KAJIAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN OBAT CACING HERBAL TERHADAP PERFORMA SAPI POTONG Salfina Nurdin Ahmad Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau Jl. Pelabuhan Sungai Jang No 38 Tanjung Pinang e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Malang Rapat (Kecamatan Gunung Kijang), Desa Toapaya Utara (Kecamatan Toapaya), dan Desa Ekang Anculai (Kecamatan Bintan Buyu) Kabupaten Bintan yang dilakukan secara on farm research. Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Desember 2014. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian serbuk biji pepaya, serbuk buah pinang dan obat pabrik pada sapi Bali yang terinfeksi cacing di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Ternak yang digunakan adalah sapi Bali sebanyak 24 ekor. Perlakuan yang diberikan berupa pemberian obat cacing yaitu serbuk biji pepaya, serbuk biji pinang dan obat pabrik serta dilihat pada kelompok kontrol (tanpa perlakuan). Pakan tambahan yang diberikan berupa dedak 3 kg/hari/ekor dan ampas tahu 3 kg/ekor/hari, selain itu diberikan obat parasit darah, vitamin dan antibiotik selama 3 bulan sesuai dosis. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap jumlah telur cacing dari ternak sapi yang digunakan menunjukkan bahwa ternak 100% terinfeksi penyakit cacing yaitu dari infeksi sedang sampai infeksi berat dengan 649 – 6.500 Epg. Pemberian obat serbuk biji pepaya dan serbuk biji pinang dapat menurunkan infestasi cacing dari infestasi berat ke ringan. Biaya yang diperlukan untuk penggunaan obat cacing herbal serbuk biji pepaya dan biji pinang lebih murah dari pada obat pabrik. Pemberian serbuk biji pepaya dan biji pinang lebih mudah diberikan dengan cara cekokan sedangkan obat Ivermectin dengan cara disuntikan secara sub cutan. Kata kunci : obat herbal, sapi potong, performa
Pendahuluan Laporan dari Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau (2009), menunjukkan peningkatan permintaan dan konsumsi daging sapi di Provinsi Kepulauan Riau rata-rata sekitar 9,31%/tahun yang sebagian besar disuplai dari impor. Populasi ternak sapi potong di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2011 hanya 8.323 ekor (BPS, 2011). Rendahnya populasi ternak sapi dipengaruhi oleh tingkat produktivitas ternak sapi yang juga rendah. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mengatasinya, salah satunya dengan memperbaiki manajemen pemeliharaan ternak sapi ditingkat petani. Produktivitas ternak sapi dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya, juga sangat dipengaruhi oleh kesehatan ternak. Salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas sapi adalah penyakit cacing. Penyakit ini dapat menurunkan bobot badan dan mengganggu reproduksi ternak. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 503
Berdasarkan laporan dari instansi terkait di Kabupaten Bintan, kejadian penyakit cacing terutama cacing hati pada ternak sapi di kabupaten ini sekitar 45% dari populasi yang ada dengan derajat infestasi sedang sampai dengan berat. Selain itu dilaporkan pula banyak kegagalan reproduksi pada ternak sapi akibat kejadian tersebut (Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Bintan, 2012). Sistem pemeliharaan ternak sapi umumnya dilakukan dengan cara ekstensif hingga semi intensif. Fascioliosis merupakan salah satu penyakit pada sapi yang bersifat zoonosis (menular kepada manusia). Fasciolosis salah satu masalah terbesar dalam peningkatan produktivitas ternak (Mahato, 2005). Fasciolosis adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing hati dari spesies Fasciolia sp. Spesies ini terbagi atas Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Cacing yang tinggal di dalam hati, memakan jaringan hati, bertelur pada ductus biliverus empedu yang merupakan tempat keluarnya cairan empedu (Anonimous, 2009b ; Walker et al., 2008). Cacing ini merupakan penyebab infeksi utama oleh trematoda pada ternak ruminansia, menimbulkan kerugian yang besar dengan memakan dan merusak jaringan hati, serta bersifat zoonosis (Mc Kay,. 2007 ; Walker et al,. 2008). Prevalensi penyakit ini dapat mencapai 90% di beberapa daerah di Indonesia (Mcmanus, 2006). Pengendalian penyakit cacing dengan memberikan pengobatan anthementik buatan pabrik pada ternak dikhawatirkan berdampak negatif seperti menimbulkan resintesi terhadap obat tersebut di samping mahalnya harga obat sehingga tidak terjangkau oleh peternak. Kondisi seperti itu dapat disiasati dengan pemberian obat tradisional. Pengobatan tradisional sebagai alternatiif pengobatan infestasi cacing yaitu dengan menggunakan tanaman (herbal). Tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai anthemeltik pada ternak diantaranya adalah biji pinang , pepaya dan bawang putih (Iqbal et al., 2003). Obat tradisional dari tumbuhan alami seperti biji pinang, daun tembakau dan yang lainnya telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk mencegah, meringankan dan menyembuhkan penyakit (Meiyanto et al., 1997). Penanggulangan terhadap infeksi cacing yang sering dilakukan orang pada saat ini adalah dengan memberi obat cacing (antelmintik) (Beriajaya, 1986). Sayangnya pemberian obat cacing harus dilakukan berulang kali, sehingga akan timbul galur cacing yang resistensi terhadap obat (Prichard, 1990; Waller, 1987, 1994; Waller et al., 1996) dan akumulasi residu dalam jaringan tubuh. Obat tradisional dari tumbuhan alami seperti biji pinang, daun tembakau dan yang lainnya telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk mencegah, meringankan dan menyembuhkan penyakit (Heyne, 1987). Keampuhan obat ini dapat diketahui dari hilangnya gejala klinis dan penampilan fisik hewan yang lebih baik. Hilangnya gejala klinis biasanya diketahui dari pengalaman yang diturunkan secara turun temurun, tetapi hal ini belum pernah dibuktikan secara ilmiah. Pohon pinang (Areca catecu) banyak ditemukan di Kepulauan Kepri khususnya Kabupaten Bintan. Keampuhan obat untuk pengobatan penyakit cacing dapat diketahui dari hilangnya gejala klinis akibat penyakit tersebut pada ternak dan penampilan fisik ternak menjadi lebih baik. Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas biji pinang untuk penyakit cacing dibandingkan pengobatan menggunakan obat buatan pabrik, perlu dilakukan pengkajian perbaikan manajemen pemeliharaan ternak sapi untuk peningkatan produktivitasnya. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian ekstrak biji papaya, biji pinang dan obat pabrik pada sapi Bali yang terinfeksi cacing di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Salfina Nurdin Ahmad : Kajian efektivitas pemberian obat cacing herbal | 504
Metodologi Pengambilan Sampel Pengkajian dilaksanakan di empat desa yakni Desa Malang Rapat pada kelompok Tunas Jaya, Kelompok Agri Bangun Jaya di Desa Toapaya Utara, kelompok Tunas Muda di Desa Bintan Buyu dan kelompok Margatani di Desa Ekang Ancula, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 2014. Jumlah terak sapi yang digunakan sebanyak 24 ekor berupa sapi Bali, yang berasal dari Desa Tuapaya Utara 9 ekor, Desa Malang rapat 9 ekor dan Desa Ekang 6 ekor. Perlakuan yang diberikan ada tiga macam dan ditambah kontrol yaitu : Serbuk Biji pepaya (SBPep) Serbuk Biji Pinang (SBPin) Obat Pabrik (Ob.P) Kontrol Dosis pemberian obat cacing herbal berupa serbuk biji pepaya 7% (terhadap bobot badan) (50 ml), serbuk biji pinang pinang sebesar 5% (terhadap bobot badan) atau sekitar 50 ml, diberikan pada setiap ekor ternak sapi dan obat Iver mectin sekitar 3 ml setiap ekor sapi yang disuntikkan secara sub cutan. Pemberian obat cacing herbal (serbuk buah pinang dan serbuk buah pepaya) dilakukan 2 x berturut – turut selama 2 hari. Pengambilan sampel faces dilakukan melalui lubang anus, untuk melihat ada tidaknya infestasi telur cacing dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Klasifikasi infestasi dibagi dalam tiga kelompok yaitu berat, sedang dan ringan. Jika jumlah telur cacing terkandung dalam tubuh sapi tersebut <1.000 opg telur cacing termasuk ringan, sedang <5.000 opg dan berat >5.000 opg. Sapi-sapi yang diberi perlakuan ekstrak pinang dan papaya , dan obat pabrik diberikan pakan tambahan berupa dedak dan ampas tahu masingmasing sebanyak 3 kg/ekor/hari. Paramater yang diamati yaitu : jumlah telur cacing, skor kondisi tubuh (SKT) ternak, berat badan ternak, pertambahan berat badan harian (PBBH) dan biaya yang dikeluarkan untuk obat cacing. Pembuatan Serbuk Biji Pepaya dan Buah Pinang Pembuatan serbuk biji pepaya dan biji pinang bertujuan untuk mengobati penyakit cacing pada ternak. Serbuk biji pinang dan buah pepaya dengan cara pembuatannya yaitu : biji papaya dan biji pinang dikeringkan lalu disangrai dalam wajan dan dikeringkan kemudian diblender atau digiling. Pembuatan ekstrak biji pepaya dan biji pinang dilakukan dengan cara sebanyak 5 gram serbuk dikeringkan kemudian dilarutkan dalam cairan air 100 % dan dimasak sampai panas suam kuku sekitar 70°C. Setelah itu dicekokan ke dalam mulut sapi yang terinfeksi cacing berturut-turut selama dua hari.
Hasil Dan Pembahasan Berdasarkan hasil laboratorium diketahui bahwa ternak sapi yang diamati jumlah Epg (eggs per gram) termasuk dalam klasifikasi infeksi sedang (500-5.000), dan untuk kelompok kontrol termasuk dalam klasifikasi berat (6.400). Pemberian obat cacing baik Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 505
yang herbal atau pabrik pada pemberian setelah 2 minggu masih terlihat telur cacing sama dengan pada awal pemeriksaan. Setelah perlakuan pemberian obat cacing pada pengamatan setelah enam dan tiga belas minggu minggu pengobatan terjadi perubahan. Kelompok ternak sapi yang diberi obat pabrik pada pengamatan enam minggu setelah pengobatan tingkat klasifikasi serangan tergolong sedang, namun untuk obat herbal baik dari serbuk biji pepaya atau biji pinang termasuk dalam klasifikasi ringan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat cacing efektif dalam menurunkan jumlah telur cacing. Efektivitas dari serbuk biji pepaya dan biji pinang lebih tinggi karena lebih banyak menurunkan jumlah telur cacing dan klasifikasi seranagan menjadi ringan (Tabel 1). Pengkajian ini hampir sama yang dikemukakan oleh Infovet (2005) bahwa pemberian serbuk biji pinang dan biji pepaya mengkibatkan penurunan telur cacing lebih efektif. Sedangkan menurut Pichard (1999) dan Waller (1987) bahwa obat pabrik terjadi resistensi pada tubuh hewan sapi. Tabel 1.
No
Jumlah telur cacing (eggs per gram/Epg) pada kondisi sebelum dan setelah pengkajian
Perlakuan
Serbuk Biji pepaya (SBPep) Serbuk Biji 2 Pinang (SBPin) Obat Pabrik 3 (Ob.P) 1
4 kontrol
Jumlah Epg sebelum pengkajian/ pengobatan
Jumlah Epg ditemukan setelah 2 minggu pengobatan
Jumlah Epg ditemukan setelah 6 minggu pengobatan
Jumlah Epg ditemukan setelah 13 minggu pengobatan
769
769
170
120
799
799
189
20
649
649
329
226
6.400
6.400
5.430
4.560
Keterangan : SBPep=Serbuk Buah Pinang Pepaya; SBPin=Serbuk Buah Pinang; OB.P=Obat Pabrik; infeksi ringan epg<500, Infeksi sedang 500-5.000,infeksi berat >5.000 Pengamatan lain yang dilakukan adalah pertambahan bobot badan harian, ternak yang diberikan obat cacing menggunakan serbuk buah pinang menghasilkan PBBH yang lebih tinggi dari serbuk buah pepaya dan obat pabrik. Pada Tabel 1 , Tabel 2, dan Tabel 3 diperlihatkan bahwa pemberian serbuk pinang memberikan respon yang baik, baik terhadap pertambahan bobot badan, skor tubuh dan penurunan rata-rata telur cacing dalam tubuh sapi. Pemberian ekstrak biji pepaya dan ekstrak biji pinang memberikan respon yang lebih baik bila dilihat dari skor kondisi ternak (SKT) yang memperlihatkan peningkatan SKT dari skor menjadi skore 3. Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan sapi diberikan obat herbal pinang, serbuk papaya, dan obat pabrik No
Perlakuan
1
Serbuk Biji pepaya (SBPep) Serbuk Biji Pinang (SBPin) Obat Pabrik (Ob.P) kontrol
2 3 4
serbuk buah
Derajat infeksi Ringan
BB awal (kg) 162,6
BB akhir (kg) 181,0
PBBH (kg/ekor/hari) 0,40
Ringan
178
207
0,64
Ringan Berat
162,6 194
181,1 197,6
0,40 0,04
Salfina Nurdin Ahmad : Kajian efektivitas pemberian obat cacing herbal | 506
Tabel 3. Skor kondisi tubuh ternak (SKT) saat sebelum dan setelah pengkajian SKT Sebelum
Setelah
1
Serbuk Buah pepaya (SBPep)
2
3
2
Serbuk Buah Pinang (SBPin)
2
3
3
Obat Pabrik (Ob.P)
2
3
4
Kontrol
2
2
Gambar 1 adalah kondisi ternak sapi sebelum pengkajian terlihat kurus, karena tulang rusuk dengan skor tubuh 2, dan Gambar 2 adalah ternak sapi yang sudah diberi obat herbal terlihat gemuk dan sudah masuk skor 3.
Gambar 1. Kondisi ternak sapi pada awal pengkajian kelihatan kurus
Gambar 2. Sapi yang telah dilakukan pemberian obat cacing herbal terlihat gemuk
Tabel 4. Perbandingan biaya yang dikeluarkan pada tiap perlakuan No
Perlakuan
Biaya obat (Rp/ekor)
1
Serbuk Buah pepaya (SBPep)
5.600
2
Serbuk Buah Pinang (SBPin)
5.000
3
Obat Pabrik (Ob.P)
15.000
4
Kontrol
-
Tabel 4 menunjukkan bahwa bahwa pemberian obat cacing dari biji pepaya dan biji pinang sebanyak 2 kali pada sapi 1 ekor memerlukan biaya masing-masing sebesar Rp 5.600 dan Rp 5.000, biaya untuk penggunaaan obat pabrik sebesar Rp 15.000 (Tabel 4). Berdasarkan kajian ini menunjukkan bahwa pengobatan dengan menggunakan obat cacing herbal lebih murah harga, lebih efektif dan lebih mudah dibandingkan obat pabrik. Obat cacing herbal pemberiannya cukup dengan dicekokan sedang obat pabrik harus disuntikkan secara sub cutan. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 507
Kesimpulan 1.
Pemberian obat serbuk biji pepaya dan serbuk buah pinang dapat menurunkan infestasi cacing dari infestasi berat ke ringan
2.
Biaya yang diperlukan untuk penggunaan obat cacing herbal serbuk biji pepaya dan buah pinang lebih murah dari pada obat pabrik
3.
Pemberian serbuk biji pepaya dan buah pinang lebih mudah dengan diberikan dengan cara cekokan sedangkan obat Ivermectin dengan cara disuntikan secara sub cutan.
Daftar Pustaka Agoes, A. 1992. Antropologi Kesehatan Indonesia, Pengobatan Tradisional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Badan Pusat Statistik. 2012. Kepulauan Riau dalam Angka 2011. Beriajaya and P. Stevensen. 1986. Reduced Productivity in Smalll Ruminant in Indonesian as a result of Gastrointestinal Nematoda infection In Livesstock Production. Dinas Peternakan Pertanian dan Kehutanan. 2011. Laporan Tahunan. Meiyanto, E., Sugiyanto, dan Sudarto, B., 1997, Uji Antikarsinogenik dan Antimutagenik Preparat Tradisional Daun Gynura procumbens (Lour.) Merr., Fakultas Farmasi UGM. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XII, 32. Komisarek, J. and Dorynek, Z., 2002. “Genetic aspects of twinning in cattle”. Journal of Applied Geneticts”. 43 (1): 55-68. Riady, M. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong menuju 2020. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta 8-9 Oktober 2004. P. 3-6. Ditjennak. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Kementan RI Kartono, J. Abas Basuni Jahari, Ahmad Sulaeman, Hardinsyah, Mary Astuti, Moesijanti Soekatri. 2012. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 Untuk Orang Indonesia. Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi http://www.majalahinfovet.com/2007/10/berbagai-metode-pengobatan-penyakit.html Mc Kay and Gandolffo, D. 2007. Phytophagous insects associated with reproductive structures of mesquite (Propsopis spp) in Argentina and potential as biocontrol agents in South Africa. African Entomology. 15: 121- 131. Waller, P.J. 1987. Anthelmintic resistance and future for roundwrm control. Veterinary Parasitology 15(2):177- 191. Waller, P.J. and M. Larsen. 1996. Workshop summary Biological control of nematode parasites of livestock Veterinary Parasitology. 64: 135 Manti, I., F. Nurdin, S. Abdullah, I. Rusli, E. Afdi dan Syafril. 2006. Review Teknologi Pertanian Hasil Pengkajian BPTP Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Salfina Nurdin Ahmad : Kajian efektivitas pemberian obat cacing herbal | 508
Mujiono. 2009. Keburuhan dan ketersediaan SDM Peternakan dalam Mewujudkan Kecukupan daging . 2010. Buku Panduan Seminar Nasional Pengembangan Usaha Pembibitan Ternak sapi Pola Integrasi Tanaman ternak Dalam rangka Mendukung kecukupan daging 2010, Senin 14 Agustus 2006.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 509