Newsletter
interfidei Penanggungjawab Elga Sarapung Pemimpin Redaksi Noegroho Agoeng Redaksi Tri Widiyanto, Listia Lian Gogali, Suhadi Desain/Layout Sarnuji SR. Keuangan Eko Putro Mardiyanto Kesekretariatan Suryanto Octavia Christiani Distributor Susanto & Supriyanto
Newsletter ini diterbitkan oleh Institut DIAN/Interfidei Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia, Ph./Fax. : 0274-880149, E-mail:
[email protected]
Editorial .................... 1 Fokus ......................... 2 Opini ......................... 3 Potret ..........................7 Kronik ......................10 Refleksi ................... 15 Agenda......................16
Edisi September 2005 Editorial
Editorial
S
n his early period of governance, SBY spoke out loud of anticorruption movement as the focus of his government. This step embedded an expectation for the construction of a nation founded by honesty of each individual involved. Nevertheless, it also elevated skeptical attitude and pessimism of the possibility for this movement to be a collective one, moreover if we ask whether corruption could be eradicated from this homeland. In the last few weeks, we have seen and read news raising pessimism of the society of the above possibility. A department coping with the “sacred world order” is being shaken by the embezzlement case of public money. Apparently the talks did not just stop right there; there are numerous other religion institutions unable to release themselves from the virus of corruption. The question then raised spontaneously was “Is there any religious institution free from corruption?” In numerous locations, officials accused of corruption approach religious leaders to ease members of congregation dare to trouble their positions. Worse, with the foundation of “theology of compassion”, these religious figures ask of forgiveness from their congregations for suspected officials and ask them to start a new chapter. As the congregation has no heart to do and is reluctant in taking any action, their good will to liberate
ejak awal, SBY sudah mendengungkan gerakan antikorupsi sebagai fokus perhatian pemerintahannya. Langkah ini menaburkan harapan terbangunnya sebuah bangsa yang berfondamen pada kejujuran setiap pribadi yang terlibat di dalamnya. Namun demikian hal ini juga membangkitkan kembali sikap skeptis dan pesimis apakah mungkin gerakan ini menjadi gerakan bersama, apalagi kalau bertanya apakah mungkin korupsi diberantas di bumi Nusantara ini? Beberapa minggu terakhir ini kita melihat dan membaca berita yang semakin meningkatkan pesimisitas masyarakat akan kemungkinan di atas. Sebuah departemen yang mengurusi “tata dunia suci” sedang digoncang dengan penyelidikan kasus korupsi atas dana abadi umat. Ternyata tuturan tidak berhenti di sana. Ada banyak lembaga agama lain yang tidak terlepas dari penyakit korupsi. Pertanyaan spontan yang muncul, adakah lembaga agama yang tidak korupsi? Di beberapa tempat, para pejabat yang disangka terlibat dalam korupsi mendekati para tokoh agama untuk menenangkan umat yang mengusik jabatan dan diri mereka. Dan parahnya lagi dengan landasan “teologi maaf” para pemuka agama meminta umatnya memaafkan para pejabat yang dicurigai dan mengajak untuk memulai babak baru. Perasaan tidak tega, “pekewuh” umat pun akhirnya menghancurkan ke-
Newsletter Interfidei No. 21/X Juni 2005 - Agustus 2005
I
Edisi September 2005
1
interfidei newsletter
Fokus hendak baik mereka untuk membersihkan Nusantara dari “budaya” korupsi. Bila pemuka agama sudah menjadi payung para koruptor di mana lagi masyarakat mengadukan kejahilan dan kerakusan manusia ini? Apakah kepada para penegak hukum? Bukankah mereka juga rapuh dan mudah patah? Mungkinkah ditegakkan kembali penegakan hukum pada penegak hukum? Sejauh mana agama, sebagai fenomena budaya menjamin perilaku manusia menuju pada kesejahteraan bersama bisa berperan? Sejauh mana agama mampu dan berusaha mendengungkan wacana dan gerakan antikorupsi pada masyarakat/ umatnya?[]
this land from the “culture” of corruption is then marred. If religious leaders have become the shields for corruptors, where else should people notify the malice and greed of others? Are they to come to law enforcers? Are not these law enforcers also tenuous and breakable? Could we re-enforce the law to law enforcers? How far could religions, as a cultural phenomenon, play their role in assuring the decency of human behavior for a common welfare? How far are religions able to and moving in the efforts of verbalizing anti-corruption discourses and movements to the society / their congregations?[]
Mereka (bisa juga) Korupsi
They (can also) Corrupt Suhadi
Suhadi
S
yahdan, teka-teki banyak orang terjawab bulan Juni yang lalu. Meski telah lama banyak orang tahu ada ketidakberesan dalam pengelolaan dana haji Depag, tapi hasil audit menjadikan anggapan itu bukan lagi tebakan. Ada yang terkejut, ada juga yang biasa saja. Mereka yang terkejut rata-rata bergumam apa benar orangorang yang acapkali menyerukan moralitas itu juga melakukan korupsi. Sementara mereka yang bersikap biasa saja menganggap Depag bukanlah “tahta suci”, tapi “hanya” sebuah birokrasi negara yang tidak jarang sulit menghindari budaya birokrasi pada umumnya, mark-up dana proyek. Bahkan mereka yakin, jangan-jangan penyelewengan dana ummat tidak hanya Rp 216 milliar, sebagaimana audit atas beaya penyelenggaraan haji 2002-2005. Siapa yang bisa menjamin kalau proyek pengadaan buku, proyek tempat ibadah, proyek pernikahan dan proyek kerukunan bebas dari korupsi. Lebih dari itu, kalau sementara ini baru ditemukan korupsi atas dana ummat Islam, apakah benar dana yang menyangkut umat Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha juga tidak dikorupsi oleh para birokrat yang mewakilinya. Kalau demikian keadaannya, tidaklah perlu masghul, para penganut agama yang tidak ”terwakili” di Depag. Pada kenyataannya para penganut Sapta Dharma, Parmalin, Subud, Kajang,
2
Edisi September 2005
T
he question of many was answered last June. Although the lot has identified for quite some time the mayhem in the management of the Ministry of Religious Affairs' haj fund, the audit output made their thought no longer a speculation. Some were shocked; in the mean time, some others reacted normally. Those who were quite shocked by the auditing output in average asked themselves if it is true that those people who very often yell of morality also commit corruption. Meanwhile, those who gave quite a normal reaction did not consider the Ministry of Religious Affairs as a “sacred throne”, instead “merely” as a state bureaucracy which at times find difficulties eluding the culture of bureaucracy in general: the marking-up of project funds. People even believe that the corruption of the haj fund actually exceeds Rp 216 billions, similar to the auditing over implementation of haj management program in 2002-2005. Who could ensure that the provisioning of books, houses of worship, marriage, and religious tolerance projects are free from corruption? Moreover, if up to date there has just been found a corruption over Moslems' fund, is it true then that the funds for Christians, Catholics, Hindus, and Buddhists are not corrupted by the representing democrats? If it is a reality, then the religious followers not ”represented” in ministry of Religious Affairs do not have to be pessimistic, as in reality, the followers of Sapta Dharma, Parmalin, Subud, Kajang, Confucianism, and Kaharingan are the congregations escaping the rotting of religious bureaucracy in this country.
Edisi September 2005 Khonghucu, Kaharingan adalah ummat yang terhindar dari bobroknya birokrasi agama di negeri ini. Ke mana dana korupsi itu mengalir? Mungkin sebagian besar kita tidak kaget membaca berita bahwa dana itu dialirkan untuk biaya haji sejumlah menteri, tunjangan pejabat Depag, perjalanan dinas ke luar negeri, atau bagi-bagi THR untuk anggota Parlemen. Tapi pasti kita tidak terima membaca laporan audit bahwa juga terjadi mark-up atas pengadaan mushaf al-Quran sebesar Rp 700 juta. Subhanallah…, kitab suci saja dikorupsi, apalagi… ??? Seorang teman, aktivis corruption watch di sebuah kabupaten, mengeluh dalam sebuah acara. Mengapa dia tidak mendapatkan pembelaan dan dukungan dari kelompok agamawan. Lalu dia menyadari melalui acara itu, ternyata sudah terjadi pergeseran peran agamawan. Sebagian dari mereka tidak lagi banyak peduli dengan urusan ummat atau publik. Kemudian dia urung berharap. Di sisi lain organisasi-organisasi besar keagamaan menjalankan program kampanye anti-korupsi dengan warna yang kering. Harapannya agama bisa menyelesaikan masalah yang sangat rumit dan pelik di negeri ini. Tapi, apakah mungkin organisasi-organsasi itu menyuarakan perang terhadap korupsi, sementara banyak elitnya menjadi bagian dari masalah di dalamnya. Alih-alih (orang ber-)agama menjadi jalan keluar masalah, namun menjadi bagian dari masalah itu. Beberapa pekan lalu, sebuah stasiun televisi menayangkan drama orasi keagamaan. Dengan lantang perang terhadap korupsi diteriakkan bersanding pekik asma keagungan Tuhan serta dzikir. Seperti biasa acara kolosal keagamaan seperti itu dihadiri, atau bahkan disupport, pejabat teras negara. Nama-nama pejabat negara yang telah berjasa ikut disebut dengan lantang juga oleh sang tokoh. Berarti di situ ada tiga rangkaian ujaran atau semantik: pekik anti-korupsi, asthma keagungan Tuhan, dan nama-nama pejabat. Padahal semangat atau sikap melawan korupsi, misalnya yang dilakukan almarhum Baharuddin Lopa, tidak dari pekik apapun, termasuk atas nama Tuhan. Tapi dari kesadaran religi yang mendalam.[]
Korupsi Sebagai Musuh Bersama Umat Beriman Abidin Wakano
Opinion Where does this corrupted fund flow? Perhaps most of us were not shocked when we read the fund was channeled for the haj funds of numerous ministers, allowance for Ministry of Religious Affairs' employees, official travel abroad, or holiday bonus for Parliament members. Yet, for sure we do not read any audit report that there has been a mark-up on the provisioning of Koran mushaf amounting Rp 700 millions. Subhanallah…, even the holy book is corrupted, moreover … ??? A friend, an activist at a corruption watch in a regency, complained in one occasion: why he did not gain any justification and support from religionists. Then, he realized during our program in which he participated that there had been a shift in the role of religionists. Some of them no longer care about congregational or public matters. Thus, he did not put his expectation on them anymore. On the other side, major religious institutions implement anti-corruption programs with dry paints. His hope is that religions are able to solve the intricate and complicated problems this country is facing. However, are those institutions able to wage a war to corruption while many of their elites are taking parts in the corruption? Instead of becoming the egress from the problem, religions and religious people are becoming parts of the problem. Several weeks ago, a TV station broadcast a religious oration drama. Loudly, a war against corruption was yelled along with the cry of the name of God's majesty, as well as dzikir. As usual, such a religious colosal occasion was attended, even supported by the country's government officials. The names of the officials contributing to the success were mentioned loud by the organizer. It means that there are three series of statements or semantics: the cry of anticorruption, the name of God's majesty, and the name of the officials. Whereas the spirit or attitude against corruption, comparable to what the late Baharuddin Lopa did, was not from any exclamation, including God's name, but from deep religious consciousness.[]
Corruption as an Enemy of Religious People Abidin Wakano
U
niversal human tithe always incline to hanif (right and good) values, and religions are the paths of righteousness and goodness (hanif). Thus, the obedience and subordination of people to Edisi September 2005
3
Opini
F
itrah kemanusiaan universal senantiasa condong kepada nilai-nilai yang hanif (benar dan baik), dan agama-agama adalah jalan-jalan kebenaran dan kebaikan (hanif). Maka ketundukan dan kepatuhan manusia terhadap hukum-hukum Tuhan di dalam agama-agama adalah suatu keniscayaan. Sebaliknya pelanggaran dan ketidak-patuhan terhadap-Nya merupakan sikap yang tidak sejati karena sikap ini merupakan sikap yang menentang dan mengingkari eksistensi diri sendiri. Mission sacre semua agama adalah emansipasi dan transformasi kemanusiaan universal. Konsekwensi logisnya, ketundukan dan kepatuhan secara total kepada hukum atau norma di dalam agama-agama secara konsisten akan mendatangkan kemaslahatan dan kebahagiaan kepada kehidupan manusia itu sendiri, sebaliknya pengingkaran dan pelanggaran terhadap hukum dan norma tersebut akan merusak kemanusiaan itu sendiri dan mendatangkan kemudharatan serta kesengsaraan di dalam kehidupannya. Sebagai Khalifatullah di muka bumi, manusia mempunyai free will (kebebasan) untuk menentukan pilihan, baik atau buruk. Perbuatan baik mempunyai efek baik dan perbuatan tidak baik juga punya efek tidak baik. Untuk itu sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun yang menimpa kehidupan manusia dan lingkungannya adalah karena ulah manusia itu sendiri. Kerusakan-kerusakan yang terjadi di darat dan laut, baik yang dilakukan secara pribadi atau secara kolektif, efeknya bukan hanya menimpa pelakunya sendiri tetapi juga menimpa orang lain. Karena kerusakan-kerusakan terhadap alam akan mengganggu keseimbangan kosmis, yang merupakan sumber hidup bagi sesama, atau menyangkut hajat hidup orang banyak. Pada konteks yang sama pengrusakan terhadap sistem sosial, seperti politik, budaya, dan ekonomi oleh seseorang atau kelompok tertentu pasti akan merusak
pula tatanan kehidupan orang lain. Korupsi sebagai sebuah penyakit sosial yang sedang melanda hampir seluruh segmen masyarakat kita. Korupsi telah merusak sistem sosial serta menimbulkan sejumlah permasalahan yang sangat pelik dan kompleks. Misalnya meningkatnya angka kemiskinan, terputusnya pendidikan anak usia sekolah, serta meluasnya tingkat kriminalitas dan kekerasan, telah membentuk lingkaran kekerasan (spiral of violence) di tengah-tengah kehidupan kita. Bukan hanya itu, korupsi pun telah merusak tatanan hukum dan budaya kita. Misalnya seorang koruptor dengan kemampuan uang dan kekuasaannya untuk menyuap aparat penegak hukum, telah memaksa para penegak hukum agar berbohong, efeknya hukum pun dimanipulasi. Sedangkan orang kecil/ rakyat kecil yang tidak punya kemampuan membayar aparat penegak hukum susah mendapatkan keadilan hukum. Untuk itu, bukan hal yang unik lagi di negara ini ketika rakyat kecil yang tak berdaya sering sekali memperoleh perlakuan hukum secara tidak adil, baik sebagai pelaku maupun korban.
Kebohongan publik untuk melindungi para koruptor bukan merupakan pemandangan yang asing lagi dalam keseharian kita. Lebih tragis lagi korupsi telah menjadi lahan bisnis bagi kelompok-kelompok tertentu. Bahkan upaya-upaya perlindungan para koruptor ini
4
Edisi September 2005
interfidei newsletter God's laws in their religions are a certainty. On the contrary, violation and disobedience to God's laws are impure attitudes for these attitudes are against and denying self-existence. Sacred missions of all religions are the emancipation and transformation of universal humanity. As the consequence, total subordination and obedience to laws or norms in religions are consistently going to bring happiness and benefit to the lives of the humans themselves, meanwhile denial and violation to those laws and norms are going to ruin humanity and bring apostasy as well as misery to their lives. As caliph on the earth, humans have free will (freedom) to choose goodness or badness. Good deeds have good effects and bad deeds have bad effects as well. For that, it is a common thing that whatever happens to humans' lives and their surroundings is the consequence to what they have done. The devastations of land and sea, done solitarily or collectively, affect not only the perpetrators themselves but also other people. This is due to the fact that devastations are going to disturb cosmic balance, which is the source of life for others, regarding the life of many people. Within the same context, the ruining of social systems, such as that of politic, culture, and economy by someone or a particular group is going to ruin other's life order. Corruption as a social illness attacking almost all the segments in our society has ruined social order as well as incurred some intricate and complex problems. For example, the increasing in poverty, the dropping out of schools, as well as the increasing in crime and violence rate. It has formed a spin of violence in our lives. Moreover, corruption has also ruined our law and culture order. For example, a corruptor with his ability to bribe law enforcers with his power and money has forced them to lie; the message is that law can be manipulated as well. Meanwhile, ordinary civilians who do not have the ability to pay the law enforcers cannot gain any justice. Thus, it is no longer peculiar to see powerless people being treated unfairly in this country, as perpetrators or victims. Public lying to protect corruptors is no longer outlandish in our daily routine. More tragically, corruption has become business field to particular groups. Even the protection efforts for these corruptors do not only bring business to mafia at the judicial system, but also become business for privates as well as give birth to private communalism in our society. In such a condition, a question of what essentially the
Edisi September 2005 bukan saja melahirkan bisnis bagi mafia-mafia persidangan, tetapi juga menjadi bisnis bagi para preman sekaligus melahirkan komunalisme-komunalisme preman di dalam masyarakat kita. Dalam kondisi seperti ini, maka muncul pertanyaan, di manakah peranan agamaagama? Di mana penyuap dan disuap dalam konteks ini adalah orang-orang yang mengaku beragama dan beriman, bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara formal pelaku-pelaku korupsi ini kelihatan sangat religius atau memiliki kesalehan individual yang cukup tinggi. Jika kita mengamati dan merenungkan secara mendalam pelbagai efek dari tindakan korupsi di atas, sesungguhnya merupakan salah satu faktor utama di negara ini yang mengakibatkan bangkrut dan hancurnya bangsa ini. Semua efek negatif di atas telah menghancurkan kemaslahatan, kebahagiaan dan masa depan bersama. Maka dapat dikatakan tindak korupsi adalah dosa sosial yang sangat berat. Terkait dengan efek negatif korupsi sebagai tindakan pengkhianatan, penghinaan dan penghancuran kepada kemanusiaan, maka tindak korupsi dapat dikategorikan sebagai kekerasan kemanusiaan terbesar di negara ini. Sebagai dosa sosial yang menghancurkan pelbagai tatanan kehidupan masyarakat, tindak korupsi juga juga akan membuat pelakunya terasing dan terhina dalam pandangan Tuhan dan manusia. Kekuatan etik-spiritual yang dimiliki oleh agamaagama pada dasarnya mempunyai peran yang sangat strategis untuk mengajak umat beriman berserah diri secara elegan dan sejati menuju ampunan Tuhan, dengan menyadari bahwa tindak korupsi yang dilakukan sebagai kekerasan sosial telah merusak kebahagiaan bersama.
Namun proses pertobatan sejati sebagai seorang koruptor tidaklah cukup dengan memohon ampun kepada Tuhan, melainkan harus disertai dengan kesediaan moral secara tulus dan ikhlas untuk mengembalikan segala yang diambil secara tidak halal dan legal kepada negara atau pemiliknya (masyarakat), serta sikap bertanggung jawab atas perbuatannya dengan mematuhi hukum yang berlaku. Karena korupsi seperti yang telah dikemukakan di atas adalah dosa sosial, di mana pengampunan dari Tuhan sangat terkait dengan pengampunan dari manusia (korban) dengan cara melakukan rekonsiliasi sesama dan recovery/ rehabilitasi terhadap dampakdampak negatif korupsi terhadap korban atau masyarakat. Peran strategis agama-agama dalam hal ini yaitu membangun dialog secara intensif dalam aliansi bersama antarumat beriman untuk melawan korupsi. Karena korupsi adalah musuh bersama semua agama, dan menjadi sumber dari pelbagai bentuk keresahan dan kekerasan di dalam masyarakat. Maka upaya-upaya perlawanan terhadap korupsi di negara ini menjadi suatu kewajiban secara kolektif dari seluruh komponen bangsa. Dengan kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi korupsi harus dilawan dan diberantas dari kehidupan kita sehari-hari.
Karena korupsi di negara ini sudah mewabah
Opinion role of religions is occurs. The ones bribing and being bribed in this context are people saying that they are religious people, that they embrace a religion, even in some particular cases the perpetrators look so religious, having high individual piety. If we observe and muse deeply about the impacts from the aforementioned corruption action, it is actually one of the main factors making this country bankrupt and ruined. All those negative impacts have ruined the happiness, benefit, and lives of the people. Thus, we can say that corruption is an enormous sin. In regard to the negative impacts of corruption as actions of betrayal, abuse, and destruction to humanity, we can categorize corruption as the biggest violation to humanity in this country. As a social sin destructing diverse social life orders, corruption is going to degrade and segregate the perpetrators from God and others. Ethic-spiritual authority owned by religions basically has a strategic role in bringing about religious people to subordinate themselves gracefully and purely to God's forgiveness, with consciousness that the corruption committed as a social violence has ruined the happiness of people. However, a pure repentance process from a corruptor does not only concern his relation with God, but also has to be followed by an action to return what he has taken illegally to the country or to the owner (society), sincerely with all his heart and soul. He also has to be responsible for what he has done, recognizing his punishment in proportion to the law. This is due to the fact that corruption, as mentioned above, is a social sin, whereas the forgiveness from God is very much related to the forgiveness from the victims by means of reconciliation with others and recovery/ rehabilitation of the negative impacts of corruption to the victims or society. The strategic role of religions in this context is to build a dialogue intensively in alliance with religious people to fight corruption. As corruption is an enemy to all religions and is a source of various kinds of violence and restlessness in the society, efforts to fight corruption serve as a collective obligation of all components in the nation. With high consciousness and responsibility, we have to fight corruption and do away with it from our daily lives. Since corruption has expanded in such a scale and developed into humanitarian disaster in this country which implications are extremely complicated, i.e. covering all dimensions of societal life, struggling efforts against corruption have to be of
Edisi September 2005
5
Opini dan menjadi bencana kemanusiaan yang implikasinya sangat kompleks yaitu meliputi semua dimensi kehidupan masyarakat, maka upaya-upaya perlawanan terhadap korupsi harus lebih operasional dan fungsional dalam bentuk komitmen bersama untuk mendukung korporasi dalam kebajikan, dan menolak pelbagai bentuk korporasi untuk kejahatan. Dalam konteks ini gerakan bersama antar umat beriman hendaklah didasarkan pada iman dan panggilan hati nurani secara sejati. Komitmen seperti inilah yang mampu membuat korporasi anti korupsi antar umat beriman ini mampu memproteksi diri dari kepentingan kelompok dan kepentingan politik lainnya. Sikap moral untuk secara kooperatif dalam kebajikan akan mendatangkan kemakmuran, kebahagiaan dan kedamaian, sedangkan korporasi di dalam kejahatan akan mendatangkan kekerasan dan kehancuran bagi kemanusiaan. Apabila tidak ada sikap moral yang tinggi untuk memerangi korupsi ini, maka realitas korupsi ini akan semakin mewabah dan memakan korban yang lebih banyak lagi. Efek yang ditimbulkannya pun sangat kompleks. Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan dan kekufuran memiliki hubungan sebab akibat. Secara sosiologis, orang/ kelompok yang korup adalah subyek kejahatan kemanusiaan. Mereka adalah penyebab timbulnya korban-korban di dalam masyarakat. “Kelaparan seorang anak manusia di bawah kolom jembatan, bukanlah karena bumi ibu pertiwi ini miskin, kematian anak/bayi dan ibu yang semakin meningkat bukanlah semata karena Sang ayah yang malas, penderitaan banyak warga kecil di gubuk-gubuk reot bukanlah karena mereka tidak berusaha dan bekerja, terputusnya pendidikan anak usia sekolah dari kalangan masyarakat yang tak mampu, bukanlah karena mereka lebih bodoh dari anak-anak orang kaya, melainkan semua itu karena korupsi yang merenggut harapan, kebahagiaan dan masa depan mereka”. Pelbagai problem sosial lainnya, tak dapat dipandang secara hitam putih dengan menyalahkan sang korban. Melainkan dalam konteks ini, semua problem kemanusiaan tersebut adalah harus dilihat sebagai akibat penindasan terhadap kemanusiaan oleh orang yang kuat atau orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan terhadap orang-orang yang lemah atau dilemahkan. Dengan demikian, sebagai khalifah di muka bumi (Wakil Tuhan di bumi), kita memiliki fungsi dan peran untuk memakmurkan bumi ini secara bersama-sama karena dengan demikian akan membuat rumah ke-Indonesia-an kita diliputi suasana masyarakat saling menyayangi, mengasihi dan hidup damai, dimana keadilan dan kesejahteraan terbagi secara merata. Gerakan bersama
antar umat beriman secara jujur dan adil di dalam melawan tindak korupsi merupakan prasyarat untuk mewujudkan kemakmuran bersama. Karena di dalam ke-
6
Edisi September 2005
interfidei newsletter operational and functional nature in the form of a collective commitment to support cooperation in righteousness, and resisting diverse forms of cooperation for wickedness. Within this context, movements of religious congregation should be based on faith and pure call of consciousness. Such a commitment is what is able to make anti-corruption corporation among religious congregation capable of protecting itself from group interests and other vested political interests. Moral attitude for cooperative work in righteousness will bring prosperity, happiness, and peace, while corporation in wickedness is going to bring violence and destruction to humanity. Should there be no high morality in the striving against corruption, this fraud is going to expand even more and victimize many more; the impacts it will cause will be extremely complex as well. This indicates that poverty and atheism has a causal link. Sociologically, a corrupted person or group is a subject to humanitarian crime. They are the factors of victimization in the society. “The hunger of a child under the bridge is not due to poverty in our homeland; the increasing maternal and infant mortality rate is not caused by laziness of the fathers; misery of a lot of people in dilapidated shack is not because they do not try and work; dropping outs of kids from poor families are not because they are more stupid compared to rich people's children; those are all because of corruption which takes away their hopes, happiness, and futures”. Other social problems cannot be perceived merely in black and white by putting the holding the victims responsible. On the contrary, within this context all those humanitarian problems have to be seen as a consequence of oppression to humanity by influential people or people having power and authority to commoners or emasculated people. Thus, as caliphs (representation of God on earth) on earth, we all have the function and role to make this earth prosper, and thus, our Indonesian homeland will be surrounded by the atmosphere of loving, caring, and peace, where justice and prosperity are shared equally. A movement of religious congregation in an honest and just way in the efforts of fighting corruption is a prerequisite to realize equal prosperity, as in our Indonesian prosperity, human dignity is going to be lifted high, people are going to be aware of their own and others' rights. That is a realization of hanif (right and good) consciousness, which will exist everlastingly, obeying and submit-
Edisi September 2005
Snapshot
makmuran ke-Indonesia-an kita, martabat kemanu- ting only to the true goodness and righteousness, from siaan akan dijunjung tinggi, yaitu setiap orang tahu and to whomever.[] akan hak-haknya dan hak orang lain. Itulah pengejawantahan dari nurani yang hanif (benar dan baik), yang senantiasa eksis serta hanya tunduk dan patuh kepada kebenaran dan kebajikan sejati, dari mana INTERFAITH dan kepada siapapun.[]
LEMBAGA ANTAR IMAN UNTUK KEMANUSIAAN MALUKU (EL.AI.EM) Latar belakang
K
onflik sosial yang terjadi selama kurang lebih empat tahun di Maluku mengakibatkan kehancuran yang tragis secara massif di masyarakat. Konflik tersebut tidak saja merusak bangunan-bangunan fisik, fasilitas publik dan pemukiman, tetapi juga struktur sosial, nilai-nilai moral serta hubungan-hubungan sosial. Akibatnya, komunitas-komunitas di masyarakat mengalami trauma berkepanjangan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka hidup dalam lingkungan yang tersegregasi. Ironisnya,mereka tersegregasi menurut agama, khususnya Islam dan Kristen. Keadaan ini terjadi karena konflik tersebut dipicu dan diperpanjang oleh isu-isu agama, hal mana merupakan salah satu aspek yang sangat sensitif di Maluku.
INSTITUTION FOR HUMANITARIAN INI MALUKU Background
T
he social conflict that raged for about four years in Maluku has brought about tragic destruction of the society on a massive scale. The conflict did not only destroy physical buildings, including public facilities and sttlements, but also social structures, moral values, and social relationship. As a result, communities are conditioned to experience prolonged trauma, and proceed in their daily lives in a segregated environment. Ironically, communities are segregated by religion, i.e. Islam and Christianity, as the conflict was triggered and sustained by religious issues, which are perceived as a sensitive aspect in Maluku. Based on this reality, all efforts to support the development of a permanent and measured interfaith interaction process in Maluku becomes imperative. Starting out from this fact, since a year ago the Maluku Protestant Church (GPM, Gereja Protestan Maluku), the Maluku chapter of the Indonesian Ulama Council (MUI, Majelis Ulama Indonesia), and the Diocese of Amboina have taken the initiative in building a permanent and measured relationship, oriented towards a joint effort to cope with the impacts of the Maluku conflict.
Berangkat dari realitas tersebut, maka segala usaha untuk mendukung pengembangan sebuah proses interaksi antariman yang baik dan teratur di Maluku menjadi sebuah keharusan. Karena itu, sejak tahun 2004, Gereja Protestan Maluku (GPM), Majelis Ulama Indonesia, cabang Maluku, Diosis Ambon mengambil inisiatif untuk membangun sebuah hubungan kerjasama yang berorientasi pada usaha-usaha bersama untuk mengatasi dan menghadapi situasi yang diakibatkan oleh konflik di What is EL.Ai.Em? Maluku. The implementing agency, which in this the Maluku Interfaith Agency for Humanity, was initiApa itu El. Ai. Em? ated and established by the three major religious Sesudah pertemuan “Malino” (= Malino, nama agencies in post-Malino Maluku. They are GPM, the daerah di Sulawesi Selatan di sana pernah diadakan per- Maluku chapter of MUI, and the Diocese of Amboitemuan yang diupayakan oleh pemerintah untuk memperte- na. The three then formed a forum/ coordinating body mukan kelompok-kelompok yang bertikai bersama dengan to implement cross-religion coordination functions, tokoh masyarakat, pimpinan agama-agama dari Maluku), and took the established agency under their wings and Gereja Protestan Maluku, Majelis Ulama Indonesia di Maluku dan Diosis Ambon mendirikan Lembaga Antariman their joint authority. Directed by the forum/ crossEdisi September 2005
7
interfidei newsletter
Potret untuk Kemanusiaan Maluku. Lembaga ini adalah forum atau badan koordinasi yang berfungsi mengimplementasi kegiatan-kegiatan yang dirancang bersama. Mereka menempatkan forum ini di bawah “sayap” lembaga keagamaan masing-masing dalam kerjasama dengan kepengurusan yang tergabung antarlembaga tersebut. Lembaga ini memiliki struktur sebagai berikut : a) Anggota Yayasan, 9 orang (masing-masing lembaga agama 3 orang); 1 direktur dengan fungsi rangkap sebagai anggota Yayasan; 4 orang manager dan 4 orang staf (program, perkantoran, keuangan dan bidang informasi/dokumentasi). Menyadari bahwa lembaga ini masih baru, staf untuk ke-4 manager tersebut akan dilengkapi kemudian. Saat ini ada rencana untuk memperluas lembaga ini dengan melibatkan agama Hindu, Buddha, Konghucu dan denominasi-denominasi yang lain.
Visi
religion joint agency, an interfaith agency was established with the following structure: 9 board members (three members from each founding agency); 1 director that doubles as board member; 4 managers, and 4 staff members (programme, office, finance, infodoc). Considering that the agency is in its infancy, staffing for the four managers will be done in future processes. Meanwhile, according to plans, the forum/ coordinating body will be extended to include Hinduism, Buddhism, Konghucu and other denominations.
Vision Increasement in the quality of community social, culture and economy life as the manifestation of Maluku religious community resistance.
Meningkatan kualitas kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sebagai manifestasi Mission ketahanan komunitas agama-agama di Maluku. 1. Organize, Assist, empower and develop faith, economy, social and culture resistance of religious Misi community, thus religious community may participate independently in building Maluku in accord 1. Mengorganize, membantu, memberdayakan dan with national ideal. membangun ketahanan iman, ekonomi, sosial, budaya komunitas agama-agama untuk mengam- 2. To fight and to develop the establishment of the Indonesian quality as whole in the perspective of bil bagian secara indipenden dalam membangun Maluku dalam kaitan dengan konteks nasional. humanitarian value. 2. Memperjuangkan dan membangun pembentukan 3. Dynamicize the establishment of functional, positive, creative and constructive interactive between manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas various religious comunities. dalam perspektif nilai-nilai kemanusiaan. 3. Mendinamiskan fungsi positif, kreatif, konstruktif interaksi antara berbagai komunitas agama. Strategy 1. Reducing conflict potentials in Maluku through management and conflict resolution efforts in MaStrategi luku religious community level. 1. Meminimalisir potensi konflik di Maluku melalui 2. Build social, economy and culture interaction process between religious communities in Maluku. usaha-usaha manajemen dan resolusi konflik pada tingkat komunitas agama-agama yang ada di Maluku. 3. Buld Community empowerment process in Malu2. Membangun proses interaksi sosial, ekonomi dan budaya ku through productive, innovative community antara komunitas agama-agama yang ada di Maluku. economy and with Human rights, gender and 3. Membangun proses pemberdayaan komunitas neighborhood perspective. yang produktif dan inovatif di Maluku dalam 4. Physic and mental rehabilitation in a conflict trauperspektif ekonomi, Hak Asasi Manusia, Gender matized society in Maluku. dan persaudaraan. 5. Re-orientation and revitalization of adaptive and 4. Rehabilitasi psikhis, mental masyarakat akibat dynamic value system in religious community in trauma konflik yang terjadi di Maluku. Maluku. 5. Melakukan reorientasi dan revitalisasi dari system nilai yang adaptif serta dinamis dalam komunitas Activities agama di Maluku.
Aktivitas
I. INSTITUTIONAL BUILDING - Clearing House
8
Edisi September 2005
CAPACITY
Edisi September 2005 I. Mengembangkan kapasitas Institusi - Clearing house - Data base pluralism di Maluku - Perpustakaan - Pengembangan studi melalui produksi multimedia,
Snapshot - Data Base pluralisme in Maluku - Library - Study development with multimedia production (Pluralism and peace campaign packages) - Staff development/ In-house Training (Apprentice, seminar, training).
II. A. COMMON PERCEPTION BUILDING ON POST- Peningkatan staff (melakukan pelatihan, seminar dan magang) CONFLICT PUBLIC ISSUES II. A. Membangun Persepsi - Series of public discussion (weekly) - Limited studies in pluralism issues Bersama tentang issu-issu - Distribution of information in mass media-prinpublik pasca konflik khusus dalam soal kampanye perdamaian dan pluralism
- melakukan diskusi publik setiap minggu - diskusi terbatas tentang issu-issu pluralisme - mensosialisasikan informasi-informasi tentang issu-issue pluralisme melalui media (cetak dan elektronik) - mengembangkan pendidikan komunitas pluralism
B. Membangun Jaringan Pluralisme untuk Advokasi Perdamaian
ted and electronic (essay and article publication, newsletter etc.) - Establish pluralism community college
B. BUILDING PLURALISM CARE NETWORK FOR PEACE ADVOCACY - Capacity building of Local institutions for a better public service - Enlarging support from national and international level.
- Membangun kapasitas lembaga local untuk pelayanan masyarakat yang lebih baik. III. PSYCHOSOCIAL - Memperluas dukungan nasional dan internasiTrauma healing, post trauma stress, peace sermon onal.
III. Psikho-sosial Melakukan upaya penyembuhan trauma, stress yang di- Plans For The Future akibatkan sesudah trauma serta menyampaikan kotbah- Eastern Indonesia Peace And Pluralism Center kotbah perdamaian.
Rencana ke depan
Organization Structure
Membangun Pusat Perdamaian dan Pluralism IndoneFounder: sia Timur DR. I.W.J. Hendriks (Moderator of GPM Synod), Mgr.P.C. Mandagi MSC (Amboina Bishop), Idrus Struktur organisasi EffendiToekan (Head of MUI Maluku)
Pendiri:
Dr. I. W.J. Hendriks (Ketua Sinode GPM) Mgr. P.C. Mandagi, Msc (Uskup Ambon) Organizational Staffing Director : Jacky Manuputty Idrus Effendi Toekan (Ketua MUI-Maluku) Office Manager : Oliva Lasol Finance Manager : Oliva Lasol Pengurus Harian InfoDoc : Sven Loupatty Direktur : Jacky Manuputty Helena Rijoly Manajer Perkantoran : Oliva Lasol Program Manager : Abidin Wakano Manajer Keuangan : Oliva Lasol External Prog Officer : Zakiyah Zamal Informasi/dokumentasi : Sven Loupatty Internal Prog. Officer : Daniel Watti : Helena Rijoly Manela Manager Program : Abidin Wakano
Edisi September 2005
9
interfidei newsletter
Kronik Ketua Eksternal Program : Zakiyah Zamal Ketua Internal Program : Daniel Watti Manella
Rekening Bank
Bank Account Yayasan Lembaga Antar Iman untuk Kemanusiaan Maluku Bank Danamon ambon Diponegoro. Account Number. 0040448011
Address
Yayasan Lembaga Antariman untuk Kemanusiaan Jl. Ch. M. Tiahahu No. 17, Rt 003 - Rw 01 Maluku Bank Danamon Ambon Diponegoro Nomor Kelurahan Amantelu Kecamatan Sirimau, Ambon Account, 0040448011 Phone/fax: (0911) 342 643 Alamat Email:
[email protected] Jl. Ch. M. Tiahahu, no. 17/RT 003, RW 01 Kelurahan Amantelu Kecamatan Sirimau, Ambon 1. PADANG: PUTTING OFF Phone/fax. 62-911-342 643 PREJUDICE, HARVESTING Email : <
[email protected]>
REFINE-MENT 1.
PADANG: MENANGGALKAN PRASANGKA MENUAI KEADABAN
I
n the last few years, various questions on the meaning and function of religions in context of Indonesia have been raised. Religions, inclining to be 'a factor for conflict', also support and hope for alam beberapa tahun terakhir ini, muncul ber- the solving of the problem, e.g. the problems of misbagai pertanyaan tentang makna dan fungsi understanding, reticence, placing religion institution kehadiran agama-agama dalam konteks Indo- as a primary concern instead of its value, substance nesia. Agama cenderung menjadi 'pokok persoalan' and meaning in societal life. In addition, righteoussekaligus tumpuan dan harapan bagi penyelesaian per- ness claims are arising between one religion and soalan tersebut. Misalnya soal kesalahpahaman, keter- others. This worsens plurality context within society. tutupan, sangat mementingkan hal-hal yang sifatnya Such a reality impels religionists in particular and dogmatis doktriner, mementingkan institusi agama busociety in general to reconsider and examine what kan subtansi nilai dan maknanya dalam kehidupan bertheir religions teach them. Besides that, they would masyarakat. Selain itu muncul klaim-klaim kebenaran analso like to be on familiar terms with and to compretara satu agama terhadap agama lain. Keadaan ini semahend other religions. Within that frame of thoughts, kin memperburuk konteks Pluralitas di masyarakat. KeInterfidei designed a Study of Religions program. nyataan tersebut mendorong para agamawan khususnya This program provides an dan masyarakat pada umumnya opportunity and accommountuk melihat kembali dan mengkaji lebih jauh tentang dation for the society to ajaran agamanya. Di samping itu understand themselves and mereka pun ingin mengenal dan others better. memahami agama-agama yang Dian/ Interfidei institute lain. Dalam kerangka berpikir Yogyakarta in coope-ration seperti itulah, Interfidei with PUSAKA Padang, held a merancang program Studi Study of Reli-gions under the Agama-aga-ma. Program yang t h e m e “PUTTING OFF memberi kesempatan serta PREJUDI-CE, HARVESTING fasilitas ke-pada masyarakat REFINEMENT” which has untuk memahami 'diri sendiri' Foto: Peserta SAA di Padang pada tgl 15-17 Juli 2005 dan 'orang lain' secara lebih baik. been held on 15-17 July 2005 at Institut Dian/ Interfidei Yogyakarta bekerjasa- Pangeran City Hotel, Padang. The study was ma dengan PUSAKA Padang, mengadakan Studi preceded by a Studium Gene-rale, attended by some Agama-Agama dengan tema “MENANGGALKAN 100 participants from diverse backgrounds, and was PRASANGKA MENUAI KEADABAN“ yang te- carried out in one session. Ac-ting as sources are: Mr. lah dilaksanakan pada tanggal 15-17 Juli 2005 di Ho- Budhy Munawar-Rachman (Lecturer of Driyarkara tel Pangeran City Padang. Didahului dengan acara and Paramadina Philosophy College, Jakarta), Mr. Studium Generale, yang dihadiri kurang lebih 100 Qasim Mathar (Lecturer of Ushuluddin Faculty of
D
10
Edisi September 2005
Edisi September 2005 peserta dengan latar belakang yang berbeda-beda. Studium Generale dilakukan dalam satu sesi. Sebagai Narasumber adalah: Bapak Budhy Munawar-Rachman (Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Paramadina Jakarta), Bapak Qasim Mathar (Dosen Fak. Ushuluddin IAIN/UIN Makassar), Bapak Maidir Harun (Dosen Fak. Adab IAIN Imam Bonjol Padang) dan sebagai moderator Bapak Darto (PU-SAKA Padang), semua pembicara memaparkan maka-lah mereka secara singkat, dilanjutkan dengan tanya jawab. Studium Generale tersebut dimaksudkan supa-ya tema program ini secara mendasar dapat dikaji dan dipahami bersama, sehingga ketika masuk kelas mate-ri bisa semakin terfokus pada pengalaman dan refleksi dari masing-masing agama. Hari berikutnya dilanjutkan dengan studi kelas dengan jumlah peserta 45 orang, yang terdiri dari berbagai elemen antara lain: LSM, Aktivis Kampus, Tokoh Agama, Tokoh Masya-rakat, dan Dosen. Sebagai pembicara hari pertama Ba-pak Zakaria Ngelow (Kristen), Tri Widiyanto (Bud-dha), Bapak DR. H Saifullah (Islam) dan sebagai Mo-derator Ibu Elga Sarapung (Interfidei). Hari kedua se-bagai pembicara bapak I Nyoman Sadra (Hindu), Pas-tor Carlos Melgares S.X (Katholik) sebagai moderator Bapak Windy Subanto (PUSAKA). Kegiatan ini diakhiri dengan diskusi dan evaluasi bersama. Adapun tindak lanjut dari kegiatan tersebut, akan diadakan pertemuan tanggal 17 agustus 2005, dan akan menggalang dana untuk pendidikan, sebagai koordinator Bapak Ma'rufin Ihsan, S.Ag. dan akan diadakan Advokasi jilbab ke walikota dan sekolah-sekolah yang dipimpin oleh bapak Drs. Basrial Aidil. (X'tie)
2. Jaringan Kultural
P
ada awalnya gagasan adanya jaringan kultural ini muncul di kalangan kawan-kawan Interfidei atas kerinduan semacam gerakan kultural di tengah rutinitas yang berlangsung. Kebetulan pula beberapa kawan yang dulu aktif di Tikar Pandan sekarang secara formal terlibat dalam kegiatan-kegiatan di Interfidei. Pertemuan pertama pada awalnya dimaksudkan untuk merencanakan sebuah refleksi kultural bersama Zawawi Imron. Zawawi Imron, seorang sastrawan pesantren dari Madura yang akan datang untuk sebuah acara refleksi kultural (sebuah kegiatan diprogramkan Interfidei). Untuk memperkaya eksplorasi dan refleksi, Interfidei kemudian menghubungi kawan-kawan, yang saat ini sebagian besar menjadi bagian dari Jaringan Kul-
Chronicle IAIN/ UIN, Makassar), Mr. Maidir Harun (Lecturer of Adab Facul-ty of IAIN Imam Bonjol, Pa-dang) and as moderator, Mr. Darto (PUSAKA, Padang). All the speakers presented their pa-pers concisely, subsequently followed by s discussion session. The Studium Ge-nerale was to elucidate the theme of the program able to be examined and understood by the participants, in order for the material to be focused in experience and reflection from each religion when they enter the class. The next day, the class study took place with 45 participants, comprising of diverse elements such as NGOs, campus activists, religious leaders, society figures, and lecturers. The speakers for the first day were Mr. Zakaria Ngelow (Christian), Tri Widiyanto (Buddhism), Mr. DR. H Saifullah (Islam), and Mrs. Elga Sarapung (Interfidei) as the moderator. The speakers for the second day were Mr. I Nyoman sadra (Hinduism), Pastor Carlos Melgares S.X (Catholic), with Mr. Windy Subanto (PUSAKA) as the mode-rator. The study ended with discussion and evaluation with the participants. A meeting was arranged on August 17 2005 as a followup of the program. The meeting would serve as a means of fundraising for education, where Mr. Ma'rufin Ihsan, S.Ag. would act as the coordinator and a Jilbab Advocacy to the city mayor and to schools, coordinated by Mr. Drs. Basrial Aidil. ( X'tie )
2. Cultural Network
I
n the beginning, the thought of having this cultural network arose among friends in Interfidei as there was a longing for a sort of cultural movement in the middle of their routine. It was also a coincidence that there were some friends active at Tikar Pandan who had been formally involved in Interfidei's programs. The first meeting was at first meant to arrange a cultural reflection with Zawawi Imron. He is a traditional Islam school's man of letters from Madura who would come for a cultural reflection (an program organized by Interfidei). In order to enrich our exploration and reflection, Interfidei then contacted the friends, most of whom at that point of time were parts of this Cultural Network. Within the preparatory stage, most of them felt it was too early to speak and presented themselves as a part of cultural reflection. The first meeting finally recommended a process of introduction first in order to bring forth togetherness and Edisi September 2005
11
interfidei newsletter
Kronik tural ini. Dalam persiapan sebagian besar merasa terlalu dini untuk berbicara dan menampilkan diri sebagai bagian dari refleksi kultural. Pertemuan pertama akhirnya merekomendasikan proses saling mengenal terlebih dahulu untuk lahirnya sebuah kebersamaan dan kerjasama kultural. Rencana mengundang Zawawi, ditangguhkan.
cultural cooperation. The plan to invite Zawawi was then postponed. To date, there have been four meetings held. The naming of 'Cultural Network' is just temporary, 'bringing into play' the spirit that began this meeting. The number of participants of the meeting is increasing, they come from various communities or people from art activity background and those with cultural concerns. Currently, some communities are on our list, such as Tikar Pandan Community, Nurul Ummah Sangkal Pesantren Theatre, Ashram Gandhi, Taize UKDW, Taize Kentungan Seminary, Gita Savana UIN Sunan Kalijaga, Sapta Dharma, and Open Circuit Community. For every meeting we would determine the next discussion's theme. The fourth meeting was planned to discuss intercommunity collaboration concept and explore contextualization of music in Indonesian experience. However, in the discussion most of the participants felt that they needed to first seek the context of what they face together by looking for what issues to respond, and only then start talking about the form. Focusing issue is going to help find the shapes of collaboration of potentials owned by each community or each person in order not to be entrapped only in the form of music. We then came to an agreement that the issue to be discussed in the next meeting is “Righteousness claims” from diverse groups. This issue arose based on the consideration as well as a concern that a written claim of righteousness has affected and even determined human life. Even these claims of righteousness have discredited / discriminated the lives of other people. For the fifth meeting, the discussion on “righteousness claims” was resumed. Those meeting were also alternated by the spontaneous expression of the participants in form of music, poems, or theatre performance. It is expected that these meetings are able to bring liberating cultural scriptures (Lian Gogali)
Sampai saat ini telah dilakukan sebanyak empat kali pertemuan. Penamaan 'Jaringan Kultural' bersifat sementara, 'meminjam' spirit yang mengawali pertemuan ini. Peserta pertemuan bertambah dari berbagai komunitas maupun personal yang sebagian besar berlatar belakang aktivitas seni maupun yang mempunyai concern terhadap budaya. Saat ini tercatat beberapa komunitas, seperti Komunitas Tikar Pandan, Teater Sangkal Pesantren Nurul Ummah, Ashram Gandhi, Taize UKDW, Taize Seminari Kentungan, Gita Savana UIN Sunan Kalijaga, Sapta Dharma, Open Circuit Community. Setiap kali pertemuan ditentukan tema-tema pembicaraan berikutnya. Pertemuan keempat, rencananya, akan membicarakan konsep kolaborasi antar komunitas dan mengeksplorasi kontekstualisasi musik dalam pengalaman ke-indonesia-an. Namun dalam diskusi sebagian besar peserta merasa perlu untuk mencari konteks pergumulan bersama dengan mencari isu apa yang akan ditanggapi baru kemudian membicarakan bentuk. Memfokuskan isu, akan membantu menemukan bentuk-bentuk kolaborasi potensi-potensi yang dimiliki masingmasing komunitas maupun personal dan tidak terjebak pada bentuk musik saja. Disepakati bahwa isu yang akan dibicarakan dalam pertemuan selanjutnya adalah “klaim-klaim kebenaran” dari berbagai golongan. Isu ini muncul berdasarkan pertimbangan sekaligus keprihatinan bahwa sebuah klaim kebenaran yang diwacanakan telah mempengaruhi bahkan menentukan kehidupan manusia. Bahkan seringkali, klaim-klaim kebenaran ini telah mendiskreditkan/ diskriminasikan hidup manusia yang lain. Untuk pertemuan kelima nanti, disepakati melanjutkan seri diskusi tentang “klaim-klaim kebenaran”. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut diselingi dengan ekspresi spontan dari peserta diskusi dalam bentuk seni musik, puisi atau teater. Diharapkan pertemuan-pertemuan ini bisa membantu menghadirkan 3. Guests from Hongkong wacana kultural yang membebaskan. (Lian Gogali)
V
arious religious phenomenon in Indonesia has attracted the attention of a Christian work group from Hongkong to visit Indonesia in an 3. Tamu dari Hongkong activity they label Cultural Exposure Trip to Indonesia. This visitation was followed by eight part-time erbagai fenomena keagamaan di Indonesia te- diploma program students from China Theological lah menarik perhatian Kelompok Kerja Kristen School, united in Graduates Christian Fellowship of dari Hongkong untuk mengunjungi Indonesia Hongkong. This visitation is meant to observe the
B 12
Edisi September 2005
Edisi September 2005 dalam kegiatan yang mereka beri label Cultural Exposure Trip to Indonesia. Kunjungan ini diikuti oleh delapan orang mahasiswa part-time Diploma di Sekolah Teology China dan tergabung dalam Graduates Christian Fellowship of Hongkong. Kunjungan ini bertujuan untuk mengetahui pergesekan dalam kebudayaan, agama, dan masyarakat Indonesia serta merefleksikan perspektif kekristenan dalam mentransformasi kehidupan kebersamaan. Dalam kunjungannya ke Interfidei pada tanggal 4 Juli 2005, kelompok kerja ini terlihat sangat antusias menanyakan bagaimana hubungan antar agama di Indonesia, termasuk bagaimana Negara mengatur hubungan antar agama ini dalam bentuk undang-undang, serta bagaimana posisi Interfidei sebagai lembaga dialog merespon fenomena antar agama serta antara Negara dan agama. Selain Interfidei dan pihak-pihak yang concern terhadap pluralisme, terdapat juga Komunitas Tikar Pandan, Ashram Gandhi, Interfaith Forum for Peace in Asia (IFPA), dan Komunitas Kong Hu Cu dari Solo. Terhadap berbagai komunitas tersebut, Kelompok Kerja Kristen mendiskusikan bagaimana masingmasing komunitas mengelola kepelbagaian yang ada dalam kelompok mereka sehubungan dengan identitas keagamaan pribadi mereka. Diskusi yang diikuti sekitar 35 orang ini sangat menarik dan hampir 'lupa berhenti' kalau tidak mengingat waktu sudah larut malam. Antusianisme ini terlihat dari kenyataan bahwa diskusi yang dimulai sejak pukul 19.00 wib dan direncanakan berakhir pukul 21.00 baru diakhiri pada pukul 23.00 WIB. Pada akhirnya diskusi ini menyepakati bahwa kehidupan berdialog yang melintasi batas budaya, agama, dan sebagainya akan membantu manusia untuk memiliki imajinasi tentang kehidupan masa depan bersama. (Lian Gogali)
4. SORONG
P
Cronicle friction in culture, religions, and Indonesian people as well as to reflect the perspective of Christianity in collective transformation of life. During their visit to Interfidei on July 4 2005, this work group seemed very enthusiastic in asking what the interfaith relationships in Indonesia really are, including how Indonesia manages this inter-faith relationship in law, as well as the position of Interfidei as a dialog institution responding to inter-faith phenomenon, and the relationship between state and religions. Besides Interfidei and some organizations concerning pluralism, there are also communities like Tikar Pandan Community, Ashram Gandhi, Interfaith Forum for Peace in Asia (IFPA), and Confucianism Community from Solo. The Christian Working Group discussed how each community managed pluralism in their groups regarding their personal religious identity. This discussion which was followed by some 35 people was extremely interesting and we almost forgot to end if not due to the fact that it was already late at night. This enthusiasm was demonstrated by the reality that the discussion commenced at 19.00 WIB and planned to end at 21.00; in reality it was wrapped up at 23.00 WIB. In the end this discussion concluded that a dialog of life, surpassing cultural, religion, and other boundaries is going to help people have imagination about collective life in the future (Lian Gogali)
4. SORONG
O
n June 15-18 2005, Interfidei in cooperation with OYO Foundation, Papua, reorganized a workshop on “Pluralism, Conflict and Peace” in Sorong, Papua. This activity was followed by 24 participants from the regions
ada tanggal 15-18 Juni Foto: Peserta Lokakarya di Sorong pada tgl 15-18 Juni 2005 2005 Interfidei beker-jasama dengan Yayasa around Sorong. After the opening ceremony, the participants OYO Papua mengadakan kembali semiloka tentang “Pluralisme, Konflik dan Perdamaian” di Sorong, shared their experience in living in a world of plural Papua. Kegiatan ini diikuti oleh 24 peserta dari berbagai society. After sharing their experience, they daerah di seputar Sorong. attempted to bring forth their assumptions about Setelah acara pembukaan para peserta menyam- pluralism, conflict, and peace. Their assumptions paikan pengalaman mereka saat hidup di dunia mas- were sharpened by a roleplay and expanded by a yarakat yang plural. Setelah menyampaikan aneka range of understandings from the seminar. The Edisi September 2005
13
Kronik macam pengalaman mereka mencoba menyampaikan asumsi mereka tentang pluralisme, konflik dan perdamaian. Asumsi mereka dipertajam dengan role-play dan diperdalam dengan aneka pengertian dalam semi-nar. Adapun pembicara dalam seminar ini adalah Dr. Ismar-tana, SJ dari Konferensi Wali Gereja Indonesia, Samuel Asse Bless Direktur Yayasan “OYO PAPUA”, Dr. P.M. Laksono, MA. Kepala Pusat Studi Asia Pasifik, UGM, Muhammad Rida, SE., M.Si Pembantu Dekan I Fakultas Hukum UNAMIN SORONG, Pater Drs. Paul Titit, OSA., M.SC Komisi Pendidikan Keuskupan Manokwari Sorong. Di hari terakhir mereka bersepakat melanjutkan pertemuan ini dengan memilih Bp. John Russel sebagai koordi-natornya. Langkah demi langkah pertemuan ini diwarnai oleh suasana yang hidup. Setiap peserta mempunyai semangat untuk mengajukan pertanyaan dan gaga-san untuk memperdalam materi yang sedang ber-langsung. Tidak jarang mereka berebut untuk minta waktu. Tiap titik waktu menjadi semakin berisi dan penuh makna. Gairah dan semangat ini sampai mem-buat Sam menitikkan air mata di akhir acara. Selamat melanjutkan perjuangan Anda kawankawan di Papua. (RA)
interfidei newsletter speakers in the seminar are Dr. Ismartana, SJ from The Bishop Drs. Paul Titit, OSA., M.SC Education Commission of Manokwari Diocese Sorong. On the last day, wes Council of Indone-sia, Samuel Asse Bless as Director of “OYO PAPUA” Foundation, Dr. P.M. Laksono, MA., Head of Asia and the Pacific Study Centre, UGM, Muhammad Rida, SE., M.Si Deputy Dean I of the Law Faculty, UNAMIN SORONG, Pater approved of prolonged the dialog by electing Mr. John Russel as the coordinator. In each step taken, this meeting was colored by lively situations. Each and very participant was very enthusiastic in asking questions and expressing ideas to expand the material discussed. They even often struggle for more time to speak, and thus, making each second more comprehensive and momentous. Such passion and spirit even brought about tears in Sam's eyes in the end of the program. Our friends in Papua, best of luck for your struggle! (RA)
5 . WO R K S H O P : P l u r a l i s m , Conflict and Peace at Goron-talo
T
he policy of Regional A u t o n o m y , 5. SEMILOKA: subsequen-tly Pluralisme, followed by the Local Chief Konflik, dan Elections in Indonesia are two agendas having the poten-tials Perdamaian Di to bring about conflicts in Gorontalo m i d s t o f t h e s o c i e t y. Therefore, an effort to study the impacts experienced by ebijakan Otonomi pluralistic society profoundly Daerah disertai is urgently required. pelaksanaan Pemilihan Foto: Peserta Seminar di Gorontalo pada tgl 6-9 Juni 2005 Kepala Daerah Langsung In answering the afore(Pilkada) di Indonesia merupakan dua agenda yang dapat mentioned need, Inter-fidei in cooperation with the berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Un- Committee for Youth and Students for Democracy tuk itu, dibutuhkan upaya untuk mengkaji secara menda- (KOMPOS) of Goron-talo, organized a seminar and lam dampak-dampak yang akan dirasakan secara lang- workshop held June 6-9, 2005. The venue for this sung bagi masyarakat yang majemuk. program was Mega Zanur Hotel, Gorontalo. These Menjawab kebutuhan di atas, Interfidei bekerjaseminar and workshop under the theme “Pluralism, sama dengan lembaga Komite Mahasiswa dan Pemuda Conflict, and Peace” was fol-lowed by participants untuk Demokrasi (KOMPOS) Kota Gorontalo, mengadakan seminar dan lokakarya yang dilaksanakan representing diverse religious communities, tribes, tanggal 6-9 Juni 2005. Bertempat di hotel Mega Zanur, educati-onal institutions, journalists, and NGO Gorontalo. Seminar dan semiloka dengan tema “Plu- activists in the city of Gorontalo. The seminar was carri-ed out on June 6, ralisme, Konflik, dan Perdamaian” diikuti oleh para presenting five speakers, i.e. Prof. Dr. Moch. peserta yang merupakan wakil dari berbagai komu-
K
14
Edisi September 2005
Edisi September 2005 nitas agama, suku, lemba-ga pendidikan, wartawan, dan aktifis LSM yang ada di kota Gorontalo. Seminar yang dia-dakan pada tanggal 6 Ju-ni, menghadirkan lima orang pembicara: Prof. Dr. Moch. Machasin (Yogyakarta), Dr. Qasim Mathar (Makasar), Agus Subono (Jakarta). Sedang-kan kegiatan semiloka diikuti oleh 35 peserta dengan didampingi oleh 3 fasilitator yaitu Elga Sarapung (Yogyakarta), Noorhalis Madjid (Banjarmasin) dan Fadli Al’amri (Gorontalo). Selama proses semiloka berlangsung, para peserta mengungkapkan kegembiraannya, karena kegiatan ini baru pertama kalinya diselenggarakan di kota Gorontalo. Mereka berpendapat bahwa perjum-paan dan sharing dengan orang-orang dari latar bela-kang yang beragam seperti ini sangat dibutuhkan un-tuk agar dapat lebih saling memahami realitas perbe-daan dan kemajemukan yang ada dalam masyarakat di sekitar mereka. (Tri)
Reflection Machasin (Yogyakar-ta), Dr. Qasim Mathar (Makassar), Agus Subono (Jakar-ta). In the mean time, 35 parti-cipants were present in the work-shop, accompanied by 3 facilitators, i.e. Elga Sarapung (Yogyakarta), Noorhalis Madjid (Banjar-masin) and Fadli (Gorontalo). During process of the workshop, participants revealed their happiness as it was the very first time such a program was ever carried out at the city of Gorontalo. They believe that the meeting and sharing with people of diverse background, as what took place at that point of time, is significant for mutual understanding of the existing divergence and pluralism reality in the society where they live. (Tri)
CORRUPTION
KORUPSI
W
e, all human beings, have the potential to commit corruption in any emua orang memiliki genre. In additi-on to the potensi untuk melapresence of opportunity, we kukan tindak korupsi dalam all have the “aptitude” as bentuk apa pun juga. Selain well. It means that in every karena ada kemungkinan, juga human being, there is memiliki “bakat'. Artinya, pada always an encouragement diri setiap orang selalu ada to “attempt” doing an dorongan untuk “mau mencoba” action: good or bad, mela-kukan sesuatu, baik atau treacherous or not; and it buruk, berisiko atau tidak Foto diambil dari cover majalah Tempo comprises corruption as well. berisiko, termasuk korupsi. The problem then is why corruption takes plaPersoalannya adalah, mengapa korupsi terjace. How could we minimize the likelihood of the di? Berikutnya, bagaimana bisa meminimalisir ketaking place of corruption, and by God's will, put a mungkinan terjadi korupsi dan insya Allah menghalt to it? hentikannya? A lot of people look at religions. Religions any Banyak orang melihat pada agama. Agama apa pun dianggap sebagai “filter” sekaligus “tem- religion are regarded as the “filter” also the “bin” to pat” penampungan kesalahan karena korupsi. Aga- contain mistakes as the impacts of corruption. Religima dianggap memiliki “kekuatan” khusus untuk me- ons are regarded as having an exceptional “strength” nolong manusia agar tidak korupsi atau memaafkan to help people not to corrupt or forgive those having mereka yang sudah terlanjur melakukan korupsi. corrupted. Therefore, are religions also “involved” in corruption? Lalu, apakah agama juga “terlibat” korupsi? Institutionally, religi-ons are involved in Secara kelembagaan, Aga-ma terlibat korupsi. corrup-tion. At least, through peo-ple declaring their Paling tidak melalui orang-orang yang meng-aku embra-cing a particular religion or those working in beragama sebuah agama ter-tentu atau pun yang bekerja di lembaga-lembaga keagamaan: gereja, religious institutions: churches, mos-ques,
S
Edisi September 2005
15
interfidei newsletter
Agenda masjid, departemen aga-ma, dan lain sebagainya. Secara individu untuk kepentingan in-dividu, secara kelompok untuk kepentingan kelompok atau un-tuk kepentingan lembaga. Iro-nisnya justru yang melakukan adalah para pemuka atau pemimpin agama, yang bukan saja kaum awam tetapi juga pendeta, majelis jemaat, kyai, ustad. Me-reka yang oleh “kamus” umum tradisi sosial-budaya masyarakat Indonesia seharusnya menjadi teladan, panutan bagi warganya. Pertanyaannya, apakah ada hubungan antara “korupsi dan agama”? Mengapa kalau orang melakukan tindak korupsi, secara spontan orang lain langsung menghubungkannya dengan agama? “Wah, sayang padahal kelihatannya dia sangat taat beraga-ma, rajin ke gereja, ke masjid, rajin shalat, berdoa, selalu bersedia membantu orang lain”, dan masih banyak seakan-akan memberi gambaran kuat betapa terkaitnya antara agama dan korupsi. Apa bentuk kaitan itu? Dimana fu ngsi agama untuk menjernih-kan keterkaitan itu? Ada gurauan di antara teman-teman seperti ini…. “ya, kalau berniat korupsi, lepaskan agama dan jalani korupsi, kalau berniat beragama jangan korupsi jalani beragama”. Tetapi sekali lagi, beragama yang bagaimana? *Es*
Department of Religi-ous Affairs, etc., whether individually for individual interests, or in groups for group or institutional ones. Ironically, those doing it are religious leaders, who are not just commoners, but also priests, vestries, kyais, and ustadz. Those by general “dictionary” of socio-culture tradition of Indonesian should be the examples for Indonesian people. Now the question remains: is there no link between “corruption and religions”? Why do people always spontaneously link someone doing corruption to the religion s/he embraces? “Wow, it is a shame that he looks so religious, he goes to church, to mos-que really often, prays, always has the willingness to help others…”, and many other expressions as if it gives us illustration just how closely related religions and corruption are. What is the form of that link, then? What happens to religions' function to straighten this link? There is a joke among my friends …. “If you mean to commit corruption, just let go of your religion, but if you mean to be religious, do not commit corruption, embrace your religion well”. Yet, once more, what kind of religion embracing are we talking about? *Es*
AGENDA AGENDA
th
1. 13 Anniversary of Institut 1. Perayaan HUT ke-13 Institut DIAN/Interfidei: - “Blood Donor for Humanity”, August 25, DIAN/ Interfidei: -
2005 “Donor Darah untuk Kemanusiaan” tanggal - Cultural Oration under the theme: “Fear of 25 Agustus 2005 Freedom..?”, August 26, 2005 Orasi Budaya dengan tema: “Takut Bebas..?” tanggal 26 Agustus 2005 2. Discussion
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Ketua/Chairman : Eka Darmaputra, Ph.D, Wakil Ketua/Vice Chairman : Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae Ph.D, Sekretaris/Secretary : Elga Sarapung, Bendahara/Treasure : Zulkifli Lubis, Pelaksana Harian/Executive : Elga Sarapung (Direktur); Abidin Wakano (Diskusi/seminar) ; Noegroho Agoeng, Tri Widiyanto, Suhadi, Lian Gogali, Sarnuji (Penerbitan/Dokumentasi/Perpustakaan); Syafa’atun Elmirzanah, Listia, Lian Gogali (Penelitian); Elga Sarapung, Suryanto (Pendidikan/Pelatihan/Lokakarya); Eko Putro Mardiyanto (Keuangan); Octavia Christiani, Sarnuji, Supriyanto, (Kesekretariatan/ Umum). Alamat/Address : Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Ph./Fax.: 0274-880149, E-mail :
[email protected]. No. Rek: Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No.228.000601034.001 Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda. For the development of this Newsletter, we open to your suggestions and critics.
16
Edisi September 2005