Volume 30, No. 2
EDITORIAL
Edisi November, 2012
Sejawat Profesional Kesehatan yang kami hormati, Secara berkala World Health Organization (WHO) melakukan assessment terhadap Badan POM karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memproduksi vaksin. Pada tanggal 5-8 Juni 2012 lalu, Badan POM telah di-assess oleh WHO dalam rangka Pra-kualifikasi produksi vaksin Indonesia dan salah satu fungsi yang di-assess adalah Aktifitas Farmakovigilans, termasuk Surveilan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Informasi mengenai WHO assesment ini secara khusus kami ulas, dan dapat Sejawat baca lebih lanjut pada Buletin ini. Masih terkait dengan aktivitas surveilan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), secara berkala, kami akan memuat artikel terkait aktifitas ini, yang telah kami mulai sejak Edisi Juni 2012 dari Buletin Berita MESO. Kali ini kami menyajikan artikel mengenai Klasifikasi Kajian Kejadian KIPI. Di sini, disampaikan tentang klasifikasi kejadian KIPI berdasarkan 2 (dua) jenis yaitu klasifikasi lapangan dan kausalitas. Selengkapnya Sejawat dapat simak pada halaman 3 Buletin ini. Dalam pemuatan informasi surveilan KIPI, kami sangat mengapresiasi Tim Surveilan KIPI di Kementerian Kesehatan RI, dan juga Komite Nasional PP KIPI yang telah menyiapkan artikel dimaksud. Untuk informasi lain yang dimuat adalah informasi aspek keamanan terkini terkait obat yang beredar untuk menjadi perhatian bagi Sejawat Dokter sekalian. Informasi tersebut antara lain terkait produk obat yang mengandung azithromycin, calcitonin dan juga aliskiren. Informasi pertama, adalah mengenai Azithromycin dan Risiko Efek Samping Kardiovaskular. Informasi mengenai risiko efek samping kardiovaskular pada penggunaan jangka pendek azithromycin dipublikasi di US FDA berdasarkan hasil studi cohort yang diterbitkan oleh the New England Journal of Medicine (NEJM), 2012. Sedangkan informasi untuk dokter yang disampaikan berikutnya adalah mengenai penggunaan jangka panjang Calcitonin dan kaitannya dengan Peningkatan Risiko Kanker. European Medicine Agency (EMA) merekomendasikan pembatasan penggunaan jangka panjang obat-obatan yang mengandung calcitonin, pembatasan penggunaan pada pasien dengan Paget's disease dan melakukan penarikan (withdrawn) bentuk sediaan intranasal untuk pengobatan osteoporosis berdasarkan hasil kajian yang menunjukkan adanya bukti peningkatan risiko kanker dengan berbagai tipe. Di samping itu, informasi keamanan obat lainnya adalah mengenai potensi peningkatan risiko efek samping gangguan kardiovaskular dan ginjal pada penggunaan obat aliskiren. Informasi keamanan terbaru aliskiren tersebut berasal dari hasil studi Aliskiren Trial In Type 2 Diabetes Using cardio-renal Disease Endpoints (ALTITUDE) yang dihentikan lebih awal. Sebagai penutup kami sampaikan mengenai update kegiatan Sosialisasi/Workshop Farmakovigilans di Rumah Sakit selama tahun 2012 dan sekilas informasi mengenai Fungal Meningitis Outbreak yang terjadi di Amerika Serikat, yang belakangan ini banyak dilansir di beberapa media, serta deskripsi kasus laporan efek samping obat yang kami terima. Saran dan kritik dengan sangat terbuka kami terima untuk perbaikan ke depan Buletin ini, dan akhir kata, kami ucapkan Selamat Membaca.
DAFTAR ISI
Daftar isi:
Redaksi
WHO Assessment 2012 Fungsi 2: Aktifitas Farmakovigilans, termasuk Surveilan KIPI
2
Klasifikasi Kajian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
3
Informasi Untuk Dokter Azithromycin dan Risiko Efek Samping Kardiovaskular
4
Calcitonin - Penggunaan Jangka panjang Terkait Dengan Peningkatan Risiko Kanker
5
Potensi Risiko Efek Samping Kardiovaskular Dan Ginjal Pada Pasien Diabetes Tipe 2 yang Diterapi Dengan Aliskiren
6
Update kegiatan Sosialisasi/Workshop Farmakovigilans
7
Fungal Meningitis Outbreak di Amerika Serikat
7
Volume 30, No.2, November 2012
Buletin Berita MESO
WHO Assessment 2012 Fungsi 2: Aktifitas Farmakovigilans, termasuk Surveilan KIPI (Pharmacovigilance Activities, including Surveillance of AEFI)
Keterangan Gambar 1: Ibu Dra. Lucky S. Slamet, MSc, Kepala Badan POM RI didampingi para pejabat terkait, berfoto bersama dengan Tim Assessor WHO, perwakilan Komnas PP KIPI dan Subdit Imunisasi-Ditjen P2PL-Kemenkes RI, perwakilan WHO Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara produsen vaksin yang telah memperoleh status pra-kualifikasi World Health Organization (WHO). Indonesia telah beberapa tahun mensuplai kebutuhan vaksin dunia. Untuk mempertahankan status pra-kualifikasi tersebut, secara berkala WHO melakukan assessment terhadap Badan POM RI, sebagai National Regulatory Authority (NRA). Pada pada tanggal 5-8 Juni 2012, Badan POM RI telah di-assess oleh WHO. Dalam kegiatan tersebut WHO melakukan assesment terhadap 7 (tujuh) fungsi regulatori yaitu national regulatory system, marketing authorization, and licensing activities, clinical trial oversight, laboratory access, lot release, good manufacturing process, dan pharmacovigilance activities including surveillance of AEFI.
memberikan beberapa rekomendasi untuk dapat ditindaklanjuti. Indonesia diberi kesempatan 12 minggu sejak tanggal 8 Juni 2012 untuk melakukan pembenahan terkait rekomendasi tersebut. Menindaklanjuti rekomendasi WHO dimaksud, telah dilakukan pertemuan secara intensif antara Tim Kementerian Kesehatan RI, Badan POM RI dan Komite Nasional PP-KIPI dalam rangka memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Pada tanggal 16-20 Juli 2012, Mr. Stephane Guichard (WHO SEARO) dan Dr. Phillip Lambach (WHO HQ) telah melakukan follow up visit untuk menilai tindak lanjut rekomendasi Tim Assessor WHO yang telah dilakukan oleh Tim Kementerian Kesehatan RI, Badan POM RI dan Komite Nasional PP KIPI. Selanjutnya, hasil penilaian ini telah disampaikan kepada Tim Assessor WHO.
Untuk WHO Assessment terhadap fungsi ini, beberapa instansi terlibat untuk dikunjungi dan diassess, baik tingkat pusat dan daerah. Di tingkat Pusat WHO mengunjungi Badan POM RI, Pelaksana Program Imunisasi, Subdit Imunisasi, Ditjen P2PL, Kemenkes RI, dan Komite Nasional PP-KIPI. Sesuai dengan usulan yang diajukan sebelumnya, daerah yang dikunjungi untuk di-assess adalah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DI Yogyakarta.
Pada tanggal 11 September 2012, perwakilan Tim Assessor WHO yaitu Dr. Lahouari Belgharbi kembali berkunjung ke Indonesia untuk menyampaikan Final Discussion dan hasil penilaian akhir terhadap Indonesia termasuk fungsi Pharmacovigilance Activities including Surveillance of AEFI. Disampaikan bahwa untuk fungsi tersebut, Indonesia telah memenuhi persyaratan dan memperoleh nilai 100% yang berarti bahwa semua kriteria di dalam indikator assessment telah sepenuhnya dijalankan.
Pada akhir pelaksanaan WHO Assessment, tanggal 8 Juni 2012, telah dipaparkan hasil temuan sementara tim WHO yang secara umum menunjukkan bahwa semua fungsi memenuhi persyaratan. Namun, secara khusus untuk Fungsi Pharmacovigilance Activities including Surveillance of AEFI, WHO menilai masih terdapat beberapa indikator kritis yang belum sepenuhnya diterapkan, sehingga
Dengan capaian terkait fungsi regulatori tersebut, maka Indonesia dinilai telah melaksanakan pengawasan dengan sistem yang teruji, dan oleh karena itu Indonesia dapat mempertahankan status PraKualifikasi WHO untuk produk vaksin Indonesia. 2
Volume 30, No.2, November 2012
Buletin Berita MESO
Klasifikasi Kajian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Salah satu ketentuan dalam penanganan KIPI yaitu pada setiap kasus KIPI masyarakat berhak mendapatkan penjelasan resmi atas hasil kajian yang dilakukan Komda PP-KIPI atau Komnas PPKIPI. Hasil kajian KIPI ini dapat disampaikan kepada masyarakat atau bahan untuk meluruskan berita di media dan dapat dipergunakan untuk perbaikan Program Imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui Bila karena kurang lengkapnya informasi KIPI yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab, maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI. Klasifikasi kausalitas Klasifikasi kausalitas mengelompokkan KIPI menjadi 6 (enam) kelompok yaitu:
Dalam membuat kajian KIPI, Komnas PP-KIPI mengelompokkan KIPI dalam 2 (dua) klasifikasi yaitu klasifikasi lapangan dan klasifikasi kausalitas.
1. Very likely / Certain Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin (masuk akal) terhadap pemberian vaksin dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain.
Klasifikasi lapangan Sesuai dengan manfaat situasi di lapangan maka sebagai acuan untuk Komnas dan Komda PP-KIPI dengan menggunakan kriteria WHO untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu:
2. Probable Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal dengan pemberian vaksin dan sepertinya tidak berhubungan dengan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain.
1. Kesalahan prosedur/teknik pelaksanaan (programmatic errors) KIPI yang berhubungan dengan masalah prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, meliputi kesalahan prosedur penyimpanan, pengelolaan dan tata laksana pemberian vaksin.
3. Possible Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal dengan pemberian vaksin namun dapat berhubungan dengan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain.
2. Reaksi suntikan Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
4. Unlikely Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin (masuk akal) terhadap pemberian vaksin menyebabkan hubungan kasual tidak mungkin namun mungkin dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin) KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi SAE (Serious Adverse Event) berupa : gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Meskipun kemungkinan kejadian sangat kecil (1/satu juta)
5. Unrelated Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang tidak mungkin (masuk akal) terhadap pemberian vaksin dan dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain. 6.
4. Faktor kebetulan (koinsiden) KIPI yang terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi. Salah satu indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.
Unclassifiable Kejadian klinis dengan informasi yang tidak cukup untuk memungkinkan dilakukan penilaian dan identifikasi penyebab.
Acknowledgements: 1. Subdit Imunisasi, Ditjen P2PL, Kemenkes RI 2. KOMNAS PP KIPI
3
Volume 30, No.2, November 2012
Buletin Berita MESO
INFORMASI UNTUK DOKTER AZITHROMYCIN DAN RISIKO EFEK SAMPING KARDIOVASKULAR
Azithromycin merupakan antibiotik berspektrum luas golongan makrolida, yang dikenal sebagai azlide dan berbeda secara kimia dengan erythromycin yang bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri dengan berikatan pada sub unit ribosomal 50 dan mencegah translokasi peptida. Terdapat informasi terbaru yang diterbitkan oleh US FDA pada tanggal 17 Mei 2012 mengenai aspek keamanan penggunaan jangka pendek azithromycin dari hasil studi cohort “Azithromycin and the Risk of Cardiovascular Death” yang dipublikasi di the New England Journal of Medicine (NEJM). US FDA sedang melakukan kajian terhadap hasil studi tersebut.
Pada label obat produk obat azithromycin yang disetujui di Indonesia telah terdapat informasi tentang terjadinya prolonged cardiac repolarization dan QT interval untuk antibiotik makrolida secara umum, yaitu pada bagian Peringatan Perhatian dan laporan tentang QT prolongation dan torsades de pointes yang jarang pada bagian Efek Samping. Menyikapi perkembangan terkini aspek keamanan azithromycin tersebut, perlu menjadi perhatian sejawat profesional kesehatan akan potensi perpanjangan interval QT (QT interval prolongation) dan aritmia, apabila akan meresepkan atau memberikan pasien obat antibiotik golongan makrolida dan melaporkan efek samping obat azithromycin apabila terjadi pada pasien dengan menggunakan form pelaporan ESO (form kuning). Badan POM RI akan melakukan kajian yang komprehensif untuk penetapan tindak lanjut regulatori yang tepat, segera setelah diperoleh informasi dan data yang menunjang.
Studi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melihat peningkatan risiko kematian karena kardiovaskular (cardiovascular death) pada pemakaian jangka pendek azithromycin dibandingkan dengan pasien yang diterapi dengan antibiotik lain dan tanpa anti-biotik. Hasil studi menunjukkan adanya sedikit pe-ningkatan kematian karena kardiovaskular dan kematian karena penyebab lain pada pasien yang diterapi selama 5 hari dengan azithromycin dibandingkan de-ngan pasien yang diterapi dengan amoxycillin, ciprofloxacin dan tanpa antibiotik. Sedangkan, risiko kematian karena kardiovaskular pada pasien yang diobati dengan levofloxacin tidak berbeda secara signifikan dengan azithromycin.
Daftar Pustaka: 1. US FDA, FDA Drug Safety, Zithromax (azithromycin):FDA statement on risk of cardiovascular death, 17 Mei 2012. 2. Ray, Wayne A. Et all. Azithromycin and The Risk of Cardiovascular Death. The New England Journal of Medicines. 2012.; 366:1881-90.
Fungal Meningitis Outbreak di Amerika Serikat Berkaitan dengan informasi aspek keamanan mengenai terjadinya fungal meningitis outbreak yang disampaikan oleh FDA terkait dengan ditemukannya kontaminasi fungal di fasilitas produksi New England Compounding Center (NECC), FraminghamMassachusetts yang ditengarai berhubungan dengan produk injeksi steroid dan telah dimuat di beberapa media cetak di Indonesia, Badan POM RI memandang perlu menyampaikan informasi kepada masyarakat sebagai berikut : 1. Terdapat informasi keamanan terkait produk obat injeksi steroid produksi New England Compounding Center (NECC), Framingham-Massachusetts yang berpotensi terkontaminasi dan menyebabkan fungal meningitis outbreak. 2. Pada tanggal 6 Oktober 2012, NECC mengumumkan penarikan produk injeksi steroid NECC yang diproduksi dan didistribusikan dari fasilitas produksi NECC di Framingham, Massachusetts dari peredaran. 3. Hingga tanggal 19 November 2012, CDC melaporkan terdapat 490 kasus infeksi fungal termasuk 34 kasus kematian yang diduga disebabkan oleh produk obat yang terkontaminasi sehingga menyebabkan
4. Hasil observasi dari US FDA menunjukkan adanya kontaminasi fungal dengan melakukan pengujian langsung secara mikroskopik pada bahan luar seal vial methylprednisolone acetate produk NECC. 5. Data interim CDC menunjukkan bahwa semua pasien yang terinfeksi fungal meningitis menerima produk injeksi NECC. 6. Hasil observasi FDA terhadap fasilitas produksi ruang bersih di NECC Framingham menunjukkan adanya penyimpangan terhadap regulasi terkait, sehingga mengakibatkan terjadinya kontaminasi dan kurangnya sterilitas produk-produk yang diproduksi pada NECC’s compounding facility. 7. H a s i l investigasi pada salah satu lot#08102012@51, BUD 2/6/2013 methylprednisolone acetate produksi NECC yang terimplikasi menunjukkan adanya fungus Exserohilum rostratum pada vial tanpa pengawet yang belum dibuka. 8. Hasil uji laboratorium memastikan terdapat hubungan antara produk injeksi steroid NECC dengan lot-lot tersebut dengan multistate outbreak fungal meningitis dan joint infections. Bersambung ke halaman 5
4
Volume 30, No.2, November 2012
Buletin Berita MESO
CALCITONIN – PENGGUNAAN JANGKA PANJANG TERKAIT DENGAN PENINGKATAN RISIKO KANKER
Pada tanggal 20 Juli 2012 European Medicines Agency (EMA) menerbitkan press release yang merekomendasikan pembatasan penggunaan jangka panjang obat-obatan yang mengandung calcitonin, pembatasan penggunaan pada pasien dengan Paget's disease dan melakukan penarikan (withdrawn) bentuk sediaan intranasal untuk pengobatan osteoporosis. Rekomendasi tersebut berdasarkan hasil kajian benefit-risk yang telah dilakukan Europen Medicines Agency’s Committe for Medicinal Products for Human Use (CHMP) terhadap semua data yang tersedia yang menunjukkan adanya bukti peningkatan risiko kanker dengan berbagai tipe pada penggunaan calcitonin jangka panjang. Pada studi jangka panjang, tingkat risiko terjadinya kanker bervariasi antara 0,7% (formula oral) hingga 2,4% (formula semprot hidung) dibandingkan dengan pasien yang diberikan plasebo. Tingkat kejadian kanker lebih tinggi pada calcitonin yang diberikan dalam bentuk intranasal (semprot hidung). Rekomendasi bagi dokter terkait informasi keamanan tersebut adalah: 1. Tidak meresepkan obat yang mengandung calcitonin dalam bentuk semprot hidung untuk pengobatan osteoporosis 2. Calcitonin hanya akan tersedia dalam bentuk injeksi dan infus, dan hanya boleh digunakan untuk: a. Pencegahan akut keropos tulang karena imobilisasi tiba-tiba. Pengobatan dianjurkan selama 2 minggu dengan durasi pengobatan maksimal 4 minggu. b. Pasien dengan penyakit Paget’s disease yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan alternatif atau pasien dengan pengobatan yang tidak sesuai, pengobatan umumnya dibatasi hingga 3 bulan.
c.
Hiperkalsemia yang disebabkan oleh kanker. 3. Pengobatan dengan calcitonin dibatasi dengan jangka waktu sesingkat mungkin dengan menggunakan dosis efektif paling kecil. Di Indonesia, produk obat yang mengandung calcitonin telah beredar sejak tahun 1987 dan tersedia dalam bentuk injeksi dan semprot hidung. Calcitonin dalam bentuk semprot hidung diindikasikan untuk mengobati postmenopausal osteoporosis pada wanita yang telah mengalami postmenopause lebih dari 5 tahun dengan massa tulang rendah dibandingkan dengan massa tulang wanita sehat sebelum menopause. Calcitonin dalam bentuk injeksi diindikasikan untuk osteoporosis, nyeri tulang yang berhubungan dengan osteoitis dan/ atau osteopenia, Paget’s disease of bone (osteitis deformans), hypercalcaemia dan krisis hypercalcaemic terkait kanker, hyperparathyroidism, imobilisasi atau intoksikasi vitamin D dan neurodystropic disorders. Hingga saat ini Badan POM RI belum menerima laporan efek samping calcitonin terkait kanker. Meskipun belum terdapat tindak lanjut regulatori yang dilakukan oleh badan otoritas di negara lain terkait informasi keamanan tersebut, dalam rangka meningkatkan kehati-hatian, Badan POM RI menyampaikan informasi ini kepada sejawat profesi kesehatan sambil terus melakukan kajian secara komprehensif untuk mengambil tindak lanjut regulatori yang tepat. Daftar Pustaka: 1. European Medicines Agency (EMA). Press release: European medicines Agency recommends limiting longterm use of calcitonin medicines, 20 Juli 2012. 2. European Medicines Agency (EMA).Question and answers on the review of calcitonin containing medicines,19 Juli 2012. 3. Health Canada.Calcitonin-containing drugs: Health Canada assessing potential cancer risk with long-term use, 31 Juli 2012. 4. Data Badan POM RI.
Fungal Meningitis Outbreak…………………… Sambungan dari halaman 4
3. US FDA., Safety Alerts, Press Release: New England Compounding Center Issues Voluntary Nationwide Recall All Products, 6 Oktober 2012 4. US FDA., FDA Statement on Fungal Meningitis Outbreak: Additional Patient Notification Advised, 16 Oktober 2012. 5. US FDA, Question and Answers on Fungal Meningitis Outbreak, 17 Oktober 2012. 6. US FDA, Drug Safety, Update on Fungal meningitis, 18 Oktober 2012 and 22 October 2012. 7. US FDA, Safety Alert, Update Fungal Meningitis Oubreak, 24 Oktober 2012. 8. US FDA, News release: FDA reports conditions observed at New England Compounding Center Facility, 26 Oktober 2012. 9. CDC Multistate Fungal meningitis Oubreak-Current Case Count, 19 November 2012 10. Data Badan POM RI
9. Semua produk produksi NECC tidak terdaftar dan beredar di Indonesia. Demikian informasi ini kami sampaikan, semoga bermanfaat, dan menambah wawasan Sejawat Kesehatan sekalian. Daftar Pustaka: 1. Medscape Medical News, Drugs recalled as Deadly Meningitis Outbreak Worsens, 4 Oktober 2012. 2. US FDA., Safety Information, New England Compounding Center (NECC) Potentially Contaminated Medication: Fungal Meningitis Outbreak, 6 Oktober 2012.
5
Volume 30, No.2, November 2012
Buletin Berita MESO
POTENSI RISIKO EFEK SAMPING KARDIOVASKULAR DAN GINJAL PADA PASIEN DIABETES TIPE 2 YANG DITERAPI DENGAN ALISKIREN Aliskiren merupakan obat yang diindikasikan untuk pengobatan hipertensi dan bekerja oral secara aktif, non-peptide, potent, dan menghambat langsung secara selektif pada renin manusia. Di Indonesia, aliskiren disetujui beredar sejak tahun 2007 dalam bentuk tunggal dan kombinasi tetap dengan hydroclortiazid. Terdapat informasi terbaru mengenai aspek keamanan penggunaan aliskiren dari studi Aliskiren Trial In Type 2 diabetes Using cardiorenal Disease Endpoints (ALTITUDE) berupa peningkatan risiko efek samping gangguan kardiovaskular dan ginjal.
informasi berupa kontraindikasi penggunaan terapi aliskiren bersama dengan ARB atau ACE inhibitor pada pasien diabetes dan gangguan ginjal. Sedangkan MHRA (Inggris) dan Health Canada (Canada) sedang melakukan review lebih lanjut. Menyikapi perkembangan aspek keamanan aliskiren tersebut, Badan POM RI sedang melakukan pengkajian yang komprehensif untuk penetapan tindak lanjut regulatori yang tepat. Badan POM RI akan secara terus menerus melakukan pemantauan aspek keamanan obat, dalam rangka memberikan perlindungan yang optimal kepada masyarakat, dan sebagai upaya jaminan keamanan obat yang beredar di Indonesia.
Studi ALTITUDE merupakan studi yang dilaksanakan pada 8606 pasien diabetes tipe 2 yang sebelumnya telah mempunyai risiko tinggi gangguan kardiovaskular dan ginjal. Tujuan dilaksanakannya Studi ALTITUDE adalah untuk meneliti aliskiren dalam menurunkan risiko kematian dan penyakit yang disebabkan oleh jantung, sistem kardiovaskular, dan ginjal. Dalam studi tersebut, aliskiren diberikan sebagai tambahan pengobatan standar hipertensi yaitu angiotensin converting enzyme (ACE inhibitor) atau angiotensin receptor blocker (ARB).
Daftar Pustaka: 1. EMA, Press release: European Medicines Agency recommends new contraindications and warnings for aliskiren-containing medicines, 17 Februari 2012. 2. EMA, Question and answers on the review aliskiren containing medicines, 16 Februari 2012. 3. US FDA, FDA Drug Safety Communication: New warning and contraindication for blood pressure medicines containing aliskiren (Tekturna), 20 April 2012. 4. Health Canada, Public Comunication: Health Canada endorsed important safety information on Rasilez (aliskiren) and Rasilez HCT (aliskiren/ hydrochlorthiazide), 23 Januari 2012. 5. Health Canada, Rasilez (aliskiren) reviewing safety blood pressure drugs, 22 Desember 2011. 6. PMDA, Risk Communication: MHLW/PMDA starts review of Rasilez (aliskiren fumarate), 28 Desember 2011. 7. HSA, HSA Adverse Drug Reaction News. Early termination of Aliskiren study due to adverse events., April 2012. 8. Data Badan POM RI
Studi ALTITUDE tersebut dihentikan lebih awal karena hasil dari analisis interim menunjukkan kurangnya efikasi obat aliskiren dan terdapat peningkatan risiko kardiovaskular dan gangguan ginjal pada pasien yang diterapi dengan aliskiren bersama de-ngan ACE inhibitor atau ARB dibandingkan dengan pasien yang diterapi dengan plasebo. Peningkatan risiko kardiovaskular dan gangguan ginjal dalam studi tersebut terutama meliputi stroke, komplikasi ginjal, hiperkalemia dan hipotensi. Beberapa badan otoritas di negara lain diantaranya adalah EMA (Uni Eropa), US FDA (Amerika) dan PMDA (Jepang) telah mengambil tindak lanjut regulatori berupa update labelling dengan menambahkan
DESKRIPSI LAPORAN KASUS EFEK SAMPING OBAT YANG DITERIMA OLEH PUSAT FARMAKOVIGILANS NASIONAL LAPORAN KASUS EFEK SAMPING TERKAIT OBAT IBANDRONIC ACID Di Indonesia, Ibandronic acid disetujui untuk indikasi pengobatan osteoporosis pada wanita yang telah menopause dengan peningkatan risiko patah tulang (fracture). Pusat MESO Nasional telah menerima beberapa laporan kasus efek samping terkait penggunaan obat ini pada bulan Januari hingga bulan September tahun 2012. Berikut deskripsi 2 (dua) laporan kasus efek samping dan analisa kausalitasnya untuk informasi dan feedback bagi Sejawat Kesehatan sekalian. Kasus pertama diperoleh dari pelaporan spontan: pasien laki-laki usia 52 tahun diberikan ibandronic acid dosis 150 mg secara oral dengan frekuensi 1kali setiap minggu, dimulai dari tanggal 24 Mei 2012. Pada hari yang sama setelah obat diberikan, pasien mengalami sakit kepala (headache), kesulitan bernafas (difficulty breathing) dan serangan jantung (heart attack). Kemudian pasien dirawat di rumah sakit. Pada hari-hari berikutnya, tanggal 27 Mei 2012, pasien mengalami hematuria, dan diinformasikan bahwa pada hari yang sama pada pasien dilakukan kateterisasi karena adanya penyumbatan koroner. Pada tanggal 31 Mei 2012, semua gejala efek samping yaitu sakit kepala, kesulitan bernafas dan serangan jantung sembuh. Bersambung ke halaman 7
6
Volume 30, No.2, November 2012
Buletin Berita MESO
Update Kegiatan Sosialisasi/Workshop Farmakovigilans di Beberapa Rumah Sakit 2012
Dalam penyelenggaraan kegiatan workshop ini, Badan POM RI memberikan penjelasan terkait program Farmakovigilans di Indonesia dan pentingnya Farmakovigilans bagi jaminan keamanan obat beredar dengan tujuan akhir jaminan keamanan pasien (patient safety). Dalam melaksanakan workshop Farmakovigilans di rumak sakit, Badan POM RI mengundang Nara Sumber dari akademisi terkait untuk memberikan penjelasan secara ilmiah tentang efek samping obat dan permasalahan lainnya, serta peran dan tanggung jawab rumah sakit dalam jaminan keamanan pasien (patient safety) yang dapat dicapai dan didukung dengan pelaksanaan Farmakovigilans.
Keterangan Gambar 2: Workshop Program Pharmacovigilance di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung
Dalam kegiatan workshop ini, pihak rumah sakit, baik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo di Makasar, RSUD Dr. Sudarso di Pontianak, RSUD Dr. Haji Abdul Moeloek di Bandar Lampung, dan RSUD Arifin Achmad di Pekanbaru, juga menyampaikan tentang implementasi Farmakovigilans dan kendala yang dihadapi khususnya dalam pelaporan efek samping obat di rumah sakit.
Badan POM RI secara rutin mengadakan kegiatan berupa Sosialisasi/Workshop terkait Farmakovigilans seperti tahun-tahun sebelumnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan pemahaman sejawat kesehatan tentang pentingnya aktifitas Farmakovigilans sebagai bagian dari jaminan keamanan pasien (patient safety) dan kepedulian sejawat untuk melakukan pemantauan dan pelaporan kejadian efek samping yang terjadi pada praktik klinik sehari-hari di sarana pelayanan kesehatan.
Peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut adalah sejawat kesehatan mulai dari dokter spesialis, dokter umum, farmasis klinik, bidan, serta perawat. Badan POM RI mendapat sambutan baik dari peserta workshop atas penyelenggaraan sosialisasi/workshop Farmakovigilans tersebut, dan secara umum pihak rumah sakit mendukung program Farmakovigilans di Indonesia. Kegiatan sosialisasi/workshop ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah laporan efek samping obat yang diterima dari sejawat tenaga kesehatan.
Selama tahun 2012, Badan POM telah menyelenggarakan workshop Farmakovigilans bekerjasama dengan empat rumah sakit pemerintah yaitu RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo di Makasar, RSUD Dr. Sudarso di Pontianak, RSUD Dr. Haji Abdul Moeloek di Bandar Lampung, dan RSUD Arifin Achmad di Pekanbaru. Deskripsi Laporan Kasus Efek Samping Obat…………….. Sambungan dari halaman 6
Analisa kausalitas yang disampaikan dalam laporan tersebut untuk efek samping sakit kepala adalah related, kesulitan bernafas dan serangan jantung adalah unknown, sedangkan untuk hematuria adalah not related karena terkait dengan kateterisasi. Kesudahan efek samping, pasien dilaporkan sembuh. Hasil kajian analisa kausalitas oleh Tim Pengkaji ESO adalah untuk headache adalah certain. Sedangkan untuk kesulitan bernafas dan serangan jantung adalah unlikely, karena terdapat informasi tentang penyumbatan koroner pada pasien yang dapat menjelaskan kemungkinan kedua hal tersebut terjadi. Sedangkan untuk hematuria juga unlikely, karena dapat dijelaskan bahwa hal tersebut akibat dari kateterisasi. Kasus kedua diperoleh dari studi pasca pemasaran (non-interventional study/program case): wanita usia 65 tahun diberikan ibandronic acid oral dengan dosis, frekuensi dan waktu pemberian yang tidak diketahui secara jelas. Setelah menggunakan obat tersebut, pasien mengalami diare dan terapi ibandronic acid dihentikan. Pada tanggal 6 Maret 2012, pasien diberikan ibandronic acid kembali dengan dosis 150 mg dengan frekuensi sebulan sekali. Pada tanggal 6 September 2012, terapi ibandronic acid dihentikan. Pada tanggal 7 September 2012, pasien mengalami diare dan tinja berdarah, oleh karena itu, kemudian pasien dirawat di rumah sakit. Pada tanggal 11 September 2012, dilaporkan bahwa diare dan tinja berdarah telah sembuh, dan pasien keluar dari rumah sakit. Analisa kausalitas yang disampaikan dalam laporan tersebut untuk diare adalah related sedangkan untuk tinja berdarah adalah unknown. Hasil kajian analisa kausalitas oleh Tim Pengkaji ESO adalah untuk efek samping berupa diare, adalah certain karena dapat ditunjukkan adanya proses rechallenge yang positif, yaitu setelah obat diberikan kembali, pasien mengalami hal yang sama. Sedangkan untuk tinja berdarah, adalah possible.
7
APA YANG PERLU DILAPORKAN ?
BADAN POM RI DEWAN REDAKSI BULETIN BERITA MESO:
Dra. Lucky S. Slamet, MSc.; Dra. Retno Tyas Utami, Apt, M.Epid; Dra. Endang Woro, Apt, MSc.; Drs. Roland Hutapea, MSc, Dr. Suharti K.S., SpFK; Prof.Dr. Armen Muchtar, SpFK; Prof.Dr. Hedi Rosmiati, SpFK; Dr. Nafrialdi, SpPD, SpFK; Dra. Yunida Nugrahanti, MP; Siti Asfijah Abdoellah, SSi, Apt, MMedSc; Dra. Ratna Irawati, MKes; Dra. Herawati Apt,Mbiomed; Dra. Warta Br. Ginting, Apt; Dra. Lela Amelia Apt., M.Epid; Rahma Dewi Handari, SSi, Apt; Zulfa Auliyati Agustina, S.KM.; Reni Setyawati, S.KM., M.Epid; Lanjar Sayoga, S.Kom. ALAMAT REDAKSI BULETIN BERITA MESO:
Pusat MESO/Farmakovigilans Nasional Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Jl. Percetakan Negara No. 23 Kotak Pos No. 143 JAKARTA 10560 Telp : (021) 4245459; 4244755 ext.. 111 Fax : (021) 4243605; 42883485 e-mail :
[email protected];
[email protected]
ETIKA
DA L A M FA R M A KOV I G I L A N S
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping akibat obat perlu dilaporkan, baik obat yang digunakan dalam praktik klinik sehari-hari, termasuk obat program, vaksin, dan obat baru. Laporan tidak harus didasarkan atas kepastian seratus persen adanya hubungan kausal antara efek samping dengan obat. Bila Saudara menemukan reaksi yang masih diragukan hubungannya dengan obat yang digunakan, adalah lebih baik dilaporkan daripada tidak sama sekali. REAKSI-REAKSI APA YANG SEYOGYANYA DILAPORKAN ?
Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat obat. Terutama efek samping
yang selama ini tidak pernah / belum pernah dihubungkan dengan obat yang bersangkutan . Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat. Setiap reaksi efek samping serius, antara lain : Reaksi anafilaktik Diskrasia darah Perforasi usus Aritmia jantung Seluruh jenis efek fatal Kelainan congenital Perdarahan lambung Efek toksik pada hati Efek karsinogenik Kegagalan ginjal Edema laring Efek samping berbahaya seperti sindroma Stevens Johnson Serangan epilepsi dan neuropati Setiap reaksi ketergantungan Sebagai contoh klasik adalah yang berkaitan dengan obat golongan opiat; walaupun demikian berbagai obat lain dapat menimbulkan reaksi ketergantungan fisik dan atau psikis APA PERANAN LAPORAN EFEK SAMPING OBAT (ESO) SAUDARA ?
Setiap laporan ESO yang diterima dievaluasi oleh Badan POM RI sebagai Pusat MESO Nasional untuk menentukan hubungan kausal produk obat yang dicurigai dengan efek samping yang dilaporkan, menggunakan kriteria yang telah ditetapkan. Indonesia telah tercatat sebagai negara anggota dalam kegiatan WHO-UMC Collaborating Centre for International Drug Monitoring. Untuk itu laporan ESO di Indonesia yang diterima oleh Pusat MESO Nasional dari Saudara, akan dikirim ke “Pusat Monitoring Efek Samping Obat Internasional” (WHO-UMC Collaborating Centre), di Uppsala, Swedia. Data ESO dari seluruh dunia yang dikirimkan termasuk dari Indonesia, selanjutnya akan masuk dalam data base Pusat MESO Internasional. Drug Regulatory Authorities (DRAs) dari negara-negara anggota saling bertukar menukar informasi berkaitan drug safety melalui e-mail Vigimed Lists. Laporan efek samping yang dikaji/evaluasi sesuai derajat/tingkat kegawatan efek samping dan/atau insidens atau hal lain, hasilnya dapat berbentuk saran serta tindak lanjut terhadap kasus yang bersangkutan oleh pihak regulatori, dan dipublikasi di dalam buletin BERITA MESO. Pusat MESO Nasional sangat mengharapkan dan menghargai peran aktif untuk berpartisipasi di dalam kegiatan MESO dengan cara mengirimkan laporan efek samping obat yang Saudara jumpai. 8