PEMBERIAN PURSED LIP BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TINGKAT SESAK NAPAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DISUSUN OLEH:
DWI LESTARI NIM. P.13081
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
PEMBERIAN PURSED LIP BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TINGKAT SESAK NAPAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RUANG ANGGREK 1 DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH:
DWI LESTARI NIM. P.13081
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Pursed Lip Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tingkat Sesak Napas pada Asuhan Keperawatan Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Ns. Meri Oktari M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Ns. Alfyana Nadya R, M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 4. Ns. Galih Setia Adi, M.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
iv
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Ns. Fakhrudin Nasrul Sani, M.Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing denga cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasan serta ilmu yang bermanfaat. 7. Kedua orang tuaku (Bapak Marmin dan Ibu Sumarni), yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 8. Teman-temman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, Mei 2016
DWI LESTARI NIM. P.13081
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………..………………x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Tujuan Penulisan................................................................................ 4 C. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. TinjauanTeori ....................................................................................7 1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis .................................................... 7 2. Pursed Lip Breathing Exercise ................................................... 36 B. Kerangka Teori ................................................................................ 39
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek Aplikasi Riset....................................................................... 40 B. Tempat dan Waktu ........................................................................... 40 C. Media atau Alat yang digunakan ..................................................... 40 D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset .............................. 40 E. Alat Ukur Evaluasi Tindakan Aplikasi Riset .................................. 41 BAB IV LAPORAN KASUS A. Identitas Klien .................................................................................. 43 B. Pengkajian ........................................................................................ 43 C. Perumusan Masalah Keperawatan ................................................... 53 D. Perencanaan ..................................................................................... 56 vi
E. Implementasi .................................................................................... 60 F. Evaluasi ............................................................................................ 69 BAB V
PEMBAHASAN A. Pengkajian ........................................................................................ 79 B. Perumusan Masalah Keperawatan ................................................... 86 C. Perencanaan ..................................................................................... 92 D. Implementasi .................................................................................... 97 E. Evaluasi .......................................................................................... 106
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................... 108 B. Saran .............................................................................................. 112 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 KerangkaTeori………………………………………………………39 Gambar 3.1 TeknikMenghirupdanMenghembuskanNafas………………………41
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tingkat Keparahan PPOK……………………………………………..11 Tabel 2.2 Skala Borg……………………………………………………………..15
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Usulan Judul Aplikasi Jurnal Lampiran 2. Lembar konsultasi Karya tulis Ilmiah Lampiran 3. Surat Pernyataan Lampiran 4. Jurnal Utama Lampiran 5. Asuhan Keperawatan Lampiran 6. Log book Lampiran 7. Lembar Pendelegasisan Lampiran 8. Lembar Observasi Aplikasi Jurnal Lampiran 9. Daftar Riwayat Hidup
x
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru. Gangguan yang paling sering adalah bronchitis kronis, emfisema, dan asma bronkhial (Muttaqin, 2014). Menurut World Health Organization (WHO) 2010 PPOK termasuk didalamnya emfisema telah menempati peringkat keempat sebagai penyakit penyebab kematian, dan penyakit paru ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat (Windrasmara, 2012). Di Indonesia Prevalensi kasus PPOK menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) menyebutkan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 sebanyak 3,4%. Dan pada tahun 2014 menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2015) di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan menjadi 2,14%. PPOK merupakan penyakit yang disebabkan oleh asap rokok, pekerjaan, polusi udara, usia, dan faktor resiko lainnya. Gejala yang paling sering muncul diantaranya batuk kronis, produksi sputum berlebih dan sesak nafas (Ikawati, 2013). Mekanisme sesak nafas pada PPOK oleh karena ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penelaan pergerakan saluran nafas,
1
2
hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk (Ardiyansyah, 2012). Penatalaksanaan medis untuk PPOK (Muttaqin, 2014) antara lain dengan pengobatan farmakologi: Anti–inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin, dan lain-lain), bronkodilator, adrenergik (afedrin, epeneprin, dan beta adrenegik agonis selektif), non adrenegik (aminofilin, teofilin), Antihistamin, Steroid, Antibiotik Penicillin, tetraciklin, ampicilin dan Ekspektoran: Amnium karbonat, acetilsistein, bronheksin, bisolvon, tripsin, serta indikasi oksigen : pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek dengan eksaserbasi akut dan serangan akut pada asma (Muwarni, 2011). Pasien dengan PPOK dapat dberikan penatalaksanaan non farmakologi diantaranya adalah rehabilitasi yaitu dengan melakukan tehnik pursed lips breathing exercise yang dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan mandiri (Smeltzer, 2008). Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan pernafasan untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih efektif dan mengurangi sesak nafas (Smeltzer, 2008). Ramos dkk (2009 dalam khasanah, 2013) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pursed lips breathing secara signifikan dapat menurunkan sesak nafas dan heart rate serta meningkatkan
3
saturasi oksigen pada pasien dengan PPOK. Hasil penelitian Hafiizh (2013) pursed lips breathing dapat menurunkan respiratory rate (RR) dan meningkatkan pulse oxygen saturation (SpO2) pada penderita PPOK. Hasil penelitian Bakti (2015) yang dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) di Surakarta pada pasien PPOK kelompok control dan kelompok perlakuan dengan sesak nafas yang di beri intervensi Pursed Lip Breathing Exercise dimana kelompok control ada pengaruh nebulizer. Hasil penelitian selisih mean dari kelompok control sebesar 0,4 sedangkan mean selisih kelompok perlakuan sebesar 0,87. Dilihat dari selisih mean, kelompok perlakuan lebih besar dan lebih bagus. Hasil wawancara dengan rekam medik RSUD Dr. Moewardi. Didapatkan informasi penderita PPOK rawat inap pada tahun 2013-2015, pada tahun 2013 sebanyak 93 orang, pada tahun 2014 sebanyak 129 orang dan pada tahun 2015 sebanyak 123 orang. Rata-rata penderita dirawat dengan keluhan sesak nafas yang sangat berat dan sebagian dari mereka datang dengan serangan sesak nafas berulang. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan penulis di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, penulis menemukan kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yang terjadi pada Tn. A dengan tanda dan gejala sesak nafas, batuk berdahak, sesak nafas setelah melakukan aktivitas, nafas pendek, ekspirasi memanjang dan tampak menggunakan otot bantu pernafasan. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menyusun karya tulis ilmiah yang berjudul “Pemberian Pursed Lip Breathing Exercise
4
Terhadap Penurunan Tingkat Sesak Napas pada Asuhan Keperawatan Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr.Moewardi Surakarta.
B. Tujuan Penulisan 1.
Tujuan Umum Melaporkan studi kasus pengaruh Pursed Lip Breathing Exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr.Moewardi Surakarta.
2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
5
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian pursed lips breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Rumah Sakit Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan pemberian pursed lips breathing exercise pada asuhan keperawatan khususnya bagi pasien dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Kronik. 2.
Bagi Institusi Dapat memberikan kontribusi laporan hasil pemberian pursed lips breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada pasien dengan PPOK bagi pengembangan praktik keperawatan dan pemecahan masalah khususnya dalam bidang atau profesi keperawatan.
3. Bagi Perawat a. Mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif kepada pasien dengan penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik. b. Melatih berfikir dalam melakukan asuhan keperawatan, khususnya pada pasien dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Kronik. 4. Bagi Penulis Dapat melakukan tindakan pemberian pursed lips breathing exercise pada asuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
6
secara langsung dan optimal pada praktek klinik keperawatan dan sebagai tambahan ilmu bagi penulis. 5. Bagi Pembaca Memberikan kemudahan bagi pembaca sebagai saran dan prasarana dalam pengembangan ilmu keperawatan, diharapkan setelah pembaca membaca buku ini dapat mengetahui tentang
pursed lips
breathing exercise dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dan menjadi acuan atau ada sebuah penelitian untuk kasus ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) a.
Definisi Penyakit Paru Obtruksi Kronis Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2010 (Ikawati, 2011), Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakteristikan oleh adanya obstruksi saluran pernapasan yang tidak reversibel sepenuhnya. Menurut Suradi (2009) Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernafasan disebabkan oleh emfisema dan bronkhitis kronik. Gangguan pernafasan kronis ini secara progresif memperburuk fungsi paru-paru dan membuat aliran udara menjadi terbatas, khususnya saat ekspirasi. Keadaan ini akan mengakibatkan komplikasi gangguan pernafasan dan jantung. Penderita PPOK pada umumnya mengalami sesak nafas dan batuk. Keadaan ini terjadi secara berulang-ulang, memberikan gejala klinis kronis (menahun) kemudian perlahan-lahan semakin bertambah berat. Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar
7
8
paru. Gangguan yang paling sering adalah bronkhitis kronis, emfisema, dan asma bronkhial (Muttaqin, 2014). Price & Wilson (2006) menjelaskan bronkhitis kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mukus yang berlebihan didalam bronkhus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta membentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, minimal 2 tahun berturut-turut. Muttaqin (2014) menjelaskan emfisema adalah perubahan anatomi parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus alveolar, dan destruksi dinding alveolar. Dan Asma bronkhial merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan tanggapan reaksi yang meningkat dari trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan menyeluruh dari saluran pernapasan. b. Etiologi Penyakit Paru Obstruksi kronik disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus PPOM. Faktor resiko lain termasuk keadaan sosial-ekonomi dan status pekerjaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat dengan lokasi pertambangan, perokok pasif atau terkena polusi udara dan konsumsi alkohol yang berlebih, laki-laki dengan usia antara 30 sampai 40 tahun paling banyak menderita PPOM (Padila, 2012).
9
1) Merokok Merokok
merupakan
penyebab
utama
terjadinya
PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10% orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga beresiko menderita PPOK (Ikawati, 2011). 2) Pekerjaan Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, serta asbes, mempunyai resiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan diatas (Ikawati, 2011). 3) Polusi udara Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi udara ini bisa berasal dari rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupaun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur (Ikawati, 2011).
10
4) Usia Pada penderita PPOK jarang menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang termasuk perkecualian yang jarang dari pernyataan umum ini seringkali berhubungan dengan sifat yang terkait dengan defisiensi bawaan dari antitripsin alfa-1. Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan seseorang mengalami emfisema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang beresiko menjadi semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008). 5) Berbagai faktor lainnya menurut Rab (2013), yakni : a) Jenis kelamin, Dimana laki-laki lebih beresiko terkena PPOK dari pada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada
pria.Namun
ada
kecenderungan
peningkatan
prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok (Ikawati, 2011). b) Infeksi bronkhus yang berulang. c) Faktor genetik Defisiensi alfa1-antitripsin atau AAT ini terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Pada keadaan normal faktor
11
protektif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah terjadinya kerusakan. Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap kerusakan paru (Ikawati, 2011). c.
Klasifikasi PPOK Klasifikasi derajat PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala yang menggambarkan keterbatasan saluran udara dan tingkat keparahan penyakit (GOLD, 2010 dalam Ikawati, 2011) : Tabel 2.1 Tingkat keparahan PPOK Tingkat I Ringan
II Sedang
• • • • •
• III Berat
• • •
IV Sangat berat
• •
•
Nilai FEV1 dan gejala FEV1/ FVC <70%, FEV1 ≥80%. Ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pasien tidak menyadari ada penurunan fungsi paru FEV1/FVC <70%, 50% < FEV1< 80%. Gejala biasanya mulai progresif atau memburuk, nafas pendek-pendek, batuk kronis, sputum produktif, sesak nafas saat aktivitas. Pada tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit. FEV1 / FVC <70%, 30% < FEV1< 50%. Terjadi eksaserbasi berulang, mengurangi kualitas hidup Batuk kronis, sputum produktif, sesak nafas sangat berat, mengurangi aktifitas, kelelahan FEV1 / FVC <70% , FEV1 < 30% atau < 50% dan kegagalan respirasi kronis. pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika FEV1 > 30%,tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale. kualitas hidup sangat terganggu dan serangan mungkin mengancam nyawa.
12
Keterangan : FEV1: Forced Expiratory Volume atau Volume Ekpirasi Paksa dalam satu detik. FVC : Forced Vital Capacity atau Kapasitas Vital Paksa. d. Manifestasi Klinis Menurut Ikawati (2011), diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum, dispnea, dan riwayat paparan suatu resiko. Selain itu, adanya obstruksi saluran pernafasan juga harus dikonfirmasi dengan spirometri. Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut : 1) Batuk kronis Batuk merupakan suatu refleks protektif yang timbul akibat iritasi percabangan trekeobronkial (Muttaqin, 2014). Pada pasien PPOK batuk kronis terjadi berulang setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari (tidak seperti asma yang terdapat gejala batuk malam hari) (Ikawati, 2011). 2) Produksi sputum secara kronis Produksi sputum yang berlebihan, proses pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga sputum akan tertimbun (Muttaqin, 2014). Semua pola produksi sputum dapat mengindikasikan adanya PPOK (Ikawati, 2011).
13
3) Bronkhitis akut Pada pasien PPOK terjadi bronkhitis kronis secara berulang (Ikawati, 2011). 4) Sesak nafas (dispnea) Sesak nafas merupakan manifestasi dasar penyakit. Dengan berbagai cara digambarkan sebagai haus udara, napas pendek, tidak mampu menarik napas dalam, dan banyak keluhan lainnya. Sesak napas merupakan suatu manifestasi gangguan interprestasi keseimbangan otak diantara banyak aferen dan eferen, yang mengendalikan pengiriman oksigen ke jaringan (Ringel, 2012). Otak merupakan hubungan tertentu di antara tekanan oksigen darah, tekanan karbondioksida jaringan, reseptor regang dinding dada, kebutuhan oksigen jaringan, pengiriman
oksigen,
dan
kerja
pernapasan.
Gangguan
keseimbangan menyebabkan sesak napas (Ringel, 2012). Mekanisme sesak nafas pada PPOK oleh karena ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penelaan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk (Ardiyansyah, 2012). Begitu juga jika terjadi tahanan jalan nafas maka
14
pertukaran
gas
juga
akan
terganggu
dan
juga
dapat
menyebabkan dispnea (Price dan Wilson, 2006). Menurut Irianto (2014) gejala-gejala awal dari PPOK, yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok adalah batuk dan adanya lendir. Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak napas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak napas akan dirasakan saat melakukan kagiatan rutin sehari-hari, seperti dikamar mandi, mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita jadi malas tidak nafsu makan. Menurut Ikawati (2011) sesak nafas pada pasien PPOK bersifat progresif sepanjang
waktu,
terjadi
setiap
hari,
memburuk
jika
berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan. Untuk
mengukur
derajat
sesak
nafas
dapat
menggunakan prinsip psikofisik. Dua tujuan untuk mengukur sesak nafas adalah untuk membedakan pasien sesak nafas yang lebih ringan dan sesak nafas yang lebih berat dan untuk mengevaluasi perubahan sesak nafas setelah pemberian pengobatan (Donal, 2006). Untuk mengukur sesak nafas dapat menggunakan nilai skala Borg (Bakti, 2015). Skala Borg yang dimoidifikasi berupa garis vertical yang diberi nilai 0 sampai
15
10 dan tiap nilai mempunyai deskripsi verbal untuk membantu penderita menderajatkan intensitas sesak nafas dari derajat ringan sampai berat. Nilai tiap deskripsi verbal tersebut dibuat skor sehingga tingkat aktivitas dan derajat sesak nafas dapat dibandingkan antar individu (Subagyo, 2013). Tabel 2.2 Skala Borg SCALE 0 0.5
SEVERITY Tidak ada sesak napas yang sama sekali Sesak sangat ringan sekali
1
Sesak sangat ringan
2
Sesak ringan
3
Sesak sedang
4
Sesak kadang berat
5
Sesak berat
6-7
Sesak napas sangat berat
8-9
Sangat-sangat parah (Hampir Maksimum)
1O
Maksimum (Sumber: Subagyo, 2013)
5) Riwayat paparan terhadap faktor resiko Faktor resiko pada pasien PPOK diantaranya: merokok, pertikel dan senyawa kimia, asap dapur (Ikawati, 2011).
16
e.
Patofisiologi Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologi berikut biasanya terjadi secara berurutan : hipersekresi mukus, disfungsi silia, ketrbatasan aliran udara, hiperflamasi pulmonal, abnormalitas pertukaran gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas perifer menjadi tempat utama obstruksi pada pasien PPOK. Perubahan struktural dinding jalan nafas adalah penyebab terpenting peningkatan tahanan jalan nafas perifer. Perubahan inflamasi seperti edema jalan nafas dan hipersekresi mukus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer. Hipersekresi mukus disebabkan oleh stimulasi pembesaran kelenjar yang menyekresi mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediator inflamasi seperti
leukosilia
mengalami
metaplasia
skuamosa,
yang
menyebabkan gangguan pembersihan mukosilia, yang biasanya merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali terjadi pada PPOK (Morton, 2012). Keterbatasan aliran udara ekspirasi adalah temuan penting pada PPOK. Ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi kuat dalam satu detik (foced expiratory volume in 1 second, FEV 1) dan kapasitas vital kuat (forced vital capacity, FPC) menurun, hal in berhubungan dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas, penurunan kelekatan alveolar dan penurunan recoil eastis paru. Sering kali tamda pertama terjadi keterbatasan aliran uadra adalah
17
penurunan rasio FEV1 pasca bronkodilator kurang dari 80% dari nilai prediksi yang dikombinasikan (Morton, 2012).
f.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan medis menurut Muttaqin (2014) yang dapat diberikan kepada klien dengan PPOK, yakni : 1) Pengobatan farmakologi a) Anti – inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin, dan lainlain) (Muttaqin, 2014). b) Bronkodilator. Golongan adrenalin : adrenalin, isoprote Ncl, ossiprenalin. Golongan xantin : aminopilin, teopilin (Murwani, 2011). c) Antibiotik Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi PPOK, dengan pemilihan antibiotik bergantung kepada kebijakan lokal, terapi secara umum berkisar pada penggunaan yang disukai antara amoksilin, klaritromisin, atau trimetopri. Biasanya lama terapi tujuh hari sudah mencukupi (Francis, 2008). d) Ekspektoran : Amnium karbonat, acetil sistein, bronheksin, bisolvon, tripsin (Murwani, 2011).
18
e) Vaksinasi Vaksinasi yang dapat diberikan pada pasien PPOK antara lain vaksin influenza dan pneumococcus regular (Brashers, 2007). Vaksinasi infuenza dapat mengurangi angka kesakitan yang serius. Jika tersedia, vaksin pneumococcus direkomendasiakn bagi penderita PPOK yang berusia diatas 65 tahun dan mereka yang kurang dari 65 tahun tetapi nilai FEV1-nya <40% prediksi (Ikawati, 2011). f)
Indikasi oksigen Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek dengan eksaserbasi akut dan serangan akut pada asma (Murwani, 2011). Pengobatan oksigen bagi yang memerlukan, O2 arus diberikan dengan aliran lambat 1-2 liter/menit (Padila, 2012). Terapi oksigen yang jangka panjang akan memperpanjang hidup penderita PPOK yang berat dan penderita dengan kadar oksigen darah yang sangat rendah (Ringel, 2012). Oksigen diberikan 12 jam/hari, hal ini akan mengurangi kelebihan sel darah merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam darah. Terapi oksigen juga dapat memperbaiki sesak napas selama beraktivitas (Irianto, 2014).
19
2) Pengobatan Non farmakologi : a) Rehabilitasi Pada pasien PPOK dapat dilakukan rehabilitasi, ada beberapa teknik lebih efektif dari lainnya tetapi semuanya berpotensi membantu, teknik kontrol pernapasan, fisioterapi dada, terapi okupasional, latihan olahraga, latihan otot pernapasan (Brashers, 2007). Program aktivitas olahraga yang dapat dilakukan oleh penderita PPOK antara lain: sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan diatur waktu, dan frekuensinya dapat berkisar dari setiap hari sampai setiap minggu (Morton, 2012). Latihan bertujuan untuk meningkatkan kebugaran dan melatih fungsi otot skeletal agar lebih efektif, dilaksanakan jalan sehat (Muttaqin, 2014). b) Konseling nutrisi Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden malnutrisi bervariasi sesuai dengan derajat abnormalitas pertukaran gas (Morton, 2012). Perlu diberikan hidrasi secukupnya (minum air cukup : 8-10 gelas sehari), dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya protein dan mencegah makanan berat menjelang tidur. Susu dapat
20
menyebabkan
sekresi
bronkus
meningkat,
sebaiknya
dicegah (Ikawati, 2011). c) Penyuluhan Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK dan memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Sesi konseling singkat untuk mendorong perokok berhenti merokok menyebabkan angka berhenti menjadi 5% sampai 10% (Morton, 2012). Berhenti merokok banyak modalitas yang tersedia, termasuk hipnosis, penggantian nikotin (nasal, oral, dermal), buspiron, dan kelompok pendukung (Brashers, 2007). g.
Komplikasi Menurut Muwarni (2011), komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : 1) Kegagalan respirasi akibat seak nafas atau dispnea. 2) Kardiovaskuler yaitu cor pulmonal aritmia jantung. 3) Ulkus peptikum sukar diketahui. 4) PPOK umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu yang lama, penderita jadi cacat dan tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari. 5) Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi, dan kematian mendadak karena aritmia jantung.
21
h. Pemeriksaan Diagnostik 1) Uji fungsi paru Pada pasien PPOK uji fungsi paru dapat menunjukkan keterbatasan aliran udara yang merupakan hal yang paling penting secara diagnostik. Hal ini
biasanya dilakukan
menggunakan laju aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow atau PEF). Pada beberapa kasus dimana PPOK dicurigai, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan peak expiratory flow pediatrik. Ini bermanfaat untuk mencatat volume keluaran yang lebih kecil dengan menyediakan skala tepat untuk akurasi yang lebih baik. Hal ini sangat berguna jika sebelumnya peak expiratory flow dewasa menunjukan angka lebih rendah dan berubah-ubah atau jika pasien mengalami kesulitan merapatkan mulut disekitar mouthpiece pada peak expiratory flow dewasa. Penting untuk dicatat bahwa, sementara nilai laju aliran ekspirasi puncak yang normal saja tidak dapat menyingkirkan diagnosis PPOK, niali FEV1 normal yang diukur dengan spirometer akan menyingkirkan diagnosis PPOK (Francis, 2008). Menurut Muttaqin (2014) pengukuran fungsi paru pada pasien PPOK diantaranya akan terdapat kapasitas inspirasi menurun, volume residu meningkat pada emfisema, bronkhitis kronis, dan asma; FEV1 selalau menurun, FCV awal normal dan menurun pada bronkhitis serta asma.
22
2) Spirometri Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat uji reversibilitas digunakan untuk mematikan diagnosis yang tepat. Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan diagnosis yang tepat. Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan hasil spirometri yang didapat saat episode debilitas respirasi dengan hasil yang didapat setelah beberapa saat pemulihan. Pada kasus asma uji reversibilitas akan menunjukkan bahwa terjadi perbaikan setelah pemuihan, data numerik yang diperoleh dapat berada diantara batas normal atas dan bawah. Hal ini tidak khas pada PPOK dimana akan menunjukkan terjadinya sedikit perbaikan (Francis, 2008). 3) Analisa gas darah Analisa
gas
darah
merpakan
pemeriksaan
untuk
mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida dalam darah, meliputi PO2, PCO2, pH, HCO3, dan saturasi oksigen (Muwarni, 2012). 4) Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien PPOK menurut Muttaqin (2014), antara lain : a) Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia sekunder. b) Jumlah sel darah merah meningkat.
23
c) Eosinofil dan total IgE serum meningkat. d) Pulse oksimetri : SaO2 oksigenasi menurun. e) Elektrolit menurun karena pemakain obat diuretik. 5) Pemeriksaan sputum Pemeriksaan gram kuman atau kultur adanya infeksi campurn. Kuman patogen yang biasa ditemukan adalah Strepcoccus
pneumoniae,
Haemophylus
influenza,
dan
Moraxella catarrhalis (Muttaqin, 2014). Pewarnaan dan biakan sputum berguna untuk mendiagnosis bronkitis kronis dan untuk mengevaluasi eksaserbasi akut PPOK (Brashers, 2007). 6) Pemeriksaan radiologi thoraks foto Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area paru.Pada emfisema paru didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar, ruang udara retrosternal lebih besar (foto lateral), jantung tampak bergantung memanjang dan menyempit (Muttaqin, 2014). Menurut Murwani (2012) pada foto thorak pasien PPOK akan tampak bayangan lobus, corakan paru bertambah (Bronkhitis kronis), defisiensi arterial corakan paru bertambah (emfisema).
24
i.
Asuhan Keperawatan 1) Pengkajian Pengkajian adalah proses mengumpulkan informasi atau dasar tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang kesehatan klien, menentukan masalah keperawatan klien, menilai keadaan kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah berikutnya (Dermawan, 2012). Pengkajian yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) : a) Biodata Pasien Biodata pasien setidaknya berisi tentang nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan. Umur pasien dapat menunjukkan tahap perkembangan baik pasien secara fisik maupun psikologis. Jenis kelamin dan pekerjaan perlu dikaji untuk mengetahui hubungan dan pengaruhnya terhadap terjadinya masalah atau penyakit, dan tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan klien masalah atau penyakitnya (Muttaqin, 2014).
25
b) Riwayat Kesehatan Riwayat kesehatan yang perlu dikaji meliputi data saat ini dan masalah yang lalu.Perawat mengkaji klien atau keluarga dan berfokus kepada manifestasi klinik dari keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi sekarang ini, riwayat kesehatan masa lalu, dan riwayat kesehatan keluarga (Muttaqin, 2014). c) Keluhan Utama Keluhan utama akan menentukan prioritas intervensi dan mengkaji pengetahuan klien tentang kondisinya saat ini. Keluhan utama yang biasa muncul pada klien PPOK adalah sesak nafas yang sudah berlangsung lama sampai bertahuntahun, dan semakin berat setelah beraktivitas. Keluhan lainnya adalah batuk, dahak berwarna hijau, sesak semakin bertambah, dan badan lemah (Muttaqin, 2014). d) Riwayat Kesehatan Sekarang Klien dengan serangan PPOK datang mencari pertolongan terutama dengan keluhan utama sesak nafas, kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti wheezing, penggunaan otot bantu pernafasan, terjadi penumpukan lendir,
dan
sekresi
yang
sangat
menyumbat jalan nafas (Muttaqin, 2014).
banyak
sehingga
26
e) Riwayat Kesehatan Masa Lalu Pada PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan
dengan
interaksi
genetik
dengan
lingkungan.Misalnya pada orang yang sering merokok, polusi udara dan di tempat kerja (Muttaqin, 2014). f)
Riwayat Kesehatan Keluarga Menurut
Muttaqin
(2014)
tujuan
menanyakan
riwayat kesehatan keluarga dan sosial penyakit paru-paru sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu: (1) Penyakit infeksi tertentu, manfaaat menyakan riwayat kontak dengan orang terinfeksi akan dapat diketahui sumber penularannya. (2) Kelainan alergi. (3) Tempat tinggal pasien, kondisi lingkungan misalnya adanya polusi udara. g) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik fokus pada klien PPOK, yakni: (1) Inspeksi Pada klien dengan PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernafasan. Pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat klien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan
27
massa otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernafasan abnormal yang tidak efektif (Muttaqin, 2014). (2) Palpasi Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun (Muttaqin, 2014). (3) Perkusi Pada
perkusi,
hipersonor
didapatkan
sedangkan
suara
diafragma
normal
sampai
mendatar
atau
menurun (Muttaqin, 2014). (4) Auskultasi Pada auskultasi, sering didapatkan bunyi suara napas ronkhi
dan
wheezing
sesuai
tingkat
keparahan
obstruktif pada bronkhiolus(Muttaqin, 2014). 2) Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yaitu proses keperawatan yang mencakup 2 fase analisis atau sintesis dasar menjadi pola yang bermakna dan menuliskan pernyataan diagnosa (Dermawan, 2012). Setelah melakukan analisis atau sintesis dan muncul diaognosa keperawatan, maka perawat harus melakukan prioritas diagnosa keperawatan menurut kebutuhan dasar manusia.
Banyak
ahli
filsafat,
psikologi
dan
fisiologi
menguraikan kebutuha manusia dan membahasnya dari berbagai
28
segi. Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia maslow. Hierarki tersebut meliputi lima kategori kebutuhan dasar, yakni : a) Kebutuhan
fisiologis,
kebutuhan
fisiologis
memiliki
prioritas tertinggi dalam hierarki maslow, kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan hidup. Manusia memiliki delapan macam kebutuhan, yaitu : kebutuhan oksigen, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urin dan alvi, kebutuhan istirahat dan tidur, kebutuhan aktivitas, kebutuhan kesehatan temperatur tubuh, kebutuhan seksual. b) Kebutuhan keselamatan dan rasa aman. c) Kebtutuhan rasa cinta. d) Kebutuhan harga diri. e) Kebutuhan aktualisasi diri. (Mubarok dan Cahyatin, 2008) Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa keperawatan utama yang dapat muncul pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik menurut Muttaqin (2014), antara lain : a) Ketidakefektifan
pola
nafas
berhubungan
hiperventilasi, keletihan otot pernafasan.
dengan
29
b) Ketidakefektifan bersihan bersihan jalan napas berhubungan dengan adanya bronkokontriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif. c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan kerja napas, hipoksemia secara reversibel atau menetap. d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan napsu makan, faktor biologis. e) Intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. f)
Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan.
g) Resiko tinggi infeksi pernapasan berhubungan dengan akumulasi sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektif. h) Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan. 3) Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan,
adalah
menentukan
memprioritaskan hasil
akhir
diagnosa
perawatan
klien,
mengidentifkasi tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan rasional
ilmiahnya,
dan
memetapkan
rencana
asuhan
30
keperawatan, diagnosa diprioritaskan sesuai dengan keseriusan atau mengancam jiwa (Dermawan, 2012). a) Ketidakefektifan
pola
nafas
berhubungan
dengan
hiperventilasi, keletihan otot pernafasan. Kriteria hasil : (1) Pasien menunjukkan jalan napas yang paten (irama napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara abnormal). (2) Tanda - tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernapasan). Intervensi keperawatan : (1) Observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien Rasional: untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien dalam rentang normal atau tidak. (2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler. Rasional: untuk membantu pengembangan rongga dada secara maksimal, peninggian kepala tempat tidur mempermudah
fungsi
pernafasan
dengan
menggunakan gravitasi. (3) Ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise
31
Rasional : menurunkan tingkat sesak nafas dan skala Borg (4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Rasional:
dengan
rasional
memberikan
terapi
farmakologi. b) Ketidakefektifan
bersihan
bersihan
jalan
napas
berhubungan dengan adanya bronkokontriksi, produksi mukus
dalam
jumlah
berlebih,
dan
menurunnya
kemampuan batuk efektif. Kriteria hasil : (1) Pasien dapat melakukan batuk efektif. (2) Pasien dapat mengeluarkan sekret. (3) Pada pemeriksaan auskultasi paru , memiliki suara napas yang jernih. Intervensi keperawatan : (1) Pantau frekuensi pernafasan pasien Rasional: dengan rasional untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien sudah dalam rentang normal atau belum (2) Auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan
32
Rasional: untuk mengetahui adanya suara nafas tambahan (3) Ajarkan cara batuk efektif Rasional : mempermudah mengeluarkan sputum (4) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat, Rasional: untuk memberikan pengobatan farmakologis. (Nurarif, 2013) c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan kerja napas, hipoksemia secara reversibel atau menetap. Kriteria hasil : (1) Pasien dapat mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat. (2) Tanda-tanda vital dalam rentang normal. Intervensi keperawatan : (1) Kaji
frekuensi,
penggunaan
otot
kedalaman aksesori,
pernapasan. napas
bibir,
Catat dan
ketidakmampuan berbicara. Rasional: berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan atau kronisnya proses penyakit. (2) Dorong
pengeluaran
sputum,
penghisapan
bila
diindikasikan. Rasional: banyaknya sekresi yang kental dan tebal merupakan sumber utama gangguan pertukaran gas
33
pada jalan napas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif. (3) Awasi tanda vital dan irama jantung. Rasional: takikardia, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fingsi jantung. (4) Aktivitas kolaboratif : pemberian oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi analisa gas darah dan toleransi pasien. Rasional:
dapat
memperbaiki
atau
mencegah
memburuknya hipoksia. (Nurarif, 2013) d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan napsu makan, faktor biologis. Kriteria hasil : (1) Peningkatan napsu makan. (2) Tidak ada penurunan berat badan yang berarti. Intervensi keperawatan : (1) Kaji intake makanan Rasional: untuk mengetahui pola makan/kebiasaan makan
pasien
karena
pasien
dengan
distress
34
pernafasan sering anoreksia sehingga cenderung berat badan menurun. (2) Berikan perawatan oral hyiegene Rasional: kebersihan oral dapat meningkatkan nafsu makan karena makanan akan terasa lebih enak. (3) Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat Rasional : membantu mencegah distensi gaster dan ketidaknyamanan, serta meningkatkan nafsu makan (4) Kolaborasi dengan ahli gizi Rasional: gizi rasionalnya untuk menentukan diit pasien yang memenuhi asupan kalori dan nutrisi yang optimal. (Nurarif, 2013) e) intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Kriteria hasil: (1) pasien tidak merasa sesak nafas dan letih lemah setelah beraktivitas (2) Pasien mampu melakukan aktivitas sehari- hari secara mandiri
35
Intervensi keperawatan : (1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan Rasional: untuk mengetahui kemampuan pasien dalam beraktivitas (2) Pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas Rasional: dapat mengetahui ada tidaknya perubahan status pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas (3) Bantu pasien identifikasi penyebab keletihan Rasional : untuk mengetahui penyebab keletihan (4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat Rasional : untuk memberikan terapi farmakologi. (Nurarif, 2013) f)
Gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Kriteria hasil: (1) jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam per hari (2) kualitas tidur pasien baik atau nyenyak Intervensi keperawatan : (1) Pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari
36
Rasional: untuk mengetahui jam tidur pasien dalam rentang normal atau tidak (2) Berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang nyaman) Rasional :untuk menunjang tidur pasien agar nyenyak, (3) Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat Rasional: agar pasien tahu akan pentingnya tidur yang adekuat untuk kesehatan (4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat Rasional: untuk memberikan terapi farmakologis. (Nurarif, 2013) (1) Pursed Lip Breathing Exercise a.
Definisi Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan pernapasan dengan cara penderita duduk dan inspirasi dalam saat ekspirasi penderita menghembuskan melalui mulut hampir tetutup seperti bersiul secara (Smeltzer, 2008).
b. Tujuan Tujuan dari Pursed Lip Breathing Exercise untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernapasan, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan ansietas dan mencegah pola aktivitas otot pernapasan yang tidak berguna, melambatkan frekuensi pernapasan,
37
mengurangi uadara yang terperangkap, serta mengurangi kerja bernafas (Smeltzer, 2008). Pursed Lip Breathing Exercise dapat mencegah atelektasis dan
meningkatkan
fungsi
ventilasi
pada
paru,
pemulihan
kemampuan otot pernafasan akan meningkatkan compliance paru sehingga ventilasi lebih adekuat dan menunjang oksigenasi jaringan (Westerdhal, 2005 dalam Bakti, 2015). Latihan pernafasan denganPursed Lip Breathing Exercise memmbantu meningkatkan compliance paru untuk melatih kerja otot pernafasan berfungsi dengan baik serta mencegah distress pernafasan (Ignantivus dan Workman, 2006 dalam Bakti, 2015). c.
Langkah – langkah tindakan Pursed Lip Breathing Exercise Langkah-langkah atau teknik pursed lip breathing exercise diantaranya meliputi: mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat tidur atau kursi, meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat dibawah proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas, kemudian menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup selama inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik, dan hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan serta sedikit terbuka sambil mengkontraksikan otot-otot abdomen selama 4 detik dalam sehari dilkakuakn 1 kali dengan 5 kali pengulangan (Smeltzer, 2008).
38
Pursed Lip Breathing Exercise adalah suatu latihan bernafas yang terdiri dari dua mekanisme yaitu inspirasi secara dalam serta ekspirasi aktif dalam dan panjang. Proses ekspirasi seacara normal merupakan proses mengeluarkan nafas tanpa menggunakan energi berlebih. Bernafas Pursed Lip Breathing Exercise melibatkan proses ekspirasi secara panjang. Inspirasi dalam dan ekspirasi panjang tentunya akan menigkatkan kekuatan kontraksi otot intra abdomen sehingga tekanan intra abdomen meningkat melebihi pada saat ekspirasi pasif. Tekanan intra abdomen yang meningkat lebih kuat lagi tentunya akan meningkatkan pergerakan diafragma ke atas membuat rongga thorak semakin mengecil. Rongga thorak yang semakin mengecil ini menyebabkan tekanan intra alveolus semakin meningkat sehingga melebihi takanan udara atmosfer. Kondisi tersebut akan menyebabkan udara mengalir keluar dari paru ke atmosfer. Ekspirasi panjang saat bernafas Pursed Lip Breathing Exercise juga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas dihilangkan sehingga resistensi pernafasan menurun. Penurunan resistensi pernafasan akan memperlancar udara yang dihirup dan dihembuskan sehinggga akan mengurangi ssesak nafas (Smeltzer, 2008).
39
B. Kerangka Teori -
Merokok
-
Polusi udara
-
Infeksi
-
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
pernapasan
-
Batuk
Riwayat kerja
-
Adanya Sputum
Obstruksi Jalan Nafas
Pursed Lip Breathing Exercise
Sesak Nafas
Obstruksi Jalan Nafas Hilang Penurunan Resistensi pernafasan Pernapasan Sesak Nafas berkurang
Gambar 2.1 (Kerangka Teori) Sumber : (Ikawati, 2011; Smeltzer, 2008; Bhakti, 2015).
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek Aplikasi Riset Tindakan dilakukan pada pasien Tn. A di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Surakarta. B. Tempat dan Waktu 1. Tempat
: Di Ruang Anggrek 1 dan Rumah Tn. A
2. Waktu
: Terapi diberikan pada tanggal 12-14 Januari 2016, tanggal
12-13 Januari 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta dan pada tanggal 14 Januari 2016 di rumah Tn. A. C. Media dan Alat yang Digunakan Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang akan digunakan adalah : 1. Lembar observasi yang digunakan untuk mencatat hasil pengukuran atau pemeriksaan tingkat sesak nafas. 2. Stetoskop yang digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat sesak napas. D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset 1. Mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat tidur atau kursi. 2. Meletakkan
satu tangan pasien di abdomen (tepat dibawah
proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada. 3. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup selama inspirasi dan tahan napas selama 2 detik.
40
41
4. Hembuskan nafas melalui bibir dirapatkan dan sedikit terbuka seperti bersiul sambil mengkontraksikan otot-otot abdomen selama 4 detik. 5. Dilakukan sehari 1 kali dengan 5 kali pengulangan (Smeltzer, 2008).
Gambar 3.1 Teknik menghirup dan menghembuskan napas E. Alat Ukur Evaluasi dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset Lembar observasi yang didalamnya adalah : 1. Frekuensi normal pernapasan 16-24 kali per menit (Muttaqin, 2014). 2. Penggunaan otot bantu pernapasan (Ganong, 2008) : a. Musculus Strenokleidomastoideus b. Musculus Scalenus c. Musculus Pektoralis Mayor d. Musculus Serratus Anterior e.
Musculus Abdominalis
42
3. Nilai skala Borg.
SKALA BORG SCALE 0 0.5
SEVERITY Tidak ada sesak napas yang sama sekali Sesak sangat ringan sekali
1
Sesak sangat ringan
2
Sesak ringan
3
Sesak sedang
4
Sesak kadang berat
5
Sesak berat
6-7
Sesak napas sangat berat
8-9
Sangat-sangat parah (Hampir Maksimum)
1O
Maksimum
(Sumber: Subagyo, 2013)
BAB IV LAPORAN KASUS Pada bab ini penulis menjelaskan tentang resume pengaruh pemberian pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di ruang anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Resume asuhan keperawatan pada Tn. A meliputi identitas, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah keperawatan, implementasi yang telah dilakukan dan evaluasi. Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 jam 14.00 WIB, pada kasus ini dilakukan dengan metode autoanamnesa dan alloanamnesa. A. Identitas Pasien Pengkajian didapatkan identitas pasien dengan nama pasien Tn. A berumur 62 tahun, beragama islam, pasien lulusan Sekolah Dasar (SD), Tn. A sebagai kepala rumah tangga yang beralamat di Karanganyar. Tn. A datang ke RSUD Dr. Moewardi pada tanggal 07 Januari 2016 dengan diagnosa medis penyakit paru obstruksi kronik dengan nomor rekam medis 01325720. Identitas penanggung
jawab bernama Sdr. T berumur 27 tahun, bekerja
sebagai karyawan swasta, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), beralamat di Karanganyar, hubungan dengan Tn. A sebagai anak. B. Pengkajian Hasil dari pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pasien mengeluhkan sesak nafas. Riwayat penyakit sekarang, pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 07 Januari 2016 jam 21.00
43
44
WIB, pasien rujukan dari UPT Puskesmas Ngargoyoso dengan keluhan batuk darah bercampur dahak dan buih sebanyak 1 sendok makan, 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk berdahak dengan dahak putih encer. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas memburuk 8 bulan ini, sesak nafas tidak dipengaruhi oleh debu atau cuaca, sesak nafas jika aktivitas berat, ada suara tambahan nafas mengi, tidak ada nyeri dada, kedua kaki pasien sering bengkak jika sesak nafas, pasien tidur dengan satu bantal dan sering terbangun karena sesak nafas, panas baru 1 hari, mual, tidak muntah, badan lebih kurus kurang lebih dari 2 tahun yang lalu. Pada pasien BAB dan BAK tidak ada keluhan, dari hasil pemeriksaan di dapatkan tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 90 kali per menit, pernafasan 29 kali per menit, suhu 37,2 °C dan saturasi oksigen 98 %. Pasien di IGD mendapat oksigen nasal kanul 2 liter per menit, infus Nacl 0,9% 20 tetes per menit, injeksi methyl prednizolon 62,8gram, injeksi furosemid 40mg, injeksi asam traneksamat 1gr, injeksi ceftriaxon 2 gr (skin test), dan obat oral N. asetil sistein 200mg, sucralfat sirup 5ml. Pasien dari IGD Tulip di pindah ke ruang anggrek 1 pada tanggal 8 Januari 2016 jam 05.00 WIB, untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan selama ± 2 tahun sudah merasakan sesak nafas, pasien batuk sejak 2 tahun yang lalu tetapi tidak berdahak, pasien perokok berat sejak kelas 2 Sekolah Dasar atau ± 55 tahun karena meniru bapak yang merokok dan lingkungannya dulu yang banyak perokok, tetapi sudah 2 tahun pasien berhenti merokok. Pasien pernah dirawat
45
10 hari dirumah sakit RSUD Karanganyar 1 tahun yang lalu operasi hernia. Pasien mengatakan saat masih kecil sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Pasien tidak ada alergi debu, makanan maupun obat, pasien tidak ada riwayat penyakit asma, diabetes melitus, dan hipertensi. Riwayat kesehatan keluarga, dikeluarga pasien tidak memiliki penyakit yang menurun seperti hipertensi, jantung dan diabetes melitus. Pasien juga mengatakan dikeluarganya tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti pasien. Genogram keluarga Tn. A
Gambar 4.1 (Genogram) Keterangan : : Laki- laki
: Tinggal satu rumah
: Perempuan
: Ikatan pernikahan
: Pasien
: Keturunan
: Meninggal
46
Riwayat kesehatan lingkungan pasien, pasien mengatakan sekitar rumahnya bersih, terdapat saluran pembuangan air, ventilasi, rumahnya jauh dari jalan raya dan pabrik. Pada saat dilakukan kunjungan ke rumah Tn. A pada tanggal 14 Januari 2016, rumah Tn. A tampak beralas dengan tanah, bersih, tidak ada genangan air, banyak tanaman hijau disekitar rumah, dan di depan rumah di tanami sayuran. Hasil
pengkajian
menurut
pola
Gordon,
pola
persepsi
dan
pemeliharaan kesehatan, pasien mengatakan kesehatan itu sangat penting, jika ada anggota keluarga yang sakit segera dibawa ke puskesmas. Keluarga pasien mengatakan saat Tn. A sakit segera dibawa ke puskesmas Ngargoyoso. Pola nutrisi dan metabolik, sebelum sakit pasien dan keluarga pasien mengatakan ±2 tahun yang lalu badan pasien tidak sekurus sekarang ini, tapi dulu tidak tahu berapa berat badan pasien karena jarang menimbang berat badan, pasien juga mengatakan makan 3 kali sehari, jenis nasi, sayur, lauk, 1 porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, serta tidak ada keluhan. Selama sakit antropometri berat badan pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan (Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m2) hasilnya 17,96 kg/m2 (tidak normal atau Underweight), biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), clinical Sign pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit
47
TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, dengan keluhan nafsu makan menurun karena sesak nafas dan batuk, ada riwayat mual. Pola eliminasi, sebelum sakit pasien mengatakan buang air besar 1 kali per hari setiap pagi dengan konsistensi lunak berbentuk, berbau khas, warna kuning dan tidak ada keluhan. Buang air kecil 6-7 kali per hari, warna kuning pucat, berbau amoniak, dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan buang air besar 1 kali per hari, konsistensi lunak berbentuk, berbau khas, warna kuning kecoklatan dan tidak ada keluhan. Buang air kecil 6-7 kali per hari, warna kuning keruh, berbau amoniak, dan tidak ada keluhan. Saat buang air besar dan buang air kecil pasien harus dibantu oleh keluarga. Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan dapat beraktivitas secara normal dan mandiri (skor penilaian 0). Selama sakit pasien mengatakan hampir semua aktivitas seperti makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan ambulasi atau ROM harus dibantu orang lain (skor penilaian 2), disamping itu pasien merasa sesak nafas setelah melakukan aktivitas. Pola istirahat tidur, sebelum sakit pasien mengatakan kebiasaan tidur 6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00, tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari, dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1 jam, kualitas tidur tidak nyenyak sering
48
terbangun karena sesak nafas, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar atau miring ke kanan, tampak palpebra kehitaman. Pola kognitif dan perseptual, pasien mengatakan mengalami gangguan pendengaran pada telinga kanan terjadi penurunan fungsi pendengaran sejak 5 tahun yang lalu, pasien hanya menggunakan telinga kiri untuk mendengar. Pasien mengidentifikasi tes raba, pasien dapat melihat dan dapat menjawab pertanyaan dari perawat, pasien tampak kesulitan bicara karena batuk produktif, dan pasien juga terlihat tidak menggunakan alat bantu penglihatan maupun pendengaran. Pola persepsi konsep diri, gambaran diri pasien mengatakan tetap bersyukur masih diberi anggota tubuh yang lengkap meskipun saat ini pasien sedang sakit. Ideal diri, pasien mengatakan ingin cepat sembuh dari penyakitnya. Harga diri, pasien mengatakan merasa dihargai dan disayangi oleh keluarga dan tetangganya karena dijenguk. Peran diri, pasien mengatakan tidak bisa menjalani tugasnya sebagai suami dan kepala rumah tangga yang baik untuk istri dan anak-anaknya selama sakit. Identitas diri, pasien mengatakan menyadari sebagai suami dan orang tua yang memiliki tanggung jawab menjadi kepala keluarga. Pola hubungan peran, pasien mengatakan dirinya sebagai suami dan ayah dari 4 orang anak, hubungan dengan keluarga dan masyarakat baik,selama sakit pasien juga mempunyai hubungan baik dengan tenaga medis, saat dilakukan tindakan keperawatan pasien kooperatif.
49
Pola seksualitas reproduksi, pasien mengatakan menikah usia 27 tahun dan mempunyai 4 orang anak, pasien tidak menderita penyakit kelamin tetapi sudah tidak terlalu memikirkan hubungan seksual lagi dengan istrinya karena mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi, sehingga selama dirawat dan sakit seperti ini tidak ada masalah bagi pasien dan istrinya. Pola mekanisme koping, pasien mengatakan menerima dengan tabah penyakit yang dialami saat ini sebagai cobaan dari tuhan, jika ada masalah pasien selalu mendiskusikan dengan keluarga termasuk dengan penyakit yang dialami saat ini. Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan sebelum sakit dan selama sakit tetap melaksanakan ibadah sholat 5 waktu, saat sakit beribadah dengan berbaring. Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, dengan kesadaran composmentis. Tanda – tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi frekuensi 85 kali per menit, irama teratur, isi kuat, pernapasan frekuensi 27 kali per menit, irama tidak teratur, terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit, suhu tubuh 36,5 °C. Pada pemeriksaan kepala bentuk kepala mesochepal, kulit kepala bersih tidak ada lesi, rambut beruban. Pada pemeriksaan mata didapatkan data palpebra kehitaman dan tidak oedema, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter mata kanan – kiri simetris, reflek terhadap cahaya baik, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pada pemeriksaan hidung didapatkan hasil hidung simetris, tidak ada polip, bersih, terdapat nafas cuping hidung, terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit dan tidak ada lendir. Pada pemeriksaan mulut didapatkan data
50
bibir simetris, mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis. Pada pemeriksaan gigi didapatkan data gigi bersih, masih utuh, tidak memakai gigi pasangan. Pada pemeriksaan telinga di dapatkan hasil telinga bersih, simetris, ada penurunan fungsi pendengaran telinga yang kanan tetapi pasien tidak memakai alat bantu pendengaran. Pada pemeriksaan leher di dapatkan hasil, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ditemukan ditensi vena jugularis. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan inspeksi bentuk dada barel chest, simetris kanan kiri, respirasi 27 kali per menit, nafas pendek dengan ekspirasi memanjang, terdapat penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat dilakukan palpasi vocal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada pemeriksaan fisik jantung inspeksi didapatkan hasil ictus cordis tidak tampak, saat dilakukan palpasi ictus cordis teraba pada intercosta 5 mid clavicula, saat dilakukan perkusi pekak, saat dilakukan auskultasi terdengar suara Bj 1 dan Bj 2 reguler. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil inspeksi perut datar simetris, ada lesi di kwadran 4 bekas operasi hernia, saat diauskultasi terdengar bising usus 8 kali per menit, saat perkusi didapatkan hasil suara pekak di kuadran 1, suara tympani di kuadran 2, 3, 4, saat dilakukan palpasi didapatkan hasil tidak teraba massa dan tidak ada nyeri tekan.
51
Pada pemeriksaan genetalia didapatkan hasil pasien tidak terpasang kateter. Pada pemeriksaan rektum didapatkan hasil rektum bersih, tidak ada nyeri saat buang air besar dan tidak ada hemoroid. Pemeriksaan data penunjang laboratorium yang dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016, yaitu : Hemoglobin 13,1 g/dl (13,5-17,5 g/dl), Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 14,9 ribu/uL (4,5-11 ribu/uL), Trombosit 185 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Eritrosit 3,93 juta/uL (4,50-5,90 juta/uL), MCV 95,7 /um (80,0-96,0 /um), MCH 33,3 Pg (28,0-33,0 Pg), MCHC 34,8 g/dl (33,0-36,0 g/dl), RDW 12,7 % (11,6-14,6 %), MPV 8,4 Fl (7,2-11,1 Fl), PDW 16 % (25-65 %), Eosinofil 0,10 % (0,00-4,00 %), Basofil 0,10 % (0,00-2,00 %), Netrofil 81,90 % (55,00-80,00 %), Monosit 9,70 % (0,00-7,00 %), Golongan darah B, PT 16,0 detik (10,0-15,0 detik), APTT 33,7 detik (20,0-40,0 detik), Albumin 2,9 g/dl (3,2-4,6 g/dl), Creatinin 0,9 mg/dl (0,8-1,3 mg/dl), Ureum 38 mg/dl (<50 mg/dl), Natrium darah 133 mmol/l (136-145 mmol/l), Kalium darah 3,7 mmol/l (3,7-5,4 mmol/l), Klorida darah 103 mmol/l (98-106 mmol/l). Data analisa gas darah pH darah 7,430 mmol/l (7,310-7,420 mmol/l), BE 9,9 mmol/l (-2 - +3 mmol/l), PCO2 51,0 mmHg (27,0-41,0 mmHg), PO2 106,0 mmHg (80,0-100,0 mmHg), Hematokrit 43 % (37-50%), HCO3 31,3 mmol/l (21,0-28,0 mmol/l), Total CO2 36,0 mmol/l (19,0-24,0 mmol/l), O2 saturasi 98,0 % (94,0-98,0 %), Arteri 1,50 mmol/l (0,36-0,75 mmol/l), HbsAg nonreactive (nonreactive), Troponin 1 <0,01 Ug/l (0,00-1,50 Ug/l), CKMB 3,17 ng/ml (< 4,9 ng/ml). dapat kesimpulan alkalosis metabolik terkompensasi sempurna. Hasil
52
pemeriksaan pada tanggal 11 Januari 2016, yaitu : Hemoglobin 12,4 g/dl (13,5-17,5 g/dl), Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 5,6 ribu/uL (4,5-11 ribu/uL), Trombosit 241 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Monosit 3,83 Juta/uL (4,50-5,90 Juta/uL), SGOT 41 U/L (<35 U/L), SGPT 22 U/L (<45 U/L), Albumin 3,5 U/L (3,2-4,6 U/L). Pemeriksaan data penunjang laboratorium mikrobiologis pada tanggal 11 Januari 2016 dengan bahan sputum, hasil mikroskopis direk pengecatan gram ditemukan kuman gram positif Coccus, leukosit 3-8/ LPB, 0-2/ LPB, pada pengecatan BTA dari sputum sewaktu hasil negatif, pagi hasil negatif, sewaktu negatif. Pemeriksaan data penunjang foto thorax pada tanggal 07 Januari yaitu, klinisnya hemoptisis, dengan foto thorax PA/Lat, Cor membesar dengan CTR 71 %, Pulmo tak tampak infiltrat dikedua suprahiler kanan kiri. Sinus Costphrenicus kanan kiri antero posterior tajam, Hemidiaphragma kanan kiri normal, Trakea ditengah, sistema tulang baik, kesimpulannya Cardiomegaly, tak tampak jelas gambaran TB paru. Selama diruang anggrek 1 pasien mendapatkan terapi parenteral infus Nacl 0,9% 20 tpm. Terapi intravena injeksi Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam merupakan golongan obat hemostatik, fungsinya untuk mengatasi pendarahan abnormal dan gejala penyakit lainnya seperti hemoptisis. Injeksi Ranitidine 50 mg/ 12 jam merupakan golongan antasida, fungsinya mengobati tukak lambung, duodenum, dan mengurangi refluks esofagus. Injeksi Ceftriaxon 2 gr/ 24 jam yang merupakan golongan antimikroba atau antibakteri, fungsinya
53
mengobati infeksi saluran pernafasan bawah. Pasien juga mendapat terapi peroral Furosemid 40 mg/ 24 jam (pagi) termasuk dalam golongan obat diuretik, fungsinya mengobati udema karena gangguan jantung, ginjal dan melancarkan pengeluaran urine. Diovan 80 mg/24 jam termasuk golongan antihipertensi, fungsinya menurunkan tekanan darah tinggi. Bisoprolol 1,25 mg/ 24 jam
(pagi) merupakan golongan antihipertensi, fungsinya untuk
pengobatan hipertensi. N. Asetil sistein 200 mg/ 8 jam, golongan obat untuk saluran pernafasan, fungsinya untuk mengencerkan dahak. Codein 100 mg/ 8 jam golongan analgesik, fungsinya untuk mengobati batuk. Vitamin C 250 mg/ 8 jam golongan vitamin dan mineral, fungsinya untuk pencegahan dan mengatasi kekurangan vitamin C, memperkuat daya tahan tubuh. Curcuma 20 mg/ 12 jam golongan obat saluran cerna, fungsinya menambah nafsu makan, membantu pengobatan gangguan fungsi hati dan memelihara kesehatan. C. Masalah Keperawatan Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.00 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subyektif, pasien mengatakan sesak nafas, sesak nafas dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu, sedangkan data objektifnya pasien tampak bernafas dengan cuping hidung, dari data pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan inspeksi bantuk dada barel chest, simetris kanan kiri, respirasi 27 kali per menit, irama tidak teratur, nafas pendek dengan ekspirasi memanjang, terdapat penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat
54
dilakukan palpasi vocal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada kiri, pasien terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi frekuensi 85 kali per menit, suhu tubuh 36,5 °C. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.05 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien mengatakan saat batuk akan muncul sesak nafas dan mengeluarkan dahak, batuk sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu namun tetapi tidak berdahak, sedangkan data objektifnya ditandai dengan terdapat suara tambahan whezzing, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, irama tidak teratur, kesulitan bicara karena batuk produktif, produksi sputum berlebih warna putih kekuningan dan kental tidak ada darah. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih. Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.10 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien mengatakan sesak nafas, mudah lelah dan lemas setelah melakukan aktivitas, data objektif pasien tampak letih dan terengah-engah setelah beraktivitas, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi frekuensi 85 kali per menit, dari data aktivitas latihan antara lain, seperti makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan
55
ambulasi atau ROM harus dibantu orang lain (skor penilaian 2). Maka penulis merumuskan masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.15 WIB hasil dari pengkajian didapatkan data subjektif, sebelum sakit pasien mengatakan kebiasaan tidur 6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00, tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari, dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1 jam, kualitas tidur tidak nyenyak sering terbangun karena sesak nafas, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar atau miring ke kanan. Data objektif terdapat perubahan jam tidur pasien, pasien tampak letih, palpebra kehitaman. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada 12 Januari 2016 pukul 14.20 WIB hasil dari pengkajian di dapatkan data subjektif, sebelum sakit pasien dan keluarga pasien mengatakan ±2 tahun yang lalu badan pasien tidak sekurus sekarang ini, tapi dulu tidak tahu berapa berat badan pasien karena jarang menimbang berat badan, pasien juga mengatakan makan 3 kali sehari, jenis nasi, sayur, lauk, 1 porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, serta tidak ada keluhan, selama sakit pasien mengatakan nafsu makan menurun karena sesak nafas, batuk dan dulu ada mual. Data objektif hasil dari pengkajian nutrisi ABCD, Data objektif Antropometri berat badan pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan
56
(Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m2) hasilnya 17,96 kg/m2 (tidak normal atau Underweight), Biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), Clinical Sign pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, Dietary pasien makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Berdasarkan
masalah
keperawatan
yang
muncul,
penulis
memprioritaskan masalah keperawatan yaitu, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih, intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen,
gangguan
pola
tidur
behubungan
dengan
ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. D. Rencana Keperawatan Berdasarkan rumusan masalah yang didapatkan, maka penulis menyusun rencana keperwatan untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan sesak nafas pasien dapat berkurang
57
atau hilang. Dengan kriteria hasil, pasien menunjukan jalan nafas yang paten (irama nafas teratur, frekuensi pernafasan dalam rentang normal), tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu) (Nurarif, 2013). Intervensi atau rencana keperawatan yang diberikan adalah airway management (3140) : observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien dengan rasional untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien dalam rentang normal atau tidak, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler dengan rasional untuk membantu pengembangan rongga dada secara maksimal, peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi. Ajarkan teknik non farmakologi pursed lips breathing exercise dengan rasional menurunkan tingkat sesak nafas dan skala Borg, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (injeksi Ceftriaxon 2gr/ 24 jam), dengan rasional memberikan terapi farmakologi untuk mengobati infeksi saluran nafas bawah (Nurarif, 2013; ISO, 2013). Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan bersihan jalan nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien dapat mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum,
58
pasien mampu menunjukan jalan nafas yang paten (tidak ada suara nafas tambahan whezzing) (Nurarif, 2013). Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah airway management (3140):
pantau frekuensi pernafasan pasien, dengan
rasional untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien sudah dalam rentang normal atau belum, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan, dengan rasional untuk mengetahui adanya suara nafas tambahan, ajarkan cara batuk efektif, dengan rasional untuk mempermudah mengeluarkan sputum, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (injeksi asam traneksamat 500mg/ 8jam, Injeksi Ranitidine 50 mg/ 12 jam, obat oral N. asetil sistein 200mg/ 8jam, codein 10mg/ 8jam), dengan rasional untuk memberikan
pengobatan
farmakologis,
mengatasi
pendarahan
abnormal/hemoptisis, mengobati tukak lambung, duodenum, dan mengurangi refluks esofagus, terapi hipersekresi mukus, mengobati batuk (Nurarif, 2013; ISO, 2013). Rencana
keperawatan
untuk
diagnosa
intoleransi
aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat menunjukan penurunan toleransi aktivitas dengan kriteria hasil pasien tidak merasa sesak nafas dan letih lemah setelah beraktivitas, pasien mampu melakukan aktivitas sehari- hari secara mandiri (Nurarif, 2013).
59
Intervensi keperawatan yang akan dilakukan adalah activity therapy (0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan dengan rasional untuk mengetahui kemampuan pasien dalam beraktivitas, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan rasional dapat mengetahui ada tidaknya perubahan status pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas,bantu pasien identifikasi penyebab keletihan dengan rasional untuk mengetahui penyebab keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (obat oral Diovan 80mg/ 12jam, Furosemid 40mg/ 24jam, Bisoprolol 1,25mg/24jam) dengan rasional untuk memberikan terapi farmakologi (menurunkan tekanan darah, mengobati udema, mengobati hipertensi (Nurarif, 2013; ISO, 2013). Rencana
keperawatan
untuk
diagnosa
gangguan
pola
tidur
berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan dengan tujuan setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi dengan baik, dengan kriteria hasil jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam per hari, kualitas tidur pasien baik atau nyenyak, lingkar hitam diarea sekitar mata berkurang atau hilang, pasien tampak segar tidak letih setelah bangun tidur (Nurarif, 2013). Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, dengan rasional untuk mengetahui jam tidur pasien dalam rentang normal atau tidak, berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang
60
nyaman) dengan rasional untuk menunjang tidur pasien agar nyenyak, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, dengan rasional agar pasien tahu akan pentingnya tidur yang adekuat untuk kesehatan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat (Vitamin C 250mg/8jam), dengan rasional untuk memberikan terapi farmakologis(memperkuat daya tahan tubuh) (Nurarif, 2013; ISO, 2013). Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis dengan tujuan setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi, dengan kriteria hasil berat badan meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, nafsu makan meningkat, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, dan hasil laboratorium dalam batas normal (hemoglobin nilai normal 13,5-17,5 g/dl)
(Nurarif,
2013). Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah Nutrition Management (1100) : kaji intake makanan dengan rasional untuk mengetahui pola makan/kebiasaan makan pasien karena pasien dengan distress pernafasan sering anoreksia sehingga cenderung berat badan menurun. Timbang berat badan pasien dengan rasional untuk mengetahui berat badan pasien. Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat dengan rasional membantu mencegah distensi gaster dan ketidaknyamanan, serta meningkatkan nafsu makan. Kolaborasi dengan ahli gizi dan dokter (diit TKTP, obat Curcuma 20mg/ 12jam) rasionalnya
61
untuk menentukan diit pasien yang memenuhi asupan kalori dan nutrisi yang optimal dan memberikan terapi farmakologis (menambah nafsu makan) (Nurarif, 2013; ISO, 2013). E. Implementasi Tindakan keperawatan yang dilakukan hari pertama pada tanggal 12 Januari 2016 jam 15.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas. Respon objektif Tn. A tampak nafas cuping hidung, nafas dangkal,irama tidak teratur, menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, pasien terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernafasan 27 kali per menit, frekuensi nadi 85 kali per menit, suhu 36,5°C. Pada tanggal 12 Januari 2016 jam 15.05 WIB implementasi selanjutnya adalah memposisikan pasien semi fowler dengan respom subjektif Tn. A mengatakan nyaman, respon objektif pasien tampak nyaman dengan posisi semi fowler. Pada jam 15.10 mengajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon objektif pasien tampak bernafas menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot
abdominalis, belum ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah latihan yaitu 27 kali per menit, skala Borg sebelum dan sesudah latihan juga belum ada perubahan yaitu sesak kadang berat (skala 4).
62
Pada jam 15.25 memantau frekuensi pernafasan pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas saat batuk, respon objektif Tn. A tampak sesak saat batuk, frekuensi pernafasan 27 kali per menit. Pada jam 15.35 melakukan auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas dan batuk berdahak, respon objektif Tn. A tampak sering batuk, suara paru vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 15.45 mengajarkan batuk efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan lumayan nyaman dahak bisa keluar, respon objektif sputum keluar berwarna putih kekuningan kental kurang lebih 1 sendok makan dan sudah tidak ada darah. Pada jam 16.00 berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat injeksi asam traneksamat 500mg, obat oral N. Asetil sistein 200 mg dan obat oral vitamin C 250 mg dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bersedia diberi obat, respon objektif Tn. A tampak kooperatif, obat sudah masuk semua obat injeksi asam traneksamat 500mg, obat oral N. Asetil sistein 200 mg dan obat oral vitamin C 250 mg. Pada jam 16.05 mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan belum bisa beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau anaknya karena setelah beraktivitas pasti sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak dalam beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya. Pada jam 16.10 memantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan respon subjektif Tn. A mengatakan masih sesak nafas, respon objektif Tn. A
63
tampak masih terpasang oksigen nasal kanul 2 liter per menit, frekuensi pernafasan 27 kali per menit. Pada jam 16.15 mengidentifikasi penyebab keletihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak, letih dan lemas setelah beraktivitas, respon objektif Tn. A beraktivitas dibantu oleh kelurganya. Pada jam 16.20 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena sesak nafas, sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam, selama sakit tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, Tn. A nyaman dengan posisi tidur bersandar atau miring ke kanan, respon objektifnya Tn. A tampak letih, lingkar hitam di area sekitar mata. Pada jam 16.25 menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah mengerti pentingnya tidur yang cukup, respon objektif Tn. A tampak mengerti akan pentingnya tidur yang adekuat. Pada jam 16.35 WIB mengkaji intake makanan pasien dengan respon subjektif pasien mengatakan makan 3 kali sehari dari rumah sakit, jenis nasi, sayur, lauk, habis 1/2 porsi piring saja karena kurang nafsu makan, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien tampak tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis. Pada jam 16.40 WIB menganjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat dengan respon Tn. A mengatakan suka dengan makanan yang masih hangat dan akan memakan makanan sedikit tapi sering, respon objektif pasien tampak kooperatif dan paham. Pada jam 17.00 berkolaborasi dengan ahli gizi
64
(memberikan makan malam pada pasien) dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah makan 1 porsi habis karena makanan masih hangat, respon objektif pasien tampak nafsu makan sudah bertambah dengan menghabiskan 1 porsi piring makanan dari rumah sakit. Pada jam 20.00 WIB berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat injeksi Asam traneksamat 500mg dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bersedia di beri obat, respon objektif obat sudah masuk semua injeksi Asam traneksamat 500 mg. Pada jam 20.35 WIB memberikan lingkungan yang
nyaman (membatasi pengunjung, memposisikan pasien
yang nyaman) dengan respon subjektif Tn. A mengatakan nyaman dengan tidur posisi terlentang bersandar atau miring ke kanan kalau miring kekiri terasa sesk nafas, respon objektif Tn. A tampak nyaman tidur dengan posisi bersandar atau miring ke kanan. Tindakan keperawatan yang dilakukan hari kedua pada tanggal 13 Januari 2016 jam 07.30 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas. Respon objektif Tn. A tampak nafas cuping hidung, nafas dangkal, irama tidak teratur, menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta musculus abdominalis, pasien terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 26 kali per menit, frekuensi nadi 80 kali per menit, suhu 36,5°C. Pada jam 08.00 WIB implementasi selanjutnya adalah berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat injeksi asam traneksamat 500 mg, obat
65
oral furosemid 40mg, Diovan 80 mg, N.Asetil sistein 200mg, Codein 10mg, Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg, Bisoprolol 1,25 mg dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bersedia diberi obat, respon objektif Tn. A tampak kooperatif, obat sudah masuk semua injeksi Asam traneksamat 500 mg, obat oral furosemid 40 mg, Diovan 80 mg, N.Asetil sistein 200 mg, Codein 10 mg, Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg, Bisoprolol 1,25 mg. Pada jam 08.20 WIB memposisikan pasien semi fowler dengan respon subjektif Tn. A mengatakan nyaman, respon objektif pasien tampak nyaman dengan posisi semi fowler. Pada jam 08.35 WIB mengajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3). Objektif : pasien tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3), dan ada perubahan frekuensi pernafasan, sebelum latihan 26 kali per menit, setelah latihan 25 kali permenit. Pada jam 08.40 WIB memantau frekuensi pernafasan pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang sudah tidak seperti kemarin, tadi sudah bertemu dengan dokter R dan di ijinkan pulang nanti siang tetapi latihan lepas selang oksigen dulu, respon objektif Tn. A frekuensi pernafasan 25 kali per menit, sudah tidak memakai selang oksigen sesuai advice dari dokter R jam 08.00 . Pada jam 09.45 WIB memantau batuk
66
efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan lumayan nyaman dahak bisa keluar, dahak lebih sedikit dari kemarin terasa lega plong, respon objektif pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif dengan keluarnya sputum berwarna putih tidak kental kurang lebih 1/4 sendok makan dan sudah tidak ada darah. Pada jam 09.50 WIB melakukan auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan didada terasa plong, respon objektif Tn. A tampak batuk nya sudah jarang, suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing. Pada jam 09.55 WIB memposisikan pasien semi fowler dengan respon subjektif Tn. A mengatakan nyaman, sesak nafas berkurang, respon objektif pasien tampak nyaman dengan posisi semi fowler, frekuensi pernafasan 25 kali per menit. Pada jam 10.00 mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bisa makan minum secara mandiri dan mau mencoba untuk mandi sendiri sesuai perintah dokter M tadi pagi, mandi tidak boleh pakai gayung karena berat diganti pakai selang, respon objektif Tn. A tampak mandiri dalam makan minum, mandi masih dijaga istrinya dan aktivitas yang lain masih dibantu oleh istri atau anaknya. Pada jam 10.05 WIB memantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang, respon objektif Tn. A tidak ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum dan setelah aktivitas frekuensi pernafasan 25 kali per
67
menit. Pada jam 10.10 WIB mengidentifikasi penyebab keletihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak muncul lagi kalau letih dan lemas setelah beraktivitas, respon objektif Tn. A tampak sedang duduk tidak beraktivitas hanya berbincang-bincang dengan anaknya. Pada jam 10.15 memantau kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur nyenyak, ada penambahan jam tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan tidur siang 2 jam, respon objektifnya Tn. A tampak masih ada lingkar hitam di area sekitar mata. Pada jam 10.20 memberikan lingkungan yang nyaman (membatasi pengunjung, memposisikan pasien yang nyaman) dengan respon subjektif Tn. A mengatakan masih nyaman dengan tidur posisi miring ke kanan dan bed ditinggikan, respon objektif Tn. A tampak nyaman dan bersiap untuk istirahat tidur. Pada jam 11.20 WIB memantau intake makanan pasien dengan respon subjektif pasien mengatakan sudah nafsu makan, makan habis 1 porsi piring, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis. Pada jam 12.10 WIB berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat Injeksi Ranitidine 50 mg, obat oral n. Asetil sistein 200 mg, Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bersedia di beri obat, respon objektif obat sudah masuk semua ranitidine 50 mg, N. Asetil sistein 200 mg, Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg. Pada jam 12.20 berkolaborasi dengan ahli gizi (memberikan makan pada pasien) dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah makan
68
1 porsi piring habis, respon objektif pasien tampak nafsu makan sudah bertambah dengan menghabiskan 1 porsi piring makanan dari rumah sakit. Pada jam 12.30 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan baru saja bangun tidur, sudah bisa tidur hampir 2 jam dan tidak terbangun karena sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak masih ada lingkar hitam di area sekitar mata. Jam 12.50 melakukan auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan didada terasa plong, respon objektif Tn. A tampak batuknya sudah jarang, suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 13.20 mengobservasi tandatanda vital pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas sudah sangat berkurang dan diijinkan pulang oleh dokter. Respon objektif Tn. A tampak senang sudah boleh pulang, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 25 kali per menit, frekuensi nadi 80 kali per menit, suhu 36,5°C. Tindakan keperawatan yang dilakukan hari ketiga pada tanggal 14 Januari 2016 jam 10.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas sudah berkurang. Respon objektif Tn. A tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi pernafasan 25 kali per menit, frekuensi nadi 72 kali per menit, suhu 35°C. Pada jam 10.15 memberikan terapi non farmakologi pursed lip breathing exercise respon subjektif Tn. A mengatakan sebelum latihan sesak nafas sedang (skala 3) dan
69
setelah latihan menjadi sesak nafas ringan (skala 2), respon obyektif Tn. A tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan skala Borg 3 (sesak sedang), dan setelah latihan skala Borg 2 (sesak nafas ringan), ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 25 kali per menit dan setelah latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit. Pada jam 10.30 memantau cara batuk efektif respon Tn. A mengatakan sudah bisa melakukan batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit putih encer, respon objektif Tn. A tampak sudah bisa melakukan batuk efektif, dahak keluar sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada darah, warna putih, encer seperti air liur. Jam 10.45 WIB melakukan auskultasi bunyi nafas dan catat adanya suara tambahan respon subjektif Tn. A mengatakan merasa sudah lega, respon objektif suara vesikuler, tidak ada suara tambahan whezzing. Jam 10.55 mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan semua aktivitas sudah bisa mandiri tetapi tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon objektif Tn. A tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi istri dan anaknya. Jam 11.10 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru saja bangun tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang tidur lagi, respon objektif Tn. A tampak masih ada lingkar hitam di area sekitar mata.
70
F. Evaluasi Setelah dilakukan perencanaan keperawatan dan tindakan keperawatan hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.00 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan masih sesak nafas kadang berat (skala 4). Objektif : pasien tampak nafas cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis,
belum ada perubahan frekuensi pernafasan
sebelum dan sesudah latihan yaitu 27 kali per menit, skala Borg sebelum dan sesudah latihan juga belum ada perubahan yaitu sesak kadang berat (skala 4), irama tidak teratur, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 85 kali per menit, pernafasan 27 kali per menit, suhu 36,5°C. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Planning: airway management (3140): observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler, ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sesak nafas saat batuk dan dahak bisa keluar. Objektif : pasien tampak bisa melakukan batuk efektif dan dahak bisa keluar warna putih kekuningan, kental, tidak ada darah, kurang lebih 1 sendok makan, suara tambahan
71
whezzing masih terdengar. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi sebagian, yaitu pasien dapat mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum. Planning: airway management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan, pantau cara batuk efektif, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.10 WIB adalah Subjektif: pasien mengatakan belum bisa beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau anaknya karena setelah beraktivitas pasti sesak nafas. Objektif: pasien tampak dalam beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya, frekuensi pernafasan 27 kali per menit. Analisa: masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum teratasi. Planning: activity therapy (0224): kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena sesak nafas, sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam, selama sakit tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, pasien nyaman dengan posisi tidur
72
bersandar atau miring ke kanan. Objektif : pasien tampak letih, lingkar hitam di area sekitar mata. Analisa : masalah belum teratasi. Planning: sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang nyaman), jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat (Vitamin 250 mg/ 8 jam). Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan nafsu makan sudah bertambah, suka dengan makan makanan yang masih hangat dan habis 1 porsi piring. Objektif: pasien tampak nafsu makan meningkat, habis 1 porsi piring makanan dari rumah sakit, turgor kulit masih kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, berat badan 46 kg tidak ada penurunan. Analisa: masalah masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan teratasi sebagian, yaitu nafsu makan meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti. Planning : Nutrition Management (1100) : kaji intake makanan, timbang berat badan pasien, anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat, kolaborasi dengan ahli gizi. Evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.00 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3). Objektif : pasien tampak nafas
73
tanpa
cuping
hidung,
ada
penggunaan
otot
bantu
pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3), ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 26 kali per menit dan setela latihan 25 kali per menit, irama tidak teratur, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali per menit, suhu 36,5°C. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas teratasi sebagian, yaitu: tidak ada nafas cuping hidung, penurunan frekuensi pernafasan dan penurunan skala Borg. Planning : airway management (3140) : observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler, pantau pasien dalam melakukan pursed lips breathing exercise, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan didada terasa plong, nanti siang dijinkan pulang tetapi latihan lepas selang oksigen dulu. Objektif : pasien tampak tidak memakai selang oksigen, batuk nya sudah jarang, suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing, dahak bisa keluar warna putih, kental, tidak ada darah, kurang lebih 1/4 sendok makan. Analisa: masalah keperawatan
74
ketidakefektifan
bersihan
jalan
nafas
teratasi,
yaitu
pasien
dapat
mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum, sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing.
Planning:
airway
management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan, ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.10 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan bisa makan minum secara mandiri dan mau mencoba untuk mandi sendiri sesuai perintah dokter M tadi pagi, mandi tidak boleh pakai gayung karena berat diganti pakai selang. Objektif : pasien tampak mandiri dalam makan minum, mandi masih dijaga istrinya dan aktivitas yang lain masih dibantu oleh istri atau, frekuensi pernafasan 25 kali per menit. Analisa : masalah keperawatan intoleransi aktivitas teratasi sebagian, yaitue : peningkatan aktivitas mandiri (makan minum). Planning : activity therapy (0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sudah bisa
75
tidur nyenyak, ada penambahan jam tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan tidur siang 2 jam. Objektif : pasien tampak letih, lingkar hitam di area sekitar mata. Analisa: masalah keperawatan gangguan tidur teratasi sebagian, yaitu ada peningkatan jam tidur. Planning : sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan lingkungan yang nyaman (posisikan yang nyaman), jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.20 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan nafsu makan sudah bertambah, suka dengan makan makanan yang masih hangat dan habis 1 porsi piring. Objektif: pasien tampak nafsu makan meningkat, habis 1 porsi piring makanan dari rumah sakit, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis, berat badan 46 kg tidak ada penurunan. Analisa: masalah masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan teratasi, yaitu nafsu makan meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis. Planning : Nutrition Management (1100) : pantau intake makanan, pantau berat badan pasien, anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat. Evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal 14 Januari 2016 jam 12.00 WIB adalah Subjektif : mengatakan sesak nafas sudah berkurang, sebelum latihan sesak
76
nafas sedang (skala 3) dan setelah latihan menjadi sesak nafas ringan (skala 2), obyektif Tn. A tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan skala Borg 3 (sesak sedang), dan setelah latihan skala Borg 2 (sesak nafas ringan), ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 25 kali per menit dan setelah latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit. tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi 72 kali per menit, suhu 35°C Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas teratasi yaitu: tidak ada nafas cuping hidung, penurunan frekuensi pernafasan dan penurunan skala Borg. Planning : airway management (3140) : observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan
dan suhu) pasien,
posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler, ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada tanggal 14 Januari 2016 jam 12.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sudah bisa melakukan batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit putih encer, Objektif : pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif, dahak keluar sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada warna putih, encer seperti air liur, suara vesikuler, tidak ada suara tambahan whezzing. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi, yaitu
77
pasien dapat mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum, sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing. Planning: airway management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan, ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada tanggal 14 Januari 2016 jam 12.10 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan semua aktivitas sudah bisa mandiri tetapi tetap diawasi oleh istri atau anaknya. Objektif : pasien tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi istri dan anaknya, frekuensi pernafasan 24 kali per menit. Analisa : masalah keperawatan intoleransi aktivitas teratasi sebagian, yaitu : peningkatan aktivitas mandiri (makan minum). Planning : activity therapy (0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 14 Januari 2016 jam 12.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru saja bangun tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang tidur lagi. Objektif : pasien tampak lingkar hitam di area sekitar mata. Analisa: masalah
78
keperawatan gangguan tidur teratasi sebagian, yaitu ada peningkatan jam tidur. Planning : sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan lingkungan yang nyaman (posisikan yang nyaman), jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.
BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan pada Tn. A dengan PPOK di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dengan kasus. Terkait dengan hal tersebut pada bab ini penulis akan melakukan pembahasan tentang pemberian pursed lips breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan. A. Pengkajian Pengkajian adalah proses mengumpulkan informasi atau dasar tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang kesehatan klien, menentukan masalah keperawatan klien, menilai keadaan kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkahlangkah berikutnya (Dermawan, 2012). Dalam pengkajian terhadap Tn. A penulis menggunakan metode autoanamnesa dan alloanamnesa, observasi serta catatan rekam medis. Pengkajian didapatkan data, pasien bernama Tn. A, nomor rekam medis 01325720 dengan diagnosa medis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu
79
80
kondisi kronis yang berkaitan dengan sekelompok penyakit : emfisema, asma, bronchitis kronis, dan bronkietasis (Deborah, 2008). Pengkajian Tn. A pada tanggal 12 Januari 2016 dengan keluhan utama sesak nafas. Sesak nafas merupakan suatu manifestasi gangguan interprestasi keseimbangan otak diantara banyak aferen dan eferen, yang mengendalikan pengiriman oksigen ke jaringan (Ringel, 2012). Sesak nafas pada pasien PPOK terjadi karena adanya mekanisme kebutuhan ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penekanan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, nutrisi yang buruk (Ardiyansyah, 2012). Riwayat penyakit sekarang Tn. A (62 tahun) mengatakan keluhan batuk darah bercampur dahak dan buih sebanyak 1 sendok makan. Batuk sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu tetapi tidak berdahak, 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk berdahak dengan dahak putih encer. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang sudah terjadi ± 2 tahun dan memburuk 8 bulan ini, sesak nafas tidak dipengaruhi oleh debu atau cuaca. Hal ini sesuai dengan teori, dimana tanda dan gejala yang muncul pada pasien PPOK yaitu, sesak napas yang semakin berat, batuk, mengi dan produksi sputum, biasanya terjadi pada pasien berusia lebih dari 45 tahun (Gleadle, 2007). Ada beberapa penyebab dari penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), yaitu merokok, pekerjaan, polusi udara, usia (Ikawati, 2011). Pada Tn. A
81
memiliki riwayat sebagai perokok berat sejak kelas 2 Sekolah Dasar atau ± 55 tahun karena meniru bapak yang merokok dan lingkungannya dulu yang banyak perokok, pasien merasa sesak nafas ± 2 tahun yang lalu dan batuk dirasakan sejak 2 tahun yang lalu, sejak itu pasien berhenti merokok. Asap rokok menyebabkan inflamasi epitel bronkus dan penghancuran radikal oksigen pada antielastase yang pada gilirannya, megakibatkan kerusakan alveolus dan bronkus. Kerusakan pada dinding bronkus mengakibatkan obstruksi jalan nafas karena kehilangan elastisitas jalan nafas, peningkatan produksi mukus atau karena keduanya. Obstruksi ekspirasi dengan terperangkapnya udara, meningkatkan beban kerja pernafasan, dan ventilasi yang tidak merata mengakibatkan penurunan volume pernafasan per menit. Pasien dengan obstruksi jalan nafas akan datang dengan keluhan dispnea, pemanjangan ekspirasi dan mengi atau whezzing (Brasher, 2008). Penulis mendapatkan hasil tidak ada kesenjangan antara teori dengan kasus Tn. W, yaitu penyebab dari PPOK salah satunya merokok. Pada pola kesehatan fungsional Gordon didapatkan data pola aktivitas dan latihan didapatkan data sebelum sakit Tn. A dapat melakukan aktivitas secara mandiri namun selama sakit aktivitas Tn. A dibantu oleh keluarganya. Salah satu efek sistemik pada PPOK adalah kelemahan otot yang menyebabkan kehilangan massa otot berjalan lambat yang menunjukan terjadi perubahan struktur dan fungsi otot skeletal pada penderita PPOK. Dengan bertambah parahnya penyakit, penderita PPOK kehilangan banyak otot, khususnya otot paha dan lengan atas. Selanjutnya penderita kehilangan
82
kekuatan latihan dan mengeluh lemah, sesak nafas dan berkurang aktifitas. Tidak mengherankan bila kelemahan otot skeletal berpengaruh pada menurunnya status kesehatan penderita PPOK (Sugiono, 2010). Penulis menyimpulkan tidak ada kesenjangan teori dengan kasus Tn. A yaitu penyebab kelemahan otot pada pasien PPOK. Pada pola nutrisi dan metabolik, antropometri berat badan pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) 17,96 kg/m2 (tidak normal atau Underweight), biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), clinical Sign pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, dengan keluhan nafsu makan menurun karena sesak nafas dan batuk, ada riwayat mual. Pada pasien didapatkan data hemoglobin menurun dibawah normal yaitu 12,4 g/dl nilai normalnya 13,5-17,5 g/dl, konjungtiva anemis, mukosa bibir kering dan turgor kulit kering. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, diketahui kadar hemoglobin Tn. A mengalami penurunan. Dalam teori hemoglobin berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut oksigen serta nutrisi. Proses penghantaran oksigen ke organ atau jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor hemodinamik berupa cadiac output serta distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah yaitu
83
konsentrasi hemoglobin dan oxygen extration yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena, oleh karena itu kapasitas peghantar oksigen akan menurun jika kadar hemoglobin kurang dari 7 g/dl (Paniselvan, 2011). Menurut Irianto (2014) gejala-gejala dari PPOK sering timbul sesak napas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak napas akan dirasakan saat melakukan kagiatan rutin sehari-hari, seperti dikamar mandi, mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita jadi malas tidak nafsu makan. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah didapatkan, penulis menyimpulkan tidak ada kesenjangan antara teori dengan kasus Tn. A. Hasil dari pemeriksaan fisik paru yang telah dilakukan penulis pada Tn. A didapatkan bentuk dada barel chest, simetris kanan kiri, nafas pendek, produksi sputum putih kekuningan sudah tidak ada darah, terdapat penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat dilakukan palpasi vocal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada pemeriksaan fisik paru pada pasien PPOK didalam teori meliputi inspeksi terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan, bentuk dada barrel chest, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, pada
84
palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun, perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau menurun, Pada auskultasi, sering didapatkan bunyi suara napas ronkhi dan whezzing sesuai tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus (Muttaqin, 2014). Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik paru dengan teori tidak ada kesenjangan teori dengan kasus Tn. A. Pada Tn. A dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016 : Hemoglobin 12,4 g/dl (13,5-17,5 g/dl), Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 5,6 ribu/uL (4,511 ribu/uL), Trombosit 241 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Monosit 3,83 Juta/uL (4,50-5,90 Juta/uL), SGOT 41 U/L (<35 U/L), SGPT 22 U/L (<45 U/L), Albumin 3,5 U/L (3,2-4,6 U/L), pada pemeriksaan sputum hasil mikroskopis direk pengecatan gram ditemukan kuman gram positif Coccus, leukosit 3-8/ LPB, 0-2/ LPB, pada pengecatan BTA dari sputum sewaktu hasil negatif, pagi hasil negatif, sewaktu negatif, dan pada pemeriksaan foto thorax klinisnya hemoptisis, dengan foto thorax PA/Lat, Cor membesar dengan CTR 71 %, Pulmo tak tampak infiltrat dikedua suprahiler kanan kiri. Sinus Costphrenicus kanan kiri antero posterior tajam, Hemidiaphragma kanan kiri normal, Trakea ditengah, sistema tulang baik, kesimpulannya Cardiomegaly, tak tampak jelas gambaran TB paru. Pada pasien PPOK perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu, pengukuran fungsi paru, analisa gas darah, pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, hematokrit, jumlah sel darah merah, eosinofil, pulse oxymetri),
85
pemeriksaan sputum, pemeriksaan radiologi thoraks foto (Muttaqin, 2008). Berdasarkan teori diatas penulis menyimpulkan adanya kesenjangan teori dengan kasus Tn. A karena tidak dilakukan pemeriksaan uji fungsi paru. Selama di ruang anggrek I pada tanggal 12-14 Januari 2016 Tn. A mendapatkan terapi parenteral infus Nacl 0,9% 20 tpm. Terapi intravena injeksi Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam merupakan golongan obat hemostatik, fungsinya untuk mengatasi pendarahan abnormal dan gejala penyakit lainnya seperti hemoptisis (ISO, 2013). Injeksi Ranitidine 50 mg/ 12 jam merupakan golongan antasida, fungsinya mengobati tukak lambung, duodenum, dan mengurangi refluks esofagus (ISO, 2013). Injeksi Ceftriaxon 2 gr/ 24 jam yang merupakan golongan antimikroba atau antibakteri, fungsinya mengobati infeksi saluran pernafasan bawah (ISO, 2013). Pasien juga mendapat terapi peroral Furosemid 40 mg x 1 (pagi) termasuk dalam golongan obat diuretik, fungsinya mengobati udema karena gangguan jantung, ginjal dan melancarkan pengeluaran urine (ISO, 2013). Diovan 80 mg x 1 termasuk golongan antihipertensi, fungsinya menurunkan tekanan darah tinggi(ISO, 2013). Bisoprolol 1,25 mg x 1 (pagi) merupakan golongan antihipertensi, fungsinya untuk pengobatabn hipertensi. N. Asetil sistein 200 mg x 3 golongan obat untuk saluran pernafasan, fungsinya untuk mengencerkan dahak(ISO, 2013). Codein 100 mg x 3 golongan analgesik, fungsinya untuk mengobati batuk (ISO, 2013). Vitamin C 250 mg x 3 golongan vitamin dan mineral, fungsinya untuk pencegahan dan mengatasi kekurangan vitamin C, memperkuat daya tahan tubuh (ISO, 2013). Curcuma
86
20 mg x 2 golongan obat saluran cerna, fungsinya menambah nafsu makan, membantu pengobatan gangguan fungsi hati dan memelihara kesehatan(ISO, 2013). B. Perumusan Masalah Diagnosa keperawatan yaitu pernyataan yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual atau potensial) dari
individu
atau
kelompok
tempat
perawat
secara
legal
untuk
mengidentifikasi dan perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, meyingkirkan, atau mencegah perubahan (Rohmah & Walid, 2012). Dari data pengkajian yang sudah didapat penulis, tidak semua diagnosa yang ada dalam teori muncul pada Tn. A. Diagnosa yang tidak muncul adalah gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen dengan alasan karena pada pengkajian batasan karakteristik gangguan pertukaran gas belum terjadi pada Tn. A tidak didapat data klien kebingungan, klien mengalami sakit kepala saat bangun, gangguan penglihatan, gelisah, klien juga dalam keadaan sadar. Sedangkan pengertian dari gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau kekurangan pada oksigenasi dan atau eliminasi pada membran alveolar-kapiler (Herdman, 2010). Diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Ketidakefektifan bersihan pola nafas adalah inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat (Nurarif, 2013).
87
Hiperventilasi merupakan peningkatan jumlah udara yang masuk ke dalam paru-paru karena kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolik untuk pembuangan karbondioksida yang ditandai dengan peningkatan denyut nadi, nafas pendek, dada nyeri dan penurunan konsentrasi karbodioksida (Jamilah, 2013). Pada Tn. A penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan data subjektif pasien mengatakan sesak nafas, sesak nafas dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu, sedangkan data objektifnya pasien tampak bernafas dengan cuping hidung, menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot
abdominalis, pasien terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, irama tidak teratur, nafas dangkal, nadi frekuensi 85 kali per menit, suhu tubuh 36,5 °C. Berdasarkan (Herdman, 2011), data pada Tn. A sesuai dengan batasan karakteristik ketidakefektifan pola nafas perubahan kadalaman pernafasan, perubahan ekskursi dada, melakukan posisi tiga titik bradipnea, penurunan tekanan ekspirasi, penurunan tekanan inspirasi, penurunan ventilasi semenit, penurunan kapasitas vital paru, dispnea, peningkatan diameter anterior posterior, pernapasan cuping hidung, ortopnea, fase ekspirasi memanjang, pernafasan bibir mencucu, takipnea, penggunaan otot aksesorius untuk bernafas.
Maka
penulis
merumuskan
masalah
keperawatan
yaitu
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Berdasarkan pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian antara teori
88
dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis dan teori tidak ada kesenjangan. Diagnosa kedua ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas (Nurarif, 2013). Mukus dalam jumlah berlebih selain karena infeksi, keadaan tertentu yang bersifat kongenital atau defisiensi alfa-anti-protease inhibitor akan menyebabkan bronkus terus menerus menghasilkan sekret yang berlebihan (Danusantoso, 2011). Pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien mengatakan saat batuk akan muncul sesak nafas dan mengeluarkan dahak, batuk sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu namun tetapi tidak berdahak, sedangkan data objektifnya ditandai dengan terdapat suara tambahan whezzing, frekuensi pernapasan 28 kali per menit, irama tidak teratur, kesulitan bicara, produksi sputum berlebih warna putih kekuningan dan kental tidak ada darah. Data pada Tn. A sesuai dengan batasan karakteristik yang ada pada masalah keperawatan ini yaitu, tidak ada batuk, ada suara nafas tambahan (ronkhi, whezzing), perubahan frekuensi nafas, perubahan irama nafas, sianosis, kesulitan bicara karena batuk produktif, penurunan bunyi nafas, ortopnea, gelisah, dan produksi sputum (Herdman, 2011). Maka penulis merumuskan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih.
89
Berdasarkan pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian antara teori dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis dan teori tidak ada kesenjangan. Untuk menegakkan diagnosa yang ketiga yaitu intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen. Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaiakan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan (Nurarif, 2013). Ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen menyebabkan intoleransi aktivitas karean dengan pasien gagal jantung akan cepat merasa lelah dan hal ini terjadi akibat curah jantung yang berkurang yang dapat menghambat pembuangan sisa hasil metabolisme, perfusi yang kurang pada otot-otot rangka yang menyebabkan kelemahan dan keletihan (Muttaqin, 2013). Pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien mengatakan sesak nafas, mudah lelah dan lemas setelah melakukan aktivitas, data objektif pasien tampak letih dan terengah-engah setelah beraktivitas, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi frekuensi 85 kali per menit, dari data aktivitas latihan antara lain, seperti makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan ambulasi atau ROM harus dibantu orang lain ( skor penilaian 2). Maka penulis merumuskan masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Dari data yang didapatkan sesuai dengan batasan karateristik dari intoleransi aktivitas
90
menyatakan merasa lemah, merasakan letih, dispnea setelah beraktivitas, ketidaknyamanan setelah beraktifitas (Nurarif, 2013). Diagnosa keperawatan yang keempat adalah gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Gangguan pola tidur merupakan gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur (Nurarif, 2013). Batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu perubahan pola tidur abnormal, keluhan verbal kurang istirahat dan kurang puas saat tidur, melaporkan sering terjaga (Herdman, 2011). Dari data pengkajian yang didapatkan data subjektif Tn. A mengatakan pasien mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena sesak nafas, sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00, tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari, dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1 jam, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar atau miring ke kanan, sedangkan data objektifnya pasien tampak letih, lingkar hitam di area sekitar mata. Berdasarkan pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian antara teori dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis dan teori tidak ada kesenjangan. Diagnosa keperawatan yang kelima adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan kondisi dimana asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan karateristik dari ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
91
tubuh, yaitu penurunan berat badan, tidak nafsu makan, turgor kulit kering, membran mukosa pucat, tonus otot menurun, cepat kenyang setelah makan (Nurarif, 2013). Untuk mengkaji status nutrisi pasien, dapat dilakukan dengan pengkajian berdasarkan ABCD yaitu A (Anthropometric) yaitu mengkaji status nutrisi dan ketersediaan energi otot, yang terdiri dari tinggi badan, berat badan, lingkar lingan, dan tebal lipatan tubuh. B (Biochemical) yaitu mengkaji status nutrisi yang ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, terdiri dari hemoglobin, hematokrit, dan albumin. C (Clinical sign of nutritional status) yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda abnormal secara fisiologisnya seperti melihat rambut, kulit, otot, mata, aktivitas dan neurologi. D (Dietary history) yaitu mengkaji riwayat pola makan, masalah diet dari pasien meliputi pengetahuan tentang nutrisi, kebiasaan makan, masalah diet, dan riwayat kesehatan (Asmadi, 2008). Dari data pengkajian didapatkan data subjektif, pasien mengatakan nafsu makan menurun karena sesak nafas, batuk dan dulu ada mual. Data objektif Antropometri berat badan pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan (Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m2) hasilnya 17,96 kg/m2 (tidak normal atau Underweight), Biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), Clinical Sign pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, Dietary pasien makan 3 kali sehari dengan
92
diit TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh. Berdasarkan pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian antara teori dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis dan teori tidak ada kesenjangan. Untuk memprioritaskan diagnosa keperawatan pada Tn. A penulis menggunakan prioritas Teori Hierarki Maslow yaitu terdapat lima kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan keselamatan, kebutuhan rasa cinta dan kasih sayang, kebutuhan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Asmadi, 2008). Masalah keperawatan gangguan oksigenasi yang termasuk dalam kebutuhan fisiologis menjadi prioritas utama yang dipilih penulis dari beberapa masalah yang muncul pada pasien. Sehingga pada Tn. A diagnosa utama adalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, alasan penulis karena kebutuhan oksigenasi berperan penting dalam proses metabolisme sel, kebutuhan oksigen harus terpenuhi apabila kebutuhan oksigen dalam tubuh berkurang maka akan menimbulkan dampak yang bermakna bagi tubuh salah satunya kematian. Masalah kebutuhan oksigenasi merupakan masalah utama dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Mubarok, 2007). C. Intervensi Perencanaan atau Intervensi keperawatan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan. Desain perencanaan
93
menggambarkan
sejauh
mana
perawat
mampu
menetapkan
cara
menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien (Rohmah & Walid, 2012). Pedoman penuisan kriteria hasil berdasarkan SMART (Spesific, Measurable, Achieveble, Reasonable, dan Time). Spesific adalah berfokus pada klien, measurable dapat diukur, dilihat, diraba, dirasakn dan dibau. Achieveble adalah tujuan yang harus dicapai, sedangkan reasonable merupakan tujuan yang harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Time adalah batasan pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya (Dermawan, 2012). Pada diagnosa pertama, penulis mencantumkan diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, dengan tujuan dalam waktu 3 kali 24 jam setelah diberikan intervensi diharapkan sesak nafas berkurang atau hilang dengan kriteris hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Classification) : pasien menunjukan jalan nafas yang paten (irama nafas teratur, frekuensi pernafasan dalam rentang normal), tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, dan tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu) (Nurarif, 2013). Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification) : airway management (3140) : observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien dengan rasional untuk
94
mengetahui tanda-tanda vital pasien dalam rentang normal atau tidak, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler dengan rasional untuk membantu pengembangan rongga dada secara maksimal, ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise dengan rasional menurunkan tingkat sesak nafas, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian
terapi
obat,
dengan
rasional
memberikan
terapi
farmakologi. Menurut Smeltzer (2008) bahwa tehnik pursed lips breathing exercise dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan mandiri dengan tujuan untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernapasan, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan ansietas dan mencegah pola aktivitas otot pernapasan yang tidak berguna, melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi uadara yang terperangkap, serta mengurangi kerja bernafas. Diagnosa keperawatan kedua ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungann dengan produksi mukus berlebih, dengan tujuan dalam waktu 3 kali 24 jam setelah diberikan intervensi diharapkan produksi sputum berkurang bahkan hilang dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Classification) : suara nafas tambahan paru seperti whezzing hilang, menunjukan batuk efektif, produksi sputum menurun, mempunyai jalan nafas yang paten (Nurarif, 2013). Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention
95
Classification) : airway management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, dengan rasional untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien sudah dalam rentang normal atau belum, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan, dengan rasional untuk mengetahui adanya suara nafas tambahan, ajarkan cara batuk efektif, dengan rasional untuk mempermudah mengeluarkan sputum, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat, dengan rasional untuk memberikan pengobatan farmakologis (Nurarif, 2013). Diagnosa
ketiga
intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan suplai oksigen, penulis membuat tujuan yaitu setelah dilakukan intervensi selama 3 kali 24 jam diharapkan pasien menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Classification) : menurunnya keluhan tentang sesak nafas setelah melakukan aktivitas, mampu melakukan ADL secara mandiri, menyeimbangan aktivitas dan istirahat (Nurarif, 2013). Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification) : activity therapy (0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan dengan rasional untuk mengetahui kemampuan pasien dalam beraktivitas, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan rasional dapat mengetahui ada tidaknya perubahan status pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab keletihan dengan rasional untuk mengetahui
96
penyebab keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat dengan rasional untuk memberikan terapi farmakologi (Nurarif, 2013). Diagnosa
keempat
gangguan
pola
tidur
behubungan
dengan
ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, penulis membuat tujuan yaitu setelah dilakukan intervensi selama 3 kali 24 jam diharapkan kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi dengan baik, dengan kriteria hasil jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam per hari, kualitas tidur pasien baik atau nyenyak, lingkar hitam diarea sekitar mata berkurang atau hilang, pasien tampak segar tidak letih setelah bangun tidur (NANDA, 2013). Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification) : sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, dengan rasional untuk mengetahui jam tidur pasien dalam rentang normal atau tidak, berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang nyaman) dengan rasional untuk menunjang tidur pasien agar nyenyak, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, dengan rasional agar pasien tahu akan pentingnya tidur yang adekuat untuk kesehatan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat, dengan rasional untuk memberikan terapi farmakologis (Nurarif, 2013).
D. Implementasi Implementasi adalah realisasi tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan
97
data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta melinilai data yang baru (Rohmah & Walid, 2012). Penulis melakukan implementasi berdasarkan intervensi yang telah disusun sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek tujuan dan kriteria hasil dalam rentang normal yang diinginkan. Diagnosa keperawatan yang pertama
adalah
ketidakefektifan
pola
nafas
berhubungan
dengan
hiperventilasi. Implementasi yang dilakukan selama 3 hari berturut-turut antara lain : mengobservasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien, memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler, mengajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise, berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (Nurarif, 2013). Pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, penulis menekankan pada pemberian pursed lips breathing exercise untuk menurunkan tingkat sesak nafas pada penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Dari pemberian pursed lips breathing exercise selama 3 hari berturut-turut dan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 5 pengulangan didapatkan hasil sebagai berikut : Pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016 jam 15.10 WIB pemberian pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon objektif pasien tampak bernafas menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,
98
scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot
abdominalis, frekuensi pernafasan 27 kali per menit. Setelah diberikan latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon objektif pasien tampak bernafas dengan cuping hidung dan menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 27 kali permenit. Pada hari pertama pemberian pursed lips breathing exercise belum ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah latihan yaitu 27 kali per menit, skala Borg sebelum dan sesudah latihan juga belum ada perubahan yaitu sesak kadang berat (skala 4), serta masih bernafas dengan cuping hidung dan penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot
abdominalis. Pada hari kedua tanggal 13 Januari 2016 jam 08.35 WIB pemberian pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4). Objektif : pasien tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 26 kali per menit. Setelah latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sebelum latihan sesak sedang (skala 3). Objektif : pasien tampak nafas tanpa cuping hidung, masih terdapat penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot abdominalis,
99
frekuensi pernafasan 25 kali per menit. Ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3), dan ada perubahan frekuensi pernafasan, sebelum latihan 26 kali per menit, setelah latihan 25 kali permenit. Pada hari ketiga tanggal 14 Januari 2016 jam 10.00 WIB pemberian pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas sedang (skala 3). Respon obyektif Tn. A tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 25 kali per menit. setelah latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas ringan (skala 2). Respon obyektif Tn. A tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 24 kali per menit. Ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan skala Borg 3 (sesak sedang), dan setelah latihan skala Borg 2 (sesak nafas ringan), ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 25 kali per menit dan setelah latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit. Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan pernapasan dengan cara penderita duduk dan inspirasi dalam saat ekspirasi penderita menghembuskan melalui mulut hampir tetutup seperti bersiul secara perlahan (Smeltzer, 2008).
100
Pursed Lip Breathing Exercise adalah suatu latihan bernafas yang terdiri dari dua mekanisme yaitu inspirasi secara dalam serta ekspirasi aktif dalam dan panjang. Proses ekspirasi seacara normal merupakan proses mengeluarkan nafas tanpa menggunakan energi berlebih. Bernafas Pursed Lip Breathing Exercise melibatkan proses ekspirasi secara panjang. Inspirasi dalam dan ekspirasi panjang tentunya akan meningkatkan kekuatan kontraksi otot intra abdomen sehingga tekanan intra abdomen meningkat melebihi pada saat ekspirasi pasif. Tekanan intra abdomen yang meningkat lebih kuat lagi tentunya akan meningkatkan pergerakan diafragma ke atas membuat rongga thorak semakin mengecil. Rongga thorak yang semakin mengecil ini menyebabkan tekanan intra alveolus semakin meningkat sehingga melebihi takanan udara atmosfer. Kondisi tersebut akan menyebabkan udara mengalir keluar dari paru ke atmosfer. Ekspirasi panjang saat bernafas Pursed Lip Breathing Exercise juga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas dihilangkan sehingga resistensi pernafasan menurun. Penurunan resistensi pernafasan akan memperlancar udara yang dihirup dan dihembuskan sehinggga akan mengurangi ssesak nafas (Smeltzer, 2008). Teknik Pursed Lip Breathing Exercise yaitu, mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat tidur atau kursi, meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat dibawah proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas, kemudian menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup selama
101
inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik, dan hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan serta sedikit terbuka sambil mengkontraksikan otot-otot abdomen selama 4 detik. Latihan ini dilakukan sehari 1 kali dengan 5 kali pengulangan (Smeltzer, 2008; Bakti, 2015). Berdasarkan hasil pembahasan diatas, tindakan pemberian pursed lip breathing exercise yang dilaksanakan pada Tn. A sudah sesuai jurnal yang mendukung. Pasien mengalami penurunan tingkat sesak nafas yang dilihat dari penurunan frekuensi pernafasan dan skala Borg. Selisih rata-rata penurunan frekuensi pernafasan sebesar 0,67 dan selisih rata-rata penurunan skala Borg sebesar 0,67 selama 3 hari pemberian tindakan. Implementasi diagnosa yang kedua yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih, pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016, yaitu jam 15.35 melakukan auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas dan batuk berdahak, respon objektif Tn. A tampak sering batuk, suara paru vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 15.45 mengajarkan batuk efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan lumayan nyaman dahak bisa keluar, respon objektif sputum keluar berwarna putih kekuningan kental kurang lebih 1 sendok makan dan sudah tidak ada darah. Pada implementasi hari kedua tanggal 13 Januari 2016, jam 09.45 WIB memantau batuk efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan lumayan nyaman dahak bisa keluar, dahak lebih sedikit dari kemarin terasa
102
lega plong, respon objektif pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif dengan keluarnya sputum berwarna putih tidak kental kurang lebih 1/4 sendok makan dan sudah tidak ada darah. Pada jam 09.50 WIB melakukan auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan didada terasa plong, respon objektif Tn. A tampak batuk nya sudah jarang, suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing. Pada implementasi hari ketiga tanggal 14 Januari 2016, jam 10.30 memantau cara batuk efektif respon Tn. A mengatakan sudah bisa melakukan batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit putih encer, respon objektif Tn. A tampak sudah bisa melakukan batuk efektif, dahak keluar sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada warna putih, encer seperti air liur. Jam 10.45 WIB melakukan auskultasi bunyi nafas dan catat adanya suara tambahan respon subjektif Tn. A mengatakan merasa sudah lega, respon objektif suara vesikuler, tidak ada suara tambahan whezzing. Tindakan batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar dan pasien dapat mengeluarkan dahak dengan maksimal, namun latihan ini hanya bisa dilakukan pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama (koperatif) (Potter & Pery, 2005). Pemberian latihan batuk efektif terutama pada infeksi saluran pernafasan bawah yang berhubungan dengan akumulasi sekret pada jalan nafas yang sering diakibatkan oleh kemampuan batuk yang menurun atau adanya nyeri sehingga malas untuk melakukan batuk
103
(Muttaqin, 2013). Berdasarkan hasil studi kasus, tindakan yang telah dilakukan sudah sesuai dengan teori dimana pasien dapat mengeluarkan sputum. Maka penulis menyimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara teori dengan kasus pada Tn. A. Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa ketiga penulis sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016 jam 16.05 penulis mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan belum bisa beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau anaknya karena setelah beraktivitas pasti sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak dalam beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya. Pada jam 16.10 penulis memantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan respon subjektif Tn. A mengatakan masih sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak masih terpasang oksigen nasal kanul 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 85 kali permenit, pernafasan 27 kali per menit, suhu 36,5°C. Pada hari kedua implementasi tanggal 13 Januari 2016, jam 10.00 penulis mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bisa makan minum secara mandiri dan mau mencoba untuk mandi sendiri sesuai perintah dokter M tadi pagi, mandi tidak boleh pakai gayung karena berat diganti pakai selang, respon
104
objektif Tn. A tampak mandiri dalam makan minum, mandi masih dijaga istrinya dan aktivitas yang lain masih dibantu oleh istri atau anaknya. Pada jam 10.05 WIB memantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang, respon objektif Tn. A tidak ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum dan setelah aktivitas frekuensi pernafasan 25 kali per menit. Pada hari ke tiga implementasi tanggal 14 Januari 2016, Jam 10.55 penulis mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan semua aktivitas sudah bisa mandiri tetapi tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon objektif Tn. A tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi istri dan anaknya. Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa keempat penulis sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016 jam 16.20 penulis mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena sesak nafas, sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam, selama sakit tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam. Pada hari kedua tanggal 13 Januari 2016 jam 10.15 penulis memantau kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur nyenyak, ada penambahan jam tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan tidur siang 2 jam, respon objektifnya Tn. A tampak masih ada lingkar hitam
105
di area sekitar mata. Pada hari ketiga tanggal 14 Januari 2016, Jam 11.10 penulis mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru saja bangun tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang tidur lagi, respon objektif Tn. A tampak masih ada lingkar hitam di area sekitar mata. Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa kelima penulis sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016, jam 16.35 WIB penulis mengkaji intake makanan pasien dengan respon subjektif pasien mengatakan makan 3 kali sehari dari rumah sakit, jenis nasi, sayur, lauk, habis 1/2 porsi piring saja karena kurang nafsu makan, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien tampak tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis. Pada hari kedua tanggal 13 Januari 2016, Pada jam 11.20 WIB penulis memantau intake makanan pasien dengan respon subjektif pasien mengatakan sudah nafsu makan, makan habis 1 porsi piring, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis.
106
E. Evaluasi Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah & Walid, 2012). Tujuan evaluasi anata lain untuk menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai efektivitas dan efisiensi tindakan keperawtan, mendapatkan umpan balik dari respon klien, dan sebagai tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan (Dermawan, 2012). Hasil akhir evaluasi diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah teratasi dimana terjadi penurunan sesak nafas dari frekuensi pernafasan 27 kali per menit, skala Borg 4 (Sesak nafas kadang berat) menjadi frekuensi pernafasan 24 kali per menit, skala Borg 2 (Sesak nafas ringan). Tetapi selama 3 hari pemberian pursed lips breathing exercise pada Tn.
A
tampak
masih
menggunakan
otot
bantu
pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis karena pasien tampak sangat kurus dengan IMT 17, 96 kg/ m2. Hasil akhir evaluasi diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus berlebih, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah kebersihan jalan nafas sudah teratasi dimana Tn. A dapat mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu
107
mengeluarkan sputum ¼ sendok makan tidak ada darah, warna putih, encer seperti air liur, dan sudah tidak terdengar suara whezzing. Hasil evaluasi akhir diagnosa intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah intoleransi aktivitas teratasi sebagian dimana Tn. A mengatakan semua aktivitas sudah bisa mandiri tetapi tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon objektif Tn. A tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi istri dan anaknya. Hasil evaluasi akhir diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah gangguan pola tidur teratasi sebagian dimana jam tidur pasien sudah bertambah, kualitas tidur nyenyk tetapi lingkar hitam di area sekitar mata masih tampak. Respon subjekttif Tn.A mengatakan sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru saja bangun tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang tidur lagi. Objektif : pasien tampak lingkar hitam di area sekitar mata. Hasil evaluasi akhir diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, masalah gangguan nutrisi teratasi dimana Tn. A mengatakan sudah nafsu makan, makan habis 1 porsi piring, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnosa, implementasi dan evaluasi tentang pemberian pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik di ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta secara metode studi kasus, maka dapat ditarik kesimpulan A. KESIMPULAN Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengkajian Pengkajian pada Tn. A diperoleh data mengeluh sesak nafas, sesak nafas dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu, pasien tampak bernafas dengan cuping hidung, menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus
anterior, serta otot-otot abdominalis, pasien terpasang O2 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, irama tidak teratur, nafas dangkal, nadi frekuensi 85 kali per menit, suhu tubuh 36,5 °C. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus Tn. A adalah ketidakefektifan bersihan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
108
109
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih, intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. 3. Intervensi Intervensi untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas
Tn. A
diberikan adalah airway management (3140): observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler, ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Intervensi untuk ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah airway management (3140):
pantau frekuensi
pernafasan pasien, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan, ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Intervensi untuk intoleransi aktivitas adalah activity therapy (0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan,bantu pasien identifikasi penyebab keletihan dengan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat. Intervensi untuk gangguan pola tidur adalah sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang nyaman),
110
jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Intervensi untuk ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah Nutrition Management (1100) : kaji intake makanan, timbang berat badan pasien, anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat,kolaborasi dengan ahli gizi dan dokter. 4. Implementasi Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn. A penulis lakukan sesuai dengan di intervensi yang telah disusun sebelumnya. Pemberian Pursed Lips Breathing Exercise selama 3 hari yaitu pada tanggal tanggal 12-14 Januari 2016. Pemberian Pursed Lips Breathing Exercise merupakan tindakan utama untuk menurunkan tingkat sesak nafas. 5. Evaluasi Evaluasi yang dilakukan selama tiga hari pada tanggal 12-14 Januari 2016 sudah dilakukan secara komprehensif dengan acuan rencana asuhan keperawatan, serta telah berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya, yang
didasarkan
pada
kriteria
hasil
yang
diharapkan
yaitu
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sudah teratasi.
Diagnosa
kedua
ketidakefektifan
bersihan
jalan
nafas
berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih sudah teratasi. Diagnosa ketiga intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen teratasi sebagian. Diagnosa keempat gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan
111
lingkungan teratasi sebagian. Diagnosa kelima ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis teratasi. 6. Analisa Hasil pengaruh pemberian Pursed Lips Breathing Exercise terhadap penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi yaitu pasien mengatakan sesak nafas sudah berkurang, sebelum latihan sesak nafas sedang dan setelah latihan menjadi ringan. Objektif: pasien tampak bernafas tanpa cuping hidung, masih menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, sebelum latihan frekuensi pernapasan 25 kali per menit dan skala Borg 3 (sesak sedang), setelah latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit dan skala Borg 2 (sesak nafas ringan) tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi 72 kali per menit, suhu 35°C. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bakti (2015) dengan pengeruh pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak nafas pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Pada asuhan keperawatan Tn. A dengan penyakit paru obstruksi kronik mengalami penurunan tingkat sesak nafas setelah diberikan pursed lip breathing exercise selama tiga hari dimana ada penurunan frekuensi pernafasan dari 27-24 kali per menit, skala Borg dari 4 (sesak nafas kadang berat) – 2 (sesak nafas ringan), selisih rata-rata penurunan frekuensi pernafasan sebesar 0,67 dan selisih rata-rata penurunan skala Borg sebesar 0,67
112
selama 3 hari pemberian tindakan. Namun pasien masih tampak menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot abdominalis
karena pasien tampak sangat kurus dengan IMT 17, 96 kg/ m2. B. SARAN Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran sebagai berikut : 1. Bagi Rumah Sakit Diharapkan Rumah Sakit Umum khususnya RSUD Dr. Moewardi Surakarta dapat memberikan elayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerja sama baik anatara tim kesehatan maupun klien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatn yang optimal pada umumnya dan dapat mengaplikasikan pemberian pursed lip breathing exercise terhadap pasien sesak nafas, khusunya pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). 2. Bagi tenaga kesehatan khususnya Perawat Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan agar lebih maksimal, khususnya pada klien dengan gangguan ketidakefektifan pola nafas dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Perawat diharapkan dapat mengaplikasikan pemberian pursed lip breathing exercise terhadap pasien dengan keluhan sesak nafas.
113
3. Bagi institusi Pendidikan Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas dan profesional agar tercipta perawat yang profesional, terampil, inovatif, aktif dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawtan secara menyeluruh
berdasarkan
kode
etika
eperawatan.
Dan
dapat
mengaplikasikan pursed lip breathing exercise terhadap pasien sesak nafas. 4. Bagi Penulis Diharapkan bisa memberikan
pursed lip breathing exercise dan
memberikan pengelolaan selanjutnya pada pasien dengan ketidakefektifan pola nafas pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). 5. Bagi Pembaca Diharapkan dapat meberikan kemudahan bagi pembaca untuk sarana prasarana dalam pengembangan ilmu keperwatan, diharapakan setelah pembaca membaca bukuini dapat mengetahui tentang teknik pemberian pursed lip breathing exercise dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), serta menjadi acuan atau ada sebuah penelitian untuk kasus ini..
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyansyah, Muhamad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Cetakan Pertama.. Jogjakarta : Diva Press (Anggota IKAPI). Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Konsep & Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Penerbit Salemba. Brashers, L. Valentina. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan Fisik & Managemen. Jakarta: EGC. Deborah, Marrelli. 2008. Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3. Dialih bahasakan oleh Egi Komara Yudha. Jakarta : EGC. Dermawan. D. 2012. Proses Keperawatan Perencanaan Konsep dan Kerangka kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014. Mei. Dinkesjateng. Semarang. Donal. 2006. Mechanisme and Measurement of Dyspnea in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac. Francis, caia. 2008. Perawatan respiratori. Erlangga : Jakarta. Gleadle Jonathan. 2007. At Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hafiizh. Edwin Muhammad. 2013. Pengaruh Pursed Lip Breathing Terhadap Peburunan Respiratory Rate (RR) dan Peningkatan Pulse Oxygen Sturation (SpO2) Pada Penderita PPOK. Skripsi. Program Studi S1 Fisioterapi Fakultas Kesehatan Universits Muhammadiyah Surakarta. Hilmi, N. 2013. Gambaran Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Terjadinya
PPOK. Universitas RIAU. Herdman. T.H. 2010. Nanda International Diagnosis Keperawatan Defini dan Klasifikasi. Jakarta: EGC. Ikawati. Zullies. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Bursa Ilmu. Yogyakarta.
Irianto Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan Klinis. Alfabeta cv. Bandung. ISO. 2013. Iso_informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Juli. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. Khasanah. S. (2013). Efektifitas Condong Kedepan (CKD) dan Pursed Lip Breathing Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Prosding Seminar Nasional. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Bangsa. Purwokerto. Diakses pada tanggal 16 Maret 2016, Pukul 10.00 WIB. Morton, dkk. 2012. Keperawatan Kritis Volume I. Gosyen Publishing. Yogyakarta. Muttaqin Arief. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jilid 1. Salemba Medika. Jakarta. Murwani Arita. 2011. Perawatan Pasien Peyakit Dalam. Edisi I. Gosyen Publishing. Yogyakarta. Nurarif Huda Amin & Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC_NOC. Edisi Revisi. Jilid 2. Medi Action. Yogyakarta. Paniselvan, Paramasundari. 2011. Hubungan derejat Gagal Jantung Kronis Dengan Derajat Anemia di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Karya
TulisIlmiah.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31664/8/Cover.pdf
.
Diakses pada tanggal 21 April 2016. Potter, A, P & Porry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta : EGC. Rab. T, 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media. Ringel, Edward. 2012. Buku Saku Hitam Kedokteran Paru. PT Indeks. Jakarta. Rini. I.S., 2011. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di
RS Paru Batu dan RSU DR. Saiful Anwar Malang Jawa Timur. Tesis. Universitas Indonesia. Depok. Rohmah. N & Walid. S. 2012. Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi. Yogkarta : AR-RUZZ Media. Rubenstein, dkk. 2008. Kedokteran Klinis. Jakarta : Erlangga. Safitri, Refi & Annisa. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Penurunan Sesak Nafas pada pasien Asma di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Gaster, Vol.8. Skripsi. Prodi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah. Surakarta. Suradi. 2009. Deskripsi Penyakit Sistem Sirkulasi. Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran. Wilkinson. J & Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Windrasmara, Oni Juniar. 2012. Hubungan antara Derajat Merokok dengan Prevalensi PPOK dan Bronkitis Kronik Di BBKPM Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran : Universitas Muhammadiyah Surakarta.