Newsletter
Interfidei Edisi Desember 2003 Penanggungjawab Elga Sarapung Pemimpin Redaksi Noegroho Agoeng Redaksi Wiwin Siti Aminah Haryandi Listia Alfred Benedictus J.E. Konsultan
IGB Harimurty Desain/Layout Haryandi & Sarnuji Keuangan Eko Putro Sekretaris Wiwin Siti Aminah Octavia Christiani Distributor Susanto, Sarnuji Newsletter ini diterbitkan oleh: Institut DIAN/Interfidei Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia, Ph./Fax. : 0274-880149, E-mail:
[email protected]
Editorial .................... 1 Fokus ......................... 2 Opini ......................... 4 Kronik ....................... 8 Refleksi ....................15 Agenda .....................16
Editorial Indonesia kini berada di tengah masa transisi proses demokrasi. Tak dapat dihindari bahwa dalam proses ini muncul berbagai gejolak di masyarakat, baik yang ditimbulkan oleh faktor-faktor dari luar pun dari dalam negeri sendiri. Semuanya berdampak pada dinamika kehidupan sehari-hari di masyarakat: politik, ekonomi, hukum, pendidikan, agama, budaya dan lain sebagainya, yang dalam banyak hal sangat merugikan masyarakat banyak. Agama kemudian menjadi sangat menonjol karena berada pada posisi paling strategis dalam kerumitan gejolak tersebut. Strategis, karena agama -dalam arti institusi, individu/umat beragama, ajarannya sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri yang pada dasarnya menjunjung tinggi demokrasi. Apalagi di negara Indonesia ini, keadaan itu sangat memungkinkan, bahkan dalam banyak hal justru dipelopori oleh negara. Bagaimana negara campur tangan, melakukan intervensi terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan agama menjadi transparan dan akibatnya terasa dalam dinamika kehidupan pluralitas masyarakat. Pertanyaannya adalah, bagaimana sebenarnya hubungan antara Agama dan Negara yang terjadi di Indonesia. Sampai sejauhmana negara berhak memasuki wilayah agama dan apa tugas dan kewajiban negara bagi kehidupan agama-agama di Indonesia? Apa yang sepantasnya dilakukan oleh agama-agama bagi negara? Dimana letak independensi agama-agama dalam sebuah negara yang berdasarkan Pancasila? Edisi Newsletter kali ini mencoba meneropong relasi agama dan negara tersebut. []
Indonesia is currently going through a period of transition in its democratic process. In such a process social upheavals are unavoidable, be they triggered from outside as well as from inside the country. All of these affect the everyday life of the people, politically, economically, legally, in its educational, religious, cultural aspects and so forth, which in many ways are very harmful to the people in general. Seen in this respect, religion then comes to the fore being in the most strategic and at the same time vulnerable position vis-à-vis the complexity of the situations. It is indeed vulnerable, due to the fact that religion with respect to its institution, individuals/followers, teachings is prone to be easily abused by dubious forces for purposes counterproductive to its espoused values, which are intrinsically very much in line with democratic ideals. What clouds the Indonesian scene, this absurd situation offers wide opportunity, and even in many instances, to the government in taking the lead in the opposite direction. The way the state interferes, intervenes in everything related to religious life has become so obvious, whereby its effects are very much felt in the lives of the people living in the multireligious, multiethnic, and multicultural Indonesia. The burning question then arises as to what is really taking place with regard to the relation of Religion and the State in Indonesia. How far is the state tolerated to meddle in religious affairs and what are the tasks and duties of the state with respect to religious life in Indonesia? Where does religion's independence guaranteed in the Indonesian state which is based on the Pancasila principle? This edition tries to embark on an attempt to take a closer look at the relation between religion and the state in Indonesia []
Selamat membaca!
N e w s l e t t e r I n t e r f i d e i N o . 1 7 / V I I I / S e p t . - N o p . 2003
Edisi Desember 2003
1
interfidei newsletter
Fokus
NEGARA dan AGAMA: Penyangga Perdamaian
Religion and the State: Pillars of Peace
Alfred Benedictus
Alfred Benedictus
Menjelang berakhirnya abad ke-20 sampai dengan tahun-tahun di awal abad ke-21, dunia dipenuhi dengan berbagai kekacauan. Kekerasan demi kekerasan silih berganti mewarnai kehidupan seluruh umat manusia. Seiring dengan itu, sudah sangat banyak korban nyawa yang meninggal secara tragis dan memilukan. Sementara seruan demi seruan, baik mengutuk, menyetujui, menentang dan mendukung terus bergema, seiring dengan kehidupan itu sendiri. Tapi kekerasan tetap berlangsung, diskriminasi kian subur 'menghijaukan' dinamika hidup ini. Pertanyaanpertanyaan serta perdebatan yang bersifat filosofis, teologis, sosiologis, psikologis, dst., terus bermunculan memenuhi ruang-ruang diskusi, seminar, mimbar bebas, literatur. Namun satu pertanyaan mendasar yang menjadi perhatian adalah, di manakah peran agama dan negara terhadap berbagai permasalahan di atas? Apa dan bagaimana keduanya berperan? Sejak awal, manusia hidup dan berkembang dalam suatu sistem kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan sekarang ini dan yang memberi prospek bagi kehidupan di masa yang akan datang. Dalam pengertian demikian, kita sepakat mengatakan bahwa kebudayaan bersifat dinamis, yang terus hidup dalam sejarah umat manusia. Dalam diskursus kebudayaan yang menyejarah ini, saya ingin menempatkan relasi negara dan agama yang lahir dan berkembang dalam kebudayaan yang tertentu itu sebagai faktor yang menentukan dalam membangun perdamaian. Agama merupakan perwujudan hubungan dengan Tuhan baik secara perorangan maupun bersama secara sosial. Agama memiliki dimensi sosial, termasuk dalam relasinya dengan negara dan yang menjiwai para pengikutnya dengan semangat spiritual untuk memberi makna dalam hidupnya. Agama bahkan tetap melampaui berbagai lembaga sosial, struktur politis dan wewenang politis penguasa. Secara relasional, negara dapat memusuhi agama karena alasan ideologis (bandingkan dengan dinamika relasi agama dan negara selama
In the years closing the 20th century and entering the 21st, we have witnessed a rapid rise in the number of conflicts around the world. Serial violence has marked the world scene. As a result, many people have fallen victim to the atrocities and many instances in a most tragic and heart-rending manner. There were noisy and diverse chorus of condemnations, supports, protests that went with it. Yet violence went on, as if unheeded. Discriminatory attitudes and policies thrived and subversively encouraged. Questions and debates taking the angle from the philosophical, theological, sociological, psychological and multidisciplinary approach, continue to be raised in discussions, seminars, open fora, publications. Yet one fundamental question which arose time and again was: where does religion and state roles lie in these conflicts? From early on in human history, communities thrived and evolved according to a specified cultural system which moulds its current culture as well defining its future. Taken in this respect, we can assume that culture is dynamic by nature, and continue to thrive along with the history of mankind. In this historical and cultural discourse, I would like to position religion and state's relations -- as a determining factor in building peace-- which has grown and evolved in a certain culture. Religion is the embodiment of man's relations with God, be they individual, collective and social of nature. Religion in this aspect has social dimensions, i.e. including its relation with the state as well as its spirit that inspires its followers with religious fervor and in providing meaning to their lives. It is not an exaggeration to say that religion even stands above social institutions, political structures as well as the authority of political rulers. Seen in its relation, state may at times take either a hostile tack vis-à-vis religion on the grounds of its ideological tenets (compare the ups-and-downs of religion and state religions in
2
Edisi Desember 2003
Edisi Desember 2003 masa orde baru) atau bekerjasama dengan agama demi penegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Agama dan negara perlu dibedakan satu sama lain, tetapi tetap bekerjasama. Negara menjamin kehidupan dan kegiatan semua agama yang ada secara sama. Negara bersikap netral dan tak berpihak kepada salah satu agama. Negara memperlakukan semua warga negara tanpa membedakan agama, bahkan memberi keleluasan kepada semua agama untuk berkembang dan mengamalkan ajaran iman masing-masing. Negara memfokuskan diri pada kesejahteraan masyarakat, sedangkan agama berurusan dengan nilai-nilai kemanusiaan, etika, moral dan spiritual dan berorientasi pada keabadian. Agama, dalam peran profetisnya (tidak mengabaikan peran lainnya) wajib menyampaikan feed back kepada negara bila kebijakan negara melawan nilai kemanusiaan, etika, moral dan spiritual dan menghambat jalan manusia menuju keabadian. Sedangkan negara mengurus hal-hal dalam bentuk material yang merupakan prasarana dan sarana untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, etika, moral dan spiritual tersebut. Dalam relasi yang demikianlah, negara dan agama hadir bersama sebagai penentu dan penyangga perdamaian. Mengapa? Karena, baik negara maupun agama, bisa mewujudkan peran, visi dan misinya dalam konteks yang sama secara bersama-sama, saling mendukung untuk kemaslahatan manusia. Perdamaian di sini bukan hanya berarti tidak ada konflik atau tanpa diskriminasi, tetapi suatu pembebasan sebagai solusi atas berbagai tindakan yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan, etika, moral dan spiritual setiap orang (warga negara dan warga agama apapun nama dan bentuknya). Sebagai penyangga perdamaian, negara dan agama perlu mengembangkan suatu culture of peace. Sebab suatu culture of peace menjangkau penghormatan terhadap segala kehidupan, penolakan terhadap segala bentuk kekerasan, menghargai perbedaan, mendengar dan berbagi dengan sesama, dan berkomitmen pada solidaritas. Dengan demikian, fungsi negara maupun agama sebagai penyangga perdamaian bagi setiap orang untuk mencapai pembebasan bisa tercapai. Mari kita selalu berusaha untuk mengembangkan relasi yang positif antara
Focus the New Order era) or also a cooperative stance with a view of upholding universal humanistic values. State's and religion's need to be separated from one another, but nevertheless still cooperating with one-another. The State guarantees the practice of religious lives for every followers in an fair manner, regardless of his/her religion. It opts for a neutral stance and does not take sides with either one of the existing religions. It also treats every citizen equally, regardless of his religion, even granting leeway to religious followers in cultivating and implementing their faiths. State, on the one hand focuses itself on matters for promoting the people's welfare, while religion concerns itself with humanitarian, ethical, moral and spiritual values as well as orientating itself on eternal matters. Religion, in its prophetic role (without disregarding its other roles) is obliged to provide feedback to the state if the latter's policies run against the grain of humanitarian, ethical, moral, spiritual values and detrimental to man's path toward eternity and realization. In its turn, the state takes care of the more physical matters such as infrastructures and facilities for developing the humanitarian, ethical, moral and spiritual values. In such a relation, state and religion exist
side-by-side as a determining and supporting factors for peace. This is self-explanatory, as state or religion, can mutually implement its role, vision and mission within the same framework, supporting one another for the well-being of mankind. In this context, peace does not mean only an absence of conflict or discriminatory policies, but also liberation as a solution to various acts which trample on humanitarian, ethical, moral and spiritual values of everyone (citizen and religious follower, whatever the case may be). As an upholder of peace, state and religion need to cultivate a culture of peace, which entails respect for all living creatures, rejection of every type of violence, respect for differences in opinion, sharing things together and to listen emphatically to others, as well as commitment to human solidarity. In this way, state's or religion's function will serve as pillars for peace for everyone in achieving his liberation. Let us keep striving in maintaining positive relation between the two living pillars of peace, without turning a blind eye to discriminatory practices by the state with respect
Edisi Desember 2003
3
interfidei newsletter
Opini
keduanya, dengan tidak menutup mata pada to religion and vice-versa, for the sake of progress segala relasi diskriminatif dari negara terhadap and well-being of all.[] agama atau sebaliknya, demi kemajuan dan kebaikan semua warga. []
Agama dan Negara
Religion and the State
Elga Sarapung
Elga Sarapung
Beberapa tahun lalu, Daniel Dhakidae*, dalam sebuah perbincangan di Interfidei sesudah peristiwa Situbondo, memberi usulan menarik tentang agama-agama di Indonesia. Menurutnya gambaran Indonesia yang ideal perlu dibagi dalam tiga wilayah: Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Di Barat, khusus untuk warga yang beragama Islam dan menjadi Republik Islam Indonesia, di Timur untuk mereka yang beragama Kristen (Protestan dan Katolik) dan menjadi Republik Kristen Indonesia, di Tengah tidak berdasarkan agama, karena itu menjadi Republik Indonesia. Di sini hidup semua warga manusia yang tidak melabelkan dirinya dengan sebuah agama apapun kecuali dalam lingkungan keluarga atau sebagai individu. Mungkin ada yang akan bertanya-tanya, lalu di mana agama Hindu, Buddha, Konghucu, agama suku/lokal? Mereka berada di wilayah Indonesia Tengah. Mengapa? Karena agama-agama tersebut dianggap sebagai yang memberi inspirasi perdamaian, ketenangan dibanding agama Kristen atau Islam yang penuh dengan gejolak kekerasan selama perjalanan sejarahnya. Di Indonesia Tengah tidak diperbolehkan ada kata agama dalam konstitusinya. Semua yang berurusan dengan agama diakomodir dalam apa yang disebut basic human rights. Departemen Agama tidak bisa ada dan tidak bisa diadakan; pelajaran agama di sekolah-sekolah, televisi, radio, surat kabar, dan lain sebagainya tidak diperbolehkan, bahkan tidak ada subsidi negara untuk agama. Pelajaran agama hanya diurus oleh masing-masing keluarga. Agama benar-benar menjadi urusan keluarga dan individu. Kalaupun ada yang menjadi urusan
A couple of years back in 1999, Daniel Dhakidae,* in a discussion taking place at Interfidei's office following the Situbondo riots in East Java, proposed an hypothetical and anecdotal concept relating to religious areas in Indonesia. Seen from his viewpoint, the ideal geographical picture of Indonesia wasto be divided into three areas. West, Central and East Indonesia. The western part being specifically reserved for people of Moslem faith and to be called Islamic Republic of Indonesia, while the eastern part are for those of Christian faith (Protestants and Catholics) and to be called Christian Republic of Indonesia. The central area is not based on religious tint and therefore becomes the Republic of Indonesia. In this central region, people who do not categorize themselves into any of the religions -except when it comes to matters within family circles or as individuals. One may then wonder, where would the Hindus, Buddhists, Confucianists, and tribal religions fit in? Certainly they belong in Central Indonesia. Why so? For these religions are considered as the ones providing inspirations for peace, quietude -- in contrasts to Christianity, and or Islam, which are marked and riddled with violent upheavals through their passages in time. In that central and idyllic central Indonesian state, no mention of religion is allowed in its constitution. Anyone and anything which has to do with religion is lumped into one issue grouped under basic human rights. There is no Religious Department and will also never be; teaching of religions at schools, television, newspapers, etc. are not allowed, even to the extent that no state subsidy is given to religious institutions. Religious education is taken care of by the family. In this way, religion becomes purely the realm of the family and the individual. Should there be anything which becomes
* Salah seorang pengurus Yayasan/ Pendiri Interfidei
4
Edisi Desember 2003
* One of the Board member of Interfidei
Edisi Desember 2003
publik, maka yang dimaksudkan dengan agama haruslah berdasarkan dan terarah pada basic human rights. Dengan pembagian semacam ini, dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi di masingmasing wilayah. Daniel memastikan bahwa wilayah Indonesia Tengah akan menjadi negara yang paling damai, aman, makmur dan sentosa. Mengapa? Pertama, agama-agama berkembang karena tidak diatur, baik oleh negara maupun oleh institusi agama. Kedua, warga masyarakat yang hidup dalam wilayah itu akan menggunakan seluruh keunggulan dan potensi agamanya dalam sebuah human resource development yang produktif dan efisien. Semangat adventurism dan bravery dari Islam akan menumbuhkan kegairahan mengembangkan usaha dagang yang mandiri dan kontekstual; ketertiban dan disiplin Katolik akan dipadu dengan inventiveness and creativity Protestan yang diramu dengan realisme dan keheningan Hindu, Buddha dan Konghucu untuk menghasilkan suatu motivasi dan kegairahan bekerja luar biasa dan produktif. Sementara di wilayah Republik Indonesia Timur dan Indonesia Barat akan ada banyak persoalan dan konflik antar kelompok masyarakat.. Mengapa? Karena di sana agama diatur oleh negara dan institusi agama, ada Departemen Agama. Agama-agama diajarkan di sekolahsekolah, dan lain sebagainya.1 Dengan gambaran yang dipaparkan di atas, muncul tiga pertanyaan berikut, pertama, apakah jaminan rasa aman, rasa damai masyarakat sebuah negara dapat terwujud bila kebebasan beragama tercapai? Kedua, mengapa negara mau mencampuri urusan agama? Ketiga, kebebasan beragama seperti apa yang relevan dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia? Agama -Negara
Opinion the affairs of the public, then what is understood by religion must be based and oriented to basic human rights. With such a division, one can only imagine what will take place in the respective region. Dhakidae is of firm opinion that Central Indonesia will become the most peaceful, secure, prosperous state. Why would that be so? Firstly, due to the fact that religions will thrive in the absence of regulation, either by the state or religious institutions. Secondly, citizens who live in this region will utilize all its “competitive” advantages as well as its latent potentials for a productive and efficient human resource development. Islam's adventurous spirit and bravery will engender enthusiasm in cultivating an independent and people-friendly commercial ventures; the orderliness and discipline of Catholicism will be matched by the inventiveness and creativity of Protestantism. And mix that with a dose of realism and quietude of Hinduism, Buddhism and Confucianism the result will be in the rise of tremendous motivation and productive work ethics among its citizens. In the meantime, the eastern and western republics will face various problems and intergroup conflicts. And why would that be so? For in those regions, religions become the realm of the state and religious institutions, and there are also government religious departments. Religions too are taught in schools etc.1 With the above illustrations, the following three questions crop up, firstly, does the guarantee for the people's security, peace, will come into being when religious freedom is achieved? Secondly, why would state meddle in religious affairs? Thirdly, what kind of religious freedom which is relevant to the context of the pluralistic Indonesian society.
Religion-State
Secara ekstrim, ada dua bentuk negara yang berhubungan dengan relasi antara agama-negara, yaitu negara sekularistik dan negara agama. Kedua bentuk negara ini saling bertentangan. Negara agama adalah negara yang diatur dan diselenggarakan menurut hukum agama. Tetapi
At both ends of the religion-state relations' continuum, stand two types of states: secularistic and religious one. Each of the state types are the extreme opposite of the other. Religious state is a state regulated and organized according to
1. Lihat makalah yang disampaikan dalam seminar di STF Driyarkara, Jakarta, 2001
1. See at his paper, presented in a Seminar in STF - Driyarkara, Jakarta, 2001
Edisi Desember 2003
5
Opini karena semua agama mempunyai pandangan berlainan tentang bagaimana menjalankan negara, maka negara agama biasanya dikuasai oleh sekelompok orang dari agama tertentu. Sedangkan negara sekularistik adalah negara yang “tidak menganggap” (penting) adanya agamaagama dalam masyarakat. Hal ini kelihatan dalam kebijakan negara dalam pembangunan (termasuk agama). Sementara Indonesia yang kita ketahui selama ini tidak mengembangkan dua model tersebut. Indonesia adalah sebuah negara Pancasila, yang berketuhanan Yang Mahaesa. Dari kompleksitas persoalan agama dan negara, secara teoritis dapat dimengerti mengapa Barat sama sekali tidak memperhitungkan peranan agama dalam teori-teori pembangunan dan modernisasi, kecuali sebagai pelengkap. Agama dianggap sebagai urusan rohaniah belaka. Sementara di Indonesia yang mengakui “negara yang berketuhanan yang Mahaesa”, agama dijadikan sebagai platform bagi terbentuknya nilai-nilai dalam masyarakat, karena itu menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, sehingga secara normatif mau tidak mau setiap pembicaraan yang terjadi di masyarakat harus memperhitungkan nilai-nilai agamis. Platform, dalam arti agama sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan sebuah masyarakat yang adil, sejahtera dan beradab, yang tidak hanya memberi legitimasi kepada negara, tetapi justru lebih penting memberi pandangan-pandangan kritis terhadap proses-proses perubahan masyarakat. Memang tugas ini bukan tugas biasa yang bisa dilakukan dengan mudah, sebab membutuhkan suatu pemahaman permasalahan yang mendalam. Tetapi justru disinilah fungsi kritis agama bisa diperankan. Fungsi yang harus dilakukan dengan menjauhi sikap-sikap totaliter (karena agama juga memiliki potensi menjadi totaliterian). Selain itu, agama perlu melakukan kritik terhadap kecenderungan masyarakat, dan dalam waktu yang sama agama juga perlu melakukan kritik terhadap dirinya. Dalam menjalankan fungsi kritisnya, secara nyata agama harus memiliki pengetahuan empiris tentang hal-hal di luar dirinya yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Itu berarti agama tidak bisa bersifat a politis, artinya hanya terbatas dalam bidang-bidang rohani dan hanya peduli dengan dirinya sendiri. Agama harus menilai apakah
6
Edisi Desember 2003
interfidei newsletter
religious laws. As each religion has a different view regarding the running of government, religious states tend to be dominated by a group of people from one religion. Whereas in a secularistic model, the state “ignores” (does not consider it worthy to pay attention to) the presence of religions in the society. This is apparent in the state's policy regarding national development (which excludes religion). In Indonesia's case, the state does not subscribe to either of the two models, for Indonesia is considered a Pancasila state, acknowledging the Oneness and Unity of God. Seen from the complexity of religion and state's issues, it can be surmised as to why western states do not take into account except as an appendage -- religion's role in developmental and modernization's theories. Religion is considered to be solely the realm of spirituality. In Indonesia, on the contrary, where the state claims “to be espousing the belief of God's Unity,” religion has been utilized as platforms or foundations upon which to build societal values, and therefore it becomes an important part in the people's daily lives. As a result, and speaking on a normative basis, all interactions within the society have to take religious values into account. What is understood by platform, is religion as the source of inspiration for the creation of a just, welfare and civilized society, which does not only provide legitimation to the state. But what is more important, is furnishing the state with critical views on the processes of societal change. This is a tall order, as it requires a profound understanding of the issues involved. Yet, on the other hand, here lies an opportunity for the critical function of religion to take itself into task. One of its role which need to be exercised is in maintaining that it is moving away from totalitarian tendencies or stance (for religious institutions also have their latent totalitarian tendencies). In addition, religion need to be critical to unenlightened tendencies of the people, and at the same also exercise self appraisals on itself. In carrying it its role as the social arbiter, religion has to equip itself with empirical knowledge on matters outside its realm yet which are related to social phenomena. It goes without saying that people who claim themselves to be religious practitioners or leaders can in no way adopt an apolitical attitude, -- only limitting themselves to
Edisi Desember 2003
memang kecenderungan masyarakat dan kebijakan negara telah mengarah pada kemanusiaan. Dalam beragama, perlu ada keberanian dan atas dasar kejujuran panggilan iman memberikan komitmen yang kritis tapi nyata bahkan untuk hal-hal yang mempunyai risiko tinggi -termasuk dalam mempersoalkan pranata dan tafsirantafsiran keagamaan yang tidak sesuai dengan HAM, karena pranata agama dibentuk untuk iman kepada Tuhan, bukan untuk iman terhadap agama itu sendiri.
Opinion spiritual matters and their own personal concern. Religious practitioners and leaders have to make an appraisal whether trends taking place in the society as well as state's policies are already on or heading toward the humanitarian track. Being religious, also entails in itself the need for courage based on truthfulness to the call of faith as well as showing a critical and solid social commitment even on matters involving high risk including critical questioning of religious values and interpretations which do not conform with human rights. Moreover, religious values are made to uphold the faith in God and not for the faith in the religion per se.
Kebebasan Beragama Religious Freedom Pada dasarnya kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Kebebasan beragama merupakan hak yang dimiliki setiap orang, bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak beragama adalah hak yang tidak dapat dihilangkan, atau dinyatakan tidak berlaku oleh masyarakat atau negara. Dengan begitu, maka penghormatan terhadap keabsahan beragama sebagai Hak asasi Manusia merupakan operasionalisasi dari penghormatan terhadap martabat manusia, yang menuntut setiap manusia diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Dengan begitu, negara sama sekali tidak dapat mengatur atau menentukan bagaimana seseorang harus beragama dan menjalani kehidupan beragamanya sehari-hari. Apalagi mengatur bahwa seseorang harus menganut sesuatu agama tertentu. Negara tidak berhak untuk menentukan bahwa ini agama dan itu bukan agama. Yang diatur oleh negara adalah, bagaimana supaya setiap warganya dapat menjalani kehidupan beragamanya secara bebas, baik dan memberi inspirasi yang konkrit bagi pengembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dalam arti sesungguhnya. Dalam konteks Indonesia yaitu masyarakat yang demokratis, berkeadilan dan menghargai nilai-nilai pluralitas. Persoalannya, apakah Indonesia sebagai sebuah negara yang berketuhanan yang mahaesa sungguh melakukan praktek kebebasan beragama semacam ini? Atau, justru negara sangat mengatur agama bahkan dalam banyak hal mengintervensi
Religious freedom is part and parcel of human rights. It is everyone's inalienable right, which is not provided to him by the society or the state, but based rather on his dignity as a human being. Likewise, religious right can not be revoked by the society or the state. Seen in this way, respect for the validity of religious freedom as a basic human right forms an implementation of the respect for human dignity meaning every human has to be treated as a goal or an end in itself. Hence, the state has no right whatsoever to regulate or decide how one has to be religious or conduct his daily religious life -- let alone determining a specified religion to be embraced. The state does not have the right to decide which faith to be recognized as religion and which ones are not. What falls under the state duty, is how each citizen can conduct his religious life unhampered and freely, so that he can provide tangible inspiration for the development of the society and nation as a whole and in the real sense of the word. Or in the Indonesian context, for the creation of a democratic, just society which pays due respect to pluralistic values. What is at issue, namely whether Indonesia as a state claiming to espouse the belief in a Unitarian God really upholds the practice of religious freedom as such? Or is it rather on the contrary, where the state regulates religious institutions, in fact even in many cases intervening in religious matters up to the very detailed and technical degree? There are many cases to cite
Edisi Desember 2003
7
Kronik
interfidei newsletter
urusan agama sampai kepada hal detail dan teknis sekalipun? Ada banyak contoh yang dapat dipakai sebagai indikasi konkrit tentang hal ini, misalnya dikeluarkannya kebijakan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU); Sisdiknas (Sistim Pendidikan Nasional); KUB (Kerukunan Umat Beragama); Kesehatan, dan lain sebagainya, yang semuanya memuat hal-hal yang berhubungan dengan agama. Hal-hal seperti inilah yang penting untuk dikritisi terhadap negara.[]
which can be used as solid indicators on this issue, i.e. the passage of policies in the form of Bill (RUU) on Sisdiknas (National Education System); KUB (Concord of Religious Devotees); Health etc., which contain matters relating to religious practices. These are issues where the state need to be provided with feedbacks and be reminded by religious practitioners, intellectuals and leaders alike. [ ]
Bedah Buku “Kecendekiawanan Dalam Negara Orde Baru”
Readers' Forum: Intellectuality in the New Order State
Masalah kecendekiawanan menjadi tema The topic of intellectuality became a most diskursus yang sangat menarik di dalam buku interesting theme in the discussion of Daniel “Kecendekiawanan di Dalam Negara Orde Baru” yang ditulis oleh Daniel Dhakidae dari hasil Dhakidae' book titled Intellectuality in the New Order State. The penelitian situs-situs sejarah kecendekiawanan selama Orde Baru. book was the fruit of Karya penelitian ilmiah yang his research labor on monumental ini, secara kritis dan intellectual gamblang menjelaskan problematika historical sites posisi dan peran kaum cendekiawan di during the New Indonesia selama Orde Baru. Pada satu Order era. The sisi kecendekiawanan harus monumental indenpenden dan konsisten dengan research piece, teori/konsep kebenaran dan kebajikan critically and lucidly agar betul-betul berfungsi sebagai Ichlasul Amal dan kawan-kawan dalam Acara Bedah Buku a n a l y s e d the social of sciences, dillemna faced by intellectuals in that era. social of change dan On the one hand, intellectuality is social of control. characterized by independence and Namun pada sisi lain consistency with theory/truth concept as selama kekuasaan well as virtue in order to enable it to O r d e B a r u , function as social of sciences, social of cendekiawan justru change and social of control. But on the lebih dominan other hand during that era, intellectuals dibentuk sebagai were in fact tend to be moulded into “odd“ilmuwan tukang” job scientist” who bowed to the wishes of yang tunduk kepada Salah satu peserta bedah buku sedang bertanya the reigning political and power interests of kepentingan politik dan kekuasaan Orde Baru. Yang the era. Interestingly, the most attention grabbing sangat menarik dan penting juga dalam buku ini, item in the book, is the topic on relation between yaitu tema tentang hubungan antara Agama dan Negara. Bagaimana negara “memperlakukan” Religion and the State how the state “mollify” agama-agama sebagai salah satu “kendaraan” religions to become one of its “vehicles” in achieving its political ends. untuk mencapai tujuan politisnya, mengapa? Responding to the publication of the book, Merespons terbitnya buku itu, Institut Dian/Interfidei Institute joined hands with the
8
Edisi Desember 2003
Edisi Desember 2003
Dian/Interfidei bekerja sama dengan Fakultas Sospol UGM dan Gramedia menggelar Bedah Buku pada tanggal 13 Oktober 2003 di Hotel Jayakarta, Yogyakarta. Bedah buku ini selain menghadirkan sang penulis Daniel Dhakidae sebagai pembicara Utama, juga mengundang Prof. Dr. Ichlasul Amal (guru besar UGM), Dr. HM. Qasim Mathar, MA (Dosen Pascasarjana IAIN Alauddin, Makassar), Dr. Pratikno (Dosen Fisipol UGM) dan AAN Ary Dwipayana (dosen Fisipol UGM) sebagai moderator.[]
Buka Puasa Bersama Dian/Interfidei dengan Warga Dusun Banteng
Cronicle
Faculty of Political Science of Gajah Mada University (UGM), Yogyakarta and Gramedia publisher in organizing a Readers' Forum on th October 13 last year at Jayakarta Hotel. In addition to inviting the author to deliver his keynote speech, the forum were also attended by Prof. Dr. Ichlasul Amal of Gajah Mada University, Dr. HM Qasim Mathar, MA (Post graduate lecturer at IAIN Alaudin, Makassar), Dr. Pratikno (an UGM Pol-Sci. lecturer) and AAN Ary Dwipayana (another Pol-Sci lecturer) who served the role of moderators in the discussion. []
Dian/Interfidei's Fasting-break Get-Together with Kampong Banteng's Residents
Sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kehadiran Institut Dian/ Interfidei di desa Banteng yang sudah 12 tahun (sejak tahun As a token of gratitude to its 12-year (since 1991), maka kesempatan merayakan bulan 1 9 9 1 ) Ramadhan tahun ini, Institut Dian/ Interfidei presence in mengundang masyarakat Dusun Banteng untuk K a m p o n g berbuka puasa bersama B a n t e n g , pada 1 November 2003. Dian/Interfide Dalam kesempatan i I n s t i t u t e berbuka puasa ini, Prof. organized a D r . H . M a c h a s i n fasting-break menjelaskan tentang gathering on esensi ibadah puasa, Nov. 1st 2003 Ibu-ibu Dusun Banteng yaitu menahan hawa in the spirit of n a f s u d a n i k u t the Ramadhan season. On that fasting-break occasion, Prof. Dr.H. merasakan penderitaan Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera Machasin delivered a speech on the essence of orang lain. Yang lebih penting menurut beliau adalah bagaimana fasting, i.e. the controlling of one's desires and the mengimplementasikan nya dalam kehidupan cultivation of empathy for the sufferring of others. Dr. Machasin further bermasyarakat. stressed that what is more Hadir dalam acara important is how to itu, Bhikkhu Sri implement the spirit of Pannavaro Mahathera, fasting in our social life. salah seorang pemimpin Also present at the umat Buddha Theravada gathering was Venerable yang juga sesepuh Institut Sri Pannavaro Mahathera, Dian/Interfidei. Dalam one of the leaders of the refleksinya terhadap Buddha Theravada ibadah puasa beliau followers, who is also menekankan bahwa eminent member of sesungguhnya inti puasa (Kiri ke kanan): Machasin, Totok Baroto, Elga Sarapung Edisi Desember 2003
9
Kronik
adalah bagaimana melepaskan diri atau jiwa dari ikatan-ikatan material atau duniawi yang memenjarakan. “Ada kesamaan hakekat puasa dalam Islam dan Buddha. Ucapan selamat saya kepada umat Islam yang sedang berpuasa bukanlah slogan politis atau basa-basi, melainkan karena dorongan spiritualitas yang saya imani”, lanjut Bhikkhu. Sementara itu, Ibu Elga Sarapung, Direktur Institut Dian/Interfidei mengucapkan terima kasih kepada warga dusun Banteng yang telah menerima dengan baik kehadiran Lembaga ini di dusun Banteng dan selalu membantu serta terbuka untuk bekerjasama. Sambil berharap hubungan ini dapat lebih terjalin secara produktif, khususnya dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan, perdamaian dan masalah-masalah sosial lain yang ada di masyarakat. Untuk itu kepada warga masyarakat dusun Banteng diajak untuk secara spontan dan fleksibel menjadikan Institut Dian/Interfidei sebagai mitra kerjasama bagi kepentingan masyarakat dan rumah Interfidei dapat dianggap sebagai “rumah” bersama. (AW)
interfidei newsletter
Dian/Interfidei Institute. In his contemplation on fasting, he emphasised on the intrinsic meaning of fasting which has to do with efforts in trying to liberate oneself or one's soul from the imprisoning material or worldly bondage. “There is similar essence of fasting in Islam and Buddhism. My greetings to the fasting Moslem friends should not be taken as political slogans or mere pleasantries, but coming out of deep spiritual urge which I have firm faith in,” the Bikkhu added. Speaking on behalf of Dian/Interfidei Institute, Rev. Elga Sarapung conveyed her gratitude to all Kampong Banteng residents for their hospitality toward the institute's members and guests as well as for their ever readiness in lending a helping hand in joint efforts or activities. Rev. Sarapung also raised the hopes for a more productive and closer relations, especially in dealing with humanitarian issues, peace and other pending social issues. To achieve this, Kampong Banteng residents are encouraged to consider the institute as partner in activities which serve the kampong's interests as well as making Interfidei their communal “house.” (AW).
Diskusi Bulanan tentang Pendidikan Monthly Discussion on Education Interfidei mulai awal tahun ini menyelenggarakan penelitian tentang pendidikan As of the beginning of agama di sekolah-sekolah. 2003, Interfidei has conducted Tujuan penelitian ini secara research on religious garis besar adalah 1) untuk education in schools. An mengetahui apakah overview of the aims of this pendidikan agama yang research shows that they diselenggarakan di sekolahinclude 1) to find out if sekolah memberi ruang religious education taught at pemahaman pada para siswa schools provide tentang kenyataan understanding to students on keberagaman dalam hal the diverse reality regarding keyakinan di Indonesia; 2) faiths in Indonesia; 2) how bagaimana pendidikan St. Sunardi (ujung kiri) dan sebagian peserta diskusi religious education at schools agama di sekolah mengembangkan wacana yang may help the pupils in cultivating discourses bisa mempengaruhi sikap toleransi dinamis dalam which may impact on the tolerant and flexible sebuah masyarakat majemuk; 3) mengetahui attitude needed in a pluralistic society; 3) to find berbagai model pendidikan agama dalam sejarah pendidikan di Indonesia; 4) mengetahui bagaimana out about various models of religious education in keterkaitan negara, pasar, politik kekuasaan dan Indoneia's educational history. 4) to find out about wacana keagamaan dalam dunia pendidikan the inter-relatedness of state, market, power sekarang; 5) mengungkap pengalaman pribadi politics and religious discourse in the current educational scene; 5) to reveal personal
10
Edisi Desember 2003
Edisi Desember 2003
murid maupun penyelenggara pendidikan agama di sekolah; 6) menemukan metode pendidikan agama di sekolah alternatif yang bisa ditawarkan oleh Interfidei. Dalam salah satu diskusi dari rangkaian kegiatan penelitian ini, yang berlangsung pada tanggal 13 September 2003 di kantor Interfidei, St. Sunardi, direktur program pasca sarjana Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma menggarisbawahi lima tujuan pendidikan yang perlu diperhatikan, yaitu 1) menciptakan manusia yang mempunyai kemauan dan kesanggupan untuk terus-menerus belajar sehingga mempunyai daya adaptasi besar menghadapi berbagai perubahan, 2) memperhatikan aspek kepribadian anak didik,3) menumbuhkan kecintaan pada ilmu dan kritis terhadap cara kerja keilmuan, 4) menegaskan p e n t i n g n y a penyadaran tentang tanggungjawab sosial dalam masyarakat, 5) mengarahkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang demokratis, toleran dan menjadi warga dunia yang solider. Diskusi putaran kedua tanggal 31 Oktober 2003 di Interfidei bersama Rm. G. Budi Subanar, SJ., Dosen Fakultas Teologi Weda Bhakti Universitas Sanata Dharma. Dalam diskusi ini ditunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu strategi untuk menghadapi persoalan kemanusiaan pada suatu jaman, studi kasus sekolah Van Lith. Diketengahkan tentang sosok Pastor Van Lith yang menangkap persoalan mendasar dalam masyarakat Jawa, yang tidak sesederhana yang dirumuskan dalam misi Gereja sebagai masyarakat yang belum mendapat terang iman. Van Lith mendirikan sekolah sebagai upaya agar masyarakat bisa keluar dari belenggu diskriminasi, akses yang diciptakan oleh
Cronicle
experiences of the pupils as well as organizers of religious education in schools; 6) to find a method of religious education in alterntive schools which can be offered and promoted by Interfidei. In one of the discussions in the series of these research activities, which took place on Sept. 13th 2003 at Interfidei's office, St. Sunardi, program director for post graduate studies in Religion and Culture Science at Sanata Dharma University, underlined the five objectives of education which need to be understood, namely 1) to create individuals who will have the motivation and ability to learn continually, resulting in the individual's great adaptibility in facing various changes; 2) paying attention to the character aspect of the pupil; 3) instilling the love for science as well as being critical to scientific methods; 4) emphasising on the importance of the awareness of social responsibility; 5) orientating pupils to b e c o m e a democratic, tolerant citizen as well as having solidarity with the plight of other less fortunate citizens of the world. The second Budi Subanar, Sj dan peserta diskusi round of discussions was held on Oct. 31st 2003 at Interfidei with Father G. Budi Subanar SJ, lecturer at Sanata Dharma University's Weda Bhakti Theological Faculty.opening the forum. . In the discussion, the school was seen as a strategy in dealing with humanitarian issues of the time, with Van Lith school as case study. Highlighted was the leadership of Father Van Lith who perceived the fundamental issues in Javanese society, which was not as simple and black and white portrayed as people who had not received enlightenment -- as described in the Church's mission. Van Lith founded the school as an attempt to free the people from the chain of discrimination, access
Edisi Desember 2003
11
interfidei newsletter
Kronik
pemerintahan Hindia Belanda, sehingga bisa deprivation which was imposed by Dutch Indies berdiri setara sebagai sesama manusia administration, enabling them to acquire equal sebagaimana Tuhan menyapa semua manusia standing among fellow humans -- in the same way secara setara. (LT). God greets every human with equal compassion. (LT).
BEDAH BUKU
“Fiqih Lintas Agama”
Readers' Forum: Inter-religious Fiqih
P a d a O n N o v. th tanggal 15 15 2003, in November collaboration w i t h Wa k a f 2003, Institut Foundation Dian/Interfidei Paramadina and bekerjasama The Asia d e n g a n Foundation, Yayasan Wakaf Dian/Interfidei PARAMADIN Institute A dan The Asia o rganized a Foundation Readers' Forum menyelenggara on the earlier kan Bedah m entioned's Buku terbitan (kiri ke kanan): Kautsar AN, Masdar F. Mas’udi, Ribut Karyono, Ahmad Gaus p u blication Paramadina berjudul “Fiqih Lintas Agama: Membangun titled Interreligious Fiqih: Developing a Masyarakat Inklusif Pluralis” yang dtulis oleh Pluralistic and Inclusivist Society. The book was anthology compiling articles written by a team of sebuah tim beranggotakan Nurcholish Madjid, leading Moslem intellectuals such as Nurcholish Kautsar Azhari Noer, dkk. Acara yang bertempat Madjid, Kautsar Azhari Noer, et al. The forum di kantor Institut Dian Interfidei dan dimulai which took place in the afternoon at pukul 15.45 tersebut dihadiri oleh kurang lebih Dian/Interfidei's office in Yogyakarta and was 125 peserta dari berbagai kalangan dan lembaga. also attended by some 130 participants from Diskusi ini menghadirkan 3 orang various circles and institutions. pembicara yakni Kautsar Azhari Noer, Masdar F. The discussion was led by three speakers i.e. Mas'udi (keduanya dari tim penulis) dan Pdt. Kautsar Azhari Noer, Masdar F. Mas'udi (both being Ribut Karyono (Dosen Fakultas Teologi member of writers' team) and Rev. Ribut Karyono Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta). (lecturer at Duta Wacana Christian University's Hal pokok yang didiskusikan adalah mengenai Theological Faculty). The main topic of the perlunya disusun hukum Islam (fiqh) baru yang discussion was on the need for the drafting of a new mengatur relasi antarumat beragama seperti Islamic law (fiqh) which will define interreligious perkawinan antaragama, mengucapakan selamat relations among people such as in the case of hari raya kepada pemeluk agama lain, interreligious marriages, how to greet others from menghadiri perayaan hari-hari besar agama- different faiths on the occasion of their religious days, how to attend their holiday celebrations, etc., on the agama, dll, karena disinyalir bahwa fiqh sampai grounds of reports that the fiqhs to this day are still saat ini masih mengandung beberapa nilai yang riddled with values which are discriminating against diskriminatif terhadap non-muslim. Fiqh baru non-Moslems. The new fiqhs become more and more tersebut semakin mendesak dibutuhkan dalam urgently needed, seen in the light of a pluralistic konteks masyarakat yang plural, seperti di society, such as Indonesia. In achieving this, a new
12
Edisi Desember 2003
Edisi Desember 2003
STUDI AGAMA-AGAMA / STUDI AGAMA DAN MASYARAKAT Institut DIAN / INTERFIDEI YOGYAKARTA
Programme
Dian Institute/Interfidei Programme Studies on Religions/ Religion and Society
Latar Belakang
Background
Studi Agama-Agama serta Studi Agama dan Masyarakat adalah kegiatan yang berada di bawah devisi pendidikan. Kedua kegiatan ini memiliki urgensi tersendiri yang saling terkait. Kegiatan Studi Agama-Agama bertujuan untuk melakukan transformasi pengetahuan dan kesadaran agama yang plural dan egaliter, melalui metode komparatif dan reflektif agama-agama. Sedangkan Studi Agama dan Masyarakat dimaksudkan untuk melakukan transformasi pengetahuan dan kesadaran agama yang plural, egaliter dan demokratis, melalui metode studi terhadap fenomena kehidupan sosial keagamaan dalam konteks bermasyarakat dan lebih bersifat tematik. Kedua program ini sudah dilakukan sejak tahun 1997, yaitu 2 kali setahun, dengan lokasi di Yogyakarta. Mulai bulan Oktober 2003 kegiatan Studi Agama dan Masyarakat sudah dilakukan juga di luar Yogyakarta, yaitu di Banjarmasin, diharapkan dapat berlanjut di daerah-daerah lain. Peserta kedua program ini terbuka bagi semua orang yang berlatarbelakang lintas agamaagama (termasuk agama lokal/suku), etnis, golongan dan pendidikan yang berbeda-beda. Model pendidikan ini ada 2, yaitu live in dan studi kelas. Peserta dari latar belakang yang berbeda itu diharapkan dapat berproses, belajar bersama dengan sebuah pengantar yang disampaikan oleh 2 orang nara sumber dalam bentuk team teaching
Studies on Religions and on Religions and Society are organized by the education division of Dian Institute/Interfidei. These two activities are needed and are interdependent. The Study on Religions has the objective of changing the paradigm of religious knowledge/awareness into one which is pluralistic, egalitarian and democratic by relying on comparative and reflective approaches. On the other hand the Study on Religion and Society has a similar aim, yet takes the approach from the studies on the phenomenon of religious and social life within the context of contemporaneous society situation and therefore is theme-based. These two programmes have been conducted since 1997, twice a year, and taking place in Yogyakarta. As of October 2003, the Religion and Society Programme Studies have also been conducted other than in Yogyakarta, i.e. Banjarmasin. Other cities are expected to follow suit. These programmes are open to everyone regardless of religion (local as well as tribal), ethnicity, group or education. The way in which these programmes are carried out are through live-in and class study. Participants from differring background are expected to be able to interact, study together after given an introductory course by two source persons in a team-teaching pattern.
Tentang Program mendatang, “Agama dan On the Coming Programme, 'Religion and the Politik Diskriminasi” Politics of Discrimination’ Kehadiran agama-agama di dunia mempunyai keterkaitan erat dengan berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, keamanan dan sebagainya. Agama menempati posisi utama dan fundamental dalam kehidupan manusia, khususnya
The birth of the world's religions are closely interrelated with various aspect of the society i.e. its social, political, economical, cultural, security aspects etc. Religion plays a dominant and fundamental role in human society, esp. the Indonesian society known for its strong religious Edisi Desember 2003
13
interfidei newsletter
Program masyarakat Indonesia yang dikenal religius. Dalam posisi ini agama semestinya dapat ditransformasikan peran profetisnya di dalam menciptakan tatanan kehidupan yang adil, egaliter, damai, dan sejahtera. Harapan ideal terhadap agama ini seringkali tidak terwujud di dalam kehidupan masyarakat. Realitas sejarah membuktikan adanya ambivalensi fungsi agama-agama dalam menyikapi berbagai fenomena yang ada di masyarakat. Di satu sisi, agama-agama cenderung untuk “memisahkan” dan “melepaskan” diri dari kenyataan di masyarakat, tetapi di sisi lain agama-agama juga seringkali “terjebak” di dalam kepentingan kekuasaan, bahkan terkadang agama “rela” dijadikan hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan, terutama yang berhubungan dengan kepentingan politik dan kekuasaan negara. Agama-agama yang memihak kepada kekuasaan, secara individu, kelompok (umat), dan institusi, secara otomatis tidak akan memihak kepada kepentingan rakyat kecil yang menjadi korban diskriminasi dan kesewenang-wenangan hegemoni negara. Problematika seperti ini menunujukan agama-agama kehilangan peran profetisnya bagi kemanusiaan universal. Maka muncul pertanyaan bahwa; apa artinya agama bagi kemanusiaan? Bagaimana hubungan antara agama, negara dan masyarakat? Di mana dan harus bagaimana agama-agama ketika menghadapai pelbagai problematika kehidupan yang muncul? Bagaimana agama-agama memainkan peranan di dalam menciptakan kehidupan yang demokratis?.
influence. Seen from this respect, religion should be able to convert its prophetic role into one which will be able to create a just, egalitarian, peaceful and prosperous order. The high and idealistic expectations of the people on religion/religious leaders are often in vain. History has shown that there has always been an ambivalence on the part of religious institutions/people in dealing with social issues. On the one hand, religious institutions/people tend to “distance” and “dissociate” itself from social realities. But on the other hand, religious institutions/people often find themselves held “hostage” by the ruling power, and in some cases are “willing” to be used as an instrument to legitimise the ruling power, esp. on matters related to the state's political and power interests. Religious institutions which take sides with the ruling power, either as individual persons, or in groups (umma), will without doubt ignore the interest/needs of the people who are subject/victim of discrimination or arbitrariness of the state's hegemonical power. These kinds of issues underline the fact that religious institutions have lost their prophetic roles as upholder and guardian of humanitarian values. A series of questions unavoidable then come to the fore: What does religion really mean for the ordinary human being? Where and how should religion position itself in dealing with the multifarious social issues? How should religious institutions take their part in creating a democratic life/society?
Bentuk Program
Programme's Execution
Program kali ini akan dibuka dengan sebuah The Study Programme will be started with a Studium Generale dan dilanjutkan dengan proses Studium Generale and will be followed-up with a three-day class courses di dalam kelas selama 3 (tiga) hari. Pelaksana
Organizer
Pelaksana program ini adalah Institut Dian/Interfidei bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gajah Mada, Jogjakarta dan Kelompok Kerja (POKJA) Anti-Diskriminasi, KOMNAS-HAM, Jakarta.
The study programme will be carried out by Dian Institute/Interfidei in collaboration with Religious and Cross-Cultural Post-Graduate Studies of Gajah Mada University, Yogyakarta and Antidiscrimination Working Group, National Commission on Human Rights (Komnas-HAM), Jakarta.
14
Edisi Desember 2003
Edisi Desember 2003
Refleksi
Indonesia. Untuk itu dibutuhkan penafsiran baru terhadap ayat-ayat yang mengatur relasi tersebut, yang lebih mengedepankan prinsip Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. (WSA)
interpretation is needed on the Qoranic verses which regulate such relations, meaning promoting the Islamic promise of being the rahmatan lil 'alamin or the blessing to the universe.. (WSA)
Agama dan Negara
Religion and the State
Dalam beberapa tahun terakhir ini, tema tentang “agama dan negara” menjadi pembicaraan yang signifikan di masyarakat. Dua hal yang kadang-kadang saling tumpangtindih, saling mendominasi atau paralel, yang sangat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, khususnya di Indonesia. Berbagai pertanyaan muncul, mengapa “agama dan negara” bisa saling mempengaruhi? Bagaimana hubungan keduanya? Apa implikasi dari hubungan-hubungan tersebut dalam konteks kehidupan masyarakat plural? Pembicaraan serta pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena berbagai peristiwa yang terjadi di negara ini. Mulai dari berbagai konflik yang terjadi di mana-mana, munculnya partaipartai politik yang berbasis agama sampai pada kebijakan-kebijakan negara yang muncul akhirakhir ini, antara lain dalam bentuk Rancangan Undang-Undang sampai kepada soal dinamika masyarakat plural sehari-hari, misalnya soal pernikahan antaragama, hak-hak warga negara yang berbeda agama, dan lain sebagainya. Bila menoleh ke belakang, makna kehadiran serta hubungan antara “agama dan negara” tidak dapat dipisahkan dari soal kemanusiaan dan seluruh entitas yang ada di muka bumi ini. Justru keduanya ada dan hidup, karena dan untuk kemanusiaan dan kemaslahatan seluruh ciptaan Allah. Pertanyaannya adalah, dalam konteks
In the last couple of years, the theme of “religion and the state” have become major topic of discussions in Indonesia. The two key components of the theme often overlap one another, compete with each other to dominate the scene or running side by side with one another. Yet, both have a profound impact on people's lives, especially in Indonesia. As a result, various questions then crop up, how is it possible that “religion and the state” are reciprocally influencing one another? How are the relations between the two of them? What are the implications of those relations in the context of a pluralistic society such as Indonesia? The debates as well as the queries raised cropped up following a string of destabilizing developments unfolding lately throughout the country. The uneasiness ranged from worrying developments, such as various conflicts taking place throughout the country, the emergence of a relatively high number of religiously-tinted political parties, up to the recent state's policies, i.e. the controversial religiously-nuanced bills, right to the very technical aspects of daily life in a pluralistic society, -- e.g. in matters such as interreligious marriageg, the right of citizens with differing religions, and so forth. Looking back, the significance of the presence and relations of “religion and the state” can not be separated from humanitarian issues as well as from its whole entity spread all over the world. In fact both exist and live side-by-side, due to and for humanity as well as the well-being of all God's creations. The burning question then, seen
Keluarga Besar Institut DIAN/Interfidei Mengucapkan:
Selamat Tahun Baru/ Happy New Year 2004, Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan, Selamat Tahun Baru Imlek, Gong Xi Fat Chai 2555 Selamat Hari Raya Idul Adha Edisi Desember 2003
15
interfidei newsletter
Agenda Indonesia, apakah agama ataupun negara sungguh berfungsi demikian? Masih sangat disangsikan dan perlu penelusuran dan pengkajian kembali. (Es)
within the Indonesian context, has religion or the state really functioned in this manner? This is highly doubtful and in need of a further research and reevaluation. (Es)
Agenda
Agenda
1. Bulan Januari - Februari 2004 pelaksanaan 1. Jan. Feb. 2004, Seminar and Workshop taking place in Medan, Manado and Samarinda on the Seminar dan Lokakarya di Medan, Manado theme of “Election, Regional Autonomy and dan Samarinda, dengan tema : “Pemilu, the Dynamics of Religious Pluralism in Otonomi Daerah dan Dinamika Pluralisme Indonesia.” This program is organized by Agama di Indonesia”. Program ini Dian/Interfidei in collaboration with its diselenggarakan dalam kerjasama dengan regional network. For instance, in Samarinda, jaringan Interfidei di masing-masing daerah. Interfidei's partner is Lapang Berdaya Di Samarinda dengan Yayasan Lapang Foundation; in Manado it is PEKA; in Medan Berdaya; di Manado dengan PEKA; di Medan it is Pluralist Community, North Sumatra. dengan Komunitas Pluralis, Sumatera Utara. th st 2. Tanggal 29 Januari - 1 Februari 2004, 2. Jan. 29 Feb. 1 2004, implementation of Religion and Society Study program in Yogyakarta on the pelaksanaan program Studi Agama dan theme of “Religion and Discriminatory Politics.” Masyarakat di Jogjakarta, dengan tema : This program will be conducted in collaboration “Agama dan Politik Diskriminasi”. Program with the Center For Religious and Cross ini akan dilaksanakan dalam kerjasama dengan Cultural Studies (CRCS), Gajah Mada Program Pasca Sarjana Studi Agama dan University, Jogjakarta and the Working Group on Lintas Budaya, Universitas Gajah MadaAnti - Discrimination of the national Jogjakarta dan Pokja Anti Commission on Human Rights, Jakarta.(see on DiskriminasiKOMNAS-HAM-Jakarta.(lihat page 13-14) halaman 13-14)
3. Diskusi mingguan bidang Penelitian dengan 3. Weekly discussion on Research topic on the theme of Religious Education in Schools. tema : Pendidikan Agama di sekolah-sekolah 4. Diskusi dua mingguan tentang Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU-KUB) --> lihat lembar tambahan.
4. Bi-monthly discussions on the Bill for Religious Concord (RUU-KUB)
5. Terbitan 2 (dua) buku : a) Dialog, Kritik dan Identitas Agama b)Terjemahan buku “Mission at the Crossroad”
5. Publication of two books and one specialedition newsletter: a) Religious Dialogue, Criticism and Identity b)Translation of the book Mission at the
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Ketua/Chairman : Eka Darmaputra, Ph.D, Wakil Ketua/Vice Chairman : Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae Ph.D, Sekretaris/Secretary : Elga Sarapung, Bendahara/Treasure : Zulkifli Lubis, Pelaksana Harian/Executive : Elga Sarapung (Direktur); Abidin Wakano, Wayan Suweta (Diskusi/seminar) ; Noegroho Agoeng, Haryandi, Alfred B. Jogo Ena, Sarnuji (Penerbitan/Dokumentasi/Perpustakaan); Syafa’atun Elmirzanah, Listia (Penelitian); Wiwin St. Aminah, Elga Sarapung (Pendidikan/Pelatihan/Lokakarya); Eko Putro (Keuangan); Octavia Christiani, Sarnuji, Supriyanto, (Sekretaris Administrasi). Alamat/Address : Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Ph./Fax.: 0274-880149, E-mail :
[email protected]. No. Rek: Yayasan DIANInterfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No.228.000601034.001 Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda. For the development of this Newsletter, we open to your suggestions and critics.
16
Edisi Desember 2003