Editor : M. Yusuf Asry
GERAKAN DAKWAH ISLAM
dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
GERAKAN DAKWAH ISLAM
dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama
Editor : M. Yusuf Asry
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012
i
Kata Pengantar
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) gerakan dakwah islam dalam perspektif kerukunan umat beragama/Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Ed. I. Cet. 1. ---Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012 xxvi + 350 hlm; 14,8 x 21 cm ISBN 978-602-8739-08-5 Hak Cipta pada Penerbit .................................................................................................................................................................... Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa seizin sah dari penerbit .................................................................................................................................................................... Cetakan Pertama, Oktober 2012 .................................................................................................................................................................... GERAKAN DAKWAH ISLAM DALAM PERSPEKTIF KERUKUNAN UMAT BERAGAMA .................................................................................................................................................................... Editor : M. Yusuf Asry Tata Letak : Sugeng Design Cover Firdaus .................................................................................................................................................................... Foto Ilustrasi Cover : Siluet orang-orangan kertas di atas bola dunia Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp/Fax. (021) 3920425, 3920421
[email protected]
ii
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya “Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku Tahun 2012 ini, sebagian besar merupakan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2011. Kami menghaturkan ucapan terima kasih kepada para pakar dalam menulis prolog, juga kepada para peneliti sebagai editor buku ini yang secara tekun telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, yang akhirnya dapat hadir di hadapan pembaca yang budiman. Pada tahun 2012 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku yang diterbitkan, buku-buku tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan Kontemporer di Indonesia.
2.
Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia.
iii
Kata Pengantar
3.
Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.
4.
Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia
5.
Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama
6.
Hubungan Umat Beragama: Perselisihan Rumah Ibadat.
7.
Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik, Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.
8.
Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.
9.
Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.
Studi Kasus Penutupan/
Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggitingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan. Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas
iv
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
berbagai kekurangan tersebut. Akhirnya, ucapan terimakasih kami haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.
Jakarta, Oktober 2012 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan NIP. 19691110 199403 1 005
v
Kata Pengantar
Dakwah di Kalangan Umat Islam dalam Perspektif Kerukunan
Editor M. Yusuf Asry
KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 2012
vi
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah swt, kami menyambut baik diterbitkan buku ini. Sebuah buku yang berisi hasil penelitian para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Masyarakat Indonesia dikenal sangat majemuk di antara bangsa-bangsa dunia dewasa ini dalam etnis dan agama. Karena itu, adalah sangat tepat apabila pembangunan bidang agama yang berlangsung secara berkelanjutan menjadi sasaran. Di antara pembangunan tersebut adalah peningkatan kualitas kehidupan beragama dan harmonisasi hubungan umat beragama. Salah satu upaya mencapai sasaran pembangunan tersebut adalah melalui penyiaran atau dakwah.Secara umum, dakwah dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, dakwah eksternal, yaitu dakwah keluar komunitasnya untuk memperkenalkan ajaran suatu agama guna tercipta suasana saling memahami, dan
vii
Sambutan
kemudian diharapkan memperkuat toleransi antarumat beragama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, dakwah internal, yaitu dakwah ke dalam komunitas sendiri yang berorientasi pada peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama, serta kerukunan hidup internal masingmasing umat beragama. Dengan demikian, agama akan bermakna bagi pemeluknya dan dapat berkonstribusi bagi kemajuan dan kesejahteran bersama, serta kerukunan. Setiap muslim pada hakikatnya adalah da’i sesuai masingmasing kemampuan, sehingga wajar terjadi perbedaan dalam mengartikulasikan dakwahnya. Namun, semua menuju pada “amar makruf nahi mungkar”. Karena itu, dakwah multikultural merupakan suatu keniscayaan dengan visi “rahmatan lil’alamin”. Berdakwah merupakan tugas mulia yang diemban oleh umat Islam dalam rangka memperluas nilai-nilai Islam agar mewarnai seluruh aspek kehidupan. Buku ini mendeskripsikan dakwah yang dilakukan, baik oleh ormas Islam maupun kelompok-kelompok gerakan dakwah Islam. Sosialisasi dan desiminasi hasil penelitian bisa dalam bentuk tulisan dalam jurnal, majalah dan media cetak seperti dalam bentuk tulisan ini. Buku ini dipandang penting, untuk referensi mengenai dakwah yang tergolong masih langka. Dalam konteks itulah penerbitan buku ini berarti salah satu sosialisasi dan publikasi hasil penelitian bidang kehidupan keagamaan yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Atas diterbitkan buku ini, kami ucapkan terima kasih kepada Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang mendesain dari awal hingga tersusun buku ini. Semoga buku ini memberikan
viii
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
konstribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, sekaligus pencerahan kepada masyarakat dan bangsa yang kita cintai ini.
Jakarta, Oktober 2012 Pgs. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003
ix
Sambutan
x
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
Prolog DAKWAH, AKTIVITAS DISKURSIF DAN TANTANGAN GLOBALISASI Noorhaidi Hasan (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Muslim kontemporer hidup dalam situasi yang semakin kompleks akibat perubahan sosial yang sangat cepat pada era globalisasi. Masalah-masalah baru muncul setiap saat, mempersulit upaya mereka mengkontekstualisasi agama dengan kehidupan sehari-hari (everyday life). Menariknya, menghadapi tantangan-tantangan perubahan global, semakin banyak Muslim berupaya menyatakan identitas keagamaan mereka secara terbuka di ruang publik. Simbol-simbol Islam hadir semakin mencolok. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Islam malah mempertunjukkan vitalitasnya sebagai sistem simbolik dan kolektif identitas yang mempengaruhi gerak sosial dan politik Muslim di seluruh dunia. Sejalan dengan kesadaran dan hasrat mereka yang semakin meningkat untuk mempertunjukkan kedirian agama (religious self) mereka di ruang publik, Islam
xi
Prolog
bergerak ke tengah mewarnai transaksi politik, kegiatan ekonomi, dan hubungan sosial-budaya. Sebagaimana kita saksikan di Indonesia, negara Muslim yang paling banyak penduduknya di dunia, pengaruh Islam yang semakin meningkat di ruang publik terjadi bersamaan dengan pertumbuhan institusi dan gaya hidup baru Islami. Masjid megah dengan gaya arsitektur baru bercorak Timur Tengah bermunculan, penuh jamaah menghadiri ibadah seharihari maupun acara pengajian dan zikir bersama. Semakin banyak orang pergi melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah, sebagian mereka menggunakan paket perjalanan mahal yang menawarkan pelayanan berbintang. Jilbab dan baju koko muncul menjadi trend berpakaian masa kini. Produk dandanan dan perawatan kulit istimewa dengan label halal secara luas diiklankan dan dijual baik di pasar tradisional maupun counter khusus toko serba-ada yang menjual barang-barang mewah. Melengkapi keberadaan qasyidah, nasyid yang memakai aliran musik beraneka dari pop sampai reggae berkembang semakin populer dan kerap berhasil menapaki tangga atas industri musik nasional. Bersamaan dengan berkembangnya budaya pop Islami, majalah, buletin, pamflet, buku, dan novel yang mengangkat tema-tema Islami terus bermunculan meraih oplah yang mengesankan. Saluran radio dan televisi bersaing menyiarkan sinetron bermuatan agama. Dakwah melalui dunia maya menjamur menawarkan pesan agama lewat layanan SMS dan jaringan internet.1 Bank-bank syariah dan asuransi syariah (takaful) terus tumbuh mengimbangi persemaian Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan Bait al-Mal wa al-Tamwil, lembaga keuangan berskala mikro yang tumbuh menjamur sampai pelosok kecamatan dan desa.2
xii
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
Budaya pop Islami sarat dengan simbol-simbol yang bukan hanya telah berkembang menjadi identitas penting seorang Muslim, tetapi sekaligus status sosial dan mobilitas ekonomi. Hal ini malah lambat laun berubah menjadi lambang elitisme, yang terkait dengan kesuksesan seseorang. Simbol-simbol itu memungkinkan orang dari latar belakang sosial yang berbeda membangun jejaring sosial virtual maupun nyata yang bisa diupayakan menjadi modal sosial (social capital) untuk peningkatan produktivitas kolektif. Lewat jaringan ini, Islam diinterpretasikan dan diberikan makna baru seiring semangat perubahan zaman. Jaringan ini, pada gilirannya, menyediakan jalur mobilitas sosial dan ekonomi maupun pasar untuk produk komersial.3 Landskap dunia Islam tampaknya tengah mengalami transformasi menuju terciptanya ruang publik baru yang disebut ruang publik Islam (Islamic public space). Dalam ruang publik yang baru ini kontras antara agama dan modernitas menjadi semakin tidak relevan karena globalisasi mendorong terciptanya budaya global homogen yang mensinkronkan selera, konsumsi dan gaya hidup masyarakat global. Globalisasi sekaligus memperdalam penetrasi nilai-nilai modern seperti demokrasi, toleransi, dan hakhak asasi manusia. Proses ini melahirkan apa yang disebut “Islam publik” (public Islam), ekspresi, simbol dan pernyataan keagamaan yang ramah terhadap nilai-nilai modern dan globalisasi.4 Konsep Islam publik tidak bisa dipisahkan dari perdebatan seputar agama publik (public religion) yang dicetuskan Jose Casanova. Membantah tesis-tesis sekularisasi, sosiolog Amerika ini berpandangan bahwa agama pada era globalisasi mengalami proses repolitisisasi dan sekaligus deprivatisasi, ketika ia masuk ke dalam gelanggang kontestasi politik dan menolak untuk disekat dalam ruang privat.5 Namun karena globalisasi berkembang
xiii
Prolog
seiring meluasnya pendidikan dan komunikasi massal, agama yang masuk ke ruang publik zaman ini terpaksa menerima prinsip rasionalitas komunikatif.6 Pendidikan dan komunikasi massal memfasilitasi tumbuhnya kemandirian dan kesadaran di kalangan Muslim tentang perlunya merekonstruksi pemikiran dan tindakan keagamaan mereka, serta membuat format baru ruang publik yang diskursif, performatif, dan partisipatif.7 Seturut perkembangan prinsip volunterisme modern yang mempengaruhi rasionalitas publik, pengertian tentang kesalehan bergeser ke arah yang menekankan keislaman personal (personalized Muslimhood).8 Apakah trend perkembangan global semacam ini berpengaruh terhadap format dan arah dakwah ormas-ormas maupun gerakan Islam di Indonesia masa kini? Pertanyaan ini penting diajukan karena Indonesia merupakan contoh negara di mana pertarungan memperebutkan pusat medan wacana (centre of the discursive field) berlangsung sangat intens. Berbagai macam ormas dan gerakan keagamaan dari yang bercorak radikal, militan, moderat, progresif sampai liberal berupaya mengekspresikan identitas dan kepentingan masing-masing melalui aktivitas diskursif yang dinamis. Simbol-simbol dimunculkan, diberikan makna dan diinterpretasikan. Ketegangan dan negosiasi berlangsung mewarnai pertarungan wacana ini. Dakwah merupakan aktivitas diskursif yang berpusat pada produksi, penyemaian, otorisasi dan appropriasi pengetahuan keislaman. Berdasar teori Talal Asad tentang Islam sebagai tradisi diskursif, persepsi Muslim tentang bagaimana pengetahuan keislaman itu diterjemahkan ke dalam perkataan, prilaku, tindakan dan perbuatan selalu dikontekstualisasi dan sekaligus diperebutkan (contested).9 Persepsi-persepsi ini sangat sentral dalam kaitan dengan pandangan-pandangan dan debat-debat tentang interaksi Muslim dengan dunia sosial di sekitarnya.
xiv
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
Sekalipun tidak ada standard tunggal yang universal tentang definisi, lingkup dan cakupan pengetahuan keislaman, memahami dakwah merupakan hal krusial sebagai prasyarat dalam mengerti apa makna menjadi seorang Muslim dan bagaimana kedirian Muslim modern terbentuk dalam konteks yang terus berubah. Dakwah sebagai sarana produksi pengetahuan yang berlangsung secara diskursif dipercaya mempunyai fungsi penting dalam membentuk watak dan prilaku Muslim, seperti terefleksi dalam cara mereka berpikir, bersikap dan bertindak sehari-hari. Melalui aktivitas keagamaan yang melibatkan pendakwah, ulama dan otoritas keagamaan lainnya, dakwah berlangsung dinamis tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga mendorong lahirnya individu yang berkepribadian istimewa (tahdhib).10 Buku yang ada di hadapan pembaca ini sangat relevan dibaca untuk mengetahui bagaimana dinamika dakwah ormasormas dan gerakan keagamaan di Indonesia berlangsung di tengah menguatnya pengaruh radikalisme yang mengancam kerukunan intern ataupun ekstern umat beragama. Beragam ormas dan gerakan keagamaan dari berbagai spektrum disorot, dibandingkan dan ditelaah menyangkut bagaimana cara mereka menghadirkan dakwah dan pengaruhnya terhadap kerukunan umat beragama. Ormas dan gerakan keagamaan yang tersebar di berbagai kota provinsi di Indonesia itu meliputi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Mathla’ul Anwar, Persatuan Umat Islam (PUI), Front Anti Pemurtadan, Nahdlatul Wathan, Gerakan Salafi, Majelis Tafsir Al Qur’an, Al-Khairaat, dan Dar ud Da’wah Wal Irsyad. Mereka menghadirkan corak dakwah yang beraneka melalui ibadah, pengajian, zikir bersama, pendidikan, sosial, karitas, dan aktivitas kemanusiaan lainnya. Mereka juga mengembangkan aktivitas filantropik melalui zakat, sadaqah dan amal jariyah. Dakwah ormas dan gerakan-gerakan keagamaan ini
xv
Prolog
ternyata di satu sisi berpotensi meningkatkan kerukunan, tetapi juga di sisi lain menimbulkan konflik di masyarakat. Dinamisasi dakwah dan pemaknaannya yang dibingkai dalam kerangka multikulturalisme rupanya dapat berfungsi sebagai faktor integrasi di dalam masyarakat yang pluralistik. Multikulturalisme pada hakikatnya merupakan mekanisme kerjasama dan reciprocity (timbal-balik) dengan mana setiap individu dan komponen masyarakat sanggup memberikan tempat, menenggang perbedaan dan bahkan membantu individu dan komponen lainnya yang ada di dalam masyarakat tersebut. Nilai-nilai toleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama dan perhormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan prinsip dasar multikulturalisme. Terkait dengan kerangka kewarganegaraan (framework of citizenship), multikulturalisme muncul sebagain mekanisme yang terpenting bagi pendidikan demokrasi dan perlindungan hak-hak minoritas. Ia mencegah adanya individu atau kelompok masyarakat yang merasa diri paling benar, dan dengan mengatasnamakan kebenaran, mengembangkan prilaku eksklusif yang mengabaikan hak-hak orang lain.11 Sebaliknya, dakwah yang dikembangkan dalam bingkai eksklusivitas akan cenderung berperan menyemai bibit permusuhan dan keretakan antar umat beragama. Eksklusivitas berkembang di dalam mekanisme ingroup love-outgroup hate dan jalin menjalin dengan persepsi dan pemahaman pengikutpengikut ormas atau gerakan keagamaan tertentu yang eksklusif dengan lingkungan sosial yang kompleks dan berada di luar diri mereka. Melalui kategorisasi sosial (social categorization) individuindividu dan kelompok (yang tergabung di dalam gerakan eksklusif) membagi dunia sosial ke dalam 2 kategori yang kontras. Kemudian, mereka membangun apa yang disebut ingroup-
xvi
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
positivity, dengan mengidealkan diri dan kelompok mereka. Pada tahap selanjutnya, mereka membangun intergroup comparison dengan membandingkan betapa beruntungnya diri mereka dengan orang-orang yang bukan bagian dari kelompok mereka. Dengan cara itu kemudian mereka membangun outgroup hostility, kebencian terhadap orang-orang yang hidup di luar batas-batas kelompok mereka.12 Dengan lingkup bahasan maupun jangkauan obyek yang sangat beragam, kehadiran buku ini menjadi penting untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang perkembangan dakwah ormas dan gerakan-gerakan keagamaan masa kini di Indonesia. Buku ini juga sangat berguna sebagai referensi awal menelusuri trend-trend baru dakwah ormas-ormas dan gerakan keagamaan di Indonesia dan jaringan maknanya yang terus berubah berhadapan dengan globalisasi.
Catatan 1
Greg Fealy “Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia,” dalam Greg Fealy and Sally White, eds., Expressing Islam, Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008), hlm. 15-39. 2 Minako Sakai, “Community Development through Islamic Microfinance: Serving the Financial Needs of the Poor in a Viable Way,” dalam Greg Fealy dan Sally White, eds., Expressing Islam, Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008), hlm. 267285. 3
Noorhaidi Hasan, ‘The Making of Public Islam: Piety, Agency and Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere.’ Contemporary Islam 3, 3 (2009): 229-250. 4 Armando Salvatore dan Dale Eickelman, “Public Islam and the Common Good,” dalam Armando Salvatore and Dale F. Eickleman (eds.), Public Islam and the Common Good (Leiden, Boston: Brill, 2004), hlm. xi-xxv. 5 Jose Casanova, Public Religions in the Modern World (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hlm. 23-27.
xvii
Catatan Editor
6
Ibid., hlm. 228-229.
7
Armando Salvatore, “The Genesis and Evolution of ‘Islamic Publicness’ under Global Constraints,” Journal of Arabic, Islamic and Middle Eastern Studies 3, 1(1996): 51-70 dan Dale Eickelman, “Islam and the Language of Modernity,” Daedalus 129 (2000): 119-135. 8
Jenny B. White, (2005). “The End of Islamism? Turkey’s Muslimhood Model,” dalam Robert W. Hefner (ed.). Remaking Muslim Politics. Princeton: Princeton University Press, pp. 87-111; Nilufer Gole, “Islamic Visibilities and Public Sphere,” dalam Nilufer Göle dan Ludwig Ammann (Eds.), Islam in Public Turkey, Iran, and Europe (Istanbul: Istanbul Bilgi University Press, 2006), hlm. 3-43; lihat juga Asef Bayat, Making Islam Democratic, Social Movements and the Post-Islamist Turn (Stanford, CA: Stanford University Press, 2007). 9 Talal Asad, ‘The idea of an Anthropology of Islam.’ Occasional paper Center for Contemporary Arab Studies (Washington DC: Georgetown University, 1986). 10 Patrick D Gaffney. The Prophet’s Pulpit: Islamic Preaching in Contemporary Egypt. Berkeley: University of California Press, 1994), hlm. 8-11 dan Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2002), hlm. 23-28. 11
Lebih jauh tentang multikulturalisme dan kewarganegaraan, periksa Will Kymlicka, Multicultural Citizenship. A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995). 12 Lihat Richard D. Ashmore, Lee Jussim, David Wilder, dan Jessica Heppen, “Toward a Social Identity Framework for Intergroup Conflict,” dalam Richard D. Ashmore, Lee Jussim, David Wilder, dan Jessica Heppen (eds.), Social Identity, Intergroup Conflict dan Conflict Reduction, vol 3 (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 189-225.
xviii
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
CATATAN EDITOR
Buku Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama di Indonesia ini diterbitkan untuk memperkaya wawasan mengenai persoalan-persoalan dakwah dalam konteks kerukunan umat beragama pada berbagai daerah di Indonesia. Sebagai sebuah hasil penelitian, isi buku ini mengungkapkan realitas pelaksanaan dakwah di masyarakat yang berbeda daerah dengan instrumen yang sama. Pelaku dakwah di sini ialah organisasi kemasyarakatan Islam dan kelompok gerakan (harakah) dakwah Islam. Isi buku memuat tulisan dari para peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan: Pertama, Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandegelang, Provinsi Banten oleh Mursyid Ali dan Syuhada Abduh. Kedua, Dakwah Persatuan Islam dan Persatuan Umat Islam di Kota Bandung oleh M. Yusuf Asry, serta Kelompok Front Anti Pemurtadan di Bekasi Provinsi Jawa Barat oleh Ibnu Hasan Muchtar.
xix
Catatan Editor
Ketiga, Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat oleh Bashori A, Hakim dan Muh. Khafidz. Keempat, Dakwah Kelompok Majelis Tafsir Al Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah di Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah oleh Muh. Shulton dan Titik Suwaryati. Kelima, Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persatuan Islam di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Keenam, Dakwah Al Khairat, Darud Dakwah wal Irsyad dan Muhammadiyah di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah oleh Akmal Salim Ruhama. Melalui penelitian ini berupaya menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu: (1) Bagaimana karakter dakwah ormas dan kelompok gerakan dakwah Islam pada masyarakat yang pluralis? (2) Apa saja potensi konflik dan faktor integrasi yang dominan dalam kegiatan dakwah? (3) Bagaimana relasi pelaku dakwah ormas dan kelompok gerakan dakwah Islam dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama? Secara umum misi dakwah adalah “membumikan” Islam rahmatan lil’alamin, dan membela agama serta mewujudkan kerukunan, baik intern maupun antarumat beragama. Namun di sana-sini masih nampak potensi konflik antarormas dan kelompok gerakan dakwah atau harakah Islam, maka sekalipun diakui secara umum masalah “khilafiyah” yang pada masa lalu merupakan “ikon” konflik internal umat Islam pada dekade terakhir ini sudah kurang pupuler untuk dipermasalahkan. Saat ini dan kedepan dalam berdakwah dituntut mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi dakwah, untuk dapat mengemas pesan-pesan keagamaan yang makin
xx
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
efektif dengan jaungkauan yang luas. Jika menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, maka aktivitas dakwah akan dapat ditingkatkan dan makin dirasakan makna bagi peningkatan kualitas kehidupan keagamaan keagamaan dan kerukunan umat beragama. Suatu harapan dengan kahadiran buku ini akan memperkaya khazanah referensi mengenai wajah dakwah Islam di lapangan. Referensi yang berkenaan dengan karakter, potensi konflik dan faktor integrasi, relasi pemeliharaan dalam kegiatan dakwah. Apa yang ditampilkan dalam buku ini belumlah sempurna, tetapi bermanfaat untuk merencanakan dakwah yang lebih intensif dan efektif ke depan.
Jakarta,
November 2012
Editor
H. M. Yusuf Asry
xxi
Catatan Editor
xxii
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan .. Sambutan Kepala Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI................................................................................................... Prolog ........................................................................................................ Catatan Editor ......................................................................................... Daftar Isi .................................................................................................... I. DAKWAH MATHLA’UL ANWAR DAN NAHDLATUL ULAMA DI KABUPATEN PANDEGELANG, PROVINSI BANTEN Oleh Mursyid Ali dan Syuhada Abduh ................................. A. Profil Ormas Mathla’ul Anwar............................................ B. Profil Nahdlatul Ulama ....................................................... C. Aktivitas Dakwah.................................................................... II.
iii vii xi xix xxiii
1 9 11 14
DAKWAH PERSATUAN ISLAM (PERSIS), PERSATUAN UMAT ISLAM (PUI) DI KOTA BANDUNG DAN KELOMPOK FRONT ANTI PEMURTADAN DI KOTA BEKASI JAWA BARAT Oleh M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani.................................................................................. 23
xxiii
Kata Pengantar
III.
A. Dakwah Persatuan Islam ...................................................
39
B. Dakwah Persatuan Umat Islam ........................................
49
C. Dakwah Front Gerakan Anti Pemurtadan ...................
53
DAKWAH NAHDLATUL WATHAN, MUHAMMADIYAH DAN GERAKAN SALAFI DI KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Oleh Bashori A, Hakim dan Muh. Khafidz ..........................
67
A. Nahdlatul Wathan (NW) .....................................................
89
B. Muhammadiyah ...................................................................
98
C. Kelompok Salafi ....................................................................
103
IV. DAKWAH KELOMPOK MAJELIS TAFSIR AL QUR’AN, JAMURA DAN MUHAMMADIYAH DI KOTA SURAKARTA, PROVINSI JAWA TENGAH
V.
Oleh Muh. Shulton dan Titik Suwaryati ...............................
131
A. Jamaah Muji Rasul (Jamura) ...............................................
161
B. Majelis Tafsir Al Qur’an .......................................................
165
DAKWAH NAHDLATUL ULAMA, MUHAMMADIAYAH DAN PERSATUAN ISLAM DI KOTA SURABAYA, PROVINSI JAWA TIMUR Oleh Haidlor Ali Ahmad, Sahri dan R. Adang Novandi ...
203
A. Profil Nahdlatul Ulama .......................................................
231
B. Profil Muhammadiayah .....................................................
245
C. Profil Persatuan Islam (Persis) Bangil .............................
256
xxiv
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
VI. DAKWAH AL KHAIRAT, DARUD DAKWAH WAL IRSYAD DAN MUHAMMADIYAH DI KOTA PALU, PROVINSI SULAWESI TENGAH Oleh Akmal salim Ruhama ...................................................... A. Al Khairat ................................................................................. B. Nahdlatul Ulama .................................................................... C. Darud Dakwah Wal Irsyad ................................................. D. Muhammadiyah ...................................................................
297 317 324 326 328
xxv
Kata Pengantar
xxvi
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
I DAKWAH MATHLA’UL ANWAR DAN NAHDLATUL ULAMA DI KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
1
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
2
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Latar Belakang Masalah Kajian tentang dakwah dan keterkaitannya dengan ihwal kerukunan internal Muslim, dipandang penting dilakukan dengan pertimbangan antara lain: dakwah mengajak umat hidup ke jalan yang benar, ber-Islam secara benar, memahami dan mengaktualisasikan ajaran Islam secara benar dan utuh merupakan kewajiban tiap muslim; dakwah merupakan salah satu kegiatan penting dan sentral bagi komunitas dan ormas Islam dalam memelihara dan mengembangkan eksistensinya dalam masyarakat. Aktifitas dakwah dapat berkontribusi positif dalam menggalang kerukunan, tetapi dapat juga berkontribusi negatif mengundang konflik yang merugikan kerukunan. Mengetahui perkembangan aktifitas dakwah, khususnya yang dilakukan oleh ormas Mathlaul Anwar (MA) dan Nahdlatul Ulama (NU) di Kabupaten Pandeglang.
3
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
Tujuan Berbagai informasi yang dihimpun melalui kajian ini, yaitu; (1) profil dan aktifitas dakwah yang dilakukan ormas Mathlaul Anwar (MA) dan Nahdhatul Ulama (NU) (2) Potensi konflik dan integrasi dalam kegiatan dakwah (3) Upaya Ormas MA dan NU dalam mewujudkan kerukunan.
Sasaran dan lokasi. Sasaran Kajian ini adalah dua ormas Islam, masing-masing Mathlaul Anwar (MA) dan Nahdhatul Ulama (NU) di wilayah Kabupaten Pandeglang. Ormas tersebut dipilih sebagai sasaran atas pertimbangan, di lingkungan masyarakat Kabupaten Pandeglang, ormas MA dan NU relatif besar massa pendukungnya, pengaruh dan aktifitas dakwahnya lebih besar dibandingkan ormas Islam setempat lainnya.
Metode Untuk mendapatkan informasi ditempuh langkah-langkah: (1) penelusuran dan telaah kepustakaan serta dokumentasi terkait (2) wawancara dengan para nara sumber (3) pengamatan lapangan terbatas, (4) Informasi yang berhasil dikumpulkan, dianalisis secara kualitatif, diseleksi, dikoreksi, diklasifikasi, dikomparasi, dan diinterpretasi, kemudian ditarik kesimpulan pokok.
4
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Administrasi Pemerintahan Kabupaten Pandeglang salah satu dari delapan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten. Secara administratif terdiri dari 35 kecamatan, 335 desa/kelurahan, dengan luasan wilayah 3.747 km2 atau sekitar 29,98% dari luas Propinsi Banten. Pada tahun 2010, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang sebanyak 1.154.994 jiwa. Sebaran penduduk per kecamatan relatif tidak merata. Kecamatan yang penduduk terjarang ialah kecamatan Sumur, rata-rata hanya 87,98 jiwa per km. Sementara wilayah terpadat adalah kecamatan Labuan dengan rata-rata penduduk sebanyak 3.482,38 jiwa/km2. Sedangkan rata-rata penduduk Kabupaten Pandeglang 418.31 jiwa per km2. 1 Secara sosial budaya di lingkungan masyarakat Pandeglang dan Banten pada umumnya terdapat tiga kelompok yang pengaruhnya relatif besar yakni: ulama, jawara/pendekar, dan kelompok pejabat. Ulama berkiprah di bidang keagamaan melalui 1
Pandeglang dalam Angka, 2010.
5
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
pesantren, majelis taklim, masjid dan pranata agama lainnya. Sementara kelompok jawara /pendekar (unsur adat) terkenal dengan sikap mental keberanianya serta keterampilan/kemahiran ilmu beladiri. Sedangkan kelompok pejabat dengan segenap jajarannya berperan di bidang pemerintahan. Kerjasama dan sinergisitas antar ketiga kelompok di atas, merupakan salah satu kata kunci bagi keberhasilan atau tidaknya pembangunan setempat.2 Untuk menopang hidup kesehariannya sebagian besar masyarakat setempat yakni sekitar 52,84 persen berkiprah dibidang pertanian. Selebihnya bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 25,16 jasa 9,57 persen industri pengolahan 7, 03 persen dan lainnya sekitar 5,40 persen.
Keagamaan Selanjutnya mengenai masalah kependudukan menurut agama, masyarakat Pandeglang dapat dikatakan homogen. Dari penduduk setempat secara keseluruhan sebanyak 1.514.994 jiwa, tercatat di Kemenag kabupaten Pandeglang sejumlah 1.154.375 penduduk (99,95% beragama Islam). Sisanya penganut Katolik hanya 258 orang, Kristen 136 orang, Hindu 134 orang, dan Buddha 91 orang. Sementara Konghucu tidak ada catatan. Mengenai sarana ibadat tercatat sebanyak 1.462 mesjid dan 277 musholla. Sarana ibadat agama lain (non Islam) sampai saat ini belum ada, karena penganutnya memang sangat sedikit dan terpencar diberbagai wilayah.3
2 3
6
Ahmad Abrori, Prilaku Politik Jawara, FISIP-UI, 2003 Laporan Kemenag Kabupaten Pandeglang, 2010
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Masyarakat Pandeglang dan Banten pada umumnya memiliki semangat keagamaan Islam yang tinggi. Dua Ormas dipandang besar dan berpengaruh dilingkungan masyarakat setempat masing-masing Mathlaul Anwar (MA) dan Nahdhatul Ulama yang keduanya banyak berkiprah di bidang pendidikan, dakwah keagamaaan dan sosial kemasyarakatan.
7
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
8
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
A. Profil Ormas Mathlaul Anwar Latar Belakang Berdirinya Mathlaul Anwar adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang independen, bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Didirikan pada tanggal 10 syawal 1334 H bertepatan tanggal 4 Agustus 1916 di Menes-Pandeglang, atas prakarsa sejumlah kiyai dan tokoh masyarakat antara lain : Kiyai TB Moh Soleh – Kiyai EH. Moh.Yasin- Kiyai Mas Abdurrahman (Syekh Muhammad Nawawi Al Bantany) KH. Abdul Mu’ti – KH Salman Cibinglu- KH.Daud – KH.Rusydi – E.Danawi- KH.Mustaghfiri.4 Adapun tujuan awal didirikannya Ormas ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, pondok pesantren dan menyelenggarakan tabligh ke berbagai penjuru tanah air, yang pada saat itu masih
4
KH. Syibli Syairjaya, Sejarah dan Khithah Mathlaul Anwar, UNMA Banten, 2009.
9
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
dikuasai pemerintah Belanda. Pemerintah kolonial membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.5 Setelah mengalami berbagai perkembangan, sekarang ormas ini mempunyai tujuan sesuai dengan AD/ART (pasal 3); 1) Terwujudnya masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, berilmu pengetehuan, cakap dan terampil, serta berakhlaqul karimah. 2) Terwujudnya nilai-nilai Islam pada pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.
lembaga-lembaga
3) Terwujudnya keluarga dan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur diridhai Allah SWT.
bahagia,
Karakteristik Organisasi Mathlaul Anwar sebagai organisasi memiliki karakteristik sebagai berikut: a) Dalam bidang aqidah/ushuluddin, mengikuti Ulama salaf seperti aqidah para imam empat (Malik-Hanafi-Syafi’i-dan Hambali), juga Imam Abu Hasan Asy’ari dan Maturidi. b) Dalam bidang siyasah (pemerintahan) Ahlusunnah waljamaah yang harus taat kepada Allah, rasul, dan Ulil Amri. c) Ulil amri (Pemerintahan) yang harus ditaati itu bila keputusankeputusannya tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits. d) Pengikut Ahlu sunnah waljama’ah tidak boleh memberontak kepada pemerintah yang sah yang selalu menjaga kemaslahan ummat dan menghindari kemudharatan/kerusakan. 5
10
Mathlaul Anwar, Program Umum, 2010.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
e) Dalam masalah fiqih, berpedoman pada imam mazhab yang empat sebagimana tersebut di atas, serta sikap yang perlu dijaga jangan terlalu fanatik terhadap suatu mazhab, tapi jangan menyia-nyiakan/ melecehkan mazhab. f)
Tidak berkiprah dibidang politik praktis.
g) Isi dan pesan dakwah fokus pada tema amar ma’ruf nahi munkar.6 h) Keuangan dan kekayaan diperoleh dari anggota zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, usaha yang sah, halal yang tidak mengikat.
Aktivitas Da’wah: Mathlaul Anwar merupakan ormas agama Islam yang independen (non politik), berkiprah di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Di bidang pendidian, melalui madrasah dan sekolah umum yang tersebar disetiap kecamatan (mulai dari tingkat TKSD-SLP-SLA), serta perguruan tinggi (UNMA) yang ada di Menes, Mathlaul Anwar berupaya: 1) memantapkan Akidah Islamiyah- 2) mengamalkan ibadah-ibadah yang disyari’atkan -3) membekali pengetahuan keislaman, berbagai disiplin ilmu dan skill sesuai tuntunan zaman-4) budaya hidup mandiri dan terbebas dari pengaruh negatif luar. Dibidang Dakwah, berupaya melaksanakan “amar ma’ruf nahi munkar” melalui pengajian, ceramah, diskusi, seminar, perayaan hari besar agama, yang dilaksanakan secara rutin hingga ke desadesa dengan memperhatikan kondisi dan sasaran sesuai dengan tujuan dakwah. 6
Khithah Mathlaul Anwar
11
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
Sementara aktivitas da’wah di bidang sosial, Mathlaul Anwar berusaha memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan melalui pengajian, koperasi, menyantuni kaum dhu’afa dan program sosial kemanusiaan lainnya, seperti mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah. Berbagai kegiatan seperti di atas, merupakan kegiatan formal organisasi, di bawah koordinasi dan keputusan organisasi melalui mekanisme kepengurusan sesuai dengan tingkat dan wewenangnya masing-masing.
B. Profil Nahdhatul Ulama Latar belakang berdirinya : Nahdhatul Ulama didirikan pada tahun 1926 oleh para kiyai pesantren yang dipimpin oleh Hasyim Asy’ari. Menurut Endang Turmudi7, NU merupakan organisasi sosial keagamaan Islam. Pada mula didirikan bertujuan untuk mengembangkan dan memelihara ortodoksi Islam yang dipegang oleh kebanyakan ulama Indonesia yaitu ortodoksi Ahlusunnah Waljama’ah. Selain itu pembentukan NU juga sebagai respon terhadap upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah. Ketika Muhammadiyah mendorong penalaran independen (ijtihad) sebagai salah satu langkah dalam mengembangkan pemikiran islam, maka kiyai NU tetap mempertahankan perujukan pada empat mazhab yang otoritas keislamannya telah diakui. Hal ini menyebabkan konflik antara umat Islam yang tergabung dalam NU dengan mereka yang tergabung dalam Muhamadiyah khususnya di Jawa sekitar tahun 1950 s/d 1960-an.
7
12
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS, 2004
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Beberapa Karakteristik Organisasi Dalam paham keagamaan NU merujuk pada kelompok Ahlusunnah waljama’ah yakni mereka yang mengamalkan apa yang diamalkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kelompok sunni ini dalam pengamalan agama kesehariannya merujuk pada empat mazhab yaitu : Imam Malik, Hanafi, Syafi’I, dan Hambali. Namun demikian amalan keagamaan lebih sering merujuk pada imam Syafi’i dari pada imam-imam lain. Sementara dalam wilayah Akidah, NU merujuk pada Imam Hasan Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Selain itu NU juga merujuk pada dasar atau petunjuk Abul Qasim Al-Junaidi dalam amalan sufismenya. Dalam struktur organisasi, NU mempunyai dua lembaga yakni syuriah (lembaga legislative) dan tanfidziyah (lembaga eksekutif). Kendali organisasi dipegang oleh para ulama yang menjadi anggota syuriah. Sementara tanfidziyah bertugas menyebarkan apa yang disusun atau diputuskan ulama syuriah. Meskipun tokoh non ulama diberi kesempatan menjadi anggota tanfidziyah. Namun dalam kebanyakan kasus, ketua tanfidziyah selalu seorang Ulama. Dominannya peran pondok pesantren di lingkungan warga NU setempat, menyebabkan kedekatan hubungan warga dengan pesantren lebih kuat dibanding kedekatan mereka dengan organisasi NU. Kekuatan kepemimpinan NU dibangun dan terfokus pada kepemimpinan kiyai di pondok pesantren. Ikatan emosional masyarakat dengan NU, menurut Endang Turmudi terbangun melalui pesantren. Kedekatan kiyai pesantren dengan masyarakat lokal, membangun komitmen idiologis di kalangan warga NU dan menghubungkannya dengan NU sebagai organisasi. Dengan kata lain Kiyai yang memimpin pesantren
13
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
sesungguhnya mempunyai pengikut massa yang diidentifikasi sebagai warga NU. NU adalah organisasi sosial keagamaan Islam dimana para tokoh ulama memegang peranan penting. walaupun secara formal NU bukan organisasi politik, Tetapi keterlibatan NU dalam politik melalui para tokohnya tampaknya sulit dihindari. Posisi ulama selaku pemimpin informal umat islam sekaligus juga bisa berperan selaku pemimpin politik karena di Indonesia hubungan antara politik dan islam sangat kuat. Dalam kenyataannya tidak sedikit tokoh NU yang berkiprah dibidang politik. Isi dan pesan dakwah difokuskan pada pembinaan keimanan, ibadah dan akhlaqul karimah
C. Aktifitas Dakwah Organisasi NU merupakan Ormas Islam terbesar di kabupaten Pandeglang. Ormas ini berkiprah di bidang pendidkan, melalui ratusan pondok pesantren yang dipimpin para tokoh NU dan tersebar dikecamatan dan desa-desa. Selain itu NU setempat aktif melakukan kegiatan dakwah dalam rangka pembinaan akidah, ibadah akhlak melalui majlis taklim, pengajian, perayaan hari besar keagamaan, kelompok yasinan, upacara lingkaran hidup dan kegiatan sosial keagamaan lain.
Potensi kerukunan Beberapa aktivitas keagamaan dan dakwah yang dipandang menguntungkan bagi upaya kerukunan diantaranya masyarakat Pandeglang yang relatif homogen dari sisi keyakinan agama (Islam), memudahkan dalam rangka mencapai
14
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
kesepakatan, pembinanaan ukhuwah Islamiyah, kebersamaan dan ikatan kebangsaan. Dalam kegiatan dakwah ormas Islam, khususnya yang dilakukan NU dan MA setempat, tidak lagi mengusung masalah khilafiah, tidak saling menyalahkan paham kelompok keagamaan lain, dan mengakomodasi budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Sebagian besar masjid dipedesaan setempat didirikan dan dan melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih luas ketimbang oleh kelompok-kelompok islam tertentu, sehingga masjid merupakan salah satu pemersatu umat Islam setempat. Kehadiran dan munculnya para tokoh agama setempat, baik dari kelompok MA maupun NU, serta pejabat, menjadi panutan yang sangat dihormati serta kebanggaan dan merupakan simbol pemersatu yang dapat mencairkan suasana bila sewaktuwaktu terjadi konflik.
Potensi konflik Penyebarluasan faham dan pengamalan agama tertentu dilingkungan suatu kelompok agama secara kontinyu, dapat menimbulkan fanastisme faham dan kelompok keagamaan yang sempit serta dapat mengundang konflik internal muslim. Demikian juga penyalahgunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik praktis seperti dalam pemilu atau pemilukada, berpeluang memicu konflik dan merugikan upaya kerukunan. Tingkat kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan yang relatif rendah merupakan salah satu faktor yang dapat mengundang kerawanan sosial dikalangan umat Islam setempat. Berkembangnya budaya global yang tidak sesuai dengan ajaran
15
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
agama dan kearifan lokal, dapat menimbulkan keresahan sosial. Potensi konflik lain seperti terbatasnya forum-forum dialog lintas kelompok agama, etnis budaya dan profesi dapat merugikan dan menghambat terjalinnya komunikasi kerukunan.
Hubungan Antar Ormas Islam Terbatasnya jumlah ormas Islam menguntungkan dan memudahkan upaya menjalin komunikasi antar kelompok muslim setempat dan mengurangi ketatnya persaingan. Hubungan antar tokoh ormas Islam dan antar warga pada umumnya terjalin melalui pergaulan hidup keseharian bertetangga, ikatan kekeluargaan, aktivitas ditempat kerja, upacara lingkaran hidup, peringatan hari besar agama dan nasional serta media komunikasi yang lainnya seperti MUI, FKUB dan sebagainya. Homogenitas muslim di kalangan masyarakat Pandeglang memudahkan untuk mencapai kesepakatan dan menjalin kebersamaan termasuk antar ormas Islam.
16
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Kesimpulan Di lingkungan masyarakat Pandeglang terdapat dua ormas Islam yang relatif besar dan berpengaruh, di bidang pendidikan, dakwah dan sosial yakni Mathlaul Anwar dan Nahdhatul Ulama dengan karakternya masing-masing. Dari sisi faham keagamaan kedua ormas ini sama-sama merujuk paham ahlus sunnah wal jamah dengan empat mahdzabnya. Dalam pengamalan agama keseharian dibidang Fikih, NU lebih sering merujuk pada mahdzab Syafi’i, sementara kelompok MA cenderung membebaskan anggotanya untuk mengamalkan agama sesuai dengan ajaran mahdzab yang di yakini. Di bidang pendidikan, MA lebih fokus pada sekolahsekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi yang diselenggarakan secara teratur, sesuai dengan tataran organisasi yang berlaku, sedangkan NU fokus pada pondok pesantren dengan kyai selaku tokoh sentralnya. Sedangkan aktivitas dakwah, MA mengusung tema pokok Amar Ma’ruf Nahi Munkar, sedangkan NU mengarah pada pembinaan keimanan, ibadah, dan akhlakul karimah. Adapun bentuk-bentuk dakwah
17
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
yang dilakukan kedua ormas relatif sama yakni melalui lembaga pendidikan, majelis taklim, ceramah, aktifitas sosial keagamaan lainnya. Secara formal kedua ormas ini sama-sama organisasi nonpolitik. Namun kenyataannya tokoh-tokoh NU lebih banyak berkiprah di bidang politik dibandingkan dengan para tokoh MA. Potensi konflik dalam kegiatan dakwah dapat bersumber dari berbagai hal: 1) wawasan keagamaan yang sempit dari para pelaku dakwah; 2) penyalahgunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik praktis kelompok / individual; 3) merebaknya budaya global yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan kearifan lokal; 4) Tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang relatif rendah. Sementara potensi Integratif: 1) peran dari para tokoh agama, masyarakat dan pemerintah selaku lambang pemersatu; 2) menghindari masalah khilafiyah dan mengakomodasi kearifan lokal dalam berdakwah; 3) homogenitas pemeluk agama dalam hal ini Islam. Hubungan baik antar ormas setempat didukung oleh faktor-faktor diantaranya homogenitas muslim warga setempat, tingkat persaingan yang telatif rendah karena jumlah ormas yang sedikit, dan tersedianya media komunikasi melalui berbagai aktifitas sosial dalam pergaulan hidup keseharian antar warga dan kelompok agama.
Rekomendasi: Untuk memelihara dan meningkatkan kondisi masyarakat sekarang yang relatif rukun, dipandang perlu dilakukan berbagai upaya antara lain: menggalakkan dialog multikultural lintas ormas (khusunya ormas Islam), lintas etnis, budaya dan profesi;
18
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Meningkatkan wawasan keagamaan masyarakat; meningkatkan kebersamaan dan kerjasama sosial kemanusiaan antar kelompok dan warga masyarakat; Sosialisasi nilai dan pesan kerukunan umat beragama melalui lembaga pendidikan secara kurikuler; Peningkatan pembangunan ekonomi secara merata sampai ke pedesaan.
19
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
20
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Abrori, Ahmad, Prilaku Politik Jawara, FISIP-UI, 2003 BPS, Pandeglang Dalam Angka, 2010 DITPENAIS, Direktori Nama dan Alamat Ormas Islam, 2010 Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, Gramedia, Jakarta, 1992 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1993 Kustini, Syuhada Abduh, Perkembangan dan Aktivitas Mathlaul Anwar, Balitbang Agama, 1995 Laporan Tahunan, Kemenag Kabupaten Pandeglang, 2010 Mathlaul Anwar, Program umum, 2010 Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, Khalista, Surabaya, 2006 Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya, Balitbang dan Diklat, Depag, 2008 Syarjaya, Syibi, Sejarah dan Khithah Mathlaul Anwar, UNMA, Banten, 2009
21
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS, Yogyakarta, 2004 Yakan, Fathi, Memotret Wajah Dakwah, Era Adicitra Intermedia, Solo 2010.
-
22
II -
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
II DAKWAH PERSATUAN ISLAM (PERSIS), PERSATUAN UMAT ISLAM (PUI) DI KOTA BANDUNG DAN KELOMPOK FRONT ANTI PEMURTADAN DI KOTA BEKASI JAWA BARAT Oleh: M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
23
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
24
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Latar Belakang Penduduk Indonesia menganut Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa8, dan hampir seluruhnya mencatatkan diri sebagai pemeluk agama dalam kartu penduduknya (KTP). Beragam agama (multireligious) yang dipeluknya. Karena itu disebut sebagai bangsa relijius atau masyarakat agamis. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam dari 236,7 juta jiwa9 sehingga kerukunan internal umat Islam sangat berpengaruh terhadap kerukunan umat beragama, dan sekaligus berdampak pada kerukunan nasional. Dalam konteks inilah dari segi kebijakan dan program pemerintah adalah sangat relevan, bahwa kerukunan umat beragama bagian penting dari pembangunan nasional, dan merupakan salah satu pilar dari kerukunan nasional (RPJMN 20042009 dan 2010-2014). 8 Ketuhanan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia adalah salah satu dari lima sila Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara Republik Indonesia, pada urutan pertama, dan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar RI 1945 pasal 29 Bab Agama secara eksplesit disebutkan: ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Tiap penduduk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. 9 Hasil Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010.
25
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Secara antropologis dan sosiologis, penduduk Indonesia adalah pluralis. Demikian pula di Provinsi Jawa Barat, termasuk di kalangan umat Islam. Keberadaan umat Islam di Jawa Barat beragam dalam etnis, adat-istiadat, budaya, organisasi, dan paham keagamaan. Meskipun di wilayah ini dinyatakan dominan ialah etnis, bahasa dan budaya Sunda. Sebagian umat Islam dalam paham keagamaan cenderung adaptif terhadap budaya lokal, dan ada pula yang lebih berorientasi pada pemurnian ajaran agama dengan kembali kepada sumber utamanya al Quran dan al Hadits, serta tradisi terdahulu (salafi). Relasi internal umat Islam dinilai cukup “kondusif rukun”, yang selama ini tidak pernah terjadi konflik terbuka antar kelompok, antar aliran, dan antar organisasi Islam yang berskala besar dan berakibat fatal. Namun bukan berarti relasi intern umat Islam dan antarumat Islam dengan umat beragama lain bebas dari benturan dan konflik. Konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan (Jacobus Ranjabar, 2007:195), sekaligus menjadi bagian dari dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam sejarah umat Islam umumnya potensi konflik internal umat Islam berkisar seputar masalah perbedaan pendapat atau ikhtilaf, baik perbedaan dalam fikih (ikhtilaf furu’iyah) dan perbedaan dalam teologi/kalam (ikhtilaf ushuliyah) maupun perbedaan dalam politik (ikhtilaf siyasah). Di samping itu dapat terjadi pergesekan karena ikhtilaf organisasi dan etika dakwah. Perbedaan atau ikhtilaf laksana “pisau bermata dua”. Di satu sisi dapat membuat hidup dinamis dan maju jika dikembangkan kejasama yang toleran, dan di sisi lain dapat menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik. Apalagi dalam perbedaan tersebut saling menganggap diri dan pahamnya saja yang paling benar, sekaligus yang lain keliru atau salah akan berpotensi potensi “rentan” dan bahkan “laten” konflik berpeluang pada konflik terbuka yang
26
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
dapat mengganggu kerukunan, dan mengancam integrasi sosial dan nasional. Sehubungan dengan hal-hal tersebut merupakan latar belakang menarik dan perlu diungkap dakwah organisasi kemasyarakatan Islam ditengah masyarakat pluralistik. Dengan mengungkap potensi potensi konflik dan integrasi dalam dakwah, serta relasi pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Permasalahan Permasalahan pokok penelitian ini ialah bagaimana dakwah ormas Islam dalam masyarakat pluralistik? Secara khusus dikembangkan menjadi tiga pertanyaan, yaitu: 1) Bagaimana karakter dakwah ormas Islam dalam masyarakat pluralistik? 2) Apa saja potensi konflik dan integrasi yang dominan dalam dakwah pada masyarakat pluralistik? 3) Bagaimana relasi pelaku dakwah ormas Islam dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama? Ruang lingkup studi dakwah ormas Islam dalam masyarakat pluralistik ini meliputi: profil organisasi dakwah, kepemimpinan dan keanggotaan, aktivitas dakwah, potensi konflik dan integrasi dalam dakwah, dan relsasi dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Tujuan Tujuan penelitian ini ialah untuk mengungkap: 1) karakter dakwah ormas Islam dalam masyarakat pluralistik. 2) Potensi konflik dan integrasi dominan dalam dakwah pada masyarakat pluralistik? 3) Relasi pelaku dakwah dalam pemeliharaan
27
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
kerukunan umat beragama. Hasil penelitian ini berguna sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan pimpinan Kementerian Agama dan jajarannya di daerah, serta pemerintah daerah untuk pengembangan dakwah yang kondusif bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama. Selain itu juga dapat bermanfaat sebagai referensi materi dakwah bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi kemasyarakatan serta kelompok Islam dalam pengembangan wawasan keagamaan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional Dengan mengacu pada judul dan pokok pembahasan dalam tulisan ini, maka sejumlah kata kunci perlu diberikan definisi operasionalnya. Dakwah ialah aktivitas mengajak orang agar hidup sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang Islami. Sebagai suatu sistem, dakwah terdiri dari komponen atau bagian-bagian yang saling berhubungan satu dengan yang lain sebagai suatu kesatuan. Komponen dakwah di sini mencakup pelaku dakwah (da’i), penerima dakwah (mad’u), materi dakwah (maddah), sarana dan media dakwah (washilah), metode dakwah (thariqah), dan dampak dakwah (atsar). Organisasi kemasyarakatan Islam ialah organisasi nonpemerintah dan nonpolitik dengan visi agama Islam dan berorientasi dakwah, baik yang terdaftar maupun tidak pada kantor pemerintahan. Kerukunan umat beragama adalah hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi dalam kehidupan asosiasi dan/atau keseharian. Toleransi (tasamuh) ialah membiarkan seseorang melaksanakan keyakinannya tanpa mengganggu ketertiban umum.
28
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Konflik ialah perlawanan satu pihak dengan pihak lain yang disertai ancaman dan atau kekerasan. Konflik laten ialah potensi rawan terjadi konflik terbuka. Integrasi ialah kerjasama dalam suasana kesatuan dan kebersamaan.
Kerangka Pemikiran Penelitian ini berangkat dari kerangka pemikiran, bahwa suatu agama tidak tersebar kecuali dengan dakwah. Karenanya agenda kegiatan keagamaan yang paling dominan adalah dakwah. Semua aspek kehidupan dapat menjadi garapan dakwah, seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Pelaku dakwah menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat dengan berbagai metode, sarana dan media. Sekalipun diakui pesan dakwah yang disampaikan banyak mendapat tantangan. Ada yang memandang dakwah itu mengusik kebiasaan hidup sesuai budaya setempat, dan ada pula sebaliknya, terutama yang tidak sepaham dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Suasana tarik-menarik-pun terjadi antara yang mendukung tradisi lokal dengan yang menentang pendekatan dakwah yang berorientasi pada pemurnian (purifikasi) ajaran Islam. Gesekan dalam dakwah berfluktuasi, adakalanya merendah atau meninggi. Namun dibalik itu semua terdapat penyampaian dakwah yang damai, ada yang dinamis dan tegas, dan adapula yang kontra produktif atau radikal. Perbedaan paham keagamaan “khilafiyah” seakan tidak dipandang sebagai hal yang memperkaya khasanah pemikiran keagamaan, tetapi dicap sebagai lawan. Dalam membela kelompok tidak segan-segan menggunakan ideologi yang berbasis agama. Dalam kehidupan keagamaan harus dicari titik temu guna menggalang kerjasama yang positif dan konstruktif, tetapi yang
29
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
sering dilihat pada perbedaan bukan kesamaan. Perbedaan paham keagamaan kemudian mengedepan dalam bingkai organisasi kemasyarakatan Islam, sehingga organisasi yang hakikatnya alat menuju terciptanya nilai-nilai Islami dalam masyarakat justeru dapat menjadi sekat pemisah yang menghalangi kerjasama (ta’awwun) dan berlomba-lomba berbuat kebajikan (fastabiqulkhairat). Berbagai potensi konflik terdapat dalam masyarakat pluralistik, dan di antaranya menjadi konflik terbuka. Begitu pula terdapat potensi integrasi, dan di antarannya menjadi faktor integrasi nyata. Konflik muncul dalam masyarakat sebagai akibat penafsiran terhadap ajaran agama, dan faktor politik serta dampak dari globalisasi yang ditandai kemajuan informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ajaran Islam yang dipahami dengan cara pandang berbeda melahirkan polarisasi jamaah. Oleh karena itu, sikap yang sehat dalam menghadapi perbedaan paham keagamaan dan polarisasi jamaah ialah dengan mengkaji kembali kepada sumber agama, dan metode memahaminya. Dalam kehidupan msyarakat pluralistik, dakwah berlangsung umumnya secara damai, dan hanya bagian kecil yang melaksanakannya dengan keras atau radikal. Namun kelompokkelompok kecil yang keras itulah biasanya menarik bagi media massa mengeksposnya secara berlebihaan, sehingga seolah-olah Islam itu keras, dan umat Islam dicitrakan sebagai pelaku kekerasan. Dakwah dilakukan oleh ormas Islam lebih terprogram dan luas jangkauannya daripada yang dilakukan oleh perorangan tokoh agama. Kehandalan dakwah individual selalu pasang-surut, yang pada akhirnya tenggelam dalam waktu yang tidak begitu lama. Sedangkan dakwah lewat ormas Islam relatif lebih permanen.
30
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan alur pikir dalam tulisan ini, sebagai berikut:
Kajian Terdahulu Di antara hasil penelitian yang diterbitkan ada yang memuat karakter ormas kemasyarakatan Islam. Jamhari dan Jajang Jahroni dalam buku Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (terbitan Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004) memasukkan kelompok Islam pada kategori salafi radikal yaitu; Front Pembala Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
31
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Abdurrahman Wahid pada tulisannya sebagai editor buku Ilusi Negara Islam (terbitan The Wahid Institute dan Ma’arif Intitute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, tahun 2009) juga menyatakan bahwa gerakan keagamaan memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari negara-negara Timur Tengah, yaitu: gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Hal ini berbeda dengan organisasi keagamaan yang sejak awal tumbuh dan berkembang di Indonesia yang umumnya sejuk sekalipun ada yang mengarah kepada sikap dinaminis hingga radikal. Badri Khaeruman dalam bukunya yang berasal dari tesis berjudul Persatuan Islam: Sejarah Pembaharuan Pemikiran “Kembali kepada Al Qur’an dan Al Sunnah” diterbitkan pada tahun 2010. Penulis mengungkapkan pergumulan pemikiran keagamaan Persis penuh dengan nilai-nilai jihad Islam memiliki pola pemikiran yang khas dan berbeda dari ormas islam lainnya. Memperjuangakan ajaran Islam yang dipandang telah terkontaminasi oleh ajaran lain. Melakukan pembaharuan dengan mengedepankan rasionalitas dalam memahami ajaran Islam, dan menentang sikap taklid pada ulama sebagaimana umumnya kaum tradisional. Titik beratnya pada pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui pendidikan dan dakwah, sehingga prinsip perjuangannya kembali kepada al Qur’an dan al Sunnah menjadi identitas Persis (2010: v dan 244). Namun sejauh bacaan penulis, belum ditemukan penelitian secara khusus diterbitkan berkenaan dengan gerakan dakwah di kalangan umat Islam yang mengungkap potensi konflik dan potensi integrasi secara khusus. Begitu pula belum ada kajian yang komprehensif tentang peran dakwah dan relasi antar ormas Islam dalam memelihara kerukunan umat beragama, baik intern maupun antar umat beragama. Oleh karena itu, penelitian ini melengkapi penelitian sebelumnya yang menekankan pada
32
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
dakwah ormas Islam dalam memelihara kerukunan, sebagaimana terlihat pada konflik dan integrasi.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan diskriptif, yaitu menggambarkan situasi dan sasaran kajian secara cermat untuk memecahkan permasalahan Asep Saiful Muhtadi, 2003: 126 dan 128). Lokasi penelitian di Provinsi Jawa Barat. Keriteria pemilihan lokasi yaitu: banyak organisasi Islam yang bergerak di bidang dakwah, heterogen dalam budaya dan agama, serta umat Islam heterogen dalam paham dan organisasi keagamaan. Sesuai keriteria tersebut lokasi penelitian lebih khusus dipilih Kota Bandung, serta Kota dan Kabupaten Bekasi. Sedangkan keriteria pemilihan ormas Islam terdiri dari: kecenderungan karakteristik dakwah (tegas, keras, dan moderat/toleran) dan legalisasinya (terdaftar atau tidak pada administrasi pemerintahan), dan bentuk eksistensi (ormas Islam dan kelompok dakwah). Dengan kriteria tersebut ormas yang terpilih ialah Persatuan Islam (PERSIS), dan Persatuan Umat Islam (PUI) di Kota Bandung, dan kelompok dakwah yaitu Front Gerakan Anti Pemurtadan Bekasi (GAPB) di Kota dan Kabupaten Bekasi. Ketiga organisasi tersebut lahir di Provinsi Jawa Barat, yaitu Persis di Bandung. PUI di Majelangka, dan FAPB di Bekasi. Data dikumpulkan melalui teknik studi kepustakaan, wawancara dan observasi. Dalam studi kepustakaan dilakukan telaah dokumen pada sekretariat ormas Persis dan PUI di Kota Bandung. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap kegiatan ormas yang menajdi sasaran penelitian, antara laini menghadiri dan mengamati pengajian-pengajian. Adapun yang menjadi nara sumber ialah pengurus ormas, khususnya bidang dakwah, dan
33
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
atau yang kerhubungan, serta anggota organisasi dan simpatisan. Selain itu juga diwawancarai unsur majelis Ulama Indonesia (MUI), dan aparat pemerintah terkait, yaitu: Kanwil Kementerian Agama, Kantor Kesbangpol dan Linmas, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan warga masyarakat. Analisis data dilakukan dengan diskriftif analitik. Analisis bertahap: klasifikasi data, reduksi data dan interpretasi. Selanjutnya ditarik kesimpulan dan rekomendasi. Kegiatan lapangan dilakukan oleh penulis bersama Ibnu Muchtar selaku peneliti, dan dibantu Haris Burhani, berlangsung selama 11 hari dari tanggal 22 September hingga 2 Oktober 2011. Secara keseluruhan tulisan ini terdiri atas empat bagian, yaitu pendahuluan, gambaran wilayah, Dakwah Persis, PUI dan Front Gerakan Anti Pemurtadan. Bagian akhir berisi penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi. Sebagai kesempurnaan tulisan ini dilengkapi referensi dan daftar nara sumber utama.
34
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Geografi Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat, dengan lokus pada tiga lokasi dimana organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang diteliti berada, yaitu Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Provinsi ini memiliki luas wilayah 371.164,54 km2. Dari segi administrasi pemerintahan terdiri atas 26 kabupaten/ kota (17 Kabupaten dan 9 Kota). Penduduk pada tahun 2010 mencapai 43.021.826 jiwa, dengan laju pertumbuhan 1,89 persen dan tingkat kepadatan 1.159 orang/km. Penduduk Provinsi Jawa Barat dari segi agama mayoritas Islam. Komposisinya menururut Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat terdiri dari: pemeluk Islam 39.473.845 jiwa (93,23%), Kristen 2.062.504 jiwa (4,86%), Katolik, 522.819 jiwa (1,23%), Hindu 114.086 jiwa (o,27%, Buddha 200.824 jiwa (0,47%) dan Konghucu 161 jiwa (0,037%). Masing-masing pemeluk agama memiliki rumah ibadat yang tercatat: 44.588 masjid, 70.746 langgar, 41.218 mushalla, 2.028 gereja Kristen, 117 gereja Katolik, 29 Pura/kuil/sanggah, dan 142 vihara.
35
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Dalam hal organisasi kemasyarakatan keagamaan pada tahun 2011 terdaftar 48 ormas. Dari jumlah tersebut ormas Islam merupakan yang terbesar jumlahnya (38 buah). Selain itu pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat terdapat 1.908 lembaga dakwah. Sebagaimana telah dikemukakan Kota Bandung dan Kota serta Kabupaten Bakasi dipilih menjadi lokasi penelitian sesuai tujuan (purposive). Kota Bandung secara geografis cukup dekat dengan ibukota negara, Jakarta. Jarak Bandung–Jakarta sekitar 180 km yang dapat ditempuh dengan kenderaan umum antara dua setengah hingga tiga jam. Bandung yang dikenal sebagai “kota kembang” merupakan kota terbesar ke-3 di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Darah ini menjadi target wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara.
Demografi dan Agama Dari segi demografi, Kota Bandung dihuni beragam etnik, suku bangsa, bahasa, warna kulit, status sosial dan agama. Namun yang dominan ialah etnik, kebudayaan dan bahasanya adalah Sunda (Setda Kota Bandung, 2009:6). Dari segi agama mayoritas penduduknya Islam. Komposisinya pemeluk Islam 1.880.2204 jiwa (81,56), Kristen 107.414 jiwa (10%), Katolik 70.756 jiwa (6,55%), Hindu 7.316 jiwa (0,67%), Buddha 11.662 jiwa (1,07%), dan Khongucu 1.517 jiwa (0,14%). Masing-masing pemeluk agama memiliki rumah ibadat 1.517 masjid/mushalla/langgar. Lembaga dakwah berjumlah 1.124 buah. Selain itu juga terdapat penyuluh PNS 84 orang dan penyuluh nonPNS 495 orang. Da’i/mubaligh
36
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
terdaftar 4.111 orang. Dalam kondisi seperti itulah Kota Bandung dinobatkan sebagai Kota Agamis10. Kota dan Kabupaten Bekasi merupakan daerah penyangga ibukota negara RI, Jakarta. Dari segi administratif terdiri atas 12 kecamatan, 56 kelurahan, 945 RW dan 6.643 RT. Secara demografi pada bulan Juli 2009 jumlah penduduk mencapai 2.457.585 jiwa. Mayoritas penduduk Kota Bekasi memeluk agama Islam sebanyak 2.145.447 jiwa (87.30%), selebihnya Kristen 156.800 (8,05%), Katolik 73.223 jiwa (2,98%), Hindu 27.482 jiwa (1,12%), Buddha 5.615 (0,23%), dan Konghucu 201 jiwa (0,008%) dan lainnya 8.861 jiwa (0,35%) (FKUB Kota Bekasi, 2009). Masing-masing pemeluk agama memiliki rumah ibadat: 881 masjid, 81 gereja, ruko yang difungsikan sebagai kegiatan ibadat 69 tempat, rumah untuk kegiatan ibadat 49 tempat, 8 gereja Katolik, 11 vihara, serta pura dan kelenteng masing-masing sebuah (FKUB Kota Bekasi, 2009) Sebagai daerah penyangga, banyak penduduk pendatang terutama dari Jakarta yang menempati berbagai lingkungan perumahan. Terjadi keragaman agama dan budaya sehingga berpotensi konflik. Misalnya para pendatang memerlukan tempat ibadat, sementara warga masyarakat setempat menolaknya, seperti penolakan pendirian sejumlah gereja dan santernya isu Kristenisasi. Kabupaten Bekasi berbatasan langsung dengan DKI Jakarta. Secara geografis luasnya 127.388 Ha. Dari segi administrasi pemerintahan terdiri atas 23 kecamatan dan 187 desa. Penduduk daerah ini pada tahun 2010 tercatat 2.321.478 jiwa. Mayoritas beragama Islam. Komposisnya: Islam 1.926.635 jiwa 10 Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Bandung telah mencanangkan tujuh program prioritas, yang mencakup bidang: pendidikan, kesehatan, kemakmuran, lingkungan hidup, seni budaya, olahraga, dan agama. Lihat Buku Bandung Agamis, diterbitkan oleh Setda Kota Bandung tahun 2009, halaman 18.
37
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
(97,48%), Kristen 27.653 jiwa (1,39%), Katolik 14.844 jiwa (0,75%), Hindu 5.659 jiwa (0,28%), Buddha 1.031 jiwa (0,05%) dan konghucu 556 jiwa (0,02%). Masing-masing pemeluk agama memiliki rumah ibadat terdiri dari 2.634 masjid, 2.028 mushalla, 2.001 langgar, 27 gereja Kristen, sejumlah gereja Katolik, 3 pura, 6 vihara (Kantor Kemenag Kab. Bekasi: 2001). Organisasi kemasyarakatan keagamaan tumbuh dan berkembang di kabupaten Bekasi. Di antarnya ialah NU, Fatayat, IPNU, Lakpesdam, Muhammadiyah, Aisyiyah, Persis, Tarbiyah Islamiyah dan Mathlaul Anwar. Selain itu juga terdapat Dewan Masjid Indonesia (DMI), BKMT, Majelis Dakwah Islam (MDI), Ikatan Cendiawan Islam Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Muslim Indonesia (BKPRMI) dan MUI, DDII, Front Hisbullah, FPI, KISDI dan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUKHIS) (Kantor Kemenag Kab. Bekasi: 2011). Organisasi tersebut mengembangkan dakwah “amar ma’ruf nahi munkar” dengan caranya sendiri.
38
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
A. Dakwah Persatuan Islam Profil Persatuan Islam Persatuan Islam, selanjutnya disingkat Persis, didirikan oleh H. Zamzam dan Muhammad Yunus di Bandung Jawa Barat pada tanggal 12 September 1923 bertepatan tanggal 1 Shofar 1342 H. Saat penelitian ini alamat sekertariat Pimpinan Pusat Persis menempati sebuah Gedung Baru di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 2 Bandung (Viaduct) Telepon 022-4220704 fax. 022-4220702 Website: http://www.persis.or.id Email:
[email protected]). Persatuan Islam berawal dari sebuah kelompok pengajian dan pengkajian agama Islam, sebagai kelompok tadarusan yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammmad Yunus. Dari kelompok tadarusan inilah kemudian ditingkatkan menjadi sebuah organisasi yang diberi nama Persatuan Islam. Persis mengandung maksud dan harapan (tafa’ulan), yaitu untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad; mencapai harapan cita-cita organisasi yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam dan persatuan usaha Islam (PP Persis, 2011:2)
39
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Persis ini dikembangkan oleh ustadz Ahmad Hasan bersama salah seorang muridnya Muhammad Natsir (Qonun Asasi, 2010:5). Eksitensinya sebagai sebuah organisasi mendapat pengesahan dari Direkteur Van Justice (Badan Kehakiman) No. A.43/30/20/24 Agustus 1939. Selanjutnya mendapat legalisasi yuridis sebagai “perkumpulan” dengan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. C-07.HT.01.06 TH.2007 tanggal 25 Januari 2007. Persis lahir dilatar belakangi oleh kondisi umat Islam sedang mengalami krisis yang memperihatinkan. Pertama, tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir). Kedua, terperosok dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan. Ketiga, tumbuh subur khurafat, bid’ah, takhayul, syirik dan musyrik. Keempat, terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. (PP Persis, 2011:1). Kondisi itulah dinyatakan sebagai faktor utama yang mengilhami lahirnya gerakan reformisme Islam, termasuk mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Dan itu pulalah yang melatar-belakangi didirikannya Persis. Esensi rumusan tujuan Persis sejak awal tetap konsisten. Tujuannya ialah “terlaksananya syariat Islam berlandaskan al Qur’an dan al Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan” (Qanun Asasi, 2010: 6). Secara organisasi Persis termasuk barisan organisasi “modern”, karena dikelola dengan prinsip-prinsip organisasi modern. Roda organisasi terus berputar sejak masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang di Indonesia. Saat penelitian ini dilakukan telah memilik sebuah Pimpinan Pusat, 13 Pimpinan Wilayah, 55 Pimpinan daerah, dan 329 Pimpinan Cabang yang tersebar di seluruh persada kepulauan Nusantara ini. Belum termasuk organisasi otonom (ortom), yaitu: Persatuan Islam Isteri
40
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
(Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, Himpunan Mahasiswi (HIMI) Persis, dan Himpunan Pelajar (HIJAR) Persis. Kepemimpinan Persis saat ini periode 2010 – 2015 diketuai oleh Prof. Dr. K.H. M. Abdurrahman, dan sekretaris Dr.H. Irfan Syafrudin, M.Ag. dalam rangka penelitian ini adalah juga mengkaji Persis Wilayah Jawa Barat, dan Cabang Kota Bandung, sehingga dapat terungkap pada tataran kebijakan, koordinasi dan pelaksanaan di lapangan. Dari segi keanggotan, sistem yang berlaku di Persis sebagai organisasi “kader” tergolong ketat dengan persyaratan antara lain di samping loyalitas juga kemampuan simpatisan menjadi imam shalat dan khatib Jum’at (wawancana Irfan Syafrudin 24-09-2011). Hal inilah antara lain yang membuat pada periode awal Persis “jalan di tempat” untuk jumlah anggotanya. Di samping itu karena oleh sebagian “rival”nya dicitrakan sebagai “aliran keras”. Memang dakwahnya menolak takhayul, bid’ah dan churafat, yang disingkat TBC. Namun pada dekade terakhir ini anggota Persis mengalami kenaikan yang signifikan. Sebagai contoh, jika pada tahun 1995 anggota Persis tercatat 10.604 orang (Dadan Wildan, 1999:11). Sedangkan pada tahun 2010 menjadi 34.300 orang (Asep Ihsan, 25 September 2011), yang berarti dalam kurun waktu 15 tahun mengalami kenaikan 69%. Persis memiliki jenis keaggotaan, yaitu anggota biasa dan anggota tersiar yang diberikan nomor induk anggota (NIAT oleh Pimpinan Pusat). Sedangkan anggota kehormatan dengan surat keputusan pimpinan pusat (Pasal 21). Keanggotaan yang tercatat pada sekretariat Jam’iyah tercatat anggota biasa sebanyak 34.300 orang dan anggota tersiar 141 orang. Sedangkan anggota kehormatan belum ada (Asep Ihsan, 25 September 2011).
41
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Aktitas Dakwah Dakwah Persis sebagaimana ormas Islam lainnya menggunakan pendekatan dakwah bi al lisan (dengan ucapan), dakwah bi al qalam (dengan pena) dan dakwah bi al hal (aksi nyata). Dakwah bi al lisan melalui pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarusan; menyelenggarakan khutbah dan tabligh di berbagai daerah, baik diselenggarakan sendiri maupun atas undangan ormas Islam dan masyarakat. Kagiatan ini berlangsung terjadwal rapi dengan waktu ada yang bersamaan di beberapa tempat, dan umumnya berbeda, yang meliputi mingguan, dua mingguan dan bulanan. Dakwah bi al hal ialah mendirikan sekolah-sekolah/ pesantren, Pesantren Persis pertama berdiri pada tanggal 4 Maret 1946, dan dari pesantren ini berkembang lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Atfal (TK) hingga perguruan tinggi. Dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat, Persis membentuk Lembaga Pendidikan Islam yang disponsori oleh M. Natsir, yaitu: Taman Kanak-Kanak dan HIS (1930), sekolah Mulo (1931) dan sekolah guru (1932). Semuanya berada di kota Bandung. Mulai tahun 1938 Persatuan Islam sudah memillki sekolah HIS di lima tempat lain. Persis juga mendirikan pesantren yang diberi nama “Pesantren Persis” di Bandung pada tahun 1935 di bawah asuhan Hasan Hamid dan E. Abdurrahman. Pesantren ini disebut Pesantren Kecil untuk pendidikan anak-anak. Pada tahun 1936, A.Hassan juga mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren Besar. Pesantren ini membentuk kader-kader mubaligh yang siap mengajar, menyiarkan dan membela Islam. Menurut MD Idad Soemarta, Ketua Persis Wilayah Jawa Barat, bahwa misi itulah yang hakikatnya berlangsung hingga sekarang (27 Setember 2011).
42
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Untuk jenjang pendidikan tinggi semula disebut Pesantren Tinggi kemudian dirubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STAIPI). Suryanegara memberikan penilaian bahwa Persis sebagai organisasi dakwah (Dadan Wildan 1999, 197) dalam rangka mendukung kegiatan dakwah tersebut didirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STIAPI) dengan membuka jurusan Dakwah dan Tafsir Hadits. Menurut A. Latief Muchtar yang pernah menduduki Ketua Umum Persis, bahwa pendirian STIAPI tersebut didasarkan pada kebutuhan tenaga da’i yang menguasai bidang dakwah, baik secara teoritis maupun praktis, dan yang mampu mengaktualisasikannya kepada masyarakat, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan (Dadan Wildan 1999:149). STAIPI yang didirikan pada tahun 1998, dengan fakultas-fakultas yang ada saat ini makin berkembang, dan berfungsi sebagai laboratorium penyiapan kader intelektual yang mendukung kiprah dakwah Persis dan umat Islam (Yusuf Badri 25 September 2011). Dakwah bi al qalam tampak Persis sejak periode awal dan dekade terakhir ini para pengurus dan anggota Pesis mulai menggalakkan menulis tentang ke-Persis-an dalam bentuk buku dan skripsi atau tesis. Pengalaman Persis dapat dianggap kuat dalam mengelola bulletin dan majalah sebagai media dakwah. Persis menerbitkan majalah-majalah dan buku. Pada saat penelitian ini dilakukan, penulis sempat mendapat banyak buku yang deprjual-belikan justeru bukan oleh Persis tetapi oleh masyarakat yang dijual dengan cara menggelarnya pada saat pengajian Mingguan. Majalah yang pernah diterbitkan oleh Persis, dan sebagian masih eksis hingga saat ini. Di antanya ialah majalah Pembela Islam (1929), Majalah Al-Fatwa (1931), Majalan Al-Lisan (1935), Majalah At-Taqwa (1937), Majalah Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), Majalah Risalah (1962) dan Majalah berhasa
43
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Sunda, Iber (1967). Belum termasuk majalah yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis. Paradigma dakwah Persis selama ini dapat dibedakan kepada dua metode pendekatan. Pada awal berdirinya hingga tahun 1970-an bersifat gebrakan “shock teraphy” Kemudian menjadi bersifat pendidikan “low profil”. Dalam istilah yang digunakan Dadan Wildan bersifat persuasif educative (1999: 12-15). Dari segi materi dakwah menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat, tidak terbatas pada persoalan ibadah, tetapi pada hal-hal strategis yang diperlukan oleh umat Islam (Dadan Wildan 1999: 10-12). Di antaranya bidang garapan pendidikan, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, pembangunan masjid-masjid, menyelenggarakan seminar-seminar, pelatihan dan diskusi (halaqah) pengkajian Islam. Di bidang agama, Persis memiliki Dewan Hisbah, Dewan Hisab, dan Dewan Tafkir yang melaksanakan tugas sesuai kewenangan masing-masing. Sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan dan dakwah, materi dakwah Persis konsisten pada prinsip khittah perjuangannya memberantas takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) dan bentuk-bentuk kemusyrikan lainnya (Penjelasan QA, 2010: 62). Sebagai jam’iyyah, Persis bersifat harakah tajdid dalam pemikiran Islam dan penerapannya, dan sebagai gerakan, berkiprah dalam bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan dan dakwah. Sasaran atau penerima dakwah Persis sebagaimana pada ormas Islam lainnya dapat dibedakan kepada dua yaitu: dakwah internal dan eksternal. Ada suatu landasan yang menarik dan selalu menjadi acuan Persis dalam berdakwah yaitu sebagaimana dikemukakan Isa Anshary (Mantan Ketua Umum Persis 1953 –
44
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
1960) yang dikenal dengan “singa mimbar” dan penulis yang tajam. Pada rapat akbar Persis di lapangan Tegalega Bandung tanggal 20 September 1953, beliau menyatakan sebagai berkut: Apa bagiannya Persis dalam perjuangannya? Dalam perjuangannya adalah 2 rupa, 2 muka, 2 frontstrijd. 2 muka dalam menghadapi perjuangan, yang pertama perjuangan kedalam dan perjuangan kedua yaitu perjuangan keluar. Apa itu perjuangan kedalam? Perjuangan kedalam adalah mengembalikan umat Islam, membersihkan tauhidnya umat Islam. Jangan sampai bercampur musyrik. Tauhid ulah bobogohan jeung kafir. Ini kedalam. Selama umat Islam belum membersihkan tauhidnya, syiriknya, selama masih ada sifat munafik, selama itu pula menurut keyakinan dan pegangan Persis, umat Islam tidak akan dapat bantuan daripada Allah SWT. Perjuangan kedua, ialah perjuangan keluar. Apa itu? Pertama, mempertahankan kesucian Islam dari serangan-serangan, pukulan-pukulan, daripada orang-orang yang tidak doyan kepada Islam. Saudara-saudara, sejarah Indonesia telah mencatat, kalau ada satu organisasi yang paling rajin tampil kemuka, kedepan orang yang menghina Islam, ialah Persis. Saudara-saudara. Paling tidak segan-segan dan malu-malu seperti tadi dikatakan, tidak segan-segan, tidak ajrihing untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar (Isa Anshary, 1995)).
Esensi pidato Isa Anshary tersebut mewarnai spirit dakwah Persis hingga dewasa ini. Pertama dakwah iternal kepada pengikut Persis dan umat Islam yaitu membersihkan tauhid dari kemusyrikan. Kedua, dakwah eksternal kapada non muslim yaitu membela Islam dari serangan dan penghinaan. Persis sangat kental dengan Al-Qur’an dan Hadits, dengan motto “kembali kepada al Qur’an dan al Sunnah” (Badri Khairuman, 2010:iii). Persis dikenal antinya kepada bid’ah, kepada khurafat, kepada takhayul.
45
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Akan tetapi Persis cukup dewasa. Kalau kami hendak membantah bid’ah, khurafat dan takhayul kami cukup dewasa, jangan sampai pekerjaan ini tidak dilakukan dan sebagainya. Ruhamaa’bainakum (kasih sayang di antara kamu, penulis) tercermin pada segala usaha, pekerjaan, dan perjuangan antar umat Islam itu harus diupayakan dengan ukhuwah yang merupakan watak dan karakter perjuangan Persis menghadapi lawan anti Islam (Badri Yusuf, 24 September 2011). Persatuan Islam lebih mementingkan kualitas daripada menambah jumlah anggotanya. Karena itu, pada tahun-tahun pertama kemunculan organisasi ini anggotanya kurang dari 20 orang dan kegiatannya terpusat pada shalat berjama’ah pada hari Jum’at. Para anggota hadir bersama untuk mendengar ceramah agama. Persis dalam penyebaran anggota agak lambat, sebab sejak berdirinya lebih mementingkan kualitas dari pada kuantitas. Deliar Noer memberikan kometarnya, “Persis tidak berminat membentuk banyak cabang atau menambang sebanyak mungkin anggota”.
Potensi Konflik dan Integrasi Sebagai organisasi, Persatuan Islam memiliki ciri khas dalam gerak dan langkah dakwahnya, yaitu menitikberatkan pada pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui berbagai bidang seperti bidang pendidikan. Dalam dakwah misalnya berbeda dengan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Kecenderungan Persatuan Islam untuk menempatkan dirinya sebagai pembentuk paham keagamaan Islam di Indonesia. Setiap aktivis dakwah yang diusung oleh misi Persatuan Islam terkandung prinsip-prinsip perjuangan
46
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al Sunnah, sekaligus sebagai identitas yang mewarnai seluruh gerak langkah organisasi dan anggota-anggotanya. Pernyataan ini tertulis dalam Qanun Asasi (Anggaran Dasar) dan Qanun Dakhili (Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam. Persatuan Islam mengamalkan segala ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, dan menempatkan kaum muslimin pada ajaran akidah dan syari’ah berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunah. Untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi dijalankan dalam bentuk berjamaah, berimamah, berimarah seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Agar organisasi tetap terarah dalam mengemban misi perjuangannya, Persis menentukan sifatnya sebagai organisasi pendidikan, tabligh dan kemasyarakatan yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunah. Sehubungan dengan tantangan dakwah yang kian hari kian berat dan semakin kompleks, maka pada Muktamar XIV tahun 2010 terdapat pengembangan dalam hal organisasi berkenaan dengan dakwah (Irfan Syafruddin, 24-09-2011). Perubahan tersebut ialah pada jajaran tingkat Pimpinan Pusat terdapat struktur penyempurnaan, yaitu bidang dakwah dengan tujuan untuk mempercepat, memperluas, dan meningkatkan syi’ar dakwah secara luas dan pengembangan jam’iyyah Persis (Penjelasan QA, 20190:63). Dalam pelaksanaan jihad jam’iyyah Persis dikelompokkan kedalam bidang dan bidang garapan yang terdiri dari 4 (empat) bidang yaitu: bidang jam’iyyah, bidang tarbiyah, bidak dakwah, bidang maaliyah, bidang kesekretariatan dan bidang keuangan. (Pasal 4). Untuk bidang dakwah terdiri atas 4 (empat) bidang garapan yaitu: 1) pengembangan dakwah dan kajian pemikiran Islam 2) sumber daya dakwah 3) komunikasi dakwah dan kemasjidan, dan 4) bimbingan haji dan umroh.
47
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Adapun struktur organisasi dan kempemimpinan di bidang dakwah sebagai berikut: Pimpinan Pusat Persis Masa Jihad 2010-2015 yang berkenaan dengan dakwah sebagai berikut: Ketua Bidang Dakwah
: H. Wawan Sofwan, SH
Sekretaris Bidang Dakwah : Drs.H.Komaruddin Saleh, M.Pd.I Ketua Bidang Garapan Pengembangan Dakwah dan Kajian Pemikiran Islam
: Drs. H. Jeje Zaenudin, M.Ag
Ketua Bidang Garapan Sumber Daya Dakwah
: Nurmawan, S.Ag
Ketua Bidang Garapan Kemunikasi Dakwah dan Kemasjidan
: Drs. H. Yusuf Badri, M.Ag
Ketuan Bidang Garapan Bimbingan Haji dan Umrah : H. Thoha Kahfi.
Relasi Pelaku Dakwah dalam memelihara Kerukunan Sejauh ini relasi antar ormas Islam, sebagai pelaku dakwah dalam upaya memelihara kerukunan belum diformalkan. Namun jika terdapat kasus yang melibatkan antar anggota ormas Islam segera diselesaikan, baik secara pribadi, dan jika perlu antarorganisasi. Namun kasusnya hampir tidak pernah terjadi (MD
48
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Idad Soemarta 27 September 2011 dan M Iding Baharuddin, 28 Sepetember 2011). Dalam relasi antarormas, Persis menggariskan melalui ukhuwah. Istilah yang digunakan ialah “ruhamaa-u bainakum” (kasih sayang di antara kamu”.
B. Dakwah Persatuan Umat Islam Profil Persatuan Umat Islam Persatuan Umat Islam, selanjutnya disingkat dengan PUI adalah organisasi kemasyarakatan Islam yang didirikan oleh K.H. Abdul Halim dan Ahmad Sanusi di Bogor, Jawa Barat pada tangga 5 April 1952/bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1373 H. PUI merupakan hasil fusi dari Perikatan Ummat Islam (PUI) yang berkedudukan di Majelangka didirikan oleh K.H. Abdul Halim dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) didirikan oleh Ahmad Sanusi di Sukabumi. Fusi PUI dan PUII selain karena gerak dan perjuangannya sama juga kedua pimpinan organisasi tersebut “satu guru dan satu ilmu”. Keduanya berguru kepada Syekh Ahmad Syurkati dan Syekh Khayat di Mekkah. Sasaran penelitian ini ialah PUI Jawa Barat yang berdiri pada tahun 1975 dengan ketua yang pertamanya K.H.E.Z. Abidin. Setelah terjadi beberapa kali pergantian kepengurusan, maka pada saat penelitian ini dilakukan diketuai oleh Drs. M. E. Iding Bahruddin,. M.M. Pd. Sekretariat PUI wilayah Jawa Barat terletak di Jalan Sandang No. 1 Cirengot, Ujungberung Bandung 406014. PUI sebagai ormas Islam bersifat independen berpedoman kepada al Qur’an dan al-Hadits menurut pemahaman ahlul sunnah waljama’ah dengan tujuan “terwujudnya pribadi, keluarga,
49
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
masyarakat, negara, dan peradaban dunia yang diridhoi oleh Allah swt (AD PUI Bab II Pasal 4). Organisasi PUI terdiri dari Dewan Pembina, Dewan Pakar, dan Pimpinan Harian yang dilengkapi sejumlah Biro. Salah satu dari Biro tersebut ialah Biro Dakwah dan Tarbiyah. Sedangkan pada struktur Pengurus Wilayah Wanita PUI juga terdapat salah satu Bidang yaitu Bidang Dakwah dan Publikasi. Organisasi pendukungnya terdiri dari Himpunan Pejalar (HIJAR), Himpunan Mahasiswa (HIMA) Pemuda PUI dan Wanita PUI. Organisasi dibawah PW Jawa Barat terdiri dari 26 Pengurus Daerah, 118 Pengurus Cabang, 225 Majelis Taklim, 130 RA/TK/TPA, 33 Koperasi dan 44 PAUD. Kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh pengurus daerah wanita PUI (Eri Jauhariah, 29 September 2011). Materi dakwah selain al-Qur’an dan Sunnah juga ke-PUI-an, intisabi, ishlahus samaniyah dan ahlul sunnah waljama’ah. Anggota PUI sejauh ini belum terdata secara kongkrit.
Aktivitas Dakwah Dakwah PUI menggunakan metode pendekatan terdiri dari dakwah bi al-lisan, bi al-qalam dan bi al-hal. Dakwah Bi al lisan dalam bentuk ceramah dan tabligh akbar yang dilakukan oleh para mubaligh/da’i PUI melalui majelis-majelis taklim/pengajian intisabi. Dakwah juga dilakukan melalui siaran Radio Antasalam, TV internet go to School, TVRI, PJTV, dan TV Bandung yang umumnya diisi oleh Djadja Djahari dan Iding Bahruddin. Dakwah bi al qalam PUI menerbitkan secara berkala bulletin dan majalah di antaranya Risalah Penunjuk Bagi Sekalian Manusia (bahasa Sunda), bulletin dan majalah Intisabi. Di samping itu juga menerbitkan buku, seperti seri dalam Mawa’idh, ke-PUI-an, dan Ishlahul akidah.
50
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Dakwah bi al hal, PUI mendirikan sekolah dan madrasah tersebar di 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sejak berdiri tanggal 5 April 1952 hingga penelitian ini dilakukan. PW PUI Jawa Barat telah memiliki 1.474 lembaga pendidikan yang terdiri dari 1.832 Madrasah Ibtiddaiyah (MI) dan Madrasah Diniah (MA), 70 SMP/MTs, 20 SMA/MA/SMK/ dan 3 Perguruan Tinggi. Perguruan Tingggi PUI ialah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syamsul Ulum Sukabumi, STIA PUI Majalangka dan STIA Putra Galuh Ciamis (Profile PUI Jabar, 2007:18). Dakwah PUI Provinsi Jawa Barat oleh pimpinannya diarahkan pada prinsip “Kahartos” (yang dapat dipahami dan dilaksanakan) dan “Karaos” (dakwah bil hal). (Djadja Djahari dalam Laporan Muswil VII 2011:8).
Potensi Konflik dan Integrasi PUI memegang teguh paham ahlul sunnah wal jama’ah. Mazhab merupakan kunci untuk mengajak kembali kepada alQur’an dan Sunnah (Nur Hasan Zaidi, 2009:23). Sikap PUI dalam paham keagamaan terbuka bagi anggotanya sehingga dalam peribadatan dapat saja berbeda satu dengan yang lain, dan tanpa dipermasalahkan dengan prinsip Ishlahul samaniah dengan bermazhab aswajah (Maman Abdul Rahman dalam Nur Hasan Zaidi, 2009:82). Paham keagamaan yang dianut secara tegas tercermin dari ungkapan seorang ulama PUI Maman Abdurrahman, “…umat Islam pada masa sekarang ini dalam memegang ajaran Rasul dan sahabatnya sangat sulit sekali kalau tidak bermazhab. Siapapun yang menghendaki dan dapat mendapatkan dalil al-Qur’an dan Sunnah tapi karena kemampuan beristimbath tidak ada, maka dia itu wajib bermahzab”. Tidak boleh taklid dalam satu pekerjaan
51
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
antara ke 4 mahzab tersebut (Maman Abdul Rahman dalam Nur Hasan Zaidi, 2009:96). Potensi konflik yang dominan hanya dalam hal politisasi. Adanya tokoh ormas Islam yang memasuki politik praktis dengan memanfaatkan ormas Islam untuk kepentingan politiknya. Hal inilah yang menyebabkan ormas Islam stagnan dalam kinerjanya, bahkan dapat mengalami kemunduran karena energi tersedot pada persoalan politik. Ini berpotensi konflik ditubuh ormas akibat benturan kepentingan politik para anggota atau pengurusnya (ASM. Ramli dalam Intisabi Nomor 3 Tahun 2009:16-17). Sedangkan potensi konflik antar umat Islam tidak ada yang dominan dalam kaitannya dengan PUI karena penerapan strategi dakwah yang toleran dan moderat. Potensi integrasi yang dikembangkan dalam PUI ialah kebebasan dalam bermahzab. PUI memberikan kebebasan mahzab yang dipilih oleh anggotanya, tetapi dalam bingkai Aswaja. Internal PUI nampak tidak muncul persoalan paham keagamaan. Sikap ini juga berarti pengembangan ukhuwah dalam perbedaan paham keagamaan dengan ormas Islam lain yang memiliki kekhasannya (Iding Bahruddin, 29 September 2011). Paham aswaja wajib berpedoman tegas-tegas tentang akidah dan ibadah berdasarkan dalil mutawatir dan qath’i. tetapi harus mengembangkan sikap tasamuh (toleransi) dalam masalah furu’ yang mengandung hilafiyah (Abu Muslih dalam Nur Hasan Zaidi:102).
Relasi antar Ormas Islam dalam Memelihara Kerukunan Relasi PUI selaku dakwah dengan ormas lainnya pada dasarnya baru sebatas kerjasama dalam forum lintas ormas.
52
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Wadah yang telah terbentuk ialah Forum Silaturahmi Ormas Islam Kota Bandung, Badan Kerjasama Umat Islam (BKUI) Jawa Barat yang berdiri sejak tahun 1998 yang diketuai oleh aktivis PUI. Di samping juga terdapat kerja sama dalam usaha ekonomi 5 ormas Islam dan IAIN Sunan Gunung Jati melalui program air minum mineral “Aquazam”. Namun dalam realita forum tersebut belum memiliki kegiatan yang monumental dan rutin. Wadah tersebut dapat dioptimalkan untuk memelihara kerukunan intern umat Islam (Iding Bahruddin, 29 Sepatember 2011).
C. Dakwah Front Gerakan Anti Pemurtadan Profil Front Anti Pemurtadan Bekasi Front Gerakan Anti Pemurtadan, selanjutnya disingkat (FAPB) didirikan pada tanggal 22 Nopember 2008 di Bekasi. Ada kesepahaman penggunaan kata “front” yaitu diharapkan organisasi ini tetap eksis sesuai harapan. Kelahiran FAPB dilatar belakangi pentingnya keistiqamahan dalam beragama. Istiqamah dalam islam dan terhindar dari pemurtadan. Pada tahun 2007 nampak upaya pemurtadan orang Islam di Pondok Mitra Lestari Bekasi. Kegiatan bakti sosial dari pemeluk agama tertentu. Kondisi demikian berlanjut, dan pada tahun 2008 melalui program Bekasi Berbagi Bahagia, selanjutnya disingkat B3 oleh Yayasan Mahanaim. B3 mengundang warga masyarakat untuk acara perlombaan, ketangkasan dan pernikahan massal. Dibalik acara formal tersebut terdapat indikasi pemurtadan, untuk pindah agama ke Kristen. Kasus tersebut bagian dari sejumlah kejadian lainnya adalah menjadi latar belakang Forum Silaturrahim Masjid dan
53
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Mushalla (FSMM) Bekasi Selatan berkonsultasi dengan Tim Pengacara Muslim (TPM) pada tanggal 17 Nopember 2008. Di antara tindak lanjut hasil pertemuan ialah mengirim surat ke Pemerintah Kota Bekasi yang menginformasikan kemungkinan adanya upaya pemurtadan, dengan tembusan surat disampaikan kepada Polres Metro Bekasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bekasi. Pertemuan berlanjut pada tanggal 22 Nopember 2008, dengan hasilnya mendirikan organisasi Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB). Organisasi ini terdiri dari Dewan Syuro, Dewan Tafidziyah yang diketuai oleh Abu Al-Iz dan sekertaris A. Syukri dan Wakil sekertaris Syaifuddin. Struktur kepungurusan dilengkapi enam bidang, yaitu: informasi dan data, advokasi dan pembelaan, humas, dakwah, dan kepedulian umat. Di samping itu dibentuk Koordinator Wilayah (Korwil) yaitu: Korwil Kota Bekasi yang diketuai Assyifa Palestina al Kahfi, dan Korwil Kabupaten Bekasi yang diketuai oleh Sawabi. Misi FGAB terdiri dari tiga: Pertama, menangani dan mencegah pemurtadan. Kedua, menangani dan mencegah pendirian rumah ibadat yang illegal. Ketiga, memberantas praktik rentenir. Di sini FAPB berperan memberi bantuan kepada mereka yang terjerat rentenir, mengawal umat dari misi pemurtadan, dan mennyadarkan mereka yang murtad kembali kepada agamanya semula, Islam. FABP sebagai organisasi terdiri dari Dewan Syuro, Dewan Tanfidz yang diketuai oleh Abu Al-Iz, dilengkapi lima bidang, yaitu: Bidang Informasi dan Data, Bidang Advokasi dan Penindakan, Bidang Humas, Bidang Dakwah, Bidang Kepedulian Umat, dan Pembinaan Muslimah. Di samping terdapat koordinator wilayah, yaitu Koordinator Wilayah Kota Bekasi diketuai oleh Assyifa
54
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Palestina Al Kahfi, dan Wilayah Kabupaten Bekasi diketuai oleh Sawabi. FAPB memiliki kepengurusan sebagimana organisasi modern lainnya. Kepengurusan sesuai struktur yang ada. Tidak memiliki sistem keanggotaan secara formal diluar kepengurusan. Ruang lingkup kawasan kegiatan meliputi kota dan kabupaten Bekasi.
Aktivitas Dakwah Dakwah FAPB sebagaimana ormas Islam umumnya menggunakan pendekatan dakwah bi al lisan (dengan ucapan), dakwah bi al qalam (dengan pena) dan dakwah bi alhal (aksi nyata). Dakwah bi al lisan melalui ceramah, dialog, diskusi dan tabligh akbar di masjid-masjid, dan di rumah-rumah. Kagiatan ini dilakukan baik di kalangan FAPB maupun bersama ormas Islam. Waktunya mingguan, dua mingguan dan bulanan. Dakwah bi al qalam bagi FAPB masih belum prioritas. Baru beberapa contoh saja, yaitu membuat penjelasan tentang peristiwa HKBP Ciketing karena informasinya merugikan umat. Berbeda dengan dakwah bi al hal cukup beragam mulai dari memberi dana beasiswa bagi siswa Sekolah Dasar yang menjadi sasaran pemurtadan karena kemiskinan, seperti di SD Jatibening Baru, bantuan sosial seperti kepada warga yang tertimpa musibah letupan Genung Merapi yang mengungsi di gereja-gereja, memindahkan para pengungsi dari gereja Paroki Kebun Arum Klaten, dan solidaritas terhadap keperihatinan umat Islam diluar negeri, seperti Solidaritas Gaza (Palestina). Tabligh akbar menggunakan tema tertentu, seperti “Solidaritas Umat Islam untuk Muslim Ambon di Masjid Muhammad Ramadhan di Taman Galaxi, Bekasi pada tanggal 2 Oktober 2011. Melakukan audiensi
55
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
dan silaturahim kepada berbagai pihak, seperti ke pimpinan DPR-D Kota Bekasi. Membentuk Tim Pembela Hukum untuk kasus Murhali Barda atas insiden tanggal 12 September 2010 yang meminta perobohan Patung Tiga Mojang di Harapan Indah, Bekasi. Sesuai nama FAPB digunakan teknik testimoni terhadap suatu kejadian. Materi dakwah yang dikembangkan secara khusus ialah seperti penegakkan syariat Islam.
Potensi Konflik dan Integrasi Dalam pelaksanaan dakwah sesuai metode, materi, sasaran dan media yang digunakan FAPB, maka terdapat potensi konflik dan integrasi. Di antaranya intern umat Islam. Pertama “siaran anti bid’ah”. Radio Dakta dan Radio Roja’ menyiarkan pesan dakwah yang nampak mengusung paham keagamaan tertentu. Anti bid’ah seperti tahlilan, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, dan upacara menyambut kelahiran bayi. Kedua, “purifikasi tata cara peribadatan (fikih)”. Di antara jamaah masjid BPN di Cikarang Pusat menjadi pengurus DKM berupaya merobah tata cara peribadatan dengan model salafi. Terjadi perselisihan dengan jamaah. Namun dapat dieselesaikan dengan memberhentikan yang bersangkutan dari pengurus masjid. FAPB dengan umat beragama lain. Secara khusus karena mengkonter penyiaran agama yang dinilai melanggar SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1969. Di samping itu berupaya mengklarifikasi keabsahan proses dan persyaratan pendirian rumah ibadat dengan tolok ukur Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. FAPB mempertanyakan jumlah warga masyarakat yang mendukung pendirian Gereja Galelea di Kompleks Galaxi.
56
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Dukungan warga sebayak 61 orang, sedangkan yang menolak 350 orang. Potensi integrasi dengan umat beragama lain. Bakti sosial bersama umat beragama lain. FAPB kerjasama dengan Gereja Saksi Yehova. Bakti sosial masyarakat Karang Kitri, kelurahan Margahayu juga dibangun kesepahaman terhadap rencana pendirian balai pertemuan/gereja Saksi Yahova. Faktor integrasi intern umat Islam yang dominan ialah peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bekasi. Dalam kepengurusan MUI terdapat unsur-unsur dari ormas-ormas Islam dan kalangan professional. Tiap ada kasus dibahas dan diselesaikan melalui peran MUI.
Relasi Antar Ormas Islam dalam Memelihara Kerukunan Relasi antar ormas Islam dalam memelihara kerukunan intern umat secara formal dan kelembagaan belum terlihat. Namun fungsi ini diperankan oleh kelompok gerakan yang biasa dinamakan dan/atau menamakan diri dengan forum. Di Bekasi telah terbentuk Forum Silaturahim Masjid dan Mushalla (FSMM). Jika ada keperluan bersama, dan/atau terjadi kesalah-pahaman di kalangan umat, maka dibahas dan segera diselesaikan memalui peran FSMM. Fungsi yang sama juga diperankan oleh MUI. Permasalahan berkaitan relasi antar umat beragama ditampung dan diselesaikan oleh Forum Kerukunan Umat beragama (FKUB). Hal ini merupakan bagian tugas pokok FKUB yang diatur dalam PBM Tahun 2006. FKPB bukan anti Kristen, tetapi anti pemurtadan.
57
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
58
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Analisis Dalam strategi dakwah, Persis berbeda dengan PUI yang mengakomodir perbedaan paham keagamaan para anggotanya. Namun sikap moderat yang penuh toleran ini nampak berdampak pada kurang kuatnya solidaritas organisasi PUI. Bagi Persis dalam masalah paham keagamaan seakan tidak mengenal istilah kompromi. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur’an dan al-Sunnah secara tegas ditolak, sedangkan apa yang dianggap benar akan disampaikan walaupun pahit. Sedangkan FAPB netral dalam paham keagamaan. Sesungguhnya cita ormas Islam dalam dakwah terdapat titik temu, yaitu semua memiliki landasan fisofi untuk terlaksananya syariat Islam, melalui perbaikan akidah, ibadah, moral dan akhlak, serta kehidupan ekonomi. Di kalangan Persis menggunakan “Islam kaffah berdasarkan al Qur’an dan al Hadits, sedangkan di kalangan PUI memperkenalkan konsep Ishlah Tsamaniyah (Delapan Jalur Pokok Perbaikan)”. Potensi konflik dalam pelaksanaan dakwah internal umat Islam setidaknya pada dua dekade terakhir ini mengalami
59
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
pergeseran dari persoalan khilafiyah fikih kepada khlilafiyah politik (siyasah). Persoalan khilafiyah dalam akidah (ushuliyah) secara murni hampir tidak pernah terjadi, kecuali umat Islam arus utama (streammain) dengan Ahmadiyah tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad setelah Nabi Muhammad saw. Perdebatan soal ini telah terjadi pada tahun 1935, antara Ahmad Hasan dari Persis dengan pihak Ahmadiyah. Namun tidak terselesaikan hingga sekarang. Sewaktu-waktu konflik tak terhindarkan. Sedangkan khilafiyah organisasi semakin berkurang dengan dengan meningkatnya wawasan umat dan terbentuknya forum-forum lintas ormas Islam, seperti Forum Silaturahmi Ormas Islam (PSOI) Kota Bandung yang terbentuk pada tahun 2002, dengan anggota 13 ormas Islam. Bisa jadi termasuk FAPB. Badan Kerjasama Umat Islam (BKUI) Jawa Barat, Lembaga Pengembangan Ekonomi masyarakat (LPEM), dan Forum Sillatrahim Masjid dan Mushalla (PSMM) Bekasi. Pada aspek sosial-budaya dan ekonomi ada kesamaan dalam penanggulangan bencana, mengatasi serangan permurtadan, dn menolak radikalisme dalam segala bentuknya. Organisasi yang radikal pada dasarnya tidak mendapat respon dukungan dari masyarakat dan ormas Islam. Kerjasama terjadi dalam menanggulangi kemiskinan di daerah tertentu, sekaligus rawan pada pemurtadan. Dalam hal ini Persis bersama ormas Islam lain bekerja sama seperti di Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur Selatan. Hanya saja relasi dalam bentuk dialog antar ormas Islam dan antar agama secara struktural masih merupakan kebijakan internal masing-masing ormas Islam. Dalam bidang ekonomi telah terjadi kerjasama dalam wadah Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) yang didirikan oleh ormas Islam (NU, Persis, Muhammadiyah, PUI, dan IAIN Sunan Gunung Jati). Bentuk usahanya ialah produksi air minun kemasan dengan merek “Air Minum Aquazam”. Dalam perkembangannya
60
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
justeru kurang dukungan dari ormas Islam sendiri. Berbeda halnya yang dilakukan Persis, yaitu investasi melalui toko emas di Sumedang sekitar RP. 3. 3 milyar, dengan keuntungan tiap bulan yang diterima Persis sebesar Rp. 40 juta, dan memiliki sebuah Bait al Mal wa al Tamwil (BMT).
Kesimpulan Dari temuan lapangan dan pembahasan diambil kesimpulan, bahwa dakwah ormas Islam secara umum berlangsung dengan karakter masing-masing, dan berjalan sendiri-sendiri. Karakter dakwah Persis lebih teragenda, formal, tegas, keras dan konsisten tentang paham keagamaan yang disosialisasikan. Sedangkan dakwah PUI adalah nampak lemah dalam agenda, lunak dan moderat dengan mengakomodir perbedaan paham keagamaan. Adapun dakwah Front Gerakan Anti Pemurtadan Bekasi cenderung netral, keras, tegas dan lugas dalam membela Islam dan umat. Ketiga ormas Islam secara organisasi tidak masuk partai politik Partisipasi politik anggota ormas Islam dinilai sebagai hak masing-masing. Paradigma dakwah Persis mengalami transformasi dari pada awalnya bernuansa agresif melalui stimulasi gebrakan (shock teraphy) kepada penampilan ramah (low profile). Dari isu-isu dakwah yang konvensional yang kokoh dalam paham keagamaan diikuti metode debat dan bi al qalam kepada isu-isu yang relatif sama dengan lebih mengedepankan metode bi al hal dan bi al qalam seiring dengan kedewasaan berpikir umat Islam. Perubahan tersebut berdampak pada perkembangan keanggotaan yang signikan. Dakwah PUI bernuansa normatif melalui “pintu terbuka” bagi perbedaan paham keagamaan yang mengepankan ukhuwah
61
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
yang berdampak pada relatif lemah dalam soliditas jamaah dan belum memiliki suatu pedoman/khiththah dalam dakwah. Potensi konflik yang nampak dalam pelaksanaan dakwah internal umat Islam pada dekade terakhir ini bergeser dari soal khilafiyah paham keagamaan (fikih) kepada fenomena khilafiyah politik (siyasah). Namun dalam ikhtilaf siyasah tidak terjadi konflik terbuka. Ikhtilaf dalam fikih sebagai materi dakwah dan metode pendekatan dakwah hampir tidak lagi menjadi sumber konflik internal umat. Kondisi ini terjadi pada kalangan elite ormas Islam, sedangkan pada lapisan akar rumput (grassroot) masih berpotensi rawan konflik. Kegiatan dakwah berorientasi pemurtadan berpotensi konflik antar umat beragama, yang secara khusus antara Islam dengan Kristen/Katolik. Potensi integrasi dalam pelaksanaan dakwah yang dominan ialah terbentuk dan berperannya forum-forum lintas ormas Islam yaitu Forum Silaturahmi Ormas Islam (FSOI) Kota Bandung, Badan Kerja sama Umat Islam (BKUI) Jawa Barat, Lembaga Pengembangan Ekonomi masyarakat/LPEM (produksi air mineral Aquazam), dan Forum Sillatrahim Masjid dan Mushalla (PSMM) Bekasi. Bisa jadi termasuk FAPB. Relasi antar ormas Islam sebagai pelaku dakwah dalam memelihara kerukunan intern umat Islam nampak belum terkondisikan melembaga. Kerjasama dalam dakwah mudah terbangun jika ormas Islam menghadapi serangan terhadap Islam dan Umat. Bersatu dan rukun jika ada tantangan bersama.
Rekomendasi Akhirnya sampai pada sejumlah rekomendasi yaitu: perlu diversifikasi metode dakwah oleh ormas Islam seiring
62
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
perkembangan informasi dan teknologi yang pesat dewasa ini. Untuk hal ini kiranya dapat difasilitasi oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama dan jajarannya dengan kerjasama pemerintah daerah. Sudah waktunya ormas Islam menyusun peta dakwah pada masyarakat pluralistik yang memuat potensi konflik khususnya pada ikhtilaf fikih dan etika dakwah. Revitalisasi potensi integrasi tersedia organisasi forum lintas ormas Islam dan usaha ekonomi bersama ormas Islam model “Air Mineral Aquzam”. Forum yang ada hendaknya diefektifkan, dan diarahkan pada dakwah pluralistik. Dalam hal ini diharapkan peran Majelis Ulama Indonesia setempat dalam koordinasi dan fasilitasinya. Jika belum dimungkinkan, maka dapat dibentuk wadah kejasama di bidang dakwah dengan fasilitasi Pemerintah Daerah yang dibantu Kantor Wilayah dan Kementerian Agama kabupaten/ kota. Dengan demikian dapat berbagi pengalaman lapangan dan koordinasi sasaran dakwah yang menjangkau area dan lapisan umat yang lebih luas, sekligus dapat dihindari tumpang tindih kegiatan dakwah. Untuk meminimalisasi ikhtilaf paham keagamaan (ikhtilaf fikih) yang berpotensi konflik pada akar rumput (grassroots), maka perlu digalakkan saling tukar da’i atau khatib antar ormas Islam dengan koordinasi dan fasilitasi oleh Kementerian Agama Wilayah dan Kabupaten/Kota. Sudah selayaknya dakwah ormas Islam lebih mengedepankan dakwah pluralistik, baik internal umat Islam maupun ekternal kepada umat beragama lain yang menunjukkan kerahmatan Islam bagi semua.
63
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
64
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
Abdurahman, E., Recik-Recik Dakwah, Algesindo Bandung (tanpa tahun). Anshari, M. Isa, Mujahid Da’wah, Diponegoro, Bandung, 1995. Buletin Intisabi Nomor 03/Tahun I/Nopember 2009. Daulay, Hamdan, Dakwah di Tengah Budaya dan Politik, Lembaga Studi Filsafat lslam, Yogjakarta, 2001. Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Umat Islam Jawa Barat “Profile Persatuan Umat Islam PUI”, Bandung, 2011 ------,Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam tentang Akidah dan Ibadah, Bandung, 2008. ------,Nomor 05/Tahun II/Agustus 2010. ------,Revitalisasi Peran PUI dalam Pemberdayaan Ummat, Bandung, 2006 Khaeruman, Badri, Persatuan Islam:Sejarah Pembaruan Pemikiran, FAPPI dan IRIS PRESS, Bandung, 2010. Lubis, Nina Herlina, dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, Bandung, 2011.
65
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
Ma’arif, Bambang S, Komunikasi Dakwah : Paradigma untuk Aksi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2010. Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2005”, Bandung, 2005 Muhtadi, Asep Saeful, Metode Penelitian Dakwah, Pustaka Setia, Bandung, 2003. Persatuan Islam, Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam. Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Kumpulan Kaifiyyah dan Pedoman Jam’iyyah Persatuan Islam, Bandung 2006. Pimpinan Wilayah Persatuan Umat Islam Jawa Barat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Umat Islam, Bandung, 2009.. Ranjabar, Jakobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006. Sekretariat Daerah Kota Bandung, Bandung Agamis, 2009. Wildan, Dadan, Sejarah Perjuangan Persis, 1923-1983, Gemna Shahida, Bandung, 1995.
66
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
III DAKWAH NAHDLATUL WATHAN, MUHAMMADIYAH DAN GERAKAN SALAFI DI KOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Oleh: Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
67
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
68
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Latar Belakang Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku, budaya maupun agama, mengakibatkan usaha untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa menjadi hal penting yang harus diupayakan secara terus-menerus. Kerukunan umat beragama sebagai salah satu pilar kerukunan nasional dengan demikian merupakan kondisi yang juga harus senantiasa diupayakan. Kerukunan umat beragama itu sendiri meliputi kerukunan antar umat beragama dan kerukunan internal umat beragama. Kerukunan di kalangan internal umat beragama merupakan pilar dari kerukunan umat beragama dan menjadi bagian pilar dari kerukunan nasional. Di antara kerukunan internal umat beragama adalah kerukunan di kalangan internal umat Islam. Dilihat dari segi agama, umat Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia. Dengan posisi tersebut upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan di kalangan internal umat Islam merupakan suatu keniscayaan dalam rangka upaya pelanggengan kerukunan nasional. Apabila kerukunan internal umat Islam terganggu, maka kerukunan nasional dengan
69
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
sendirinya terganggu pula, yang pada gilirannya mengakibatkan terganggunya pelaksanaan program pembangunan nasional, utamanya di daerah yang kerukunan internal umat Islamnya tidak kondusif. Semakin banyak organisasi atau kelompok keagamaan di suatu daerah, maka akan semakin rentan bagi kemungkinan timbulnya konflik di kalangan internal umat Islam yang terjadi sehubungan praktek dakwah. Ditengarai, banyak faktor yang dapat menimbulkan terganggunya kerukunan di kalangan internal umat beragama termasuk umat Islam. Salah satu faktor dimaksud adalah pelaksanaan dakwah/penyiaran agama. Kegiatan dakwah yang dilakukan oleh organisasi ataupun kelompok keagamaan Islam yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip kebersamaan, tidak saling menghormati dan menghargai perbedaan serta toleransi, dapat dipastikan akan dapat memicu timbulnya konflik di kalangan internal umat Islam. Praktek dakwah demikian pada gilirannya dapat mengganggu kerukunan internal umat Islam. Sebaliknya, apabila dakwah di atas dilakukan dengan tata-cara yang santun, bijak dan mengedepankan pemeliharaan ukhuwah Islamiyah, maka akan jauh dari kemungkinan timbulnya konflik lantaran praktek dakwah. Betapapun, keberadaan organisasi-organisasi keagamaan dengan keragaman perbedaannya mengandung potensi ketidakrukunan. Konflik mungkin dapat terjadi di kalangan organisasi keagamaan. Dakwah Islam yang semestinya untuk memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran agama, mungkin saja dalam praktek di lapangan dipergunakan sebagai ajang mencari pengaruh untuk kepentingan tertentu atau untuk upaya perekrutan dan penambahan anggota oleh organisasi atau kelompok agama tertentu. Selain itu, dalam perkembangannya
70
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
dakwah Islam menghadapi berbagai tantangan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, dakwah Islam mengalami variasi akibat adanya pemahaman keagamaan seperti liberalisme dan fundamentalisme. Kalangan liberalis memiliki kecenderungan dakwah yang lebih bercorak rasional, longgar dan permisif. Sedangkan kalangan fundamentalis cenderung lebih kaku, literis dan bahkan dalam tataran tertentu terkesan radikal. Belum lagi tantangan yang bersifat klasik seperti: keterbatasan dana, sarana dan prasarana serta keterbatasan daya jangkau karena luasnya wilayah. Keterbatasan dana ini seringkali dipergunakan sebagai alasan kurangnya kaderisasi tenaga dakwah. Selain itu, adanya pergesekan antar individu di kalangan kelompok atau organisasi keagamaan sehubungan dinamika politik praktis, serta kompetisi aktifitas dakwah antara kelompok mainstream dengan kelompok yang bukan mainstream. Adapun secara eksternal, tantangan globalisasi dan modernisasi terasa mempengaruhi aktivitas dakwah. Dalam tingkat tertentu, bahkan, kedua hal di atas dapat melemahkan missi utama dakwah. Arus teknologi informasi yang demikian dahsyat setidaknya telah memberi andil bagi maraknya budaya materialistik di kalangan masyarakat yang cenderung dapat menimbulkan pendangkalan akidah. Selain itu, agresivitas dan kreativitas missi penyiaran agama lain juga menjadi tantangan eksternal dakwah Islam. Praktek dakwah Islam biasanya dilakukan oleh para juru dakwah yang tergabung dalam organisasi/lembaga keagamaan maupun secara individual. Dakwah yang dilakukan melalui organisasi keagamaan biasanya dilakukan secara terstruktur melalui jaringan mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah, misalnya dakwah Islam yang dilakukan NU, Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya. Selain itu ada pula dakwah Islam yang
71
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
dilakukan oleh sejumlah kelompok atau gerakan keagamaan yang non-ormas namun justru memiliki aktivitas dakwah dan pengaruh cukup signifikan dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Gerakan dakwah dimaksud misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut-Tahrir dan Ikhwanul Muslimin. Terlepas dari tantangan internal dan eksternal dakwah Islam serta pelaksanaan dakwah Islam yang dilakukan melalui organisasi keagamaan maupun secara individu di atas, penelitian ini lebih menekankan kajian tentang gerakan dakwah Islam dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan di kalangan internal umat Islam. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mayoritas penduduknya beragama Islam, relatif terdapat banyak organisasi dan kelompok keagamaan Islam yang rentan bagi timbulnya konflik di kalangan internal umat Islam. Kerukunan internal umat Islam di provinsi ini sempat terusik sehubungan pernah timbul beberapa kasus kerusuhan sosial bernuansa agama di kalangan internal umat Islam, misalnya: pada tahun 2002 terjadi kasus kerusuhan massa sehubungan keberadaan Ahmadiyah di Mataram, tahun 2006 terjadi kasus kerusuhan sosial sehubungan adanya kelompok Salafi di Sekotong – Lombok Barat dan pada tahun 2006 terjadi kasus konflik di kalangan internal komunitas Nahdlatul Wathan (NW) di Pancor – Lombok Timur. Di Kota Mataram ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam, keberadaan berbagai organisasi atau kelompok keagamaan Islam sedikit banyak mewarnai dinamika kehidupan keagamaan umat Islam di kota itu, khususnya terkait kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh para juru dakwah organisasi keagamaan maupun oleh kelompok gerakan dakwah Islam non-organisasi keagamaan, di samping pernah timbul kasus-kasus konflik sosial yang pernah
72
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
terjadi di kalangan internal umat Islam sebagaimana diungkapkan di atas. Keadan di atas melatar belakangi Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat melakukan penelitian Kerukunan Umat Beragama (Studi tentang Gerakan Dakwah di Kalangan Umat Islam) di berbagai daerah, yang salah satunya di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Permasalahan Permasalah pokok dalam penelitian ini adalah: Bagaimana dakwah Islam di kalangan organsasi keagamaan maupun kelompok gerakan keagamaan dilakukan, terkait dengan upaya pemeliharaan kerukunan di kalangan internal umat Islam di Kota Mataram. Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap beberapa permasalahan yaitu: (1) Bagaimana profil pelaku dakwah (organisasi keagamaan dan kelompok/gerakan dakwah, tenaga/juru dakwah) Islam di Kota Mataram; (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para pelaku dakwah di kalangan umat Islam di Kota Mataram; (3) Bagaimana upaya para pelaku dakwah Islam dalam memelihara kerukunan di kalangan internal umat Islam di Kota Mataram.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Mengungkap profil para pelaku dakwah Islam di Kota Mataram; (2) Mengungkap potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah yang dilakukan para pelaku dakwah di kalangan umat Islam di Kota Mataram; (3) Mengungkap upaya para pelaku dakwah Islam dalam
73
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
memelihara kerukunan di Mataram.
kalangan internal umat Islam di Kota
Kegunaan Hasil penelitian ini berguna untuk pimpinan Kementerian Agama sebagai bahan untuk menyusun kebijakan tentang dakwah agama Islam dalam upaya peningkatan kerukunan di kalangan internal umat Islam, terutama di daerah penelitian.
Definisi Operasional Kerukunan umat beragama, yaitu keadaan hubungan antar sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006). Kerjasama dalam konteks kerukunan internal umat Islam sebagaimana fokus kajian dalam penelitian ini tidak terbatas hanya dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga kerjasama dalam kegiatan keagamaan. Gerakan, yaitu usaha atau kegiatan yang memiliki arah tertentu. Sedangkan dakwah, secara semantik berarti memanggil, mempersilakan, memohon, propaganda dan menyebarkan, baik ke arah yang baik maupun yang buruk. Menurut istilah, dakwah merupakan aktivitas mengajak orang kepada ajaran Islam yang dilakukan secara damai, lembut dan penuh komitmen. Cakupan dakwah lebih luas daripada tabligh. Dakwah meliputi ajakan
74
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
secara verbal (billisan) dan non verbal (bil hal), sedangkan tabligh hanya mencakup ajakan secara verbal (Bambang S. Ma’arif, 2010:22). Jelasnya, dakwah adalah penyiaran agama di kalangan masyarakat berikut pengembangannya, meliputi seruan untuk memeluk (agama), mempelajari, memahami dan mengamalkan ajaran (agama) yang dilakukan secara damai. Adapun yang dimaksud gerakan dakwah dalam penelitian ini adalah gerakan dakwah yang dilakukan oleh kalangan organisasi massa (Ormas) keagamaan dan kelompok gerakan keagamaan Islam. Dengan demikian, yang dimaksud gerakan dakwah dalam penelitian ini adalah usaha secara terarah menyiarkan ajaran Islam termasuk penyebaran tentang pemikiran ataupun faham keagamaan tertentu dalam Islam yang disampaikan oleh kalangan organisasi keagamaan dan/atau kelompok gerakan keagamaan Islam melalui para juru/tenaga dakwahnya (da’i), untuk diikuti oleh pihak/umat Islam yang didakwahi (mad’u). Organisasi keagamaan adalah organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang keagamaan, bervisi kebangsaan, dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Indonesia secara sukarela, berbadan hukum dan bukan organisasi sayap partai politik. Dalam konteks penelitian ini, kelompok atau gerakan keagamaan non ormas seperti: Salafi, Ikhwanul Muslimin dan sejumlah kelompok tarekat diperlakukan dalam kategori organisasi keagamaan. Umat Islam yaitu komunitas Islam baik yang tergabung maupun yang tidak tergabung dalam organisasi keagamaan maupun kelompok atau gerakan keagamaan Islam.
75
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
Kerangka Konseptual Kualifikasi dan bobot kerukunan di kalangan internal umat Islam dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain oleh aktifitas dakwah yang dilakukan oleh para juru/tenaga dakwah. Dalam aktualisasi ajaran agama dan dalam kehidupan sosial keagamaan, sehubungan adanya kesamaan visi, missi dan tujuan, umat Islam pada umumnya bergabung dalam komunitas-komunitas yang terorganisasi dalam suatu organisasi keagamaan dan ada pula yang tergabung dalam suatu kelompok yang cenderung berupa gerakan keagamaan. Dalam upaya mempertahankan eksistensi dan mengembangkan pengaruh di kalangan masyarakat, masingmasing organisasi dan kelompok keagamaan mempunyai aktivitas berupa dakwah. Dengan demikian, tenaga dakwah merupakan salah satu perangkat penting dalam suatu organisasi maupun kelompok atau gerakan keagamaan. Kegiatan dakwah yang bersifat mengajak, menjadi suatu gerakan dakwah bagi organisasi atau kelompok keagamaan. Oleh karena obyek yang didakwahi (mad’u) nya sama yakni komunitas Islam, jika materi dakwah yang disampaikan oleh para juru dakwah (da’i) masing-masing organisasi dan kelompok keagamaan seirama, saling mendukung dan saling menguatkan maka dapat menghasilkan interaksi yang positif (misalnya: take and give, collaboration) antar organisasi dan kelompok keagamaan. Namun apabila materi dakwah yang disampaikan cenderung lebih mengedepankan prinsip-prinsip perbedaan misalnya tentang aktualisasi ajaran, pemahaman dan pemikiran keagamaan, maka akan menghasilkan interaksi yang negatif yakni konflik. Dengan demikian gerakan dakwah yang dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan dan kelompok/gerakan keagamaan melalui juru dakwah (dalam konteks kajian ini disebut “pelaku dakwah”), berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi kerukunan di
76
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
kalangan internal umat Islam. Kokoh maupun renggangnya hubungan antar organisasi dan kelompok keagamaan, banyak dipengaruhi oleh corak gerakan dakwah di kalangan organisasi keagamaan maupun kelompok/gerakan keagamaan yang bersangkutan. Untuk mengungkap corak gerakan dakwah di kalangan organisasi keagamaan dan kelompok/gerakan keagamaan dalam kaitannya dengan kerukunan di kalangan internal umat Islam, dapat ditelusuri melalui: profil pelaku dakwah (meliputi profil organisasi keagamaan yang bergerak di bidang dakwah dan profil tenaga/juru dakwahnya), potensi integrasi dan konflik sehubungan kegiatan dakwah, hubungan antar pelaku dakwah serta upaya-upaya yang dilakukan untuk memelihara kerukunan internal umat Islam. Untuk meneliti gerakan dakwah dalam konteks kerukunan di kalangan internal umat Islam, di lokasi penelitian diambil tiga pelaku dakwah (yakni organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan), terdiri atas: satu pelaku dakwah mayoritas, satu pelaku dakwah yang diduga potensial dapat menimbulkan konflik dan satu pelaku dakwah yang diduga potensial integratif.
Kajian Terdahulu Ada beberapa penelitian maupun kajian tentang dakwah atau penyiaran agama yang pernah dilakukan baik oleh para peneliti maupun pengamat keagamaan, antara lain: (i) Menguak Tabir Dakwah Kontemporer, sebuah kajian oleh Zulkifli M, (2005). Dalam kajiannya, penulis menggagas perlunya dakwah dilakukan tidak hanya cara billisan, di mimbar saja, tetapi perlu disesuaikan dengan perkembangan da konteks jamannya, misalnya dengan cara dialog. Di samping itu, jangkauan dakwah hendahnya sampai
77
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
lapisan bawah terutama daerah yang belum tersentuh akses informasi dan komunikasi. Tulisan di atas dimuat dalam Jurnal Harmoni, 2005, hal. 24; (ii) Aliran Sempalan, Dawah dan Peran Ulama, sebuah kajian oleh Imam Syaukani, (2007), mengungkapkan hasil jajak pendapat terhadap sejumlah pengakses Harian Republika yang membuktikan bahwa sinyalemen yang mengatakan timbulnya aliran sempalan secara dominan akibat tata cara dakwah, adalah tidak benar; (iii) Pandangan Masyarakat tentang Penyiaran Agama di Kabupaten Sleman, sebuah penelitian oleh Asnawati (2007) yang mengungkap antara lain dampak dari dakwah atau penyiaran agama terhadap perilaku keagamaan umat Islam dalam hubungannya dengan sesama mereka dan dengan umat Katolik. Dua tulisan di atas dimuat dalam Jurnal Harmoni, 2007, hal.5 dan hal. 96. Berbeda dengan penelitian dan kajian di atas, penelitian ini memfokuskan kajian tentang aktivitas gerakan dakwah dari tiga organisasi keagamaan Islam yakni Nahdlatul Wathan (NW), Muhammadiyah dan Salafi dalam hubungannya dengan kerukunan internal umat Islam.
Metode Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan bentuk studi kasus. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara, studi dokumentasi dan pustaka, serta pengamatan. Wawancara secara mendalam menggunakan pedoman wawancara yang disusun sebelum wawancara dilakukan dengan mengacu kepada tujuan penelitian (Ida Bagus Mantra, 2004:86). Wawancara dilakukan kepada sejumlah informan yang dianggap
78
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
banyak mengetahui perihal yang diteliti (informan kunci), terdiri atas unsur-unsur: pengurus organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan Islam, para juru/tenaga dakwah, para tokoh agama/pengurus pondok pesantren, unsur pejabat Pemerintah Daerah/pejabat Kantor Kementerian agama, Pengurus MUI Daerah dan unsur masyarakat. Studi pustaka dan dokumentasi dilakukan dengan menelaah buku-buku dan dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap obyek-obyek dan sarana kegiatan keagamaan, seperti: lembaga pendidikan, pondok pesantren, dan kegiatan shalat Jum’at organisasi keagamaan yang dijadikan obyek penelitian. Untuk menghasilkan data yang akurat, dilakukan uji data dengan teknik triangulasi, yakni membandingkan antara data sejenis yang satu dengan yang lain yang diperoleh dari teknik yang berbeda atau hasil informasi dari informan yang berbeda. Data yang berhasil dikumpulkan diolah melalui tahapan: editing, klasifikasi, komparasi dan interpretasi untuk memperoleh pengertian baru yang selanjutnya dipergunakan untuk bahan penyusunan laporan hasil penelitian. Karena menggunakan metode kualitatif maka dalam proses pengumpulan berikut penafsiran data tidak menggunakan rumus statistik (Suharsimi Arikunto, 2002:10). Dalam melakukan kajian, peneliti menggunakan assumsi desain kualitatif sebagaimana ditawarkan Merriam (1988), antara lain: peneliti merupakan instrumen pokok untuk pengumpulan dan analisis data, data didekati melalui instrumen manusia, secara fisik berhubungan dengan orang, lokasi dan institusi untuk komunikasi dan mengamati perilaku dalam latar alamiyahnya, serta lebih menekankan aspek makna (John W. Creswell, 2002:140).
79
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
Untuk mengungkap gerakan dakwah di kalangan umat Islam dalam konteks kerukunan internal umat Islam, penelitian ini mengambil studi kasus gerakan dakwah yang dilakukan oleh tiga organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan, dengan kriteria masing-masing yaitu: (1) kategori organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan yang memliki anggota mayoritas, (2) organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan yang cenderung integratif dengan organisasi keagamaan mayoritas, serta (3) organisasi atau gerakan keagamaan yang berpotensi konflik dengan organisasi keagamaan mayoritas. Lokasi penelitian ini yaitu Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemilihan NTB didasarkan atas pertimbangan bahwa di provinsi ini terdapat organisasi keagamaan terbesar yakni “Nahdlatul Wathan”, yang tidak didapati di provinsi lain. Berdasarkan kriteria di atas maka organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan yang dijadikan fokus kajian dalam penelitian ini adalah: Nadlatul Wathan (sebagai organisasi keagamaan mayoritas), Muhammadiyah (sebagai organisasi keagamaan yang adaptif) dan Salafi (sebagai kelompok keagamaan yang cenderung berpotensi konflik). Adapun dipilihnya Kota Mataram sebagai lokasi penelitian karena sebagai ibukota provinsi dimungkinkan dinamika kegiatan dakwah Islam di kalangan organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan lebih intens dibanding dengan kabupaten lain di Nusa Tengara Barat (NTB).
80
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Geografi Dan Pemerintahan Kota Mataram dengan luas wilayah 6.130 ha, terletak di antara Kabupaten Lombok Barat dan Selat Lombok. Batas-batas wilayahnya, sebelah Utara, sebelah Timur dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat dan sebelah Barat dengan Selat Lombok. Dari segi pemerintahan, Kota Mataram secara administratif terbagi atas 6 kecamatan dan 50 kelurahan serta 289 lingkungan. Enam kecamatan dimaksud adalah Ampenan, Sekarbela, Mataram, Selaparang, Cakranegara dan Sandubaya. Dari lima puluh kelurahan, sebanyak 26 kelurahan masuk kategori kelurahan swadaya dan 24 kelurahan swakarya (BPS Kota Mataram, 2010: 3940). Dari seluruh luas wilayah Kota Mataram penggunaan terluas adalah untuk lahan pertanian 2.880 ha dan untuk perumahan 2.313 ha. Selebihnya dipergunakan untuk bangunan perkantoran, pendidikan, pasar, terminal, pertokoan, industri, pergudangan, lapangan olah raga, kuburan, ibadah, hotel, taman
81
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
kota, dan tanah tidak diusahakan. Lahan pertanian terutama merupakan lahan sawah menghasilkan padi, jagung, kacang tanah, kedelai, dan sayur-sayuran. Selain itu terdapat berbagai jenis pohon atau tanaman buah-buahan.
Demografi Jumlah penduduk Kota Mataram pada tahun 2009 sebanyak 375.506 jiwa, terdiri atas penduduk laki-laki 185.321 jiwa dan perempuan 190.185 jiwa, dengan rata-rata kepadatan sebesar 6.126 jiwa/km2. Wilayah terpadat adalah Kecamatan Ampenan dengan jumlah penduduk 74.592 jiwa dengan kepadatan 7.879 jiwa/km2. Kecamatan dengan penduduk terkecil 46.648 jiwa adalah Kecamatan Sekarbela dengan kepadatan 4.520 jiwa/km2. Jumlah Rumah Tangga sebanyak 104.443 dengan rata-rata anggota rumah tangga 3 jiwa (BPS. Kota Mataram, 2010: 82-83 dan 87) . Dilihat dari segi umur, penduduk Kota Mataram terdiri dari penduduk usia 0-4 tahun (balita) 37.666 jiwa, penduduk usia sekolah 5-19 tahun sebanyak 102.598 jiwa, penduduk usia 20-59 tahun (usia kerja/usia produktif) 212.803 jiwa dan penduduk usia 60 tahun ke atas (usia lanjut) sebanyak 22.439 jiwa (Diolah dari Data BPS Kota Mataram, 2010:86).
Pendidikan Kondisi pendidikan masyarakat dapat dilihat melalui sarana pendidikan yang tersedia dan jumlah murid di tiap jenjang pendidikan. Sarana pendidikan Taman Kanak-kanak sebanyak 88 buah terdiri atas 4 buah TK Negeri dan 84 buah TK Swasta. Sekolah Dasar sebanyak 156 buah terdiri atas 143 SD Negeri dan 13 SD
82
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Swasta. Sekolah Menengah Pertama sebanyak 40 buah terdiri atas SMP Negeri 23 buah, SMP Swasta 12 buah, dan SMP Negeri Terbuka 5 buah. Sekolah Menengah Atas sebanyak 42 buah, terdiri atas SMA Negeri 8 buah, SMA Swasta 16 buah, SMK Negeri 8 buah, dan SMK Swasta 10 buah (BPS. Kota Mataram, 2010:107-111). Sarana pendidikan lainnya berupa Raudhatul Athfal 31 buah, Madrasah Ibtidaiyah 20 buah, Madrasah Tsanawiyah 21 buah, dan Madrasah Aliyah 11 buah. Sarana pendidikan tinggi terdapat 4 buah Perguruan Tinggi Negeri dan 20 buah Perguruan Tinggi Swasta (BPS. Kota Mataram, 2010:119-123). Adapun jumlah penduduk yang masih aktif bersekolah di berbagai jenjang pendidikan, yakni: murid TK Negeri 340 anak dan murid TK Swasta 4.705 anak; murid Sekolah Dasar Negeri 40.781 anak dan murid Sekolah Dasar Swasta 2.375 anak; siswa SMP Negeri 17.023 anak dan siswa SMP Swasta 1.471 anak; siswa SMA Negeri 6.662 anak dan SMA Swasta 2.773 anak; siswa SMK Negeri 5.750 anak dan siswa SMK Swasta 2.070 anak (BPS. Kota Mataram, 2010:107-111). Selain itu, mereka yang menempuh pendidikan di madrasah yaitu murid Raudhatul Athfal 704 anak, murid Madrasah Ibtidaiyah 2.739 anak, siswa Madrasah Tsanawiyah 3.460 anak, dan siswa Madrasah Aliyah 1.627 anak (BPS. Kota Mataram, 2010:119122). Tidak diperoleh data penduduk yang sedang menempuh pendidikan tinggi.
Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Politik Di Kota Mataram terdapat sarana kesehatan berupa rumah sakit umum sebanyak 8 buah, rumah sakit jiwa 1 buah, rumah sakit bersalin 7 buah, Puskesmas 9 buah, Puskesmas Pembantu 16 buah dan Puskesmas Keliling 17 buah. Selain itu, terdapat 86
83
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
buah apotik dan 23 buah toko obat (BPS Kota Mataram, 2010:127128). Di bidang usaha terdapat sarana perindustrian, antara lain: 685 buah perusahaan hasil pertanian, 368 buah perusahaan industri aneka serta 377 buah perusahaan kimia, logam, mesin, dan elektronika (BPS Kota Mataram, 2010:261). Sedangkan di bidang perdagangan terdapat 681 buah perusahaan besar, 1.608 buah perusahaan menengah dan 7.057 buah perusahaan kecil (BPS. Kota Mataram, 2010:301). Di bidang pariwisata terdapat situs bersejarah yaitu: Taman Mayura, Pura Meru dan Makam Fan Ham di Kecamatan Cakranegara, makam Bintaro di Kecamatan Ampenan dan Makam Loang Baloq di Kecamatan Sekarbela. Sarana perhotelan, terdapat 7 buah hotel berbintang dan 63 buah hotel non bintang (BPS. Kota Mataram, 2010:359-360, 378). Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya bagi anak-anak yatim yang tidak mampu, telah tersedia panti asuhan tahun 2009 sebanyak 16 buah dengan anak asuh 706 orang. Selain itu terdapat Panti Asuhan milik pemerintah meliputi Panti Sosial Asuhan Anak terdapat 49 laki-laki dan 31 perempuan sebagai penghuni, Panti Sosial Karya Wanita terdapat 50 perempuan penghuni, dan Panti Sosial Tresna Werdha terdapat 38 laki-laki dan 62 perempuan sebagai penghuni (BPS. Kota Mataram, 2010:194). Kehidupan ekonomi penduduk dapat digambarkan melalui bidang pekerjaan berikut: jumlah pegawai negeri sipil dan guru pada pemerintah Kota Mataram tahun 2009 yaitu PNS sebanyak 1.895 laki-laki dan 1.224 perempuan, sedang guru sebanyak 1.091 laki-laki dan 1974 perempuan (BPS. Kota Mataram, 2010:47). Selain itu, jumlah tenaga kerja di bidang usaha industri tercatat ada 1.430 usaha industri formal dengan tenaga kerja 7.933
84
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
orang, 2.819 usaha industri non formal dengan tenaga kerja 8.992 orang, dan 4.249 usaha potensi industri dengan tenaga kerja 16.925 orang. Selain itu terdapat perusahaan industri perumahan sebanyak 29 buah dengan tenaga kerja 1.093 orang (BPS. Kota Mataram, 2010:267, 271). Pertumbuhan ekonomi Kota Mataram tahun 2009 ditunjukkan oleh laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 naik dari tahun sebelumnya yaitu 8,47 persen (7,76 : 2008) (BPS. Kota Mataram, 2010:443). Di bidang politik, menurut hasil Pemilu Tahun 2009, telah terpilih anggota DPRD sebanyak 35 orang, terdiri dari 32 laki-laki dan 3 perempuan. Adapun partai politik yang memiliki perwakilan di DPRD paling banyak adalah Partai Demokrat 7 anggota, disusul Partai Golkar dan PDI-P masing-masing 4 anggota. Selanjutnya PPP, PAN, PKS, Hanura dan Gerindra masing-masing 3 anggota, PBR dan PKPB masing-masing 2 anggota, dan PPI 1 anggota (BPS. Kota Mataram, 2010:64).
Kehidupan Keagamaan Penduduk Kota Mataram dilihat dari segi agama, penduduk beragama Islam menempati posisi jumlah terbesar yakni mencapai 308.473 jiwa. Jumlah terbanyak kedua adalah penganut agama Hindu sebanyak 56.369, kemudian umat Katolik 4.046 jiwa, umat Buddha 3.415 jiwa dan umat Kristen 3.203 jiwa. Sedangkan umat Khonghucu belum terdata. Persebaran penduduk sesuai dengan agama di setiap kecamatan secara rinci dapat dilihat dalam Tabel berikut:
85
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
Tabel 1 Penduduk Kota Mataram Menurut Agama per Kecamatan Tahun 2009 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------Kecamatan Islam Kristen Katolik Hindu Budha Khongh. Jumlah -------------------------------------------------------------------------------------------------------------Ampenan 68.510 608 991 3.876 547 74.532 Sekarbela 38.878 348 564 2.206 310 42.307 Mataram 59.210 591 719 10.699 118 71.338 Selaparang 58.859 588 715 10.635 117 70.914 Cakranegara 47.117 605 600 16.432 1.318 66.073 Sandubaya 35.899 461 457 12.521 1.005 50.342 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------Jumlah 308.473 3.203 4.046 56.369 3.415 375.506 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : BPS Kota Mataram, Mataram Dalam Angka, 2010:160.
Berdasarkan Data Keagamaan Tahun 2010 di Kantor Kementerian Agama Kota Mataram, jumlah umat Islam 379.358 jiwa atau (87,71 %) dari jumlah penduduk, Kristen 3.739 jiwa (0, 86 %), Katolik 2.847 jiwa (0,66 %), Hindu 42.975 jiwa (9,94 %), Budha 3.566 jiwa (0,82 %) dan Khonghucu 50 jiwa (0,01 %). Mereka tersebar di seluruh kecamatan, kecuali Khonghucu hanya ada di Kecamatan Cakranegara. Dalam melaksanakan peribadatan bagi masing-masing umat beragama telah tersedia rumah ibadat yaitu masjid 244 buah, mushalla 350 buah, gereja Kristen 15 buah, gereja/kapel Katolik 4 buah, pura 123 buah, dan vihara 5 buah. Rumah ibadat umat muslim tersebar di semua kecamatan di Kota Mataram, sedang rumah ibadat umat agama lainnya tidak di semua kecamatan ada. Di Kecamatan Sekarbela tidak ada gereja, pura dan vihara, di Kecamatan Sandubaya tidak ada gereja dan pura, di Kecamatan Selaparang tidak ada pura dan vihara, dan di Kecamatan Mataram tidak ada vihara (BPS. Kota Mataram, 2010:157).
86
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Berdasarkan penuturan beberapa informan yang terdiri atas para pimpinan organisasi Islam dan pejabat Kantor Kemenag Kota Mataram, dari keseluruhan masjid dan mushalla di Kota Mataram sebagian besar jamaah melaksanakan peribadatan sebagaimana paham NW dan NU seperti shalat subuh dengan qunut, karena para pengurusnya pada umumnya dari anggota yang sepaham dengan kedua ormas tersebut. Kecuali di Masjid Raya At-Taqwa Mataram pengurusnya gabungan dari paham yang berbeda, seperti dari NW, NU dan Muhammadiyah. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan shalat tarawih ada yang melakukan 23 rakaat dan ada yang 11 rakaat. Cara pengaturan waktu shalatnya yaitu setelah tarawih 8 rakaat, jamaah yang 11 rakaat melanjutkan shalat witir dan yang 23 rakaat melanjutkan tarawih setelah jamaah yang 11 rakaat selesai. Umat Islam di Mataram sangat antusias untuk melaksanakan ibadah haji, hal ini dapat dilihat pada kuota haji yang disediakan oleh pemerintah untuk Mataram selalu penuh. Jumlah umat Islam di Mataram yang menunaikan ibadah haji pada tahun 2009 sebanyak 667 orang terdiri atas 314 orang laki-laki dan 353 orang perempuan. Jumlah tersebut sedikit lebih banyak dari jamaah haji tahun 2008 yaitu 656 orang (BPS. Kota Mataram, 2010:158). Jumlah jamaah haji pada tahun 2010 sebanyak 660 orang dan tahun 2011 menjelang keberangkatan sebanyak 701 orang. Demikian penuturan Kasi Bidang Haji Kantor Kemenag Kota Mataram. Kegiatan dakwah Islam di Kota Mataram yang dilakukan oleh ormas-ormas dan kelompok keagamaan Islam berlangsung damai, tidak pernah terjadi konflik intern umat beragama Islam. Ormas Islam di Kota Mataram terbesar anggotanya adalah Nahdhatul Wathan (NW) yang pusatnya di Lombok Timur. Ormas Islam dan kelompok keagamaan Islam lainnya di Kota Mataram
87
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
yaitu NU, Muhammadiyah, Muslimat NU, Aisyiyah, Yayasan Athohiriyah Al-Fadhiliyah (Yatofa), Hidayatullah, Tarbiyah Islamiyah, Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII), Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), AlHidayah, dan Jamaah Salafi (Data Kantor Kemenag Kota Mataram, 2010). Kegiatan dakwah agama Islam terutama dilakukan oleh para da’i ormas dan kelompok keagamaan tersebut serta para penyuluh agama. Data Mataram Dalam Angka Tahun 2010 mencatat jumlah penyuluh agama 84 orang, imam sebanyak 741 orang, khatib 763 orang, mubaligh 58 orang, Majelis Taklim 193, TPA 157, Remaja Masjid 244, Pondok Pesantren 23, Diniyah 25. Berdasarkan data keagamaan di Kantor Kementerian Agama Kota Mataram tercatat jumlah ulama/Tuan Guru (TG) sebanyak 58 orang, penyuluh agama (honorer) 84 orang dan PNS Fungsional 11 orang (Data Keagamaan Kantor Kemenag Kota Mataram, 2010).
88
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab I bahwa untuk mengungkap gerakan dakwah di kalangan umat Islam dalam kaitannya dengan kerukunan internal umat Islam di Kota Mataram, penelitian ini memfokuskan kajian terhadap tiga organisasi atau kelompok/ gerakan keagamaan (Islam). Tiga organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan dimaksud adalah: (1) Nahdlatul Wathan (NW), sebagai organisasi keagamaan terbesar di Kota Mataram, (2) Muhammadiyah, sebagai organisasi keagamaan yang integratif dan (3) Kelompok/gerakan Salafi, sebagai gerakan keagamaan yang cenderung berpotensi konflik dalam gerakan dakwah dengan organisasi keagamaan terbesar di Kota Mataram.
A. Nahdlatul Wathan (NW) Nahdlatul Wathan ditinjau dari segi nama, berasal dari kata “nahdlatun” yang berarti kebangkitan atau pembangunan/membangun dan “al-wathan” yang berarti tanah air atau bangsa. Jadi ditinjau dari segi bahasa, Nahdlatul Wathan yang kemudian disingkat dengan NW berarti “kebangkitan bangsa/tanah air,
89
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
membangun bangsa dan tanah air”. Dari segi istilah, Nahdlatul Wathan adalah organisasi kemasyarakatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah ‘ala Madzhabil Imamisy Syafi’i r.a. dan bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah didirikan oleh Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainudin Abdul Majid (Abdul Hayyi Nu’man & Muhni Sn., S.S., 2005:12). Latarbelakang berdiri organisasi Nahdlatul Wathan secara singkat dapat dijelaskan berikut: Tiga bulan setelah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid pulang dari Makkah, beliau terdorong keinginan untuk memajukan masyarakat khususnya di Pulau Lombok yang ketika itu berada dalam keterbelakangan dan kebodohan akibat penjajahan kolonial Belanda. Untuk mengangkat harkat dan martabat umat Islam, menurut beliau perlu adanya lembaga pendidikan sebagai bekal meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mewujudkan keinginan tersebut mula-mula (tahun 1934) beliau mendirikan Pesantren AlMujahidin di Kapung Bermi-Pancor. Lambat-laun pesantren ini menampakkan kemajuan, sehingga menyulut kemarahan orangorang yang hasad dan takut kehilangan pengaruh. Hasutan dan fitnahan orang-orang yang tidak suka itu tidak menyurutkan citacita beliau memajukan umat Islam melalui pendidikan. Didirikanlah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) pada tanggal 22 Agustus tahun 1937, yang khusus mendidik kaum laki-laki. Hari lahir Madrasah NWDI itu setiap tahun diperingati oleh warga Nahdlatul Wathan yang dikenal dengan HULTAH NWDI. Kemudian dalam perkembangannya, pada tanggal 21 April tahun 1943 didirikan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) yang khusus mendidik kaum perempuan dari berbagai daerah. Murid-murid Madrasah NWDI dan NBDI berasal dari berbagai daerah di NTB. Di antara alumni (abiturien) Madrasah di
90
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
atas yang kembali ke daerah masing-masing ada yang mendirikan madrasah cabang NWDI dan NBDI, di samping aktif melakukan kegiatan dakwah. Pada tahun 1953 tercatat sebanyak 66 cabang Madrasah NWDI dan NBDI, terebar di seluruh wilayah Pulau Lombok, termasuk wilayah Lombok Barat yang sebagian wilayahnya menjadi wilayah Kota Mataram sekarang. Untuk melakukan pembinaan, koordinasi dan mempertanggungjawabkan lembaga pendidikan serta kegiatan sosial dan dakwah Islamiyah, maka TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan pada tanggal 1 Maret 1953 di Pancor-Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan beliau aktif di organisasi Nahdlatul Ulama’ (NU) Wilayah Nusa Tenggara Barat. Keberadaan Organisasi Nahdlatul Wathan di Kota Mataram dengan demikian seiring dengan keberadaannya di Pancor yang didirikan pada tahun 1953. Keberadaan Madrasah NWDI dan NBDI di Mataram yang pengembangannya melalui para abituriennya dari Pancor sebagaimana dipaparkan di atas, menjadi cikal bakal dan embrio keberadaan organisasi Nahdlatul Wathan di Kota Mataram. Demikian penuturan beberapa informan dari unsur Pengurus Daerah Nahdlatul Wathan Kota Mataram. Alamat sekretariat pengurusnya di Jl. Kaktus I, nomor 1 s/d 3, Mataram. Asas organisasi Nahdlatul Wathan sejak didirikan sampai Muktamar ke-8 Tahun 1986 adalah “Islam Ahlussunnah wal Jama’ah ‘ala Madzhabil Imamisy Syafi’i r.a.”. Tetapi sejak Muktamar ke-8 Tahun 1986 asas di atas berubah menjadi “Pancasila”. Perubahan asas tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia ketika itu yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985. Namun yang menjadi faham keagamaan tetap Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kemudian sejak Muktamar ke-11 kembali lagi ke asas semula,
91
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
karena peraturan perundangan ketika itu yakni pada era reformasi membolehkan hal itu. Adapun tujuan organisasi Nahdatul Wathan yaitu “li i’laa’i kalimatillah (meninggikan kalimat Allah) wa ‘izzil Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) dan keselamatan serta kebahagiaan hidup dunia dan akhirat”. Sedangkan lambang organisasi ini adalah “Bulan Bintang Bersinar Lima” .Untuk mencapai tujuan di atas, Nahdlatul Wathan melaksanakan amal usaha di bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah (TGH. AH Nu’man & Mughni, 2005:15-17). Struktur kepengurusannya yaitu: Pengurus Besar di tingkat pusat, Pengurus Wilayah di tingkat provinsi, Pengurus Daerah di tingkat kabupaten/kota, Pengurus Cabang di tingkat kecamatan, Pengurus Anak Cabang di tingkat desa/kelurahan, Pengurus Ranting di tingkat dusun, serta Pengurus Perwakilan di daerah-daerah yang dipandang perlu. Di tiap tingkat kepengurusan ada unsur penasehat. Penasehat di tingkat Pengurus Besar disebut Dewan Mustasyar, di tingkat Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah disebut Dewan Penasehat, sedangkan untuk pengurus di bawah Pengurus Daerah disebut Penasehat (TGH. AH Nu’man & Mughni, 2005:19). Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathan memiliki dinamika tersendiri terutama mengenai pusat tempat kedudukan dan pusat tempat utama kegiatan organisasi. Pusat tempat kedudukan Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) sejak didirikan pada tahun 1935 hingga Muktamar ke 10 tahun 1998, berkedudukan di Pancor. Namun setelah Muktamar ke 10 tersebut tempat kedudukan PBNW berpindah di Mataram (Ibukota Provinsi NTB) dan di Jakarta (Ibukota Negara RI). Perpindahan itu sebagai konsekuensi dari ketentuan AD-ART Nahdlatul Wathan hasil Muktamar ke 10 tahun 1998 di Praya Lombok Tengah.
92
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Pusat atau tempat utama kegiatan Organisasi Nahdlatul Wathan yang pada mulanya di Pancor pindah ke Kalijaga Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur. Kemudian sejak bulan Maret 2001 berpindah ke Anjani Kecamatan Suralaga, Kabupaten Lombok Timur. Perpindahan itu terjadi akibat adanya sebagian unsur NW Pancor yang tidak setuju terhadap Ummi Hj. Sitti Raihanun (putri pendiri NW) menjadi Ketua Umum PBNW yang terpilih melalui Muktamar ke 10. Alasannya, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin organisasi. Sedangkan pihak yang memilih Ummi Hj. Sitti Raihanun beralasan bahwa dalam Madzhab Syafi’i tidak ada larangan bagi perempuan menjadi pemimpin. TGKH Muhammad Zainuddin sendiri mengangkat putri-putrinya menjadi pimpinan madrasah, bahkan ada yang direstui menjadi Kepala Desa. Konflik antara pendukung Ummi Hj. Sitti Raihanun sebagai Ketua Umum PBNW dengan pihak yang tidak setuju, tidak terelakkan. Perpindahan pusat Organisasi NW dari Pancor ke Kalijaga, yang kemudian dipindahkan ke Anjani sebagaimana diutarakan di atas, dimaksudkan oleh Ummi Hj. Sitti Raihanun sebagai Ketua Umum PBNW sekaligus selaku penerima kuasa, semata-mata untuk peyelamatan dan kelangsungan Organisasi NW. Akhirnya, sejak Bulan Maret 2001 itulah maka pusat kegiatan Organisasi NW di Anjani Kecamatan Suralaga dan pusat Perguruan NW adalah Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin Nahdlatul Wathan Anjani Lombok Timur (Disarikan dari Buku: “Mengenal Nahdlatul Wathan”, PB NW, 2005:23-25). Sementara itu orang-orang NW Pancor yang tidak setuju atas kepemimpinan Ummi Hj. Sitti Raihanun menjalankan aktivitas Organisasi NW sesuai versi mereka, dengan pimpinan Sitti Rauhun. Keduanya putri pendiri Organisasi NW., TGKH. Muhammad Zainudin. Dengan demikian hinga kini terdapat dua
93
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
kelompok Organisasi NW dengan kegiatan dan amal usahanya masing-masing, yakni Organisasi NW Anjani dan NW Pancor. Akhirakhir ini kedua kelompok NW itu telah melakukan ishlah dan bersepakat untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Prinsip demikian secara politis justeru menguntungkan organisasi NW. Demikian penuturan beberapa informan. Terlepas dari adanya dua kelompok NW, untuk kepentingan penelitian ini di Kota Mataram diambil satu figur Organisasi NW yakni Organisasi NW Anjani. Pemilihan NW Anjani didasarkan atas pertimbangan bahwa Organisasi NW Anjani khususnya di Kota Mataram secara kelembagaan lebih besar sehingga aktivitas-aktivitas keagamaannya, termasuk bidang pendidikan dan dakwahnya mempunyai pengaruh lebih besar dalam masyarakat (Jalal, Syamsul Hd., H. Badr., L.Siraj. H., Wawancara, Sept. 2011). Jumlah Pengurus Organisasi Nahdlatul Wathan Kota Mataram Periode 2010-2015 sebanyak 36 orang, terdiri atas: Dewan Penasehat 4 orang, Ketua 1 orang, Wakil Ketua 4 orang, Sekretaris 1 orang, Wakil Sekretaris 4 orang, Bendahara 1 orang, Wakil Bendahara 1 orang, Bagian Pendidikan dan Kebudayaan 5 orang, Bagian Sosial, Ekonomi dan Keuangan 5 orang, Bagian Dakwah dan Penerangan 5 orang, serta Bagian Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi 5 orang (Lampiran SK Pengurus Wilayah NW Nusa Tenggara Barat, Nomor:69/Kpts/PWNWNTB/III/2010, Tanggal 14 Februari 2010). Jumlah tenaga da’i organisasi ini tidak diketahui secara pasti karena tidak ada pendataan secara resmi. Yang jelas, jumlah mereka ratusan tersebar di berbagai lembaga dakwah di bawah naungan Organisasi NW terutama Pondok Pesantren NW di Kota Mataram. Tidak ada pengkaderan secara khusus terhadap para tenaga dakwah. Sekalipun demikian, mereka di bidang pengasaan
94
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
pengetahuan agama relatif memadai, karena kebanyakan berlatar belakang pendidikan Ma’had Darul Qur’an wal Hadits NW induk di Pancor. Di Ma’had mereka selain diberi pelajaran pengamalan dan ilmu agama, juga dibekali pengetahuan tentang metode dakwah. Di antara mereka berlatar belakang pendidikan/alumni Timur Tengah antara lain Assholatiyah- Makkah, yakni tempat TGKH Muhammad Zainuddin/pendiri Organisasi NW menuntut ilmu pada masa mudanya. Dalam hal keanggotaan, Organisasi NW sebagai organisasi keagamaan mempunyai aturan tersendiri dalam keanggotaan. Sebagaimana disebutkan dalam Anggaan Dasar NW, ada dua macam anggota NW, yaitu anggota biasa dan anggota kehormatan. Anggota biasa adalah setiap orang Islam yang seasas dan setujuan dengan Organisasi NW dan bersedian memenuhi segala ketentuan organisasi. Sedangkan anggota kehormatan adalah setiap orang Islam yang mendukung dan berjasa kepada organisasi NW. Selain itu ada simpatisan, yakni setiap orang yang senang dan setuju dengan perjuangan NW. Di antara cara yang dilakukan untuk menarik calon anggota NW yaitu melalui jalur lembaga pendidikan dan pengajian-pengajian. Calon anggota dinyatakan sah sebagai anggota NW jika sudah didaftar dan mendapat Kartu Anggota yang ditanda-tangani oleh Pengurus Besar atau pengurus di bawah Pengurus Besar yang diberikan mandat untuk itu (TGH. Abd.Hayyi N & Mughni Sn, 2005:22-23). Jumlah anggota NW di Kota Mataram –dan di daerah lain- sejauh ini tidak teregistrasi secara tertib, sehingga tidak ada data secara akurat tentang jumlah mereka. Yang jelas, para anggota NW terwadahi dalam organisasi NW yang secara sruktural terkoordinasi dalam kepegurusan mulai dari tingkat Pengurus Ranting, Pengurus Anak Cabang, Pengurus Cabang hingga
95
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
Pengurus Besar. Jumlah mereka di Kota Mataram mencapai ribuan, belum termasuk simpatisan. Pendanaan Organisasi NW selain berasal dari uang pangkal dan iuran Anggota Biasa juga sumbangan dari para abiturien, para pencinta NW setiap HULTAH NW, Pemda Mataram dan sumbangan-sumbangan lain yang tidak mengikat. Untuk memperkokoh kedudukan organisasi baik di bidang ekonomi maupun ubudiyah, sekaligus untuk merealiasikan tujuan organisasi, NW memiliki amal usaha meliputi bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah. Dalam bidang pendidikan, NW mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai tingkat Taman Kanak-Kanak Islam, Madrasah, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi. Di bidang sosial dan ekonomi, mendirikan Panti Asuhan, Klinik Keluarga Sejahtera, Klinik Bersalin, Pos Kesehatan Pondok Pesantren dan Koperasi.
Aktivitas Dakwah Aktivitas Dakwah Nahdlatul Wathan (NW) Metode ataupun cara yang dipergunakan oleh para tenaga dakwah Organisasi NW bermacam-macam, yakni: billisan, bil hal dan bil-qalam. Dakwah billisan biasanya dilakukan oleh para da’i NW dalam bentuk ceramah di masjid-masjid, di dalam forum majelis taklim atau tempat-tempat pengajian lainnya; selain itu dilakukan pula lewat Radio Dakwah Syekh TGH Zainuddin. Dakwah bentuk ceramah juga dilakukan oleh para da’i/muballigh NW pada saat acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Dakwah bil-hal dilakukan melalui praktek-praktek ubudiyah dalam pendidikan agama kepada para murid/santri di lembaga pendidikan. Dakwah bil-qalam dilakukan oleh para da’i melalui jurnal berkala milik NW,
96
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
disebar-luaskan kepada anggota NW dan masyarakat pada umumnya melalui lemaga-lembaga pendidikan NW dan lembaga pendidikan/ keagamaan lain serta instansi-instansi Pemda Kota Mataram. Selain itu, di antara para da’i alumnus lembaga pendidikan NW mengisi jurnal di beberapa media cetak seperti: Lombok Pos, NTB Pos, Radar Lombok serta Media Pembaharuan (Lalu S.Hd,, Wawancara, Sept. 2011). Sasaran dakwah (mad’u) yang dilakukan NW melalui tiga metode dakwah di atas, tidak hanya tertuju kepada komunitas NW, tetapi kepada segenap umat Islam yang tertarik mendengarkan dakwah NW. Bahkan dakwah yang disampaikan melalui media radio dan media cetak, dapat menjangkau seluruh komunitas umat Islam di Kota Mataram, bahkan umat beragama lain. Dengan demikian jumlah mad’u NW tidak terbatas. Tentu saja prioritas utamanya adalah anggota NW. Materi yang disampaikan oleh para tenaga da’i beragam, mencakup berbagai ajaran Islam meliputi: aqidah, ibadah, muammalah, akhlaq dan sebagainya. Materi tentang kerukunan hidup beragama disampaikan sesuai konteks dan situasi. Teknik penyampaiannya tidak secara khusus, melainkan digabung dengan materi pokok dakwah. Rujukan materi dakwah para da’i pada dasarnya sama dengan yang dipergunakan oleh para da’i Nahdlatul Ulama (NU), antara lain: Tafsir Jalalain, Alfiyah, Ta’lim alMuta’ali, dan sebagainya. Sebagai organisasi keagamaan, NW terbilang sangat menghormati tokoh pendirinya yakni Syeikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang sekaligus sebagai tokoh rujukan. Adapun dalam aktivitas peribadatan, sebagaimana dituangkan dalam asas organisasi, maka NW merujuk kepada madzhab Imam as-Syafi’i. Dalam berdakwah, para da’i NW menyampaikan materi ajaran-ajaran agama secara santun, cenderung tidak eksklusif,
97
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
tidak ekstrim, tidak mencela orang yang pendapatnya berbeda, sehingga tidak menimbulkan efek konflik di kalangan umat Islam. Para da’i pada umunya menyikapi perbedaan faham keagamaan di kalangan umat Islam secara dewasa, bahwa perbedaan mereka sikapi sebagai rahmat. Hal ini sejalan dengan sikap Ahlus Sunnah terhadap “kesalahan” ulama atau orang lain, bahwa orang yang salah tidak perlu diikuti, namun kesalahan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mencelanya dan menjauhkan diri dari mereka (Syaikh ‘Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr, 2009:49).
B. Muhammadiyah Organisasi Muhammadiyah di Mataram dipimpin oleh sebuah kepengurusan daerah Kota Mataram dengan alamat kantor di Jl. Anyelir No. 2-4 Mataram. Sejarah keberadaannya di Kota Mataram bermula dari keberadaannya di Kabupaten Lombok Barat. Ketika itu wilayah Kota Mataram menjadi bagian dari wilayah Kabupatem Lombok Barat. Awal mula masuknya Muhammadiyah di Lombok Barat tidak terlepas dari peran seorang ustadz asal Klaten-Jawa Tengah, benama Umar Faroqi. Pada tahun 1930, ia didatangkan oleh Mekel Alimudin di Desa Lekok Lombok Barat untuk mengajar agama (sebagai guru Ngaji) Encik Siti Aminah, anak seorang saudagar kaya dan tuan tanah bernama Muhammad Ali asal Palembang yang telah lama menetap di Karang Tuban Desa Lekok, Lombok Barat. Kedatangan Umar Faroqi di Desa Lekok menggemparkan umat Islam setempat karena mengajarkan Islam yang berbeda dengan ajaran yang biasa diamalkan warga. Bahkan di antara warga ada yang menuduh Umar Faroqi membawa ajaran Wahabi. Namun Umar Faroqi dengan sabar menghadapi mereka. Setahun setelah tinggal di Desa Lekok, Umar Faroqi mendirikan Madrasah Ibtidaiyah di
98
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Kampung Tuban Desa Lekok. Ketika itu ia memiliki murid 20 anak dari Kampung Tuban termasuk Hj Encik Siti Aminah yang hingga kini masih hidup (91 tanun) dan kemudian berkembang ada murid-murid yang agak besar di antaranya dari Kampung Pagutan. Di antara para tokoh masyarkat Kampung Pagutan yang mengikuti ajaran Muhammadiyah ketika itu adalah: H. Sulaiman, Amaq Mu’min, Amaq Syafi’i dan Amaq Rakyah. Perjuangan mereka kemudian dilanjutkan oleh anak cucu mereka, di antaranya yaitu Drs. Subartono dan Johan Syamsu yang kini menjabat sebagai Sekda Lombok Utara. Perkembangan madrasah di Kampung Tuban tidak mulus, sering ada gangguan dari pihak lain maka atas inisiatif para tokoh di Kampung Pagutan, madrasah mereka pindahkan ke Kampung Pagutan Desa Lekok. Demikian keterangan Tafsif. Menurut Mahyun, setelah dua tahun madrasah berjalan, kolonial Belanda melarang keberadaan sekolah agama (madrasah) dengan alasan sulit dikontrol. Seluruh murid diperintahkan Belanda belajar di Sekolah Rakyat (SR) di Gondang yang dibangun Belanda Tahun 1920, namun anak-anak menolak. Kemudian Ustad Umar Faroqi Ampenan dan mengajar di Madrasah al-Irsyad di Kampung Melayu, Ampenan. Di situ Muhammadiyah berkembang pesat, bahkan murid-murid al-Irsyad tersebut menjadi cikal-bakal murid SMI Gomong di Mataram. Sekitar tahun 1950 an berdiri SMP Muhammadiyah Mataram. Para lulusannya yang bertempat tinggal menyebar di berbagai wilayah di Mataram dan sekitarnya, kemudian menyebar-luaskan ajaran Muhammadiyah di Mataram (Disarikan dari Naskah: Merajut Perjalanan Muhammadiyah Lombok Barat, PDM Lombok Barat, 2009:3-11). Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan mempunyai maksud dan tujuan, sekalipun perumusannya dapat
99
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
berubah-ubah, namun intisarinya tetap sama yaitu: menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tafsir dari rumusan tersebut yaitu, membangkitkan dan memelihara agama yang diberikan oleh Allah swt yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dalam al-Qur’an dan Sunnah sahih, berupa perintah dan larangan untuk kebaikan hamba-Nya di dunia dan akhirat, dan menanamkan rasa cinta dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya melebihi dari ajaran-ajaran yang lain (HA. Latief Malik, Sejarah Pergerakan Muhammadiyah di Sumbawa, 1993:48-49). Kepengurusan Muhammadiyah di tingkat kabupaten/kota disebut Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PMD). Untuk mengurus dakwah agama, di dalam kepengurusan Muhammadiyah terdapat Majelis Tabligh dan Dakwah mulai tingkat pusat sampai dengan tingkat cabang. Tentang jumlah tenaga dakwah, belum ada pendataan secara khusus. Tidak sedikit di antara para kader Muhammadiyah baik dari unsur IPM, IMM, guru di pendidikan Muhammadiyah maupun pengurus/Pimpinan Muhammadiyah yang berperan sebagai juru dakwah. Diproyeksikan jumlah mereka di Kota Mataram tidak kurang dari 100 orang. Sebagian besar tenaga dakwah berpendidikan pesantren dan perguruan tingi/sarjana agama. Sebagian kecil mereka tamatan Timur Tengah, dengan tingakat pendidikan S-2 dan S-3. Jumlah anggota Muhammadiyah di Kota Mataram diperkirakan sekitar 20.000 orang, Dari jumlah itu, terdapat sekitar 10.000 anggota aktif. Tidak semua anggota Muhammadiyah memiliki Kartu Anggota, termasuk para pengurus. Direncanakan mulai tahun 2011 ini akan diaktifkan kembali program Kartu
100
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Anggota tersebut. Pengkaderan anggota dilakukan, selain melalui pengajian-pengajian di masjid dan tempat-tempat lain, juga melalui pendidikan/sekolah Muhammadiyah dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Pendanaan organisasi diperoleh dari antara lain: infak anggota, infak dari para simpatisan, serta dari berbagai amal usaha Muhammadiyah. Di antara amal usaha dimaksud ialah: pendidikan termasuk Perguruan Tinggi, koperasi 4 buah, warung Kaki Lima 10 buah, kantin dan percetakan iklan.
Aktivitas Dakwah Organsasi Muhammadiyah Metode dakwah yang dilakukan oleh para da’i Muhammadiyah meliputi: billisan, biasanya dilakukan melalui ceramah di masjid-masjid dan di antaranya ada yang dari rumah ke rumah dan di televisi, seperti di Lombok TV dan TV 9 dengan mengisi dalam acara dialog mingguan dan bulanan; bil-hal, dilakukan melalui praktek di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, termasuk di Panti Asuhan milik Muhammadiyah; bil-qalam, dilakukan oleh para tenaga dakwah yang telah memiliki kemampuan/berprofesi menulis di media cetak seperti Lombok Pos. Untuk meningkatkan kemampuan menulis artikel bagi para anggota, diadakan pelatihan jurnalistik yang diselengarakan oleh Pemuda Muhammadiyah Mataram. Tidak ada program pengkaderan secara khusus terhadap para juru dakwah. Namun melalui koordinasi Pimpinan Muhammadiyah Daerah Mataram mereka di antaranya ada yang dikirim ke sekolah-sekolah/perguruan tinggi seperti di UMS Solo dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Kaliurang.
101
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
Di antara pesan-pesan yang disampaikan para da’i dalam ceramah mereka pada umumya selain penguatan keimanan, peningkatan pengamalan ajaran agama dan akhlak, juga memberikan penekanan kepada jamaah diajak untuk keluar dari belenggu kemanusiaan serta menghindari perbuatan yang mengarah kepada tahayul, bid’ah, dan khurafat. Pesan-pesan tentang kerukunan hidup beragama disampaikan para da’i secara kontekstual dalam dakwah mereka, baik melalui metode billisan maupun bil-qalam. Materi kerukunan beragama disampaikan dengan mengedepankan pluralitas, dan di bidang sosial mengusung issu kemiskinan, kesehatan serta SDM yang rendah. Kitab-kitab rujukan yang dipergunakan oleh para da’i Muhammadiyah beragam, antara lain: Tafsir Ibnu Katsir, Subulussalam, Shahih Bukhari-Muslim, Kutubus Sittah, Fathul Barry, Fathul Majid (tauhid), serta Keputusan Majlis Tarjih dan CD Maktabah Samilah. Ada sejumlah tokoh agama yang menjadi rujukan/idola para tokoh Muhammadiyah Mataram, antara lain: Muhammad Abduh, Muh. Rasyid Ridlo, Muh. Natsir, HAMKA, KH Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Kedua tokoh terakhir ini adalah murid KH Ahmad Khatib al-Munangkabawy). Untuk menunjang kegiatan dakwah billisan, Organisasi Muhammadiyah Mataram memiliki program siaran Radio yakni Radio Komunitas SMK. Sedangkan untuk dakwah bi-qalam memiliki Bulletin, yakni Bulletin Ulul Albab dan Lughotuna di Kampus, Bulletin Fas Tabiqul Khairat di Pimpinan Wilayah (PW), serta Bulletin Pemuda Muhammadiyah Mataram.
102
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
C. Kelompok Salafi Kata Salafi, merupakan nisbat dari kata “salaf” yang berarti orang-orang terdahulu, bermaksud mengikuti praktek ibadah yang dilakukan oleh para Ulama Salaf yakni para ulama pada jaman Nabi Muhammad saw. Kelompok Salafi tak mempunyai pemimpin secara struktural, tetapi mempunyai wadah. Di Kota Mataram, Salafi mempunyai wadah berupa Yayasan al-Khunafa’, beralamat di Jl. Soromandi, No. 1 Lawata, Kota Mataram. Tujuan Yayasan al-Khunafa’ dari sisi dakwah adalah: mengajak umat Islam kembali ke ajaran Rasulullah menurut Hadits shahih berdasarkan pemahaman Ulama-ulama Salaf. Intinya, mengajak ke arah kemurnian ajaran Islam (Johan Sp., dan Gun. Try, tokoh Salafi, Wawancara, Sept. 2011). Susunan Pengurus Yayasan al-Khunafa’ terdiri atas: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan beberapa Bidang. Jumlah pengurusnya tidak kurang dari 8 orang. Sejarah keberadaannya di Mataram, bahwa sebelum ada Yayasan al-Khunafa’ telah ada kegiatan dakwah Salafi sejak tahun 1995. Tokoh penggeraknya seorang pengusaha asal Lombok bernama H. Abdurrahman Nizam. Ajaran Salafi diperolehnya dari Ustadz Yazid Abdul Qodir Jawaz ketika berdakwah di Surabaya, serta Ustadz Mubarok alumni Universitas Madinah dan Ustadz Abd. Rahman at-Tamimi dari Surabaya. Dakwah di Mataram, mulamula dilakukan para ustadz tersebut dengan mengisi pengajian di Islamic Senter Cakranegara dan Masjid Raya pada tahun 1995. Timbullah inisiatif dari 5 orang yakni: Ustadz Khalid Bawazir, Abd. Rahman Izam, Moh. Izam, Umar Zuber, (keempatnya pengusaha di Mataram) dan Ustadz Fauzi Ath-har (alumnus Mekah), mereka sepakat untuk membentuk sebuah yayasan yang bergerak di bidang dakwah dan sosial. Ciri dakwahnya yaitu; mengembalikan
103
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
cara beragama seperti pada jaman sahabat saerta memberantas tahayul, bid’ah dan khurafat (TBC). Di bidang pendidikan, Yayasan al-Khunafa’ memiliki lembaga pendidikan mulai Sekolah Dasar (SD) s/d SMA dan Madrasah Aliyah. Di bidang sosial, pihak Yayasan al-Khunafa’ Salafi memberikan bea siswa kepada murid-murid yang tergolong ekonomi lemah. Sekitar 10 % dari seluruh murid (799 siswa) mendapat bea siswa. Jumlah anggota kelompok Salafi tidak terdata secara konkrit, apalagi pemberian Kartu Anggota. Namun menurut Pengurus Yayasan, diperkirakan jumlah anggota pengurus inti yang terdiri atas Pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan/pondok sekitar 150 orang, ditambah 799 murid si sekolah milik Salafi. Masyarakat yang mengikuti pengajian Salafi diproyeksikan sebagai simpatisan Salafi, yang jumlahnya sekitar 1.000 orang. Dalam rekruitmen anggota tidak ada cara khusus, kecuali hanya melalui tabligh secara terbuka. Tenaga da’i Salafi terkonsentrasi di lembaga pendidikan Salafi/pondok pesantren. Jumlah mereka sekitar 17 orang. Sealain aktif mengajar di lembaga pendidikan Salafi di Mataram, mereka menjadi khotib di masjid Islamic Center/ Masjid Aisah Cakranegara dan beberapa masjid lain. Selain itu mengisi ceramah rutin Bintal Prajurit di Polda dan di Kantor Gubernur setiap Jum’at pagi, berupa pengajian Imtak. Profil tenaga da’i, sebagian besar tamatan Pondok Pesantren Salafi, Pondok Pesantren al-Furqon –Jawa Timur, alumni Pondok Gontor dan Pondok Bangil. Di antara mereka (5 orang) tamatan Timur Tengah. Dana operasional yayasan diperoleh antara lain dari SPP murid/santri, bantuan pemerintah (BOS), sumbangan orang tua
104
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
murid/santri dan para simpatisan. Sebagai contoh, bangunan Pondok Putra (SD s/d SMA) adalah sumbangan jamaah Masjid Ibnu Taimiya Kuwait pada tahun 2010 melalui Yayasan Lajnah alKhairiyah di Jakarta. Sedangkan bangunan Pondok Putri sumbangan dari Mantan Menteri Dalam Negeri Kuwait pada tahun 2005, juga melalui yayasan di atas. Sumbangan diberikan atas permohonan dari Yayasan Lajnah al-Khairiyah. Selain itu pihak Yayasan al-Khunafa’ dalam menggalang dana memiliki usaha berupa toko buku, kantin dan apotek (Ust. Hasby., Ust.Bahrd., Ust. Zahd. Dan Abu. Kin., Wawancara, Sept. 2011).
Aktivitas Dakwah Kelompok Salafi Dalam berdakwah, kelompok Salafi berpegang kepada Enam Pilar Dakwah Salafiyah, yakni: (i) Mengikhlaskan agama kepada Allah swt., (ii) Jalan menuju Allah swt. hanya satu, (iii) Mengikuti al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih, (iv) Menggapai kemuliaan dengan Ilmu, (v) Membantah orang yang menyelisihi (al-haq) adalah bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar, dan (vi) Tashfiyah dan tarbiyah (‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, 2009:33-253). Metode yang dipergunakan para da’i dalam berdakwah meliputi: billisan yakni khutbah dan pengajian di masjid-masjid, muhadloroh atau ceramah dalam acara seperti pernikahan dan di Kantor Pemda; bil-qalam yakni melalui bulletin dakwah di sebar di masjid-masjid setiap hari Jum’at, seperti Bulletin Dakwah “alHujjah” vol: 054/Thn.XI/Dzulqo’dah-1432 H dengan judul “Agungnya Istihgatsah Pada Allah, Menyibak Tirai Samar Praktek Kesyirikan” oleh Ust. Abdulla Taslim, Lc, MA, yang disebar di Masjid BKKBN Provinsi NTB Mataram pada hari Jum’at bulan September 2011. Selain itu melalui buku-buku yang dijual di Toko-toko Buku,
105
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
seperti: Buku “Mengagungkan Sunnah” dan Buku “Lima Prinsip Pokok Aqidah”; dan bil-hal yang dilakukan melalui contoh berpakaian, bermuammalah dan beribadah serta pengamalan ajaran agama berdasarkan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. sesuai pengamalan pada masa Nabi dan Sahabat. Kitab-kitab rujukan yang dipergunakani sebagai bahan materi dakwah antara lain: Sarah Shahih Bukhari karangan Ibnu Hajar al-Atsqalani, Sarah Shahih Muslim karangan Imam Nawawi (Kutubus-Sittah). Dalam menyikapi Imam Madzhab, Salafi tidak berpegang kepada salah satu madzhab. Dalam bermadzhab, mengambil Imam Madzhab yang paling rajih. Pesan-pesan yang disampaikan dalam dakwah antara lain: pentingnya menuntut ilmu agar tak ikut-ikutan, bertauhid yang benar agar tak syirik, beribadah yang benar dan mengajak mengamalkan sunnah Nabi agar tak bid’ah, himbauan meninggalkan bid’ah, pentingnya berakhlak mulia, bermu’ammalah dengan sesama secara baik termasuk hidup yang rukun, penyucian jiwa melalui al-Qur’an dan Hadits, serta tentang kewajiban salat berjamaah. Kelompok Salafi termasuk para da’i Salafi, dalam mengkaji dan mendakwahkan ajaran-ajaran Islam terlebih masalah akidah, ada beberapa kaidah penting yang harus dipedomani, antara lain: al-Qur’an sebagai sumber dalil naqli dan akli, dalam menafsirkan nash-nash harus mengikuti Salafus Shalih, menolak takwil, membatasi akal dari memikirkan perkara yang bukan bidangnya, mengambil qiyas aula dalam mengisbat dan menafikan hak Allah swt., membatasi makna mutasyabih dan menjelaskan bahwa seluruh ayat-ayat al-Qur’an jelas dan dapat ditafsiri, tak boleh mengkafirkan seorang muslim karena perbuatan dosa yang diikhtilafkan dan bukan dosa syirik besar karena kesalahan (Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, 1995:158-184).
106
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Untuk meningkatkan kemampuan para da’i, tidak ada pengkaderan secara khusus. Apabila di antara santri ada yang terlihat berbakat, disarankan dan disalurkan meneruskan pendidikan ke Libia Jakarta yakni perwakilan dari Riyad.
107
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
108
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Potensi Konflik Ketiga organisasi atau kelompok keagamaan yakni Nahdlatul Wathan (NW), Muhammadiyah maupun Salafi, secara umum sama-sama mempunyai tujuan yang hampir sama dalam berdakwah, yakni penguatan dan peningkatan iman serta peningkatan pengamalan ajaran agama. Namun sebagai organisasi dan kelompok keagamaan, masing-masing memiliki tujuan spesifik yang membedakan antara satu dengan yang lain. Di samping itu dalam mengaplikasikan ajaran agama, masingmasing organisasi atau kelompok keagamaan memiliki ciri pengamalan keagamaan yang cenderung berbeda antara satu dengan yang lain akibat adanya perbedaan dalam menginterpretasi teks-teks ajaran sekalipun dari sumber teks yang sama. Perbedaan interpretasi ajaran agama itu rentan bagi timbulnya konflik di kalangan organisasi keagamaan di atas. Secara spesifik, organisasi Nahdlatul Wathan mempunyai tujuan “meninggikan kalimatullah, kejayaan Islam dan kaum muslimin serta keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia dan
109
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
akherat”. Organisasi Muhammadiyah mempunyai tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Sedangkan Salafi mempunyai tujuan “mengajak umat Islam kembali ke ajaran Rasulullah menurut Hadits shahih berdasarkan pemahaman ulama salaf”. Intinya pemurnian ajaran Islam. Untuk mencapai tujuan di atas, memang masing-masing organisasi atau kelompok keagamaan menggunakan bentuk dan pola berdakwah yang cenderung sama, yaitu melalui media ceramah, media cetak dan melalui lembaga pendidikan yang mereka miliki; namun materi dakwah yang disampaikan cenderung mengacu kepada tujuan dan missi masing-masing organisasi, sehingga memungkinkan terjadi benturan kepentingan akibat perbedaan tujuan spesifik di atas yang dapat memicu timbulnya konflik antar organisasi atau kelompok keagamaan. Organisasi Muhamadiyah dalam upaya mengajak umat Islam untuk menegakkan ajaran Islam dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya misalnya, di antara para da’inya yang tidak dapat memisahkan antara ajaran agama dengan aspek kultural maka menganggap bahwa acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) tidak perlu, demikian pula acara tahlilan. Karenanya dalam berdakwah ia akan mengatakan hal demikian dengan alasan tidak ada dasar perintahnya dalam Islam. Praktek dakwah demikian dimungkinkan akan mengundang konflik dengan kelompok agama yang biasa mengadakan acara PHBI dan tahlilan. Kelompok Salafi yang cenderung lebih tegas dalam mendakwahkan pemurnian ajaran Islam, praktek-praktek PHBI dan tahlilan di atas jelas termasuk agenda yang ingin mereka berantas. Apabila upaya pemberantasannya tidak mereka lakukan secara santun dan arif maka dapat memicu timbulnya konflik di kalangan organisasi keagamaan.
110
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Kemungkinan faktor konflik yang lain, menurut penuturan beberapa pimpinan organisasi keagamaan ada semacam “kekhawatiran” di kalangan sementara para “tokoh/pemuka agama” Islam tertentu akan kehilangan massa pengikut apabila di antara pengikutnya pada umumnya dari kalangan muda tertarik dengan kelompok keagamaan lain (konfersi organisasi keagamaan). Kondisi demikian jika berkembang dan terjadi eskalasi, dapat menimbulkan konflik. Di antara masjid-masjid di Kota Mataram ada yang pengisian kegiatan peribadatannya dipercayakan kepada kelompok keagamaan tertentu dengan maksud untuk memakmurkan masjid. Sementara itu para unsur pengurus masjid tersebut bukan berasal dari/anggota kelompok keagamaan di atas. Hal ini sebagaimana dialami oleh Masjid al-Ikhlas milik Dinas Kesehatan Kota Mataram, yang kegiatan peribadatan di masjid tersebut pengelolaannya dipercayakan kepada unsur yang kebetulan kelompok Salafi. Akibatnya aktivitas-aktivitas keagamaan di masjid tersebut cenderung bernuansa Salafi. Di antara kegiatan keagamaannya, setiap Selasa sore seminggu sekali ada pengajian oleh tenaga da’i /ustadz dari Salafi. Imam salat termasuk salat Jum’at berikut khatibnya juga dari unsur Salafi (Sahln, Tokoh masyarakat, Wawancara, Sept. 2011). Kondisi seperti ini dapat meresahkan tokoh dan anggota organisasi keagamaan lain yang berdomisili di lingkungan masjid tersebut sehingga dapat memicu kemungkinan timbulnya konflik di kalangan organisasi keagamaan. Terdapatnya para murid/santri yang belajar di lembagalembaga pendidikan milik organisasi/kelompok keagamaan lain, sekalipun dari satu sisi menunjukkan adanya kebersamaan, namun di sisi lain dapat memicu konflik jika ada upaya penanaman ajaran keagamaan melalui forum pendidikan di lembaga pendidikan
111
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
tersebut yang murid/santri.
tidak
sejalan
dengan
faham
keagamaan
Keberadaan Kelompok Salafi yang diduga mendapat dukungan berupa “dana operasional” dari pihak “luar” sekalipun perorangan yakni dari Kuwait, menjadikan kelompok keagamaan yang eksistensinya di Kota Mataram relatif tidak besar ini terlihat lambat-laun semakin berkembang. Sebagai kelompok keagamaan yang relatif masih muda usianya di Kota Mataram dibanding dengan Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah keberadaan Kelompok Salafi setidaknya dapat menimbulkan rasa “kurang bahkan tidak nyaman” bagi para tokoh organisasi keagamaan lain terkait dengan pengaruhnya dalam masyarakat. Ketidaknyamanan demikian apabila memuncak menjadi ketidak-sukaan, kebencian dan bahkan ancaman, dapat menimbulkan konflik antar kelompok keagamaan. Dari beberapa kondisi yang memungkinkan timbulnya konflik antar organisasi/kelompok keagamaan di atas, menggambarkan bahwa sekalipun selama ini terlihat nyaris belum pernah terjadi konflik namun sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah berupa konflik laten, yang jika tidak disikapi dan diantisipasi secara dini bukan mustahil akan dapat menimbulkan konflik manifes.
Potensi Integrasi Ada beberapa aktivitas dan perilaku dakwah di kalangan organisasi/kelompok keagamaan di atas yang mengindikasikan adanya potensi integrasi di kalangan mereka. Beberapa indikasi dimaksud misalnya tidak adanya dakwah yang cenderung eksklusif, radikal dan upaya-upaya pemaksaan kehendak untuk mengikuti ajaran atau pemahaman
112
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
organisasi/kelompok keagamaan tertentu, serta adanya kebersamaan di bidang pendidikan. Sementara itu, sikap dan perilaku unsur aparat Pemda termasuk Kepolisian yang menunjukkan rasa kebersamaan terhadap organisasi keagamaan yang ada, juga dapat menjadi potensi integrasi. Tidak adanya organisasi/kelompok keagamaan yang eksklusif dalam kegiatan dakwah, menjadikan setiap kegiatan dakwah yang diadakan baik oleh Organisasi Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah maupun Kelompok Salafi dapat diikuti oleh semua unsur organisasi keagamaan dan itulah kenyataan kegiatan dakwah di Kota Mataram. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing organisasi keagamaan di atas memiliki masjidmasjid sebagai basis tempat peribadatan dan sentra kegiatan dakwah bagi para anggotanya. Namun karena terbuka untuk umum maka anggota organisasi keagamaan lain dapat mengikutinya sebagai simpatisan. Selain itu, terdapatnya Masjid Raya Kota Mataram secara tidak langsung dapat menjadi simbol kebersamaan dakwah di kalangan organisasi keagamaan, karena selain para pengurusnya terdiri atas berbagai unsur organisasi keagamaan seperti: NU, NW dan Muhammadiyah, jamaahnya juga terdiri dari berbagai unsur organisasi keagamaan. Demikian pula para khatib dan imamnya. Bahkan pada setiap bulan Ramadlan, penyelenggaraan salat tarawihnya pun akomodatif, terdiri atas jamaah yang mengikuti faham 8 rakaat dan yang mengikiti faham 20 rakaat. Di bidang pendidikan, murid-murid/santri di lembagalembaga pendidikan milik NW, Muhammadiyah, maupun Salafi tidak hanya terdiri atas murid/santri dari kalangan organisasi yang bersangkutan. Anak-anak dari kalangan organisasi keagamaan lain dapat sekolah di lembaga pendidikan milik NW, Muhammadiyah maupun Salafi. Hanya saja masing-masing lembaga pendidikan
113
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
belum memprogramkan adanya tenaga guru/ustadz dari unsur organisasi keagamaan lain yang diterima untuk mengajar. Sikap dan kebijakan Pejabat Pemda (Gubernur) dan pihak kepolisian (Polda) yang akomodatif terhadap Kelompok Salafi dengan mengikutsertakan para tenaga dakwahnya untuk mengisi pengajian Imtak setiap Jum’at pagi (oleh Pemda Mataram) dan mengisi Bintal kepada anggota polisi (oleh Polda), menunjukkan upaya pembauran sekaligus kebersamaan dengan organisasi keagamaan yang ada. Sikap sementara kalangan umat Islam yang tergabung dalam berbagai organisasi keagamaan dan para tokoh agama yang cukup toleran akibat kedewasaan mereka dalam menyikapi perbedaan faham keagamaan dan pengaruh budaya/kearifan lokal “besiru” yakni saling membantu, menolong, kebersamaan ikut memberikan kontribusi bagi terciptanya suasana yang integratif di kalangan organisasi keagamaan.
Hubungan Antarorganisasi Keagamaan dalam Memelihara Kerukunan Dalam kehidupan sosial keagamaan, terdapat hubunganhubungan antara ketiga organisasi atau kelompok keagamaan yakni Nahdlatul Wathan (NW), Muhammadiyah dan Salafi baik secara formal maupun informal. Hubungan yang bersifat formal dan informal antar organisasi atau kelompok keagamaan tersebut setidaknya berpengaruh bagi penciptaan hubungan yang kondusif dan harmonis dalam upaya pemeliharaan kerukunan di kalangan organisasi keagamaan di atas. Di antara hubungan formal yang tercipta misalnya menghadiri undangan dalam acara resmi yang diadakan
114
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
organisasi keagamaan seperti: peringatan hari lahir organisasi dan acara hala bi halal. Tradisi mengundang dalam acara-acara di atas biasanya dilakukan oleh Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah. Selain itu, undangan untuk menghadiri acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Acara yang biasa dilakukan oleh Nahdlatul Wathan ini selain mengundang unsur Pengurus dan anggota Nahdlatul Wathan serta unsur pejabat Pemda setempat, juga mengundang unsur pimpinan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Salafi. Adapun hubungan informal yang terjadi adalah lebih bersifat perorangan dan tidak dikoordinir oleh pengurus organisasi. Sekalipun hubungan yang terjadi lebih bersifat perorangan antar anggota organisasi keagamaan, namun cukup signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap jalinan kerukunan antar anggota organisasi keagamaan yang pada gilirannya berdampak positif bagi hubungan yang harmonis antar organisasi keagamaan yang bersangkutan. Hubungan bersifat perorangan ini terjadi akibat adanya hubungan kekerabatan, persahabatan atau pertemanan. Bentuk hubungan yang terjadi biasanya ketika menghadiri acara yang berkaitan dengan silkus hidup seperti: kelahiran, perkawinan, khitanan, kematian, serta menjenguk orang sakit. Ada pula hubungan yang terjadi antara organisasi keagamaan dengan unsur anggota organisasi keagamaan lainnya. Hubungan yang terjadi misalnya (secara perorangan) menghadiri acara pengajian atau dakwah yang diselenggarakan oleh kelompok organisasi keagamaan lain, atau menjadi murid sekolah di lembaga pendidikan milik yayasan pendidikan organisasi keagamaan lain. Di Kota Mataram, merupakan hal biasa anak seorang anggota Nahdlatul Wathan sekolah di lembaga pendidikan milik Yayasan Pendidikan Muhammadiyah ataupun
115
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
Yayasan Pendidikan milik Salafi. Demikian pula, anak seorang anggota Muhammadiyah sekolah di lembaga pendidikan milik Yayasan Pendidikan Nahdlatul Wathan ataupun Yayasan Pendidikan milik Salafi. Dengan demikian terbina hubungan yang kondusif antara anak murid berikut orang tuanya dengan organisasi keagamaan yang memiliki yayasan pendidikan tersebut, yang pada gilirannya dapat merajut kerukunan antar organisasi keagamaan, dalam hal ini Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi.
116
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Ditinjau dari segi tujuan, ketiga organisasi keagamaan yakni Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi, masingmasing memiliki tujuan yang relatif tidak sama. Tujuan Organisasi Nahdlatul Wathan adalah meninggikan kalimatullah demi kejayaan Islam dan kaum, serta keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut para anggota Nahdlatul Wathan mengamalkan ajaran agama sesuai sesuai interpretasi dan pemahaman keagamaan yang dianut oleh para pemimpin mereka yang bertumpu kepada asas organisasi yaitu “Islam Ahlussunnah wal Jama’ah ala Madzhabil Imamisy Syafi’i r.a”. Pemahaman keagamaan dan asas demikian menghasilkanan praktek keagamaan para anggota Nahdlatul Wathan yang cenderung terdapat sisi-sisi yang berbeda dengan dua organisasi atau kelompok keagamaan lainnya, yakni Muhammadiyah dan Salafi. Sementara itu Organisasi Muhammadiyah mempunyai tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarbenarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut Muhammadiyah mengajak umat Islam terutama para anggotanya untuk mengamalkan ajaran Islam sesuai yang dicontohkan Nabi
117
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
Muhammad saw. dengan mengusung ajakan kepada umat Islam untuk tidak mempercayai tahayul, melakukan bid’ah dan khurafat dalam dakwahnya. Dalam konteks ini, Muhammadiyah manganggap masih ada kalangan umat Islam yang dalam pengamalan ajaran agama di antaranya masih terkontaminasi dengan perbuatan yang tergolong syirik, bid’ah dan khurafat. Kelompok Salafi mempunyai tujuan tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah, yaitu mengajak umat Islam kembali ke ajaran Rasulullah saw. menurut Hadits Shahih berdasarkan pemahaman ulama salaf. Dapat dikatakan, misi utamanya antara lain mengajak kepada pemurnian ajaran Islam. Karena itu maka ada tokoh agama yang mengatakan bahwa Kelompok Salafi adalah Muhammadiyah yang ekstrem. Menyimak bahwa adanya penekanan-penekanan tertentu dalam merumuskan tujuan organisasi oleh tiga organisasi keagamaan di atas terutama antara Nahdlatul Wathan dengan Muhammadiyah dan Salafi yang tentu saja memberikan dampak terhadap misi dakwah mereka, logis kiranya apabila terjadi persinggungan kalaupun tidak disebut “perbedaan” dalam pengamalan ajaran agama serta materi dakwah yang disampaikan. Keadaan demikian jelas rentan bagi timbulnya konflik di kalangan organisasi keagamaan. Namun kenyataan menunjukkan, hubungan antara ketiga organisasi keagamaan di atas sejauh ini di Kota Mataram terkesan kondusif. Ketiga organisasi keagamaan terlihat rukun. Perbedaan pengamalan aspek tertentu ajaran agama antara anggota Nahdlatul Wathan dengan Muhammadiyah dan bahkan Salafi, ternyata tidak dibawa ke ranah dakwah yang frontal oleh masing-masing kelompok agama. Tidak adanya unsur pemaksaan untuk mengikuti suatu faham keagamaan, tidak adanya klaim-klaim yang mengarah kepada sikap merasa paling benar dan yang lain salah, tata cara berdakwah yang disampaikan
118
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
secara santun dan tidak mendiskreditkan organisasi keagamaan yang lain, serta sikap dewasa dalam menghadapi perbedaan pengamalan ajaran agama, rupanya menjadi kunci utama hubungan antara ketiga organisasi keagamaan di atas kondusif. Jelasnya, sikap integratif dan kompromis dalam berdakwah yang ditampilkan oleh ketiga organisasi atau kelompok keagamaan, menjadikan ketiga organisasi keagamaan tersebut relatif rukunrukun saja. Sikap Organisasi Muhammadiyah yang cenderung kompromis dalam arti tidak menjelek-jelekkan dan memilih diam dalam menghadapi perbedaan dengan Nahdlatul Wathan, dan demikian juga Nahdlatul Wathan dalam menyikapi perbedaan dengan Muhammadiyah. Sikap demikian menjadikan hubungan mereka kondusif. Posisi Muhammadiyah dan apalagi Salafi yang dari segi jumlah anggota relatif kecil dibanding dengan Nahdlatul Wathan yang jumlah anggotanya mayoritas di Kota Mataram bahkan di seluruh Nusa Tenggara Barat (NTB), kiranya menjadikan Muhammadiyah dan Kelompok Salafi lebih bersikap “lunak” dalam arti tidak larut dalam faham keagamaan Nahdlatul Wathan. Kelompok Salafi yang dalam tataran amaliyah keagamaan semestinya lebih tegas menyuarakan pemberantasan perilaku tahayul, bid’ah dan khurafat dalam kegiatan dakwahnya, ternyata juga tidak terlalu menunjukkan sikap yang frontal. Agaknya pengalaman kasus Sekotong – Lombok Barat pada masa yang lalu yakni sekitar tahun 2004-an sekalipun masalah mendasarnya lebih pada persoalan politik menjadikan kelompok keagamaan ini lebih berhati-hati dalam berdakwah menyebarluaskan faham keagamaannya. Selain itu, terdapatnya sejumlah anak-anak dari unsur anggota Nahdlatul Wathan yang belajar di lembaga pendidikan milik Yayasan Pendidikan Salafi, secara sosial menimbulkan jalinan hubungan yang kodusif antara kelompok
119
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
organisasi keagamaan tersebut. Demikian pula antara Nahdlatul Wathan dengan Muhammadiyah. Kerjasama di bidang pendidikan ini sekalipun tidak secara formal dijalin oleh kedua organisasi keagamaan namun memberikan kontribusi bagi kerukunan di kalangan organisasi keagamaan. Sekalipun kondisi kerukunan di kalangan organisasi keagamaan di atas terlihat kondusif dan terjadi suasana yang integratif, namun bukan berarti bahwa di antara ketiga organisasi dan kelompok keagamaan tersebut tidak menyimpan potensi konflik. Keberadaan tiga organisasi atau kelompok keagamaan berikut anggotanya masing-masing itu sendiri pada dasarnya sudah mengindikasikan adanya perbedaan yang potesial bagi timbulnya konflik. Terdapatnya perbedaan tujuan masing-masing organisasi keagamaan yang secara praktis berbeda dalam misi dan materi dakwah, juga potensial bagi kemungkinan timbulnya konflik. Belum lagi terdapatnya perbedaan dalam hal pendanaan. Kelompok Salafi yang dana pembangunan gedung Pondok Putra dan Pondok Putri berasal dari sumbangan Kuwait, sedikit banyak dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi organisasi keagamaan lain dalam hal ini Muhammadiyah dan Nahdlatul Wathan- karena sumbangan seperti itu tidak mereka peroleh. Dengan bentuk bantuan “dari luar” seperti itu dapat menjadikan Kelompok Salafi di Mataram semakin berkembang, yang pada mulanya merupakan kelompok keagamaan yang kecil dari segi jumlah anggota. Perbedaan-perbedaan demikian, sudah barang tentu menyimpan potensi konflik yang apabila tidak diantisipasi secara dini melalui kegiatan-kegiatan yang dapat memelihara dan menjalin kebersamaan serta mengembangkan sikap saling menghormati dan toleransi antar ketiga organisasi dan kelompok keagamaan di atas, bukan tidak mungkin timbul konflik di kalangan mereka. Oleh karena itu maka tidaklah keliru jika
120
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
dikatakan bahwa kondisi integratif dalam kehidupan keagamaan yang tercipta dengan situasi rukun di kalangan ketiga organisasi keagamaan di Kota Mataram di atas sesungguhnya tidak lebih dari “kerukunan yang bersifat sementara” yang tidak dilandasi oleh fondasi yang kuat. Dengan demikian, kondisi kerukunan yang tercipta adalah “kerukunan semu” atau secara ekstrem berada dalam kondisi “konflik laten”.
121
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
122
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan berikut: 1)
Profil gerakan dakwah di kalangan Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi pada dasarnya tidak jauh berbeda, baik dari segi keorganisasian maupun aktivitas dakwahnya.
2)
Dari segi keorganisasian, masing-masing memiliki pimpinan termasuk bidang dakwah yang tergabung dalam suatu kepengurusan, bertugas menjalankan kegiatan-kegiatan organisasi. Hanya saja, bentuk kepengurusan dalam organisasi Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah sacara terstruktur ada mulai tingkat pusat sampai tingkat daerah kecamatan/desa. Sedangkan kepengurusan Salafi tidak berupa organisasi, hanya berupa wadah berbentuk yayasan dan tidak terstruktur, tidak mempunyai pemimpin pusat.
3)
Dari segi tujuan, pada prinsipnya sama yakni sama-sama ingin meninggikan dan menegakkan Islam dengan pengamalan ajaran-ajaran agama oleh para anggotanya untuk kebahagiaan dunia dan akherat. Namun dalam aktualisasi ajaran agama, masing-masing organisasi/kelompok
123
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
keagamaan mempunyai penekanan-penekanan dalam aspek tertentu sehingga menimbulkan adanya ruang perbedaan di kalangan mereka dalam pengamalan dan prakek ubudiyah tertentu. 4)
Dari segi keanggotaan, Nahdlatul Wathan (NW) memiliki anggota jauh lebih besar dibanding dengan Muhammadiyah dan Salafi. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Kota Mataram dan NTB pada umumnya, anggota NW tersebar di berbagai kecamatan. Tidak ada data konkrit jumlah anggota masing-masing organisasi/kelompok keagamaan.
5)
Dari segi tenaga dakwah, masing-masing organisasi/lembaga keagamaan tidak ada program pengkaderan secara khusus, namun para da’i mereka cukup profesional dengan mengetahuan agama yang cukup. Sebagian besar tenaga dakwah mereka tamatan pondok pesantren, sebagian tamatan perguruan tinggi agama dan bahkan beberapa orang tamatan dari Timur-Tengah.
6)
Di bidang aktivitas dakwah, para da’i masing-masing organisasi/ kelompok keagamaan menggunakan metode yang sama dalam berdakwah, yakni: billisan, bil-hal dan bilqalam. Tidak ada kegiatan dakwah yang dilakukan secara tertutup (eksklusif) oleh masing-masing organisasi keagamaan. Untuk media dakwah bil-qalam, masing-masing organisasi/lembaga keagamaan memiliki bulltin dakwah; selain itu ada sebagian para da’i yang mengisi artikel dakwahnya di media massa/surat kabar daerah Mataram. Untuk dakwah billisan, di samping dilakukan di masjid-masjid dan sentra kegiatan dakwah masing-masing, juga dilakukan melalui stasiun radio dakwah yang mereka miliki seperti yang dilakukan oleh Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah. Ada pula di antara para da’i yang menyampaikan dakwahnya
124
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
lewat pesawat televisi daerah Kota Mataram. Untuk dakwah bil-hal, para da’i yang juga berprofesi sebagai guru/ustadz melakukannya melalui lembaga pendidikan miliki masingmasing organisasi/lembaga keagamaan, disamping melalui amalan berupa perbuatan untuk dicontoh oleh orang lain. 7)
Materi dakwah yang disampaikan di antaranya penguatan keimanan, tentang muammalah dan akhlak, serta peningkatan pengamalan ajaran agama sesuai pemahaman keagamaan masing-masing organisasi/kelompok keagamaan. Pesan-pesan tentang kerukunan disampaikan para da’i diselasela ceramah yang materi ceramah/dakwahnya relefan dengan masalah kerukunan. Adapun kitab keagamaan yang dipakai rujukan oleh para da’i beragam. Pada umumnya kitab –kitab klasik karangan para ulama masa lalu.
8)
Kegiatan dakwah yang dilakukan oleh ketiga organisasi/ kelompok keagamaan, ada potensi-potensi konflik dan potensi integrasi.
9)
Di antara potensi konflik dimaksud yaitu: (i) Adanya spesifikasi tujuan yang dimiliki masing-masing orgnisasi/kelompok keagamaan dan masing-masing kelompok keagamaan memiliki ciri pengamalan ajaran keagamaan yang cenderung berbeda dengan kelompok keagamaan lain. Perbedaan tersebut rentan terhadap timbulnya konflik antar organisasi/kelompok keagamaan; (ii) Materi dakwah yang disampaikan oleh para d ‘i cenderung lebih mengacu kepada tujuan spesifik masing-masing organisasi/kelompok keagamaan, sehingga memungkinkan terjadi benturan materi dakwah sehubungan adanya perbedaan kepentingan yang pada gilirannya memungkinkan timbulnya konflik di kalangan organisasi/kelompok keagamaan; (iii) Adanya semacam “kekhawatiran” dari sementara kalangan
125
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
“tokoh/pemuka agama” tertentu akan kehilangan massa pengikut apabila di antara pengikutnya yang pada umumnya terdiri atas kaum muda tertarik mengikuti kelompok keagamaan lain (konfersi organisasi keagamaan). Perasaan khawatir ini jika berkembang dan memuncak/terjadi eskalasi, maka dapat menimbulkan konflik di kalangan organisasi/kelompok keagamaan; (iv) Di antara masjid di Kota Mataram ada yang pengelolaan kegiatan keagamaannya dipercayakan kepada kelompok keagamaan tertentu untuk memakmurkan masjid yang bersangkutan. Akibatnya kegiatan peribadatan dan aktivitas keagamaan di masjid itu diwarnai oleh faham keagamaan pengelolanya. Sementara itu unsur pengurus dan jamaah sekitar masjid terdiri atas orangorang yang bukan pengikut kelompok keaagamaan tertentu tersebut. Sekalipun hingga saat sekarang belum pernah ada keberatan dari pihak pengurus masjid maupun jamaah sekitar, namun kondisi demikian pada suatu saat dapat meresahkan jamaah sekitar masjid yang kebetulan tidak sefaham dengan pengelola masjid sehingga dapat memicu timbunya konflik di kalangan internal umat Islam; (v) Terdapatnya anak-anak dari organisasi/kelompok keagamaan tertentu yang belajar di lembaga pendidikan milik kelompok keagamaan lain, apabila dipengaruhi untuk mengikuti faham keagamaan yang dianut oleh organisasi/kelompok keagamaan lembaga pendidikan tersebut maka dapat memicu timbulnya konflik di kalangan organisasi/kelompok keagamaan. 10) Potensi integrasi atau kerukunan di antaranya yaitu: (i) Tidak adanya praktek dakwah yang eksklusif, radikal, yang mengarah kepada pemaksaan dari organisasi/kelompok keagamaan tertentu untuk mengikuti faham keagamaan
126
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
mereka; (ii) Adanya masjid yaitu Masjid Raya Kota Mataram yang menjadi simbol kebersamaan dalam beribadah di kalangan umat Islam. Unsur pengurus dan jamaah masjid ini terdiri atas berbagai unsur organisasi/kelompok keagamaan yang ada di Kota Mataram dan mengakomodasikan faham keagamaan yang berbeda di kalangan umat Islam; (iii) Adanya kebersamaan di bidang pendidikan dan sosial di kalangan organisasi/kelompok keagamaan; (iv) Sikap Pemda Kota Mataram yang melibatkan secara bersama unsur organisasi/kelompok keagamaan yang ada di wilayahnya dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan; dan (v) Sikap toleran, saling menghargai dan saling menghormati di kalangan umat Islam yang berbeda organisasi/lembaga keagamaan. 11) Upaya-upaya yang dilakukan oleh ketiga organisasi/kelompok keagamaan untuk pemeliharaan kerukunan: 12) Pada dasarnya tidak terlihat ada indikasi dari ketiga organisasi/kelompok keagamaan yang secara proaktif berupaya untuk pemeliharaan kerukunan di kalangan mereka. Namun ada beberapa kegiatan keagamaan dan sosial yang secara tidak langsung dapat menimbulkan penguatan hubungan untuk menciptakan kerukunan. Kegiatan dimaksud antara lain: (a) Adanya kebersamaan di bidang pendidikan di kalangan organisasi/kelompok keagamaan; (b) Adanya kebersamaan di bidang kegiatan keagamaan termasuk bidang dakwah; (c) Adanya kebersamaan di bidang sosial termasuk acara dalam kaitannya dengan siklus hidup; dan
127
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
(d) Praktek dakwah oleh masing-masing organisasi/ kelompok keagamaan yang dilakukan secara santun, menghormati perbedaan pengamalan ajaran agama dan lebih mengedepankan sikap toleran.
Rekomendasi Berdasarkan
kesimpulan
di
atas,
direkomendasikan
berikut: 1) Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya eskalasi konflik yang selama ini berupa konflik laten di kalangan organisasi/ kelompok keagamaan yakni: Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi di Kota Mataram, diharapkan Pimpinan Kementerian Agama Kota Mataram mengupayakan penangkalan terhadap kemungkinan timbulnya konflik manifest. Upaya yang dilakukan misalnya melakukan kegiatan kerjasama secara terprogram, dialog atau temu tokoh/pimpinan organisasi/kelompok keagamaan untuk penguatan kerukunan di kalangan internal umat Islam. 2) Kantor Kementerian Agama Kota Mataram bekerjasama dengan instansi terkait dan para tokoh/pimpinan organisasi/lembaga keagamaan diharapkan memfasilitasi organisasi/kelompok keagamaan terkait untuk melakukan kegiatan pengembangan dan penguatan potensi-potensi integrasi yang telah mereka miliki dalam upaya peningkatan kerukunan di kalangan organisasi/kelompok keagamaan, meliputi Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi.
128
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, 1995, Dasar-Dasar Aqidah Para Imam Salaf (Ahlussunnah wal Jamaah), Judul Asli: Mujmal I’tiqad Aimmati As Salaf, Penerjemah: Nabhani Idris, Gema Insani Press, Cet. Pertama. Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, PT. Rineka Cipta, Edisi Revisi V, Cet. Keduabelas. Asnawati, 2007, Pandangan Masyarakat tentang Penyiaran Agama di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, dalam Jurnal Harmoni, Vol. VI. Nomor 24, Oktober-Desember 2007, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. Bagus, Ida Mantra, 2004, Filsafat Studi dan Metode Studi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Budiman, Aris, et.all (Ed.), 2002, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Judul Asli: Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches oleh John W. Creswell), Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cet. Kedua. Ma’arif, Bambang, S., 2010, Komunikasi Dakwah, Paradigma Untuk Aksi, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, Cet. Pertama.
129
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
Malik, Latief, HA., 1993, Sejarah Pergerakan Muhammadiyah di Sumbawa, Surabaya, Penerbit: Rinta. Muhsin, Syaikh Abdul al-Abbad al-Badr, 2009, Lembutnya Dakwah Ahlus Sunnah, Judul Asli: Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunah, Penerjemah: Ali Musri Semjan Putra, CileungsiBogor, Pustaka Darul Ilmi, Cet. Ketiga. Nu’man, Abdul Hayyi & Mugni, Sn., 2005, Mengenal Mahdlatul Wathan, Selong, Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, Cet. Ketiga. Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lombok Barat, 2009, (Naskah) Merajut Perjalanan Muhammadiyah Lombok Barat , Narmada, PDM Lombok Barat. Ramadhani, ‘Abdul Malik bin Ahmad, 2009, Pilar Utama Dakwah Salafiyyah, Judul Asli: Sittu Durar Min Ushuuli Ahlil Atsar, Penerjemah: Mubarak BM. Bamuallim, Jakarta, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet.Ketiga. Syaukani, Imam, 2007, Aliran Sempalan, Dakwah dan Peran Ulama, dalam Jurnal Harmoni, Vol.VI, Nomor 24, OktoberDesember 2007, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. Taslim, Abdullah, 2011, Agungnya Istighatsah Pada Allah, Menyibak Tirai Samar Praktek Kesyirikan, (Bulltin Dakwah) al-Hujjah, Vol.: 054/Thn. XI/Dzulqo’dah-1432H, Mataram, Bidang Dakwah Yayasan al-Hunafa’ Mataram. Zulkifli, M., 2005, Menguak Tabir Dakwah Kontemporer, dalam Jurnal Harmoni, Vol.IV, Nomor 14, April-Juni 2005, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI.
130
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
IV DAKWAH MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN, JAMURA, DAN MUHDAMMADIYAH DI KOTA SURAKARTA, PROVINSI JAWA TENGAH Oleh: Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
131
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
132
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Latar Belakang Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional yang merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan. Artinya, stabilitas keamanan dan ketentraman bangsa Indonesia serta pelaksanaan pembangunan nasional akan terganggu jika terjadi ketidak rukunan umat beragama. Sementara itu, bagian terbesar dari penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karenanya, kerukunan di kalangan umat Islam menjadi bagian penting dan faktor yang sangat berpengaruh bagi terciptanya kerukunan nasional Indonesia. Jika umat Islam rukun maka setidaknya 88% penduduk Indonesia dalam suasana kondusif, dan hal itu akan mewarnai keseluruhan kondisi bangsa Indonesia. Demikian juga sebaliknya. Secara umum, kondisi kerukunan umat Islam di Indonesia berjalan baik. Budaya saling menghormati, silaturahmi, hingga kerjasama sosial terwujud dalam berbagai bidang kehidupan. Lebih lagi, umat Islam memiliki konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) di samping konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan
133
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran, ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama. Namun demikian, potensi ketidak rukunan diketahui tetap ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid11, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.12 Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepentingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
11
Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189. 12 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddinmuhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
134
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
pendalaman ajaran agama melainkan sebagai upaya perekrutan untuk penambahan keanggotaan kelompok tertentu. Di sisi lain, dakwah Islam terus menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal. Secara internal, dakwah Islam menghadapi (atau mengalami) variasi pemahaman keagamaan yang berhadapan diametral: liberal dan fundamental. Kalangan liberalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada sisi yang lebih bercorak rasional, longgar, dan permisif. Di sisi lain, kalangan fundamentalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada suatu pemahaman yang kaku, literalis, dan kohersif bahkan dalam tingkat tertentu menjadi cenderung radikal. Selain itu, dakwah mengalami tantangan internal yang bersifat klasik, yakni keterbatasan dana, sarana prasarana, dan daya jangkau wilayah. Dakwah bergerak dengan dana terbatas yang kemudian menjadi alasan terbatasnya aktivitas dan jangkauan wilayah dakwah. Yang tidak kalah penting, dakwah juga menghadapi tantangan internal berupa kemandegan kaderisasi penyampai dakwah serta pergesekan antar kelompok umat, terutama terkait dinamika politik-praktis tertentu. Belum lagi kompetisi dakwah terjadi antara kalangan Islam mainstream dengan kelompok yang dinilai sempalan atau menyimpang yang terus berkembang dan dinilai ‘menggerogoti’ umat dari dalam. Secara eksternal, tantangan globalisasi dan modernisasi cukup mempengaruhi dakwah. Kedua hal ini dalam tingkat tertentu telah melalaikan (atau mematikan?) upaya dakwah. Arus teknologi informasi yang demikian dahsyat telah menumbuhkan budaya masyarakat yang materialistik, hedonistik, atau bahkan bertendensi pendangkalan akidah hal-hal yang kontradiksi dengan misi utama dakwah. Selain itu, hal klasik, kreativitas dan agresivitas mission dan atau penyiaran agama lain, menjadi bagian dari tantangan eksternal dakwah Islam.
135
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern maupun ekstern umat beragama di Indonesia. Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439 Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.13 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat provinsi ada Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan Jamaah 13 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/ Nahdlatul_Ulama diunduh tanggal 9 Mei 2011.
136
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Muhammadiyah.14 Ormas Islam lainnya yang jumlahnya ratusan juga memiliki jaringan dakwah masing-masing yang luas meski masih terbatas.15 Bahkan, di samping sejumlah ormas tersebut, terdapat sejumlah kelompok gerakan dakwah Islam yang bersifat non-ormas tetapi memiliki pengaruh dan aktivitas dakwah yang cukup signifikan juga di masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini adalah gerakan dakwah Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah aliran tarekat. Maka kontestasi dan kompetisi dakwah di tengah masyarakat muslim Indonesia kian semarak. Para pelaku dakwah melakukan beragam gerakan dakwah, baik gerakan pemikiran maupun gerakan praksis organisasional, dalam kancah dakwah yang sama. Adu wacana hingga beberapa gesekan tidak jarang terjadi. Maka pada titik inilah, penting untuk melihat peran dan interaksi diantara beragam pelaku dakwah Islam dalam melakukan dakwahnya terutama dalam kaitan pemeliharaan kerukunan intern umat beragama (Islam).
Permasalahan Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian dengan mengajukan sejumlah pertanyaan penelitian yaitu (1) Bagaimana profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat?; (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah?; (3) Bagaimana upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
14 Informasi dari http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringanmuhammadiyah.html diunduh tanggal 9 Mei 2011. 15 Jumlah ormas/LSM Islam pada 2009 yang terdata pada Direktorat Penerangan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama adalah 1.185 buah lembaga, dengan 60 diantaranya merupakan kepengurusan/kepemimpinan ormas di tingkat pusat. Lihat Bimas Islam Dalam Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Lampiran hlm. 103-105.
137
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat; (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah; (3) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional Gerakan (movement) berarti usaha atau kegiatan yang memiliki arah tertentu. Adapun dakwah diartikan sebagai penyiaran/propaganda agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; serta seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama (Islam). Sedangkan gerakan dakwah berarti usaha yang terarah untuk menyiarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Dalam konteks ini, dakwah dapat berupa penyiaran pemikiran keagamaan atau kegiatan praksis penyebaran paham keagamaan tertentu. Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. Dengan demikian, ormas Islam berarti organisasi nonpemerintah yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama Islam, seperti: NU, Muhammadiyah, PERSIS, PERTI, Al-Washliyah, Mathlaul Anwar, dan sebagainya. Dalam konteks penelitian ini, tercakup pula kelompok/gerakan keagamaan yang non-ormas, seperti: Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah kelompok tarekat.
138
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Sedangkan kerukunan umat beragama, sebagaimana didefinisikan di dalam PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kerangka Konseptual Dakwah by nature berarti upaya mengajak (ud’uu, ajaklah). Bentuknya bisa bermacam ragam: performa yang menarik, konsep pemikiran yang logis menjanjikan, strategi yang menentramkan, dan lain sebagainya. Bisa dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun sikap. Anasir dakwah sendiri meliputi: pendakwah (da’i), yang didakwahi (mad’u), pesan dakwah (maddah), metode dakwah (thariqoh), media dakwah (wasilah), dan efek dakwah (atsar). Unsur-unsur seperti inilah yang hendak diwakili kata ‘profil’ dalam penelitian ini. Bahwa pengenalan (identification) dan pemahaman (comprehension) pada identitas para pelaku dakwah penting untuk memberikan latar atas asumsi-asumsi atau sikap yang dimanifestasikannya dalam konteks hubungan antar umat beragama. Telah banyak teori yang menunjukkan adanya kaitan antara pemahaman keagamaan (religious thought) dengan sikap manifest keberagamaan, misalnya. Demikian juga, ada kaitan erat antara pengaruh figur tokoh kelompok pelaku dakwah dengan karakter sikap anggotanya. Masih termasuk kategori profil di atas, peran pelaku dakwah juga penting dilihat. Peran berarti sikap atau ekspresi nyata dari dakwah: seperti apa dakwah dilakukan. Dengan asumsi keutuhan (comprehensiveness) peran dakwah, maka yang hendak dilihat
139
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
adalah segala aspek peran dakwah dalam ranah-ranah yang luas, yakni: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Pemahaman atas peran-peran dakwah dalam beragam ranah ini juga dapat memberi konteks pada sikap-sikap pelaku dakwah dalam hubungan antar umat beragama. Secara teoritik, suatu gejala sosial pasti dipengaruhi lebih dari satu faktor, alias banyak faktor. Maka pengayaan ranah semacam ini sejatinya akan sangat membantu memahami suatu gejala tertentu yang hendak diketahui, yakni perihal hubungan antar umat beragama. Karena dakwah sifatnya mengajak, apalagi menjadi sebuah ‘gerakan’dakwah, maka hal ini meniscayakan adanya interaksi (take and give, collaborative, atau justeru konflik) dengan pihak-pihak lain, baik yang didakwahi maupun pelaku dakwah lainnya. Selain itu, secara substansial, interaksi juga terjadi antara da’i dengan sasaran dakwah (mauidzatul hasanah atau mujadalah), da’i dengan media dakwah (bil lisan, bil hal, atau bil qolam), dan da’i dengan pesan dakwah (sumber, pola memahami ajaran, dan ekspresi). Sementara itu, yang didakwahi adalah komunitas yang sama (umat Islam), dan yang menjadi pelaku dakwah adalah kelompok-kelompok gerakan dakwah yang memiliki profil dan peran yang beragam. Maka potensi adanya ketidak rukunan diasumsikan (atau diyakini) ada. Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah, mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai efek atau atsar dari dakwah.
Kajian Terdahulu Penelitian dan kajian tentang gerakan dakwah Islam telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1)
140
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (Editor), Islam dan Radikalisme di Indonesia.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
2)
Quintan Wiktorowicz dalam buku yang dieditorinya Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach16 , sesuai judulnya, memberi gambaran tentang kasus-kasus gerakan keagamaan Islam di berbagai negara dengan pendekatan teori gerakan sosial. Yang menarik, kajian ini mendefinisikan aktivisme Islam (gerakan islam) secara lebar, tidak hanya pada sesuatu ormas atau gerakan terorganisir tertentu, melainkan juga pada kelompok pendemo ‘berbendera’ Islam, aksi yang membawa simbol atau identitas Islam, kelompok teroris, kelompok yang hendak mendirikan negara Islam, dan termasuk kelompok spiritual.
3)
Melalui kajian dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,17 Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.) memetakan empat gerakan Islam yang dikategorikan salafi-radikal (FPI, Laskar Jihad, MMI, dan HTI), dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat muslim Indonesia. Di bagian akhir, sebagai bagian tak terpisahkan, disertakan hasil penelitian PPIM tentang Islam dan Konsolidasi Demokrasi. Temuan penting penelitian ini menunjukkan bahwa meski fenomena gerakan salafi-radikal itu ada di Indonesia, namun mayoritas muslim masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran.
4)
Dr. Khalimi, MA mendaftar dan memberi informasi tentang profil dan aktivitas sejumlah penggiat dakwah, tepatnya 15 ormas Islam. Dalam bukunya berjudul Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik ini,18 Khalimi menunjukkan adanya ragam karakter ormas Islam yang tetap harus
16 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, USA: Indiana University Press, 2004. 17 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. 18 Dr. Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
141
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
dipandang sebagai rahmat. Kajian kompilatif ini tidak banyak memberi perspektif selain menginformasikan identitas dan posisi sejumlah ormas yang notabene cukup dikenal sebagiannya karena sifat kontroversialnya. 5)
Kajian penting tentang pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional di Indonesia dalam hubungannya dengan ormas Islam lokal dipaparkan di buku Ilusi Negara Islam19 yang dieditori KH. Abdurrahman Wahid. Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa sejumlah gerakan keagamaan memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari Timur Tengah, seperti gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang menganut ideologi totalitarian-sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis atas ambisi politisnya.
6)
Tolkhah (dkk), Budaya Damai Masyarakat Karimunjawa, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2010. Hasil penelitian ini menemukan beberapa unsur lokal yang membentuk budaya damai masyarakat Karimunjawa. Unsur-unsur dimaksud, (pertama) perasaan senasib sebagai pendatang. Kedua, medan budaya, yaitu semacam ruang budaya yang mengikat kebersamaan mereka, seperti Makam Sunan Nyamplungan, Cangkrukan, Lomban dan ritual slametan. Ketiga, perkawinan antar etnis. Unsur lokal ini telah membuat identitas sebagian masyarakat Karimunjawa menjadi multietnis seperti fenomena ‘Jambu’ yaitu identitas komunitas JawaMadura-Bugis. Keempat, penguasaan beragam bahasa. Komunikasi multi-languages ini tidak hanya terjadi dalam
19 KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Bandingkan dengan kajian serupa yang dilakukan oleh Greg Barton dengan horizon yang lebih luas, dalam Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010, hlm 133-148.
142
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
pergaulan sosial antar warga, akan tetapi juga banyak terjadi dalam satu keluarga yang terdiri dari etnik yang beragam. Kelima, pendidikan keragaman. Di Karimunjawa, pendidikan keragaman telah diperkenalkan oleh orang tua sejak dini khususnya bagi mereka yang melakukan perkawinan antar etnik. Dalam pendidikan formal sekolah, guru-guru yang multi etnik mengajar murid-murid yang multi etnik pula. Keenam, kearifan lokal, seperti budaya wirang, budaya penyelesaian sengketa non-pengadilan, gotong royong dan mitos-mitos. Mitos-mitos itu dipahami sebagai pendorong upaya mereka untuk secara kolektif menjaga kelestarian sejarah dan lingkungan mereka serta berfungsi sebagai peneguh identitas mereka. Mitos-mitos yang masih bertahan antara lain mitos pohon dewandaru, mitos pohon sitigi, mitos air Mbah Hasan, mitos Mustaka Masjid Amir Hasan. 7)
Musahadi (dkk), Segregasi Etno-Religius di Pulau Lombok (Studi Identifikasi atas Potensi-potensi yang dapat Dikembangkan untuk Resolusi Konflik dan Pengembangan Damai, Semarang, Walisongo Mediation Center, 2009. Segregasi etno-religius di wilayah Lombok, khususnya di Mataram terjadi karena migrasi penduduk dan juga merupakan implikasi dari penerapan kebijakan politik kerajaan Hindu Karangasem Mataram yang berkuasa selama 1,5 abad. Kebijakan itu antara lain dalam bentuk mempertahankan stratifikasi sosial masyarakat dalam pemukiman, sehingga melahirkan komunitas Hindu-Bali sebagai komunitas bangsawan dan komunitas Sasak-Islam sebagai kelompok rakyat kelas bawah. Warisan sejarah itu menjadi hambatan psikologis-sosial kedua komunitas tersebut untuk berinteraksi secara terbuka dan saling mempercayai. Segregasi etno-religius berpotensi untuk menimbulkan konflik, terutama ketika ada pemicu yang berkaitan dengan sentimen
143
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
etnis dan agama. Namun, tidak berarti tidak ada potensi di dalamnya untuk pengembangan interaksi damai antara kedua komunitas itu. Potensi damai berkembang melalui local wisdom, seperti tradisi nyongkol, tradisi saling ngejot dan saling besila’ antara kedua komunitas tersebut. 8)
Djamaluddin Darwis dan Imam Taufiq, Human Security dalam Relasi Dayak-Madura, Studi Atas Kearifan lokal Desa Korek Pontianak, Kalimantan Barat, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Hasil temuan penelitian ini dapat mengungkapkan potret keharmonisan relasi etnis yang terbentuk antara Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Peran tokoh Adat yang menonjol dari etnis Madura dan Dayak, serta dukungan dari pemerintah telah memberi kontribusi signifikan dalam membangun integrasi sosial di lokasi penelitian. Para tokoh dari masing-masing etnis berperan sebagai katalisator informasi dan problem solver terhadap persoalan yang timbul di masyarakat. Ada dua pola resolusi konflik yang digunakan. Pola kuratif mengambil bentuk implementasi hukum adat yang mengikat para pihak sedang pola preventif berbentuk usaha membangun komunikasi intensif di kalangan tokoh adat, agama dan masyarakat luas.
9)
Muhammad Sulthon (dkk), Resolusi Konflik Berbasis Agama, Penyelesaian Konflik pada Periode Awal Sejarah Islam, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Ini merupakan penelitian sejarah nabi yang berhasil merekonstruksi beberapa peristiwa konflik dan penyelesaiannya pada masa generasi awal sejarah islam. Resolusi konflik yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi penyelesaian atas konflik personal, konflik komunal, konflik dalam keluarga dan rekonstruksi beberapa institusi sosial yang berfungsi sebagai pencegah konflik pada periode awal sejarah Islam. Penyelesaian atas konflik personal, antara
144
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
lain peristiwa konflik antara Umar bin Khaththab dengan Fatimah; konflik Umar bin Khaththab dengan Khalid bin Walid. Penyelesaian atas konflik komunal, misalnya konflik Umar bin Khaththab dengan kerumunan umat Islam; konflik antar warga Madinah terkait tempat tinggal Nabi di Madinah; konflik kepala-kepala suku Makkah dalam peletakan hajar Aswad; konflik antara Muhajirin dan Anshar; konflik suku Aus dan Khajrat di Madinah; konflik warga Madinah dengan bani Mustaliq. Penyelesaian atas konflik dalam keluarga, seperti konflik nabi dengan Aisyah dan konflik antar istri-istri nabi. Institusi pencegahan konflik yang direkonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari hilful fudul dan piagam Madinah. 10) M Mukhsin Jamil (dkk), Reintegrasi Mantan Kombatan dan Transformasi Konflik di Aceh Pasca MOU Helsinki, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses reintegrasi damai di Aceh telah mengakibatkan penguatan lembaga adat dan agama. Hal ini sekaligus sebagai hasil dari keterlibatan panjang tokoh adat dan agama dalam proses perjuangan perdamaian di Aceh. Mereka telah terlibat dalam inisiasi dan proses perdamaian di Aceh baik melalui lembaga-lembaga adat, agama maupun secara individu. 11) Muhammad Sulthon dan Solihan, Dimensi Politis Dalam Konflik Keagamaan di Indonesia, Studi Kasus Terhadap Pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Jemaat Hosana Ngaliyan Semarang, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008. Penelitian ini menemukan bahwa Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2006 dan 8/2007 tentang pendirian tempat ibadah sulit dipenuhi oleh kelompok minoritas. Kelompok beragama minoritas, karena tuntutan agamanya, mereka kemudian menempuh jalan pintas dalam
145
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
pendirian tempat ibadah. Sementara itu, kelompok mayoritas menjadikan aturan itu untuk membenarkan tindakan mereka dalam mencegah pendirian tempat ibadah dan pemanfaatan bangunan gedung lain untuk tempat ibadah. Penelitian mendeskripsikan bagaimana pihak-pihak yang berkonflik terkait dengan pendirian tempat ibadah Gereja Pantekosta di Ngaliyan, dapat menemukan penyelesaiannya dalam suatu rapat warga yang difasilitasi oleh lembaga RW (Rukun Warga). Deskripsi itu membuktikan bahwa di lingkungan masyarakat masih berkembang sikap toleransi antar umat beragama. 12) Mustain (dkk), Memahami Konflik dalam Pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL), Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008. Konflik terkait pembangunan bandara internasional di Lombok melibatkan para petani pemilik lahan yang enggan menjual tanahnya dengan pemerintah Kabupaten Lombok Tengah. Petani menolak menjual tanahnya didasarkan pada tradisi yang berakar pada konsep Gumi Paer dan keyakinan tradisional masyarakat Sasak, bahwa tanah yang akan dijadikan lahan bandara itu dinilai sebagai tanah atho’. Konsep Gumi Paer menilai tercela anak keturunan yang menjual tanah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Di samping itu, berkembang pula keyakinan bahwa tanah yang dipilih oleh Angkasa Pura untuk dijadikan lahan Bandara memiliki sifat tanah Atho’, yaitu bahwa tanah itu menelan apa saja yang ada di atasnya. Upaya-upaya penyelesaian konflik terdiri dari dua hal, pertama program “uang tali Asih” dan program Training Skills. Namun kedua program itu ternyata belum sepenuhnya dapat menyelesaikan konflik. Berbeda dengan kajian dan penelitian di atas, penelitian kali ini merupakan upaya pendalaman terhadap profil, peran, dan hubungan ormas-ormas Islam dan atau gerakan keagamaan lainnya
146
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan intern umat Islam di Indonesia. Sesuatu yang belum secara luas dikaji dalam penelitian-penelitian terdahulu tersebut di atas.
Metode Penelitian Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, pengamatan lapangan, dan wawancara mendalam. Bahan pustaka tentang gerakan dakwah, ormas, dan tema terkait lainnya menjadi sumber awal yang memandu proses pengumpulan data melalui wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan pedoman wawancara. Yang diwawancarai di setiap lokasi adalah para informan kunci (key informan) yang terdiri atas anggota/pimpinan struktural dan kultural pada ormas-ormas Islam dan/atau gerakan keagamaan yang dinilai diikuti banyak umat Islam di lokasi penelitian, ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai memiliki potensi konflik dan integratif dengan ormas besar itu. Selain itu, pihak otoritas seperti Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah (Kesbanglinmas) serta FKUB juga diwawancarai sebagai informan. Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan.
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Solo, Jawa Tengah; Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan adanya kekhasan karakter masyarakat dan pola dakwah Islam yang mungkin dilakukan di tempat-tempat tersebut. Dalam pelaksanaannya, meski penentuan
147
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
ormas atau gerakan keagamaan ini sangat tergantung realitas lapangan, namun ormas atau gerakan dominan itu harus disertakan sebagai salah satu pihak yang diteliti. Maka, setidaknya ada tiga kategori/pihak ormas atau gerakan keagamaan yang diteliti di setiap lokasi itu, yakni: (1) Ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai dominan; (2) Ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai berpotensi bergesekan/berkonflik dengan ormas dominan atau gerakan keagamaan itu; dan (3) Ormas atau gerakan keagamaan yang relatif memiliki potensi integratif/damai dengan ormas atau gerakan keagamaan yang dominan itu. Pada prinsipnya, lebih banyak pihak (ormas atau gerakan keagamaan) dikaji, akan lebih baik menggambarkan dinamika hubungan antar para pelaku dakwah ini.
148
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Geografis dan Demografis Kota Surakarta terletak antara 1100 45’ 15” dan 1100 45’ 35” Bujur Timur dan antara 70 36’ dan 70 56’ Lintang Selatan. Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun Yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo” merupakan dataran rendah dengan ketinggian ± 92 meter dari permukaan laut. Solo berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Boyolali, sebelah Timur dengan Kabupaten Karanganyar, sebelah selatan dengan Kabupaten Sukoharjo. Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,06 Km² yang terbagi dalam 5 kecamatan yaitu: Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Sebagian besar lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 60% lebih.
149
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Luas Penggunaan Tanah Tiap Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2009 Kecamatan Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Jumlah
Perumahan 563,83 210,43 308,94 673,37 980,91 2.737,48
Jasa 88,61 17,17 37,69 176,75 106,91 427,13
Perusahaan 42,20 30,16 39,73 87,00 88,39 287,48
Industri 39,40 6,11 9,77 25,38 20,76 101,42
Tanah 7,28 2,52 16,38 16,19 11,01 53,38
Tegalan 0,00 0,00 0,00 81,46 2,50 83,96
Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20 % dari luas lahan yang ada. Suhu udara rata-rata di Kota Surakarta berkisar antara 24,70 C sampai dengan 27,90 C. sedangkan kelembaban udara berkisar antara 64 persen sampai dengan 85 persen. Berdasarkan hasil sementara Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Kota Surakarta tercatat sebanyak 500.642, dimana jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk lakilaki, yakni 257.279 jiwa perempuan dan 243.363 jiwa laki-laki. Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, sejumlah 157.438 jiwa atau 31,45 persen. Jumlah Penduduk Surakarta Menurut Kecamatan Tahun 2010 Kecamatan Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjarsari Kota Surakarta
150
Laki-laki 41.912 21.246 36.653 66.848 76.704 243.363
Perempuan 44.403 22.874 37.492 71.776 80.734 257.279
Jumlah 86.315 44.120 74.145 138.624 157.438 500.642
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Sedangkan Serengan merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit sebesar 8,81 persen atau 44.120 jiwa. Dengan luas wilayah 44,04 Km² membuat tingkat kepadatan penduduk di Kota Surakarta sangat tinggi, bahkan tertinggi di Jawa Tengah, yaitu sebesar 11.137 jiwa/Km². Adapun kecamatan yang paling tinggi kepadatannya adalah Kecamatan Pasar Kliwon dengan tingkat kepadatan sebesar 15.383 jiwa/Km², sedangkan terendah 10.002 jiwa/Km² pada kecamatan Laweyan. Dengan kondisi demikian merupakan PR (Pekerjaan Rumah) yang besar bagi Pemrintah Kota Surakarta untuk menyediakan sarana dan prasarana yang baik untuk masyarakat Kota Surakarta. Belum lagi dengan adanya keberadaan kaum communiters yang jumlahnya tidak kalah banyak dengan penduduk Kota Surakarta sendiri. Kepadatan Penduduk Kota Surakarta Menurut Kecamatan Tahun 2010 Kecamatan
Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjasari Kota Surakarta
Luas Wilayah (Km²) 8.63 3.19 4.82 12.58 14.81 44.03
Penduduk
Kepadatan Penduduk
86,315 44,120 74,145 138,624 157,438 500.642
10,001,74 13,830,72 15,382,78 11,019,40 10,630,52 11,370,47
Kehidupan Sosial Budaya Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di wilayah Jawa Tengah. Dengan mengusung slogan “Solo the Spirit of Java” bukan suatu yang berlebihan, karena kota ini mampu menjadi
151
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Trend Setter bagi kota/kabupaten lainnya terutama di sekitar kota solo, dalam bidang sosial, budaya dan ekonomi. Walaupun Kota Surakarta hanya terdiri dari 5 (lima) kecamatan saja, kota ini menyimpan potensi yang luar biasa. Usia muda dan produktif, merupakan penduduk yang menghuni kota Surakarta. Usia 20 sampai 24 tahun merupakan jumlah terbanyak. Kota Solo yang merupakan magnet bagi dunia pendidikan dan bisnis ternyata telah mendorong terjadinya penumpukan di kelompok usia tersebut. Berbagai sarana perekonomian menyebabkan penduduk dari luar kota ikut bersaing dan menghuni di Kota Solo. Demikian pula dalam hal pendidikan. Adanya berbagai macam perguruan tinggi mendorong orang di luar kota tinggal di kota bengawan ini. Penduduk Usia 15 + Menurut Kelompok Umur Di Kota Surakarta Tahun 2009 Jenis Kelamin Kelompok Jumlah Usia Laki-laki Perempuan 15 – 19 26.700 23.490 50.190 20 - 24 28.500 30.276 58.776 25 - 29 27.840 30.360 58.200 30 – 34 21.228 22.110 43.338 35 – 39 19.035 21.068 40.103 40 – 44 17.625 18.320 35.945 45 – 49 12.880 18.468 31.348 50 – 54 17.250 16.188 33.438 55 – 59 11.613 12.276 23.889 60 – 64 6.399 6.336 12.735 65 -69 5.214 6.732 11.946 70 – 74 3.555 6.732 10.287 75 – 79 3.318 4.158 7.476 80 + 3.555 2.574 6.129 Jumlah 204.712 219.088 423.800
152
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Penduduk Usia 15+ Menurut Kegiatan Ekonomi Di Kota Surakarta Tahun 2009 Kelompok Usia Angkatan Kerja - Bekerja - Penangguran Bukan Angkatan Kerja - Sekolah - Mengurus Rumah Tangga - Lainnya Jumlah
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 156.781 118.765 139.231 107.537 17.550 11.228
Jumlah 275.546 246.768 28.778
47.931 26.592 6.543 14.796
100.323 26.430 66.094 7.799
148.254 53.022 72.637 22.595
204.712
219.088
423.800
Sebagai kota pariwisata, sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi merupakan sektor usaha yang paling dominan dalam penyerapan tenaga kerja yaitu 43,13 persen diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan 24,23 persen dan sektor industri 17,05 persen. Sektor perdagangan mendominasi perekonomian dari sisi tenaga kerja di Kota Bengawan ini. Infrastruktur sangat menunjang, seperti jumlah pusat-pusat perbelanjaan, baik yang modern seperti mall, swalayan maupun pasar-pasar tradisional yang terus dibangun untuk mempermudah sarana transaksi. Dilihat dari gender ternyata kaum perempuan adalah tenaga kerja lebih dominan di sektor perdagangan ini yaitu sebanyak 48,98%. Ada gambaran yang cukup menggembirakan pada tahun 2009. Jiwa kewirausahaan penduduk kota Surakarta cukup tinggi, bahkan hampir imbang dengan penduduk yang menjadi
153
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
buruh/pekerja dibayar. Terlihat bahwa 42,05 persen penduduk yang bekerja dengan status berusaha (berusaha sendiri, dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar, dibantu tetap/dibayar) hampir mendekati penduduk bekerja dengan status buruh/karyawan/ pekerja dibayar yaitu sebesar 45,52 persen. Keadaan ini berarti banyak, diantaranya kurang memadainya lapangan kerja yang ada padahal mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga dalam keterpaksaan mereka malah bisa berusaha. Hal ini didukung dengan tingginya prosentase berusaha sendiri non professional yaitu sebesar 22,52 persen. Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian Di Kota Surakarta Kecamatan 1 Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjasari Kota
Petani sendiri 2 50 0 0 84 344 478
Kecamatan Pedagang 1 7 Laweyan 5.700 Serengan 4.259 Pasar Klw 8.029 Jebres 5.047 Banjasari 10.491 Kota 33.526
154
Buruh Tani 3 40 0 0 0 412 452
Angkutan 8 2.744 1.928 4.909 2.748 6.315 18.644
Pengusaha 4 996 1.089 2.506 1.721 3.087 9.399
PNS/TNI/POLRI 9 5.056 1.614 2.848 8.025 9.392 26.935
Buruh Industri 5 14.980 5.258 10.433 16.519 21.366 68.556
Pensiunan 10 3.705 907 4.376 3.680 6.934 19.602
Buruh Bangunan 6 12.486 3.135 7.134 16.012 19.579 58.346
Lain-lain 11 42.263 32.150 32.602 49.061 37.935 194.011
Jumlah 12 88.020 50.340 72.837 102.897 116.336 430.430
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Prosentase Penduduk Berumur 15 Tahun keatas Menurut Pendidikan yang ditamatkan di Surakarta Tahun 2009 Pendidikan Tidak/Belum Pernah Sekolah Tidak punya Ijazah SD SD/MI SMP SMU/MA SMK DI/DII DIII DIV/S1 dan S2/S3
2007
2008
2009
6.24 4.95 18.66 21.88 24.09 10.16 1.56 4.68 7.80
2.99 6.03 17.59 20.98 26.44 10.92 1.21 4.89 8.97
4.66 5.43 17.41 20.37 26.39 11.39 1.42 4.25 8.68
Prosentase penduduk berusia 15 tahun keatas menurut pendidikan yang ditamatkan dapat dilihat pada table di atas. Selama tiga tahun terakhir, komposisi penduduk menurut pendidikan yang ditamatkan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pendidikan SMP dan SMU/MA masih diatas 20 persen. Kualitas SDM salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan ketrampilan. Di Kota Surakarta lulusan tertinggi masih didominasi oleh lulusan SMU/MA sebesar 26,39 persen. SMK sebesar 11,39 persen, sehingga tingkat SLTA sebanyak 37,78 persen. Penduduk menurut pendidikan diatas SLTA sudah mencapai 14,35, sedangkan lulusan DIV/S1 dan S2/S3 mencapai 8,68 persen. Banyaknya sekolah tinggi di Surakarta diharapkan dapat terus meningkatkan jumlah lulusan pendidikan diatas SLTA bagi penduduk Kota Surakarta. Penduduk dengan tamatan di bawah Sekolah Dasar, tidak/belum pernah sekolah dan tidak punya ijasah SD masih cukup besar yaitu sebesar 10.09%
155
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Pemerintahan Sebagai kota perdagangan dan jasa, sumber pendapatan yang perlu di kaji adalah dari retribusi dan pajak-pajak daerah. Pajak hotel dan hiburan sangat potensial untuk menambah sumber pendapatan daerah. Akan tetapi perlu dikaji lebih dalam , dalam pemungutan retribusi dan pajak, jangan sampai justeru mematikan usaha-usaha tersebut. Iklim perusahaan yang kondusif dan retribusi yang wajar akan menggerakan iklim perekonomian. Banyaknya Kelurahan RT, RW dan Kepala Keluarga Di Surakarta Tahun 2009 Keluraha n
RW
RT
Kepala Keluarga
Laweyan
11
105
454
25.899
Serengan
7
72
309
14.033
Pasar Kliwon
9
100
424
22.035
Jebres
11
149
631
37.605
Banjarsari
13
169
851
45.965
Surakarta
51
595
2.669
145.537
Kecamatan
Kota Surakarta mempunyai 51 kelurahan yang terdiri dari Kecamatan Laweyan 11 kelurahan, Serengan 7, Pasar Kliwon 9, Jebres 11 dan Banjarsari 13. Selain itu terbagi dalam 595 Rukun Warga (RW), 2.669 Rukun Tetangga (RT) serta 145.537 Kepala Keluarga (KK). Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan dengan luas paling besar terdiri dari 169 RW, 851 RT dan 45.965 KK. Jumlah penduduk di kecamatan ini juga terbesar. Potensi Banjasari juga sangat besar secara ekkonomi seperti adanya Stasiun Balapan, terminal Tirtonadi, menjamurnya hotel serta serta
156
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
wilayahnya luas. Sedangkan untuk perdagangan terpusat di pusat kota seperti Serengan, Laweyan dan Pasar Kliwon. Kecamatan Serengan merupakan wilayah dengan luas wilayah terkecil, RW dan RT serta KK juga terkecil. Kecamatan Jebres lebih banyak didominasi oleh pendidikan seperti berdirinya Universitas Sebelas Maret. Penyebaran kegiatan ekonomi dan sosial di Surakarta cukup merata. Tata ruang kota hendaknya tetap dipelihara dengan baik karena akan memberikan kenyaman dan kepastian tempat usaha atau pemukiman. Keadaan sosial kemasyarakatan juga cukup baik di Surakarta. Banyaknya jumlah RW dan RT selain menandakan banyaknya penduduk juga semakin baiknya interaksi sosial kemasyarakatan. Diharapkan semakin banyak pertemuan dan perkumpulan warga akan menimbulkan kekeluargaan yang erat, sehingga tidak mudah terjadinya gejolak di masyarakat
Kehidupan Keagamaan Mayoritas penduduk Surakarta beragama Islam dan pemeluk agama Hindu menempati posisi minoritas. Pemeluk agama Islam paling banyak bertempat tinggal di kecamatan Jebres sedangkan sebagian besar pemeluk agama Hindu bertempat tinggal di kecamatan Kliwon. Agama yang jumlah pemeluknya menempati urutan kedua di Surakarta adalah Kristen. Paling banyak pemeluk agama Kristen bertempat tinggal di kecamatan Jebres dan mayoritas urutan kedua bertempat tinggal di Kliwon. Di kedua kecamatan itu pula (Jebres dan Kliwon) jumlah pemeluk Islamnya adalah mayoritas urutan pertama dan kedua. Sedangkan jumlah penduduk Katolik terbanyak kedua bertempat tinggal di kecamatan Jebres, yaitu kecamatan yang ditempati oleh jumlah pemeluk Islam mayoritas urutan pertama. Di Surakarta, sebagian besar pemeluk agama bertempat tinggal di kecamatan Kliwon,
157
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
baik terbanyak urutan kedua atau pertama. Seperti tampak pada tabel berikut ini, pemeluk Islam dan Kristen yang tinggal di kecamatan Kliwon menempati posisi mayoritas urutan kedua dari jumlah mereka masing-masing, sedangkan pemeluk Kristen, Budha dan Hindu yang tinggal di kecamatan Kliwon menempati posisi mayoritas pertama dari jumlah pemeluk agama masingmasing. Jumlah penduduk menurut agama Kecamatan
Islam
Katolik
Kristen
Budha
Hindu
Jumlah
Laweyan
89.652
10.980
9.313
399
210
110.555
Serengan
49.444
6.609
7.197
118
91
63.659
Pasar Klw
69.571
8.996
8.662
667
148
88.044
Jebres
98.764
20.984
21.282
1.420
869
143.319
Banjasari
130.892
20.059
22.843
1.158
320
175.272
Kota
438.323
67.628
69.497
3.762
1.638
580849
Jika dilihat dari tempat ibadah yang tersedia, jumlah Masjid terbanyak ada di kecamatan Jebres, berikutnya Laweyan dan Kliwon. Jumlah gereja Kristen terbanyak ada di kecamatan Kliwon berikutnya di Serengan dan Laweyan. Jumlah tempat ibadah untuk umat Katolik cukup memprihatinkan dibandingkan dengan tempat ibadah pemeluk Buddha. Katolitk yang jumlah pemeluk agamanya menempati urutan ketiga jumlah tempat ibadahnya tidak sebanyak tempat ibadah untuk pemeluk Budha yang jumlah pemeluknya menempati urutan keempat. Sementara itu, jumlah tempat ibadah untuk pemeluk Kristen lebih memadahi dibandingkan dengan jumlah masjid untuk pemeluk agama Islam. Setiap gereja di Surakarta harus dapat menampung jamaah Kristen
158
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
sebanyajk 400-an jamaah sedangkan masjid di Surakarta harus dapat menampung minimal 850-an jamaah pemeluk Islam. Banyaknya Tempat Ibadah Menurut Jenis dan Kecamatan di Kota Surakarta Kecamatan
Masjid
Gereja Katolik
Gereja Kristen
Kuil/Vihara
Pura
Surau/Langga r/ Mushola
Laweyan
132
2
20
2
-
38
Serengan
43
-
21
1
0
224
Pasar Klw
79
2
11
1
-
23
Jebres
105
1
55
3
1
74
Banjasari
146
-
6
4
1
57
Jumlah
505
5
169
11
2
214
Di samping itu, Kemenag Kota Surakarta mencatat daftar da’i yang tersebar di Surakarta. Da’i itu terdiri dari muballigh (sebanyak 299) dan penyuluh agama non-PNS (sebanyak 169 orang) yang tersebar di berbagai daerah. Kemenag kota Surakarta melaporkan di Banjarsari ada 74 orang muballigh, Jebres 108, Pasar Kliwon 35, Serengan 18, dan Laweyang 64. Sebagian dari mereka berdakwah secara perorangan dan ada pula yang berdakwah secara berkelompok dalam wadah suatu organisasi soisal keislaman tertentu.
159
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
160
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Profil Keorganisasian Ormas/Gerakan Keagamaan Dinamika kehidupan keagamaan di Kota Surakarta ditandai dengan adanya berbagai organisasi keagamaan yang cukup beragam seperti Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Jundullah, Barisan Bismillah, Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), NU, Muhammadiyah, Majlis Pengajian Islam, Jamaah Muji Rasul, Ahbabul Musthofa, Majlis al-Hidayah, Majlis Tafsir al-Qur’an dan lainnya. Dari berbagai informasi yang diperoleh di Kantor Kemenag Kota Surakarta, maka dengan berbagai alasan ditentukan objek penelitian adalah Jamaah Muji Rasul (Jamura) dan Majelis Tafsir Al Quran (MTA).
A. Jamaah Muji Rasul (Jamura) Terbentuknya Jamaah Muji Rasul (Jamura) berawal dari keprihatinan beberapa orang yang merasakan tidak ada lagi aktifitas pembacaan barjanji, shalawat maupun yasin setelah shalat maupun mengaji seperti dahulu sehingga dirasakan
161
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
suasana di malam hari setelah shalat isya terasa hambar dan sepi. Berangkat dari keprihatinan ini, maka diadakan shalawatan, barjanji atau tahlil setelah ba’da shalat isya. Dan pada tahun 2005, pada saat memperingati Maulid Nabi beberapa ulama yang dipimpin oleh Gus Karim melakukan pembacaan Al Qur’an selama 12 hari berturut-turut sampai khatam. Acara ini diikuti oleh 400 orang. Setelah acara tersebut, kemudian diadakan yasin dan tahlil secara bergilir di rumah yang kemudian diisi juga dengan tausyiah setiap selapan sekali. Acara ini dimulai jam 9 malam, diawali dengan membaca tahlil, shalawat qubra, barjanji, dan doa, barulah dilakukan tausyiyah atau sambutan panitia. Pembaca solawat harus qori semua yang dipimpin oleh ini banyak yang lulusan pondok jadi mereka semua sudah bisa Bapak Ibrahim, Makhsum Kamal, dan lainnya, semula ada 6 orang, tetapi sekarang sudah banyak kadernya. Untuk pengkaderan dilihat orangnya yang aktif ke masjid dan suaranya bagus. Karena pengkaderan membaca berjanji. Pada awalnya, proses peenyelenggaraan dakwah terdiri dari pembacaan berjanji, shalawat dan tahlil, namun sekarang ditambah dengan tausyiyah atau ceramah agama. Kalau misalnya ada orang yang ingin ngunduh (menjadi tuan rumah) Jamura memperbolehkan, asal memberitahu dulu, karena jadwal Jamura yang sangat padat diundang kemana-mana. Dana untuk kegiatan jamura dari jamaah. Nama Jamura awalnya bermula dari usulan beberapa ustadz. Ada yang mengusulkan nama Muhibin, namun ditolak oleh salah seorang pengurus yang kebetulan ayahnya bernama mubidin, ada pula yang usul mahabah rosul. Namun akhirnya ada yg mengusulkan jamura (yang kebetulan selaras dengan arti istilah itu dalam bahasa Indonesia yang disetujui oleh banyak pihak, yaitu asal kata jamur atau menjamur). Nama ini diusulkan oleh Gus
162
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Karim, yang kemudian disetujui sebagai nama gerakan mereka. Istilah itu kemudian menjadi lazim, bahkan kemudian mempunyai istilah khusus untuk perempuan, yaitu Jamuri. Selain Gus Karim, yang termasuk tokoh jamura adalah Ibrahim, Idris, Samachin, Faqih. Jamura tidak memiliki bendera walaupun amaliahnya NU. Salah seorang tokoh Jamura adalah KH. Abdul Karim Ahmad yang sekarang beliau bertindak sebagai salah seorang penasehat. Di Yayasan Majlis al-Hiayah, dia mennempati beberapa jabatan, antara lain, sebagai anggota Mustasyar di Majlis Khotmil Qur’an al-Hidayah dan sebagai penasehat Radio 107,6 FM Solo alHiayah FM. Dia seorang Kyai kharismatik, alumni pondok Pesantren al-Munawwir Yogyakarta. Kyai Karim sering bertindak sebagai muballigh dalam setiap acara jamura digelar. Seringkali kegiatan Jamura yang dipimpinnya dihadiri oleh banyak jamaah, seperti yang terjadi di Gladak. Dalam acara Jamura ini dihadiri oleh ribuan jamaah sehingga jalan Gladak ditutup. Kegiatan ini difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kota Surakarta dalam rangka memperingati Maulid Nabi. Tokoh lain yang berperan aktif dalam kegiatan Jamura adalah Habib Syekh bin Abdul Qadir Asseggaf. Suaranya yang merdu dalam melantunkan bacaan Shalawat mempunyai daya tarik tersendiri. Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm. Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf (tokoh alim dan imam Masjid Jami’ Asegaf di Pasar Kliwon Solo), berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayah handa tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Ahlaq leluhurnya. Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaut. Habib Syekh juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib
163
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang maqom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rasul yang diawali dari Kota Solo,20 dengan mendirikan Ahbabul Musthofa dan aktif sebagai da’i di Jamura. Secara rutin kegiatan Jamura dilakukan selapan (36 hari, penghitungan Jawa) dengan lokasi berpindah-pindah. Jamura juga sering diundang secara perseorangan, instansi maupun kelompok tertentu. Pada saat peneliti berkunjung di rumah bapak Samachin, Jamura diundang Polda Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengadakan tabligh akbar pada hari Sabtu malam minggu. Dalam mengikuti pengajian yang dilaksanakan oleh Jamura, para peserta berpakaian putih-putih yang melambangkan kesederhanaan dan kesucian. Kepengurusan Jamura terdiri atas : Penasehat
: Habib Syekh bin Abdul Qadir Asseggaf KH. Abdul Karim Ahmad KH. Sofwan Fauzi
Ketua I
: KH. Idris Safawi
Ketua II
: KH. Drs. Aswawi, SH
Sekretaris
: H. Samachin
Bendahara
: H. Ahmad Fatchin
Tim
: KH. Ibrahim Anshari
20 Arifianto Muhammad Lukman, “Tradisi ‘Shalawatan’ dalam Perspektif Habib Syekh dan Ahbabul Musthofa,” dalam http://blog.ugm.ac.id/2010/11/04/tradisishalawatan-dalam-perspektif-habib-syekh-dan-ahbabul-mushthofa/ diunduh 19 Nopember 2011
164
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
KH. Ahmad Maksum Kamal KH. Abdul Muin Sofani KH. Chairul Mustamil Ustadz Ahmad Royan Ustadz Agus Ma’arif, Lc Ustadz Muchlas Penceramah
: Gus Karim
B. Majelis Tafsir Al Qur’an Yayasan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan AlQur’an menjadi kegiatan utama MTA. Pada tanggal 23 Januari tahun 1974, MTA resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodiroerjo. Pendirian MTA dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam pada akhir dekade 60 dan awal dekade 70. Sampai pada waktu itu, umat Islam yang telah berjuang sejak zaman Belanda untuk melakukan emansipasi, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural, justeru semakin terpinggirkan. Ustadz Abdullah Thufail Saputra, seorang mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapat kesempatan untuk berkeliling hampir ke seluruh Indonesia, kecuali Irian Jaya, melihat bahwa kondisi umat Islam di Indonesia yang
165
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
semacam itu tidak lain karena umat Islam di Indonesia kurang memahami Al-Qur’an. Oleh karena itu, sesuai dengan sabda Nabi s.a.w. bahwa umat Islam tidak akan dapat menjadi baik kecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya, yaitu Al-Qur’an, Ustadz Abdullah Thufail Saputra yakin bahwa umat Islam Indonesia hanya akan dapat melakukan emansipasi apabila umat Islam mau kembali ke Al-Qur’an. Demikianlah, maka Ustadz Abdullah Thufail Saputra pun mendirikan MTA sebagai rintisan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sebelum mendirikan MTA, Abdullah Thufail sudah aktif menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan dakwah bersama dengan Abdullah Marzuki. Bentuk kegiatan mereka terutama adalah majlis taklim di Jl. Yosodipuro no 46 Punggawan Surakarta, sejak tahun 1970. Kegiatan majlis taklim itu sesungguhnya merupakan rintisan yang kemudian menjadi salah satu kegiatan utama Yayasan pendidikan Majlis Pengajian Islam (MPI), yang didirikan oleh Abdullah Marzuki. Kegiatan Majlis Pengajian Islam itu dikelola oleh Abdullah Thufail, yang sekaligus bertindak sebagai guru ngaji. Dalam perkembangannya, Abdullah Thufail dan Abdullah Marzuki berbeda pendapat tentang “hak-hak Imam dan Hak-hak Makmum.” Menurut Trisnojoyo, salah satu guru Pondok Pesantren as-Salam, seperti dikutip Mutohharun Jinan: perbedaan Pendapat itu melahirkan petisi dalam bentuk Surat Nomor 01/MPI/P/79 kepada Abdullah Thufail tentang tasrihun biihsan (berpisah dengan cara yang baik). Petisi tersebut berisi, (1) penarikan diri dari baiat kepada Imam Abdullah Thufail; (2) tetap memilih MPI sebagai wadah pengajian; (3) keputusan dipilih untuk kebaikan bersama. Abdullah Thufail akhirnya memilih untuk
166
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
mengembangkan Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA) berpisah dengan MPI secara baik-baik.”21 Setelah Abdullah Thufail meninggal dunia (1992), kepemimpinan MTA beralih ke Sukina. Proses penggantian dan pemilihan pimpinan berlangsung melalui musyawarah antar pengurus. Meskipun ada kelompok-kelompok yang menginginkan jabatan pimpinan, musyawarah secara aklamasi memilih Sukina sebagai pimpinan yayasan dan sekaligus sebagai imam dalam jamaah MTA. Hal itu ditandai dan dimulai dengan adanya salah seorang dari mereka yang membaiatkan diri kepadanya, kemudian diikuti dengan beberapa orang lainnya. Di antara alasan dipilihnya Sukina adalah karena kedekatan dan ketulusan dalam mengabdikan diri kepada Abdullah Thufail. Susunan Pengurus Yayasan Majlis Tafsir al-Qur’an sebagai berikut: Ketua Umum
:
Drs. Ahmad Sukina
Ketua I
:
Suharto Sag.
Ketua II
:
Dahlan Harjotaroeno
Sekretaris I
:
Drs. Yoyok Mugiyatno, MSi
Sekretaris II
:
Drs. Medi
Bendahara I
:
Mansyur Masyhuri
Bendahara II
:
Sri Sadono
21 Mutohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Garakan [sic] Majelis Tafsir Al-Quran,” 581-602, dalam Panitia ACIS, “The 11th Annual Conference on Islamic Studies: Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011, hlm. 588.
167
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Profil Aktivitas Dakwah A. Jamaah Muji Rosul (Jamura) Jamura mengembangkan model dakwah bil-lisan dengan tambahan muatan tradisi pembacaan berjanji dan sholawat. Gerakan dakwahnya dimotivasi oleh kecintaanya kepada Nabi Muhammad. Kecintaan itu ditunjukkan terutama dengan prosesi pembacaan sholawat secara massal, sebagai inti gerakan dakwahnya. Aktualisasi itu seringkali juga dilahirkan dengan kegiatan berdzikir, Maulid berzanji dan pengajian umum. Gerakan dakwah itu dilakukan secara berturut-turut selama dua belas hari. Pada tahun 2009, Jamura menggelar dua belas malam berdzikir dan bershalawat di berbagai tempat sebagai berikut: a) 25 Pebruari 2009, Pon. Pes. AL-MANSHUR Popongan, Tegalgondo, Klaten. b) 26 Pebruari 2009, Gedung BATARI Jl. Slamet Riyadi Surakarta c) 27 Pebruari 2009, THE SUNAN HOTEL Jl. Ahmad Yani Kerten Surakarta d) 28 Pebruari 2009, MASJID TEGALSARI Jl. dr. Wahidin Tegalsari Surakarta (Utara Sabar Motor ). e) 1 Maret 2009, Gedung Kecamatan Pasarkliwon, Jl.Kapten Mulyadi No. 278 Joyosuran Surakarta, (Perempatan Baturono ke selatan ± 200 m) f)
2 Maret 2009, Gedung STSI / ISI Kentingan Jebres Surakarta.
g) 3 Maret 2009, MASJID JAMI' Gedangan (depan Balai Desa Gedangan) Solo Baru Grogol Sukoharjo.(Bunderan Tanjunganom ke Selatan, DAIHATSU ke barat). h) 4 Maret 2009, Asrama Kostrad YONIF 413 Palur Mojolaban Palang Kereta Palur ke Timur, Bangjo (pertigaan) ke Selatan / arah Bekonang ± 1 Km.
168
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
i)
5 Maret 2009, Masjid AL FAJRU Perumahan Fajar Indah Baturan Surakarta.
j)
6 Maret 2009, Rumah Bp Suparmin (PT. Media Tama) Sumber Surakarta (sebelah utara Graha Sabha Buana Sumber).
k) 7 Maret 2009, PLN JI. Slamet Riyadi Purwosari Surakarta l)
8 Maret 2009, MASJID AGUNG SURAKARTA
Pada tahun 2011, kegiatan yang sama digelar, diberbagai tempat dengan jadwal sebagai berikut: a) Kamis, 3 Februari: PP. Al-Manshur, Popongan, Klaten. b) Jum'at, 4 Februari: RM. Bebek Goreng Pak Slamet Kartasura. c) Sabtu, 5 Februari: Masjid Baabussalam, komplek Kantor PLN Purwosari Surakarta. d) Ahad, 6 Februari: Gedung UNU Mojosongo. e) Senin, 7 Februari: Masjid Agung Surakarta. f)
Selasa, 8 Februari: Depan PP. Al-Muayyad Surakarta.
g) Rabu, 9 Februari: The Sunan Hotel. h) Kamis, 10 Februari: Lapangan. Ex. Atrium Solo Baru. i)
Jum'at, 11 Februari: Masjid Nurul Hikmah, Ngringo, PALUR.
j)
Sabtu, 12 Februari: Masjid Tegalsari.
k) Ahad, 13 Februari: Kantor PCNU Surakarta. l)
Senin, 14 Februari: Pendapi Ageng Balaikota Surakarta.22
22 Kegiatan duabelas malam berdzikir, mauled nabi dan bersholawat yang digelas Jamura pada tahun 2009 diumumkan tanggal 27 Pebruari 2009, yakni dua hari setelah kegiatan itu dimulai. Sedangkan kegiatan pada tahun 2011, diumumkan tanggal 26 Januari 2011, seminngu sebelum kegiatan itu berlangsung. Pengumumam dilakukan bukan di situs Jamura akan tetapi di situs milik pondok pesantren al-Muayyad. lihat http://almuayyad.org/kabar/50-jamura, diunduh 9 Nopember 2011
169
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Lokasi tempat diselenggarakannya kegiatan dakwah Jamura terdiri dari: (1) Panggung utama. Mereka yang ada di lokasi ini terdiri dari orang-orang yang ditokohkan, baik terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat maupun tokoh politik. Di antara mereka adalah pembaca utama sholawat dan muballigh yang memberikan taushiyah di akhir kegiatan dakwah Jamura; (2) Tempat di dekat panggung utama, memuat kira-kira 20-50an orang yang terdiri dari para pembaca sholawat dan pemain alat music rebana untuk mengiringi pembacaan sholawat mereka; (3) Tempat untuk peserta yang terhampar di depan panggung utama. Mereka yang menempati lokasi ini adalah jamaah dakwah Jamura yang berjumlah ribuan orang. Mereka duduk bersila sambil membaca, mengikuti dan menirukan bacaan sholawat yang dilantunkan oleh pembaca utama atau tim pembaca. Sementara itu, dalam prosesi pembacaan sholawat, peserta dakwah (unsur manusia dalam dakwah jamura) membaca, melafalkan dan melagukan teks berjanji dan sholawat secara bersama-sama. Pada saat tim pembaca yang duduk di panggung melantunkan teks berjanji dan sholawat, maka jamaah bertindak sebagai pendengar, namun pada saatnya yang telah ditentukan mereka bersama-sama membaca teks berjanji dan sholawat, menirukan apa yang telah dibaca oleh tim pembaca di atas panggung itu. Pembacaan shalawat sebagai ciri khas dakwah Jamura melibatkan beberapa pihak. Jadwal tersebut di atas menunjukkan hal itu, bahwa beberapa pondok pesantren, masjid, perguruan tinggi, kantor ormas keagamaan, kantor pemerintah, hotel dan rumah perorangan diijinkan untuk menjadi tempat kegiatan dakwah Jamura. Di samping itu, ada yang cukup menarik bahwa publikasi kegiatan Jamura justru dilakukan oleh organisasi lain, seperti Pondok Pesantren al-Muayyad, yang mempublikasikan
170
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
jadwal kegiatan jamura melalui situsnya, Majlis al-Hidayah,23 melalui radio al-Hidayah, majlis mempublikasikan secara luas kegiatan dakwah Jamura, hasil rekaman audio-visual proses dakwah Jamura dipubliksaikan lewat situs internet secara luas sehingga dapat didownload oleh siapapun. Tradisi pembacaan shalawat Nabi atau yang sering kita dengar dengan istilah shalawatan sebenarnya adalah sebuah tradisi lisan yang turun menurun dari leluhur sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih Allah, dan sebagai manusia terbaik sepanjang masa. Perkembangannyapun dinilai cukup signifikan, selain difungsikan sebagai sarana untuk berdzikir dan mendoakan Rasulullah SAW, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat pemersatu bahkan tidak menutup kemungkinan digunakan sebagai sarana politik untuk mendapatkan suara dan dukungan. Gerakan dakwah Jamura di Surakarta mengambil visi penyebarluasan tradisi bershalawat di masyarakat. Gerakan itu menjangkau mad’u di luar kota Surakarta dalam keikut sertaannya dalam penyebarluasan tradisi bershalawat di masyarakat pecinta Nabi Muhammad. Berbagai komunitas yang tersebar di mana-mana yang mengambil visi yang sama dalam kegiatan dakwah mereka, mendapat dukungan baru dengan kegiatan dakwah Jamura di Surakarta itu. Gerakan dakwah itu cukup menarik perhatian sebagian umat Islam. Ketertarikan bapak Yunus, salah seorang pengikut Abu Bakar Baasyir yang telah mengajukan permohonannya untuk ngunduh Jamura menjadi catatan khusus bagi pengelola Jamura. Kata salah seorang pengurusnya, permintaan itu menandai bahwa 23 Majlis al-Hidayah mempunyai berbagai forum dan kegiatan lain seperti Majlis khotmil Qur’an (berdiri 28 Oktober 2008), Satuan Tugas al-Hidayah (berdiri 2 Desember 2008); Al-Hidayah FM 107,6 fm Solo (berdiri 9 mei 2010); Pengajian Muslimat al-Hidayah (berdiri 24 Nopember 2010); Gerakan Pemuda al-Hidayah (berdiri 26 September 2010). Lihat http://majlisalhidayah.org/index.php/10-tentang-kami?start=4. Diunduh 9 nopember 2011
171
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Jamura diterima juga di kalangan kelompok garis keras.24 Pada tanggal 23 Mei 2011, Jamura menggelar kegiatan dakwahnya, hasil kerja sama dengan Qolbun Salim.25 Pada 29 Juni 2011, Jamura kembali menggelar kegiatan dakwah dengan nama “Parade Sholawat.” Parade bershalawat memuji Rasulullah Muhammad SAW dilakukan dari Lapangan Kota Barat menuju Balaikota Surakarta, yang melibatkan beberapa lembaga dakwah seperti Majelis Ahbaabul Musthofa, Al Hidayah, Ar Raudhah. Beberapa kelompok komunitas juga ikut meramaikan parade tersebut, seperti Korp Drumband Hizbul Wathan Kwarda Surakarta, 4 kereta kencana dan komunitas dari tarian sufi.26 Dakwah penyebarluasan tradisi bershalawat yang dikembangkan Jamura itu sedemikian unik, bahwa ada sebagian dari prosesinya yang peserta dakwahnya tidak dapat diidentifikasi siapa da’I dan siapa mad’u secara dikotomik. Jika da’i diartikan orang yang menyampaikan pesan dakwah sedangkan mad’u dipahami sebagai penerima pesan dakwah, maka dalam dakwah Jamura ada bagian dari proses dakwah, di mana status da’i dan mad’u tidak menetap pada orang perorang yang terlibat di dalamnya. Proses itu menggeser secara terus menerus status da’i dan madu pada setiap peserta secara silih berganti. Bagian dari proses itu misalnya ketika semua peserta menirukan, membaca, dan melafalkan kalimah-kalimah thoyyibah dalam bahasa Arab. Setiap individu dalam prosesi itu saling mempengaruhi emosi keagamaan mereka dengan lantunan yang disuarakan dengan keras secara bersama-sama itu. Mereka terlibat secara intensif 24
Wawancara dengan Samahin, pengurus Jamura, Sepetember 2011. Anisaul Karimah, “Lantunkan Solawat, Raih Ketentraman”, dalam Harian Joglo Semar, 24 Mei 2011. Lihat http://harianjoglosemar.com/berita/lantunkan-solawat-raihketentraman-44429.html. Diunduh 9 Nop 2011 26 Niza, “Parade Sholawat Peringati Istra Mi’raj 1432 H” dalam Timlo.net, http://senibudaya.timlo.net/baca/11294/parade-sholawat-peringati-isra-miraj-1432-h. Diunduh 9 Nopember 2011 25
172
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
dalam jiwa massa yang terbentuk akibat lantunan puji-pujian kepada Allah, sholawat untuk nabi Muhammad dan bacaan doadoa yang membahana.27 Proses saling mempengaruhi itu menyentuh aspek kejiwaan dan spiritualitas setiap peserta sehingga membentuk jiwa massa. Jiwa massa itu semakin menyedot setiap individu ketika proses itu sampai pada perubahan posisi peserta dari duduk bersila ke posisi berdiri, sambil melantunkan shalawat badar bersama-sama. Peserta dapat merasakan bahwa seolah-olah nabi Muhammad hadir bersama mereka, melintas di sekitar tempat mereka berdiri. Namun ada saatnya dimana pembaca utama melantunkan bacaannya dan yang lain mendengarkan. Dalam bagian inilah, maka dapat diidentifikasi bahwa pembaca bertindak sebagai da’I sedang lainnya bertindak sebagai mad’u. Kecuali itu, identifikasi siapa da’i dan siapa mad’u dapat dijumpai juga dengan mudah pada saat prosesi ada pada bagian taushiyah. Acara taushiyah berisi ceramah agama oleh seorang muballigh. Dalam setiap penampilan dakwah jamura, biasanya yang bertindak sebagai muballigh adalah Bapak Abdul Karim. Dengan demikian, maka juru dakwah yang terlibat dalam dakwah jamura bukan hanya muballigh, akan tetapi meliputi juga para pembaca teks berjanji dan sholawat serta para peserta lain pada umumnya yang berada di sekitar panggung. Yang dibaca adalah syiir pujian untuk nabi Muhammad yang dikembangkan oleh Habib Syekh. Bacaan-bacaan itu seluruhnya berbahasa Arab. Diperkirakan tidak semua peserta mengetahui arti teks syiir yang dilantunkan itu secara leksikal, akan tetapi mereka dapat merasakan secara emosional bahwa mereka sedang terlibat dalam 27 Bandingkan dengan Muhammad Sulthon, “Fungsi Dakwah dalam Penyebarluasan Ajaran Sadaqat pada Masa Nabi Muhammad,” tidak diterbitkan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2010, hal 56-77
173
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
suasana mengagungkan Allah, membacakan sholawat untuk nabi Muhammad dan memohonkan kepada Allah untuk diri mereka sendiri.
B. Majelis Tafsir Al Qur’an Ahmad Sukina mengembangkan model dakwah bil-lisan sebagai metode dakwah yang pokok dalam gerakan dakwah MTA. Dakwah Islam yang diselengggarakan MTA berisi ajakan agar umat Islam kembali kepada al-Qur’an dengan kegiatan utamanya berupa pengkajian al-Qur’an. Pengkajian al-Qur’an itu dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti bimbingan cara baca alQur’an yang dilakukan melalui Radio atau melalui pengajian rutin yang berisi telaah terhadap isi al-Qur’an untuk diamalkan.
Pengajian Pengajian yang diselenggarakan MTA dapat dibedakan menjadi pengajian khusus, pengajian umum dan pengajian binaan. Pengajian khusus adalah pengajian yang mad’unya (juga disebut dengan istilah peserta) terdaftar dan setiap masuk diabsen. Pengajian khusus ini diselenggarakan seminggu sekali, baik di pusat maupun di perwakilan-perwakilan dan cabangcabang, dengan muballigh yang dikirim dari pusat atau yang disetujui oleh pusat. Di perwakilan-perwakilan atau cabangcabang yang tidak memungkinkan dijangkau satu minggu sekali, kecuali dengan waktu yang lama dan tenaga serta biaya yang besar, pengajian yang diisi oleh muballigh dari pusat diselenggarakan lebih dari satu minggu sekali, bahkan ada yang diselenggarakan satu semester sekali. Perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang yang jauh dari Surakarta ini menyelenggarakan
174
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
pengajian seminggu-sekali sendiri-sendiri. Konsultasi ke pusat dilakukan setiap saat melalui telpun. Materi yang diberikan dalam pengajian khusus ini adalah tafsir Al-Qur’an dengan acuan tafsir Al-Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan kitab-kitab tafsir lain baik karya ulama-ulama Indonesia maupun karya ulama-ulama dari dunia Islam yang lain, baik karya ulama-ulama salafi maupun ulamaulama kholafi. Kitab tafsir yang sekarang sedang dikaji antara lain adalah kitab tafsir oleh Ibn Katsir yang sudah ada terjemahannya dan kitab tafsir oleh Ibn Abas. Kajian terhadap kitab tafsir oleh Ibn Abas dilakukan khusus oleh warga MTA yang kemampuan bahasa Arabnya telah memadai. Proses dakwah dalam pengajian khusus ini dilakukan dengan teknik ceramah dan tanya jawab. Mubballigh menyajikan meteri yang dibawakannya kemudian diikuti dengan pertanyaanpertanyaan dari mad’u. Dengan tanya jawab ini pokok bahasan dapat berkembang ke berbagai hal yang dipandang perlu. Dari sinilah, kajian tafsir Al-Qur’an dapat berkembang ke kajian aqidah, kajian syariat, kajian akhlak, kajian tarikh, dan kajian masalahmasalah aktual sehari-hari. Dengan demikian, meskipun materi pokok dalam pengajian khusus ini adalah tafsir Al-Qur’an, tidak berarti cabang-cabang ilmu agama yang lain tidak disinggung. Bahkan, sering kali kajian tafsir hanya disajikan sekali dalam satu bulan dan apabila dipandang perlu kajian tafsir untuk sementara dapat diganti dengan kajian-kajian masalah-masalah lain yang mendesak untuk segera diketahui oleh mad’u. Disamping itu, pengkajian tafsir Al-Qur’an yang dilakukan di MTA secara otomatis mencakup pengkajian Hadits karena ketika pembahasan berkembang ke masalah-masalah lain mau tidak mau harus merujuk Hadits.
175
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Pengajian umum adalah pengajian yang dibuka untuk umum, pesertanya tidak terdaftar dan tidak diabsen. Materi pengajian lebih ditekankan pada hal-hal yang diperlukan dalam pengamalan agama sehari-hari. Pengajian umum ini baru dapat diselenggarakan oleh MTA Pusat yang diselenggarakan satu minggu sekali pada hari Minggu pagi. Pengajian binaan adalah pengajian yang diselenggarakan oleh warga MTA di tingkat desa atas persetujuan dari pusat. Pengajian binaan dapat diselenggarakan di rumah-rumah warga MTA, dengan peserta terbatas. Proses dakwah dalam pengajian binaan, utamanya adalah mengkaji brosur yang dikeluarkan oleh MTA, yang dipimpin oleh ustad yang bertindak sebagai muballigh, dibuka tanya jawab untuk lebih memahami isi pesan dakwah yang dikaji. Apabila waktu masih tersisa, muballigh diperbolehkan membicarakan tema lain di luar brosur sebagai tambahan pengkayaan pesan dakwah untuk warga. Proses itu diakhiri dengan pembahasan problem kehidupan yang secara nyata dihadapi warga MTA. Pembahasan problem ini mengarah pada penyelesaian problem, yang apabila tidak dapat diselesaikan sendiri, maka problem itu akan disampaikan ke tingkat yang lebih tinggi untuk diselesaikan. Dari itu semua dapat dilihat bahwa yang dilakukan di MTA bukanlah menafsirkan Al-Qur’an, melainkan mengkaji kitab-kitab tafsir yang ada dalam rangka pemahaman Al-Qur’an agar dapat dihayati dan selanjutnya diamalkan. Pengajian merupakan metode utama penyebarluasan pesan dakwah MTA kepada mad’u, terutama warga MTA. Penyelenggaraan pengajian itu dipadukan dengan penggunaan media elektronik serta media cetak lainnya. Pengajian yang diselenggarakan di pusat selalu disiarkan secara langsung melalui Radio MTA FM dan disiarkan ulang pada waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, pesan itu dapat
176
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
disampaikan secara luas kepada warganya di berbagai tempat. Bahkan warga MTA dapat mengulang-ulang sendiri pengajian itu, karena warga juga diperbolehkan untuk mendapatkan rekaman pengajian itu, baik dalam bentuk cd maupun media dengar lainnya. Jika pengajian hanya dapat menjangkau warga terbatas, yaitu mereka yang hadir dalam forum pengajian, baik di tingkat pusat di Surakarta, di perwakilan, cabang atau desa, maka untuk mengatasi keterbatasan itu, MTA mengembangkan dakwahnya dengan penggunaan media elektronik dan cetak untuk keperluan penyebarluasan pesan dakwah kepada masyarakat mad’u yang lebih luas. Media elektronik yang dimiliki adalah Stasiun Radio MTA-FM dan MTA-TV. Sedangkan media cetak yang dimiliki adalah brosur MTA, majalah Mar’ah dan majalah Respon. Stasiun Radio yang dimiliki MTA bernama Radio MTA-FM yang mengudara di frekuensi 107,9 MHz. Sejak pertama kali mengudara dari awal tahun 2007, keberadaan radio MTA FM mampu menarik para pendengar untuk setia mendengarkan radio MTA FM. Format siaran dikemas dalam nuansa dakwah sehingga mampu menarik minat para pendengar yang haus akan syari’at islam yang sesuai dengan Al-qur’an maupun Assunnah. Di antara program siarannya adalah Tahsin al-Qur’an, Fajar Hidayah, Hikmah, Seputar haji. Program Tahsin, berisi tanya jawab untuk memperbaiki cara membaca al-Qur’an yang benar. Program siaran itu dipandu oleh seorang Ustadz yang membimbing bacaan alQuran, bisa dibacakan oleh pendengar melalui telpun atau bisa juga dari pembaca di stasiun Radio. Bacaan itu kemudian diulas, sesuai dengan ketentuan yang benar. Program Fajar Hidayah, program siaran radio yang berisi nasehat-nasehat untuk memperbaiki akhlak pendengar. Program ini merupakan pengembangan dari metode mauidhah hasanah yang
177
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
diselenggarakan menggunakan media radio. Dari dokumen yang peneliti terima, program ini menyampaikan mauidhah hasanah tentang persoalan berbakti kepada orang tua. Seperti pola yang dipakai dalam pengajian, muballigh membacakan ayat al-Qur’an tentang birrul walidain, kemudian diterjemahkan dan dijelaskan maksudnya. Tanya jawab dibuka untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan. Program Hikmah, termasuk program yang cukup menarik. Dalam program ini, radio memberi kesempatan kepada pendengar untuk memberikan testimoni, menyampaikan kisah yang terjadi di masyarakat, untuk diperbaiki. Siaran pada tanggal 11 April 2009 berisi penuturan pelaku yang mengalami proses perubahan dan kini sudah meninggalkan ketergantungannya pada benda-benda keramat yang dipercaya dapat membawa keselamatan. Dalam program itu, pendengar menyampaikan kisahnya secara langsung dan dikupas oleh nara sumber. Dalam wawancara dengan pengurus, di kantor Pusat MTA, terkumpul sejumlah benda-benda yang dikeramatkan. Benda-benda itu dikumpulkan dengan sukarela oleh para pemiliknya yang sudah sadar dan tidak bergantung lagi kepada nya.28 Program seputar haji, berisi siaran tentang ketentuanketentuan haji. Dalam dokumen yang diterima peneliti, program seputar haji menyampaikan laporan pandangan mata dari tanah suci, yang dilakukan oleh Ustadz Suprapto dan dipandu oleh Ustadz Zaenal Ahmad. Laporan pandangan mata ini cukup menarik, karena seolah-seolah membawa pendengar berada di tanah suci. Secara kognitif, pendengar dapat mengetahui ketentuan-ketentuan tentang haji, disamping itu, secara
28
178
Wawancara dengan Sekeratris MTA Pusat , Medi, September 2011
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
emosional, pendengar seolah-olah merasakan berada di tanah suci bersama jamaah haji yang lain. Radio MTA-FM juga melayani kelompok tertentu di masyarakat, seperti program Gurit macapat, sebuah program untuk para pendengar yang menyukai tembang-tembang macapat; Mitra Tani, untuk para petani yang menghadapi masalah pertanian; Taman Indria, program lagu-lagu anak-anak, untuk pendengar anak-anak; Saatnya Wanita Berbicara, sebuah program untuk para wanita, pembahasan tentang hal-hal yang terkait dengan segala persoalan wanita, psikologi anak-anak. Dari dokumen yang peneliti terima, program Saatnya Wanita Berbicara 6 April 2011 membahas tentang persoalan memulyakan anak; Tamago, program pelajaran bahasa Jepang, untuk para pelajar yang menyukai dan sedang mendalami bahasa Jepang; program Bahasa Arab, sebuah probram berisi obrolan singkat menggunakan bahasa Arab, yang penyajiannya diselingi dengan bahasa Indonesia, untuk para pelajar yang sedang mendalami bahasa Arab. Di samping itu, Radio MTA-FM juga menyiarkan problemproblem kesehatan dan psikologi dalam program yang disebut dengan Dokter dan program lainnya yang disebut dengan Psikologi. Dari dokumen yang diterima peneliti, pada tanggal 7 Januari 2009, program psikologi diasuh oleh Adi Nugroho, berisi tanya jawab tentang persoalan karir, pada siaran sebelumnya berbicara tentang konsep ego dan emosi. Program ini membatasi diri, tidak berbicara tentang psikologi anak. Tentang anak dibahas dalam program Saatnya Wanita Berbicara (SWB). Sedangkan program Dokter, tentang konsultasi kesehatan diisi oleh Dewi Anggorowati sebagai nara sumber. Kedua acara itu dikemas dalam bentuk tanya jawab.
179
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Program siaran Radio yang dikerjakan dengan menjalin kerjasama dengan lembaga lain antara lain adalah TKP dan Wedangan. Program TKP (Tanya Kepada Polisi) berisi siaran terkait dengan persoalan kriminal dengan menghadirkan pihak kepolisian. Pada tanggal 15 Nopember 2010, siaran TKP dipandu oleh pembawa acara Rudi sedang dari pihak kepolisian diwakili oleh Suprihadi, dari kasubag Binmas. Wedangan, program siaran yang dikemas dalam bentuk obrolan sambil ngombe wedang (minum teh/kopi), hasil kerja sama MTA dengan Menkominfo, membahas tentang persoalan internet, handphone (infrastruktur) dan diseminasi informasi. Pengajian MTA di tingkat pusat disiarkan secara langsung di Radio MTA FM dan disiar ulang pada waktu yang telah ditentukan di radio yang sama. Kata pengurus MTA, “Siaran langsung atau siar ulang itu dilakukan agar warga yang tidak sempat datang di pengajian, dapat mengikuti pengajian dari rumah atau di tempat lain yang terjangkau oleh siaran Radio MTA FM.”29 Siaran radio MTA FM menjangkau wilayah yang cukup luas. Dari wilayah eks karisedenan Surakarta seperti Kabupaten Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaten, Wonogiri, Sukoharjo dan Kodya Surakarta sampai sebagian wilayah Semarang selatan, gunung kidul, Pacitan, Bojonegoro, Ponorogo, Ngawi, Blora, Purwadadi, Cepu, Rembang dan Tuban. Bahkan sampai sekarang sudah menjamah luar negeri, yaitu melalui internet live streaming.
Potensi Konflik dan Integrasi Dalam Dakwah Penelusuran terhadap potensi konflik dan integrasi dalam dinamika dakwah di Surakarta dapat dilakukan melalui kajian
29
180
Wawancara dengan Sekeratris MTA Pusat , Medi, September 2011
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
terhadap visi purifikasi keagamaan. Ini bukan maksudnya bahwa siapapun yang melakukan gerakan dakwah puritan menjadi aktor munculnya konflik atau integrasi berbasis agama di Surakarta. Namun maksudnya bahwa gerakan purifikasi keagamaan telah disikapi secara berbeda oleh beberapa gerakan dakwah yang ada di Surakarta. Secara harfiah, purifikasi berarti pemurnian. Gerakan purifikasi yang muncul dalam konteks Islam biasanya disebut dengan gerakan Tajdid/Ishlah dan gerakan salaf. Tajdid/ishlah artinya ialah gerakan yang berusaha untuk memperbaiki kondisi umat yang lemah akibat tradisi, praktik dan kepercayaan yang salah. Gerakan salaf ialah gerakan yang mencoba mengembalikan kondisi Islam seperti pada masa generasi salaf (lampau) ketika Islam masih murni dan belum bercampur dengan konsep-konsep teologi asing. Beberapa karakter umum gerakan purifikasi adalah: (1) Anggapan terjadi penyimpangan pengamalan ajaran Islam di kalangan umat Islam hingga agama yang mereka anut bukan lagi Islam yang murni; (2) Penyimpangan terjadi karena penyalahgunaan tokoh-tokoh agama dan karena pengaruh dari ajaran non-Islam yang secara sengaja atau tidak, mempengaruhi pikiran umat Islam; (3) Sebagai jalan keluar dari keadaan itu, Islam harus dibersihkan dari berbagai penyimpangan dengan jalan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”; (4) Tipe ideal masyarakat yang dijadikan rujukan agama secara murni adalah generasi salaf, yaitu mereka yang hidup pada abad pertama Islam; (5) Ijtihad merupakan metode untuk memahami sumber ajaran Islam.30 30 Syafiq A Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 4. Lihat juga Mutohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Garakan [sic] Majelis Tafsir Al-Quran,” 581-602, dalam Panitia ACIS, “The 11th Annual Conference on Islamic Studies: Merangkai
181
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Salah satu dari sejumlah organisasi yang berdakwah di Surakarta, yang visi dakwahnya melakukan purifikasi keagamaan adalah Majlis Tafsir al-Qur’an. Di antara pesan dakwah MTA yang disampaikan kepada mad’u dalam kegiatan pengajian-pengajian berisi hasil penilaian tokohnya terhadap praktik beragama yang selama ini telah mentradisi di masyarakat. Dalam menyampaikan pesan dakwah, MTA berpedoman pada pemahamannya terhadap al-Qur’an dan Hadits. Ketika juru dakwah MTA tidak dapat menemukan keterangan secara ekplisit dalam al-Qur’an dan Hadits tentang praktik beragama dalam kehidupan masyarakat, maka hal itu dianggap sebagai bid’ah. Dalam membangun argumentasinya, MTA memaknai konsep bid’ah sebagai semua praktik beragama yang dianggap tidak Islam murni karena tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Semua yang termasuk dalam kategori bid’ah, apabila dilakukan apalagi dilestarikan, maka pelakunya dianggap menyimpang dari ajaran nabi Muhammad. Oleh karena itu, MTA mendorong semua anggotanya untuk menolak dan menghentikan semua praktik beragama Islam yang termasuk dalam kategori bid’ah, dimanapun mereka menjumpai hal itu. Menurut pandangan MTA, berdakwah sejatinya bukan hanya dimonopoli oleh tokoh MTA akan tetapi semua anggota MTA harus berdakwah sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Di antara praktik dakwah yang mudah dilihat dari gerakan MTA adalah keaktifan anggota MTA dalam mengamalkan pesan dakwah yang mereka pahami dari hasil pengajian yang mereka ikuti. Hal itu berpotensi menimbulkan konflik karena dakwah yang dilakukannya bersinggungan dengan tradisi beragama yang telah hidup di masyarakat. Dilihat dari pesan Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011, hlm. 583.
182
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
dakwahnya, praktek dakwah yang berpotensi menimbulkan konflik misalnya kegiatan anggota MTA dalam menyampaikan dan mengkritik praktik beragama di masyarakat yang dinilai bid’ah. Semua hal yang dinilai bid’ah harus ditolak. Hal itu dapat berdampak pada kerenggangan hubungan anak dan ibu, seperti kisah yang disiarkan MTA melalui radio. Didorong oleh ajaran bahwa tahlil itu bid’ah sehingga harus dihindari, anggota MTA yang orang tuanya masih mengamalkan ajaran tahlil, menolak perintah orang tuanya untuk membeli semua hal yang diperlukan sebagai persiapan kegiatan tahlil. Tindakan menolak perintah orang tua itu ditanyakan benar tidaknya oleh anggota MTA kepada Sukino. Hal itu dinilai oleh Sukino sebagai tindakan yang sudah benar. Praktik beragama seperti yang ditunjukkan oleh anak tersebut sesungguhnya merupakan bentuk pengamalan ajaran yang murni, karena keterangan tentang kegiatan tahlil dianggap tidak ada pembenarannya dari nabi Muhammad. Namun demikian, secara sosial, ternyata praktik beragama itu berdampak pada kerenggangan hubungan antara anak dan orang tua dalam keluarga tersebut. Secara internal, dakwah MTA telah menyatukan anggota MTA. Semua anggota terjalin dalam kesatuan ukhuwah yang kuat. Mereka bahu membahu, saling menolong baik dalam menghidupkan dan meramaikan pengajian-pengajian tingkat kecamatan atau desa yang diselenggarakan oleh anggota MTA di tingkat kecamatan dan desa maupun dalam mengamalkan ajaran Islam yang memerlukan kerja sama sejumlah orang seperti ibadah penyembelihan hewan qurban dan pendistribusiannya. Namun dalam hubungannya dengan anggota kelompok non-MTA, dakwah MTA direspon secara beranekaragam oleh anggota masyarakat yang praktik beragamanya dinilai bid’ah, seperti tradisi membaca tahlil, yasin, shalawatan, ziarah qubur, bersalaman
183
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
setelah salam dalam sholat lima waktu, membaca wiridan secara berjamaah setelah sholat berjamaah dan lain-lain. Sebagian dari respon itu adalah pengembangan dan penyebarluasan praktik beragama yang justru dinilai bid’ah oleh MTA. Bentuk respon tersebut dilakukan antara lain oleh Jamura, yang mengembangkan penyelenggaraan tradisi bershalawat secara massal. Juru dakwah Jamura juga berusaha memberi penjelasan kepada mad’u bahwa tradisi yang dinilai bid’ah itu, ada dalilnya dalam al-Qur’an atau hadits. Respon tersebut dilakukan dengan dakwah bil-lisan (seperti pesan dakwah dalam tausyiyah, pengajian dan melalui radio), dengan dakwah bil-hal (seperti mentradisikan kegiatan bersholawat secara massal) dan bil-qalam (seperti diterbitkannya buku Jamura Menjawab dan Ahlul Bid’ah Hasanah, Jawaban Untuk Mereka yang Mempersoalkan Amalan Para Wali).
Hubungan antar Kerukunan
Ormas
dalam
Upaya
Pemeliharaan
Upaya memelihara kerukunan kehidupan beragama selalu diusahakan oleh tokoh-tokoh agama di Surakarta. Kerukunan hidup beragama antar umat beragama diupayakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama Surakarta. Sedangkan pemeliharaan kerukunan hidup beragama intern umat Islam dilakukan oleh Majlis Ulama Indonesia Surakarta. Forum Kerukunan Umat Beragama menghimpun dan mensosialisasikan Undang-undang dan peraturan pemerintah yang berisi regulasi tentang kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam pemahaman FKUB Surakarta, peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri dalam negeri nomor 8/9 tahun 2007 masih memuat beberapa pasal dan ayat yang dapat menimbulkan multi tafsir yang berpotensi melahirkan konflik antar pengikut
184
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
agama. Oleh karena itu pada tanggal 27-28 Maret 2007 FKUB menggelar Workshop yang diantara tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi dan merumuskan kesepakatankesepakatan sebagai pedoman dalam mengatasi dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik antar umat beragama. Menurut Solekhan, Ketua FKUB Surakarta, penyelenggaraan workshop itu sebenarnya merupakan puncak dari serangkaian pertemuan-pertemuan tokoh-tokoh agama yang mewakili agama-agama Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu. Pertemuan itu diselenggarakan di kantor FKUB, mempersiapkan naskah yang akan dibicarakan dalam Workdhop tersebut.31 Pertemuan-pertemuan sebelum Workshop itu menghasilkan berbagai rumusan terkait dengan: (1) Bab, pasal dan ayat-ayat yang dianggap sudah jelas sehingga tidak memerlukan penjelasan dan rincian tambahan sebagai pedoman pelaksanaannya; (2) Bab, pasal dan ayat-ayat yang dianggap belum cukup jelas dan dapat menimbulkan multi tafsir sehingga memerlukan penjelasan dan rincian tambahan sebagai pedoman pelaksanaannya; (3) Hal yang belum diatur secara jelas oleh peraturan bersama tersebut, sehingga perlu dirumuskan pedoman tambahannya; (4) Rumusan-rumusan penjelasan dan rincian yang ditambahkan sebagai pedoman pelaksanaan dari bab, pasal dan ayat yang belum cukup jelas dan menimbulkan multi tafsir serta yang belum diatur dalam peraturan, sehingga ada penjelasan dan penafsiran tunggal sebagai pedoman pelaksanaan peraturan tersebut Rumusan yang sebenarnya sudah disepakati itu, kemudian menjadi naskah utama untuk dibicarakan dalam workshop tanggal 31
Wawancara dengan Solekhan, Ketua FKUB Surakarta, September 2011.
185
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
27-28 Maret 2007. Workshop dihadiri perwakilan dari unsur umat Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Workshop diselenggarakan di Balai Tawangarum Kompleks Balai Kota Surakarta, yang menghasilkan kesepakatan diantaranya: (1) Umat beragama di kota Surakarta mempunyai komitmen bersama untuk melaksanakan Peraturan Bersama Menteri Agama No 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri No 9/2006 dan siap melakukan sosialisasi dan mentaati hasil workshop agar tercapai kerukunan hidup antar umat beragama; (2) Terkait dengan penjelasan dan rincian yang perlu ditambahkan karena dipandang belum ada ketentuan untuk itu; bab, pasal dan ayat-ayat di dalamnya yang dipandang belum cukup jelas dan menimbulkan multi tafsir, peserta workshop menyepakati penjelasan dan rincian tambahan sebagai pedoman pelaksanaan peraturan tersebut.32 Hasil kesepakatan dalam workshop tersebut, kesepakatan dan berbagai peraturan lainnya yang relevan untuk pedoman kerukunan umat beragama dikumpulkan menjadi sebuah naskah. Peraturan dan kesepakatan lain yang dilampirkan dalam naskah itu adalah salinan lengkap a) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/9 tahun 2006 b) Peraturan Menteri Agama No 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama di Indonesia c) Undang-undang Sisdiknas no 20 tahun 2003 d) Undang-undang dasar 1945 yang sudah diamandemen
32 FKUB Kota Surakarta, “Rumusan Hasil Workshop Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Surakarta,” Tidak diterbitkan (Surakarta, 2007/1428)
186
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
e) Laporan Prof Dr. H.M. Rasjidi tentang Konferensi Meja Bundar Da’wah Islam dan Misi Kristen di Genewa tanggal 26-30 Juni 1976 f) Deklarasi HAM PBB versi bahasa Inggris dan versi bahasa Indonesia Kasus konflik yang pernah diselesaikan oleh FKUB antara lain pendirian tempat ibadah untuk umat Kristani di Pucang sawit kecamatan Jebres, yang dalam pemenuhan persyaratan administrasinya melibatkan wakil dari para pejabat yang berwenang untuk itu, tidak dengan pucuk pimpinannya. Persoalan ini sempat muncul ke permukaan dalam bentuk open-konflik. FKUB melalui forum rapat yang melibatkan semua pihak yang terkait menyelseasikan persoalan itu dengan cara pihak umat Kristiani diminta merubah persyaratan administratif tersebut. Konflik lainnya pendirian gereja sion di Srengan yang ditolak oleh masyarakat setempat. Sousinya gereja itu dipindah ke Kadipiro, banjarsari. Kasus-kasus itu diselesaikan dengan merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama No 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri No 9/2006 sebagai salah satu pedomannya. Peraturan tersebut dilengkapi dengan berbagai penjelasan dan rincian untuk pedoman pelaksanaannya dan diterbitkan dalam bentuk naskah kesepakatan. Naskah itulah yang kemudian digandakan dan menjadi bahan sosialisasi untuk masing-masing pengikut agama-agama di Surakarta, sebagai salah satu rujukan bagi para tokoh, pengikut agama dan FKUB dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul, terkait dengan hubungan antar agama di Surakarta. Meskipun naskah kesepakatan hasil workshop FKUB dimaksudkan sebagai pedoman untuk menjamin kerukunan antar umat beragama, namun dalam perkembangannya juga digunakan sebagai salah satu rujukan untuk mengatur dan menjamin
187
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
kerukunan internal umat Islam. Dalam wawancara dengan pengurusnya, MUI mensosialisasikan hasil kesepakatan yang dicapai dalam workshop FKUB tersebut. Majlis Ulama Indonesia adalah organisasi tempat berhimpunnya ulama, zuama dan cendekiawan muslim. Salah satu perannya, adalah sebagai pelopor gerakan perbaikan umat. Dalam peran itu, MUI dituntut untuk berfungsi sebagai pendamai dan pembina kehidupan beragama umat Islam. MUI memainkan peran pendamai ketika menghadapi konflik yang berkaitan dengan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Ada dua cara yang ditempuh untuk menyelesaikan konflik perbedaan paham keagamaan. Pertama, kompromi dan persesuaian (al-Jam’u wat Taufiq); kedua, mencari hukum yang lebih kuat (tarjih). Kedua metode itu merupakan alternatif-alternatif untuk menjaga kerukunan dan persaudaraan di lingkungan umat Islam. Sedangkan peran MUI sebagai pembina dilakukannya dengan cara-cara: (1) Memelihara dan membina kehidupan umat (hiamayah al-ummah) terutama dalam akidah, syariah dan akhlak; (2) Penguatan dan pemberdayaan kehidupan umat (taqwiyah alUmmah); (3) Berusaha terus menerus menyatukan umat (tauhid alummah).33; (4) MUI kota Surakarta harus memainkan perannya dalam membina kerukunan umat islam di Surakarta. Secara rutin, MUI kota Surakarta menyelenggarakan rapat dengan mengundang berbagai organisasi sosial islam yang ada di Surakarta. Melalui rapat, MUI berusaha untuk membangun dan menjamin kerukunan antar pengikut Islam di organisasi-organisasi keagamaan Islam yang ada. Dalam pandangan pengurus MUI, konflik antar umat Islam dipicu oleh kesalahpahaman pemikiran 33 MUI Pusat, “Surat Keputusan Musyawarah Nasional VIII MUI tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,” Nomor Kep-02/Munas VIII/2010, tidak diterbitkan, (Jakarta, 27 Juli 2010), halaman 32-33
188
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
agama yang ditablighkan oleh organisasi. Setiap organisasi yang berdakwah di Surakarta, tentu menyampaikan kepada orang lain, baik anggotanya maupun bukan anggotanya, pesan dakwah yang berdasarkan pada pemahaman keagamaan tokohnya. Pesan dakwah itu tentu yang bersesuaian dan ada pula yang saling menafikan. Praktek dakwah demikian dalam kenyataannya telah menimbulkan persinggungan inter umat Islam. Untuk menjamin kerukunan, MUI menyelenggarakan rapat untuk memfasilitasi terjalinnya komunikasi di antara pengikut berbagai organisasi sosial Islam itu. Dengan memperbanyak komunikasi, diharapkan perbedaan pemahaman tidak sampai muncul dalam bentuk tindakan kekerasan, paling jauh hanya muncul dalam kekerasan berkomunikasi, seperti yang pernah muncul dalam forum-forum rapat yang diselenggarakan FKUB ketika merumuskan penyikapan mereka terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no 8/9 tahun 2006. MUI kota Surakarta dipimpin oleh Zaenal Abidin, seorang Dokter yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen di Fakultas Kedokteran UNS. Dia bekerja pada salah satu amal usaha Muhammadiyah yaitu sebagai dokter di PKU (Pertolongan Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah kota Surakarta namun bukan pengurus Muhammadiyah.34 Baik pengurus Jamura maupun Muhammadiyah mengakui bahwa Zaenal Abdin adalah penasehat MTA, barangkali berkaitan dengan keaktifannya secara terbuka dan kesengajaan MTA mempublikasikan Zaenal Abidin sebagai penasehat MTA. Zaenal Abidin merupakan salah satu sosok yang menunjukkan adanya usaha menjalin kerukunan antara MTA dengan Muhammadiyah. Upaya lain untuk menjalin kerukunan antar anggota Jamura dan MTA ditunjukkan antara lain oleh ijin yang diterima salah seorang pengurus Majlis Wakil 34
Wawancara dengan Abdul Ghofar, anggota Muhammadiyah, September 2011
189
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Cabang NU Banjarsari Surakarta yang sekaligus anggota Jamura (Bapak Jupri) beserta rombongan haji lainnya untuk bergabung dengan bimbingan haji yang dikelola oleh MTA pada tahun 2011. Demikian juga ada pengurus MTA yang berguru al-Qur’an kepada Kyai Abdul Karim (pengurus Jamura).35
35
190
Wawancara dengan Ustadz safwan, Pengurus Jamura, Sepetember 2011.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Kegiatan dakwah dibedakan ke dalam dakwah kelompok dan dakwah perorangan. Dakwah kelompok menunjuk pada gerakan dakwah yang dilakukan oleh sekelompok orang yang terhimpun dalam suatu organisasi. Sedangkan dakwah perorangan menunjuk pada kegiatan dakwah yang dilakukan oleh seseorang yang tidak terikat dengan organisasi tertentu. Kegiatan dakwah dilakukan oleh perorangan yang tidak dikelola dalam dan oleh suatu organisasi. Di Surakarta ada beberapa organisasi sosial keislaman yang melakukan kegiatan dakwah secara kelompok. Di antara organisasi itu adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majlis Pengajian Islam, Ahbabul Musthofa, Majlis Tafsir al-Qur’an, alIslam, Front Pemuda Islam Surakarta, Jamaah Muji Rasul (Jamura), Lembaga Dewan Dakwah Indonesia dan lain lain. Di samping itu, ditemukan pula sejumlah da’i yang terdiri dari muballigh (sebanyak 299) dan penyuluh agama non-PNS (sebanyak 169 orang) yang tersebar di berbagai daerah. Kemenag Kota Surakarta melaporkan di Banjarsari ada 74 orang muballigh, Jebres 108, Pasar Kliwon 35, Serengan 18, dan Laweyang 64. Sebagian dari
191
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
mereka berdakwah secara perorangan berdakwah secara berkelompok.
dan ada pula yang
Mereka yang berdakwah melalui wadah organisasi, ada yang dakwahnya dimaksudkan untuk membina kehidupan agama anggota kelompok masing-masing dan ada pula yang ditujukan untuk mempengaruhi orang-orang di luar kelompoknya, agar bergabung baik secara terselubung maupun terang-terangan. Gerakan dakwah demikian dilakukan oleh masing-masing organisasi dan setiap orang Islam secara individual yang terpanggil untuk berdakwah, yang hidup di Kota Surakarta. Kesemarakan dakwah di Kota Surakarta itu juga tercermin pada pemanfaatan sarana komunikasi dan tradisi yang berkembang di masyarakat, untuk media dakwah. Pesan-pesan dakwah itu diterpakan kepada mad’u dengan berbagai cara dan dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi yang tersedia. Di antara pesan-pesan itu ada yang saling mendukung dan ada pula yang saling menafikan. Persinggungan dan pertemuan isi pesan-pesan dakwah yang dibawakan oleh berbagai media itu menjadi bagian dari muatan informasi yang menimpa warga Masyarakat Kota Surakarta. Sehingga dapat dibayangkan bahwa penduduk Kota Surakarta hampir tidak dapat melepaskan diri dari jeratan proses saling mempengaruhi dan dipengaruhi dengan pesan ajaran Islam. Dakwah umat Islam sesungguhnya dilakukan untuk membela, mempertahankan, menyebarluaskan dan memperjuangkan berlakunya ajaran Islam di muka bumi. Sebagian dari Umat Islam berdakwah untuk memurnikan ajaran Islam. Dakwah puritan itu didasarkan pada asumsi (pertama), pengamalan ajaran Islam di kalangan umat Islam telah menyimpang dari Islam yang murni, (kedua) penyimpangan itu terjadi karena ajaran-ajaran non-Islam mempengaruhi pemikiran
192
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
umat Islam, yang (dengan sengaja maupun tidak disengaja) dimasukkan oleh tokoh-tokoh agama, dengan berbagai motif yang melatar belakanginya, (ketiga) sebagai jalan keluar dari keadaan itu, Islam harus dibersihkan dari berbagai penyimpangan dengan jalan kembali “kepada al-Qur’an dan Sunnah.” (keempat) tipe ideal masyarakat yang dijadikan rujukan beragama secara murni adalah generasi awal Islam, (kelima) ijtihad merupakan cara untuk memahami sumber ajaran Islam.36 Dakwah puritan mengembangkan dikotomi bid’ah dan sunnah. Perilaku bid’ah, maksudnya pengamalan yang tidak ada rujukannya pada al-Qur’an dan Sunnah, sedang perilaku sunnah adalah perilaku yang ada rujukannya pada al-Qur’an dan Sunnah, yaitu perilaku yang ada contohnya pada masa nabi atau generasi Islam awal. Dakwah puritan mempertahankan argumentasinya bahwa berdakwah merupakan proses mengembalikan dan mempertahankan kemurnian Islam, seperti didakwahkan Nabi Muhammad. Bagi mereka, berdakwah secara sederhana merupakan proses mengganti perilaku yang masuk kategori bid’ah dengan sunnah.
Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA) Salah satu organisasi yang aktif melakukan kegiatan dakwah puritan adalah MTA. Para da’i yang terhimpun dalam Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) berdakwah melalui berbagai bentuk kegiatan seperti kegiatan pengajian, kegiatan pendidikan, kegiatan sosial, kesehatan, ekonomi serta penerbitan, komunikasi dan informasi, untuk mengembalikan dan mempertahankan kemurnian Islam. 36 Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam, Perumusan jaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), halaman 4.
193
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Mereka terdiri dari tokoh-tokoh yang ahli dalam bidangnya, berdakwah dengan menyampaikan keahliannya untuk membangun dan memperbaiki kehidupan warganya. Sementara itu, orang-orang yang tergabung sebagai warga MTA dengan rutin mendatangi pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh MTA. Mereka yang tidak hadir, diberi kesempatan untuk mengikuti pengajian melalui media Radio atau rekaman, untuk mengembalikan Umat audial yang dapat diperoleh warga MTA. Kegiatan dakwah MTA memberi peluang kepada semua anggota MTA untuk dapat mengembangkan ketaatannya dalam beragama melalui berbagai kegiatan sosial, kesehatan dan lainlain. MTA memberi kesempatan kepada mereka yang kompeten dalam bidangnya masing-masing, mengimplementasikan ilmunya untuk kepentingan dakwah. Para dokter berdakwah melalui pelayanan kesehatan, demikian juga petani dan anggota-anggota dengan berbagai keahlian lainnya. MTA mengelola penyembelihan dan pendistribusian daging Qurban kepada yang berhak secara kolektif, sebagai bagian dari kegiatan dakwah sosial mereka. Pembinaan keagamaan untuk anggota MTA lainnya dilakukan melalui pengajian rutin dalam bentuk monolog dan dialog. Pengajian rutin itu diikuti oleh anggota MTA baik yang berasal dari Kota Surakarta maupun dari luar. Dalam pengajian rutin itu, para da’i menyampaikan pesan-pesan dakwah yang bersumber dari al-Qur’an, yang mengacu pada terjemah al-Qur’an yang diterbitkan oleh kementerian agama dan beberapa kitab tafsir lain. Struktur organisasi MTA di tingkat pusat terletak di Surakarta, pengurus perwakilan terletak di tingkat Kabupaten,
194
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
pengurus cabang di tingkat kecamatan. Selain itu, anggota MTA dapat membuka pengajian binaan yang terletak di tingkat desa. Pembukaan pengajian binaan di tingkat desa tidak ada batasan, bahkan satu atau dua anggota MTA di suatu desa yang merasa mampu menyelenggarakan pengajian, mereka dapat membuka pengajian binaan. Pengajian di tingkat pusat di atur berbeda dengan di tingkat bawahnya. Prosesi pengajian binaan,di tingkat cabang maupun perwakilan pada dasarnya mempunyai pola yang sama. Prosesi itu terdiri dari pembukaan, pembacaan dan pembahasan brosur, laporan anggota MTA yang tidak dapat hadir. Penjelasan dan dialog tentang isi brosur, jika masih ada waktu maka da’i diberi kesempatan untuk menjelaskan tema lain sebagai tambahan isi ceramahnya. Kemudian di akhiri dengan penutup. Dakwah MTA menyebarluaskan beberapa ajaran Islam yang terkadang tidak sama dengan praktek beragama yang telah berlaku di masyarakat. Materi dakwah mereka ada yang berkaitan dengan pengamalan sebagian umat Islam yang telah terbiasa dilakukan dalam kegiatan sehari-hari, yang dinilai MTA sebagai tindakan menyimpang. Di antara perilaku yang dimaksud adalah tindakan berjabat tangan setelah salam dalam setiap shalat lima waktu yang dilakukan secara berjamaah; pembacaan tahlil, barzanji, manaqib seperti yang mentradisi di sebagian lingkungan umat Islam dan merayakan ulang tahun termasuk acara mauludan (perayaan memperuingati hari lahir nabi Muhammad, yang biasanya diperingati dengan pembacaan solawat dan puji-pujian untuk nabi Muhammad). Untuk lebih memperluas jangkauan terpaan pesan dakwah, MTA juga menggunakan media massa sebagai sarana
195
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
dakwah mereka. Di antara media elektronik yang digunakan MTA adalah Stasiun Radio MTA dan MTA-Televisi (MTA-TV) sedangkan media cetak antara lain brosur, majalah Mar’ah, majalah Respon. Media massa itu berfungsi untuk menyampaikan kepada anggota dan masyarakat, pesan dakwah pemimpin mereka atau para da’i MTA pada umumnya, juga berfungsi untuk menyampaikan informasi tentang berbagai kegiatan dan kemajuan organisasi kepada anggota.
Jamaah Muji Rasul (Jamura) Dakwah kelompok lainnya di Kota Surakarta adalah ritual kolosal yang diselenggarakan oleh Jamaah Muji Rosul. Dakwah Jamaah Muji Rasul (Jamura) itu mengambil bentuk penyelenggaraan tradisi membaca tahlil, barzanji dan shalawat yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat Surakarta secara luas, sebagai manifestasi kecintaan umat kepada nabi Muhammad. Kecintaan kepada Nabi Muhammad, yang telah mentradisi dalam bentuk pembacaan barzanji dan shalawat dilestarikan oleh Jamura, diharapkan dapat membangkitkan kembali tradisi lama yang bermanfaat untuk meningkatkan ketaatan umat Islam kepada nabi Muhammad. Dakwah Jamura itu dalam kenyataannya dapat menarik masyarakat luas untuk ikut ambil bagian. Mereka yang mengelola dakwah Jamura terdiri dari orang-orang yang ditokohkan secara kultural sebagai orang Nahdlatul Ulama. Namun demikian, penyelenggaraan dakwah jamura itu bersifat terbuka, artinya siapa saja dapat “mengunduh” kegiatan itu. Kegiatan dakwah Jamura pernah ditawarkan kepada Muhammadiyah. Kalangan birokrat,
196
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
kyai pondok pesantren, tokoh-tokoh masyarakat merasa mendapat kepuasan beragama melalui kegiatan tersebut. Prosesi dakwah Jamura diawali dengan pembacaan Tahlil, Barzanji, sholawat dan diakhiri dengan taushiyah. Pembacaan barzanji dan shalawat dilagukan oleh mereka yang fasih melafalkan teks barzanji dan sholawaat, diiringi dengan musik tradisional rebana. Seluruh prosesi itu kemudian didokumentasikan untuk dipublikasikan melalui media Radio alHidayah, internet dan bahkan ada juga yang mendokumentasikannya dalam bentuk CD untuk diperjual belikan. Kegiatan dakwah Jamura telah ikut menyemarakan kegiatan dakwah di Kota Surakarta, dengan slogan “memasyarakatkan shalawat dan menshalawatkan masyarakat.” Kata salah seorang pengurus Jamura, Kyai Shofwan Fauzi, berkat kegiatan Jamura, anak-anakpun sekarang lebih gemar membaca shalawat. Isi pesan yang disampaikan melalui tausiyah biasanya berisi penjelasan tentang informasi yang membangkitkan amalanamalan keislaman, berfungsi untuk semakin memantapkan amalan yang selama ini telah mentradisi, yang tidak menyimpang dari sunnah nabi Muhammad. Materi dakwah yang disampaikan Jamura sebagian merespon materi dakwah yang disampaikan oleh MTA. Jika MTA mengembangkan dakwahnya untuk menghapus praktek-praktek beragama yang dinilai menyimpang dan dinilai bid’ah, Jamura justeru berusaha melestarikan praktek pengamalan agama yang sudah mentradisi, dengan menunjukkan dasar naqlinya sebagai bantahan atas penilaian bid’ah dari pihak MTA. Meskipun demikian, jamura berusaha untuk meredam amuk massa yang mungkin muncul di lingkungan jamaahnya. Para muballigh
197
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
Jamura selalu menyampaikan tausiyah mereka, agar tidak menyinggung perasaaan orang lain dalam beragama meapun berhubungan sosial. Ada mekanisme yang dikembngkan dalam proses pembacaan shalawat, bahwa setiap kali muballigh menyinggung atau menyebut tokoh tertentu dengan nada negatif, maka seseorang pengurus segera menegur dan menghentikan prosesi taushiyah. Dengan demikian, pengajian (taushiyah) tidak menghasut jamaah (mad’u) untuk melakukan kekerasan kepada kelompok lain.37
37 Wawancara dengan, Kyai Samachin, pengurus Jamura di Surakarta, tanggal 21 September 2011
198
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Anisaul Karimah, “Lantunkan Solawat, Raih Ketentraman”, dalam Harian Joglo Semar, 24 Mei 2011, dalam http://harianjoglosemar.com/berita/lantunkan-solawat-raihketentraman-44429.html. Diunduh 9 Nopember 2011. Arifianto Muhammad Lukman, “Tradisi ‘Shalawatan’ dalam Perspektif Habib Syekh dan Ahbabul Musthofa,” dalam http://blog.ugm.ac.id/2010/11/04/tradisi-shalawatan-dalamperspektif-habib-syekh-dan-ahbabul-mushthofa/ diunduh 19 Nopember 2011 Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010, Bimas Islam Dalam Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Burhanuddin Muhtadi, “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddin-muhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011
199
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
FKUB Kota Surakarta, “Rumusan Hasil Workshop Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Surakarta,” Tidak diterbitkan (Surakarta, 2007/1428) http://almuayyad.org/kabar/50-jamura, diunduh 9 Nopember 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama diunduh tanggal 9 Mei 2011 http://majlisalhidayah.org/index.php/10-tentang-kami?start=4. Diunduh 9 Nopember 2011 http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringanmuhammadiyah.html diunduh tanggal 9 Mei 2011 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004 Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010. Muhammad Sulthon, “Fungsi Dakwah dalam Penyebarluasan Ajaran Sadaqat pada Masa Nabi Muhammad,” tidak diterbitkan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2010 MUI Pusat, “Surat Keputusan Musyawarah Nasional VIII MUI tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,” Nomor Kep-02/Munas VIII/2010, tidak diterbitkan, (Jakarta, 27 Juli 2010). Mutohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Garakan [sic] Majelis Tafsir Al-Quran,” 581-602, dalam Panitia ACIS, “The 11th Annual Conference on Islamic Studies: Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011,
200
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
Niza, “Parade Sholawat Peringati Istra Mi’raj 1432 H” dalam Timlo.net, http://senibudaya.timlo.net/baca/11294/parade-sholawatperingati-isra-miraj-1432-h. Diunduh 9 Nopember 2011 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, USA: Indiana University Press, 2004 Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam, Perumusan jaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
201
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
202
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
V DAKWAH NAHDLATUL ULAMA, MUHAMMADIYAH DAN PERSATUAN ISLAM DI KOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR Oleh: Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
203
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
204
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Latar Belakang Masalah Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional yang merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan. Artinya, stabilitas keamanan dan ketentraman bangsa Indonesia serta pelaksanaan pembangunan nasional akan terganggu jika terjadi ketidak rukunan umat beragama. Sementara itu, bagian terbesar dari penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karenanya, kerukunan di kalangan umat Islam menjadi bagian penting dan faktor yang sangat berpengaruh bagi terciptanya kerukunan nasional Indonesia. Jika umat Islam rukun maka setidaknya 88% penduduk Indonesia dalam suasana kondusif, dan hal itu akan mewarnai keseluruhan kondisi bangsa Indonesia. Demikian juga sebaliknya. Secara umum, kondisi kerukunan umat Islam di Indonesia berjalan baik. Budaya saling menghormati, silaturahmi, hingga kerjasama sosial terwujud dalam berbagai bidang kehidupan. Lebih lagi, umat Islam memiliki konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) di samping konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan
205
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran, ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama. Namun demikian, potensi ketidakrukunan diketahui tetap ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid38, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.39 Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepentingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
38
Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189. 39 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddinmuhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
206
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
pendalaman ajaran agama melainkan sebagai upaya perekrutan untuk penambahan keanggotaan kelompok tertentu. Di sisi lain, dakwah Islam terus menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal. Secara internal, dakwah Islam menghadapi (atau mengalami) variasi pemahaman keagamaan yang berhadapan diametral: liberal dan fundamental. Kalangan liberalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada sisi yang lebih bercorak rasional, longgar, dan permisif. Di sisi lain, kalangan fundamentalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada suatu pemahaman yang kaku, literalis, dan kohersif bahkan dalam tingkat tertentu menjadi cenderung radikal. Selain itu, dakwah mengalami tantangan internal yang bersifat klasik, yakni keterbatasan dana, sarana prasarana, dan daya jangkau wilayah. Dakwah bergerak dengan dana terbatas yang kemudian menjadi alasan terbatasnya aktivitas dan jangkauan wilayah dakwah. Yang tidak kalah penting, dakwah juga menghadapi tantangan internal berupa kemandegan kaderisasi penyampai dakwah serta pergesekan antar kelompok umat, terutama terkait dinamika politik-praktis tertentu. Belum lagi kompetisi dakwah terjadi antara kalangan Islam mainstream dengan kelompok yang dinilai sempalan atau menyimpang yang terus berkembang dan dinilai ‘menggerogoti’ umat dari dalam. Secara eksternal, tantangan globalisasi dan modernisasi cukup mempengaruhi dakwah. Kedua hal ini dalam tingkat tertentu telah melalaikan (atau mematikan) upaya dakwah. Arus teknologi informasi yang demikian dahsyat telah menumbuhkan budaya masyarakat yang materialistik, hedonistik, atau bahkan bertendensi pendangkalan akidah hal-hal yang kontradiksi dengan misi utama dakwah. Selain itu, hal klasik, kreativitas dan agresivitas mission dan atau penyiaran agama lain, menjadi bagian dari tantangan eksternal dakwah Islam.
207
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern maupun ekstern umat beragama di Indonesia. Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439 Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.40 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat provinsi ada Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan Jamaah 40 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdla-tul_Ulama diunduh tanggal 9 Mei 2011.
208
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Muhammadiyah.41 Ormas Islam lainnya yang jumlahnya ratusan juga memiliki jaringan dakwah masing-masing yang luas meski masih terbatas.42 Bahkan, di samping sejumlah ormas tersebut, terdapat sejumlah kelompok gerakan dakwah Islam yang bersifat non-ormas tetapi memiliki pengaruh dan aktivitas dakwah yang cukup signifikan juga di masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini adalah gerakan dakwah Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah aliran tarekat. Maka kontestasi dan kompetisi dakwah di tengah masyarakat muslim Indonesia kian semarak. Para pelaku dakwah melakukan beragam gerakan dakwah, baik gerakan pemikiran maupun gerakan praksis organisasional, dalam kancah dakwah yang sama. Adu wacana hingga beberapa gesekan tidak jarang terjadi. Maka pada titik inilah, penting untuk melihat peran dan interaksi diantara beragam pelaku dakwah Islam dalam melakukan dakwahnya terutama dalam kaitan pemeliharaan kerukunan intern umat beragama (Islam).
Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian dengan mengajukan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat? (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah? (3) Bagaimana upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
41 Informasi dari http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringanmuhammadiyah.html diunduh tanggal 9 Mei 2011. 42 Jumlah ormas/LSM Islam pada 2009 yang terdata pada Direktorat Penerangan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama adalah 1.185 buah lembaga, dengan 60 diantaranya merupakan kepengurusan/kepemimpinan ormas di tingkat pusat. Lihat Bimas Islam Dalam Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Lampiran hlm. 103-105.
209
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat. (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah. (4) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional Dakwah Kata dakwah berasal dari bahasa Arab, da’wah yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. Orang yang berdakwah disebut da’i dan orang didakwahi disebut mad’u (Munawir, Kamus alMunawwir, 1997: 406-407, sebagaimana dikutip Wahiddin Saputra, 2011: 1). Sedangkan menurut istilah kata dakwah banyak didefinisikan oleh para ahli, antara lain: Prof. Dr. Hamka memberikan definisi dakwah adalah seruan panggilan untuk menganut suatu pendirian yang ada dasarnya berkonotasi positif dengan substansi terletak pada aktifitas yang memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar (Wahidin Saputra, 2011: 2).
Kerangka Konseptual Dakwah by nature berarti upaya mengajak (ud’uu, ajaklah). Bentuknya bisa bermacam ragam: performa yang menarik, konsep pemikiran yang logis menjanjikan, strategi yang menentramkan, dan lain sebagainya. Bisa dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun sikap. Anasir dakwah sendiri meliputi: pendakwah (da’i), yang didakwahi (mad’u), pesan dakwah (maddah), metode dakwah (thariqoh), media dakwah (wasilah), dan efek dakwah (atsar). Unsur-unsur seperti inilah yang hendak diwakili kata ‘profil’ dalam penelitian ini. Bahwa pengenalan (identification) dan pemahaman (comprehension) pada
210
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
identitas para pelaku dakwah penting untuk memberikan latar atas asumsi-asumsi atau sikap yang dimanifestasikannya dalam konteks hubungan antar umat beragama. Telah banyak teori yang menunjukkan adanya kaitan antara pemahaman keagamaan (religious thought) dengan sikap manifest keberagamaan, misalnya. Demikian juga, ada kaitan erat antara pengaruh figur tokoh kelompok pelaku dakwah dengan karakter sikap anggotanya. Masih termasuk kategori profil di atas, peran pelaku dakwah juga penting dilihat. Peran berarti sikap atau ekspresi nyata dari dakwah: seperti apa dakwah dilakukan. Dengan asumsi keutuhan (comprehensiveness) peran dakwah, maka yang hendak dilihat adalah segala aspek peran dakwah dalam ranah-ranah yang luas, yakni: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Pemahaman atas peran-peran dakwah dalam beragam ranah ini juga dapat memberi konteks pada sikap-sikap pelaku dakwah dalam hubungan antar umat beragama. Secara teoritik, suatu gejala sosial pasti dipengaruhi lebih dari satu faktor, alias banyak faktor. Maka pengayaan ranah semacam ini sejatinya akan sangat membantu memahami suatu gejala tertentu yang hendak diketahui, yakni perihal hubungan antar umat beragama. Karena dakwah sifatnya mengajak, apalagi menjadi sebuah ‘gerakan’dakwah, maka hal ini meniscayakan adanya interaksi (take and give, collaborative, atau justeru konflik) dengan pihak-pihak lain, baik yang didakwahi maupun pelaku dakwah lainnya. Selain itu, secara substansial, interaksi juga terjadi antara da’i dengan sasaran dakwah (mauidzatul hasanah atau mujadalah), da’i dengan media dakwah (bil lisan, bil hal, atau bil qolam), dan da’i dengan pesan dakwah (sumber, pola memahami ajaran, dan ekspresi). Sementara itu, yang didakwahi adalah komunitas yang sama (umat Islam), dan yang menjadi pelaku dakwah adalah kelompok-kelompok gerakan dakwah yang memiliki profil dan peran yang beragam. Maka
211
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
potensi adanya ketidak rukunan diasumsikan (atau diyakini) ada. Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah, mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai efek atau atsar dari dakwah.
Kajian Terdahulu Penelitian dan kajian tentang gerakan dakwah Islam telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Quintan Wiktorowicz dalam buku yang dieditorinya Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach43 , sesuai judulnya, memberi gambaran tentang kasus-kasus gerakan keagamaan Islam di berbagai negara dengan pendekatan teori gerakan sosial. Yang menarik, kajian ini mendefinisikan aktivisme Islam (gerakan islam) secara lebar, tidak hanya pada sesuatu ormas atau gerakan terorganisir tertentu, melainkan juga pada kelompok pendemo ‘berbendera’ Islam, aksi yang membawa simbol atau identitas Islam, kelompok teroris, kelompok yang hendak mendirikan negara Islam, dan termasuk kelompok spiritual. 2) Melalui kajian dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,44 Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.) memetakan empat gerakan Islam yang dikategorikan salafi radikal (FPI, Laskar Jihad, MMI, dan HTI), dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat muslim Indonesia. Di bagian akhir, sebagai bagian tak terpisahkan, disertakan hasil penelitian PPIM tentang Islam dan Konsolidasi Demokrasi. Temuan penting penelitian ini 43 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, USA: Indiana University Press, 2004. 44 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
212
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
menunjukkan bahwa meski fenomena gerakan salafi radikal itu ada di Indonesia, namun mayoritas muslim masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran. 3) Dr. Khalimi, MA mendaftar dan memberi informasi tentang profil dan aktivitas sejumlah penggiat dakwah, tepatnya 15 ormas Islam. Dalam bukunya berjudul Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik ini,45 Khalimi menunjukkan adanya ragam karakter ormas Islam yang tetap harus dipandang sebagai rahmat. Kajian kompilatif ini tidak banyak memberi perspektif selain menginformasikan identitas dan posisi sejumlah ormas yang notabene cukup dikenal sebagiannya karena sifat kontroversialnya. 4) Kajian penting tentang pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional di Indonesia dalam hubungannya dengan ormas Islam lokal dipaparkan di buku Ilusi Negara Islam46 yang dieditori KH. Abdurrahman Wahid. Salahsatu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa sejumlah gerakan keagamaan memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari Timur Tengah, seperti gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang menganut ideologi totalitarian sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis atas ambisi politisnya. 5) Tholkah (dkk), Budaya Damai Masyarakat Karimunjawa, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2010. Hasil penelitian ini menemukan beberapa unsur lokal yang membentuk budaya 45 Dr. Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010. 46 KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Bandingkan dengan kajian serupa yang dilakukan oleh Greg Barton dengan horizon yang lebih luas, dalam Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010, hlm 133-148.
213
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
damai masyarakat Karimunjawa. Unsur-unsur dimaksud, (pertama) perasaan senasib sebagai pendatang. Kedua, medan budaya, yaitu semacam ruang budaya yang mengikat kebersamaan mereka, seperti Makam Sunan Nyamplungan, Cangkrukan, Lomban dan ritual slametan. Ketiga, perkawinan antar etnis. Unsur lokal ini telah membuat identitas sebagian masyarakat Karimunjawa menjadi multietnis seperti fenomena ‘Jambu’ yaitu identitas komunitas Jawa-Madura-Bugis. Keempat, penguasaan beragam bahasa. Komunikasi multilanguages ini tidak hanya terjadi dalam pergaulan sosial antar warga, akan tetapi juga banyak terjadi dalam satu keluarga yang terdiri dari etnik yang beragam. Kelima, pendidikan keragaman. Di Karimunjawa, pendidikan keragaman telah diperkenalkan oleh orang tua sejak dini khususnya bagi mereka yang melakukan perkawinan antar etnik. Dalam pendidikan formal sekolah, guru-guru yang multi etnik mengajar murid-murid yang multi etnik pula. Keenam, kearifan lokal, seperti budaya wirang, budaya penyelesaian sengketa non-pengadilan, gotong royong dan mitos-mitos. Mitos-mitos itu dipahami sebagai pendorong upaya mereka untuk secara kolektif menjaga kelestarian sejarah dan lingkungan mereka serta berfungsi sebagai peneguh identitas mereka. Mitos-mitos yang masih bertahan antara lain mitos pohon dewandaru, mitos pohon sitigi, mitos air Mbah Hasan, mitos Mustaka Masjid Amir Hasan. 6) Musahadi (dkk), Segregasi Etno-Religius di Pulau Lombok (Studi Identifikasi atas Potensi-potensi yang dapat Dikembangkan untuk Resolusi Konflik dan Pengembangan Damai, Semarang, Walisongo Mediation Center, 2009. Segregasi etno-religius di wilayah Lombok, khususnya di Mataram terjadi karena migrasi penduduk dan juga merupakan implikasi dari penerapan kebijakan politik kerajaan Hindu Karangasem Mataram yang
214
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
berkuasa selama 1,5 abad. Kebijakan itu antara lain dalam bentuk mempertahankan stratifikasi sosial masyarakat dalam pemukiman, sehingga melahirkan komunitas Hindu Bali sebagai komunitas bangsawan dan komunitas Sasak-Islam sebagai kelompok rakyat kelas bawah. Warisan sejarah itu menjadi hambatan psikologis-sosial kedua komunitas tersebut untuk berinteraksi secara terbuka dan saling mempercayai. Segregasi etno religius berpotensi untuk menimbulkan konflik, terutama ketika ada pemicu yang berkaitan dengan sentimen etnis dan agama. Namun, tidak berarti tidak ada potensi di dalamnya untuk pengembangan interaksi damai antara kedua komunitas itu. Potensi damai berkembang melalui local wisdom, seperti tradisi nyongkol, tradisi saling ngejot dan saling besila’ antara kedua komunitas tersebut. 7) Djamaluddin Darwis dan Imam Taufiq, Human Security dalam Relasi Dayak-Madura, Studi Atas Kearifan lokal Desa Korek Pontianak, Kalimantan Barat, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Hasil temuan penelitian ini dapat mengungkapkan potret keharmonisan relasi etnis yang terbentuk antara Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Peran tokoh Adat yang menonjol dari etnis Madura dan Dayak, serta dukungan dari pemerintah telah memberi kontribusi signifikan dalam membangun integrasi sosial di lokasi penelitian. Para tokoh dari masing-masing etnis berperan sebagai katalisator informasi dan problem solver terhadap persoalan yang timbul di masyarakat. Ada dua pola resolusi konflik yang digunakan. Pola kuratif mengambil bentuk implementasi hukum adat yang mengikat para fihak sedang pola preventif berbentuk usaha membangun komunikasi intensif di kalangan tokoh adat, agama dan masyarakat luas.
215
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
8) Muhammad Sulthon (dkk), Resolusi Konflik Berbasis Agama, Penyelesaian Konflik pada Periode Awal Sejarah Islam, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Ini merupakan penelitian sejarah nabi yang berhasil merekonstruksi beberapa peristiwa konflik dan penyelesaiannya pada masa generasi awal sejarah islam. Resolusi konflik yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi penyelesaian atas konflik personal, konflik komunal, konflik dalam keluarga dan rekonstruksi beberapa institusi sosial yang berfungsi sebagai pencegah konflik pada periode awal sejarah Islam. Penyelesaian atas konflik personal, antara lain peristiwa konflik antara Umar bin Khaththab dengan Fatimah; konflik Umar bin Khaththab dengan Khalid bin Walid. Penyelesaian atas konflik komunal, misalnya konflik Umar bin Khaththab dengan kerumunan umat Islam; konflik antar warga Madinah terkait tempat tinggal Nabi di Madinah; konflik kepalakepala suku Makkah dalam peletakan hajar Aswat; konflik antara Muhajirin dan Anshar; konflik suku Aus dan Khajrat di Madinah; konflik warga Madinah dengan bani Mustaliq. Penyelesaian atas konflik dalam keluarga, seperti konflik nabi dengan Aisyah dan konflik antar istri-istri nabi. Institusi pencegahan konflik yang direkonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari hilful fudul dan piagam Madinah. 9) M Mukhsin Jamil (dkk), Reintegrasi Mantan Kombatan dan Transformasi Konflik di Aceh Pasca MOU Helsinki, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses reintegrasi damai di Aceh telah mengakibatkan penguatan lembaga adat dan agama. Hal ini sekaligus sebagai hasil dari keterlibatan panjang tokoh adat dan agama dalam proses perjuangan perdamaian di Aceh. Mereka telah terlibat dalam inisiasi dan proses perdamaian di Aceh baik melalui lembaga-lembaga adat, agama maupun secara individu.
216
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
10) Muhammad Sulthon dan Solihan, Dimensi Politis Dalam Konflik Keagamaan di Indonesia, Studi Kasus Terhadap Pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Jemaat Hosana Ngaliyan Semarang, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008. Penelitian ini menemukan bahwa Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2006 dan 8/2007 tentang pendirian tempat ibadah sulit dipenuhi oleh kelompok minoritas. Kelompok beragama minoritas, karena tuntutan agamanya, mereka kemudian menempuh jalan pintas dalam pendirian tempat ibadah. Sementara itu, kelompok mayoritas menjadikan aturan itu untuk membenarkan tindakan mereka dalam mencegah pendirian tempat ibadah dan pemanfaatan bangunan gedung lain untuk tempat ibadah. Penelitian mendeskripsikan bagaimana pihak-pihak yang berkonflik terkait dengan pendirian tempat ibadah Gereja Pantekosta di Ngaliyan, dapat menemukan penyelesaiannya dalam suatu rapat warga yang difasilitasi oleh lembaga RW (Rukun Warga). Deskripsi itu membuktikan bahwa di lingkungan masyarakat masih berkembang sikap toleransi antar umat beragama. 11) Mustain (dkk), Memahami Konflik dalam Pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL), Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008. Konflik terkait pembangunan bandara internasional di Lombok melibatkan para petani pemilik lahan yang enggan menjual tanahnya dengan pemerintah kabupaten Lombok Tengah. Petani menolak menjual tanahnya didasarkan pada tradisi yang berakar pada konsep Gumi Paer dan keyakinan tradisional masyarakat Sasak, bahwa tanah yang akan dijadikan lahan bandara itu dinilai sebagai tanah atho’. Konsep Gumi Paer menilai tercela anak keturunan yang menjual tanah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Di samping itu, berkembang pula keyakinan bahwa tanah yang dipilih oleh
217
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Angkasa Pura untuk dijadikan lahan Bandara memiliki sifat tanah Atho’, yaitu bahwa tanah itu menelan apa saja yang ada di atasnya. Upaya-upaya penyelesaian konflik terdiri dari dua hal, pertama program “uang tali Asih” dan program Training Skills. Namun kedua program itu ternyata belum sepenuhnya dapat menyelesaikan konflik. 12) Berkenaan dengan penelitian tentang Persis sudah cukup banyak, antara dilakukan oleh Howard M. Federspield (1970), untuk disertasi doktoral di Cornell University New York. Ia telah melakukan pengamatan mendalam tentang organisasi ini dari dimensi sejarah dan sifat gerakan. Sebagaimana yang disebutnya, bahwa Persis merupakan salah satu organisasi pembaharu pemikiran Islam di awal abad ke-20. 13) Dr. Dede Rosyada dari IAIN Jakarta pada tahun 1998 untuk kepentingan disertasi doktoralnya di IAIN Ciputat. Penelitiannya tentang Persis khusus mengenai Hasil Kajian Ijtihad Dewan Hisbah Periode 1990-1995 dalam dua aspek keagamaan; ibadah dan mu’amalah. 14) Sebelumnya Dr. Deliar Noer meneliti Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, di mana Persis tercakup di dalamnya. Berbeda dengan kajian dan penelitian di atas, penelitian kali ini merupakan upaya pendalaman terhadap profil, peran, dan hubungan ormas-ormas Islam dan atau gerakan keagamaan lainnya dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan intern umat Islam di Indonesia. Sesuatu yang belum secara luas dikaji dalam penelitian-penelitian terdahulu tersebut di atas.
218
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Metode Penelitian Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, pengamatan lapangan, dan wawancara-mendalam. Bahan pustaka tentang gerakan dakwah, ormas, dan tema terkait lainnya menjadi sumber awal yang memandu proses pengumpulan data melalui wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan pedoman wawancara (sebagaimana terlampir). Yang diwawancarai di setiap lokasi adalah para informan kunci (key informan) yang terdiri atas anggota/pimpinan struktural dan kultural pada ormas-ormas Islam dan/atau gerakan keagamaan yang dinilai diikuti banyak umat Islam di lokasi penelitian, ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai memiliki potensi konflik dan integratif dengan ormas besar itu. Selain itu, pihak otoritas seperti Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah (Kesbanglinmas) serta FKUB juga diwawancarai sebagai informan. Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik, melalui tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan. Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain. Menurut Patton (1987) triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat keterpercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda, misalnya membandingkan hasil wawancara denan hasil pengamatan, dengan dokumen, membandingkan apa yang dikatakan orang di muka umum dan ketika sendirian, membandingkan antara pendapat rakyat biasa dengan pejabat Pemerintah, serta memban-
219
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
dingkan antara informasi pada saat situasi penelitian dengan saat normal sepanjang waktu.47 Penelitian pengumpulan data lapangan dilaksanakan selama 11 hari, pada bulan Agustus 2011 dengan satu orang peneliti dan satu orang pembantu peneliti di setiap lokasi penelitian.
Pemilihan Sasaran Mengacu pada desain operasional penelitian ini, yang menjadi sasaran penelitian yang pertama adalah ormas Islam terbesar (dominan) di wilayah sasaran (Kota Surabaya) yakni Nahdlatul Ulama (NU); Sasaran kedua, ormas yang fahamnya berseberangan dengan ormas dominan, yaitu Muhammadiyah; Sasaran ketiga, ormas yang fahamnya searah dengan ormas dominan. Untuk menentukan sasaran ketiga, para expert setempat (dua orang pejabat Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan seorang pejabat Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya) sedikit menghadapi kesulitan. Karena menurut mereka bertiga di Kota Surabaya hampir tidak ada ormas Islam yang sefaham dengan NU, dengan ciri akomodatif terhadap adat istiadat dan tradisi keagamaan lokal, kecuali ormas-ormas yang menjadi underbow-nya. Kalaupun ada terlalu kecil, misal AlKhoiriyah yang anggotanya dari kalangan orang-orang Arab dan fahamnya mendekati faham Nahdliyin. Akan tetapi jika AlKhoiriyah ini dijadikan sasaran penelitian, ormas ini terlalu kecil, meski memiliki lembaga pendidikan tapi tidak tampak dakwahnya, baik yang dilakukan oleh organisasi maupun individu.
47 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 178.
220
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Sementara kelompok-kelompok keagamaan yang gaungnya dalam dakwah cukup besar adalah Jamaah Tabligh (JT) yang bemarkas di sebuah masjid di Perak Barat tidak masuk kategori ormas, karena kelompok ini tidak berbentuk organisasi. Demikian pula kelompok Salafi juga tidak bebentuk organisasi, sehingga mereka tidak mau disebut kelompok. Mereka menyebut Salafi sebagai manhaj. Sebenarnya di kalangan mahasiswa banyak kelompok-kelompok keagamaan yang gaungnya cukup besar seperti Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Ihwanul Muslimin, tetapi para pejabat di lingkungan Kementerian Agama di Surabaya tidak berani menyebut kelompok-kelompok tersebut sebagai ormas, karena mereka tidak pernah mendaftarkan diri ke Kantor Kementerian Agama setempat. Karena masyarakat muslim pada umumnya kesulitan mengidentifikasi masing-masing kelompok keagamaan yang merupakan organisasi tanpa bentuk (OTB) itu, kecuali terlihat dari cirri fisik pakaian mereka sehingga mereka menyebutnya sebagai pasukan celana cingkrang (PCC). Alasan lain tidak dipilihnya kelompok-kelompok ini sebagai sasaran penelitian, karena faham keagamaan kelompok-kelompok ini tidak bisa dikatakan mendekati NU. Sedangkan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) sebagai ormas yang cukup besar, faham keagamaannya tidak bisa dikatakan dekat dengan NU maupun Muhammadiyah. Karena tidak ada ormas Islam yang fahamnya mendekati NU yang layak dijadikan sasaran penelitian, maka sasaran ketiga dipilih dari ormas yang sefaham dengan Muhammadiyah, sekurang-kurangnya ciri kedekatannya sebagai sesama kelompok puritan. Pilihannya antara Al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis). Dari dua pilihan tersebut para expert setempat lebih memilih Persis, dengan alasan: 1) Al-Irsyad ormas yang anggotanya terdiri dari orang-orang Arab ini terlalu kecil untuk dijadikan sasaran
221
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
penelitian dengan fokus gerakan dakwah. Karena gerakan dakwah Al-Irsyad di Kota Surabaya nyaris tidak terdengar, kalau tidak boleh dikatakan tidak terdengar sama sekali; 2) Sebaliknya Persis, dalam berdakwah memiliki Persis gaung yang lebih besar.
222
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Keadaan Geografi Luas wilayah kota Surabaya mencapai 33.306,30 Ha yang terbagi dalam 31 Kecamatan dan 160 Kelurahan/Desa. Selain itu, kondisi topografi kota ini 80% merupakan dataran rendah dengan kemiringan kurang dari 3%. Secara geografis kota Surabaya berada letak, 07° 9 menit - 07° 21 menit Lintang Selatan dan 112° 36 menit - 112° 54 menit Bujur Timur (data dari www.surabayakota.go.id). Kota ini mempunyai ketinggian 3 – 6 meter di atas permukaan air laut atau dataran rendah, kecuali di bagian selatan terdapat dua bukit landai di daerah Lidah dan Gayungan dengan ketinggian 25 – 50 meter diatas permukaan air laut dengan kelembaban udara rata-rata minimum 42% dan maksimum 96%. Batas wilayah kota ini di sebelah utara dan timur berbatasan dengan selat Madura, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik.
223
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Keadaan Demografis Berdasarkan data dari BPS Kota Surabaya pada tahun 2010, jumlah penduduk kota ini mencapai 2.938.225 jiwa, terdiri dari 1.474.874 jiwa penduduk laki-laki dan 1.463.351 jiwa penduduk perempuan (Data Surabaya Dalam Angka,2010 hal.81). Surabaya merupakan kota multi etnis yang kaya budaya, beragam etnis ada di Surabaya, seperti etnis Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa. Etnis Nusantara pun dapat dijumpai, seperti Madura, Sunda, Batak, Kalimantan, Bali, Sulawesi yang membaur dengan penduduk asli Surabaya membentuk pluralisme budaya yang selanjutnya menjadi ciri khas kota Surabaya. Sebagian besar masyarakat Surabaya adalah orang Surabaya asli dan orang Madura. Ciri khas masyarakat asli Surabaya adalah mudah bergaul dan gaya bicaranya sangat terbuka. Walaupun tampak terkesan bertemperamen kasar, masyarakat disini sangat demokratis, serta toleran. Berikut adalah data yang menunjukan kondisi kependudukan berdasarkan jenis kelamin yang dibagi dalam 5 wilayah besar per kecamatan di kota Surabaya (Data : Surabaya dalam Angka,2010)
224
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Tabel Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Kecamatan Hasil Registrasi 2009 Surabaya Dalam Angka 2010 Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
Surabaya Pusat 01
Tegasari
57.124
57.230
114.354
02
Genteng
33.387
34.178
67.565
03
Bubutan
57.205
56.955
114.160
04
Simokerto
50.918
51.264
102.182
Surabaya Utara 05
Pabean Cantikan
46.126
45.206
91.332
06
Semampir
97.813
96.326
194.139
07
Krembangan
61.755
60.806
122.561
08
Kenjeran
66.096
64.513
130.609
09
Bulak
18.370
18.218
36.588
Surabaya Timur 10
Tambaksari
113.240
113.574
226.814
11
Gubeng
75.837
77.230
153.067
12
Rungkut
49.118
48.612
97.730
13
Tenggilis Mejoyo
28.034
27.803
55.837
225
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
14
Gunung Anyar
24.781
24.435
49.216
15
Sukolilo
51.545
51.227
102.772
16
Mulyorejo
40.561
40.842
81.403
Surabaya Selatan 17
Sawahan
111.715
111.503
223.218
18
Wonokromo
91.146
90.535
181.684
19
Karangpilang
36.428
35.627
72.055
20
Dukuh Pakis
30.659
30.009
60.668
21
Wiyung
32.191
31.642
63.833
22
Wonocolo
40.601
40.224
80.825
23
Gayungan
23.237
22.902
46.139
24
Jambangan
22.940
22.317
45.257
Surabaya Barat 25
Tandes
47.437
46.763
94.200
26
Sukomanunggal
49.106
48.514
97.620
27
Asemrowo
19.806
18.972
38.778
28
Benowo
23.757
23.466
47.223
29
Lakarsantri
25.488
25.039
50.527
30
Pakal
20.969
20.442
41.411
31
Sambikerep
27.481
26.977
54.458
1.474.874
1.463.351
2.938.225
Jumlah
226
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Keadaan Sosial Budaya Kota Surabaya merupakan Ibu kota dari Provinsi Jawa Timur yang mempunyai julukan sebagai kota pahlawan, julukan kota pahlawan melekat dengan kota ini karena Surabaya mempunyai sejarah heroik ketika zaman Pra Kemerdekaan Republik Indonesia. Dimana pada tanggal 10 November 1945 kota Surabaya menjadi ajang pertempuran yang sengit antara tentara Sekutu dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia, tentara Sekutu (tentara Inggris) yang di boncengi oleh NICA (Netherland Indische Civil Administration) dan ingin mengembalikan kekuatan penjajahan Belanda di Indonesia pada masa itu. Kini Kota Surabaya telah berkembang maju seiring dengan perkembangan zaman, kota ini telah menjelma sebagai kota terbesar kedua setelah Ibu Kota Jakarta Sebagai kota metropolitan, Surabaya menjadi pusat kegiatan perekonomian di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang jasa, industri, dan perdagangan sehingga di wilayah ini jarang ditemukan areal persawahan. Surabaya merupakan salah satu pintu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia Timur dengan pelabuhan Tanjung Peraknya. Dengan segala potensi, fasilitas, dan keunggulan geografisnya Surabaya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor primer, sekunder, dan tersier di kota ini sangat mendukung untuk semakin memperkokoh sebutan Surabaya sebagai kota perdagangan dan ekonomi.
Kehidupan Keagamaan Jumlah penganut agama di Kota Surabaya, sebagai berikut: penganut Islam sebanyak 2.372.720 orang, Kristen 295.186 orang, Katolik 145.290 orang, Hindu 27.115 orang, Budha 48.824
227
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
orang, lain-lain 2.891.436 orang (Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur). Secara keseluruhan jumlah penyuluh agama Islam di Kota Surabaya sebanyak 235 orang terdiri dari penyuluh PNS/fungsional sebanyak 33 orang dan non PNS 202 orang. Penyuluh fungsional terdiri dari penyuluh terampil pelaksana 3 orang, penyuluh ahli pertama 20 orang, ahli muda 3 orang, dan penyuluh ahli madya 7 orang. Sedangkan penyuluh non PNS semuanya (202 orang) merupakan penyuluh madya (Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur). Jumlah ormas keagamaan Islam di Kota Subaya, sebanyak 21, secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut: No Nama Ormas 1 DP Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surabaya 2
3
4
5
DPC Nahdlatul Ualama (NU) Kota Surabaya Pengurus Cabang Muslimat NU DPD Muhammadiyah Kota Surabaya Pimpinan Daerah Aisyiyah
6
Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW)
7
Iftihadul Mubalighin
228
Alamat Sekretariat Jl. Jimerto No. 25-27 Surabaya (Komplek Masjid Al Muhajirin) Tlp. 5343051 Psw 239 Jl.Bubutan VI, No. 2 Surabaya Tlp.5340814, 5475184 Jl. Ahmad Yani 2-4 Surabaya Tlp. 8292313 Jl. Sutorejo No. 73-77 Surabaya Tlp. 3824240 Jl. Peneleh VIII/19 Surabaya Tlp. 5454472 Jl.Nginden Kota II/7881 Surabaya Tlp.5610929 Jl.Gayungan VII/36 Surabaya Tlp. 8286156
Nama Pengurus K: Muchit Murtadlo
K: KH. Kholik Marzuki S: Drs. M Syaiful Halim B: Drs. Agus K: Hj.Lilik Sjafa’atun S: Aisyah Muhaimin,BA B: Muslihah K: KH Abdul Wachid Syukur S: K: Amini S: Maslichah B: Hartini K: H. Amari Syahir S: Agung Purwoso B: Samin Siswo Miyanto K: Drs. H. Hidayatulloh, MS S: Aris Nurullah B: Hj Rr SA Sulistyowati, SAg
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
8
Front Pembela Islam (FPI)
9
Majelis Dakwah Islamiyah
10
Dewan Masjid Indonesia
11
DPD Pengajian AlHidayah
12
PC Syarikat Islam
13
PC Muslimat Bulan Bintang
14
PC Al-Irsyad AlIslamiyah
15
Idaroh Syu’biyyah
16
DPC Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKAW) Jami’ah Ahlith Thoriqoh Syathoriyyah AnNahdliyyah
17
Jl. Karang Menjangan K: Ustadz Muh. Choiruddin H. II/18 Surabaya Sag. Tlp. 5942734 S: Sech.Mukti Amin,ST B: Muhammad Taufik Aljufri Jl. Simpang Dukuh K: No. 1 Surabaya S: Drs.Moch.Imron Tlp. 5346081 B: Dra.H. Tunik Chalim Jl. Masjid Agung Timur 4 Surabaya Tlp. 8285185, 8411876 Jl. Simpang Dukuh 1 Surabaya Tlp. 8280234 Jl. Endrosono I/2 Surabaya Tlp.3770097 Jl.Manukan Lor VIB/56 Surabaya Tlp. 5475105, 7404469 Jl. Sultan Iskandar Muda (Danakarya) No. 46 Surabaya Tlp3297446 Jl. Asem Jajar XI/15 Surabaya Tlp. 5467440 JL. Manukan Lor IVK/1 Surabaya Tlp.7404581 Fax. 74142276 Jl. Bogorami I No. 19 Surabaya Tlp 3894832, 5467440
K: Prof. Dr. Hasanuddin, SH S: Drs.H. Nurhasan B: Drs.H. Hudi Nurwulan
K: Hj. Asni Nilam S: Hj. S. Nahariensih Hartoyik H: Hj. Farida Effendi, SH K: Muhammad Said Yunus, BA S: Kemas Abd Rahman B: Nuslan Djarot K; Ny. Siti Komariyatik Sj, BA S: Nn. Prasetyaningsih, SPd. B: Ny. Hj. Iffah Sirin K: Geys Muchsin Alkhotib S: Lutfi Ba’adillah B: Yasir Salim Basyrewan K: KH.Abd.Muchid Murtadlo S: KH.Moch. Nadjib Wahid B: KH.Mas M. Khotib K: Mahmud Anshori S: Abu Abdul Azis B: Muslih K: KH Muhammad Sofyan S: Moch Najib Wahid B: Yulianto,SE
229
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
18
Syarikat Indonesia
19
Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surabaya PW Persatuan Islam Gunung Sari Indah (Persis) Blok N/19 Surabaya Tlp. 031-7661113 Pembina Iman Jl. Gading No. 2 Tauhid Islam (PITI) Surabaya Tlp.
20
21
Jl.Manukan Tama Blok 45 M/10 Surabaya Tlp.7405 293, 3534435, 70137085 Jl.Mojo Klanggru 134 C Surabaya Tlp. 5930546
K: Hariono Ihsan Putra S: Suwondo B: Drs. Sehantopo
K: Drs.Husmana, SH, BA S: Drs. H.Apit B: Ir. HM. Wiek Suripto K: Drs. Ahmad Busyairi ,MM S: Imam Syafi’i K: H.Fuad Sholeh S: Ir.Tony Hartono Bagio, MT B: Trisno Admojo
Sumber: Kantor Kemenag Kota Surabaya, data tahun 2010.
Secara garis besar bahwa kondisi kehidupan keagamaan di kota Surabaya dalam kondisi yang kondusif, agama Islam adalah agama mayoritas penduduk Surabaya. Bagi umat muslim, kota Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam yang paling awal di tanah Jawa. Masjid Ampel didirikan pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel, salah satu wali dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Beragam agama lain yang dianut oleh penduduk kota ini, antara lain: Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Walaupun Islam merupakan mayoritas di Surabaya, kerukunan umat beragama saling menghormati satu sama lain, menghargai dan saling tolong-menolong untuk sesamanya. Organisasi sosial yang berbasis agama juga banyak terdapat di kota ini, mereka seringkali bertemu dalam suatu forum komunikasi bersama dan bekerja sama dalam kegiatan yang bersifat sosial. Selain itu terdapat pula beberapa forum Kerukunan Umat Beragama di Surabaya yang menyatukan beberapa majelis agama yang ada di kota ini.
230
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
A. Profil Nahdlatul Ulama DPC Nahdlatul Ulama (NU) Kota Surabaya beralamatkan di Jalan Bubutan VI, No. 2 Surabaya. Koordinator Wilayah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Surabaya sebagai berikut: Penanggung Jawab : -
KH. Ahmad Dzul Hilmi (Rais)
-
KH. Ahmad Asyar Shofwan (Katib)
Koordinator : -
Drs. Ec. H. Ahmad Syaiful Chalim AR (Ketua)
-
Drs. H. Fathur Rochman AR, M.Pd.I (Sekretaris)
Bendahara : -
Drs. H. Purwadi MBA, MM
Wilayah Surabaya Utara (meliputi Kecamatan Semampir, Pabean Cantian, Krembangan, Kenjeran dan Bulak)
231
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Pembina : -
KH. Hasan Bisri Usman
-
KH. A. Sholeh Sahal
-
KH. Qodly Syafi’I AH
Koordinator : -
Drs. H. Khoirul Anam
-
Drs. H. Ghozali Umar
-
Rahmat Ikhya, SH.I
Wilayah Surabaya Pusat (meliputi Kecamatan Bubutan, Simokerto, Genteng dan Tegal Sari) Pembina : -
KH. Saiful Muqoddas
-
KH. Drs. Chalimi
-
KH. A. Fauzi Effendi
Koordinator : -
M. Sholahuddin Azmi
-
M. Syukur, ST
-
H. Kaswi
Wilayah Surabaya Barat (meliputi Kecamatan Tandes, Asemrowo, Sukomanunggal, Benowo, Pakal, Lakar Santri dan Sambikerep) Pembina :
232
-
KH. Imam Hambali
-
KH. Imam Syuhada
-
KH. Moch. Usman KR
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Koordinator : -
Drs. H. Ali Suparto
-
H.M. Agus Diyar
-
H. Wasik
Wilayah Surabaya Timur (meliputi Kecamatan Tambaksari, Gubeng, Sukolilo, Mulyorejo, Rungkut, Gunung Nayar dan Tenggilis Mejoyo) Pembina : -
KH. Hasyim Rowie
-
KH. A. Mu’thi Nurhadi
-
KH. Mutadlo Ghoni
-
KH. Marzuki Abbas
Koordinator : -
Muhammad Thosin, BA
-
H. Ahyat
-
Teguh Rachmanto, ST
Wilyah Surabaya Selatan (meliputi Kecamatan Sawahan, Wonokromo, Wonocolo, Jambangan, Gayungan, Karang Pilang, Dukuh Pakis dan Wiyung) Pembina : -
KH. A. Muchit Murtadlo
-
KH. Mas Sulaiman
-
KH. Ahsanul Haq
-
KH. M. Munief, MM
Koordinator : -
Ir. H. Nurul Amin
-
Drs. H. Arif Hanafi AH
-
Muhibuddin Zuhri, S.Pd
233
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Sejarah lahirnya NU dapat dirunut dari munculnya kelompok kajian Tashwirul Afkar (1914), yang berkembang menjadi Nahdlatut Tujjar (1916), Syubbanul Wathan (1918), Nahdlatul Wathan (1924) dan akhirnya menjadi Nahdlatul Ulama pada tanggal 16 Rajab 1344 bertepatan dengan 13 Januari 1926. Sebagai ciri gerakan (nahdlah) dari NU adalah al-muhafadzah alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga dan memperhatikan tradisi lama yang baik dan berkreasi untuk membuat peradaban baru yang lebih baik) (lihat: Khalimi, 2010: 330). Dari ciri gerakan yang sudah ada sejak masih embrio menjadikan jam’iyah yang beranggotakan para ulama pesantren ini sejak semula akomodatif terhadap tradisi dan adat istiadat yang sudah berkembang di kalangan masyarakat. Pada waktu Raja Ibnu Saud yang berkolaborasi dengan gerakan Wahhabi bermaksud menghacurkan benda-benda dan situs-situs sejarah Islam dan pra Islam yang selama ini dijadikan tempat ziarah dan dipandang sebagai sumber bid’ah, di Indonesia ada dua sikap yang berbeda. Kaum modernis (Muhammadiyah di bawah pimpinan KH Ahmad Dahlan dan PSII di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto) menyambut gagasan tersebut. Sebaiknya jam’iyah yang beranggotakan para ualama pesantren dengan ciri nahdlah-nya itu menolak gagasan perhancuran khazanah budaya dan pembatasan bermadzhab itu (lihat: Khalimi, 2010: 330-331). Karena sikap yang berbeda itu, jam’iyah para ulama pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta (1925) dan para ulama pesantren itu tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan gagasan kaum
234
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Wahhabi itu (lihat: Khalimi,2010: 331). Dari gagasan Raja Ibnu Saud tersebut telah mengakibatkan suatu tragedi pembunuhan terhadap rombongan pembawa kiswah (kelambu kabah) dari Mesir yang diiringi musik, karena kaum Wahhabi mengharamkan musik. Didorong oleh hasrat yang kuat untuk memperjuangkan keberadaan situs-situs dan benda-benda budaya Islam yang sebagian sudah dihancurkan oleh gerakan Wahhabi, serta protes terhadap peristiwa pembunuhan terhadap rombongan pembawa kiswah tersebut, para ulama pesatren membentuk komite sendiri yang disebut Komite Hijaz yang diketuai oleh KH Wahhab Hasbullah. Atas desakan Komite Hijaz dan tantangan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, akhirnya Raja Ibnu Saud membatalkan rencana tersebut. Hasilnya, sekarang di Mekah dan Madinah umat Islam bebas melakukan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing. Tidak dapat dipungkiri ini merupakan peran internasional para ulama pesantren dalam memberjuangkan kebebasan bermadzhab dan menyelematkan sistus sejarah Islamyang masih tersisa. (lihat: Khalimi, 2010: 331). Meski ritual-ritual yang dianggap bidah menurut kalangan Wahhabi dilarang dilakukan di Arab Saudi, misalnya pembacaan maulid secara umum dilarang, kecuali di Rusaifah.48 Ada rasa sayang untuk mengabaikan jam’iyah yang telah berkiparah untuk kepentingan umat Islam di tingkat internasional itu, sehingga bersama organisasi-organisasi yang bersifat embrional dibentuklah organisasi yang lebih besar untuk menjawab tantangan jaman sehingga lahirlah organisasi 48 Rusaifah adalah nama suatu tempat di Kota Mekah. Pembacaan maulid di Rusaifah dilakukan dengan mengandalkan kekuatan suara yang merdu tanpa iringan musik. Acara tersebut dihadiri para undangan dari beberapa negara di Timur Tengah. Acara dimulai setelah shalat Magrib, setelah selesai pembacaan maulid semua yang hadir melakukan shalat Isya berjamaah dan ditutup dengan acara makan bersama.
235
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Nahdlatul Ulama (NU), dimana KH Hasyim Asyari dikenal sebagai pendiri dan sebagai Rais Akbar pertama. Untuk menegaskan prinsip organisasi, KH Hasyim Asyari merumuskan kitab Qonun Asasi (Prinsip Dasar) dan kitab I’tiqat Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan sebagai khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga Nahdliyin dalam berfikir dan bertindak dalam bidang agama, sosial dan politik (Khalimi, 2010: 331).
Faham Keagamaan NU menganut faham ahlussunah wal jamaah pola fikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis) karena itu sumber pemikiran bagi NU bukan hanya al-Quram dan sunnah saja, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiric. Cara pemikiran seperti itu mengacu kepada cara pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang ilmu kalam. Dalam fiqh mengikuti 4 madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dalam tashawuf mengembangkan metode Imam Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tashawuf dan syariat (Khalimi, 2010: 331-332).
Tujuan Organisasi Tujuan organisasi NU adalah untuk menegakkan ajaran Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Khalimi, 2010: 332).
236
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Usaha Organisasi Usaha organisasi NU meliputi: (1) Bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. (2) Bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur dan berpengetahuan luas. (3) Bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan. (4) Bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. (5) Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas (Khalimi, 2010: 333).
Struktur Organisasi Struktur organisasi NU terdiri dari: -
Pengurus Besar (tingkat pusat)
-
Pengurus Wilayah (tingkat provinsi)
-
Pengurus Cabang (tingkat kabupaten/kota) atau Pengurus Cabang Istimewa (untuk kepengurusan di luar negeri)
-
Pengurus Majelis Wakil Cabang (tingkat kecamatan)
-
Pengurus Ranting (tingkat desa/kelurahan)
Untuk tingkat pusat, wilayah, cabang, dan majelis wakil cabang setiap kepengurusan terdiri dari: -
Mustasyar (penasehat)
-
Syuriyah (pimpinan tertinggi)
-
Tanfidziyah (pelaksana harian)
237
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Untuk ranting setiap kepengurusan terdiri dari: -
Syuriyah (pimpinan tertinggi)
-
Tanfidziyah (pelaksana harian) (Khalimi: 2010: 333)
Basis Pendukung Jumlah warga NU diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang. Mereka tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Pada umumnya warga NU memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan dan cagar budaya NU (Khalimi, 2010: 332). Sejak berdiri hingga akhir tahun 1960-an basis pendukung NU mayoritas berada di daerah pedesaan, terutama dari kalangan petani. Namun sejak awal tahun 1970-an dengan dicanangkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mendorong tumbuhnya industri secara pesat di daerah-daerah perkotaan. ada dua jalur yang menjadikan sebagian basis pendukung NU bergeser dari daerah pedesaan menuju wilayah perkotaan. Pertama, melalui jalur industrialisasi, dengan semakin banyaknya industri di daerah perkotaan ditambah semakin terpuruknya pertanian di pedesaan, telah mendorong tenaga dari desa (di antaranya generasi muda NU) melakukan urbanisasi dan bekerja sebagai buruh pabrik, dan tidak sedikit pula yang kurang beruntung, yang kemudian memasuki sector-sektor non formal, menjadi guru ngaji, marbot masjid, pedagang kaki lima, menjadi sopir, kuli bangunan, tukang becak dan lain-lain. Namun yang pasti gelombang urbanisasi telah menggeser sebagian basis pendukung NU dari daerah pedesaan menuju wilayah perkotaan. Kedua, melalui jalur pendidikan, dengan semakin membaiknya perekonomian masyarakat banyak warga desa yang
238
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
mampu menyekolah anak-anak mereka kejenjang perguruan tinggi. Pada waktu itu perguruan tinggi hanya terdapat di kotakota besar seperti Jakarta dan ibukota-ibukota provinsi. Jika ada perguruan tinggi di kota kabupaten hanya berupa akademi, atau fakultas-fakultas cabang dari perguruan tinggi di kota provinsi dan jenjangnya hanya sampai sarjana muda atau D3. Arus urbanisasi secara besar-besaran generasi muda warga NU ini terutama melalui jalur perguruan tinggi Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Pada era sebelumnya pemuda-pemudi NU pada umumnya cukup puas mengakhiri jenjang pendidikannya di pesantren (tingkat aliyah yang setara dengan SMA). Dengan hadirnya IAIN di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia telah mendorong generasi muda NU melanjutkan pendidikan di IAIN. Melalui jalur pendidikan ini, bukan hanya sekedar mengubah basis pendukung NU dari pedesaan menuju daerah perkotaan, tapi juga mengubah para pendukung NU secara besar-besaran, baik dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Melalui jalur pendidikan telah melahirkan kaum intelektual NU, pendukung NU telah memenuhi berbagai macam profesi, menduduki berbagai jabatan politik, menduduki berbagai jenjang birokrasi, berada di berbagai sektor ekonomi, baik formal maupun non-formal. Jika pada masa yang lalu, pendukung NU layak disebut sebagai kaum tradisional, tetapi dengan proses urbanisasi melalui dua jalur tersebut para pendukung NU tidak pada tempatnya lagi disebut sebagai kaum tradisional, demikian pula ormas NU.
Jaringan Organisasi Hingga akhir tahun 2000, jaringan ormas NU meliputi 31 wilayah, 339 cabang, 12 cabang istimewa, 2.630 majelis wal cabang, dan 37.125 ranting (Khalimi, 2010: 333).
239
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Profil Aktivitas Dakwah Jumlah da’i NU yang terdaftar di LDNU Kota Surabaya sekitar 100 orang, yang tidak terdaftar lebih banyak. Menurut SH, da’i NU meskipun basiknya dari pesantren tapi kemudian banyak yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Apa lagi da’i yang memiliki pekerjaan formal sebagai PNS banyak yang melajutkan kuliah S2. Tapi da’i yang bukan PNS biasanya enggan melanjutkan kuliah, karena tidak ada sipil efeknya secara langsung. KH Sayiful memberikan contoh dirinya sendiri, karena profesinya sebagai wirausaha bukan PNS, maka ia tidak berminat untuk melanjutkan kuliah (Wawancara dengan SH). Menurut pengamatan SJ, profil para da’i dari kalangan NU di Kota Surabaya telah mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 1970-an kebawah para da’i NU didominasi oleh alumni pesantren tradisional; pada dekade tahun 1970-an telah mulai mengalami perkembangan, antara da’i dari kalangan pesantren dan da’i dari kalangan akademisi dapat dikatakan fifty-fifty; pada decade tahun 1980-an dari kalangan akademisi semakin bertambah banyak, sementara da’i dari pesantren semakin jarang dijumpai; dan sejak tahun 1990-an hampir semua da’i dari kalangan akademisi, jika ada yang dari pesantren mereka juga alumni perguruan tinggi. (wawancara dengan SJ). NR menambahkan, para penceramah/da’i di Kota Surabaya minimal sarjana S2, tidak sedikit pula sarjana S3 dan guru besar. Jika ada da’i sarjana S1 biasanya da’i yang sudah senior (Wawancara dengan NR). Ciri materi ceramah yang disampaikan oleh da’i/penceramah dari kalangan pesantren yang belum mengenal pendidikan akademis cenderung monolog, dengan retorika yang khas pesantren, dengan kerangka berfikir yang
240
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
normative/ideologis. Pada dekade 70-an, materi dakwah dengan memperbincangkan masalah furuiyah masih sering dilakukan para da’i/penceramah. Para da’I masih sering membicarakan doa qunut, tentang jumlah rakaat dalam shalat tarawih. Setelah tahun 1990 secara umum di masjid-masjid dan majelis-majelis taklim nyaris tidak ada lagi yang memperbincangkan masalah-masalah furuiyah. Profil dakwah setelah tahun 1990 dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Sudah banyak yang menggunakan metode dialog; 2) kerangka berfikirnya sudah tidak normative/ideologis lagi, tetapi sudah epistemologis; 3) gagasannya bukan lagi bersifat indoktrinasi, tetapi sudah berupa penawaran gagasan. (Wawancara dengan SJ).
Media yang digunakan Mulai tahun 1990 para da’i mulai marak menggunakan berbagai macam media, antara lain radio, koran, bulletin, dan TV. (Wawancara dengan SJ). Namun sejauh ingatan peneliti Masjid Mujahiddin jauh lebih dulu (sejak tahun 1970-an) sudah menggunakan media radio sebagai sarana dakwah. Menurut keterangan WH, Masjid Mujahidin yang memiliki pemacar radio dakwah terbesar di Indonesia sekarang siaran dakwah sudah kurang efektif lagi, karena sekarang radio tidak sepopuler seperti dulu (wawancara dengan WH). Menurut SH, dakwah NU Kota Surabaya menggunakan berbagai macam media, dulu pernah memiliki majalah, tetapi karena majalah dianggap kurang efektif dibandingkan dengan bulletin. Akhirnya malajahnya tidak terbit lagi dan diganti dengan bulletin (bulletin Jum’at). Pelaksana penerbitan bulletin diserahkan kepada MWC, karena MWC dianggap lebih tahu kondisi lapangan (masyarakat). Meski tidak semua MWC menerbitkan bulletin
241
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Jumat. Sekarang yang masih menerbitkan majalah (Aula) adalah NU Wilayah Jawa Timur, yang di dalamnya juga memuat rubrik tentang dakwah; Selain menggunakan media cetak, dakwah NU Kota Surabaya juga menggunakan radio, yakni Radio Suara NU Surabaya, studionya terdapat di Gedung NU Kota Surabaya di Jalan Bubutan VI no. 2 Surabaya. Sedangkan NU Wialayah Surabaya menggunkan televisi yakni TV9 (Wawancara dengan SH).
Potensi Konflik dan Integrasi dalam Dakwah Menurut NR, antara masjid NU dan masjid Muhammadiyah sama saja, sama-sama saling “serang” atau saling menyindir melalui faham keagamaan masing-masing (wawancara dengan NR). Meski masjid NU dan masjid Muhammadiyah yang diamati NR hanya terbatas pada masjid yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. AWS dalam hal ini menunjuk salah satu masjid NU yang juga tidak jauh dari tempat tinggalnya, antara masjid NU dan masjid Muhammadiyah biasanya terjadi saingan pengeras suara. Sekarang masjid Muhammadiyah menggunakan speker dalam (salon), sedangkan masjid NU masih menggunakan speker luar ditambah lagi setengah jam sebelum adzan dikumandangkan Tembang Gus Dur, kemudian adzan dan pujian. Ada warga yang sakit pun speker tetap kencang. Jika hal tersebut diingatkan, jawabannya “apa eleke?” (apa jeleknya?) Maksudnya apa jeleknya sesuatu yang sudah biasa dilakukan masyarakat atau sesuatu yang sudah menjadi tradisi? (Wawancara dengan AWS). Potensi konflik lainnya AWS pernah mendengar ada seorang penceramah dari kalangan NU yang dalam suatu ceramah menerangkan tahlilan menyindir orang-orang yang tidak menyelenggarakan ritual tahlilan dengan kalimat “ngubur orang kok seperti ngubur kucing”. Tetapi AWS mengatakan penceramah-
242
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
penceramah NU yang seperti itu sebenarnya tidak banyak. Yang suka menyindir seperti itu biasanya penceramah pemula yang masih kurang wawasan, bahkan kekurangan materi ceramah, sehingga berbicara seperti itu (wawancara dengan AWS). Potensi konflik karena hadirnya gerakan transnasional yang masuk di lingkungan kampus perguruan tinggi umum (PTU), yang menjadikan kalangan muda berfaham fundamentalis. Fenomena ini dapat dimaklumi karena mahasiswa PTU yang secara umum kurang memiliki dasar pengetahuan agama yang cukup, kemudian dikenalkan dengan faham keagamaan fundamentalis. Selain itu mereka mempelajari agama secara tekstual. Sebaliknya, mereka tidak dikenalkan kepada makna Islam yang lebih dalam dan nilai-nilai keislaman yang lebih esensial. Dengan hadirnya faham transnasional tersebut di kampus PTU terjadi konflik internal Islam antara mereka yang berfaham fundamentalis skriptualis (tektualis) dengan mereka yang berfaham moderat yang non tektualis. Kondisi ini menjadikan sebagian mahasiswa terkotak-kotak disamping mereka juga sering melakukan ghazwul fikri (wawancara dengan SJ).
Hubungan Antar Kerukunan
Ormas
dalam
Upaya
Pemeliharaan
Menurut WH, antara NU dan Muhammadiyah dalam menyikapi masalah khilafiayah/furuiyah tidak sekeras dulu. Karena sekarang pengetahuan masyarakat sudah lebih baik, sudah lebih dewasa dalam memahami masalah agama, sudah tidak mau mempermasalahkan masalah-masalah furuiyah. Di Surabaya sekarang ada Masjid NU49 yang menyelenggarakan shalat tarawih 49 Sebenarnya tidak ada masjid dengan papan nama masjid NU, biasanya istilah masjid NU digunakan oleh masyarakat untuk menyebut masjid yang berada ditengah-
243
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
8 rakaat yang biasa dilakukan oleh kalangan orang-orang Muhammadiyah (wawancara dengan WH). Menurut SJ sekarang ini di Surabaya jarang sekali terjadi kles antara kelompok NU dan Muhammadiyah, karena kedua kelompok ini sekarang sudah terbiasa jalan bersama dan saling berkelindan. Misalnya, banyak lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah baik dari tingkat dasar bahkan taman kanakkanak hingga perguruan tinggi yang merekrut tenaga pengajar dari kalangan NU demikian pula sebaliknya. Akibatnya sekarang banyak orang-orang Islam yang berfamah “Munu”50 (Wawancara dengan SJ). Dalam hal ini menurut AWS, kebutuhan tenaga pengajar (dosen) disesuaikan dengan kebutuhan. Jika kebetulan Muhammadiyah tidak memiliki SDM tenaga pengajar disiplin ilmu tertentu maka akan dicari tenaga dari luar termasuk dari NU (wawancara dengan AWS). Meski AWS mensinyalir ada penceramah di masjid NU yang menyindir faham keagamaan Muhamadiyah, Jika ada penceramah-penceramah muda yang dalam berceramah dapat menimbulkan gesekan, yang bisa mengingatkan adalah para kyai, karena pada umumnya warga NU taat kepada kyainya. Secara umum sebenarnya hubungan antara NU dengan Muhammadiyah sudah baik. Kyai-kyai NU dalam menjelaskan tentang perbedaan madzhab sangat menarik, semuanya dijelaskan kemudian kyai tengah masyarakat yang berfaham Nahdliyin dan mayoritas jamaahnya dari kalangan Nahdliyin, demikian pula ritual keagamaan yang biasa dilakukan di masjid tersebut juga ritual-ritual keagamaan yang biasa dilakukan kalangan Nahdliyin, seperti adanya pujianpujian sambil menunggu imam shalat rawatib, doa qunut waktu shalat Subuh, adzan dua menjelang shalat Jumat, tarawih 20 rakaat, tahlil, dan pembacaan Barzanji. 50 Faham “Munu” faham campuran antara Muhammadiyah dan NU. Hal ini terjadi karena seringnya orang-orang tersebut berinteraksi dengan kelompok Muhammadiyah/NU bahkan aktif di dalamnya terutama dalam lembaga pendidikan, dan dengan kemampuan intelektualnya bisa menyaring dan memilih untuk dijadikan sebagai faham keagamaan pribadinya.
244
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
secara pribadi memilih di antara pendapat-pendapat itu, selanjutnya jamaah dipersilahkan mengikuti atau memilih yang lain (wawancara dengan AWS). Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kehadiran orang-orang yang tidak dikenal, misalnya robongan Jamaah Tablig (JT) yang sedang khuruj (keluar) antara NU dan Muhammadiyah sudah sepakat jika mereka datang tidak boleh menjadi imam (wawancara dengan AWS).
B. Profil Muhamadiyah Alamat sekretariat PD Muhammadiyah Kota Surabaya berada di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jl. Sutorejo No. 73-77 Surabaya. Struktur kepengurusan Pengurus Daerah (PD) Muhammadiyah Surabaya sebagai berikut: Ketua Wakil Ketua
: :
Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara Penasehat
: : : : :
Drs. H. Muzayin Khodari, MAg 1. Dr. Mahsun Jayadi, MAg 2. Akip Zarnuji, SThi, MAg 3. Drs. H. Imam Subari 4. Drs. Wahyu Indrajaya 5. Drs. H. Khoiruddin, MSi 6. Drs. H. Suyatno 7. H. Imanan, SAg Drs. H. Hamri Al-Jauhari, MPdi Drs. Andi Hariyadi, MPdi Drs. H. Marzuki, MA Drs. Hasan Majuri, MA 1. Drs. H. A. Wakhid Syukur 2. Drs. H. Syaifuddin Zaini, MPdi.
245
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Para pengurus Muhammadiyah dianjurkan untuk mengikuti program pengembangan SDM dengan mengikuti Program Magister Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS). Program magister (peningkatan SDM) pengurus ini bersubsidi dalam bentuk uang kuliah sebesar 50%. Program ini sudah berjalan selama 6 tahun (Wawancara dengan HJ). Jumlah anggota aktif Muhammadiyah Kota Surabaya sekitar 100 ribu orang, sedangkan jumlah anggota non aktif (simpatisan) sekitar 50 ribu orang. Rekrutmen anggota dilakukan melalui ranting (tingkat kelurahan) dan cabang (tingkat kecamatan). Para calon anggota mengisi formulir khusus diketahui oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) dan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) setelah itu diproses di pusat untuk mendapatkan Nomor Baku Muhammadiyah (NBM). Selain itu ada pula yang melaui kampus UMS, dan melalui jalur pendidikan atau Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang selanjutnya diproses melalui PCM (Wawancara dengan HJ). Sumber dana organisasi berasal dari amal usaha pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, donator, bantuan pemerintah (provinsi dan kota). Perolehan dana dari sumber dana tersebut yang paling besar adalah dari amal usaha pendidikan. Meski dana dari amal usaha pendidikan yang disetorkan untuk organisasi hanya sebesar 5% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Sedangkan sumber dana yang paling kecil berasal dari donatur. (Wawancara dengan HJ).
Sekilas tentang Muhammadiyah Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar kedua setelah NU. Tujuan didirikan Muhammadiyah untuk pembaharuan (tajdid) terhadap Islam, masyarkat Muslim dan
246
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
syariat. Metode pembaharuan yang digunakan adalah memberdayakan penggunaan akal, tetapi harus diselaraskan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunah Rasul. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekedar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrim. Muhammadiyah cukup terkemuka dalam bidang pendidikan (Khalimi, 2010: 307). Dasar-dasar ideologi Muhammadiyah tertuang dalam gagasan maqoshid al-syari’ah, yakni hukum yang memiliki tujuan yang baik, memberi maslahah atau kepentingan umum dalam pengertian pengertian yang luas. Dengan kata lain ideology yang dimafhumi oleh Muhammadiyah adalah ideologi yang dapat memebrikan “kebaikan yang paling besar”. Namun ideologi Muhammadiyah dibatasi oleh Al-Quran, Sunnah dan akal manusia yang terbatas Dalam pembentukannya Muhammadiyah banyak merefleksikan perintah-perintah Al-Quran di antaranya surat Ali Imran ayat 104, yang artinya kurang lebih: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Ayat tersebut mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara terorganisasi. Maka dalam butir ke 6 Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan: “melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi”, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Hasilnya, Muhammadiyah telah banyak mendirikan rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga-
247
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
lemabaga pendidikan di seluruh wilayah Indonesia (Khalimi, 2010: 307-308). Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, disesuaikan dengan UU No. 8 tahun 1985 dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta tanggal 7-11 Desember 1985, Bab I pasal 1 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Muhammadiyah menentang berbagai praktik bid’ah dan khurafat. Sifat gerakannya non politik, tetapi tidak melarang anggota-anggotanya memasuki partai politik (Khalimi, 2010: 309).
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H (18 November 1912 M). Pada awal didirikan, Muhammadiyah memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Dalam bidang pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah dasar dan lanjutan, yaitu Hooge School Muhammadiyah, yang kemudian berganti nama, mejadi Kweek School Muhammadiyah. Selain itu juga didirikan organisasi underbow untuk kaum ibu yaitu Aisyiyah.
Teologi Muhammadiyah Muhammadiyah tidak pernah menyatakan secara eksplisit keterikatannya dengan doktrin teologis maupun fiqh ahlus sunnah wal jamaah kecuali dalam keputusan tarjih. Dalam pandangan Muhammadiyah aqidah yang benar adalah aqidah yang dianut umat Islam pada zaman Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya seperti
248
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
yang diisaratkan dalam Al-Quran surat Taubah ayat 100 dan dengan pertimbangan dua buah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dengan derajat Hadits Hasan Shahih, yang artinya kurang lebih, sebagai berikut: “Dari Abdullah bin Amir, katanya, Rasulullah SAW bersabda: ‘Pasti akan tiba saatnya umatku seperti Bani Israel. Ilustrasinya seperti dua sandal ini sampai kalau pada jaman kehancuran moral mereka (Bani Israel), ada seorang anak kandung berbuat mesum dengan ibunya, demikian juga terjadi pada umatku. Bani Israel terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku (pada jaman kemunduran) terpecah belah menjadi 73 golongan, hanya satu yang selamat, yang lainnya masuk neraka’. Para shahabat bertanya: ‘Rasul siapa yang selamat itu?’ Rasul SAW menjawab: ‘mereka yang mengikuti jejakku dan jejak shahabatku’”.
Dengan demikian kelompok Islam yang selamat adalah kelompok umat Islam yang mengikuti jejak hidup Nabi SAW dan shahabat-shahabatnya yang disebut oleh Majelis Tarjih dengan ahl al-haq wa al-sunnah.
Pandangan tentang Khilafah Muhammadiyah tidak mengenal pandangan tentang khilafah51. Untuk membangun kehidupan umat yang baik dapat dilakukan melalui pembinaan umat beragama dengan baik. Kalau kehidupan umat sudah baik kehidupan kepemerintahan dan kenegaraan juga akan menjadi baik dan kokoh, dengan tetap mempertahankan negara yang ada sekarang. Dengan demikian tidak perlu membangun atau menghidupkan kembali khilafah Islamiyah. (Wawancara dengan MK). 51 Pandangan tentang khilafah dalam arti ingin membangun kembali khilafah Islamiyah agar umat Islam dapat kembali kepada kehidupan Islam yang kaffah sebagaimana pernah dialami pada jaman Rasul SAW dan para shahabatnya (jaman salaf) .
249
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Profil Aktivitas Dakwah Mubaligh-mubaligh Muhammadiyah seacara formal diwadahi dalam Korp Mubaligh Muhammadiyah (KMM). Jumlah mubaligh yang terwadahi dalam KMM tingkat daerah (Kota Surabaya) sebanyak 30 orang. Pada umumnya para mubaligh tersebut merupakan alumni Perguruan Tinggi Islam (PTI). Diantara mereka mayoritas sarjana S252, selebihnya sarjana S1 tetapi sudah merupakan mubaligh senior. Posisi mubaligh-mubaligh junior berada di tingkat cabang (kecamatan). Sedangkan pengkaderan da’i dilaksanakan melalui program Darul Arqom. Di tingkat siswa ada praktek ceramah.53 Di tingkat mahasiswa ada program Pelatihan Da’i Muda. Selain itu, melalui jalur pendidikan formal yakni pada Fakultas Agama Islam Jurusan Ushuluddin UMS, karena pada jurusan ini stressingnya ke dakwah (Wawancara dengan HJ). Mekanisme penyebaran mubaligh/da’i yang tergabung dalam KMM dengan mengharuskan masjid-masjid 54 Muhammadiyah untuk mengambil imam, khatib Jum’at, penceramah dari KMM. Selain itu untuk mengisi ceramah pengajian bulanan unsur pimpinan Nuhammadiyah dilakukan sebulan sekali juga diambil dari KMM. Selain itu, penyebaran da’i 52 Pada umumnya mubaligh atau da’i adalah alumni program peningkatan SDM Pengurus Muhammadiyah melalui Program Magister UMS bersubsidi. 53 Berkenaan dengan praktek ceramah di kalangan siswa, peneliti melihat langsung di masjid Muhammadiyah yang berada di depan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jimerto. 54 Masjid Muhammadiyah adalah masjid yang didirikan oleh Muhammadiyah dan dikelola oleh Muhammadiyah, dimana pengurusnya diangkat (dengan surat keputusan) yang dikeluarkan oleh PD Muhammadiyah. Muzayin Hudori dan Hamri AlJauhari memberikan ciri-ciri masjid Muhammadiyah antara lain: setelah adzan (pada waktu shalat 5 waktu) tidak ada pujian, tidak ada doa qunut pawa waktu shalat subuh, khotib tidak memegang tongkat, pada menjelang shalat Jumat tidak dikumandangkan pembacaan AlQuran (baik langsung maupun menggunakan kaset) dan hanya satu kali adzan, setelah selesai shalat dzikir dan do’a dilakukan secara munfaridan (individual). Dengan cirri-ciri tersebut orang menilai masjid Muhammadiyah “gersang” .(Wawancara dengan Muzayin Hudori dan Hamri Al-jauhari).
250
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
dilakukan pada Bulan Ramadlan keseluruh cabang di wilayah Kota Surabaya. Penyebaran da’i ini juga tergantung kebutuhan daerah. KMM Surabaya pernah bekerja sama dengan PD Muhammadiyah Tasikmalaya, pernah mengirim da’i ke Lampung. Bahkan da’i yang dikirim ke Lampung itu kemudian diminta oleh PD Muhammadiyah Lampung. Di Lampung, da’i tersebut diminta untuk mengurus pesantren dan akhirnya yang bersangkutan menetap di sana (Wawancara dengan HJ). Model-model dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak dakwah bil lisan saja, tetapi juga dakwah bil hal. Dakwah bil hal antara lain dilakukan dalam bentuk santunan fakir miskin, bantuan modal usaha dan binaan pengusaha kecil. Daerah binaan yang sekarang sedang digarap oleh PD Muhammadiyah Surabaya yaitu Desa Bulak Kecamatan Kenjeran Surabaya Utara. Di desa tersebut terdapat 50 pengusaha kecil yang sedang dalam binaan (wawancara dengan HJ). Sasaran dakwah (mad’u) dari mubaligh-mubaligh Muhammadiyah meliputi masyarakat umum dan anggota/warga Mhammadiyah. Misalnya, di cabang-cabang Muhammadiyah setiap hari Minggu diadakan pengajian umum di masjid-masjid Muhammadiyah. Dalam hal ini sasarannya selain warga Muhammadiyah juga masyarakat umum (Wawancara dengan HJ). Materi dakwah Muhammadiyah meliputi masalah aqidah, tafsir, hadits, fiqh dan pemberantasan tahayul, bid’ah dan khurafat dan hal-hal yang berkaitan dengan praktik-praktik kemusyrikan dengan istilah yang popular pemberantasan TBC. Untuk internal Muhammadiyah diberikan pula Pedoman Faham Agama Muhammadiyah yang merupakan pedoman bagi unsur pimpinan dan anggota Muhammadiyah. Di lingkungan sekolah diberikan materi tentang Al-Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (Ismuha). Referensi utama dari materi dakwah Muhammadiyah
251
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
adalah Himpunan Keputusan Majelis Tarjih (HPT). Sealin itu, dalam materi tafsir mengacu kepada kitab Fi Dzilalil Quran; dalam bidang tauhid kitab Risalah Tauhid karya Muhammad Abduh; dalam bidang hadits menggunakan kitab Kutubus Sittah. (Wawancara dengan Hamri Al-Jauhari). A. Wahid Syukur menambahkan selain materi-materi tersebut masalah furu’iyah masih dibahas tapi tidak dipertajam agar tidak menimbulkan konflik (wawancara dengan AWS). Media yang digunakan selain menggunakan media konvensional di mimbar-mimbar masjid dan majelis taklim, menggunakan media cetak berupa bulletin, yakni Ad Dakwah yang di distribusikan ke masjid-masjid setiap Jum’at; majalah bulanan yang di dalamnya memuat materi dakwah; dulu pernah menggunkan radio, yakni Radio Komunitas. Tetapi sejak pembangunan Gedung Dakwah Muhammadiyah studio radio tersebut dibongkar, namun setelah gedung selesai dibangun, studio radio belum diaktivkan kembali, padahal ijinnya masih berlaku sampai sekarang (wawancara dengan HJ).
Potensi Konflik dan Integrasi dalam Dakwah Ada sebuah masjid Muhammadiyah yakni Masjid Al-Ihsan Sabilillah di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir yang “kecolongan” digunakan Abu Bakar Ba’asyir untuk melakukan ceramah hingga berberapa kali. Karena ceramah Ba’asyir yang “keras”, sehingga masyarakat lingkungan masjid tersebut merasa tersinggung kemudian menduduki masjid tersebut untuk mencegah agar Abu Bakar Ba’asyir tidak melakukan kegiatan lagi. Karena PD Muhammadiyah Kota Surabaya merasa memiliki, ialah yang membangun masjid tersebut, meski tanahnya milik PTKAI, sehingga PD Muhammadiyah berupaya merebut kembali. Hal ini
252
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
hampir saja menimbulkan kles antara orang-orang Muhammadiyah dengan masyarakat lingkungan masjid. Namun karena kesigapan aparat kepengurusan masjid tersebut kemudian diambil alih oleh Muspika dan untuk beberapa waktu dijaga polisi. Kejadian tersebut terjadi dua tahun yang lalu (tahun 2009) dan masalahnya sudah klir, tapi kepengurusan masjidnya belum dikembalikan kepada PD Muhammadiyah, masih menunggu proses penyerahan (Wawancara dengan HJ, AWS dan Kb). Masuknya Ba’asyir dan melakukan kegiatan di Masjid AlIhsan Sabilillah bisa terjadi karena takmir masjidnya tidak pernah melakukan komunikasi dengan Pengurus Cabang Muhammadiyah Kecamatan Semampir apalagi dengan PD Muhammadiyah Kota Surabaya. Meskipun takmir tersebut diundang oleh pengurus Muhammadiyah tetapi ia tidak mau datang. Dapat dikatakan takmir tersebut berjalan sendiri dan tidak melapor kepada pengurus Muhammadiyah. Akibatnya ia terkena sangsi, tidak lagi menjadi takmir (Wawancara dengan HJ dan AWS). Ada seorang dari Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menjadi dosen di UMS, suatu ketika ia berceramah materi ceramahnya keras dan tegas. Sehingga menghawatirkan akan menimbulkan konflik dengan kelompok lain. Meskipun dia orang HTI tetapi statusnya sebagai dosen UMS, maka masyarakat akan melihatnya sebagai orang Muhammadiyah. Oleh karena itu, untuk mencegah agar terjadi konflik atara Muhammadiyah dengan kelompok lain, PD Muhammadiyah membuat perjanjian “hitam di atas putih”, ia diminta untuk memilih tetap sebagai dosen atau menjadi penceramah, jika ingin tetap menjadi dosen maka harus meninggalkan profesinya sebagai penceramah. Demikian pula sebaliknya jika ingin menjadi penceramah maka ia akan dikeluarkan dari staf dosen UMS. Yang bersangkutan kemudian
253
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
lebih memilih sebagai dosen dan meninggalkan profesinya sebagai penceramah. (Wawancara dengan AWS).
Hubungan Antar Kerukunan
Ormas
dalam
Upaya
Pemeliharaan
Kerukunan internal umat Islam terpantau melalui pembinaan rohani dan ekonomi. Idikator kerukunan umat terlihat dari keberadaan masjid Muhammadiyah dan masjid NU yang berdampingan yang terdapat di Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir. Meskipun letak masjid tersebut berdampingan tetapi tidak terjadi gesekan. Bahkan di Kelurahan Wonorejo Kecamatan Tegal Sari terdapat masjid Muhammadiyah dan masjid NU yang berhimpitan dengan batas satu tembok. Kedua masjid tersebut dapat melaksanakan aktivitasnya masingmasing dengan baik dan tetap harmonis (wawancara dengan MK). Menurut WH dalam komunitas orang Muhammadiyah di Surabaya ada yang menyelenggarakan ritual tahlilan. Dalam pengajian-pengajian komunitas Muhammadiyah jika melarang ritual yang mereka anggap sebagai bid’ah sudah tidak sekeras dulu. Sekarang masyarakat diberi pemahaman terlebih dahulu tetang ritual-ritual yang dikategorikan sebagai bid’ah, kemudian dianjurkan untuk tidak melakukannya. Tidak seperti pada masa lalu, dengan secara keras hal-hal yang termasuk bid’ah langsung dikaitkan dengan neraka. Tentu saja orang yang biasa mengerjakan hal tersebut akan merasa tersinggung dan marah. Ibarat orang yang kakinya pincang bila sebut “saudara yang kakinya pincang” pasti marah-marah, meskipun kenyataanya kakinya memang pincang (wawancara dengan WH). Menurut HJ di Kota Surabaya dari kalangan Muhammadiyah tidak ada tokoh yang “keras”. Sehingga di Kota
254
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Surabaya tidak ada konflik karena masalah khilafiyah, kalaupun ada kecil sekali. Muhammadiyah berupaya menghindari pembicaraan tentang perbedaan faham keagamaan yang dapat menimbulkan konflik. Jika terpaksa harus membicarakan masalah perbedaan faham diupayakan untuk menggunakan bahasa yang halus dan bijak sehingga tidak menimbulkan ketersinggungan pihak lain. Sebagaimana filosofi Jawa “kenek iwake aja nganti buthek banyune” (bisa ditangkap ikannya tapi jangan sampai keruh airnya) (Wawancara dengan HJ). Untuk menghindari konflik yang ditimbulkan oleh materi ceramah yang kemungkinan dapat menimbulkan ketersinggungan kelompok lain dan juga karena suara bising, Masjid Muhammadiyah tidak menggunakan speker luar, tetapi menggunakan speker dalam (salon)(Wawancara dengan AWS).
Dakwah Masa Depan Dakwah yang perlu digelakkan (diefektifkan) adalah dakwah bil hal, meliputi bidang ekonomi, kesehatan dan kultural. Di bidang ekonomi, melalui lazis Muhammadiyah melakukan pembinaan pengusaha kecil, pengrajin. Selain itu para mubaligh dan da’i diharapkan mampu mendorong tumbuhnya etos kerja umat akan tetapi tidak keluar dari syariat Islam (Wawancara dengan Muzayin Khudori dan Hamri Al-Jauhari); Di bidang kesehatan menciptakan lingkungan yang sehat, membina masyarakat agar “melek” terhadap pentingnya kesehatan; Di bidang kultural, mendorong bagaimana agar orang-orang Muhammadiyah memiliki kultur atau peradaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan umat lain (Wawancara dengan MK). Untuk merealisasikan itu semua perlu adanya piranti. Faktanya di desa-desa pada umumnya masyarakat belum “melek”
255
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
terhadap pentingnya kesehatan, karena belum ada piranti yang mendukung; Selain itu, perlu dukungan finansial, dukungan dari orang-orang yang potensial di bidang ekonomi, kesehatan dan budaya. Terutama di bidang budaya ini perlu ada yang bisa memberi contoh bagaimana berbudaya yang tinggi. Sebenarnya tiga bidang ini saling berkaitan dan bisa dimulai dari pendidikan, sehingga timbul kesadaran akan pentingnya kesehatan, budaya tinggi dan etos kerja (wawancara dengan MK).
C. Profil Persatuan Islam (Persis) Bangil Membicarakan Persis Jawa Timur, sepertinya “tidak sah” jika tidak memotret secara langsung Pesantren Persatuan Islam Bangil yang berlokasi di kawasan jalan JA. Suprapto, sementara Pesantren Persis Putri ada di jalan Pattimura 185 Bangil. Gedung Pesantren Putra bisa menampung 200 murid sedang Gedung Puteri bisa menampung 350 murid. Struktur Kepengurusan Persis PW Jatim Ketua
:
Drs.Ahmad Bushairi, MM
Sekretaris
:
Imam Syafi’i
Bendahara
:
Suhadi
Bagian Jam’iyah
:
Ustadz Umar Fanani
Bagian Perwakafan :
Ustadz Burhani
Urusan Zakat
:
Salam Rasyad
Bagian Sosial
:
Ustadz Ahsin Lathif
Bagian Pendidikan :
256
Ustadz Luthfi Abdullah Ismail
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Struktur Pengurus Yayasan Pesantren Persis Bangil Dewan Pembina Ketua
: Prof.Dr.Ir. Zuhal Abdul Qadir
Anggota
: Drs.H.Dahlan Bashri Thahiry, MA Ustadz Abdul Haqq Husni Abdullah Ismail Djauhana Manshur
Dewan Pengawas Ketua
: K.H. Aliga Ramli, Lc
Anggota
: Zuhriyah Abdul Qadir Drs.Moh. Triyono
Dewan Pengurus Ketua
: Umar Fanani
Sekretaris
: Nadjib Manshur
Bendahara
: Ibrahim Baswedan
Persis Bangil agak beda dengan Persis Bandung. Persis Bandung bercorak institusional, sementara Persis Bangil lebih mengarah pada kultural. Bandung lebih bersikap legalkonstitusional, sementara Bangil lebih menitik beratkan pada aspek faham Qur’an-Sunnah. Ini dibuktikan oleh beberapa indikator; (a) Pesantren Persis yang berafilisasi ke Bandung umumnya bernomor, sementara Bangil tidak didapati memakai tradisi penomoran ini, (b) Pesantren Persis Bandung taat pada Hasil Keputusan Fatwa Dewan Hisbah dan disosialisasikan ke beberapa Pesantren Persis, sedang Persis Bangil tidak merasa terikat pada keputusan Fatwa Dewan Hisbah. Sebut saja misalnya
257
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
soal sedekap, soal isyarat jari telunjuk antara yang menggerakan dan tidak mengerakan, dalam soal itsbat hilal, Persis Bangil tidak otomatis ikut keputusan itsbat Dewan Hisbah. (c) Dalam hal berorganisasi, alumni Bangil banyak yang bergabung kepada ormas lain dari pada ikut bergabung ke Persis Bandung. Ringkasnya, Persis Bangil lebih terbuka dari pada Persis Bandung. Dari awal didirikannya, Persis lebih memilih bidang penerbitan, pendidikan, da‘wah, dan kaderisasi. Sektor lain termasuk sektor ekonomi baru di rumuskan belakangan setelah melihat pertimbangan baru yang lebih bermashalahat bagi umat untuk mengawal isu tajdidnya yang bisa jadi kelewat ideal, tanpa menyertakan sisi ekonomi. 55 Pemilihan bidang garapan yang terbatas ini juga berlaku di Persis Bangil. Sejak kepindahan Ustadz A. Hassan ke Bangil, Pesantren Persis Bangil menerapkan sistem angkatan. Tujuannya supaya lebih fokus dan lebih menghasilkan kader da’wah yang handal, unggul dan mumpuni. Ustadz A.Hassan memimpin Pesantren Persis Bangil dalam dua etape, periode awal antara tahun 1931-1941 di Bandung dan periode lanjutan di Bangil antara tahun 1951-1957. Periode ini menghasilkan alumni 6 angkatan; angkatan-1 (1936) di Bandung. Alumni angkatan ke-2 sampai ke-6 tahun 1951-1963 di Bangil. Setiap angkatan ditempuh selama 5 tahun. Inilah generasi pertama didikan langsung Ustadz A. Hassan. Generasi kedua, Pesantren Persis Bangil dipimpin oleh Ustadz Abdul Qadir Hassan (1957-1984), putra sulung Ustadz A. Hassan kelahiran Singapura. A. Qadir Hassan adalah generasi pelanjut yang baik dari Ayahnya. Ia berhasil melanjutkan cita Ayahnya melalui Pesantren Persis yang kemudian dirubahnya dari sistem angkatan perlima tahun menjadi sistem klasikal 6 tahun. 55 Diakselerasi dari hasil-hasil Keputusan Mukernas II PP Persis di Pesantren Persis Puteri Bangil-Jawa Timur, pada hari Ahad 9 Oktober 2011.
258
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Tahun 1964 bersama almarhum Abdullah Musa mengusahakan penerbitan Majalah Al-Muslimun. Majalah ini adalah mercusuar paham Qur’an-Sunnah Persis Bangil lewat rubrik Kata Berjawab di masa Ustadz A. Qadir Hassan dan berganti nama menjadi rubrik Gayung Bersambut setelah Ustadz Qadir meninggal dunia. Majalah ini bertujuana untuk menuju kepada ajaran al-Qur'an dan Sunnah secara murni. Pada awal mulanya penerbitan Al-Muslimun tidak teratur dalam mengunjungi pembacanya. Hal ini terjadi karena terbatasnya sumber dana serta teknologi yang sangat minim pada saat itu. Setelah awal tahun 1970 terjadi renegerasi kepemimpinan yang pada waktu itu dipimpin oleh (alm.) Tajuddin A. Musa, sehingga keteraturan penerbitan mulai diperhatikan, dan pada puncaknya Al-Muslimun mengalami jaman keemasan tahun 1987 dengan omset penjualan 40.000 exp serta minimnya persaingan penerbitan Majalah Islam saat itu. Kini, majalah ini tidak terbit lagi, sehingga bisa dibayangkan betapa Persis kehilangan cita-cita besarnya di bidang pemikiran dan pemahaman Islam. Pada 25 Agustus 1984, ustadz A. Qadir Hassan wafat, kepemimpinan Persis Putri Bangil diserahkan kepada putra beliau Ustadz Ghazie Abdul Qadir, alumni Maroko. Sementara Pesantren Putra diserahkan kepada Ustadz Hud A. Musa, alumni Pakistan. Pada periode ketiga ini, (1984-2002) Persis Bangil mengalami perkembangan pesat terutama dari aspek pembangunan infrastrukturnya. Bangil yang konservatif diputuskan untuk membuka program Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah dengan ijasah yang diakui oleh Negara. Periode keempat (2002-sekarang) setelah ditinggal wafat oleh Ustad Hud (2001) dan Ustadz Ghazie (2002), kepemimpinan Pesantren Persis Bangil dipercayakan kepada ustadz Luthfi Abdullah Ismail alumni Institut Da’wah Islamiyah Libya dengan spesifikasi keilmuan bidang Fikh dan Tafsir Ahkam,
259
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
pengasuh Gayung Bersambut di Majalah Al-Muslimun dan Mudir Ma’had ‘Ali Persis Bangil. Umumnya organisasi sosial pada tahap-tahap awal perkembangannya mengalami beberapa fase pertumbuhan, pertama, fase kharismatik pendirinya, yang dipandang sebagai peletak dasar organisasi dan paling berjasa dalam menata visi-misi organisasi melalui kegigihan perjuangan dan besarnya pengorbanan pribadi. Kehadiran pemimpin kharismatik punya daya magnet yang kuat bagi para pengikutnya. Ia menjadi panutan sekaligus teladan bagi organisasi. Persis mengalami fase ini, di mana kehadiran Ustadz A.Hassan di Bandung dari tahun 1923-1940 sangat begitu kuat. Karena masuknya Ustadz A.Hassan bukan untuk belajar, melainkan untuk membentuk jati diri Persis, menata kadernya dan merekonstruksi masa depan Persis di belakang hari. Bisa dikata, Persis tanpa A.Hassan, tak ada apa-apanya. A.Hassan yang membesarkan Persis. Bukan Persis yang membesarkan A.Hassan. Karena itu, A.Hassan adalah Ulama Besar dan Guru Utama Persis (Nadia Zoraya), beliau adalah seorang da’i juga politikus (Dadan Wildan), A.Hassan bagi Persis adalah ulama multi-talenta yang posisinya sulit tergantikan oleh tokoh-tokoh persis di kemudian hari. Fase kedua, fase para pengganti. Pada lapis kedua organisasi ini mengalami sedikit kesulitan mencari sosok yang pas dan tepat memimpin organisasi setelah ditinggal oleh pemimpin dan tokoh kharismatiknya. Kekhawatiran muncul, karena jelas pemimpin penggantinya memiliki sedikit penurunan talenta dari pemimpin pertama, layaknya photocopy dengan aslinya. Pada fase kedua ini, mulai dibuat sejumlah persyaratan dan kriteria dengan
260
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
harapan dapat mendekati kondisi ideal yang tidak begitu jauh dengan pemimpin pertama. Fase ketiga, fase pengembangan dan verifikasi lanjutan. Pada fase lanjutan ini para kader organisasi mulai merampungkan konsep yang ideal sekaligus realistik ke arah menjawab persoalan-persoalan internal organisasi, tantangan, hambatan maupun peluangnya. Saat ini, kesadaran kerja kolektif sangat tinggi, budaya ketergantungan atau saling mengandalkan mulai ditinggalkan. Organisasi mulai banting orientasi dari pendekatan kharisma tokoh kepada pendekatan kerja sistem, dari pola ketergantungan ke pola kolektifitas. Slogan kerja ikhlas, kerja keras, kerja cerdas, kerja mawas dan kerja cerdas menjadi prioritas utama. (lihat: Nottingham, 1990: 60). Pada awal berdirinya, Persis secara umum bisa dikata kurang memberikan tekanan pada kegiatan untuk melakukan rekruitmen anggota, membuka cabang atau perwakilan, sebagaimana layaknya organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Persis lebih mengkonsentrasikan pembinaannya pada internal jama‘ah melalui sistem kaderisasi sebagai agen yang dibelakang hari dapat menyebarkan cita-cita tajdid dan ide-ide pemikirannya. Untuk kepentingan ini, Persis melakukan serangkaian kegiatan di tiga bidang utama; tabligh, pendidikan dan penerbitan. Tabligh Persis dikonsentrasikan pada ceramahceramah, kursus-kursus kemubalighan, pembinaan majelis taklim dan kemasjidan, melakukan al-amru bil ma‘ruf wa an-nahyu ‘anilmunkar. Dengan tabligh, pendidikan, dan penerbitan; Persis menginginkan agar anggotanya memiliki multi-talenta; menjadi ash’habun (para penggerak da’wah) dan hawariyyun (para penolong da‘wah), sebagai mujtahid sekaligus mujahid, menjadi
261
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
ilmuan sekaligus pejuang, menjadi muballigh yang memiliki kemahiran olah vokal di mimbar sekaligus punya keterampilan menulis. Ustadz A. Hassan sebagai peletak dasar ide-ide radikal Persis dalam pola pembinaan murid-muridnya maupun karyakarya gemilangnya banyak menekankan pada sistem ini. (Syafiq Mughni,1980: 53). Pada Bab sebelumnya dijelaskan, bahwa dominasi Ustad A. Hassan di Persis Bandung adalah pada dekade 1923-1940 (17 tahun) dan mulai mengendor pada tahun 1960 saat Muktamar ke7 di Bangil disusul oleh terbentuknya Dewan Hisbah pada tahun itu. Sejak itu, Dewan Hisbah bisa dikata “merajai” pedoman ibadah jam’iyah Persis di semua tingkatan, khususnya pada aspek tertentu yang sudah difatwakan. Meskipun secara historis melepaskan pengaruh Ustadz A. Hassan dari jam’iyah Persis, juga, sebuah kemustahilan. Persis tidak menghendaki terjadinya ghuluw (fanatik buta) yang justru ditentang oleh Persis sendiri. Sementara pemicu terjadinya konflik sosial antara lain adalah ghuluw; baik dalam bentuk tafrith (ekstrim kanan) dan ifrath (ekstrim kiri). Konflik juga dipicu oleh ketidakpatuhan sesama ummat beragama terhadap peraturan yang berlaku, juga oleh ketidaktegasan pemerintah dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai wasit yang adil dan bijak dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan akar konflik.
Sejarah Berdirinya Persis Persatuan Islam (Persis) adalah ormas Islam bercorak gerakan modern Islam yang terbilang awal di tanah air. Didirikan pada 12 September 1923 bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H di kota Bandung oleh tokoh-tokoh Islam etnik Palembang yang telah
262
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
lama bermukim di kota tersebut dengan suatu tujuan bersatu dalam berpegang teguh pada al-Quran dan al-Sunnah, serta beramal sesuai dengan ajaran keduanya, dan meninggalkan semua tahayyul, bid‘ah, khurafat serta penyimpanganpenyimpangan praktek keagamaan lainnya. (Eman Sar’an, 1964: 9). Ide untuk menjalankan praktek-prektek keagamaan sesuai dengan tuntunan al-Quran dan al-Sunnah tersebut, kini telah dituang dalam Anggaran Dasar PERSIS “Qanun Asasi Qanun Dakhili pada bab I pasal 2, “Jam‘iyah mengamalkan ‘aqidah dan syari‘ah Islam menurut al-Quran dan al-Sunnah.” (PP, PERSIS, 1991, Bab I pasal 2). Nama Persatuan Islam digagas dari hasil pertemuanpertemuan yang dilakukan oleh kelompok tadarus yang dipimpin oleh K.H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Kepengurusan Persis periode pertama (1923-1942) dipercayakan kepada H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Sedang Ustadz Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir baru bergabung belakangan. Pemberian nama Persatuan Islam diambil atas keprihatinan pecahnya Sarikat Islam (SI) Bandung pada Kongres Nasional ke-6 Partai ini di Surabaya pada tahun 1921, 2 tahun menjelang Persis didirikan. SI Bandung terpecah dua setelah termakan propaganda kaum Marxis di bawah pengaruh Semaoen (1899-1971) sejak digelarnya Kongres ke-3 di Semarang. (K.H.M. Isa Anshari, 1958: 6; dan lihat Syafiq Mughni,1980: 52-53). Ustadz A. Hassan bergabung dengan Persis di Bandung dari tahun 1924-1940, selama kurang lebih 17 tahun, tepatnya setelah kepulangan beliau dari Surabaya untuk kepentingan niaga yaitu menjaga toko milik pamannya, Abdul Lathif. Tahun 1940, Ustadz A.Hassan lalu pindah ke Bangil. Howard M Federspiel menulis, “A.Hassan-lah yang memberi format pemikiran keagamaan pada Persis.” (Howard M Federspiel, 1970: 13). Bahkan ada sebuah sumber menyebutkan, peletak dasar ide-ide tajdid Persis adalah
263
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Tuan A. Hassan yang disiarkan melalui majalah-majalah Persis, seperti Pembela Islam, al-Fatwa maupun al-Lisan yang terbit pada dekade 1930-an. Pemikiran tajdid A.Hassan kemudian dibukukan dalam buku berjudul “Soal Jawab” Masalah Keagamaan terdiri dari 4 jilid, bersama Moh. Ma’sum dan H. Mahfud Azis.56 Pada tahun 1983 ide-ide tajdid Persis yang tadinya dikonsentrasikan pada pemikiran keagamaan tokoh-tokohnya, kemudian dilembagakan lewat lembaga kajian hukum bernama Dewan Hisbah. Kehadiran Dewan Hisbah ini, tampaknya Persis ingin membenahi pola pengambilan hukumnya menyusul terjadinya dua peristiwa penting, pertama; meninggalnya tokohtokoh utama Persis, seperti Ustadz A. Hassan (1957), K.H.E. Abdurrahman, Ustadz A. Qadir Hassan (1984). Kedua, perasaan trauma atas tragedi muktamar ke-7 Persis di Bangil tahun 1960 yang didominasi oleh tokoh-tokoh terasnya yang berkeinginan agar Persis masuk dalam kegiatan politik di Masyumi. Muktamar ke-7 ini meninggalkan trauma berat, salah satunya adalah konflik antara K.H.E. Abdurrahman (Bandung) dengan Ustadz. A. Qadir Hassan (Bangill). Tadinya isu tajdid dan produk ijtihad Persis dipercayakan kepada tokoh-tokohnya dalam masa antara tahun 1923-1960, selama kurang lebih 37 tahun. Berdasarkan dua pertimbangan tadi, maka sejak tahun 1960 sampai sekarang petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyah Persis selanjutnya ditangani oleh Dewan Hisbah. Persis dengan ide-ide tajdidnya telah berkiprah hampir satu abad. Ide-ide pembaharuan Persis telah ikut mengisi khazanah pembangunan bangsa dan berperan aktif dalam menata kemelut ummat di negeri ini, dari zaman kemerdekaan sampai era reformasi hari ini, Persis bisa dikata tidak pernah absen berperan 56 Buku ini pertama kali diterbitkan oleh CV Diponegoro Bandung, namun karena banyaknya permintaan, maka diterbitkan ulang di Bangil, sejak Pebruari 1996.
264
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
aktif mengisi kemajuan bangsa, khususnya pada bab ilmu, iman dan amal. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh ormas Islam adalah seorang pahlawan pejuang kemerdekaan RI. Hingga Nopember 2010 telah ada 151 tokoh yang ditetapkan oleh Pemerintah RI menjadi pahlawan nasional, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh ormas Islam, dalam hal ini tokoh Persatuan Islam. Contohnya K.H. Isa Anshary (1916-1969) yang ditetapkan menjadi pahlawanan nasional pada, 3 Nopember 2006 melalui Kepres No. 85/TK/2006, disusul Dr.Mohammad Natsir (1908-1993) pada 6 Nopember 2008 melalui Kepres No. 41/TK/2008. Semua ini menunjukan, peran besar ormas ini terhadap NKRI, bahkan Natsir yang tokoh teras Persis adalah tokoh utama NKRI lewat mosi-integralnya di DPR Sementara RIS pada tahun 1950. Mosi-integral inilah yang kemudian menjadi dasar perjalanan bangsa ini selanjutnya dan menjadi 4 pilar penguat kekuatan Negara dan bangsa Indonesia selain Pancasila, UUD ’45, NKRI dan BTI (bhinneka tunggal ika). Dalam konteks ini Natsir dipandang sebagai multi-talenta, sebagai tokoh Persis, tokoh Masyumi, sekaligus seorang tokoh bangsa. Pada sisi ini, tokoh-tokoh Persis sudah melakukan usaha dan sumbangsih yang besar dalam menyatukan seluruh elemen bangsa ini, sebagaimana peran tokoh-tokoh ormas yang lain. Persis sudah berbuat untuk kerukunan bangsa, punya jasa yang besar dalam menjaga integralitas bangsa ini dan mencegah timbulnya konflik yang merugikan NKRI. Meskipun kiprah Persis dan tokoh-tokohnya terhadap NKRI, begitu besar. Namun, oleh sebagian kelompok/golongan yang merasa terganggu dengan ide-ide tajdidnya, Persis kerapkali diposisikan sebagai gerakan dakwah yang performance tajdidnya
265
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
dikesankan agak berlebih-lebihan, khususnya dalam menstigmasisasi lawan-lawan tajdidnya dari para pelaku jahiliyah, kaum muqallid yang masih mengusung praktek TBC (tahayyul, bid’ah, khurafat). Eksesnya tampak pada ketidak selarasan dan ketidakserasian hubungan mu’amalah sebagai sesama warga NKRI, khususnya dalam soal ahwal syakhsiyah seperti pernikahan, kontrak kerja, hubungan bisnis, afiliasi politik, pemihakan dan pembelaan (loyalitas). Meskipun bagi kawan-kawan di Persis, persoalan ini dipandang biasa-biasa saja sebagaimana lumrahnya dampak sebuah konsekwensi pemurnian atau puritanisme agama (tajdid ad-din).
Persis Gerakan Islam Modern Semua pihak mengakui, bahwa Persatuan Islam adalah gerakan modern Islam yang terbilang awal di tanah air, sesudah Muhammadiyah (1912) dan Al-Irsyad (1914). Tiga organisasi ini bercorak tajdid dan memiliki kesamaan visi gerakan dalam hal pembaruan pemikiran Islam. Sama-sama menolak taqlid dan jumud, anti ashabiyah jahiliyah. Bertujuan memurnikan tauhid, ibadat dan amaliah Islam. Menolak tasyabbuh pada ibadat dan gaya hidup golongan lain. Bersikap bara’ah (berlepas diri) terhadap praktek-praktek syirik, ritual mistik dan klenik. Samasama punya sikap yang jelas terhadap komunisme dan aliranaliran menyimpang. Khususnya Persis, gerakan ini sama sekali tidak mau kompromi pada gerakan desktuktif (harakah haddamah), dari dulu sampai hari ini. Karena penolakannya pada simbol tradisonalisme dan liberalisme ini, Persis kerapkali dikategorikan sebagai gerakan radikal. Prof. Dr. Syafiq Mughni, MA. Ph.D yang alumni Persis Bangil menulis buku “Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal.”
266
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Radikalisme Persis adalah pada worldviewnya, bukan pada aksi brutalnya. Artinya Persis meyakini bahwa Islam sudah sempurna, holistik dan komprehensif; syamil-kamil dan mutakamil. Bagi Persis, agama adalah dien sekaligus daulah, sistem keyakinan dan pola tindak (‘aqidatan wa akhlaqan) yang harus diimplementasikan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Jam’iyah Persis ingin totalitas memahami dan mengamalkan Islam, meskipun dalam prakteknya selalu ada proses dan tahapan. Tidak revolusioner seperti ide-ide liar umumnya kaum fundamentalis. Perdebatan A. Hassan dan Soekarno di tahun 1941 tentang teori kebangsaan berlanjut pada korespondensi keduanya ketika Soekarno berada di masa pembuangannya di Endeh Flores. Soekarno menghimpun surat-surat itu dalam buku karangannya “Dibawah Bendera Revolusi (1964:325-344) dalam satu bab khusus surat-surat Islam dari Endeh; dari Ir. Soekarno kepada T. A. Hassan, Guru Persatuan Islam. Sementara Ustadz A.Hassan menuangkannya dalam bentuk risalah “Islam dan Kebangsaan”. Di sana A. Hassan meluruskan pemikiran Soekarno: “Pemisahan agama dari staat sebagaimana di Eropa itu, Tuan Soekarno anggap modern dan radikal. Tuan Soekarno tidak tahu, bahwa orang Eropa pisahkan agama Kristen dari Staat (UU Negara) itu, tidak lain melainkan lantaran dalam agama Kristen tidak ada cara mengatur pemerintahan. Dari Zaman Nabi Isa sampai sekarang belum terdengar ada satu staat menjalankan hukum agama Kristen, bukan begitu keadaan Islam. (Hassan: 131-132) Menurut Abu Adz-Dzahabi (2003) dalam buku “Debat A. Hassan v.s Soekarno” seputar Negara, Hukum dan Sekularisme. Di sini Soekarno menghendaki pemisahan agama dari struktur pemerintahan serta bercermin pada undang-undang Swiss dan sekulerisme Turki. Di akhir bantahannya, A. Hassan mengajukan
267
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
sebuah buku yang mungkin belum ditelaah Soekarno, “Grey Golf: An Intimate Study of a Dictator by H.C Armstrong.” Terhadap buku tersebut, A. Hassan memberikan catatan ringkas tentang siapa sebenarnya Musthafa Kamal yang dipuji-puji oleh Soekarno. Namun, pandangan ini ditolak sejumlah tokoh Islam, termasuk A.Hassan yang tidak menghendaki adanya upaya memisahkan agama dari urusan pemerintahan. Sebab, menurutnya, Islam memiliki nilai universal yang sempurna yang tidak dimiliki agama lain. Meskipun A. Hassan dan Persis bermusuhan secara ideologis dengan Soekarno dan PNI tetapi ketika Soekarno dipenjara di Banceuy, Bandung, para anggota Persis menjadi orang pertama yang membesuknya Posisi Persis sebagai gerakan modern Islam dapat dilihat dari berbagai sudut tinjau di antaranya; pertama karena kelahirannya bertujuan untuk menjawab tantangan zaman, mencoba untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, punya gagasan dan ide-ide radikal untuk melakukan pencerahan masa depan dan keluar dari problematika umat. Persis lahir pada saat dunia Islam mulai bersemangat untuk bangkit dari imprealisme Barat, khususnya di bidang politik dan peradaban, yaitu tahun 1800 M sampai sekarang. Di Indonesia, kebangkitan ini tutur Endang Siefuddin Anshari (ESA,1938-1996) ditandai oleh pertumbuhan para Ulama dan Zu’ama yang disusul oleh pemberontakan santri (Wawasan Islam, Bab ke-45). Pada periode ini, timbul kesadaran sejarah di kalangan tokoh Islam akan bahaya ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam, tanpa reserve. Budaya taqlid, jumud dan ta’asshub mulai dirasakan bahayanya terhadap keaslian dan kemurnian ajaran Islam, jika tidak segera dilakukan upaya pembaharuan secara kolektif melalui organisasi kemasyarakatan.
268
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Pada abad 18 ini, Eropa Barat mengalami kemajuan yang pesat, sementara 3 kerajaan Islam; Safawi di Persia (1501-1736 M), Mughal di India (1526-1858 M) dan Utsmani di Turki (1300-1924) mengalami kemunduran demi kemunduran, kerajaan yang terakhir ini malah dijuluki “the sick man of eurofe”, orang sakit dari Eropa. Persis lahir dalam periode ini. Karena kekhawatiran infiltrasi ajaran asing itulah, tulis Karel A.Steenbrink-, maka pada awal tahun 1900-an, muncul banyak pemikiran untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah, melalui gerakan tajdid yang menolak taqlid dan mendorong munculnya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam. Di era ini, gerakan perlawanan terhadap penjajahan bermunculan di mana-mana, termasuk kesadaran sejarah untuk memperkuat basis organisasi Islam di bidang sosial ekonomi. (Steenbrink, 1994: 26-28) Kedua, dari sejarah kelahirannya. Sejak awal berdirinya, Persis sudah menggolongkan dirinya sebagai harakah tajdid (Gerakan Pembaharu) yang bertujuan memurnikan ibadah umat dari takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC). Anti taqlid (membeo) dan jumud (statis) serta menentang praktek ritual tradisional. Buku A. Hassan “Debat Taqlid” (1953), “Risalah Madzhab”, “Kenduru Untuk Kehamilan” dapat mewakili aspek ini. Giat melaksanakan penyebaran paham pemurnian ajaran Islam. Peran tajdid dan ashalah (pembaharuan dan pemurnian) ini dilakukan melalui kegiatan penerbitan, pendidikan dan dakwah, sejak berdirinya pada pada 12 September 1923 bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H. Ketiga, karena visi-misi Persis. Visi jam’iyah Persis adalah terwujudnya al-jama’ah sesuai tuntutan al-Qur’an dan Sunnah. Misinya ialah, (a) mengembalikan ummat kepada al-Qur’an dan asSunnah, (b) menghidupkan ruh jihad, ijtihad dan tajdid, (c)
269
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
mewujudkan mujahid, mujtahid dan muwahhid, (d) meningkatkan kesejahteraan ummat (Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis 2005, hlm. 125). Sedang tujuannya adalah terlaksananya syariat Islam sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. (Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis 2005, hlm. 7). Keempat: Faktor eksternal bahwa terbentuknya ormas Islam, khususnya Muhammadiyah (1912) di Jogja lewat tokoh utamanya KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), Al Irsyad tahun 1914 oleh Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943) di Jakarta serta Persatuan Islam pada tahun 1923 di Bandung oleh K.H Zamzam dan H. Muhammad Yunus tidak terlepas dari pengaruh tersebarnya pembaharuan di Timur Tengah ke Indonesia. Prof. Deliar Noer (1926-2008) dalam disertasi doktoralnya di Universitas Cornell memasukkan 3 ormas besar ini sebagai gerakan modern Islam yang terbilang tua di nusantara. Kelima: Faktor rongrongan misi Kristen dan harakah haddamah (gerakan destruktif), yang menyerang pihak Islam secara halus dengan berbagai cara dan back-up dana yang luar biasa. Faktor yang terakhir ini, lebih sering disembunyikan dengan berbagai pertimbangan sekuritas; khawatir menganggu kepekaan pemerintah yang dipandang oleh ormas reformis ini terkesan berlebihan dalam menyoroti isu SARA. Fakta konflik berkepanjangan di negeri ini salah satu bukti nyata yang begitu kuat mempengaruhi terbentuknya ormas Islam dari dulu sampai hari ini. Indikator ini dapat dibuktikan oleh signifikannya laju pertumbuhan golongan dimaksud, kuatnya lobi politik mereka, dominasi kunci-kunci kekuasaan di negeri mayoritas muslim ini. Demikian Alwi Shihab dalam Membendung arus : respon gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia Alwi Shihab ; sekapur sirih A. Syafi'i Ma'arif ; pengantar Kuntowijoyo. Bandung : Mizan, 1998.
270
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Pada Pebruari 1923, tepatnya pada 7 bulan sebelum Persis terbentuk, Partai Katolik dideklarasikan di Jogjakarta, didirikan oleh umat Katolik Jawa yang dipimpin oleh F.S. Harijadi. Pada tahun 1923 ini juga organisasi komunis revolusioner internasional, yang merupakan perhimpunan partai-partai komunis dari berbagai negeri yang berbasis di Tiongkok menunjuk Tan Malaka (1896-1949) sebagai sebagai agen “komintern” untuk wilayah Asia Tenggara. Kehadiran buku A. Hassan “Bibel Lawan Bibel” atau sebelumnya Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Benarkah Isa Disalib, Isa dan Agamanya, atau perdebatan Ustadz A.Hasan dengan dengan mubaligh Ahmadiyah yang diwakili oleh Abu Bakar Ayyub dan Maulana Rahmat Ali H.A.O.T di Gang Kenari, Batavia, September 1933, mengindikasikan ke arah ini. Perdebatan ini begitu terkenal dalam sejarah keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Maklum, ketika itu, organisasi bentukan imprealis Inggris ini sedang giat-giatnya menyebarkan ajarannya. Ada tiga hal penting yang menjadi materi perdebatan, dua di antaranya adalah soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan turunnya Isa as dan Imam Mahdi.
Persis Sebagai Harakah Tajdid Pemikiran tajdid persis dapat ditelusuri dari 3 sudut pandang, pertama: pemikiran atau karya tokoh-tokohnya, kedua: qanun asasi dan qanun dakhlinya (AR/ART), ketiga; dalam program kerja dan kegiatan-kegiatan jam’iyahnya. Tajdid Bagi Natsir, tajdid adalah modernisasi dalam Islam yang harus diartikan sebagai “kembali kepada yang pokok atau keaslian”, bukan menyimpang dari yang telah ada, tanpa melihat baik dan buruknya”. Sedangkan pengertian “Tajdid”, Natsir mengutip dari tokoh Muhammadiyah
271
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
dari Gresik, KH Faqih Usman (1904-1968), yaitu “mengintrodusir kembali apa yang dulu pernah ada tetapi ditinggalkan. “Yaitu membersihkan kembali Islam dari apa yang telah ditutupi oleh “noda-noda”. (Watik: 25-26). Melihat definisi ini, maka tajdid Persis bukanlah tajdid yang membongkar, sehingga patut dicurigai. Tajdid sendiri bukanlah kerja serampangan. Kerja tajdid adalah kerja serius (badzlulmujtahid), kerja ilmiah yang maksimal dan optimal (istifraghulwus’i), kerja ilmu oleh para ahli dibidangnya (ahlul-‘ilmi), oleh seorang yang mumpuni dan memenuhi syarat standarisasi sebagai mujtahid. Bagi A. Hassan, hukum-hukum agama ini umumnya sudah ada dan pernah dibicarakan oleh ulama klasik. Di Muqaddimah Soal Jawabnya A.Hassan menulis, “kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu hukum bagi sesuatu masalah dalam agama kita ini, dengan tidak perlu bersusah payah sebagai dikehendaki oleh ta’rif ijtihad. Terhadap persoalan-persoalan tertentu yang pelik, samar-samar atau tampak adanya persamaan dengan hal yang sudah ada, disitulah diperlukan ijtihad. Tapi persoalan yang seperti ini tidak begitu banyak asal pandai kita mendudukkannya. Demikian Ustad A. Hassan(Soal Jawab, Juz 1 hlm.25). Dari sini dapat dibaca, tajdid Ustadz A.Hassan bukan tajdid yang bongkarpasang. Manhaj tajdidnya, cukup jelas. Terhadap beberapa kelompok yang suka istihza’ dalam persoalan agama, A. Hassan berpandangan: “Di antara hamba-hamba Allah, ada yang apabila sudah terdesak dalam satu-satu masalah dan sudah tidak mempunya alasan yang kuat, lalu berkata: “ini ijtihad saya,” benar atau salah tetap saya mendapat ganjaran. Begitu juga orang lebih banyak menggunakan perasaan dan pikirannya, apabila ada sesuatu hukum agama yang masih berat menerimanya, lalu menggunakan
272
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
“ijtihadnya”, sehingga sesuai dengan kemauannya, perasaan dan pikirannya, lalu sudah terdesak dan ditanyakan alasannya atau pendapatnya itu, sering mengucapkan kata-kata seperti tersebut. Dan dengan demikian mereka merasa bahwa mereka dalam kebenaran.Terhadap saudara-saudara yang berpendirian seperti tersebut, saya harap suka menimbang lebih dahulu, sehingga tidak mempermudah soal ijitihad.” Soa Jawab, Juz 1:24
Terhadap beberapa masalah agama yang sulit dipecahkan, A. Hassan punya tiga mekanisme opsi; opsi-1: di-jama‘ yang mengumpulkan data yang ada, diolah lalu didudukkan, sehingga keterangan al-Qur’an atau hadits itu dapat dipakai; Opsi-2: ditarjih, yaitu: memilih keterangan agama yang lebih kuat. Tarjih, hanya terdapat dalam hadits; Opsi-3: di-tawaqquf, yaitu mendiamkan keterangan itu sebagaimana adanya. Tawaqquf hanya terdapat pada satu buah buah hadits, tidak didapati dalam al-Qur’an. Men-jama’ keterangan harus dikembalikan pada keterangan pula. Tidak boleh didasarkan pada perasaan dan pikiran semata. (Soal Jawab, Juz 1:26). Tentang pola istinbath hukum Persis, dijelaskan oleh ustadz A. Hassan berikut ini: (a) mengambil dan menetapkan hukum agama harus dengan ilmunya, di antaranya adalah ilmu Ushul Fiqh, (b) memeriksa sumber-sumber hukum yang akan dirujuk, al-Quran maupun haditsnya. Mulai dari validitas riwayatnya; siapa yang meriwayatkan atau siapa saja yang meriwayatkan hadits-hadits itu, diteliti keshahihan haditsnya, baru diperbincangkan tentang hukum apa saja yang ada dalam hadits itu. (c) Pentingnya mencari keterangan lain sebagai penguat, penjelas dan penunjuk dalil yang ada, (d) Tetap melakukan penelusuran sumber yang dapat menyempurnakan keterangan dan kesimpulan hukum yang sudah diistinbathkan. (Soal Jawab, Juz 1:26-27).
273
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Umumnya organisasi sosial pada tahap-tahap awal perkembangannya mengalami beberapa fase pertumbuhan, pertama, fase kharismatik pendirinya, yang dipandang sebagai peletak dasar organisasi dan paling berjasa dalam menata visi-misi organisasi melalui kegigihan perjuangan dan besarnya pengorbanan pribadi. Kehadiran pemimpin kharismatik punya daya magnet yang kuat bagi para pengikutnya. Ia menjadi panutan sekaligus teladan bagi organisasi. Persis mengalami fase ini, di mana kehadiran Ustadz A. Hassan di Bandung dari tahun 1923-1940 sangat begitu kuat. Karena masuknya Ustadz A. Hassan bukan untuk belajar, melainkan untuk membentuk jati diri Persis, menata kadernya dan merekonstruksi masa depan Persis di belakang hari. Bisa dikata, Persis tanpa A. Hassan, tak ada apa-apanya. A. Hassan yang membesarkan Persis. Bukan Persis yang membesarkan A. Hassan. Karena itu, A. Hassan adalah Ulama Besar dan Guru Utama Persis (Nadia Zoraya), beliau adalah seorang da’i juga politikus (Dadan Wildan), A. Hassan bagi Persis adalah ulama multi-talenta yang posisinya sulit tergantikan oleh tokoh-tokoh persis di kemudian hari. Fase kedua, fase para pengganti. Pada lapis kedua organisasi ini mengalami sedikit kesulitan mencari sosok yang pas dan tepat memimpin organisasi setelah ditinggal oleh pemimpin dan tokoh kharismatiknya. Kekhawatiran muncul, karena jelas pemimpin penggantinya memiliki sedikit penurunan talenta dari pemimpin pertama, layaknya photo-copy dengan aslinya. Pada fase kedua ini, mulai dibuat sejumlah persyaratan dan kriteria dengan harapan dapat mendekati kondisi ideal yang tidak begitu jauh dengan pemimpin pertama. Fase ketiga, fase pengembangan dan verifikasi lanjutan. Pada fase lanjutan ini para kader organisasi mulai merampungkan
274
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
konsep yang ideal sekaligus realistik ke arah menjawab persoalanpersoalan internal organisasi, tantangan, hambatan maupun peluangnya. Saat ini, kesadaran kerja kolektif sangat tinggi, budaya ketergantungan atau saling mengandalkan mulai ditinggalkan. Organisasi mulai banting orientasi dari pendekatan kharisma tokoh kepada pendekatan kerja sistem, dari pola ketergantungan ke pola kolektifitas. Slogan kerja ikhlas, kerja keras, kerja cerdas, kerja mawas dan kerja cerdas menjadi prioritas utama. Tiga fase organisasi ini dapat dibaca dalam buku Dr. Elizabeth K. Nottingham, Ph.D, Profesor Sosiologi dalam “Agama dan Masyarakat” (terj.) Rajawali Press (Jakarta:1990) hlm.60. Pada awal berdirinya, Persis secara umum bisa dikata kurang memberikan tekanan pada kegiatan untuk melakukan rekrutmen anggota, membuka cabang atau perwakilan, sebagaimana layaknya organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Persis lebih mengkonsentrasikan pembinaannya pada internal jama‘ah melalui sistem kaderisasi sebagai agent yang dibelakang hari dapat menyebarkan cita-cita tajdid dan ide-ide pemikirannya. Untuk kepentingan ini, Persis melakukan serangkaian kegiatan di tiga bidang utama; tabligh, pendidikan dan penerbitan. Tabligh Persis dikonsentrasikan pada ceramahceramah, kursus-kursus kemubalighan, pembinaan majelis ta’lim dan kemasjidan, melakukan al-amru bil ma‘ruf wa an-nahyu ‘anilmunkar. Dengan tabligh, pendidikan, dan penerbitan; Persis menginginkan agar anggotanya memiliki multi-talenta; menjadi ash’habun (para penggerak da’wah) dan hawariyyun (para penolong da‘wah), sebagai mujtahid sekaligus mujahid, menjadi ilmuan sekaligus pejuang, menjadi muballigh yang memiliki kemahiran olah vokal di mimbar sekaligus punya keterampilan
275
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
menulis. Ustadz A. Hassan sebagai peletak dasar ide-ide radikal Persis dalam pola pembinaan murid-muridnya maupun karyakarya gemilangnya banyak menekankan pada sistem ini. (Mughni,1980:53). Pada Bab sebelumnya dijelaskan, bahwa dominasi Ustad A. Hassan di Persis Bandung adalah pada dekade 1923-1940 (17 tahun) dan mulai mengendor pada tahun 1960 saat Muktamar ke7 di Bangil disusul oleh terbentuknya Dewan Hisbah pada tahun itu. Sejak itu, Dewan Hisbah bisa dikata “merajai” pedoman ibadah jam’iyah Persis di semua tingkatan, khususnya pada aspek tertentu yang sudah difatwakan. Meskipun secara historis melepaskan pengaruh Ustadz A. Hassan dari jam’iyah Persis, juga, sebuah kemustahilan.
Pesantren Persis Bangil: Potensi Konflik Dan Integrasi Pemicu terjadinya konflik sosial antara lain adalah ghuluw (fanatik buta); baik dalam bentuk tafrith (ekstrim kanan) dan ifrath (ekstrim kiri). Persis tidak menghendaki terjadinya ghuluw yang justru ditentang oleh Persis sendiri. Konflik juga dipicu oleh ketidak patuhan sesama ummat beragama terhadap peraturan yang berlaku, juga oleh ketidak tegasan pemerintah dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai wasit yang adil dan bijak dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan akar konflik. Agama adalah rem konflik yang paling pakem. Di hadapan kaba’ir (dosa-dosa besar) yang jumlahnya sekitar 75-300 item menurut keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anh seperti dilansir oleh guru Imam Bukhari, Imam Adz-Dzahabi (73-842 H) di muqaddimah kitabnya “al-Kaba’ir.” Agamalah yang membuat imperium Fir’aun dan kekuasaan diktator lainnya takluk. Kekuatan
276
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Jahiliyah, hanya bisa ditundukan oleh kelemah-lembutan agama; walaw kunta fazzan ghaliydzal-qalbi la’n-faddhuw min hawlik, Ali imran:159. Agama dikirim dan diturunkan untuk menjadi solusi dan terapi dari kemelut yang dihadapi oleh ummat manusia. Dalam pandangan Ustadz Abdul Qadir Hassan, tokoh utama Persis Bangil adalah sesuatu yang wajib dijunjung tinggi supaya kedamaian dan kerukunan dapat tercipta. Akar pertikaian, kebencian dan permusuhan bisa dicegah. Ustadz A. Qadir Hassan menawarkan beberapa opsi pilihan; (a) Dengan penanaman sifat yakin, taat dan sungguh di hadapan perintah dan larangan Allah s.w.t. yang haram tetap diharamkan, yang halal tetap dihalalkan, yang sunnah tetap disunnahkan, yuang makruh tetap dimakruhkan, dsb. (b) Tidak berlepas diri dari mencari-cari jalan untuk berlepas diri dari tuntutan agama, seperti mengentengkan agama dengan alasan apapun. Baik karena alasan perasaan, psikologi, adat, politik, keadaan, kedudukan, kekeluargaan dan sebagainya, kecuali karena terpaksa seperti dalam kondisi darurat. (c) Benar-benar mencontoh jejak Nabi saw, terutama dalam urusan ibadat. (d) Sebelum mengerjakan sesuatu yang kita tidak mengetahui hukum agama padanya, hendaklah terlebih dahulu memeriksa dan mencari tahu boleh atau tidaknya. (e) Amal-amal, kepercayaan-kepercayaan, anggapan-anggapan, jalan-jalan pikiran yang kita terima turun-temurun itu, hedaklah lebih dahulu disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama, benar begitu atau tidak. (f) Bersikap tegas terhadap sesuatu penghinaan yang orang tujukan atau lakukan atas agama kita.
277
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
(g) Mengadakan sistem tegur-menegur (nahi munkar) atara kita dengan kita, dengan arti mau menerima dan memberi teguran dengan dasar kejujuran. Setelah mengemukakan 7 point penting ini, Ustadz A. Qadir Hassan melanjutkan: “Jalan untuk mempengaruhi rakyat supaya mereka dapat menjunjung agama itu, memang agak sukar, terutama dalam negeri seperti Indonesia. Di mana Islam tidak menjadi agama rakyat, tambahan pula usaha-usaha pembenci Agama yang hendak memecah-belahkan ikatan-ikatan persaudaraan Islam. Tetapi kalau di antara kita, sebagian besarnya suka mengajak orang kepada Islam di mana saja ia berada, suka bertabligh di sana-sini, suka mengajarkan agama dengan gambaran yang sebenarnya, suka memperbanyak kitab-kitab agama, suka mendidik orang supaya tidak bertaqlid saja. Bilamana semua ini dilakukannya dengan penuh kebijaksanaan, tetap dan tidak jemu-jemu, maka dalam sedikit masa kita akan dapat melihat bagaimana besarnya pengaruh Islam kepada khalayak ramai. Sebaliknya kalau sikap masa bodoh, sikap pasif, sikap optimis saja yang kita aju-ajukan, karena terpengaruh oleh besarnya jumlah ummat Islam dan masa keemasan Islam dulu, bolehlah kita menunggu kemunduran dan kehinaan yang lebih menyedihkan.”.
Demikian kutipan dari Ustadz A. Qadir Hassan. (Majalah AlMuslimun no.10 edisi I tahun 1955 dan Kitab Kata Berjawab, Juz I: 169-170. Bangil: Oktober 1973). Pemikiran integrasi Persis Bangil ini, sungguh sangat luar biasa, di eranya saat itu. Ustadz Qadir mengeluhkan soal kedudukan dan posisi agama dan konstalasi tata Negara. Beliau ingin mengatakan, faktor penyebab terjadinya kemelut bangsa seperti soal konflik antara lain disebabkan karena tidak jelasnya
278
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
hubungan agama dan Negara, hubungan antara wahyu dan budaya, syariat dan adat. Di sini Ustadz A. Qadir Hassan menyoroti soal sistem dan etika penyiaran agama agar ditata dengan baik sesuai tuntutan dan tuntunan yang berlaku. Kalimat beliau “mengajarkan agama dengan gambaran yang sebenarnya,” ini bisa jadi perluasan makna dari nilai-nilai universal yang al-Qur’an istilahkan dengan i’tisham dalam Ali Imran:103 terhadap internal ummat beragama dan kalimat “kalimatun sawa’ (Ali Imran:64) terhadap eksternal ummat Beragama. Pandangan integralisme Ustadz A. Qadir Hassan ia tunjukkan ketika ditanya soal hukum orang Islam bekerja di Gereja Jawaban beliau: Bekerja di dalam gereja itu bisa terdapat dua cara; (1) bekerja sebagai buruh serta menuruti cara-cara yang berisfat peribadatan yang ada di gereja itu. Umpamanya ketika keluarmasuk gereja, atau melalui tempat yang ada patung Nabi Isa atau Siti Maryam harus merunduk atau merendah diri atau menghormat kepada patung-patung tadi dan sebagainya. (2) Bekerja sebagai buruh dengan tidak menghiraukan cara-cara peribadatan yang ada disitu dan tidak mengerjakannya. Bekerja sebagai mana terdapat pada nomor (1) terang haram dan menjadikannya (musyrik). Adapun bekerja seperti pada nomor (2) itu sungguh pun tidak terdapat larangan yang tegas, tetapi sepatutnya sebagai seorang muslim yang tidak keputusan pekerjaan untuk hidupnya, tidak akan bekerja disitu menjadi buruh orang.57 Kaitannya dengan hubungan mu’amalat antara orang kafir dengan orang Islam, seperti soal pendirian/renovasi masjid dan
57
Ustadz A. Qadir Hassan, Kata Berjawab 1 hlm. 168
279
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
madrasah. Pertanyaannya, bolehkah meminta derma golongan yang bukan Islam, umpamanya dari orang Tionghoa. Jawab: Tidak terdapat satu pun keterangan agama, baik dari ayat Qur’an atau Hadits yang melarang kita minta derma atau merima derma dari orang kafir, orang musyrik, orang Tionghoa dan sebagainya. Rasulullah tidak pernah mensyaratkan bahwa untuk menerima derma dari siapa saja luar dari golongan Islam, maupun mereka orang Tionghoa, orang Eropa atau lainnya. Untuk jelasnya pendapat ini marilah kita melihat riwayatriwayat berikut:
ﺱیﺱ Dari Abu Humaid as-Sa'idiy berkata; "Kami pernah pergi perang Tabuk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu raja Aylah menghadiahi kepada Nabi saw seekor baghal (keledai betina) berwarna putih kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Beliau (membalas) dengan memakaikan burdah kepada raja itu.” HR. Bukhari Ketika mensyarahkan (menerangkan) riwayat ini, Imam Nawawi asy-Syafi’i berkata: ی fiyhi qubuwlu hadiyyatil-kaafiri, “Dalam riwayat ini ada kebenaran boleh menerima hadiah orang kafir. (Syarah Shahih Muslim, Juz 15:42) Selain itu ada lagi riwayat:
ﺱ 280
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Dari Anas bin Malik RA, bahwa Ukaidir Dumah (Raja Nashrani di Dumata-Jandal, dekat Tabuk) pernah beri hadiah kepada Nabi saw” (HR. Bukhari) Rena Tionghoa untuk pendirian masjid dan madrasah itu, beranggapan bahwa uang mereka itu haram. Karena mereka orang yang makan babi, orang yang digambar-gambarkan keburukan dan kedzalimannya. Kalau ini dasarnya, maka seharusnya orang itu jangan pula menerima uang, barang dan sebagainya, jangan membeli es, beras, gula, kacang, bumbubumbu dan lain-lainnya dari mereka, karena semua inipun tentu haram juga. Tetapi yang kita dapati tidak demikian. Untuk derma masjid mereka tidak mau menerima dari orang Tionghoa, tetapi untuk yang lain dari itu, untuk memajukan perdagangan mereka dengan jalan membeli barang-barang, mau mereka bermuamalah (bergaul dan berjual-beli) dengan orang-orang Tionghoa. Pendirian demikian, sungguh pincang dan tidak berpadanan (berkonsekwensi).58 Dalam hal bersyarikat semacam berbisnis, bekerja dan bermuamalah dengan orang kafir., Ustadz A. Qadir membolehkan, kalimat beliau: “malah contoh bersyarikat itu pernah kejadian di zaman Rasulullah saw, sekalipun tidak dalam hal perniagaan. Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar:
ﺱ: ﺽ ییﺱ ی 58
Dikutip dari Kitab Kata Berjawab, Jilid 2 hlm.81-83
281
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma menceritakan bahwa pernah menyerahkan Khaibar (daerah sebelah utara Madinah) kepada orang-orang Yahudi, supaya mereka mengerjakannya dan menanaminya.” (HR Bukhari) Sedang visi kebangsaan Ustadz A. Qadir Hassan ia sampaikan ketika ada pertanyaan, “Tiap-tiap negara tentu mengambil hukum menurut undang-undangnya masing-masing. Bagaimanakah hukum itu? Jawab: Agama kita al-Islam ini mempunyai beberapa banyak undang-undang yang berhubungan dengan hal ibadat dan keduniaan (tata Negara, pergaulan dsb). Kita yang mengaku Beragama Islam, tidak boleh tidak wajib mentaati undang-undang yang sudah diatur agama dengan tidak ada pilihan. Undang-undang dari negara-negara yang tidak berbentuk Islam, kalau tidak bertentangan dengan salah satu hokum atau kehendak Islam,. Boleh kita turut dan boleh kita pakai. Tetapi kalau undang-undang itu menyalahi ketetapan Islam, dilarang kita mentaatinya, sebagaimana sabda Nabi saw: "Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan hanya ada dalam perkara yang baik." (HR Abu Dawud dan Nasai) Pada kasus pertentangan antara Negara Islam versus Negara Nasionalis, Ustadz A. Qadir Hassan membuat rumusan pendirian sebagai berikut: Nasionalis berkata: “Jagalah jangan sampai Indonesia menjadi Negara yang Islamistis dan komunistis.”
282
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Muslim berkata: “jagalah dan berusahalah jangan sampai Indonesia menjadi Negara yang nasionalistis atau komunistis dsb Nasionalis berkata: “Tidak boleh negara Islam saja yang berdiri di Indonesia, karena di Indonesia ada banyak macam agama.” Muslim berkata: “tidak boleh Negara Nasional saja yang berdiri di Indonesia, karena di Indonesia banyak aliran; aliran sosialis, aliran komunis dll.59 Dari jawaban-jawaban ini tergambar begitu adil dan seimbangnya pemikiran keagamaan Ustadz A. Qadir Hassan. Beliau sangat tawasuth (moderat), cenderung ke arah jalan tengah, tidak mau mengambil perilaku yang ekstrim. Dalam hal mengajar kepada murid-muridnya, beliau menanamkan jiwa korektif dan memberikan kebebasan kepada setiap santri untuk bertanya, membantah dan berdialog dengan guru sepanjang batas kesopanan Islam.60 Jiwa inilah yang meresap kepada santri-santri beliau, sehingga keberadaan Pesantren Persis Bangil dalam rentan waktu 61 tahun ini, jarang dan hampir tidak pernah terjadi peristiwa konflik sosial sebagaimana terjadi pada tetangganya Pesantren Yapi yang berhaluan syi‘ah dengan aswaja yang sunni. Memang beberapa sumber menyebutkan bahwa Bangil termasuk kawasan penyebaran Syi’ah terbesar di Asia Tenggara. Namun Persis tidak terpancing, Persis Bangil tetap konsis membina umat dengan cara yang diyakininya mendatangkan mashlahat bagi pencerdasan umat di masa yang akan datang. 59 60
Kitab Kata Berjawab, Juz 1 hlm. 126-127 Pesantren Persis Bangil, Sejarah Ringkas Pesantren Persis Bangil. Mei 1986
hlm.10
283
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
284
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Faktor-faktor yang Menimbulkan Konflik NR mengatakan di dekat tempat tinggalnya di Perumahan Taman Pinang Sidoarjo terdapat masjid yang oleh masyarakat diberi label masjid NU dan masjid Muhammadiyah. Para khatib/ penceramah/da’inya di kedua masjid tersebut sama-sama, ekstrim dan fanatik terhadap faham masing-masing, mereka sama-sama saling mengklaim faham keagamaan mereka sebagai faham yang paling benar dan sama-sama saling mencaci faham keagamaan dan praktek ubudiyah masing-masing. Akibatnya di kedua masjid tersebut tidak tampak ghirah Islam dan bagaimana menghargai faham orang lain (wawancara dengan NR). Di luar masjid dan aktivitas-aktivitas keagamaan lainya, konflik intern umat Islam terjadi di Perguruan Tinggi Islam (PTI), karena perebutan jabatan struktural. Hal semacam ini sebenarnya terjadi di mana-mana, di hampir seluruh PTI di Indonesia. Ruparupanya fasilitas yang diberikan kepada para pejabat struktural di kampus demikian menarik bagi para dosen. Di lingkungan PTI perebutan jabatan struktural antara NU dan Muhammadiyah cukup tinggi dan tidak jarang dilakukan dengan memobilisasi mahasiswa (wawancara dengan NR).
285
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Menurut keterangan SJ, konflik politik berkenaan dengan pemilukada, antara kelompok Syaifullah dengan Khofifah Indar Parawansa berpengaruh sampai ke tempat-tempat pengajian, bahkan sampai ke ormas keagamaan mahasiswa. Dimana Khofifah mendapat dukungan dari ormas mahasiswa Islam kalangan Nahdliyin, sedangkan Syaifullah mendapat dukungan dari ormas mahasiswa Islam independen. Sedangkan menurut Nani Rofhani interes/pesan politik tidak mendapat tempat-tempat pengajian di kalangan menengah/ terpelajar (wawancara dengan SJ dan NR di tempat yang sama tapi waktunya berbeda). Telah diinformasikan kepada Kesbanglinmas, di Tandes (nama salah satu tempat di Kota Surabaya) ada pondok pesantren yang mengajarkan kepada santri tentang foto-foto berbagai jenis senjata api. Hal tersebut sudah dipantau oleh intel dari Korem Kota Surabaya (wawancara dengan Kb).
Faktor-faktor yang Mendorong Terciptanya Kerukunan WH mengatakan bahwa metode dakwah yang digunakan oleh para da’i dari berbagai ormas keagamaan lebih menekankan pada mauidhoh hasanah, meski tentu saja masih ada interesinteres tertentu, tapi tidak terlalu ditonjolkan, sehingga tidak menimbulkan masalah (Wawancara dengan WH). WH mengatakan bahwa sikap ekstrofet (blak-blakan) masyarakat Surabaya membuat orang mudah saling memahami apa yang tersimpan di benak masing-masing, sehingga orang lebih mudah bersikap sebagaimana yang diinginkan orang lain. Dengan sikap blak-blakan orang dengan mudah menumpahkan kekesalannya atau hal-hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, sehingga tidak terjadi akumulasi kejengkelan. Warsito mengibaratkan sebagai mana gunung berapi kalau tidak pernah
286
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
tersumbat, dan energinya dapat keluar terus menerus pasti tidak akan terjadi eropsi (Wawancara dengan WH). Menurut Sb faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerukunan di Kota Surabaya karena: pertama, faktor pemimpin, dimana para pemimpin di Kota Surabaya dapat dikatakan cukup concern terhadap kerukunan warga dan umat beragama. Jika dirasakan adanya potensi konflik segera dilakukan antisipasi. Unsur Muspika segera melakukan koordinasi dengan mengundang tokoh formal lainya, tokoh-tokoh non-formal, baik tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Dengan demikian dapat dilakukan koordinasi lintas sektoral untuk melakukan deteksi dini atau antisipasi dini; Kedua, peran FKUB yang beranggotakan tokoh-tokoh agama merupakan suatu mekanisme kerja pencegahan konflik keagamaan yang mendapat dukungan dan fasilitas dari pemkot, sehingga dapat berperan secara optimal; Ketiga, masyarakat perkotaan yang relatif lebih maju dan memiliki kematangan secara sosial, lebih modern, bisa berkomunikasi secara persuasif, dialogis sehingga tidak mudah dihasut maupun dipropaganda. Karena masyarakat memiliki budaya yang tinggi, komunikasi dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka toleransi bisa berjalan dengan baik pula. Akhirnya jika ada masalah mudah diatasi; Keempat, peraturan/perudang-undangan berkaitan dengan masalah kerukunan dapat difahami oleh masyarakat. Misalnya, PBM yang dijabarkan melalui Perwali No.58 Tahun 2007 telah disosialisasikan sampai ketingkat kecamatan (31 kecamatan) dan lembaga-lembaga keagamaan. Pada tahun 2011 disosialisasikan kepada kelompok-kelompok strategis organisasiorganisasi keagamaan, sperti MUI, NU, Muhamadiyah dan gerejagereja. Rencananya tahun depan sosialisasi dilakukan di tingkat kelurahan (Wawancara dengan Sb).
287
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
Sedangkan menurut Kb faktor-faktor yang mendorong terciptanya kerukunan di Surabaya karena: 1) Di Kota Surabaya jumlah pengangguran tidak banyak seperti di kota-kota besar lain. Sehingga masyarakatnya tidak mudah dipengaruhi, berbeda dengan di kota lain dengan “iming-iming” 50 ribu rupiah orang dengan mudah ikut demonstrasi. Di Surabaya tidak semudah itu mengajak warga untuk demonstrasi; 2) Selain tokoh-tokoh formal, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat di Surabaya iktu serta melakukan sosialisasi berkaitan dengan upaya pemeliharaan kerukunan. Misalnya, sosialisasi Perwali No. 58 Tahun 2007; 3) Untuk meningkatkan kinerjanya FKUB Kota Surabaya sering melakukan studi banding ke daerah/kota lain, seperti Menado, Denpasar dan Singkawang. Selain itu FKUB setiap bulan melakukan sosialisasi tentang peraturan dan perundangundangan yang berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan; 4) Kerukunan di Kota Surabaya dipelihara secara lebih komperhensif, misalnya para pelajar supaya tidak suka melakukan tawuran, sering adakan out bond yang diikuti oleh osis-osis dari beberapa sekolah. Demikian juga di kalangan ormas kepemudaan juga sering diadakan out bond sehingga di antara mereka dapat saling mengenal dan akrab; 5) Dalam upaya antisipasi dini bagi terjadinya kerusuhan atau konflik Kesbanglinmas buka 24 jam, ada staf yang piket malam. Dengan demikian, kapan pun terjadi konflik Kesbanglinmas segera bisa melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk melakukan antisipasi dini (Wawancara dengan Kb). Menurut keterangan NR, di dekat rumahnya selain ada masjid NU dan masjid Muhammadiyah ada masjid yang “netral”. Masjid ini disamping netral juga akomodatif, misalnya ada pujipujian (tradisi masjid NU) dan shalat tarwih 8 rakaat (yang biasa dilakukan oleh oang-orang Muhammadiyah). Masjid yang netral
288
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
dan akomodatif ini ternyata lebih banyak jama’ahnya, dibandingkan dengan masjid NU dan Muhammadiyah yang ke tiga-tiganya berada di Perumahan Taman Pinang Sidoarjo. Karena masyarakat yang tidak mau terkotak-kotak dengan label NU maupun Muhammadiyah lebih memilih masjid yang netral. Di masjid ini penceramahnya dari berbagai kalangan, antara lain dari NU, Muhammadiyah, PKS, dan ustadz/kyai dari perkampungan (kampung lama). Tetapi karena para penceramah sudah dibisiki oleh takmir terlebih dahulu bahwa jama’ahnya heterogen agar tidak membicarakan masalah khilafiyah/furuiyah, maka ceramahnya pun tidak membicarakan hal-hal yang bisa menimbulkan konflik sesama umat Islam (Wawancara dengan NR). Dengan demikian pengarahan materi khutbah sebenarnya dapat dilakukan oleh takmir masjid. Dengan kata lain, takmir masjid memiliki peran penting untuk mengarahkan materi ceramah kearah yang kundusif terhadap kerukunan umat.
289
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
290
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Kesimpulan Pada umumnya da’i di Kota Surabaya adalah sarjana S2 atau S3, jika ada sarjana S1 biasanya sudah senior. Dalam berdakwah kalangan NU menggunakan berbagai macam media, antara lain media konvensional (mimbar), radio, koran, bulletin, majalah dan TV; Sedangkan Muhammadiyah selain menggunakan media konvensional di mimbar-mimbar masjid dan majelis taklim, menggunakan media cetak berupa bulletin, yakni Ad Dakwah; majalah bulanan yang di dalamnya memuat materi dakwah; dulu pernah menggunkan radio, yakni Radio Komunitas. Model-model dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak hanya dakwah bil lisan saja, tetapi juga dakwah bil hal. Dakwah bil hal antara lain dilakukan dalam bentuk santunan fakir miskin, bantuan modal usaha dan binaan pengusaha kecil; Sedangkan Persis selain menggunakan media konvensional, cenderung menggunkan media cetak (penerbitan buku), dulu pernah memiliki majalah. Potensi konflik dalam dakwah antara masjid NU dan Muhamadiyah terdapat kecenderungan saling caci dalam masalah furuiyah, persaingan dalam penggunaan pengeras suara (sekarang
291
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
masjid Muhammadiyah menggunakan pengeras suara dalam). Namun konflik ini terbatas pada masjid-masjid penggiran dan biasanya dilakukan oleh mubaligh-mubaligh pemula. Sedangkan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah adanya saling membutuhkan dalam rekruitmen tenaga guru pada lembagalembaga pendidikan yang dimiliki masing ormas. Dengan semakin tingginya tingkat pengetahuan umat dan semakin luasnya pergaulan banyak orang yang secara kultural dan ubudiyah termasuk kategori “Munu”. Sedangkan antara Muhammadiyah dan Persis yang sering terjadi individu yang sama di satu sisi sebagai orang Persis, di sisi lain pengurus Muhammadiyah. Upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama antara, masalah-masalah yang menimbulkan konflik diselesaikan secara musyawarah, di kalangan NU menghadirkan kyai-kyai “sepuh” yang terkenal arif dan muderat, atau melibatkan aparat sebagai penengah, seperti kasus masjid Muhammadiyah yang diduduki masyarakat karena digunakan ceramah oleh Abu Bakar Ba’asyir. Di kalangan Muhammadiyah yang puritan dalam mengajak umat agar tidak menyinggung yang lain lebih menggunakan kearifan lokal “keneko iwake ning aja nganti buthek banyune” (bisa ketangkap ikannya tapi jangan sampai keruh airnya). Saran-Saran: Ormas-oramas Islam agar lebih meningkatkan kualitas dakwahnya, sehingga lebih bisa meningkatkat pengetahuan dan wawasan umat dalam ilmu pengetahuan agama di samping dapat meningkatkan kesejahteraan umat. Hendaknya ormas-ormas Islam dalam kegiatan dakwah menghari hal-hal yang cenderung menimbulkan konflik. Misalnya
292
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
membicarakan masyalah furu’iyah yang mengakibatkan umat hanya berjalan di tempat. Sebaliknya lebih mendorong kepada kemajuan umat, lebih banyak membicarakan ajaran agama yang mendorong meningkatnya etos kerja umat. Ulama-ulama senior terutama yang tergabung dalam MUI, hendaknya lebih peka dalam mengantisipasi munculnya konflik dalam dakwah, serta lebih cepat menyelesaikannya. Kearifan lokal yang berisi pencegahan terhadap konflik dan mendorong kepada kerukunan hendaknya bisa digunakan sebagai acuan pelengkap, tentunya yang lebih utama adalah ajaran agama yang membawa kepada kedamaian.
293
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
294
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
Anshari, K.H.M. Isa, Manifes Perjuangan Persatuan Islam. Bandung: Pusat Pimpinan Persis, 1958 Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia. Jakarta: 1998,Paramadina bekerjasama dengan Yayasan Ibn Sina Federspiel, Howard M., Persatuan Islam Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia. New York: Cornel Uviversity, 1970 . Hassan, A., Soal Jawab (1-2-3-4). Bangil: 1996, ttp Hassan, A. Qadir., Kata Berjawab (1-9). Bangil: Al-Muslimun. Khalimi, Dr,MA, Ormas-Ormas Islam. Jakarta: Gaung Persada Perss, 2010. Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya, Kumpulan Regulasi Untuk Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, 2011. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Mughni, Syafiq, A. Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal. Surabaya: 1980, PT Bina Ilmu
295
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
_______& Endang Saefuddin Anshari, A.Hassan Wajah Wijhah Seorang Mujtahid. Bangil: al-Muslimun,1985.
dan
M. Federspiel, Howard, Kajian Al-Qur’an di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab. Bandung: Mizan 1996 _______. Persatuan Islam Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia. New York: Cornel Uviversity, 1970 Nidia Zuraya, “Ahmad Hassan, sang Guru Utama Persis”, Republika, Ahad, 26 September 2010. Nottingham, Dr. Elizabeth K. Ph.D., “Agama dan Masyarakat” (terj.). Jakarta: Rajawali Press, 1990. PP Persatuan Islam, Qanun Asasi Qanun Dakhili Persis, Bab I pasal 2. Bandung: PP PERSIS, 1991 Santosa, Kholid O., Ahmad Hassan dalam Manusia di Panggung Sejarah Pemikiran dan Pergerakan Tokoh-tokoh Islam. Bandung: 2007 Saidi, Ridwan, Cendikiawan Islam Zaman Belanda. Jakarta:1990, Yayasan Piranti Ilmu. Saputra, Wahidin, Drs, MA, Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011. Sar’an, Eman, “40 Tahun Perjuangan Persatuan Islam”, Majalah Risalah. Bandung: Pebruari 1964 hlm.9 Wildan, Dadan, Persis (Persatuan Islam) Dalam Pentas Sejarah Islam Indonesia. Persis Bandung, (tanpa tahun).
296
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
VI DAKWAH AL-KHAIRAAT, NAHDLATUL ULAMA, DARUD DA’WAH WAL IRSYAD DAN MUHAMMADIYAH DI KOTA PALU, SULAWESI TENGAH Oleh: Akmal Salim Ruhana
297
Akmal Salim Ruhana
298
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Latar Belakang Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional yang merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan. Artinya, stabilitas keamanan dan ketentraman bangsa Indonesia serta pelaksanaan pembangunan nasional akan terganggu jika terjadi ketidak rukunan umat beragama. Sementara itu, bagian terbesar dari penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karenanya, kerukunan di kalangan umat Islam menjadi bagian penting dan faktor yang sangat berpengaruh bagi terciptanya kerukunan nasional Indonesia. Jika umat Islam rukun maka setidaknya 88% penduduk Indonesia dalam suasana kondusif, dan hal itu akan mewarnai keseluruhan kondisi bangsa Indonesia. Demikian juga sebaliknya. Secara umum, kondisi kerukunan umat Islam di Indonesia berjalan baik. Budaya saling menghormati, silaturahmi, hingga kerjasama sosial terwujud dalam berbagai bidang kehidupan. Lebih lagi, umat Islam memiliki konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) di samping konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan
299
Akmal Salim Ruhana
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran, ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama. Namun demikian, potensi ketidak rukunan diketahui tetap ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid61, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.62 Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepentingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
61
Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189. 62 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddinmuhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
300
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
pendalaman ajaran agama melainkan sebagai upaya perekrutan untuk penambahan keanggotaan kelompok tertentu. Di sisi lain, dakwah Islam terus menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal. Secara internal, dakwah Islam menghadapi (atau mengalami) variasi pemahaman keagamaan yang berhadapan-diametral: liberal dan fundamental. Kalangan liberalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada sisi yang lebih bercorak rasional, longgar, dan permisif. Di sisi lain, kalangan fundamentalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada suatu pemahaman yang kaku, literalis, dan kohersif bahkan dalam tingkat tertentu menjadi cenderung radikal. Selain itu, dakwah mengalami tantangan internal yang bersifat klasik, yakni keterbatasan dana, sarana prasarana, dan daya jangkau wilayah. Dakwah bergerak dengan dana terbatas yang kemudian menjadi alasan terbatasnya aktivitas dan jangkauan wilayah dakwah. Yang tidak kalah penting, dakwah juga menghadapi tantangan internal berupa kemandegan kaderisasi penyampai dakwah serta pergesekan antar kelompok umat, terutama terkait dinamika politik-praktis tertentu. Belum lagi kompetisi dakwah terjadi antara kalangan Islam mainstream dengan kelompok yang dinilai sempalan atau menyimpang yang terus berkembang dan dinilai ‘menggerogoti’ umat dari dalam. Secara eksternal, tantangan globalisasi dan modernisasi cukup mempengaruhi dakwah. Kedua hal ini dalam tingkat tertentu telah melalaikan (atau mematikan?) upaya dakwah. Arus teknologi informasi yang demikian dahsyat telah menumbuhkan budaya masyarakat yang materialistik, hedonistik, atau bahkan bertendensi pendangkalan akidah hal-hal yang kontradiksi dengan misi utama dakwah. Selain itu, hal klasik, kreativitas dan agresivitas mission dan atau penyiaran agama lain, menjadi bagian dari tantangan eksternal dakwah Islam.
301
Akmal Salim Ruhana
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern maupun ekstern umat beragama di Indonesia. Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439 Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.63 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat provinsi ada 33 Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada 417 Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada 3.221 Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada 8.107 Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan 63 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdl-atul_Ulama diunduh 9 Mei 2011.
302
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Jamaah Muhammadiyah.64 Ormas Islam lainnya yang jumlahnya ratusan juga memiliki jaringan dakwah masing-masing yang luas meski masih terbatas.65 Bahkan, di samping sejumlah ormas tersebut, terdapat sejumlah kelompok gerakan dakwah Islam yang bersifat non-ormas tetapi memiliki pengaruh dan aktivitas dakwah yang cukup signifikan juga di masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini adalah gerakan dakwah Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah aliran tarekat. Maka kontestasi dan kompetisi dakwah di tengah masyarakat muslim Indonesia kian semarak. Para pelaku dakwah melakukan beragam gerakan dakwah, baik gerakan pemikiran maupun gerakan praksisorganisasional, dalam kancah dakwah yang sama. Adu wacana hingga beberapa gesekan tidak jarang terjadi. Maka pada titik inilah, penting untuk melihat peran dan interaksi diantara beragam pelaku dakwah Islam dalam melakukan dakwahnya terutama dalam kaitan pemeliharaan kerukunan intern umat beragama (Islam). Dalam konteks Sulawesi Tengah, gerakan keagamaan yang menonjol peran dan interaksinya antara lain Alkhairaat, Nahdlatul Ulama (NU), Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI), dan Muhammadiyah. Di samping empat itu, terdapat pula kelompok Salafi, Wahdah Islamiyah, LDII, Jamaah Tabligh, HTI, DDII, dan Ahmadiyah.
Permasalahan Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian dengan mengajukan sejumlah pertanyaan penelitian 64 Informasi dari http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringanmuhammadiyah.html diunduh 9 Mei 2011. 65 Jumlah ormas/LSM Islam pada 2009 yang terdata pada Direktorat Penerangan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama adalah 1.185 buah lembaga, dengan 60 diantaranya merupakan kepengurusan/kepemimpinan ormas di tingkat pusat. Lihat Bimas Islam Dalam Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Lampiran hlm. 103-105.
303
Akmal Salim Ruhana
sebagai berikut: (1) Bagaimana profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat Palu, Sulteng? (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah tersebut? (3) Bagaimana upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat Palu, Sulteng. (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah tersebut. (3) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional Gerakan (movement) berarti usaha atau kegiatan yang memiliki arah tertentu. Adapun dakwah diartikan sebagai penyiaran/propaganda agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; serta seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama (Islam). Sedangkan gerakan dakwah berarti usaha yang terarah untuk menyiarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Dalam konteks ini, dakwah dapat berupa penyiaran pemikiran keagamaan atau kegiatan praksis penyebaran paham keagamaan tertentu. Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. Dengan demikian, ormas Islam berarti organisasi nonpemerintah yang dibentuk berdasarkan
304
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
kesamaan agama Islam, seperti: NU, Muhammadiyah, Alkhairaat, PERSIS, PERTI, Al-Washliyah, Mathlaul Anwar, dan sebagainya. Dalam konteks penelitian ini, tercakup pula kelompok/gerakan keagamaan yang non-ormas, seperti Salafi dan Jamaah Tabligh. Sedangkan kerukunan umat beragama, sebagaimana didefinisikan di dalam PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kerangka Konseptual Dakwah secara bahasa berarti upaya mengajak (ud’uu, ajaklah). Bentuknya bisa bermacam ragam: performa yang menarik, konsep pemikiran yang logis-menjanjikan, strategi yang menentramkan, dan lain sebagainya. Bisa dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun sikap. Anasir dakwah sendiri meliputi: pendakwah (da’i), yang didakwahi (mad’u), pesan dakwah (maddah), metode dakwah (thariqoh), media dakwah (wasilah), dan efek dakwah (atsar). Unsur-unsur seperti inilah yang hendak diwakili kata ‘profil’ dalam penelitian ini. Bahwa pengenalan (identification) dan pemahaman (comprehension) pada identitas para pelaku dakwah penting untuk memberikan latar atas asumsi-asumsi atau sikap yang dimanifestasikannya dalam konteks hubungan antar umat beragama. Telah banyak teori yang menunjukkan adanya kaitan antara pemahaman keagamaan (religious thought) dengan sikap manifest keberagamaan, misalnya. Demikian juga, ada kaitan erat
305
Akmal Salim Ruhana
antara pengaruh figur tokoh kelompok pelaku dakwah dengan karakter sikap anggotanya. Masih termasuk kategori profil di atas, peran pelaku dakwah juga penting dilihat. Peran berarti sikap atau ekspresi nyata dari dakwah: seperti apa dakwah dilakukan. Dengan asumsi keutuhan (comprehensiveness) peran dakwah, maka yang hendak dilihat adalah segala aspek peran dakwah dalam ranah-ranah yang luas, yakni: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Pemahaman atas peran-peran dakwah dalam beragam ranah ini juga dapat memberi konteks pada sikap-sikap pelaku dakwah dalam hubungan antarumat beragama. Secara teoritik, suatu gejala sosial pasti dipengaruhi lebih dari satu faktor, alias banyak faktor. Maka pengayaan ranah semacam ini sejatinya akan sangat membantu memahami suatu gejala tertentu yang hendak diketahui, yakni perihal hubungan antarumat beragama. Karena dakwah sifatnya mengajak, apalagi menjadi sebuah ‘gerakan’dakwah, maka hal ini meniscayakan adanya interaksi (take and give, collaborative, atau justeru konflik) dengan pihak-pihak lain, baik yang didakwahi maupun pelaku dakwah lainnya. Selain itu, secara substansial, interaksi juga terjadi antara da’i dengan sasaran dakwah (mauidzatul hasanah atau mujadalah), da’i dengan media dakwah (bil lisan, bil hal, atau bil qolam), dan da’i dengan pesan dakwah (sumber, pola memahami ajaran, dan ekspresi). Sementara itu, yang didakwahi adalah komunitas yang sama (umat Islam), dan yang menjadi pelaku dakwah adalah kelompok-kelompok gerakan dakwah yang memiliki profil dan peran yang beragam. Maka potensi adanya ketidakrukunan diasumsikan (atau diyakini) ada. Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah, mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai efek atau atsar dari dakwah.
306
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Secara praktis, penelitian ini membagi pihak-pihak pelaku dakwah setidaknya pada tiga kategori/pihak ormas atau gerakan keagamaan yang diteliti di Kota Palu, yakni: 1) Ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai dominan di Kota Palu, yakni Alkhairaat; 2. Ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai berpotensi bergesekan/berkonflik dengan ormas dominan atau gerakan keagamaan itu, dalam hal ini Muhammadiyah; dan 3. Ormas atau gerakan keagamaan yang relatif memiliki potensi integratif/damai dengan ormas atau gerakan keagamaan yang dominan itu, dalam hal ini Nahdlatul Ulama dan Darud Da’wah wal Irsyad. Selain itu, dilihat pula peranan gerakan dakwah lainnya seperti Salafi dan LDII. Berikut skemanya: Pelaku Dakwah 1: Alkhairaat a. Profil, b. Peran, c.
Pelaku Dakwah 2: Muhammadiyah a. Profil, b. Peran, c.
Pelaku Dakwah 3: NU dan DDI a. Profil, b. Peran, c.
Kajian Terdahulu Penelitian dan kajian tentang gerakan dakwah Islam telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Quintan Wiktorowicz dalam buku yang dieditorinya Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach66 , sesuai judulnya, memberi gambaran tentang kasus-kasus gerakan keagamaan Islam di berbagai negara dengan pendekatan teori gerakan sosial. Yang menarik, kajian ini mendefinisikan aktivisme Islam 66 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, USA: Indiana University Press, 2004.
307
Akmal Salim Ruhana
(gerakan islam?) secara lebar, tidak hanya pada sesuatu ormas atau gerakan terorganisir tertentu, melainkan juga pada kelompok pendemo ‘berbendera’ Islam, aksi yang membawa simbol atau identitas Islam, kelompok teroris, kelompok yang hendak mendirikan negara Islam, dan termasuk kelompok spiritual. 2) Melalui kajian dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,67 Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.) memetakan empat gerakan Islam yang dikategorikan salafi-radikal (FPI, Laskar Jihad, MMI, dan HTI), dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat muslim Indonesia. Di bagian akhir, sebagai bagian tak terpisahkan, disertakan hasil penelitian PPIM tentang Islam dan Konsolidasi Demokrasi. Temuan penting penelitian ini menunjukkan bahwa meski fenomena gerakan salafi-radikal itu ada di Indonesia, namun mayoritas muslim masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran. 3) Dr. Khalimi, MA mendaftar dan memberi informasi tentang profil dan aktivitas sejumlah penggiat dakwah, tepatnya 15 ormas Islam. Dalam bukunya berjudul Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik ini,68 Khalimi menunjukkan adanya ragam karakter ormas Islam yang tetap harus dipandang sebagai rahmat. Kajian kompilatif ini tidak banyak memberi perspektif selain menginformasikan identitas dan posisi sejumlah ormas yang notabene cukup dikenal sebagiannya karena sifat kontroversialnya. 4) Kajian penting tentang pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional di Indonesia dalam hubungannya dengan ormas 67 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. 68 Dr. Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
308
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Islam lokal dipaparkan di buku Ilusi Negara Islam69 yang dieditori KH. Abdurrahman Wahid. Salahsatu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa sejumlah gerakan keagamaan memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari Timur Tengah yang menganut ideologi totalitarian-sentralistik. Berbeda dengan kajian dan penelitian di atas, penelitian kali ini merupakan upaya pendalaman terhadap profil, peran, dan hubungan ormas-ormas Islam dan atau gerakan keagamaan lainnya dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan intern umat Islam di Indonesia. Lebih khas lagi, karena konteksnya Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sesuatu yang belum secara luas dikaji dalam penelitian-penelitian terdahulu tersebut di atas.
Metode Penelitian Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, pengamatan lapangan, dan wawancara-mendalam. Bahan pustaka (termasuk beberapa bahan dari dunia maya) tentang gerakan dakwah, ormas, dan tema terkait lainnya menjadi sumber awal yang memandu proses pengumpulan data melalui wawancara. Pengamatan dilakukan dengan mendatangi langsung kantor pengurus atau pusat perkumpulannya. Adapun wawancara dilakukan dengan sejumlah informan kunci, yakni: Drs. Jamaluddin Mariajang, M.Si. (Sekjen PB Alkhairaat), Ahmadan (Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam Alkhairaat), Drs. KH. M. Dahlan Tangkaderi (Anggota Dewan Pembina Alkhairaat sekaligus Ketua 69 KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Bandingkan dengan kajian serupa yang dilakukan oleh Greg Barton dengan horizon yang lebih luas, dalam Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010, hlm 133-148.
309
Akmal Salim Ruhana
FKUB Provinsi Sulawesi Tengah), Dr. H. Mochsen Alaydrus, MM (Ketua PWNU Sulawesi Tengah dan Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Tengah), Drs. H.M. As’ad Syukur, M.Pd. (Ketua DDI Palu), Drs. H. Baqir Tora, MH. (Sekretaris PW Muhammadiyah Sulawesi Tengah), Drs. Aminun P. Omolo, M.Ag. (Rektor Universitas Muhammadiyah Palu), Abdul Hadid (Purek I Unismuh Palu), Muh. Ilyas Padduntu, S.Ag., M.Pd.I (Sekretaris PD Muhammadiyah Palu), Drs. Arsyad Said, SH, MH. (Sekretaris MUI Sulawesi Tengah), Muhammad (Ustad pada Pesantren Salafi), Iwan (anggota LDII Palu), Muslimin (Kasi Pontren dan Penamas Kanwil Kemenag Sulawesi Tengah), Drs. H. Abdullah Latupada, M.Pd.I (Kepala Kankemenag Kota Palu), dan M. Jen Ismail (Kabag. Pontren dan Penamas Kankemenag Kota Palu). Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan. Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi sumber dengan cara pemeriksaan informasi melalui informan-informan kunci yang diwawancarai. Penelitian ini dilakukan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, dengan masa pengumpulan data lapangan dilaksanakan selama 10 hari, yakni 21-30 September 2011. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan adanya kekhasan karakter masyarakat dan pola dakwah Islam yang dilakukan. Seperti diketahui, di Kota Palu terdapat suatu gerakan keagamaan Islam yang khas dan dominan, yakni Al-Khairaat.
310
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Gambaran Geografis-Demografis Palu adalah sebuah kota sekaligus merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Satu kota dari 11 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Palu terletak di antara 0°36” - 0°56” Lintang Selatan dan 119°45 - 121°1” Bujur Timur, tepat berada di bawah garis khatulistiwa, dengan ketinggian 0 - 700 meter dari permukaan laut. Secara administratif, batas-batas wilayahnya adalah: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tanantovea Kab. Donggala; Kecamatan Binangga di Sebelah Selatan, Kecamatan Biromeru di Sebelah Timur, dan Bandara Mutiara di Sebelah Barat. Dengan jumlah penduduk 336.532 jiwa dan luas wilayah Kota Palu sebanyak 395,06 km², maka kepadatan penduduk Kota Palu pada akhir tahun 2010 tercatat 852 jiwa/km². Palu Selatan merupakan kecamatan yang terpadat, sedangkan Palu Timur yang terjarang penduduknya. Keadaan populasi penduduk cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selengkapnya, berikut gambaran luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk di Kota Palu.
311
Akmal Salim Ruhana
Tabel 1 Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan Kota Palu Tahun 2006-2010 No 1 2 3 4
Kecamatan Palu Barat Palu Selatan Palu Timur Palu Utara
Luas (km2) 57,47 61,35 186,55 89,69
Jumlah Penduduk (jiwa) 98.739 122.752 75.967 39.074
Kota Palu 395,06 336.532 2010 Sumber : Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
Kepadatan (jiwa/km2) 1.718 2.001 407 436 852
Kondisi Sosial-Ekonomi-Budaya Secara umum, penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu: Kaili, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan atau Loinang, Balantak, Mamasa, Taa, Bare'e, Banggai, Buol, Tolitoli, Tomini, Dampal, Dondo, Pendau, dan Dampelas. Di samping 19 kelompok etnis ini, terdapat pula beberapa suku yang hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea dan Suku Ta' di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Sedangkan di Kota Palu sendiri, sebagai sebuah ibukota, dihuni berbagai etnis/suku tersebut. Mereka terutama etnis Kaili, selain itu Jawa, Kulawi, Pamona, Banggai, Tionghoa, dan lain-lain.
312
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari. Demikian halnya di Kota Palu. Adapun etnis dan budaya Kaili menjadi yang dominan di Kota Palu. Secara ekonomi, Dana Alokasi Umum (DAU) Kota Palu dengan estimasi tahun 2011 mencapai Rp. 422.397.157.000,Sedangkan pendapatan regional perkapitanya terus meningkat, dengan Rp 10.429.377,- pada 2006 meningkat menjadi Rp 11.803.268,- pada 2007. Sedangkan pada 2008 mencapai Rp 14.175.697,- yang kembali mengalami peningkatan pada 2009 menjadi Rp 16.023.983,- Adapun pekerjaan penduduk cukup beragam, mulai dari pedagang, petani, guru, Pegawai Negeri Sipil, hingga wiraswasta. Data mengenai lulusan pendidikan di Kota Palu menunjukkan angka partisipasi yang cukup. Setidaknya tergambar dari data murid sekolah di lingkungan Kementerian Agama Kota Palu. Tercatat ada 647 murid Raudhatul Atfal, 2.664 murid Madrasah Ibtidaiyah, 3.856 murid Madrasah Tsanawiyah, dan 1.607 murid Madrasah Aliyah. Demikian juga di sekolah umum, tercatat ada 6.137 murid TK, 40.820 murid SD, 14.547 murid SLTP dan 9.731 murid SLTA. Adapun data jumlah alumni perguruan tinggi (BPS 2011), tergambar sebagai berikut:
313
Akmal Salim Ruhana
Tabel 2 Jumlah Mahasiswa Baru dan Lulusan Perguruan Tinggi (TA 2010-2011) No
1 2 1 2 3 4 5 6
Nama Kampus Negeri Universitas Tadulako STAIN Dato Karama Swasta Universitas Muhammadiyah Palu Sekolah Tinggi Panca Bakti STISIPOL Panca Bakti Sekolah Tinggi Panca Marga STIA Pembangunan Universitas Alkhairaat (Unisa)
Jumlah Mahasiswa Baru
Jumlah Mahasiswa
Jumlah Alumni
Jumlah Dosen
6.665 490
20.331 1.638
3.319 346
1.207 186
1.115
-
5.209
-
541
537
2.329
68
405 328
799 678
1.648 52
54 32
357 882
710 7.616
148 323
45 386
Kondisi Kehidupan Keagamaan Informasi mengenai kehidupan keagamaan diantaranya ditunjukkan oleh jumlah pemeluk agama, jumlah rumah ibadat, dan jumlah kasus keagamaan yang muncul di tempat bersangkutan. Selain itu, jumlah rohaniawan agama dan ormas keagamaan yang ada juga penting menjadi pengetahuan. Mengenai jumlah pemeluk agama, mayoritas penduduk Kota Palu beragama Islam, yakni mencapai 87,84%. Selanjutnya secara berurutan, Kristen 9,46%, Katolik 1,46%, Hindu 0,78%, dan Buddha 0,45%. Selengkapnya berikut data jumlah pemeluk agama di Kota Palu, berdasarkan hasil Sensus BPS tahun 2010.
314
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Tabel 3 Presentase Penduduk menurut Agama dan Kecamatan Kota Palu Tahun 2006-2010 No
Kecamatan
1 2 3 4
Palu Barat Palu Selatan Palu Timur Palu Utara Kota Palu 2010
Islam
Jumlah Pemeluk Agama… (%) Kristen Katolik Hindu Buddha
Khonghc
93,20 76,34 95,16 96,85
3,17 20,09 4,16 1,61
2,43 1,51 0,43 0,94
0,43 1,48 0,19 0,56
0,78 0,58 0,05 0,04
0 0 0 0
87,84
9,46
1,46
0,78
0,45
0
Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
Data pemeluk agama dari Kementerian Agama Kota Palu menunjukkan hal berbeda, yakni: terdapat 199.284 penganut agama Islam (77%), 37.670 penganut agama Kristen (15%), 8.279 penganut agama Katolik (3,2%), 4.577 penganut agama Hindu (1,8%), dan 7.876 penganut agama Buddha (3%). Adapun data pemeluk agama Khonghucu belum tersedia. (Sumber: Data pada Kasi Penamas Kementerian Agama Kota Palu Tahun 2011). Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan rumah ibadat, terdapat sejumlah tempat peribadatan di Kota Palu, sebagai berikut: Tabel 4 Jumlah Tempat Peribadatan menurut Agama Kota Palu Tahun 2006-2010 Masjid
Islam Mush
Langgr
Palu Barat Palu Selatan Palu Timur Palu Utara
123 118 58 48
39 8 11 6
Kt. Palu 2010
347
64
No
Kecamatan
1 2 3 4
Kristen
Katolik
Hindu
Buddha
Khonghc
-
5 57 9 3
2 -
1 1 -
3 1 -
-
-
74
2
2
4
-
Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
315
Akmal Salim Ruhana
Angka yang berbeda, khusus untuk Muslim misalnya, ditunjukkan oleh data jumlah rumah ibadat umat Islam pada Kantor Kementerian Agama Kota Palu. Disebutkan bahwa di Kota Palu terdapat 1 masjid agung, 1 masjid raya, 306 masjid jami’, 71 langgar/mushola, dan berarti secara keseluruhan berjumlah 379 buah. Berbeda dengan data BPS di atas. Jumlah rohaniawan agama tahun 2006-2012 dari semua jenis agama (kecuali Khonghucu, yang juga belum didapatkan datanya) dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 5 Banyaknya Rohaniawan menurut Agama Kota Palu Tahun 2006-2010 No
Jenis Rohaniwan
Islam 1 Ulama 2 Mubaligh 3 Khatib 4 Penyuluh Kristen 1 Pendeta 2 Pendeta Muda Katolik 1 Pastor 2 Suster 3 Frater/Bruder Hindu 1 Pemangku 2 Pinandita 3 Pedanda Buddha 1 Bhikku 2 Samanera 3 Pandita Khonghucu 1 -
2006
Banyaknya Rohaniwan 2007 2008 2009
500 226 536 104
500 226 536 90
503 231 540 559
612 325 553 315
620 328 556 306
114 78
114 78
156 108
158 108
158 108
3 6 4
2 6 4
5 5 6
5 6 5
3 4 6
2 4 2
3 -
3 -
3 -
-
3
10
40
49
3 1 80
-
-
-
-
-
Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
316
2010
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Terdapat empat ormas keagamaan Islam yang cukup besar dan berperan, yakni: Alkhairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad, dan Muhammadiyah. Selain itu, terdapat kelompokkelompok lainnya meski tidak dalam jumlah dan peranan yang menonjol.
317
Akmal Salim Ruhana
318
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Profil Keorganisasian Ormas/Gerakan Keagamaan Sebagaimana disebutkan di atas, ada empat ormas atau gerakan keagamaan utama yang menjadi fokus kajian penelitian ini di samping beberapa ormas atau gerakan lainnya. Keempatnya adalah Alkhairaat, NU, Darud Da’wah wal Irsyad, dan Muhammadiyah. Berikut masing-masing profilnya.
D. Alkhairaat Gerakan keagamaan Alkhairaat berawal dari sebuah madrasah di Palu, Sulawesi Tengah, yang didirikan oleh Habib Idrus bin Salim Aldjufri (biasa dipanggil Guru Tua) pada 14 Muharram 1349 Hijriah, bertepatan 11 Juni 1930 Masehi. Lembaga pendidikan ini terus berkembang pesat di kota-kota dan kampung-kampung. Lama kelamaan madrasah ini menjadi ormas dan gerakan keagamaan tersendiri yang established dan mempengaruhi hampir seluruh bagian Timur Indonesia, dan daerah lainnya.
319
Akmal Salim Ruhana
Ditegaskan di dalam anggaran dasarnya, Perhimpunan Alkhairaat bersifat amaliah dan independen. Berkedudukan pusat di Palu, Sulawesi Tengah. Alkhairaat berazaskan Islam dan berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dengan berfaham Asy’ariyah dan bermadzhab Syafii. Dengan demikian, secara paham keagamaan (akidah dan ubudiyah), Alkhairaat hampir sama atau bahkan sama sekali tidak berbeda dengan Nahdlatul Ulama atau kelompok Ahlussunnah wal Jamaah lainnya. Bedanya pada penegasan bermadzhab Syafii itu. Bahwa yang diajarkan di sekolah-sekolah Alkhairaat hanya ajaran bermadzhab Syafii, madzhab lainnya tidak diajarkan. Selain itu, bagi Alkhairaat, bahasa Arab merupakan hal yang penting.70 Alkhairaat bertujuan membentuk insan yang beriman dan bertaqwa, cerdas, arif, bijaksana, dan bertanggung jawab terhadap pembangunan agama, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna terwujudnya masyarakat yang aman, adil, dan makmur yang diridhai Allah swt. Untuk tujuan ini dilakukan usaha pengembangan pendidikan, pembentukan kader da’i, dan pengembangan usaha sosial. Saat ini Alkhairaat dipimpin oleh H.S. Ali Muhammad Aljufri dengan Sekretaris Jenderal Drs. Jamaluddin Mariajang, M.Si. Berikut selengkapnya susunan pengurus Pengurus Besar Alkhairaat masa khidmat 2008 - 2013. Ketua Umum
:
H.S. Ali Muhammad Aljufri
Ketua
:
Drs. Sofyan Ing; Drs. Adjimin Ponulele; Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, H.S. Shaleh Muhammad Aldjufri, Lc. MA; Drs. H. Mohsen Alidrus, MM; Drs. H. Husen Habibu, M.HI; Drs. H. Zainal Abidin,
70 Hal-hal pembeda Alkhairaat dari lainnya ini disampaikan Sekjen Alkhairaat, wawancara 26 September 2011.
320
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
M.Ag.; H. Hamdan Rampadio, SH, MH; Drs. H. Abdullah Latopada, M. Pd.I; KH. Yahya Alamri, S.HI; dan Drs. Ridwan Yalijama, MA Sekretaris
:
Jenderal: Drs. Jamaluddin Mariajang, M.Si
Wakil Sekjen
:
Drs. Muhtadin Dg. Mustafa, M.Hi; Sofyan Bachmid, SPd, MM; Sy. Ragwan Ahmad Aljufri, SHI, MH; dan Syaifullah Tompo
Bendahara Umum: H. Hasyim Hadado, dengan wakilnya: Saiful Jibran BA; dan Fathum Alhabsyi Majelis Pendidikan, Ketua: H.S. Alwi Saggaf Aljufri, Lc dan Sekretaris: Dr. Khairan Majelis Dakwah , Ketua : KH Mansur Baba, Lc; dan Sekretaris: Abdurrahman Mochsen, S.HI Majelis Organisasi, Ketua: H. Farid Djavar Nasar, SH; dan Sekretaris: Faisal Attamimi, S.Ag, M.Fil.I Adapun anggota Dewan Ulama Alkhairaat masa khidmat 2008-2013, adalah sebagai berikut: Ketua
:
Dr. KH.S. Salim Saggaf Aldjufri, MA (Sekarang menjabat Menteri Sosial RI)
Wakil Ketua
:
Drs. Dahlan Tangkaderi; KH.S. Mohsen Ali Alhabsyi, Lc; dan KH. Mohammad Abubakar, S.Ag
Sekretaris
:
KH. Mohammad Lationo, dengan wakilnya Drs. KH. Salim Dg. Masuka, Lc; dan Drs. Abd. Basyir Marjudo, M.HI
Anggota
:
KH. Abd. Salam Tahir; KH. Syamsuddin Lamalundu; KH. Nawawian Abdullah; KH. Faradj Dhofir; KH. Daud Towandu; KH. Ibrahim Saleh;
321
Akmal Salim Ruhana
KH. Hasyim Arsyad; Drs. H.S Muthahar Saleh Aljufri; Drs. KH. M. Thayeb Sualiman Lc.; KH. Abdurrahman Latopada; KH. Jamaluddin Tiku, BA; KH. Syuaib Muhya.; Drs. KH. Anas Ibrahim; KH.S. Idrus Ali Alhabsyi; KH.S. Umar Idrus Alhabsyi; dan H. Hafid Hadado. Di jajaran Dewan Pakar Alkhairaat masa khidmat 2008-2013, terdapat nama-nama berikut: Ketua
:
Prof. DR.KH.Moh.Noor Sulaiman Pettalongi (alm.)
Wakil Ketua
:
Drs. KH. Sofyan Alwi Lahilote, SH; Prof. DR. Anhulaila Palampanga, SE; dan Dr. H. Lukman S. Tahir, MA
Sekretaris
:
H. Thaha Aljufri, SE, wakilnya: Ir. H. Faisal Shahab
Anggota
:
dr. H. Fikri Hamzens; Prof. Dr. H. Ahmad Bachmid; KH. Abdul Ghani Kasuba, Lc; dr. H. Abdullah Ammari, Sp.PD; Drs. Anwar Ponulele; Drs. H. Syahrir Alatas SE, M.Si; Drs. H. Andiwan Betalembah; H. Syafrun Abdullah BRE; Husen Muh. Saleh SE, M.Si; Drs. H. Mohammad Rumi; Ir. Rahmat Kawaru; Drs. Burhanuddin Maragau; Drs. Syarifuddin H. Muda; H. Naser Djibran; dan S. Alwi Yahya Assagaf, SH
Selain pengurus di atas, terdapat sejumlah badan otonom Alkhairaat, yaitu: 1. Wanita Islam Alkhairaat (WIA), yang dipimpin oleh Sy. Sa'diyah binti Idrus Aljufri; 2. Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) sebagai wahana pengkaderan pemuda penerus; 3. Ikatan Alumni Alkhairaat (IKAAL); 4. Banaat Alkhairaat, yang merupakan organisasi putri-putri Alkhairaat; dan sejak Maret 2010 lalu
322
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
dikukuhkan Persatuan Guru Alkhairaat (PGA), dan Badan Pengawas Keuangan dan Kekayaan Alkhairaat (BAWASKAL). Lini pendidikan Alkhairaat dilakukan dalam bentuk madrasah, pondok pesantren, dan universitas. Data jumlah Madrasah/Sekolah Pendidikan Islam Alkhairaat, estimasi tahun 2010, adalah sebagai berikut: Sulawesi Tengah 1.096 buah, Sulawesi Utara 135 buah, Gorontalo 61 buah, Sulawesi Selatan 7 buah, Sulawesi Barat 18 buah, Sulawesi Tenggara 3 buah, Kalimantan Timur 55 buah, Maluku Utara dan Maluku 162 buah, Papua dan Papua Barat 12 buah, Kalimantan Selatan 1 buah. Sehingga secara keseluruhan berjumlah 1.550 buah madrasah/ sekolah. Adapun data Pondok Pesantren Alkhairaat adalah: Sulawesi Tengah 16 buah, Sulawesi Utara 4 buah, Gorontalo 5 buah, Sulawesi Tenggara 1 buah, Sulawesi Selatan 1 buah, Kalimantan Selatan 1 buah, Kalimantan Timur 4 buah, Maluku Utara dan Maluku 4 buah. Sehingga keseluruhan jumlah pondok pesantren Alkhairaat adalah 36 buah. Di samping itu, Alkhairaat memiliki Universitas Islam Alkhairaat dengan 7 fakultasnya. Di bidang dakwah, kegiatan yang dilaksanakan antara lain: menyiapkan da'i pada peringatan hari-hari besar Islam, khotbah jum'at dan majelis taklim yang dilaksanakan di masjid-masjid maupun di rumah-rumah. Khusus pada bulan Ramadhan para da'i diterjunkan ke daerah-daerah untuk menyampaikan ceramahceramah Ramadhan. Selain itu, Alkhairaat bekerjasama mengantisipasi dan menyukseskan program pemerintah baik pusat maupun daerah menyampaikan bahasa agama. Adapun di bidang usaha Alkhairaat membuka Rumah Sakit Umum dengan Nama Sis. Aljufri, supermarket yang dinamai SAL (Supermarket Alkhairaat), penerbitan koran harian “Media Alkhairaat” dan dua stasion radio swasta (Radio Alkhairaat) yang ada
323
Akmal Salim Ruhana
di Manado dan Palu serta satu stasion radio dalam persiapan di Gorontalo. Kantor Sekretariat Pengurus Besar Al-Khairaat beralamat di Jl. SIS Aljufrie No. 44 Palu, Sulawesi Tengah, yang sekaligus menjadi sentral kegiatan Alkhairaat. Di sekitar situ ada Masjid Alkhairaat, sekolah-sekolah Alkhairaat, dan Swalayan Alkhairaat.
E. Nahdlatul Ulama Di Palu terdapat ormas keagamaan Nahdlatul Ulama yang secara umum profilnya sama sebagaimana Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa. NU menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, yang berpola pikir jalan tengah antara rasionalis dan skripturalis. Sumber pemikirannya Al-Qur'an, Sunnah, dan juga kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Dalam Anggaran Dasarnya, tujuan NU adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengahtengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk tujuan ini dilakukan usaha organisasi, yaitu: 1) Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. 2) Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, dan berpengetahuan luas.
324
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
3) Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan. 4) Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. 5) Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Secara nasional, NU memiliki 31 Pengurus Wilayah di tingkat provinsi, 339 Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota, 12 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 2.630 Majelis Wakil Cabang di tingkat kecamatan, dan 37.125 Pengurus Ranting di tingkat desa/kelurahan. Selain kepengurusan itu, NU juga memiliki 12 Lembaga, 4 Lajnah, dan 9 Badan Otonom. Kedua belas lembaga adalah: Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU), Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama (LPKNU), Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU), Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU), Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), Lembaga Takmir Masjid Indonesia (LTMI), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM), Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI), Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH), dan Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU). Keempat lajnah adalah: Lajnah Falakiyah (LF-NU), Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU), Lajnah Auqaf (LA-NU), dan Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU). Sedangkan 9 badan otonom adalah: Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah, Muslimat NU, Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Fatayat NU, Ikatan Pelajar Nahdlatul
325
Akmal Salim Ruhana
Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa), Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH). Demikianlah, profil dan posisi keagamaan NU di Palu sama seperti NU di Jawa Timur ataupun Jakarta. Uniknya, secara struktural, NU di Palu dalam kondisi tertentu terkesan ‘menyaru’ dengan Alkhairaat (atau sebaliknya?) Pimpinan Wilayah NU Sulawesi Tengah saat ini, misalnya, dijabat oleh Dr. H. Mochsen Alaydrus, MM, yang juga Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Tengah. Di Palu, beliau adalah tokoh tinggi Alkhairaat. Demikian juga, banyak peran-peran ganda sebagai pengurus Alkhairaat dan sebagai pengurus NU pada tokoh-tokoh tertentu, hingga muncul ujaran: “Fleksibel saja. Kalau di Palu menjadi Alkhairaat, kalau sedang ke Jawa menjadi NU.”71 Dengan adanya peran-ganda ini, resikonya, performa salah satu diantara Alkhairat dan NU menjadi tidak terlalu menonjol dalam konteks lokal. Tentu saja, performa Alkhairaat lebih menonjol dan kentara di Palu. Sekolah-sekolah dan madrasah, misalnya, pastilah merupakan Madrasah Alkhairaat. NU bahkan tidak punya sekolah, tidak ada sekolah NU, dan karenanya NU seolah tidak eksis.72
F. Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Secara historis, kelahiran DDI tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual-spiritual al-Mukarram KH. Abd. Rahman 71 Bahkan peran multiganda juga dialami Drs. HM. As’ad Syukur. Selain sebagai Ketua DDI juga pengurus NU, bahkan pernah menjadi Ketua Alwasliyah Kota Palu. 72 ‘Ketiadaan’ eksistensi NU disampaikan As’ad Syukur dalam wawancara tanggal 27 September 2011. Namun, kondisi ini ternyata merupakan sejenis ‘kesepakatan’ pemuka NU dan Alkhairaat, bahwa NU akan berkiprah di politik dan tidak boleh mendirikan madrasah. Sedangkan Alkhairaat tidak berkiprah di politik tetapi bergerak di pendidikan, sehingga boleh mendirikan madrasah. Hal ini disampaikan Abdullah Latupada dalam wawancara dengan Endang Sulanjari tanggal 28 September 2011.
326
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Ambo Dalle (biasa disebut Gurutta Ambo Dalle). Beliaulah yang mendirikan DDI. Para pendiri DDI lainnya adalah AGH Daud Ismail, AGH M Abduh Pabbajah, AGH Ali Yafie (pernah menjabat sebagai Ketua MUI Pusat), dan AGM M Tahir Imam Lapeo. Organisasi Darud Da’wah wal Irsyad didirikan pada 7 Februari 1947 di Watang Soppeng, sebagai pengintegrasian dari Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang didirikan di Mangkoso 11 Januari 1938. Organisasi yang berkedudukan pusat di Makassar ini dalam Anggaran Dasarnya menegaskan akidahnya sebagai Islam menurut Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut salahsatu dari madzhab; Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. DDI berasaskan Pancasila, dan bersifat keagamaan, bergerak dalam pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. DDI bertujuan membentuk individu muslim yang beriman, bertaqwa, berakhlakul karimah yang mengabdi dan mengamalkan usahanya fisabilillah, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur diridhai Allah SWT. Untuk tujuan ini, dilakukan sejumlah usaha, yakni: mengusahakan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan ajaran Islam, mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut Ahlussunnah wal Jamaah, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi yang adil, merata, dan mengusahakan halhal yang bermanfaat bagi umat guna terwujudnya khaira ummah. Secara struktural, sudah ada 8 pengurus wilayah, 274 pengurus daerah, 392 pengurus cabang, 127 pengurus ranting, 1.029 sekolah, 18 perguruan tinggi, 89 pesantren, yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Terdapat pula sejumlah badan otonom, antara lain: Ummahat DDI (UMDI), Fatayat DDI (Fadi), Ikatan Pemuda DDI (IPDDI), Ikatan Mahasiswa DDI (IMDI), Ikatan Guru DDI (IGDI), dan Ikatan Alumni DDI (IADI).
327
Akmal Salim Ruhana
Di Sulawesi Tengah (baca: Palu) DDI masuk pada tahun 1956 terutama di desa-desa. Leading sector perannya di bidang pendidikan. Sejak 1956 sampai saat ini, DDI bahkan telah memiliki 150 berbagai jenjang pendidikan, taman pengajian banyak , panti asuhan 10 buah, pondok pesantren 10 buah, serta perguruan tinggi jarak jauh 2 buah. DDI di Kota Palu saat ini diketuai Drs. H.M. As’ad Syukur, M.Pd.
G. Muhammadiyah Organisasi yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta ini menegaskan dirinya sebagai gerakan islam, da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, yang bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dengan berasaskan Islam, Muhammadiyah berdiri karena beberapa alasan dan tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar.73 Muhammadiyah yang berasaskan Islam menegaskan identitasnya sebagai adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Muhammadiyah adalah gerakan Islam. Kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itu pula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan 73 Alasan-alasan ini sebagaimana H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332 dalam www.muhammadiyah.or.id diunduh pada 22 September 2011.
328
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin. Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah. Muhammadiyah adalah gerakan tajdid. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Assunah, sekaligus membersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Termasuk tajdid juga dalah pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan shalat Id dan pelaksanaan kurban dan sebagainya. Dalam Anggaran Dasarnya, Pasal 6 dan 7, disebutkan maksud dan tujuan Muhammadiyah yakni menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk itu, dilakukan usaha-usaha sebagai berikut: (1) melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang
329
Akmal Salim Ruhana
kehidupan; (2) usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga; dan (3) Penentu kebijakan dan penanggung jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah. Dalam konteks Sulawesi Tengah, Muhammadiyah masuk ke Kota Palu di saat kondisi masyarakat Kota Palu yang telah didominasi Alkhairaat. Maka kedatangannya yang berwatak tajdid (pembaharuan) itu pada awalnya kerap mendapat resistensi.74 Proses asimilasi dan kehidupan sosial bersama kemudian hari menjadikan akseptasi yang cukup baik di kalangan masyarakat tertentu, terutama para pendatang.75 Muhammadiyah menjadikan pendidikan sebagai media dakwahnya. Tak heran, Muhammadiyah mendirikan sekolahsekolah Muhammadiyah di banyak tempat, dan bahkan memiliki kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu yang cukup luas di sebuah bukit di Jalan Hang Tuah, Kota Palu. Dengan tujuh fakultasnya, Unismuh menampung banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang (baca: termasuk yang bukan Muhammadiyah). Secara struktural, susunan Pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palu periode 2010-2015 adalah sebagai berikut:
74 Diceritakan, pada tahun 1970-an pernah masjid-masjid Muhammadiyah dilempari pihak tertentu sebagai bentuk resistensi ini. Atau, pada saat Muhammadiyah memulai/menginisiasi pelaksanaan Sholat Ied di lapangan, masyarakat banyak yang menolaknya. Kondisi-kondisi ini saat ini tidak terjadi lagi. Wawancara Sekretaris PD Muhammadiyah Kota Palu, Muh. Ilyas Padduntu, S.Ag., M.Pd.I, pada 29 September 2011. 75 Salahsatu indikasi, misalnya, kebanyakan pengikut Muhammadiyah adalah pendatang/transmigran dari Jawa, atau para pedagang yang tinggal berkelompok di daerah pelabuhan atau daerah-daerah lainnya.
330
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Ketua
:
Hadie Soetjipto, B.Sc., S.Ag.
Wakil Ketua
:
Drs. Leonar MS; Drs. Burhanuddin H. Arifin; Drs. H. Zainal Honteng; Drs. Abd. Hafid DM; Drs. HM. Ilyas Wella, M.Si.; dan Sitti Aminah M. Amin.
Sekretaris
:
Muh. Ilyas Padduntu, S.Ag., M.Pd.I, dengan wakil Drs. HM. Ridwan, MM
Bendahara
:
H. Sudirman M, dengan wakil Ilham A. Djorimi
Alamat Sekretariat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palu berada di Jalan Tompi Nomor 15 Kelurahan Lere Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Telp/Fax 0451423163/461436, dengan alamat website/blog http://pdmkotapalu. blogspot.com. Selain keempat ormas keagamaan di atas, sesungguhnya masih banyak ormas atau gerakan keagamaan lain yang berperan dalam ladang garapan dakwah yang sama, yakni Kota Palu. Mereka antara lain: Persis, Al-Wasliyah, LDII, Salafi, Wahdah Islamiyah, FPI, HTI, DDII, dan Jamaah Tabligh. Kelompok-kelompok ini ada dan berkembang di Kota Palu, meski performa dan perannya tidak terlalu menonjol (atau tepatnya tidak termasuk yang didalami oleh penelitian ini).
Profil Aktivitas Dakwah Ormas/Gerakan Keagamaan Alkhairaat pusat misinya adalah pendidikan. Secara historis hal ini terjelaskan dari pendirinya, al-alim al-‘allamah Habib Sayyid Idrus bin Salim Aldjufri, seorang ulama dari Hadramaut yang cenderung pada ilmu pengetahuan. Dalam mendukung misi pendidikan ini agar tersebar luas ke masyarakat, maka dilakukan dakwah untuk memperkuatnya. Jadi dakwah itu instrumen yang
331
Akmal Salim Ruhana
mendukung gerakan pendidikan Alkhairaat. Dakwah dan pendidikan terajut secara sistemik, saling mengisi. Seorang abnaul Khairaat76 diamanahi oleh pendiri Alkhairaat untuk mengembangkan pendidikan, memberi pengetahuan keagamaan pada masyarakat, dan memperhatikan kesejahteraan umat manusia. Dari amanah pendiri di atas, tergambar bahwa dakwah Alkhairaat mencakup bil lisan, bil qolam, dan bil hal. Dakwah bil lisan dilakukan dengan ceramah-ceramah agama di masyarakat. Ada dalam bentuk tabligh akbar ketika haul Pendiri Alkhairaat Guru Tua; ceramah/ diskusi pada instansi/kantor pemerintah, majelis taklim, maupun masjid-masjid; dialog interaktif di Radio Alkhairaat; dan ceramah dalam Safari Ramadhan. Dakwah bil qolam dilakukan dengan menerbitkan Koran Harian “Media Alkhairaat” dan Majalah Alkhairaat. Sedangkan dakwah bil hal, dilakukan dalam aneka ragam program, mulai membangun usaha ekonomi (Swalayan Alkhairaat dan Alkhairaat Sport Center), membangun Rumah Sakit “SIS Aldjufri”, hingga lini pendidikan yang sangat banyak ragam tingkatannya. Bahkan, secara maknawi, segala performa abnaul Khairaat adalah (sejatinya) ekspresi dari dakwah bil hal Alkhairaat.77 Secara tegas, Alkhairaat memang menegaskan pendidikan sebagai sentral misinya, dengan dukungan dakwah jenis lainnya. Tak heran, eksistensi dan aktivitas ribuan madrasah Alkhairaat mengonfirmasi hal ini. Ketiga macam dakwah dilakukan terhadap semua kalangan umat Islam. Tidak secara khusus menarget orang (mad’u) tertentu atau daerah tertentu. Bahwa dakwah yang dilakukan diupayakan 76 Abnaul Khairaat diartikan sebagai pengikut Alkhairaat, baik pengurus, anggota, maupun para lulusan madrasah-madrasah dan angggota majelis taklim Alkhairaat, atau bahkan simpatisan Alkhairaat. 77 Disampaikan Jamaluddin, Sekjen Alkhairaat, bahwa orang-orang Alkhairaat biasanya menjadi pemuka panutan masyarakat karena ilmunya memadai, bicara/qiraatnya fasih, perilakunya supel, dan sikapnya santun. Wawancara tanggal 26 September 2011.
332
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
sebanyak mungkin menjangkau umat. Misalnya ditunjukkan dengan dibuatnya Koran Harian “Media Alkhairaat” dan Radio Alkhairaat, yang diharapkan dapat dibaca atau didengar umat yang lebih luas. Bahwa Alkhairaat berkembang luas di Kawasan Timur Indonesia dan hampir ‘menguasai’ wilayah ini, nampaknya merupakan target wilayah dakwah Guru Tua masa lalu.78 Di dalam berbagai jenis media dakwah bil lisan, bil qolam, dan bil hal itu, senantiasa disampaikan tuntunan ajaran Islam yang baik, sesuai pentunjuk Al-Quran dan Sunnah dalam perspektif Sunni Syafi’iyyah. Demikian halnya apa-apa yang dahulu dicontohkan sang pendiri Alkhairaat, Guru Tua, misalnya tentang kebiasaan bertaushiyah, bersahabat dengan sebanyak mungkin orang, berusaha disamping berdakwah, dan sebagainya. Semua diajarkan atau disampaikan dengan cara-cara hikmah, tanpa pemaksaan atau kekerasan. Karena menggunakan cara dakwah yang soft (bil hikmah), sejauh ini belum pernah dakwah Alkhairaat mendapat tentangan atau perilaku yang tidak menyenangkan dari pihak lain. Nahdlatul Ulama, sebagaimana dijelaskan di atas tentang kebersatuannya dalam hal ‘aktor-aktor’ dengan Alkhairaat, maka dakwahnya dapat dikatakan relatif sama/bersamaan. Hanya saja pamornya tampak lebih menonjol Alkhairaat dibandingkan NU. Setidaknya demikianlah jika bicara di aras lokal Palu, berkebalikan jika bicara untuk aras nasional. NU di Palu tidak memiliki sekolah 78 Menurut sejarahnya, sebelum mengembangkan Islam (berdakwah) di Kawasan Timur Indonesia, Guru Tua pernah membuka perguruan Islam Ar-Rabitha di Solo. Setelah beberapa tahun lamanya, beliau pindah ke Jombang Jawa Timur dan sempat berkenalan baik dan akrab dengan dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, tepatnya pada 1925. (Baca selengkapnya dalam Riwayat Hidup Pendiri Alkhairaat S.Idrus bin Salim Aldjufri, pidato haul XX tahun 1989 oleh Drs. H.M. Dahlan Tangkaderi. Selain itu, baca juga Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri “guru Tua”: Modernisasi Pendidikan dan Dakwah di Tanah Kaili (1930-1969) karya HM. Noor Sulaiman Pettalongi, Jakarta: Kultura, 2009). Asumsi penulis, Guru Tua pada saat itu melihat bahwa dakwah di Jawa dan sekitarnya telah cukup banyak dilakukan oleh banyak kyai/ustad, sedangkan di Kawasan Timur Indonesia belum cukup banyak yang melakukan, maka beliau menggarapnya.
333
Akmal Salim Ruhana
atau pesantren, dakwahnya dilakukan melalui majelis-majelis taklim. Dakwah bil lisan, dengan demikian, tampak lebih menonjol dari dakwah bil qolam atau bil hal. Targeted group dakwahnya adalah masyarakat secara umum, dan substansi yang didakwahkan tentu saja ajaran Islam bercorak Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang dalam banyak hal adalah juga apa yang didakwahkan Alkhairaat dan DDI. Darud Da’wah wal Irsyad juga relatif sama dengan Alkhairaat, memiliki sejumlah sekolah atau madrasah. Dakwah dilakukan dengan melalui wahana pendidikan, di samping dakwah bil lisan secara konvensional. Bedanya, DDI lebih menyasar (prioritas target) ke daerah-daerah pedesaan, perannya lebih di kampungkampung. Dengan demikian, militansi dakwah DDI relatif lebih besar karena tantangannya pun cukup besar. DDI memandang justeru di kampong-kampung dan pedalaman masih banyak umat yang belum tersentuh dakwah, sedangkan di kota-kota para pelaku dakwahnya telah cukup banyak dan beragam. Karenanya, sebagaimana dicontohkan Gurutta Ambo Dalle, DDI memiliki perhatian khusus dalam dakwahnya ke daerah-daerah yang kurang tersentuh di desa-desa, baik dengan sekolah-sekolah maupun majelis taklim. Ketiga ormas atau gerakan keagamaan di atas dapat dikatakan serumpun dan relatif berperan seiring. Berbeda misalnya dengan arus dakwah Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah yang menegaskan kelahirannya sebagai mujaddid, pembaharu, pembersih dari berbagai tahayul, bid’ah, dan khurafat dan berbagai amaliyah Islamiyah yang dinilai ‘tidak lurus’, maka kehadiran dan peran dakwahnya, dalam satu dan lain kasus, bersentuhan atau berhadapan dengan peran dakwah ketiga ormas yang menegaskan corak Ahlussunnah wal Jamaah di atas yang notabene telah masuk dan ‘menguasai’ Kota Palu terlebih dahulu.
334
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Persentuhan ini tidak jarang menimbulkan sesuatu pergesekan atau konflik, namun hal itu terjadi di masa lalu, di masa-masa awal kedatangan Muhammadiyah. Saat ini persentuhan itu agak lebih mencair. Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar. Selain dakwah bil lisan dengan ceramahceramah agama, dakwah bil qolam dengan berbagai buku dan brosur kemuhammadiyahan, juga terutama semua amal usaha Muhammadiyah merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah bil hal. Materi yang disampaikannya adalah ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah yang dalam format tertentu menjadi materi Islam Kemuhammadiyahan. Misalnya hal ini yang disampaikan di seluruh jenjang pendidikan milik Muhammadiyah (SMP-SMA-Perguruan Tinggi) sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib seluruh anak didiknya.
Potensi Konflik dan Integrasi dalam Dakwah Potensi Konflik Aktivitas dakwah berbagai pelaku dakwah dalam ladang garap yang sama meniscayakan adanya interaksi antar, atau boleh jadi bahkan persentuhan, pergesekan, dan konflik, jika ada sesuatu hal yang kurang tepat dilakukan. Potensi ketidakrukunan atau potensi konflik dapat terjadi di ranah keagamaan (akidah, ibadah, dan akhlak) ataupun di ranah non-keagamaan (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Dalam hal akidah, tidak ada pergesekan antar empat pelaku dakwah ini. Semua meyakini pokok-pokok akidah Islam. Justeru keberadaan Ahmadiyah yang notabene memiliki Nabi baru, misalnya, malah menguatkan pertahanan bersama soal akidah ini.
335
Akmal Salim Ruhana
Memang, jika ditelisik lebih jauh, dalam kesamaan apa yang diyakini itu ada area yang menjadi variasi ideologis dalam hal keimanan. Meminjam istilah Al Fadl, ada yang lebih puritan dan ada yang lebih moderat.79 Misalnya tentang upaya ‘puritanisasi’ Muhammadiyah terhadap keimanan umat yang telah dinodai kepercayaan pada benda keramat tertentu yang bagi Muhammadiyah dapat dikategorikan menodai akidah. Dalam konteks Palu, dakwah Muhammadiyah misalnya sempat mendapat resistansi dari masyarakat yang terbiasa dengan hal bid’ah atau khurafat itu. Dalam perbedaan masalah fikih (ikhtilaf furuiyah), meski tidak lagi mewujud pertentangan, perbedaan dalam masalah khilafiyah masih menjadi ancaman bagi umat Islam Kota Palu. Segregasi masyarakat masih terlihat dari terkonsentrasinya umat pengikut Muhammadiyah di sekitar masjid Muhammadiyah, misalnya. Namun hal ini dapat dijelaskan, bahwa biasanya pendirian masjid melihat dimana memungkinkan dibangun. Calon lokasi yang secara akseptabilitas maupun aksesibilitas tinggi tentu saja daerah dimana pengikutnya terkonsentrasi. Selain itu, ada juga fenomena pengikut Alkhairaat/NU yang bertarawih 20 rakaat di masjid Alkhairaat yang cukup jauh, padahal ada masjid Muhammadiyah di depan rumahnya yang bertarawih 8 rakaat, atau sebaliknya. Terkait perebutan, atau tepatnya peralihan, pengelolaan masjid pernah terjadi. Bahwa masjid di belakang kampus STAIN Palu dahulu didirikan oleh tokoh-tokoh (tua) Muhammadiyah dan praktis mengamalkan kebiasaan Muhammadiyah dalam kaifiyat ibadatnya. Namun sepeninggal beberapa pendiri masjid itu dan setelah beberapa pendiri tidak lagi menjabat di kepengurusan, masjid 79 Lebih jauh baca Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2006, hlm. 152. Terlepas dari pengistilahan moderat-puritan dalam konteks para pelaku dakwah ini, namun variasi dalam penekanan dalam hal akidah ini kiranya ada.
336
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
secara perlahan dikelola pihak lain dengan kaifiyat ibadah yang berbeda. Hanya saja, hal ini tidak terlalu dipermasalahkan pihak Muhammadiyah karena merasa masjid milik umat, siapapun boleh mengelolanya. Dinamika keberanjakan beberapa kader Muhammadiyah ke aliran atau kelompok tertentu juga menarik dicermati.80 Dalam kadar tertentu hal ini dapat memanifes menjadi konflik internal, misalnya. Meski saat ini Muhammadiyah belum merasa terancam, namun hal ini tidak bisa dipandang biasa. Drs. H. Baqir Tora, MH., Sekretaris PW Muhammadiyah Sulawesi Tengah, mengatakan: “Itu memang dimana-mana, banyak juga warga Muhammadiyah menambah wawasan pengetahuan keagamaannya lewat seperti itu, lewat Jamaah Tabligh, Salafi, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi,… tetapi kita kita tidak terlalu mempermasalahkan itu. Cuma kita tetap mengatakan kalau memang anda sudah seperti itu, ya anda milih, jangan sampai nanti anda disana membawa atas nama Muhammadiyah padahal anda pribadi. Jadi kami tidak mempermasalahkan, cuma kami bagaimana saling mengingatkan demi kebaikan dan kemaslahatan umat, supaya umat tidak bingung. Memang ada seperti itu, tapi tidak terlalu menonjol. Artinya belum mengganggu, itu intinya belum mengganggu, baik (bagi) kelembagaan Muhammadiyah maupun individu-individu. Bahkan mereka itu karena belum punya tempat ibadat mereka menggunakan fasilitasnya Muhammadiyah. Tapi belum mengganggu. Mereka masih menghargai, mereka tahu itu masjid Muhammadiyah.”81
80 Ada fenomena beberapa kader Muhammadiyah yang berpindah ke Salafi dan Wahdah Islamiyah karena konon kurang merasa terpenuhi kebutuhan spiritualnya. Mereka merasa Muhammadiyah terlalu sibuk dengan aktivitas organisasionalnya. Hal ini pendapat seseorang yang outsider. Namun bagi Ustad Muhammad, ustad pada Pesantren Salafi di Masjid Imam Muslim, merasa mereka tetap baik dengan Muhammadiyah meski mereka lebih mencari dan menggunakan dalil-dalil yang mereka percayai lebih lurus, dan lalu harus diaplikasikan dalam keseharian. Wawancara pada 30 September 2011. 81 Wawancara pada 28 September 2011. Bandingkan dengan kegundahan beberapa kader Muhammadiyah di Jawa, misalnya Haedar Nashir, yang melihat hal itu
337
Akmal Salim Ruhana
Dinamika politik lokal kerap mengganggu stabilitas internal ormas keagamaan. Seperti ketika dalam pilkada terdapat dua calon peserta pilkada yang sama-sama berlatar belakang Alkhairaat dan terkesan sama-sama berupaya meraih ‘suara’ umat/jamaah Alkhairaat. Memang, sejatinya sikap Alkhairaat, NU, DDI, dan Muhammadiyah, terhadap politik praktis rata-rata menyatakan sama. Bahwa secara perseorangan dipersilakan berpolitik asalkan tidak membawa-bawa organisasi. Meski begitu, faktanya, afinitas ketokohan dalam ormas dan ketokohan dalam kancah politik praktis tidak selalu mudah dilepaskan. Yang cukup menarik adalah soal adanya ‘perasaan’ kesenjangan kebijakan politik keagamaan.82 Bahwa karena tokohtokoh Alkhairaat mendominasi pucuk-pucuk pimpinan di berbagai posisi penting di Kota Palu (dan/atau Sulawesi Tengah), misalnya jabatan kepala pada Kementerian Agama, dan rektor atau ketua pada perguruan tinggi Islam, maka beberapa ormas Islam atau gerakan keagamaan lain merasa adanya nuansa hegemonik yang dapat mengganggu rasa keadilan. Misalnya, yang sangat rawan, dalam soal bantuan sosial keagamaan dan penempatan orang pada jabatan tertentu.83 Meski hal ini masih berupa riak-riak keluhan namun jika terus menerus terjadi, potensi laten konflik ini dapat terakumulasi menjadi sesuatu yang dapat mengganggu kerukunan.
sebagai ancaman serius. Baca selanjutnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam, loc.cit. 82 Kata ‘perasaan’ penting ditekankan karena boleh jadi faktanya tidak selalu berkesesuaian. Hanya saja, dengan merasa saja sudah cukup untuk menjustifikasi adanya sesuatu. 83 Misalnya, dalam wawancara tanggal 24 dan 27 September 2011, beberapa tokoh DDI dan Muhammadiyah menceritakan bahwa dahulu terjadi pemerataan dalam pembagian bantuan sosial dari Kementerian Agama pusat untuk ormas-ormas keagamaan. Pembagian didasarkan pada pemetaan kebutuhan sesuai eksistensi dan peran ormas yang ada di Kota Palu atau Sulawesi Tengah. Demikian juga soal penempatan penyuluh dan lainlain. Tertangkap kesan adanya kesenjangan distribusi dan akomodasi terkait kebijakan politik keagamaan.
338
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Potensi Integrasi Selain potensi konflik dalam dakwah, sesungguhnya terkandung potensi integratif yang besar yang dapat dan harus dikembangkan. Umat semakin dewasa dalam beragama, buktinya tidak lagi mudah terpancing isu-isu terkait khilafiyah tertentu. Mengenai qunut atau tidak qunut, tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat, berlebaran hari ini atau besok, dan sebagainya, adalah hal-hal yang diakui berbeda cara pandangnya sehingga berbeda amaliyahnya. Hanya saja hal-hal itu disikapi secara positif dan dimaklumi sebagai perbedaan yang wajar, sehingga tidak berujung pada sikap-sikap yang tidak tepat. Kedewasaan ini dipengaruhi tingkat pendidikan umat yang semakin baik. Semakin bisa memilih sikap dalam memahami dan menghadapi perbedaan. Misalnya dikatakan Arsyad Said, pengurus MUI yang berlatar belakang Muhammadiyah: “Masyarakat sekarang juga sudah bisa menilai, Muhammadiyah itu selama ini kan sudah berulang-ulang begini kan. (Orang tahu) itu Muhammadiyah … Walaupun secara organisatoris bukan Muhammadiyah tetapi dia karena kemajuan juga sudah memahami itu. Kemudian tentang yang furu tadi itu, orang sudah biasa begitu lah. Yang suka biasa rebut itu kan mereka yang tidak paham. Orang yang paham hukum kan gak ada (apa-apa). Saya dengan tokoh-tokoh lain biasa saja. Biasa itu.”
Searah dengan ini, terjadi semacam cross-participants dalam proses pendidikan. Bahwa banyak mahasiswa Unisa (Universitas Islam Alkhairaat) berasal dari sekolah-sekolah lanjutan milik Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya, banyak mahasiswa Unismuh (Universitas Muhammadiyah) berasal dari sekolahsekolah/madrasah lanjutan Alkhairaat. Artinya, para mahasiswa akan mendapatkan wawasan yang lain dan kemudian memahaminya. Seperti diketahui, di Unismuh ada mata kuliah dasar
339
Akmal Salim Ruhana
wajib yakni Kemuhammadiyahan, begitu juga di Unisma ada mata kuliah dasar wajib tentang Aswaja, Ahlussunnah wal Jamaah. Konflik di Poso juga ternyata memberikan pelajaran yang baik bagi masyarakat Kota Palu. Pada saat konflik terjadi, banyak para pengungsi yang berlari dan berlindung di Kota Palu. Warga Palu melihat bagaimana susahnya menjadi pengungsi dan tidak enaknya hidup berkonflik. Maka pengalaman dan kesadaran ini mendorong pada upaya bersama untuk menjaga perdamaian, saling menghindari untuk terjadinya konflik. Adanya forum-forum organis yang berisikan lintas ormas, seperti MUI dan FKUB, ataupun forum-forum pertemuan sosial kemasyarakatan lainnya diyakini mencairkan perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka. Hal itu membuat mereka berkomunikasi dan bersatu, apalagi jika ada isu tertentu yang menyatukan, seperti penolakan terhadap Ahmadiyah. Adanya pertemuan dan kerjasama asosiasional dalam forum-forum ataupun kerjasama interaksional dalam aktivitas keseharian membuat jarak sosial kian berdekatan.84 Hal ini misalnya diindikasikan Jamaluddin, Sekjen Alkhairaat: “Ya, sekarang ini kan kita bertemu di berbagai, apa namanya, peran. Ya misalnya dengan temen-teman Muhammadiyah ada di FKUB, di kampus. Atau menggunakan pendekatan-pendekatan modern yang sudah membuat pikiran-pikiran tradisional itu tersingkir, begitu. Ini karena pertemuan-pertemuan secara interaksional dalam event-event kemasyarakatan itu yang merekatkan itu orang-orang Muhammadiyah dalam suatu skenario misalnya dimana kita berperan bersama untuk mengentaskan kemiskinan, menghadapi tantangan umat islam, khususnya .. itu kita berusaha menyingkirkan perbedaanperbedaan.”85 84 Teori jarak sosial ini selanjutnya dapat dibaca di Asuthosh Versney, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India, London: Yale University, 2002. 85 Wawancara dengan Drs. H. Jamaluddin M pada 26 September 2011 di kantor PB Alkhairaat.
340
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Selain itu, adanya upaya untuk saling mengundang dalam pertemuan atau diskusi tema tertentu, dapat memupus jarak-jarak perbedaan atau kesalahpahaman yang ada. Misalnya dilanjutkan Jamaluddin terkait pendapatnya tentang DDI, sebagai berikut: “DDI memang lebih banyak kesamaan dengan kita. Biasanya mereka apa ya tidak terlalu terbuka karena pusatnya di Makasar. Dan sikap politik mereka tidak bisa ditebak dia kemana, begitu. Ada juga mengambil jarak dengan kita, lebih ke Muhammadiyah, misalnya. ..Ya, kalau amaliyahnya NU dia… Kita punya hubungan baik dengan mereka, ada beberapa tokohnya seperti siapa itu, nah itu sering bersama kita , dalam diskusi-dikusi keagamaan sering kita undang.”
Hubungan antar Ormas dalam Upaya Pemeliharaan Kerukunan Searah dengan potensi integrasi di atas, hubungan antar ormas dalam pemeliharaan kerukunan internal umat Islam terwujud dalam MUI yang telah menjadi payung bersama. Di dalam MUI ini berhimpun seluruh perwakilan elemen ormas dan gerakan Islam, meskipun ada beberapa yang tidak atau belum dapat masuk, seperti LDII. Bahwa LDII telah berkali-kali menyatakan keinginannya untuk masuk dan diterima dalam lingkungan MUI dan umat Islam, namun sebagian pihak masih keberatan karena Paradigma Baru yang didengungkannya pada faktanya belum terealiasasi di lapangan.86 Selain MUI, Forum Kerukunan Umat Beragama, yang secara internal Islam telah membagi keanggotaan dengan memperhatikan pelibatan berbagai ormas Islam, juga menjadi bentuk upaya pemeliharaan itu. Persoalan-persoalan keumatan dan antar umat 86 Misalnya disampaikan Sekretaris MUI, Arsyad Said, pada wawancara tanggal 27 September 2011.
341
Akmal Salim Ruhana
beragama dibicarakan bersama dalam forum ini meski optimalitas kinerjanya masih perlu ditingkatkan. Ada program bersama yang melibatkan seluruh perwakilan ormas atau gerakan keagamaan. Ceramah Safari Ramadhan ke mesjid-masjid di Kota Palu diikuti oleh perwakilan semua ormas dengan penjadualan penceramah dari berbagai ormas. Dan semua pihak berbicara dalam kapasitasnya masing-masing dengan tetap sadar kondisi, dimana mereka berbicara, demi menjaga kondisi kerukunan yang ada. Dalam isu-isu nasional tertentu, seperti kasus Ahmadiyah, mereka dapat bersatu. Demikian juga dalam menghadapi isu Kristenisasi atau liberalisasi, kecenderungan ormas-ormas relatif sama meski dalam derajat yang berbeda.
342
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Dari paparan profil dan peran ormas atau gerakan keagamaan di atas, secara sederhana dapat diskemakan hubungan para pelaku dakwah di Kota Palu, sebagai berikut:
Secara umum, Alkhairaat, NU, dan DDI menjadi satu pihak karena kesamaan corak keagamaannya, berhadapan dengan Muhammadiyah di pihak lainnya. Terdapat sejumlah kelompok kecil gerakan keagamaan, dalam hal ini Salafi dan Wahdah Islamiyah,
343
Akmal Salim Ruhana
yang secara corak keagamaan lebih dekat atau bersamaan dengan Muhammadiyah, bahkan sebagian aktornya merupakan orangorang Muhammadiyah. Terdapat pula kelompok keagamaan yang coraknya berbeda dengan dua pihak utama bahkan cenderung mendapat resistansi dari para pihak, yakni LDII dan Ahmadiyah. Meski eksistensinya tidak terlalu menonjol, namun dua gerakan keagamaan ini (serta gerakan lainnya, seperti Jamaah Tabligh, Hizbuttahrir, dan FPI) tetap ada dan berkembang di Kota Palu. Profil dan peran dakwah ormas atau gerakan keagamaan terjadi dalam ladang dakwah yang sama, Kota Palu. Hubungan interaktif antar ormas atau gerakan keagamaan berlangsung intens dan bersifat resiprokal. Gambaran skema di atas lebih didasarkan pada profil ormas/gerakannya, sedangkan jika dipandang dari segi peran dakwahnya, mempertimbangkan cakupan dan kuantitas objeknya, maka Alkhairaat tampak lebih mendominasi jagat dakwah Islam di Kota Palu. Sejumlah sekolah, majelis taklim, dan berbagai fasilitas dakwah Alkhairaat kiranya mengonfirmasi hal ini. Secara umum, dalam hal pengadministrasian (managing) dan pentahapan dakwah masih kurang, tidak ada pendataan atau penertiban administrasi keanggotaan misalnya, terlalu longgar, sehingga dalam kadar tertentu sulit untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dakwah (target mad’u, dsb).
344
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Kesimpulan Secara umum, profil dan peran pelaku dakwah (Alkhairaat, NU, DDI, dan Muhammadiyah) dalam kehidupan masyarakat Palu, Sulawesi Tengah, cukup variatif. Alkhairaat, NU, dan DDI relatif serupa, karena sama-sama Ahlussunnah wal Jamaah meski Alkhairaat lebih Syafi’i saja. Muhammadiyah ada di sisi yang lain, sebagai gerakan tajdid. Peran para ormas telah cukup optimal, baik melalui dakwah billisan (konvensional) maupun bilqolam dan bilhal (pendidikan, rumah sakit, swalayan, dsb). Dari segi cakupan dan pengaruhnya, Alkhairaat tampak lebih mendominasi. Diantara potensi konflik dalam kegiatan dakwah di Kota Palu adalah: (1) Meski tidak lagi kuat, potensi ketidak rukunan dari masalah khilafiyah tersisa masih ada, misalnya dalam penentuan 1 Syawal yang masih belum sama. (2) Kesenjangan distribusi dan akomodasi kebijakan politik keagamaan dapat berkembang pada kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik. (3) Kehadiran dan gerak berkembang aliran-aliran keagamaan kecil dari arus keagamaan besar, dalam tahap tertentu dapat menimbulkan
345
Akmal Salim Ruhana
ketidak rukunan. (4) Efek dinamika politik praktis lokal dapat memecah belah umat. Sedangkan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah di Kota Palu adalah: (1) Peningkatan tingkat pendidikan dan saling pemahaman terhadap ‘yang lain’ dapat mengurangi berbagai ikhtilaf dalam dan antar ormas. (2) Crosscutting/cross-participants di dunia pendidikan menyebabkan terjadinya saling mempelajari dan memahami pihak lain. (3) Konflik Poso menjadi ibroh untuk saling menghindari konflik. (4) Adanya forum-forum seperti MUI yang menaungi semua serta FKUB dan forum sosial lainnya dapat mengeratkan hubungan antar person dalam ormas-ormas. Diantara upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, antara lain: (1) Tidak mempertegas perbedaan, melainkan mencari kesamaan-kesamaannya. (2) Saling memahami dan menjaga keadaan agar tak berujung konflik. (3) Kegiatan bersama dalam isu-isu agama atau non-keagamaan.
Rekomendasi Dari pembahasan di atas, dapat disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: (1) Dakwah hendaknya senantiasa diarahkan pada upaya peningkatan keimanan dan ketaqwaan umat, bukan diutamakan pada rekrutmen keanggotaan ormas/gerakan keagamaan. (2) Dakwah keagamaan hendaknya memperhatikan etika dan tetap menjaga perasaan (emosi keagamaan) masyarakat. (3) Kebijakan keagamaan hendaknya dijaga keseimbangannya sehingga dapat memuaskan rasa keadilan pihak-pihak. (4) Majelis Ulama Indonesia hendaknya dapat lebih mengkoordinasikan proses dakwah yang dilakukan banyak unsur (ormas, gerakan islam, dll.), bahkan hingga membuat peta dakwah yang terintegrasi dengan program-program ormas.
346
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
SKB No. 1/1979 penting untuk mulai ditinjau dan disesuaikan dengan perkembangan, karena proses penyiaran agama telah mendapat tantangan, baik karena hubungan internal, eksternal, maupun perkembangan teknologi informasi.
347
Akmal Salim Ruhana
348
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Program Umum, dan Taushiyah (Rekomendasi) Darud Da’wah wal Irsyad (DDI), Hasil Muktamar XX Darud Da’wah wal Irsyad, Makassar 2325 Februari 2009. Anshoriy, Nashruddin, Ch., Anregurutta Ambo Dalle Mahaguru dari Bumi Bugis, Yogyakarta: Penerbit Tiara wacana, 2009. Bachmid, Achmad, Sang Bintang dari Timur: Sayyid Idrus Aljufri, Sosok Ulama dan Sastrawan, Jakarta: Studia Press, 2007. Bimas Islam Dalam Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Lampiran hlm. 103-105. El Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2006 Hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Alkhairaat 2009, Palu: PB Alkhairaat, 2009. Hasil Ketetapan Muktamar Besar Al-Khairaat IX Tahun 2008, Palu: Pengurus Besar Alkhairaat, 2008. Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
349
Akmal Salim Ruhana
Khalimi, Dr., MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010. Laporan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palu Periode 20052010, Musyda VII Muhammadiyah Kota Palu, 9-10 April 2011, Palu: Pimpinan Daerah Muhammadiyah, 2011. Perguruan Alkhairaat Dari Masa ke Masa, Palu: PB Alkhairaat, 1991. Rubin, Barry (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010. Versney, Asuthosh, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India, London: Yale University, 2002. Wahid, Abdurrahman, KH, (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Wiktorowicz, Quintan, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, USA: Indiana University Press, 2004.
350
Editor : M. Yusuf Asry
GERAKAN DAKWAH ISLAM
dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012
Buku Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama di Indonesia ini diterbitkan untuk memperkaya wawasan mengenai persoalan-persoalan dakwah dalam konteks kerukunan umat beragama pada berbagai daerah di Indonesia. Sebagai sebuah hasil penelitian, isi buku ini mengungkapkan realitas pelaksanaan dakwah di masyarakat, yang berbeda daerah dengan instrumen yang sama. Pelaku dakwah di sini ialah organisasi kemasyarakatan Islam dan kelompok gerakan dakwah Islam. Melalui penelitian ini berupaya menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu: (1) Bagaimana karekter dakwah ormas dan kelompok gerakan dakwah Islam pada masyarakat yang pluralis? (2) Apa saja potensi konflik dan faktor integrasi yang dominan dalam kegiatan dakwah? (3) Bagaimana relasi pelaku dakwah ormas dan kelompok gerakan dakwah Islam dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama? Secara umum misi dakwah adalah “membumikan” Islam rahmatan lil’alamin, dan membela agama serta mewujudkan kerukunan, baik intern maupun antarumat beragama. Namun di sana-sini masih nampak potensi konflik antarormas dan kelompok gerakan dakwah atau harakah Islam, sekalipun diakui secara umum masalah “khilafiyah” sudah kurang pupuler untuk dipermasalahkan pada dekade terakhir ini. Umat Islam dalam berdakwah dituntut mengaplikasikan teknologi informasi, untuk dapat mengemas pesanpesan keagamaan yang makin efektif dengan jaungkauan yang luas. Jika menggunakan teknologi informasi, maka aktivitas dakwah akan makin dapat ditingkatkan.
ISBN
978-602-8739-08-5