Edisi 16 November 2009
Mandat Budaya Iman Kristen dan Politik
REIN REIN diterbitkan oleh Mimbar Reformed Injili Indonesia di Berlin e.V. REIN diterbitkan dua kali setahun. Penasihat: Ev. Steve Hendra Redaksi (urutan nama berdasarkan abjad): Christian Adi Hartono Erna Chandrawati Herawaty Poppy Permadi Shaniyl Jayakodiy Sonja Mondong Stephen Tahary William Aries Tandarto Pembimbing/Pengawas: Departemen Pembinaan MRII Berlin e.V. Penanggung Jawab: Mimbar Reformed Injili Indonesia di Berlin e.V. c/o Cahyadi Braunschweigerstr. 75 12055 Berlin
Semua artikel di dalam Buletin REIN hanya boleh diperbanyak dan dikutip di dalam bentuk artikel yang utuh, tanpa mengurangi ataupun menambahkan isi dari artikel tersebut.
Cover: Rembrandt van Rijn, 1635 „Das Gastmahl des Belsazar” National Galery London
DAFTAR ISI Pesan Redaksi
1
Iman Kristen dan Politik
2
Pdt. Sutjipto Subeno Kekuasaan
12
Ev. Steve Hendra Flags and The Cross
22
Paulus-Veryadi Tan Resensi Buku: A Sphere of sovereignty
29
Shaniyl Jayakodiy Biografi : Abraham Kuyper
32
Herawaty SEPUTAR MRII-BERLIN Stephen Tahary
34
1
Pesan Redaksi ...ah, teori… Benarkah? Begitu seringnya kita berpikir demikian ketika kita mendengar pembicaraan para pejabat di televisi, atau paling tidak kami cukup yakin ini berlaku untuk mayoritas. Atau tepatnya kita menyebutnya „politik“. Sebelum membaca lebih lanjut, kami ingin mengingatkan pembaca sekali lagi: siapa yang ingin menjadi seorang politikus „duniawi“ yang hebat, tak akan menemukan jawabannya disini. Melalui edisi ini kami ingin supaya para pembaca mengerti, bagaimana kita sebagai orang awam maupun politikus boleh mengerti apakah yang tersembunyi di balik kata politik. Tentu saja, dari sudut pandang sebagai seorang Kristen yang bertanggung jawab kepada Tuhan Allah. Beberapa hal yang mendasar memberikan kami motivasi untuk hal ini. Pertama, sebagai orang Kristen kita yakin dan percaya, bahwa segala sesuatu di hidup kita ini tidak terlepas dari Tuhan. Tetapi yang menjadi masalahnya adalah kita sering berpendapat bahwa beberapa hal memang sulit dimengerti untuk sebagian besar dari kita. Kedua, kita harus mengakui, bahwa kita seringkali justru tidak mengambil cukup waktu untuk belajar justru ketika kita berpikir bahwa sesuatu itu sulit untuk dimengerti. Dan yang ketiga, kita boleh melihat kecenderungan mayoritas lebih berpikir bahwa politik hanyalah milik politikus saja ketimbang mencoba untuk mengerti aspek ini dari sudut pandang Kristen. Yang harus kita sadari adalah bahwa kita tidak boleh berpendapat bahwa suatu hal itu penting atau tidaknya tergantung dari apakah masyarakat sering membicarakannya atau tidak. Justru kita seharusnya melihat bahwa ketika suatu aspek tidak terlepas dari kehidupan kita, aspek itu adalah sesuatu yang penting, dan tidak tergantung dari pendapat mayoritas. Dari sini kami yakin, bagaimanapun juga hal ini sangat bermanfaat, ketika kita mengambil waktu untuk mengamati satu aspek yang penting di kehidupan kita, dan tentu saja mencoba untuk mengerti apa yang Tuhan telah percayakan kepada kita. Soli Deo Gloria
Redaksi
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Iman Kristen dan Politik
2
Iman Kristen dan Politik Pdt. Sutjipto Subeno
P
olitik adalah satu bidang studi dan sekaligus satu topik yang tidak bisa
lepas dari kehidupan masyarakat modern. Apalagi pergunjingan politik menjadi lebih seru akibat globalisasi dan era informasi yang membuat kita tidak lagi berpikir lokal, tetapi berpikir global. Berbagai problematika kehidupan tidak lepas dari isu politik, seperti masalah pangan, keuangan (ekonomi), sosial, bahkan sampai ke isu pendidikan dan kesehatan. Jika kita memperhatikan berbagai aspek kehidupan, salah satu aspek penting yang kita soroti adalah aspek politik. Siapa yang menjabat sebagai presiden atau perdana menteri (penguasa eksekutif), atau siapa yang menjadi ketua perwakilan rakyat (yang menjadi wakil suara legislatif). Tetapi ketika orang begitu banyak menyoroti masalah politik, seringkali tidak jelas sebenarnya politik itu apa dan seharusnya bagaimana.
Politika - Politeia Istilah “politik” dimulai dari Aristotle (384-322BC) dengan istilah “politeia” yang berasal dari kata “polis.” Maka politik pada awalnya adalah upaya mengurus atau mengelola kota (polis). Politika kemudian dikenal sebagai gabungan kata “polis” dan “etika” yang diartikan sebagai: suatu cara atau aturan untuk membuat kota itu berjalan atau berlangsung dengan baik. Maka pada hakekatnya, seharusnya politika adalah seluruh daya, seluruh pemikiran, seluruh upaya dan seluruh pelaksanaan penataan sebuah kota (atau negara, secara lebih luas) agar kota atau negara tersebut bisa berjalan dengan baik, demi kesejahteraan seluruh penghuninya. Maka, politik melingkupi urusan kota, negara, yang kemudian meluas kepada pemerintahan, keadilan, hukum, properti dll. Namun, perkembangan selanjutnya, khususnya dalam pemikiran yang diungkapkan oleh Nicollo Machiavelli (1469-1527) sebagai Politik Kekuasaan. Machiavelli melihat bahwa seluruh inti dari praktek politik adalah bagaimana mempertahankan posisi kekuasaan dengan sebaik mungkin. Jadi seluruh upaya politik adalah melakukan segala cara agar Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
3
Iman Kristen dan Politik
seorang penguasa bisa tetap berada di posisi kekuasaan dan tidak tergeser oleh rival-rival atau orang-orang yang tidak menyukainya dan ingin menjatuhkannya. Disini bagaimana seorang pemimpin politik harus baikbaik menjalankan kekuasaannya, sehingga ia dicintai oleh rakyatnya dan terus mempertahankan ia tetap berada di posisi puncak. Sekalipun kelihatannya inti akhirnya adalah bagaimana pemimpin politik menyenangkan dan memikirkan kesejahteraan rakyatnya, tetapi motivasi dan dasar pikirnya sama sekali berbeda dari gagasan pertama dalam pikiran Aristotle. Pergerakan dari titik pertama ke titik kedua merupakan proses politik itu sendiri, dimana saat ini, hampir setiap orang sudah melegalisir (suka atau tidak suka) pola dan prinsip Politik Kekuasaan ala Machiavelli. Sebenarnya, Machiavelli pun bukan mengemukakan teori baru, melainkan hanya secara tegas dan blak-blakan menyatakan fakta politik yang ada. Machiavelli dalam bukunya The Prince bahkan menegaskan pentingnya tentara dan kekuatan militer bahkan segala cara yang licik boleh dipakai untuk mempertahankan kedudukan dan kekuasaan.1 Disini teori Machiavelli menjadi landasan politik kekuasaan modern sekarang ini. Bagaimana Kekristenan melihat politik?
Mengerti Politik Kristen Banyak orang Kristen bahkan para pakar yang menyadari bahwa dunia sulit dilepaskan dari Politik Kekuasaan seperti yang Machiavelli katakan. Politik Kekuasaan merupakan suatu kekuatan besar dan motivasi utama semua pelaku politik. Jika kita memikirkan politik seperti yang Aristotle pikirkan, yaitu menjadi penguasa untuk mau menanggalkan seluruh kepentingan demi kesejahteraan seluruh masyarakat dan demi tatanan negara yang baik, adil dan sejahtera, sungguh itu hanya bisa kita temukan dalam sloganslogan negara, dalam impian-impian pemerintahan, tetapi tidak akan kita pernah temukan di dalam realitas aslinya. Selain pandangan itu, banyak orang Kristen dan pakar Kristen yang menyatakan bahwa Politik kekuasaan pada hakekatnya baik. Kita tidak perlu mempersalahkan politik kekuasaan, hanya saja menganulir atau meminimalisir semua unsur negatif di dalamnya, seperti perilaku yang licik, berbagai intrik dan tindakan kejahatan untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, jika memang pada hakekatnya politik adalah upaya untuk mem1
Michael H. Hart. (http://media.isnet.org/iptek/100/Machiavelli.html) Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Iman Kristen dan Politik
4
pertahankan kekuasaan agar tetap dipegang, apakah mungkin motivasi yang begitu mencari kepentingan diri, bisa ditolerir sekalipun keluar kelihatan begitu bagus, kelihatan begitu menarik, karena menjilat sana-sini demi untuk mencapai kekuasaan? Bagaimana ketika terjadi konflik interes antara kekuasaan dan kepentingan umum? Apakah akan melakukan pembelaan kepentingan umum, atau mengorbankan kepentingan umum demi kelanggengan kekuasaan? Disini sulit ada jawaban yang memuaskan untuk bisa menyetujui kemungkinan keberadaan “eksistensi politik kekuasaan yang baik” secara betul-betul konsisten. Mungkin yang terjadi justru kemunafikan yang makin mengerikan dimana penguasa-penguasa semakin licik dan jahat dengan alasan kepentingan umum memanipulasi umum demi kepentingan diri. Justru intrik dan kelicikan berlipat-lipat lebih mengerikan ketimbang yang secara jujur membuka motivasinya, sekalipun motivasi itu salah. Lalu bagaimana seharusnya sebagai orang Kristen melihat dunia politik, hakekat politik dan panggilan politik? Untuk itu perlu beberapa presuposisi yang melandasi pemikiran kita di dalam mandat budaya politik.
Presuposisi Kristen bidang Politik Ada beberapa presuposisi penting yang perlu kita bahas secara singkat, sehubungan dengan sempitnya ruang kita. Namun, pembahasan ini sangat penting untuk kita membangun pemikiran tentang mandat budaya politik.
1. Allah Pencipta dan Pemerintah
Iman
Kristen, khususnya Teologi Reformed, melihat pentingnya kita memulai seluruh pemikiran politik dari sudut pandang Allah. Mengapa? Karena Allah adalah Pencipta seluruh alam semesta, termasuk juga manusia. Pengelolaan seluruh alam dan isinya harus kembali sesuai dengan rencana dan maksud Allah ketika mencipta semesta ini. Tanpa Pencipta, tidak ada seluruh ciptaan. Tanpa kembali pada Pencipta, tidak ada jawaban yang sah bagi seluruh kehidupan masyarakat, tujuan kehidupan sosial, dan arah pemerintahan dunia. Allah yang memberikan arah, makna, dan penghakiman atas segala pembenaran manusia, termasuk bidang politik. Dengan demikian, Allah sebagai Pencipta tidak bisa tidak harus menjadi pertimbangan pertama. Dengan memperhatikan Allah yang mencipta, maka pemerintahan dunia juga harus disadari sebagai pemerintahan turunan, yang makna, tujuan, dan nilainya harus dikembalikan pada Allah. Mengapa manusia melakukan pemerintahan? Tentu harus kembali kepada Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
5
Iman Kristen dan Politik
tujuan yang Allah tetapkan ketika Ia mencipta manusia dan dunia ini. John Calvin dalam buku The Institute of the Christian Religion, menekankan bahwa seluruh pengenalan manusia akan segala hal, dan bijaksana (hikmat) dalam menjalankan kehidupan, harus dimulai dari pengenalan akan Allah, dan berdasarkan itu, mengenal diri.2 Selain itu, Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa Allah telah memberikan teladan di dalam melakukan pemerintahan. Pemerintahan Allah adalah pemerintahan yang sangat baik, dimana seluruh pemerintahan menyatakan seluruh sifat Ilahi-Nya, menyatakan seluruh tujuan dan bahkan memberikan prinsip-prinsip pemerintahan yang terbaik.3 Meninggalkan Allah di dalam membicarakan tentang pemerintahan (baca: politik) telah membuang teladan dan prinsip terbaik bagi seluruh pemerintahan dunia. Namun, seperti telah dinyatakan di Alkitab juga, bahwa manusia ternyata tidak suka akan apa yang Allah telah lakukan. Manusia ingin memiliki raja seperti bangsa-bangsa kafir, sekalipun hal itu ditunjukkan akan menghasilkan dampak buruk bagi manusia itu sendiri (1Samuel 8:1-22). Manusia dengan sengaja dan tegas menolak pemerintahan Allah yang terbaik, lalu menganggap mereka bisa melakukan pemerintahan mereka sendiri. Tetapi terbukti, akhirnya mereka tetap membutuhkan pertolongan Tuhan, ketika mereka sudah rusak dan mengalami berbagai macam penderitaan sebagai akibatnya. Format ini berulang diungkap dalam kitab Raja-Raja. Jika Allah meninggalkan umat-Nya sama sekali dan tidak peduli sama sekali, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Tetapi Allah begitu kasih, sehingga Ia masih mau menolong. Namun, sekali lagi, kasih ini disalahgunakan hingga hari ini. Allah hanya dipakai sebagai aksesori ketika manusia sudah bermasalah. Jika semua lancar, maka manusia ingin bermain sendiri, memerintah menurut kehendaknya sendiri. Inilah fakta yang harus menjadi paradigma pertama kita melihat pemerintahan dan politik.
2. Manusia Ciptaan yang Mulia Politik secara khusus adalah pengaturan manusia. Politik dan pemerintahan tidak pernah diarahkan untuk mengurus ayam-ayam atau sapi-sapi. Politik secara umum adalah bagaimana mengatur dan memerintah manusia oleh manusia. Tetapi siapakah manusia. Allah mencipta manusia tidak sama dengan binatang. Manusia adalah ciptaan yang agung. Alkitab menyatakan bahwa manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27). 2
John Calvin, Institutes, Book I. Ch.1.1 Pemerintahan di mana Allah memerintah secara langsung disebut Pemerintahan Theokratis. 3
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Iman Kristen dan Politik
6
Mengatur manusia bukan mengatur ayam atau sapi. Mengatur manusia apalagi oleh manusia, maka perlu suatu kesadaran penting, bahwa perlu ada otoritas yang mutlak di atasnya, yaitu Allah. Manusia tidak berhak untuk memanipulasi sesamanya, apalagi sampai merugikan atau menghancurkan sesamanya demi kepentingan dirinya. Itu adalah kejahatan yang akan berhadapan dengan keadilan Allah. Maka konsep dunia homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya) haruslah dihindarkan dan dijauhkan dari sistim atau praktek politik dan pemerintahan manapun. Sebagai ciptaan mulia, maka pemerintahan harus sangat memperhatikan harkat manusia. John Calvin sangat menekankan kebebasan manusia untuk tidak boleh berada di bawah penindasan. Menghargai harkat manusia menjadi landasan pemikiran demokrasi, yang harus kembali kepada kebenaran. Manusia bukan obyek manipulasi tetapi obyek kebenaran. John Calvin sangat menekankan pemikiran pemerintahan yang harus berdaulat, tetapi sangat menghargai manusia. Maka Calvin dianggap sebagai pendorong demokrasi di seluruh dunia. Ini ditekankan dalam pembahasan Kuyper. Disini Kuyper sangat menekankan bahwa kebebasan dan demokrasi bukan berarti boleh bertindak amoral atau tanpa memperhatikan kedaulatan Allah. Justru kebebasan itu harus di dalam kedaulatan Allah.4
3. Allah Menuntut Kesejahteraan Hidup Presuposisi ketiga yang tidak kalah penting adalah, Allah tidak pernah merencanakan kejahatan dan kecelakaan manusia. Allah tidak pernah berencana untuk menyiksa manusia melalui mencipta manusia. Allah memiliki rencana yang agung bagi umat manusia. Namun, hal itu bukan dilakukan dengan cara yang sangat mekanis dan rendah, tetapi justru memberikan suatu kemerdekaan dan akal budi kepada manusia untuk menjadi ciptaan agung dan mulia. Dosa telah membuat manusia mengalami berbagai kerusakan dan kecelakaan hidup. Pengaturan menjadi sulit karena manusia saling merusak dan saling mempersalahkan orang lain, ketika dia sendiri yang bersalah. Inilah dampak langsung dari dosa, yaitu memberontak kepada Allah dan kebenaran-Nya, sebuah sikap yang fasik dan lalim dalam ungkapan Paulus di Roma 1:18, yang mendatangkan murka Allah. Betapa celaka jika pemerintahan politik justru menampilkan sikap yang fasik dan lalim. Begitu
4
Abraham Kuyper, hal. 88. Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
7
Iman Kristen dan Politik
berani melawan Allah dan kebenaran-Nya. Akibatnya, manusia tidak akan mengalami kesejahteraan sejati. Sejarah membuktikan, bahwa pada saat Calvinisme berkembang dan memberikan pengaruhnya, semua negara yang berbasiskan Alkitab seturut Teologi Reformed akhirnya menghasilkan situasi negara yang paling sejahtera bagi rakyatnya. Mungkin tidak terlalu kaya, tetapi setiap masyarakatnya mendapatkan kesejahteraan hidup, karena Firman diagungkan. Semakin jauh dari Firman Tuhan, makin sulit mendapatkan kesejahteraan. Inilah dampak pengaturan dan hukum yang sesuai dengan “golden rule” (hukum emas) dari Tuhan Yesus.5
Alkitab dan Politik Alkitab tidak diam dan acuh terhadap politik dan pemerintahan. Jauh sebelum Aristotle bicara tentang Politik, Tuhan Allah telah mengajar, bahkan mempraktekkan sistim dan praktek pemerintahan dan politik yang begitu indah. Mempelajari Politik yang terutama harusnya bukan dari Aristotle, Hobbes, Rousseau, atau Machiavelli, melainkan dari Alkitab. Alkitab sudah membukakan keistimewaan, kehebatan, keagungan, dan kebenaran politik Allah, dan sebaliknya kelemahan, kegagalan, kerusakan dan kehancuran politik dunia (kafir). Alkitab menunjukkan, bahwa semakin manusia berupaya mengikuti format kafir, maka hasilnya makin mengecewakan dan menghancurkan (seperti yang dinyatakan dalam kitab Tawarikh dan Raja-Raja); sebaliknya, semakin manusia mau bersandar pada Allah, semakin mau taat pada pimpinan Allah, dimana Allah turut bekerja dan memimpin umat-Nya, maka semua menjadi indah dan baik. Ada beberapa alasan pentingnya prinsip pemerintahan Allah yang dinyatakan oleh Alkitab.
1. Kedaulatan Allah Kuyper mengatakan bahwa Calvin menegakkan tiga aspek Kedaulatan Allah sebagai dasar prinsip politik yang sejati.6 Alkitab menunjukkan bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat. Allah berada di luar ruang dan waktu, sehingga Ia yang paling mengerti bagaimana menata kehidupan dengan benar dan baik di dalam ruang dan waktu. Allah juga adalah Allah yang mencipta, sehingga seluruh karakteristik manusia yang benar hanya bisa 5 6
Michael H. Hart, dalam uraiannya tentang posisi dan peranan Tuhan Yesus. Abraham Kuyper, hal.88 Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Iman Kristen dan Politik
8
kita ketahui dari Allah, yang mencipta kita dan seluruh semesta. Allah berdaulat, berarti Allah berhak bertindak dan Allah pasti mampu bertindak terhadap apapun yang tidak sesuai dengan kehendak dan kebenaran-Nya. Allah berdaulat, berarti manusia tidak bisa dan tidak boleh bertindak menurut apa yang dia anggap baik. Manusia bukan person absolut yang memiliki hak absolut. Manusia adalah makhluk relatif yang harus balik ke dalam otoritas Allah. Politik yang sejati adalah politik yang menjalankan dan mengakui kedaulatan Allah di dalam kebenaran Firman Tuhan. Semakin politik itu menjalankan kehendak Allah, pemerintahan Allah, maka politik itu akan diberkati dan mendatangkan kesejahteraan bagi manusia (baca: rakyatnya). Makin politik itu jauh dari kebenaran Allah di dalam Firman Tuhan, maka pasti akan mendatangkan kecelakaan dan kutuk bagi rakyatnya.
2. Kebenaran Allah Politik sejati adalah politik yang bersandarkan pada kebenaran Allah. Alkitab menunjukkan setiap kali manusia melawan kebenaran Allah, berbuat hal-hal yang lalim, maka semua akan destruktif. Kebenaran Allah adalah satu-satunya Kebenaran Sejati. Keluar dari kebenaran, berarti hidup dalam ketidak-benaran. Hidup dalam ketidak-benaran akan menghasilkan kehancuran, baik bagi diri, maupun orang-orang di sekelilingnya. Celaka politik yang makin lalim, makin jauh dari kebenaran Allah. Disini tugas orang Kristen menyuarakan kebenaran Allah agar seluruh masyarakat bisa tertolong dan tidak hidup makin sengsara. Berbahagialah rakyat yang pemimpinnya sungguh takut akan Allah dan mau mendengarkan kebenaran-Nya.
3. Kesucian Allah Politik sejati justru sangat berlawanan dengan gagasan politik kekuasaan sekarang, yang lebih menghalalkan cara demi mengkukuhkan kepentingan diri penguasa, baik diri pribadinya, maupun partai atau seluruh rekan pendukungnya. Kita melihat bahwa politik seringkali dikonotasikan sebagai wilayah paling kotor dari semua profesi. Intrik, kejahatan, uang, wanita, dan segala cara dihalalkan untuk mendapatkan posisi dan kekuasaan. Pemilihan umum menjadi anjang yang seringkali paling boros karena ada upaya untuk “membeli suara” dari orang-orang dengan memberikan berbagai pengaruh, yang terkadang sama sekali tidak benar.
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
9
Iman Kristen dan Politik
4. Keadilan Allah Politik sejati justru memperjuangkan hukum dan aturan yang seadil-adilnya bagi seluruh rakyat. Semua sikap diskriminasi tidak boleh berjalan di dalam kehidupan masyarakat. Setiap orang harus mendapatkan hak dan menjalankan kewajibannya dengan benar dan baik. Maka lembaga yudikatif harus dijaga menjadi lembaga yang paling terkontrol dengan baik. Celaka ketika justru lembaga yudikatif tidak bisa dikontrol karena mengontrol. Akibatnya, lembaga yudikatif menjadi lembaga “untouchable” yang bisa memuaskan segala kelalimannya sambil berlindung di balik kekuasaan dan hukum yang seharusnya ditegakkannya. Tidak heran dimana negara lemah secara hukum, lembaga-lembaga yudikatif akan menjadi “pagar makan tanaman” yang paling mengerikan, dari mulai oknum polisi, kejaksaan, hakim, sampai ke mahkamah agung. Tetapi, di sini kita tetap melihat bahwa manusia tidak bisa bermain terlalu jauh dan terlalu lama, karena Allah tidak akan terus-menerus membiarkan keadilan-Nya dipermainkan. Maka, biasanya akan tiba waktu pembalasan Allah yang berada di luar kendali manusia.
Politik Kesejahteraan Sebagai kesimpulan dari seluruh pemikiran di atas, maka politik yang baik adalah Politik Kesejahteraan. Saya menyebutnya sebagai politik kesejahteraan, karena inti dari politik Allah sebenarnya adalah upaya mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan umat-Nya. Ketika Allah memimpin umat-Nya, Allah ingin agar umat-Nya hidup benar dan baik, dan menikmati kesejahteraan. Selama umat Tuhan taat pada pemerintahan kerajaan Allah (pemerintahan dan kedaulatan Allah), maka mereka merasakan pemeliharaan Tuhan, anugerah dan berkat Tuhan akan turun atas mereka, dan mereka akan dilindungi oleh Tuhan dari segala hal yang mencelakakan mereka. a) Politik Kesejahteraan merupakan upaya seluruh bangsa, dari pimpinan, tetapi juga seluruh rakyat, untuk berjuang bersama menggarap kesejahteraan masyarakat, melalui hidup dalam kebenaran, mengupayakan kesucian dan keadilan, dan sungguh belajar mengasihi sesama dengan kerelaan menyangkal diri demi kebaikan bersama. b) Politik Kesejahteraan merupakan sebuah perjuangan orang kristen di tengah dunia yang kafir, fasik dan lalim, sambil melihat bagaimana Tuhan mau bekerja, karena kita percaya bahwa setiap pemerintahan berada di bawah kedaulatan Allah. Semua pemerintahan kafir yang bersikap fasik dan lalim akan berhadapan dengan keadilan Allah. Orang-orang percaya yang hidup kafir dan fasik, ataupun hidup netral (baca: ikut-tidak-ikut) di tengah bangsa Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Iman Kristen dan Politik
10
kafir tanpa memberikan pengaruh baik atau bahkan mengambil keuntungan di dalamnya, akan mendapat akibat yang buruk dari hukuman Allah. Orang Kristen harus terus berjuang menyatakan terang Tuhan dan menjadi garam di tengah dunia yang gelap dan hambar. Disini politik merupakan perjuangan semua orang percaya, tanpa kecuali. c) Politik Kesejahteraan adalah teladan orang percaya di dalam menjalankan “pemerintahan” di dalam wilayah yang Tuhan percayakan sebagai gambaran mikro dari tugas pemerintahan Allah. Politik ini bisa dilakukan di rumah tangga, di perusahaan, di kampung, di wilayah tertentu, dimana pengaturan kesejahteraan bersama dipraktekkan dan diteladankan. Dengan demikian orang akan melihat bahwa politik yang diwarnai oleh kebenaran, cinta kasih, kesucian, keadilan, dan kemuliaan Tuhan, mungkin dijalankan di tengah dunia yang berdosa. Dan kalau Tuhan percayakan, politik seperti ini bisa juga dikerjakan dalam lingkup kota, kabupaten, bahkan negara. d) Politik Kesejahteraan adalah politik yang tidak menindas orang belum percaya, memaksa mereka menjadi orang Kristen, dan menyiksa mereka yang tidak sepandangan atau seiman dengan kita. Kita harus melihat bahwa Allah membiarkan semua orang yang belum percaya untuk melihat kesaksian orang percaya, sehingga akhirnya mereka terpanggil dan boleh bertobat. Kita harus melihat kesejahteraan mereka sebagai sesuatu yang harus dijaga di dalam kebenaran. Bukan memberikan hak berlebihan demi untuk demonstrasi cinta kasih Kristen, tetapi juga tidak mengebiri hak orang dengan alasan tidak seiman. Keadilan Allah menjadi landasan pemerintahan yang obyektif. e) Politik Kesejahteraan adalah politik yang melihat seluruh dunia sebagai dunia milik Allah, yang harus dijaga kedamaian di dalamnya. Politik sejati bukan provokator dan membalas kejahatan dengan kejahatan yang lebih besar. Disini peran pemimpin dan politikus (Kristen) untuk menggarap kesejahteraan dan kedamaian dunia dengan mendorong dunia hidup dalam prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan. Dengan ini, kita melihat pentingnya Politik Kesejahteraan digarap di dalam dunia yang justru memakai politik yang makin hari makin kotor, berbuat hal kotor, dan berakibat dan berbuahkan kekotoran, yang membawa manusia ke dalam kehancurannya. Di pihak lain, kita terpanggil untuk secara serius, dengan berani, strategis, konseptual, menggarap Politik Kesejahteraan yang Tuhan rindukan boleh dijalankan oleh anak-anak-Nya di berbagai lingkup, tempat, situasi, demi kemuliaan nama-Nya dan kesejahteraan manusia ciptaan-Nya. Soli Deo Gloria.
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
11
Iman Kristen dan Politik
Sumber: •
Aristotle, The Politics, Penguin Classics Series, 1962
•
Calvin, John. Institutes of the Christian Religion, tr. Lord Lewis Battle, ed. John T. McNeill, Philadelphia: Westminster Press, 1960.
•
Hall, David W. Warisan John Calvin: Pengaruhnya di Dunia Modern, Seri Calvin 500, terj. Lanna Wahyuni, Surabaya: Momentum, 2009.
•
Hart, Michael H. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. H. Mahbub Djunaedi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1982.
•
Kuyper, Abraham. Lectures on Calvinism (Ceramah-Ceramah Mengenai Calvinisme), terj. Peter Suwadi Wong, Surabaya: Momentum, 2005.
Seorang raja tidak akan selamat oleh besarnya kuasa; seorang pahlawan tidak tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan. Mazmur 33.16
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Kekuasaan
12
Kekuasaan Kekuasaan Ev. Steve Hendra I. Pembukaan Kita hidup di suatu zaman, yang disebut dengan Postmodern. Situasi kehidupan di zaman Postmodern sama absurdnya dengan istilahnya. Postmodern berarti setelah-zaman-modern (nach-der-modernen-Zeit), dimana zaman modern – berarti yang teraktuel. Jadi yang dimaksud dengan kehidupan di zaman Postmodern adalah kehidupan setelah yang teraktuel atau setelah sekarang. Bagaimana orang dapat menghidupi kehidupan seperti itu? Apakah semua manusia telah mati, maka mereka hidup di dunia akhirat? Orang-orang postmodern tidaklah mati secara badaniah, melainkan secara rohaniah. Badaniah mereka hidup di dunia dan zaman ini, tetapi rohaniah mereka tidak hidup di dunia dan zaman ini. Mereka membuat baginya sebuah dunia rohaniah, yang tidak berada di dunia ini. Sebuah dunia, dimana mereka dapat merasa nyaman, yang dibangun berdasarkan pemikiran kemasyarakatan. Pelarian diri dari dunia nyata ini adalah sebuah akibat dari kekecewaan terhadap kultur yang lama, namun demikian mereka melarikan diri dari satu kultur dan masuk ke sebuah kultur yang lain. Salah satu dari permasalahan, yang hebat dibicarakan jaman ini adalah masalah kekuasaan. Kekuasaan adalah satu tema teraktuel dan yang dipandang cukup negativ. Tetapi, apakah kekuasaan itu sungguh-sungguh negativ? Apakah mungkin ada sebuah dunia tanpa kekuasaan? Siapa yang dengan mudah menjawab „ya“, ia telah dalam kadar tertentu berada dibawah sebuah kekuasaan, yaitu kekuasaan kekacauan. Bahkan Filosofi anarki tidak mau menjawab pertanyaan ini demikian, seperti Nietzsche, Karl Marx, dan Foucault, yang menyatakan perlawanan mereka terhadap pelaksanaan dari sebuah kekuasaan tertentu. Jadi apakah masalah yang sebenarnya? Mengapa kekuasaan terlihat seperti itu? Kekuasaan yang mana tidak mereka sukai? Dan mengapa? Sebagai seorang kristen bagaimana kita harus melihat kekuasaan dan bagaimana harusnya kita melaksanakannya? Masalah muncul dari kekecewaan terhadap pelaksanaan kekuasaan oleh kultur yang lama. Bahwa pelaksanaan kekuasaan mempresaposisikan hanya satu orang tunggal yang diberikan jabatan tersebut atau hanya satu institusi Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
13
Kekuasaan
tunggal, pasti masih dapat diterima orang, tetapi pelaksanaan yang salah oleh orang-orang tersebut yang dikritik dengan hebat. Pelaksanaan kekuasaan yang tidak seperti seharusnya, selalu menuntun ketidakpercayaan terhadap kekuasaan dari si pelaksananya, regim, institusi, dst. Para filosofi yang melontarkan kritik yang pedas melawan gereja, tidaklah menyatakan perlawanan terhadap ajaran Alkitab, melainkan perlawanan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang salah oleh gereja-gereja dalam sejarah.13 Para filosofi yang menyatakan perlawanan terhadap kekuasaan tertentu, tidaklah menyatakan perlawanannya terhadap ajaran yang diturunkan dari tradisi dan asal kekuasaan tersebut, melainkan perlawanan terhadap pelaksanaan kekuasaan oleh orang-orang tertentu, seperti seorang raja, pegawai negara, dst. Atau institusi, seperti rumah sakit, negara, regim, dst. Sekarang kita mau menyoroti lebih dekat pelaksanaan kekuasaan di negara barat. Saya menyoroti pelaksanaan kekuasaan yang berdasarkan dua aspek (untuk mempermudah disini), yaitu aspek pelakunya dan aspek prosedurnya. Aspek pelakunya adalah aspek dari pelaku kekuasaan tersebut dan aspek prosedurnya terdiri dari konsep kekuasaan, prosedur-prosedur, kebajikan, hukum-hukum, dst. Kemudian saya menyoroti, bagaimana seharusnya Alkitab memimpin pelaksanaan kekuasaan, meskipun Alkitab bukanlah sebuah buku politik. II. Beberapa anggapan / penerimaan, untuk mempertajam gagasan kita:
Kekuasaan
di sini seharusnya tidak dimengerti sebagai substansi, melainkan sebagai kesatuan dari mekanis dan prosedur, dimana ia terdiri dari peran-perannya atau fungsi-fungsinya ataupun temanya untuk menjamin kekuasaan, yang meskipun ia sendiri tidak dapat mencapainya. Kesatuan dari prosedur-prosedur ini tidak otogenesis atau dengan kata lain kekuasaan tidak membentuk dirinya sendiri dan tidak juga muncul dari dirinya sendiri. Prosedur dan mekanisme kekuasaan adalah bagian yang
Mungkin saya sesekali mengatakan hal yang seakan-akan saya mengritik gereja, karena saya menuliskan ini untuk sebuah gereja. Harapan saya adalah agar gereja-gereja jaman sekarang dan akan datang dapat belajar dari sejarah, dengan demikian musuh gereja tidak mendapatkan bahanbahan dari kesalahan-kesalahan kita, yang mereka gunakan untuk dapat menghina gereja Tuhan kita.
13
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Kekuasaan
14
sebenarnya dari semua relasi yang ada, contohnya relasi-relasi dalam produksi, relasi-relasi dalam keluarga, dst. Analisa relasi-relasi kekuasaan ini sangat erat relasinya dengan politik dari kebenaran dalam sebuah masyarakat, yang dengan berjalannya sejarah masyarakat tersebut mengalami transformasi. Analisa mekanisme kekuasaan menunjukan kepada kita, misalnya pengaruh-pengaruh dari pengetahuan yang ada, yang muncul dalam masyarakat kita dikarenakan perjuangan-perjuangan, konfrontasi-konfrontasi, pertempuran-pertempuran, dst. Dari pengetahuan tersebut orang dapat menentukan taktik-taktik dari kekuasaan, yang menjadi elemen dari perjuangan tersebut. Dalam hal ini tidak terdapat wacana baik secara teoretis ataupun secara sangat sederhana, yang dipandang sebagai perintah dengan tidak berdasarkan satu jalan atau jalan lain tertentu. Jika sesuatu dianggap perintah, maka hal itu tidak mutlak, dan bukan tidak mutlak, harus bersifat perintah. Maka kata wacana harus memiliki arti taktik dalam politik. III. Beberapa topik, yang menjadi kerangka dari tulisan ini
Saya
berusaha memaparkan, bagaimana kebenaran Alkitab, dengan kata lain apa yang dikatakan Alkitab, mengenai pelaksanaan kekuasaan, memberikan arahan-arahan kepada si pelaksana kekuasaan dan mempengaruhi keputusan-keputusan mereka. Di sisi lain saya juga berusaha memaparkan, bagaimana strategi dan taktik dari kekuasaan, yang kita dapatkan dari buku-buku seperti Politikos dari Platon, The Prince dari Machiavelli, Leviathan dari Thomas Hobbes, dst., harus dipandang sebagai petunjuk bagi pelaksanaan kekuasaan. Disini saya tidak bermaksud membuat oposisi antara kebenaran Teologi dan ilmu politik, melainkan saya memusatkan pemikiran saya pada hal, bagaimana kebenaran alkitabiah dapat memberikan petunjuk-petunjuk bagi ilmu politik.
A. Topik-topik alkitabiah. Topik-topik inilah seharusnya menjadi jiwa dari kekuasaan
yang
Bagaimana seharusnya kekuasaan itu dilaksanakan? Di dalam Injil Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya: „Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,dan Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
15
Kekuasaan
barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang.“ (Mark. 10:42-45, bdg. Mat. 20:25-28). Kalimat-kalimat ini sangat jelas mengatakan, apa yang harus dilakukan oleh seorang kristen dalam pelaksanaan kekuasaan. Tetapi masih ada satu pertanyaan lagi, apakah peraturan ini hanya berlaku bagi gereja saja? Untuk menjawab pertanyaan ini, bahkan dapat kita bandingkan dengan sejak pertama kalinya Tuhan memberikan kekuasaan kepada manusia. Saat Tuhan menciptakan manusia pertama dan berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1:26-28) Apa yang dapat dimengerti dari kata-kata „berkuasalah“ dan „taklukkanlah“? Jika kita membaca lanjut Alkitab, maka pada bab 2 ayat ke- 15 dikatakan pada kita, bahwa tugas dari manusia pertama mencakup mengusahakan dan memeliharan taman itu. Tetapi kata dalam ibrani yang dipakai untuk itu adalah „abad“ (melayani) dan „shamar“ (memelihara). Dengan demikian jelas bagi kita disini, akan apa yang diajarkan Yesus adalah bukan hal yang baru melainkan sesuatu yang telah lama diberikan. Penguasa seharusnya memiliki jiwa seorang pelayan atau kuasa seorang pelaksana kekuasaan. Konteks yang terdapat di Kejadian 2 adalah sebuah perjanjian kerja (Covenant) antara TUHAN dan manusia pertama. Manusia pertama diberikan sebuah tugas dari TUHAN yang adalah penguasa, yaitu untuk menaklukkan alam. Jadi manusia dalam hal menguasai alam ini harus memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan yang adalah pemberi kekuasaan. Konsep gembala di zaman awal perjanjian lama. Gembala di zaman awal perjanjian lama memainkan peran yang penting sebagai sejenis orang yang menjadi pemimpin keluarga, raja, penguasa dan pemimpin agama. Seorang gembala yang menjaga kawanannya, memainkan sebuah simbol, bagaimana seorang pemimpin keluarga harus menjaga anggota-anggota keluarganya, bagaimana seorang raja mengurusi rakyatnya, dst. Keamanan dan kenyamanan kawanan tersebut merupakan tanggungjawab dari si Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Kekuasaan
16
gembala. Tugas yang sama berlaku juga dalam relasi antara pemimpin (sebagai poimen laon – gembala bagi kawanannya) dengan yang dipimpin dengan ikatan sebuah jenis relasi (misalnya famili, agama, negara, dst.) Yang menarik lagi adalah, bahwa konsep yang sama juga terdapat dalam literatur dan pemikiran Yunani, seperti dari Homers yaitu Ilias14 dan Odyssee15, dari tradisi phytagorean, dari Isokratess Areopagitikos,16 Xenophons Kyrupädie17 dan dari Platons yaitu Kritias18, Politikos19, Nomoi20, dan Politeia21. B. Ilmu politik sebagai seni untuk memerintah. (pengamatan dari buku Machiavelli yang berjudul „The Prince“)
Sejarah memberikan kepada kita banyak contoh-contoh, melalui berdirinya dan jatuhnya sebuah negara dan kerajaan dan juga melalui keberhasilan dan kegagalan sebuah pemerintahan, regim dan pemimpin, yang dari pada ini semua kita dapat belajar untuk menguasai. Pengalaman-pengalaman ini dikumpulkan dan diformulasikan sebagai pengetahuan atau teknik dalam ilmu politik. Untuk mempermudahnya kita dapat mengatakan, bahwa ilmu politik ini berperan menjadi sumber ilmu dan teknik transendental untuk menguasai – Transendental di sini berarti seperti sebuah prinsip atau rumusan, yang diformulasikan orang dari kenyataan yang telah ada, untuk menjelaskan kenyataan-kenyataan berikutnya dan untuk dapat menguasai kenyataan yang sama dengan benar. Sebagai warisan untuk hal tersebut ada buku-buku, seperti dari Republik oleh Plato, dari The Prince dan the Discourse (sebuah pembahasan tentang republik) oleh Machiavelli, dari Utopia oleh Thomas More, dst. Masih ada lagi buku-buku ilmu politik, yang ditulis atas dasar penelitian warisan dari kultur atau cara berpikir, contohnya dari Karl R. Poppers The Open Society and its Enemy. Dapatkah kita menggunakan ilmu ini? Untuk menjawab pertanyaan ini saya ungkapkan, bahwa tidak seorangpun dapat menghindari pemakaian ilmu tersebut. Hanya seorang munafik mengatakan, bahwa hal yang sama tidak membawa keuntungan apa-apa baginya. Jika kita tidak mampu menghindari yang ini, maka apa yang harus kita lakukan agar kita tidak 14Homer,
Ilias, II, 253 Odyssee, III, 156; XIV, 497. 16Isokrates, Areopagitikos §36; §55; §58. 17Xenophon, Kyrupädie I, 1,1-3; VIII, 2,14 18Platon, Kritias 109 b-c. 19Platon, Politikos 267c-277d 20Platon, Nomoi V, 735b-e; X,906 b-c. 21Platon, Politeia I,343a-345e; III,416a-b; IV, 440d 15Homer,
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
17
Kekuasaan
sama dengan dunia ini (Rom 12:1-2)? Pertanyaan ini penting karena dua alasan: (1) Itu adalah sebuah kenyataan, bahwa bahkan sebagian dari mereka mengajarkan, bagaimana memanipulasi orang lain untuk menguasai. Itu adalah sungguh-sungguh hal yang berlawanan dari apa yang Alkitab ajarkan kepada kita. (2) Itu adalah sebuah kenyataan, bahwa musuh-musuh kekristenan tidaklah mengkritik ajaran Alkitab, melainkan praktek oleh Gereja yang berlawanan dengan ajaran Alkitab. Bahkan ada banyak petunjuk-petunjuk dari Alkitab dalam hal pelaksanaan kekuasaan, yang tidak berlawanan dengan pemakaian ilmu politik. Salah satu contoh yang dapat saya kemukakan adalah dalam Pengkhotbah 5:8-9. Di dalam Pengkhotbah 5:8-9 bicara mengenai, bahwa ada terjadinya penindasan terhadap orang-orang kecil oleh orang yang diposisi atas (pejabat) dalam sebuah negara dan mungkin semua sistem pemerintahan telah dikorupsi. Seorang raja, yang melayani sebuah negara yang dibangun, adalah merupakan sebuah keuntungan dari negara tersebut. Dalam pengulasan yang lain, raja tersebut juga dihormati, jika tidak maka terjadilah bencana besar. Di sini yang dimaksudkan Alkitab pasti bukanlah, bahwa seorang raja atau pemimpin harus atau boleh melaksanakan kekuasaan berdasarkan cara dari Machiavelli, melainkan yang dimaksud adalah bahwa seni memerintah haruslah diperhatikan oleh raja atau pemimpin tersebut. Sebelum kita menyoroti topik-topik mengenai seni untuk menguasai, saya hendak mengemukakan sebuah contoh, agar hal ini menjadi lebih jelas. Machiavelli menuliskan dalam bukunya berjudul „Der Fürst“ pernyataanpernyataan sebagai berikut: (Contoh ini saya pilih berhubung karena tema kami kali ini) „Upon this a question arises: whether it be better to be loved than feared or feared than loved? It may be answered that one should wish to be both, but, because it is difficult to unite them in one person, it is much safer to be feared than loved, when, of the two, either must be dispensed with. Because this is to be asserted in general of men, that they are ungrateful, fickle, false, cowardly, covetous, and as long as you succeed they are yours entirely; they will offer you their blood, property, life, and children, as is said above, when the need is far distant; but when it approaches they turn against you. And that prince who, relying entirely on their promises, has neglected other precautions, is ruined; because friendships that are obtained by payments, and not by greatness or nobility of mind, may indeed be earned, but they are not secured, and in time of need cannot be relied upon; and men have less scruple in offending one who is beloved than one who is feared, for love is preserved by the link of obligation which, owing to the baseness of men, is broken at Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Kekuasaan
18
every opportunity for their advantage; but fear preserves you by a dread of punishment which never fails. Nevertheless a prince ought to inspire fear in such a way that, if he does not win love, he avoids hatred; because he can endure very well being feared whilst he is not hated, which will always be as long as he abstains from the property of his citizens and subjects and from their women. But when it is necessary for him to proceed against the life of someone, he must do it on proper justification and for manifest cause, but above all things he must keep his hands off the property of others, because men more quickly forget the death of their father than the loss of their patrimony. Besides, pretexts for taking away the property are never wanting; for he who has once begun to live by robbery will always find pretexts for seizing what belongs to others; but reasons for taking life, on the contrary, are more difficult to find and sooner lapse. But when a prince is with his army, and has under control a multitude of soldiers, then it is quite necessary for him to disregard the reputation of cruelty, for without it he would never hold his army united or disposed to its duties.“22 (Bap XVII, Machiavelli, The Prince. (www.gutenberg.org)). Apa yang dituliskan oleh Machiavelli adalah sebuah seni atau trik untuk menguasai. Tetapi seperti telah diketahui, jika seorang dapat membuat baginya sebuah trik, tidaklah berarti, bahwa orang bisa menguasai hal tersebut. Orang dapat melakukannya, tetapi ia kehilangan inti atau maknanya – dan lebih buruk lagi bagi kita, apabila seorang kristen melakukan yang sama, karena Alkitab tidak pernah mengajarkan kita hal itu. IV. Analisa dan perbandingan antara presaposisi dari buku „The Prince“ dan presaposisi dari Alkitab
Analisa
presaposisi dari buku „The Prince“. Walaupun kita tidak memiliki banyak waktu untuk membicarakan semua dari buku The Prince, kita dapat mengatakan beberapa presuposisi sebagai berikut: Machiavelli mempresaposisikan, bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang didapatkan. Sehingga orang harus menggenggamnya erat-erat, seperti sebuah berlian. Dalam hal mendapatkan kekuasaan ada beberapa alasan yang berbeda-beda, tetapi hanya ada satu posisi utama yaitu posisi yang
Saya menggunakan naskah dalam bahasa inggris daripada bahasa jerman, karena lebih mudah untuk dibaca.
22
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
19
Kekuasaan
mendapat kekuasaan, selain daripada itu adalah hal sekunder. Sehingga ia tidak harus ada hubungannya dengan tanggungjawab. Tugas dari penguasa adalah bahwa ia harus menjaga kekuasaan tersebut. Tugas-tugas yang lain harus diselesaikan sehubungan dengan tugas utama ini. Faktor-faktor supramanusia memang harus diperhatikan, tetapi yang terpenting adalah kepintaran dari putra mahkota untuk mengamankan kekuasaannya. Manusia secara umum dipandang jahat, karena itu seorang Penguasa harus mengamankan kekuasaannya. Manipulasi disini merupakan sebuah kebajikan.
Buku tersebut menyebutkan banyak contoh-contoh dalam sejarah, bagaimana kekuasaan menurut Machiavelli berhasil dilaksanakan ataupun tidak. Beberapa petunjuk, yang diturunkan dari contoh-contoh sejarah haruslah kita perhatikan, bagaimana seorang putra mahkota memiliki pengenalan yang baik tentang negaranya, tentang strategi kemiliterannya, dst. Tetapi beberapa petunjuk yang berbeda haruslah kita perhatikan dengan kritis. Analisa presaposisi dari Alkitab: 1. Alkitab mempresaposisikan, bahwa hak atau jabatan untuk pelaksanaan kekuasaan bukanlah sebuah hal yang didapatkan, melainkan sebuah hal yang dipercayakan. Kata „kekuasaan“ atau „power“ (dalam bahasa inggris) memiliki dua arti: (1) suatu kemampuan, untuk melakukan sesuatu, atau (2) sebuah hak atau jabatan, untuk melaksanakan sesuatu. Pada arti yang kedua menyangkut hal pelaksanaan kekuasaan. Alkitab mengatakan pada kita, bahwa arti yang kedua tersebut adalah bukan sesuatu yang terlahirkan ataupun didapatkan, melainkan sesuatu yang diberikan. Ketika Tuhan menciptakan manusia pertama, Tuhan memberikan kekuasaan atas ciptaan yang lain dalam arti yang kedua. Setelah kebangkitan Yesus, Ia mengatakan, „Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.“ 2. Pada penyerahan kekuasaan selalu ada 2 jabatan berbeda, yaitu pemberi kekuasaan dan penerima kekuasaan. Dan dalam pelaksanaan kekuasaan tersebut si penerima kekuasaan harus mempertanggungjawabkan kepada si pemberi kekuasaan. Dan Ia yang menjadi pemberi kekuasaan tertinggi adalah Tuhan, yang berkuasa atas semesta. Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Kekuasaan
20
3. Jika seseorang mendapat kekuasaan karena satu alasan, apapun itu, itu tidaklah berarti, bahwa ia telah mendapatkan-nya dan itu menjadi miliknya. Allah, TUHAN, telah memberikan itu kepada dia, dan Allah, TUHAN juga dapat mengambil itu kembali. Jadi di sini tidak ada artinya, untuk mempertahankan kekuasaan dalam tangan kita. 4. Jika seseorang mendapat kekuasaan, dia harus menyibukkan diri dengan tugas yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan, dan bukan dengan jabatan barunya. Jadi dalam hal ini pertanyaan, manakah yang lebih baik bagi seorang penguasa „dicintai“ atau „ditakuti“, tidak lagi penting. Keduanya adalah hasil dan bukan tujuan dari seorang putra mahkota. Tujuannya adalah menjalankan tugas dalam pertanggungjawaban kepada si pemberi kekuasaan. 5. Jika seseorang menjadi seorang pemimpin, maka ia menjadi pemimpin manusia. Gambaran Alkitab akan seseorang mengatakan, bahwa manusia adalah ciptaan menurut gambar Allah, walaupun ia telah jatuh dalam dosa. Ia bukan sesuatu, melainkan seseorang. Padanya masih terdapat kebaikan-kebaikan kebudayaan, walaupun menurut teologi reformed telah total depravity secara naturnya. Jadi dalam pelaksanaan kekuasaan hal ini haruslah diperhatikan. 6. Alkitab memakai sebuah gambaran gembala sebagai panutan bagi si pelaksana kekuasaan. Seorang gembala mengenal satu persatu kawanannya dan ia bertindak berdasarkan pengenalan tersebut. Di sini tidak boleh ada generalisasi dan tugas seorang gembala adalah memelihara kawanan tersebut. V. Apa yang harus dilakukan seorang kristen? Suatu usaha pengintegrasian
Dalam tema „Kekuasaan“ kita tidak harus membuang definisi dari padanya, untuk melakukan intregasi. Apa yang musti kita lakukan sebagai orang kristen adalah merubah titik berat, yang tadinya dari mempertahankan kekuasaan ke menyelesaikan tugas. Dimana ilmu politik mengajarkan kita untuk mempertahankan kekuasaan untuk menyelesaikan tugas, maka kita orang kristen harus melihat, bahwa kita harus menyelesaikan tugas terlebih dahulu dan karena itu muncul jaminan tersebut sebagai buah dan kesaksian untuk menyelesaikan tugas2 berikutnya. Titik beratnya terletak pada menyelesaikan tugas-tugas. Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
21
Kekuasaan
Kita bisa setuju dengan ilmu politik, dalam hal bahwa kekuasaan merupakan kesatuan dari prosedur-prosedur dan tidak otogenesis, melainkan prosedur dan mekanik kekuasaan adalah unsur dalam dari semua relasirelasi yang ada, contohnya relasi produksi, relasi keluarga, dst. Di sini dapat kita temukan bahwa kekuasaan tidak absolut sifatnya dengan kata lain ia tidak timbul dari dirinya sendiri, melainkan bergantung pada relasi-relasi tertentu yang telah ada. Sebagai akibat yang masuk akal dapat dikatakan bahwa kekuasaan itu terbatas, dimana relasi-relasi yang ada menentukan batasan dari kekuasaan tersebut. Disini kita dapat menggunakan konsep dari Kuyper „Sphere of Sovereignty“. Kita juga tidak dapat menolak kenyataan, bahwa kekuasaan berkaitan erat dengan politik kebenaran. Setiap pemimpin atau pemerintahan menyuarakan kebenarannya melawan kebenaran yang lain dalam sebuah masyarakat, ini nyata dalam transformasi di dalam sejarah yang sedang berjalan. Namun dalam kenyataan-kenyataan ini kita tetap dapat mengetahui, bahwa setiap kekuasaan senantiasa terdiri dari 2 kutub, yaitu pemberi kekuasaan dan penerima kekuasaan. Pelaksanan kekuasaan ada di sisi si penerima kekuasaan, yang harus memberikan dan memenuhi pertanggungjawabannya kepada pemberi kekuasaan. Jika saja semua kekuasaan dilaksanakan dalam relasi sedemikian dan Allah dipandang sebagai pemberi kekuasaan tertinggi, maka seharusnya politik kebenaran tidak menjadi politik dalam perperangan melainkan menjadi politik dalam perdamaian. Walaupun hal ini tidak menjadi real, maka itu merupakan tugas orang kristen untuk merealisasikan dalam bidang-nya masing-masing. Saya memandang, bahwa tugas-tugas yang Allah Tuhan berikan dalam segala bidang kehidupan manusia dengan kata lain dalam pelaksanaan kekuasaan, yang untuk itu kita harus merealisasikannya, bukanlah merupakan tugas-tugas yang abstrak, hanya jika kita melaksanakan sistem ini. Dalam kenyataannya tidaklah berarti kita tidak perlu memperhatikan, bahwa ide wacana dalam politik harus bersifat taktis, namun kita tidak boleh pernah melupakan, mengapa ide wacana kita harus bertaktik sifatnya. Itu bukanlah untuk mempertahankan kekuasaan bagi kita, melainkan untuk menyelesaikan tugas-tugas kita dalam pertanggungjawaban kepada Allah, Tuhan kita. Mempertahankan kekuasaan akan selalu menemukan akhirnya, tetapi pertanggungjawaban dalam hal pelaksanaan kekuasaan akan sampai pada kekekalan.
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Flags and The Cross
22
Flags and The Cross (The Sovereignty in the State and The Sovereignty in the Church) Paulus-Veryadi Tan
Pendahuluan
Di dalam calvinisme kita mengenal doktrin `the Sovereignty of the Triune God over the whole Cosmos, in all its spheres and kingdoms, visible and invisible` (Kedaulatan Allah Tritunggal atas seluruh Kosmos, dalam segala cakupan dan kerajaan, yang kelihatan dan tidak kelihatan). Suatu kedaulatan primordial yang dalam lingkup umat manusia dinyatakan melalui kedaulatan rangkap tiga berikut ini: 1. The Sovereignty in the State (Kedaulatan Negara) 2. The Sovereignty in Society (Kedaulatan Masyarakat) 3. The Sovereignty in the Church (Kedaulatan Gereja) Pemaparan akan bentuk kedaulatan diatas dapat dibaca di buku Lectures on Calvinism, Lecture 3 Calvinism and Politics (Pengarang Abraham kuyper, http://www.kuyper.org/main/publish/books_essays/article_17.shtml). Pada kesempatan ini pembahasan akan difokuskan pada kedaulatan pertama dan kedaulatan ketiga saja, yaitu kedaulatan Negara dan kedaulatan Gereja. Bagaimana relasi yang benar antara kedaulatan Negara dan kedaulatan Gereja menurut Alkitab? Apakah kedua realm ini harus dipisahkan? Dan apa yang kita bisa pelajari dari Alkitab dan sejarah dari relasi kedua kedaulatan ini.
Kedaulatan Negara dan Gereja dalam sejarah
Relasi Negara-Gereja dalam perjalanan sejarah sempat mengalami perkembangan. Leonard Verduin pengarang dari buku ‘The Anatomy of a Hybrid: A Study in Church-State Relationships’ menyebutnya sebagai “forward movement” dari kelahiran bangsa Israel sampai berdirinya gereja hingga dikeluarkannya Dekrit Milan pada Tahun 313 A.D. Kemunduran menuju Christian sacralism dimulai dengan Dekrit Milan (Edict of Milan) yang merupakan keputusan bersama Kaisar Konstantin (Penguasa bagian Barat Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
23
Flags and The Cross
kerajaan Roma) dan Kaisar Licinius (Penguasa bagian Timur kerajaan Roma) memberikan kebebasan kepada semua orang untuk memeluk agama yang mereka ingini dan menjadikan kekristenan untuk pertama kali religio licita, agama yang diijinkan. Deklarasi Kaisar Flavius Theodosius (Theodosius the Great) pada Tahun 392 A.D. melarang segala bentuk penyembahan berhala dan menjadikan agama Kristen sebagai kepercayaan resmi satu-satunya di kerajaan romawi. Dunia mungkin memandang hal ini sebagai puncak kejayaan kekristenan, dimana pertama kali dalam sejarah, ajaran yang sebelumnya dianggap sebagai sekte (Sekte Nazareth) bisa mendapatkan posisi mulia sebagai satu-satunya agama resmi di kerajaan Romawi. Tetapi kalau mau dilihat lebih dalam lagi hal ini sesungguhnya merupakan suatu kemerosotan, dimana kebebasan hati nurani ditindas. Istilah Latin yang terkenal untuk menggambarkan sacralism ini adalah „Cuius regio eius religio“ atau "who has region, decides religion." Idenya adalah penguasa setempat menetapkan agama di daerah kekuasaannya menurut iman kepercayaannya. Ide ini belakangan sangat mempengaruhi negara-negara Lutheran. The Council of Clermont pada tahun 1095, Paus Urban II menyerukan ‘Deus io vult’, ‘Tuhan menghendakinya’. Dengan seruan tersebut Paus Urban II memulai perang salib yang berlangsung ratusan tahun lamanya dan menelan banyak korban baik di kubu Kristen maupun Islam. Sampai disini kita melihat bahwa relasi Negara-Gereja yang tidak beres mengakibatkan dampak negatif yang sungguh melenceng dari nilai-nilai kekristenan yang diajarkan Alkitab. Ketika Reformasi sedang berkembang di abad ke 16 dengan penekanan akan sola solanya, kita mungkin akan mengantisipasi kembalinya kepada pandangan apostolik tentang gereja sebagai ‚yang dipanggil keluar‘. Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Luther, Zwingli dan Calvin mereka terus memegang kedaulatan Negara untuk memusnahkan dan membuang kelompok kelompok sesat. Otoritas sipil digunakan untuk memenjarakan atau mengeksekusi pengajaran yang dianggap sesat. Luther sendiri pernah menulis kalau otoritas sekular terikat oleh tugas untuk menekan penghujat, doktrin yang salah dan ajaran sesat. Iklim yang mendukung penggabungan ‚salib‘ dan ‚bendera‘ ini juga terjadi di Zürich (Swiss). Seperti halnya Luther, Zwingli mula-mula ragu dalam Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Flags and The Cross
24
melibatkan kedaulatan gereja dan negara untuk urusan keagamaan. Tetapi pada kasus Felix Mantz, yang disidang dan dijatuhi hukuman karena memulai dan berpartisipasi dalam baptisan ulang orang percaya, Zwingli berkiblat pada pandangan Luther. Pada tanggal 5 Januari 1527 Felix Mantz diikat tangan dan kakinya, dibawa dengan perahu dayung ke tengah sungai Limmat, yang mengalir melalui kota Zurich dan ditenggelamkan disana. Zwingli berpendapat adalah tepat bagi penyesat ini yang percaya akan baptisan selam harus mati dengan cara yang sama. Bahkan pada zaman Calvinpun kedua bentuk kedaulatan tersebut belum murni terpisahkan. Hal ini nyata dalam kasus kontroversial Michael Servetus. Pada tanggal 27 Oktober 1553 Michael Servetus, theolog berkebangsaan spanyol, dokter medis, dibakar hidup hidup di kota Geneva karena doktrin Tritunggal yang dipegang dan diajarkannya dipandang oleh gereja Protestan dan Katolik zaman itu sebagai pengajaran sesat dan Anathema. Pendukung Luther, Melanchthon menulis pada Calvin sebagai berikut: „Kepadamu sekarang gereja berhutang dan akan selalu berhutang terimakasih …. Ini menyatakan kalau para hakim (magistrates) bertindak tepat dengan menghukum mati penghujat Tuhan. Berikut pendapat dari Abraham Kuyper mengenai tugas penguasa untuk menyingkirkan setiap bentuk agama yang salah dan penyembahan berhala: The duty of the government to extirpate every form of false religion and idolatry was not a find of Calvinism, but dates from Constantine the Great, and was the reaction against the horrible persecutions which his pagan predecessors on the imperial throne had inflicted upon the sect of the Nazarene. Since that day this system had been defended by all Romish theologians and applied by all Christian princes. In the time of Luther and Calvin, it was a universal conviction that that system was the true one. Every famous theologian of the period, Melanchthon first of all, approved of the death by fire of Servetus; and the scaffold, which was erected by the Lutherans at Leipzig for Krell,14 the thorough Calvinist, was infinitely more reprehensible when looked at from a Protestant standpoint. Kalau kita memandang fakta-fakta di atas sebagai „Fall“ dalam Christian Worldview (Creation, Fall, Redemption, and Consummation) maka “Redemption” terjadi sekitar abad ke -17, dimana salah satu dari Pastor Puritan yang bernama Roger Williams (ca. 1604-1684) mengembalikan relasi NegaraGereja kepada pandangan relasi Negara-Gereja pada zaman para rasul (apostolic era) dimana tanggung-jawab penguasa dibatasi yaitu untuk menekan kejahatan baik ke dalam maupun keluar dengan menggunakan kekuatan sipil. Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
25
Flags and The Cross
Pendekatan Alkitab
Alkitab mengajarkan kepada kita baik kedaulatan negara maupun kedaulatan gereja bersumber dari Allah sendiri. Kalau Filsuf Arthur F. Holmes mengatakan bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah, bahwa segala kebenaran – dimanapun itu ditemukan – bersumber dari Allah. Maka disini kitapun dapat mengatakan bahwa segala kedaulatan adalah Kedaulatan Allah. Dari awal penciptaan hingga akhir dari segalanya di dalam kekekalan, Allah tetap adalah Allah yang berdaulat. Tidak ada kedaulatan yang tidak bersumber dari Allah. Kalau kita lihat dalam Perjanjian Lama, ide manusia menguasai manusia lain baru muncul setelah kejatuhan manusia dalam dosa. Sebelum Kejatuhan manusia Pada awal penciptaan, manusia tidak diberikan kuasa untuk menguasai manusia lain. Kejadian 1:26 => Manusia berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burungburung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Kejadian 2:18 => Hawa diciptakan bukan untuk menguasai atau dikuasai Adam, melainkan sebagai penolong yang sepadan. Sesudah Kejatuhan manusia dalam dosa Kejadian 3:16 => Keharmonisan, keintiman dan relasi yang komplementer menjadi rusak karena dosa. Disini tercatat pertama kali manusia mendominasi manusia lain, dan munculnya penaklukan secara paksa. Pemulihan hubungan yang rusak ini baru terjadi melalui hidup baru di dalam Kristus ( Efesus 5:22-33) Masih dalam lingkup Perjanjian Lama kita tentu mengenal 2 kisah raja berikut ini: Uzia masih berumur 16 tahun ketika ia diangkat menjadi Raja Yehuda dan memerintah di Yerusalem selama 52 tahun. Pada awalnya Raja Uzia dicatat hidup takut akan Tuhan. Selama Raja Uzia hidup melakukan apa yang benar dimata Tuhan dan mencari Tuhan. Allah membuat segala usahanya berhasil. Musuh-musuh dikalahkan, menara-menara didirikan, dan Raja Uzia memiliki tentara yang kuat. Singkat kata nama Raja Uzia menjadi termasyhur sampai ke negeri-negeri yang jauh. Tapi sayang setelah Raja Uzia menjadi kuat, ia berubah setia kepada Tuhan, Allahnya dan memasuki Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Flags and The Cross
26
bait Tuhan untuk membakar ukupan di atas mezbah pembakaran ukupan, yang seharusnya menjadi tugas dan wewenang seorang imam. Imam Azarya menegur dengan keras atas tindakan Raja Uzia ini (… Keluarlah dari tempat kudus ini, karena engkau telah berubah setia !) Namun bukannya bertobat, Raja Uzia marah. Tuhan menyaksikan segalanya, Tuhan yang adil menimpakan tulah kepada Raja Uzia. Alkitab mencatat Raja Uzia sakit kusta sampai kepada hari kematiannya, dan sebagai orang yang sakit kusta ia tinggal dalam sebuah rumah pengasingan, karena ia dikucilkan dari rumah Tuhan. Riwayat Raja Uzia yang mengenaskan ini mengingatkan kita akan kisah Raja Saul (I Samuel 13) yang memberanikan diri mempersembahkan korban bakaran yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh imam (pada saat itu Samuel). Alasan dari Raja Saul cukup kuat sebenarnya, (sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan Tuhan …) Samuel menegur keras Raja Saul, (Perbuatanmu itu bodoh, Engkau tidak mengikuti perintah Tuhan, Allahmu …). Karena tindakan gegabah ini Tuhan tidak berkenan kepada Saul, dan Tuhan memilih Daud sebagai pengganti Saul. Ketika bangsa Israel menghendaki seorang raja, yang berarti menolak Tuhan sendiri sebagai Raja secara langsung, dan lebih memilih manusia untuk memimpin mereka, Tuhan masih mendengarkan mereka dan memberikan mereka raja. Disini muncul pertama kali perbedaan fungsi raja dan imam. Raja menjalankan peran memelihara ketertiban di dalam negeri dan melindungi rakyat yang dipimpinnya terhadap serangan dari luar. Imam tetap menjalankan peran sebagai wakil dari umat dihadapan Tuhan. Tuhan membedakan fungsi sakral dan fungsi sekuler, dan sepertinya Tuhan tidak berkenan jika fungsi sakral dijalankan oleh orang yang menjalankan fungsi sekuler. Bagaimana dengan sebaliknya ??? Sekarang mari kita lihat bagian Firman Tuhan dalam perjanjian baru yang berkaitan dengan kedaulatan di atas: Mattius 22:1522:15-22 Yesus menjawab orang Farisi: Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. Secara implicit Yesus mengakui akan kedaulatan kaisar dan bagi Yesus tidak masalah untuk hidup di bawah pimpinan orang kafir. Dalam pengajaranNya Yesus secara jelas membagi 2 kelompok bangsa Israel, yang bertobat dan yang tidak bertobat. Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
27
Flags and The Cross
Roma 13
Secara
gamblang Rasul Paulus mengajarkan bahwa tujuan pemerintah/negara menyandang pedang adalah untuk menekan kejahatan bukan untuk menebus orang atau menghakimi pengajaran sesat. Rasul Paulus mengajarkan bahwa orang Kristen memiliki tanggungjawab untuk menghakimi dan mendisiplinkan orang orang percaya. Orang-orang yang tidak percaya akan dihakimi oleh Allah. Dengan keras Rasul Paulus mengajar:“Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.“ Rasul Paulus percaya dan mengajarkan bahwa selalu ada kombinasi antara orang percaya dan tidak percaya, dimana orang percaya mengalami siksaan besar dan penolakan sampai kelak Yesus Kristus menjadi penguasa yang berotoritas sebagai Raja, Imam dan Nabi.
Penutup
Di perjanjian Lama, Tuhan sudah membedakan fungsi Raja dan fungsi Iman (baca: Kedaulatan Negara dan Kedaulatan Gereja). Apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan, jika dilaksanakan dengan takut akan Dia akan mendatangkan berkat. Dalam kisah Raja- Raja Israel ada pola menarik yang kita lihat. Pada saat raja setia dan hidup takut akan Allah, maka kemenangan, kemakmuran menyertai raja itu dan sebaliknya pada saat mereka tidak lagi hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, kekalahan, kehancuran dan sakit penyakit menimpa mereka (baca: hukuman Tuhan). Kuasa yang diajarkan di Perjanjian Baru sangatlah berbeda dari kuasa politik. Kuasa di Perjanjian Baru adalah kuasa salib. Dunia mengetahui bahwa salib adalah tempat yang sama sekali tidak ada kuasa, tempat kebodohan dan lambang kehinaan dan kekalahan. Kekristenan sejati menolak penggunaan kuasa politik tradisional yang menggunakan kekerasan. Kuasa Salib membawa kita untuk berlutut, menghasilkan spirit rendah hati dan belas kasihan. Kuasa Salib menolak penggunaan kuasa politik dalam nama Kristus.
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Flags and The Cross
28
Jacques Ellul, Filsuf berkebangsaan Perancis, sosiolog dan professor Hukum menulis sebagai berikut: “Every time a church tried to act through the propaganda devices accepted by an epoch, the truth and authenticity of Christianity were abased.“ (Kebenaran dan keaslian kekristenan direndahkan, setiap kali gereja mencoba bertindak melalui sarana propaganda yang diterima oleh zaman). Abraham Kuyper, dalam Lectures on Calvinism, menyimpulkan “The sovereignty of the State and the sovereignty of the Church exist side by side, and they mutually limit each other.” (Kedaulatan negara dan kedaulatan Gereja berdiri berdampingan, dan mereka saling membatasi satu dengan lainnya.) Soli Deo Gloria. Sumber: Dari berbagai sumber.
Those who cannot remember the past are condemned to repeat it. ~ George Santayana ~
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
29
Resensi Buku
Resensi Buku
A Sphere of sovereignty (Ruang Lingkup Kedaulatan) oleh Dr. Abraham Kuyper Shaniyl Jayakodiy
Bagaimanakah seharusnya aspek-aspek dalam kehidupan bermasyarakat dihubungkan satu sama lain? Sebagai contoh, bagaimanakah peran negara terhadap pendidikan anak? Berhakkah negara menentukan, misalnya jam makan anak atau perbendaharaan sebuah rumah tangga? Lalu bagaimana tentang pendidikan, perekonomian, kesenian dan gereja? Dimanakah posisi gereja terhadap ilmu pengetahuan dan bagaimanakah caranya agar semua ruang lingkup tersebut dengan segala perubahannya berinteraksi satu sama lain dan menghasilkan kemajuan, tanpa adanya pergesekan? Lewat artikel ini REIN mencoba menangkap dan merangkum pemikiran ternama dari Dr. Abraham Kuyper tentang „Ruang Lingkup Kedaulatan“ atau Sphere Souvereignity yang dicetuskan pada tanggal 20 Oktober 1880 dalam pidato peresmian Universitas Terbuka Amsterdam. Pemikiran Dr. Kuyper ini diawali oleh pengimanan beliau, bahwa ruang lingkup kedaulatan berada di dalam totalitas kedaulatan Allah saja. Dalam pidatonya Kuyper mencetuskan kalimat terkenal yang berbunyi: „Tak ada satu Inchi pun dari keseluruhan eksistensi kita sebagai manusia, yang atasnya Kristus tidak berdaulat! Yesus Kristus, yang adalah Allah atas segala hal.“ Tuhan menghibahkan kedaulatan tidak hanya kepada satu individu atau institusi saja, melainkan kepada seluruh manusia, yang dapat terlihat dengan jelas dari kedaulatan individu di dalam semua aspek kehidupan. Sebagai contoh: di bidang pendidikan, pemilik kedaulatan adalah sekolah; sedangkan di bidang hukum, pemilik kedaulatan adalah negara lewat instansi yang terkait. Pada waktu yang bersamaan kedaulatan Kristus yang sempurna menyangkal dan melampaui seluruh kedaulatan yang menguasai manusia berdosa di dunia ini. Sebagai konsekwensinya adalah antara lain penolakan totalitas kekuasaan negara, yang dapat dilihat di sebagian besar kehidupan masyarakat di benua Eropa. Dengan demikian kekuasaan yang dapat dimiliki oleh orang Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Resensi Buku
30
dan/atau kelompok-kelompok orang berdosa juga dapat dibatasi. Pada konsepsi ini tak ada satu ruang lingkup pun yang berhak melangkahi atau mempengaruhi ruang lingkup lainnya. Sebagai contoh, bila negara melangkahi batas kedaulatannya dan mencoba mengambil alih kedaulatan gereja secara keseluruhan, maka gereja akan menjadi rusak dan tidak bisa berkembang sebagai persekutuan orang-orang beriman. Begitu juga dengan gereja, yang tidak berhak untuk melampaui kedaulatannya dan memveto keputusan negara, ilmu pengetahuan dan/atau kesenian, karena dengan demikian ruang lingkup aspek-aspek tersebut tidak dapat dikembangkan sesuai dengan esensi masing-masing di dalam rencana Tuhan. Demikianlah pembagian ruang-ruang lingkup kedaulatan di dalam kehidupan manusia, yang tak dapat melampaui kedaulatan Tuhan Yesus yang hidup dan satu-satunya yang berdaulat total. Dengan ini, semua ruang lingkup harus dikembangkan dengan semangat reformed, rasa gentar dan penuh tanggung jawab di hadapan Tuhan, sehingga keseluruhannya hanya untuk Dia saja, satu-satunya yang patut dipermuliakan dan yang bekerja di dalam segala hal! Amin!
Contoh penggambaran kedaulatan Allah atas semua aspek kehidupan Sumber: • SPHERE SOVEREIGNTY, (A public address delivered at the inauguration of the Free University, Oct. 20, 1880), Translated by George Kamps • Abraham Kuyper: a centennial reader Von James D. Bratt • http://www.vanguardchurch.com/the_radical_life_and_thought_of_abraham_k uyper.htm • http://www.ucalgary.ca/~nurelweb/papers/irving/kuyperp.html • http://stevebishop.blogspot.com/2009/09/sphere-sovereignty.html http://www.ccel.org/ccel/kuyper/?show=biography
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
31
Raja:
Ambilkan pedang, penggallah anak itu menjadi dua bagian. Berikanlah masing-masing satu bagian tubuh anak itu. Perempuan pertama: Jangan, berikanlah kepadanya bayi yang hidup itu. Perempuan kedua: Penggallah satu untukku dan satu untuk dia. Raja: Jangan bunuh bayi itu, berikanlah kepada ibu yang mengasihi bayinya.
(1. Raja-raja 3)
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Biografi
32
Biografi
ABRAHAM KUYPER Herawaty Nama Keluarga: Kuyper Nama: Abraham Tanggal lahir: 29 Oktober 1837 Tempat lahir: Maassluis, Belanda Tanggal Meninggal: 8 November 1920 Tempat Meninggal: Den Haag, Belanda
Kuyper
adalah seorang teolog, jurnalis dan Perdana Menteri Belanda. Dilahirkan oleh ibu seorang guru dan ayah seorang pastor. Kuyper dibesarkan di dalam teologi modern yang sangat liberal, menyelesaikan tingkat sarjananya dalam bidang sastra dan filsafat di Universitas Leyden - Belanda, dan kemudian beliau belajar kependetaan di Sekolah Teologi Leyden dan meraih gelar doktor. Di dalam masa studinya, Kuyper berhasil meraih penghargaan dalam perlombaan penulisan essay perbandingan pemikiran Calvin dan J.A. Lasco atas gereja. Pada tahun 1866, ketika Kuyper menjadi gembala di desa Beesd, beliau mulai beralih dari aliran modernisme ke aliran Reformed Ortodox melalui sekumpulan orang-orang sederhana yang begitu kuat imannya dan pemahaman atas doktrin tradisional Calvin. Sejak saat itu, Kuyper sangat dipakai Tuhan dalam pelayanan Firman Tuhan dengan pemahaman iman reformed ortodoks. Pemahamannya yang semakin dewasa secara biblical membawa perubahan dalam gereja dan masyarakat Belanda. Pada tahun 1871, Kuyper menulis di surat kabar mingguan De Heraut, dan setahun kemudian mendirikan surat kabar harian De Standaard. Kuyper memberikan pengaruh terhadap reformasi kekristenan dari teologi yang liberal menuju teologi reformed di Belanda melalui media ini. Penulisan ini ditujukan kepada semua tingkat masyarakat di Belanda, dengan pesan "prinsip-prinsip Iman Kristen terhadap dosa, keselamatan dan pelayanan harus diaplikasikan dalam setiap area kehidupan untuk kemuliaan Allah." Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
33
Biografi
Kuyper bertemu dengan Green van Prinsterer, seorang Calvinis yang juga anggota parlemen. Pada tahun 1979, mereka membentuk suatu partai politik Anti-Revolusioner yang mencakup semua bidang hukum publik, pendidikan, masalah penjajahan dan masalah sosial. Partai ini mencetuskan penghentian penjajahan atasa negara-negara koloni Belanda dan perbaikan kesejahteraan buruh industri. Parlemen ini meraih suara yang sangat besar di parlemen, yang menjadikan Kuyper sebagai Perdana Menteri Belanda. Pemikiran politik yang diperkenalkan oleh Abrahan Kuyper adalah prinsip "Sphere Sovereignity" yang mencakup 3 hal, yaitu: 1. Kedaulatan yang Mutlak hanya milik Allah 2. Semua kedaulatan yang ada di muka bumi berada di bawah dan diturunkan dari Kedaulatan Allah 3. Tidak ada satu kedaulatan di bumi yang lebih tinggi dari kedaulatan lain yang ada di bumi Prinsip Sphere Sovereignity ini menberi cara untuk membatasi manusia dan institusi yang korup dan memberikan jalan untuk mengatasi konflik yang terjadi. Kalimat yang terkenal dari Abraham Kuyper "There is not a single inch on the whole domain of our human existence over which Christ, who is sovereign over all, does not cry: Mine!"
Sumber: Abraham Kuyper a Biography by Frank Vanden Berg http://artikel.sabda.org/ http://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Kuyper
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Seputar MRII-Berlin
34
SEPUTAR MRIIMRII-BERLIN Stephen Tahary
Retreat yang berlalu pada tanggal 20-23 Mai 2009 di Buckow juga boleh sekali lagi memberikan berkat buat para pesertanya. Pembicara di dalam retreat ini adalah Pdt. Billy Kristanto, Ev. Steve Hendra dan Bapak David Tong yang khusus datang dari boston untuk menjadi pembicara di retreat ini. Mereka memaparkan banyaknya pemikiran-pemikiran dunia yang bertentangan dengan Alkitab. Dan para peserta juga dengan semangatnya menyimak setiap seminar2 yang ada dan mendapat sesuatu yang baru dan berkat. Puji Tuhan untuk penyertaanNya di dalam retreat ini. Pada musim panas kami mengadakan pesta perpisahan dengan saudara kami Fenny Puspita Sari. Fenny Puspita Sari telah menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia. Kiranya Tuhan memimpin Fenny didalam kehidupan selanjutnya di Indonesia. Kami segenap buletin Rein mengucapkan selamat kepada Ev.Hendra Wijaya atas lahirnya Geerhardus Augustine Wijaya Lay pada tanggal 25 September 2009 di Singapura dengan berat 3,09 kg dan tinggi 51 cm. Kiranya Tuhan berkati Keluarga Ev. Hendra Wijaya. Pada tanggal 1 November 2009 kami mengadakan kebaktian reformasi bersama-sama dengan gereja Martin Luther die Neukölln. Dalam kebaktian ini, MRII Berlin mempersembahkan sebuah lagu dengan judul „Ein Feste Burg Ist Unser Gott“ dan selain itu MRII Berlin juga memainkan sebuah lagu dengan menggunakan angklung. Dengan sambutan yang hangat atas pelayanan kami dan berkat yang mereka boleh dapatkan membuat kami termotivasi semakin ingin melayani Tuhan. Selama
dua bulan kebelakang, kami mulai berlatih untuk acara malam Indonesia pada tanggal 7 November. Kami melatih beberapa lagu yang dimainkan dengan alat musik angklung. Suatu alat yang menarik, dibuBuletin REIN Edisi 16 - November 2009
35
Seputar MRII-Berlin
tuhkan suatu kerjasama yang baik untuk bisa mengharmoniskan antara yang satu dengan yang lainnya. Atau lebih tepatnya suatu latihan kerjasama yang baik. Selain itu juga kami melatih, beberapa lagu koor, dan satu cerita untuk wayang wahyu. Itulah secara singkat kegiatan-kegiatan MRII Berlin dalam 6 bulan terakhir ini. Soli Deo Gloria!
Kami mengundang mengundang kalian untuk ikut hadir dalam merayakan Kebaktian Natal Waktu dan Tempat: Minggu, 20 Desember 2009, pukul 16 Ev. Kirchengemeinde Martin-Luther Fuldastr. 50 Berlin 12045 U7, U-Bhf. Rathaus Neukölln
Buletin REIN Edisi 16 - November 2009
Mimbar Reformed Injili Indonesia di Berlin e.V.
Gereja Reformed Injili Indonesia Persekutuan Doa Penginjilan Kebaktian Umum Kebaktian Anak-anak
: Minggu, 15:15 : Minggu, 16:00 : Minggu, 16:00
Penelaahan Alkitab
: Sabtu, 16:00
Bertempat di : Ev.Kirchengemeinde Martin-Luther Fuldastr. 50-51 U7, U-Bhf. Rathaus Neukölln 12045 Berlin
Persekutuan Wilayah : setiap Jumat ke-2 dan ke-4, 19:00 Untuk keterangan tempat lebih lanjut harap menghubungi Sekretariat.
Sekretariat MRII-Berlin : Braunschweigerstr. 75 c/o Cahyadi 12055 Berlin Tel. (+49)30-87337853 / (+49)1791458691
http://www.grii.de/berlin email:
[email protected]
Nomor Rekening: MRII Berlin e.V. Kto.Nr. 0257576 BLZ. 100 700 24 Bankinst. Deutsche Bank