CAPLAK Boophilus microplus DI PETERNAKAN SAPI POTONG DI JONGGOL DAN UJI EFIKASINYA TERHADAP MALATION DAN DELTAMETRIN
AGITSNISSALIMAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Caplak Boophilus microplus di Peternakan Sapi Potong di Jonggol dan Uji Efikasinya terhadap Malation dan Deltametrin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014 Agitsnissalimah NRP B04100187
ABSTRAK AGITSNISSALIMAH. Caplak Boophilus microplus di Peternakan Sapi Potong di Jonggol dan Uji Efikasinya terhadap Malation dan Deltametrin. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan SUPRIYONO. Boophilus microplus merupakan ektoparasit pengisap darah yang penting pada sapi karena dapat menyebabkan anemia dan merupakan vektor dari babesiosis dan anaplasmosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan larva caplak B. microplus di peternakan sapi potong daerah Jonggol, Kabupaten Bogor serta uji efikasinya terhadap insektisida malation dan deltametrin. Pengamatan terhadap kepadatan larva caplak B. microplus dilakukan pada pagi hari dan menunjukkan hasil yang tinggi pada area yang telindungi dari sinar matahari. Caplak B. microplus yang dikoleksi dari lapangan dipelihara hingga bertelur dan menetas menjadi larva. Sebanyak 20 larva caplak B. microplus diletakan pada cawan petri yang berisikan kertas saring untuk diuji efikasinya terhadap malation dan deltametrin dengan metode spraying pada konsentrasi 2 g/L, 1.5 g/L, 1 g/L dan 0.5 g/L dan dilakukan tiga kali ulangan. Hasil pengujian menunjukkan kejatuhan larva yang cepat pada malation dan angka kejatuhan larva yang berfluktuasi pada pengujian dengan deltametrin. Kedua insektisida tersebut menyebabkan kematian larva lebih dari 90% pada jam ke-24 pengamatan. Kata kunci: Boophilus microplus, deltametrin, efikasi insektisida, kepadatan larva, malation
ABSTRACT AGITSNISSALIMAH. Boophilus microplus in Beef Cattle Livestock at Jonggol and Effectiveness of Malation and Deltametrin to These Ticks. Supervised by SUSI SOVIANA and SUPRIYONO. Boophilus microplus is one of significant blood-sucking ectoparasites in cattle because of its ability for causing anemia and also as a vector of babesiosis and anaplasmosis. The objective of this study were to determine the density of B. microplus ticks larvae in beef cattle livestock located at Jonggol, Bogor District. The effectiveness of two classes of insecticide (malation and deltametrin) to these tick were conducted also. Observation of B. microplus larvae density was conducted in the morning and showed a high density on area that unrevealed to the sunlight. B. microplus that have been collected from field were reared until laid eggs and hatched into larvae to tested in vitro against malation and deltametrin using spraying method in concentrations 2 g/L, 1.5 g/L, 1 g/L and 0.5 g/L. Testing conducted as much as three repetition on each group of 20 ticks larvae which were placed inside the insecticide impregnated paper. The result showed a rapid rate of knock down of larvae on testing with malation and the fluctuative knock down rate on testing with deltametrin. Both of insecticide caused more than 90% larval mortality at the 24th hour of observation. Keyword: Boophilus microplus, deltametrin, efficacy of insecticide, larval density, malation
CAPLAK Boophilus microplus DI PETERNAKAN SAPI POTONG DI JONGGOL DAN UJI EFIKASINYA TERHADAP MALATION DAN DELTAMETRIN
AGITSNISSALIMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Caplak Boophilus microplus di Peternakan Sapi Potong di Jonggol dan Uji Efikasinya terhadap Malation dan Deltametrin” ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2014. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi sebagai pembimbing utama dan Bapak Drh Supriyono, MSi selaku pembimbing kedua yang telah mendukung dan membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan penyelesaian skripsi. Ungkapan terimakasih dan penghormatan yang besar selalu penulis curahkan kepada kedua orangtua, Ayahanda Henrajaya dan Ibunda Siti Zahro. Rasa sayang selalu tercurah untuk kakak dan adik-adik tercinta, Hanina Zakiyyah, Hanif Zahirul Fikri, Hana Azharunnailah dan Amanullah Qobus serta Mio kucing peliharaan penulis yang selalu menemani dan menghibur penulis. Terimakasih penulis sampaikan kepada Kakek Sukatma Djajadinata dan Nenek Rumanah yang selalu mendoakan cucu-cucunya serta keluarga besar H. Sukatma Djajadinata dan H. Nunu Nukman. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Rheza Rilo Pahlawan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi serta Ibu Dr Dra Ietje Wientarsih, Apt MSc selaku dosen pembimbing akademik, juga sahabat-sahabat tersayang Keke, Hafii, Nunu, Shuffur, Jodi, Hanif, Iwan, Grady, Cucu, Shady, Adam, Praja dan Irene yang telah memberi semangat penulis dalam penyelesaian skripsi, serta seluruh staf bagian Entomologi Kesehatan dan temanteman seperjuangan Acromion 47. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2014 Agitsnissalimah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Boophilus microplus Morfologi Biologi dan Peran B. microplus Malation Deltametrin METODE Tempat dan Waktu Penelitian Koleksi dan Pengukuran Kepadatan Larva B. microplus di Lapangan Aplikasi Insektisida secara In Vitro Prosedur Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan Larva Caplak B. microplus di Lingkungan Kandang Sapi Efektivitas Malation dan Deltametrin pada Larva Caplak B. microplus SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
vi vi 1 1 2 2 2 2 3 4 4 5 5 5 6 6 6 7 7 9 14 14 14 14 17
DAFTAR TABEL 1 Kepadatan larva caplak B. microplus di lapangan 2 Persentase rata-rata kejatuhan larva caplak B. microplus terhadap insektisida malation dan deltametrin
7 10
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Morfologi B. microplus Boophilus microplus Sketsa denah peternakan sapi Proses pengukuran kepadatan larva caplak Pengamatan di sekitar kandang Kurva persentase kejatuhan larva terhadap malation Kurva persentase kejatuhan larva terhadap deltametrin
2 3 8 9 9 12 12
PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan daging sapi untuk konsumsi oleh masyarakat terus meningkat. Tingginya permintaan daging sapi oleh masyarakat menyebabkan berkembangnya usaha peternakan sapi. Kendala dalam berternak sapi satu diantaranya adalah infestasi parasit. Parasit adalah organisme yang hidup menumpang pada tubuh organisme lain sehingga menimbulkan efek negatif pada organisme yang ditempati tersebut. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya pada bagian luar tubuh atau permukaan tubuh inangnya (Hadi dan Soviana 2010). Ektoparasit yang biasa terdapat pada sapi diantaranya adalah caplak sapi atau Boophilus microplus. Caplak sapi merupakan ektoparasit pengisap darah sehingga menyebabkan anemia pada ternak. Selain dapat menyebabkan anemia, caplak B. microplus juga merupakan vektor dari berbagai penyakit diantaranya Babesiosis (Babesia bovis dan Babesia bigemina), Anaplasmosis (Anaplasma marginale) serta equinepiroplasmosis (Theileria equi) (Jongejan dan Uilenberg 2004). Luka akibat gigitan caplak dalam jumlah besar dapat mengundang kehadiran lalat Chrysomia (lalat hijau) untuk bertelur pada luka tersebut dan menyebabkan miasis. Awal infestasi larva terjadi pada jaringan kulit yang terluka, selanjutnya larva bergerak lebih dalam menuju ke jaringan otot sehingga menyebabkan daerah luka semakin lebar. Kondisi tersebut dapat menyebabkan tubuh ternak menjadi lemah, nafsu makan menurun, demam disertai penurunan produksi susu dan bobot badan. Selain itu nilai jual kulit sapi menjadi berkurang atau tidak dapat dijual lagi sehingga merugikan peternak (Sukarsih et al. 1999; Gunandini 2006). Infestasi caplak pada sapi dalam jumlah besar dapat memberikan dampak negatif bagi ternak dan ekonomi bagi peternak. Pengendalian terhadap populasi caplak pada tubuh hewan ternak dan di lingkungan sekitar peternakan diperlukan untuk menanggulangi dampak buruk dari infestasi caplak tersebut. Pengendalian dapat dilakukan terhadap larva caplak yang terdapat di sekitar peternakan. Penggunaan insektisida sintetik dalam pengendalian caplak merupakan cara yang banyak digunakan untuk mengatasi infestasi caplak pada hewan ternak. Insektisida merupakan kelompok pestisida yang terbesar yang digunakan untuk pengendalian hama serangga dan terbagi menjadi dua yaitu ovisida dan larvasida. Insektisida terdiri atas empat kelompok kimia diantaranya adalah organoklorin, organofosfat, karbamat dan piretroid. Insektisida yang sering digunakan adalah dari golongan organofosfat dan piretroid seperti malation dan deltametrin. Beberapa metode penggunaan insektisida tersebut terhadap caplak sapi diantaranya adalah dipping dan spraying (Sofwan 1985, Djojosumarto 2008). Penggunaan insektisida tersebut perlu diuji efikasi terlebih dahulu. Uji ini digunakan untuk mengetahui efektivitas insektisida tersebut terhadap larva caplak B. microplus.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan larva caplak B. microplus di lingkungan peternakan sapi potong di Jonggol, Kabupaten Bogor. Pengujian insektisida malation dan deltametrin juga dilakukan untuk mengetahui efektivitasnya pada larva caplak di daerah tersebut. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai penggunaan insektisida yang tepat untuk mengendalikan populasi caplak sapi B. microplus.
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Boophilus microplus Caplak sapi B. microplus merupakan ektoparasit yang penting dalam peternakan sapi. B. microplus termasuk dalam kelas Arachnida dan famili Ixodidae atau caplak keras. Menurut Canestrini (1887) dalam Soulsby (1982) B. microplus diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Sub Filum Kelas Ordo Sub Ordo Famili Genus Spesies
: Arthropoda : Chelicerata : Arachnida : Acari : Metastigmata : Ixodidae : Boophilus : B. microplus Gnastosoma
Idiosoma
Gambar 1 Morfologi B. microplus (NCSU 2014)
3 Morfologi Caplak termasuk dalam kelas Arachnida. Ciri-ciri umum dari kelas Arachnida yaitu tubuhnya terdiri atas sefalotoraks, mempunyai empat pasang kaki, tidak bersayap, tidak mempunyai antena, dan perangkat mulutnya terdiri atas sepasang kelisera dan sepasang pedipalpi (Gambar 1). Caplak termasuk dalam subkelas Acari. Caplak sapi atau B. microplus termasuk dalam famili Ixodidae atau caplak keras. Famili Ixodidae tergolong ke dalam Metastigmata yang artinya mempunyai sepasang stigmata (lubang pernapasan) yang terletak ventro lateral yaitu di belakang koksa IV. Secara umum caplak keras mempunyai inang yang sangat beragam, yaitu mamalia, unggas dan reptilia (Hadi dan Soviana 2010). skutum
A
B
Gambar 2 Boophilus microplus. Jantan, skutum menutupi seluruh permukaan dorsal (A), Betina, skutum menutupi sebagian permukaan dorsal (B) (Matthew 2001). Famili Ixodidae memiliki sebuah lekukan anal yang melingkar di sekitar anus. Bagian ini dapat dilihat pada spesimen dengan menggunakan mikroskop. Genus lain memiliki lekukan pada bagian posterior anus kecuali Boophilus yang tidak memiliki lekukan anal. Permukaan dorsal tubuh Ixodidae ditutupi oleh skutum. Pada jantan skutum menutupi seluruh permukaan dorsal sedangkan pada betina skutum hanya menutupi sebagian dari permukaan dorsal (Gambar 2) (Georgi 1980). Genus Boophilus tidak terdapat festoon atau ornamentasi, tetapi terdapat mata yang terletak pada sisi lateral skutum. Tubuh caplak terbagi atas dua bagian yaitu gnastosoma dan idiosoma (abdomen). Bagian gnastosoma terdapat kapitulum (kepala) dan alat-alat mulut yang terletak di suatu rongga yang disebut kamerostom. Basis kapituli yang terdapat di sebelah dorsal berbentuk segienam. Boophilus memiliki alat mulut yang terdiri atas pedipalpus, kelisera dan sepasang hipostom pendek, gepeng serta bidang dorsal dan lateral yang bergerigi dan mengarah ke belakang. Fungsi hipostom adalah untuk memperkuat pertautan caplak pada tubuh inangnya. Kelisera terdiri atas dua ruas, dan ujungnya dilengkapi dengan dua atau lebih kait yang dapat digerak-gerakkan. Kait-kait ini berfungsi untuk membuat sayatan pada kulit inang secara horinzontal agar hipostom dapat ditusukkan ke dalam kulit inang. Pedipalpus terdiri atas tiga atau empat ruas yang terletak di sisi hipostom. Organ ini merupakan alat sensori sederhana untuk membantu proses makan caplak (Levine 1990; Hadi dan Soviana 2010).
4 Idiosoma adalah bagian posterior tubuh caplak yang terdapat tungkai. Nimfa dan caplak mempunyai empat pasang tungkai, sedangkan larva caplak hanya memilki tiga pasang tungkai. Pasangan tungkai pertama larva caplak terdapat sebuah organ sensori yang disebut organ Haller. Alat ini berfungsi sebagai reseptor kelembapan kimia, olfaktori dan mekanis sehingga dapat mendeteksi adanya inang yang cocok serta dapat menerjemahkan bau feromon yang dikeluarkan oleh caplak lain (Hadi dan Soviana 2010). Biologi dan Peran B. microplus B. microplus merupakan caplak berumah satu yaitu mulai dari stadium larva, nimfa dan dewasa hidup pada satu hewan. Caplak betina dewasa setelah kawin akan mengisap darah sampai kenyang, lalu jatuh ke tanah dan bertelur kemudian mati. Larva yang baru menetas segera mencari inangnya dengan menggunakan benda-benda di sekitarnya serta bantuan organ Haller. Larva yang telah menemukan inangnya akan terus menempel pada inang tersebut selama perkembangan hidupnya menjadi caplak dewasa. Larva akan mengisap darah inang hingga kenyang (engorged) lalu tetap tinggal pada tubuh inang tersebut dan segera berganti kulit (molting) menjadi nimfa. Nimfa mengisap darah kembali, setelah kenyang akan molting menjadi caplak dewasa. Satu siklus daur hidup B. microplus berkisar antara 6 minggu sampai tiga tahun serta dapat menghasilkan 5 generasi dalam setahun tergantung pada kondisi lingkungan (Hadi dan Soviana 2010; Junquera 2014). Perkembangan larva sampai dengan dewasa terjadi pada satu individu inang yang disebut sebagai stadium parasitik sedangkan ketika caplak betina yang jenuh darah (engorged) jatuh ke tanah dan bertelur disebut sebagai stadium non parasitik. Caplak betina dewasa dapat mengisap darah sampai 0.5 ml darah. Larva yang menetas akan merayap ke ujung-ujung rumput dan menempel pada hewan yang melewatinya. Larva dapat hidup di luar inang selama 4 sampai 5 bulan tergantung kondisi lingkungan (Soulsby 1982; Junquera 2014). B. microplus merupakan caplak pengisap darah sehingga dapat menyebabkan anemia. Selain dapat menyebabkan anemia, B. microplus juga merupakan vektor dari berbagai penyakit diantaranya adalah Babesiosis, Anaplasmosis, equine piroplasmosis (Jongejan dan Uilenberg 2004). Malation Malation termasuk kelompok insektisida organofosfat yang digunakan secara luas untuk mengendalikan serangga dalam bidang kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga, dan mempunyai daya racun yang tinggi pada serangga sedangkan toksisitasnya terhadap mamalia relatif rendah sehingga banyak digunakan. Ciri khas dari malation diantaranya mampu cepat melumpuhkan serangga dengan mekanisme menyerang sistem saraf terutama pada sinapsis. Senyawa ini menghambat asetilkolinesterase yang mengakibatkan akumulasi asetilkolin sehingga terjadi peningkatan aktivitas saraf. Jalan masuk malation kedalam tubuh dapat melalui kulit, pernafasan dan pencernaan (Matsumura 1975; Lubis 2002; Djojosumarto 2008).
5 Organofosfat semakin banyak digunakan dalam pertanian karena mudah terurai di alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi keracunan pestisida organofosfat, diantaranya adalah dosis, toksisitas, jangka waktu terpapar dan jalan masuk organofosfat ke dalam tubuh. Organofosfat khususnya malation digunakan untuk mengendalikan nyamuk dan larva nyamuk, lalat buah di lingkungan perumahan, hama pertanian dan ektoparasit pada hewan diantaranya adalah caplak (NPIC 2010a). Deltametrin Deltametrin merupakan insektisida golongan piretroid. Piretroid adalah insektisida mirip piretrum yang berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariafollium (Wirawan 2006). Sintetik piretroid mulai diperkenalkan tahun 1980-an dan berkembang pesat di pasaran karena kemampuan akumulasi toksisitas di lingkungan yang rendah. Deltametrin diperjualbelikan dalam bentuk konsentrat, wettable powders, granules, dan penggunaan concentrates for ultra low volume. Deltametrin banyak digunakan untuk pengendalian serangga di pertanian, perumahan, perkantoran dan bahkan tempat makan (WHO 1990). Mekanisme kerja deltametrin pada sistem syaraf yaitu menghambat akson pada kanal ion dengan mengikat protein voltage gated sodium channel (VGSC) yang mengatur denyut impuls syaraf sehingga terjadi aksi potensial yang terus menerus (Martins dan Valle 2011). Impuls syaraf yang mengalami stimulasi secara terus menerus mengakibatkan serangga mengalami hipereksitasi (kegelisahan) dan konvulsi (kekejangan). Penggunaan senyawa piretroid hanya dibatasi di dalam ruangan, yaitu pada bidang kesehatan masyarakat untuk pengendalian lalat, nyamuk dan kecoa karena sifat senyawa tersebut yang tidak stabil terhadap cahaya matahari di lapangan (Djojosumarto 2008). Deltametrin seringkali digunakan untuk mengontrol penyebaran penyakit yang dibawa oleh caplak terutama pada anjing, tikus dan hewan lainnya. Pemanfaatan lainnya adalah untuk pengendalian serangga rumah tangga (Bowman et al. 2006). Aplikasi deltametrin dengan metode spraying biasa digunakan untuk mengendalikan serangga rumah tangga dan ektoparasit pada hewan. Metode lain seperti kelambu berinsektisida digunakan untuk mengendalikan lalat dan nyamuk (Boewono et al. 2012).
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dua tahap yaitu pengamatan lapang dan pengujian secara in vitro. Pengamatan lapang dilakukan di peternakan sapi di daerah Jonggol, Kecamatan Cariu sedangkan pengujian secara in vitro dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada Bulan Mei hingga Juli 2014.
6 Koleksi dan Pengukuran Kepadatan Larva Caplak B. microplus di Lapangan Koleksi dilakukan terhadap caplak dewasa yang kenyang darah dan siap bertelur yang diambil dari tubuh sapi dan dari lantai kandang secara manual menggunakan tangan dengan bantuan pinset. Pemeliharaan caplak dilakukan pada stoples kaca koleksi yang dilengkapi aliran udara berupa lubang-lubang pada tutup stoples. Caplak dewasa dibiarkan dalam stoples dengan suhu dan kelembapan yang terjaga dalam ruangan hingga caplak bertelur. Telur caplak dipelihara di tempat yang sama hingga menetas dan menjadi larva. Larva-larva tersebut selanjutnya digunakan dalam pengujian. Pengukuran kepadatan larva caplak B. microplus di lapangan dilakukan pada pagi hari sampai siang hari, yaitu pada waktu larva B. microplus banyak terdapat pada ujung-ujung rumput atau semak-semak. Koleksi dan pengukuran kepadatan larva dilakukan dengan menggunakan bendera caplak (flaging). Bendera caplak disapukan pada bagian atas rumput dan semak-semak di sekitar kandang sapi. Larva yang terperangkap pada bendera caplak diamati dan dihitung kepadatannya dari beberapa lokasi di sekitar peternakan. Aplikasi Insektisida secara In Vitro Insektisida yang digunakan antara lain malation dari golongan organofosfat dan deltametrin dari golongan piretroid. Konsentrasi yang digunakan adalah 0.5 g/L, 1 g/L, 1.5 g/L, dan 2 g/L untuk setiap insektisida. Sebanyak 20 larva caplak diletakkan di atas kertas saring dalam cawan petri pada masing-masing kelompok insektisida ditambah satu kelompok sebagai kontrol. Aplikasi insektisida dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan insektisida menggunakan sprayer kecil ukuran 30 mL ke dalam setiap cawan petri yang berisi kelompok larva, sedangkan kelompok kontrol tidak diberi perlakuan insektisida. Penyemprotan dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap kelompok dengan konsentrasi yang telah ditentukan sebelumnya. Perlakuan insektisida dilakukan dengan tiga kali ulangan. Banyaknya larva yang jatuh/mati dihitung pada menit ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 30, 40, 50, dan jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 24, dan 48 setelah perlakuan Prosedur Analisis Data Angka kejatuhan larva akibat perlakuan dengan insektisida diolah dengan pengambilan rata-rata dari hasil tiga kali ulangan di setiap waktu pengamatan pada setiap perlakuan. Koreksi data dilakukan dengan koreksi angka kelumpuhan/kematian pada larva. Apabila angka kelumpuhan/kematian pada kelompok kontrol 5-15%, angka kelumpuhan/kematian pada kelompok perlakuan dikoreksi menurut rumus Abbot, yaitu :
7 dengan Al = Angka kelumpuhan/kematian setelah dikoreksi A = Angka kelumpuhan/kematian pada perlakuan C = Angka kelumpuhan/kematian pada kontrol
HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan larva caplak B. microplus di lingkungan kandang sapi Lingkungan sekitar kandang merupakan aspek penting dalam suatu peternakan. Peternakan sapi potong di daerah Jonggol yang menjadi lokasi penelitian dikelilingi oleh rerumputan di sekitar kandang dan memiliki luas sebesar 6000 m2. Larva B. microplus yang baru menetas akan merayap ke ujungujung rumput dan menempel pada hewan yang melewatinya. Pengukuran kepadatan larva caplak menggunakan bendera caplak. Bendera caplak disapukan pada 5 area permukaan rumput sekitar kandang dan larva caplak terperangkap pada bendera caplak tersebut (Gambar 3 dan 4). Koleksi larva caplak dilakukan pada pagi hari pukul 09.00 sampai pukul 11.00 WIB. No 1 2 3 4 5
Tabel 1 Kepadatan larva caplak B. microplus di lapangan Luas Area (m2) Jumlah larva caplak Kepadatan larva caplak/m2 4 103 26 6 210 35 10 331 33 5 307 61 10 186 19 Rata-rata kepadatan larva 35 ±15.94
Rata-rata kepadatan larva caplak di peternakan tersebut adalah 35 larva caplak/m2. Area empat merupakan area yang paling banyak terdapat larva caplak. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi lingkungan pada peternakan tersebut. Area empat dengan luas area sebesar 5 m2 didapat jumlah caplak sebanyak 307 larva caplak dengan kepadatan sebesar 61 larva caplak/m2. Area ini berada pada sisi kiri kandang dekat pintu kandang dengan kondisi area yang teduh tertutupi sebagian atap kandang. Wilkinson (1953) menyatakan bahwa larva berlindung dari sinar matahari langsung dan lebih banyak ditemukan pada pagi hari di ujung-ujung rerumputan. Selain kondisi lingkungan, suhu dan kelembapan di sekitar kandang juga merupakan faktor keberadaan caplak di kandang. Suhu yang teramati disekitar kandang adalah sebesar 27⁰C dan kelembapan sebesar 68%. Umumnya caplak dapat hidup pada kelembapan 40% - 80% dan suhu 19⁰C - 40⁰C (Soulsby 1986; Onofre et al. 2001).
8
Gambar 3 Sketsa denah peternakan sapi Caplak betina setelah kenyang mengisap darah jatuh ke tanah dan kemudian bertelur. Menurut penelitian yang dilakukan Wahyuwardani (1995) caplak betina dapat betelur sebanyak 74 - 3.402 butir pada suhu 22⁰C - 32⁰C dan kelembapan 84% - 92%, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Harahap (2001) menyatakan bahwa caplak betina dapat menghasilkan telur sebanyak 214 sampai 3.798 butir. Telur menetas menjadi larva lalu merayap ke ujung-ujung rumput untuk menempel pada hewan yang melewatinya. Larva B. microplus dapat bertahan hidup di alam sampai 4 bulan tanpa makan (Junquera 2014). Larva juga banyak ditemukan pada sisi kiri kandang pada tembok kandang serta menempel pada permukaan beberapa benda yang diletakkan di tanah dekat kandang seperti yang terlihat pada Gambar 5. Caplak betina bertelur di tempat yang tersembunyi seperti di bawah batu, di bawah gumpalan tanah, celah tembok dan celah lantai. Menurut Hadi dan Soviana (2010) larva yang baru menetas mencari inangnya dengan pertolongan benda-benda di sekitarnya serta bantuan olfaktoriusnya yaitu organ Haller. Kondisi kandang pada saat dilakukan koleksi larva caplak sapi hampir kosong atau tidak lagi terdapat sapi dalam jumlah banyak. Sapi-sapi yang terinfestasi caplak sebelumnya telah dipindahkan pada dua bulan yang lalu. Tersisa 13 ekor sapi jantan yang baru didatangkan dan dalam kondisi sehat tidak terinfestasi oleh caplak, namun pada saat dilakukan flagging di rumput di sekitar kandang masih terdapat larva caplak dalam jumlah yang besar. Caplak sangat tahan terhadap perubahan fisik misalnya terendam air, kekeringan atau ketidakadaan makanan dalam waktu berbulan-bulan. Harahap (2001) memaparkan bahwa larva B. microplus dapat bertahan hidup tanpa nutrisi darah selama 90 hari sampai 120 hari.
9
A
B
Gambar 4 Proses pengukuran kepadatan larva caplak. Koleksi larva dengan bendera caplak (A), larva yang terperangkap pada bendera caplak (B).
A Gambar 5
B Pengamatan di sekitar kandang. Larva terdapat pada benda di sekitar kandang (A), kumpulan larva pada ujung rumput (B).
Efektivitas Malation dan Deltametrin pada Larva Caplak B. microplus Seluruh larva pada tiap konsentrasi mulai jatuh (knock down) dan lemas dengan sangat sedikit pergerakan pada tungkai hingga tidak terlihat pergerakan sesaat setelah terpapar insektisida malation. Kondisi larva caplak masih hidup namun sangat lemah. Malation merupakan insektisida yang memiliki efek kelumpuhan pada serangga target yang sangat cepat, hal tersebut dapat terlihat dengan jatuhnya seluruh larva pada setiap konsentrasi (Tabel 2). Di menit ke-30 pada konsentrasi 2 g/L dan 0.5 g/L beberapa larva mulai terlihat banyak pergerakan pada tungkainya namun masih lemah dan sebesar 1.7 % larva terlihat tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Hal yang sama juga teramati pada konsentrasi 1.5 g/L dan 1 g/L, yaitu di menit ke-40 untuk konsentrasi 1.5 g/L dan menit ke-50 untuk konsentrasi 1 g/L. Kejatuhan pada larva caplak pada tiap konsentrasi diikuti dengan kematian. Persentase kematian tinggi terjadi di menit ke-360 pada konsentrasi 2 g/L yaitu sebesar 31.7%, selanjutnya jumlah kematian yang lebih sedikit pada konsentrasi 1.5 g/L, 1 g/L dan 0.5g/L secara berurutan. Kematian 100% terlihat pada semua konsentrasi pada menit ke-1440 atau jam ke24 setelah perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa insektisida malation efektif sebagai larvasida terhadap larva caplak B. microplus. Mengacu pada
10 Tabel 2 Menit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 120 180 240 300 360 1440 2880
Persentase rata-rata kejatuhan larva caplak B. microplus terhadap insektisida malation dan deltametrin Rataan (%) Malation Deltametrin 2g/L 1.5g/L 1g/L 0.5g/L 2g/L 1.5g/L 1g/L 0.5g/L 100.0 100.0 100.0 100.0 3.3 5.0 13.3 0 100.0 100.0 100.0 100.0 1.7 5.0 13.3 1.7 100.0 100.0 100.0 100.0 3.3 5.0 20.0 3.3 100.0 100.0 100.0 100.0 0 6.7 15.0 5.0 100.0 100.0 100.0 100.0 0 5.0 15.0 5.0 100.0 100.0 100.0 100.0 0 8.3 13.3 8.3 100.0 100.0 100.0 100.0 0 6.7 11.7 8.3 100.0 100.0 100.0 100.0 0 5.0 10.0 8.3 100.0 100.0 100.0 100.0 0 5.0 11.7 11.7 100.0 100.0 100.0 100.0 0 3.3 11.7 16.7 100.0 100.0 100.0 100.0 13.3 5.0 8.3 38.3 1.7 100.0 100.0 1.7 23.3 8.3 13.3 53.3 1.7 1.7 100.0 1.7 35.0 10.0 25.0 46.7 3.3 1.7 1.7 1.7 55.0 16.7 40.0 46.7 6.7 5.0 1.7 1.7 60 100.0 71.7 46.7 8.3 6.7 1.7 3.3 100.0 3.0 100.0 100.0 11.7 10.0 3.3 5.0 5.0 6.7 96.7 100.0 16.7 16.7 3.3 6.7 11.7 10.0 100.0 95.0 25.0 18.3 3.3 11.7 21.7 16.7 85.0 91.7 31.7 25.0 13.3 11.7 35.0 20.0 81.7 96.7 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 90.0 98.0 98.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Kementerian Pertanian (Kementan) (2012) bahwa insektisida dikatakan efektif jika menyebabkan kematian tidak kurang dari 90% dalam waktu 24 jam. Persentase rata-rata kejatuhan larva caplak dengan perlakuan insektisida deltametrin mengalami fluktuasi seperti yang disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 7. Kejatuhan beberapa larva caplak terjadi pada setiap konsentrasi di menit awal pengamatan setelah pemaparan. Sebesar 3.3% larva caplak jatuh di menit pertama pada konsentrasi 2 g/L namun jumlah kejatuhan larva tersebut menurun hingga 0% di menit ke-4 setelah perlakuan, selanjutnya terjadi fluktuasi angka kejatuhan larva hingga menunjukan kejatuhan 100% di menit ke-120. Hal yang sama juga tejadi pada konsentrasi 1.5 g/L, 1 g/L dan 0.5 g/L. Terjadi fluktuasi kejatuhan larva dan kejatuhan 100% pada ketiga konsentrasi tersebut. Kejatuhan larva sebesar 100% terjadi di menit ke-60 pada konsentrasi 1.5 g/L, menit ke-120 pada konsentrasi 1 g/L dan di menit ke-120 dan 180 pada konsentrasi 0.5 g/L. Larva-larva yang jatuh pada setiap konsentrasi masih dalam keadaan hidup namun kondisinya cukup lemah pada sebagian larva. Kejatuhan biasanya diikuti dengan paralisis dan kematian, namun beberapa larva caplak tersebut tidak langsung diikuti dengan kematian, beberapa caplak aktif bergerak kembali. Larva mulai terlihat kembali melemah dan tidak terlihat adanya pergerakan dari tungkai terjadi di menit ke-360 pada setiap konsentrasi. Kematian larva terjadi di menit ke-1440 atau jam ke-24 setelah perlakuan. Kematian 100% terjadi pada
11 konsentrasi 2 g/L, sedangkan pada konsentrasi lain tidak terjadi kematian 100%, namun terlihat jumlah persentase kematian larva lebih dari 95% pada konsentrasi 1.5 g/L, 1 g/L dan 0.5 g/L. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa insektisida deltametrin efektif sebagai larvasida pada caplak B. microplus dengan mengacu pada standar yang ditetapkan oleh Kementan (2012). Insektisida dapat dikatakan efektif jika menyebabkan kematian tidak kurang dari 90% dalam waktu 24 jam. Terdapat perbedaan bentuk kurva persentase kejatuhan larva caplak terhadap malation dengan kurva persentase kejatuhan larva caplak terhadap deltametrin seperti yang tersaji pada Gambar 6 dan 7. Kejatuhan larva dengan menggunakan insektisida malation menunjukan bentuk kurva yang tinggi di awal dan menurun curam pada menit ke-30 dan menit ke-40 setelah perlakuan, namun kembali meningkat perlahan pada menit ke-60 sampai menit ke-360 atau pada jam ke-6 pengamatan hingga kematian 100% pada menit jam ke-24 setelah perlakuan. Sementara itu, kejatuhan larva terhadap insektisida deltametrin menunjukkan bentuk kurva yang rendah pada awal pengamatan kemudian terjadi fluktuasi dan meningkat perlahan hingga meningkat drastis pada menit ke-60, 120 dan 180 pada masing-masing konsentrasi kemudian terjadi kematian lebih dari 90% pada jam ke-24 setelah perlakuan. Caplak sangat tahan terhadap berbagai kondisi, hal tersebut yang dapat menyebabkan beberapa larva bergerak kembali. Kematian lebih dari 90% larva pada jam ke-24 setelah perlakuan menunjukkan bahwa insektisida malation dan deltametrin efektif pada larva caplak B. microplus di peternakan sapi potong daerah Jonggol. Gejala-gejala klinis yang terlihat pada larva akibat perlakuan kedua insektisida tidak terlalu berbeda karena malation dan deltametrin bekerja menganggu kerja sistem saraf namun dengan mekanisme kerja yang berbeda. Gejala yang teramati setelah perlakuan malation diantaranya adalah pingsan, lemas dan tremor, sedangkan gejala yang teramati setelah perlakuan dengan deltametrin diantaranya adalah konvulsi, hiperaktif dan lemas. Malation mengakibatkan terjadinya penghambatan asetilkolinesterase pada proses transmisi sinaptik. Sinaps merupakan sisi tempat berlangsungnya pemindahan impuls dari ujung akson suatu neuron ke neuron lain. Pada sinaps, suatu neurotransmitter yaitu asetilkolin dilepas dari terminal akson presinaptik dan mengalir menyebrangi celah sinaptik. Dalam keadaan normal, asetilkolin dilepas oleh neuron motorik yang berakhir di otot rangka, kemudian dipecah oleh enzim asetilkolinesterase menjadi asetat dan kolin. Kolin ditarik terminal akson kemudian kembali ke siklus awal. Penghambatan asetilkolinestersase mengakibatkan asetilkolin tidak dapat dipecah menjadi asetat dan kolin sehingga terjadi impuls saraf terus menerus. Aktivitas saraf yang terus menerus mengakibatkan serangga tidak dapat bergerak atau bernapas secara normal dan kemudian mati. Deltametrin bekerja dengan mengikat gerbang sodium (VGSC). Dalam keadaan normal, ketika serabut saraf cukup terstimulasi maka gerbang Na+ akan terbuka dan terjadi depolarisasi. Setelah itu gerbang Na+ akan tertutup kembali dan gerbang kalium terbuka menyebabkan ion K+ mengalir keluar sel, kemudian terjadi repolarisasi. Deltametrin menyebabkan VGSC terikat, gerbang tersebut tidak dapat tertutup kembali dan tidak terjadi repolarisasi atau kembali pada keadaan istirahat sehingga stimulasi saraf terjadi secara terus menerus.
12 100
Kejatuhan (%)
80
60
2g/L 1.5g/L
40
1g/L 0.5g/L
20
0
Waktu (menit)
Gambar 6 Kurva persentase kejatuhan larva caplak B. microplus terhadap malation
100
Kejatuhan (%)
80
60
2g/L
1.5g/L
40
1g/L 0.5g/L
20
0
Waktu (menit)
Gambar 7 Kurva persentase kejatuhan larva caplak B. microplus terhadap deltametrin
13 Impuls saraf yang mengalami stimulasi secara terus menerus mengakibatkan serangga mengalami hipereksitasi (kegelisahan) dan konvulsi (kekejangan) (Slonane 2003; Lubis 2002; NPIC 2010a; NPIC 2010b). Malation dan deltametrin diurai oleh bakteri yang terdapat di tanah serta oleh sinar matahari yang dapat mengurai kedua insektisida tersebut di udara. Malation juga dapat bercampur dengan air dan berpindah ke tempat lain melalui tanah sehingga residu malation juga ditemukan di air sungai dan air sumur, namun malation merupakan salah satu bahan aktif insektisida nonsistemik yang pada aplikasinya tidak diserap oleh jaringan tanaman tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman. Waktu yang dibutuhkan malation untuk terurai menjadi setengah dari jumlah asalnya (waktu paruh) di tanah adalah sekitar 17 hari, sedangkan dalam air malation memiliki waktu paruh antara 2 sampai 18 hari tergantung pada kondisi lingkungan. Sementara itu, deltametrin memiliki waktu paruh berkisar antara 5.7 sampai 209 hari di tanah dan 5.9 sampai 17 hari pada permukaan tumbuhan. Waktu paruh dapat berubah bergantung pada sifat kimiawi tanah, temperatur, kandungan air dengan komposisi mineral yang tinggi atau kandungan material organik. Ketika insektisida deltametrin masuk ke dalam tanah, zat tersebut memiliki kecenderungan untuk terikat sangat kuat dengan partikel-partikel tanah sehingga sangat kecil kemungkinan deltametrin untuk diserap oleh tumbuhan (Fukuto 1990; Djojosumarto 2008; Raini 2009; NPIC 2010a; NPIC 2010b). Penggunaan insektisida malation dan deltametrin di lingkungan sekitar kandang terutama di rerumputan yang terdapat banyak larva caplak dapat dilakukan karena kedua insektisida tersebut dapat terurai di alam, namun harus tetap memperhatikan besar konsentrasi insektisida dan frekuensi penggunaan insektisida tersebut agar tidak terjadi resistensi pada larva caplak atau caplak dewasa serta serangga lain di lingkungan tersebut. Banyak penelitian yang memaparkan kasus resistensi serangga hama terhadap kedua insektisida tersebut. Sharma et al. (2012) memaparkan bahwa telah terjadi resistensi pada B. microplus terhadap deltametrin di beberapa wilayah di India. Kasus resistensi B. microplus terhadap insektisida lain juga ditemukan di daerah Ujung Genteng, Sukabumi. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian (BKP) (2013) menunjukkan bahwa telah terjadi resistensi pada caplak B. microplus terhadap insektisida klorpirifos hingga konsentrasi 2 g/L. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mengendalikan caplak B. microplus di wilayah tersebut membutuhkan konsentrasi insektisida yang lebih tinggi. Resistensi biasanya timbul sebagai akibat penggunaan satu jenis insektisida secara terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi berkembangnya resistensi serangga terhadap insektisida diantaranya adalah pergantian penggunaan jenis insektisida yang berhubungan dengan daya racun, cara kerja, selektivitas, dan stabilitas racun. Pergantian penggunaan insektisida tersebut perlu mempelajari bioekologi serangga sasaran dan musuh alaminya, yang dilakukan dengan cara memonitor tingkat resistensi suatu serangga untuk menentukan metode dan jenis insektisida yang dapat digunakan selanjutnya. Selain pergantian insektisida, pengembangan dan optimalisasi penggunaan insektisida produk baru serta pengurangan ketergantungan terhadap insektisida kimiawi juga perlu dilakukan yaitu dengan cara penggunaan insektisida
14 berdasarkan ambang kendali, penggunaan semiochemical seperti feromon, pemanfaatan musuh alami, dan pengendalian secara kultur teknis (Setyolaksono 2013).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kepadatan larva caplak sapi B. microplus di peternakan sapi potong daerah Jonggol rata-rata sebesar 35 larva caplak/m2. Kematian lebih dari 90% larva caplak B. microplus terjadi pada jam ke-24 setelah diberi perlakuan insektisida malation dan deltametrin. Insektisida malation dan deltametrin efektif sebagai larvasida pada larva caplak B. microplus di lokasi penelitian. . Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan insektisida malation dan deltametrin pada caplak dewasa serta penggunaannya di lingkungan sekitar kandang di peternakan sapi potong Jonggol. Pengujian terhadap insektisida golongan lain juga perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitasnya pada caplak B. microplus.
DAFTAR PUSTAKA [BKP] Balai Karantina Pertanian. 2013. Efektifitas pemberian berbagai jenis insektisida terhadap vektor penyakit babesiosis dan anaplasma pada sapi dan kambing/domba dengan teknik penyemprotan. Bekasi (ID): Balai Uji Terap Teknik dan Metoda Karantina Pertanian, BKP. Boewono DT, Widyastuti U, Heryanto B, Mujiono. 2012. Pengendalian vektor terpadu pengaruhnya terhadap indikator entomologi daerah endemis malaria Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. Media Litbang Kesehatan 22(4): 152 – 160. Bouwman H, Sereda B, Meinhardt HM. 2006. Simultaneous presence of DDT and pyrethroid residues in human breast milk from a malaria endemic area in South Africa. Environ Pollut 144: 902 – 917. Djojosumarto P. 2008. Panduan Lengkap Pestisida dan aplikasinya. Armando R, editor. Jakarta (ID) : PT. Agromedia Pustaka. Fukuto TR. 1990. Mechanism of Action of Organophosphorus and Carbamate Insecticides. Environ Health Persp 87 : 245-254. Georgi JR. 1980. Parasitology for Veterinarians 3rd ed. Taipei (TW): Yi Hsien Publishing co. Gunandini DJ. 2006. Caplak atau Sengkemit dalam Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit HS, Hadi UK, editor. Bogor (ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. hal 150-157.
15 Hadi UK dan Soviana S. 2010. Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr. Harahap IS. 2001. Aspek biologis caplak sapi Boophilus microplus (Canestrini, 1887) Indonesia dalam kondisi laboratorium [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jongejan F dan Uilenberg G. 2004. The global importance tick[internet].[diunduh pada 2014 Oktober 1]. Tersedia pada http:// http://cbpv.org.br/artigos/CBPV_artigo_017.pdf. Junquera P. 2014. Boophilus cattle ticks: biology, prevention and control. Boophilus microplus, Boophilus decoloratus, Boophilus annulatus Rhipicephalus microplus[internet].[diunduh pada 2014 Oktober 1]. Tersedia pada http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article &id=2543&itemid=2819. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian RI. Levine ND. 1990. Parasitologi Veteriner. Gatut A, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Textbook Veterinary Parasitology. Lubis HS. 2002. Deteksi dini dan penatalaksanaan keracunan pestisida golongan organofosfat pada tenaga kerja. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara[internet].[diunduh pada 2014 September 3]. Tersedia pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3694/1/k3-halinda.pdf. Martins AJ dan Valle D. 2011. The pyrethroid knockdown resistance. Laboratório de Fisiologia e Controle de Artrópodes Vetores, Instituto Oswaldo Cruz. Brazil[internet].[diunduh pada 2014 Juli 13]. Tersedia pada http://researchgate.net. Matsumura F. 1975. Toxicology of Insecticides. New York (US): Plenum Publishing Corporation. Matthew R. 2001. Ticks[internet].[diunduh pada 2014 Oktober 1]. Tersedia pada http://www.nhc.ed.ac.uk/index.php?page=24.25.11. Mc Culloch, Lewish RN. 1968. Ecological studies of the cattle tick, Boophilus microplus in the north coast district of New South Wales. Aust J Agr Res 19: 689-710. NCSU [North Carolina State University]. 2014. Tick anatomy and terms[internet].[diunduh pada 2014 Oktober 1]. Tersedia pada http://parasitology.cvm.ncsu.edu/vmp930/keys/ticks/tickterms.html. NPIC [National Pesticide Information Centre ]. 2010a. Malathion[internet].[diunduh pada 2014 September 3]. Tersedia pada http://npic.orst.edu/factsheets/malagen.html. NPIC [National Pesticide Information Centre ]. 2010b. Deltamethrin[internet].[diunduh pada 2014 September 25]. Tersedia pada http://npic.orst.edu/factsheets/DeltaGen.html. Onofre SB, Miniuk CM, Barros NM, Azevedo JL. 2001. Pathogenicity of four strains of entomopathogenic fungi against the bovine tick Boophilus microplus. Am. J. Vet Res 62(9): 1478 – 1480. Raini M. 2009. Toksikologi insektisida rumah tangga dan pencegahan keracunan. Media Penelit. Dan Pengembang Kesehat. XLX: 27-33.
16 Setyolaksono MP. 2013. Mengatasi resistensi hama terhadap pestisida[internet].[diunduh pada 2014 Oktober 21]. Tersedia pada http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpambon/berita-251-mengatasiresistensi-hama-terhadap-pestisida-.html. Sharma AK, Kumar R, Kumar S, Nagar G, Singh NK, Rawat SS, Dhakad ML, Rawat AKS, Ray DD, Ghosh S. 2012. Deltamethrin and cypermethrin resistance status of Rhipicephalus (Boophilus) microplus collected from six agro-climatic regions of India. Vet Parasitol 188: 337-345. Slonane E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Widyastuti P, editor. Jakarta (ID): EGC. Sofwan I. 1985. Pemberantasan caplak sapi, Boophilus microplus (canestrini) dengan pestisida dan masalah resistensi yang diakibatkannya [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals 7th ed. London (UK): Bailliere Tindall. Sukarsih S, Partoutomo E, Satria CH, Eisemann dan Wiladsen P. 1999. Pengembangan vaksin myasis: deteksi in vitro respon kekebalan protektif antigen protein peritrophic membrane, pelet dan supernatan larva L1 lalat Chrysomya bezziana pada domba. JITV 4(3): 202–208. Wahyuwardani S. 1995. Pengaruh perkembangan tubuh caplak Boophilus microplus betina dewasa terhadap fertilitas telurnya. JITV 1(1): 62 – 67. WHO [World Health Organization]. 1990. WHO specifications and evaluations for public health pesticides, D-Phenothrin. Geneva (SE) : WHO Library Cataloguing in Publication Data. Wilkinson PR. 1953. Observations on the sensory Physiology and Behaviour of larvae of the cattle tick, Boophilus microplus (Can.) (Ixodidae). Aust J Zool 1(3) 345 – 356. Wirawan IA. 2006. Insektisida Permukiman dalam Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit HS, Hadi UK, editor. Bogor (ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. hal 315-433.
17
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Tagerang, Banten pada tanggal 18 Agustus 1992 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Henrajaya dan Ibu Siti Zahro. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Tangerang 1 pada tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan sekolah menegah pertama di SMP Negeri 17 Tangerang dan lulus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Tangerang menempuh pendidikan selama 3 tahun dan lulus pada tahun 2010. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Fakultas Kedokteran Hewan pada bulan Juli 2010 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Selama menjadi mahasiswa penulis tergabung dalam Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik divisi hewan kecil. Penulis juga mengikuti magang profesi, pengabdian masyarakat dan beberapa kegiatan kepanitiaan acara HIMPRO.