BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Masyarakat Indonesia memiliki kebebasan dalam berekspresi dan pemikiran yang terbuka. Salah satu penyalurannya dapat melalui karya sinematografi atau film. Keberadaan film menjadi sesuatu yang nyata di tengah masyarakat majemuk. Peredaran film kepada masyarakat dapat melalui berbagai akses, seperti bioskop komersial, bioskop alternatif (arthouse), gerai VCD/DVD, kanal online, festival film, hingga arsip film. Sehubungan dengan hal tersebut, film menjadi salah satu media yang dekat dengan masyarakat (Pasaribu, 2014, hlm. 1). Kedekatannya dengan masyarakat membuat film menjadi salah satu media yang dapat memberikan pengaruh kepada para penonton. Menurut Evita (2007), pengaruh secara tidak langsung, dari film dapat disalurkan melalui konten ceritanya. Salah satu pengaruh yang dapat diterima masyarakat melalui konten yang mendominasi atau berulang dalam sebuah film, adalah perubahan perilaku penonton (Nando & Pandjaitan, 2012, hlm. 1-2). Pengaruh dari konten film terhadap masyarakat majemuk menimbulkan suatu kekhawatiran tersendiri. Dengan latar belakang dan pola pikir yang beragam, akan muncul suatu perbedaan sudut pandang dari masyarakat terhadap konten film. Menurut Dr. Muchlis Fani dalam Risalah Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Ketua LSF dan Ketua KPI (17 November 2014), konten film tersebut dapat memicu potensi konflik dan mengancam keberadaan Negara
1
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, muncul suatu pembentukan lembaga yang bertugas untuk membatasi dan menyortir konten film yang beredar di Indonesia. Lembaga tersebut adalah Lembaga Sensor Film (LSF), dimana sensor dijadikan sebagai alat ketahanan nasional. Keberadaan LSF dengan sistem sensornya dianggap menjadi pembatas kebebasan masyarakat, khususnya para pembuat film, dalam berkarya dan bersuara secara terbuka. Keberadaan sensor digunakan sebagai alasan pertahanan bangsa yang sebenarnya juga ditujukan demi kepentingan segelintir penguasa (Pasaribu, 2014, hlm. 4). Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Sasono, et. al. (2011) bahwa kebijakan sensor menghalangi kebebasan seorang seniman dalam berkarya. Dilihat dari sudut pandang film sebagai media massa yang informatif, sensor dipandang juga menjadi penghalang kebebasan warga negara untuk mendapatkan informasi yang sebebas-bebasnya (hlm. 80). Sensor film pada masa penjajahan kolonial Belanda dilaksanakan oleh Komisi Sensor Film, yang berubah nama menjadi Badan Sensor Film pada masa Soeharto, dan pada akhirnya menjadi Lembaga Sensor Film hingga sekarang. Keberadaan sensor pada masa itu dilatarbelakangi oleh penjagaan citra baik oleh Belanda (Pasaribu, 2014, hlm. 4). Citra orang Barat (Eropa) yang baik di hadapan penduduk pribumi akan mempertahankan moral dan budaya bangsa penjajah. Menurut Nugroho dan Herlina (2013), selain mencegah konten film impor, dari Hollywood, Cina, dan Inggris yang dianggap merusak citra orang Barat, masuk ke Indonesia, sensor juga dijadikan sebagai salah satu dukungan terhadap film dalam negeri. Dukungan yang dimaksud adalah sensor membatasi jumlah film impor
2
yang masuk, sehingga film non-impor atau film Indonesia dapat mendominasi. Hal ini juga didukung oleh kondisi jumlah produksi film nasional yang masih sangat rendah (hlm. 72). Berlanjut hingga pada masa kekuasaan Soeharto, sensor menjadi perangkat utama pemerintah dalam melakukan perlindungan atas NKRI. Spesifikasi kriteria dalam melakukan penyensoran pun terbentuk untuk memperkuat keberadaan perangkat sensor. Menurut Pasaribu (2014), kriteria tersebut antara lain keagamaan, ideologi dan politik, sosial-budaya, dan ketertiban umum (hlm. 5). Pada masa reformasi, keberadaan sensor menjadi sesuatu yang dipermasalahkan. Keberadaan LSF dan kebijakannya semakin tidak terduga dan konservatif. Heeren (2012) menjelaskan bahwa adanya kemunculan dari Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang bermula menyatakan ketidaksetujuannya atas pemenang film terbaik di Festival Film Indonesia 2006 (hlm. 177) dan berlanjut pada pernyataan Sasono, et. al. (2012) bahwa MFI juga mencoba melakukan pengajuan gugatan atas kebijakan sensor film sudah tidak sesuai lagi dengan hak konstitusional (hlm. 87). Dengan diterapkannya sensor, variasi film akan semakin terbatas. Keterbatasan variasi tersebut, secara tidak langsung, menunjukkan kadar demokrasi di Indonesia. Sedikitnya variasi film menunjukkan kondisi bahwa kebebasan dan keterbukaan masyarakat terhadap eksplorasi seninya dibatasi (Pasaribu, 2014, hlm. 1). Penulis mengambil penelitian Permasalahan Praktisi Sensor Film dan Pekerja Film Indonesia dalam Hal Pembatasan Kebebasan Berkarya karena
3
melihat fenomena permasalahan antara wacana kebebasan berkarya dan sensor yang membatasi. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan melakukan studi atas beberapa film masa Pasca-Reformasi yang terkena pembatasan oleh sensor film Indonesia. 1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana perspektif praktisi sensor dan pekerja film Indonesia terhadap pembatasan kebebasan berkarya di masa Pasca-Reformasi?“ 1.3
Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah melihat permasalahan antara praktisi sensor di Lembaga Sensor Film (LSF) dan pekerja film dari Masyarakat Film Indonesia (MFI) pada masa PascaReformasi yang dibatasi oleh pembahasan peristiwa persidangan Mahkamah Konstitusi tahun 2008 melalui studi kasus atas film Perempuan Punya Cerita (Fatimah Rony, Upi Avianto, Nia Dinata, Lasja Fauzia Susatyo, 2008) 1.4
Tujuan Skripsi
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberikan penjelasan permasalahan antara praktisi sensor Lembaga Sensor Film (LSF) dan pekerja film Indonesia dalam konteks pembatasan kebebasan berkarya melalui studi kasus film Pasca-Reformasi.
4
1.5
Manfaat Skripsi
Bagi penulis, skripsi ini akan menjadi sarana untuk mengetahui serta mempelajari seluk-beluk fenomena keberadaan sensor film di Indonesia, terutama pada masa Pasca-Reformasi. Bagi orang lain, skripsi ini menjadi suatu kontribusi berupa penjelasan informasi kepada berbagai pihak, seperti pembuat film (filmmaker), penonton film, serta pihak lainnya yang aktif dalam penulisan atau penelitian tentang sensor film Indonesia. Bagi universitas, skripsi ini akan menjadi bahan informasi dan referensi pustaka bagi mahasiswa peminatan sinematografi yang memiliki minat dalam penulisan ataupun penelitian tentang sensor film Indonesia.
5