2). Semakin lama periode induksi (sampai dengan 75 hsi) warna kayu semakin gelap. Namun, hal tersebut bertentangan dengan pernyataan Putri (2007), yang menyatakan bahwa pada satu kali induksi MeJA pada 75 hsi, umumnya kayu kembali berwarna putih atau putih kecoklatan. Pada kayu yang diberi pelukaan (kontrol positif) hanya menghasilkan rata-rata warna kayu putih kecoklatan. Terjadinya perubahan warna kayu pada cabang yang diberi pelukaan mungkin disebabkan juga oleh mikroorganisme udara sebagai akibat adanya kontak langsung antara kayu dengan lingkungan luar. Menurut Anonim (1999), terbentuknya warna coklat pada kayu dapat disebabkan oleh cendawan mikroskopik penyebab blue stain. Cendawan penyebab blue stain tidak menyebabkan kebusukan dan efek tertentu pada kayu, selain perubahan warna kayu (Anonim 1999).
Umumnya semua cabang yang diberi perlakuan MeJA dan kontrol positif menunjukkan adanya perluasan panjang dan kedalaman zona perubahan warna. Berbeda dengan kontrol positif, perlakuan dengan induksi MeJA menyebabkan panjang dan kedalaman warna yang paling besar. Hal tersebut mungkin disebabkan karena MeJA merupakan elisitor kimiawi yang merangsang pembentukan fitoaleksin. Pada kontrol positif, penambahan panjang dan kedalaman terjadi karena adanya pelukaan. Pertambahan panjang zona perubahan warna menunjukkan adanya aktivitas fisiologis yang bersifat sistemik pada kayu. Kulit kayu dan kambium telah dibuang saat awal perlakuan induksi MeJA dan pelukaan, namun arah panjang zona perubahan warna yang terbentuk menuju ke dua arah, yaitu ke apeks (menuju daun) dan ke basal (menuju batang utama) (Gambar 3). Beberapa data perubahan warna memiliki nilai simpangan baku yang cukup besar (Tabel 2), hal ini menunjukkan bahwa ulangan untuk perlakuan MeJA dan pelukaan perlu ditambah. Adanya nilai simpangan baku yang cukup besar tersebut ditemukan juga pada beberapa data kedalaman (Tabel 3) dan panjang zona perubahan warna kayu (Tabel 4 dan 5) serta tingkat wangi (Tabel 6). Aroma wangi hanya terdeteksi pada bagian cabang yang diberi perlakuan MeJA. Hal ini membuktikan bahwa respon wangi merupakan respon spesifik terhadap bentuk gangguan tertentu, yaitu induksi MeJA. MeJA merupakan senyawa sinyal bagi pembentukan komponen fitoaleksin (Michiho 2005). Pada pohon gaharu, salah satu senyawa fitoaleksin mengeluarkan aroma yang khas. Aroma wangi yang dihasilkan dari induksi MeJA seperti wangi bunga melati dan berbeda dengan aroma wangi gaharu alam. Aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu sebanding dengan kepekatan warna kayu. Hal ini didukung oleh pernyataan Rahayu et al. (1999), yang menyatakan bahwa terjadinya pembentukan wangi gaharu tidak selalu diikuti oleh perubahan warna kayu. Induksi MeJA (secara berulang) pada setiap kali panen mampu meningkatkan aroma wangi kayu yang hilang pada saat induksi sebelumnya. Adanya pemberian MeJA (secara berulang) hanya meningkatkan tingkat wangi tetapi tidak pada perubahan warna. Warna kayu akan semakin gelap meskipun tidak diberi perlakuan berulang. Peningkatan aroma wangi kayu diduga disebabkan oleh bertambahnya akumulasi
10
senyawa sesquiterpen, sedangkan penurunan atau hilangnya aroma wangi diduga disebabkan karena hilangnya senyawa sesquiterpen. Menurut Michiho (2005), aroma wangi yang muncul pada kayu gaharu diduga adalah senyawa sesquiterpen yang memiliki sifat mudah menguap. Selain itu, peningkatan dan hilangnya aroma wangi ini kemungkinan berhubungan dengan sifat MeJA yang mudah menguap (Srivastava 2002). Menurut Franceschi et al. (2002), penggunaan MeJA pada P. abies yang dilukai dan diinokulasi dengan Ceratocystis polonica dapat meningkatkan produksi fitoaleksin. Aroma wangi kayu hilang seiring dengan menguapnya MeJA, tetapi akumulasi deposit senyawa gaharu tetap terdeteksi hingga akhir pengamatan. Deteksi terpenoid berdasarkan uji histokimia, bukan spesifik terhadap kelompok sesquiterpen melainkan terpenoid secara keseluruhan, sedangkan analisis terpenoid (Harbone 1987) mendeteksi kehadiran kelompok terpenoid yang spesifik yaitu triterpenoid dan bukan sesquiterpen. Pembentukan Senyawa Gaharu dengan Induksi Kimia Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi MeJA dan pelukaan dapat merangsang pembentukan senyawa terpenoid. Menurut Srivastava (2002), pelukaan atau perlakuan dengan menggunakan protein sistemin pada jaringan tanaman atau sel mampu menginduksi terjadinya pembentukan MeJA. MeJA akan merangsang ekspresi gen penyandi respon ketahanan tanaman (Yang 1997). Meskipun MeJA merupakan fitohormon endogen, MeJA akan jauh lebih aktif jika diaplikasikan secara eksogen. Aplikasi MeJA pada kultur sel A. sinensis dapat merangsang pembentukan senyawa terpenoid (Michiho 2005). Senyawa terpenoid adalah metabolit sekunder yang diproduksi tanaman sebagai respon terhadap pelukaan, infeksi patogen dan perlakuan kimiawi (Nobuchi & Siripatanadilok 1991). Terpenoid disintesis dari isoprenoid melalui Acetyl CoA dan lintasan asam mevalonat (Srivastava 2002). Terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan (Roberts 2007) dan dikelompokan berdasarkan jumlah unsur karbon yang terdapat dalam senyawa tersebut. Terpenoid terdiri atas beberapa senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpen (C10) dan sesquiterpen (C15) yang mudah menguap, diterpen yang lebih sukar menguap (C20) dan senyawa yang tidak menguap, yaitu
triterpenoid dan sterol (C30) (Harbone 1987). Adanya senyawa terpenoid yang dihasilkan dari induksi MeJA dan pelukaan ini dibuktikan pada uji histokimia dan analisis terpenoid. Pada uji histokimia, deposit senyawa terpenoid ditunjukkan dengan butiran terpenoid yang terakumulasi dalam jumlah banyak pada jaringan parenkima jejari, dan dalam jumlah relatif lebih kecil pada included phloem, unsur trakea xilem dan empulur (Tabel 6). Hal ini didukung oleh pernyataan Ramadhani (2005), yang melaporkan adanya senyawa golongan terpenoid dalam jumlah banyak pada jaringan parenkima jejari dan dalam jumlah kecil pada included phloem, dan unsur trakea xilem. Parenkima jejari merupakan salah satu jaringan dasar pada tanaman yang menyusun sebagian besar tubuh tumbuhan. Menurut Blanchette (2003), included phloem merupakan jaringan pada Aquilaria yang mampu mensekresikan resin. Berbeda dengan parenkima jejari dan included phloem yang tersusun oleh sel-sel hidup, unsur trakea xilem dan empulur tersusun dari sel-sel yang mati, sehingga unsur trakea dan empulur hanya berperan sebagai jaringan pendeposit saja. Analisis terpenoid hanya ditujukan untuk mendeteksi kelompok triterpenoid. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya warna merah pada endapan setelah direaksikan dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Pada kayu yang diberi perlakuan MeJA, senyawa triterpenoid mulai terdeteksi pada 25 hsi (Gambar 7), dan tidak terdeteksi pada 10 hsi. Senyawa triterpenoid tidak terdeteksi pada 10 hsi mungkin disebabkan oleh jumlah deposit senyawa terpenoid yang masih sedikit. Dibandingkan dengan MeJA, pelukaan lebih lambat merangsang pembentukan senyawa triterpenoid pada kayu. Triterpenoid pada kontrol positif terdeteksi mulai 50 hsi (Gambar 7). Hal ini mungkin disebabkan juga karena masih terlalu sedikitnya jumlah senyawa terpenoid yang terakumulasi sehingga belum cukup untuk membentuk senyawa triterpenoid. Triterpenoid terdapat dalam damar dan getah (Harbone 1987). Triterpenoid berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba (Harbone 1987). Peluang Pemanfaatan Metode Induksi dengan MeJA Induksi gaharu dengan MeJA sejauh ini mempunyai peluang hasil yang cukup baik
11
dibandingkan dengan metode inokulasi mikroorganisme, misalnya seperti cendawan Acremonium sp. (Putri 2007). Induksi MeJA 750 mM (secara berulang) mampu menghasilkan deposit senyawa terpenoid gaharu lebih banyak dibandingkan dengan satu kali pemberian saja. Adapun keuntungan dari aplikasi induksi MeJA diantaranya adalah aplikasinya lebih sederhana dibandingkan dengan metode inokulasi cendawan dan bentuk formulasinya sudah komersial. Adapun kerugian dari aplikasi ini ialah pembentukan aroma wangi berfluktuasi. Tingkat wanginya meningkat ketika diinduksi MeJA dan menurun beberapa hari setelah induksi.
KESIMPULAN Perlakuan Aquilaria dengan pelukaan memiliki respon yang berbeda dengan perlakuan MeJA. Perlakuan MeJA memberikan hasil yang lebih baik. MeJA 750 mM dapat menginduksi pembentukan warna kayu lebih gelap dengan panjang serta kedalaman zona perubahan warna lebih besar dibandingkan dengan pelukaan. MeJA menginduksi pembentukan aroma wangi khas melati. Pada cabang yang diberi pelukaan ditemukan adanya perubahan warna kayu, namun tidak tercium aroma wangi khas gaharu. Pemberian MeJA (secara berulang) tidak dapat menyebabkan indeks warna memiliki korelasi dengan indeks wangi. Pemberian MeJA (secara berulang) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid gaharu lebih banyak dibandingkan hanya satu kali pemberian saja tetapi wangi kayu dapat bertahan sampai dengan 25 hari setelah aplikasi terakhir. Hal ini terbukti dengan semakin banyak pemberian maka semakin besar pula persentase luasan jaringan yang mengandung butiran terpenoid pada jaringan pengakumulasi. Akumulasi senyawa terpenoid ditemukan paling banyak pada jaringan parenkima jejari, dan menurun berturut-turut pada included phloem, unsur trakea xilem dan empulur. Senyawa terpenoid yang teridentifikasi berdasarkan analisis terpenoid mengandung komponen triterpenoid.
SARAN Teknik lain untuk meningkatkan produksi gubal gaharu perlu dilakukan. Metode untuk identifikasi senyawa terpenoid yang
terkandung dalam kayu gaharu perlu untuk diteliti lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. Blue Stain. Forest Product Laboratory. Madison, WI: US. Departemen of Agriculture. Babst BA, Ferrier RA, Gray DW. 2005. Jasmonic acid induces rapid change transport and partitioning in Populus. Am J Phytol 167: 63-72. Barden A, Anak NA, Mulliken T, Song M. 2000. Heart of the Matter: Agarwood Use and Trade and CITIES Implementation for Aquilaria malacensis. Cambridge: Traffict Int. Blanchette RA. 2003. Agarwood formation in Aquilaria trees: resin production in nature and how it can be induced in plantation grown trees [Abstrak ]. Di dalam: First International Agarwood Conference; Vietnam, 10-15 2003. Vietnam: European Comission.2003. hlm 10. Abstr no 1. Dewan Standarisasi Nasional. 1999. SNI 01/5009.1-1999 Gaharu. Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional. Filella I, Joseph P. 2005. Dynamics of the enhanced emissions of monoterpenes and methyl salicylate, and decreased uptake of formaldehyde, by Quercus ilex leaves after application of jasmonic acid. New Phytol 169 : 135-144. Franceschi VR, Trygve K, Erik C. 2002. Application of Methyl Jasmonate on Picea Abies (Pinaceae) stem induces defense related in phloem and xylem. Am J Bot 89: 578-586. Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I Sudiro, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Hoopkins WG, Hiiner NPA. 2004. Introduction to Plant Physiology Third Edition. University of Western Ontario USA: John Wiley & Sons, Inc. Janoudi A, Flore JA. 2003. Methyl jasmonate on fruit ripening leaf gas exchange and
12
vegetative growth in fruit trees [Abstrak ]. J Hort Sci Biotechnol 78: 793-797. Lieu N X. 2003. Seed Leaflet. Central Forest Seed Company. http : // www. google. com / searc? Q = cache : CblancRItgkj: sl.dk/upload/Aquilaria rassna_100_Html [20 Januari 2006]. Martin D, Tholl D, Gershenzon J. 2002. Methyl jasmonate induces traumatic resin ducts, terpenoid resin biosynthesis, and terpenoid resin accumulation in developing xylem of Norway Spruce stems. Plant Physiol 129: 1003-1008. Mert-Turk F. 2002. Phytoaleksin : defence or just respon to stress?. J Cell Mol Biol 1:16. Michiho I. 2005. Induction of sesquiterpenoid production by Methyl Jasmonate in Aquilaria sinensis cell suspension culture. Essential Oil Research. http//www. findarticles. com [12 Februari 2006]. Nobuchi T, Siripatanadilok S. 1991. Preliminary observation of Aquilaria crassna wood associated with the formation of aloewood. Bulletin of the Kyoto University Forest 63: 226-235. Putri A. 2007. Induksi terbentuknya senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna) dengan Acremonium dan MeJA [Skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Rahayu G, Isnaeni Y, Umboh MIJ. 1999. Potensi beberapa hifomiset dalam induksi gejala pembentukan gubal gaharu. Makalah Seminar Kongres Nasional Ke XV dan Seminar Ilmiah PFI: Purwokerto,
16-18 September 1999. Purwokerto : Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Hlm:1-6. Ramadhani CH. 2005. Pengamatan included phloem dan jaringan pengakumulasi gaharu pada Aquilaria crassna [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Roberts SC. 2007. Production and engineering of terpenoids in plant all culture. Nature Chem Biol 3: 387-395. Santoso E. 1996. Pembentukan Gaharu dengan cara inokulasi. Makalah diskusi hasil penelitian dalam menunjang pemanfaatan hutan yang lestari; Bogor, 11-12 Maret 1996. Bogor: Badan Litbang Kehutanan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hlm 1-3. Growth and Srivastava LM. Plant development. 2002. USA : Academic Press. Walker D Jr, Bray D. 1997. Diagnosing Field Problems. http://ag Crop .udel.edu/extension. [3 Maret 2006]. Yang Y, Shah J, Klessig DF. 1997. Signal perception and transduction in plant defense response. Review 11:1621-1639. Yuan QS. 1995. Aquilaria spesies: In vitro culture and production of eaglewood (agarwood). Di dalam : Bajaj YPS, editor. Biotechnol Agric Forest 33. Volume ke15. New York: Springer. Hlm: 36-46.