Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN SAPI POTONG MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN MIKRO DI KABUPATEN SARMI PAPUA (Developing Beef Cattle Agribusiness Through Micro Management Improvement in Sarmi Regency, Papua Province) WIDAYATI, T.W. dan E.K. SUAWA Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua
ABSTRACT This observation has been done of Sarmi Regency in Papua Province for 2 months. The aim of this observation was to investigate the factors that influence beef cattle agribusiness. The observation was done based on the descriptive method with purposive respondents. The variables observed were population achievements, life weight and carcass percentage, beef demand, break even point, profit analysis. All data were tabulated. The result of this observation showed that the average cattle population achievement was about 74% with 20 – 85% in range, with sustainable population achievement about 45%. Carcass percentage was at a normal range (58 – 60%), but the meat percentage was lower than that in other regency (Manokwari and Sorong). Meat value demand was 15.776 kg/year where 100% supplied from inside the regency. The price was not fixed yet, while the biggest profit proportion was held by primary trader. Key Word: Bali Cattle, Agribusinesss, Mikro Management ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor mendasar yang mempengaruhi kelancaran pengembangan sistem agribisnis sapi potong di Kabupaten Sarmi melalui analisis manajemen mikro. Penelitian dilakukan selama dua bulan, menggunakan metode deskriptif dengan teknik observasi dan wawancara di wilayah Kabupaten Sarmi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposip terhadap responden para pelaku dalam sistem agribisnis ini. Variabel yang diamati meliputi: l) Capaian populasi sapi potong, 2) Berat hidup dan komposisi karkas sapi potong, 3) Tingkat permintaan daging, 4) Kajian titik impas usaha peternakan rakyat, 5) Analisis pendapatan usaha sapi potong. Data yang diperoleh dianalisis secara tabulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1). Capaian Populasi di Kabupaten Sarmi rata-rata adalah 74% dengan kisaran antara 20 s/d 85%, dengan capaian populasi lestari sebesar 45% jumlah populasi 900, populasi lestari 2508 dan kekurangan 1608, (2). Persentase karkas sapi-sapi di wilayah Kabupaten Sarmi adalah normal dengan kisaran 58 s/d 60% dari berat hidup, tetapi bobot daging relatif lebih kecil dibandingkan dengan wilayah Jayapura dan Manokwari, (3) Tingkat permintaan daging sapi di Kabupaten Sarmi adalah sebesar 15.776 kg/tahun dan 100% kebutuhan dicukupi dari dalam wilayah tersebut, (4) Di Kabupaten Sarmi belum dilakukan penetapan harga untuk biaya pemeliharaan sapi agar peternak memperoleh keuntungan real dalam pemeliharaan sapi, (5) Persentase keuntungan yang terbesar masih dimiliki oleh subsistem pengolah primer (pejagal) dan pengolah dan masih relatif kecil pada tingkat peternak dikarenakan kepemilikan ternak yang kecil. Kata Kunci: Sapi Bali, Agribisnis, Manajemen Mikro
PENDAHULUAN Lingkungan ekonomi baik eksternal maupun internal yang dihadapi oleh subsektor peternakan mengalami perubahan dan pergeseran yang mendasar dan menyeluruh. Perekonomian secara umum mengarah pada
346
liberalisme perdagangan, globalisasi ekonomi, dan industrialisasi peternakan. Hal ini membawa konsekuensi menyatunya pasar produk peternakan, mobilitas sumberdaya peternakan antar kawasan ekonomi, dan meningkatnya intensitas dan cakupan kompetisi. Perkembangan domestik ini
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
membawa implikasi pada peningkatan tuntutan akan jumlah, kualitas, keragaman, dan atribut produk peternakan. Dalam lingkungan iklim seperti ini maka kata kunci untuk memanfaatkan peluang adalah meningkatkan daya saing wilayah. Untuk mencapai daya saing ini, pendekatan pembangunan dengan paradigma lama perlu dirombak untuk disesuaikan dengan iklim tersebut di atas. Sub sektor peternakan akan bertahan (survive) dan berkembang bila dilakukan perubahan sistematis dan integratif dalam pembangunannya. Menurut MARZUKI (2005), pembangunan pertanian termasuk peternakan akan memiliki daya saing bila didukung oleh sektor ekonomi yang lain, khususnya industri, dalam hal ini berarti pembangunan peternakan diasosiasikan dengan pengembangan agroindustri atau agribisnis. Oleh karena itu pembangunan agribisnis peternakan harus bersifat makro, yang harus didukung oleh struktur, perilaku dan kinerja mikro dari peternakan itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor mendasar yang mempengaruhi kelancaran pengembangan sistem agribisnis sapi potong di Kabupaten Sarmi Papua melalui analisa mikro manajemen.
kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan komoditi ternak secara alamiah, berdasarkan kemampuan alam dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut peternak dalam peme1iharaan ternak. Di samping itu, angka capaian populasi dapat digunakan untuk mengindikasi apakah usaha peternakan di wilayah tersebut telah memenuhi kaidah-kaidah tertentu dalam manajemen pemeliharaannya. Populasi harapan merupakan jumlah populasi ternak yang seharusnya tercapai apabila suatu usaha peternakan memenuhi seluruh kaidah manajemen pemeliharaan yang baik dan juga memenuhi aturan baku tentang ternak yang boleh dijual atau dipotong. Populasi kenyataan, adalah jumlah yang pernah dimiliki oleh peternak, merupakan penjumlahan total dari ternak yang pemah dimiliki, dipelihara, dijual, dikonsumsi, atau mati selama masa pemeliharaan. Tabel 1. Capaian populasi ternak di Kabupaten Sarmi Kampung Amsira Bagarserwar
MATERI DAN METODE
Mararena Sarmi
Penelitian dilakukan selama dua bulan, dengan menggunakan metode deskriptif dengan teknik observasi langsung dan wawancara ke peternak di wilayah Kabupaten Sarmi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive terhadap responden, sebagai pelaku dalam sistem agribisnis ini. Variabel yang diamati meliputi: 1) Capaian populasi sapi potong, 2) Berat hidup dan komposisi karkas sapi potong 3) Tingkat permintaan daging, 4) Kajian titik impas usaha peternakan rakyat, 5) Analisis pendapatan usaha sapi potong. Data yang diperoleh dianalisis secara tabulasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Capaian populasi sapi potong Dalam suatu wilayah sangat penting untuk mengetahui capaian populasi ternak sapi. Hal ini bermanfaat untuk mengukur sejauh mana
Holmafen Armopa
Populasi Populasi Capaian kenyataan harapan populasi (ekor) (ekor) (%) 29
38
76
18
27
67
275
316
87
14
17
82
6
6
100
13
36
36
Kiren
20
22
90
Gwin Jaya
30
39
77
Betaf
28
55
51
Tangkar Nengke
21
24
87,5
Wakde
16
25
64
Total
470
605
822
Rata-rata
42,73
55
74,73
Dari hasil perhitungan terhadap populasi, antara populasi harapan dan populasi kenyataan, capaian rata-rata populasi di Kabupaten Sarmi adalah sekitar 74,73%. Hal ini dikarenakan, wilayah ini be1um menerapkan aturan baku bahwa penjualan ternak harus dari jenis kelamin jantan, dan dilarang melakukan penjualan ternak betina produktif. Penjualan ternak betina yang
347
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
produktif akan memberikan selisih yang nyata antara jumlah populasi yang seharusnya dapat dicapai dengan jumlah kenyataan selama tahun usaha. Dari responden yang diambil sebagai sampel di Kabupaten Sarmi terdapat sedikit banyak 50% petani peternak melakukan penjualan ternak betina produktif dengan alasan ternak yang dimiliki sudah terlalu banyak dan merasa tidak mampu menangani atau penjualan ternak dikarenakan terdesak kebutuhan untuk keperluan keluarga. Selain itu, terjadinya selisih antara populasi harapan dan kenyataan adalah karena belum diterapkannya sistem reproduksi yang bersifat intensif. Dari rata-rata peternak yang diambil sebagai contoh di Kabupaten Sarmi , mereka masih menjalankan sistem reproduksi alami (tanpa campur tangan peternak). Namun demikian jarak kelahiran (calving interval) menunjukkan angka ideal yakni 11 bulan sampai 14 bulan. Hal ini berarti dalam jangka waktu 11 s/d 14 bulan, ternak sapi mampu memproduksi sapi anak. Menurut BANDINI (2003) beberapa upaya untuk mendapatkan angka optimal calving interval adalah, mengupayakan peternakan dengan manajemen reproduksi yang intensif, yakni memerlukan campur tangan manusia untuk mengupayakan terjadinya perkawinan sapi betina yang siap
dibuahi dengan pejantan, petenak harus tahu pasti siklus birahi dari sapi miliknya untuk menghindari keterlambatan perkawinan yang berakibat terjadinya penundaan keberhasilan reproduksi. Analisis karkas Aspek lain yang perlu dicermati adalah mengenai komposisi karkas yang dihasilkan oleh sapi Bali di wilayah Sarmi. Berikut adalah perkiraan tentang komposisi karkas dan bagian lain yang ada di ternak sapi di Sarmi. Dilihat dari perkiraan komponen karkas sapi Bali yang ada di Sarmi memiliki persentase karkas berkisar 50,7 – 53,6%. Dari segi persentase, karkas sapi masih dalam kisaran normal. Menurut BANDINI (1996) karkas sapi Bali berkisar antara 52 s/d 57%. Namun dari segi berat daging, sapi-sapi di wilayah Sarmi memiliki berat yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain seperti Manokwari dan Sorong. Kisaran berat daging di Kabupaten Sarmi adalah 60 – 70 kg. Kisaran berat daging sapi di wilayah Manokwari dan Sorong adalah 70 s/d 100 kg. (WIDAYATI dan SUMPE,2005).
Tabel 2. Tabel proporsi komponen bagian hasil pemotongan sapi di Kabupaten Sarmi Komponen
Sapi Bali Sarmi (kg)
Persentase bagian tubuh Persentase bagian tubuh sapi sapi Bali Sarmi (%) (%) (BANDINI, 1996)
Kepala
12
Kulit
20
11
6,6
8
Jeroan
48
26
29
Usus, babat
8
4,4
Karkas
-
50,7 – 53,6
60 – 70
33 – 37
6
5 52
Terdiri atas Daging Tulang
-
16,6
Rusuk
10
-
-
Ekor dan punggung
20
-
-
Lain-lain Berat hidup dikurangi darah dan isi usus - = tidak ada data
348
41,7
2 180 – 190
1,10 100
9,6
1,1 100
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Analisis permintaan daging di Kabupaten Sarmi Tabel 3. Permintaan daging di Distrik Sarmi
Jenis komoditi
Jumlah permintaan/ tahun (kg)
Asal komoditi Sarmi (kg)
Luar Sarmi (kg)
Daging sapi
15.776
15.776
-
Daging ayam ras
25.813
-
25.813
288
288
-
Daging kambing
1.728
1728
-
Babi
9.600
9600
-
Daging ayam Kampung
- =tidak ada data
Dari hasil survei pasar ,khusus untuk komoditi sapi sebesar 15.776 kg dalam setahun setara dengan kurang lebih 225 ekor sapi dalam satu tahun. Perhitungan terhadap populasi lestari untuk ternak sapi, jumlah pejantan siap potong terhadap populasi lestarinya adalah sebesar 5,88 – 8,97% dari total populasi lestari (WIDAYATI dan SUMPE, 2005). Ini berarti bila kebutuhan pemotongan sapi di Sarmi adalah sebesar 225 ekor, maka populasi lestari, atau populasi keseluruhan sebelum ternak tersebut diambil adalah sebesar 2.508 s/d 3.826 ekor. Dengan komposisi jumlah sapi betina berkisar 38,6 – 41,15% dari populasi lestari tersebut. Tabel4. Populasi terhadap populasi Lestari Wilayah Distrik Sarmi, Tor Atas
Keterangan
Sapi (ekor)
Permintaan/tahun
225
Populasi 2005
900
Populasi Lestari
2508
Kekurangan
1608
Pantai Timur, Bonggo Permintaan/tahun
288
Populasi 2005
761
Populasi Lestari
3210
Kekurangan
2449
Dari data dasar Sarmi (2005), populasi sapi di distrik Sarmi dan Pantai Barat berjumlah 900 ekor, berarti jumlah tersebut masih jauh
dibawah populasi yang seharusnya ada untuk tetap menjaga kelestariannya. Dari sini, sangat penting untuk menyadari tingkat urgensi penanganan populasi sapi di Kabupaten Sarmi. Penanganan terlambat terhadap populasi akan menjadikan pengurasan stok bakalan yang berlebihan, yang akan mempengaruhi kesinambungan usaha peternakan di kabupaten. Analisis titik impas usaha peternakan Analisis break even digunakan untuk menentukan suatu usaha dalam titik impas, atau tidak untung maupun tidak rugi (ATMAJA, 1999). Komponen penentu dalam analisis break even adalah harga jual dan biaya, baik biaya variable maupun biaya tetap. Manfaat dari analisis break even adalah membantu dalam penetapan harga per unit. Komponen break even dalam usaha peternakan sapi di Kabupaten Sarmi, terkait dengan harga jual komoditi dan biaya yang dikeluarkan. Harga jual sapi di Kabupaten Sarmi sangat ditentukan oleh mekanisme pasar. Harga jual sapi jantan umur 2 – 3 tahun di Kabupaten ini adalah Rp. 3.500.000 s/d 4.000.000 sedangkan sapi betina berkisar antara Rp. 2.000.000 s/d 3.000.000. Sangat sulit untuk melakukan analisis break even demi mendapatkan harga jual komoditi sapi, dikarenakan harga sapi merupakan faktor luar (external factor) yang lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Oleh karena itu, analisis break even lebih ditujukan untuk penetapan sarana produksi (pakan, obat-obatan biaya penyusutan kandang, dll.) yang merupakan internal factor atau faktor yang bisa dikendalikan. Pakan sapi yakni berupa hijauan, di beberapa wilayah lain seperti Manokwari dan Sorong telah mengarah komersial. Hal ini terbukti dengan terdapatnya penjualan rumput per ikat Rp. 5.000 dengan berat ± 25 kg, yang merupakan konsumsi perhari 1 unit ternak dewasa. Sedang di Sarmi peternakan rakyat umumnya masih menempati ladang-Iadang kosong milik masyarakat Papua yang merupakan kepemilikan komunal. Saat ini di Kabupaten Sarmi belum didapati penjualan rumput secara komersial. Peternak mendapatkan rumputnya masih dengan cara cuma-cuma. Namun sistem pemeliharaan
349
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 5. Perhitungan titik impas biaya pemeliharaan sapi potong peternakan rakyat (selama 13 tahun usaha) Komponen pemeliharaan
Jumlah (sesuai satuan)
Akumulasi hari pakan ( hari) Betina dewasa (2 s/d 12 tahun)
18615
Pejantan dewasa (2 tahun)
4380
Betina remaja (1 – 2 tahun)
2190
Pejantan remaja (1 – 2 tahun)
3468
Betina anak (0 – 1 tahun)
1734
Pejantan anak (0 – 1 tahun)
1734
Total
32120
Akumulasi aset ternak sapi selama 13 tahun usaha (Rp)
68.600.000
Harga bibit betina (Rp)
1.500.000
Perhitungan BEP
BEP biaya pemeliharaan = (akumulasi aset (Rp) – biaya bibit)/jumlah hari pakan BEP biaya pemeliharaan = Rp. (99.600.000 – 1.500.000)/32.120 hari BEP biaya pemeliharaan Rp. 3.054/hari
seperti ini lambat laun akan tergeser oleh unsur komersialisasi di segala bidang, termasuk hijauan akan berubah menjadi produk komersial yang diperdagangkan. Untuk mengantisipasi hal ini, maka perlu dilakukan perhitungan terhadap komponen break even point, terutama pada komponen internal yang dalam hal ini adalah hijauan. Perhitungan titik impas dapat dilihat pada Tabel 5. Dari hasil perhitungan terhadap BEP biaya pemeliharaan, pada penjualan sapi betina pada harga Rp. 3.000.000 dan sapi jantan pada harga Rp. 4.000.000 dihasilkan biaya pemeliharaan sapi per ekor per hari adalah Rp. 3.054, yang berarti pada biaya pemeliharaan per ekor sapi per hari tersebut peternak pada titik impas usaha. Sehingga direkomendasikan untuk memberikan biaya tidak boleh melebihi Rp. 3.054/ekor/hari, agar usaha peternakan menghasilkan keuntungan riil. Analisis keuntungan usaha peternakan Keuntungan beberapa pelaku usaha peternakan yakni peternak, pedagang pengumpul, pejagal, pengolah dan pemasar dapat dilihat pada Tabe1 6.
350
Tabel 6. Keuntungan peternak sapi Kabupaten Sarmi Jenis usaha
Keuntungan peternak (Rp) Minimal
Maksimal
736.000
5.402.000
Peternak sapi SI SII
4.682.000
5.402.000
SIII
21.927.792
22.097.962
Pejagal dan pengumpul
21600000
31680000
Pengolah
17.280.000
103.680.000
SI: Kepemilikan 1 – 2 ekor, SII: Kepemilikan 3 – 6 ekor; SIII: Kepemilikan 7 – 10 ekor
Menurut SARAGIH (2000), tujuan pembangunan peternakan bukan hanya meningkatkan permintaan dengan cara memperluas pasar dan meningkatkan daya beli (karena efisiensi produksi dan jumlah produk yang murah maka pembeli akan meningkat), tetapi tujuan akhirnya adalah meningkatkan pendapatan peternak. Untuk itu perlu mendorong peternak agar mampu bersaing pada skala lokal, regional, nasional maupun internasional. Oleh karena itu, peternak tidak
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
boleh berhenti pada tingkat usaha budidaya ternak (on farm business) atau penghasil bahan baku, kecuali dengan mutu produksi tinggi dan tingkat harga yang memadai melalui cara yang efesien. Jika memungkinkan maka peternak harus didorong pada tingkat usaha budidaya yang lebih tinggi lagi (off farm business). (SARAGIH, 2000). Dari Tabel 6 nampak bahwa kisaran pendapatan pada tingkat usaha pengolahan memiliki kisaran yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan pada tingkat peternak. Beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab kecilnya pendapatan peternak adalah tingkat perhatian petani masih terbatas pada tanaman pangan, lemahnya modal yang membuat petani kurang mampu mengambil resiko, dan penggunaan metode tradisional yang hanya didasarkan pada pengalaman yang diyakini dan bukannya teknologi (SIAGIAN, 1997). Pendapatan para peternak yang kecil di Kabupaten Sarmi lebih disebabkan pada penjualan yang kecil sekitar 1 ekor per tahun per peternak dikarenakan jumlah kepemilikan yang kecil. Pendapatan yang diperoleh pejagal di Kabupaten Sarmi memiliki kisaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tingkat peternak, hal ini jasa pejagal atau pengumpul belum banyak diminati oleh penduduk Sarmi, jumlah pejagal hanya 3 orang. Namun pendapatan tingkat pejagal di Sarmi, masih jauh dibandingkan dengan penghasilan pejagal di luar Sarmi, seperti Jayapura, Manokwari dan Sorong, yang memiliki keuntungan perekor pada kisaran Rp. 971.500 s/d 1.648.000. Kisaran yang lebih rendah dikarenakan jumlah daging perekor sapi di Sarmi yang relatif kecil (berkisar 60 – 70 kg), juga beberapa komponen hasil pemotongan belum biasa diperjualbelikan, seperti otak, kaki, kulit, kepala. Pendapatan pada tingkat pengolah memiliki kisaran yang lebih besar dibanding pendapatan pada tingkat peternak. Menurut SARAGIH (2000), pengolahan akan menciptakan nilai tambah pada produk dibandingakn produk yang hanya dijual sebatas bahan baku. Wilayah Sarmi yang terjadi peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun, akan meningkatkan pula permintaan pada produkproduk olahan karena kecenderungan masyarakat yang semakin sibuk, kurang
memiliki waktu untuk melakukan pengolahan sendiri. KESIMPULAN Dari beberapa masalah yang dicermati secara mikro dapat diambil kesimpulan bahwa 1. Capaian populasi: Berkisar antara 20 s/d 85% menandakan adanya perbedaan beberapa wilayah dalam hal kemampuan untuk memproduksi ternak secara alamiah. Rata-rata capaian populasi sebesar 74% menunjukkan bahwa populasi sapi potong di Kabupaten Sarmi masih dibawah capaian harapan (ideal). 2. Proporsi karkas: Ternak sapi di Kabupaten Sarmi memiliki persentase karkas yang normal, tapi bobot daging relatif lebih kecil dibanding ternak sapi dari Kabupaten lain seperti Manokwari dan Sorong. Bobot daging hanya berkisar antara 60 s/d 70 kg, sedang di Manokwari dan Sorong berkisar 60 s/d 100 kg. Yang berarti menciptakan selisih keuntungan penjualan komponen sapi yang berbeda antara wilayah tersebut. 3. Titik impas untuk biaya pemeliharaan sapi: Di Kabupaten Sarmi belum dilakukan penetapan harga untuk biaya pemeliharaan sapi agar peternak memperoleh keuntungan real dalam pemeliharaan sapi. Biaya pemeliharaan sapi untuk mendapatkan titik impas adalah sebesar Rp. 3.054/hari. 4. Analisis keuntungan: Persentase keuntungan yang terbesar masih dimiliki oleh subsistem pengolah primer (pejagal) dan pengolah dan masih relatif kecil pada tingkat peternak karena kepemilikan ternak yang kecil. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 1995. Data Dasar Kabupaten Sarmi. Pemerintah Daerah Kabupaten Sarmi, Papua. ATMAJA, L.S. 1999. Manajemen Keuangan (Edisi Revisi). Penerbit Andi, Yogyakarta. BANDINI, YUSNI. 2003. Sapi Bali. Penebar Swadaya. GUMBIRA-SAID, E., RACHMAYANTI dan M.Z. MUTTAQINH. 2004. Manajemen Teknologi Agribisnis. Ghalia Indonesia, Jakarta.
351
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
GUNAWAN, D. PAMUNGKAS dan L.S. AFFANDHY. 1998. Sapi Bali, Potensi, Produktifitas dan Nilai Ekonomi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. SARAGIH, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Usese Foundation dan Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Bogor. SIAGIAN, R. 1997. Pengantar Manajemen Agribisnis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
352
MARSUKI. 2005. Analisis Perekonomian Nasional & Internasional. Mitra Wacana Media. Jakarta. WIDAYATI, T.W. dan I. SUMPE. 2005. Analisa Sistem Agribisnis Sapi Potong di Propinsi Irian Jaya Barat. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua. WARDOYO, D. ADIWOSO, B.J. HABIBI, G. KARTASASMITA, SOEHADJI, R. THAWAF dan M.A. AZIZ. 1993. Agroindustri Sapi Potong. Cides, Jakarta.