Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
EDUCATION MANAGEMENT EFFORTS IN CONDUCTING DERADICALIZATION BOARDING (Study In The Village of Tenggulun Subdistrict Solokuro Lamongan East Java Province) EKO SETIOBUDI* ABSTRACT This research was aimed to know the background of the rise of radicalism once portray the role of Education Management in order reduced the radical movement, especially in the village of Tenggulun Subdistrict Solokuro Lamongan East Java Province. Research using qualitative approach and grounded theory method.Analysis of data using open coding, data collection technique through interview, observation and document analysis. Sources of data obtained through informants, photos and documents. Results of the study: (1) Poverty and lack of education to be one factor in the rise of radical ideologies Tenggulun. This adversely affects the control of the public of the existence of Pesantren Al Islam, which has a different aqidah, (2) after the Bali bombings, Pesantren Al Islam to change the orientation of education, of jihad, preaching and tarbiyah, be tarbiyah, propaganda and jihad. And implemented in Education Management at Al Islam, (3) other changes to transform the military into a jihad jihad moderate implemented through propaganda to the people around, with patterns of acculturation, through Muhammadiyah, and are involved in de-radicalization activities. Recommendations research is further increasing socialization of political education, government to embrace more radical schools to engage in de-radicalization and need further research on the relationship between Muhammadiyah and Islamic Aqeedah pure and devout. Keywords: Education Management, de-radicalization, case study PENDAHULUAN 5 Radikalisme dan terorisme menjadi ancaman yang serius dan nyata bagi dunia dan Indonesia.Berbagai kasus radikalisme cukup sering terjadi di Indonesia.Salah satu kasus yang cukup menyita perhatian dunia adalah aksi bom Bali tahun 2002. Kasus bom Bali tahun 2002 tercatat sebagai kasus radikalisme dan terorisme terparah dalam sejarah Indonesia. Aksi ini mengakibatkan sekitar 200 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka. Dalam aksi ini, tiga pelaku utamanya berasal dari Desa Tenggulun yakni kakak
beradik yakni Amrozi, Muchlas dan Ali Imron. Ketiganya adalah ustad/pengajar di Pesantren Al Islam Tenggulun.Pasca bom Bali, keterlibatan peserta didik dalam kegiatan radikalisme dan terorisme terus terjadi dari tahun ke tahun, termasuk siswa dari kalangan santri Al Islam. Tahun 2007 tercatat Isa Anshori (16) dan Nur Fauzan (19), keduanya adalah pelajar SMU yang terlibat dalam kelompok Abu Dudaja. Tahun 2011 ada Joko Lelono (18), Arga Wiratama (18) dan Yuda Anggoro (19), ketiganya adalah pelajar pada SMKN 2 Klaten yang ditangkap Densus 88 Polri pada 25 Januari 2011 karena terlibat
Anggota BIN
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1126
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
dalam serangkaian pengeboman gereja di Klaten. Sementara itu, di Pesantren Al Islam, keterlibatan santri, ustad/pengajar, termasuk alumninya dalam berbagai kasus radikalisme dan terorisme di berbagai wilayah di Indonesia masih terus terjadi pasca kasus Bom Bali tahun 2002. Sekitar sepuluh tahun pasca kasus Bom Bali, yakni tahun 2013, tercatat Agus Martin yang terlibat aksi terorisme dan penembakan terhadap aparat keamanan di berbagai wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Agus Martin kemudian ditangkap oleh Densus 88 Polri di Desa Tenguulun Kecamatan Solokuro pada tahun 2013. Terakhir Wildan Mukhollad (19) pelajar di SMA Al Azhar Mesir yang juga alumni MTs Al Islam Tenggulun yang bergabung dengan ISIS dan meninggal dalam aksi bom bunuh diri di Irak pada 10 Februari 2014. Angel Rabasa dkk, (2010:1) menyebutkan “radicalization is the process of adopting an extremist belief system, including the willingness to use, support, or facilitate violence, as a method to effect societal change.” Dan Schmid (2011:207) menjelaskan pengertian radikalisme adalah; Radicalization refers to a process of ideological socialization of (usually) young people towards effectuating fundamental political changes, usually through the use of violent tactics of conflict waging against the political enemies and their followers. Menurut Agus SB (2014:155-156), terkait dengan bentuknya, radikalisme bisa dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yaitu pemikiran dan tindakan. Sedangkan terkait dengan faktor-faktor penyebab seseorang menjadi radikal antara lain mencakup faktor kepribadian seseorang, faktor lingkungan yang mempengaruhi seseorang berpikir, berkata-kata dan bertindak, faktor sejarah dan ideologi serta identitas yang hendak
ditampilkan karena pengaruh bentukan kelompok dimana ia berada. Silke (2004:112) menyebutkan bahwa gerakan radikalisme di dunia terus mengalami pergeseran motivasi, dari politik, ekonomi dan sekarang adalah keyakinan agama yang kemudian menyebut dirinya sebagai gerakan jihad. Silke menyebutkan ; The attempts to ‘understand’ motivations for the terrorists’ activities do not help define this phenomenon, since the history of terrorism shows that these have changed over time from political to economic, and, more recently, to religious motivations. These changes in justifications enlarge the support-base of terrorism from regional to global advocacy. They also increase the severity of terrorist actions, which are now backed by religious convictions and justifications. Berangkat dari pemikiran Silke tersebut, doktrin dan keyakinan agama yang bersifat monolitik, telah mendorong dilakukannya gerakan Islam radikal atas nama jihad, dalam rangka membentuk pemerintahan Islam dan menegakkan Syariat Islam sesuai dengan Al Qur’an dan hadits. Bahkan Saikal dalam Shahram Akabarzadeh, dan Fethi Mansouri (2007:1617), menyebutkan bahwa pendekatan ini pada dasarnya adalah pendekatan untuk melakukan pembenaran diri, ketegasan agresif dan budaya politik otoriter atau tersembunyi, termasuk melalui cara-cara yang mengorbankan diri sendiri, seperti bom bunuh diri. Dalam konteks yang demikian, maka radikalisme memiliki derivasi keagamaan dan politik yang sangat kuat. Untuk melacak radikalisme agama, khususnya dalam Islam, tentunya kita harus melihat dari pemikiran kaum fundamentalis, seperti Abul Ala Maududi dan Sayyid Qutb. Sementara itu, Angel Rabasa (2010:xiii) menjelaskan
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1127
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
bahwa deradikalisasi diartikan: “Deradicalization is the process of changing an individual’s belief system, rejecting the extremist ideology, and embracing mainstream values.” Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, serta berangkat dari keterlibatan pihak dunia pendidikan yakni pesantren dalam sebuah gerakan radikal akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap manajemen pendidikan. Padahal pendidikan merupakan kegiatan yang bersifat universal dan penting bagi kehidupan manusia khususnya dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupannya. Siapa saja di seluruh negara di belahan dunia ini dalam rangka memajukan taraf hidupnya selalu dan tetap tidak terlepas dari proses pendidikan. Tetapi dalam konteks tersebut juga membutuhkan identifikasi lingkungan dan tradisi, sehingga pendidikan dapat berperan secara optimal dalam rangka mengelola konflik bahkan melakukan rekonsiliasi akibat perbedaan tradisi dan paham. Dalam konteks yang demikian, David Lloyd dan Paul Thomas dalam Christopher Prendergast (1995:268) mengatakan; ….The possibility of this dual appeal lies in the fact that this very tradition defines the terms by which culture is differentiated from the political, social, or economic spheres of society as a corrective supplement. The values to which the discourse of culture appeals and that it seeks to preserve are those by which it is defined: wholeness, disinterest, humanity, cultivation, reconciliation. Dalam perspektif yang demikian, peran manajemen pendidikan menjadi sangat vital. Didin Kurniadin dan Imam Machali (2012:117). mengartikan bahwa: “Manajemen Pendidikan merupakan rangkaian proses yang terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan yang dikaitkan dengan bidang pendidikan.” Sementara Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI (2011:88), mengartikan ; Manajemen Pendidikan adalah suatu penataan bidang garapan pendidikan yang dilakukan melalui aktifitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian, pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian, dan pelaporan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan secara berkualitas. Menurut Mundzier Suparta (2008:5572), upaya untuk menghilangkan kekerasan di dalam pesantren, dilakukan melalui konsepsi pendidikan Islam multikultural, yang bersumber dari ajaran dan nilai-nilai Islam dari Al Qur’an, yakni, tasamuh, musyawarah, ta’awun, silaturrahmi,dan al ukhuwah. Dengan demikian, secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena yang melatar belakangi munculnya gerakan radikalisme di Desa Tenggulun. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mengidentifikasi latar belakang munculnya ideologi radikal di Desa Tenggulun, (2) Mengambarkan peranan Manajemen Pendidikan dalam upaya untuk meredusir gerakan radikal di pesantren, khususnya di Pesantren Al Islam di Desa tenggulun, dan (3) Mengambarkan upaya pesantren dalam melakukan deradikalisasi di lingkungan sekitarnya. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode grounded theory. Menurut Anselm Straus, dan Juliet Corbin (2003:4), teori yang grounded adalah teori yang diperoleh secara
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1128
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya. Karenanya, teori ini ditemukan, disusun dan dibuktikan untuk sementara melalui pengumpulan data yang sistematis dan analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu. Dengan demikian, pengumpulan data, analisis dan teori saling terkait dalam hubungan timbal balik. Peneliti tidak memulai penyelidikan dengan suatu teori tertentu lalu membuktikannya, namun dengan suatu bidang kajian dan halhal yang terkait dengan bidang tersebut Prosedur analisis grounded theory menurut Anselm Straus, dan Juliet Corbin (2003: 52) dirancang sebagai berikut; peneliti melakukan pengkodean (coding) atau proses penguraian data, pengkonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Dalam pengkodean tersebut terdapat tiga cara yakni, (1) pengkodean terbuka (open coding), (2) pengkodean berporos (axial coding), dan (3) pengkodean memilih (selective coding). Dan langkah-langkah analisis data menurut Creswell (2014: 276284) dilakukan melalui langkah-langkah: langkah (1) mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis, langkah (2) membaca keseluruhan data, langkah (3) menganalisis lebih detail dengan meng-coding data, langkah (4) terapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang kategori-kategori dan tema-tema yang akan dianalisis, langkah (5) tunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali dalam narasi/laporan kualitatif, langkah (6) interprestasi atau memaknai data. Dengan demikian, prosedur analisis dalam penelitian ini menggunakan pengkodean terbuka, yaitu suatu proses menguraikan, memeriksa, membandingkan, mengkonsepkan, dan mengkategorikan data. Sumber data diperoleh dari (1) informan, (2) dokumen, dan (3) foto. Prosedur pengumpulan data dilakukan melalui: (1)
pengamatan, (2) wawancara mendalam, dan (3) analisis dokumen. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 informan. Jumlah ini dianggap cukup, sebagaimana pendapat Emzir (2012: 209) yang mengatakan peneliti biasanya melakukan 20-30 wawancara perdasarkan beberapa pertemuan dilapangan untuk mengumpulkan data. Ke-30 informan tersebut terdiri dari beberapa kelompok, yakni; (1) pengurus yayasan Pesantren Al Islam, (2) keluarga para terpidana mati dalam kasus Bom Bali I, (3) pengasuh Pesantren Al Islam, (4) para santri Pesantren Al Islam, (5) aparat pemerintahan Desa Tenggulun, (6) tokoh masyarakat dan tokoh agama di Desa Tenggulun, (7) Kepala sekolah atau guru yang ada di Desa Tenggulun, dan (8) Ustadz/guru di Pesantren Al Islam, (9) Kelompok masyarakat umum. Sementara pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan teknik; (a) memperpanjang masa penelitian, (b) diskusi dengan teman sejawat (peer debriefing), (c) pemeriksaan anggota, (d) observasi yang terus-menerus, dan (e) triangulasi (dengan sumber dan metode). HASIL DAN PEMBAHASAN Data-data yang sudah dikumpulkan, baik melalui pengamatan, wawancara maupun analisis dokumen, kemudian ditabulasi dan dilakukan analisis data. Analisis ini melalui, langkah (1) mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis, langkah (2) membaca keseluruhan data, langkah (3) menganalisis lebih detail dengan meng-coding data, langkah (4) menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang kategori-kategori dan tema-tema yang sudah ditentukan berdasarkan pada kerangka konseptual, langkah (5) melakukan deskripsi, langkah (6) penyajian dan simpulan.
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1129
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
Berdasarkan pada temuan dan analisa data yang sudah dilakukan, hasil penelitian ini adalah: Latar belakang munculnya gerakan radikalisme di Desa Tenggulun Kemiskinan dan rendahnya pendidikan warga Desa Tenggulun letaknya yang terpencil yang ditandai dengan minimnya akses transportasi, menjadi salah satu faktor bagi merebaknya ideologi radikal di Desa Tenggulun.Fakta yang demikian juga berdampak pada rendahnya peran kontrol masyarakat yang sekaligus menandai rendahnya pendidikan politik yang dimiliki oleh warga Desa Tenggulun. Awal mula kemunculan ideologi radikal di Tenggulun adalah berawal dengan masuknya beberapa warga Tenggulun yang adalah keluarga besar dari Ustad Chozin yang mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki. Pemahaman aqidah Islam murni dan kaffah yang mereka terima di Pesantren Al Mukmin Ngruki, mendorong mereka untuk membentuk dan mendirikan Pesantren Al Islam di Tenggulun. Melalui aqidah Islam murni, akan memunculkan pemahaman penerapan Islam secara kaffah, yakni penerapan hukum Islam secara menyeluruh. Aqidah Islam murni dan Islam kaffah inilah yang kemudian dapat mendorong munculnya ideologi radikal dan dapat berpotensi memunculkan gerakan khowarij/kekerasn dan terorisme. Sebelum munculnya kasus Amrozi, kehidupan Pesantren Al Islam sangat identik dengan penerapan “negara Islam” di dalam Pondok Pesantren. Hal ini terpotret dari gambaran kehidupan Pesantren Al Islam pada masa lalu, juga dapat terpotret dari desain dan tata letak pesantren.Bahkan sampai saat ini, kehidupan di dalam Pesantren masih sangat lekat dengan
penerapan Aqidah Islam Murni dan kaffah, meskipun penerapannya hanya dilakukan dalam lingkungan internal pesantren. Dalam masa-masa selanjutnya, perkembangan ideologi radikal mampu berkembang pesat di Pesantren Al Islam. Hal ini juga didukung oleh sikap warga Tenggulun yang mayoritas adalah warga Nahdliyin (NU) yakni sekitar 90% (kurang lebih 2263 jiwa) dan Muhammadiyah sekitar 10% (kurang lebih 251 jiwa) yang cenderung diam membiarkan segala aktifitas terkait dengan keberadaan Pesantren Al Islam. Meskipun Pesantren Al Islam mengajarkan aqidah yang berbeda dengan aqidah kebanyakan warga, yakni NU dan Muhammadiyah. Sikap yang sama juga dilakukan oleh aparat Pemerintahan Desa Tenggulun. Sikap warga masyarakat dan aparat Pemerintah Desa Tenggulun yang demikian, berdampak pada hilangnya peran pengawasan dan kontrol baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintahan desa terhadap segala bentuk perkembangan dan ancaman dalam lingkungan sekitarnya. Termasuk melakukan tidak adanya kontrol dan pengawasan terhadap segala aktifitas warganya. Hal ini dikuatkan dengan temuan bahwa pasca kasus Bom Bali, tidak ada upaya dan program yang dilakukan oleh warga dan pemerintah desa untuk secara langsung dan nyata melakukan deradikalisasi di Desa Tenggulun dan Pesantren Al Islam. Sikap warga dan aparat Pemerintah Desa Tenggulun ini dipengaruhi oleh faktor (a) penguasaan akses dan sumberdaya dan ekonomi masyarakat Tenggulun oleh keluarga Ustad Chozin sejak masa lalu, (b) latar belakang leluhur keluarga Ustad Chozin sebagai tokoh dan pemuka agama di Tenggulun, (c) keberhasilan-keberhasilan keluarga Ustad Chozin secara ekonomi dan
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1130
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
materi, seperti capaian yang didapatkan oleh Ustad Ja’far di Malaysia yang telah menjadi “bos”, (d) kesederhanaan dan low profile ditunjukkan dalam sikap keseharian dari keluarga Ustad Chozin Proses indoktrinasi jihad dilakukan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Beberapa sumber doktrin Jihad adalah bukubuku dari Syeh Dr. Abdullah Azzam yang memang diketahui salah satu ideolog kelompok Salafi Jihadi, yang kitab-kitabnya banyak mengajarkan tentang prinsip dan penerapan Islam murni dan Islam kaffah. Proses indoktrinasi jihad, dilakukan oleh para tokoh radikal utama, seperti Ustad Abu Bakar Baa’syir. Sementara, indoktrinasi jihad dari keluarga Ustad Chozin, setelah dari Ngruki adalah diperoleh di Malaysia, Filiphina, Thailand/Moro dan Afganistan. Diketahui, bahwa Ali Gufron, Ali Imron dan Ali Fauzi adalah alumni Akademi Mujahidin Afganistan dan Camp Pelatihan Militer di Mindanao Filiphina. Sebelum munculnya kasus bom Bali, Pesantren Al Islam juga mengajarkan pelatihan militer dan perang, khususnya yang diajarkan oleh para ustad/pengajar Pesantren Al Islam yang pernah menjadi murid dan pelatih di berbagai akademi militer mujahidin, baik Mindanao, Poso, Ambon dan Afganistan. Puncaknya adalah keterlibatan beberapa ustad/pengajar, santri maupun alumni Pesantren Al Islam dalam dua kasus pengeboman, yakni pengeboman malam natal tahun 2000 dan Bom Bali tahun 2002. Keterlibatan beberapa ustad/pengajar, santri dan alumni Pesantren Al Islam Tenggulun dalam kasus pengeboman gereja pada malam Natal tahun 2000 dan kasus Bom Bali tahun 2002, menegaskan bahwa gerakan mereka adalah bagian dari gerakan radikalisme dan terorisme, sebagaimana yang disampaikan oleh para ahli, seperti
Angel Rabasa, Agus SB, A. Silke dan Amin Saikal, bahwa pemahaman Islam murni dan kaffah di Al Islam telah mendorong dilakukannya upaya-upaya tersembunyi, termasuk melalui cara-cara pengeboman dan melakukan aksi bom bunuh diri. Temuan penelitian yang menyebutkan bahwa aksi radikalisme dan terorisme yang dilakukan oleh ustad/pengajar, santri dan alumni Pesantren Al Islam dalam kasus pengeboman Malam Natal dan Kasus Bom Bali, dengan menyebutkan dan menempatkan Amerika Serikat (AS) sebagai musuh utama yang harus diperangi pasca runtuhnya Uni Soviet, serta alasan-alasan lain dari dua aksi pengeboman tersebut, semakin menegaskan bahwa pemahaman Islam murni dan kaffah, adalah implementasi dari derivasi keagamaan dan politik secara kuat, dengan menganut pada pemikiran Syaikhul-Islam Taqial-Din Ahmad Ibn Taimiyah, Abul Ala Maududi dan Sayyid Qutb. Peran Manajemen pendidikan dalam upaya meredusir paham radikal Keterlibatan para ustad/pengajar, santri dan alumni Pesantren Al Islam dalam kasus Bom Malam Natal tahun 2000 dan Kasus Bom Bali tahun 2002, benar-benar menjadi pengalaman sekaligus evaluasi bagi perjalanan pendidikan di Pesantren Al Islam selanjutnya. Temuan penelitian mengenai fakta penurunan jumlah santri dari tahun ke tahun pasca dua kasus bom tersebut, menjadi dampak langsung yang dirasakan oleh Pesantren Al Islam selain dampakdampak psikologi lain seperti stigmatisasi masyarakat yang menyebutnya sebagai pesantren radikal dan basis dari radikalisme dan terorisme. Fakta yang demikian tentunya menjadi keprihatinan bagi pihak yayasan dan pengasuh Pesantren Al Islam. Evaluasi
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1131
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
dengan melibatkan banyak kalangan dari keluarga besar Pesantren Al Islam dilakukan, dengan salah satu hasil evaluasi dan perubahan orientasi pesantren Al Islam, yang awalnya jihad-dakwah-tarbiyah, menjadi tarbiyah-dakwah-jihad. Perubahan orientasi pesantren Al Islam tersebut, kemudian diimplementasikan melalui Manajemen Pendidikan sebagai upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan di Pesantren Al Islam. Dimana perubahan-perubahan tersebut adalah; (a) perubahan kurikulum pendidikan di pesantren Al Islam, (b) penambahan materi Tahfidzul Qur’an sebagai salah satu fokus pendidikan di Pesantren Al Islam, (c) penambahan unit pendidikan dan jenjang pendidikan di Pesantren Al Islam, (d) Penambahan sarana dan prasarana, (e) berorganisasi dan memperpadat jadwal kegiatan santri, (f) memperbaharui Sistem dan metode pendidikan, (g) mendatangkan narasumber atau ahli, (h) melakukan studi banding, (i) menerima sumbangan dana dari masyarakat, (j) manajemen alumni, (k) pengawasan dan evaluasi dan, (l) pengembangan kapasitas ustad/pengajar. Perubahan-perubahan tersebut, sekaligus untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Manajemen Pendidikan di Pesantren Al Islam, yakni menyangkut dengan strategi dan pendekatan Pesantren Al Islam untuk membangun dan mengembangkan konsep dialogis terkait dengan sistem dan metode dalam pendidikan Islam, baik di pesantren maupun lembaga pendidikan Islam lainnya. Sehingga diharapkan yang terjadi ke depan adalah pertukaran ide, gagasan, dan pengetahuan termasuk hal-hal tekhnis terkait penyelenggaraan pendidikan Islam. Bukan lantas “menghakimi” secara sepihak. Berbagai temuan penelitian tersebut di atas, mengambarkan bahwa Manajemen
Pendidikan mampu berjalan secara baik di Pesantren Al Islam Tenggulun pasca dilakukannya perubahan orientasi pendidikan di pesantren. Dalam konteks tersebut, elaborasi Manajemen Pendidikan dalam kaitannya mencapai tujuan pendidikan yang diterapkan di Pesantren Al Islam sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Didin Kurniadin, & Imam Machali maupun Tim Dosen UPI, yang antara lain mencakup ruang lingkup perencanaan, pengawasan dan pelaksanaan, dengan garapan fungsi pada peserta didik, guru, pengguna jasa pendidikan, silabus, SDM, sumber belajar, metode pengajaran, alat/media/buku pelajaran, dana dan fasilitas dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan. Termasuk juga implementasi pengembangan Manajemen Pendidikan yang juga diterapkan di Pesantren Al Islam, seperti penambahan materi tahfidul qur’an, perubahan silabus, ujian persamaan dan kejar Paket C. Dan, untuk mengukur efektifitas Manajemen Pendidikan dalam rangka mereduksi paham dan ideologl radikal di Pesantren Al Islam dan dalam diri santrinya, dapat dilihat dari beberapa indikator, yakni perumusan kembali khittoh pendidikan di pesantren Al Islam, reformulasi makna jihad dari jihad militer menjadi jihad moderat, serta dimilikinya karakter-karakter keIslamayan yang kuat dikalangan santri, seperti memiliki karakter tauhid yang kuat, memiliki pemahaman aqidah ahlu sunnah wal jama’ah, memiliki semangat kuat untuk berdakwah, dan memiliki aqidah wala’ dan baro’ (loyalitas dan disloyalitas) yang jelas. Upaya Pesantren Al Islam dalam rangka meredusir paham radikal di lingkungan sekitarnya Perubahan fokus pendidikan pesantren dan reformulasi makna Jihad di Pesantren Al
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1132
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
Islam terus disuarakan secara eksternal dalam upaya untuk melakukan deradikalisasi khususnya di lingkungan sekitar pesantren.Pasalnya, pasca kasus Bom Bali, masih saja terjadi keterlibatan warga Desa Tenggulun dalam berbagai aksi radikalisme dan terorisme. Temuan penelitian menyebutkan bahwa upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan dengan; (a) Akulturasi dengan lingkungan sekitar, (b) Aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan khususnya Muhamadiyah, (c) Melakukan Pengawasan dengan membentuk Dewan Pengasuh, dan (d) Terlibat aktif dalam kegiatan deradikalisasi. Semangat yang mendasari dilakukannya upaya untuk meredusir paham radikalisme di sekitar Pesantren Al Islam sesuai dengan konsepsi Mundzier Suparta tentang penghapusan atau meredusir kekerasan atau radikalisme di pesantren melalui konsepsi Islam multikultural. Di mana, upaya pesantren Al Islam di atas bersumber dari nilai-nilai ke-Islamanseperti (a) tasamuh/toleransi, (b) dialog dan musyawarah, (c) ta’awun atau tolong menolong, (d) silaturahmi, dan (e) alukhuwah atau persaudaraan. Dengan demikian, upaya pesantren dalam melakukan deradikalisasi di lingkungan sekitarnya dapat berjalan dengan baik.Indikator pentingnya adalah dilakukannya dakwah tentang jihad moderat baik melalui peran sosial kemasyarakatan maupun dengan menggunakan sarana Ormas Muhammadiyah. KESIMPULAN Berdasarkan pada temuan dan analisa data yang sudah dilakukan, kesimpulan yang disampaikan adalah; Pertama, latar belakang munculnya gerakan radikalisme di Desa Tenggulun salah satu faktornya adalah kemiskinan dan rendahnya pendidikan serta
letaknya yang terpencil. Fakta yang demikian juga berdampak pada rendahnya peran kontrol masyarakat. Warga Tenggulun mayoritas beragama Islam dan warga Nahdliyin (NU), Sikap warga dan aparat desa cenderung diam dan membiarkan keberadaan Pesantren Al Islam, berdampak pada hilangnya peran pengawasan dan kontrol terhadap berbagai bentuk perkembangan dan ancaman terhadap lingkungannya, termasuk terhadap Pesantren Al Islam yang nyata-nyata berbeda secara aqidah. Sikap ini dipengaruhi oleh faktor; (a) penguasaan akses dan sumberdaya ekonomi masyarakat oleh keluarga Ustad Chozin, (b) latar belakang leluhur keluarga Ustad Chozin sebagai tokoh agama, (c) keberhasilan keluarga Ustad Chozin secara ekonomi (d) kesederhanaan dan low profile dari keluarga Ustad Chozin. Awal mula kemunculan ideologi radikal di Tenggulun adalah berawal dengan masuknya beberapa warga Tenggulun dan keluarga besar dari Ustad Chozin di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki pimpinan Abu Bakar Baa’syir.Pemahaman aqidah Islam murni dan kaffah yang mereka terima di Pesantren Al Mukmin Ngruki, mendorong mereka untuk membentuk dan mendirikan Pesantren Al Islam di Tenggulun. Dengan menggunakan Pesantren, aqidah ini terus disebarluaskan dan dikembangkan, baik secara internal maupun eksternal. Hal inilah yang kemudian dapat mendorong munculnya ideologi radikal dan dapat berpotensi memunculkan gerakan khowarij/kekerasan dan terorisme. Kedua, keterlibatan para ustad/pengajar, santri dan alumni Pesantren Al Islam dalam kasus Bom Malam Natal tahun 2000 dan Kasus Bom Bali tahun 2002, benar-benar menjadi titik balik bagi Pesantren Al Islam. Salah satu perubahan prinsip dilakukan, yakni perubahan orientasi
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1133
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
pesantren, dari jihad-dakwah-tarbiyah, menjadi tarbiyah-dakwah-jihad. Perubahan ini kemudian diimplementasikan melalui Manajemen Pendidikan, sebagai upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan di Pesantren Al Islam. Dimana perubahanperubahan tersebut adalah; (1) perubahan kurikulum pendidikan, (2) penambahan materi Tahfidzul Qur’an, (3) penambahan unit dan jenjang pendidikan, (4) penambahan sarana dan prasarana, (5) memperketat jadwal kegiatan santri, (6) memperbaharui Sistem dan metode pendidikan, (7) mendatangkan narasumber atau ahli, (8) melakukan studi banding, (9) menerima sumber dana dari masyarakat, (10) manajemen alumni, (11) pengawasan dan evaluasi, (12) pengembangan kapasitas ustad/pengajar. Perubahan tersebut, mengambarkan bahwa Manajemen Pendidikan mampu berjalan secara baik di Pesantren Al Islam Tenggulun. Ketiga, upaya Pesantren Al Islam dalam rangka meredusir paham radikal di lingkungan sekitarnyadilakukan dengan akulturasi dengan lingkungan sekitar, aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan seperti Komite Sekolah dan bergabung dengan Muhammadiyah, membentuk Dewan Pengasuh dan terlibat aktif dalam kegiatan deradikalisasi. DAFTAR PUSTAKA Akabarzadeh, Shahram, & Mansouri, Fethi, Islam And Political Violence, London: Tauris Academic Studies, 2007. Creswell, John W., Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (Terjemahan Edisi Ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif, Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012. Kurniadin, Didin, & Machali, Imam, Manajemen Pendidikan, Konsep&Prinsip Pengelolaan Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Prendergast, Christopher, Cultural Materialism On Raymond Williams London: University of Minnesota Press, 1995. Rabasa, Angel, Pettyjohn, Stacie L., Ghez, Jeremy J., Boucek, Christopher, Deradicalizing Islamist Extremists, Santa Monica: RAND Corporation, 2010. SB, Agus, Darurat Terorisme, Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Jakarta : Daulat Press, 2014. Schmid, Alex P., The Routledge HandbookOf Terrorism Research, New York: Routledge, 2011. Silke, A., (Ed.), Research on Terrorism: Trends, Achievements and Failures. London: Frank Cass, 2004. Straus, Anselm, dan Corbin, Juliet, Dasardasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoretisasi Data, Penerjemah, Muhammad Shodiq dan Imam Mutaqien, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1134
Jurnal Ilmiah Education Management Volume 6 Nomor 2 Juli 2016
Suparta, Mundzier, Islamic Multikultural Education, Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Jakarta: alGhazali Centre, 2008 Tim
Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2011.
© 2016 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana UNJ
1135