8 IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING Implementing Canal Blocking Masimin Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Unsyiah, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, Indonesia 23111
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
S
alah satu faktor penunjang perekoniman khususnya di sektor pertanian adalah tersedianya lahan yang dilengkapi dengan prasarana dasar pengairan dan drainase, yaitu sistem sistem tata air yang baik. Lahan potensial untuk pengembangan pertanian begitu luas tersedia di Provinsi Aceh, termasuk didalamnya adalah daerah rawa. Menurut PP 27 Tahun 1991 tentang rawa, dijelaskan bahwa wewenang dan tanggung jawab pembinaan rawa berada di tangan pemerintah. Untuk pembinaan daerah rawa diperlukan tahapan studi, investigasi dan desain yang cermat untuk mengetahui potensi, keterbatasan dan daya rusak air pada daerah rawa tersebut. Dari sekian banyak lahan rawa yang berada di Provinsi Aceh, salah satunya adalah Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya yang layak untuk dibina menjadi lahan perkebunan yang potensial untuk peningkatan produksi kelapa sawit sebagai bagian untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat serta peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Walaupun demikian, lahan rawa mempunyai karakter yang unik dimana sebagian besar lahannya terbentuk dari lahan gambut yang sensitif terhadap perubahan muka air akibat adanya perubahan iklim. Untuk itu, pembinaan daerah rawa adalah memperbaiki sistem tata air pada kawasan tersebut, sehingga maksud pembinaan daerah rawa menjadi lahan perkebunan akan berhasil dengan baik sesuai maksud dan tujuan pengembangan daerah rawa serta menjaga kelestarian lingkungan. Usaha pengembangan Rawa Tripa menjadi lahan perkebunan kelapa sawit banyak dilakukan oleh masyarakat dan beberapa korporasi. Karena kurangnya pemahaman terhadap tata laksana pembinaan daerah rawa, maka pada kawasan Rawa Tripa telah terjadi kerusakan lingkungan. Secara umum kerusakan ini terjadi dikarenakan sistem tata air yang dibangun tidak berfungsi dengan baik, sehingga perlu adanya tinjauan yang berkaitan dengan sistem saluran yang dibangun pada kawasan perkebunan kelapa sawit tersebut. Dengan latar belakang seperti disebutkan di atas, Universitas Syiah Kuala perlu melakukan kajian berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di Rawa Tripa tersebut. Karena begitu komplek dan luasnya permasalahan yang perlu dikaji pada Rawa Tripa,
287
288
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
maka kajian kanal blocking ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi secara keseluruhan. B. Tujuan 1. Mengidentifikasi dan evaluasi potensi lahan Rawa Tripa terhadap sistem tata air yang tepat sesuai kondisi dan karakter lokasinya dengan produk standar gambar teknis hasil perencanaan teknis pendukungnya. Hasil dari kajian ini akan diusulkan sebagai acuan pembangunan dan perbaikan terkait dengan reklamasi daerah Rawa Tripa. 2. Menyusun desain dan spesifikasi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dokumen teknis sebagai acuan dalam pelaksanaan reklamasi dan pembangunan konstruksi prasarana dasar sistem tata air Rawa Tripa. 3. Lebih jauh pada akhir pembangunannya maka daerah Rawa Tripa tersebut dapat turut meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya masyarakat dan korporasi yang memanfaatkan lahan reklamasi Rawa Tripa. C. Ruang Lingkup Studi 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Review sistem jaringan saluran yang sudah ada. Identifikasi dimensi saluran. Identifikasi bangunan air yang ada. Usulan perbaikan sistem jaringan, saluran dan bangunan air. Pemilihan material yang layak digunakan di lahan rawa. Estimasi biaya yang diperlukan untuk pembangunan dan perbaikan saluran dan bangunan pada sistem tata air di kawasan perkebunan kelapa sawit. 7. Membuat gambar standar dan laporan kajian D. Output Output dari kajian restorasi lahan rawa adalah Rancangan Teknis untuk implementasi canal blocking di areal TPSF. II. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Kegiatan studi ini dlakukan di areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) Provinsi Aceh seluas lebih kurang 60.657,29 ha hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya seluas 36.394,4 ha atau sekitar 60 persen, dan wilayah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya seluas 24.262,92 ha atau sekitar 40 persen dari luas areal. Luas kawasan rawa gambut Tripa tersebut termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Secara geografis kawasan ini terletak pada 03˚ 44’-03˚ 56’ LU dan 96˚ 23’ - 96˚ 46’ BT. Kegiatan studi ini dilaksanakan mulai Mei sampai dengan Agustus 2013 dengan jumlah hari kalender sekitar 120 hari. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang dipergunakan dalam kajian ini antara lain: peta, data hidrologis, sistem saluran drainase, data teknis saluran dan bangunan air eksisting, informasi sistem sungai pada areal TPSF dan peralatan pendukung survai. Data yang dikumpulkan dan digunakan untuk mendukung kajian, baik jenis dan spesifiksinya serta sumbernya, disusun seperti yang disajikan pada Tabel 1.
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 289
Tabel 1. Data yang dikumpulkan No
Jenis Data
Spesifikasi
Keperluan
Sumber
A 1 2 3
Data Sekunder : Peta Topografi Foto Udara Data hujan
1 : 2000 1: 1000 Harian-10 thn
Sistem Perairan Sistem Saluran Modulus drain
Dinas Pengairan Google map BMKG/Sucofindo
B 1 2 3
Data Primer : Blok lahan Saluran Bangunan air
dimensi jenis & dimensi jenis & dimensi
layanan-drain kapasitas kapasitas
diukur diukur diukur
C. Metodologi Sesuai dengan maksud dan tujuan kajian Rawa Tripa khususnya mengenai implementasi kanal blocking, maka perlu disusun metodologi kajian yang terukur agar kajian dapat dilaksanakan dengan hasil kajian yang mendekati kebenaran. Untuk mendapatkan informasi yang mendukung kajian maka dirancang metode kajian dan metode pengumpulan serta analisa data, baik untuk data sekunder yang bersumber dari instansi terkait ataupun data primer yang diambil dari lapangan dengan melakukan observasi dan pengukuran. Rancangan Kajian Rancangan kajian disusun meliputi hal-hal seperti berikut ini: (1) sistem perairan kawasan Rawa Tripa, (2) maksud peruntukan reklamasi Rawa Tripa, (3) sistem dan layout tata saluran yang sudah dibangun, (4) tipe dan dimensi saluran yang sudah dibangun, (5) jenis bangunan air yang sudah dibangun dan material yang digunakan, (6) usulan perbaikan sistem saluran dengan mengenalkan kanal blocking, (7) rencana anggaran biaya perbaikan saluran dan pembangunan struktur bangunan air. Metode Analisa Data 1. Sistem Perairan Berdasarkan peta topografi dan foto udara maka dapat ditentukan batasan-batasan Rawa Tripa ditinjau dari sistem perairannya. Batasan perairan yang digunakan adalah garis pantai, sungai utama, anak-anak sungai dan permukiman masyarakat. Sistem perairan ini digunakan untuk menentukan tata cara pembuangan kelebihan air ke badan air terdekat dan rencana suplai air pada saat terjadi kekeringan di lahan perkebunan yang merupakan lahan gambut dan perlu dipertahankan drainabilitasnya. Dari informasi sistem perairan ini, maka dapat diketahui lokasi lahan rawa yang akan direklamasi, jalur saluran drainasenya, penempatan bangunan air dan sistem saluran suplesi yang dengan sumber air diambil dari hulu sungai utama. 2. Sistem Saluran Reklamasi lahan rawa untuk berbagai keperluan termasuk untuk perkebunan kelapa sawit adalah mengatur tata air yang benar karena kemungkinan adanya dampak negatif dan kondisi lahan yang memerlukan penanganan khusus sistem pembuangan airnya. Pengaturan tata air pada lahan reklamasi memerlukan sistem saluran yang dapat berfungsi untuk pengeringan lahan basah dan membuang kelabihan air hujan untuk tidak terjadi genangan di lahan reklamasi tersebut.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
290
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Reklamasi lahan rawa yang begitu luas perlu dibuat blok lahan dengan satu pembuang tersier. Ukuran maksimum satu blok sebaiknya mempunyai lebar maksimum 600’ (180 m) dan panjang blok tidak dibatasi dan sebaiknya maksimum kurang dari 2000’ (1200 m). Jadi satu sistem pembuangan drainase untuk saluran tersier dapat melayani lahan dengan ukuran 180 m x 1200 m. Hierarki atau urut-urutan jenis saluran adalah saluran pembuang tersier berfungsi untuk pengeringan lahan, saluran pembuang sekunder sebagai saluran kolektor menampung air dari saluran tersier dan saluran pembuang utama atau saluran primer yang menampung aliran air dari saluran sekunder dan mengalirkannya ke tempat pembuangan akhir (outfall). Tempat pembuangan akhir biasanya merupakan sungai atau danau atau langsung ke laut yang merupakan bagian dari sistem perairan yang ada (body of water). Kelengkapan berikutnya dalam sistem saluran tata air reklamasi rawa adalah tersedianya kolam tampungan air (water storage) dengan posisi di ujung saluran tersier ataupun di ujung saluran sekunder. Untuk lahan gambut tebal dan dimungkinkannya kelebihan proses pengeringan (over drained) maka perlu dipasok air untuk mempertahankan drainabilitasnya dengan aliran suplesi (recharge flow) dari sumber air lainnya dari sungai di bagian hulu. Modulus Pembuang/Drainase Besarnya modulus pembuang digunakan untuk merencanakan kapasitas saluran pembuang. Perhitungan didasarkan pada hasil analisis distribusi curah hujan 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 harian untuk periode ulang 5 tahun. Rumus yang digunakan untuk menghitung modul drainase 3 harian adalah sebagai berikut: Dm = [ R(3)5 + 3 (IR-Eto-P) - s ] / (3 x 8.64) (lt/det/ha) dimana :
Dm = laju drainase (lt/det/ha); IR = pemberian irigasi selama periode drainase (mm/hari); Eto = evapotranspirasi (mm/hari); P = perkolasi (mm/han) dan s = penyimpanan tambahan (mm).
Perhitungan modulus drainase dibedakan berdasarkan jenis penggunaan lahan yakni modulus drainase untuk tanaman padi, tanaman palawija, tanaman tahunan/perkebunan, pemukiman, dan modulus drainase green belt / jalur hijau. Jenis dan Dimensi Saluran Pembuang Jenis saluran pembuang dilihat menurut hierarkinya mulai dari saluran tersier yang berfungsi membuang kelebihan air di lahan untuk mempertahankan tinggi drainabilitasnya, saluran sekunder yang berfungsi untuk mengumpulkan air dari saluransaluran primer dan terakhir adalah saluran primer atau saluran pembuang utama yang berfungsi mengumpulkan air dari saluran-saluran sekunder dan membuang airnya ke sungai (body of water). Saluran yang ditinjau adalah yang termasuk dalam satu sistem pembuangan lahan perkebunan sawit. Dimensi saluran yang perlu diketahui meliputi panjang saluran, lebar dasar, kemiringan talud, kedalaman saluran, kedalaman air dalam saluran dan material pembentuk dinding saluran. Dimensi saluran yang perlu diperoleh datanya di lapangan adalah seperti yang disajikan pada Gambar 1.
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 291
H
z y
1 b
Gambar 1. Dimensi Tampang Melintang Saluran Jenis dan Dimensi Bangunan Air Bangunan yang perlu diidentifikasi dalam kajian adalah bangunan air yang mempunyai fungsi hidrolis dalam sistem tata air pengelolaan lahan rawa seperti halnya pintu air dan bangunan pelimpah, sedangkan bangunan penunjang seperti gorong-gorong ataupun jembatan tidak dicatat dalam kajian ini. Bangunan air ini merupakan bagian dari usaha kanal blocking untuk mempertahankan drainabilitas lahan rawa yang direklamasi untuk perkebunan kelapa sawit. Jenis dan bangunan air ditinjau untuk setiap satu sistem tata air pengelolaan lahan rawa. Identifikasi bangunan air tersebut perlunya ada informasi mengenai: (1) Jenis bangunan, (2) Lokasi penempatannya, (3) Fungsi bangunan air tersebut, dan (4) Material pembuatnya. Penerapan Kanal Blocking Kemungkinan terjadinya ‘over drained’ dalam program reklamasi lahan rawa menjadi lahan pertanian bisa saja terjadi terutama kalau tidak tersedianya suplai air dari bagian hulu (sumber lain) . Hal ini dapat berakibat buruk kepada lingkungan karena terjadinya oksidasi kandungan pirit di dalam tanah gambut dengan meningkatnya emisi carbon di udara. Untuk itu muka air tanah di lahan reklamasi perlu dipertahankan pada level tertentu atau dengan kata lain kejadian over drained perlu dihindari. Usaha ini dapat dilakukan dengan membuat bangunan kontrol kedalaman air pada beberapa titik di saluran/ anak sungai dan yang terutama adalah pada bagian pelepasan (outfall) saluran tersier ke saluran sekunder. Dengan demikian pengeringan lahan rawa pada kegiatan reklamasi sudah terkontrol berdasarkan adanya kanal blocking ini, sehingga program pengembangan daerah rawa ini telah didukung oleh penanganan sistem tata air yang benar. Kanal blocking adalah bagian dari sistem tata air pengembangan lahan rawa pada tahap kedua dari tiga tahapan pengembangan lahan rawa. Tahap pertama adalah sistem pengeringan lahan dengan membangun saluran pembuang yang diperkirakan mamakan waktu hingga 10 tahun. Penerapan kanal blocking ini disarankan pada lahan bambut tebal atau pinggiran kubah gambut yang disarankan untuk pemanfaatan secara terbatas. Pada kajian ini diidenfikasi sistem tata air yang sudah menerapkan kanal blocking
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
292
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
dengan identifikasi penempatan dan jenis bangunan yang telah dibangun. Data berikutnya yang perlu didapatkan adalah material pembuatnya dan sistem operasional serta bagaimana monitoringnya di lapangan. Informasi tindak lanjut apabila terjadi permasalahan dengan operasional kanal blocking juga perlu dikumpulkan dari para petugas yang menangani water management pada perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut. Perhitungan Rencana Anggaran Biaya Perhitungan rencana anggaran biaya pembangunan fasilitas kanal blocking didasarkan pada satuan harga material, peralatan dan tenaga pekerja yang berlaku di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Pada prinsipnya adalah menghitung besarnya volume pekerjaan (bill of quantity) dan besarnya biaya setiap jenis pekerjaan terpasang. Dalam perhitungan rencana anggaran biaya ini juga dimasukkan besarnya pajak sebesar 10% (goverment taxes). Pekerjaan Survei dan Investigasi Lapangan Secara umum jenis pekerjaan survei dan investigasi lapangan pada pekerjaan kajian ini adalah terdiri dari: 1. Pengumpulan peta, data hidrologis, sistem saluran drainase dan informasi sistem sungai pada kawasan Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. 2. Pengumpulan data teknis saluran dan bangunan air yang sudah ada yang dikelompokkan menurut masing-masing sistem jaringan tata air. 3. Pengukuran dimensi saluran dan bangunan air termasuk didalamnya adalah jenis saluran, material pembentuknya, lebar dasar, kedalaman saluran, kemiringan talud dan kedalaman air. 4. Identifikasi bangunan kanal blocking termasuk posisi, jumlah dan material pembangunannya. 5. Identifikasi bangunan atau alat monitoring kondisi muka air (water level) di saluran dan posisi muka air tanah (water table) di lahan perkebunan. Pekerjaan Analisa dan Desain Pekerjaan analisa dan desain dilakukan berdasarkan teori dan referensi serta perundang-undangan yang berlaku berdasarkan data lapangan yang didapat di lapangan. Analisa diarahkan pada penentuan besaran air buangan drainase berdasarkan tinjauan hidrologisnya dan besaran suplai air (recharge) pada saat musim kemarau yang menyebabkan menurunnya muka air tanah yang dapat mempengaruhi rencana drainabilitas kawasan rawa tersebut. Kajian sistem saluran sebagai usaha implementasi sistem tata air pengembangan daerah rawa adalah mencakup sistem jaringan dan komponen bangunan air serta material yang layak digunakan. Secara singkat kegiatan desain adalah terdiri dari: 1. Layout pengembangan daerah rawa dan sistem saluran drainasenya. 2. Konstruksi bangunan dan penempatannya yang diperlukan untuk kanal blocking dengan maksud mempertahankan drainabilitas lahan rawa gambut. 3. Penentuan jenis bangunan air yang cocok pada sistem tata air dan pemilihan material dan sumbernya harus diidentifikasikan. 4. Membuat perhitungan besarnya pembangunan bangunan kanal blocking berdasarkan harga yang berlaku.
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 293
III. TINJAUAN TEORITIS A. Definisi dan Fungsi Alamiah Rawa Rawa (Swamp) merupakan lahan dengan topografi relatif datar dengan genangangenangan yang terjadi secara alami dan terus menerus akibat drainase yang terhambat serta mempunyai karakteristik khas secara fisik,kimiawi dan biologis. Reklamasi merupakan kegiatan atau proses dari perbaikan atau pengelolaan lahan-lahan basah, rawa, padang-pasir, tanah buruk atau tanah asli dan membuatnya sesuai untuk sesuatu tujuan-tertentu seperti halnya pertanian, permukiman dan industri. Rawa sebagai penyeimbang ekosistem dengan fungsi sebagai berikut: (1) Sumber air, (2) Mencegah intrusi air asin, (3) Proteksi alam dari erosi, (4) Tempat retensi sedimen dan nutrien, (5) Habitat flora dan fauna khas, (6) Pemendaman CO2 dan (7) Mendukung keanekaragaman hayati. B. Sejarah Pengembangan Daerah Rawa di Indonesia Secara tradisionil para petani Bugis dari Sulawesi Selatan dan Banjar dari Kalimantan Selatan merupakan petani perintis yang telah memanfaatkan sumber daya lahan rawa dekat pantai di sepanjang tepian sungai-sungai yang dipengaruhi pasang surut di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan dan Papua. Konstruksinya berupa parit-parit atau handil-handil dengan panjang 1 sampai dengan 2 km yang berhubungan langsung dengan sungai-sungai yang dipengaruhi pasang surut. Dari tahun 1924 sampai tahun 1934 dibangun proyek rawa pasang surut di Sisir Gunting di Sumatera Utara dan di Purwasari Kalimantan Selatan dengan sistem polder. Pada era 1950-an - 1960-an reklamasi rawa non pasang surut untuk lahan pertanian Pemerintah membangun 2 buah polder yaitu Alabio (6.000 ha) di Kalimantan Selatan dan Mentaren (2.300 ha) di Kalimantan Tengah. Kanalisasi Anjir Tamban, Serapat, Besarang, Kelampan, dan Marabahan, di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah untuk sarana transportasi air dan membuka keterpencilan suatu daerah di Kalimantan Tengah. Pemerintah Indonesia pada tahun 1969 (Pelita I) mememulai pengembangan lahan rawa dengan skala besar pada lahan rawa pasang surut untuk menunjang program transmigrasi dan untuk mencapai swasembada pangan khususnya beras. Pada tahun 1969 – 1994 telah dikembangkan lahan rawa pasang surut seluas 1.238.000 ha yang lokasinya terkonsentrasi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Setelah tahun 1994 , pengembangan daerah rawa dititikberatkan pada peningkatan daerah-daerah yang telah dibuka dengan kegiatan yang bersifat terpadu dan lintas sektoral dengan menerapkan zona-zona pengelolaan air (water management zone). Pada tahun 1996 dibangun Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) seluas 1(satu) juta Ha di Provinsi Kalimantan Tengah. Proyek ini sejak awalnya merupakan proyek kontroversial dan banyak dipertanyakan keberhasilannya. Proyek ini dapat dikategorikan proyek gagal karena tidak mengindahkan kaidah-kaidah pengembangan rawa.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
294
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
C.
Permasalahan dan Konsep Dasar Pengembangan Lahan Rawa
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Permasalahan pengembangan lahan rawa adalah sebagai berikut: (1) Kesuburan fisik dan kimiawi tanah yang rendah, (2) Tingginya kandungan besi, aluminium dan senyawa sulfida menyebabkan air menjadi asam, (3) Tata air yang masih belum dapat dikendalikan karena tidak tersedianya saluran suplesi yang berfungsi sebagai saluran irigasi untuk mempercepat ameliorisasi tanah, dan sumber air untuk tanaman maupun karena pengelolaan tata air (water management) pada sistem makro ataupun mikro di tingkat petani yang belum sempurna, (4) Belum dimilikinya teknologi varietas jenis-jenis tanaman yang sesuai atau dapat beradaptasi pada setiap tipologi lahan yang toleran terhadap tanah bermasalah (keasaman tanah, keracunan, Fe dan Al, gambut dan asam organik, defisiensi Cu dan Zn serta salinitas), (5) Pengembangan tata cara dan ide-ide untuk pengembangan lahan rawa kurang mendapat prioritas. Konsep dasar pengembangan lahan rawa adalah dengan mempertimbangkan hal-hal berikut : (1) Pengelolaan terbatas dengan memperhatikan masalah lingkungan dimana pada area-area sensitif seperti gambut tebal atau kawasan lindung, (2) Faktor lingkungan yang harus diperhitungkan pada pengembangan area baru, yaitu: (a) Hanya mengembangkan area-area yg mengalami kerusakan saja, bukan area yg memilki nilai keragaman hayati (khususnya kawasan lindung), (b) Hindari gambut tebal, (3) Dekat pesisir pantai perlu dipastikan adanya jalur hijau yg cukup memadai, (5) Diperlukan pengembangan terbatas pada area sensitif seperti pada kubah gambut dan kawasan hutan lindung dan dibutuhkan adaptasi pengembangan kawasan baru. Pengembangan sistem layout saluran pada pengembangan lahan rawa adalah mengikuti sistem sisir dengan urutan saluran adalah saluran tersier, sekunder dan primer. Konstruksi lain yang diperlukan adalah bangunan air dan waduk (polder) serta saluran suplesi dari sumber air lainnya, seperti diperlihatkan pada kedua Gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Layout Rawa Jelapat di Kalimantan Selatan
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 295
Gambar 3. Layout Rawa Tamban Luar di Kalimantan Tengah D. Tahapan Pengembangan Lahan Rawa Pengembangan lahan rawa dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu: (a) Tahap Awal, (1) Tahap Menengah dan (2) Tahap Akhir dengan kegiatannya dijalaskan seperti berikut ini. Pengembangan Tahap Awal. Pengembangan lahan rawa pada tahap awal mempunyai karakter kegiatan sebagai berikut: (1) Merupakan awal dari pemanfaatan lahan rawa dengan tujuan untuk membuat lahan yang sesuai bagi pemukiman dan menyediakan sumber pendapatan pada tingkat dasar di bidang pertanian, (2) Ciri khusus tahap ini adalah menghilangkan genangan-genangan serta racun-racun dan kemasaman tanah melalui proses pembilasan (leaching) sehingga dapat ditanami terutama dengan tanaman padi dengan target satu kali panen pada lahan pekarangan dan lahan usaha , (3) Strategi yang digunakan adalah teknologi sederhana dan biaya murah, yang tercermin dari tata letak yang standar dan desain hidraulik tanpa bangunan-bangunan pengendali, (4) Tahap ini dapat mencapai waktu 1 hingga 10 tahun, (4) Pengembangan yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat pada umumnya hanya mencapai tahap ini. Pengembangan Tahap Menengah. Pengembangan lahan rawa pada tahap menengah mempunyai karakter kegiatan sebagai berikut: (1) Peningkatan pengelolaan tata air dan temuan yang signifikan adalah bahwa kualitas air menjadi lebih penting daripada kuantitas air di lahan dan pengelolaannya didekati dengan zona-zona pengembangan tata air (water management zoning), (2) Aliran satu arah diusulkan sebagai sarana untuk pencucian bahan-bahan yang mengandung racun dari tanah dan untuk pembilasan keasaman agar keluar dari saluran, (3) Sistim tata saluran ditambah dengan bangunanbangunan pengendali air (sistim setengah terkendali),dan produksi diharapkan meningkat, dan (4) Melakukan diversifikasi tanaman. Pengembangan Tahap Akhir. Pengembangan lahan rawa pada tahap akhir mempunyai karakter kegiatan sebagai berikut: (1) pada tahap akhir ini pengembangan dilakukan melanjutkan tahap menengah dengan membangun sistim pengelolaan air memanfaatkan potensi sumberdaya air dan lahan pertanian secara penuh dan pengelolaan tata air sepenuhnya sudah terkendali kemudian dilanjutkan dengan tahap
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
296
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
pelestarian, (2) Untuk pengembangan potensi secara penuh, lahan dibagi menjadi unitunit satuan kecil, pada tahap akhir ini secara jelas tata air akan terlihat apakah menjadi sistim irigasi penuh jika potensi air cukup dan ada sumber suplesi tambahan, ataupun mengarah pada pola tata air polder dengan atau tanpa pompanisasi dengan memisahkan unit secara hidrologis pada lahan sekitarnya. Ilustrasi tahapan pengembangan lahan rawa dan jenis kegiatannya diperlihatkan pada Gambar 4. Kriteria Perencanaan Bangunan pada Lahan Rawa Kriteria perencanaan bangunan pada pengembangan lahan rawa adalah sebagai berikut: 1. Lajur hijau (green belt) pada anak sungai = 100 m, sungai = 200 m dan pantai = 300 m. 2. Drainabilitas pada lahan basah = 30 cm, lahan kering 30-60 cm dan tanaman keras = 60 cm. 3. Tinggi jagaan untuk tanggul banjir = 75 cm, saluran primer = 75 cm, saluran sekunder = 30 cm dan bangunan air = 30 cm. 4. Kemiringan talud untuk kedalaman saluran kurang dari 1 m = 1:1, kedalaman saluran 1-2 m = 2:3 dan kedalaman saluran > 2 m = 1:2. 5. Kecepatan aliran maksimum pada saluran = 0,70 m/det dan pada bangunan = 2,0 m/det. 6. Lebar berm pada saluran tersier = 2,0 m, saluran sekunder = 3,0 m dan saluran primer = 5,0 m. 7. Gunakan material yang ringan untuk konstruksi bangunan air dan tanah gambut tidak diperbolehkan untuk membuat badan tanggul saluran.
Gambar 4. Ilustrasi pada tahapan pengembangan lahan rawa
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 297
Jenis Konstruksi Bangunan Air di Lahan Rawa Jenis bangunan air yang perlu pada pengembangan lahan rawa disesuaikan dengan fungsinya dengan memperhatikan fungsi dan material yang akan digunakan, yaitu: 1. Saluran dibuat dari dinding tanah (non lining) karena fungsinya untuk membuang kelebihan air baik air tanah di lahan maupun air hujan, 2. Bangunan pelimpah atau pintu under sluice dengan fungsi untuk mempertahankan drainailitas air di lahan rawa, 3. Papan duga untuk mengukur dalam kegiatan monitoring elevasi muka air di saluran, 4. Piezometer untuk mengukur dalam kegiatan monitoring elevasi muka air tanah di lahan rawa, 5. Water storage (polder) untuk menampung air dalam persiapan suplai air apabila elevasi muka air mengalami penurunan melebihi drainabilitas rencana, 6. Sistem suplesi air dari sungai di bagian hulu untuk persiapan suplai air apabila terjadi penurunan eleasi muka air di lahan rawa dan kolam polder juga mengalami kekeringan, 7. Material yang dapat digunakan untuk membanguan bangunan air di lahan rawa meliputi kayu, beton ringan (1,60 ton/m3), dan fiber resin. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Kajian Sistem Perairan Cakupan Lahan Rawa Secara administratif Hutan Rawa Gambut Tripa berada di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Pengelolaan lahan rawa adalah membangun sistem tata air yang mengikuti kaidah hidrologi sehingga perlu diketahui sistem perairan pada lahan rawa tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemana dialirkan air buangan drainase dan sumber air yang layak untuk diambil sebagai sistem suplesi lahan tersebut pada musim kering. Rawa Tripa diapit oleh dua sungai besar, yaitu Krueng Tripa disebelah Barat dan Krueng Batee di sebelah Timur dan di dalamnya mengalir sungai Krueng Seumayam yang ketiganya bermuara di Samudera Indonasia. Jadi Rawa Tripa mempunyai batas hidrologis sebagai berikut: - Sebelah Utara - Sebelah Timur - Sebelah Selatan - Sebelah Barat
: Lahan datar perkampungan penduduk. : Krueng Batee. : Samudera Indonesia, dan : Krueng Tripa
Hasil dari analisa peta topografi dan tinjauan lapangan terlihat bahwa arah pembuangan drainase lahan Rawa Tripa (outfall) sebagian besar adalah menuju Krueng Tripa, Krueng Seumayam dan Krueng Batee (body of water). Walaupun Rawa Tripa berbatasan dengan Samudera Indonesia terlihat tidak satu sistem pembuangan yang menuju ke laut, sehingga tidak terdapat pengaruh pasang surut pada kawasan Rawa Tripa dan rawa ini dikategorikan sebagai Rawa Lebak. Sistem Saluran Lahan Perkebunan Sebagian besar lahan Rawa Tripa sudah diusahakan oleh masyarakat dan beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit, seperti: 1) PT. Kalista Alam (KA), 2) PT. Gelora Sawita Makmur (GSM),
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
298
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
3) 4) 5) 6)
PT. Surya Panen Subur (SPS), PT. Cemerlang Abadi (CA), PT. Dua Perkasa Lestari, dan PT. Patriot (dialihkan ke masyarakat).
Sistem saluran dibuat untuk pengeringan lahan dengan sistem blok lahan dengan ukuran 300 m x 1000 m atau untuk setiap luasan 30 Ha. Untuk setiap blok lahan dikelilingi oleh saluran-saluran, yaitu pada sisi memanjang (1000 m) dengan saluran kolektor dan pada sisi melebar (300 m) dengan saluran transport. Fungsi saluran kolektor adalah untuk pengeringan lahan sedangkan saluran transport menerima air dari saluran kolektor untuk dibuang atau dialirkan ke sungai. Jadi disini terlihat bahwa saluran kolektor mempunyai dimensi yang lebih kecil dibandingkan dengan saluran transport. Saluran kolektor dibuat pada sisi kiri dan kanan jalan blok dengan lebar 2.0 m dan dalam 1.5 m berdinding tanah (non lining) dengan kemiringan talud relatif terjal, yaitu 1H:5V. Kemiringan dasar saluran relatif kecil mendekati datar sehingga aliran air terjadi diakibatkan oleh adanya beda potensial muka air. Saluran transport dibuat sama dengan saluran kolektor hanya lebarnya yang lebih lebar, yaitu sekitar 5.0 m. Saluran yang memotong jalan adalah saluran transport dan dipasang gorong-gorong ataupun jembatan. Pada waktu tinjauan lapangan banyak dijumpai tidak ada aliran air pada saluran kolektor, sedangkan pada saluran transport dijumpai kedalaman aliran setinggi 30 cm dan air mengalir dengan kecepatan relatif lambat, yaitu 0,10 m/det. Skema sistem saluran pada reklamsi rawa secara umum diperlihatkan pada Gambar 5 dan 6 memperlihatkan tampang melintang kedua saluran.
JALAN UTAMA SALURAN TRANSPORT
JALAN UTAMA
1000 M
JALAN BLOK
300 M
1000 M
SALURAN KOLEKTOR
1000 M
1000 M
300 M
JALAN BLOK
300 M SALURAN KOLEKTOR
300 M
JALAN UTAMA
300 M
300 M
300 M
JALAN UTAMA
1000 M
JALAN BLOK
1000 M
SALURAN KOLEKTOR
1000 M
SALURAN KOLEKTOR
JALAN BLOK
1000 M
SALURAN TRANSPORT
300 M
SALURAN TRANSPORT JALAN UTAMA
Gambar 5. Skema Sistem Saluran pada Blok Lahan
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 299
LAHAN SAWIT
JALAN UTAMA SALURAN TRANSPORT
SALURAN TRANSPORT
LAHAN SAWIT
(A) SALURAN TRANSPORT DAN JALAN UTAMA
JALAN BLOK
SALURAN KOLEKTOR
LAHAN SAWIT
SALURAN KOLEKTOR
LAHAN SAWIT
(B) SALURANKOLEKTOR DAN JALAN BLOK
Gambar 6. Tampang Melintang (A) Saluran Transport dan (B) Saluran Kolektor Lahan di kiri dan kanan sepanjang sungai ataupun saluran pembuang utama juga telah dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat untuk dibuat lahan perkebunan, sehingga tidak terdapat lajur hijau (green belt) yang seharusnya lahan tersebut merupakan kawasan sempadan sungai. Hal ini terjadi karena jalan masuk kawasan Rawa Tripa yang paling memungkinkan adalah melalui sungai. Modulus Pembuang Drainase Sistem saluran pada blok lahan dibuat mengitari lahan dengan dua buah saluran kolektor dan dua buah saluran transport, maka dengan menganggap permukaan lahan relatif datar menyebabkan arah pembuangan air menuju keempat saluran tersebut. Dengan demikian setiap saluran kolektor hanya melayani luasan sekitar 12,75 Ha, sedangkan lahan seluas 2,25 Ha dilayani oleh saluran transport (Gambar 7).
12,75 Ha 2,25 Ha BLOK LAHAN 30 Ha
2,25 Ha 12,75 Ha
SALURAN KOLEKTOR
Gambar 7. Luas Layanan Drainase pada Blok Lahan
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
SALURAN TRANSPORT
SALURAN TRANSPORT
SALURAN KOLEKTOR
300
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Rumus yang digunakan untuk menghitung modul drainase n harian adalah sebagai berikut: Dm = [ R(n)5 + n (IR-Eto-P) - s ] / (n x 8.64) (lt/det/ha) dimana : Dm = laju drainase (lt/det/ha); IR = pemberian irigasi selama periode drainase (mm/hari); Eto = evapotranspirasi (mm/hari); P = perkolasi (mm/han) dan s = penyimpanan tambahan (mm).
Dengan pertimbangan bahwa luas layanan relatif kecil, yaitu 12,75 Ha tanpa adanya pemberian air irigasi dan daerah rawa dimungkinkan tidak terjadinya infiltrasi dan perkolasi serta tidak adanya storage yang keempatnya dinilai tidak berpengaruh, maka rumus modulus drainase hanya merupakan fungsi dari curah hujan dan penguapan. Curah hujan diperhitungkan untuk n = 1 harian, sehingga rumus tersebut menjadi seperti berikut. Dm = [ R5 - Eto] / (8.64) (lt/det/ha) Dalam perhitungan water balance disebutkan bahwa besarnya penguapan dapat diabaikan apabila memperhitungkan curah hujan pendek dimana waktu hujan lebih kecil dari waktu konsentrasi, sehingga rumus di atas menjadi seperti berikut ini. Dm = R5 / (8.64) (lt/det/ha) Berdasarkan data curah hujan dengan analisa frekuensi ( RT R S D * K ) maka diperoleh besarnya curah hujan rencana untuk berbagai periode ulang seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Perhitungan Curah Hujan Rencana T(thn) 2 5 10 20 50 100
R
(mm) 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64
Sd (mm)
K
RT (mm)
33.91 33.91 33.91 33.91 33.91 33.91
-0.1644 0.7198 1.3052 1.8668 2.5936 3.1383
117.07 147.05 166.90 185.94 210.58 229.05
Besarnya curah hujan harian untuk periode ulang 5 tahunan (Tabel 2) diperoleh sebesar R5 = 147,05 mm, sehingga besarnya modulus pembuang didapat; Dm = 147,05 / 8,64 = 17,02 l/det/ha dan untuk luas layanan A = 12,75 Ha, maka diperoleh besarnya debit pembuangan sebesar Q = 17,02 x 12,75 = 217 l/det = 0,217 m3/det. Jadi setiap saluran kolektor perlu dibuat untuk mengalirkan air dengan kapasitas mampu melayani debit buangan sebesar Q = 0,217 m3/det dengan pertimbangan modulus pembuang lahan tersebut sebesar Dm = 17,02 l/det/Ha. Jenis dan Dimensi Saluran Pembuang Seperti disebutkan sebelumnya, bahwasannya hanya terdapat dua jenis saluran, yaitu saluran kolektor dan saluran transport. Saluran kolektor berfungsi untuk pengeringan lahan perkebunan, sedangkan saluran transport menampung aliran dari saluran-saluran kolektor dan mengalirkannya ke sungai (body of water) terdekat sebagai tempat buangan akhir (outfall). Baik saluran kolektor maupun saluran transport merupakan
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 301
saluran berdinding tanah (non lining). Dimensi saluran kolektor dan saluran transport adalah seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Dimensi Saluran No 1 2 3 4 5 6
Parameter Lebar dasar (m) Tinggi saluran (m) Kemiringan talud (H:V) Tinggi aliran (m) Tinggi jagaan (m) Lebar berm (m)
Saluran Kolektor 1,50 1,50 1:5 1,0 0,2 - 0,3 2,0 - 3,0
Saluran Transport 5,0 2,0 1:5 1,5 0,3 - 0,5 3,0 - 5,0
Jenis dan Dimensi Bangunan Air Hasil tinjauan lapangan menunjukkan bahwa jenis bangunan air yang dijumpai sangatlah terbatas. Hanya pada sistem saluran PT. SPS dijumpai bangunan air jenis pelimpah yang dipasang pada saluran kolektor. Jumlah bangunan pelimpah yang dijumpai adalah 3 (tiga) buah dan konstruksinya relatif darurat. Bangunan pelimpah tersebut dibangun dari batang kayu (stop log) yang ditimbun dengan tumpukan kantong pasir. Bangunan tersebut terlihat kurang stabil dan mengalami kebocoran serta memerlukan perbaikan segera seandainya terjadi kerusakan yang membuat bangunan kurang berfungsi untuk menahan elevasi tinggi muka air di saluran. Menurut informasi dari petugas yang menangani water management dari PT. SPS belum semua saluran kolektor dibangun bangunan pelimpah. Disamping dipasang bangunan pelimpah, maka untuk monitoring muka air baik di saluran kolektor maupun elevasi muka air tanah di lahan sawit turut dipasang alat duga air di saluran dan peralatan piezometer di tengah lahan perkebunan dalam blok lahan bersangkutan. Skema penempatan bangunan pelimpah dan peralatan monitoring elevasi muka air dan muka air tanah dapat dilihat pada Gambar 8. Penerapan Bangunan Kanal Blocking Dalam pemanfaatan lahan rawa khususnya untuk gambut tebal di sekitar kubah gambut dengan pemanfaatan terbatas, perlu diterapkan kanal blocking dengan maksud untuk mempertahankan drainabilitas rencana sehingga efek negatif pengembangan terhadap kondisi lingkungan dapat diperkecil. Jadi fungsi hidrolis kanal blocking adalah untuk menjaga terjadinya over drained dengan mempertahankan ketinggian elevasi muka air tanah rencana. Bangunan yang umum digunakan untuk kanal blocking disesuaikan dengan klasifikasi rawa, apakah merupakan rawa pasang surut ataupun rawa lebak. Untuk rawa pasang surut, jenis bangunan yang layak dipasang adalah pintu otomatis, sedangkan untuk rawa lebak dapat dipasang bangunan pelimpah. Bangunan pelimpah dapat berbentuk ambang tipis ataupun ambang lebar dan material yang digunakan sebaiknya material yang ringan dan tahan korosi akibat air payau.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
302
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
BLOK LAHAN 30 Ha PIEZOMETER
PEILSCHAAL
SALURAN TRANSPORT
SALURAN TRANSPORT
SALURAN KOLEKTOR
SALURAN KOLEKTOR
PELIMPAH
SALURAN KOLEKTOR A
A ELEVASI LAHAN TAMPAK ATAS
60 CM
PEILSCHAAL
MUKA AIR TANAH
MUKA AIR
DIA – 4”
PIEZOMETER
PELIMPAH
POT. A-A
Gambar 8. Bangunan Pelimpah, Peilschaal dan Piezometer
SALURAN TRANSPORT
Penempatan bangunan kanal blocking sebaiknya di bagian hilir saluran kolektor dengan jarak sekitar 10,0 m dari saluran transport. Adanya bagian lahan dari blok lahan seluas 2,25 Ha yang airnya terbuang ke saluran transport, maka lahan ini perlu di suplai air dari saluran kolektor dengan membuat saluran suplesi (recharge channel) dengan intake di depan bangunan kanal blocking. Saluran suplesi ini dapat dibuat dengan ukuran lebar 1,50 m dan dalam cukup 0,50 m dari muka tanah lahan perkebunan dibuat menyerong dengan sudut 45o mulai dari intake hingga pertengahan lahan. Cara bekerjanya saluran ini adalah sewaktu muka air di saluran kolektor tinggi maka air akan masuk ke saluran suplesi memberi water recharge pada lahan yang mengalami pengeringan karena adanya saluran transport. Untuk menambah informasi tentang penempatan bangunan kanal blocking dapat dilihat Gambar 9. Gambar 9 ini memperlihatkan skema penempatan kanal blocking yang dilengkapi dengan saluran suplesi untuk water recharge.
BLOK LAHAN KELAPA SAWIT 30 Ha
JALAN UTAMA
KANAL BLOCKING SALURAN KOLEKTOR 10 M
JALAN BLOK SALURAN KOLEKTOR
SALURAN TRANSPORT
KANAL BLOCKING
BLOK LAHAN KELAPA SAWIT 30 Ha
Gambar 9. Penempatan Bangunan Kanal Blocking
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 303
B. Pembahasan Pembahasan ditekankan pada tinjauan sistem perairan dalam menujang pengembangan daerah rawa, sistem saluran yang dibangun sesuai dengan tahapan pengembangan daerah rawa dan penerapan sistem kanal blocking sebagai usaha mempertahankan drainabilitas rencana. Sistem Perairan Rawa Tripa Posisi kawasan Rawa Tripa yang diapit oleh dua buah sungai besar, yaitu Krueng Tripa di bagian Barat dan Krueng Batee di bagian Timur serta adanya aliran sungai Krueng Seumayam di dalam Rawa Tripa merupakan potensi hidrolis dimana Rawa Tripa dapat direklamasi menjadi lahan perkebunan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan utama apabila melakukan reklamasi terutama pada lahan di sekitar kubah rawa yang lahannya merupakan gambut tebal, sensitif terhadap perubahan lingkungan dan hanya memungkinkan untuk dikembangkan secara terbatas dengan metode tata air yang baik. Secara umum pengembangan daerah rawa adalah membuat sistem tata air berdasarkan topo-hidrologis dengan kegiatannya membuat sistem saluran berdasarkan drainabilitas rencana sesuai peruntukannya. Misalnya untuk lahan perkebunan dikehendaki besarnya drainabilitas setinggi 60 cm dimana pada lahan reklamasi perlu dijaga kedalaman muka air tanah pada posisi 60 cm dari muka tanah. Untuk menjaga atau menstabilkan drainabilitas setinggi 60 cm, maka diperlukan bangunan pendukung, yaitu: (a) kanal blocking, (b) kolam penampungan air (water estorage) dan sumber air suplesi (water recharge). Kondisi perairan Rawa Tripa sangat mendukung beberapa persyaratan teknis yang diperlukan dalam reklamasi rawa menjadi lahan perkebunan dengan pertimbangan sebagai berikut. (a) Sebagai tempat buangan akhir (outfall) pada sistem saluran yang dibangun adalah sungai Krueng Tripa, Krueng Seumayam dan Krueng Batee pada pias bagian hilir yang mempunyai elevasi lebih rendah dibandingkan elevasi lahan yang perlu dikeringkan. (b) Tersedianya tiga buah kubah gambut dimana lahan disekitarnya memungkinkan untuk dibuat kolam penampung air (water storage) yang digunakan untuk menampung air dimusim penghujan dan digunakan sebagi suplesi air ke sistem saluran pada musim kemarau untuk menghindari over drained di lahan reklamasi. (c) Apabila ketersediaan air di kolam penampung tidak mencukupi maka perlu dicari sumber air yang baru sebagai suplesi air (water recharge) yang dalam sistem perairan Rawa Tripa dapat diambil dari sungai Krueng Tripa dan Krueng Batee. Konstruksinya dapat dibuat sebuah bendung dan pengambilan serta saluran pembawa hingga lokasi kolam penampungan. Langkah pengembangan daerah rawa secara teknis setidaknya melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: (a) Tahap Awal, yaitu dengan jenis pekerjaannya adalah membangun sistem saluran drainase/pembuang seperti apa yang dijumpai di lapangan saat ini (2013) karena untuk kegiatan Tahap Awal ini dapat memerlukan waktu hingga 10 tahun.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
304
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
(b) Tahap Menengah, yaitu sudah mulai memperkenalkan sistem kelola tata air yang baik khususnya pada lahan gambut tebal yang berada di sekitar kubah gambut. Jenis kegiatannya adalah dengan memperkenalkan sistem kanal blocking dan membangun kolam tampungan sebagai sumber suplai air dimusim kering. Hal ini dilakukan untuk menghindari over drained pada lahan perkebunan dengan jalan mempertahankan tinggi drainabilitas rencana, yaitu 60 cm untuk lahan rawa dengan peruntukan perkebunan kelapa sawit. (c) Tahap Akhir, yaitu tahap penyempurnaan Tahap Menengah dengan mempersiapkan sumber suplesi air apabila air di kolam penampungan mengalami penyusutan. Sumber air yang potensial adalah dari hulu sungai Krueng Tripa (bagian Barat) dan Krueng Batee (bagian Timur). Jadi kegiatan pada tahap Akhir adalah dengan membangun sebuah bendung pada kedua sungai tersebut dan saluran pembawa hingga ke lokasi kolam penampungan. Dengan kondisi di lapangan saat ini maka masih terdapat dua tahapan lagi yang perlu dilalui dalam proses reklamasi lahan Rawa Tripa, yaitu Tahap Menengah dan tahap Akhir. Pelaksanaan kegiatan pada setiap tahapan akan berjalan dengan baik dan terarah kalau tersedia blue print pengembangan yang dituangkan dalam Masterplan Pengembangan Rawa Tripa. Master plan inilah yang digunakan oleh semua pihak, baik masyarakat ataupun korporasi yang bermaksud ingin mengeksploitasi Rawa Tripa sebagai pedoman dan acuan yang perlu dipatuhi dan dilaksanakan. Sistem Saluran Reklamasi Rawa Tripa Secara umum pengembangan Rawa Tripa dibangun dengan sistem blok lahan dengan ukuran 300 m x 1000 m atau untuk luasan 30 Ha setiap blok lahan. Untuk setiap blok lahan ini dikelilingi oleh saluran pembuang, yaitu saluran kolektor di sepanjang sisi 1000 m dan saluran transport disisi 300 m. Jadi sistem pengeringan terjadi pada keempat arah tersebut, yaitu dua arah ke saluran kolektor dan dua arah lainnya ke saluran transport. Ditinjau dari lebar lahan yang dikeringkan terlihat lebih pendek masih jauh di bawah batas maksimum, yaitu 600 ‘ (180 m). Layout sistem saluran yang dibuat di lapangan adalah sistem blok yang sebaiknya dipilih sistem sisir dengan hierarki saluran mulai dari saluran tersier yang berfungsi untuk pengeringan, saluran sekunder yang berfungsi sebagai saluran kolektor dan saluran primer sebagai saluran pembuang utama yang melayani satu sistem saluran secara keseluruhan. Penempatan saluran perlu dirancang sentris dimana saluran sekunder ditempatkan ditengah-tengah beberapa saluran tersier dan hanya terdapat satu saluran primer yang ditempatkan di tengah diantara saluran sekunder. Saluran primer ini membuang total volume buangan air ke sungai terdekat (body of water). Karena saluran primer ini tidak menerima air buangan langsung dari saluran tersier, maka lahan disamping saluran primer ini selebar 100 m tidak diperuntukkan untuk lahan perkebunan dan hanya diperuntukkan sebagai lajur hijau (green belt). Penanganan serupa juga dilakukan pada lahan di kiri dan kanan di sepanjang sungai yang perlu dipertahankan sebagai green belt dengan lebar 200 m. Apa yang dijumpai di lapangan adalah perkebunan kelapa sawit dibuka hingga sepanjang kiri dan kanan saluran pembuang utama dan sepanjang sungai. Hal ini memerlukan perhatian khusus karena merupakan perkebunan masyarakat dan sebagiannya lagi diusahakan oleh korporasi. Di lapangan juga dijumpai saluran pembuang utama (saluran transport) yang dibangun memisahkan lahan perkebunan dan hutan konservasi atau dibangun tidak sentris karena
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 305
dibangun dipinggir lahan perkebunan. Dengan kondisi demikian, maka lahan hutan konservasi juga mengalami penurunan muka air tanah karena adanya saluran pembuang utama tersebut dan selanjutnya hutan konservasi mengalami kerusakan akibat menurunnya elevasi muka air tanah di lahan hutan lindung tersebut. Dengan kondisi demikian maka sebelum melangkah pada Tahap Menengah pengelolaan lahan Rawa Tripa yaitu penerapan sistem tata air dengan mengenalkan kanal blocking, sebaiknya semua layout sistem saluran yang ada perlu dilakukan evaluasi dan direview ulang untuk melihat kelebihan dan kekurangannya demi penyempurnaan. Sebagian besar saluran yang sudah dibuat merupakan saluran tanah dengan kemiringan talud 1H:5V yang terlihat terlalu terjal sehingga banyak dijumpai kelongsoran tebing yang menyebabkan sedimentasi di saluran. Dimensi saluran yang dibuat juga terlihat over capacity karena dari hasil perhitungan modulus pembuang menujukkan bahwa debit saluran kolektor hanya sebesar 0,217 m3/det. Dengan tidak dijumpainya bangunan pengatur debit maka pada saat debit buangan yang besar menyebabkan kecepatan di saluran juga menjadi besar dan melebihi batas kecepatan aliran yang diijinkan untuk saluran tanah, yaitu kecepatan maksimum 0,5 m/det. Sebagian pias saluran terlihat kurang terawat dengan banyaknya tumbuhan air yang dapat mengurangi kapasitas aliran sehingga dapat mengganggu proses pengeringan lahan. Disamping layout sistem saluran yang perlu ditinjau ulang, dimensi saluran juga perlu ditinjau kembali dengan menerapkan kaidah-kaidah hidrolika terapan. Kemungkinan pengelolaan sistem saluran tidak sentris, blok lahan dikelilingi saluran, dimensi saluran yang terlalu besar yang dilakukan oleh korporasi adalah menyangkut pertimbangan produksi kelapa sawit dari gangguan binatang liar atau pencurian oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kalau hal demikian memang perlu dipertimbangkan dan sistem saluran sudah dibangun, maka perlu adanya perbaikan dan penyesuaian jenis konstruksi hidrolis pada konstruksi yang sudah dibangun. Misalnya dengan melakukan penyempitan saluran pada bagian tetentu tanpa merubah konstruksi saluran secara keseluruhan. Sistem Kanal Blocking pada Reklamasi Rawa Tripa Pada waktu tinjauan lapangan telah dijumpai dalam jumlah terbatas khususnya pada lahan yang dikelola oleh PT. SPS sudah dibangun bangunan pelimpah pada hilir saluran kolektor yang berfungsi sebagai bangunan kanal blocking. Kemungkinan dengan mengedepankan fungsinya, konstruksi bangunannya dibuat secara sederhana dan sifatnya darurat dengan material seadanya, yaitu dari tumpukan kayu sisa-sisa penebangan dan kantong plastik yang diisi tanah. Dengan demikian bangunannya tidak stabil, sering mengalami kerusakan dan terjadi kebocoran aliran. Sistem kanal blocking yang dibuat juga dilengkapi dengan peilschaal atau papan duga air yang dipasang di hulu saluran kolektor dan bangunan piezometer yang dipasang di tengah blok lahan. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa perusahaan perkebunan tersebut sudah mengetahui dan memulai program Tahap Menengah yaitu mengatur sistem tata air dengan membangun sistem kanal blocking. Terbatasnya jumlah kanal blocking yang sudah dibangun kemungkinan dengan faktor prioritas ketersediaan dana perusahaan akan tetapi kiat menuju pengelolaan air (water management) sudah dimulai dan diharapkan dapat diikuti oleh perusahaan perkebunan lainnya. Rawa Tripa merupakan rawa lebak yaitu rawa yang tidak dipengaruhi oleh aliran akibat pasang surut air laut yang berarti aliran air hanya bergerak kesatu arah dari hulu ke hilir. Untuk kondisi yang demikian maka konstruksi bangunan air yang cocok dan layak untuk
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
306
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
dibangun adalah bangunan pelimpah baik pelimpah ambang tipis maupun pelimpah ambang lebar. Pintu apung otomatis dapat juga dibangun pada kondisi ini apabila memang layak ditinjau dari ketersediaan dana pembangunannya. Material yang baik digunakan untuk konstruksi adalah yang terbuat dari fiber resin dimana materialnya ringan dan tahan korosi. Sebagai gambaran konstruksi pelimpah ambang tipis, pelimpah ambang lebar dan bangunan pintu apung otomatis dapat dilihat pada Gambar 10.
ELEVASI MUKA LAHAN
m.a.t m.a.r DASAR SALURAN AMBANG TIPIS
ELEVASI MUKA LAHAN m.a.t m.a.r DASAR SALURAN AMBANG LEBAR
ELEVASI MUKA LAHAN m.a.t m.a.r DASAR SALURAN
APUNG OTOMATIS
Gambar 10. Skema Bangunan Pelimpah dan Pintu Apung Otomatis Sebagai dasar pertimbangan untuk membangun konstruksi kanal blocking adalah diperlukan material ringan dan tahan korosi karena konstruksi diletakkan pada tanah dengan daya dukung rendah dan air berkadar besi yang relatif tinggi. Dalam kajian ini diusulkan agar konstruksi kanal blocking dibuat tipe pelimpah ambang tipis dengan menggunakan material dari sheetpile yang terbuat dari plasik. Karakteristik sheetpile plastik adalah sebagai berikut: (a) Kuat dan tahan terhadap perubahan cuaca. (b) Ringan dan mudah pengerjaannya. (c) Mudah atau tanpa perawatan yang berarti. Dalam pemancangan sheetpile perlu diingat bahwa lebar sheetpile perlu ditambahkan masing-masing 1.0 m di kiri dan kanan tebing saluran dan dipancang hingga masuk ke dalam tanah 2.0 m dan 1.0 m nampak di atas tanah, sehingga panjang individual sheetpile adalah 3.0 m. Untuk jelasnya mengenai konstruksi kanal blocking menggunakan sheetpile plastik dapat dilihat pada Gambar 11. Untuk lebar saluran 2.0 m maka diperlukan sheetpile dengan panjang total 18.0 m dan dengan harga sheetpile terpasang di lapangan sebesar Rp.2,50 juta/m, maka untuk satu konstruksi bangunan kanal blocking memerlukan biaya sebesar Rp.45 juta.
LAPORAN UTAMA
IMPLEMENTASI KANAL BLOCKING | 307
B
A
A
60 100
B
200 DENAH
SHEETPILE 300
ELEVASI MUKA LAHAN
DASAR SALURAN
SHEETPILE
POT. B-B
POT. A-A 300
50
SHEETPILE
Gambar 11. Konstruksi Kanal Blocking Sheetpile Plastik
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian implementasi kanal blocking adalah sebagai berikut. 1. Sistem perairan Rawa Tripa sangat mendukung usaha reklamasi lahan rawa menjadi lahan perkebunan yang saat ini masih dalam Tahap Awal yaitu pembuatan saluran drainase yang dapat dilanjutkan pada Tahap Menengah dengan mengaplikasikan sistem tata air yang benar dan disempurnakan pada Tahap Akhir dengan menyediakan suplai recharge water pada sistem saluran yang telah dibangun. 2. Metode sistem saluran yang dibangun adalah sistem blocking lahan dengan dua jenis saluran yaitu kolektor dan transport dan perlu diubah menjadi sistem sisir dengan menerapkan hierarki saluran pembuang tersier, saluran pembuang sekunder dan saluran pembuang primer atau pembuang utama yang layoutnya dibuat sentris dan menyediakan lahan untuk lajur hijau (greenbelt) disepanjang sungai dan saluran pembuang utama. 3. Pada Tahap Awal program reklamasi lahan rawa seperti sekarang ini dan mau melangkah ke Tahap Menengah masih sangat terbatas jumlah bangunan kanal blocking yang sudah dibangun dan konstruksinya masih sangat sederhana dan darurat sifatnya yang hanya mengandalkan fungsionalnya saja. Bangunan kanal blocking perlu dibangun pada saluran kolektor (tersier) khususnya pada lahan gambut di sekitar kubah gambut yang merupakan gambut tebal dengan pemanfaatan terbatas. 4. Bangunan pelimpah ambang tipis terbuat dari sheetpile plastik dinilai layak untuk diterapkan sebagai bangunan kanal blocking karena karakteristik material
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
308
| SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
memenuhi persyaratan untuk digunakan pada tanah dengan kekuatan rendah dan mudah cara membuatnya serta ringan perawatan konstruksinya. B. Rekomendasi 1. Perlu adanya masterplan yang disusun berdasarkan kajian dan riset yang mendalam serta mengadopsi kejadian yang ada di lapangan saat ini sebagai acuan dalam usaha reklamasi Rawa Tripa untuk tahapan berikutnya. 2. Kajian ini perlu dilanjutkan dengan data yang lebih mendetail dan frekuensi yang banyak sebagai usaha kerja sama antara Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi (Lembaga Riset), Korporasi dan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Mc Comas S., (2003). Lake and Pond Management Guidebook, Lewis Publishers, New York. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.27 Tahun 1991 Tentang Rawa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.38 Tahun 2011 Tentang Sungai Schilfgaarde, J.V, (1974). Drainage for Agriculture, American Society of Agronomy Inc., Madison, Wisconsin USA. Simandjuntak, T.R.P (2009). Reklamasi Rawa, PUSDIKLAT – PU, Jakarta
LAPORAN UTAMA