perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
EFEK KETOROLAK 30 MG INTRAVENA SEBAGAI PREEMPTIVE ANALGESIA PADA OPERASI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Ali Ma’ruf G0008050
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta commit to user 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta,
Ali Ma’ruf NIM G0008050
commit to user
iii
2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Ali Ma’ruf. G0008050. Efek Ketorolak 30 mg Intravena sebagai Preemptive Analgesia pada Operasi. Program Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan Penelitian : penelitian ini untuk mengetahui apakah pemberian ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi. Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental dengan desain penelitian “randomized control two group design”. Besar sampel sebanyak 30 pasien, status fisik ASA I-II, usia 18 - 60 tahun, BMI kurang dari 30, menjalani prosedur operasi elektif dengan anestesi umum. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara randomisasi sederhana untuk 2 kelompok, Kelompok A(n = 15) mendapatkan ketorolak 30 mg IV 15 menit sebelum insisi pertama dan kelompok B(n = 15) mendapatkan ketorolak 30 mg IV 10 menit sebelum menutup kulit. Dilakukan pengamatan skor nyeri pada jam ke 1 dan jam ke 6 pasca operasi. Pengukuran dengan Visual Analog Scales (VAS) dan penambahan rescue analgetik sesuai kebutuhan pasien. Data didapatkan dengan cara pengisian kuesioner dan pemeriksaan fisik. Kemudian data dianalisis menggunakan program SPSS 16,0. Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna secara statistik rerata skor VAS kelompok A(preemptive analgesia) dan kelompok B(menutup kulit) pada jam ke 1 pasca operasi(p = 0,033). Simpulan Penelitian : Pemberian ketorolak 30 mg IV sebelum operasi mempunyai efek sebagai preemptive analgesia yaitu dengan menurunkan nilai VAS pada jam ke 1 pasca operasi.
Kata Kunci : Ketorolak, preemptive analgesia, VAS
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Ali Ma’ruf. G0008050. The Effects of Intravenous Ketorolac 30 mg as Preemptive Analgesia on Surgery. Medical Faculty of Sebelas Maret University. Objective: This study aims to know the effects of intravenous Ketorolac 30 mg as preemptive analgesia on surgery. Method: This study was an analytical experimental using “randomized control two group design” approach. Subject were 30 patients between 18 to 60 years old with ASA I-II physical status and IMT score less than 30 who were going to schedule for elective surgery using general anesthesia. These samples were taken by using simple randomisation for 2 groups. Group A (n = 15) received intravenous ketorolac 30 mg 15 minutes before first skin incision, group B (n = 15) received intravenous ketorolac 30 mg 10 minutes before skin closing. Pain scales were observed at the 1st and 6th hours post-surgery. Measurement was by using Visual Analog Scales (VAS) and the addition of appropriate rescue analgesic as patients’ need. Data was obtained by filling a questionnaire and physical examination. Then it was analyzed by using SPSS 16,0. Results: This study shows there was a significant mean difference of VAS score between group A(preemptive analgesia) and group B(skinclosing) at the first hour post-surgery (p = 0,033). Conclusion: From this study it can be concluded that the giving of intravenous Ketorolac 30 mg pre-surgery has preemptive analgesia effect which is to reduce the value of VAS score on the first hour post-surgery.
Keywords: Ketorolac, preemptive analgesia, VAS
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA
Segala puji bagi Alloh subhanahu wata’ala Tuhan seluruh alam atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Ketorolak 30 mg Intravena sebagai Preemptive Analgesia pada Operasi”. Penulis memuji, memohon pertolongan, dan meminta ampun kepadaNya. Atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga dapat terselesaikan penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Purwoko, dr., Sp. An.KAKV selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis. 4. Heri Dwi Purnomo, dr., M. Kes. Sp. An selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis. 5. H. Marthunus Judin, dr.,Sp. An selaku Penguji Utama yang telah memberikan waktu, saran, nasehat, dan melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 6. Soemartanto, dr., Sp. An.KIC selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan waktu, saran, nasehat, dan melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 7. Seluruh staf bagian anestesi dan terapi intensif yang telah banyak membantu dalam pengambilan data. 8. Bagian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bu Eny dan Mas Nardi yang telah berkenan memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 9. Bapak ibu dan keluargaku tercinta yang telah memberikan begitu banyak dukungan dari semua sisi. 10. Teman-teman fakultas kedokteran 08, khususnya yang sudah membantu banyak dalam penyusunan skripsi ini serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran di masa mendatang untuk peningkatan karya ini. Semoga karya sederhana ini bermanfaat.
Surakarta,
commit to user
vi
Ali Ma’ruf NIM G0008050
2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ......................................................................................................
vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Perumusan Masalah........................................................................
4
C. Tujuan Penelitian............................................................................
4
D. Manfaat Penelitian..........................................................................
4
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka............................................................................
5
B. Kerangka Pemikiran ....................................................................
19
C. Hipotesis ......................................................................................
19
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...........................................................................
20
B. Lokasi Penelitian .........................................................................
20
C. Subjek Penelitian ........................................................................
20
D. Teknik Sampling ..........................................................................
21
E. Identifikasi Variable .....................................................................
22
F. Definisi Operasional Variable.......... ............................................ commit to user G. Rancangan Penelitian ...................................................................
22
vii
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H. Alat dan Bahan Penelitian............................................................
24
I. Cara Kerja.....................................................................................
25
J. Analisis Data.................................................................................
26
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Subjek Penelitian...........................................................
28
B. Efek Ketorolak sebagai Preemptive Analgesia....................................
30
BAB V PEMBAHASAN ..........................................................................
32
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan............................................................. ..........................
37
B. Saran ............................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
38
LAMPIRAN
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian ............................................................ 28 Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik, Diastolik dan Nadi ........................................ 29 Tabel 3. Status Fisik dan Jenis Kelamin............................................................. 29 Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan .............................................................. 30 Tabel 5. Jenis Operasi ........................................................................................ 31 Tabel 6. Skor VAS ............................................................................................. 31
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Empat Langkah Jalur Sensorik Nyeri .............................................. 8 Gambar 2. Sensitasi Nyeri ................................................................................. 10 Gambar 3. Skema Preemptive Analgesia .......................................................... 14 Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran ............................................................ 19 Gambar 5. Visual Analog Scale ......................................................................... 23 Gambar 6. Skema Rancangan Penelitian ........................................................... 24
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Responden Penelitian Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data SPSS Lampiran 3. Lembar Informed Consent Lampiran 4. Lembar Penelitian Lampiran 5. Surat Bukti Penelitian dan Pengambilan Sampel Lampiran 6. Surat Keterangan Ethical Clearance
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah : Insiden nyeri pasca operasi terjadi masih cukup tinggi. Meskipun pengetahuan tentang mekanisme nyeri pasca operasi sudah mengalami banyak kemajuan, namun pengelolaan nyeri pasca operasi belum optimal dan masih sering terabaikan. Penderita yang telah menjalani operasi masih mengalami nyeri pasca operasi mulai dari nyeri ringan sampai nyeri berat (Tanra, 2005). International Association for the Study of Pain (IASP), mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan (Kelly et al., 2001a). Nyeri ditimbulkan oleh karena adanya kerusakan jaringan yang merangsang sensitisasi perifer dan sentral (Dahl and Mainiche, 2004). Pengelolaan nyeri yang tidak efektif akan berlanjut menjadi nyeri kronik serta dapat menimbulkan dampak perubahan fisiologis yang membahayakan karena adanya respon dari endokrin, metabolik, dan inflamasi. Respon stres ini mengaktifkan sistem otonom yang dapat mengakibatkan berbagai kegagalan fungsi organ. Secara psikologis akan berdampak pada kecemasan, depresi, perasaan tidak puas, serta memberikan pengalaman yang mengerikan bagi pasien. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan nyeri pasca operasi yang efektif sehingga dapat mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas serta masa commit to user
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemulihan yang cepat sehingga bisa kembali beraktivitas sehari-hari (Joshi and Ogunnaike, 2005). Konsep terapi nyeri sebelum terjadi yang disebut preemptive analgesia diperkenalkan pertama kali oleh Crile pada tahun 1913 (Dahl and Mainiche, 2004). Awalnya teknik ini digunakan untuk mencegah syok pasca operasi namun kemudian diketahui juga menurunkan intensitas dan durasi nyeri pasca operasi (Kelly et al., 2001a). Menurut Kissin (1994), preemptive analgesia didefinisikan sebagai terapi antinosiseptif yang mulai diberikan sebelum operasi untuk mencegah sensitasi sentral sebagai respon terhadap rangsangan dari trauma (Kelly et al., 2001b). Karena adanya efek ‘pelindung’ pada sistem nosiseptif, preemptive analgesia memiliki potensi yang lebih efektif daripada terapi analgesik serupa yang diberikan pasca operasi. Sehingga secara teoritis, nyeri pasca operasi dapat dikurangi dan timbulnya nyeri kronis bisa dicegah (Dahl and Mainiche, 2004). Penggunaan opioid masih merupakan gold standard pada pengelolaan nyeri berat. Namun penggunaannya dihubungkan dengan efek samping mual muntah, terlambatnya asupan (intake) oral karena motilitas lambung yang terganggu, pruritus, depresi respirasi, retensi urine, konstipasi dan sedasi (Walder et al., 2001; White, 2005). Karena itu penggunaan analgesik NSAID, mulai banyak dipakai untuk pengelolaan nyeri. NSAID merupakan obat-obatan yang sering dipakai dalam teknik preemptive analgesia (Venkateswaran and Prasad, 2006). Penggunaan NSAID sebagai preemptive analgesia dilaporkan commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menurunkan skor nyeri pasca operasi, kebutuhan opioid, dan mual muntah pasca operasi (Shahraki et al., 2009; Ghandi and Viscusi, 2009). Ketorolak merupakan salah satu obat preemptive analgesia golongan NSAID dari group pyrrole (Gillis, 1997; Forrest, 1997). Seperti NSAID lain, ketorolak
mempunyai
efek
analgesik/antinosiseptif,
antipiretik,
dan
antiinflamasi. Efek antinosiseptif ketorolak terjadi melalui hambatan cyclooxygenase yang merupakan enzim penting pada metabolisme asam arakidonat untuk sintesis prostaglandin. Terhambatnya sintesa prostaglandin di sekitar jaringan luka mengakibatkan turunnya rangsangan nosiseptif di ujung saraf perifer sensoris atau nosiseptor (Abajo, 1998). Hasil penelitian mengenai efek preemptive analgesia berbeda-beda. Aida et al. (1999) melakukan penelitian efek preemptive analgesia pada berbagai operasi menyimpulkan bahwa preemptive analgesia sangat efektif untuk jenis operasi tertentu. Norman et al. (2001) menyatakan ketorolak 30 mg intravena sebelum tourniquet pada fraktur pergelangan kaki berefek menurunkan nyeri pasca bedah. Ong et al. (2005) melakukan metaanalisis efikasi preemptive analgesia atas dasar nyeri pasca operasi, total konsumsi analgesik, dan waktu penambahan analgesik menyatakan bahwa preemptive analgesia mempunyai efikasi sebagai managemen nyeri akut pasca bedah untuk regimen analgesik tertentu. Penelitian Yantoro (2009) menunjukkan bahwa pemberian ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi bedah ortopedi dengan tindakan removal implant. Cabell (2000) meneliti bahwa ketorolak 30 mg intravena pada operasi laparoskopi tidak mempunyai commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
efek preemptive analgesia. Lee (2009) menyatakan bahwa pemberian ketorolak 1 mg/kg tidak mempunyai efek preemptive analgesia selama 1 jam setelah tonsilektomi. Berdasarkan pertimbangan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui efek pemberian ketorolak 30 mg intravena sebagai preemptive analgesia pada operasi. B. Perumusan Masalah Apakah pemberian ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah pemberian ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi. D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti-bukti secara empiris mengenai pemberian ketorolak 30 mg intravena sebagai preemptive analgesia pada operasi.
2.
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini bila terbukti diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para ahli anestesi dalam mengurangi rasa nyeri pasca operasi.
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Nyeri a. Definisi dan klasifkasi Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan (Kelly et al., 2001a). Nyeri bersifat subjektif, derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lain. Nyeri juga berbeda antara satu periode waktu dengan periode lainnya. Nyeri bervariasi dalam intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tajam, terbakar, tumpul), durasi (mendadak, hilang-timbul, menetap), dan referral (superfisial atau dalam, lokal atau difus) (Woolf, 2004). Secara umum ada dua jenis nyeri yang berbeda secara signifikan, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut disebabkan karena kerusakan jaringan dan derajatnya akan berkurang sejalan dengan penyembuhan. Nyeri dapat berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari serta dapat disertai tanda-tanda fisik seperti takikardi, berkeringat, pucat, dan tidak dapat tidur. Salah satu contoh nyeri akut adalah nyeri karena tindakan operasi. Nyeri kronis akan berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Biasanya nyeri commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak berkurang dengan sendirinya setelah beberapa minggu atau bulan dan tidak disertai tanda-tanda fisik seperti halnya nyeri akut (Suza, 2007). Tipe nyeri juga dapat dikategorikan menjadi nyeri nosiseptif, inflamasi, neuropatik, dan fungsional (Woolf, 2004). b. Proses fisiologi nyeri Kerusakan jaringan merupakan sumber rangsang nyeri (stimulus noksious). Rangsang nyeri akan diterima oleh reseptor nyeri (nosiseptor) yang ditemukan hampir diseluruh bagian tubuh, kemudian melalui serabut saraf delta-A (myelinated and fast conduction) dan serabut saraf C (unmyelinated and slow condustion) akan diteruskan melalui traktus spinotalamikus ke thalamus dan korteks cerebri sehingga akan disadari sebagai suatu nyeri. Proses dari sumber rangsang nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian elektrofisiologi yang disebut nosiseptif sensoris (Dahl and Mainiche, 2004; Kelly et al., 2001a; Gottschalk and Smith, 2001). Proses fisiologis tersebut meliputi: 1) Transduksi Yaitu proses di mana suatu rangsang nyeri (stimulus noksious) dapat berupa kerusakan jaringan, rangsang fisik (tekanan), suhu yang ekstrim, atau substansi kimia yang iritatif diubah menjadi impuls listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensoris (Dahl and Mainiche, 2004; Kelly et al., 2001a). commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Transmisi Merupakan transmisi impuls melalui serabut saraf sensoris delta-A dan C dari perifer ke medula spinalis sebagai kelanjutan dari proses transduksi. Serabut saraf A-delta menghantar “nyeri pertama” sebagai respon terhadap stimulus noksious yang biasanya muncul sebagai sensasi yang jelas dan terlokalisasi. Nyeri ini sering dideskripsikan sebagai nyeri yang tajam, menyengat atau menusuk, dan berlangsung hanya ketika stimulus mengakibatkan kerusakan jaringan. sedangkan serabut saraf C bertanggung jawab pada “nyeri kedua” yang sifatnya tumpul, sensasi menyebar, dan perlahan (Kelly et al., 2001a; Dahl and Mainiche, 2004; Rospond, 2008). 3) Modulasi Merupakan proses interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis (Tanra, 2005). Substansi yang dapat bekerja sebagai modulator nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, serotonin, enkefalin, norepinefrin, dopamin, dan Gama Amino Buteric Acid (GABA) akan mengurangi nyeri, sedangkan substansi P, Adenosine Tri Phosphate (ATP), exitatory amino acid meningkatkan nyeri (Kelly et al., 2001a). Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, kepribadian, status emosional, dan jenis kelamin (Tanra, 2005). 4) Persepsi Merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks dari
proses
transduksi,
transmisi,
dan
modulasi
yang
diterjemahkan oleh daerah somatosensorik korteks serebri menghasilkan suatu perasaan subjektif sebagai persepsi nyeri (Tanra, 2005).
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Persepsi � Opioid � α2 antagonis � anestasi umum
Modulasi: � Opioid spinal � α2 antagonis � antagonis reseptor NMDA � antikolinesterase, NSAID
Transmisi: � Anestesi lokal � Blok saraf tepi � Bblok epidural Transduksi � NSAID � Antihistamin � Agen stabiliser membran � Krim anastesi lokal � Opioid
Gambar 1. Empat langkah jalur sensorik nyeri : transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi. Tampak agenagen yang dapat memodifikasi input sensori pada masing-masing proses (Kehlet and Dahl, 1993; Kelly et al., 2001a). c. Sensitasi perifer Kerusakan jaringan dan inflamasi menyebabkan perubahan lingkungan kimiawi pada reseptor nyeri (nosiseptor). Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraseluler seperti: ATP, ion K+, H+, serta beberapa substansi kimia dan mediator inflamasi (sitokin, cimokin, faktor pertumbuhan) (woolf, C.J. 2004). Prostanoid (prostaglandin, leukotrien dan hydroxyacids) merupakan produk utama jalur asam arakidonat dan mediator utama terjadinya commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hiperalgesia yang menyertai inflamasi. kinin (Bradikinin dan kalidin) akan meningkatkan inflamasi dengan memicu dilepaskannya prostaglandin (PG), sitokin, histamin, serotonin, degranulasi sel mast, dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Komponen-komponen tersebut akan mengaktifkan nosiseptor (nociceptor activators) sehingga akan menjadi lebih sensitif (hipersensitif) terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizer). Sensitisasi perifer menurunkan
ambang
rangsang,
dan
berperan
besar
dalam
meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi (Kelly et al., 2001a; Woolf, 2004). Neuron nosiseptif yang tersensitasi akan melepaskan beberapa neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin. Substansi P kemudian menginduksi pelepasan Excitatory Amino Acids (EAAs) seperti aspartat dan glutamat yang beraksi pada reseptor 2-Amino-3-hydroxy-5-Methyl-4isoxazole-Propionic Acid) (AMPA) dan N-Methyl-D-aspartate (NMDA ) (Kelly et al., 2001a; Dahl and Mainiche, 2004).
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan allodinia. Stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon sistem saraf terhadap stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada cedera jaringan, kurva tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus non noksious juga dirasakan sebagai nyeri (allodinia) (Gottschalk and Smith, 2001). d. Sensitasi sentral Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu posterior medula spinalis. Input sensoris yang masif akibat kerusakan jaringan hebat menyebabkan neuron di medulla spinalis menjadi hipersensitif (hiperalgesia primer). Reaksi ini juga menyebabkan nyeri akibat stimulus non noksius dan terjadinya hiperalgesia sekunder. Sensitisasi sentral merupakan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan pelepasan neurotransmiter dari nosiseptor, perubahan commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang (menurun), yang akhirnya meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor yang berperan dalam perubahan ini adalah reseptor N-Methyl-Daspartate (NMDA), selama proses sensitisasi sentral reseptor mengalami fosforilasi dan lebih peka terhadap glutamat. Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh rangsang di bawah ambang (subthreshold) dan respon berlebih pada rangsang di atas ambang (suprathreshold). Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada rangsang yang di bawah ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder) (Woolf, 2004). e. Dampak nyeri pasca operasi Penatalaksanaan nyeri pasca operasi yang tidak efektif akan berlanjut menjadi nyeri kronik serta dapat menimbulkan dampak perubahan fisiologis dan psikologis yang membahayakan karena adanya respon dari endokrin, metabolik, dan inflamsi. Respon stres ini mengaktifkan sistem otonom yang dapat mengakibatkan berbagai kegagalan fungsi organ: 1) Kardiovaskuler: meningkatkan denyut jantung, tahanan perifer, tekanan darah, iskemia miokardial, infark dan komplikasi lain 2) Pulmonal:
spasme
otot
pernafasan,
menurunnya kapasitas vital paru commit to user
kegagalan
diafragma,
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Gastrointestinal: peningkatan sekresi gastrointestinal, penurunan motilitas gastrointestinal, 4) Renal: oligouria, retensi urin 5) Koagulasi: peningkatan koagulasi trombosit, tromboemboli 6) Imunologi: sistem imunitas terganggu, mudah infeksi 7) Muskular: kelemahan otot, keterbatasan gerak, atrofi otot Secara psikologis akan berdampak pada kecemasan, depresi, perasaan tidak puas, serta memberikan pengalaman yang mengerikan bagi pasien. Semua dampak yang terjadi akan memperpanjang masa pemulihan, meningkatkan
kebutuhan perawatan rumah sakit
maupun biaya perawatan (Joshi and Ogunna, 2005). 2.
Preemptive analgesia Preemptive analgesia merupakan teknik penatalaksanaan nyeri yang sudah umum dilakukan. Pemberian obat dimulai sebelum operasi kemudian dilanjutkan sampai periode pasca operasi, yang dapat menurunkan nyeri insisi dan inflamasi dengan jalan menurunkan sensitisasi perifer dan sentral (Dahl and Mainiche, 2004). Operasi merupakan target yang ideal untuk preemptive analgesia karena sumber stimulus nyeri diketahui (gambar 2). Efektivitas preemptive analgesia ditentukan oleh dua aspek. Pertama, antinosiseptif adekuat yang diberikan sebelum operasi. Kedua, mediator inflamasi dihambat atau input nosiseptif diblok sampai periode pasca bedah (periode inflamasi pasca bedah). Apabila pemberian obat dihentikan selama fase inflamasi commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pasca operasi, sensitisasi sentral tidak dapat dicegah (Kelly et al., 2001b). Karena adanya efek ‘pelindung’ pada sistem nosiseptif, preemptive analgesia memiliki potensi yang lebih efektif daripada terapi analgesik serupa yang diberikan pasca operasi. Sehingga secara teoritis, nyeri pasca operasi dapat dikurangi dan timbulnya nyeri kronis bisa dicegah (Dahl and Mainiche, 2004). Opioid, NSAID, anestesi lokal, alpha-2 agonis, dan antagonis reseptor NMDA merupakan analgesik yang bisa dipakai sebagai preemptive analgesia (Kelly et al., 2001b). Pemberian analgesik dapat tunggal atau dikombinasikan berdasarkan modalitas nyeri, seperti: 1) Transduksi: NSAID, opioid 2) Transmisi: infiltrasi lokal anestesi perifer, 3) Modulasi: ketamin, α2 antagonis, NSAID, 4) Persepsi: opioid premedikasi (oral, IM, IV), opioid pasca bedah, α2 antagonis premedikasi, atau induksi (Kelly et al., 2001b).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
Gambar 3. Skema preemptive analgesia yang ditekankan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama periode perioperatif. Gambar A: pengalaman tanpa intervensi yang menggambarkan nyeri dari awal operasi dan yang kemudian berkembang menjadi hipersensitivitas. Gambar B: analgesia (A) diberikan sebelum sensitisasi mungkin sedikit menurunkan nyeri tetapi mempunyai keuntungan jangka panjang yang sedikit. Gambar C: analgesi diberikan sebelum operasi yang membatasi nyeri dari stimulus tersebut dan menurunkan hipersensitivitas sesudahnya. Gambar D: regimen preemptive analgesia yang paling efektif adalah inisiasi sebelum operasi dan dilanjutkan sepanjang periode operasi. Waktu intervensi sangat penting, dapat mencegah sensitisasi sistem saraf (Woolf and Chong, 1993). 3.
Ketorolak Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang mengubah sinyal-sinyal noksious kimiawi menjadi potensial aksi. Obat-obat anti commitsuatu to user inflamasi nonsteroid (NSAID) cyclooxygenase inhibitor mencegah
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
transduksi dengan menghambat berbagai mediator inflamasi. Selain itu pengaruh stabilisasi membran oleh NSAID dapat mengurangi pelepasan PG. Jaringan neuronal sentral juga mensintesa PG, sehingga NSAID juga dapat mengurangi hiperalgesia sentral (Kelly et al., 2001a; Kelly et al., 2001b; Gottschalk and Smith, 2001). Ketorolak merupakan salah satu obat preemptive analgesia golongan NSAID dari group pyrrole, dengan nama kimia (±)-5-benzoyl2,3-dihidro-lH-pyrrolizine-lcarboxylic acid, yang tersusun oleh 2-amino2-(hydroxymethiyl)-l,3-propanediol (Gillis, 1997; Forrest, 1997). a. Farmakodinamik Seperti NSAID lain, Ketorolak mempunyai efek analgetik/ antinosiseptif, antipiretik dan antiinflamasi. Mempunyai 3 aksi: menghambat
cyclooxygenase
(COX)
(enzim
penting
pada
metabolisme asam arakidonat untuk sintesis prostagalandin) prostasiklin, dan tromboksan. Efek antinosiseptif ketorolak terjadi melalui hambatan biosintesis prostaglandin di sekitar jaringan luka. Turunnya kadar prostaglandin lokal ini mengakibatkan turunnya rangsangan nosiseptif di ujung saraf perifer sensoris (nosiseptor) (Abajo, 1998). Selain mempengaruhi sensitisasi perifer, ketorolak juga mempunyai efek pada mekanisme sentral. Efek sentral ketorolak secara klinis sangat penting karena mengurangi plastisitas sentral dan dapat mengurangi nyeri berat akibat operasi. Aktivitas analgesik ketorolak merupakan kombinasi antara efek perifer dan commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sentral (Gillis, 1997). Efek analgesik ketorolak hampir setara dengan opioid, ketorolak 10 – 30 mg IM mempunyai efikasi sama dengan morfin 6 – 12 mg dan pethidine 50 – 100 mg IM. Tidak seperti opioid, ketorolak tidak mempunyai efek depresan pada susunan saraf pusat dan tidak menghambat kontrol ventilasi, tidak mempengaruhi variabel hemodinamik, motilitas saluran cerna, tidak berefek pada dinamika
saluran
bilier,
juga
tidak
menyebabkan
efek
ketergantungan (Gillis, 1997; Shyun et al., 2005; Stoelting, 1999). Sama halnya NSAID yang mempunyai sifat antiplatelet, ketorolak secara signifikan meningkatkan waktu pendarahan, menghambat agregasi trombosit, dan produksi tromboksan. Lamanya waktu pendarahan masih dalam kisaran normal dan tidak memberikan efek klinis secara nyata. Namun, karena sifat antiplateletnya, ketorolak harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang mempunyai gangguan hemostatis (Greer, 1990). Efek samping lain penggunaan ketorolak yang perlu diperhatikan adalah pengaruhnya pada sistem pencernaan dan ginjal, tetapi efek samping tersebut biasanya berhubungan dengan penggunaan pada pasien tua, dosis yang tinggi, dan penggunaan lebih dari lima hari (Gillis, 1997; Stoelting, 1999). b. Farmakokinetik Absorbsi
ketorolak
dapat
diberikan
secara
oral,
intramuskuler, dan intravena. Diabsorbsi cepat dengan konsentrasi plasma maksimum tercapai 30 - 40 menit setelah pemberian oral dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
10 - 15 menit pada pemberian intramuskuler maupun secara intravena (Gillis, 1997). Pada orang dewasa sehat dosis lazim pemberian parenteral adalah 10 - 30 mg setiap 4 sampai 6 jam, total dosis harian hendaknya jangan melebihi 120 mg dan lama penggunaanya tidak melebihi 5 hari. Ketorolak ditemukan dalam air susu ibu menyusui dan sirkulasi fetus dalam jumlah kecil (Gillis, 1997). Metabolisme ketorolak terutama terjadi di hati dalam bentuk terkonjugasi dan terhidroksilasi, sedangkan ekskresinya melalui ginjal. Sekitar 92 % dari dosis yang diberikan, dapat ditemukan di dalam urin, dalam bentuk metabolitnya sebesar 40 % dan dalam bentuk utuh sebesar 60 %. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati akibat sirosis secara klinis tidak mengalami perubahan penting pada bersihan ketorolak atau waktu paruh terminal. Waktu paruh eliminasi ketorolak pada orang sehat rata-rata 5 sampai 6 jam (Gillis, 1997). Pada usia tua dan pasien dengan gangguan ginjal terjadi penurunan bersihan ketorolak, sehingga dosis seharusnya lebih rendah (Stoelting, 1999). 4.
Pengukuran Nyeri Nyeri merupakan persepsi pengalaman yang kompleks, ada beberapa cara pengukuran nyeri antara lain: 1) Self report (deskripsi subyektif/personal) Merupakan baku emas pengukuran nyeri. Dianggap merupakan pengukuran nyeri paling valid. Visual Analog Scale (VAS), Numerical commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pain Scale (NPS), dan Pain Faces Scale (PFS) merupakan jenis yang sering digunakan. 2) Behavioral Meliputi pengukuran menangis, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerakan, rutinitas harian, dan kombinasi item tersebut. 3) Fisiologi Meliputi: denyut jantung, tonus vagal, tekanan darah, angka respirasi (frekuensi napas), saturasi oksigen, dan respon neuroendokrin (kadar catecholamine, corticosteroid, growth hormone, glucagon, cortisol). 4) Kombinasi fisiologi, behavioral, atau self-report (O’Rourke, 2004; Jaywant and Pai, 2003). Visual Analog Scale (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap centimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau peryataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Manfaat utama VAS adalah penggunaannya yang sangat mudah dan sederhana (Rospond, 2008).
commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Tindakan operasi Preemptive analgesia: ketorolak
Suhu ekstrim Kimia iritatif Tekanan
Kerusakan jaringan
Stimulus nyeri
Nosiseptor di perifer
Transduksi
Sensitasi perifer
Transmisi
Modulasi
Sensitasi sentral
Hiperalgsia Jenis kelamin Umur Pendidikan Jenis operasi Faktor psikologis
Persepsi nyeri
Nyeri pasca operasi ↓/(-) Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis Ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi.
commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk studi eksperimental dengan desain penelitian “The randomized control two group design”. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi. C. Subjek Penelitian Populasi penelitian mencakup seluruh pasien yang menjalani operasi elektif menggunakan teknik anestesi umum di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sampel penelitian diambil dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian. 1. Kriteria inklusi 1) Pasien dewasa laki-laki atau perempuan usia 18 - 60 tahun 2) Status fisik ASA I-II 3) Dilakukan anestesi umum 4) Body Mass Index (BMI) <30 5) Bersedia mengikuti prosedur penelitian 2. Kriteria eksklusi 1) Pasien dengan riwayat alergi NSAID commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Kontraindikasi terhadap pemberian ketorolak (disfungsi ginjal, gangguan koagulopati, ulkus peptikum) 3) Wanita hamil 4) Nilai VAS >3 sebelum operasi 3. Kriteria drop out 1) Pasien alergi selama menjalani operasi 2) Syok selama menjalani operasi dan pasca operasi 3) Operasi > 2 jam D. Teknik Sampling Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah populasi serta tidak memungkinkan populasi tersebut tersedia dalam waktu yang bersamaan, maka sampel diambil secara consecutive sampling. Dengan cara ini, setiap pasien yang datang dan memenuhi kriteria akan dimasukkan dalam sampel penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2002). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara randomisasi sederhana untuk 2 kelompok perlakuan. Kelompok A (preemptive analgesia) adalah kelompok perlakuan yang mendapatkan ketorolak 30 mg intravena 15 menit sebelum insisi pertama dan kelompok B (menutup kulit) adalah kelompok yang mendapatkan ketorolak 30 mg intravena 10 menit sebelum menutup kulit. Randomisasi dilakukan dengan tujuan setiap subjek mempunyai kesempatan yang sama dalam menerima salah satu jenis intervensi (Sastroasmoro, 2002). Besarnya sampel yang diambil sebanyak 30 pasien commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang terdiri dari 15 pasien masuk kelompok A dan 15 pasien masuk kelompok B (Bhisma, 2006). E. Identifikasi Variabel 1. Variabel bebas Ketorolak 30 mg intravena 2. Variabel terikat Nyeri pasca operasi dan rescue analgetik 3. Variabel luar terkendali Umur, berat badan, BMI, jenis operasi, status fisik ASA, lama operasi 4. Variable luar tidak terkendali Jenis kelamin, emosi, status hemodinamika (tekanan darah dan laju nadi), psikologi pasien F. Definisi operasional variabel 1. Variabel bebas Preemptive analgesia adalah pemberian ketorolak 30 mg intravena 15 menit sebelum insisi kulit. 2. Variabel terikat Efek preemptive analgesia pada penelitian ini berdasarkan penilaian nyeri dan tambahan rescue analgetik. a.
Nyeri diukur menggunakan Visual Analog Scale (VAS). VAS adalah sebuah garis lurus dari angka 0 sampai 10 cm (100 mm) yang menerangkan
nyeri
yang
dirasakan
oleh
pasien.
Angka
0
mengambarkan pasien tidak nyeri, angka 10 menggambarkan nyeri commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
paling berat (Jaywant and Pai, 2003). Pengukuran derajat nyeri dilakukan pada waktu sebelum operasi, dan setelah operasi pada jam ke 1 dan ke 6. Pengukuran menggunakan skala variabel numerik.
Gambar 5. Visual Analog Scale (Jaywant and Pai, 2003). b.
Rescue analgetik adalah pemberian analgetik fentanil 1 μg/kg BB jika pasien merasakan nyeri pasca operasi dengan VAS ≥3. Pengukuran menggunakan skala variabel kategorikal.
3.
Variabel luar terkendali adalah variabel yang dikendalikan pengaruhnya: umur, berat badan, BMI, jenis operasi, status fisik ASA, dan
lama
operasi. 4.
Variabel luar tidak terkendali: jenis kelamin, emosi, status hemodinamika (tekanan darah dan laju nadi), dan psikologi pasien.
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
G. Rancangan penelitian
Populasi Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi Informed consent
Sampel Randomisasi
Kelompok B Tidak mendapatkan perlakuan
Kelompok A Ketorolak 15 mg IV 15 menit sebelum insisi
Prosedur anestesi umum yang sama dan tindakan operasi
Kelompok A Tidak mendapatkan perlakuan
Kelompok B Ketorolak 30 mg IV 10 menit sebelum menutup kulit
Pasca operasi kelompok A: ketorolak 30 mg IV jam ke 6 setelah operasi VAS pada jam ke 1 dan 6 rescue analgetik bila VAS≥3
Pasca operasi kelompok B: ketorolak 30 mg IV jam ke 6 setelah operasi VAS pada jam ke 1 dan 6 rescue analgetik bila VAS≥3
Analisis data Gambar 6. Skema Rancangan Penelitian H. Alat dan bahan penelitian 1. Alat penelitian a.
Mesin anestesi
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Monitor elektrik
c.
Kateter IV 18G dan set infus
d.
VAS
e.
Disposible syringe 3 cc
2. Bahan penelitian
I.
a.
Ketorolak 30 mg intravena
b.
midazolam 0,05 mg/kg BB
c.
propofol 2 mg /kg BB
d.
Atracurium 0,5 mg/kg BB
e.
Sevofluran, O2 : N2O = 2 : 2
f.
Ondansetron 4 mg
g.
Fentanil 1 μg/kg BB
Cara kerja 1) Setelah mendapat persetujuan penelitian, pasien terpilih diberikan penjelasan tentang maksud dan prosedur penelitian. Bila setuju pasien menandatangani lembar persetujuan tindakan (informed consent). 2) Sebelum menjalani operasi pasien dipersiapkan sesuai prosedur rutin. Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi. 3) Di ruang persiapan dipasang infus dengan kateter IV 18G. Kemudian dilakukan penilaian VAS sebagai data dasar. 4) Pasien dipersiapkan di ruang operasi kemudian dilakukan pengukuran tekanan darah dan laju nadi dengan menggunakan monitor elektrik sebagai data dasar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
5) Pasien yang terpilih dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok 15 pasien. Kelompok A diberikan ketorolak 30 mg intravena 15 menit sebelum insisi pertama sedangkan kelompok B diberikan ketorolak 30 mg intravena kira - kira 10 menit sebelum menutup kulit. Volume obat antara kelompok A dan B sama menggunakan disposible syringe 3 cc. 6) Pasien menjalani prosedur anestesi umum yang sama dan tindakan operasi. Premedikasi diberikan midazolam 0,05 mg/kg BB dan fentanil 1 μg/kg BB. Pasien diinduksi dengan propofol 2 mg /kg BB. Fasilitas intubasi dengan atracurium 0,5 mg/kg BB. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan sevofluran, O2 : N2O = 2 : 2. 7) Kelompok A dan kelompok B diberikan ondansetron 4 mg kira - kira 10 menit sebelum menutup kulit. Catat waktu yang dibutuhkan untuk menjalani operasi hingga selesai. 8) Setelah pasien dipindah ke bangsal, kelompok A dan kelompok B diberikan lagi ketorolak 30 mg intravena pada jam ke 6 pasca operasi. 9) Kemudian diamati nyeri dengan penilaian skor nyeri VAS, tekanan darah, nadi, pada jam ke 1 dan ke 6. 10) Jika pasien merasakan nyeri pasca operasi dengan VAS ≥ 3 setelah pengukuran tersebut, diberikan rescue analgetik fentanil 1 μg/kg BB. J.
Analisis data Hasil pengamatan dicatat pada formulir yang sudah disediakan. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan bantuan program komputer SPSS 16,0. Untuk menguji perbedaan rerata skala variabel numerik antara commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dua kelopok seperti data VAS, umur, berat badan, BMI, tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut nadi, dan lama operasi dilakukan uji statistik ttest atau mann-whitney. Untuk mengetahui proporsi atau frekuensi skala variabel kategorikal antara dua kelompok seperti jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, dan tambahan analagesik yang diperlukan dilakukan dengan uji statistik Chi-Square test. Semua uji di atas dianggap memiliki kemaknaan statistik bila nilai p < 0,05.
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang dilalukan di Instalasi Bedah Sentral dan Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama bulan Juli 2011Oktober 2011, didapatkan subjek sejumlah 30 pasien yang dibagi dalam dua kelompok, yaitu 15 pasien masuk kelompok yang mendapat preemptive analgesia dan 15 pasien masuk kelompok yang mendapat ketorolak di akhir operasi. Semua subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan tidak ada yang mengalami drop out. A. Karakteristik subjek penelitian Hasil uji statistik karakteristik subjek penelitian dengan Mann-Whitney terhadap kedua kelompok menurut umur, BMI, dan lama operasi tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Variabel
Kelompok
Umur (tahun)
preemptive analgesia
43,67
10,79
menutup kulit
42,67
14,59
preemptive analgesia
19,71
1,72
menutup kulit
20,96
2,46
66,67
29,68
63,67
34,30
BMI (kg/m²)
Lama operasi (menit) preemptive analgesia menutup kulit
Rerata
commit to user
Standar Deviasi
p
0,868
0,220
0,560
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan tekanan darah sitolik, diastolik, dan pengukuran nadi tidak didapatkan perbedaan bermakna pada uji statistik mann-whitney antara kedua kelompok baik sebelum operasi maupun pasca operasi (p > 0,05) (Tabel 2). Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik, Diastolik dan Nadi Waktu Kelompok
pre op
post op
- Tekanan darah sistolik Preemptive analagesia
128,67 ± 15,98
119,33 ± 16,68
Menutup kulit
128,67 ± 16,42
120,67 ± 12,23
Nilai p
1,000
0,805
- Tekanan darah diastolik Preemptive analagesia
79,33 ± 8,84
77,33 ± 10,33
Menutup kulit
78,00 ± 8,62
76,67 ± 7,24
Nilai p
0,641
0,790
Preemptive analagesia
83, 73 ± 8,35
83,94 ± 6,76
Menutup kulit
85,07 ± 7,36
86,67 ± 5,94
0,916
0,518
- Frekuensi nadi
Nilai p
Nilai adalah rerata ± standar deviasi Uji statistik Chi-Square terhadap kedua kelompok menurut status fisik (ASA) dan jenis kelamin tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 3). Tabel 3. Status Fisik dan Jenis Kelamin Kelompok Variable
preemptive analgesia
menutup kulit
n
%
n
- ASA I
7
46,67 %
8
53,33 %
ASA II
8
53,33 %
7
46,67 %
- Laki - laki
2
2
13,33 %
13
86,67 %
Perempuan
13,33 % commit to user 13 86,67 %
p
% 0,715
1.000
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tingkat pendidikan pada kelompok preemptive analgesia sebagai berikut: SD (6), SMP (4), SMA (4), dan S1 (1). Tingkat pendidikan pada kelompok menutup kulit, SD (5), SMP (3), SMA (5), dan S1 (2). Hasil uji statistik dengan Chi-Square terhadap kedua kelompok menurut tingkat pendidikan tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 4). Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan Kelompok Pendidikan
preemptive analgesia
menutup kulit
n
%
n
%
- SD
6
40%
5
33,33%
- SMP
4
26,67%
3
- SMA
4
26,67%
- S1
1
6,66%
total n
p
%
11
36,67%
20%
7
23,33%
5
33,33%
9
30%
2
14,27%
3
10%
0,878
Jenis operasi pada kelompok preemptive analgesia adalah sebagai berikut : Eksisi limfadenopati colli (2), Tiroidektomi (2), Eksisi tumor mamae (2), Eksisi soft tissue tumor (4), Mastektomi (3), dan isthmolobektomi (2). Pada kelompok menutup kulit didapatkan jenis operasi sebagai berikut : Eksisi limfadenopati colli (2), Tiroidektomi (2), Eksisi tumor mamae (4), Eksisi soft tissue tumor (5), Mastektomi (1), dan isthmolobektomi (1). Hasil uji statistik dengan Chi-Square terhadap kedua kelompok menurut jenis operasi tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 5).
commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 5. Jenis Operasi Kelompok Jenis operasi
preemptive analgesia menutup kulit n
%
n
%
n
total
p
%
Eksisi limfadenopati colli
2
14,26 %
2
14,26 %
4
13,33 % 0,834
Tiroidektomi
2
14,26 %
2
14,26 %
4
13,33 %
Eksisi tumor mamae
2
14,26 %
4
26,66 %
6
20 %
Eksisi soft tissue tumor
4
26,66 %
5
33,32 %
9
30 %
Mastektomi
3
20 %
1 6,65 %
4
13,33 %
isthmolobektomi
2
14,26 %
1
3
10 %
6,65 %
A. Efek ketorolak sebagai preemptive analgesia Efek ketorolak sebagai preemptive analgesia diukur berdasarkan skor VAS dan rescue analgetika pada jam ke 1 dan jam ke 6 pasca operasi. Hasil uji statistik Mann-Whitney terhadap kedua kelompok menurut skor VAS didapatkan perbedaan bermakna pada jam ke 1 pasca operasi (p = 0,033). Nilai VAS sebelum operasi dan pada jam ke 6 antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Kebutuhan tambahan fentanil 1 μg/kg BB selama periode 1 jam atau 6 jam pasca operasi pada kedua kelompok tidak ditemukan dan secara statistik tidak terdapat perbedaan (p > 0,05) (Tabel 6). Tabel 6. Skor VAS Kelompok
Waktu pre op
1 jam post op
6 jam post op
Preemptive analagesia 0,00 ± 0,00
0,67 ± 0,62
0,60 ± 0,51
Menutup kulit
1,13 ± 0,52
0,67 ± 0,49
Nilai p
0,00 ± 0,00
1,000 0,033* commit to user Nilai adalah rerata ± standar deviasi, *p = bermakna
0,710
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Pada penelitian ini terdapat keterbatasan waktu dan tempat sehingga jumlah total subjek penelitian yang didapat sejumlah 30 pasien. Subjek dibagi dalam dua kelompok, 15 pasien kelompok yang mendapat preemptive analgesia dan 15 pasien kelompok yang mendapat ketorolak ketika menutup kulit. Semua subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi, eksklusi, dan tidak ada yang mengalami drop out. Hasil uji statistik mengenai karakteristik subjek penelitian kedua kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Hal ini menunjukan subjek kedua kelompok homogen dan layak untuk dibandingkan. Subjek penelitian dibatasi antara umur 18 - 60 tahun. Setelah umur 60 tahun pasien mengalami penurunan sensitivitas terhadap nyeri dan terjadi peningkatan respon terhadap obat analgesia. Selain itu pada usia tua terjadi penurunan bersihan ketorolak (Stoelting, 1999). Pada penelitian ini didapatkan umur rerata pada kelompok Preemptive analgesia 43,67 tahun sedangkan pada kelompok menutup kulit 42,67 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan keduanya tidak ada perbedaan bermakna (p = 0,833). BMI berhubungan dengan volume distribusi obat (Stoelting, 1999), sehingga BMI antara kedua kelompok sebaiknya tidak berbeda. Pada penelitian ini rerata BMI kelompok Preemptive analgesia adalah 19,71 (kg/m²) dan menutup kulit 20,96 (kg/m²). Secara statistik kedua kelompok tidak ada perbedaan bermakna (p = 0,220).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
Lama operasi berhubungan dengan trauma operasi, luasnya kerusakan jaringan. Pada akhirnya hal ini berkaitan dengan tingkatan nyeri yang akan terjadi pasca operasi (Ready, 2000). Lama operasi juga berpengaruh pada konsentrasi obat dalam darah, konsentrasi plasma maksimal ketorolak pada pemberian secara IV adalah 10 - 15 menit (Gillis, 1997). Rerata lama operasi pada kelompok Preemptive analgesia adalah 66,67 menit dan kelompok menutup kulit 63,67 menit. Pada kedua kelompok secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p = 0,560). Tingkat pendidikan berhubungan dengan persepsi nyeri seseorang. Makin tinggi pendidikan makin tinggi harapannya terhadap penanganan nyeri yang diberikan, sehingga ketika harapannya tidak dapat terpenuhi akan lebih mudah timbul kekecewaan yang nantinya akan berpengaruh pada pain behaviours (Kidd and Urban, 2001). Tingkat pendidikan pada penelitian ini hampir merata pada tingkat SD (11 orang) SMP (7 orang), dan SMA (9 orang). Hasil uji statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok Preemptive analgesia dan kelompok menutup kulit (p = 0,878). Jenis operasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pasca operasi (Stoelting, 1999; Millen and Sheikh, 2003; Rahman and Beattie, 2005), karena jenis operasi akan menentukan luasnya manipulasi pembedahan serta kerusakan jaringan yang akan terjadi. Lokasi dan ukuran insisi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada nyeri pasca operasi. Incisi yang panjang lebih nyeri dibandingkan insisi yang pendek (Rahman and Beattie, 2005). Jenis operasi pada penelitian ini diatur untuk jenis operasi tertentu, supaya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
bisa memberikan tingkatan nyeri pasca operasi yang relatif hampir sama. Pada penelitian ini jenis operasinya meliputi: Eksisi limfadenopati colli, tiroidektomi, eksisi tumor mamae, eksisi soft tissue tumor, mastektomi, dan isthmolobektomi. Dari analisis statistik jenis operasi pada kedua kelompok tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna (p = 0,834). Jenis operasi yang berbeda memberikan pengaruh pada hasil akhir, namun pada penelitian ini dilakukan randomisasi sehingga terjadi penyebaran yang merata pada kedua kelompok. Efek preemptive analgesia pada penelitian ini berdasarkan penilaian VAS dan penambahan rescue analgetik fentanil 1 μg/kg BB pada jam ke 1 dan ke 6 jam pasca operasi. VAS adalah teknik pengukuran nyeri yang reliabel, valid, dan sensitif untuk anak-anak ataupun dewasa. Pengukuran VAS cepat, mudah, dan umum digunakan dalam penelititan maupun studi klinis. Skor VAS merupakan perasaan subjektif pasien dengan menganalogkan ke dalam angka-angka dari 0-10 (cm). Pada penelitian ini faktor-faktor yang berpengaruh dalam penilaian VAS diusahakan untuk dikendalikan seperti faktor pendidikan, jenis kelamin, dan rasa nyeri sebelum operasi. Secara statistik faktor-faktor tersebut tidak berbeda bermakna(p > 0,05) sehingga diharapkan tidak mempengaruhi hasil akhir. Pengukuran persentase pasien yang memerlukan rescue analgetika merupakan endpoint untuk penelitian klinik analgesia (Jaywant & Pai, 2003; Sheffield et al., 2000; Sunshine, 1998). Hasil penelitian nilai VAS antara kedua kelompok terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada jam ke 1 pasca operasi (p = 0,033). Nilai rerata VAS pada kelompok preemptive analgesia memiliki skor nilai lebih rendah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
dibanding kelompok menutup kulit. Pada jam ke 6 pasca operasi, skor nilai VAS antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik dan nilai keduanya cenderung menurun dibandingkan pada jam ke 1 pasca operasi. Untuk kebutuhan akan penambahan rescue analgetik pada kedua kelompok baik pada jam ke 1 maupun pada jam ke 6 pasca operasi tidak ditemukan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian lain tentang preemptive analgesia (Norman et al., 2001; Fletcher et al., 1995; Ong et al., 2005; Yantoro 2009). Efek preemptive analgesia terjadi karena adanya efek ‘pelindung’ pada sistem nosiseptif (Dahl and Mainiche, 2004). Efek antinosiseptif (antinociceptive action) ketorolak terjadi melalui hambatan biosintesis prostaglandin di sekitar jaringan luka. Turunnya kadar prostaglandin lokal ini mengakibatkan turunnya rangsangan nosiseptif di ujung saraf perifer sensoris (aferen primer) atau nosiseptor (Abajo, 1998). Turunnya rangsangan nosiseptif di ujung saraf perifer tersebut menyebabkan sensitisasi perifer atau bahkan hipersensitisasi serat sensoris ini dapat dihindari (Forrest, 1997). Selain mempengaruhi sensitisasi perifer, ketorolak juga mempunyai efek pada mekanisme sentral. Efek sentral ketorolak secara klinis sangat penting karena mengurangi plastisitas sentral dan dapat mengurangi nyeri berat akibat operasi. Aktivitas analgesik ketorolak melalui kombinasi antara efek perifer dan sentral inilah yang dapat menurunkan atau mencegah rasa nyeri pasca operasi (Gillis, 1997). Nilai VAS pasca operasi baik kelompok preemptive analgesia maupun kelompok menutup kulit mempunyai kecenderungan menurun. Rerata skor VAS pada jam ke 1 pasca operasi lebih tinggi dibanding 6 jam pasca operasi. Hal ini disebabkan karena stimulus nosiseptif pada jam ke 1 pasca operasi commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lebih besar dibanding pada jam ke 6 pasca operasi. Pada penelitian ini, tekanan darah sistolik, diastolik, dan frekuensi nadi pasca operasi yang diukur pada jam ke 6 antara kedua kelompok secara statistik tidak berbeda (p > 0,05) sehingga kondisi hemodinamik kedua kelompok tidak mempengaruhi hasil penelitian. Dibanding penelitian lain tentang ketorolak pada jenis operasi, metode, dan dosis berbeda mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya. Norman et al. (2001) menyatakan ketorolak 30 mg intravena (IV) sebelum tourniquet pada fraktur pergelangan kaki berefek menurunkan nyeri pasca operasi. Fletcher et al. (1995) menyatakan ketorolak 60 mg IV sebelum induksi pada operasi total hip replacement mempunyai skor VAS lebih rendah dan menurunkan kebutuhan opioid pada 6 jam pasca operasi dibanding pemberian ketika penutupan kulit. Penelitian Yantoro (2009) menunjukkan bahwa pemberian ketorolak 30 mg intravena menurunkan nilai VAS pasca operasi pada bedah ortopedi dengan tindakan removal implant. Hasil berbeda dengan penelitian Lee (2009) yang menyatakan bahwa pemberian ketorolak 1 mg/kg tidak mempunyai efek preemptive analgesia selama 1 jam setelah tonsilektomi. Hasil ini bisa disebabkan karena dosis ketorolak yang diberikan berbeda. Cabell (2000) meneliti bahwa ketorolak 30 mg intravena pada operasi laparoskopi tidak mempunyai efek preemptive analgesia. Hasil ini bisa menunjukkan bahwa efek preemptive analgesia hanya efektif untuk jenis operasi terentu (Aida et al., 1999).
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Hasil penelitian pada 30 sampel yang menjalani operasi tertentu menunjukkan bahwa pemberian ketorolak 30 mg IV 15 menit sebelum insisi kulit mempunyai efek preemptive analgesia yaitu dengan menurunkan nilai VAS pada jam ke 1 pasca operasi dibandingkan dengan pemberian ketika menutup kulit. B. Saran 1. Diperlukan jumlah sampel yang lebih banyak agar dapat memperlihatkan hasil yang lebih nyata. 2. Untuk mengurangi bias pengukuran maka pengukuran nyeri hendaknya dilakukan oleh orang yang benar-benar terlatih dan pengukuran dilakukan menggunakan lebih dari satu metode.
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Abajo F.J. 1998. Ketorolac and gastrointestinal toxicity: A perspective from 1998. www.hsph.harvard.edu. Aida S, Baba H, Yamakura T, Taga K, Fukuda S, Shimoji K. 1999. The effectiveness of preemptive analgesia varies according to the type of surgery: a randomized, double-blind study. Anesth Analg, 89: 711–6. Bhisma Murti. 2006. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuatitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, p:58. Cabell C.A. 2000. Does ketorolac produce preemptive analgesic effects in laparoscopic ambulatory surgery patients?. AANA JOURNAL: vol. 68, No. 4. Dahl J.B., Mainiche S. 2004. Pre-emptive analgesia. British Medical Bulletin, 71:13. Fletcher D, Zetlaoui P, Monin S, Bombart M, Samii K. 1995. Influence of timing on the analgesic effect of intravenous ketorolac after orthopedic surgery. Pain, 61; 291-7. Forrest J. 1997. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). Ann Anesth Pharmacol, I: 179-204. Gandhi K, Viscusi E. 2009. Multimodal pain management techniques in hip and knee arthroplasty. The Journal of NYSORA; 13: 1-8. Gillis J.C., Brogden R.N. 1997. Ketorolac; a reappraisal of its pharmacodynamic and pharmakokinetic properties and therapeutic use in pain management. Drug, 53:139-188. Gottschalk A, Smith D.S. 2001. New concepts in acute pain therapy: preemptive analgesia. American Family Physician, 63; 10: 1979-84. Greer
I.A. 1990. Effects of ketorolac tromethamine Pharmacotherapy; 10(6 ( Pt 2)):71S-76S
on
hemostasis.
Jaywant S.S., Pai A.V. 2003. A comparative study of pain measurement scales in user acute burn patients. IJOT.commit 35: 3; to 13-7.
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
Joshi G.P., Ogunnnaike B.O. 2005.Consequences of inadequate postoperative pain relief and chronic persistent postoperative pain. Anesthesiology Clin N Am, 23: 21– 36. Kelly D.J., Ahmad M, Brull S.J. 2001a. Preemptive analgesia I: physiological pathways and pharmacological modalities. Can J Anesth, 48:10; 1000– 1010. Kelly D.J., Ahmad M, Brull S.J. 2001b. Preemptive analgesia II: recent advances and current trends. Can J Anesth, 48: 1091. Kidd B.L., Urban L.A. 2001. Mechanism of inflamatory pain. Br.J.Anesth, 87: 311 Kissin I. 1994. Preemptive analgesia: Terminology and Clinical Relevance. Anesth Analg, 79:808 -810. Lee I.H., Sung C.H., et al. 2009. The preemptive analgesic effect of ketorolac and propacetamol for adenotonsilectomy in pediatric patients. Korean J Anesthesiol; 57: 308-13. Millen S., Sheikh C. 2003. Anesthesia and surgical pain relief managing postoperative pain. Hospital pharmacist vol 10. Norman P.H., Daley M.D., Lindsey R.W. 2001. Preemptive analgesic effects of ketorolac in ankle fracture surgery. Anesthesiology, 94, 599–603. O’Rourke D. 2004. The measurement of pain in infants, children, and adolescents: from policy to practice. Phys Ther, 84:560 –570. Ong C.S., Lirk P, Seymour R.A., Jenkins B.J. 2005. The efficacy of preemptive analgesia for acute postoperative pain management: a meta-analysis. Anesth Analg, 100:75–73. Rahman M.H, Beattie J. 2005. Managing postoperative pain. The pharmaceutical Journal. Vol 27. www.rpsgb.org/education Ready L.B. 2000. Acuteperioperative pain, in anesthesia edited Miller RD. 5ed. Churchill Livingstone Philadelphia, p: 23-28. Rospond, R.M. 2008. Penilaian Nyeri. http://lyrawati.files.wordpress.com /2008/07/pemeriksan-dan-penilaian-nyeri.pdf. (5 Maret 2011). Sastroasmoro S. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Gadjah Mada University Press: Jakarta.commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Shahraki A.D., Akhtar J.H., Talakob R, Moazam E. 2009. The effect of premedication oral naproxen on post operative pain in diagnostic laparoscopy. J. Med. Sci., 9 (1): 55-58. Sheffield D, Biles P.L, Orom H, Maixner W, Sheps D. 2000. Race and Sex Differences in Cutaneous Pain Perception. Psychosomatic Medicine, 62:517–523 Shyun Y.L., Ja-Ping S, Jann-Inn T, Hou C.H., Yen-Ling C, Kuo-Lun H, et al. 2005. Novel depots of ketorolac esters have long-acting antinociceptive and antiinflammatory effects. Anesth Analg. 101:785-792. Stoelting R.K. 1999. Opioid agonis and antagonis in pharmacology and physiology in anesthetic practice. Lippincott Raven Publishers. Sunshine A. 1998. Methodology of analgesic clinical trials. Am J Orthoped, 27; S12- S16. Suza, D.E. 2004. Pain experiences and pain management in postoperative patients. Majalah Kedokteran Nusantara: vol 40. No .1. Tanra H. 2005. Nyeri suatu rahmat sekaligus sebagai tantangan. Jurnal Medika Nusantara, l26: 3; 75-83 Supplement. www.med.unhas.ac.id. Walder B, Schafer M, Henzi I, Tramer M.R. 2001. Efficacy and safety of patientcontrolled opioid analgesia for acute postoperative pain. A quantitative systematic review. Acta Anaesthesiol Scand, 45: 795–804. White P.F. 2005. The changing role of non-opioid analgesic techniques in the management of pain. The International Anesthesia Research Society; 101: S5-S22. Woolf C.J. 2004. Pain: moving from symptom control toward mechanism specific pharmacologic management. Ann Intern Med, 140: 441-51. Woolf C.J., Chong M.S. 1993. Preemptive analgesia: treating prospective pain by preventing the establishment of central sensitization. Anesth Analg, 77:362–79. Yantoro A.T. 2009. Efek Ketorolak 30 Mg Intravena Sebagai Preemptive Analgesia pada Operasi Removal Implant Bedah Ortopedi. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi, FK UGM Yogyakarta. Tesis. commit to user