EFEKTIVITAS INSEKTISIDA TERHADAP LARVA CAPLAK SAPI (Boophilus microplus) PETERNAKAN SAPI POTONG DI JONGGOL KABUPATEN BOGOR
SHUFFUR HUSNA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Insektisida terhadap Larva Caplak Sapi (Boophilus microplus) Peternakan Sapi Potong di Jonggol Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Shuffur Husna NIM B04100150
ABSTRAK SHUFFUR HUSNA. Efektivitas Insektisida terhadap Larva Caplak Sapi (Boophilus microplus) Peternakan Sapi Potong di Jonggol Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan SUPRIYONO. Caplak sapi B. microplus merupakan ektoparasit penting pada sapi potong, terutama karena sifatnya yang haematofagus dan merupakan vektor babesiosis dan anaplasmosis. Pengendalian terhadap caplak B. microplus sampai saat ini masih banyak dilakukan dengan aplikasi insektisida kimiawi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas insektisida sipermetrin dan propoksur sebagai larvasida caplak B. microplus. Pengamatan lapang juga dilakukan untuk mengetahui prevalensi, derajat infestasi, serta sebaran infestasi caplak pada setiap regio tubuh sapi, yaitu regio kepala dan leher, abdomen, punggung, kaki, serta ekor. Telur hasil koleksi lapang ditetaskan hingga menjadi larva untuk diuji secara in-vitro terhadap sipermetrin dan propoksur dengan konsentrasi bertingkat yaitu 0.5 g/L, 1 g/L, 1.5 g/L, dan 2 g/L. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan terhadap dua puluh larva yang diberi perlakuan dengan insektisida di atas kertas saring dalam cawan petri. Pengamatan terhadap waktu kejatuhan (knock down time) (KT) dilakukan selama 6 jam dan selanjutnya 24 jam untuk kematian larva caplak. Hasil uji efikasi menunjukkan kematian 100% pada jam ke-24 untuk semua perlakuan. Berdasarkan hasil tersebut, insektisida sipermetrin dan propoksur efektif untuk larva caplak B. microplus. Pengamatan lapang menunjukkan prevalensi infestasi caplak B. microplus di peternakan sapi potong di Jonggol sebesar 46.88%, dengan infestasi tertinggi pada regio kepala dan leher (38.02%) dan terendah pada regio ekor (4.15%). Kata kunci: Boophilus microplus, efektivitas insektisida, propoksur, sipermetrin
ABSTRACT SHUFFUR HUSNA. Efficacy of Insecticides to Cattle Tick Larvae (Boophilus microplus) Beef Cattle Livestock in Jonggol Bogor Distric. Supervised by SUSI SOVIANA and SUPRIYONO. Boophilus microplus cattle tick is important ectoparasites of cattle, especially because of its hematophagous and also as vector of babesiosis and anaplasmosis. Application of chemical insecticide is still mostly done for control these tick. This study aimed to determine the efficacy of cypermethrin and propoxur as larvicides to B. microplus larvae. Field observation was also conducted to determine the prevalence, degree of ticks infestation, as well as the distribution of ticks infestations in cattle body region, i.e head and neck, abdomen, back, legs, and tail. Tick eggs from field collection were hatched to be larvae and tested in vitro to cypermethrin and propoxur in gradual concentrations 0.5 g/L, 1 g/L, 1.5 g/L, and 2 g/L. Testing conducted as much as three repetition on each group of 20 ticks larvae which were placed inside the insecticide impregnated paper. Observation of knockdown time (KT) were held for 6 hours then 24 hours for tick larvae mortality. Efficacy test showed 100% tick larvae were death at the 24th hour on all treatments. Based on these results, cypermethrin and propoxur stated effective to B. microplus larvae. Field observation showed the prevalence of B. microplus infestation in the amount of 46.88%, with the highest infestation obtained in the region of the head and neck (38.02%) and the lowest in the region of the tail (4.15%). Key words: Boophilus microplus, cypermethrin, efficacy of insecticides, propoxur
EFEKTIVITAS INSEKTISIDA TERHADAP LARVA CAPLAK SAPI (Boophilus microplus) PETERNAKAN SAPI POTONG DI JONGGOL KABUPATEN BOGOR
SHUFFUR HUSNA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi dengan judul Efektivitas Insektisida terhadap Larva Caplak Sapi (Boophilus microplus) Peternakan Sapi Potong di Jonggol Kabupaten Bogor dapat diselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi dan Bapak Drh Supriyono, MSi selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini serta kepada Ibu Dr Drh Ita Djuwita, MPhil PAVet (K) (Alm.) selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa FKH IPB. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, Drh Ignasius Resa C P, MSi, Isfanda, MSi, Aulia Syifak Bashofi, SKH, Zahara Fadilla, MSi, Elfira Septianie, M Ikhsan, SKH, Irene, Shady, Adam, Fredi Praja, Bapak Heri, Bapak Topik, Bapak Edi, Ibu Juju, Ibu Een dan seluruh staf, rekan penelitian, dan kakak-kakak program pascasarjana PEK di Laboratorium Entomologi Kesehatan FKH IPB yang selalu menemani dan membantu selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada sahabat tersayang Krishna M Reza, Monica Azizu, Siti K Nufus, Ika Masiiratul, Hafiizha, Iwan Saepudin, Siti Rohmah, Irza, Nandike, Inneke Fharantyka, Agits, Retno, Nadhear, Saadilah, Hanifah Arief, Jodie, dan teman-teman Acromion (Angkatan 47 FKH IPB) atas segala bantuan, persahabatan, dan kebersamaan selama ini. Penghargaan terbesar juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua Bapak Diki Hermawan dan Ibu Tati Susanti, nenek tercinta Ibu M Halimah, adik tercinta Muhajir Adzam, Yashna Hafizha, dan Silmi Nafila, serta segenap keluarga besar penulis atas segala do’a, semangat, dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai evaluasi bagi penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, Oktober 2014 Shuffur Husna
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Taksonomi dan Morfologi Caplak Sapi B. microplus
2
Siklus Hidup, Perilaku, serta Peran Penting B. microplus terhadap Sapi
3
Pengendalian Infestasi Caplak B. microplus pada Sapi Potong
5
Insektisida Propoksur dan Sipermetrin
6
METODE
7
Lokasi dan Waktu Penelitian
7
Pengukuran Prevalensi, Derajat Infestasi, dan Sebaran Caplak B. microplus
7
Aplikasi Insektisida secara In-vitro
7
Pengolahan Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN
8 13
Simpulan
13
Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
14
RIWAYAT HIDUP
17
DAFTAR TABEL 1 Rata-rata dan persentase sebaran caplak B. microplus pada tiap regio tubuh sapi 2 Rata-rata persentase kejatuhan larva B. microplus akibat perlakuan dengan insektisida sipermetrin 3 Rata-rata persentase kejatuhan larva B. microplus akibat perlakuan dengan insektisida propoksur
9 10 12
DAFTAR GAMBAR 1 A. Bagian tubuh B. microplus jantan dan betina dari ventral dan dorsal B. Caplak B. microplus jantan dan betina 2 Siklus hidup B. microplus pada sapi sebagi inang definitif 3 Persentase kejatuhan larva tiap menit akibat perlakuan dengan insektisida sipermetrin 4 Persentase kejatuhan larva tiap menit akibat perlakuan dengan insektisida propoksur
3 3 4 11 12
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk, kondisi ekonomi, serta tingkat konsumsi masyarakat menyebabkan peningkatan pula terhadap kebutuhan masyarakat akan pangan asal hewan. Hal tersebut mendorong peningkatan populasi ternak, baik sapi, domba, kambing, ayam, maupun ternak lainnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sampai dengan tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Populasi sapi potong meningkat dari 12 760 000 ekor pada tahun 2009 menjadi 16 607 000 ekor pada tahun 2013 (BPS 2014). Seiring meningkatnya kegiatan peternakan, kesehatan hewan menjadi masalah penting dalam kegiatan tersebut. Beberapa agen penyakit seperti virus, bakteri, jamur, maupun protozoa dapat menginfeksi ternak, khususnya sapi. Selain itu, infestasi ektoparasit berpengaruh terhadap kejadian penyakit pada sapi karena perannya sebagai vektor dan parasit. Ektoparasit yang biasa ditemukan pada sapi diantaranya lalat, kutu, tungau, pinjal, dan caplak (Wall dan Shearer 1997). Infestasi caplak menjadi perhatian penting pada peternakan sapi potong di Indonesia. Jenis caplak yang umum ditemukan pada sapi adalah Boophilus microplus. Infestasi caplak ini secara langsung dapat menyebabkan luka akibat bekas gigitan, infeksi sekunder, miasis, kelumpuhan, dan anemia jika infestasi sudah terlalu berat (Wall dan Shearer 1997; Gunandini 2006; Hadi dan Soviana 2010). Beberapa penyakit seperti anaplasmosis, babesiosis, dan theileriosis merupakan penyakit penting pada sapi yang dapat ditularkan oleh caplak (tickborne disease) (Petney 1993; Marcelino et al. 2012). Kerugian lain juga dirasakan peternak, terutama akibat meningkatnya transmisi penyakit, gangguan kesehatan ternak, serta kerugian ekonomi akibat penurunan produksi dan ketersediaan daging. Menurut Benitez et al. (2012) B. microplus dapat menyelesaikan siklus hidupnya secara sempurna pada kerbau air (Bubalus bubalis) dalam waktu yang tidak berbeda nyata seperti pada sapi Holstein. Selain itu, domba pun dapat menjadi inang alternatif caplak ini. Infestasi caplak B. microplus ditemukan pada total 113 domba dan 242 sapi di beberapa provinsi di Afrika Selatan (Nyangiwe dan Horak 2007). Hal ini menunjukkan bahwa B. microplus memiliki kisaran inang yang luas dan tentu saja berpengaruh terhadap pola penyebaran serta area infestasinya, sehingga diperlukan adanya perhatian terhadap caplak B. microplus pada ternak lainnya. Caplak merupakan ektoparasit yang sulit dikendalikan karena kondisi fisiologis dan reproduksinya. Larva caplak mampu bertahan di lingkungan hingga 45 bulan tanpa makan dan caplak betina dapat menghasilkan telur hingga 4 400 telur dalam satu siklusnya (Soulsby 1982; Gunandini 2006). Pengendalian secara kimia menggunakan insektisida merupakan cara yang paling sering digunakan di Indonesia, meskipun begitu belum banyak informasi mengenai efektivitas insektisida tersebut, sehingga diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui efektivitas suatu insektisida terhadap larva caplak B. microplus ini.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas insektisida propoksur dan sipermetrin terhadap larva caplak sapi B. microplus.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar dalam menentukan atau memilih insektisida yang cocok untuk pengendalian caplak sapi B. microplus.
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Caplak Sapi B. microplus Caplak B. microplus merupakan ektoparasit penting di bidang peternakan, terutama ruminansia. Menurut ITIS (2014), caplak keras B. microplus ini termasuk dalam klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Subkelas Superorder Ordo Sub Ordo Famili Genus Spesies
: Animalia : Arthropoda : Arachnida : Acari : Parasitiformes : Ixodida : Ixodides : Ixodidae : Boophilus : Boophilus microplus
Sapi merupakan inang definitif dari caplak ini dan terdapat inang alternatif lain yaitu kuda, domba, kambing, dan rusa. Caplak B. microplus merupakan caplak sapi yang tersebar di daerah selatan, terutama wilayah tropis, seperti Australia, Hindia Barat, Mexico, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia, dan Afrika Selatan (Soulsby 1982). Di Indonesia, caplak ini banyak ditemukan di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara (Gunandini 2006). Secara umum, kelas Arachnida memiliki tubuh yang terdiri atas sefalotoraks, memiliki empat pasang kaki, tidak bersayap, tidak memiliki antena, dan memiliki perangkat mulut yang terdiri atas sepasang khelisera dan sepasang pedipalpi. Caplak memiliki tubuh berbentuk bulat telur dan memiliki integumen (kulit) yang liat. Bagian dorsal caplak dilengkapi oleh skutum yang menutupi seluruh dorsal tubuh pada jantan, tetapi hanya sepertiga bagian dorsal anterior tubuh pada betina (Gambar 1) (Hadi dan Soviana 2010).
3
A
B
Gambar 1 A. Bagian tubuh B. microplus jantan dan betina dari ventral dan dorsal B. Caplak B. microplus jantan dan betina Sumber: Bennet (2013); Walker dan Mathew (2014)
Caplak keras memiliki ukuran panjang berkisar 220 mm. Tubuh caplak tanpa makan pipih dorso ventral dan terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior gnathosoma atau kapitulum dan bagian posterior idiosoma, mencakup kaki. Gnathosoma terminal selalu terlihat jika caplak dilihat dari dorsal. Bagian mulutnya terdiri atas palpus dengan empat segmen, yang merupakan organ sensoris sederhana. Diantara palpus terdapat suatu bagian berupa material padat bersklerosa yang disebut kelisera dan dilapisi oleh kantung keliseral. Bagian dari palpus yang membesar dan bersatu dengan koksa disebut dengan basis kapitulum. Dinding paling rendah dari basis kapitulum meluas ke anterior dan ke ventral membentuk suatu bagian di medial yang disebut hipostom, berbentuk seperti bibir bawah, dan terletak di bawah kelisera (Wall dan Shearer 1997). Caplak B. microplus dewasa tanpa makan berukuran 35 mm, tetapi betina dewasa dapat membesar saat kenyang darah hingga 1.2 cm. Larva caplak ini berukuran sangat kecil (<1 mm) dan biasanya tidak terlihat pada tubuh hewan yang terinfestasi (Junquera 2014).
Siklus Hidup, Perilaku, serta Peran Penting B. microplus terhadap Sapi B. microplus merupakan caplak berumah satu, yaitu caplak yang menyelesaikan daur hidupnya mulai dari stadium larva, nimfa, dan dewasa hanya pada satu inang, termasuk pergantian kulit (molting) dan perkawinan. Siklus hidup B. microplus dimulai dari telur, larva, nimfa, kemudian dewasa (Gambar 2). Setelah caplak betina dewasa kenyang darah, caplak akan menjatuhkan diri dan bertelur di tanah (Hadi dan Soviana 2010). Seekor induk caplak dapat menghasilkan telur hingga 4 400 telur, dengan periode pre-ovoposisi sekitar 239 hari, periode ovoposisi selama 444 hari, dan penetasan larva sekitar 14146 hari (Soulsby 1982). Periode parasitik caplak pada inang berlangsung selama 1752
4 hari dan larva yang tidak diberi makan dapat bertahan hidup hingga 20 minggu atau sekitar 45 bulan (Soulsby 1982; Gunandini 2006).
Gambar 2 Siklus hidup B. microplus pada sapi sebagai inang definitif Sumber: Centers for Disease Control (CDC) (2014)
Menurut Neitz (1956) caplak ini dapat mentransmisikan Babesia bigemina di Australia, Panama, dan Amerika Selatan, B. argentina di Australia dan Argentina, Anaplasma marginale di Australia dan Amerika Selatan, Coxiella burnetii di Australia, dan Borrelia theileri di Brazil. Caplak dapat menularkan penyakit melalui dua cara, yaitu secara transtadial dan transovarial. Secara transtadial artinya setiap stadium caplak baik larva, nimfa, maupun dewasa mampu menjadi penular patogen, sedangkan secara transovarial artinya caplak dewasa betina yang terinfeksi patogen akan dapat menularkannya pada generasi berikutnya melalui sel-sel telur (Hadi dan Soviana 2010). Lain halnya bagi kalangan peternak, caplak ini sangat merugikan karena mengisap darah sapi. Bekas gigitan caplak menjadi jalan masuknya bakteri yang memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi sekunder dan kemungkinan adanya lalat Chrysomia yang meletakkan telur pada luka tersebut. Telur lalat akan menetas menjadi larva dan memakan jaringan, hal tersebut dikenal dengan miasis. Kulit sapi yang terkena miasis memiliki nilai jual yang rendah atau bahkan tidak dapat dijual lagi sehingga merugikan peternak (Gunandini 2006). Caplak sapi juga mengeluarkan racun (ixovotoxin) yang dihasilkan bersamaan dengan air liurnya dan kemudian mempengaruhi susunan syaraf pusat dan neuromuscular junction, sehingga menyebabkan kelumpuhan (tick paralysis) (Wall dan Shearer 1997; Gunandini 2006; Hadi dan Soviana 2010). Infestai berat B. microplus pada sapi di Australia dilaporkan kemungkinannya menimbulkan gejala klinis dan perubahan patologis yang menunjukkan adanya tick-borne toxicosis (Branch 1976). Infestasi berlebihan pada anak sapi juga dapat menyebabkan anemia, kelumpuhan, dan akhirnya kematian (Gunandini 2006). Selain pada sapi, B. microplus dapat pula menyelesaikan hidupnya secara sempurna pada kerbau air (Bubalus bubalis) dalam waktu yang tidak berbeda nyata seperti pada sapi Holstein di Argentina, sehingga kerbau air pun menjadi hewan reservoir penting untuk caplak B. microplus. Hal tersebut berpengaruh terhadap penyebaran infestasi caplak ini, transmisi penyakit yang diakibatkan
5 B. microplus sebagai vektor, begitu juga dengan pola pengendalian caplak yang harus mencakup wilayah di mana sapi dan kerbau berdekatan (Benitez et al. 2012). Domba juga dapat menjadi inang alternatif caplak B. microplus. Infestasi caplak B. microplus ditemukan pada 113 domba dan 242 pada sapi di beberapa provinsi di Afrika Selatan (Nyangiwe dan Horak 2007).
Pengendalian Infestasi Caplak B. microplus pada Sapi Potong Beberapa cara dapat dilakukan untuk mencegah ternak terinfestasi oleh caplak, misalnya dengan memilih sapi yang tahan secara alamiah terhadap serangan caplak, seperti sapi zebu (Bos indicus) (AAHC 2001; Gunandini 2006). Infestasi caplak terhadap B. indicus bahkan kurang dari 2%, berbeda dengan spesies Bos Taurus yang 60% nya terserang caplak lebih dari 10% (Gunandini 2006). Selain itu, di kalangan peternakan kerap dilakukan “rotasi padang gembalaan”, yaitu pemutaran lokasi merumput setelah beberapa bulan (45 bulan), seperti yang dilaporkan di Australia oleh Wilkinson (1963) dalam Hadi dan Soviana (2010). Hal ini berkenaan dengan daya tahan hidup larva caplak di lingkungan tanpa mengisap darah (Gunandini 2006). Metode tradisional lain yang hingga saat ini masih banyak dilakukan oleh kalangan peternak di pedesaan yaitu dengan memungut, membunuh dan memencet caplak yang menempel pada sapi (Manurung 2002). Hal tersebut cukup efektif bila dilakukan pada peternakan kecil dengan jumlah sapi yang sedikit dan infestasi yang juga tidak terlalu berat. Insektisida alami juga dapat digunakan untuk mengendalikan caplak pada sapi. Wardhana et al. (2005) membuktikan keampuhan biji srikaya (Annona squamosa L) sebagai alternatif pengendalian caplak sapi di pedesaan. Metarhizium anisopliae, yang merupakan jamur berfilamen, dapat digunakan untuk mengendalikan caplak B. microplus dengan konsentrasi 107 spora/ml dengan perendaman caplak betina dewasa ke dalam suspensi konidial selama 30 detik dan menyebabkan 100% kematian setelah 2 minggu post-kontak (Frazon et al. 2000). Infestasi B. microplus biasanya tidak hanya di bagian tubuh tertentu saja, tetapi seluruh tubuh, sehingga teknik penggunaan insektisida dengan cara pencelupan (dipping) merupakan cara yang efektif. Penggunaan insektisida dengan cara ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi dan hanya efektif pada peternakan dengan jumlah ternak yang besar. Dosis yang digunakan pun akan berbeda untuk pengendalian setiap stadium caplak, mulai dari larva, nimfa, dan dewasa. Toksafene misalnya, insektisida ini efektif digunakan untuk mengendalikan larva caplak, tetapi tidak untuk caplak dewasa (Gunandini 2006). Teknik penggunaan insektisida lain juga dapat dilakukan untuk mengendalikan dan mengurangi infestasi caplak pada tubuh hewan, diantaranya ialah penyemprotan (spraying), topikal atau oles manual (spot treatment or hand dressing). Metode aplikasi akarisida lain yang biasa digunakan diantaranya ialah ear tags, neck bands, tail bands, dan pour-on, khususnya untuk aplikasi piretroid dengan aktivitas residual panjang (Rajput et al. 2006). Golongan insektisida yang biasa digunakan baik pada dipping maupun spraying diantaranya arsenik, hidrokarbon klorin, organofosfat, karbamat, dan piretroid (Nari 1990; Rajput et al. 2006).
6 Insektisida Propoksur dan Sipermetrin Propoksur merupakan insektisida, yang juga dapat digunakan sebagai mitisida, rodentisida, nematosida, antihelmintik, dan mollusida, yang termasuk gologan karbamat. Propoksur memiliki aktivitas kontak dan sistemik terhadap berbagai macam serangga/hama (Cecchine et al. 2000). Insektisida karbamat memiliki pola toksisitas selektif yang tidak menentu pada serangga. Insektisida ini tidak termasuk insektisida broad-spectrum dan bekerja dengan menghambat kolinesterase (ChE), yaitu enzim yang bekerja mengendalikan hidrolisis dari assetilkolin (AcH) pada sistem syaraf serangga (Coats 2014). Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang dihasilkan dalam vesikel-vesikel pada akson dekat celah sinaptik dan kemudian meneruskan rangsang syaraf pada celah sinaptik. Bila tidak terdapat ChE, maka AcH akan terakumulasi, sehingga terjadi gangguan transmisi rangsang, yang menyebabkan hiperaktifitas, inkoordinasi gerakan, tremor, menurunnya koordinasi otot-otot, konvulsi, dan kematian (Hadi dan Soviana 2010; Eaton 2014). Gejala yang ditimbulkan saat hewan terkena bahan ini ialah kolinergik, lakrimasi, salivasi, miosis, konvulsi, dan akhirnya kematian (O’Brien 1967). Lain halnya dengan organofosfat, kerja insektisida golongan karbamat bersifat reversibel (dapat balik). Karbaril, isolan, pirolan, dimetan, bendiokarb, dan mesurol merupakan insektisida yang juga termasuk dalam golongan karbamat (Eaton 2014). Sipermetrin merupakan insektisida broad-spectrum golongan piretroid. Insektisida ini, baik alami maupun sintetis, relatif aman bagi mamalia, tetapi sangat toksik bagi arthropoda (Cecchine et al. 2000). Insektisida piretroid termasuk dalam bahan kimia yang neurotoksik untuk serangga (Miller dan Adams 1982). Insektisida golongan ini bekerja dengan mengganggu transmisi impuls syaraf normal dengan mempengaruhi kanal ion sodium dan potasium pada sel syaraf serangga, yaitu dengan mencegah tertutupnya gerbang sodium (Coats 2014; Eaton 2014). Hal tersebut menyebabkan impuls syaraf akan terus berjalan. Pirethrum dan beberapa piretroid sintetis lainnya dapat menimbulkan gejala keracunan yang progresif, seperti hiperaktifitas, ataksia, konvulsi, dan terkadang paralisis (O’Brien 1967; Miller dan Adams 1982). Sipermetrin dengan konsentrasi 200 ppm efektif digunakan untuk mengendalikan caplak B. annulatus pada sapi secara in-vitro, namun untuk mencegah resistensi, penggunaan insektisida ini disarankan untuk digunakan dengan konsentrasi lebih dari 300 ppm (Ravindran et al. 2014). Insektisida propoksur dan sipermetrin merupakan insektisida yang bersifat residual namun dapat terurai di lingkungan maupun tubuh hewan melalui hidrolisis dan kelarutan dalam air, biodegradasi akibat sinar matahari, juga penguapan. Insektisida propoksur dan sipermetrin ini tidak menimbulkan efek keracunan yang berat pada mamalia baik secara oral, dermal, maupun inhalasi. Efek yang terlihat pada ternak/mamalia berupa kelelahan, tidak nafsu makan, muntah, nyeri perut, gejala pada sendi dan otot, serta efek-efek ringan lain pada kulit dan syaraf. Namun, pada tingkat keracunan yang sangat tinggi dapat menyebabkan tremor, hipersalivasi, hiperaktifitas, ataksia, urinasi, dan defekasi (Cecchine et al. 2000).
7
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor untuk pengujian in-vitro dan di peternakan sapi daerah Jonggol untuk pengamatan lapang. Penelitian dilakukan pada Bulan Mei hingga Juli 2014.
Pengukuran Prevalensi, Derajat Infestasi, dan Sebaran Caplak B. microplus Pengukuran prevalensi infestasi caplak pada sapi di peternakan dilakukan dengan menghitung jumlah sapi yang terinfestasi caplak dari keseluruhan sapi yang ada di peternakan. Prevalensi infestasi caplak ini ditentukan dengan rumus: Jumlah sapi yang terinfestasi revalensi 100 opulasi sapi total Sebaran infestasi menunjukkan jumlah infestasi caplak pada setiap regio tubuh sapi. Perhitungan infestasi caplak dilakukan dengan membagi tubuh sapi menjadi lima regio, yaitu: regio kepala leher, punggung, abdomen, kaki, dan ekor, dengan durasi penghitungan tiap regio selama dua menit untuk menyeragamkan penghitungan. Derajat infestasi caplak menunjukkan keparahan infestasi caplak per ekor sapi dan dikategorikan sebagai 0 = tanpa caplak, 1 = ringan (15 caplak), 2 = sedang (610 caplak), 3 = tinggi (1120 caplak), dan 4 = sangat tinggi (> 20 caplak) (Hadi dan Rusli 2006).
Aplikasi Insektisida secara In-vitro Penyediaan larva dilakukan dengan pemeliharaan caplak dewasa kenyang darah yang diambil dari tubuh sapi dan dari lantai kandang secara manual menggunakan tangan atau pinset. Pemeliharaan caplak dilakukan dalam stoples kaca koleksi yang dilengkapi aliran udara berupa lubang-lubang pada tutup stoples. Caplak dewasa dibiarkan dalam stoples dengan suhu dan kelembapan ruangan hingga caplak bertelur. Telur caplak dipelihara di tempat yang sama hingga menetas dan menjadi larva. Larva-larva tersebut selanjutnya digunakan dalam perlakuan. Sebanyak 160 ekor larva caplak dibagi menjadi 8 kelompok berdasarkan golongan serta konsentrasi insektisida, yaitu kelompok propoksur dari golongan karbamat dengan konsentrasi bertingkat 0.5 gr/L, 1 gr/L, 1.5 gr/L, dan 2 gr/L serta kelompok sipermetrin dari golongan piretroid dengan konsentrasi bertingkat 0.5 gr/L, 1 gr/L, 1.5 gr/L, dan 2 gr/L, ditambah satu kelompok sebagai kontrol. Dua puluh larva caplak diletakkan di atas kertas saring dalam cawan petri pada masing-masing kelompok. Aplikasi insektisida dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan insektisida menggunakan sprayer kecil ukuran 30 mL ke dalam setiap cawan petri yang berisi kelompok larva. Penyemprotan dilakukan
8 sebanyak tiga kali semprot di awal perlakuan pada setiap kelompok. Perlakuan insektisida dilakukan dengan tiga kali ulangan. Jumlah larva yang jatuh (tidak bergerak)/ mati dihitung pada menit ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 30, 40, 50, dan jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 24, dan 48 setelah perlakuan.
Pengolahan Data Angka kejatuhan dan kematian larva akibat perlakuan dengan insektisida diolah dengan merata-ratakan hasil dari tiga kali ulangan di setiap waktu pengamatan pada setiap perlakuan. Koreksi data dilakukan dengan koreksi angka kelumpuhan/kematian. Apabila angka kelumpuhan/kematian pada kelompok kontrol 515%, angka kelumpuhan/kematian pada kelompok perlakuan dikoreksi menurut rumus Abbot, yaitu : (A C) AI 100 (100 C) dengan AI = Angka kelumpuhan/kematian setelah dikoreksi A = Angka kelumpuhan/kematian pada perlakuan C = Angka kelumpuhan/kematian pada kontrol
HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi, Derajat Infestasi dan Sebaran Caplak B. microplus Populasi sapi di peternakan sapi potong di Jonggol sebanyak 32 ekor. Lima belas ekor diantaranya terinfestasi caplak B. microplus. Prevalensi infestasi caplak pada sapi potong di peternakan tersebut sebesar 46.88%. Manurung (2002) menyatakan bahwa prevalensi infestasi caplak pada sapi peranakan Ongol (PO) di Kecamatan Ciracap sebesar 44% (82 dari 187 ekor sapi) dan 30% (32 dari 107 ekor sapi) di Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tsai et al. (2011) menyatakan bahwa 6 (40%) dari 15 peternakan sapi potong dan sapi perah di Taiwan terinfestasi caplak, dengan prevalensi sebesar 4.5% (133 dari 2950 ekor sapi). Caplak yang dikoleksi menunjukkan 706 caplak (98.9%) dari total 714 caplak dewasa merupakan B. microplus dan 8 (1.1%) merupakan Rhipicephalus haemaphysaloides. Menurut Arong et al. (2012) dalam penelitiannya terhadap 50 sampel sapi di Calabar, Nigeria, infestasi caplak lebih banyak ditemukan pada sapi betina (59.1%) dibanding sapi jantan (40.9%) dan lebih banyak pada sapi umur tua (55.5%) dibanding umur muda (44.5%). Derajat infestasi caplak pada sapi yang terinfestasi rata-rata sebesar 20.87±22.66 caplak/sapi yang menunjukkan infestasi yang tergolong sangat tinggi (Hadi dan Rusli 2006). Infestasi caplak pada 15 ekor sapi yang terinfestasi terlihat menyebar di seluruh regio tubuh sapi dengan sebaran yang beragam (Tabel 1).
9
Tabel 1 Rata-rata dan persentase sebaran infestasi caplak B. microplus pada tiap regio tubuh sapi Regio
Rataan/ekor sapi
Persentase (%)
Kepala dan leher
7.93 ± 9.96
38.02
Kaki
6.33 ± 12.02
30.35
Abdomen
4.73 ± 6.56
22.68
Punggung
1.00 ± 2.27
4.80
Ekor
0.87 ± 0.99
4.15
Total
20.87 ± 22.66
100.00
Total infestasi caplak tertinggi terlihat pada regio kepala dan leher (38.02%) dan infestasi terendah terlihat pada regio ekor (4.15%) (Tabel 1). Hal tersebut dapat dikarenakan faktor lingkungan dan hewan yang saling berhubungan. Regio kepala dan leher serta regio kaki merupakan regio yang mudah dicapai oleh caplak karena regio tersebut sangat sering berkontak langsung dengan lingkungan. Regio kepala dan leher sering berkontak dengan pakan dan regio kaki berkontak langsung dengan lantai kandang serta lingkungan peternakan. Larva caplak biasanya bersembunyi pada rerumputan yang dijadikan pakan, sehingga pakan dapat menjadi sumber infestasi caplak, begitu pula dengan lantai kandang dan lingkungan peternakan yang juga menjadi tempat caplak betina dewasa untuk meletakkan telur-telurnya. Selain itu, regio tersebut banyak memiliki pembuluh darah perifer sehingga memudahkan caplak untuk menghisap darah. Katuri et al. (2013) dalam penelitiannya terhadap 1437 sapi dari empat desa berbeda di sekitar Jabalpur, Kota Madhya Pradesh, India, menyatakan bahwa regio yang paling banyak diinfestasi caplak B. microplus pada sapi ialah regio abdomen, leher dan lipatan longgar pada leher (dewlap), sedangkan infestasi terendah didapat pada regio ekor. Arong et al. (2012) menyatakan bahwa bagian kaki yang paling banyak diinfestasi oleh caplak adalah daerah lipatan paha (groin).
Efektivitas Insektisida Sipermetrin Rata-rata kejatuhan larva caplak berfluktuasi pada perlakuan dengan sipermetrin (Tabel 2 dan Gambar 3). Rata-rata kejatuhan tertinggi pada menit ke-1 terlihat pada konsentrasi 2 g/L yaitu sebanyak 9 larva caplak (45%), selanjutnya kejatuhan larva caplak mengalami fluktuasi hingga menit ke-60 dan terus meningkat hingga jam ke-6. Larva caplak yang jatuh kembali bangkit dan bergerak aktif pada setiap perlakuan dan terlihat hingga menit ke-120 pada konsentrasi 0.5 dan 1 g/L. Kematian tertinggi didapat pada konsentrasi 2 g/L sebesar 61.7% pada jam ke-6. Kematian larva ditandai dengan tidak adanya pergerakan yang terlihat pada larva. Kematian 100% terjadi pada semua konsentrasi pada jam ke-24 setelah perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sipermetrin efektif sebagai larvasida caplak B. microplus merujuk pada standar Kementerian Pertanian (Kementan) (2012). Insektisida dikatakan efektif pada
10 larva jika menyebabkan kematian tidak kurang dari 90% dalam waktu 24 jam. Brito et al. (2011) menyatakan bahwa aplikasi insektisida sipermetrin konsentrasi 0.00015% dengan metode Adult Immersion Test (AIT), yaitu perendaman 10 sampel caplak betina dewasa dalam 10 mL larutan selama 10 menit secara in-vitro, di Brazil hanya menyebakan 48.3570.50% kematian caplak B. microplus dan kurang efektif dibandingkan terhadap insektisida golongan lakton makrosiklik. Pengamatan terhadap larva setelah perlakuan dengan insektisida sipermetrin menunjukkan gejala klinis berupa kejatuhan, hiperaktif, lemas, dan konvulsi. Kerja sipermetrin pada syaraf, yaitu pada kanal ion sodium dan potasium, menyebabkan impuls syaraf normal terganggu. Impuls syaraf akan berjalan terus menerus dan menimbulkan respon sel tubuh yang berlebihan. Coats (2014) dan Eaton (2014) menyatakan bahwa insektisida sipermetrin bekerja dengan mencegah tertutupnya gerbang sodium, sehingga impuls syaraf terus berjalan. Insektisida sipermetrin dan golongan piretroid sintetis lainnya dapat menimbulkan gejala keracunan yang progresif, seperti hiperaktifitas, ataksia, konvulsi, dan terkadang paralisis (O’Brien 1967; Miller dan Adams 1982).
Tabel 2
Rata-rata persentase kejatuhan larva B. microplus akibat perlakuan dengan insektisida sipermetrin Kejatuhan (%)
Menit ke-
0.5 g/L
1 g/L
1.5 g/L
2 g/L
1
15.0
16.7
30.0
45.0
2
10.0
5.0
16.7
25.0
3
3.3
0
6.7
8.3
4
3.3
0
3.3
3.4
5
5.0
0
3.3
1.7
6
5.0
0
1.7
5.0
7
0
0
0
1.7
8
0
0
0
1.7
9
0
0
0
1.7
10
0
0
0
3.4
20
0
0
6.7
5.0
30
0
0
1.7
5.0
40
0
0
3.3
11.7
50
0
0
0
6.7
60
0
0
0
6.7
120
0
0
16.7
3.3
180
1.7
15.0
3.3
6.7
240
5.0
6.7
5.0
16.7
300 360 1440
6.7 16.7 100.0
6.7 10.0 100.0
6.7 1.7 100.0
26.7 61.7 100.0
Persentase Kejatuhan (%)
11 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
Konsentrasi 0.5 gr/L Konsentrasi 1 gr/L Konsentrasi 1.5 gr/L Konsentrasi 2 gr/L
Waktu (menit)
Gambar 3 Persentase kejatuhan larva tiap menit akibat perlakuan dengan insektisida sipermetrin
Efektivitas Insektisida Propoksur Kejatuhan larva caplak dengan perlakuan insektisida propoksur cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi. Rataan kejatuhan tertinggi sebanyak 13 larva caplak (65%) terjadi pada konsentrasi 2 g/L pada menit ke-1. Kejatuhan 100% pada konsentrasi 2 g/L mulai terlihat pada menit ke-3. Kejatuhan larva caplak terus meningkat pada setiap konsentrasi hingga menit ke-10, kemudian cenderung menurun hingga menit ke-120 dan meningkat kembali hingga menit ke-360 (jam ke-6) (Gambar 4). Hal tersebut dikarenakan kerja propoksur yang bersifat reversibel (Eaton 2014). Larva mengalami pingsan pada menit awal dan kembali aktif saat daya kerja propoksur hilang. Kematian tertinggi pada jam ke-6 terjadi pada konsentrasi 2 g/L yaitu sebesar 45%, sedangkan ratarata kematian pada konsentrasi lainnya menunjukkan nilai yang sama yaitu 3.3% (Tabel 3). Kematian 100% terjadi pada semua konsentrasi pada jam ke-24 setelah perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa insektisida ini efektif sebagai larvasida caplak B. microplus sesuai dengan standar Kementan (2012) mengenai efektivitas insektisida terhadap larva. Gejala klinis yang terlihat pada larva setelah perlakuan insektisida propoksur diantaranya pingsan, lemas, hiperaktif, dan tremor. Hal tersebut dikarenakan kerja insektisida yang mempengaruhi sistem syaraf. Kerja insektisida pada syaraf menyebabkan transmisi syaraf terus berjalan dan menimbulkan respon sel tubuh yang juga terus menerus. Insektisida golongan karbamat bekerja dengan menghambat kolinesterase (ChE), yaitu enzim yang bekerja mengendalikan hidrolisis dari asetilkolin (AcH) pada sistem syaraf serangga (Coats 2014). AcH akan terakumulasi pada saat tidak terdapat ChE, sehingga transmisi terus berjalan pada sel syaraf dan menyebabkan sel tubuh juga merespon terus menerus. Gejala klinis yang ditimbulkan biasanya berupa hiperaktifitas, inkoordinasi gerak, tremor, konvulsi, dan paralisis (Eaton 2014).
12 Tabel 3
Rata-rata persentase kejatuhan larva B. microplus akibat perlakuan dengan insektisida propoksur Kejatuhan (%)
Persentase Kejatuhan (%)
Menit ke-
0.5 g/L
1 g/L
1.5 g/L
2 g/L
1
35.0
46.7
56.7
65.0
2
40.0
71.7
58.4
88.4
3
50.0
75.0
66.7
100.0
4
61.7
83.3
86.7
100.0
5
63.3
88.3
91.7
100.0
6
68.3
93.3
66.7
100.0
7
68.3
93.3
95.0
100.0
8
70.0
93.3
95.0
100.0
9
73.3
93.3
95.0
100.0
10
66.7
96.7
95.0
100.0
20
58.3
81.7
93.3
95.0
30
51.7
60.0
83.3
96.7
40
23.3
43.4
80.0
85.0
50
21.7
31.7
58.3
20.0
60
10.0
25.0
56.7
10.0
120
1.7
5.0
1.7
3.3
180
1.7
1.7
3.4
15.0
240
1.7
3.3
0.0
18.3
300
1.7
3.3
1.7
45.0
360
3.3
3.3
3.3
45.0
1440
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
Konsentrasi 0.5 gr/L Konsentrasi 1 gr/L Konsentrasi 1.5 gr/L Konsentrasi 2 gr/L
Waktu (menit)
Gambar 4
Persentase kejatuhan larva tiap menit akibat perlakuan dengan insektisida propoksur
13 Hasil pengamatan pada kedua kurva persentase kejatuhan larva caplak terhadap sipermetrin dan propoksur menunjukkan adanya perbedaan. Kejatuhan larva dengan perlakuan insektisida sipermetrin menunjukkan kurva yang meningkat perlahan namun menimbulkan kematian lebih dari 50% (61.7%) pada jam ke-6 pengamatan. Sementara itu, kejatuhan larva akibat perlakuan dengan insektisida propoksur lebih tinggi pada menit awal pengamatan namun menunjukkan kematian yang lebih rendah (45%) pada jam ke-6. Insektisida golongan karbamat dan organofosfat menyebabkan kejatuhan yang cepat pada serangga (Cecchine et al. 2000). Gejala klinis yang ditimbulkan akibat perlakuan dengan insektisida sipermetrin maupun propoksur terlihat tidak berbeda karena kedua insektisida tersebut bekerja pada sistem syaraf, namun dengan cara kerja yang berbeda. Perbedaan cara kerja antara sipermetrin dan propoksur terhadap syaraf memungkinkan untuk digunakannya kedua insektisida tersebut secara bergantian apabila satu diantaranya telah menunjukkan adanya resistensi pada serangga. Insecticide Resistance Action Committee (IRAC) (2014) menyatakan bahwa potensi terjadinya resistensi silang antara insektisida dengan cara kerja (sub-grup) yang sama lebih besar dibandingkan terhadap insektisida dengan cara kerja yang berbeda, sehingga rotasi insektisida dengan sub-grup yang sama seharusnya dihindari dan diperlukan adanya pilihan alternatif untuk mempertahankan kerentanan hama. Pengendalian caplak di peternakan melalui pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan memperhatikan aspek bioekologi caplak serta dengan penggunaan insektisida. Lingkungan kandang yang menjadi sumber infestasi caplak harus selalu dibersihkan untuk mencegah infestasi yang lebih tinggi. Penggembalaan sapi di sekitar kandang juga lebih baik dilakukan pada siang hari untuk menghindari larva caplak yang biasanya naik ke lingkungan pada pagi hari. Insektisida propoksur dan sipermetrin yang terbukti efektif terhadap larva B. microplus dapat diaplikasikan untuk mengendalikan populasi larva di lingkungan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Prevalensi infestasi caplak B. microplus pada sapi di peternakan sapi potong di Jonggol sebesar 46.88% (15 dari total 32 ekor sapi). Infestasi caplak dari yang tertinggi hingga terendah secara berurutan terdapat pada regio kepala dan leher, kaki, abdomen, punggung, dan ekor. Kematian 100% larva caplak terjadi pada jam ke-24 setelah diberi perlakuan insektisida. Insektisida sipermetrin dan propoksur efektif sebagai larvasida caplak B. microplus.
14 Saran Perlu dilakukannya pengujian lapang menggunakan insektisida sipermetrin dan propoksur terhadap caplak B. microplus. Prevalensi infestasi caplak di peternakan sapi Jonggol dapat diturunkan dengan aplikasi insektisida propoksur dan sipermetrin terhadap larva B. microplus di lingkungan peternakan.
DAFTAR PUSTAKA [AAHC] Australian Animal Health Council. 2001. Animal Health in Australia 2000. Canberra (AU): AAHC Ltd. Arong GA, Okon OE, Obhuokhenan AA, Esekhagbe OR, Okorafor KA, Emevatha O. 2012. The infestation rates and predilection sites of ticks on cattles and dogs in Calabar, Nigeria. Int J Current Rsc. 4(5):7376. Benitez D, Cetra B, Christensen MF. 2012. Riphicephalus (Boophilus) microplus ticks can complete their life cycle on the water buffalo (Bubalus bubalis). J Buffalo Sci. 1(2):193197. Bennet C. 2013. Ectoparasites and endoparasites [Internet]. [diunduh pada 2014 Okt 21]. Tersedia pada: http://www.southampton.ac.uk/~ceb/EctoEndo directory/ectovetlink.htm. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Populasi ternak 20002013 [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 13]. Tersedia pada: http:// www. bps. go. id/ tab_ sub/ view. php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=24%20¬ab=12. Branch DC. 1976. Ticks of Veterinary Importance. Washington DC (US): United States Department of Agriculture. Brito LG, Barbieri FS, Rocha RB, Oliveira MCS, Ribeiro ES. 2011. Evaluation of the efficacy of acaricides used to control the cattle tick, Ripicephalus microplus, in dairy herds raised in the Brazilian Southwestern Amazon. [artikel]. Veterinary Medicine International. [CDC] Centers for Disease Control. 2014. Riphicephalus microplus [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 13]. Tersedia pada: http://eolspecies.lifedesks.org/ pages/. Cecchine G, Golomb BA, Hilborne LH, Spektor DM, Anthony CR. 2000. A review of the scientific literature as it pertains to gulf war illnesses: Pesticides [Internet]. [diunduh pada 2014 Sep 12]. Tersedia pada: http://www.gulflink.osd.mil/library/randrep/pesticides_paper/mr1018.8.ch7. html. Coats J. 2014. Insecticides mode of action [Internet]. [diunduh pada 2014 Agu 11]. Tersedia pada: http: // agronomy. cfans. umn. edu/ prod/ groups/ cfans/ @pub/@cfans/@agronomy/documents/asset/cfans_asset_289472.pdf. Eaton A. 2014. How insecticides work [Internet]. [diunduh pada 2014 Agu 11]. Tersedia pada: https:// extension. unh. edu/ resources/ files/ Resource 000504_Rep526.pdf.
15 Frazzon APG, Silva IVJ, Masuda A, Schrank A, Vainstein MH. 2000. In vitro assessment of Metarhizium anisopliae isolates to control cattle tick Boophilus microplus. Vet Parasitol. 94:117125. Gunandini DJ. 2006. Caplak atau Sengkenit dalam Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit HS, Hadi UK, editor. Bogor (ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman. hal 150157. Hadi UK, Rusli VL. 2006. Infestasi caplak anjing Rhipicephalus sanguineus (parasitiformes: ixodidae) di daerah kota Bogor. J Med Vet Indones. 10(2):5560. Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr. [IRAC] Insecticide Resistance Action Committee. 2014. IRAC MoA classification scheme [Internet]. [diunduh pada 2014 Sep 2]. Tersedia pada: http://www.irac-online.org/documents/moa-classification/?ext=pdf. [ITIS] Interagency Taxonomic Information System. 2014. Boophilus microplus (Canestrini, 1888) [Internet]. [ diunduh pada 2014 Jul 13]. Tersedia pada: http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search _value=82768. Junquera P. 2014. Species, geographic distribution, and prevalence of Boophilus ticks [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 13]. Tersedia pada: http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article&id=2 543&Itemid=2819. Katuri RN, Das G, Chalhotra SK, Singh AK. 2013. Analysis of site of predilection for the ticks of family Ixodidae. Int J Food Agr Vet Sci. 3(2):4246. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian RI. Manurung J. 2002. Studi prevalensi infeksi caplak pada sapi di Kecamatan Ciracap dan Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dan caracara peternak menanggulanginya. Di dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. Marcelino I, Almeida AM, Ventosa M, Pruneau L, Meyer DF, Martinez D, Lefrancois T, Vachiery N, Coelho AV. 2012. Tick-borne disease in cattle: Aplications of proteomics to develop new generation vaccines. J Proteomics. 75:42324250. Miller TA, Adams ME. 1982. Mode of Action of Pyrethroids dalam Insecticide Mode of Action. Coats JR, editor. London (GB): Academic Pr. Nari A. 1990. Methode currently used for the control of one-host ticks: their validity and proposals for future control strategies. Di dalam: Coluzzi M, editor. Proceedings of the FAO Expert Consultation on revision of strategies for the control of ticks and tick-borne disease; 2529 September 1989; Roma, Italia. Parasitologia. 32(1):133143. Neitz WO. 1956. A consolidation of our knowledge of the transmission of tickborne disease. Ondersteport J vet Res. 27:115163. dalam Soulsby
16 EJL .1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7. London (GB): Bailliere Tindall. Nyangiwe N, Horak IG. 2007. Goats as alternative hosts of cattle tick. Onderstepoort J Vet Research. 74:17. O’Brien RD. 1967. Insecticides: Action and metabolism. London (GB): Academic Pr. Petney TN. 1993. A preliminary study of the significance of ticks and tick-borne disease in South-east Asia. Mitt Osterr Ges Tropenmed Parasitol. 15:3342. Rajput ZI, Song-hua HU, Wan-jun C, Abdullah A, Chen-wen X. 2006. Importance of ticks and their chemical and immunological control in livestock. J Zheijiang Univ SCIENCE B. 7(11):912921. Ravindran R, Ramankutty SA, Juliet S, Palayullaparambil AKT, Gopi J, Gopalan AKP, Nair SN, Ghosh S. 2014. Comparison of in vitro acaricidal effects of commercial preparations of cypermethrin and fenvalerate against Rhipicephalus (Boophilus) annulatus. Springer Plus. 3:9094. Soulsby EJL .1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7. London (GB): Bailliere Tindall. Tsai YL, Chan JPW, Chen SK, Hsieh JC, Chuang ST. 2011. Survey of species of tick infesting cattle in Taiwan. Taiwan Vet J. 37(2):7482. Wall R, Shearer D. 1997. Veterinary Entomology: Arthropod Ectoparasites of Veterinary Importance. London (GB): Chapman&Hall. Walker A, Matthew R. 2014. The tick collections [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 13]. Tersedia pada: http://www.nhc.ed.ac.uk/index.php?page=25.119. Wardhana AH, Husein A, Manurung J. 2005. Efektifitas ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L) dengan pelarut air, methanol dan heksan terhadap mortalitas larva caplak Boophilus microplus secara in vitro. JITV. 10(2):134142. Wilkinson PR. 1963. Pasture spelling as a control measure for cattle ticks in Southern Dueensland. Australian Journal of Agricultural Research. 15:822840. dalam Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.
17
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Subang, 18 Juni 1992 sebagai anak pertama dengan tiga adik dari pasangan Bapak Ir. H. Diki Hermawan dan Ibu Tati Susanti. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2004 di SD Negeri 1 Cisarua, Bandung. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2007 di SMP Negeri 1 Cimahi, kemudian melanjutkan pendidikan menengah atasnya di SMA Negeri 6 Bandung dan lulus pada tahun 2010. Melalui jalur Ujian Talenta Mandiri Institut Pertanian Bogor (UTM IPB) penulis melanjutkan pendidikannya sebagai salah satu mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Selama menjalani pendidikan sebagai mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten mata kuliah Embriologi dan Genetika Perkembangan pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013 dan mata kuliah Parasitologi Veteriner: Ektoparasit pada tahun ajaran 2013/2014, dan pada semester ganjil tahun ajaran 2014/2015, menjadi Ketua Divisi Dana dan Usaha Organisasi Mahasiswa Daerah “ aguyuban Mahasiswa Bandung”, Ketua Divisi Cluster Primata Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Satwaliar FKH IPB, Anggota Komunitas Seni “Steril” FKH I B dan aduan Suara Gita Klinika, Anggota Divisi Internal Himpro Satwaliar FKH IPB, Anggota Divisi Vocal Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman, dan Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Paduan Suara Mahasiwa (PSM) Agria Swara IPB.